ANALISIS PERENCANAAN OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN …
Transcript of ANALISIS PERENCANAAN OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN …
ANALISIS PERENCANAAN OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN
KESEHATAN DI GUDANG FARMASI DINAS KESEHATAN
ACEH BARAT DENGAN METODE ABC TAHUN 2012
SKRIPSI
OLEH :
ISWANDI
NIM.07C10104070
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TEUKU UMAR
MEULABOH-ACEH BARAT
2013
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kesehatan merupakan suatu kebutuhan pokok setiap indivdu. Dalam
melakukan berbagai kegiatan, kesehatan menjadi prioritas utama. Badan yang
sehat akan menjadikan aktivitas yang dijalani jadi lebih berjalan dengan
maksimal. Dengan kesehatan pula akan menunjang taraf hidup ;lebih baik,
terhindar dari berbagai penyakit dan fisik akan terlihat kuat.
Dalam rangka mencapai kesehatan seluruh warga, pemerintah kemudian
mencanangkan program pembangunan kesehatan nasional yang mencakup lima
aspek Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) yaitu bidang : Promosi Kesehatan,
Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Ibu dan Anak termasuk Keluarga Berencana
(KB), Pemberantasan Penyakit Menular dan Pengobatan.
Kelima aspek tersebut dijalankan pemerintah untuk menunjang kesehatan
setiap kalangan, baik di daerah terpencil/pedesaan maupun di daerah yang sudah
maju/perkotaan. Untuk dapat melaksanakan program tersebut khususnya bidang
pengobatan dibutuhkan obat, mengingat orang yang sakit akan membutuhkan obat
sebagai alternatif penyembuhan. Dengan demikian pengelolaan obat haruslah
dilaksanakan dengan baik agar tercapai pada semua kalangan. Maka dilakukan
perencanaan yang matang agar persediaan obat sesuai dengan kebutuhan yang
semestinya.
Saat ini pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) sudah bertanggung jawab
untuk kebutuhan kesehatan daerah masing-masing, daerah yang bersangkutan
2
harus dapat mengatur sendiri mengenai kesehatan setiap warga, termasuk
memenuhi kebutuhan obat. Upaya untuk memenuhi kebutuhan obat diperlukan
pengelolaan dan perencanaan yang baik. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selaku
pelaksana harus dapat melakukan hal ini sesuai prosedur yang sudah ada. Dimana
setiap Kabupaten/kota mempunyai struktur dan kebijakan sendiri dalam
pengelolaan obat, selanjutnya pengelolaan obat kabupaten dengan Unit
Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Kabupaten.
Obat untuk Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) biasa dikenal dengan
istilah Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Kabupaten. Tentu saja dalam
rangka memenuhi kebutuhan obat publik perlu dilakukan upaya proses
perencanaan yang akurat guna memenuhi kebutuhan obat publik di wilayah kerja
Dinas Kesehatan pada umumnya dan Dinas Kesehatan Aceh Barat pada
khususnya.
Pemerintah Aceh Barat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
mempunyai wewenang dalam menentukan besar biaya pengadaan obat pada
kegiatan pelayanan bidang kefarmasian. Kebutuhan obat kemudian dirumuskan
oleh Dinas Kesehatan sebelum pengadaan dengan anggaran biaya yang sudah
ditetapkan tersebut.
Dinkes (2006) mengemukakan perencanaan pengadaan obat berdasarkan
pada alokasi dana yang tersedia bukan berdasarkan jumlah kebutuhan yang
sebenarnya (direncanakan). Dalam Kebijakan Obat Nasional (KONAS) tahun
1983 yang direvisi pada tahun 2005, target kewajiban Standar Pelayanan Minimal
(SPM) Pelayanan Kefarmasian pada tahun 2010 menyebutkan bahwa
3
“ketersediaan obat sesuai dengan kebutuhan sebesar 90%, pengadaan obat
esensial 100%, dan pengadaan obat generic 100%.
Depkes (2006) mengemukakan dasar perhitungan kebutuhan biaya obat
yang ideal dan rasional dalam satu tahun secara global adalah sebesar 60% x
jumlah penduduk x biaya obat perkapita. Direktur Bina Obat dan Perbekalan
Kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada bulan Maret 2006 dalam Rapat
Konsolidasi (RAKON) tingkat Pusat di Pontianak, mengemukakan standar biaya
obat publik rasional menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah US $2
per kapita. Sedangkan Standar Departemen Kesehatan Republik Indonesia
(Depkes RI (2006)) adalah US $1 perkapita. Dengan kata lain dapat diasumsikan
sekitar Rp. 9.000,99 (Sembilan ribu rupiah) per kapita. Selain itu, hasil RAKON
Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan tahun 2002 di Bandung
merekomendasikan bahwa alokasi dana obat publik untuk PKD dalam satu tahun
minimal sebesar Rp. 5.000,00 (Lima ribu rupiah) per kapita. Dengan demikian,
biaya penyediaan obat adalah sebesar jumlah penduduk x Rp. 5.000,00, namun
setiap daerah masih belum mampu memenuhi kebutuhan obat sesuai dengan
standar.
Perpanjangan tangan dari Dinas Kesehatan Kabupten Aceh Barat dalam
memenuhi kebutuhan Obat Publik adalah Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas). Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) merupakan UPTD dalam
menjalankan fungsinya yaitu melaksanakan pelayanan kesehatan dasar secara
langsung kepada masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan melakukan
kegiatan pelayanan pengobatan (kuratif). Untuk mengetahui jenis dan jumlah obat
4
publik yang dibutuhkan, Puskesmas harus dapat menyusun rencana kebutuhan
obat publik yang selanjutnya diserahkan kepada Dinas Kesehatan Aceh Barat.
Di Dinas Kesehatan Aceh Barat, kebutuhan obat masih mengalami
kendala mengingat banyaknya permintaan obat dari UPTD yang tidak sesuai
dengan perencanaan kebutuhan yang diusulkan ke Dinas Kesehatan (terdapat obat
yang mengalami kekurangan dan kelebihan), sehingga penggunaan anggaran
kurang efektif akibat perencanaan yang kurang baik. Hal ini menunjukkan bahwa
proses perencanaan kebutuhan obat publik di tingkat Puskesmas tidak sesuai
dengan kebutuhan sebenarnya.
Selain itu, untuk menghindari kekosongan obat masyarakat akhirnya
memilih untuk membeli obat yang dibutuhkan dengan harga yang mahal. Padahal
untuk Aceh sendiri biaya pengobatan sudah lebih diringankan dengan adanya
Jaminan Kesehatan Aceh. Dengan membeli obat, berarti masyarakat harus
menerima akibat dari kurang tepatnya dalam pendistribusian obat dan
perencanaan obat dari Dinas Kesehatan.
Masalah lain yang ditemui yaitu masih terdapat laporan data kunjungan
umum pasien di beberapa Puskesmas yang kurang akurat, sehingga menyebabkan
permintaan obat ke Dinas Kesehatan tidak sesuai dengan kebutuhan di
Puskesmas. Dengan demikian obat di Puskesmas tidak sesuai dengan pelaksanaan
pengobatan yang sebenarnya, sehingga perencanaan kebutuhan obat tidak tepat.
Dinas Kesehatan selaku perencana dalam penyediaan obat seharusnya
memberikan konstribusi yang lebih terpercaya baik mengenai perencanaan obat
maupun anggaran. Dalam merencanakan kebutuhan obat selain menerima laporan
5
kebutuhan obat dari Puskesmas juga melakukan investigasi langsung ke lapangan.
Hal ini perlu dilakukan agar perencanaan obat sesuai kebutuhan masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin meneliti tentang Analisis
Perencanaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan di Gudang Farmasi Dinas
Kesehatan Aceh Barat dengan Metode ABC tahun 2012.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana perencanaan kebutuhan obat publik dan perbekalan kesehatan
untuk PKD di Dinas Kesehatan Aceh Barat?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui perencanaan kebutuhan obat publik dan perbekalan
kesehatan untuk PKD di Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Aceh Barat
1.3.2. Tujuan khusus
a. Mengetahui proses dan kendala yang dihadapi dalam perencanaan
kebutuhan obat publik di Dinas Kesehatan Aceh Barat.
b. Untuk mengetahui jumlah pemakaian obat publik di Gudang farmasi
Dinas Kesehatan Aceh Barat.
c. Mengetahui obat publik yang termasuk dalam kelompok investasi
tinggi (A), sedang (B), rendah (C) berdasarkan analisis ABC di Dinas
Kesehatan Aceh Barat tahun 2012.
d. Mengetahui jumlah obat publik yang harus dipesan kembali oleh
Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Aceh Barat tahun 2012.
6
e. Mengetahui waktu pemesanan kembali (ROP) untuk obat publik di
Dinas Kesehatan Aceh Barat tahun 2012.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan dan
pengetahuan mengenai penelitian dan prosesnya.
b. Bagi Dinas Kesehatan Aceh Barat, dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam melakukan perencanaan dan pengendalian
persediaan obat publik.
c. Dapat mengetahui persediaan obat publik yang memiliki investasi
tinggi, sedang dan rendah.
d. Dapat meningkatkan pelayanan kesehatan secara optimal kepada
masyarakat/pasien.
1.4.2. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmiah di
Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM).
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Perencanaan
Muninjaya (2007), mengemukakan perencanaan merupakan salah satu
fungsi yang sangat penting dalam manajemen, karena dengan adanya perencanaan
akan menentukan fungsi manajemen lainnya terutama pengambilan keputusan.
Fungsi perencanaan merupakan landasan dasar dari fungsi manajemen secara
keseluruhan. Tanpa adanya perencanaan, pelaksanaan kegiatan tidak akan berjalan
dengan baik. Dengan demikian perencanaan merupakan suatu pedoman atau
tuntunan terhadap proses kegiatan untuk mencapai tujuan secara efektif dan
efisien.
Menurut Hasibuan (2003), perencanaan adalah pekerjaan mental untuk
memilih sasaran, kebijakan, prosedur dan program yang diperlukan untuk
mencapai apa yang diinginkan pada masa yang akan datang. Sedangkan rencana
adalah sejumlah keputusan mengenai keinginan dan berisi pedoman pelaksanaan
untuk mencapai tujuan yang diinginkan itu. Jadi setiap rencana mengandung
unsure tujuan dan pedoman.
Dengan demikian, perencanaan sangat penting dalam menentukan segala
keputusan. Perencanaan yang matang akan membuat sebuah keputusan menjadi
lebih baik dari sebelumnya. Dalam rangka penyelenggaraan obat publik juga
dibutuhkan perencanaan yang memadai, sehingga obat yang sudah direncanakan
sesuai kebutuhan.
8
Ada beberapa prinsip perencanaan dalam menentukan sebuah sikap.
Dengan adanya prinsip ini diharapkan perencanaan dapat dijalankan dengan
semestinya. Prinsip-prinsip perencanaan adalah sebagai berikut (Hasibuan, 2003) :
a. Perencanaan merupakan fungsi utama manajer. Pelaksanaan pekerjaan
tergantung pada baik buruknya suatu rencana.
b. Perencanaan harus diarahkan pada tercapainya tujuan. Jika tujuan tidak
tercapai mungkin disebabkan oleh kurang baiknya suatu rencana.
c. Perencanaan harus didasarkan atas kenyataan-kenyataan objektif dan
rasional untuk mewujudkan adanya kerja sama yang efektif.
d. Perencanaan harus mengandung atau dapat diproyeksikan kejadian-
kejadian pada masa yang akan datang.
e. Perencanaan harus memikirkan matang-matang tentang anggaran,
kebijaksanaan, program, prosedur, metode dan standar untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
f. Perencanaan harus memberikan dasar kerja dan latar belakang bagi fungsi-
fungsi menajemen lainnya.
Selanjutnya Hasibuan (2003), juga menjelaskan tujuan dari perencanaan,
sebagia berikut :
a. Perencanaan bertujuan untuk menentukan tujuan, seleksi atas alternatif-
alternatif tujuan, kebijakan-kebijakan, prosedur dan program serta
memberikan pedoman cara-cara pelaksanaan yang efektif dalam mencapai
tujuan.
b. Perencanaan adalah suatu usaha untuk memperkecil risiko yang dihadapi
pada masa yang akan datang.
9
c. Perencanaan menyebabkan kegiatan-kegiatan dilakukan secara teratur dan
bertujuan.
d. Perencanaan memberikan gambaran yang jelas dan lengkap tentang
seluruh pekerjaan.
e. Perencanaan membantu penggunaan suatu alat pengukuran hasil kerja.
f. Perencanaan membantu peningkatan daya guna dan hasil guna organisasi.
Dalam sebuah perencanaan, tentu saja tidak terlepas dari keuntungan dan
kelemahan. Diantara keuntungan dari sebuah perencanaan adalah :
a. Perencanaan memberikan landasan pokok fungsi menajemen terutama
pengawasan.
b. Perencanaan akan mengurangi atau menghilangkan jenis pekerjaan yang
tidak produktif.
c. Perencanaan dapat dipakai untuk mengukur hasil kegiatan yang telah
dicapai, karena dalam perencanaan ditetapkan berbagai standar.
d. Perencanaan dapat menyebabkan berbagai macam aktivitas orgaisasi,
untuk mencapai tujuan tertentu dan dapat dilakukan secara teratur.
Selain keuntungan, perencanaan juga memiliki kelemahan. Kelemahan
dari perencanaan adalah sebagai berikut :
a. Perencanaan yang baik memerlukan sejumlah dana.
b. Perencanaan menghambat timbulnya inisiatif. Gagasan baru untuk
mengadakan perubahan harus ditunda sampai tahap perencanaan
berikutnya.
c. Perencanaan mempunyai keterbatasan mengukur informasi dan fakta
dimasa mendatang dengan tepat.
10
d. Perencanaan mempunyai hambatan psikologis bagi organisasi karena
harus menunggu dan melihat hasil yang akan dicapai.
e. Perencanaan juga akan menghambat tindakan baru yang harus diambil
oleh pelaksana.
Dalam melakukan perencanaan, sebelumnya perlu dijabarkan langkah-
langkah perencanaan, langkah tersebut dapat dilihat pada siklus berikut :
Sumber : Aditama, 2000
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Dari Sikluas di atas dapat dilihat bahwa perlu adanya perencanaan
sebelum melakukan langkah-langkah lain. Setelah melakukan perencanaan,
pengendalian dari semua rencana tersebut menjadi aspek yang sangat penting
untuk menunjang langkah berikutnya (Siagian, 2005).
2.2. Pengertian Obat
Menurut Arief (2007), obat merupakan suatu zat yang digunakan untuk
diagnose pengobatan, melunakkan, menyembuhkan atau mencegah penyakit pada
manusia atau hewan. Obat menjadi salah satu komponen yang tidak bisa
Perencanaan Penganggara
n
Pengadaan Penghapusan Pengendalian
Pendistribusian Penyimpana
n
11
digantikan dalam pelayanan kesehatan. Dengan kata lain, obat merupakan bahan
atau panduan bahan-bahan yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki
sistim fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnose,
pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peingkatan kesehatan dan kontrasepsi
termasuk produk biologi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), obat adalah bahan yang
digunakan untuk mengurangi, menghilangkan penyakit atau menyembuhkan
seseorang dari penyakit. Sedangkan menurut Bahfen (2006) bahwa obat
merupakan bahan atau campuran bahan yang digunakan untuk mencegah
penyakit, meningkatkan kesehatan, mengobati penyakit, memulihkan kesehatan
dan mendiagnosa suatu penyakit yang dapat mempengaruhi fungsi tubuh.
Arief (2003) mengumukakan beberapa istilah yang perlu diketahui tentang
obat, antara lain :
1. Obat jadi adalah obat dalam keadaan murni atau campuran dalam bentuk
serbuk, cairan, salep, tablet, pil, supositoria atau bentuk lain yang
mempunyai nama teknis sesuai dengan Farmako Indonesia (FI) atau buku
lain.
2. Obat paten yakni obat jadi dengan nama dagang yang terdaftar atas nama
si pembuat atau yang dikuasakannya dan dijual dalam bungkus asli dari
pabrik yang memproduksinya.
3. Obat baru adalah obat yang terdiri dari atau berisi zat baik sebagai bagian
yang berkhasiat maupun yang tidak berkhasiat, misalnya lapisan, pengisi,
pelarut, bahan pembantu (vehiculum) atau komponen lain yang belum
dikenal, hingga tidak diketahui khasiat dan keamanannya.
12
4. Obat esensial adalah obat yang paling dibutuhkan untuk pelaksanaan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat terbanyak yang meliputi diagnose,
profilaksis terapai dan rehabilitasi.
5. Obat generic berlogo adalah obat esensial yang tercantum dalam Daftar
Obat Esensial Nasional (DOEN) dan mutunya terjamin karena diproduksi
sesuai dengan persyaratan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dan
diuji ulang oleh Pusat Pemeriksaan Obat dan Makanan Departemen
Kesehatan (PPOM Depkes). PPOM Depkes saat sekarang telah menjadi
Badan Pengawasan Obat dan Makanan yang bertanggungjawab langsung
kepada presiden.
Sistem Kesehatan Nasional (SKN) 2001 menyebutkan bahwa substansi obat dan
perbekalan kesehatan adalah tatanan yang menghimpun berbagai upaya
perencanaan, pemenuhan kebutuhan serta pemanfaatan dan pengawasan obat dan
perbekalan kesehatan secara terpadu dan saling mendukung, guna menjamin
tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Tujuan subsistem obat dan
perbekalan kesehatan adalah tersedianya obat dan perbekalan kesehatan yang
mencukupi, terdistribusi secara adil dan merata serta termanfaatkan secara
berdaya guna dan berhasil guna, untuk menjamin terselenggaranya pembangunan
kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya. Unsur utama subsistem obat dan perbekalan kesehatan terdiri dari
perencanaan, pengadaan, pemanfaatan dan pengawasan.
13
2.3. Pelayanan Kesehatan Dasar
Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) adalah upaya yang ditetapkan
berdasarkan komitmen nasional, regional dan global serta mempunyai daya ungkit
tinggi untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan wajib ini
harus diselenggarakan oleh setiap puskesmas yang ada di wilayah Indonesia. Hal
ini dapat dilihat dalam keputusan Menteri Kesehatan RI No.
128/Menkes/SK/II/2004 tanggal 10 Februari 2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat
Kesehatan Masyarakat. Upaya kesehatan wajib tersebut adalah promosi
kesehatan, upaya kesehatan lingkungan, upaya kesehatan ibu dan anak serta
keluarga berencana, upaya perbaikan gizi, upaya pencegahan dan pemberantasan
penyakit menular dan pengobatan.
Sedangkan jenis kegiatan dalam pelayanan kesehatan dasar terdapat dalam
Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1330/Menkes/SK/IX/2005 tanggal 8
September 2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Pelayanan Kesehatan di
Puskesmas, Rujukan Rawat Jalan dan Rawat Inap Kelas III Rumah Sakit yang
Dijamin Pemerintah. Adapun jenis kegiatan tersebut adalah :
1. Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP), yang termasuk dalam kegiatan ini
antara lain : tindakan medis sederhana, pemeriksaan dan pengobatan gigi
(cabut dan tambal), pemberian obat-obatan sesuai dengan ketentuan,
pelayanan dan pengobatan gawat darurat.
2. Rawat Inap Tingkat Pertama (RITP), yang termasuk dalam kegiatan ini
antara lain : tindakan medis, pemberian obat-obatan, bahan habis pakai,
pelayanan kesehatan di luar gedung, pelayanan rawat jalan dengan
puskesmas keliling baik roda empat maupun roda dua, pelayanan
14
kesehatan di posyandu, dan pelayanan kesehatan melalui kinjungan rumah
(perawatan kesehatan masyarakat).
2.4. Perencanaan Kebutuhan Obat Publik
Dalam melakukan proses pengadaan obat, perencanaan kebutuhan obat
merupakan kegiatan paling utama yang dilakukan. Sesuai Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor : 1426/Menkes/SK/XI/2002 tanggal 21 Nopember 2002
tentang pedoman Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. Langkah-
langkah yang diperlukan dalam kegiatan perencanaan kebutuhan obat antara lain :
1. Tahap Pemilihan Obat
Pada tahap ini dilakukan untuk menentukan jenis obat yang benar-benar
diperlukan sesuai dengan pola penyakit. Penyeleksian obat yang dibutuhkan
meliputi :
a. Obat yang dipilih merupakan hasil seleksi ilmiah, medis dan statistic yang
tanpa menimbulkan resiko efek samping yang ditimbulkan kemudian hari.
b. Menghindari pemilihan obat dengan duplikasi dan kesamaan jenis, karena
akan menimbulkan penumpukan obat secara berlebihan. Jika dalam
pemilihan obat diperlukan dalam jumlah banyak, maka harus diperhatikan
tingkat kebutuhan obat tertinggi dari suatu penyakit.
c. Apabila terdapat obat baru, maka diperlukan adanya bukti yang spesifik
mengenai keakuratan penyembuhan yang lebih baik dari obat dengan jenis
yang hampir sama sebelumnya.
d. Sebaiknya tidak menggunakan obat kombinasi, kecuali jika obat tersebut
mempunyai dampak yang lebih baik daripada obat tunggal/obat yang
sudah ada sebelumnya.
15
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (2001) mengemukakan bahwa
dalam pemilihan obat didasarkan pada obat generic terutama yang
terdaftar dalam DOEN yang masih berlaku dengan patokan harga sesuai
dengan Keputusan Menteri Kesehatan tentang Harga Obat dan Perbekalan
Kesehatan untuk Obat
2. Tahap Perhitungan Kebutuhan Obat
Tahap perhitungan kebutuhan obat sesuai dengan metode konsumsi adalah
perhitungan berdasarkan atas analisa konsumsi obat pada tahun sebelumnya.
Untuk menghitung jumlah obat yang dibutuhkan dengan metode konsumsi
perlu diperhatikan beberapa faktor antara lain : pengumpulan dan pengolahan
data, analisa data untuk informasi dan evaluasi, perhitungan perkiraan
kebutuhan obat, dan penyesuaian jumlah kebutuhan obat dengan alokasi dana
yang tersedia.
Untuk memudahkan perhitungan dan memperoleh kebutuhan obat yang sesuai
kebutuhan, maka dilakukan analisa terhadap kebutuhan obat selama 3 (tiga)
tahun terakhir. Dengan demikian, perlu dipersiapkan beberapa data sebelum
melakukan perhitungan tersebut, diantaranya : daftar obat, stok awal,
penerimaan obat, pengeluaran obat, sisa stok, obat hilang/rusak (kadaluarsa),
kekosongan obat, pemakaian rata-rata/pergerakan obat pertahun, waktu
tunggu, stok pengaman, dan perkembangan pola kunjungan.
2.5.Pengadaan Obat
Dalam rangka pengadaan obat terlebih dahulu dijelaskan bahwa
pengadaan obat public dan perbekalan kesehatan merupakan proses untuk
penyediaan obat yang dibutuhkan di Unit Pelayanan Kesehatan. Pengadaan obat
16
public dan perbekalan kesehatan dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Propinsi dan
Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Pelaksanaan
Pengadaan Barang dan Jasa Instansi Pemerintah dan Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
Mengenai tujuan dari pengadaan obat ini seperti yang terdapat dalam
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1412/Menkes/SK/XI/2002 tanggal 20
November 2002 tentang Pedoman Teknis Pengadaan Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan Untuk Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD). Tujuan tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Tersedianya obat dengan jenis dan jumlah yang cukup sesuai dengan
kebutuhan pelayanan kesehatan.
2. Mutu obat terjamin
3. Obat dapat diperoleh pada saat dibutuhkan.
Selanjutnya setelah mengetahui tujuan dari pengadaan obat, sebelum
melakukan pengadaan obat perlu diperhatikan beberapa hal berikut:
1. Kriteria obat public dan perbekalan obat
2. Persyaratan pemasok
3. Penentuan waktu pengadaan dan kedatangan obat.
4. Penerimaan dan pemeriksaan obat.
5. Pemantauan status pesanan.
Dengan memperhatikan bebarapa hal tersebut di atas, maka diharapkan
pengadaan obat sesuai dengan kebutuhan. Agar tidak terjadi kekeliruan dan
kesalahan maka diperlukan beberapa kriteria obat public dan perbekalan
kesehatan yang mesti diperhatikan, antara lain :
17
1. Obat termasuk dalam Daftar Obat public, Obat Program Kesehatan,
Obat Generik yang tercantum dalam DOEN yang masih berlaku.
2. Obat telah memiliki Izin Edar atau Nomor Registrasi dari Departemen
Kesehatan RI.
3. Batas kadaluwarsa obat pada saat pengadaan minimal 3 tahun dan
dapat ditambah 6 bulan sebelum berakhirnya masa kadaluwarsa untuk
diganti dengan obat yang masa kadaluwarsanya lebih jauh.
4. Obat memiliki Sertifikat Analisa dan Uji Mutu yang sesuai dengan
nomor batch masing-masing produk.
5. Obat diproduksi oleh Industri Farmasi yang memiliki Sertifikat CPOB.
6. Obat termasuk dalam kategori VEN (Vital, Esensial, Non Esensial).
Sedangkan Listiani dalam Makalah Seminar 3 Agustus 2002 pada pusat
Manajemen Pelayanan Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM, mengatakan bahwa
hasil evaluasi pengadaan obat pada tahun 2001 terdapat beberapa hal antara lain :
1. Penyediaan kebutuhan obat masih terkesan klasik dalam arti kurang
variatif dan belum sepenuhnya mengakomodir kebutuhan.
2. Banyak mengacu pada kebutuhan tahun lalu dengan pertimbangan
berdasarkan konsumsi tahun lalu dan trend penyakit.
3. Belum menggambarkan inovasi akibat masih dalam “mencari pola”
4. Keidakjelasan informasi sehingga masih mengintip dan mencari
informasi apakah pusat dan provinsi akan juga mengirimkan obat.
Listiani menambahkan bahwa berkaitan dengan hal di atas, beberapa
upaya yang perlu dilakukan antara lain :
18
1. Perencanaan kebutuhan obat memerlukan strategi yang dapat
mengakomodir kebutuhan masyarakat dan lingkungan. Perencanaan
yang sekarang masih mencari pola baru dan maih belum mengacu
konsep dasar ilmiah yang seharusnya dilakukan.
2. Keraguan dari pelaksana dalam mencari bentuk perencanaan di era
otonomi daerah yang dapat mengakomodir antara riil kebutuhan
masyarakat dan dari pelaksana Puskesmas yang semakin beragam
permintaan.
3. Kedepan diperlukan tim perencanaan kebutuhan obat di
Kabupaten/kota yang akan menyeleksi usulan dari Puskesmas dan
dengan informasi langsung dari instansi farmasi, sebagai penunjang
diperlukan Sistem Informasi Perencanaan Kebutuhan Obat. Prosedur
pengadaan obat yang telah berjalan selama ini dapat digambarkan
dalam skema berikut.
GAmbar 2.2. Prosedur Pengadaan Obat
Tim Perencaan Obat
Kabupaten/Kota
Draf usulan ke Pemda
Penetapan
Bupati/Walikota
Pengadaan Anwizing,
Tender
Uji Mutu Balai POM
2 kali
Didtribusi ke Gudang
Puskesmas
Distribu ke puskesmas
19
Listiani Mengemukakan setelah melakukan pengadaan obat sesuai
prosedur yang sudah ada sebelumnya, terdapat prosedur pengadaan obat yang
diharapkan ke depan, dapat diperhatikan pada skema berikut :
Sumber Hartono, 2007
Gambar 2.3 Prosedur Pengadaan Obat yang Diharapkan
Setelah mengetahui prosedur pengadaan obat yang diharapkan dilakukan kedepan,
maka perlu digambarkan pola siklus pengadaan obat agar ke depan lebih baik. Hal
ini diharapkan pengadaan obat dapat berjalan dengan semestinya dan tidak terjadi
hambatan sehingga kebutuhan obat terpenuhi.
Tim Perencanaa Kebutuhan Obat
Dinas Kesehatan
P2P, Yankes, Kesga,
Instalasi Farmasi, Seksi
Farmasi
Sistem Informasi
Perencanaan
Kebutuhan Obat
(SIPKO)
Instalasi Farmasi
Puskesmas Jumlah, Sasaran
20
Sumber : Haartono, 2007
Gambar 2.4. Siklus Pengadaan Obat
2.6. Pembiayaan Obat
Pengadaan obat tidak terlepas dari pembiayaan sehingga obat tersebut
segera terpenuhi. Dalam pengadaan obat public dan perbekalan kesehatan untuk
Pelayanan Kesehatas Dasar (PKD) dibiayai oleh berbagai sumber anggaran.
Dengan demikian, perencanaan pengadaan obat sangat mutlak diperlukan agar
tidak terjadi hal-hal yang akan membuat kekeliruan. Oleh karena itu diperlukan
pembentukan Tim Perencanaan Obat Terpadu. Tim ini merupakan suatu
kebutuhan dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan dana
obat melalui koordinasi, integrasi dan sinkronisasi antar instansi terkait dengan
Meninjau Kembali seleksi obat
Mengumpulkan informasi
mengenai pemakaian
Mendistribusikan obat
Melakukan pembayaran
Menerima dan mengecek obat
Memonitor status pesanan
Menentukan isi kontrak
Mengalokasikan dan memilih
suplier
Memilih metode pengadaan
Mencocokkan kebutuhan dan
dana
Menentukan jumlah yang
diperlukan
21
masalah obat disetiap Kabupaten/Kota. Tim yang sudah dibentuk terdiri dari
beberapa unsur, diantaranya ;
1. Ketua : Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
2. Sekretaris : Farmasi Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
3. Anggota terdiri dari unsur antara lain :
a. Sekretarsi daerah
b. Badan Perencanaan Daerah
c. Dina Kesehatan
d. Rumah Sakit Umum Daerah
e. PT Askes Indonesia
f. Kepala Puskesmas
Tim Perencanaan Obat Terpadu yang sudah dibentuk mempunyai tugas-
tugas sebagai berikut :
1. Mengevaluasi semua aspek pengadaan obat tahun sebelumnya
2. Mengevaluasi ketersediaan anggaran dan jumlah pengadaan obat.
3. Merencanakan kebutuhan obat berdasarkan setimasi kebutuhan obat public
Unit Pelayanan Kesehatan Dasar dan Program Kesehatan untuk tahun
berikutnya berdasarkan data dari Unit Pelayanan Kesehatan.
Dengan adanya tim perencanaan obat yang sudah dibentuk, kemudian
akan dirasakan manfaat perencanaan obat terpadu. Diantara manfaat dari
perencanaan obat ini adalah :
1. Menghindari tumpang tindih penggunaan anggaran
2. Keterpaduan dalam evaluasi, penggunaan dan perencanaan
3. Kesamaan persepsi antara pemakai obat dan penyedia anggaran
22
4. Estimasi kebutuhan obat lebih tepat
5. Koordinasi antara penyedia anggaran dan pemakai obat
6. Pemanfaatan dan pengadaan obat lebih optimal.
Thabrany (2005) mengemukakan bahwa hasil evaluasi Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM) Depkes RI tahun 1996, terdapat
beberapa kendala dalam pengelolaan obat di Kabupaten/Kota. Kendala-kendala
tersebut adalah :
1. Anggaran pengadaan obat dari berbagai sumber untuk pelayanan
kesehatan dasar dan program kesehatan yang ditetapkan oleh
kabupaten/kota pada umumnya tidak mencukupi kebutuhan
2. Pengelolaan obat yang berasal dari berbagai sumber anggaran belum
berjalan seperti yang diharapkan.
3. Perencanaan obat belum sepenuhnya mempertimbangkan semua
sumber anggaran yang ada
4. Pendistribusian obat masih belum memenuhi jadwal distribusi yang
ditetapkan karena keterbatasan dana dan sarana yang ada.
5. Penggunaan obat yang irasional. Peresepan obat pada umumnya belum
berdasarkan standar pengobatan yang telah ditetapkan. Apabila
penggunaan obat irasional dapat ditekan, maka dapat menghemat biaya
sebesar 28%.
Budiarto (2003) dalam jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan Vol 3.
06/No.02?2003 menyimpulkan bahwa :
23
1. Terdapat kelemahan dari data pembiayaan yang dikumpulkan yakni
data yang ada belum mengacu pada batasan-batasan tentang
pengeluaran yang diklasifikasikan sebagai pengeluaran bagi
pembiayaan kesehatan. Disamping itu terjadi kesulitan menghitung
data pembiayaan dari Pemerintah karena pencatatan anggaran dari
berbagai sumber kurang akurat.
2. Proporsi biaya program kesehatan terhadap APBD II ternyata masih di
bawah kesepakatan Bupati dan Walikota se Indonesia yakni sebesar
15% dari APBD II.
3. Kontribusi Institusi non Dinas Kesehatan untuk Program Kesehatan
terhadap total anggaran masih rendah.
4. Biaya operasional untuk program kesehatan mendominasi pembiayaan
secara keseluruhan 9>80% di Kutai Kartanegara dan Balikpapan) dan
anggaran dari non Dinas Kesehatan hampir seluruhnya digunakan
untuk biaya operasional dan mempunyai kecenderungan meningkat
lagi untuk masa yang akan datang.
2.7. Analisa ABC
Dalam melakukan penelitian ini menggunakan analisis ABC. Analisis
ABC merupakan metode pembuatan grup atau penggolongan berdasarkan
peringkat nilai dari tertinggi hingga terendah, dan dibagi menjadi 3 kelompok
besar yang disebut kelompok A, B dan C. kelompok A biasanya sejumlah 10-20%
dari total elemen dan merepresentasikan 60-70% total nilai. Kelompok B
berjumlah 20% dari total item dan merepresentasikan 20% total nilai. Kelompok
24
C biasanya berjumlah 60-70% dari total elemen dan merepresentasikan 10-20%
total nilai.
Dengan menggunakan analisis ABC ini akan sangat membantu dalam
memisahkan elemen-elemen dengan nilai tertinggi (kelompok A) dengan nilai
terendah (kelompok C). Prinsip dalam analisis ABC ini juga dikenal dengan nama
Analisis ABC (ABC analusis), dan dibuat berdasarkan sebuah konsep yang
dikenal dengan nama Hukum Pareto (Pareto’s Law), dari nama ekonom Itali,
Vilfredo Pareto. Dimana hokum ini menyatakan bahwa sebuah kelompok akan
memiliki presentase terkecil (20%) yang bernilai atau memiliki dampak terbesar
(80%).
Depkes RI (1997) mengatakan bahwa pengamatan dalam pengadaan obat
dijumpai bahwa sebagian besar dana obat (70%) digunakan untuk pengadaan 10%
dari jenis/item obat yang paling banyak digunakan, sedangkan sisanya sekitar
90% jenis/item obat menggunakan dana sebesar 30%. Maka, analisis ABC
memberikan kelompok masing-masing untuk jenis obat sesuai kebutuhan
dananya, yaitu :
1. Kelompok A
Kelompok A merupakan jenis obat yang jumlah nilai pengadaannya
menunjukkan dana sekitar 70% dari jumlah dana keseluruhan.
2. Kelompok B
Kelompok B merupakan jenis obat yang jumlah nilai pengadaannya
menunjukkan penyerapan dana sekitar 20%.
3. Kelompok C
25
Kelompok C merupakan jenis obat yang jumlah nilai pengadaannya
menunjukkan penyerapan dana sekitar 10% dari jumlah dana keseluruhan.
Dalam melakukan analisis ABC diperlukan langkah-langkah untuk
masing-masing kelompok, baik kelompok A, B dan C. langkah-langkah tersebut
adalah :
1. Menghitung jumlah dana yang dibutuhkan untuk masing-masing obat
dengan mengalikan kuantum obat dengan harga obat.
2. Menentukan peringkat obat mulai dari yang terbesar dananya sampai
yang terkecil.
3. Menghitung persentase terhadap dana yang dibutuhkan.
4. Menghitung kumulasi persennya
5. Melakukan kumulasi obat 70% termasuk pada kelompk A
6. Melakukan kumulasi obat 71-90% termasuk pada kelompok B
7. Melakukan kumulasi obat 90-100% termasuk pada kelompok C
1
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Rancangan Penelitian
Penellitian ini merupakan jenis penelitian deskritif kualitatif dan
kuantitatif dengan menggunakan pendekatan studi kasus yang bertujuan untuk
memperoleh gambaran mengenai Analisis perencanaan obat public dan
perbekalan kesehatan berdasarkan analisis ABC indeks kritis.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di dinas kesehatan Kabupatan Aceh Barat yang di
laksanakan pada bulan Juli 2012
3.3.Populasi dan Sampel
3.3.1. Informan
Informan dalam penelitian ini adalah sebanyak 1 orang yaitu kepala
gudang farmasi yang mengetahui program perencanaan obat public dan
perbekalan kesehatan .jika pada saat penelitian informasi yang di dapat dirasa
kurang mendukung maka akan dilakukan wawancara dengan pegawai yang
terlibat dalam perencanaan obat.
3.3.2. Responden
Responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 10 orang. Responden
terdiri dari dokter yang merupakan pihak yang terlibat langsung dalam
menuliskan resep obat public, yaitu dokter dari pukesmas yang ada di lingkungan
2
dinas kesehatan Kabupaten Aceh Barat, diantaranya Puskesmas Johan Pahlawan,
Puskesmas Suak Ribee, Puskesmas Meureubo, Puskesmas Peureume, Puskesmas
Samatiga, Puskesmas Kajeung, Puskesmas Meutulang dan Puskesmas Kuta
Padang Layung.
3.4. Metode Pengumpulan Data
Dalam melakukan pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data
primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara:
a. Melakukan wawancara dengan Kepala Gudang Farmasi untuk
mengetahui mengenai perencanaan obat publik.
b. Memberikan kuisioner kepada 10 orang dokter yang paling banyak
mengeluarkan resep untuk mendapatkan nilai kritisnya
Selanjutnya untuk mendapatkan data sekunder diperoleh dengan cara
melihat data perencanaan obat publik dan perbekalan kesehatan di Gudang
Farmasi Dinas Kesehatan Aceh Barat mulai Januari 2011-Desember 2011.
3.5. Metode Pengolahan Data
Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menghitung
tingkat pemakaian, tingkat biaya dan tingkat kekritisan dari obat publik dan
perbekalan kesehatan sehingga didapatkan penggolongan obat publik dan
perbekalan kesehatan berdasarkan hasil analisis ABC indeks kritis. Penggolongan
akan terdiri dari kelompok A, kelompok B, kelompok C.
3
3.6 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data mengenai jumlah pemesanan optimal yang ekonomis
untuk obat publik dan perbekalan kesehatan kelompok A, dengan melihat biaya
perencana, pengadaan dan penyimpanan. Dengan mengetahui jumlah pemesanan
yang efektif dan ekonomis, maka dapat diketahui frekuensi pemesanan. Dalam
melakukan analisis ini diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Data dari obat publik dan perbekalan kesehatan dikelompokkan berdasarkan
jumlah pemakaian. Dimana kelompok A dengan pemakaian 70% dari
seluruh pemakaian, kelompok B dengan pemakaian 20% dari seluruh
pemakaian dan kelompok C dengan pemakaian 10% dari seluruh
pemakaian.
b. Langkah kedua dibuat pengelompokkan berdasarkan nilai investasi.
Kelompok A dengan nilai investasi 70% dari seluruh jumlah investasi,
kelompok B dengan investasi 20% dari seluruh nilai investasi dan kelompok
C dengan jumlah investasi 10% dari seluruh investasi.
c. Dibuat kuisioner untuk mendapatkan nilai kritis barang, dan diberikan
kepada dokter. Dokter yang diberikan kuisioner ditentukan dengan
pertimbangan bahwa dokter tersebut mengetahui perencanaan kebutuhan
obat publik dan perbekalan kesehatan. Doter tersebut diminta untuk
membuat klasifikasi obat kelompok obat publik dan perbekalan kesehatan
yang telah dibuatkan daftarnya, kriteria klasifikasi adalah sebagai berikut:
1. Kelompok X: merupakan obat yang tidak boleh diganti, dan harus selalu
tersedia dalam rangka proses perawatan pasien.
4
2. Kelompok Y: merupakan obat yang dapat diganti walaupun tidak
memuaskan karena tidak sesuai dengan barang yang asli, dan
kekosongan kurang dari 48 jam masih bisa ditoleransi.
3. Kelompok Z: merupakan obat yang dapat diganti dan kekosongan lebih
dari 48 jam dapat ditoleransi.
4. Kelompok O: adalah obat yang dapat diklasifikasikan dalam kelompok
X, Y dan Z
Setiap kelompok barang di beri bobot sebagai berikut X=3, Y=2, Z=1
dan O=0. Nilai kritis setiap jenis barang didapat dengan menjumlahkan
nilai bobot dari semua responden dan selanjutnya di bagi dengan jumlah
responden.
d. Untuk mendapatkan analisis indek kritis ABC adalah dengan
menggabungkan ketiga nilai yaitu: nilai pemakaian, nilai investasi dan kritis.
masing masing nilai mepunyai 3 (tiga) yaitu kelompok A, kelompok B,
kelompok C. Kemudian ketiga nilai di gabungkan menjadi;
Indeks kritis =W1+W2+W3
Dimana:
W1: nilai kritis, dengan bobot 2
W2: nilai investasi, dengan bobot 1
W3: nilai pemakaian, dengan bobot 1
e. Kemudian di buat perkiraan kebutuhan obat Januari- Juli 2012 untuk obat
yang termakasud kelompok A dalam analisis indeks kritis ABC, dengan
menggunakan ``times series forecasting``. Data yang digunakan merupakan
5
data pemakaian obat public dan perbekalan kesehatan dari Januari sampai
dengan Desember 2011.
f. Hasil perhitungan perkiraan kebutuhan bulan Januari–Juli 2012 yang
dilakukan dibandingkan uji statistic untuk melihat perbedaan yang
dilakukan peneliti dan dinas kesehatan.
g. Menghitung jumlah kebutuhan optimum obat public dan perbekalan
kesehatan kelompok A.
h. Menghitung jumlah obat public dan perbekalan kesehatan kelompok A
dimana saat harus memesan obat tersebut .
3.7.Definisi operasioanal
Tabel 3.1. Definisi Operasional
Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
Perencanaan
kebutuhan
obat publik
dan pembekalan
kesehatan
Dokumen yang berisi
daftar semua jenis
dan jumlah setiap
item obat publik untuk PKD yang
direncanakan
Wawancara Daftar
pernyataan
1. Sesuai
ABC
2. Tidak
sesuai ABC
Ordinal
Data Pemakaian
Jumlsh obat publik dan perbekalan
kesehatan yang
digunakan untuk
\PKD
Telaah dokumen
Daftar Check list
Dalam Rupiah Nominal
Data harga Jumlah uang yang
harus dibayarkan
untuk membeli
Telaah
dokumen
Daftar
Check List
Dalam Rupiah Nominal
Data pengguna
Jumlah obat yang digunakan oleh
puskesmas untuk
mengobati pasien
Telaah dokumen
Daftar Check List
Dalam Rupiah Nominal
Data item Nilai-nilai yang
diberikan dokter
tentang kategori obat,
yaitu X,Y dan O
Telaah
dokumen
Daftar
check list
1. Sesuai
ABC
2. Tidak
sesuai ABC
Ordinal
6
Obat Publik Semua jenis obat yang tercantum
dalam daftar obat
publik dan perbekalan kesehatan
untuk PKD yang
sesuai ketentuan
Direktur Bina Kefarmasian dan alat
kesehatan
departemen kesehatan RI yang
masih berlaku pada
saat pelaksanaan penelitian
- - - -
7
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kabupaten Aceh Barat setelah pemekaran terletak pada geografis 040
06’-
040 47 Lintang Utara dan 95
0 52’-96
0 30’ Bujur Timur dengan luas wilayah
2.927.95 Km2
(292.795 Hektar). Kabupaten Aceh Barat terdiri dari 12 Kecamatan
dan berbatasan dengan:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh Jaya dan Pidie
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Aceh Tengah dan Nagan Raya,
c. Sebelah Barat dan Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia dan
Kabupaten Nagan Raya
Dinas Kesehatan Kabupaaten Aceh Barat beralamat di jalan Imam Bonjol
No.101 Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat. Dinas Kesehatan
Kabupaten Aceh Barat mempunyai visi ”Menjadi Dinas Kesehatan yang mampu
memimpin usaha mencapai Aceh Barat Sehat 2015”. Sedangkan misi dari Dinas
Kesehatan Aceh Barat adalah sebagai berikut:
1. Mengerakkan pembangunan daerah yang berwawasan kesehatan.
2. Mendoromg kemandirian masyarakat untuk meningkatkan kesehatan
untuk hidup sehat.
3. Memelihara dan meningkatkan pelayanan yang bermutu, merata dan
menjangkau.
8
4. Memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan
masyarakat serta lingkungan sekitar.
Adapun di Dinas Kesehatan Aceh Barat juga terdapat beberapa
Puskesmas, di antaranya: Puskesmas Johan pahlawan, Puskesmas Suak Ribee,
Puskesmas Meureubo, Puskesmas Drien Rampak, Puskesmas Peureume,
Puskesmas Samatiga, Puskesmas Kajeung, Puskesmas Metulang dan Puskesmas
Kuta Padang Layung. Dalam pembangunan kesehatan, Pemerintah menyediakan
pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau yang berkualitas. Demikian perlu
disediakan tenaga kesehatan yang berkualitas, biaya operasional kegiatan, sarana
fisik dan peralatan kesehatan, obat-obatan, perbekalan kesehatan dan kebutuhan
lainnya, untuk mendukung kegiatan program kesehatan yang berpihak kepada
masyarakat. Oleh karena itu Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat melakukan
penjabaran program kesehatan sebagai berikut:
1. Program Pengadaan Obat dan Perbekalan Kesehatan
2. Program Upaya Kesehatan Masyarakat
3. Prgram Pengawasan Obat dan Makanan
4. Program Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
5. Program Perbaikan Gizi Masyarakat
6. Program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular
7. Program Pengadaan, Peningkatan dan Perbaikan Sarana dan Prasarana
Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan Jaringannya.
8. Program peningkatan Pelayanan Kesehatan Lansia
9. Program Pengawasan dan Pengendalian Kesehatan Makanan
9
10. Program Peningkatan Kesehatan Ibu Melahirkan dan Anak
4.2 Proses Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Dinas Kesehatan Aceh Barat. Tahap pertama
dari penelitian ini adalah melakukan wawancara dengan Ketua Bidang Farmasi
mengenai analisis obat publik dan perbekalan kesehatan. Setelah selesai
wawancara dilakukan telaah dokumen dibagian farmasi mengenai pemakaian
obat publik dari bulan Januari 2011-Desembar 2011. Dari data tersebut didapat
kelompok obat publik kelompk A, kelompok B, dan kelompok C berdasarkan
nilai pemakaian.
Tahap selanjutnya dimasukkan data harga obat dan pemakaian. Data ini
dimasukkan ke dalam komputer program Excel sehingga didapatkan Analisis
ABC berdasarkan investasi. Selanjutnya adalah dengan memasukkan indeks kritis
ke dalam komputer program Excel. Data ini akan didapatkan obat publik
kelompok A, kelompok B, dan kelompok C berdasarkan indeks kritis.
Data dari indeks pemakaian, indeks investasi dan indeks kritis
digabungkan dalam program Excel sehingga didapatkan nilai indeks kritis
kelompok A yang mempunyai nilai antara 9,5-12, kelompok B yang mempunyai
nilai indeks kritis antara 6,4-9,4 dan kelompok C dengan nilai indeks kritis antara
4,0-6,4.
Untuk mendapatkan nilai kritis peneliti membagikan kuisioner kepada
responden yang terdiri dari dokter-dokter di Puskesmas di lingkungan kerja Dinas
Kesehatan Aceh Barat yang terdiri dari 10 orang dokter.
10
4.3 Keterbatasan Penelitiian
Keterbatasan penelitian dalam penelitian ini adalah dalam menentukan
obat publik menurun kekritisannya menjadi kelompok X, Y, Z dan oleh dokter
sebagai pemakai melalui kuisioner, timbul kesulitan bagi para dokter karena sulit
untuk dibedakan sesuai pengelompokan tersebut. Akan ada peradaban yang sangat
signifikan antara setiap puskesmas karena obat yang dipakai di Puskesmas-
Puskesmas tersebut ada yang sangat spesifik sedangkan di pukesmas yang lain
dianggap kurang penting karena sangat jarang digunakan.
4.4. Hasil Penelitian
4.4.1. Hasil Wawancara Mendalam Dengan Informasi
Selama ini perencanaan obat yang dilakukan di bidang Farmasi Dinas
Kesehatan Aceh Barat belum dilakukan dengan pengelompokan, seluruh obat
diperlakukan sama tanpa melihat dari jumlah pemakaiannya ataupun
investigenasinya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang perencanaan obat
adalah sebagai berikut :
“Untuk 2013 dilakukan dari 2012. Pembelian dilakukan akhir tahun yang
bersangkutan misalnya pada bulan Oktober tahun tersebut. Pembelian dilakukan
melalui Kimia Farma, yang memang tender. Yang terlibat dalam perencanaan
seluruh bidang, berdasarkan laporan kebutuhan dari puskesmas. Kendalanya ada
obat-obat yang dibutuhkan tidak tersedia lagi dipasaran untuk biaya tahun 2012
adalah 1 miliyar lebih dan setiap tahun berubah-ubah. Pihak pemerintah terlibat
11
dalam urusan tender namun tidak terlibat langsung dalam perencanaan.
Pengadaannya dilakukan sesuai kebutuhan satu tahun kedepan.”
Dari hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa perencanaan obat
dilakukan setahun sebelum obat tersebut dibeli. Dalam melakukan perencanaan
melibatkan seluruh seksi di bawah bidang farmasi dinas kesehatan Aceh Barat,
setelah sebelumnya menerima laporan kebutuhan obat dari puskesmas-puskesmas
yang menjadi unit kerja Dinas Kesehatan Aceh Barat. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat siklus perencanaan pembelian obat di bawah ini.
Gambar 4.1 siklus pembelian obat di Bidang Farmasi Dinkes Aceh Barat
BIDANG FARMASI
penerimaan
pengiriman
Pesanan ke pemasuk
Bagian keuangan
direktur
Bagian rumah tangga
Pemesanan obat
12
Berdasarkan siklus tersebut dapat dilihat bahwa yang sangat berperan
dalam pembelian obat adalah di bidang farmasi namun tetap dikendalikan oleh
kepala dinkes untuk disetujui. Bagian rumah tangga berperan dalam pengadaan
obat untuk memesan obat ke pemasok.
4.4.2 Hasil analisis berdasarkan ABC berdasarkan pemakaian
Hasil analisis berdasarkan nilai pemakain di dapatkan hasil sebagai berikut:
1. Kelompok A terdapat 22 jenis obat publikyang merupakan keseluruhan jenis
dengan pemakaian sebanyak 93.622 (70% dari pemakain keseluruhan).
2. Kelompok Bterdiri dari 25 jenis obat publik yang merupakan keseluruhan
jenis dengan dengan pemakaian sebanyak 35.222 (20% dari pemakaian
keseluruhan).
3. Kelompok C terdiri dari 68 jenis obat publik yang merupakan keseluruhan
jenis dengan pemakaian 38.650 (10% dari pemakaian keseluruhan).
Hasil penelitian pemakaian obat publik yang terdapat di dinkes Aceh
Barat dapat dilihat dalam tebel 4.1 berikut
13
Table 4.1 pengelompokan obat publik dengan analisis ABC berdasarkan jumlah
pemakaian Periode Januari 2011-Desember 2011.
kelompok Jumlah item Jumlah pemakaian % pemakaian
A 22 93.622 70
B 25 35.222 20
C 68 38.650 10
total 115 167.494 100
4.4.3. Hasil analisis ABC berdasarkan nilai investasi terhadap obat publik
1. Kelompok A dengan nilai investasi 70% dengan biaya Rp 586.751.818 (lima
ratus delapan puluh enam juta tujuh ratus delapn belas rupiah) dengan
jumlah item 22.
2. Kelompok B dengan nilai investasi 20% dengan biaya 160.411.843 (seratus
enam puluh juta empat ratus sebelas ribu delapan ratus empat puluh tiga
rupiah) dengan jumlah item 25.
3. Kelompok C dengan nilai investsi 10% dengan biaya Rp.80.082.793
(delapan puluh juta delapan puluh dua ribu tujuh ratus sembilan puluh tiga
rupiah) dengan jumlah item 68
Hasil penelitian pemakaian obat publik yang terdapat di bidang farmasi
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
14
Tabel 4.2 hasil pengelompokan obat publikan dengan analisis ABC
berdasarkan nilai investasi periode januari 2011- desember 2011.
kelompok Jlh item Jlh investasi % investasi
A 22 586.751.818 70
B 25 160.411.843 20
C 68 80.082.793 10
total 115 827.246.454 100
Dari analisis ABC berdasarkan investasi didapatkan kelompok A sebanyak
70%, kelompok B 20%, kelompok C 10%. Ini sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh sanderson (1982) yaitu 70-20-10.
Penanganan obat-obatan yang termasuk kelompok A harus diperhatikan
dengan ketat dimana diperlukan langkah-langkah yang dalam pelaksanaanya.
Karena uang yang berputar untuk item-item obat publik ini sangat berperan untuk
Dinkes maka sangat diharapkan harus dipantau pelaksanaannya sehingga tidak
terjadi kekurangan yang dapat mengakibatkan terlambatnya pelayanan di bidang
farmasi.
4.5 Pembahasan
Perencanaan obat merupakan satu tahap awal yang penting dalam
menentukan keberhasilan tahap selanjutnya, sebab tahap perencanaan berguna
untuk menyesuaikan antara kebutuhan pengadaan dengan dana yang tersedia
untuk menunjang pelayanan kesehatan di rumah sakit. Tujuan perencanaan obat
adalah untuk menetapkan jenis dan jumlah obat yang sesuai dengan pola penyakit
dan kebutuhan kesehatan dirumah sakit (Nabila, 2012).
15
Perencanaan obat sangat mempengaruhi ketersediaan obat di bidang
farmasi Dinas Kesehatan Aceh Barat, sebab perencanaan bertujuan untuk
menetapkan jenis dan jumlah obat sesuai dengan pola penyakit dan kebutuhan
kesehatan di puskesmas se-Kabupaten Aceh Barat agar tidak terjadi kosongan
maupun kelebihan obat. Apabila kebutuhan obat tidak direncanakan dengan baik
maka terjadi kekosongan yang akan mempengaruhi pelayanan serta kenyamanan
pasien dan kelebihan obat akan menyebabkan kerusakan obat dan merugikan
anggaran yang dipakai untuk obat tersebut. Hal inilah yang mendasari perlunya
dilakukan evaluasi dari perencanaan yang telah dibuat.
Evaluasi disini berdasarkan analisis ABC sehingga perencanaan obat dan
yang harus diadakan adalah obat yang sangat dibutuhkan Karena penggunaannya
banyak dan dapat memberikan nilai investasi tinggi bagi Dinas Kesehatan
Kabupten Aceh Barat.
Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan informan yaitu kepala
gudang farmasi di Dinas Keshatan Kabupaten Aceh Barat tentang perencanaan
yang ada yaitu perencanaan dilakukan untuk menentukan jenis dan jumlah
kebutuhan obat. Perencanaan obat dibuat oleh petugas gudang farmasi di Dinas
Kesehatan Kabupaten Aceh Barat setiap bulan yang didasarkan pada kebutuhan
obat periode sebelumnya, dengan melihat pola penyakit dan jumlah kunjungan
yang ada setiap puskesmas.
Data sekunder yang diperoleh berupa profil rumah sakit, profil intalasi
farmasi dan data pemakaian obat publik tahun 2012 berserta harga belinya yang
diperlukan dalam pengelolaan data analisa ABC. Data yang di gunakan untuk
16
membuat analisa ABC adalah data pemakaian obat publik selama periode bulan
Januari-Desember 2011. Dengan analisa ABC, jenis obat ini dapat
diidentifikasikan, untuk dilakukan evaluasi lebih lanjut. Untuk mendapatkan nilai
indeks kritis dari obat tesebut peneliti membagikan kusioner kepada responden
yang terdiri dokter–dokter di pukesmas di lingkungan kerja Dinas Kesehatan
Aceh Barat yang terdiri dari 10 orang dokter .
Berdasarkan data yang di peroleh untuk hasil analisa ABC berdasarkan
pemakaian diperoleh yang termasuk dalam kelompok A terdapat 22 jenis obat
publik dengan nilai pemakaian sebanyak 96.622. kelompok B terdiri dari 25 jenis
obat publik dengan nilai pemakaian sebanyak 35.222, dan obat yang termasuk
dalam kelompok C terdiri dari 68 jenis obat publik dengan nilai pemakaian
38.650.
Sedangkan untuk analisis ABC berdasarkan nilai investasi diperoleh yang
termasuk dalam kelompok A terdapat 22 jenis obat publik dengan nilai investasi
sebanyak Rp.586.751.818,kelompok B terdiri dari 25 jenis obat yang termasuk
dalam kelompok C terdiri dari 68 jenis obat publik dengan nilai investasi
sebanyak Rp.80.082.793.
Perencanaan obat yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Aceh Barat ini
dilakukan dengan melakukan stok opname setiap bulan belum dilakukan dengan
pengelompokan, semua obat di perlukan sama tanpa membedakan apakah obat
tersebut biaya investasinya tinggi atau rendah. Dinas Kesehatan Aceh Barat
melakukan pemesanan obat setiap minggu dengan waktu tunggu dua hari dan stok
pengamanan sebanyak 20% sehingga jarang terjadi kekosongan obat.
17
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, analisi data dan pembahasan maka dapat di
ambil kesilpulan yaitu.
1. Dari hasil penelitian diperoleh hasil analisi ABC berdasarkan pemakaian yaitu
kelompok A terdiri dari 22 jenis obat publik dengan nilai pemakaian 93.622,
kelompok B terdiri dari 25 jenis obat publik dengan nilai pemakaian 38.650.
2. Dari hasil penelitian diperoleh hasil analisis abc berdasarkan nilai investasi
yaitu kelompok A terdiri dari 22 jenis obat public dengan nilai investasi
Rp.586.751.818, kelompok B terdiri dari 25 jenis obat publik dengan nilai
investasi Rp.160.411.843, dan kelompok C terdiri dari 68 jenis obat publik
dengan nilai investasi Rp.80.082.793.
3. Perencanaan obat yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Aceh Barat dilakukan
dengan melakukan stok opname setiap bulan dan belum dilakukan dengan
pengelompokan, semua obat diperlukan sama tanpa membedakan apakah obat
tersebut biaya investasinya tinggi atau rendah.
4. Setelah dilakukan analisis ABC dan indeks krits terhadap 115 item obat
didapatkan obat publik yang jumlah investasinya besar, pemakaiannya banyak
sehingga kritis dalam persediannya. Obat publik harus menjadi perhatian
adalah yang kritis pemakaian, kritis secara investasi dan kritis menurut
pemakai obat publik tersebut.
18
5. Dinas Kesehatan Aceh Barat melakukan pemesanan obat setiap minggu
dengan waktu tunggu dua hari dan stok pengaman sebanyak 20% sehingga
jarang terjadi kekosongan obat.
6. Dari 115 obat hanya 5 item yang harus di perhatikan dalam perencanaannya,
obat ini harus terjaga stoknya sehingga terjadi kekosongan akan sangat
merugikan dinas kesehatan.
7. Dari keseluruhan penelitian ini ternyata apabila diterapkan dinas kesehatan
akan dapat mengurangi anggaran dan tenaga, tetapi akan ada keterbatasan
dimana dalam melakukan nilai kritis oleh pemakai dengan item obat yang
demikian banyak dapat terjadi ketidaktepatan dalam menentukan kritis oleh
pemakai karena dokter yang berasal dari beragam puskesmas dan menganggap
obat yang biasanya dipakai di klinik tersebut penting sehingga perbedaan
antara pukesmas yang satu dengan yang lain nilai kritisnya berbeda.
5.2. Saran
1. Perencanaan obat Dinas Kesehatan Aceh Barat sebaiknya dilakukan dengan
pengelompokan sehingga tidak akan memakan waktu,gtenaga dan menghemat
anggaran.
2. Dalam penentuan jenis obat di dinas kesehatan yang berperan adalah dokter
dangan apoteker sehingga obat yang dibutuhkan di pukesmas selalu ada, dan
obat yang disediakan tidak akan terbuang percuma karena tidak digunakan.
3. Dari analisis ABC dan indeks kritis ABC rata-rata pergerakan obat sudah
bagus, hanya ada berberapa item yang kurang bergerak. Hal ini harus menjadi
19
perhatian agar investasi yang dilakukan tidak mengganggu pelayan kesehatan
dan tempat penyimpanan obat di gudang farmasi.
4. Dalam hal pemesanan obat telah dilakukan dengan baik tetapi disarankan agar
dinas kesehatan memperhatikan stok minimal sehingga tidak terjadi kelebihan
atau kekosongan obat.
5. Agar dilakuakan penelitian lebih lanjut mengenai anggaran yang dapat
dihemat jika perencanaan dengan menggunakan metode ABC sehingga efektif
dari metode ini beguna bagi dinas kesehatan.
20
DAFTAR PUSTAKA
Azrul, Azwar. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta: Binarupa
Aksara.
Depdikbud. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Depkes RI.2002. Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor :1426/Menkes
/SK/XI/2002 tanggal 21 Nopember 2002 tentang Pedoman Pengelolaan
Obat Publik Dan Perbekalan Kesehatan.
Depkes 2002. Keputusan Menteri Kesehatan RI.No.128/SK/II/2004 tgl 10
Februari 2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat.
Depkes 2004. Pedoman Pengelolaan Obat Publik Dan Perbekalan Kesehatan Di
Pukesmas. Jakarta ; Ditjen Yanfar dan Alkes.
Depkes 2005. Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1330/Menkes /SK/IX/2005
tanggal 8 September 2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Program
Pelayanan Kesehatan Di Pukesmas, Rujukan Rawat Jalan Dan Rawat Inap
Kelas III Rumah Sakit Dijamin Pemerintah.
Dinkes Kabupaten Aceh Barat 2012. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh
Barat. Meulaboh; Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat .
Ditjen Yanfar Dan Alkes 2005 . Keputusan Menteri Kesehatan RI
No.1412/Menkes/SK/XI/2012 tanggal 20 November 2002 tentang
Pedoman Teknis Pengadaan Obat Publik Dan Perbekalan Kesehatan
Untuk Pelayanan Kesehatan Dasar. (PKD)
Erna, Kristin .o3 Agustus 2002 .Dasar –Dasar Perencanaan Kebtuhan
Obat.(Makalah Seminar) Yogjakarta : Pusat Manajemen Pelayanan
Kesehatan Fakultas Kedoteran UGM.
Faiq, Bahfen ,2006. Peraturan dalam Produksi dan Peredaran Obat. Jakarta: Hecca
Mitra Utama.
Gede AA, Muninjaya.2004. Manajemen Kesehatan . Penerbit buku kedokteran
EGC Universitas Udayana.
Hani. Handoko .2003. Manajemen, Yogyakarta;UGM.
Hasbullah.Thabrany.2005. Pedoman Kesehatan dan Alternatif mobilisasi Dana
Kesehatan di Indonesia. Jakarta; Raja Grafindo Persada.
21
Henny. Listiani.o3 Agustus 2002. Implementasi Strategi Perencanaan Kebutujan
Obat Di Kabupaten / Kota Dalam Era Otonomi .(Makalah Seminar).
Yogyakarta ; Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan Fakultas
Kedokteran UGM.
Malayu SP. Hasibuan .2003 . Manajemen Dasar , Penggertian Dan Masalah,
Jakarta: Bumi Aksara.
pusat manajemen pelayanan kesehatan fakultas kedokteran UGM.
Moh,anief.2003.apa yang perlu diketahui tentang obat .yogyakarta:Gadjah mada
university press.
Notoatmodjo,s.2002.metodelogi penelitian kesehatan .jakarta;Rineka cipta.
Notoatmodjo, 2007.kesehatan masyarakat ilmu dan seni .jakarta:Rineka cipta.
Notoatmodjo.2007. promosi kesehatan dan ilmu perilaku .jakarta:Rineka cipta
Rangkuti,F.1997.manajemen persedian .jakarta :Raja Grafindo persada.
Soewarno,handayaningrat .1996.pengantar studi ilmu administrasi dan manajemen
.jakarta ;Gunung Agung.
Sri, suryawati.1997. perencanaan kebutuhan obat. Yogyakarta :program
pengembangan ekskultif .magister manajemen rumah sakit bekerja sama
dengan pusat studi farmakologklinik dan keijakn obat Universitas Gadjah
mada.
Susi,sucianti, Adisasmito BB wiku.2006. analisis perencanaan obat berdasarkan
ABC indeks kritis di instalasi farmasi (jurnal).manajemen pelkes Vol.09
/No.01 /maret 2006:19-26.