Anastesi Regional Pada Penanganan Trauma
-
Upload
ira-inayah -
Category
Documents
-
view
64 -
download
8
description
Transcript of Anastesi Regional Pada Penanganan Trauma
ANASTESI REGIONAL PADA PENANGANAN TRAUMA
Janice J. Wu, Loreto Lollo, dan Andreas Grabinsky
Departemen Anastesiologi Dan Penanganan Nyeri
Pusat Kesehatan Harborview
Universitas Washinton, #359724, 325 Avenue 9th, Seattle, WA 98104, USA
Abstrak
Anastesi regionl mrupakan metode untuk memberikan efek analgesik pada
pasien pada saat di ruang operasi dan juga pada fase setelah operasi. Meskipun
anastesia regional memberikan manfaat yang unik seperti yang digambarkan
dalam pengalaman militer, namun teknik ini tidak digunakan secara umum pada
fase pra rumah sakit maupun saat di instalasi gawat darurat (IGD). Paling sering,
teknik anestesi regional pada pasien trauma pertama kali digunakan di dalam
ruang operasi sebagai prosedur anastesi untuk kontrol nyeri setelah operasi. Bila
teknik infiltrasi maupun blok nervus sering digunakan oleh ahli bedah maupun
dokter jaga IGD pada fase sebelum operasi, maka teknik yang lebih kompleks
seperti blok pleksus ataupun pemasangan kateter regional lebih sering dilakukan
oleh ahli anastesi baik untuk keperluan operasi maupun untuk kontrol nyeri
setelah operasi. Teknik anastesi regional ini memiliki kelebihan dibandingkan
anastesi intravena, bukan hanya pada fase sebelum operasi tapi juga pada fase
akut pasien trauma dan juga pada saat transport pasien. Ahli anastesi memiliki
pengalaman yang luas dengan teknik regional dan dapat melakukannya di luar
ruang operasi dan sebagai terapi awal bagi pasien trauma.
1. Pendahuluan
Menekan saraf perifer dalam kurun waktu yang lama unuk menyebabkan
analgesia pada bagian distal dari bagian yang ditekan merupakan metode anasesia
regional yang digambarkan oleh ahli bedah militer Prancis Ambroise Pare (1510-
150) pada abad ke 16. Dominique Jean Larrey (1766-1842), kepala ahli bedah
prajurit Napolleon juga menggambarkan pengamatannya pada suatu kasus
Halaman 1 dari 16
gangguan saraf akibat dingin dan efek analgesiknya pada prajurit selama proses
amputasi.
Kandungan anastesi dari kokain diketahui dan dipublikasikan pada abad ke
19. Pada tahun 1984, Carl Koller (162-1944) menyadari pentingnya penemuan ini
dan melakukan penelitian dengan meneteskan cairan kokain ke korneo kodok.
Koller kemudian mempresentasikan eksperimennya pada pertemuan Perhimpunan
Ophtalmologi Jerman di Heidelberg pada tahun itu juga. Dalam tahun-tahun
berikutnya, kebanyakan teknik anastesi regional kemudian dikembangkan dan
tetap digunakan saat ini sama seperti dulu. Blok pleksus brakhialis melalui operasi
menggunakan kokain pertama kali dilakukan oleh Crile pada tahun 1884. 1 Blok
perkutaneus pertama kali dilaporkan pada tahun 1911 oleh Hirschel dan juga
Kuflenkampf pada tahun yang sama. 2,3 Pada tahun 1884, tahun yang sama Koller
mempresentasikan penemuannya, Corning melakukan anastesia epidural pertama
dan mempublikasikannya dalam Jurnal Kesehatan New York (New York Medical
Jornal) pada tahun 1885. 4 Di tahun 1898, Bier (1861-1949) dan residennya
Hildebrand (1868-1954) melakukan anastesi spinal pertama dan kemudian
mempublikasikan pengalaman mereka masing-masing setelah melakukan anastesi
spinal kepada satu sama lain. Hildebrand sendiri mengalami efek analgesia yang
baik dari anastesi spinal tersebut, dan keduanya mengaku merasakan sakit kepala
yang hebat dan Bier menjadi ragu akan kegunaan anastesi spinal ini dan butuh
beberapa tahun lagi sebelum akhirnya anastesi spinal menjadi teknik anastesi
regional yang dditerima secara luas. 5 Di tahun 1908, Bier menggambarkan injeksi
anastesi lokal secara intravena yang dikenal sebagai Blok Bier. 6 Kebanyakan
teknik-teknik anastesi yang lama masih digunakan higga saat ini dan biasanya
hanya ditambahkan dengan teknik maupun obat baru.
Teknik anastesi regional yang lebih baru memungkingkan penggunaan
obat-obatan kerja panjang maupun pendek bergantung pada keinginan lamanya
kondisi bebas nyeri. Pengenalan terhadap jarum dan kateter khusus untuk blok
nervus regional pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20, dan juga teknik
terbaru dengan stimulasi saraf dan penggunaan panduan ultrasound, telah banyak
membantu dalam praktik anastesi regional dan meningkatkan ketepatan dan
Halaman 2 dari 16
keselamatan dari blok nervus perifer dan prosedur neuraxial pada pasien dengan
nyeri akut. 7
Teknik anastesi regional memungkinkan kontrol nyeri yang sangat baik
dan umunya digunakan selama operasi berlangsung dan untuk fase setelah
operasi, sehingga dapat mengurangi jumlah anastesi dan analgesik intravena yang
dibutuhkan untuk kontrol nyeri. Sebagai tambahan, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa teknik anastesi regional dapat mempercepat penyembuhan,
mengurangi lamanya rawat inap maupun rawat ICU, meningkatkan fungsi jantung
dan paru-paru, mengurangi angka infeksi dan respon neuroendokrin, dan
memungkingkan pengembalian fungsi usus yang lebih cepat. 8
Teknik regional bukan hanya memberikan efek analgesia yang sangat baik,
tapi juga karena tidak adanya sedasi sistemik sehingga menjadi lebih mudah untuk
memonitor status mental dari pasien-pasien dengan trauma kapitis. Meskipun
diketahui memiliki banyak manfaat, namun anastesi regional ini masih jarang
digunakan pada pasien trauma, utamanya pada fase akut. 9 Sebuah studi
menunjukkan bahwa di IGD, hingga 36% pasien dengan fraktur panggul akut
tidak mendapatkan analgesik dan bahkan lebih sedikit lagi yang dipertimbangkan
untuk diberikan blok nervus regional. 10,11 Bila dibandingkan dengan pasien bedah
elektif dimana kebutuhan analgesianya diberikan pada masa perioperatif, pasien
trauma pada fase akut membutuhan penilaian dan penanganan nyeri yang terus-
menerus mulai dari saat sebelum rumah sakit atau tempat kejadian, selama
transport ke instalasi gawat darurat, dan selama perawatan di ruang operasi dan
ruang rawat intensif (ICU). Stress dan respon inflamasi setelah trauma bahkan
lebih besar bila dibandingkan dengan pasien yang menjalani operasi elektif. 8
Sebagai tambahan juga, pasien trauma berbeda-beda dalam jumlah dan luasnya
trauma yang dialami dan efek terhadap status mental, respirasi, dan stabilitas
hemodinamik pasien juga bervariasi dan kesemuanya itu dapat diperburuk dengan
pemberian analgesik parenteral. Pengalaman dalam menangani prajurit yang
terluka selama konflik militer baru-baru ini telah mengarahkan pada pendekatan
unik dengan memanfaatkan anastesi regional untuk analgesia lapangan dan
anastesi operasi. 7,12,13 Ahli anastesi memiliki peran penting dalam penanganan
Halaman 3 dari 16
pasien dan, bersama dengan ahli bedah dan dokter (IGD), memperkenalkan
metode untuk menyediakan penanganan dan transport prajurit yang terluka
dengan aman dan tepat waktu. Pengalaman ini bersama dengan berbagai
penelitian lain, melihat penggunaan awal blok nervus di (IGD) 10,11,14 menjelaskan
manfaat penggunaan anastesi regional dibandingkan dengan cara tradisional
menggunakan regimen opioid intravena pada pasien trauma akut dan selama
transpor.
2. Anastesi regional pada fase awal trauma
Salah satu manfaat penggunaan anastesi regional secara awal adalah
mengurangi penggunaan opioid intravena dalam rangka mengurangi nyeri secara
adekuat. Blok nervus perifer menggunakan anastesi lokal kerja panjang dengan
onset yang cepat dapat mengurangi respon stress terhadap trauma, dan juga
mengurangi insiden efek samping opiod (bergantung dosis) seperti depresi
pernapasan, peningkatan sedasi, kebingungan, pruritus, dan mual. 8 Manfaat
lainnya dapat dilihat pada pasien yang mendapatkan blok nervus perifer pada fase
sebelum rumah sakit yaitu transport yang lebih aman, berkurangnya kebutuhan
untuk mendapatkan pengawasan medis, dan pada kejadian dengan korban massal,
pasien yang stabil, nyaman, dan sadar dapat memungkingkan pengurangan staf. 11
Literatur terbaru dari medan perang mengungkapkan bahwa penggunaan
anastesi regional sebagai intervensi awal dapat meningkatkan keselamatan dan
mengurangi nyeri dan komplikasi akibat trauma. Selain manfaat jangka pendek
dalam mengontrol nyeri, penanganan awal pada trauma ekstremitas juga dapat
memberikan efek jangka panjang di antaranya mengurangi insiden dan tingkat
keparahan nyeri kronik seperti kausalgia dan gangguan stress post trauma. 13
Dalam mewujudkan penggunaan teknik regional untuk kontrol nyeri sebelum
operasi bagi petugas sebelum rumah sakit (pre hospital) atau ruang gawat darurat,
sangat penting juga untuk menilai ketersediaan peralatan dan staf.
Tidak semua teknik regional cocok untuk keadaan pra rumah sakit atau
ruang gawat darurat dan tidak semua petugas terlatih dan berpengalaman dalam
penggunaan teknik regional. Terutama teknik neuraxial seperti kateter epidural
Halaman 4 dari 16
thorakal, yang umum digunakan pada prosedur di daerah abdomen atau pun frakur
kosta, dapat mengakibatkan komplikasi seperti hipertensi dan trauma medulla
spinalis. Penggunaan teknik sangat bergantung pada keahlian dan model staf di
(IGD).
Di sisi lain, blok ekstremitas biasanya mudah dilakukan meski tanpa
ultrasound ataupun stimulasi nervus, dan risiko hipotensi dan komplikasi lain juga
lebih rendah.
Fraktur kosta dan ekstremitas bawah biasanya ditemukan di (IGD). Pola
trauma ini juga biasanya mudah untuk dilakukan teknik regional. Beberapa
penelitian telah dilakukan untuk membandingkan teknik anastesi regional dengan
pemberian opioid dengan cara yang lebih tradisional di instaasi gawat darurat dan
pada fase-fase awal masuk rumah sakit. Kemungkinan penggunan kateter blok
nervus kontinus untuk penggunaan infus jangka panjang juga telah diteliti.
2.1. Trauma pnggul dan ekstremitas bawah
Buckenmaier dkk mengilustrasikan nilai dari blok nervus perifer untuk
penanganan nyeri jangka panjang dan intervensi bedah berulang pada sebuah
laporan pemasangan kateter nervus sciatika dan pleksus lumbalis pada prajurit
segera setelah mengalami trauma ekstremitas bawah pada medan perang.
Kemampuan unuk memberikan dosis anastesi dan analgesik dari anastesi lokal
yang diberikan via kateter sciatik dan lumbal selama proses evakuasi dan masa
perawatan selama 16 hari tepat pada tempatnya, dapat diandalkan untuk kontrol
nyeri, dan mengurangi risiko mendapatkan opioid dosis tinggi, anastesi general,
dan blok nervus berulang. 12 Meskipun perlu dilakukan amputasi, pasien tidak
mengalami nyeri ekstremitas (phantom limb pain) ataupun sindrom nyeri kronik
lainnya.
Sebelum pengalaman militer yang lebih baru tadi, seorang penulis Eropa
pernah menggambarkan prosedur blok satu nervus yang dilakukan di lapangan
oleh dokter gawat darurat dan ahli anastesi pada tempat kejadian dan selama
transport. Satu suntikan untuk blok nervus femoral yang diberikan di tempat
kejadian pada pasien orang tua yang mengalami nyeri lutut akibat trauma
Halaman 5 dari 16
memberikan efek analgesia yang baik dan memungkinkan transport. Barker dkk
membandingkan efek pemberian satu suntikan untuk blok nervus femoral dengan
pemberian analgesia intravena berupa metamizole sebelum masuk rumah sakit.
Studi acak ini menunjukkan bahwa blok nervs femoral mengurangi nyeri lebih
awal dan mengurangi respon stress simpatis. Selanjutnya lagi, pada tangan yang
berpengalaman, blok nervus femoral merupakan tenik yang aman dan mudah
dilakukan dan mengurangi keterlambatan transport. 11 Oleh karena keamanan dan
kemudahan dalam mengidentifikasi struktur anatomi di sekitar nervus femoral,
maka beberapa studi telah dilakukan untuk penggunaan blok nervus femoral atau
kompartemen fascia iliaka di (IGD). Kedua tipe blok ini mudah dilakukan dan
efektif dalam menghilangkan nyeri pada kasus fraktur leher femur dan fraktur
panggul.
Nyeri akut akibat fraktur femur digambarkan sangat menyiksa dan
merupakan salah satu fraktur paling nyeri. 15 Penggunaan blok nervus perifer pada
pasien-pasien ini menunjukkan efek analgesia yang lebih cepat dan meningkatnya
kepuasan pasien bila dibandingkan dengan pemberian opioid parenteral dan
intramuskular. 14,16 Mutty dkk menunjukkan bahwa blok nervus femoral dapat
mengurangi nyeri akut akibat fraktur distal femur secara signifikan bila
dibandingkan dengan pemberian opioid intravena. 54 pasien diikutsertakan dalam
studi random. Pasien yang mendapatkan blok nervus femoral rata-rata berkurang
nilai nyerinya sebanyak 3,6 poin bila dibandingkan dengan penanganan
tradisional dengan hidromorfin intrvena. Hasil diamati dalam 5 menit setelah
intervensi. 16 Studi yang sama yang dilakukan oleh Wathen dkk membandingkan
efek blok nervus kompartemen fascia iliaka (FICB) dengan morfin intravena pada
pasien anak-anak yang masuk ke instalasi gawat darurat dengan fraktur femur
akut. Di studi terkontrol ini, 55 pasien diacak untuk mendapatkan FICB atau
monfin IV. Pasien dari grup FICB berkurang intensitas nyerinya pada saat 30
menit dan 6 jam setelah intervensi dan lebih sedikit kejadian depresi respirasi dan
penurunan insiden spasme otot. 14 Selain itu, nilai kepuasan dokter, perawat,
orangtua, dan pasien juga lebih tinggi pada grup FICB.
Halaman 6 dari 16
Studi-studi ini mengonfirmasi penemuan pada studi-studi lain yang dalam
skala lebih kecil dan laporan-laporan lain mengenai efektivitas blok nervus
femoral. Pada kedua studi, residen ortopedi dan dokter IGD melakukan prosedur
ini berturut-turut setelah mendapat pelatihan dari ahli anastesi. Hasil injeksi
tunggal yang menjanjikan telah menyebabkan banyak studi dilakukan untuk
membandingkan injeksi tunggal dengan pemasangan kateter awal untuk kontrol
nyeri kontinu selama perawatan. Stewart dkk menggambarkan blok nervus
femoral dilakukan oleh dokter IGD, termasuk kateter kontinu pada 40 pasien yang
mengalami fraktur femur.17
Satu keterbatasan dari studi non-blinded ini adalah adanya kemungkinan
terjadi bias subjektif dari pasien dan petugas. Untuk meneliti lebih jauh, Foss dkk
mendesain studi acak double-blind-placebo-controlled untuk membandingkan
efek FICB dengan morfin IM terstandardisasi pada pasien fraktur panggul akut.
Ke 48 pasien menerima injeksi intragluteal dan blok fascia iliaka. Grup FICB
mendapatkan mepivacaine 1 % dan efineprin via FICB dan injeksi saline IM.
Sedangkan grup morfin mendapatkn injeksi morfin 0,1 mg/kg IM dan saline via
FICB. Hasil dari studi ini mengindikasikan bahwa FICB mengurangi nyeri lebih
baik saat istirahat maupun pergerakan dinamis mengangkat kaki 15 derajat.
Sebagai tambahan, FICB yang dilakukan oleh ahli anastesi membutuhkan waktu
rata-rata 4 menit. Tidak ada efek samping yang dilaporkan pada grup FICB,
sedangkan pada grup morfin terdapat tendensi untuk mengalami penurunan
saturasi pada menit 60 dan 180 meskipun telah diberikan oksigen tambahan.
2.2. Trauma ekstremitas atas dan bahu
Blok regional pleksus brakhialis untuk operasi ekstremitas atas baik untuk
mengurangi nyeri sebelum operasi. Pleksus brakhialis dapat diblok dengan
menggunakan beberapa cara, yaitu melalui axial, infraklavikula, dan interskalene.
Utamanya anastesi regional dosis rendah memiliki potensi untuk mengurangi
toksisitas anastesi lokal dan dapat bermanfaat dalam prosedur yang tidak
memakan waktu lama atau intensitas nyeri yang lebih rendah, misalnya prosedur
di IGD. Dalam sebuah studi, O’Donell dkk membandingkan blok axillary dengan
Halaman 7 dari 16
panduan ultrasound dosis rendah dengan anastesi umum pada pasien yang
menjalani operasi estremitas atas. Bila dibandingkan dengan anastesi umum,
pasien yang menjalani blok axilla merasakan anastesi yang sangat baik, analgesia
yang lebih baik, penurunan konsumsi opiate, waktu perawatan di ruang pemulihan
yang lebih singkat, dan masa perawatan yang lebih singkat. 18
Trauma lain yang sering dijumpai di IGD adalah dislokasi sendi
ekstremitas atas, yaitu disokasi siku dan bahu. Terutama dislokasi bahu kadang
membutuhkan sedasi yang dalam untuk reduksi karena sedasi yang ringan tidak
memungkingkan reduksi karena ketegangan otot ataupun karena masalah nyeri.
Sedasi sedang ataupun dalam mengharuskan pasien untuk berpuasa dan karena itu
dapat membuat pasien menginap lebih lama di IGD. Pada prosedur semacam ini,
blok intarskalen mengurangi nyeri dengan sangat baik dan menyebabkan relaksasi
otot karena bahu diinervasi oleh cabang superior dan media yang dekat dengan
kulit pada area interskalen. Kegagalan yang biasanya terjadi pada blok nervus
interskalene (tidak memberikan anastesi lengkap pada cabang inferior yang
dibentuk oleh nervus C7 dan T1) tidak penting dalam reduksi dislokasi bahu.
Blaivas dkk menggambarkan 42 orang pasien yang mendapat sedasi dengan
etomidate atau blok interskalene dengan panduan ultrasound yang dilakukan oleh
dokter IGD. Lama perawatan (Length of stay LOS) di IGD pada grup sedasi secara
signifikan lebih tinggi (177.3 ± 37,9 menit) dibandingkan grup regional (100.3 ±
28.2 menit). Mean (±SD) waktu petugas untuk pengawasan adalah 47.1 (±9,8)
menit untuk grup sedasi dan 5 (±0,7) menit untuk grup regional. Tidak ada yang
menerima blok interskalene membutuhkan analgesia tambahan atau sedasi pada
saat dilakukan reduksi bahu. 19
2.3. Fraktur kosta
Fraktur kosta biasanya dihubungkan dengan trauma tumpul. Fraktur jenis
ini biasanya dihubungkan dengan intensitas nyeri yang cukup signifikan, dan
pasien yang mengalami fraktur 3 atau lebih kosta memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk mengalami komplikasi pulmoner. Nyeri dapat mengganggu ventilasi
dan kemampuan membersihkan sekret, yang nantinya dapat berakibat pada
Halaman 8 dari 16
atelektasis dan hipoksia. Hampir 1/3 pasien kemudian menderita pneumonia
nosokomial, dan mortalitas dari flail chest dilaporkan mencapai 16%. Oleh
karena itu, tujuan terapi pada pasien-pasien ini mencakup kontrol nyeri, fisioterapi
dada dan mobilisasi. Pedoman penatalaksanaan nyeri pada kasus trauma tumpul
thorax merekomendasikan pemberian analgesia epidural untuk menangani nyeri
kecuali bila ada kontraindikasi. Pemberian anastesi epidural thorakal pada situasi
ini dapat menggandakan kapasitas vital pada pasien yang dapat bernapas spontan,
mengurangi pergerakan paradoksiikal pada daerah yang fraktur, dan menghindari
efek samping opioid narkotik diantaranya somnolen, depresi pernapasan, dan
gejala gastrointestinal. 20 Bulger dkk mendemonstrasikan bahwa penggunaan
analgesik epidural thorakal berhubungan dengan penurunan angka kejadian
pneumonia nosokomial dan lebih singkatnya waktu peggunaan ventilator. Studi
acak ini melibatkan 458 pasien dengan trauma tumpul thoraks. Pasien dengan
lebih dari 3 fraktur, grup analgesik epidural rata-rata memakai ventilator selama
7,6 hari. Sedangkan grup opioid sistemik selama 9,1 hari. Bila dilihat dari masalah
pulmoner, risiko pneumonia pada grup opioid sistemik 6 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan grup epidural. Meskipun terdapat keuntungan-keuntungan
ini, hanya 22% pasien yang ditawarkan analgesik epidural, dengan alasan ekslusi
paling umum adalah infeksi, koagulopati, fraktur spinal, dan instabilitas
hemodinamik. 21 Terapi alternatif selain anastesi epidural thorakal adalah blok
nervus paravertebral, injeksi nervus interkostal, dan kateter interpleural. Dari
pilihan-pilihan ini, blok nervus paravertebral sepertinya adalah yang paling
menjanjikan, meskipun kemanjurannya belum banyak diteliti.
3. Keterbatasan teknik regional
Kekurangan dari analgesik regional adalah kompleksnya prosedur dan
latihan dan pengulangan dibutuhkan untuk dapat mencapai dan mempertahankan
kecakapan dalam menggunakan teknik regional ini. Anastesi regional merupakan
prosedur invasif dengan risiko infeksi, trauma saraf, dan risiko lain seperti trauma
vaskular, pneumothoraks, toksisitas anastesi lokal, infeksi, dan kemungkinan
menutupi suatu sindrom kompartemen pada trauma ekstremitas. Pada beberapa
Halaman 9 dari 16
pasien dengan trauma ekstremitas yang luas, teknik kateter dapat digunakan,
namun terkadang pasien-pasien ini tetap membutuhkan analgesik sistemik dan
sedasi sehingga menjadi lebih baik bila dibandingkan dengan teknik regional.
Meskipun terdapat banyak manfaat dari analgesik regional, penggunaan
teknik ini kadang tidak dipertimbangkan atau dianggap tidak cocok dengan
kemungkinan risiko dan efek samping. Namun, yang paling sering adalah akibat
kurangnya latihan ataupun karena kurangnya pengetahuan staf yang menangani
pasien pada fase sebelum rumah sakit mengenai teknik regional ini.
3.1. Sindrom kompartemen
Trauma pada ekstremitas dapat menyebabkan sindrom kompartemen di
mana bengkak dan peningkatan tekanan jaringan pada kompartemen otot dapat
mengurangi sirkulasi yang dapat menyebabkan iskemia dan nekrosis otot yang
luas. Salah satu gejala sindrom komartemen adalah nyeri yang bertambah. Gejala
nyeri yang bertambah merupakan gejala yang tidak dapat dipercaya, diyakini
bahwa kontrol nyeri setelah operasi utamanya anastesi regional dapat menutupi
gejala ini dan menyebabkan keterlambatan diagnosis. Keterlambatan diagnosis
dan penanganan sindrom kompartemen akibat trauma ortopedi pada tulang
panjang dapat mengakibatkan amputasi, gagal ginjal akibat rhabdomiolisis dan
aritmia. Pasien yang memiliki risiko tinggi di antaranya yang mengalami fraktur
plateau tibia, trauma hancur, dan pelepasan yang lama. 15 Fraktur leher femur dan
fraktur ankle lebih jarang dihubungkan dengan komplikasi ini. Nyeri saat
peregangan pasif dari kompartemen yang terlibat diduga sebagai tanda awal.
Terdapat beberapa laporan keterlambatan diagnosis pada pasien yang menerima
analgesik regional, terutama via jalur subarakhnoid dan epidural, demikian juga
halnya pada pasien yang mengontrol analgesik opioidnya sendiri. Di tahun 2009,
Mar dkk mempublikasikan tinjauan sistemik dimana mereka menganalisa 20
laporan kasus dan 8 serial kasus yang menggambarkan tentang sindrom
kompartemen dan efek analgesik terhadap diagnosis. Mayoritas pasien ini
mendapatkan anastesi epidural (n=23), sedangkan kateter blok nervus perifer
(n=2) dan pasien yang mengontrol analgesik intravenanya sendiri (n=3) lebih
Halaman 10 dari 16
jarang. Tidak ada studi acak lain atau studi pembanding lain yang ditemukan oleh
peulis. Dalam 8 laporan kasus yang ditinjau oleh penulis, nyeri ada meskipun
telah diberi analgesik setelah operasi, tetapi gejala tidak dirasakan dalam waktu
lama yang menyebabkan keterlambatan diagnosis. Dari analisanya, penulis
menyimpulkan bahwa laporan-laporan itu cenderung lebih fokus melihat efek
analgesia sebagai penyebab ketimbang melihat hubungannya dengan
keterlambatan diagnosis sindrom kompartemen. Dari laporan-laporan itu juga
menunjukkan bahwa semua modalitas analgesik selalu dihubungkan dengan
keterlambatan diagnosis. Terlepas dari jenis analgesia, kecurigaan yang tinggi,
pengawasan yang ketat, dan pengukuran tekanan kompartemen sangat penting
dalam diagnosis sindrom kompartemen yang cepat.
Dari pengalaman militer terbaru tidak ditemukankan adanya kasus sindrom
kompartemen yang tertutupi karena penggunaan analgesik regional. Sebuah studi
serial kasus terhadap sindrom kompartemen pada pasien yang mendapatkan blok
nervus perifer atau anastesi neuraxial menunjukkan adanya gejala peringatan dari
komplikasi ini. 23 Penulis menyimpulkan bahwa nyeri tiba-tiba meski sebelumnya
telah diberikan analgesik yang adekuat dan nyeri pada area yang tidak sesuai
dengan tempat cedera ataupun operasi harus dicurigai dan diawasi ketat akan
kemungkinan sindrom kompartemen. Bentuk pengawasan diantaranya dengan
mengawasi tekanan kompartemen. Temuan yang sama juga diungkapkan oleh
Cometa dkk yang menggambarkan sebuah kasus sindrom kompartemen pada
pasien yang juga menerima anastesi regional kontinus. Nyeri pasien tersebut
berkurang setelah diberikan blok nervus perifer namum kemudian muncul nyeri
hebat pada hari kedua setelah operasi meski telah diberikan terapi blok nervus dan
analgesik opioid oral yang adekuat. Pasien ini kemudian didiagnosis dan diterapi
sebagai sindrom kompartemen. Dari sini, penulis dapat menyimpulkan bahwa
sindrom kompartemen tetap dapat didiagnosis meskipun pasien mendapatkan
anastesi regional yang efektif, dan evaluasi klinis dan kecurigaan yang tinggi
sangat penting dalam mendiagnosis sindrom ini tepat waktu. Selain sangat penting
untuk mengenali risiko sindrom kompartemen pada keadaan seperti ini dan untuk
selanjutnya menangani pasien dengan hati-hati, penting juga untuk berkolaborasi
Halaman 11 dari 16
dengan ahli ortopedi dalam menentukan cara terbaik untuk memonitor sindrom
kompartemen, tanpa mengabaikan manfaat anastesi regional bagi pasien.
3.2. Cedera saraf dan komplikasi teknik regional
Praktisi yang terlibat dalam penanganan pasien trauma akut harus sadar
akan kemungkinan-kemungkinan komplikasi dan efek samping akibat analgesik
regional. Kejadian yang jarang ini di antaranya infeksi, cedera nervus, dan injeksi
intravaskular.
Cedera saraf perifer merupakan komplikasi anastesi regional yang jarang
terjadi dan Auroy dkk melaporkan 2 kasus cedera saraf dan satu kejang di antara
11.024 prosedur blok pleksus axillary. Di antara 3459 prosedur blok interskalene,
pernah dilaporkan satu kasus cedera saraf permanen. Tidak ada serangan jantung,
kegagalan respirasi, atau kematian yang dilaporkan dari 23.784 pasien yang
menerima prosedur blok nervus regional ekstremitas atas. 25 Studi prospektif pada
257 pasien yang menjalani blok nervus interskalene dan supraklavikula dengan
panduan ultrasound tidak memperihatkan komplikasi neurologis, kecuali 42
pasien yang menerima injeksi intraneural didiagnosis oleh dua ahli anastesi yang
meninjau gambar ultrasound dan video secara offline.26
Toksisitas anastesi lokal merupakan kekhawatiran dalam semua teknik
anastesi regional, terutama bila digunakan anastesi lokal dalam jumlah besar.
Insiden komplikasi ini jarang dan dapat semakin dikurangi menggunakan teknik
anastesi lokal dengan jumlah sedikit. O’Donell dkk dapat menggambarkan
berkurangnya nyeri pada pasien yang menjalani operasi ekstremitas atas dengan
penggunaan anastesi lokal dalam jumlah sedikit yang diberikan melalui blok
pleksus brakhial axillary. 18
Banyak praktisi yang segan untuk melakukan anastesi regional di fase
sebelum rumah sakit karena kekhawatiran akan tingginya infeksi. Meskipun
banyak prosedur steril seperti chest tube, dan pemasangan central line dilakukan
di lapangan, namun banyak yang beranggapan bahwa tidak sebanding untuk
melakukan pemasangan blok nervus perifer dimana risiko infeksinya sangat
tinggi, sementara untuk penanganan nyeri masih dapat dipilih alternatif terapi
Halaman 12 dari 16
yang lain. Meskipun demikian, peningkatan penggunaan opioid juga memiliki
risiko tersendiri, di antaranya depresi pernapasan, sedasi dalam, dan kebutuhan
akan proteksi jalan napas dan ventilasi selama transport.
Keragu-raguan untuk melakukan anastesi regional sebagai terapi awal
kasus trauma juga dipengaruhi oleh kekhawatiran praktisi akan cedera nervus.
Cedera saraf yang sudah ada merupakan kontraindikasi relative untuk teknik
neuraxial dan blok nervus perifer menurut pedoman ASRA (American Society of
Regional Anesthesia). Penilaian akan luasnya cedera dan kompromi neurovaskular
pada pasien trauma akut kadang-kadang sulit dan menantang akibat perubahan
status mental pasien akibat trauma kapitis, intoksikasi, atau sedasi. Risiko cedera
langsung pada nervus akibat jarum sudah dapat dikurangi dengan menggunakan
ultrasonografi dan teknik-teknik seperti FICB. Bila anastesi lokal dosis tinggi
dapat bersifat toksik bagi nervus, konsentrasi klinis dianggap aman. 8 Implikasi
medikolegal juga harus diperhatikan. Simpatektomi akibat pemasangan blok
nervus perifer dapat meningkatkan aliran darah pada ekstremitas yang teranastesi
dan hal ini dapat terbukti bermanfaat pada kasus adanya gangguan vaskular pada
ekstremitas yang cedera. Pernah dilaporkan blok nervus perifer yang berhasil
dilakukan pada pasien dengan gangguan neurovaskular, risiko dan manfaat harus
selalu dipertimbangkan dengan berbasis pada kasus-kasus yang telah dilaporkan
sebelumnya.
Orebaugh dkk melakukan penelitian retrospektif terhadap komplikasi
anastesi regional. Analisis mencakup 5436 kasus blok perifer non kateter
(interskalene, axillay, femoral, sciatik, dan popliteal). Semua prosedur dilakukan
oleh staf anastesi dengan atau tanpa panduan ultrasound sebagai tambahan
terhadap stimulasi nervus. 3290 prosedur dilakukan dengan stimulasi nervus, tapi
tanpa panduan ultrasound. 2146 prosedur dipandu dengan ultrasound dan
stimulasi nervus. 8 kasus dengan komplikasi yang buruk (5 kejang dan 3 cedera
saraf) ditemukan pada grup yang tanpa panduan ultrasound dan tidak ada
komplikasi buruk pada grup yang mengguakan panduan ultrasound. 27
Di antara kedua grup tidak ada perbedaan jumlah kejadian kejang yang
terjadi pada blok ekstremitas bawah, atau pada frekuensi cedera neurologis.
Halaman 13 dari 16
Meskipn keamanan blok nervus perifer sudah meningkat dengan adanya
penggunaan panduan ultrasound, potensi risiko toksisitas anastesi lokal sebaiknya
tidak diminimalkan. ASRA dan ASA merekomendasikan pengawasan yang
adekuat menggunakan oksimetri, pengawasan tekanan darah, dan EKG serta
ketersediaan peralatan resusitasi dan obat-obatan sangat penting demi keamanan
pelaksanaan teknik anastesi regional.
3.3. Pasien usia tua
Literature mengenai anastesi regional pada pasien usia tua sangat sedikit,
utamanya di IGD. Beaudoin dkk menggambarkan studi prospektif terhadap 13
pasien dengan usia median 82 tahun yang diberikan blok nervus femoral dengan
panduan ultrasound oleh dokter IGD. Waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan prosedur adalah 8 menit dan tidak ada komplikasi yang dilaporkan.
Terdapat penurunan 44% skor nyeri pada menit ke 15 dan 67% pada menit ke 30
setelah blok nervus. Penulis menyimpulkan bahwa blok nervs femoral dengan
panduan ultrasound dapat dilakukan di IGD dan hasilnya berupa berkurangnya
intensitas nyeri. 28
3.4. Koagulopati dan anti koagulasi
Anti koagulasi setelah operasi adalah terapi standar dan beberapa pasien
bahkan mendapatkan anti koagulasi atau trombolitik sebelum operasi. Hal ini
meningkatkan risiko perdarahan saat prosedur anastesi regional atau saat
pelepasan kateter pada fase setelah operasi. Bicker dkk menggambarkan adanya
ekimosis setelah pelepasan kateter blok nervus femoral dan sciatik pada tiga
pasien yang mendapatkan enoxaparin, sebuah heparin berberat molekul rendah. 29
Konferensi konsensus ASRA ke 3 untuk anastesi regional dan anti
koagulasi merekomendasikan penggunaan pedoman yang sama untuk anastesia
regional perifer seperti yang digunakan pada prosedur regional neuraxial. 30
Tinjauan pada semua kasus perdarahan atau memar setelah teknik pleksus
atau perifer yang terlihat pada semua pasien dengan neurodefisit, mengalami
penyembuhan neurologik lengkap dalam 6 sampai 12 bulan. Perdarahan pada
Halaman 14 dari 16
pasien yang menerima terapi anti koagulasi yang juga mendapat anastesi regional
dapat mengakibatkan penurunan hematokrit, tapi tidak menyebabkan iskemia
neural yang ireversible.
Untuk mengurangi risiko komplikasi pada pasien yang mendapat terapi
anti koagulasi, sangat penting untuk menjalin komunikasi yang efektif antara
dokter yang merawat dan mengkordinasikan prosedur blok nervus dan pelepasan
kateter blok nervus perifer dengan jadwal dosis antikoagulasi dengan menghindari
pelaksanaan prosedur pada masa puncak dosis antikoagulasi.
3.5. Ketersediaan petugas berpengalaman
IGD merupakan tempat di mana anastesi regional dapat dengan mudah dan
aman dilakukan akan tetapi teknik ini jarang digunakan karena kebanyakan dokter
IGD saat ini, tidak familiar dengan teknik anastesi regional bila diandingkan
dengan anastesi infiltrasi atau blok nervus perifer yang lebih kecil. Pemasangan
kateter kontinus untuk blok nervus perifer, blok pleksus, atau anastesi epidural
saat ini masih di luar jangkauan kebanyakan dokter IGD.
Beberapa petugas medis dan paramedis di fase sebelum rumh sakit
memiliki tingkat pelatihan dan pengalaman yang cukup untuk melakukan
tindakan ini dan boleh tidaknya petugas yang bukan dokter melakukan prosedur
ini masih menjadi kontroversi saat ini. Praktisi yang kurang ahli dalam anastesi
regional dapat menyebabkan penggunaan waktu yang terlalu banyak dalam
pelaksanaan prosedur ini yang dapat menyebabkan keterlambatan penanganan
untuk cedera lain yang lebih serius. Kebutuhan untuk meminta konsul dari praktisi
lain, misalnya ahli anastesi, untuk melakukan proedur ini juga dapat
memperlambat penanganan. Selain menambah pelatihan bagi dokter IGD,
keberadaan ahli anastesi di IGD mungkin dapat memecahkan masalah ini.
4. Kesimpulan
Terdapat laporan anekdot mengenai teknik anastesi regional yang berhasil
digunakan oleh dokter gawat darurat Eropa di lapangan. Di Eropa, dimana dokter
dan ahli anastesi biasanya dipekerjakan dalam sistem penanganan kasus gawat
Halaman 15 dari 16
darurat dan diikutsertakan ke tempat kejadian, dokter-dokter tersebut sering
menggunakan kemampuan dan pengalamannya menggunakan teknik regional
dalam penanganan kasus trauma akut. Sebagai tambahan juga, pengalaman militer
yang terbaru menunjukkan hasil yang menjanjikan dari penggunaan anastesi
regional lebih awal, utamanya teknik kateter kontinu, setelah trauma dan selama
transpor. Tampaknya, pengalaman ini akan ditransfer ke sektor masyarakat sipil
dalam beberapa tahun ke depan, termasuk keteter kontinu untuk analgesik jangka
panjang. Sangat penting bagi ahli anastesi untuk menjadi yang pertama
mengadaptasi teknik ini di luar dari lingkungan kamar operasi dan
memperkenalkannya di IGD dan penanganan pra rumah sakit
Halaman 16 dari 16