Analisis singkat terhadap pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dari hubungan keuangan...

32
ANALISIS SINGKAT TERHADAP PEMBIAYAAN PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DITINJAU DARI HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH DI INDONESIA Disusun Oleh: KUSMIYATI NIM. 2009-20-042

Transcript of Analisis singkat terhadap pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dari hubungan keuangan...

Page 1: Analisis singkat terhadap  pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah

ANALISIS SINGKAT TERHADAP PEMBIAYAAN PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DITINJAU DARI

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH DI INDONESIA

Disusun Oleh:

KUSMIYATINIM. 2009-20-042

SEMESTER VIPROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MURIA KUDUS

Page 2: Analisis singkat terhadap  pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah

2012

2

Page 3: Analisis singkat terhadap  pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah

PRAKATA

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah

melimpahkan rahmad dan hidayah-Nya, sehingga penulisan makalah dengan judul

“ANALISIS SINGKAT TERHADAP PEMBIAYAAN PELAKSANAAN

OTONOMI DAERAH DITINJAU DARI HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA

PUSAT DAN DAERAH DI INDONESIA” dapat terselesaikan.

Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia

pada Semester VI Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus tahun ajaran 2012/2013.

Penulis yakin bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, maka

segala kritik dan saran yang positif akan penulis terima dengan senang hati. Akhirnya

semoga skripsi ini dapat berguna bagi penulis dan para pembaca pada umumnya.

Kudus, Juni 2012

P e n u l i s

3

Page 4: Analisis singkat terhadap  pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... 1

PRAKATA .............................................................................................................. 2

DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 4

1.1. Latar Belakang Penelitian ....................................................................... 4

1.2. Perumusan Masalah ................................................................................ 8

1.3. Tujuan Penulisan ..................................................................................... 8

1.4. Manfaat Penulisan.................................................................................... 8

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................... 9

2.1. Dimensi Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah ................................. 9

2.2. Analisis Pembiayaan Pelaksanaan Desentralisasi ………..………… 13

BAB III PENUTUP ................................................................................................ 19

3.1. Kesimpulan ……………….......................................................................19

3.2. Saran …………………………………………………………………… 19

DAFTAR PUSTAKA

4

Page 5: Analisis singkat terhadap  pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah

BAB IPENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Salah isu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang cukup mengemuka

adalah isu hubungan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah. Menurut

Muhammad Fauzan (2006: 1), kenyataan tersebut terkonfirmasi ketika hingga

saat ini masalah hubungan antara Pusat dan Daerah yang berlangsung selama ini

masih mencari bentuk, dan oleh karena itu berbagai upaya untuk menemukan

format yang ideal dan tepat terus dikaji. Sehubungan dengan bentuk organisasi

negara yang bersifat negara kesatuan, maka masalah hubungan Pusat dan Daerah

dapat dilihat dalam 2 (dua) sudut pandang (Bagir Manan, 1994: 19).

Cara pertama disebut sentralisasi, yang mana segala urusan, fungsi, tugas,

dan wewenang penyelenggaraan pemerintahan ada pada Pemerintah Pusat yang

pelaksanaannya dilakukan secara dekonsentrasi. Cara kedua dikenal sebagai

desentralisasi, di mana urusan, tugas, dan wewenang pelaksanaan pemerintahan

diserahkan seluas-luasnya kepada Daerah atau yang disebut dengan otonomi

daerah (Bagir Manan, 1994: 19).

Pembagian urusan, tugas, dan fungsi serta tanggung jawab antara Pusat dan

Daerah menunjukkan bahwa tidak mungkin semua urusan pemerintahan

diselenggarakan oleh Pusat saja (Muhammad Fauzan, 2006: 3). Hal ini

merupakan wujud nyata pelaksanaan prinsip desentralisasi, suatu prinsip yang

dapat disinonimkan dengan istilah “diet” dalam bahasa kesehatan, yaitu untuk

mengurangi obesitas akut yang diderita oleh suatu negara. Menurut Ahmad Erani

Yustika (2008: 3), obesitas tersebut terpantul dalam wujud jumlah penduduk yang

5

Page 6: Analisis singkat terhadap  pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah

besar, wilayah yang teramat luas, dan ragam multikultur masyarakat yang sangat

variatif.

Dengan otonomi daerah diharapkan kemampuan pemerintah daerah untuk

manajemen pembangunan menjadi lebih lincah, akurat, dan tepat. Pengakuan

tersebut memberikan peluang kepada Daerah untuk berusaha mengatur dan

mengurus serta menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Dengan demikian,

pengaturan mengenai hubungan Pusat dan Daerah, khususnya dalam hal ini

adalah hubungan dalam bidang keuangan merupakan permasalahan yang

memerlukan pengaturan yang baik, komprehensif, dan responsif terhadap

tuntutan kemandirian dan perkembangan daerah. Menurut Farida Rahmawati

(2008: 29), tuntutan yang demikian didasari kepada konsep bahwa setiap

kewenangan yang diberikan kepada Daerah harus disertai dengan pembiayaan

yang besarnya sesuai dengan besarnya beban kewenangan tersebut. Konsep inilah

yang dikenal dengan money follow function, bukan lagi konsep function follow

money. Artinya, pertama-tama beberapa tugas dan kewenangan yang dipandang

efisien ditangani oleh Daerah. Kewajiban pemerintah pusat adalah menjamin

sumber keuangan untuk pendelegasian kewenangan tersebut. Hal ini berarti

bahwa hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah perlu diberikan pengaturan

sedemikian rupa, sehingga kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab

Daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada.

Seiring dengan proses pembaruan terhadap isu otonomi daerah dan

desentralisasi, dewasa ini telah diberlakukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004

tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Ketentuan

6

Page 7: Analisis singkat terhadap  pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah

dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 telah memberikan kerangka bagi

terlaksananya desentralisasi fiskal.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, daerah mempunyai hak,

yaitu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004:

1. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;2. Memilih pimpinan daerah;3. Mengelola aparatur daerah;4. Mengelola kekayaan daerah; 5. Memungut pajak dan retribusi daerah;6. Mendapatkan bagi ahsil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber

daya lainnya yang berada di daerah;7. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan 8. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan.

Sebagai konsekuensi dari hak daerah tersebut di atas, daerah memiliki

kewajiban yang harus dipenuhi yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004, yaitu:

1. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

2. meningkatkan kehidupan demokrasi;3. mengembangkan kualitas kehidupan masyarakat;4. mewujudkan keadilan dan pemerataan;5. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;6. menyediakan fasilitas pelayanan dasar pendidikan;7. menyediakan fasilitas social dan fasilitas umum yang layak;8. mengembangka sistem jaminan sosial;9. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;10. mengembangkan sumber daya produktif di daerah;11. melestarikan lingkungan hidup;12. mengelola administrasi kependudukan;13. melestarikan nilai sosial budaya;14. membentuk dan menetapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan

kewenangannya; dan15. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Disebutkan dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, bahwa

hak dan kewajiban daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22

diwujudkan dalam bentuk rencana kerja pemerintahan daerah dan dijabarkan

7

Page 8: Analisis singkat terhadap  pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah

dalam bentuk pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah yang dikelola dalam

sistem pengelolaan keuangan daerah. Adapun pengelolaan keuangan daerah

tersebut harus dilakukan secara efisien, efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil,

patut dan taat pada peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya dalam hal pengelolaan keuangan dalam rangka desentralisasi,

Pemerintah mengaturnya dalam Bab IX Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004

tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Asas umum dalam pengelolaan keuangan daerah adalah sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, yaitu sebagai

berikut:

(1) Keuangan Daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan keadilan, kepatuhan, dan manfaat untuk masyarakat;

(2) APBD, Perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah;

(3) APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, dan distribusi;

(4) Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD;

(5) Surplus APBD dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran daerah tahun anggaran berikutnya;

(6) Penggunaan surplus APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk membentuk dana cadangan atau penyertaan dalam perusahaan daerah harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPRD.

Menurut Farida Rahmawati (2008: 35), implementasi desentralisasi fiskal

memberikan kewenangan kepada kabupaten/kota untuk menggali dan mengelola

sumber keuangannya sendiri, sehingga berdampak pada munculnya berbagai

kebijakan yang mengarah kepada upaya peningkatan penerimaan daerah. Atas

dasar adanya desentralisasi fiskal inilah maka dipandang perlu untuk melakukan

analisis terhadap pembiayaan pelaksanaan desentralisasi sebagai bentuk

hubungan keuangan Pusat dan Daerah melalui bentuk penulisan makalah yang

8

Page 9: Analisis singkat terhadap  pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah

berjudul “Analisis Singkat Terhadap Pembiayaan Pelaksanaan Otonomi Daerah

Ditinjau Dari Hubungan Keuangan Antara Pusat Dan Daerah Di Indonesia”.

1.2 PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam

makalah ini adalah:

1. Bagaimanakah dimensi yang ada dalam hubungan antara keuangan Pusat dan

Daerah?

2. Bagaimanakah analisis pembiayaan dalam pelaksanaan otonomi daerah?

1.3 TUJUAN PENULISAN

Berpijak dari perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan penulisan

makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui dimensi yang ada dalam hubungan antara keuangan Pusat

dan Daerah.

2. Untuk mengetahui analisis pembiayaan dalam pelaksanaan otonomi daerah.

1.4 MANFAAT PENULISAN

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah

dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap ilmu pengetahuan,

khususnya ilmu pengetahuan di bidang hukum.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penulisan makalah ini diharapkan mampu memberikan

sumbangan pemikiran kepada pemerintah berkaitan dengan pembiayaan

daerah.

9

Page 10: Analisis singkat terhadap  pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 Dimensi Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

Menurut Bagir Manan (2001: 35), untuk mengetahui hubungan antara Pusat

dan Daerah, maka salah satu dimensi yang menjadi pokok pembicaraan adalah

hubungan keuangan.

Istilah formal mengenai keuangan negara dijumpai dalam naskah asli UUD

1945 (sebelum Perubahan). Di dalam Pasal 23 ayat (4) ditentukan bahwa hal

keuangan negara selanjutnya diatur dengan undang-undang. Sementara itu,

ketentuan Pasal 23 ayat (5) menyebutkan bahwa untuk memeriksa tanggung

jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan,

yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil pemeriksaan itu

diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah Perubahan UUD 1945

istilah “hubungan keuangan” dijumpai dalam Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 yang

menegaskan bahwa hubungan keuangan...antara pemerintah Pusat dan

pemerintahan Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras

berdasarkan undang-undang.

Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan

keuangan antara Pusat dan Daerah tidak mempergunakan istilah “hubungan

keuangan” sebagai nama undang-undang tersebut, melainkan menggunakan

istilah “perimbangan keuangan”. Hal tersebut dapat dilihat dalam: (i) Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 1956; (ii) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999; dan

(iii) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1956 bahkan istilah perimbangan

keuangan sebagai nama undang-undang yang bersangkutan, diikuti dengan frasa

10

Page 11: Analisis singkat terhadap  pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah

“antara negara dengan daerah-daerah yang berhak mengurus rumah tangganya

sendiri. ”Kata “negara” dipergunakan untuk menunjuk Pemerintah Pusat,

sedangkan kata “daerah-daerah” dimaksudkan untuk menunjuk daerah otonom.

Sementara itu, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 dan Undang-Undang

Nomor 33 Tahun 2004 mempergunakan istilah yang sama sebagai nama undang-

undang tersebut, yaitu perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah.

Istilah “hubungan keuangan” juga dapat dilihat dalam Pasal 2 ayat (6)

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa Hubungan

keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya

lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Istilah tersebut juga dapat dijumpai

dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, hanya saja baik dalam

UUD 1945 maupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1956, Undang-Undang

Nomor 25 Tahun 1999, dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 sama sekali

tidak diketemukan batasan mengenai istilah “hubungan keuangan.”

Sementara itu, untuk memberikan pijakan pemahaman mengenai hubungan

keuangan tersebut perlu sekali diketahui mengenai apa yang dimaksud dengan

keuangan negara itu. Secara teoritis di sini akan dikemukakan pemahaman

mengenai keuangan negara seperti paparan Subagio dan M. Ichwan.

Menurut Subagio (1987: 11), keuangan negara adalah semua hak dan

kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu, baik

uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara, berhubungan dengan

pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Sementara itu, M. Ichwan, sebagaimana

dikutip oleh W. Riawan Tjandra (2006: 1), mengatakan bahwa keuangan negara

adalah rencana kegiatan secara kuantitatif (dengan angka-angka diantaranya

11

Page 12: Analisis singkat terhadap  pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah

diwujudkan dalam jumlah mata uang), yang akan dijalankan untuk masa

mendatang, lazimnya satu tahun mendatang. Jika dicermati, pendapat Subagio

mencerminkan pemahaman keuangan negara dalam perspektif yang luas. Hal ini

karena ia menyebut bahwa keuangan negara meliputi: (i) hak dan kewajiban yang

dapat dinilai dengan uang; (ii) uang milik negara; dan (iii) barang milik negara.

Hemat penulis, pemahaman Subagio memandang keuangan negara dari segi

obyeknya. Sementara itu, M. Ichwan menunjuk keuangan negara dari sudut

pandang proses, meskipun juga terkesan sederhana, karena hanya menyangkut

pengelolaan keuangan negara. Bahkan, hemat penulis, pendapat M. Ichwan itu

tidak mendefinisikan keuangan negara, tetapi lebih tepat dipandang sebagai

pengertian anggaran negara.

Selanjutnya dalam perkembangannya juga telah diundangkan Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam Pasal 1 angka 1

undang-undang tersebut diatur bahwa keuangan negara adalah semua hak dan

kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu, baik

berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara

berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. Defisini menurut undang-

undang mengenai keuangan negara ini sangat luas, karena diperoleh dengan

menggunakan pendekatan dari sisi obyek, proses, dan tujuan. Menurut W.

Riawan Tjandra (2006: 4), definisi yang demikian luas itu bertujuan untuk

mencapai 3 (tiga) hal. Pertama, terdapat perumusan definisi keuangan negara

secara cermat dan teliti untuk mencegah terjadinya multiintepretasi dalam segi

pelaksanaan anggaran. Kedua, agar tidak terjadi kerugian negara sebagai akibat

kelemahan dalam perumusan undang-undang. Ketiga, memperjelas proses

12

Page 13: Analisis singkat terhadap  pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah

penegakan hukum apabila terjadi maladministrasi dalam pengelolaan keuangan

negara.

Selanjutnya, Pasal 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 mengatur

bahwa Presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan

keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Selanjutnya,

kekuasaan Presiden itu dalam rangka otonomi daerah diserahkan kepada

gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola

keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikikan kekayaan

daerah yang dipisahkan. Di sinilah titik awal terjadinya hubungan keuangan

antara Pusat dan Daerah (Ateng Syafrudin, 2001).

Menurut Ahmad Yani (2002: 98), hubungan keuangan antara Pusat dan

Daerah sering juga disebut sebagai perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan

Daerah. Dalam pandangan Bagir Manan (2001: 40), esensi dari perimbangan

keuangan tersebut adalah memperbesar pendapat asli daerah sehingga lumbung

keuangan daerah dapat berisi lebih banyak. Tetapi Kennet Davey, sebagaimana

dikutip oleh Syarif Hidayat (2000: 119), mengatakan bahwa inti dari hubungan

keuangan antara Pusat dan Daerah adalah pengaturan masalah distribusi, yaitu

konsekuensi dari distribusi kekuasaan kepada pemerintah daerah untuk

mengimplementasikan wewenang yang telah didesentralisasikan.

Dengan mencermati pemahaman di atas, dapat dikatakan bahwa salah satu

komponen utama otonomi daerah adalah desentralisasi fiskal. Artinya, berbicara

otonomi daerah tidak dapat dilepaskan dari isu kapasitas keuangan daerah, di

mana kemandirian daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan diukur dari

kemampuan menggali dan mengelola keuangannya (Farida Rahmawati, 2008:

13

Page 14: Analisis singkat terhadap  pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah

28). Oleh karena itu, penyelenggaraan pemerintahan daerah memerlukan

pembiayaan.

Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, pembiayaan

penyelenggarakan pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi,

dan tugas pembantuan. Pembiayaan berdasarkan asas desentralisasi dilakukan

atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sementara itu,

pembiayaan berdasarkan asas dekonsentrasi dilakukan atas beban Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sedangkan pembiayaan dalam tugas

pembantuan dibiaya atas beban anggaran tingkat pemerintahan yang menugaskan.

2.2 Analisis Pembiayaan Pelaksanaan Desentralisasi

Dalam rangka implementasi asas desentralisasi, maka pengertian otonomi

sebagai hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan serta aspirasi Daerah

harus diletakkan juga dalam kerangka pembiayaan atas penyelenggaraan urusan

Pemerintahan Daerah. Menurut Bird dan Vaillancourt (2000: 135), membiayai

diri sendiri menunjukkan bahwa Daerah harus mempunyai sumber-sumber

pendapatan sendiri.

Menurut Muhammad Fauzan (2006: 231), salah satu konsekuensi

pelaksanaan otonomi daerah adalah berhubungan dengan upaya untuk

menciptakan kemampuan membiayai diri sendiri. Kemampuan ini harus

memperhatikan kemampuan sumber daya Daerah-daerah lainnya yang tidak

merata sehingga sistem pembiayaan Daerah pun harus dapat dilaksanakan secara

adil, artinya terhadap Daerah yang kurang mampu perlu diperhatikan dengan

perimbangan yang proporsional rasional yang disusun dan ditentukan secara

terbuka dengan melibatkan partisipasi warga masyarakat. Berdasarkan

pemahaman demikian, maka analisis mengenai pembiayaan pelaksanaan

14

Page 15: Analisis singkat terhadap  pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah

desentralisasi terkait erat dengan sumber-sumber, peruntukkan, dan

pendistribusian penerimaan daerah.

Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 ditentukan

bahwa sumber penerimaan Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas

Pendapatan Daerah dan Pembiayaan. Pendapatan Daerah meliputi: (i) Pendapatan

Asli Daerah; (ii) Dana Perimbangan; dan (iii) Lain-lain Pendapatan. Sementara

itu, Pembiayaan meliputi: (i) sisa lebih perhitungan anggaran daerah; (ii)

penerimaan Pinjaman Daerah; (iii) Dana Cadangan Daerah; dan (iv) hasil

penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan.

Analisis ini difokuskan kepada Pendapatan Daerah dan selanjutnya dibatasi

hanya menyangkut Pendapatan Asli Daerah saja. Pertimbangan fokus analisis ini

adalah bahwa besarnya penerimaan daerah dari kedua sumber pendapatan

tersebut dipengaruhi oleh sistem perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah

yang dianut.

a. Pendapatan Asli Daerah

Hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ditandai

dengan tingginya kontrol pusat terhadap proses pembangunan daerah. Hal ini

jelas terlihat dari rendahnya proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD)

terhadap total pendapatan daerah dibanding besarnya subsidi (grant) yang

diberikan oleh Pusat. Menurut Suwarno (2008: 51), indikator desentralisasi

fiskal adalah rasio antara PAD dengan total penerimaan Daerah. Dalam hal

ini, kemampuan Daerah untuk mengembangkan kompetensi dalam

mengelola secara optimal sumber penghasilan dan keuangan guna

pembiayaan aktivitas pemerintahan dan pembangunan merupakan salah satu

pilar pelaksanaan otonomi daerah (Mulyanto, 2002: 5).

15

Page 16: Analisis singkat terhadap  pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah

Menurut Suhadak dan Tri Laksono Nugroho (2007: 163), dalam kaitan

dengan peningkatan PAD, kebijaksanaan yang perlu ditempuh adalah dalam

bentuk intensifikasi dan ekstensifikasi pemungutan sehingga diharapkan

PAD akan lebih berperan. Kebijaksanaan dan usaha intensifisikasi berupa

peningkatan PAD dari sumber-sumber yang ada atau berjalan selama ini.

Sementara itu, kebijaksanaan dan usaha ekstensifikasi dalam pemungutan ini

berupa mencari dan menggali sumber-sumber pendapatan daerah yang baru

dalam batas ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada sisi yang lain,

upaya-upaya intensifikasi dan ekstensfikasi sumber-sumber sangat

tergantung kepada kreativitas aparatur Daerah dalam mengkoordinasikan

berbagai lembaga penghasil sumber dana PAD dan kreativitas aparatur

tentunya sangat ditentukan oleh kualitas aparatur.

Diuraikan lebih lanjut oleh Suhadak dan Tri Laksono Nugroho (2007:

163-164), bahwa PAD seyogyanya lebih dititikberatkan pada ekstensifikasi

dan intensifikasi sumber-sumber retribusi. Sementara itu, pajak daerah cukup

ditetapkan sumber limitatif pada obyek-obyek yang cukup potensial bagi

pajak yang kurang potensial seyognyanya dihapuskan. Uraian selanjutnya

terbatas kepada masalah pajak daerah belaka.

b. Pajak Daerah

Menurut Andriani, sebagaimana dikutip oleh Santoso Brotodiharjo

(1986: 2), pajak merupakan iuran kepada negara yang dapat dipaksakan yang

terhutang oleh wajib pajak menurut peraturan-peraturan, dengan tidak

mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan gunanya untuk

membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas

negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Menurut N.J. Feldman,

16

Page 17: Analisis singkat terhadap  pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah

sebagaimana dikutip oleh Early Suandy, pajak adalah prestasi yang

dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-

norma yang ditetapkan secara umum) tanpa ada kontraprestasi dan semata-

mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum (Early

Suandy, 2002: 9). Sementara itu, menurut ketentuan Pasal 1 angka 6

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 jo Undang-Undang Nomor 34

Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pengertian Pajak

Daerah mencakup iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan

kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat

dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang

digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah Daerah dan

pembangunan Daerah. Dalam hal ini, secara umum dapat dipahami bahwa

pajak memuat unsur-unsur sebagai berikut: (i) pungutan yang dilakukan oleh

negara; (ii) berdasarkan undang-undang; (iii) pelaksanaannya dapat

dipaksakan kepada wajib pajak; dan (iv) tidak ada jasa balik secara langsung.

Dalam konteks hubungan Pusat dan Daerah, Mustaqiem (2008: 169-

170) menunjuk adanya 2 (dua) pola pengaturan bidang perpajakan daerah,

yaitu sistem residu dan sistem material. Dalam sistem residu, Pemerintah

Pusat dapat menetapkan macam-macam pajak Pusat dan di luar yang

ditetapkan oleh pemerintah pusat merupakan Pajak Daerah. Pemerintah

Daerah dengan sistem ini akan leluasa dalam menetapkan dan mengatur

bermcam-macam pajak daerah. Apabila timbul persoalan-persoalan baru,

Pemerintah Daerah akan cepat mengambil langkah-langkah yang diperlukan

dan tidak perlu menunggu keputusan dari pemerintah pusat.

17

Page 18: Analisis singkat terhadap  pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah

Di dalam sistem material, jumlah dan jenis-jenis pajak daerah

ditetapkan secara riil oleh pemerintah Pusat, di luar yng telah ditetapkan oleh

Pemerintah Pusat sebagai pajak daerah. Pola ini menyebabkan terpasungnya

Daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang berasal dari sektor

pajak daerah karena Daerah tidak dapat leluasa menambah sendiri macam-

macam pajaknya.

Kedua pola tersebut menunjukkan bahwa kewenangan memungut

pajak dapat dilaksanakan oleh Pusat maupun Daerah. Jika kewenangan

berada pada Pusat, maka bidang tersebut merupakan perpajakan Pusat, dan

sebaliknya, jika kewenangannya berada pada Daerah, maka bidang tersebut

merupakan perpajakan Daerah.

Agar dapat berperan sebagai sumber PAD yang efisien, maka perlu

ditempuh kebijaksanaan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak daerah.

Intensifikasi pajak daerah diartikan sebagai suatu usaha yang dilakukan oleh

pemerintah kota/kabupaten untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah

yang biasa diaplikasikan ke dalam 2 hal yaitu perubahan tarif pajak daerah

dan peningkatan pengelolaan pajak daerah (Abdul Halim, 2001: 69).

Kebijaksanaan perubahan tarif pajak daerah merupakan hal yang sangat

mudah dilakukan oleh Daerah dan secara nyata dapat meningkatkan

penerimaan pajak. Hanya saja efek negatif yang muncul adalah dapat

menggangu perekonomian daerah khususnya dalam kegiatan produksi dan

kegiatan perdagangan barang dan jasa. Bahkan, kebijaksanaan semacam ini

dapat juga menimbulkan terjadinya pelarian modal oleh para investor

(crowding out) dari Daerah yang bersangkutan ke Daerah yang lain.

Sementara itu, peningkatan pengelolaan pajak daerah harus dilakukan secara

18

Page 19: Analisis singkat terhadap  pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah

profesional melalui mekanisme dan prosedur yang baik dan transparan, guna

menghindari terjadinya pemborosan biaya pemungutan dan kebocoran

penerimaan pajak daerah.

Pada sisi lain, ektensifikasi pajak daerah merupakan suatu kebijakan

yang dilakukan oleh Daerah dalam upaya meningkatkan penciptaan sumber-

sumber pajak daerah. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18

Tahun 1997 jo Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 di mana dalam usaha

meningkatkan konstribusi pajak daerah terhadap total penerimaan Daerah

merupakan salah satu kebijakan yang sangat rasional. Pelaksanaan

kebijaksanaan ini sangat terbuka lebar, karena Daerah diberi kesempatan

untuk menggali potensi sumber-sumber keuangan yang ada di wilayahnya

dengan menetapkan jenis pajak selain yang telah ditetapkan dalam undang-

undang sepanjang memenuhi kriteria atau indikator yang telah digariskan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997

jo Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, pajak daerah terdiri atas Pajak

Daerah Propinsi dan Pajak Daerah Kabupaten/Kota. Dalam Pasal 2 ayat (1),

ditentukan bahwa Pajak Propinsi meliputi: (i) Pajak Kendaraan Bermotor dan

Pajak Kendaraan atas Air; (ii) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; (iii)

Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; dan (iv) Pajak Pengambilan dan

Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Sementara itu, Pasal 2

ayat (2) menentukan bahwa Pajak Daerah Kabupaten/Kota meliputi: (i) Pajak

Hotel; (ii) Pajak Restoran; (iii) Pajak Hiburan; (iv) Pajak Reklame; (v) Pajak

Penerangan Jalan; (vi) Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C; dan

(vii) Pajak Parkir.

19

Page 20: Analisis singkat terhadap  pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah

BAB IIIPENUTUP

3.1 KESIMPULAN

1. Dimensi hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah sering juga

disebut sebagai perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Esensi

dari perimbangan keuangan tersebut adalah memperbesar pendapat asli daerah

sehingga lumbung keuangan daerah dapat berisi lebih banyak, dan pengaturan

masalah distribusi, yaitu konsekuensi dari distribusi kekuasaan kepada

pemerintah daerah untuk mengimplementasikan wewenang yang telah

didesentralisasikan.

2. Salah satu aspek dalam pembahasan mengenai hubungan keuangan

antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah pembiayaan pelaksanaan otonomi

daerah yang mencakup bidang penerimaan daerah dan pembiayaan. Adapun

bidang penerimaan daerah mencakup PAD, yang mana sumber terbesar untuk

pemenuhannya ditetapkan dari pajak daerah dan retribusi daerah. Untuk

menunjang desentralisasi fiskal, khususnya PAD, maka diperlukan

kebijaksanaan intensifikasi dan ekstensifikasi dengan berpedoman kepada

peraturan perundang-undangan yang berlaku agar bermanfaat bagi

pembiayaan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.

3.2. Saran

1. Kepada Pemerintah Daerah, hendaknya berupaya seoptimal mungkin

dalam menggali sumber-sumber pendapatan di masing-masing wilayahnya.

20

Page 21: Analisis singkat terhadap  pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah

2. Kepada Pemerintah pusat, hendaknya dalam menentukan bagi hasil

pajak kepada daerah, tidak hanya berdasarkan perolehan pajak saja tetapi juga

harus mempertimbangkan pembangunan di daerah penghasil pajak tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim, 2001, Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Ahmad Erani Yustika, 2008, “Desentralisasi Ekonomi, Pengembangan Kapasitas, dan Misalokasi Anggaran”, dalam Ahmad Erani Yustika (Ed.), 2008, Desentralisasi Ekonomi di Indonesia: Kajian Teoritis dan Realitas Empiris, Malang: Bayumedia Publishing.

Ahmad Yani, 2002, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press.

Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

______________, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: PSH UII Yogyakarta.

Early Suandy, 2002, Perencanaan Perpajakan, Jakarta: Salemba Empat.

Farida Rahmawati, 2008, “Desentralisasi Fiskal: Konsep, Hambatan, dan Prospek”, dalam Ahmad Erani Yustika (Ed.), 2008, Desentralisasi Ekonomi di Indonesia: Kajian Teoritis dan Realitas Empiris, Malang: Bayumedia Publishing.

Muhammad Fauzan, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah Kajian tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah, Yogyakarta: UII Press.

Mustaqiem, 2008, Pajak Daerah dalam Transisi Otonomi Daerah, Yogyakarta: UII Press.

M. Subagio, 1987, Hukum Keuangan Negara Reublik Indonesia, Jakarta: Rajawali Press.

Richard M. Bird dan Francois Vaillancourt, 2000, Fiscal Decentralization in Developing Countries (Desentralisasi Fiskal di Negara-Negara Berkembang), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Santoso Brotodihardjo, 1986, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: Enresco.

Suhadak dan Trilaksono Nurgoroho, 2006, Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Daerah dalam Penyusunan APBD di Era Otonomi, Malang: Bayumedia Publishing.

21

Page 22: Analisis singkat terhadap  pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah

Syarif Hidayat, 2000, Refleksi Realitas Otonomi Daerah, Jakarta: Pustaka Quantum.

W. Riawan Tjandra, 2006, Hukum Keuangan Negara, Jakarta: Grasindo.

22