Apa pun pilihannya bukan yang terbaik bagi wps
description
Transcript of Apa pun pilihannya bukan yang terbaik bagi wps
Briefing Paper Desember 2011
KRIMINALISASI, DEKRIMINALISASI DAN LEGALISASI APA PUN PILIHANNYA, BUKAN YANG ‘TERBAIK’
UNTUK PEREMPUAN PEKERJA SEKS
1. Status Hukum Dan Sosial Ekonomi Prostitusi 1.1 Sikap terhadap Pelacuran Secara umum, sikap yang berkaitan dengan prostitusi adalah : Pelacuran harus dihapuskan : prohibitionism (baik pelacur dan klien kejahatan dan dipandang sebagai tidak
bermoral, mereka dianggap kriminal): sikap yang berlaku hampir di mana‐mana di Amerika Serikat, kecuali di beberapa wilayah di negara bagian Nevada.
abolitionism (prostitusi tidak dilarang, tetapi kegiatan yang berkaitan dengan prostitusi dianggap illegal). Upaya yang dilakukan lebih mengutamakan agar prostitusi sulit terjadi dan prostitusi dianggap merupakan masalah sosial. Prostitusi (pertukaran layanan seks untuk uang) adalah legal, namun kegiatan sosial yang berkaitan dengan prostitusi yang dilarang, misalnya bujukan, menyediakan sarana prostitusi seperti menyediakan tempat (rumah bordil) ataupun menjadi mucikari dilarang. kondisi ini ditemukan antara lain di Inggris, Perancis dan Kanada.
neo‐abolitionism : prostitusi adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia , karena klien pelacur mengeksploitasi pelacur. Pelacur tidak dituntut. namun klien mereka dan mucikari yang dipidana. Kondisi ini ditemukan antara lain di Swedia , Norwegia dan Islandia (di Norwegia hukum bahkan lebih ketat, melarang juga berhubungan seks dengan pelacur di luar negeri).
Pelacuran harus ditoleransi oleh masyarakat legalisasi : prostitusi dianggap sebagai bisnis yang sah, prostitusi dan tenaga
kerja dari pelacur adalah legal dan memiliki regulasi. Kondisi ini ditemukan antara lain di Belanda, Jerman, beberapa daerah di Australia dan Negara bagian Nevada. Tingkat peraturan sangat bervariasi, misalnya di Belanda pelacur tidak diharuskan untuk menjalani pemeriksaan kesehatan, sementara di Nevada peraturan sangat ketat
dekriminalisasi : prostitusi sama dengan tenaga kerja yang lain. Industri Seks tidak harus tunduk pada peraturan khusus atau hukum. Kondisi ini ditemukan di Selandia Baru. Aturan hukum terhadap tempat pelacuran, mucikari dan pelacur jalanan ditiadakan, namun kegiatan prostitusi juga tidak diatur sama sekali. Para pendukung pandangan ini menilai bahwa dari peraturan pemerintah yang melegalisasi prostitusi berdampak pada merendahkan dan kekerasan terhadap pekerja seks. Namun, kriminalisasi juga sangat merugikan pekerja seks.
(Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Prostitution)
Page 2 of 9
1.2 Hukum berkaitan dengan Pelacuran
Posisi hukum berkaitan dengan prostitusi sangat bervariasi di seluruh dunia, yang mencerminkan perbedaan pendapat tentang menjadi korban dan ekploitasi, ketidakadilan, peran gender, kesetaraan gender, etika dan moralitas, kebebasan memilih, norma‐norma sosial, dan biaya dan manfaat sosial.
Secara umum, hukum yang diterapkan mengacu pada 4 (empat) asumsi dasar : menjadi korban (termasuk sebagai korban potensial), etika dan moralitas, kebebasan memilih, dan manfaat umum atau merugikan masyarakat (termasuk bahaya yang timbul dari hal‐hal yang tidak berkaitan langsung dengan prostitusi).
Pelacuran dapat dianggap sebagai bentuk eksploitasi (misalnya Swedia, Norwegia, Islandia, di mana adalah ilegal untuk membeli layanan seksual, tetapi tidak untuk menjual mereka ‐ klien melakukan kejahatan, tetapi tidak pelacur), pekerjaan yang sah (misalnya, Belanda, Jerman , di mana pelacuran diatur sebagai profesi) atau kejahatan (misalnya, banyak muslim negara, di mana pelacur menghadapi hukuman berat).
Status hukuman terhadap pelacur bervariasi dari satu negara ke negara, dari yang legal dan dianggap sebagai profesi sampai hukuman mati. Beberapa yurisdiksi melarang tindakan prostitusi (pertukaran layanan seks untuk uang), sedangkan negara lain tidak melarang prostitusi sendiri, namun larangan kegiatan biasanya terkait dengan itu (‘menjaja diri’ di tempat umum, menyediakan tempat pelacuran, mucikari dll), untuk menghambat perkembangan prostitusi, sedangkan di beberapa negara prostitusi adalah legal dan diatur.
Pada 1949, Majelis Umum mengadopsi konvensi yang menyatakan bahwa "prostitusi dan kejahatan yang menyertai lalu lintas manusia untuk tujuan prostitusi tidak sesuai dengan martabat dan nilai pribadi manusia", mengharuskan semua pihak menandatangani untuk menghukum mucikari dan pemilik bordil dan operator dan untuk menghapuskan semua perlakuan khusus atau pendaftaran pelacur. Pada Januari 2009, konvensi diratifikasi oleh 95 negara anggota termasuk Peracis, Spanyol, Italia, Denmark, dan tidak diratifikasi oleh 97 negara lainnya anggota termasuk Jerman, Belanda, Inggris dan Amerika Serikat. (Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Prostitution)
Page 3 of 9
2 Status Hukum dan Sosial Budaya Pelacuran di Indonesia Dalam Tools for Policy Impact : A Handbook for Researchers, salah satu instrument yang ditawarkan untuk melakukan kajian kebijakan adalah Triangle Analysis. Triangle Analysis merupakan sebuah metode yang digunakan untuk menganalisa dan menemukan jawaban atas masalah yang berkaitan denan struktur, konten (baca kebijakan) dan budaya yang terdapat dalam suatu sistem kebijakan. Metode ini dapat digunakan untuk, pertama, untuk menganalisia bagaimana kombinasi dari kebijakan, institusi dan nilai‐nilai sosial dan perilaku berkontribusi atau melanggengkan suatu masalah (atau isu tertentu). Kedua, kerangka ini digunakan untuk memetakan dan menjelaskan pilihan strategi untuk mengatasi masing‐masing masalah dari tiga dimensi tersebut.
Konten (content) mengacu pada hukum tertulis, kebijakan dan anggaran yang relevan dengan isu‐isu spesifik. Sebagai contoh, jika tidak ada hukum untuk mengkriminalisasi kekerasan dalam rumah tangga, salah satu bagian dari solusi mungkin memperkenalkan hukum. Termasuk, aturan hukum atau kebijakan ada, namun tidak ada anggaran dan mekanisme kelembagaan untuk penegakan hukum, berarti hukum dan kebijakan tidak akan efektif. Struktur (structure) mengacu pada mekanisme negara dan non‐negara untuk menerapkan hukum atau kebijakan. Misalnya, polisi, pengadilan, rumah sakit, credit union, kementerian. Struktur juga dapat mengacu pada institusi dan program yang dijalankan oleh pemerintah, LSM atau bisnis di tingkat lokal, nasional dan internasional. Budaya (culture) mengacu pada nilai‐nilai dan perilaku yang membentuk bagaimana orang menangani dan memahami masalah. Nilai‐nilai dan perilaku yang dipengaruhi, antara lain, oleh agama, adat, kelas, gender, etnis dan usia. Kurangnya informasi mengenai hukum dan kebijakan termasuk bagian dari dimensi budaya. Demikian pula, ketika orang telah menginternalisasi merasa tidak berharga atau, sebaliknya. Hal ini berkaitan dengan sikap yang berkaitan dengan derajat manfaat dari undang‐undang dan kebijakan yang ada.
STRUCTUR CONTENT
CULTURE
Legal‐Political System
Page 4 of 9
Mari kita coba menelaah masalah pelacuran di Indonesia dengan menggunakan triangle analysis. a. Konten Dari dimensi hukum tertulis yang ada, sikap Negara Indonesia terhadap pelacuran mencerminkan sikap abolitionism (prostitusi tidak dilarang, tetapi kegiatan yang berkaitan dengan prostitusi dianggap illegal). Hal ini terlihat pada : KUHP (lihat box) UU No 7/1984 tentang
penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, pasal 6 “ Aparat Negara akan mengambil semua tindakan yang tepat termasuk, perundang‐undangan, untuk menekan semua bentuk perdagangan perempuan dan eksploitasi pekerja seks perempuan”
UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak (pasal 59, pasal 66)
UU No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
UU No 39/2004 tentang Perlindungan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
UU No 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Sudirman Saad dalam buku Penegakan hukum, pelacuran dan HIV/AIDS (2004), menyebutkan “ KUHP tidak secara tegas mengatur bisnis pelacuran, bahkan tidak ada satu pasal pun yang secara tegas melarang perempuan terlibat dalam bisnis pelacuran. Hukum pidana hanya melarang mereka yang membantu
Kitab Undang‐Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 285 : Barangsiapa bersetubuh dengan seorang
wanita diluar perkawinan, pada diketahui atau sepatutnya harus diduganya bahwa usia umur belum lima belas tahun, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun
Pasal 289 : Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
Pasal 290, Ayat 2 : Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun, diancam pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 290, ayat 3 : Barangsiapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh diluar perkawinan dengan orang lain.
Pasal 292: Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam penjara paling lama 5 tahun.
Pasal 293: Barangsiapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan pembawa yang timbul dari hubungan keadaan (kekuasaan), atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seseorang belum cukup umur dan baik tingkah lakunya, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum cukup umurnya itu diketahui atau selayaknya harus diduga, diancam pidana penjara paling lama lima tahun.
Pasal 296 : Barangsiapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjanjikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau dengan paling banyak seribu rupiah.
Pasal 297 : Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki‐laki yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
Pasal 506: Barangsiapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikan sebagai pencarian, diancam dengan kurungan paling lama satu tahun.
Page 5 of 9
dan menyediakan pelayanan seks secara illegal sebagaimana diatur dalam pasal 296, 297 dan 506. Artinya larangan hanya diberikan kepada mereka yang mempermudah terjadinya hubungan seks dan menjadikannya sebagai mata pencaharian, yaitu mucikari dan germo. Karena KUHP tidak secara tegas melarang bisnis pelacuran,terhadap pekerja seks tidak cukup landasan hukum untuk memperkarakannya di pengadilan. Ketentuan hukum pidana yang dipakai untuk menjerat para pekerja seks di pengadilan adalah pasal‐pasal KUHP yang berkaitan dengan kesusilaan (BAB XIV Buku II) dan pelanggaran kesusilaan (BAB VI Buku III). Selain itu, perempuan pekerja seks dijerat dengan tuduhan melanggar ketertiban umum sebagaimana yang diatur dalam pasal 503 ayat (1) dan pasal 505. KUHP, Pasal 503, ayat (1) Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga hari atau denda paling banyak dua raus dua puluh lima rupiah, barangsiapa membikin hingar atau riuh sehingga ketentraman malam hari dapat terganggu. KUHP, Pasal 505
(1) Barangsiapa bergelandangan tanpa pencaharian, diancam melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.
(2) Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang berumur diatas enam belas tahun diancam pidana kurungan paling lama enam bulan.
Pasal 503 dan 505 KUHP hanya ditujukan terhadap seseorang yang melakukan pelanggaran ketertiban umum. Akan tetapi pasal inilah yang sering dipakai untuk menjerat para pekerja seks yang beroperasi di jalan atau tempat‐tempat umum, namun tidak untuk lak‐laki yang menjadi konsumennya. Pasal‐pasal ini lemah dan sanksi hukum yang diberikan juga sangat ringan, dan sering disebut dengan istilah tipiring (tindak pidana ringan). b. Struktur Dari telaah hukum tertulis (perundangan yang ada), semua pasal memuat perlindungan terhadap perempuan yang terekploitasi secara seksual. Namun fakta di lapangan, seringkali dalam razia yang dilakukan pihak yang berwenang, yang menjadi korban penangkapan adalah perempuan pekerja seks. Bukannya germo, mucikari apalagi pelanggan yang secara peraturan mereka lah yang layak dipidanakan sesuai dengan perundangan yang berlaku.
Bahkan acapkali dalam razia‐razia yang dilakukan, pekerja seks mengalami ekploitasi seksual oleh oknum aparat yang melakukan razia. Situasi ini berkaitan erat dengan dimensi budaya (culture) di Indonesia yang masih menempatkan perempuan dalam konteks masyarakat patriakis bahwa perempuan tak lebih dari sebagai pemuas nafsu laki‐laki dan alat untuk melanjutkan keturunan.
Perlakuan aparat yang merazia berkaitan erat dengan bias jender.
Page 6 of 9
c. Budaya (Culture) Koentjoro, dalam buku “on the spot Tutur dari Sarang Pelacur (2004), memuat beberapa pandangan terhadap pelacuran : Para feminis berpandangan
bahwa pelacuran berhubungan dengan posisi perempuan dalam masyarakat patriakal dan kapitalis. Pelacuran merupakan akibat buruk dari sistem patriakal. Ketidakadilan dan ketimpangan gender sebagai penyebab perempuan menjadi pelacur (Carpenter, 1994)
Pihak gereja berpendapat bahwa seks di luar nikah adalah immoral dan perempuan pekerja seks adalah manusia bermoral rendah. Alasan ini yang memunculkan standar ganda dan memposisikan pelacur sebagai pihak yang bersalah, sementara pelanggan atau masyarakat tidak dipersalahkan (Van Der Gaag, 1994)
Perjuangan kaum feminis dari sudut pandang dekriminalisasi pada tahun 1975, bahwa perempuan memiliki hak untuk menentukan pilihan sebagaimana dalam bidang ekonomi, sosial dan politik. Perempuan memiliki hak menentukan dirinya sendiri. Perempuan berhak menjadi pelacur dan bebas sebagaimana manusia dewasa pada saat tertentu ingin melakukan hubungan seks sementara atau kenikmatan seksual untuk uang tanpa adanya komitmen. Setiap orang dapat menjual tubuhnya dengan berbagai cara, begitu pula dengan pelacur yang memilih menjual vaginanya (Van der Gaag, 1994)
Pelacuran bukan sebagai tindakan criminal beranggapan bahwa pelacuran bukan hanya karena faktor ekonomi, tetapi juga karena eksploitasi seks (Barry 1981, Van der Gaag 1994)
Pria yang pergi ke rumah bordil sesungguhnya bukan karena mereka hendak membeli seks, tetapi hendak menunjukkan kekuasaan mereka atas kaum perempuan (Hebermehl dan Millet 1994)
UU No 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Ketentuan Umum (Pasal 1): Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang. Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil. Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.
Page 7 of 9
Konvesi PBB untuk Perdagangan Manusia dan Ekploitasi Pelacur menegaskan bahwa pelacuran dan segala bentuk perdagangan manusia lainnya untuk tujuan pelacuran tidak sesuai dengan martabat dan harga diri manusia.
Bonaparte mengatakan pelacuran telah menjadi kebutuhan sebab tanpa pelacuran dan rumah bordil laki‐laki akan mudah menjadi mahluk garang yang setiap saat bisa memperkosa perempuan di jalanan (Bullough dan Bullough, 1987)
Pelacur adalah media penyakit menular seksual. Oleh sebab itu, pelacuran harus dihentikan (Nahmiah, 1990)
Tanpa pelacuran, penularan AIDS dapat dikendalikan (de Bruyn, 1992) Pelacuran adalah bentuk lain dari perbudakan seksual terhadap perempuan
(Barry, 1979, Bullough, 1988, Jolin 1994) Adanya kepercayaan bahwa nilai seorang anak perempuan setara dengan
sawah atau dengan uang yang banyak (Koentjoro, 2004) Pelacur perempuan adalah korban penyalahgunaan seksual baik di dalam
maupun di luar keluarga. Pengalaman pertama hubungan seksual pelacur perempuan terjadi pada usia dini. Rata‐rata usia awal hubungan seks pada usia 12,5 tahun dan hampir seluruh pelacur mengalami pengalaman hubungan sek pada usia 14 tahun (Weisberg, 1985).
Apapun pandangan yang diberikan kepada pekerja seks, berdasarkan fakta di lapangan, adanya penyimpangan terhadap penegakan peraturan hukum yang berlaku disebabkan, antara lain : a. aparat yang melakukan razia bias jender dan diskriminasi terhadap perempuan
pekerja seks. b. Perempuan pekerja seks belum memiliki pengetahuan tentang hak‐hak
mereka dan juga tentang hukum yang berlaku. c. Perempuan pekerja seks banyak yang belum menyadari bahwa mereka adalah
korban ekploitasi baik oleh keluarga sendiri, germo/mucikari, aparat penegak hukum ataupun pemerintah.
3. Mudah Masuk, Sulit Keluar Dalam percakapan sehari‐hari, tidak ada perempuan yang bercita‐cita menjadi pelacur. Namun sering kali, situasi dan kondisi yang membawa, seperti yang diungkap Koentjoro (2004), lima faktor yang mempengaruhi perempuan menjadi pelacur adalah (1) materialisme, (2) modeling, (3) dukungan orang tua, (4) lingkungan yang permisif dan (5) ekonomi.
Dan faktor tersebut di perkuat dengan adanya orang‐orang yang berperan sebagai instigator (penghasut/pendorong) yang mencari perempuan‐perempuan potensial untuk menjadi pelacur. Berikut perempuan yang potensial menjadi pelacur yang menjadi incaran para instigator:
Pertama, ia haruslah perempuan remaja. Pemilihan remaja dengan pertimbangan adalah secara psikologis perkembangan mereka secara seksual sudah matang dan sedang mencari identitas diri dan mreka tidak bisa menyesuaikan antara kebutuhan
Page 8 of 9
materi dengan kemampuan mereka. Selain itu remaja masih memiliki sedikit pengalaman dalam hubungan seksual atau masih perawan.
Kedua, perempuan yang memiliki orangtua atau suami yang pemalas tetapi memiliki keinginan yang besar terhadap materi. Orangtua atau suami memperoleh janji‐janji bahwa jika anak atau istri mereka menjadi pelacur, akan meningkatkan kualitas hidup calon pelacur dan keluarganya.
Ketiga, perempuan yang berasal dari keluarga dengan kesulitan keuangan atau mereka yang telah bercerai. Bagi perempuan muda yang bercerai, mereka tidak mandiri secara ekonomi dan kadangkala menjadi beban ekonomi bagi keluarga.
Keempat, perempuan yang frustasi karena pacar mereka. Perempuan‐perempuan ini telah kehilangan keperawanannya dan merasa tidak berdaya ketika pacar menolak menikahinya atau malah pergi meninggalkan ataupun selingkuh dengan perempuan lain.
4. Apa Pun Pilihannya, Bukan yang Terbaik bagi Perempuan
Mengutip pengantar dalam hasil penelitian dengan judul “Men Who Buy Sex – Who They Buy and What They Know, Kinnel (2008) menggambarkan kekerasan yang dialami perempuan pekerja seks antara lain kekerasan seksual, serangan fisik, perampokan dan pelecehan verbal. Selain itu didokumentasikan adalah penggunaan kamera tersembunyi saat pekerja seks melakukan aktivitas seksual dengan pelanggannya, pemerasan, mengancam surat dan panggilan telepon, orang yang menyamar sebagai polisi, pelecehan verbal, ancaman termasuk dengan senjata, intimidasi, perampokan, pelemparan dengan benda‐benda (misalnya: kembang api, batu, botol, urin, popok kotor, telur), pelecehan oleh kelompok‐kelompok pemuda dan warga. Pembeli juga dilaporkan menolak untuk menggunakan kondom dan menolak membayar setelah mendapat layanan. Penerimaan laku‐laki terhadap pelacuran merupakan bentuk sikap yang mendorong dan membenarkan kekerasan terhadap perempuan. Perilaku kekerasan terhadap perempuan merupakan ‘penerjemahan’ sikap dan keyakinan laki‐laki bahwa mereka berhak untuk atas tubuh perempuan, dan menunjukkan bahwa mereka lebih superior terhadap perempuan dan menjadikannya legitimasi menjadi ‘agresor seksual’.
Page 9 of 9
Pada akhirnya, apa pun pilihan kebijakan yang berkaitan dengan pelacuran, perempuan tetaplah menjadi objek dalam ‘industri ini’, sehingga solusi yang diberikan semestinya berangkat dari perspektif perempuan pekerja seks.
Ironis, ketika sebuah kebijakan yang akan dirancang semata‐mata hanya untuk ‘menyelamatkan’ capaian program penanggulangan HIV dan AIDS atau hanya untuk memudahkan petugas penjangkau untuk memberikan informasi ataupun merujuk ke layanan kesehatan.
SETIAP PEREMPUAN (TANPA MEMANDANG STATUS ATAU PROFESI) BERHAK MENDAPAT PERLINDUNGAN DARI SEGALA BENTUK EKPLOITASI
Sumber bacaan : Daniel Start, Ingie Hovlan, Tools for Policy Impact : A Handbook for Researchers,2004 Koentjoro, On The Spot : Tutur dari Sarang Pelacur, 2004. Melissa Farley, Julie Bindel and Jacqualine M Golding, Men Who Buy Sex – Who They Buy
and What They Know, 2009. Ruth Rosenberg (editor), Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia, 2003 Sudirman Saad, Muhadjir Darwin, Penegakan Hukum, Pelacuran dan HIV/AIDS, 2004 http://en.wikipedia.org/wiki/Prostitution http://prostitution.procon.org/