APENDIKSITIS tugas.doc
-
Upload
agniajolanda -
Category
Documents
-
view
25 -
download
0
Transcript of APENDIKSITIS tugas.doc
Tugas
PATOFISIOLOGI DAN MANAJEMENAPENDIKSITIS INFILTRAT
OLEH:RINNY NURIAWATY 04120085ANDRIANI LIBERTI 04923069VESRI YOGA 04923008
ILMU BEDAHFAKULTAS KEDOKTERAN UNAND
RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG2008
APENDIKSITIS
Anatomi dan Embriologi
Sistem digestif yang secara embriologi berasal dari midgut meliputi duodenum
distal muara duktus koledukus, usus halus, sekum dan apendiks, kolon asendens, dan ½
sampai ¾ bagian oral kolon transversum. Premordium sekum dan apendiks Vermiformis
(cecal diverticulum) mulai tumbuh pada umur 6 minggu kehamilan, yaitu penonjolan
dari tepi antimesenterium lengkung midgut bagian kaudal. Selama perkembangan
antenatal dan postnatal, kecepatan pertumbuhan sekum melebihi kecepatan
pertumbuhan apendiks, sehingga menggeser apendiks ke arah medial di depan katup
ileosekal. Apendiks mengalami pertumbuhan memanjang dari distal sekum selama
kehamilan. Selama masa pertumbuhan bayi, terjadi juga pertumbuhan bagian kanan-
depan sekum, akibatnya apendiks mengalami rotasi kearah postero-medial dan menetap
pada posisi tersebut yaitu 2,5 cm dibawah katup ileosekal, sehingga pangkal apendiks di
sisi medial. Organ ini merupakan organ yang tidak mempunyai kedudukan yang
menetap didalam rongga abdomen. Hubungan pangkal apendiks ke sekum relatif
konstan, sedangkan ujung dari apendiks bisa ditemukan pada posisi retrosekal, pelvikal,
subsekal, preileal atau parakolika kanan. Posisi apendiks retrosekal paling banyak
ditemukan yaitu 64% kasus.
Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar submukosa
dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan pembuluh darah
dan kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh lamina serosa yang
berjalan pembuluh darah besar yang berlanjut ke dalam mesoapendiks. Bila letak
apendiks retrosekal maka tidak tertutup oleh peritoneum viscerale (Soybel, 2001).
Menurut Wakeley (1997) lokasi apendiks adalah sebagai berikut: retrosekal (65,28%),
pelvikal (31,01%), subsekal (2,26%), preileal (1%) dan postileal serta parakolika kanan
(0,4%) (Schwartz, 1990).
Pada 65% kasus apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan apendiks
memungkinkan bergerak dalam ruang geraknya tergantung pada panjangnya
mesoapendiks. Pada kasus selebihnya apendiks terletak retroperitoneal yaitu di belakang
sekum, dibelakang kolon askenden atau tepi lateral kolon askenden. Gejala klinis
apendisitis ditentukan oleh letak dari apendiks. Pada posisi retrosekal, kadang-kadang
appendiks menjulang kekranial ke arah ren dekster, sehingga keluhan penderita adalah
nyeri di regio flank kanan. Dan kadang diperlukan palpasi yang agak dalam pada
keadaan tertentu karena appendiks yang mengalami inflamasi ini secara kebetulan
terlindungi oleh sekum yang biasanya mengalami sedikit dilatasi Letak appendik
mungkin juga bisa di regio kiri bawah hal ini dipakai untuk penanda kemungkinan
adanya dekstrokardia. Kadang pula panjang appendiks sampai melintasi linea mediana
abdomen, sehingga bila organ ini meradang mengakibatkan nyeri perut kiri bawah. Juga
pada kasus-kasus malrotasi usus kadang appendiks bisa sampai diregio epigastrum,
berdekatan dengan gaster atau hepar lobus kanan.
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya bervariasi berkisar
antara 2-22 cm. Letak basis apendiks berada pada posteromedial sekum pada pertemuan
ketiga taenia koli, kira-kira 1-2 cm di bawah ileum. Dari ketiga taenia tersebut terutama
taenia anterior yang digunakan sebagai penanda untuk mencari basis apendiks. Basis
apendiks terletak di fossa iliaka kanan, bila diproyeksikan ke dinding abdomen terletak
di kuadran kanan bawah yang disebut dengan titik Mc Burney. Kira-kira 5% penderita
mempunyai apendiks yang melingkar ke belakang sekum dan naik (ke arah kranial)
pada posisi retroperitoneal di belakang kolon askenden. Apabila sekum gagal
mengalami rotasi normal mungkin apendiks bisa terletak di mana saja di dalam kavum
abdomen. Pada anak-anak apendiks lebih panjang dan lebih tipis daripada dewasa oleh
karena itu pada peradangan akan lebih mudah mengalami perforasi. Sampai umur
kurang lebih 10 tahun, omentum mayus masih tipis, pendek dan lembut serta belum
mampu membentuk pertahanan atau pendindingan (walling off) pada perforasi,
sehingga peritonitis umum karena apendisitis akut lebih umum terjadi pada anak-anak
daripada dewasa (Raffensperger. Apendiks kekurangan sakulasi dan mempunyai lapisan
otot longitudinal, mukosanya diinfiltrasi jaringan limfoid. Pada bayi apendiks berbentuk
kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujung. Keadaan ini
memungkinkan menjadi sebab rendahnya kasus apendisitis pada umur tersebut , 1990).
Apendiks mempunyai lumen yang sempit, bentuknya seperti cacing, dan apeksnya
menempel pada sekum. Apendiks pada bayi berbentuk konikal. Panjang apendiks
bervariasi dari 2 – 20 cm dengan panjang rata-rata 6 – 9 cm. Diameter masuk lumen
apendiks antara 0,5 – 15 mm. Lapisan epitel lumen apendiks seperti pada epitel kolon
tetapi kelenjar intestinalnya lebih kecil daripada kolon. Apendiks mempunyai lapisan
muskulus dua lapis. Lapisan dalam berbentuk sirkuler yang merupakan kelanjutan dari
lapisan muskulus sekum, sedangkan lapisan luar berbentuk muskulus longitudinal yang
dibentuk oleh fusi dari 3 tenia koli diperbatasan antara sekum dan apendiks. Pada masa
bayi folikel kelenjar limfe submukosa masih ada. Folikel ini jumlahnya terus meningkat
sampai puncaknya berjumlah sekitar 200 pada usia 12 – 20 tahun.
Setelah usia 30 tahun ada pengurangan jumlah folikel sampai setengahnya, dan
berangsur menghilang pada usia 60 tahun. Mesoapendiks terletak dibelakang ileum
terminal yang bergabung dengan mesenterium intestinal.
Vaskularisasi appendiks mendapatkan darah dari cabang a. ileokolika berupa
appendiksularis yang merupakan satu-satunya feeding arteri untuk appendiks, sehingga
apabila terjadi trombus pada appendiksitis akuta akan berakibat berbentuk gangren, dan
bahkan perforasi dari appendiks tersebut. Arteri apendikuler adalah cabang terminal dari
arteri ileokolika dan berjalan pada ujung bebas mesoapendiks. Kadang-kadang pada
mesenterium yang inkomplet, arteri ini terletak panda dinding sekum. Pada
mesoapendiks yang pendek dapat berakibat apendiks yang terfiksir (immobile). Kadang-
kadang arteri apendikularis berjumlah dua. . Namun demikian pangkal appendik
ternyata mendapatkan vaskularisasi tambahan dari cabang-cabang kecil arteri sekalis
anterior dan posterior .
Vena appendiks bermuara di vena ileokalika yang melanjutkan diri ke vena
mesenterika superior. Sedangkan sistim limfatiknya mengalir ke lymfonodi ileosekal
Pembuluh limfe mengalirkan cairan limfe ke satu atau dua noduli limfatisi yang terletak
pada mesoapendiks. Dari sini cairan limfe berjalan melalui sejumlah noduli limfatisi
mesenterika untuk mencapai noduli limfatisi mesenterika superior. Syaraf apendiks
berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari pleksus mesenterika
superior. Serabut syaraf aferen yang menghantarkan rasa nyeri visceral dari apendiks
berjalan bersama saraf simpatis dan masuk ke medulla spinalis setinggi segmen torakal
X karena itu nyeri visceral pada apendiks bermula disekitar umbilikus.
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke
dalam lumen dan selanjutnya dicurahkan ke sekum .
Menurut Tranggono (1989) mempelajari posisi anatomi apendiks vermiformis
meliputi pembahasan secara topografi yaitu :
1. Holotopi
Holotopi adalah posisi yang sebenarnya dari suatu organ pada tubuh manusia.
Apendiks vermiformis terletak di kwadran kanan bawah dan di region iliaka kanan.
2.Skeletopi
Skeletopi adalah posisi organ manusia menunjuk pada kerangka atau tulang. Pangkal
apendiks vermiformis terletak pada perpotongan garis interspinal dengan garis lateral
vertikal dari titik pertengahan ligamentum inguinale dan ventral fossa iliaka kanan
3. Sintopi.
Sintopi adalah posisi organ terhadap organ-organ disekitarnya, Apendiks
vermiformis di sebelah bawah sekum di ventral ureter kanan, a. testikularis kanan,
bisa di depan ileum atau dibelakang ileum.
Malrotasi atau maldesesnsus dari sekum akan mengakibatkan kelainan letak dari
apendiks sehingga mungkin saja terletak disepanjang daerah fossa iliaka kanan dan area
infrasplenik kiri. Dalam hal terdapat transposisi dari visera maka apendiks dapat terletak
di kwadran kiri bawah. Mengingat akan kemungkinan-kemungkinan kelainan posisi
atau letak sekum ini sangat penting, karena hal ini sering mendatangkan kesulitan dalam
menegakkan diagnosis bila terjadi peradangan pada apendiks tersebut. Suatu anomaly
yang sangat jarang terjadi adalah duplikasi apendiks seperti dikemukakan oleh Green.
Sementara menurut Waugh duplikasi apendiks ini tidak ada hubungannya dengan
duplikasi sekum. Kedua apendiks mungkin terbungkus dalam sarung fibrous dan
dikelilingi oleh satu lapisan otot dan rongganya mungkin berhubungan sebagian atau
seluruhnya atau mungkin berasal secara terpisah dari sekum. Ada yang berpendapat
bahwa apendiks yang kedua merupakan suatu divertikel sekum yang kongenital.
Karena apendiks merupakan suatu kantong yang buntu dengan lumen yang
sempit dan seperti traktus intestinalis lainnya secara normal berisi bakteri, resiko
stagnasi dari isi apendiks yang terinfeksi selalu ada. Resiko ini akan bertambah hebat
dengan adanya suatu mekanisme valvula pada pangkal apendiks yang dikenal dengan
valvula Gerlach . Dengan adanya benda-benda asing yang terperangkap dalam lumen
apendiks, posisinya yang mobil, dan adanya kinking, bands, adhesi dan lain-lain
keadaan yang menyebabkan angulasi dari apendiks, maka keadaan akan semakin
diperburuk. Banyaknya jaringan limfoid pada dindingnya juga akan mempermudah
terjadinya infeksi pada apendiks.
Organ lain di luar apendiks yang mempunyai peranan besar apabila terjadi
peradangan apendiks adalah omentum. Ini merupakan salah satu alat pertahanan tubuh
apabila terjadi suatu proses intraabdominal termasuk apendiks. Pada umur dibawah 10
tahun pertumbuhan omentum ini pada umumnya belum sempurna, masih tipis dan
pendek, sehingga belum dapat mencapai apensdiks apabila terjadi peradangan apendiks.
Hal inilah yang merupakan salah satu sebab lebih mudah terjadi perforasi dan peritonitis
umum pada apendisitis anak.
Appendiks vermiformis (umbai cacing) terletak pada puncak caecum , pada pertemuan
ke-3 tinea coli yaitu :
1. Taenia libra
2. Taenia omentalis
3. Taenia mesocolica
Pangkalnya terletak pada posteromedial caecum. Pada Ileocaecal junction terdapat
Valvula Ileocecalis (Bauhini) dan pada pangkal appendiks terdapat valvula
appendicularis (Gerlachi). Panjang antara 7-10 cm, diameter 0,7 cm. Lumen bagian
proksimal menyempit , bagian distal melebar. Hal ini berlawanan pada bayi, sehingga
menyebabkan rendahnya insidensi appendisitis pada usia tersebut.
Secara histologis mempunyai 4 lapisan yaitu tunika :
- Mukosa
- Sub mukosa : banyak terdapat limfoid
- Muskularis
Terdapat Stratum circulare(dalam) dan stratum longitudinale (luar), stratum
longitunale merupakan gabungan dari ke-3 taenia coli.
Posisi appendik :
1. Ileocecal
2. Antecaecal : di depan caecum
3. Retrocaecal : Intra & Retro peritoneal
4. Anteileal
5. RetroIleal
6. Pelvical
Appendiks mendapat vaskularisasi dari a.Appendicularis a.Iliocolica a. Mesenterica
superior. a. Appendicularis merupakan suatu arteri yang tidak memiliki kolateral
(endarteri) , sehingga jika tersumbat mengakibatkan ganggren. Darah dari appendiks di
drainage ke v. appendicularis v. Ileocolica. Innervasi appendiks dari cabang n.X
(parasimpatis), sehingga nyeri viseral pada appendisitis bermula disekitar umbilikus.
Grade Appendisitis pada Anak :
I. Simple
II. Suppuren
III. Ganggren
IV. Ruptur
V. Abses
Gambaran Appendicogram : Filling defect, Non Filling defect, Parsial, Irreguler, Tail
mouse
Patofisiologi
Apendiks vermiformis pada manusia biasanya dihubungkan dengan “organ sisa
yang tidak diketahui fungsinya”. Pada beberapa jenis mamalia ukuran apendiks sangat
besar seukuran sekum itu sendiri, yang ikut berfungsi dalam proses digesti dan absorbsi
dalam sistem gastrointestinal Pada percobaan stimulasi dengan rangsangan, apendiks
cenderung menekuk ke sisi antimesenterial. Hal ini mengindikasikan serabut muskuler
pada sisi mesenterial berkembang lebih lemah.
Secara anatomi pembuluh arteri masuk melalui sisi muskuler yang lemah ini.
Kontraksi muskulus longitudinal akan diikuti oleh kontraksi muskulus sirkuler secara
sinergis, lambat, dan berakhir beberapa menit. Gerakan aktif dapat dilihat pada bagian
pangkal apendiks dan semakain ke distal gerakan semakin berkurang. Pada keadaan
inflamasi, kontraksi muskuli apendiks akan terganggu
Pada keadaan normal tekanan dalam lumen apendiks antara 15 – 25 cmH2O dan
meningkat menjadi 30 – 50 cmH2O pada waktu kontraksi. Pada keadaan normal
tekanan panda lumen sekum antara 3 – 4 cmH2O, sehingga terjadi perbedaan tekanan
yang berakibat cairan di dalam lumen apendiks terdorong masuk sekum. Mukosa
normal apendiks dapat mensekresi cairan 1 ml dalam 24 jam (Riwanto I, 1992).
Apendiks juga berperan sebagai sistem immun pada sistem gastrointestinal (GUT).
Sekresi immunoglobulin diproduksi oleh Gut-Associated Lymphoid Tissues (GALD)
dan hasil sekresi yang dominan adalah IgA. Antibodi ini mengontrol proliferasi bakteri,
netralisasi virus, dan mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya.
Pemikiran bahwa apendiks adalah bagian dari sistem GALD yang mensekresi globulin
kurang banyak berkembang.
Hal ini dapat dibuktikan pada pengangkatan apendiks tidak terjadi efek pada
sistem immunologi Meskipun kelainan pada apendisitis akut disebabkan oleh infeksi
bakteri, faktor yang memicu terjadinya infeksi masih belum diketahui secara jelas. Pada
apendisitis akut umumnya bakteri yang berkembang pada lumen apendiks adalah
Bacteroides fragilis dan Escherichea colli. Kedua bakteri ini adalah flora normal usus.
Bakteri ini menginvasi mukusa, submukosa, dan muskularis, yang menyebabkan udem,
hiperemis dan kongesti local vaskuler, dan hiperplasi kelenjar limfe. Kadang-kadang
terjadi trombosis pada vasa dengan nekrosis dan perforasi
Beberapa penelitian tentang faktor yang berperan dalam etiologi terjadinya
apendisitis akut diantaranya: obstruksi lumen apendiks, Obstruksi bagian distal kolon,
erosi mukosa, konstipasi dan diet rendah serat Percobaan pada binatang dan manusia
menunjukkan bahwa total obstruksi pada pangkal lumen apendiks dapat menyebabkan
apendisitis. Beberapa keadaan yang mengikuti setelah terjadi obstruksi yaitu: akumulasi
cairan intraluminal, peningkatan tekanan intraluminal, obstruksi sirkulasi vena, stasis
sirkulasi dan kongesti dinding apendiks, efusi, obstruksi arteri dan hipoksia, serta
terjadinya infeksi anaerob. Pada keadaan klinis, faktor obstruksi ditemukan dalam 60 -
70 persen kasus. Enam puluh persen obstruksi disebabkan oleh hiperplasi kelenjar limfe
submukosa, 35% disebabkan oleh fekalit, dan 5% disebabkan oleh faktor obstruksi yang
lain. Keadaan obstruksi berakibat terjadinya proses inflamasi Obstruksi pada bagian
distal kolon akan meningkatkan tekanan intralumen sekum, sehingga sekresi lumen
apendiks akan terhambat keluar. Arnbjornsson melaporkan prevalensi kanker kolorektal
pada usia lebih dari 40 tahun, ditemukan setelah 30 bulan sebelumnya dilakukan
apendektomi, lebih besar dibandingkan jumlah kasus pada usia yang sama. Dia percaya
bahwa kanker kolorektal ini sudah ada sebelum dilakukan apendektomi dan menduga
kanker inilah yang meningkatkan tekanan intrasekal yang menyebabkan apendisitis
Beberapa penelitian klinis berpendapat bahwa Entamoeba histolytica, Trichuris
trichiura, dan Enterobius vermikularis dapat menyebabkan erosi membrane mukosa
apendiks dan perdarahan. Pada kasus infiltrasi bakteri, dapat menyebabkan apendisitis
akut dan abses Pada awalnya Entamoeba histolytica berkembang di kripte glandula
intestinal. Selama infasi pada lapisan mukosa, parasit ini memproduksi ensim yang
dapat menyebabkan nekrosis mukosa sebagai pencetus terjadinya ulkus. Keadaan
berikutnya adalah bakteri yang menginvasi dan berkembang pada ulkus, dan
memprovokasi proses inflamasi yang dimulai dengan infiltrasi sel radang akut
Konstipasi dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal sekum, yang
dapat diikuti oleh obstruksi fungsional apendiks dan berkembangbiaknya bakteri.
Penyebab utama konstipasi adalah diet rendah serat. Diet rendah serat dapat
menyebabkan feses menjadi memadat , lebih lengket dan berbentuk makin membesar,
sehingga membutuhkan proses transit dalam kolon yang lama Diet tinggi serat tidak
hanya memperpendek waktu transit feses dalam kolon, tetapi dapat juga mengubah
kandungan bakteri. Hill et al menyimpulkan bahwa bakteri yang terdapat dalam feses
orang Amerika dan Inggris (yang mengkonsumsi rendah serat) lebih tinggi
dibandingkan feses orang Uganda, India, dan Jepang.
Beberapa penelitian juga menyebutkan adanya insidesi apendisitis di negara
maju seperti Amerika dan Inggris yang kurang mengkonsumsi serat lebih besar
dibandingkan di Afrika dan Asia
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke dalam sekum. Hambatan aliran
dalam muara apendiks berperan besar dalam patogenesis apendisitis. Jaringan limfoid
pertamakali terlihat di submukosa apendiks sekitar 2 minggu setelah kelahiran. Jumlah
jaringan limfoid meningkat selama pubertas, dan menetap dalam waktu 10 tahun
berikutnya, kemudian mulai menurun dengan pertambahan umur. Setelah umur 60
tahun, tidak ada jaringan limfoid yang terdapat di submukosa apendiks (Kozar dan
Roslyn, 1999; Way, 2003). Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut
associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran pencernaan termasuk
apendiks adalah Ig A. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung infeksi.
Namun demikian pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh, sebab
jaringan limfoid disini kecil jika dibandingkan jumlah di saluran pencernaan dan seluruh
tubuh (Sjamsuhidayat, 1997)
Peradangan apendiks biasanya dimulai pada mukosa dan kemudian melibatkan
seluruh lapisan dinding apendiks mulai dari submukosa, lamina muskularis dan lamina
serosa . Proses awal ini terjadi dalam waktu 12 – 24 jam pertama. Obstruksi pada bagian
yang lebih proksimal dari lumen menyebabkan stasis bagian distal apendiks, sehingga
mucus yang terbentuk secara terus menerus akan terakumulasi. Selanjutnya akan
menyebabkan tekanan intraluminer meningkat, kondisi ini akan memacu proses
translokasi kuman dan terjadi peningkatan jumlah kuman di dalam lumen apendiks
cepat. Selanjutnya terjadi gangguan sirkulasi limfe yang menyebabkan udem. Kondisi
yang kurang baik ini akan memudahkan invasi bakteri dari dalam lumen menembus
mukosa dan menyebabkan ulserasi mukosa apendiks, maka terjadilah keadaan yang
disebut apendisitis fokal , atau apendisitis simple . Obstruksi yang berkelanjutan
menyebabkan tekanan intraluminer semakin tinggi dan menyebabkan terjadinya
gangguan sirkulasi vaskuler. Sirkulasi venular akan mengalami gangguan lebih dahulu
daripada arterial. Keadaan ini akan menyebabkan udem bertambah berat, terjadi iskemi,
dan invasi bakteri semakin berat sehingga terjadi pernanahan pada dinding apendiks,
terjadilah keadaan yang disebut apendisitis akuta supuratif. Pada keadaan yang lebih
lanjut tekanan intraluminer akan semakin tinggi, udem menjadi lebih hebat, terjadi
gangguan sirkulasi arterial. Hal ini menyebabkan terjadinya gangren pada dinding
apendiks terutama pada daerah antemesenterial yang relatif miskin vaskularisasi.
Gangren biasanya di tengah-tengah apendiks dan berbentuk ellipsoid. Keadaan ini
disebut apendisitis gangrenosa. Apabila tekanan intraluminer semakin meningkat, akan
terjadi perforasi pada daerah yang gangrene tersebut. Material intraluminer yang
infeksius akan tercurah ke dalam rongga peritoneum dan terjadilah peritonitis lokal
maupun general tergantung keadaan umum penderita dan fungsi pertahanan omentum.
Apabila fungsi omentum baik, tempat yang mengalami perforasi akan ditutup oleh
omentum, terjadilah infitrat periapendikular .
Apabila kemudian terjadi pernanahan maka akan terbentuk suatu rongga yang
berisi nanah di sekitar apendiks,terjadilah keadaan yang disebut abses periapendikular.
Apabila omentum belum berfungsi baik, material infeksius dari lumen apendiks tersebut
akan menyebar di sekitar apendiks dan terjadi peritonitis lokal. Selanjutnya apabila
keadaan umum tubuh cukup baik, proses akan terlokalisir , tetapi apabila keadaan
umumnya kurang baik maka akan terjadi peritonitis general .
Pemakaian antibiotika akan mengubah perlangsungan proses tersebut sehingga
dapat terjadi keadaan keadaan seperti apendisitis rekurens, apendisitis khronis, atau
yang lain. Apendisitis rekurens adalah suatu apendisitis yang secara klinis memberikan
serangan yang berulang, durante operasi pada apendiks terdapat peradangan dan pada
pemeriksaan histopatologis didapatkan tanda peradangan akut. Sedangkan apendisitis
khronis digambarkan sebagai apendisitis yang secara klinis serangan sudah lebih dari 2
minggu, pendapatan durante operasi maupun pemeriksaan histopatologis menunjukkan
tanda inflamasi khronis, dan serangan menghilang setelah dilakukan apendektomi.
Bekas terjadinya infeksi dapat dilihat pada durante operasi, dimana apendiks akan
dikelilingi oleh perlekatan perlekatan yang banyak. Dan kadang-kadang terdapat pita-
pita bekas peradangan dari apendiks keorgan lain atau ke peritoneum. Apendiks dapat
tertekuk, terputar atau terjadi kinking, kadang-kadang terdapat stenosis partial atau ada
bagian yang mengalami distensi dan berisi mucus (mukokel). Atau bahkan dapat terjadi
fragmentasi dari apendiks yang masing-masing bagiannya dihubungkan oleh pita-pita
jaringan parut. Gambaran ini merupakan “gross pathology” dari suatu apendisitis
khronika .
Etiologi & Patogenesis
Penyebab belum diketahui. Faktor yang mempengaruhi :
Obstruksi
1. Hiperplasi kelenjar getah bening (60%).
2.Fecolith (35%) : massa feces yang membatu
3. Corpus alienum (4%) : biji-bijian
4. Striktur lumen (1%) : kinking , karena mesoappendiks pendek, adesi.
Infeksi
Biasanya secara hematogen dari tempat lain, misal : pneumonia, tonsilitis dsb.
Antara lain jenis kuman : E. Coli, Streptococcus.Ada 4 faktor yang mempengaruhi
terjadinya appendisitis :
1. Adanya isi lumen
2. Derajat sumbatan yang terus menerus
3. Sekresi mukus yang terus menerus
4. Sifat inelastis / tak lentur dari mukosa appendik
Akibat sumbatan / obstruksi mengakibatkan sekresi mukus terganggu , sehingga
tekanan intra lumen meningkat mengakibatkan gangguan drainage pada :
Limfe : Oedem kuman masuk ulcerasi mukosa Appendisitis akut
Vena : TrombusIskhemikuman masuk pus Appendisitis Supuratif
Arteri : Nekrosis kuman masuk ganggren Appendisitis ganggrenosa Perforasi
peritonitis umum
Appendisitis akut setelah 48 jam dapat menjadi :
1. Sembuh
2. Kronik
3. Perforasi
4. Infiltrat / abses
Ini terjadi bila proses berjalan lambat, ileum terminale, caecum dan omentum
akan membentuk barier dalam bentuk infiltrat. Pada anak-anak dimana omentum
pendek dan orang tua dengan daya tahan tubuh yang menurun sulit terbentuk infiltrat,
sehingga kemungkinan terjadi perforasi lebih besar.
Sampai saat ini masih menjadi perdebatan dan spekulasi umum di kalangan para
ahli mengenai penyebab pasti dari apendisitis. Beberapa penelitian epidemiologi
menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi
terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intra sekal yang
berakibat sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal
kolon. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis. Ada beberapa teori
yang sudah diajukan, seperti teori sumbatan, teori infeksi, teori konstipasi dan teori
hygiene ,namun hal ini juga belum jelas benar. Diperkirakan pula bahwa pada penderita
tua obstipasi merupakan factor resiko yang utama,sedangkan pada umur muda adalah
adanya pembengkakan sistim limfatik apendiks akibat infeksi virus. Disebut pula
adanya perubahan konsentrasi flora usus dan spasme sekum mempunyai peranan yang
besar.
Pada teori sumbatan dikatakan bahwa terjadinya apendisitis diawali adanya
sumbatan dari lumen apendiks. Hal ini disokong dari hasil pemeriksaan histologis
pascaoperasi dan eksperimen pada binatang percobaan. Seperti yang di dapat oleh
Collins yang dikutip oleh Arnbjornsson pada 3400 kasus, 50% nya telah terbukti
apendisitis dan ditemukan adanya factor obstruksi ini. Condon menyebutkan bahwa
apendisitis adalah akibat dari obtruksi yang diikuti infeksi. Disebutkan bahwa 60%
kasus berhubungan dengan obstruksi yang disebabkan hiperplasi jaringan limfoid
submukosa dan 35% karena stasis fekal atau fekalit sementara 4% karena benda asing
lainnya dan 1% karena striktur atau hal-hal lainnya yang menyebabkan penyempitan
dari lumen apendiks.Teori ini juga didukung oleh penemuan Wangensteen dan Brower
(1939) yang mengatakan bahwa pada 75% apendisitis akut terdapat obstruksi dari lumen
apendiks, dan pada apendisitis gangrenosa seluruhnya terdapat obstruksi.
Selanjutnya apendisitis yang berhubungan dengan obstruksi yang disebabkan
hyperplasia jaringan limfoid submukosa disebutkan lebih banyak lagi terjadi pada anak-
anak, sementara obstruksi karena fekalit atau benda asing lebih banyak ditemukan
sebagai penyebab apendisitis pada orang dewasa. Adanya fekalit dihubungkan oleh para
ahli dengan hebatnya perjalanan penyakitnya
Bila terdapat fekalit (apendikolit) pada pasien-pasien dengan gejala akut
kemungkinan apendiks telah mengalami komplikasi yaitu gangren 77%, sedang bila
tidak ditemukan apendikolit dan hanya gangren 42%.Satu seri lain menyebutkan bahwa
apendisitis akut dengan apendikolit terdapat kemungkinan gangren atau perforasi
sebanyak 50% . Selain fekalit dan hyperplasia kel limfoid kita hendak tidak boleh
melupakan sebab obstruksi yang lain ,apalagi untuk negara kita Indonesia dan negara-
negara Asia khususnya yaitu penyumbatan yang disebabkan oleh cacing dan parasit
lainnya.
Bila terjadi infeksi, bakteri enteral memegang peranan yang penting. Pada
penderita muda yang memiliki jaringan limfoid yang banyak, maka akan terjadi reaksi
radang dan selanjutnya jaringan limfoid akan berproliferasi akibat selanjutnya akan
mengakibatkan penyumbatan pada lumen apendiks. Hal inilah yang menjadi alasan
mengapa ada yang beranggapan bahwa obstruksi yang terjadi merupakan adalah proses
lanjutan dari inflamasi yang terjadi sebagai akibat adanya infeksi. Kalaupun obstruksi
berperan hanyalah pada proses awalnya saja.19 Selanjutnya dipercaya juga bahwa
infeksi bakteri enterogen merupakan factor patogenetik primer pada proses apendisitis.
Diyakini bahwa adanya fekalit didalam lumen apendiks yang sebelumnya telah
terinfeksi hanya memperburuk dan memperberat infeksi karena terjadinya peningkatan
tekanan intraluminar apendiks. Ada kemungkinan lain yang menyokong teori infeksi
enterogen ini adalah kemungkinan tertelannya bakteri dari suatu focus di hidung atau
tenggorokan sehingga dapat menyebabkan proses peradangan pada apendiks. Secara
hematogen dikatakan mungkin saja dapat terjadi karena dianggap apendiks adalah
“tonsil” abdomen.
Pada teori konstipasi dapat dikatakan bahwa konstipasi sebagai penyebab dan
mungkin pula sebagai akibat dari apendisitis. Tapi hal ini masih perlu dipertanyakan
lagi, sebenarnya apakah konstipasi ini benar berperan dalam terjadinya apendisitis.
Banyak pasien-pasien konstipasi kronis yang tidak pernah menderita apendisitis dan
sebaliknya orang –orang yang tidak pernah mengeluh konstipasi mendapatkan
apendisitis. Penggunaan yang berlebihan dan terus menerus dari laksatif pada kasus
konstipasi akan memberikan kerugian karena hal tersebut akan merubah suasana flora
usus dan akan menyebabkan terjadinya keadaan hyperemia usus yang merupakan
permulaan dari proses inflamasi. Bila kebetulan sakit perut yang dialami disebabkan
apendisitis maka pemberiaan purgative akan merangsang peristaltic yang merupakan
predisposisi untuk terjadinya perforasi dan peritonitis.
Radang appendix biasanya disebabkan karena obstruksi lumen yang disertai
dengan infeksi. Appendicitis diklasifikasikan sebagai berikut: (Ellis, 1989)
1.Acute appendicitis tanpa komplikasi. (cataral appendicitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mucosa saja. Appendix
kadang tampak normal, atau hanya hiperemia saja. Bila appendix tersebut dibuka, maka
akan tampak mukosa yang menebal, oedema dan kemerahan. Kondisi ini disebabkan
invasi bakteri dari jaringan limpoid ke dalam dinding appendix. Karena lumen appendix
tak tersumbat. Maka hal ini hanya menyebabkan peradangan biasa.
Bila jaringan limpoid di dinding appendix mengalami oedema, maka akam
mengakibatkan obstruksi lumen appendix, yang akan mempengaruhi feeding sehingga
appendix menjadi gangrena, seterusnya timbul infark. Atau hanya mengalami perforasi
(mikroskopis), dalam hal ini serosa menjadi kasar dan dilapisi eksudat fibrin Post
appendicitis acute, kadang-kadnag terbentuk adesi yang mengakibatkan kinking, dan
kejadian ini bisa membentuk sumbatan pula
2. . Acute appendicitis dengan komplikasi:
- Peritonitis
- Abses atau infiltrat.
Merupakan appendicitis yang berbahaya, karena appendix menjadi lingkaran
tertutup yang berisi “fecal material”, yang telah mengalami dekomposisi. Perbahan
setelah terjadinya sumbatan lumen appendix tergantung daripada isi sumbatan. Bila
lumen appendix kosong, appendix hanya mengalami distensi yang berisi cairan mucus
dan terbentuklah mucocele. Sedangkan bakteria penyebab, biasanya merupakan flora
normal lumen usus berupa aerob (gram + dan atau gram - ) dan anaerob.
Pada saat appendix mengalami obstruksi, terjadi penumpukan sekresi mucus, yang
akan mengakibatkan proliferasi bakteri, sehingga terjadi penekanan pada moukosa
appendix, dikuti dengan masuknya bakteri ke dalam jaringan yang lebih dalam lagi.
Sehingga timbulah proses inflamasi dinding appendix, yang diikuti dengan proses
trombosis pembuluh darah setempat. Karena arteri appendix merupakan end arteri
sehingga menyebabkan daerah distal kekurangan darah, terbentuklah gangrene yang
segera diikuti dengan proses nekrosis dinding appendix.
Dikesempatan lain bakteri mengadakan multiplikasi dan invesi melalui erosi
mukosa, karena tekanan isi lumen, yang berakibat perforasi dinding, sehingga timbul
peritonitis. Proses obstruksi appendix ini merupakan kasus terbanyak untuk
appendicitis. Dua per tiga kasus gangrene appendix, fecalith selalu didapatkan
Bila kondisi penderita baik, maka perforasi tersebut akan dikompensir dengan
proses pembentukan dinding oleh karingan sekitar, misal omentum dan jaringan viscera
lain, terjadilah infiltrat atau (mass), atau proses pultulasi yang mengakibatkan abses
periappendix
Manifestasi Klinis
a. Symptoma.
Gejala utama apendisitis akut adalah nyeri abdominal. Secara klinis nyeri
dimulai difus terpusat di daerah epigatrium bawah atau umbilical , dengan tingkatan
sedang dan menetap, kadang-kadang disertai dengan kram intermiten. Nyeri akan
beralih setelah periode yang bervariasi dari 1 hingga 12 jam, biasanya 4 - 6 jam , nyeri
terletak di kuadran kanan bawah. Anoreksia hampir selalu menyertai apendisitis.
Hal ini begitu konstan sehingga pada pemeriksaan perlu ditanyakan pada pasien.
Vomitus terjadi pada 75% kasus, umumnya hanya satu dua kali. Umumnya ada riwayat
obstipasi sebelum onset nyeri abdominal. Diare terjadi pada beberapa pasien. Urutan
kejadian symptoms mempunyai kemaknaan diagnosis banding yang besar, lebih dari
95% apendisitis akut, anoreksia merupakan gejala pertama, diikuti oleh nyeri abdominal
dan baru diikuti oleh vomitus, bila terjadi.
b. Signa.
Tanda vital tidak berubah banyak. Peninggian temperature jarang lebih dari 1°C,
frekuensi nadi normal atau sedikit meninggi. Adanya perubahan atau peninggian yang
besar berarti telah terjadi komplikasi atau diagnosis lain perlu diperhatikan. Pasien
biasanya lebih menyukai posisi supine dengan paha kanan ditarik ke atas, karena suatu
gerakan akan meningkatkan nyeri. Nyeri kuadran kanan bawah secara klasik ada bila
apendiks yang meradang terletak di anterior. Nyeri tekan sering maksimal pada atau
dekat titik yang oleh McBurney dinyatakan sebagai terletak secara pasti antara 1,5 – 2
inchi dari spina iliaca anterior pada garis lurus yang ditarik dari spina ini ke umbilicus.
Adanya iritasi peritoneal ditunjukkan oleh adanya nyeri lepas tekan dan Rovsing’s sign.
Adanya hiperestesi pada daerah yang diinervasi oleh n. spinalis T10, T11, T12 ,
meskipun bukan penyerta yang konstan adalah sering pada apendisitis akut. Tahan
muskuler terhadap palpasi abdomen sejajar dengan derajat proses peradangan, yang
pada awalnya terjadi secara volunteer seiring dengan peningkatan iritasi peritoneal
terjadi peningkatan spamus otot, sehingga kemudian terjadi secara involunter. Iritasi
muskuler ditunjukkan oleh adanya psoas sign dan obturator sign.
PENYULIT
Menjadi penyulit untuk mendiagnosis appendisitis adalah posisi dari appendik
dalam perut dapat bervariasi. Kebanyakan appendik terdapat di perut kanan bawah.
Appendik seperti bagian lain dari usus, memiliki mesenterium. Mesenterium ini adalah
suatu membran seperti kertas yang melekatkan appendik pada struktur lain di dalam
abdomen. Jika mesenterium lebar, memungkinkan appendik untuk bergerak. Sebagai
tambahan, appendik dapat lebih panjang dari normal. Kombinasi dari mesenterium yang
lebar dan appendik yang panjang memungkinkan appendik untuk bergerak ke bawah ke
dalam pelvis (diantara organ-organ pelvis pada wanita). Ini juga memungkinkan
appendik untuk berpindah ke belakang kolon (disebut appendik retrokolika). Pada kasus
lain, inflamasi pada appendik dapat tampak sebagai inflamasi pada organ lain, sebagai
contoh, organ-organ pelvis pada wanita.
Diagnosis
1.Anamnesis: berdasarkan gejala klinik. Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang
khas, yang terdiri dari : Mual, muntah dan nyeri yang hebat di perut kanan bagian
bawah. Nyeri bisa secara mendadak dimulai di perut sebelah atas atau di sekitar pusar,
lalu timbul mual dan muntah. Setelah beberapa jam, rasa mual hilang dan nyeri
berpindah ke perut kanan bagian bawah. Jika dokter menekan daerah ini, penderita
merasakan nyeri tumpul dan jika penekanan ini dilepaskan, nyeri bisa bertambah tajam.
Demam bisa mencapai 37,8-38,8° Celsius.
Pada bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh, di semua bagian perut.
Pada orang tua dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat dan di daerah ini nyeri
tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila usus buntu pecah, nyeri dan demam bisa menjadi
berat. Infeksi yang bertambah buruk bisa menyebabkan syok. (Anonim, Apendisitis,
2007) Gejala apendisitis ditegakkan dengan anamnese, ada 4 hal yang penting adalah:
Nyeri mula-mula di epigastrium (nyeri viseral) yang beberapa waktu kemudian menjalar
ke perut kanan bawah. Muntah oleh karena nyeri viseral. Panas (karena kuman yang
menetap di dinding usus). Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan,
penderita nampak sakit, menghindarkan pergerakan, di perut terasa nyeri.
2. Pemeriksaan fisik, Pada pemeriksaan fisik di dapatkan :
Nyeri ketok (+), nyeri tekan (+) nyeri lepas (+) pada titik Mc Burney
Defans Muskular (+)
Rovsing Sign (+) : nyeri kanan bawah pada penekanan abdomen bagian kiti
karena adanya udara dalam rongga abdomen.
Blumberg Sign (+) : nyeri kanan bawah bila tekanan sebelah kiri dilepaskan.
Psoas Sign (+)
Rectal Touche : nyeri teklan pada jam 9-12
Jika sudah terjadi perforasi, nyeri akan terjadi pada seluruh perut, tetapi paling terasa
nyeri pada daerah titik Mc. Burney. Jika sudah infiltrat, lokal infeksi juga terjadi jika
orang dapat menahan sakit, dan kita akan merasakan seperti ada tumor di titik Mc.
Burney.
Test rektal.
Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa
nyeri pada daerah prolitotomi. Pemeriksaan laboratorium Leukosit meningkat sebagai
respon fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap mikroorganisme yang menyerang.
Pada apendisitis akut dan perforasi akan terjadi lekositosis yang lebih tinggi lagi. Hb
(hemoglobin) nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan
apendisitis infiltrat. Urine rutin penting untuk melihat apa ada infeksi pada ginjal.
Pemeriksaan radiologi Pada foto tidak dapat menolong untuk menegakkan diagnosa
apendisitis akut, kecuali bila terjadi peritonitis, tapi kadang kala dapat ditemukan
gambaran sebagai berikut: Adanya sedikit fluid level disebabkan karena adanya udara
dan cairan. Kadang ada fecolit (sumbatan). Pada keadaan perforasi ditemukan adanya
udara bebas dalam diafragma.
MANTRELS score
M = migration of pain to the RLQ 1
A = anorexia 1
N = nausea and vomiting 1
T = tenderness in RLQ 2
R = rebound pain 1
E = elevated temperature 1
L = leukocytosis 2
S = shift of WBC to the left 1
Total 10
Source.—Alvarado, 1986.
Penilaian MANTRELS score :
skor 7 atau lebih : operasi
Skor 5 – 6 : observasi
membantu dalam memilih manakah pasien yang perlu mendapatkan
pemeriksaan imaging.
ALVARADO SCORE
Appendicitis Point Pain 2
Leucositosis (>10.000/mm3) 2
Vomitus/Nausea 1
Anorexia 1
Rebound Tenderness Phenomen 1
Abdominal Migrate Pain 1
Degree of Celcius (>37,3 ْ C) 1
Observation of Hemogram (segmen >75%)
Penilaian:
1 >8 : Acute Appendicitis
5 – 7 : Suspect Acute Appendicitis
AU <5 : Not Acute Appendicitis
3. Pemeriksaan Penunjang
A. Laboratorium:
Angka leukosit
Hitung jenis leukosit
Urinalisa
PP test
CRP
Pada apendiksitis:
80-85% pasien apendiksitis akut dewasa AL > 10.000 sel/mmk.
Neutrofilia > 75% terjadi pada 78% pasien.
< 4% pasien apendiksitis AL < 10.000 sel/mmk dan neutrofilia kurang dari 75%
Pada pasien tua, peningkatan segmen > 6% telah memiliki predictive value yang
tinggi untuk apendiksitis.
B. Radiologi
- Ultrasonogram showing longitudinal section (arrows) of inflamed appendix.
- Computed tomographic scan showing cross-section of inflamed appendix (A) with
appendicolith (a).
- Computed tomographic scan showing enlarged and inflamed appendix (A)
extending from the cecum (C).
- laparoskopi
Penatalaksanaan
1. Operasi Sito : untuk appendisitis akut, abses dan perforasi
2. Operasi Elektif : untuk appendisitis kronik.
3. Konservatif
- Bed rest total posisi Fowler
- Diet rendah serat
- Antibiotik spektrum luas.
1. Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif dengan ditandai dengan :
a.Keadaan umum klien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi
b.Pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas terdapat tanda-
tanda peritonitis
c. Laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat pergeseran ke
kiri. Sebaiknya dilakukan tindakan pembedahan segera setelah klien dipersiapkan,
karena dikuatirkan akan terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan
pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tiggi
daripada pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi.
2. Massa apendiks dengan proses radang yang telah mereda ditandai dengan :
a.Umumnya klien berusia 5 tahun atau lebih.
b Keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu tubuh tidak tinggi
lagi.
c. Pemeriksaan lokal abdomen tanang, tidak terdapat tanda-tanda peritonitis dan hanya
teraba massa dengan jelas dan nyeri tekan ringan.
d. Laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal.
Tindakan yang dilakukan sebainya konservati dengan pemberian antibiotik dan
istirahat di tempat tidur. Tindakan bedah apabila dilakukan lebih sulit dan perdarahan
lebih banyak, lebih-lebih bila massa apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu
sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi
abses dengan atau tanpa peritonitis umum.
Pembedahan
Pembedahan dikerjakan bila rehidrasi dan usaha penurunan suhu tubuh telah tercapai.
Suhu tubuh tidak melebihi 38oC, produksi urin berkisar 1-2 ml/kg/jam. nadi di bawah
120/menit.
Teknik pembedahan
Insisi transversal di sebelah kanan sedikit di bawah umbilicus. Sayatan Fowler
Weier lebih dipilih, karena cepat dapat mencapai rongga abdomen dan bila diperlukan
sayatan dapat diperlebar ke medial dengan memotong fasi dan otot rectum.
Sebelum membuka peritoneum tepi sayatan diamankan dengan kasa. Membuka
peritoneum sedikit dahulu dan alat hisap telah disiapkan sedemikian rupa hingga nanah
dapat langsung terisap tanpa kontaminasi ke tepi sayatan. Sayatan peritoneum
diperlebar dan penghisapan nanah diteruskan. Apendektomi dikerjakan seperti biasa.
Pencucian rongga peitonium mutlak dikerjakan dengan larutan NaCl fisiologis sampai
benar-benar bersih.
Cairan yang dimasukkan terlihat jerih sewaktu dihisap kembali. Pengumpulan
nanah biasa ditemukan di fosa apendiks, rongga pelvis, di bawah diafragma dan diantara
usus-usus. Luka sayatan dicuci dengan larutan NaCl fisiologis juga setelah peritonium
dan lapisan fasia yang menempel peritonium dan sebagian otot dijahit. Penjahitan luka
sayatan jangan dilakukan terlalu kuat dan rapat. Pemasangan dren intraperitoneal masih
merupakan kontroversi. Bila pencucian rongga peritonium benar-benar bersih dren tidak
diperlukan. Lebih baik dicuci bersih tanpa dren daripada dicuci kurang bersih dipasang
dren.
Catatan
Infiltrat radang apendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oelh omentum dan usus-
usus dan peritonium di sekitarnya sehingga membentuk massa (appendiceal mass).
Umumnya massa apendiks terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan dimulai apabila
tidak terjadi peritonitis umum. Massa apendiks lebih sering dijumpai pada pasien
berumur 5 tahun atau lebih; daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik dan
omentum telah cukup panjang dan tebal untuk membungkus proses radang.
Terapi
Apendisitis perforasi
Persiapan prabedah : Pemasangan sonde lambung dan tindakan dekompresi. Rehidrasi.
penurunan suhu tubuh. Antibiotic dengan spectrum luas, dosis cukup, diberikan secara
intravena.
Apendisitis dengan penyulit peritonitis umum
Umumnya klien dalam kondisi buruk. Tampak septis dan dalam kondisi hipovolemik
serta hipertensi. Hipovolemik akibat puasa lama, muntah dan pemusatan cairan di
daerah proses radang, seperti udem organ intraperitoneal, dinding abdomen dan
pengumpulan cairan dalam rongga usus dan rongga peritoneal.
Persiapan prabedah:
1.Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi
2.Pemasangan kateter untuk control produksi urin.
3.Rehidrasi
4.Antibiotic dengan spectrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara intravena.
5.Obat-obatan penurun panas, phenergan sebagai anti menggigil, largaktil untuk
membuka pembuluh – pembuluh darah perifer diberikan setelah rehidrasi tercapai.
Bila dari hasil diagnosis positif apendksitis akut, maka tindakan yang paling
tepat adalah segera dilakukan apendiktomi. Apendektomi dapat dilakukan dalam dua
cara, yaitu cara terbuka dan cara laparoskopi. Apabilaapendiksitis baru diketahui setelah
terbentuk massa periapendikuler, maka tindakan yang pertama kali harus dilakukan
adalah pemberian/terapi antibiotik kombinasi terhadap penderita. Antibiotik ini
merupakan antibiotik yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Setelah gejala
membaik, yaitu sekitar 6-8 minggu, barulah apendektomi dapat dilakukan. Jika gejala
berlanjut, yang ditandai dengan terbentuknya abses, maka dianjurkan melakukan
drainase dan sekitar 6-8 minggu kemudian dilakukan apendisektomi. Namun, apabila
ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun dan pemeriksaan klinis serta pemeriksaan
laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses setelah dilakukan terapi
antibiotik, maka dapat dipertimbangkan untuk membatalkan tindakan bedah.
Penatalaksanaan pasien dengan apendisitis akut meliputi terapi medis dan terapi
bedah. Terapi medis terutama diberikan pada pasien yang tidak mempunyai akses ke
pelayanan bedah, dimana pada pasien diberikan antibiotik. Namun sebuah penelitian
prospektif menemukan bahwa dapat terjadi apendisitis rekuren dalam beberapa bulan
kemudian pada pasien yang diberi terapi medis saja. Selain itu terapi medis juga
berguna pada pasien apendisitis yang mempunyai risiko operasi yang tinggi. Namun
pada kasus apendisitis perforasi, terapi medis diberikan sebagai terapi awal berupa
antibiotik dan drainase melalui CT-scan pada absesnya. The Surgical Infection Society
menganjurkan pemberian antibiotik profilaks sebelum pembedahan dengan
menggunakan antibiotik spektrum luas kurang dari 24 jam untuk apendisitis non
perforasi dan kurang dari 5 jam untuk apendisitis perforasi.
Penggantian cairan dan elektrolit, mengontrol sepsis, antibiotik sistemik adalah
pengobatan pertama yang utama pada peritonitis difus termasuk akibat apendisitis
dengan perforasi.
1. cairan
intravena ; cairan yang secara massive ke rongga peritonium harus di ganti
segera dengan cairan intravena, jika terbukti terjadi toxix sistemik, atau pasien
tua atau kesehatan yang buruk harus dipasang pengukur tekanan vena central.
Balance cairan harus diperhatikan. Cairan atau berupa ringer laktat harus di
infus secara cepat untuk mengkoreksi hipovolemia dan mengembalikan tekanan
darah serta pengeluaran urin pada level yang baik. Darah di berikan bila
mengalami anemia dan atau dengan perdarahan secara bersamaan.
2. antibiotik
: pemberian antibiotik intraven diberikan untuk antisipasi bakteri patogen ,
antibiotik initial diberikan termasuk generasi ke 3 cephalosporins, ampicillin
sulbaktam, dan lain-lain, dan metronidazol atau klindanisin untuk kuman anaerob.
Pemberian antibiotik postops harus di ubeah berdasarkan kulture dan
sensitivitas. Antibiotik tetap diberikan sampai pasien tidak demam dengan
normal leukosit.
Setelah memperbaiki keadaan umum dengan infus, antibiotik serta pemasangan
pipa nasogastrik perlu di lakukan pembedahan sebagai terapi definitif dari
appendisitist perforasi.
Perlu dilakukan insisi yang panjang supaya mudah dilakukan pencucian rongga
peritonium untuk mengangkat material seperti darah, fibrin serta dilusi dari
bakteria. Pencucian cukup dengan larutan kristaloid isotonis yang hangat,
penambahan antiseptik dan antibiotik untuk irigasi cenderung tidak berguna
bahkan malah berbahaya karena menimbulkan adhesive (misal tetrasiklin atau
provine iodine), anti biotik yang diberikan secara parenteral dapat mencapai
rongga peritonium dalam kadar bakterisid. Tapi ada juga ahli yang berpendapat bahwa
dengan penambahan tetrasiklin 1 mg dalam 1 ml larutan garam dapat
mengendalikan sepsis dan bisul residual, pada kadar ini antibiotik bersifat
bakterisid terhadap kebanyakan organisme. Walaupun sedikit membuat kerusakan
pada permungkaan peritonial tapi tidak ada bukti bahwa menimbulkan resiko
perlengketan. Tapi zat lain seperti iodine tidak populer. Setelah pencucian
seluruh cairan di rongga peritonium seluruh cairan harus diaspirasi.
Terapi bedah meliputi apendiktomi dan laparoskopik
apendiktomi. Apendiktomi terbuka merupakan operasi klasik pengangkatan
apendiks. Mencakup Mc Burney, Rocke-Davis atau Fowler-Weir insisi. Dilakukan
diseksi melalui oblique eksterna, oblique interna dan transversal untuk membuat
suatu muscle spreading atau muscle splitting, setelah masuk ke peritoneum
apendiks dikeluarkan ke lapangan operasi, diklem, diligasi dan dipotong. Mukosa
yang terkena dicauter untuk mengurangi perdarahan, beberapa orang melakukan
inversi pada ujungnya, kemudian sekum dikembalikan ke dalam perut dan insisi
ditutup.
Laparoskopik apendiktomi mulai diperkenalkan pada tahun 1987, dan telah
sukses dilalukan pada 90-94% kasus apendisitis dan 90% kasus apendisitis perforasi.
Saat ini laparoskopik apendiktomi lebih disukai. Prosedurnya, port placement terdiri
dari pertama menempatkan port kamera di daerah umbilikus,
kemudian melihat langsung ke dalam melalui 2 buah port yang berukuran 5 mm. Ada
beberapa pilihan operasi, pertama apakah 1 port diletakkan di kuadran kanan bawah dan
yang lainnya di kuadran kiri bawah atau keduanya diletakkan di kuadran kiri bawah.
Sekum dan apendiks kemudian dipindahkan dari lateral ke medial. Berbagai macam
metode tersedia untuk pengangkatan apendiks, seperti dectrocauter,
endoloops, stapling devices. Mengenai pemilihan metode tergantung pada ahli
bedahnya. Apendiks kemudian diangkat dari abdomen menggunakan sebuah endobag.
Laparoskopik apendiktomi mempunyai beberapa keuntungan antara lain bekas
operasinya lebih bagus dari segi kosmetik dan mengurangi infeksi pascabedah.
Beberapa penelitian juga menemukan bahwa laparoskopik apendiktomi juga
mempersingkat masa rawatan di rumah sakit. Kerugian laparoskopik apendiktomi antara
lain mahal dari segi biaya dan juga pengerjaannya yang lebih lama, sekitar 20 menit
lebih lama dari apendiktomi terbuka. Namun lama pengerjaanya dapat dipersingkat
dengan peningkatan pengalaman. Kontraindikasi laparoskopik apendiktomi adalah pada
pasien dengan perlengketan intra-abdomen yang signifikan.
Komplikasi
Komplikasi
yang sering ditemukan adalah infeksi, perforasi, abses intra abdominal/pelvis,
sepsis, syok, dehisensi. Perforasi yang ditemukan baik perforasi bebas maupaun
perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan, sehingga membentuk
massa yang terdiri dari kumpulan apendiks, sekum dan keluk usus.
Prognosis
Bila ditangani dengan baik, prognosis apendiks adalah baik. Secara umum angka
kematian pasien apendiks akut adalah 0,2-0,8%, yang lebih berhubungan dengan
komplikasi penyakitnya daripada akibat intervensi tindakan.