analisis wacana kelompok 1
-
Upload
mellisa-jupitasari -
Category
Documents
-
view
118 -
download
0
Transcript of analisis wacana kelompok 1
1.1 Hakikat Bahasa
Dapat dikatakan bahwa kita berbahasa setiap hari. Bahasa dibentuk oleh kaidah, aturan,
dan pola yang tidak boleh dilanggar agar tidak menyebabkan gangguan pada saat berkomunikasi.
Kaidah, aturan, dan pola yang dibentuk mencakup tata bunyi, tata bentuk, dan tata kalimat. Agar
komunikasi yang dilakukan berjalan lancar dengan baik, penerima dan pengirim bahasa harus
harus menguasai bahasanya.
Banyak pakar bahasa yang mencoba memberikan definisi atau ciri-ciri bahasa. Cr F.
Hockert mendaftar 16 ciri khusus yang membedakan bahasa dan sistem komunikasi makhluk
sosial, yakni:
1. Jalur vocal-auditif. Jalur vocal-auditif (vocal-auditory chanel). Meskipun hewan
mempunyai sistem komunikasi yang auditif tetapi tidak merupakan bunyi vocal.
2. Penyiaran ke semua jurusan/arah, maksudnya semua bahasa yang diucapkan itu dapat
didengar di semua arah.
3. Cepat hilang. Berarti semua isyarat bahasa yang membentuk suara itu cepat hilang, maka
untuk melestarikan isyarat atau pesan sekarang digunakan tulisan.
4. Dapat saling berganti, di sini dapat kita lihat pada orang yang sudah dewasa bahwa
manusia dapat bertindak sebagai pendengar atau penerima.
5. Umpan balik yang lengkap, penyiar isyarat bahasa itu sendiri juga menerima isyaratnya.
6. Spesialisasi. Ini berarti bahwa besarnya daya biologis dari isyarat itu amat kecil, tetapi
hasil atau akibatnya dapat amat besar. Misalnya seseorang mengucapkan kalimat “tolong
angkatkan koper ini”, tenaga yang digunakan penutur amat kecil, tetapi tenaga yang
dikeluarkan oleh lawan bicara sangat besar.
7. Kebermaknaan isyarat-isyarat bahasa dapat berfungsi mengatur dan mengikat kehidupan
dari suatu masyarakat, oleh karena itu ada ikatan hubungan teratur antara unsure-unsur
bahasa dan hal-hal lain dalam dunia luar. Misalnya ada kalimat “ibu tidur”, maka pikiran
kita akan mengarah bahwa siapa saja yang berada di ruang atau di rumah tempat ibu tidur
tadi dilarang rebut, agar ibu tidak terganggu tidurnya.
8. Kewenangan. Hubungan maka isyarat bahasa dengan yang dirujuk ditentukan oleh
prsetujuan antara penutur bahasa bukan karena bentuk atau hubungan materi antara unsur
bahasa dan rujukan itu. Dalam bahasa ada beberapa kata yang dapat disebut bayangan
jauh dari bentu maknanya.
9. Keterpisahan, ini berarti bahwa setiap kata/bahasa secara jelas berbeda dengan yang lain.
Umpamanya kata “kali” dan “gali” atau kata “cantik” dan “jelek” yang secara jelas
terpisah makna bahasanya, walaupun secara nyata dalam bentuk fisik dan bentuk wajah
“yang satu mengalir ke yang lain”.
10. Keterlepasan. Maksudnya bahwa pesan suatu isyarat bahasa dapat merujuk kepada
sesuatu hal yang jauh. Misalnya kita berbicara tentang sesuatu yang jauh dari kita baik
rempat maupun waktunya, bahkan mungkin dapat berupa khayalan kita tentang masa
lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Berbeda dengan binatang yang menurut
Gibbon hanya merujuk pada yang ditempat dan pada waktu itu.
11. Keterbukaan, isyarat-isyarat baru dapat dibuat sesuai dengan keperluan manusia.
12. Pembelajaran. Ini berarti bahwa aturan-aturan dan kebiasaan bahasa manusia itu
diperoleh melalui kegiatan belajar, walaupun gen-gen itu memberikan kesanggupan dan
keinginan berbahasa. Gen saja memang tidak cukup untuk menentukan bahwa seseirang
akan sanggup berbahasa, mengingat bahasa itu hasil belajar. Jadi, hasil pembelajaran juga
turut mempengaruhi kesanggupan seseorang berbahasa.
13. Dualitas struktur berarti bahsa itu mempunyai subsistem yang terdiri dari unsure yang
tidak bermakna tetapi yang membedakan makna yang pertama ialah subsistem fonologi
dan yang kedua ialah subsistem fonologi dan leknikal, serta morfemik.
14. Benar atau tidak. Suatu pesan linguistic itu dapat tidak benar dan dapat juga tidak
bermakna secara logika (nonsense). Mengatakan sesuatu atau mengisyaratkan sesuatu
yang tidak benar adalah cirri khas bahasa manusia. Perlu dicatat bahwa cirri
“prevarication” inilah yang memungkinkan kita membuat hipotesis untuk diuji
kebenarannya.
15. Refleksivitas, maksudnya bahwa bahasa dapat kita pakai untuk membicarakan bahasa itu
sendiri. Dari semua sistem komunikasi yang kita ketahui hanya bahasalah yang dapat
digunakan berkomunikasi tentang diri sendiri, yaitu bahasa.
16. Dapat dipelajarai, ini berarti bahwa seorang penutur suatu bahasa mempelajari bahasa
orang lain. Contohnya adalah anak/bayi yang baru lahir, walaupun dibekali gen-gen agar
sanggup berbahasa, tetapi jika tidak diajarkan bahasa kepadanya, tentu tidak dapat
berbahasa dengan baik dan belajar itupun harus ditunjang oleh lingkungan yang
diinginkan.
Untuk membandingkan bahasa manusia dengan sistem komunikasi binatang, langkah
pertama ialah mengetahui definisi dari bahasa. Bloch dan Trager (1942), misalnya, memberikan
definisi bahasa, yakni sistem lambing bunyi ujuar yang bersifat manasuka yang merupakan
sarana kelompok sosial bekerjasama. Jika memperhatikan definisi tersebut, terdapat beberapa
cirri dalam bahasa, yakni:
1. Memiliki sistem
2. Merupakan lambing bunyi
3. Dihasilkan oleh alat ucap manusia
4. Arbitrer (manasuka)
5. Merupakan sarana komunikasi antarmanusia.
Dari berbagai teori mengenai ciri bahasa, dapat disimpulkan bahwa bahasa memiliki
hakikiat yang memang merupakan hal yang esensi dari bahasa itu sendiri. Hakikat bahasa antara
lain
1.1.1 Manusiawi
Bahasa itu manusiawi dalam arti bahwa bahasa itu adalah kekayaan yang hanya dimiliki
umat manusia. Manusialah yang berbahasa sedangkan hewan dan tumbuhan tidak. Para ahli
biologi telah membuktikan bahwa berdasarkan sejarah evolusi, sistem komunikasi binatang
berbeda dengan sistem komunikasi manusia, sistem komunikasi binatang sama sekali tidak
mengenal ciri ganda bahasa manusia yaitu sistem bunyi dan makna (duality feature). Perbedaan
itu kemudian menjadi pembenaran menamai manusia sebagai homo loquens (man the speaking
animal), hewan yang mempunyai kemampuan berbahasa. Karena sistem bunyi yang digunakan
dalam bahasa manusia itu berpola maka manusia pun disebut homo grammaticus, atau hewan
yang bertata bahasa.
Contoh yang menyatakan bahwa bahasa itu manusiawi sudah sangat terlihat dari
kehidupan sehari-hari. Percakapan, kemampuan untuk mengerti simbol dan kegiatan-kegiatan
lain yang merupakan bahasa hanya dimiliki oleh manusia.
1.1.2 Komunikatif
Fungsi terpenting dari bahasa adalah bahasa sebagai alat komunikasi dan interakasi.
Bahasa berfungsi sebagai alat mempererat antar manusia dalam komunitasnya, dari komunitas
kecil seperti keluarga, sampai komunitas besar seperti negara. Tanpa bahasa tidak mungkin
terjadi interaksi harmonis antar manusia, tidak terbayangkan bagaimana bentuk kegiatan sosial
antar manusia tanpa bahasa.
Komunikasi mencakup makna mengungkapkan dan menerima pesan, caranya bisa
dengan berbicara, mendengar, menulis, atau membaca. Komunikasi harus bermakna atau berarti
baik bagi penyapa atau pesapa. Komunikasi dapat bermakna jika sistem yang digunakan sebagai
alat komunikasi dapat informatif.
Contoh:
a. Soekarno yang sangat terkenal dengan pidatonya bisa dengan seketika memotivasi
hingga mengobarkan api kemerdekaatn masyarakat Indonesia pada saat
memperjuangkan kemerdekaan. Hal tersebut dapat terjadi karena dalam berbahasa
Soekarno dapat komunilkatif sehingga hal-hal yang diinginkannya dapat dimengerti
dan diterima oleh pendengarnya.
b. Pemuka agama seperti pendeta, ustadz, pastor dan figur-figur lain yang mempunyai
pengaruh bagi umat beragama harus berpotensi dalam pelaksanaan berbahasa yang
komunikatif. Apabila kotbah ataupun petuah-petuah yang disampaikan tidak
komunikatif maka otomatis tidak dapat dimengerti.
Fungsi ujaran sebagai alat komunikasi ini oleh para ahli umumnya diurai menjadi
beberapa fungsi. Dibawah ini dicantumkan fungsi-fungsi yang disusun oleh Jakobson (1960)
yang disimpulkan oleh Finocchiaro (1974).
Menurut Jacobson:
1. Emotive speech
Ujaran yang berfungsi psikologis yaitu dalam menyatakan perasaan sikap, emosi si
penutur.
2. Phatic speech
Ujaran berfungsi melihat hubungan sosial dan berlaku pada suasana tertentu seperti:
Bagaimana kabarmu? Hai!
3. Cognitive speech
Ujaaran yang mengacu kepada dunia yang sesungguhnya yang sering diberi istilah
denotatif atau informatif.
4. Rhetorical speech
Ujaran berfungi mempengaruhi dan mengkondisikan pikiran dan tingkah laku para
penanggap tutur.
5. Metalingual speech
Ujaran berfungsi untuk membicarakan bahasa, ini adalah jenis ujaran yang paling
abstrak karena dipakai dalam membicarakan kode komunikasi.
6. Poetic speech
Ujaran yang dipakai dalam bentuk tersendiri dengan mengistimewakan nilai-nilai
estetikanya.
Pembagian menurut Finocchiaro.
1. Personal
Ujaran yang menyatakan emosi, kebutuhan, pikiran, hasrat, sikap; perasaan, sama
dengan emotive dari Jacobson.
2. Interpersonal
Ujaran untuk mempererat hubungan sosial seperti ekspresi pujian, simpati, bertanya
kesehatan dan sebagainya.
3. Directive
Ujaran untuk mengendalikan orang lain dengan saran, nasihat, perhatian,
permohonan, persuasi, diskusi dan sebagainya.
4. Referential
Ujaran untuk membicarakan objek/ peristiwa dalam lingkungan sekeliling atau
didalam kebudayaan pada umumnya.
5. Metalinguistic
Sama dengan metalingual dari Jacobson.
6. Imaginative
Sama dengan poetic dari Jacobson.
Dari fungsi-fungsi tersebut diatas jelas bahwa dengan bahasalah manusia berkata benar,
berkata dusta, munafik, memfitnah, setia, beridealisme, mengembangkan ilmu pengetahuan dan
beramal saleh. Begitu bahasa sebagai maha identitas manusia!
1.1.3 Sistematik
Sistematik artinya beraturan atau berpola sehingga memiliki kekuatan atau alasan ilmiah
untuk dipelajari dan diverifikasi. Pada hakikatnya, setiap bahasa memiliki dua jenis sistem yaitu
sistem bunyi dan sistem arti/ makna.
a. Sistem Bunyi
Sistem bunyi mencakup bentuk bahasa dari tataran terendah sampai tertinggi (fonem,
morfem, baik morfem bebas maupun morfem terikat, frase, paragraf, dan wacana). Dalam hal
bunyi, tidak sembarangan bunyi bisa dipakai sebagai suatu simbol dari suatu rujukan (referent)
dalam berbahasa. Bunyi mesti diatur sedemikian rupa sehingga terucapkan.
Contoh:
Kata Sdfghi tidak bisa diterima karena tidak sesuai dengan sistem bunyi bahasa
Indonesia. Sedangkan kata indikasi merupakan penggabungan dari beberapa bunyi dan sesuai
dengan sistem bunyi bahasa Indonesia.
b. Sistem Makna
Sistem makna suatu bahasa merupakan isi atau terdapat dalam sistem bunyi. Sistem
bunyi dan sistem makna memang tidak dapat dipisahkan karena saling berkaitan.
Contoh:
Kalimat Ernika mengerjakan tugas di kampus merupakan kalimat yang bisa dimengerti
karena polanya sistematis dan kalimat ini adalah gabungan sistem bunyi-bunyi yang membawa
makna. Sedangkan kalimat tugas di Ernika kampus mengerjakan tidak mempunyai makna dan
tidak dapat dimengerti karena melanggar sistem.
Sistematika bahasa terlihat juga dalam tahap morfologis. Prefiks me- bisa berkombinasi
dengan dengan sufiks –kan dan –i seperti pada kata mengimplementasikan dan mewarisi. Akan
tetapi tidak bisa berkombinasi dengan ter-.
Contoh:
Tidak bisa dibentuk kata termemancar karena prefiks ter- dan me- tidak bisa
digabungkan dengan kata pancar, sedangkan yang dapat terbentuk adalah terpancar atau
memancar karena bahasa itu beraturan dan berpola.
Demikian pula dalam tahap sintaksis: Sebuah buku terjatuh dari lemari tidak bisa diubah
menjadi lemari sebuah dari terjatuh buku. Kata sebuah (a, an), sang/ si (the) dan sebangsanya
adalah kata petunjuk adanya kata benda.
Contoh:
Sang harimau sedang memburu seekor rusa. (The tiger is hunting a deer.)
Si tikus sedang mencuri keju. (The mouse is stealing cheese.)
Sebuah kertas terbang ke halamanku. (a paper is flying to my yard.)
Dalam semantik pun dapat diamati. Lamb, tokoh Stratificational Grammar, melihat
sistematika hubungan kata dengan makna sebagai berikut:
a. Satu kata dapat mempunyai makna lebih dari satu. Kata bisa dalam bahasa Indonesia
dapat berarti mampu, dapat juga racun.
b. Beberapa kata dapat memiliki makna yang sama seperti senang dan bahagia.
c. Beberapa pasangan kata mempunyai makna yang berlawanan seperti besar dan kecil.
d. Makna beberapa kata tercakup oleh makna dari beberapa kata lainnya. Umpamanya
tumbuhan tercakup dalam pohon dan makna pohon tercakup dalam pinus.
Seandainya bahasa itu tidak sistematik maka bahasa itu tidak akan pernah ada, tidak
punya arti, hanyalah sesuatu yang kacau tak karuan. Dan justru karena bersistemlah maka
bahasa itu bisa dipelajari. Kita tidak bisa mempelajari objek yang tidak sistematik walau
otak kita mencoba menyistematikkannya.
1.1. 4 Arbitrer/ Mana Suka
Arbitrer berarti dipilih secara acak tanpa alasan, mana suka, secara kebetulan, asal bunyi,
tidak ada hubungan logis antara kata sebagai simbol (lambang) dengan yang dilambangkan.
Contoh:
a. Dalam bahasa Indonesia saudara perempuan yang lebih tua biasa disebut dengan
kakak, sister dalam bahasa inggris dan Onni dalam bahasa korea.
b. Binatang yang biasa dijadikan penjaga rumah dan konon katanya setia biasa disebut
anjing dalam bahasa Indonesia resmi, sedangkan biang dalam bahasa batak, asok
dalam bahasa sambas dan asu dalam bahasa dayak.
Contoh-contoh diatas membuktikan bahwa bahasa itu bersifat arbitrer, masing-masing
Negara mempunyai kesepakatan tersendiri dalam menamai sesuatu hal. Begitu pula dengan
setiap wilayah atau suku di Indonesia yang terdiri dari kemajemukan. Semua itu bermula dari
kebiasaan (conventional) dan kemudian menjadi peraturan yang tetap, menjadi suatu sistem. Hal
lain yang juga perlu untuk diketahui, benda kental berwarna hitam yang rasanya manis biasa
disebut dengan kecap tidak bensin.
Demikian halnya dalam sintaksis, perhatikan kalimat berikut:
Saya bertemu dengan dosen.
1 2 3 4
Mengapa justru urutan 1-2-3-4 yang disetujui dan yang sesuai dengan langue setiap
penutur Indonesia? Tidak ada hal pasti untuk menjelaskannya, hanya saja jawabannya adalah:
sudah begitulah susunannya, begitulah maunya.
Ada memang kata-kata tertentu yang bisa dihubungkan secara logis dengan benda yang
dirujuknya seperti kata berkokok untuk bunyi ayam, menggelegar untuk menamai bunyi
halilintar, atau mencicit untuk bunyi tikus. Akan tetapi, fenomena seperti itu hanya sebagian
kecil dari keselurahan kosakata dalam suatu bahasa.
Bahasa itu mana suka dan tidak ada alasan mengapa sesuatu tersebut memunyai
penamaan seperti ini. Penutur akan berbicara sesuai dengan sistem ini, sebab pelanggaran pada
sistem ini berarti pelanggaran terhadap norma bangsa, berarti menolak sosialisasi terharap orang
lain. Dia terputus dari lingkungannya. Dari contoh diatas maka dapatlah dikatakan bahwa:
bahasa itu mana suka yaitu bahasa itu konvensional dan bahasa itu arbitrer tapi juga ada
beberapa yang non-arbitrer.
1.1. 5 Ujaran
Bahasa mewujud dalam bentuk bunyi, atau dapat dikatakan bahwa media bahasa yang
terpenting adalah dengan bunyi-bunyi. Kemajuan teknologi dan perkembangan kecerdasan
manusia memang telah melahirkan bahasa dalam wujud tulis, tetapi sistem tulis tidak bisa
menggantikan ciri bunyi dalam bahasa. Sistem penulisan hanyalah alat untuk menggambarkan
arti diatas kertas, atau media keras lain. Singkatnya sistem tulisan berfungsi sebagai pelestari
ujaran bukan bukannya mengatur ujaran. Karena fungsi pelestarian ujaran inilah maka bahasa
disebut sebagai alat pelestari kebudayaan manusia. Kebudayaan manusia purba dan manusia
terdahulu lainnya bisa kita prediksi karena mereka meninggalkan sesuatu untuk dipelajari.
Sesuatu itu antara lain berbentuk tulisan.
Realitas bahwa bahasa itu ujaran, maka para linguis menyelidiki organ-organ ujaran dan
menganalisis bunyi-bunyi yang dihasilkan hingga terbentuklah cabang linguistik, yang
mempelajari bidang ini yaitu fonetik dan fonologi.
Contoh:
Kita mendapat jawaban: TIDAK. Hanya bunyi- bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap
manusia (Human Organs of Speech) yang disebut sebagai bahasa.
1.1.6 Simbol
Simbol atau lambang adalah sesuatu yang dapat melambangkan dan mewakili ide,
perasaan, pikiran, benda, dan tindakan secara arbitrer, konversional, dan representatif-
interpretatif. Simbol dapat berupa ucapan, tulisan ataupun gambar. Pertama-tama harus
dibedakan antara simbol dengan tanda. Simbol mengacu kepada sesuatu objek dan hubungan
antara simbol dengan objek itu bersifat mana suka, sedangkan hubungan tanda dengan acuannya
tidak mana suka. Simbol bisa berupa bunyi, tetapi bisa berupa goresan tinta berupa gambar
diatas kertas. Gambar adalah bentuk lain dari simbol.
Sistem bahasa apapun memungkinkan kita membicarakan sesuatu walau tidak ada di
lingkungan kita. Kita bisa membicarakan sesuatu peristiwa yang sudah terjadi atau yang akan
terjadi. Ini dimungkinkan karena bahasa memiliki daya simbolik, untuk membicarakan konsep
apapun juga. Ini pulalah yang memungkinkan manusia memiliki daya penalaran (reasoning).
Manusia senantiasa bergelut dengan simbol. Melalui simbol, manusia memandang,
memahami, dan menghayati alam dan kehidupannya. Simbol itu sendiri sebenarnya merupakan
kenyataan hidup, baik kenyataan lahiriah maupun batiniah yang disimbolkan, karena di dalam
simbol terkandung ide, pikiran, dan perasaan, serta tindakan manusia.
Contoh simbol:
- Anggukan kepala mengartikan bahwa orang tersebut setuju atau menyatakan ya dan
hal itu merupakan simbol karena bersifat mana suka.
- Piramid di Mesir terbuat dari batu sebagai lambang keagungan, padahal bisa saja
terbuat dari kain atau pasir jika hal tersebut disepakati oleh penduduk Mesir dan hal
seperti inilah yang disebut dengan simbol.
- Dalam masyarakat batak dikenal wacana berupa ragam bahasa ratapan (wailing
language). Bahasa ratapan adalah syair yang diucapkan oleh seseorang ketika dia
menangisi orang yang meninggal. Bahasa ratapan melambangkan dan mewakili
perasaan si peratap. Bahasa ratapan itu sebagai simbol secara totalitas, tetapi wacana
bahasa ratapan itu juga terdiri dari simbol- simbol yang lebih kecil seperti kata,
frase, dan kalimat.
Contoh tanda –bukan simbol-:
- Menangis tanda sedih.
- Merah muka tanda malu.
- Pucat tanda ketakutan.
(tanda-tanda ini disebabkan suasana emosional jadi bukan mana suka, bukan simbol).
Potensi yang begitu tinggi yang dimiliki bahasa untuk menyimbolkan sesuatu
menjadikannya alat yang sangat berharga bagi kehidupan manusia. Tidak terbayangkan
bagaimana jadinya jika manusia tidak memiliki bahasa, betapa sulit mengingat dan
mengomunikasikan sesuatu kepada orang lain.
1.2 Fungsi Bahasa
Penganalisisan wacana berarti penganalisisan bahasa dalam pemakaiannya. Kita ketahui bahwa
berbicara tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor yang menyebabkan kita memilih kata-kata,
frasa-frasa, dan kalimat-kalimat tertentu. Kata-kata, frasa-frasa ataupun kalimat-kalimat yang
kita gunakan dalam berkomunikasi itu tentu kita dasarkan atas fungsi bahasa tersebut. Akan
berbedalah kata-kata, frasa-frasa ataupun kalimat-kalimat yang kita pakai bila berbeda fungsi
bahasa tersebut.
Fungsi-fungsi bahasa yang kita gunakan didasarkan atas tujuan kita berkomunikasi. Berbeda
tujuan akan berbeda pulalah alat komunikasi itu, baik bentuknya maupun sifatnya. Banyak
pendapat yang berbeda tentang fungsi bahasa. Pakar-pakar bahasa ada yang membagi fungsi
bahasa itu atas empat bagian, ada pula yang atas lima bagian dan ada pula yang membaginya atas
enam dan tujuh bagian.
Finocchinario membagi fungsi bahasa itu atas lima bagian, yaitu:
1. Fungsi personal. Kemampuan pembicaraannya, misalnya: cinta, kesenangan, kesusahan,
kemarahan, kemasgulan, dan sebagainya.
2. Fungsi interpersonal. Kemampuan manusia untuk membina dan menjalin hubungan kerja
dan hubungan sosial dengan orang lain. Hubungan ini membuat hidup dengan orang lain
baik dan menyenangkan. Termasuk dalam kategori ini, misalnya: rasa simpati, rasa
senang atas keberhasilan orang lain, kekhawatiran dan sebagainya yang dinyatakan dalam
bahasa.
3. Fungsi direktif. Fungsi ini memungkinkan manusia untuk mengajukan permintaan, saran,
membujuk, meyakinkan, dan sebagainya.
4. Fungsi referensial. Berhubungan dengan kemampuan untuk menulis atau berbicara
tentang lingkungan kita yang terdekat dan juga mengenai bahasa itu sendiri (fungsi
metalinguistik).
5. Fungsi imajinatif. Kemampuan untuk dapat menyusun irama, sajak, cerita tertulis
maupun lisan. Fungsi ini sukar diajarkan, kecuali kalau siswanya memang berbakat untuk
hal-hal semacam itu (Sadnoto, 1987:137)
Fungsi-fungsi bahasa tersebut baik dia fungsi personal, interpersonal dan lain-lain tidak dapat
dilepaskan dari situasi tempat fungsi itu dijalankan. Walaupun kita sudah mempunyai tujuan
berkomun ikasi dan tujuan ini menentukan fungsi bahasa tersebut, tidak dapat disangkal bahwa
kondisi dan situasi turut menentukan cara kita melaksanakan berbahasa itu.
Jika kita perhatikan lagi dengan saksama fungsi-fungsi bahasa yang lima tersebut, kita akan
sampai pada kesimpulan bahwa sebenarnya fungsi bahasa itu hanya dua yaitu personal dan
interpersonal yang berhubungan dengan personal lain. Dengan kata lain fungsi direktif,
referensial, dan imajinatif digunakan untuk berhubungan dengan orang lain, sehingga dengan
demikian fungsi-fungsi itu adalah bagian fungsi interpersonal.
1.3 Penguasaan Bahasa
Bahasa adalah gejala sosial dan pemakaiannya perlu memperhatikan aspek kebahasaan maupun
aspek non kebahasaan. Walaupun terkadang masyarakat lebih memprioritaskan penggunaan
kaidah, struktur, dan aturan dalam berbahasa. Pendidikan, tingkat ekonomi, jenis kelamin
sebenarnya juga turut menentukan pemakaian bahasa itu. Juga faktor situasi, pembicara,
pendengar, dan lain-lain.
Para pakar berkata bahwa manusia berbicara dengan alat bicara yang biasa disebut dengan
altikulator, tetapi sesungguhnya manusia juga berkomunikasi dengan seluruh bagian tubuh yang
ditentukan oleh situasi dan kondisi. Terkadang tidak secara otomatis manusia dapat menanggapi
hal yang didengar. Bahkan terkadang manusia memerlukan tanda-tanda yang lebih banyak untuk
memahami pembicaraan orang lain. Juga terkadang kita mendengar tanda-tanda yang banyak
tetapi tidak dapat kita tanggapi seluruhnya.
Kadang pada setiap kata-kata, frasa-frasa maupun kalimat-kalimat yang dipakai si pembicara
tidak asing, tetapi pembicaraan itu tidak dapat ditanggapi karena tidak mengetahui topik
pembicaraan itu. Contoh:
- Masuk kau hari ini man?
- Nanti jam terakhir.
- Saya mungkin dapat D dari pak Ilo. Kau bagaimana?
- Kan sudah keluar. Saya hanya C.
- Kan lumayan.
Semua kata-kata yang terdapat dalam dialog tersebut maupun frasa-frasa serta kalimat-
kalimatnya tidak ada yang asing. Tetapi jelas isi pembicaraan itu tidak kita pahami karena faktor-
faktor non kebahasaan memberikan pengaruh yang cukup besar dalam berbahasa. Siapa
pembicara-pendengarnya? Semua hal tersebut belum diketahui karena konsep pembicaraan juga
masih tidak jelas, sehingga sulit untuk mengetahui maksud dari D, C, hal yang terakhir, dan
lain-lain.
Tiap-tiap tuturan dapat ditafsirkan dengan berbagai cara dan si pendengarlah yang menentukan
penafsiran itu yang sidasarkan atas pengetahuannya tentang yang terjadi ketika intraksi itu
terjadi. Penafsirannya mungkin saja tidak benar, disebabkan pengetahuannya tentang hal yang
dibicarakan itu tidak cukup. Selalu pula dikatakan bahwa si pembicara bebsa memilih kata-kata
yang dikehendakinya, begitu juga bebas memilh cara-cara penyampaian informasinya. Tetapi
sebenarnya tidaklah demikian. Kondisi, situasi, topik, dan lain-lain merupakan faktor-faktor yang
mengharuskan si pembicara memakai kata-kata, frasa-frasa, maupun kalimat-kalimat tertentu,
supaya informasi yang disampaikan dapat dengan mudah dicerna oleh si pendengar, atau supaya
dialog dapat berjalan dengan lancar.
Dalam menghadapi orang yang lebih tua atau seorang atasan, tidak mungkin si penutur memakai
kata ganti ‘anda’ untuk penyapaan karena dengan demikian si penutur dianggap sebagai orang
yang tidak tahu sopan santun. Begitu juga orang tidak akan memakai kalimat perintah bila ia
menghendaki supaya teman sejawatnya datang lebih cepat dari yang biasa untuk suatu keperluan.
Si penutur akan menggunakan kalimat ‘permohonan’ dengan memakai kata-kata atau frasa ‘saya
harap’. Dengan demikian akan dianggap sebagai orang yang mengetahui sopan santun.
Dengan adanya hal-hal di atas akan timbullah berbagai varian berbahasa yang terlihat baik
sebagai individual dan kelompok. Pemakaian bahasa secara individual yang disebut sebagai
idiolek akan terlihat pada pemakaian kata-kata tertentu, kalimat-kalimat maupun intonasi yang
khusus. Pemakaian varian berbahasa secara kelompok yang dinamakan dengan dialek
mempunyai kekhususan tertentu pula yang dipakai pada masyarakat tertentu dan tidak terdapat
pada masyarakat yang lain.
Kembali kepada persoalan penguasaan bahasa. Apakah yang dimaksud dengan penguasaan itu?
Apakah kalau kita telah mengetahui arti kata-kata 62000 yang terdapat dalam kamus bahasa
Indonesia telah dapat dikatakan dapat berbahasa Indonesia? Apakah begitu juga dengan
penguasaan bahasa asing, seperti bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, dan negara lain? Membeli
kamus bahasa Inggris, kemudian menghapal kata-kata dan ungkapan-ungkapan yang terdapat di
dalamnya beserta artinya, tidak berarti kita sudah menguasi bahasa Inggris. Ribuan kata yang
telah kita kuasai belum berarti kita telah dapat membuat sebuah kalimat yang benar.
Menguasai sebuah bahasa berarti sanggup merangkai kata-kata itu menjadi frasa dan merangkai
frasa-frasa itu menjadi kalimat. Lagi pula tidak ada kamus yang menuliskan kalimat secara
lengkap. Menguasi bahasa berarti sanggup menghasilkan kalimat-kalimat yang belum pernah
diucapkan sebelumnya dam memahami kalimat-kalimat yang belum pernah didengar
sebelumnya. Noam Chomsky mengatakan bahwa hal itu adalah aspek kreatif penggunaan
bahasa, hal ini merupakan cakupan dari aliran transformasional yang secara jelas diungkapkan
dalam lima rincian, yakni:
1. Bahasa merupakan satu produk kebudayaan yang kreatif manusiawi
2. Bahasa bukan merupakan rekaman tingkah laku luar yang berupa bunyi yang dapat
didengar, melainkan bahasa merupakan satu proses mentalistik yang kelak kemudian
dilahirkan dalam bentuk luar bunyi bahasa yang didengar atau kelak dimanifestasikan
dalam bentuk tulis
3. Bahasa merupakan satu proses produktif, sehingga metode analisis bahasa harus bersifat
deduktif
4. Formalisasi matematis dapat juga dikenakan pada formalisasi sistem produktif bahasa
5. Analisis bahasa tidak dapat dilepaskan dari hakikat bahasa yang utuh yakni bunyi dan
makna.
Penggunaan aspek kreatif dalam penggunaan bahasa sangat menunjang pengoptimalan dalam
menguasai suatu bahasa, penutur juga tentunya dapat membedakan pemakaian bahasa yang tepat
dan yang belum tepat. Juga dengan menguasai bahasa secara kreatif, penutur bahasa dapat
membuat kalimat yang tidak terkira panjangnya, dengan memberi keterangan-keterangan kepada
unsur-unsur kalimat yang mula-mula, kemudian memberikan lagi keterangan pada unsur-unsur
kalimat yang ditambahkan itu dan seterusnya.
Sebenarnya setiap orang telah memahami atau mempelajari sistem bahasa itu – bunyinya,
strukturnya, artinya, katanya, dan aturan menyusunnya tanpa guru yang mengajarkannya dan
tanpa disadari penutur telah mempelajari seluruhnya.
Penutur menggunakan kalimat-kalimat sesuai dengan aturan bahasa itu (gramatikal). Oleh sebab
itulah maka penutur katakan bahwa mereka tahu tatabahasa yang digunakan. Pakar bahasa hanya
menggambarkan aturan bahasa itu dan aturan itu tidak mengajarkan kita cara berbicara. Tata
bahasa itu hanya menggambarkan pengetahuan penutur tentang bahasa itu dan hanya
menerangkan cara penutur berbicara, memahami dan menerangkan tentang pengetahuan penutur
mengenai bunyi-bunyi, kata-kata, frasa-frasa, dan kalimat, semua hal itu tidak mengajarkan cara
berbicara. Jadi, seorang penutur mampu berbicara memang atas dasar aspek non kebahasaan
yaitu dapat berupa kepentingan lain yang mengaruskan dia memahami secara sadar maupun
tidak.
1.4 Tindak Bahasa
Tindak bahasa atau tidak berbahasa dilakukan sejak bangun pagi hingga kembali tidur setelah
beraktivitas dalam satu hari. Sadar maupun tidak, semua penutur bahasa telah mengucapkan
ribuan kalimat selama ± 17 jam setiap hari.
Penutur bahasa mungkin saja tidak pernah berpikir cara terjadinya kalimat-kalimat yang
diucapkan, alasan yang membuat penutur menggunakan kalimat tertentu dalam suatu konteks
pembicaraan, cara kalimat itu dapat diterima oleh pendengar, cara si pendengar mampu
memahami setiap kalimat yang telah dikemukakan oleh pembicara dan kemudian dapat
memberikan respon, sehingga terjadi dialog panjang hingga berjam-jam lamanya.
Orang menyadari bahwa sukar sekali memisahkan antara makna bahasa dari penggunaannya
dalam aliran yang disebut ‘logical positivism’ oleh Wittgenstein. Pandangan ini mengungkapkan
bahwa ungkapan-ungkapan dapat dipahami hanyalah dalam kaitannya dengan kegiatan-kegiatan
yang menjadi konteks ungkapan itu.
Kegiatan-kegiatan seperti ungkapan-ungkapan dikombinasikan dengan kegiatan (aksi) yang lain
untuk membentuk sebuah kumpulan kegiatan. Kegiatan-kegiatan ini pun seperti ungkapan-
ungkapan juga yang mempunyai kegiatan inti, kegiatan sampingan, dan kegiatan tambahan. Jadi
seperti ungkapan-ungkapan dalam berbahasa, demikian juga kegiatan-kegiatan ada yang jadi
pokok, ada yang jadi pelengkap, dan ada pula yang menjadi sampingan saja.
Saat seseorang merencanakan akan berangkat ke Jakarta. Jdai berangkat ke Jakarta adalah pokok
kegiatan yang harus ditopang oleh kegiatan-kegiatan lain supaya kegiatan utama dapat berjalan
dengan lancar. Kegiatan-kegiatan yang lain itu ditentukan oleh faktor-faktor yang banyak.
Terkadang kegiatan itu direncanakan dan mungkin saja ada kegiatan yang harus kita lakukan
secara mendadak.
Jika dirumuskan dalam rincian kegiatan-kegiatan yang kegiatan pokoknya adalah ‘berangkat ke
Jakarta’ akan terlihat sebagai berikut:
1. Menyiapkan berkas-berkas dan pakaian yang akan dibawa.
2. Pergi membeli tiket kapal terbang jika menggunakan kapal terbang dan membeli tiket bus
jika mengunakan bus.
3. Membeli oleh-oleh sebagai bawaan ke Jakarta atau novel yang akan dibaca pada saat di
perjalanan hingga sampai ke tujuan.
4. Pada tanggal keberangkatan, pergi ke bandara (jika menggunakan kapal terbang), pergi
ke terminal (jika menggunakan bus), kemudian melakukan serangkaian prosedur
keberangkatan.
5. Berangkat ke Jakarta.
Secara garis besar, itulah kegiatan yang dilakukan sampai tahap keberangkatan ke Jakarta.
Kegiatan-kegiatan sampingan adalah kegiatan nomor 1-4.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa kegiatan-kegiatan itu tersusun seagai suatu struktur
yang lengkap, memiliki hal inti dan ada pula hal yang melengkapi. Pakar-pakar bahasa
mengatakan bahwa rencana yang digambarkan itu adalah struktur makronya yaitu mulai dari
persiapan pertama sampai kembalinya dari perjalanan itu. Sama dengan kegiatan-kegiatan itu
maka berkomunikasipun sebagai tindak bahasa ada yang bersifat makro dan ada yang bersifat
mikro. Struktur interaksi komunikasi perorangan bersifat mikro dan struktur interaksi
komunikasi secara keseluruhan disebut dengan makro.
Teun A. Van Dijk mengatakan sebagai berikut:
Thus, in the same way as we made a distination between the micro-semantics and the macro-
semantics of discourse, it seems necessary to distinguish the structure of individual speech acts
and the lineer structure of speech act sequences on the one hand and the global overall structure
of communicative interaction on the other hand. (1986:232).
Teori tindak bahasa seperti yang telah tertulis di atas berkembang dan ini dimajukan oleh J.L.
Austin yang mengatakan bahwa secara analitis dapat dipisahkan tiga macam tindak bahasa yang
terjadi secara serentak:
1. Tindak ‘lokusi’ (Lecutionary act) yang mengaitkan suatu topic dengan satu keterangan
dalam suatu ungkapan, serupa dengan hubungan ‘pokok’ dengan ‘predikat’ atau ‘topik’
dan penjelasan dalam sintaksis: dalam bahasa Inggris subject-predicate dan topic
comment ini disebut juga proporsional act (Searle).
2. Tindak ‘ilokusi’ (Ilecutionary act), yaitu pengucapan suatu pernyataan, tawaran, jadi
pertanyaan, dan sebagainya. Ini erat buhungannya dengan bentuk-bentuk kalimat yang
mewujudkan suatu ungkapan.
3. Tindak ‘perlokusi’ (Perlecutionary act), yaitu hasil atau efek yang ditimbulkan oleh
ungkapan itu pada pendengar sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat itu.
(Nababan: 1989, 18)
Dalam ilmu bahasa dapat disamakn tindak lokusi dengan ‘predikasi’, tindak ilokusi dengan
‘maksud kalimat’ dan tindak perlokusi dengan akibat suatu ungkapan atau dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa lokusi adalah makna dasar atau referensi kalimat itu, ilokusi sebagai daya yang
ditimbulkan oleh pemakainya sebagai perintah, ejekan, keluhan, pujian, dan lain-lain, dan
perlokusi adalah hasil dari ucapan tersebut terhadap pendengarnya.
Kalimat: nilai rapormu bagus sekali.
Dari segi lokusi, ini hanya sebuah pernyataan bahwa nilai rapor itu bagus (makna dasar). Dari
segi ilokusi, bisa berarti pujian atau ejekan. Pujian kalau memang nilai itu bagus dan ejekan
kalau memang tidak bagus. Dari segi perlokusi dapat membuat si pendengar itu menjadi sedih
(muram) dan sebaliknya dapat mengucapkan terima kasih. Ucapan yang tidak langsung itu tidak
menyatakan pujian atau ejekan, tapi mengharuskan si pendengar mengolahnya, sehingga makna
yang sebenarnya dapat ditentukan. Hal ini dapat diketahui dari kaidah perbincangan.
Jadi, kalimat:
Nilai rapormu bagus sekali bermakna dasar, sebuah rapot bernilai bagus. Prinsip koperatifnya di
sini dijalankan karena si pembicara menyatakan sesuai dengan tujuan pembicara itu. Dari segi
evaluatifnya dapat dikatakan sebagai berikut: Si pembicara menyatakan sesuatu dengan terang
dan jelas dan ini biasanya mempunyai makna di baliknya.
Kita ketahui bahwa kebanyakan bangsa Indonesia kurang suka memakai ungkapan langsung dan
oleh sebab itulah begitu banyaknya pepatah-petitih di dalam bahasa Indonesia untuk
mengelakkan ungkapan langsung tersebut. Umpamanya pada pada saat seseorang mengatakan
bahwa “bayi itu sehat sekali”, tetapi pada kenyataannya, hal yang ingin disampaikan adalah
“buruk benar badan bayi itu”. Pada contoh tersebut terlihat bahwa seseorang lebih sering
memberi penilaian kebalikan dari yang sebenarnya seperti perkataan ‘buruk’ dan andai kata bayi
itu memang tidak sehat, penutur akan memilih kata-kata yang tidak menyatakan langsung
tentang keadaan bayi itu. Mungkin kita akan mengatakan “bayimu kelihatan sehat”.
Contoh lain tentang ungkapan tak langsung adalah seperti berikut:
Jika seseorang – ibu rumah tangga umpamanya melihat ruang sebauh kamar kotor dan ia ingin
menyuruh anaknya membersihkannya, mungkin ia akan mengatakan:
1. Sudah tiga minggu kamar ini tidak dibersihkan.
2. Bagus kalau kamar ini dibersihkan.
3. Bagaimana menurutmu kalau kamar ini dibersihkan?
4. Siapalah yang dapat membersihkan kamar ini.
5. Kalau kamar ini bersih, bagus kelihatan.
6. Kamar ini kotor sekali ya?
7. Aduh, bersihnya kamar ini.
Ketujuh ungkapan ini sebenarnya mempunyai daya ilokusi menyeluruh untuk membersihkannya
dan akan memberikan daya perlokusi, si anak akan mengambil sapu dan membersihkannya.
Lebih jelas ungkapan tidak langsung itu adalah dalam jawaban seseorang terhadap undangan
teman. Sebenarnya kita tidak mungkin datang tetapi untuk mengatakannya terus terang kita
merasa kurang sopan. Sebab itu kita pilihlah salah satu kalimat di bawah ini:
- Saya harap kau datang besok.
- Insya Allah.
- Kalau tak ada halangan.
- Jika tak lupa.
- Baik, kalau tak repot.
- Kalau ada waktu.
- Kalau ada kesempatan.
Kalau tidak mengatakan: Maaf, saya tak bisa datang, karena takut teman merasa tidak enak
terhadap kita atau merasa tersinggung. Kaidah perbincangan untuk menentukan makna ungkapan
itu adalah sebagai berikut:
1. Penentuan makna dasar dari ucapan itu
2. Penentuan implikaturnya yang terdiri dari penentuan:
a. Penganutan prinsip ke-operatifnya
b. Nilai evaluatifnya
c. Kemungkinan kesimpulannya
(Searle 1975 dan Frazer 1975)
1.5 Penganalisisan Wacana
Jika kita menerima pembedaan antara dua pendekatan yang berbeda pada pencarian tatanan dan
regularitas dalam bahasa, tidaklah tepat menganggap pendekatan kedua, analisis wacana sebagai
sesuatu yang sepenuhnya baru, tanpa asal usul apapun dalam kajian bahasa di masa lalu. Para
mahasiswa bahasa di tradisi barat, para sarjana Yunani dan Romawi juga sadar atas pendekatan
yang berbeda itu dan memisahkan tata bahasa (grammar) dengan retorika, tata bahasa
(grammar) yang berkaitan dengan kaidah-kaidah bahasa sebagai objek tersendiri, dan retorika
berurutan dengan bagaimana melakukan sesuatu dengan kata-kata, mencapai efek dan
berkomunikasi secara gemilang dengan orang-orang dalam konteks tertentu. Ironisnya, beberapa
aliran analisis wacana yang seringkali dianggap sebagai salah satu disiplin ilmu terbaru dalam
kajian bahasa, menggunakan istilah-istilah dari retorika klasik, salah satu kajian yang tertua.
Di sepanjang sejarah selalu ada kajian-kajian bahasa dalam konteks dalam berbagai
selubung. Dalam linguistik abad ke dua puluh, dalam linguistik kalimat juga ada pendekatan
yang sangat berpengaruh yang mengkaji bahasa dalam konteksnya yang penuh, sebagai bagian
masyarakat dan dunia. Di Amerika Utara, dalam dekade awal abad ini, kerja yang menarik di
bidang bahasa dilakukan oleh orang-orang yang merupakan ahli antropologi dan ahli bahasa. Di
Inggris, tradisi serupa berkembang dalam karya Firt yang memandang bahasa bukan sebagai
sistem yang otomatis, namun sebagai bagian budaya yang sangat tanggap terhadap lingkungan.
Tradisi-tradisi tersebut memiliki banyak wawasan yang ditawarkan pada analisis wacana. Selain
itu, terdapat banyak disiplin ilmu yang lain -- filsafat, psikologi, psikiatri, sosiologi, dan
antropologi. Kecerdasan tiruan, kajian media, kajian sastra -- yang sering kali meneliti objek
kajiannya: jiwa, masyarakat, budaya-budaya lain, komputer, media, karya sastra melalui bahasa
dan dengan demikian mereka sedang melaksanakan analisis wacananya sendiri, sering kali
merupakan yang terbaik.
Keterlibatan disiplin-disiplin ilmu yang berbeda ini bisa sangat membingungkan dan
tampaknya menyatakan bahwa analisis wacana sama sekali bukanlah aktivitas yang terpisah,
namun merupakan pencarian bahaya timbulnya penguapan pada ilmu-ilmu yang lain. Mungkin
pembedaan yang paling berguna adalah menganggap disiplin-disiplin ilmu yang lain itu sebagai
upaya mengkaji sesuatu yang lain melalui wacana: sebaiknya analisis wacana memiliki wacana
sebagai objek utama kajian, dan meski bisa membawa ke arah kajian di banyak bidang yang
berbeda, dia selalu kembali pada perhatian utamanya.
Ironisnya, linguis kalimatlah yang menentukan istilah “analisis wacana” dan
memprakarsai pencarian kaidah-kaidah bahasa yang menjelaskan bagaimana kaitan kalimat-
kalimat dalam suatu teks dengan tata bahasa (grammar) yang diperluas. Linguis tersebut adalah
Zellig Harris. Pada tahun 1952, dalam artikelnya berjudul “Analisis Wacana” dia menganalisis
iklan untuk topik rambut -- di situ dia menghilangkan nama merk – dan mulai mencari kaidah-
kaidah gramatikal untuk menjelaskan mengapa satu kalimat mengikuti kalimat yang lain
( untungnya bagi dia, setiap kalimat dalam iklan itu gramatikalnya bagus). Rincian analisisnya
bukan menjadi pokok perhatian kita: namun kesimpulan-kesimpulannya sangat menarik. Di awal
artikel ini, dia mengamati bahwa ada kemungkinan arah bagi analisis wacana. Satu arahnya
adalah “ Meneruskan linguistik deskriptif di luar batas-batas kalimat tunggal di setiap waktu”.
Inilah apa yang dia ingin dia capai. Arah yang kedua adalah: “Mengkorelasikan budaya dan
bahasa (yakni perilaku linguistik dannon linguistik). Sebagai linguis kaliat, itulah yang tidak
dianggap sebagai minatnya. Namun dengan mempertimbangkan dua pilihan itu, di akhir artikel
itu, dia menyimpulkan: “……dalam setiap bahasa, ternyata bahwa hampir semua hasilnya
terdapat dalam regangan yang relatif pendek yang bisa kita sebut kalimat. ….. hanya saja kita
jarang bisa menyatakan kleterbatasan-keterbatasan dalam kalimat-kalimat.
Jika kita harus menemukan jawaban atas masalah apa yang memberi jenis-jenis bahasa
keutuhan dan makna, kita bisa memandang di luar kaidah-kaidah formal yang bekerja dalam
kalimat-kalimat dan mempertimbangkan orang-orang yang menggunakan bahasa dan orang-
orang yang menggunakan bahasa dan juga terjadinya bahasa itu. Namun sebelum kita
melakukannya, juga perlu disimnak seberapa jauh kaidah-kaidah linguistik yang formal dan
murni itu digunakan dalam menjelaskan cara keberhasilan satu kalimat dalam mendampingi
kalimat lain. Inilah bidang inquiri katya berikutnya.
Analisis Wacana sebagai Disiplin Ilmu
Analisis Wacana (discourse analysis) dapat dikatakan sebagai disiplin ilmu yang sudah
lama maupun perkembangannya masih dianggap baru. Asal usul analisis wacana dapat ditelusuri
hingga 2000 tahun yang lalu dalam kajian kesusastraan dan pidato-pidato. Salah satu disiplin
ilmu yang menonjol pada saat itu ialah retorika klasik (clasical rhetoric), yaitu seni berbicara
yang baik, termasuk merencanakan, menyusun, dan menyajikan pidato umum dalam bidang
politik maupun hukum (Dijk, 1988).
Asal usul analisis wacana modern dapat ditelusuri pada dasawarsa 1960-an. Pada waktu
itu di Perancis diterbitkan analisis struktur wacana, analisis cerita, analisis film sampai analisis
foto-foto media cetak. Meskipun latar belakang, tujuan, dan metode analisis itu masih beragam,
banyaknya minat dalam kajian bidang kebahasaan secara luas itu akhirnya membentuk benang
merah yang menjadikan wujud analisis wacana menjadi lebih utuh. Bersama dengan itu di
Amerika Serikat Dell Haymes menerbitkan sebuah karya yang sangat berpengaruh, yaitu
language in Culture and Society. Karya-karya awal analisis wacana dari dua belahan dunia itu
didasarkan pada prinsip yang sama, yaitu mengawinkan antara linguistik dan strukturalis
(structural linguistics) dan antropologi yang menekankan analisis pemakaian bahasa, bentuk
wacana, dan bentuk komunikasi. Karya-karya lain yang mengawali munculnya analisis wacana
juga terbit pada dasawarsa 1960-an.
Pengamatan gejala perkembangan analisis wacana itu membuahkan beberapa
kesimpulan. Pertama, pada mulanya analisis wacana merupakan kajian kebahasaan struktural
dan deskriptif dalam batas-batas linguistik dan antropologi. Kedua, kajian pada tahun awal-awal
itu lebih mengarah ke analisis ragam wacana populer, seperti cerita rakyat, mitos, dongeng, dan
bentuk-bentuk interaksi ritual. Ketiga, analisis struktur kalimat atau wacana secara fungsional itu
dipisakan dari paradigma gramatika transformasi generatif yang juga berpengaruh sebagai
metode analisis bahasa pada waktu itu (Dijk, 1988).
Kalau dasawarsa 1960-an merupakan periode lahirnya berbagai kajian pada teks dan
peristiwa komunikasi, dasawarsa 1970-an memantapkan perkembangan analisis wacana yang
sistematis sebagai bidang kajian tersendiri dengan dasar beberapa disiplin ilmu. Perkembangan
itu tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi disertai dengan perkembangan aspek-aspek lain.
Perkembangan pertama ialah perkembangan teoretis dan metodologis. Teori dan
metodologi dalam analisis wacana juga dipengarui oleh perubahan paradigma dalam kajian
bahasa. Misalnya, sosiolinguistik menjadi mantap pada akhir dasawarsa 1960-an dengan karya-
karya Joshua Fishman. Pada tahun 1972, Labov menerbitkan hasil penelitiannya tentang
pemakaian bahasa Inggris oleh orang-orang kulit kulit hitam yang menurut analisis bentuk
percakapan antarremaja dan juga analisis pengalaman pribadi seseorang.
Perkembangan kedua yang cukup penting pada dasawarsa 1970-an ialah penemuan linguistik
karya filsuf Austin, Grice, dan Searle mengenai tindak bahasa (speech acts). Berbeda dengan
sosiolinguistik yang menekankan peran variasi bahasa dan konteks sosial, pendekatan itu
memandang ujaran verbal tidak saja sebagai kalimat, tetapi juga merupakan bentuk tindakan
sosial tertentu. Apabila kalimat digunakan dalam konteks tertentu juga dapat mengemban fungsi,
yaitu fungsi ilokusi yang harus dijelaskan menurut maksud, kepercayaan atau evaluasi penutur,
atau menurut hubungan penutur dan pendengar. Dengan cara itu, yang dapat dianalisis bukan
saja hakikat konteks tetapi juga hubungan antara ujaran sebagai objek linguistik abstrak dan
ujaran yang dipandang sebagai bentuk interaksi sosial. Dimensi baru itu menambah orientasi
pragmatik pada komponen teoretis bahasa.
Perkembangan ketiga, dalam kerangka teori gramatika itu sendiri seringkali diutarakan
bahwa gramatika hendaknya jangan hanya memberikan penjelasan kalimat-kalimat lepas. Kajian
pronomina dan pemarkah kohesif lain, koherensi, preposisi, topik, dan komentar, dan struktur
semantik secara umum, ciri-ciri teks yang dipahami sebagai rangkaian kalimat mulai dikaji
dalam linguistik dengan pandangan baru dan terpadu. Pendekatan itu mulai menunjukkan
kinerjanya dengan mengkaji struktur pemakaian bahasa dengan munculnya kajian tentang teks
dan wacana.
Kehadiran pendekatan baru itu melengkapi perhatian yang besar saat itu pada jenis-jenis
wacana monolog (teks, dongeng, mitos, dan lain-lain). Pemakainan bahasa secara spontan dan
alamiah itu berwujud percakapan dan bentuk-bentk dialog dalam situasi sosial. Orang menjadi
tidak saja mengetahui kaidah-kaidah gramatika secara tak langsung, tetapi juga kaidah-kaidah
alih giliran (turn-taking) dalam percakapan. Pendekatan itu menjadi pendekatan pertama yang
mengkaji struktur kalimat dan gramatika interaksi verbal. Oleh karena itu, pendekata itu tidak
saja menambah dimensi baru dalam pengkajian struktur wacana monolog yang sudah banyak
diminati pada waktu itu, tetapi juga memungkinkan pengkajian pemakaian bahasa sebagai
bentuk interaksi sosial, sebagaimana yang telah dilakukan pragmatik dan teori tindak bahasa
dalam istilah yang lebih formal dan filosofis. Analisis itu akhirnya berkembang pula ke analisis
percakapan di kelas dan latar resmi yang lain. Dengan berkembangnya penelitian etnografi
tentang peristiwa komunikasi yang disebut dengan etnografi komunikasi (ethnography of
communication), ruang lingkup analisis wacana menjadi lebih berkembang. Analisis wacana
tidak saja berhenti pada analisis bentuk sapaan, mitos, dan interaksi ritual, tetapi juga menangani
berbagai bentuk percakapan dalam kebudayaan yang berbeda, seperti salam, cerita spontan,
pertemuan formal, perdebatan, dan bentuk-bentuk komunikasi dan interaksi verbal yang lain.
Analisis Wacana Struktural
Analisis wacana secara struktural berusaha mencari konstituen-konsituen (satuan
linguistik yang lebih kecil) yang memiliki keterkaitan khusus satu sama lain dan yang muncul
pada sejumlah pengaturan terbatas (seringkali berupa kaidah yang diatur). Pada kebanyakan
pendekatan struktural, wacana dipandang sebagai suatu tingkat struktur yang lebih tinggi dari
kalimat, atau satuan teks yang lain. Harris (1951), ahli bahasa pertama yang memakai istilah
analisis wacana, secara terang-terangan mengklaim bahwa wacana adalah tingkat lanjutan dalam
hierarki morfem, klausa, dan kalimat.
Kelemahan Pandangan Wacana di Atas Kalimat
Ada beberapa akar permasalahan yang disebabkan oleh ketergantungan definisi dan
analisis pada satuan kalimat yang lebih kecil. Sebuah permaalahan yang langsung timbul adalah
bahwa satuan-satuan yang diucapkan oleh penutur tidak tampak sebagai kalimat. Penelitian yang
dilakukan oleh Chafe (1980, 1987, 1992) misalnya, mengemukakan bahwa bahasa ucap
dihasilkan dalam satuan-satuan akhiran intonasional dan semantik, bukannya kahiransintaksis
(Schiffrin, 1994:25).
Wacana sebagai Text-Sentence
Salah satu cara untuk mengatasi sejumlah masalah yang baru saja dikemukakan adalah
dengan mengadopsi pembedaan Lyon (1977) antara system-sentence dengan text-sentence.
System-sentence adalah berbagai jalinan yang bagus yang dihasilkan oleh tata bahasa, misalnya
berupa konstruk-kontruk teoretis abstrak yang menghubungkan apa yang dihasilkan dari model
sistem bahasa para ahli bahasa. Sebaliknya, text-sentence merupakan petanda-petanda ujaran
(atau bagian-bagian dari petanda-petanda ujaran) yang bergantung pada konteks yang mungkin
terjadi pada teks-teks tertentu. Pembedaan Lyon memungkinkan wacana diuraikan atas beberapa
text-sentence dari system-sentence