Apa pun pilihannya bukan yang terbaik bagi wps

9
Briefing Paper Desember 2011 KRIMINALISASI, DEKRIMINALISASI DAN LEGALISASI APA PUN PILIHANNYA, BUKAN YANG ‘TERBAIK’ UNTUK PEREMPUAN PEKERJA SEKS 1. Status Hukum Dan Sosial Ekonomi Prostitusi 1.1 Sikap terhadap Pelacuran Secara umum, sikap yang berkaitan dengan prostitusi adalah : Pelacuran harus dihapuskan : prohibitionism (baik pelacur dan klien kejahatan dan dipandang sebagai tidak bermoral, mereka dianggap kriminal): sikap yang berlaku hampir di manamana di Amerika Serikat, kecuali di beberapa wilayah di negara bagian Nevada. abolitionism (prostitusi tidak dilarang, tetapi kegiatan yang berkaitan dengan prostitusi dianggap illegal). Upaya yang dilakukan lebih mengutamakan agar prostitusi sulit terjadi dan prostitusi dianggap merupakan masalah sosial. Prostitusi (pertukaran layanan seks untuk uang) adalah legal, namun kegiatan sosial yang berkaitan dengan prostitusi yang dilarang, misalnya bujukan, menyediakan sarana prostitusi seperti menyediakan tempat (rumah bordil) ataupun menjadi mucikari dilarang. kondisi ini ditemukan antara lain di Inggris, Perancis dan Kanada. neoabolitionism : prostitusi adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia , karena klien pelacur mengeksploitasi pelacur. Pelacur tidak dituntut. namun klien mereka dan mucikari yang dipidana. Kondisi ini ditemukan antara lain di Swedia , Norwegia dan Islandia (di Norwegia hukum bahkan lebih ketat, melarang juga berhubungan seks dengan pelacur di luar negeri). Pelacuran harus ditoleransi oleh masyarakat legalisasi : prostitusi dianggap sebagai bisnis yang sah, prostitusi dan tenaga kerja dari pelacur adalah legal dan memiliki regulasi. Kondisi ini ditemukan antara lain di Belanda, Jerman, beberapa daerah di Australia dan Negara bagian Nevada. Tingkat peraturan sangat bervariasi, misalnya di Belanda pelacur tidak diharuskan untuk menjalani pemeriksaan kesehatan, sementara di Nevada peraturan sangat ketat dekriminalisasi : prostitusi sama dengan tenaga kerja yang lain. Industri Seks tidak harus tunduk pada peraturan khusus atau hukum. Kondisi ini ditemukan di Selandia Baru . Aturan hukum terhadap tempat pelacuran, mucikari dan pelacur jalanan ditiadakan, namun kegiatan prostitusi juga tidak diatur sama sekali. Para pendukung pandangan ini menilai bahwa dari peraturan pemerintah yang melegalisasi prostitusi berdampak pada merendahkan dan kekerasan terhadap pekerja seks. Namun, kriminalisasi juga sangat merugikan pekerja seks. (Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Prostitution )

description

 

Transcript of Apa pun pilihannya bukan yang terbaik bagi wps

Page 1: Apa pun pilihannya bukan yang terbaik bagi wps

Briefing Paper  Desember 2011 

  

KRIMINALISASI, DEKRIMINALISASI DAN LEGALISASI APA PUN PILIHANNYA, BUKAN YANG ‘TERBAIK’ 

UNTUK PEREMPUAN PEKERJA SEKS  

 1. Status Hukum Dan Sosial Ekonomi Prostitusi  1.1 Sikap terhadap Pelacuran Secara umum, sikap yang berkaitan dengan prostitusi adalah :  Pelacuran harus dihapuskan :  prohibitionism  (baik  pelacur  dan  klien  kejahatan  dan  dipandang  sebagai  tidak 

bermoral, mereka dianggap kriminal): sikap yang berlaku hampir di mana‐mana di Amerika Serikat, kecuali di beberapa wilayah di negara bagian Nevada.  

abolitionism  (prostitusi  tidak  dilarang,  tetapi  kegiatan  yang  berkaitan  dengan prostitusi  dianggap  illegal).    Upaya  yang  dilakukan  lebih mengutamakan  agar prostitusi  sulit  terjadi  dan  prostitusi  dianggap  merupakan  masalah  sosial. Prostitusi  (pertukaran  layanan  seks  untuk  uang)  adalah  legal,  namun  kegiatan sosial  yang  berkaitan  dengan  prostitusi  yang  dilarang,  misalnya  bujukan, menyediakan  sarana  prostitusi  seperti  menyediakan  tempat  (rumah  bordil) ataupun menjadi mucikari dilarang. kondisi  ini ditemukan antara  lain di  Inggris, Perancis dan Kanada. 

neo‐abolitionism : prostitusi adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia , karena klien pelacur mengeksploitasi pelacur. Pelacur tidak dituntut. namun klien mereka dan mucikari yang dipidana. Kondisi ini ditemukan antara lain  di Swedia , Norwegia dan Islandia (di Norwegia hukum bahkan  lebih ketat, melarang  juga berhubungan seks dengan pelacur di luar negeri).  

Pelacuran harus ditoleransi oleh masyarakat  legalisasi  :  prostitusi  dianggap  sebagai  bisnis  yang  sah,  prostitusi  dan  tenaga 

kerja dari pelacur adalah legal dan memiliki regulasi. Kondisi ini ditemukan antara lain    di  Belanda,  Jerman,  beberapa  daerah  di  Australia  dan  Negara  bagian Nevada. Tingkat peraturan  sangat bervariasi, misalnya di Belanda pelacur  tidak diharuskan  untuk  menjalani  pemeriksaan  kesehatan,  sementara  di  Nevada peraturan sangat ketat 

dekriminalisasi  :  prostitusi  sama  dengan  tenaga  kerja  yang  lain.  Industri  Seks tidak harus tunduk pada peraturan khusus atau hukum. Kondisi ini ditemukan di Selandia Baru.   Aturan hukum terhadap tempat pelacuran, mucikari dan pelacur jalanan ditiadakan, namun kegiatan prostitusi juga tidak diatur sama sekali. Para pendukung  pandangan  ini  menilai  bahwa  dari  peraturan  pemerintah  yang melegalisasi  prostitusi berdampak  pada merendahkan  dan  kekerasan  terhadap pekerja seks. Namun, kriminalisasi juga sangat merugikan pekerja seks. 

 (Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Prostitution) 

Page 2: Apa pun pilihannya bukan yang terbaik bagi wps

Page 2 of 9 

1.2 Hukum berkaitan dengan Pelacuran 

Posisi  hukum  berkaitan dengan prostitusi  sangat  bervariasi di  seluruh dunia,  yang mencerminkan  perbedaan  pendapat  tentang    menjadi  korban  dan  ekploitasi, ketidakadilan,  peran  gender,  kesetaraan  gender,  etika  dan  moralitas,  kebebasan memilih, norma‐norma sosial, dan biaya dan manfaat sosial.   

Secara  umum,  hukum  yang  diterapkan  mengacu  pada  4  (empat)  asumsi  dasar  : menjadi korban (termasuk sebagai korban potensial), etika dan moralitas, kebebasan memilih,  dan manfaat  umum  atau merugikan masyarakat  (termasuk  bahaya  yang timbul dari hal‐hal yang tidak berkaitan langsung dengan  prostitusi).  

Pelacuran  dapat  dianggap  sebagai bentuk  eksploitasi  (misalnya  Swedia, Norwegia, Islandia,  di mana  adalah  ilegal  untuk membeli  layanan  seksual,  tetapi  tidak  untuk menjual mereka  ‐ klien melakukan kejahatan,  tetapi  tidak pelacur), pekerjaan yang sah  (misalnya,  Belanda,  Jerman  ,  di mana  pelacuran  diatur  sebagai  profesi)  atau kejahatan (misalnya, banyak muslim negara, di mana pelacur menghadapi hukuman berat).  

Status hukuman  terhadap pelacur bervariasi dari  satu negara ke negara, dari yang legal  dan  dianggap  sebagai  profesi  sampai  hukuman  mati.  Beberapa  yurisdiksi melarang  tindakan  prostitusi  (pertukaran  layanan  seks  untuk  uang),  sedangkan negara  lain  tidak  melarang  prostitusi  sendiri,  namun  larangan  kegiatan  biasanya terkait dengan  itu (‘menjaja diri’ di tempat umum, menyediakan tempat pelacuran, mucikari dll), untuk menghambat perkembangan prostitusi, sedangkan di beberapa negara prostitusi adalah legal dan diatur.  

Pada 1949, Majelis Umum mengadopsi konvensi yang menyatakan bahwa "prostitusi dan kejahatan yang menyertai lalu lintas manusia untuk tujuan prostitusi tidak sesuai dengan  martabat  dan  nilai  pribadi  manusia",  mengharuskan  semua  pihak menandatangani untuk menghukum mucikari dan pemilik bordil dan operator dan untuk  menghapuskan  semua  perlakuan  khusus  atau  pendaftaran  pelacur.  Pada Januari 2009, konvensi diratifikasi oleh 95 negara anggota termasuk Peracis, Spanyol, Italia,  Denmark,  dan  tidak  diratifikasi  oleh  97  negara  lainnya  anggota  termasuk Jerman, Belanda, Inggris dan Amerika Serikat.   (Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Prostitution)           

Page 3: Apa pun pilihannya bukan yang terbaik bagi wps

Page 3 of 9 

2 Status Hukum dan Sosial Budaya Pelacuran di Indonesia  Dalam Tools  for Policy  Impact  : A Handbook  for Researchers, salah satu  instrument yang ditawarkan untuk melakukan kajian kebijakan adalah Triangle Analysis. Triangle Analysis  merupakan  sebuah  metode  yang  digunakan  untuk  menganalisa  dan menemukan  jawaban  atas masalah  yang  berkaitan  denan  struktur,  konten  (baca kebijakan) dan budaya yang terdapat dalam suatu sistem kebijakan.  Metode  ini  dapat  digunakan  untuk,  pertama,  untuk  menganalisia  bagaimana kombinasi  dari  kebijakan,  institusi  dan  nilai‐nilai  sosial  dan  perilaku  berkontribusi atau  melanggengkan  suatu  masalah  (atau  isu  tertentu).  Kedua,  kerangka  ini digunakan  untuk  memetakan  dan  menjelaskan  pilihan  strategi  untuk  mengatasi masing‐masing masalah dari tiga dimensi tersebut.      

          

Konten  (content)  mengacu  pada  hukum  tertulis,  kebijakan  dan  anggaran  yang relevan  dengan  isu‐isu  spesifik.  Sebagai  contoh,  jika  tidak  ada  hukum  untuk mengkriminalisasi  kekerasan  dalam  rumah  tangga,  salah  satu  bagian  dari  solusi mungkin  memperkenalkan  hukum.  Termasuk,  aturan  hukum  atau  kebijakan  ada, namun  tidak ada anggaran dan mekanisme kelembagaan untuk penegakan hukum, berarti hukum dan kebijakan tidak akan efektif.  Struktur  (structure)  mengacu  pada  mekanisme  negara  dan  non‐negara  untuk menerapkan hukum atau kebijakan. Misalnya, polisi, pengadilan, rumah sakit, credit union, kementerian. Struktur  juga dapat mengacu pada  institusi dan program yang dijalankan  oleh  pemerintah,  LSM  atau  bisnis  di  tingkat  lokal,  nasional  dan internasional.  Budaya (culture) mengacu pada nilai‐nilai dan perilaku yang membentuk bagaimana orang menangani dan memahami masalah. Nilai‐nilai dan perilaku yang dipengaruhi, antara  lain,  oleh  agama,  adat,  kelas,  gender,  etnis  dan  usia.  Kurangnya  informasi mengenai  hukum  dan  kebijakan  termasuk  bagian  dari  dimensi  budaya.  Demikian pula, ketika orang  telah menginternalisasi merasa  tidak berharga atau,  sebaliknya. Hal  ini berkaitan dengan sikap yang berkaitan dengan derajat manfaat dari undang‐undang dan kebijakan yang ada. 

STRUCTUR CONTENT

CULTURE

Legal‐Political System 

Page 4: Apa pun pilihannya bukan yang terbaik bagi wps

Page 4 of 9 

 Mari kita coba menelaah masalah pelacuran di Indonesia dengan menggunakan triangle analysis.  a. Konten Dari dimensi hukum tertulis yang ada, sikap  Negara  Indonesia  terhadap pelacuran  mencerminkan  sikap abolitionism (prostitusi tidak dilarang, tetapi kegiatan yang berkaitan dengan prostitusi dianggap illegal). Hal ini terlihat pada :  KUHP (lihat box)   UU  No  7/1984  tentang 

penghapusan  Segala  Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, pasal 6  “ Aparat Negara  akan mengambil semua  tindakan  yang  tepat termasuk,  perundang‐undangan, untuk  menekan  semua  bentuk perdagangan  perempuan  dan eksploitasi  pekerja  seks perempuan”  

UU  No  23/2002  tentang Perlindungan Anak (pasal 59, pasal 66) 

UU  No  23/2004  tentang Penghapusan  Kekerasan  Dalam Rumah Tangga  

UU  No  39/2004  tentang Perlindungan  Penempatan  Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. 

UU  No  21/2007  tentang Pemberantasan  Tindak  Pidana Perdagangan Orang. 

 Sudirman Saad dalam buku Penegakan hukum,  pelacuran  dan  HIV/AIDS (2004),  menyebutkan  “  KUHP  tidak secara  tegas  mengatur  bisnis pelacuran,  bahkan  tidak  ada  satu pasal pun yang secara tegas melarang perempuan  terlibat  dalam  bisnis pelacuran.  Hukum  pidana  hanya melarang  mereka  yang  membantu 

Kitab Undang‐Undang Hukum Pidana (KUHP)  Pasal 285  : Barangsiapa bersetubuh dengan seorang 

wanita  diluar  perkawinan,  pada  diketahui  atau sepatutnya harus diduganya bahwa usia umur belum lima  belas  tahun,  diancam  dengan  pidana  penjara paling lama sembilan tahun 

Pasal  289  :  Barangsiapa  dengan  kekerasan  atau ancaman  kekerasan  memaksa  seseorang  untuk melakukan  atau  membiarkan  dilakukan  perbuatan cabul,  diancam  karena  melakukan  perbuatan  yang menyerang  kehormatan  kesusilaan,  dengan  pidana penjara paling lama 9 tahun. 

Pasal  290,  Ayat  2  :  Barangsiapa  melakukan perbuatan  cabul  dengan  seseorang,  padahal diketahuinya  atau  sepatutnya  harus  diduganya, bahwa  umurnya  belum  lima  belas  tahun,  diancam pidana penjara paling lama tujuh tahun. 

Pasal 290, ayat 3 : Barangsiapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau  sepatutnya harus diduganya bahwa  umurnya  belum  lima  belas  tahun,  untuk melakukan  atau  membiarkan  dilakukan  perbuatan cabul,  atau  bersetubuh  diluar  perkawinan  dengan orang lain. 

Pasal 292: Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul  dengan  orang  lain  sesama  kelamin,  yang diketahuinya  atau  sepatutnya  harus  diduganya belum dewasa, diancam penjara paling lama 5 tahun. 

Pasal  293:  Barangsiapa  dengan  memberi  atau menjanjikan  uang  atau  barang,  menyalahgunakan pembawa  yang  timbul  dari  hubungan  keadaan (kekuasaan),  atau  dengan  penyesatan  sengaja menggerakkan  seseorang  belum  cukup  umur  dan baik  tingkah  lakunya,  untuk  melakukan  atau membiarkan dilakukan perbuatan  cabul dengan dia, padahal tentang belum cukup umurnya  itu diketahui atau  selayaknya  harus  diduga,  diancam  pidana penjara paling lama lima tahun. 

Pasal  296  :  Barangsiapa  dengan  sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh  orang  lain  dengan  orang  lain,  dan menjanjikannya  sebagai  pencarian  atau  kebiasaan, diancam  dengan  pidana  penjara  paling  lama  satu tahun empat bulan atau dengan paling banyak seribu rupiah. 

Pasal  297  :  Perdagangan  wanita  dan  perdagangan anak  laki‐laki  yang  belum  cukup  umur,  diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. 

Pasal  506:  Barangsiapa  menarik  keuntungan  dari perbuatan  cabul  seorang  wanita  dan  menjadikan sebagai pencarian, diancam dengan kurungan paling lama satu tahun. 

Page 5: Apa pun pilihannya bukan yang terbaik bagi wps

Page 5 of 9 

dan menyediakan  pelayanan  seks  secara  illegal  sebagaimana  diatur  dalam  pasal 296,  297  dan  506.  Artinya  larangan  hanya  diberikan  kepada  mereka  yang mempermudah  terjadinya  hubungan  seks  dan  menjadikannya  sebagai  mata pencaharian, yaitu mucikari dan germo. Karena KUHP  tidak secara  tegas melarang bisnis  pelacuran,terhadap  pekerja  seks  tidak  cukup  landasan  hukum  untuk memperkarakannya di pengadilan.  Ketentuan  hukum  pidana  yang  dipakai  untuk  menjerat  para  pekerja  seks  di pengadilan  adalah  pasal‐pasal  KUHP  yang  berkaitan  dengan  kesusilaan  (BAB  XIV Buku II) dan pelanggaran kesusilaan (BAB VI Buku III). Selain  itu,  perempuan  pekerja  seks  dijerat  dengan  tuduhan melanggar  ketertiban umum sebagaimana yang diatur dalam pasal 503 ayat (1) dan  pasal 505.  KUHP, Pasal 503, ayat (1) Diancam dengan pidana kurungan paling  lama  tiga hari atau denda paling banyak dua  raus dua puluh  lima  rupiah, barangsiapa membikin hingar atau  riuh  sehingga ketentraman malam hari dapat terganggu.  KUHP, Pasal 505 

(1) Barangsiapa  bergelandangan  tanpa  pencaharian,  diancam  melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan. 

(2) Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau  lebih, yang berumur diatas  enam  belas  tahun  diancam  pidana  kurungan  paling  lama  enam bulan. 

 Pasal  503  dan  505  KUHP  hanya  ditujukan  terhadap  seseorang  yang  melakukan pelanggaran  ketertiban  umum. Akan  tetapi pasal  inilah  yang  sering dipakai untuk menjerat  para  pekerja  seks  yang  beroperasi  di  jalan  atau  tempat‐tempat  umum, namun  tidak untuk  lak‐laki  yang menjadi  konsumennya. Pasal‐pasal  ini  lemah dan sanksi hukum yang diberikan  juga sangat  ringan, dan sering disebut dengan  istilah tipiring (tindak pidana ringan).  b. Struktur  Dari  telaah  hukum  tertulis  (perundangan  yang  ada),  semua  pasal  memuat perlindungan terhadap perempuan yang terekploitasi secara seksual. Namun fakta di lapangan, seringkali dalam razia yang dilakukan pihak yang berwenang, yang menjadi korban  penangkapan  adalah  perempuan  pekerja  seks.  Bukannya  germo, mucikari apalagi pelanggan yang secara peraturan mereka  lah yang  layak dipidanakan sesuai dengan perundangan yang berlaku. 

Bahkan acapkali dalam razia‐razia yang dilakukan, pekerja seks mengalami ekploitasi seksual oleh oknum aparat yang melakukan  razia. Situasi  ini berkaitan erat dengan dimensi budaya (culture) di  Indonesia yang masih menempatkan perempuan dalam konteks masyarakat patriakis bahwa perempuan tak lebih dari sebagai pemuas nafsu laki‐laki dan alat untuk melanjutkan keturunan. 

Perlakuan aparat yang merazia berkaitan erat dengan bias jender. 

Page 6: Apa pun pilihannya bukan yang terbaik bagi wps

Page 6 of 9 

c. Budaya (Culture)  Koentjoro, dalam buku “on the spot Tutur  dari  Sarang  Pelacur  (2004), memuat  beberapa  pandangan terhadap pelacuran :  Para  feminis  berpandangan 

bahwa  pelacuran  berhubungan dengan posisi perempuan dalam masyarakat  patriakal  dan kapitalis.  Pelacuran merupakan akibat  buruk  dari  sistem patriakal.  Ketidakadilan  dan ketimpangan  gender  sebagai penyebab  perempuan  menjadi pelacur (Carpenter, 1994) 

Pihak  gereja  berpendapat bahwa seks di luar nikah adalah immoral  dan  perempuan pekerja  seks  adalah  manusia bermoral  rendah.  Alasan  ini yang  memunculkan  standar ganda  dan  memposisikan pelacur  sebagai  pihak  yang bersalah,  sementara  pelanggan atau  masyarakat  tidak dipersalahkan  (Van  Der  Gaag, 1994) 

Perjuangan  kaum  feminis  dari sudut  pandang  dekriminalisasi pada  tahun  1975,  bahwa perempuan memiliki  hak  untuk menentukan  pilihan sebagaimana dalam bidang ekonomi,  sosial dan politik. Perempuan memiliki hak menentukan dirinya sendiri. Perempuan berhak menjadi pelacur dan bebas sebagaimana manusia dewasa pada saat tertentu  ingin melakukan hubungan seks sementara atau kenikmatan seksual untuk uang tanpa adanya komitmen. Setiap  orang  dapat  menjual  tubuhnya  dengan  berbagai  cara,  begitu  pula dengan pelacur yang memilih menjual vaginanya (Van der Gaag, 1994) 

Pelacuran  bukan  sebagai  tindakan  criminal  beranggapan  bahwa  pelacuran bukan hanya karena faktor ekonomi, tetapi juga karena eksploitasi seks (Barry 1981, Van der Gaag 1994) 

Pria yang pergi ke  rumah bordil sesungguhnya bukan karena mereka hendak membeli  seks,  tetapi  hendak  menunjukkan  kekuasaan  mereka  atas  kaum perempuan (Hebermehl dan Millet 1994) 

UU No 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.  Ketentuan Umum (Pasal 1): Perdagangan  Orang  adalah  tindakan  perekrutan, pengangkutan,  penampungan,  pengiriman, pemindahan,  atau  penerimaan  seseorang  dengan ancaman  kekerasan,  penggunaan  kekerasan, penculikan,  penyekapan,  pemalsuan,  penipuan, penyalahgunaan  kekuasaan  atau  posisi  rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga  memperoleh  persetujuan  dari  orang  yang memegang kendali atas orang  lain tersebut, baik yang dilakukan  di  dalam  negara  maupun  antar  negara, untuk  tujuan  eksploitasi  atau  mengakibatkan  orang tereksploitasi. Korban  adalah  seseorang  yang  mengalami  penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang. Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan,  penindasan,  pemerasan,  pemanfaatan  fisik, seksual,  organ  reproduksi,  atau  secara  melawan  hukum memindahkan  atau  mentransplantasi  organ  dan/atau jaringan  tubuh  atau  memanfaatkan  tenaga  atau kemampuan seseorang oleh pihak  lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil. Eksploitasi  Seksual  adalah  segala  bentuk  pemanfaatan organ  tubuh  seksual  atau  organ  tubuh  lain  dari  korban untuk  mendapatkan  keuntungan,  termasuk  tetapi  tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan. 

Page 7: Apa pun pilihannya bukan yang terbaik bagi wps

Page 7 of 9 

Konvesi PBB untuk Perdagangan Manusia dan Ekploitasi Pelacur menegaskan bahwa  pelacuran  dan  segala  bentuk  perdagangan  manusia  lainnya  untuk tujuan pelacuran tidak sesuai dengan martabat dan harga diri manusia. 

Bonaparte  mengatakan  pelacuran  telah  menjadi  kebutuhan  sebab  tanpa pelacuran dan rumah bordil laki‐laki akan mudah menjadi mahluk garang yang setiap  saat bisa memperkosa perempuan di  jalanan  (Bullough dan Bullough, 1987) 

Pelacur  adalah media  penyakit menular  seksual.  Oleh  sebab  itu,  pelacuran harus dihentikan  (Nahmiah, 1990) 

Tanpa pelacuran, penularan AIDS dapat dikendalikan (de Bruyn, 1992)  Pelacuran  adalah  bentuk  lain  dari  perbudakan  seksual  terhadap  perempuan 

(Barry, 1979, Bullough, 1988, Jolin 1994)  Adanya  kepercayaan  bahwa  nilai  seorang  anak  perempuan  setara  dengan 

sawah atau dengan uang yang banyak (Koentjoro, 2004)  Pelacur  perempuan  adalah  korban  penyalahgunaan  seksual  baik  di  dalam 

maupun  di  luar  keluarga.  Pengalaman  pertama  hubungan  seksual  pelacur perempuan  terjadi pada usia dini. Rata‐rata usia awal hubungan  seks   pada usia 12,5 tahun dan hampir seluruh pelacur mengalami pengalaman hubungan sek pada usia 14 tahun (Weisberg, 1985). 

 Apapun  pandangan  yang  diberikan  kepada  pekerja  seks,  berdasarkan  fakta  di lapangan,  adanya  penyimpangan  terhadap  penegakan  peraturan  hukum  yang berlaku disebabkan, antara lain : a. aparat yang melakukan razia bias jender dan diskriminasi terhadap perempuan 

pekerja seks. b. Perempuan  pekerja  seks  belum  memiliki  pengetahuan  tentang  hak‐hak 

mereka dan juga tentang hukum yang berlaku. c. Perempuan pekerja seks banyak yang belum menyadari bahwa mereka adalah 

korban ekploitasi baik oleh keluarga sendiri, germo/mucikari, aparat penegak hukum ataupun pemerintah. 

  3. Mudah Masuk, Sulit Keluar  Dalam  percakapan  sehari‐hari,  tidak  ada  perempuan  yang  bercita‐cita  menjadi pelacur.  Namun  sering  kali,  situasi  dan  kondisi  yang  membawa,  seperti  yang diungkap  Koentjoro  (2004),  lima  faktor  yang mempengaruhi  perempuan menjadi pelacur  adalah  (1)  materialisme,  (2)  modeling,  (3)  dukungan  orang  tua,  (4) lingkungan yang permisif dan (5) ekonomi. 

Dan  faktor  tersebut di perkuat dengan adanya orang‐orang yang berperan  sebagai instigator  (penghasut/pendorong)  yang mencari  perempuan‐perempuan  potensial untuk menjadi  pelacur.  Berikut  perempuan  yang  potensial menjadi  pelacur  yang menjadi incaran para instigator: 

Pertama,  ia  haruslah  perempuan  remaja.  Pemilihan  remaja  dengan  pertimbangan adalah  secara psikologis perkembangan mereka  secara  seksual  sudah matang  dan sedang mencari identitas diri dan mreka tidak bisa menyesuaikan antara kebutuhan 

Page 8: Apa pun pilihannya bukan yang terbaik bagi wps

Page 8 of 9 

materi  dengan  kemampuan  mereka.  Selain  itu  remaja  masih  memiliki  sedikit pengalaman dalam hubungan seksual atau masih perawan. 

Kedua, perempuan yang memiliki orangtua atau suami yang pemalas tetapi memiliki keinginan yang besar terhadap materi. Orangtua atau suami memperoleh  janji‐janji bahwa  jika  anak  atau  istri  mereka  menjadi  pelacur,  akan  meningkatkan  kualitas hidup calon pelacur dan keluarganya. 

Ketiga,  perempuan  yang  berasal  dari  keluarga  dengan  kesulitan  keuangan  atau mereka  yang  telah  bercerai.  Bagi  perempuan muda  yang  bercerai, mereka  tidak mandiri secara ekonomi dan kadangkala menjadi beban ekonomi bagi keluarga. 

Keempat, perempuan yang frustasi karena pacar mereka. Perempuan‐perempuan ini telah kehilangan keperawanannya dan merasa  tidak berdaya ketika pacar menolak menikahinya atau malah pergi meninggalkan ataupun selingkuh dengan perempuan lain.  

 

4. Apa Pun Pilihannya, Bukan yang Terbaik bagi Perempuan 

Mengutip  pengantar  dalam  hasil penelitian  dengan  judul  “Men Who Buy  Sex – Who They Buy  and What They  Know,  Kinnel  (2008) menggambarkan  kekerasan  yang dialami  perempuan  pekerja  seks antara  lain    kekerasan  seksual, serangan  fisik,  perampokan  dan pelecehan verbal. Selain  itu  didokumentasikan  adalah penggunaan  kamera  tersembunyi saat  pekerja  seks  melakukan aktivitas  seksual  dengan pelanggannya,  pemerasan, mengancam  surat  dan  panggilan telepon,  orang  yang  menyamar sebagai  polisi,  pelecehan  verbal, ancaman  termasuk  dengan  senjata, intimidasi, perampokan, pelemparan dengan benda‐benda (misalnya: kembang api, batu, botol, urin, popok kotor, telur), pelecehan  oleh  kelompok‐kelompok  pemuda  dan warga.  Pembeli  juga  dilaporkan menolak  untuk menggunakan  kondom  dan menolak membayar  setelah mendapat layanan. Penerimaan laku‐laki terhadap pelacuran merupakan bentuk sikap yang mendorong dan  membenarkan  kekerasan  terhadap  perempuan.  Perilaku  kekerasan  terhadap perempuan merupakan ‘penerjemahan’ sikap dan keyakinan laki‐laki bahwa mereka berhak untuk atas tubuh perempuan, dan menunjukkan bahwa mereka lebih superior terhadap perempuan dan menjadikannya legitimasi menjadi ‘agresor seksual’.   

Page 9: Apa pun pilihannya bukan yang terbaik bagi wps

Page 9 of 9 

Pada  akhirnya,  apa  pun  pilihan  kebijakan  yang  berkaitan  dengan  pelacuran, perempuan  tetaplah  menjadi  objek  dalam  ‘industri  ini’,  sehingga  solusi  yang diberikan semestinya berangkat dari perspektif perempuan pekerja seks. 

Ironis,  ketika  sebuah  kebijakan  yang  akan  dirancang  semata‐mata  hanya  untuk ‘menyelamatkan’ capaian program penanggulangan HIV dan AIDS atau hanya untuk memudahkan petugas penjangkau untuk memberikan informasi ataupun merujuk ke layanan kesehatan. 

 

SETIAP PEREMPUAN (TANPA MEMANDANG STATUS ATAU PROFESI) BERHAK MENDAPAT PERLINDUNGAN DARI SEGALA BENTUK EKPLOITASI 

 

 

Sumber bacaan :  Daniel Start, Ingie Hovlan, Tools for Policy Impact : A Handbook for Researchers,2004  Koentjoro, On The Spot : Tutur dari Sarang Pelacur, 2004.  Melissa Farley, Julie Bindel and Jacqualine M Golding, Men Who Buy Sex – Who They Buy 

and What They Know, 2009.  Ruth Rosenberg (editor), Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia, 2003  Sudirman Saad, Muhadjir Darwin, Penegakan Hukum, Pelacuran dan HIV/AIDS, 2004  http://en.wikipedia.org/wiki/Prostitution  http://prostitution.procon.org/