ANALISIS PROSES KOLABORASI PEMERINTAH DAN KOMUNITAS …repository.umrah.ac.id/2628/1/ERWANDA...
Transcript of ANALISIS PROSES KOLABORASI PEMERINTAH DAN KOMUNITAS …repository.umrah.ac.id/2628/1/ERWANDA...
1
ANALISIS PROSES KOLABORASI PEMERINTAH DAN KOMUNITAS
SENI BUDAYA MELAYU DALAM MENGANGKAT KEARIFAN LOKAL
DI TANJUNGPINANG
Erwanda Rahmasuci Sabri
Dr. H. Rumzi Samin, S. Sos., M.Si
Edison, S.AP., MPA
(Program Studi Ilmu Administrasi Negara FISIP Univesitas Maritim Raja Ali Haji)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat proses kolaborasi antara pemerintah
dan komunitas seni budaya melayu, yang dalam hal ini sanggar-sanggar seni dalam
mengangkat kearifan lokal di Tanjungpinang dan juga mengetahui kiprah pemerintah
dalam merangkul dan menjadikan seni budaya yang dilestarikan komunitas tersebut
sebagai nilai jual daerah yang bisa mendukung perkembangan potensi daerah Kota
Tanjungpinang. Peneliti berfokus ke beberapa instansi pemerintah yang berkaitan
dengan jalannya kegiatan untuk mengangkat kearifan lokal sebagai nilai jual daerah.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Data diperoleh dan dikumpulkan melalui proses wawancara terhadap
informan. Selain menggunakan teori kolaborasi, peneliti juga menggunakan teori
modal sosial sebagai teori pendukung untuk melengkapi hasil observasi di lapangan,
dimana modal sosial digunakan oleh komunitas sebagai salah satu laluan untuk
melestarikan kearifan budaya lokal di Tanjungpinang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kolaborasi antara pemerintah dengan
komunitas sanggar seni sudah benar terjadi, dimana pemerintah secara langsung
menggunakan jasa dari komunitas sanggar seni melayu. Terdapat 3 (tiga) faktor
pendukung dalam proses kolaborasi antara pemerintah dan komunitas seni budaya
melayu di Tanjungpinang yakni sumberdaya manusia yang dimiliki tiap-tiap
stakeholder dan komunitas, self motivation, dan kepercayaan yang tinggi yang
dimiliki komunitas. Sedangkan faktor penghambat antara lain kurangnya wadah
realisasi karya-karya komunitas, kurangnya perhatian pemerintah terhadap komunitas
sanggar seni di Tanjungpinang, kurangnya dukungan pemerintah terhadap sanggar
baru, dan pemberian bantuan yang tidak merata. Dalam proses kolaborasi, tiap-tiap
tahap kolaborasi terbukti telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun komunitas,
namun belum maksimal, dikarenakan hanya dilakukan ketika pemerintah
membutuhkan bantuan komunitas saja, dan begitu juga sebaliknya.
Kata kunci: kolaborasi, komunitas sanggar seni, pemerintah
2
ABSTRACT
This study aims to see the process of collaboration between the government
and the Malay art culture community, which in this case art studios in raising local
wisdom in Tanjungpinang and also knowing the government's role in embracing and
making the cultural arts that are preserved by the community as a selling point that
can support the development of the potential area of Tanjungpinang City.
Researchers focused on several government agencies related to the course of
activities to raise local wisdom as a selling point of the region. This study uses a
descriptive research method with a qualitative approach. Data were obtained and
collected through an interview process with informants. In addition to using
collaboration theory, researchers also use social capital theory as a supporting
theory to complement the results of observations in the field, where social capital is
used by the community as one of the passages to preserve local cultural wisdom in
Tanjungpinang.
The results of the study show that collaboration between the government and
the art studio community is correct, where the government directly uses services from
the Malay art studio community.There are 2 (two) supporting factors in the process
of collaboration between the government and the Malay cultural arts community in
Tanjungpinang namely the human resources owned by each stakeholder and
community, self motivation, and high trust in the community. While the inhibiting
factors include the lack of a forum for the realization of community works, the lack of
government attention to the art studio community in Tanjungpinang, the lack of
government support for the new studio, and the uneven distribution of assistance. In
the collaboration process, each stage of collaboration is proven to have been carried
out by both the government and the community, but not maximally, because it is only
done when the government needs community assistance, and vice versa.
Keywords: collaboration, art studio community, government
A. PENDAHULUAN
Di Kota Tanjungpinang,
pemerintah sebagai fasilitator kegiatan
kesenian dan kebudayaan
memperkenalkan pariwisata melalui
masyarakat yang dalam hal ini
komunitas budaya dan/atau sanggar
seni sebagai penggerak dalam
melestarikan budaya daerah. Dalam
melaksanakan kegiatan-kegiatan
budaya pariwisata, pemerintah daerah
bekerja sama dengan komunitas-
komunitas seni budaya melayu
terutama sanggar-sanggar seni yang
ada di Kota Tanjungpinang. Proses
kerjasama antara pemerintah dengan
komunitas di masyarakat juga akan
berkaitan dengan modal sosial yang
ada di masyarakat itu sendiri. Seperti
halnya kepercayaan, yang akan terjalin
antara masyarakat/komunitas dengan
3
pihak pemerintah, jaringan sosial, dan
norma yang akan muncul di kedua
belah pihak.
Dalam penelitian ini, urgensi yang
diangkat adalah bagaimana pemerintah
menjadi steering point dalam
mengangkat kebudayaan melayu
dengan cara melakukan kolaborasi
dengan komunitas seni melayu yang
ada di Tanjungpinang. Dimana upaya
pemerintah kota Tanjungpinang dalam
mengangkat pariwisata berbasis
budaya melayu selalu melibatkan
komunitas-komunitas seni sehingga
yang menjadi alasan semakin
berkurangnya komunitas sanggar seni
yang ada di Tanjungpinang menarik
untuk diteliti. Selain itu penelitian ini
juga membahas tentang kiprah
pemerintah dalam merangkul dan
menjadikan seni budaya yang
dilestarikan komunitas tersebut
sebagai nilai jual daerah yang bisa
mendukung perkembangan potensi
daerah Kepulauan Riau khususnya
Kota Tanjungpinang.
B. METODE PENELITIAN
Dalam menganalisis proses
kolaborasi yang terjadi antara
pemerintah dengan komunitas seni
budaya yang ada di Tanjungpinang,
peneliti menggunakan teori kolaborasi
Chris Ansell dan Alison Gash melalui
5 (lima) tahapan membentuk
kolaboratif, yaitu: (1) Dialog tatap
muka, (2) membangun kepercayaan,
(3) komitmen terhadap proses, (4)
berbagi pemahaman, dan (5) hasil
sementara. Penelitian ini juga
menggunakan Teori Modal Sosial
(Coleman, 1988:16, Putnam 1993,
2000:167, Fukuyama 1995, 1999,
2001) yang terdiri dari 3 aspek, yaitu
kepercayaan, jaringan, dan norma,
sebagai teori pendukung untuk
melengkapi hasil observasi di
lapangan.
Jenis penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif dengan
pendekatan kualitatif. Lokasi
penelitian dilaksanakan di Dinas
Pariwisata Provinsi Kepulauan Riau,
Dinas Kebudayaan Provinsi
Kepulauan Riau, Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kota Tanjungpinang,
dan melibatkan beberapa komunitas
dan/atau sanggar seni budaya melayu
yang ada di Kota Tanjungpinang..
Sumber data yang digunakan dalam
4
penelitian ini meliputi: a) Data Primer
berupa hasil wawancara yang
dilakukan ke instansi dan komunitas
yang bersangkutan, b) Data Sekunder
berupa jurnal-jurnal ilmiah, buku-buku
yang berkaitan dengan kebudayaan,
artikel-artikel publikasi pemerintah
dan sebagainya.
Teknik sampling yang digunakan
oleh peneliti adalah purposive sample.
Adapun informan yang menjadi
sumber informasi dalam penelitian ini,
yaitu Kepala Bidang Kesenian Dinas
Kebudayaan Provinsi Kepulauan Riau,
Kepala Seksi Data dan Penelitian
DInas Pariwisata Provinsi Kepulauan
Riau, Kepala Bidang Adat Tradisi,
Nilai Budaya dan Kesenian Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kota
Tanjungpinang, dan komunitas seni
budaya melayu di kota Tanjungpinang
yang terdiri dari Sanggar Lembayung,
Sanggar Seni Budaya Warisan,
Sanggar Seni Kledang, Sanggar Seni
Megat, Sanggar Seludang, Bengkel
Seni Seligi, Sanggar Kemboja,
Sanggar Tempuling, All Wahid,
Samudera Ensamble, dan Sanggar Seni
Bintan Telani.
Dalam penelitian ini, Penulis
mengumpulkan data-data dengan cara
observasi menggunakan daftar
checklist ataupun catatan observasi.
Wawancara dilakukan terhadap subjek
penelitian yang telah ditampilkan
sebelumnya. Hasil wawancara direkam
menggunakan alat perekam berupa
handphone saat proses wawancara
dilakukan, dan dokumentasi data-data
sekunder yang diambil dari beberapa
sumber, seperti beberapa dokumen
berupa peraturan perundang-undangan,
panduan pelaksanaan kegiatan, arsip-
arsip, dan data mengenai sanggar-
sanggar seni atau komunitas budaya
melayu di Tanjungpinang.
Terdapat 3 (tiga) komponen dalam
teknik analisis data yaitu, reduksi data
(Data Reduction), Display, dan
Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi
(Conclusion Drawing/Verification).
C. HASIL
1. Face to Face Dialogue (dialog
tatap muka)
Dialog tatap muka yang
dilakukan oleh pemerintah yakni
instansi yang berkaitan dengan
komunitas berupa pertemuan-
5
pertemuan yang dilakukan untuk
melaksanakan berbagai kegiatan.
Pertemuan yang dilakukan
tergantung dengan kegiatan apa
yang akan dilaksanakan. Dalam
pertemuan tersebut dibahas
mengenai kegiatan apa yang akan
dilakukan, bagaimana kegiatan
akan dilaksanakan, apa peran
masing-masing stakeholder dan
komunitas sanggar seni yang
terlibat, dan menyepakati apa yang
harus disepakati, seperti waktu,
biaya, dan tanggungjawab.
2. Trust Building (membangun
kepercayaan)
Trust building dimulai dengan
membangun komunikasi antar
berbagai pihak yang terlibat dalam
kegiatan kolaborasi. Sesama
instansi atau lembaga pemerintah,
dinas-dinas yang terlibat sudah
saling percaya satu sama lain.
Dilihat dari berbagai kegiatan
budaya pariwisata mulai dari skala
kecil hingga besar yang telah
dilaksanakan dahulu. Kepercayaan
ditunjukkan melalui
tanggungjawab yang diberikan
oleh masing-masing pihak.
Sedangkan pada komunitas, trust
building yang dilakukan
ditunjukkan dengan cara
mempercayai pemerintah secara
penuh, tanpa membedakan dengan
instansi mana mereka akan
bekerjasama.
3. Comitment to Process (komitmen
terhadap proses)
Commitment to process
merupakan komitmen atau
kesepakatan untuk melaksanakan
suatu proses tertentu guna
mencapai tujuan bersama yang
diinginkan. (Sambodo dan
Pribadi:2016) Secara kasat mata,
semua komunitas sanggar seni dan
instansi yang ada di Tanjungpinang
maupun Kepulauan Riau, sudah
berkomitmen dalam hal
mengangkat dan melestarikan
kearifaan lokal daerah ini. Bisa
dilihat dari segala macam interior
dan eksterior bangunan yang ada
di Kepulauan Riau sudah mulai
menampilkan ciri khas melayu,
seperti di bandara dan pelabuhan.
6
Selain menjaga kebudayaan
melayu di daerah sendiri,
pemerintah juga tetap bertekad
untuk menjaga keberagaman yang
ada di Kepulauan Riau. Terhadap
suatu proses, sanggar seni akan
melakukan proses secara matang,
tentang apa yang akan dibawakan,
tentang apa yang akan ditampilkan,
meskipun resiko pembatalan untuk
penampilan pasti ada.
Komitmen yang diberikan oleh
pemerintah yakni berupa
pembinaan dan pemberian bantuan.
Pembinaan yang dilakukan melalui
pelayanan. Pelayanan mengenai
komunitas-komunitas yang ingin
mengembangkan budaya. Sebagai
upaya merangkul kembali sanggar-
sanggar seni yang sudah mati.
Terdapat beberapa hambatan yang
ditemui peneliti, terkait dengan
komitmen terhadap proses, yaitu
kurangnya perhatian pemerintah
terhadap kesenian budaya melayu,
kurangnya perhatian pemerintah
terhadap sanggar seni budaya
melayu di Tanjungpinang
4. Shared Understanding (berbagi
pemahaman)
Berbagi pemahaman diilakukan
agar tidak ada terjadi
kesalahpahaman antar sakeholder
dan tujuan kegiatan yang akan
dilakukan dapat tercapai dengan
baik. Pada proses kolaborasi yang
dilakukan oleh pemerintah dan
komunitas sanggar seni, berbagi
pemahaman dilakukan dengan
mengadakan pertemuan-pertemuan
yang membahas tentang apa yang
dibutuhkan oleh masing-masing
pihak.
5. Intermediate Outcome (hasil
sementara)
Intermediate outcome adalah
hasil-hasil sementara atas proses
kolaborasi yang berlangsung yang
bisa memberi manfaat dan bernilai
strategis. Dalam bidang
kebudayaan hasil yang diharapkan
yakni kelestarian sebuah budaya.
Sedangkan dalam sebuah kegiatan,
hasil sementara yang diharapkan
oleh masing-masing stakeholder
adalah kelancaran dan pencapaian
target yang sudah ditetapkan.
7
Hasil sementara dari proses
kolaborasi ini yang bisa
dimanfaatkan oleh masyarakat
terutama, yaitu dengan adanya
even-even budaya pariwisata,
seperti Festival Bahari Kepri,
Festival Sungai Carang, Gawai
Seni, dan lain sebagainya memberi
manfaat secara sosial budaya dan
juga manfat ekonomi. Disatu sisi,
budaya yang ada di tengah
masyarakat tradisional kembali
muncul dan diketahui oleh
masyarakat-masyarakat modern
saat ini, dan juga hal tersebut
menjadi upaya dalam mengangkat
kembali kearifan budaya lokal
yang pernah ada. Dan secara
ekonomi, pemasukan daerah atas
kegiatan tersebut ikut bertambah,
melalui budaya, menjadikan
destinasi wisata yang menarik para
wisatawan baik lokal maupun
mancanegara, dan juga hal tersebut
mampu menciptakan peluang
usaha bagi masyarakat dan
meningkatkan pendapatan warga.
D. PEMBAHASAN
Dari berbagai analisis di atas
proses kolaborasi antara pemerintah
dengan komunitas sanggar seni budaya
melayu di Tanjungpinang dapat
digambarkan melalui bagan berikut
ini:
Sumber: Diolah dari hasil penelitian (2018)
Gambar 1. Analisis Kolaborasi Pemerintah
dengan Komunitas Sanggar Seni di Kota
Tanjungpinang
Berdasarkan dari gambar 1
menjelaskan bahwa proses kolaborsi
terdiri dari 5 (lima) proses (Ansell and
Gash, 2007) yaitu dialog tatap muka,
membangun kepercayaan, komitmen
terhadap proses, berbagi pemahaman,
dan hasil sementara. Dari hasil temuan
Indikator Kolaborasi
1. Dialog Tatap Muka
2. Membangun Kepercayaan
3. Komitmen Terhadap Proses
4. Berbagi Pemahaman
5. Hasil Sementara
Proses Kolaborasi Pemerintah dan Komunitas Sanggar
Seni Melayu di Tanjungpinang
Faktor Penghambat
- Kurangnya wadah realisasi
- Kurangnya perhatian
- Kurangnya dukungan
pemerintah
Faktor Pendukung
- Sumber daya manusia
- Self Motivation
- Kepercayaan
Seni budaya melayu bisa lebih berkembang dan menjadi modal dan
nilai jual/daya tarik budaya pariwisata di Kota Tanjungpinang
sehingga dapat meningkatkan perekonomian dan pendapatan daerah
8
peneliti membenarkan bahwa kelima
proses tersebut dilakukan oleh
pemerintah, dapat dilihat dari berbagai
kegiatan budaya pariwisata yang
dilakukan pemerintah yang melibatkan
komunitas sanggar seni di
Tanjungpinang.
Dari hasil penelitian di lapangan,
penulis menemukan beberapa faktor
yang menjadi faktor pendukung dan
juga faktor penghambat dalam proses
kolaborasi pemerintah dengan
komunitas seni budaya yang ada di
Tanjungpinang. Faktor pendukung
tersebut, antara lain:
1. Banyaknya sumber daya yang ada
di Tanjungpinang, mulai dari
seniman-seniman melayu sudah
banyak bermunculan, regenerasi
penari-penari tradisi, pemusik-
pemusik melayu yang sudah
merambah ke berbagai usia, dan
budaya adat tradisi yang sudah ada,
2. Self motivation, menjadi faktor
pendukung yang paling penting
dalam melestarikan kearifan lokal
dimana komunitas sanggar seni ini
tidak hanya bergantung pada
pemerintah saja, namun
mempunyai kesadaran diri yang
tinggi untuk melestarikan dan
mengembangkan kearifan budaya
lokal tersebut.
3. Rasa percaya dari komunitas
sanggar seni terhadap pemerintah,
menjadikan kerjasama itu dapat
berlangsung sebagaimana
mestinya.
Sedangkan yang menjadi faktor
penghambat, antara lain:
1. kurangnya wadah yang diberikan
pemerintah, dalam arti pengadaan
event khusus untuk penampilan
karya-karya sanggar-sanggar seni
2. kurangnya perhatian dan dukungan
pemerintah terhadap sanggar seni,
dan
3. pemberian bantuan yang kurang
merata membuat sanggar seni
kesulitan untuk bisa berkembang,
terutama komunitas atau sanggar
yang baru muncul dan sangat
membutuhkan bantuan pemerintah.
Penelitian ini, didukung juga
dengan beberapa hasil penelitian
terdahulu, antara lain yang dilakukan
oleh Dewi (2012) dengan
menggunakan teori kolaborasi,
menunjukkan bahwa pemerintah
memberi respon dengan menjalin
9
kerjasama dengan pihak bank,
yayasan, pengrajin, seniman, dan
pemasok. Sedangkan faktor
pendukung dan penghambat yaitu
kurangnya komitmen dari pemerintah,
kurangnya kepercayaan dan kurangnya
informasi. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pemerintah
berupaya meningkatkan budaya lokal
dengan bekerjasama dengan komunitas
sanggar seni melayu yang ada dalam
hal mengadakan kegiatan budaya
pariwisata. Namun, disisi komunitas
sanggar seni, menyatakan bahwa
perhatian pemerintah terhadap
komunitas sanggar-sanggar seni yang
ada tersebut sangat kurang.
Pada penelitian yang dilakukan
peneliti, diambil komunitas
masyarakat seni dalam bentuk sanggar
seni. Hasil penelitian ini, pemerintah
sudah berupaya merangkul komunitas
sanggar seni yang ada dengan
memberikan binaan, baik itu bantuan
moril maupun materil. Berbeda dengan
komunitas sanggar seni, perhatian
pemerintah terhadap sanggar seni
dianggap masih kurang dan bantuan
yang diberikanpun tidak merata.
Sama halnya dengan penelitian
yang dilakukan oleh Hermawan,
Wasiati dan Rohman, yang melakukan
penelitian dengan menggunakan teori
Collaborative Governance dalam
program pengembangan nilai budaya
daerah melayu Banyuwangi Ethno
Carnival. Dimana hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa yang
terlibat dalam BEC yaitu Disbudparda
(Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Daerah) Banyuwangi, Manajemen
JFC, Dewan Seni Blambangan dan
Infrastruktur Karnaval. dan pola
kerjasama yang terjadi adalah public
private partnership. Dalam hasil
penelitian yang dilakukan oleh
peneliti, yang terlibat langsung dalam
kolaborasi ini adalah Dinas
Kebudayaan dan Dinas Pariwisata
Provinsi untuk lingkup kegiatan
provinsi, dan Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Tanjungpinang untuk
lingkup kegiatan kota. Temuan di
lapangan juga menyebutkan bahwa
kurangnya perhatian pemerintah dan
adanya politisasi dalam kegiatan
perlombaan yang seharusnya menjadi
wadah realisasi ke lingkungan
masyarakat menjadikan hal tersebut
10
sebagai salah satu alasan vakum atau
matinya sebuah komunitas sanggar
seni. Dengan begitu diharapkan
pemerintah bisa bertindak adil dan
maksimal dalam memberikan bantuan
dan memberikan perhatian serta
dukungan kepada komunitas sanggar-
sanggar seni yang berupaya menjaga,
mengembangkan, dan melestarikan
budaya daerah dan menjadikannya
sebagai daya tarik wisata yang
mumpuni di Kota Tanjungpinang.
Dalam penelitian ini, peneliti juga
menggunakan teori modal sosial
sebagai teori pendukung terlaksananya
kolaborasi antara pemerintah dan
komunitas sanggar seni yang ada di
Kota Tanjungpinang dengan
menggunakan konsep dasar
kepercayaan (trust), norma (norm),
dan jaringan sosial (network) yang
menjadi konsep inti dalam modal
sosial (Coleman, 1988:16, Putnam
1933, 2000:167, Fukuyama 1995,
1999, 2001)
1. Kepercayaan
Konsep pertama adalah
mengenai kepercayaan yang
diartikan sebagai hubungan
harapan dan tindakan/interaksi
sosial. Inti kepercayaan antar
manusia ada tiga hal yang saling
terkait: (i) hubungan sosial antara
dua orang atau lebih. Dalam
penelitian ini, hal tersebut
dibuktikan dengan adanya rasa
saling percaya antara masing-
masing stakeholder yang terlibat,
antar sanggar seni dan stakeholder
yang terlibat, dan juga antar
masing-masing sanggar seni. (ii)
harapan yang akan terkandung
dalam hubungan itu. Dalam
penelitian ini keuntungan yang
didapat oleh pemerintah adalah
program yang dibuat oleh
pemerintah yang bertujuan untuk
melestarikan, mengembangkan
kebudayaan dan juga pariwisata
dapat berjalan dengan baik. Begitu
juga dengan komunitas sanggar
seni, dengan adanya kegiatan
budaya pariwisata yang dilakukan
oleh pemerintah, sanggar seni bisa
ikut melestarikan, menjaga, dan
mengembangkan budaya yang ada,
dan bisa menampilkan karya ke
depan masyarakat. (iii) interaksi
sosial. Dengan adanya kolaborasi
antara pemerintah dan komunitas
11
sanggar seni, hubungan kedua
pihak tersebut semakin terjalin satu
sama lain. Pemerintah bisa
menggunakan jasa komunitas
untuk mendukung dan
meningkatkan serta melestarikan
budaya yang disinergikan dengan
pariwisata, dan komunitas juga
mendapatkan fasilitas dari
pemerintah untuk menampilkan
karya-karya seni budaya kepada
masyarakat umum.
2. Jaringan
Dalam penelitian ini, jaringan
yang ada adalah pemerintah dan
komunitas sanggar seni. Dalam
temuan di lapangan, beberapa dari
ketua atau anggota komunitas
sanggar seni bekerja dibidang
pemerintahan. Baik itu dibidang
administrasi maupun kebudayaan
dan pariwisata. Dengan begitu
jaringan yang diciptakan satu sama
lain dapat menjadi besar dan luas
didukung oleh sumber daya yang
dimiliki sanggar seni, mulai dari
anak-anak sekolah dasar, SMP,
SMA hingga ke orangtua siswa.
Komunitas sanggar seni juga
bekerja sama dengan beberapa
pihak sekolah, sehingga tidak ada
lagi jarak antara komunitas,
pemerintah, dan juga masyarakat.
3. Norma
Dalam bahasan penelitian ini,
peneliti menemukan beberapa
norma yang berlaku seperti ketika
menari melayu tradisi, penari
perempuan tidak boleh
mengangkat kaki terlalu tinggi, hal
itu menunjukkan sopan santunnya
anak gadis melayu, menari tradisi
haruslah menggunakan baju yang
tertutup, menandakan sopan anak
gadis melayu dalam menutup
aurat.
E. PENUTUP
a) Kesimpulan
Dari hasil penelitian, dapat
disimpulkan bahwa proses kolaborasi
antara pemerintah dengan komunitas
sanggar seni sudah benar terjadi,
dimana pemerintah secara langsung
menggunakan jasa dari komunitas
sanggar seni melayu baik dalam hal
tari, musik, teater, dan sebagainya
dalam acara-acara pemerintahan, mulai
dari perlombaan, penyambutan tamu,
hingga festival-festival besar lainnya.
12
Setelah analisis dilakukan terhadap 5
tahap proses kolaborasi, kesimpulan
yang dapat diambil, yaitu:
a. Dialog tatap muka dilakukan
dengan mengadakan
pertemuan-pertemuan terkait
kegiatan-kegiatan budaya
pariwisata yang dilakukan
pemerintah dengan komunitas
sanggar seni, instansi-instansi
yang terlibat, pemuka
masyarakat, dan budayawan.
b. Membangun kepercayaan,
sesama instansi dibuktikan
dengan berjalannya berbagai
kegiatan yang telah
dilaksanakan sejak dulu.
Saling percaya satu sama lain
dengan menjalankan
tanggungjawab yang telah
diberikan kepada masing-
masing instansi. Untuk sesama
sanggar seni, secara umum
satu sama lain saling percaya
kaya memiliki visi yang sama
yaitu melestarikan budaya
melayu.
c. Komitmen terhadap proses.
Pemerintah berkomitmen
dalam memberikan pembinaan
dan bantuan kepada sanggar-
sanggar seni, dan pengadaan
event-event budaya. Dalam sisi
komunitas sanggar seni
berkomitmen berproses
semaksimal mungkin dan
menampilkan yang terbaik
apapun resikonya.
d. Berbagi pemahaman.
Dilakukan melalui pertemuan-
pertemuan yang membahas
tentang apa tujuan, apa yang
dilakukan, apa yang
dibutuhkan dan penyamaan
presepsi.
e. Dari proses diatas
menghasilkan output persiapan
penyelenggaraan kegiatan
budaya pariwisata dan
kolaborasi antara pemerintah
dan sanggar seni. Dan tentu
saja kelestarian budaya melayu
dan meningkatkan roda
perekonomian masyarakat di
Tanjungpinang.
Adapun faktor-faktor yang menjadi
pendukung dan penghambat dalam
proses kolaborasi pemerintah dan
13
komunitas seni budaya melayu, antara
lain:
a. Faktor pendukung: sumber
daya manusia, self motivation,
dan kepercayaan
b. Faktor penghambat: kurangnya
wadah yang diberikan
pemerintah, kurangnya
perhatian dan dukungan
pemerintah terhadap sanggar
seni, dan pemberian bantuan
yang kurang merata
b) Saran
Sebagai fasilitator komunitas dalam
melestarikan dan mengangkat karifan
lokal di Tanjungpinang, pemerintah
lebih baik untuk melakukan prubahan
terhadap pola pikit mengenai
kebudayaan dalam menjadikan budaya
garda terdepan sebagai potensi nilai
jual daerah, dan juga harus mampu
menjadikan budaya melayu sebagai
ikon yang diakui baik dalam dan luar
negeri. Adapun saran yang diberikan
dari masing-masing tahapan kolaborasi
antara lain:
a. Face to Face Dialogue (dialog
tatap muka), seharusnya
pemerintah rutin melakukan
dialog tatap muka dengan
komunitas untuk lebih
memaksimalkan potensi
komunitas dengan cara
mengadakan kegiatan-kegiatan
pementasan secara rutin agar
karya-karya komunitas dapat
direalisasikan dan terus
berkembang.
b. Trust Building (membangun
kepercayaan), sebaiknya
pemerintah bisa lebih
meningkatkan kepercayaan
kepada komunitas sanggar seni
dengan cara memberikan
kesempatan kepada sanggar-
sanggar seni yang baru untuk
dapat menampilkan dan
mengikuti kegiatan-kegiatan
yang dilakukan pemerintah.
c. Commitmen to the Process
(komitmen terhadap proses),
seharusnya pemerintah
meningkatkan komitmen
terhadap komunitas dengan cara
melakukan pembinaan dan
pemeriksaan rutin terhadap
sanggar-sanggar seni yang
terdaftar di Dinas Kebudayaan.
14
d. Shared Understanding (berbagi
pemahaman), sebaiknya
pemerintah lebih giat dalam
menyampaikan berbagai
pemahaman dengan cara
melakukan kegiatan-kegiatan
sosialisasi kepada masyarakat
mengenai budaya.
e. Intermediate Outcome (hasil
sementara), dengan proses
kolaborasi yang maksimal,
pemerintah seharusnya sudah
meningkatkan potensi
komunitas sanggar seni secara
merata. Seharusnya tidak ada
lagi komunitas-komunitas yang
terhenti di tengah jalan dengan
alasan kurangnya dukungan
pemerintah, kurangnya wadah
realisasi, dan lain sebagainya.
Dalam mengatasi hambatan:
a. Pemerintah seharusnya lebih
memberikan wadah untuk para
komunitas budaya dan juga
para seniman untuk berkarya,
minimal dengan cara
mengadakan kegiatan
pementasan rutin, baik
mingguan atau bulanan, dengan
memanfaatkan gedung
kesenian yang sudah ada.
b. Pemerintah seharusnya lebih
memerhatikan dan mendukung
komunitas-komunitas sanggar
seni yang ada dengan cara
memberikan dan melakukan
pembinaan secara kontiniu
sehingga sanggar-sanggar yang
sudah ada tidak hilang begitu
saja. Selain itu pemerintah juga
dapat memberikan dukungan
moril, pemantauan dan
pengawasan yang tetap
dilakukan agar komunitas
tersebut tidak mati di tengah
jalan.
c. Pemberian bantuan harus
merata dan rutin dilakukan
setiap tahunnya, baik secara
bergilir maupun menggunakan
mekanisme proposal. Bantuan
juga harus diberikan secara
adil, baik sanggar seni tradisi
maupun modern.
DAFTAR PUSTAKA
Ansell, Chris., dan Alison Gash.,
2016,“Collaborative
Governance in Theory and
Practice”., California:
15
University of California,
Berkeley.
Bexley, Emmaline., Simon
Marginson., dan Lessy
Wheelahan., 2007, “Social
Capital in Theory and Practice”,
The University of Melbourne
Esram, Juramadi., 2012, “Menjual
Pariwisata Tanjungpinang
(Suatu Analisis Kritis),
Tanjungpinang:CV. Milaz
Grafika
Fathoni, Abdurrahmat., 2006,
“Antropologi Sosial Budaya:
Suatu Pengantar”, Jakarta:PT.
RINEKA CIPTA
Laporan Tahunan Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kota
Tanjungpinang Tahun 2015
Laporan Tahunan Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kota
Tanjungpinang Tahun 2016
RENSTRA Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Tahun 2013-2018
Setyadiharja, Rendra., dan Yoan
Sutrisna Nugraha.,2016,
“Toponimi: Asal Usul Nama
Daerah Kota Tanjungpinang”,
Tanjungpinang: Badan
Perpustakaan, Arsip dan
Museum Kota Tanjungpinang,
Sugiyono. 2012, ”Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif dan R &
D”. Bandung:: Alfabeta
Suyanto, Bagong., dan Sutinati., 2008,
“Metode Penelitian
Sosial:Berbagai Alternatif
Pendekatan”., Jakarta:Prenada
Media Group
Usman, Husaini., dan Purnomo
Setiady., 2009, “Metodologi
Penelitian Sosial”., Jakarta:PT
Bumi Aksara
Jurnal
Darwis., dan Ilham Junaid.,
“Kemitraan Sebagai Strategi
Pengembangan Pariwisata dan
Industri Hospitaliti”., Jurnal
Kepariwisataan, Volume 10, No.
01 Februari 2012, Hal. 01-13
Dewi, Ratna Kusuma., “Faktor-faktor
yang mempengaruhi
Collaborative Governance dalam
Pengembangan Industri Kecil
(Studi kasus tentang kerajinan
reyog dan pertunjukan reyog di
Kabupaten Ponorogo), 2012
Fauzi, Ahmad Dani., dan Devilia Sari.,
“Analisis Kolaborasi Pihak
Dosen Tetap Dengan LPPM
Serta Bagian Keuangan
Universitas Telkom Dalam
Penggantian Dana Penelitian
Menggunakan Drama Theory” e-
Proceeding of Management :
Vol.2, No.3 Desember 2015
Fitriyana, Freska., “Pengembangan
Bandung Kota Kreatif melalui
Kekuatan Kolaboratif
Komunitas”
Handayati, Yuanita., dan Togar. M.
Simatupang., “Amalisis
Cocacola dan Carrefour dengan
menggunakan Teori Drama”,
Volume 8 No.3, 2009
16
Harmawan, B.N. et.al., Collaborative
Governance Dalam Program
Pengembangan Nilai Budaya
Daerah di Banyuwangi, 2017,
hal. 52
Hermawan, Bagus Nuari., Inti
Wasiati., dan Hermanto
Rohman., “Collaborative
Governance Dalam Program
Pengembangan Nilai Budaya
Daerah Melalui Banyuwangi
Ethno Carnival”, E-SOSPOL;
Vol. IV Edisi 1; Jan – Apr 2017;
hal 50 – 55
Junaidi, N. P. (n.d.). 1 | Naskah
Publikasi JUNAIDI, 1–35.
Mustajab, Andi., “Sistem Manajemen
Sanggar Seni Amb
arala Kecamatan Bungoro Kabupaten
Pangkep”., 2013. Hal 20-22
Revananda, Ade Trisha., Ariska., dkk.,
“Evaluasi Program Festival
Bahari Kepri 2016 Terhadap
Nilai Tradisional Budaya Melayu
Kota Tanjungpinang”.,
Tanjungpinang:2017
Saheb., Slamet, Yulius., Zuber,
Ahmad. (2013). Peranan Modal
Sosial Bagi Petani Miskin Untuk
Mempertahankan Kelangsungan
Hidup Rumah Tangga di
Pedesaan Ngawi (Studi Kasus di
Desa Randusongo Kecamatan
Gerih Kabupaten Ngawi Provinsi
Jawa Timur). Jurnal Analisa
Sosiologi. Oktober 2013, 2
(1):17-34
Sambodo, Giat Tri., Pribadi, Ulung.,
“Pelaksanaan Collaboration
Governance di Desa Budaya
Brosot, Galur, Kulonprogo, DI.
Yogyakarta”, Jurnal Ilmu
Pemerintahan & Kebijakan
Publik., Vol. 3 No. 1 Februari
2016
Slamet, Yulius. 2012. Modal Sosial
dan Kemiskinan. UNS Press.
Surakarta
Berita Online / Internet
http://e-
sakip.inspektorat.kepriprov.go.id
http://validnews.co/Kepri-Tarik-
Wisman-lewat-4-Festival-
Wisata-Besar-2018-OcI
https://kepri.antaranews.com/berita/37
250/pemprov-kepri-siapkan-56-
agenda-pariwisata