Analisis Perbandingan Mengenai Syarat Sahnya Perkawinan Di ...
Transcript of Analisis Perbandingan Mengenai Syarat Sahnya Perkawinan Di ...
1
Analisis Perbandingan Mengenai Syarat Sahnya Perkawinan Di
Indonesia Dan Malaysia
Della Kartika Sari, Akhmad Budi Cahyono Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
E-mail : [email protected]
Abstrak Pembahasan dalam skripsi ini adalah mengenai syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi dan dihindari untuk dapat melaksanakan perkawinan yang sah dihadapan negara. Di Indonesia, perkawinan diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kemudian di Malaysia, perkawinan diatur berdasarkan wilayah federasi masing-masing yang berjumlah 14 (empat belas) khusus untuk orang yang beragama Islam dan Law Reform (Marriage and Divorce) Act 1976 untuk orang Non Islam diseluruh Malaysia. Dalam penelitian yang berbentuk tinjauan normatif studi perbandingan hukum ini menjelaskan syarat sahnya perkawinan di Indonesia dan Malaysia yang kemudian dibahas persamaan dan perbedaan syarat sahnya perkawinan yang berlaku di kedua negara.
Kata kunci:
Perkawinan, Syarat Sah Perkawinan, Perbandingan Syarat Sah Perkawinan,
Malaysia.
Comparative Analysis on Validity of Marriage Requirement in Indonesia
and Malaysia
Abstract The discussion of this academic thesis is about any terms that must be completed and avoided to be able to perform a legal marriage before the state. In Indonesia, the marriage is regulated in Law No. 1 Year 1974 about marriage. Then in Malaysia, marriage is governed by the respective federation of 14 (fourteen) specifically for people who are Muslims and Law Reform (Marriage and Divorce) Act 1976 to the Non Muslims all over Malaysia. In the form of survey research normative legal comparative study describes the legal conditions of marriage in Indonesia and Malaysia, which are then discussed the similarities and differences in terms of the validity of the marriage which took place in both countries.
Keywords:
Marriage, Validity of Marriage, Validity of Marriage Comparison, Malaysia.
Analisis Perbandingan ..., Della Kartika Sari, FH UI, 2016
2
PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk sosial dimana setiap individu membutuhkan
individu lainnya untuk bertahan hidup. Hal tersebut merupakan hal yang tidak
bisa di dipisahkan dan diingkari oleh manusia yang karenanya hal tersebut dapat
menimbulkan adanya hubungan antar sesama individu. Hal yang sering ditemui
sebagai bentuk dari adanya hubungan sesama individu tersebut adalah suatu
perkawinan yang terjadi antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Hubungan perkawinan tersebut merupakan penyebab timbulnya hubungan perdata
yang diatur dan dilindungi oleh Undang-undang.
Di Indonesia sendiri, Perkawinan diatur dalam UU No.1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No.1 Tentang Perkawinan UU
No.1 Tahun 1974 menggantikan peraturan-peraturan lama yang sebelumnya
berlaku. Menurut pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga).
Perkawinan ini juga merupakan suatu perjanjian kawin (akad nikah) antara calon
suami dan isteri oleh karena menurut pasal 6 ayat (1) UUP, maka dalam
perkawinan harus ada persetujuan antara kedua calon mempelai. Karena
memerlukan persetujuan untuk kawin dari calon suami dan isteri, maka dapat
dikatakan bahwa suatu pernikahan yalah merupakan suatu perjanjian (akad).1
Adanya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang
berarti terciptalah kepastian hukum dalam bidang perkawinan bagi seluruh
masyarakat Indonesia. Dengan adanya unifikasi Undang-undang Nomor 1 tahun
1974 merupakan suatu kesatuan hukum tentang perkawinan yang bersifat nasional
yang berlaku untuk semua warga negara,2 sehingga tidak ada lagi pembedaan
antara begitu banyak suku bangsa yang ada di Indonesia yang kemudian
1Prof. Mr. S.A. Hakim, Hukum Perkawinan: menurut Undang-undang tentang
Perkawinan, hal. 7.
2 Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata (Suatu Pengantar), (Jakarta: Gitama Jaya, 2005, cet 1), hal.45.
Analisis Perbandingan ..., Della Kartika Sari, FH UI, 2016
3
kesemuanya harus tunduk, terutama mengenai perkawinan, kepada Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo, syarat-syarat perkawinan terbagi
menjadi syarat-syarat materiil dan syarat-syarat formal.3 Syarat materiil berkaitan
dengan para pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat
formil berhubungan dengan formalitas-formalitas yang harus dipenuhi dalam
melangsungkan perkawinan.4 Di Indonesia sendiri, syarat-syarat perkawian diatur
dalam Pasal 6 sampai dengan pasal 12 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Pasal 6 sampai dengan pasal 11 memuat
mengenai syarat perkawinan yang bersifat materiil, sedangkan pasal 12 mengatur
mengenai syarat perkawinan yang bersifat formil.
Sedangkan di negara Malaysia, perkawinan merupakan suatu hal yang
juga sangat diperhatikan pengaturannya. Undang-undang perkawinan Islam yang
berlaku di Malaysia adalah undang-undang perkawinan yang sesuai dengan
ketetapan undang-undang masing-masing negeri. Undang-undang tersebut
merupakan undang-undang yang mengatur mengenai segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan dan perceraian yang khusus bagi orang-orang
yang beragama Islam di wilayah federasi dan persekutuannya masing-masing.
Kemudian bagi orang-orang yang beragama Non-Islam diatur dalam Law Reform
(Marriage and Divorce) Act 1976 dimana mencakup seluruh orang-orang Non-
Islam di Malaysia, bukan hanya di wilayah-wilayah federasi dan persekutuan.
Setelah mengetahui bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Malaysia mengenai perkawinan khususnya syarat sahnya perkawinan sangat
beragam dan mengatur secara rinci serta berbeda dengan keberlakuan perundang-
undangan di Indonesia, maka peneliti ingin memperbandingkan syarat sahnya
perkawinan yang berlaku di Indonesia dan juga yang berlaku di Malaysia untuk
mengetahui persamaan dan juga perbedaan pengaturan perkawinan khususnya
mengenai syarat sahnya perkawinan di masing-masing negara.
3 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia, (Airlangga University Press), 1988, hal. 39.
4Ibid.,
Analisis Perbandingan ..., Della Kartika Sari, FH UI, 2016
4
RUMUSAN MASALAH
Setelah mengetahui latar belakang penelitian mengenai apa saja yang menjadi
persamaan dan perbedaan terhadap syarat sahnya perkawinan di Indonesia dan di
Malaysia, selanjutnya yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini antara
lain:
1. Bagaimana pengaturan mengenai syarat sahnya perkawinan yang berlaku
di negara Indonesia dan di Malaysia?
2. Bagaimana perbedaan dan persamaan mengenai syarat sahnya perkawinan
yang berlaku di negara Indonesia dan Malaysia?
TINJAUAN TEORITIS
Di Indonesia sendiri, Perkawinan diatur dalam UU No.1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No.1 Tentang Perkawinan UU
No.1 Tahun 1974 menggantikan peraturan-peraturan lama yang sebelumnya
berlaku, antara lain : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut
KUH Perdata), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie
Christen Indonesia/Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers/HOCI Stb. 1933
No. 74).5 Kemudian, walaupun telah ada undang-undang tentang perkawinan
nasional yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, namun ternyata
peraturan perundang-undangan yang ada sebelumnya masih diberlakukan,
sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.6 Sebelum adanya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
keberlakuan KUH Perdata setelah Indonesia merdeka didasarkan pada Peraturan
Peralihan Pasal II dan IV UUD 1945 (sebelum diamandemen). Terlepas dari
5 Indonesia, Undang-Undang Tentang Perkawinan, UU No.1, LN Nomor 1 Tahun 1974,
TLN No. 3400, Ps. 66.
6 Rosa Agustina, “Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga dan Hukum Waris di Belanda dan Indonesia” dalam Beberapa Catatan tentang Hukum Perkawinan di Indonesia, (Denpasar: Pustaka Larasan, cet 1) 2012, hal. 129.
Analisis Perbandingan ..., Della Kartika Sari, FH UI, 2016
5
adanya anggapan bahwa KUH Perdata merupakan peninggalan Belanda dan sudah
ketinggalan zaman, namun di bidang hukum keluarga dan perkawinan pengaturan
dalam KUH Perdata masih lebih lengkap dan lebih rinci dibandingkan dengan
pengaturan dalam UU No. 1 Tahun 1974.7
Di Indonesia sendiri, syarat-syarat perkawian diatur dalam Pasal 6 sampai
dengan pasal 12 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU
Perkawinan). Pasal 6 sampai dengan pasal 11 memuat mengenai syarat
perkawinan yang bersifat materiil, sedangkan pasal 12 mengatur mengenai syarat
perkawinan yang bersifat formil. Syarat-syarat materiil terdiri dari:8
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak (pasal 6
ayat (1) UU Perkawian).
2. Harus mendapat izin dari kedua orang tua, bilamana masing-masing calon
belum mencapai umur 21 tahun (pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan).
3. Bagi pria harus sudah mencapai usia 19 tahun dan wanita 16 tahun,
kecuali ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan atau pejabat lain
yang ditunjuk oleh orang tua kedua belah pihak (pasal 7 ayat (1) dan (2)
UU Perkawinan)
4. Bahwa kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin, kecuali bagi mereka
yang agamanya mengizinkan untuk berpoligami (pasal 9 jo. Pasal 3 ayat
(2) dan pasal 4 UU Perkawinan)
5. Bagi seorang wanita yang akan melakukan perkawinan untuk kedua kali
dan seterusnya, undang-undang mensyaratkan setelah lewatnya masa
tunggu, yaitu sekurang-kurangnya 90 hari bagi mereka yang putus
perkawinannya karena perceraian dan 130 hari begi mereka yang putus
perkawinannya karena kematian suaminya (pasal 10 dan 11 UU
Perkawinan).
7Ibid.,
8 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, (Airlangga University Press), 1988, hal. 39.
Analisis Perbandingan ..., Della Kartika Sari, FH UI, 2016
6
Sedangkan syarat-syarat formil dalam melangsungkan perkawinan terdiri
dari:9
1. Laporan
2. Pengumuman
3. Pencegahan
4. Pelangsungan
Undang-undang perkawinan Islam yang berlaku sekarang di Malaysia
adalah undang-undang perkawinan yang sesuai dengan ketetapan undang-undang
masing-masing negeri. Undang-undang Keluarga tersebut diantaranya:10 UU
Keluarga Islam Malaka 1983, UU Kelantan 1983, UU Negeri Sembilan 1983, UU
Wilayah Persekutuan 1984, UU Perak 1984 ( No.1), UU kedah 1979, UU Pulau
Pinang 1985, UU Trengganu 1985, UU Pahang 1987, UU Selangor 2003, UU
johor 2003, UU Serawak 1991, UU Perlis 2006, dan UU Sabah 2004. Undang-
undang tersebut merupakan undang-undang yang mengatur mengenai segala
sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan dan perceraian yang khusus bagi
orang-orang yang beragama Islam di wilayah federasi dan persekutuannya
masing-masing. Kemudian bagi orang-orang yang beragama Non-Islam diatur
dalam Law Reform (Marriage and Divorce) Act 1976 dimana mencakup seluruh
orang-orang Non-Islam di Malaysia, bukan hanya di wilayah-wilayah federasi dan
persekutuan.
Dalam perundang-undangan mengenai perkawinan yang berlaku di
Malaysia juga mengatur secara rinci mengenai segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan seperti janji kawin atau pertunangan, cara melangsungkan
perkawinan, pencatatan perkawinan serta tata cara bercerai yang diatur dalam
undang-undang masing-masing wilayah bagi yang beragama islam dan di Law
Reform bagi yang beragama Non-Islam. Pengaturan mengenai hal-hal tersebut
9 Ibid.,
10 Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-Kitab Fiqih, (Jakarta: Ciputat Press,2003) hal. 20.
Analisis Perbandingan ..., Della Kartika Sari, FH UI, 2016
7
berbeda-beda pada tiap wilayah di Malaysia, seperti ada beberapa persyaratan
yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak tertentu sebelum dilangsungkannya
perkawinan bagi golongan muslim secara umum, syarat-syarat yang kami
maksudkan adalah :11
a. Batas umur calon mempelai,
b. Persetujuan kedua belah pihak,
c. Larangan perkawinan karena hubungan kekeluargaan,
d. Mengikuti tata cara perkawinan yang ditentukan.
Jika seseorang hendak melangsungkan perkawinan di bawah Law Reform
(Marriage and Divorce) Act, 1976, beberapa syarat yang wajib dipatuhi oleh
orang yang bersangkutan ialah sebagai berikut :12
a. Belum kawin atau tidak terikat oleh suatu perkawinan (asas monogami),
b. Kedua pihak tidak mempunyai hubungan kekeluargaan yang dekat,
c. Atas persetujuan kedua pihak,
d. Memperoleh persetujuan orang tua-wali atau penjaganya,
e. Telah cukup umur.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian yang berbentuk tinjauan normatif studi
perbandingan hukum, dimana penelitian ini mengacu pada norma hukum yang
terdapat di peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku baik di Indonesia
maupun di Malaysia.
11Prof. Dr. Lili Rasjidi, S.H., LLM., Hukum Perkawinan Dan Perceraian Di Malaysia
Dan Indonesia, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1991), hal. 38.
12Ibid., hal. 43.
Analisis Perbandingan ..., Della Kartika Sari, FH UI, 2016
8
Metode penelitian yang digunakan dalam keputusan yang dilakukan
dengan tujuan untuk memperoleh data sekunder yang kelak akan digunakan
sebagai landasan teoritis sehingga berkaitan dengan masalah yang akan diteliti
oleh peneliti guna mendukung data-data yang diperoleh selama penelitian dengan
cara mempelajari buku-buku, literatur dan sumber lain yang relevan dengan
masalah yang akan dibahas dalam penelitian.13 Sumber data penelitian ini berasal
dari data kepustakaan. Sedangkan jenis data yang digunakan oleh peneliti dalam
penelitian ini adalah data sekunder yakni mencakup antara lain dokumen-
dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berbentuk laporan, buku
harian dan seterusnya. Dalam hal ini data sekunder adalah data yang diperleh dari
studi kepustakaan.14 Kemudian penelitian ini dilakukan untuk menganalisa
persamaan dan perbedaan mengenai syarat sahnya perkawinan dengan
dilakukannya analisis perbandingan yang berlaku di Indonesia dan juga di
Malaysia.
13Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 2005), hal. 250.
14Ibid., hal.12.
Analisis Perbandingan ..., Della Kartika Sari, FH UI, 2016
9
PEMBAHASAN
A. Pengaturan Perkawinan di Indonesia dan Malaysia
Hampir diseluruh dunia hukumya mengatur mengenai perkawinan secara
mendetil untuk menjamin dan melindungi hak-hak seseorang yang terikat pada
perkawinan yang sah. Begitu pula dengan yang terjadi di Indonesia bahwa
mengenai perkawinan diatur secara detil dalam Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Pengaturan ini berlaku bagi seluruh orang-orang di
Indonesia sebagai pedoman melaksanakan perkawinan di Indonesia tanpa
membedakan suku atau agama apapun. Meskipun begitu, undang-undang ini tetap
mengadaptasi dari hukum agama yang juga menjadi acuan dan pedoman dalam
pembentukan undang-undang ini. Adanya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan yang berarti terciptalah kepastian hukum dalam bidang
perkawinan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dengan adanya unifikasi Undang-
undang Nomor 1 tahun 1974 merupakan suatu kesatuan hukum tentang
perkawinan yang bersifat nasional yang berlaku untuk semua warga negara15
dimana semua orang harus tunduk pada peraturan ini.
Berbeda dengan yang terjadi di Malaysia, di negara ini pengaturan
mengenai perkawinan diatur berdasarkan wilayah federasi masing-masing yang
berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam dan satu aturan yang berlaku
untuk seluruh Malaysia bagi orang-orang yang beragama non Islam. Pengaturan
perkawinan di wilayah federasi Malaysia bagi orang Islam antara lain Enakmen 8
Tahun 2002 (Enakmen Keluarga Islam Melaka 2002), Enakmen 12 Tahun 1985
(Enakmen Undang-Undang Pentadbiran Keluarga Islam Terengganu), Ordinan 5
Tahun 2001 (Ordinan Undang-Undang Keluarga Islam Negeri Sarawak 2001),
Enakmen 2 Tahun 2004 (Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam Negeri Pulau
Pinang 2004), Akta Undang-Undang Keluarga Islam Wilayah-Wilayah
Persekutuan 1984 (Akta 303), Enakmen 7 Tahun 2003 (Enakmen Undang-
Undang Negara Islam Negeri Sembilan 2003), Enakmen 13 Tahun 2004
(Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam Negeri Perak 2004), Enakmen 1
15 Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata
(Suatu Pengantar), Cet I, (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hal.45.
Analisis Perbandingan ..., Della Kartika Sari, FH UI, 2016
10
Tahun 2008 (Enakmen Keluarga Islam Negeri Kedah 2008), Enakmen 1 Tahun
2002 (Enakmen Keluarga Islam Kelantan 2002), Enakmen 3 Tahun 2005
(Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Pahang 2005), Enakmen 2 Tahun 2003
(Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Negeri Selangor 2003), Enakmen 8
Tahun 2004 (Enakmen Undang-undnag Negara Islam Sabah 2004), Enakmen 17
Tahun 2003 (Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Negeri Johor 2003),
Enakmen 7 Tahun 2006 (Enakmen Undang-undang Keluarga Islam 2006) dan
juga pengaturan bagi orang non Islam adalah Law Reform (Marriage and
Divorce)Act 1976. Dengan adanya pengaturan seperti ini dapat diketahui bahwa
tidak ada unifikasi hukum terhadap pengaturan mengenai perkawinan di Malaysia
karena masih dibedakan berdasarkan agama mayoritas melayu dan pengaturan
berdasarkan wilayahnya. Berbeda dengan di Indonesia dimana pengaturan
mengenai perkawinannya berlaku secara universal bagi seluruh masyarakat
Indonesia.
B. Persamaan Syarat Sahnya Perkawinan di Indonesia dan Malaysia
Perkawinan merupakan hubungan perdata yang dilakukan oleh laki-laki
dan perempuan untuk membentuk suatu rumah tangga yang kekal. Di Indonesia
ataupun di Malaysia, pengaturan mengenai hal ini terutama tentang syarat sahnya
perkawinan diatur secara khusus dan mendetil pada tiap negara. Hal ini
melahirkan beberapa persamaan yang ditemukan terkait pengaturan syarat sahnya
perkawinan antara kedua negara tersebut.
Perkawinan di Indonesia kerap kali dianggap sakral dan merupakan suatu
ikatan yang sangat dihormati dalam kebiasaan masyarakat. Tidak mengherankan
jika suatu perkawinan dibuat peraturan khusus untuk mengatur hal-hal detil
mengenai perkawinan yang dalam penelitian ini terutama mengenai syarat sahnya
perkawinan. Begitu juga yang terjadi di Malaysia dimana suatu perkawinan
dipandang dari aspek agama dimana perkawinan merupakan sesuatu yang suci,
sesuatu yang dianggap luhur untuk dilakukan.16
16Prof. Dr. Lili Rasjidi, S.H., LLM., Hukum Perkawinan Dan Perceraian Di Malaysia
Dan Indonesia, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1991), hal. 7.
Analisis Perbandingan ..., Della Kartika Sari, FH UI, 2016
11
Pada dasarnya pengaturan mengenai perkawinan baik itu di Indonesia
ataupun di Malaysia yang diperuntukan untuk orang Muslim dan orang Non-
Muslim sebagian besar adalah sama. Pada ketiga peraturan sama-sama diatur
mengenai batas umur minimum untuk melakukan perkawinan, persetujuan kedua
pihak, izin orang tua-wali, larangan perkawinan, dan aturan boleh tidaknya
melakukan poligami dalam perkawinan. Mengenai hal-hal tersebut, memang
sebagian besar pengaturannya adalah sama, namun juga terdapat aturan yang
mengatur hal yang berbeda didalamnya meskipun dengan aturan yang sama.
Suatu perkawinan dapat dikatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat
yang telah ditetapkan dalam pengaturan undang-undang negara masing-masing.
Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, syarat yang
harus dipenuhi dan di hindari untuk dapat melangsungkan perkawinan diatur
dalam pasal 6 sampai dengan pasal 12. Pasal 6 yang mengatur mengenai syarat
sahnya perkawinan dari undang-undang ini mencantumkan syarat perkawinan
yaitu suatu perkawinan didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai. Hal ini
juga sejalan dengan apa yang diatur dalam undang-undang perkawinan di
Malaysia. Di semua wilayah dan yang berlaku bagi orang Islam dan orang Non
Islam diatur mengenai hal yang sama yaitu bahwa suatu perkawinan harus
didasarkan pada suatu perjanjian antara kedua belah pihak yang ingin menikah.
Hal ini karena suatu perkawinan yang mempunyai tujuan yang suci harus
dilaksanakan tanpa paksaan dari pihak manapun dan harus berasal dari kemauan
masing-masing pihak.
Syarat berikutnya yang pengaturannya sama antara pengaturan syarat
perkawinan di Indonesia dan di Malaysia adalah apabila seseorang yang ingin
menikah namun belum berusia genap 21 tahun, maka harus dengan izin dari
kedua orang tua. Di Indonesia, hal yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), (5)
dan (6) dimana mengatur bahwa suatu perkawinan yang akan dilaksanakan oleh
seseorang yang belum berusia 21 tahun harus dengan izin orang tua dan juga opsi
lainnya apabila orang tua yang bersangkutan dalam memberikan izinnya tidak
bisa disampaikan berkenaan apakah orang tua seseorang tersebut telah meninggal
atau enggan memberikan persetujuannya. Dengan keterangan yang didengar dari
pihak-pihak yang dapat menerikan persetujuannya namun enggan memberikan
Analisis Perbandingan ..., Della Kartika Sari, FH UI, 2016
12
persetujuannya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang
tersebut dapat melangsungkan perkawinan atas orang tersebut. Begitu juga yang
diatur dalam undang-undang perkawinan di Malaysia untuk orang yang beragama
Non Islam bahwa setiap orang yang ingin melaksanakan perkawinan namun
usianya belum mencapai 21 tahun maka harus dengan persetujuan orang tuanya.
Apabila ayahnya, dalam hal telah meninggal dunia, sehingga tidak bisa
memberikan persetujuannya, maka ibunyalah yang dapat memberikan izin
terhadap perkawinan tersebut. Apabila keduanya tidak memungkinkan untuk
memberikan persetujuan untuk perkawinan maka persetujuan dapat diperoleh dari
penjaganya yang bertindak setara dengan kedua orang tua. Apabila orang-orang
tersebut enggan memberikan persetujuannya untuk perkawinan maka dapat
memintakan persetujuan kepada Pengadilan dan dari persetujuan yang terbit
diberitahukan kepada orang-orang yang enggan memberikan persetujuannya
terhadap perkawinan.17 Kedua pengaturan mengenai izin orang tua apabila
seseorang akan menikah dibawah umur 21 tahun adalah sama juga menurut
urutan-urutan pihak-pihak mana saja yang dapat memberikan persetujuannya
mengenai izin perkawinan ini. Dalam aturan mengenai izin perkawinan yang
diperoleh dari orang tua yang mengatur bagi orang Islam, diatur pula mengenai
hal ini hanya saja pengaturannya diletakan pada pasal yang menjelaskan mengenai
persetujuan kedua pihak dimana didalamnya juga terdapat izin yang harus
diperoleh dari orang tua atau wali, terutama perempuan, untuk melaksanakan
suatu perkawinan.
Persamaan selanjutnya yang terdapat pada ketiga peraturan mengenai
perkawinan adalah tentang larangan perkawinan. Ketiga peraturan tersebut
sepakat bahwa perkawinan tidak boleh dilakukan dikarenakan terdapat hubungan
darah antara orang-orang yang ingin melangsungkan perkawinan. Orang-orang
yang mempnyai hubungan darah yang tidak boleh dikawinkan menurut peraturan
mengenai syarat sahnya perkawinan di Indonesia, Malaysia bagi orang Islam dan
Malaysia bagi orang Non-Islam adalah ibu kandung, ayah kandung, kakek, nenek,
17 Pasal 12 Law Reform (Marriage And divorce) Act 1976.
Analisis Perbandingan ..., Della Kartika Sari, FH UI, 2016
13
anak laki-laki atau anak perempuan, adik laki-laki ataupun adik perempuan,
kemenakan laki-laki atau perempuan dari nenek atau kakek, dan sebagainya
meskipun terdapat sedikit pengecualian bagi mereka yang beragama Hindu untuk
diperbolehkan menikah dengan kemenakan atau pamannya karena dalam aturan
agamanya boleh diatur demikian. Kemudian mengenai perkawinan bagi
perempuan yang putus perkawinannya karena perceraian dan karena kematian,
bahwa terdapat waktu tunggu yang harus dijalani oleh perempuan untuk dapat
dilaksanakannya perkawinan selanjutnya.
Suatu perkawinan juga tidak menutup kemungkinan dilaksanakan di luar
negeri, baik itu dengan sesama warga negara ataupun dengan warga negara asing.
Dalam undang-undang perkawinan di Indonesia, orang Islam Malaysia dan non
Islam Malaysia mengakomodasi, mengakui dan membolehkan adanya perkawinan
campuran yang dilaksanakan di luar negeri. Perkawinan yang dilangsungkan di
luar negeri tersebut dilaksanakan menurut aturan hukum perkawinan negara
tempat dilaksanakannya perkawinan. Kemudian dengan berlakunya hukum negara
tempati dilangsungkannya perkawinan bukan berarti hukum negara asal dalam hal
ini Indonesia dan Malaysia menjadi diabaikan. Kepada calon mempelai yang
ingin melaksanakan perkawinan di luar negeri harus tetap memperhatikan dan
memenuhi syarat dan aturan yang dilaksanakan di negara asal, seperti misalnya
memenuhi batas usia minimal atau perkawinan sudah mendapat izin dari orang
tua atau wali pihak bersangkutan.
C. Perbedaan Syarat Sahnya Perkawinan di Indonesia dan Malaysia
Hal yang paling mendasar yang membedakan hukum yang ada di
Indonesia dan Malaysia adalah sistem hukumnya. Sistem hukum yang dianut
Indonesia adalah sistem hukum civil law yang dibawa oleh Belanda, sedangkan
Malaysia menganut sistem hukum common law yang dibawa oleh Inggris. Hal ini
disebabkan karena latar belakang Indonesia yang merupakan wilayah jajahan
Belanda dan Malaysia merupakan wilayah jajahan Inggris. Asas dari hukum
common law adalah stare decisis artinya hakim dalam memutuskan perkara harus
Analisis Perbandingan ..., Della Kartika Sari, FH UI, 2016
14
mendasar pada putusan hakim sebelumnya/terdahulu yurisprudensi.18 Dengan kata
lain hukum common law adalah hukum yang terbentuk dan merupakan unifikasi
hukum yang telah diputus hakim (yurisprudensi).19 Sedangkan yang dimaksud
dengan civil law adalah hukum yang bersumber pada hukum yang tertulis, baik
berupa Undang-undang Dasar, Kodifikasi atau produk legislatif lainnya.20
Karena tujuan perkawinan tidak lain adalah membentuk rumah tangga
yang kekal, maka suatu perkawinan harus diputuskan dan disepakati bersama oleh
orang-orang yang telah dewasa. Usia dewasa pada hakikatnya mengandung unsur
yang berkaitan dengan dapat atau tidaknya seseorang mempertanggungjawabkan
atas perbuatan hukum yang telah dilakukannya, yang menggambarkan kecakapan
seseorang untuk bertindak dalam lalu lintas hukum perdata.21 Dalam pasal 7
Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia, batas umur
minimum untuk melakukan perkawinan di Indonesia adalah 19 (sembilan belas)
tahun bagi laki-laki dan 16 (enam belas) tahun bagi perempuan. Batas minimum
usia menikah yang berlaku di negara Malaysia baik dalam peraturan yang
diperuntukan untuk orang-orang yang beragama Islam ataupun untuk yang
beragama Non-Islam adalah sama. Dari undang-undang ke 14 wilayah federasi
dan wilayah persekutuan di Malaysia ataupun dalam Law Reform (Marriage and
Divorce) Act 1976 mencantumkan bahwa usia minimum untuk seseorang bisa
melakukan perkawinan adalah 18 (delapan belas) tahun untuk laki-laki dan 16
(enam belas) tahun untuk perempuan. Ketentuan batas-batas umur untuk
melangsungkan perkawinan ini dimaksudkan untuk menjaga kesehatan suami
isteri dan keturunannya serta mencegah adanya perkawinan antara calon suami
isteri yang masih dibawah umur.22
18 R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007, cet. 7), hal
68.
19Ibid.
20Ibid., hal. 111.
21 Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: CV. Gitamaya Jaya, 2003, cet. 2), hal. 19.
22 Rachmadi Usman, S.H., M.H., Aspek-Aspek Hukum Perorangan & Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 275.
Analisis Perbandingan ..., Della Kartika Sari, FH UI, 2016
15
Dalam hal pendaftaran perkawinan di Malaysia baik itu bagi perkawinan
bagi orang Islam ataupun bagi orang non-Islam bahwa pencatatan perkawinan
hanya diposisikan sebagai masalah administrasi, tidak ada hubungannya dengan
ketentuan sah tidaknya akad nikah (perkawinan). Perkawinan akan tetap dianggap
sah apabila perkawinan tersebut telah sah berdasarkan hukum syarak ataupun
hukum agamanya. Dengan demikian sedikit agak berbeda, dalam perundang-
undangan Indonesia masih ada kemungkinan status pencatatan perkawinan tidak
sekedar syarat administrasi, bahkan pasal-pasal tentang pencatatan perkawinan
bisa dipahami secara jama'i (utuh/keseluruhan) sebagai salah satu syarat sah
sebuah perkawinan.23 Perkawinan yang tidak dicatat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dapat diartikan sebagai peristiwa perkawinan yang
tidak memenuhi syarat formil, sehingga hal ini berimplikasi terhadap hak-hak
keperdataan yang timbul dari akibat perkawinan termasuk anak yang lahir dari
perkawinan yang tidak dicatat sebagaimana ditentukan dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.24
Dalam UU Perkawinan Indonesia, laki-laki tidak diperkenankan berada
didalam ikatan perkawinan ketika masih terikat pada perkawinan lainnya dalam
waktu yang bersamaan. Begitu juga bagi perempuan yang hanya boleh memiliki
seorang suami. Dikatakan monogami sebagai prinsip dan poligami sebagai
pengecualian adalah bahwa menurut pasal 9 UU Perkawinan Indonesia Seorang
yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi,
kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang
ini. Dalam pasal-pasal yang dimaksud tersebut yang menyebutkan bahwa
poligami dapat dilakukan namun dengan berbagai syarat sehingga poligami yang
dimaksud tidak dapat dengan mudah dilaksanakan. Dengan pasal tersebut di atas
yang membolehkan untuk poligami dengan alasan alasan tertentu, jelas bahwa
asas yang dianut oleh UU Perkawinan bukan monogami (terbuka), namun bukan
23 Supani, Pencatatan Perkawinan Dalam Teks Perundang-undangan Perkawinan Di
Beberapa Negara Islam Perspektif Usul Fikih, hal. 5.
24 Marwin, Pencatatan Perkawinan Dan Syarat Sah Perkawinan Dalam Tatanan Konstitusi, (ASAS, vol. 6, No. 2, Juli 2014), hal. 104.
Analisis Perbandingan ..., Della Kartika Sari, FH UI, 2016
16
monogami Mutlak. Hal ini sama seperti yang berlaku di negara Malaysia dalam
pengaturan perkawinan untuk yang beragama Islam karena sama-sama telah
mengadopsi pengaturan dari Hukum Islam. Namun sangat berbeda dengan
pengaturan perkawinan bagi orang non-Islam di Malaysia dimana perkawinan
yang tunduk berdasarkan Law Reform (Marriage and Divorce) Act 1976 harus
berdasarkan asas monogami mutlak. Artinya tidak ada seorangpun yang
perkawinannya tunduk pada peraturan ini yang mempunyai ikatan perkawinan
lebih dari satu atau dapat melaksanakan poligami.
Larangan perkawinan yang dimaksud adalah larangan perkawinan antara
seseorang yang berbeda agama dan keyakinan satu sama lain. Peraturan
perundang-undangan di Indonesia tidak memperbolehkan seseorang dengan
agama yang berbeda menikahi orang lain. Memang aturan ini bukan pada bab
syarat sahnya perkawinan karena hal ini diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU
Perkawinan dimana perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
agama dan kepercayaannya masing-masing. Pengaturan mengenai hal yang sama
di Malaysia bagi orang Islam diatur agak sedikit berbeda. Perempuan memang
tidak diperbolehkan untuk menikah dengan laki-laki manapun yang beragama non
Islam, tetapi laki-laki diperbolehkan menikah dengan perempuan selain yang
beragama Islam dengan syarat bahwa perempuan tersebut merupakan seorang
kitabiyah.25 Kemudian dalam Law Reform (Marriage and Divorce) Act 1976,
perkawinan beda agama diatur dalam pasal 51 yang menyatakan apabila salah
seorang dari suami isteri telah berpindah agama menjadi agama Islam maka hal
tersebut dapat menjadi alasan perceraian antara keduanya. Yang dapat ditafsirkan
bahwa perkawinan tidak boleh dilangsungkan oleh orang yang agamanya berbeda
dalam aturan ini.
25Enakmen 5 Tahun 2004, Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam (Negeri Pulau
Pinang) 2004, Bahagian I – Permulaan, Seksyen 2. Tafsiran.
Analisis Perbandingan ..., Della Kartika Sari, FH UI, 2016
17
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis terhadap perbandingan hukum mengenai syarat sahnya
perkawinan di Indonesia dan Malaysia sebagaimana terdapat pada bab-bab
sebelumnya, kesimpulan yang dapat ditarik sebagai jawaban atas pokok
permasalahan yang mendasari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Perkawinan di Indonesia diatur secara menyeluruh untuk semua warga negara
Indonesia dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam
Undang-undang mengenai perkawinan tersebut mengatur perkawinan secara detil
dari sebelum dilakukannya perkawinan, syarat perkawinan, pelaksanaan
perkawinan, sampai akibat perkawinan dan perceraian seperti persoalan anak dan
harta bersama. Dari berbagai penjelasan yang diberikan oleh Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dapat ditarik bahwa syarat sahnya perkawinan
adalah sebagai berikut:
a. Persetujuan kedua pihak yang ingin melaksanakan perkawinan;
b. Izin kedua orang tua atau wali;
c. Batas usia minimal melakukan perkawinan;
d. Larangan perkawinan;
e. Berdasarkan asas monogami terbuka;
f. Mengikuti tata cara perkawinan;
g. Perkawinan yang dilakukan diluar negeri mengikuti aturan hukum dimana
perkawinan tersebut dilangsungkan;
h. Perkawinan menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
2. Di Malaysia, mengenai perkawinan diatur oleh masing-masing wilayah federasi
yang berjumlah 14 wilayah. Pada peraturan masing-masing wilayah federasi
tersebut hanya mengatur perkawinan bagi yang beragama Islam saja, peraturan
tersebut antara lain: Enakmen 8 Tahun 2002 (Enakmen Keluarga Islam Melaka
2002), Enakmen 12 Tahun 1985 (Enakmen Undang-Undang Pentadbiran
Keluarga Islam Terengganu), Ordinan 5 Tahun 2001 (Ordinan Undang-Undang
Keluarga Islam Negeri Sarawak 2001), Enakmen 2 Tahun 2004 (Enakmen
Undang-Undang Keluarga Islam Negeri Pulau Pinang 2004), Akta Undang-
Undang Keluarga Islam Wilayah-Wilayah Persekutuan 1984 (Akta 303),
Enakmen 7 Tahun 2003 (Enakmen Undang-Undang Negara Islam Negeri
Analisis Perbandingan ..., Della Kartika Sari, FH UI, 2016
18
Sembilan 2003), Enakmen 13 Tahun 2004 (Enakmen Undang-Undang Keluarga
Islam Negeri Perak 2004), Enakmen 1 Tahun 2008 (Enakmen Keluarga Islam
Negeri Kedah 2008), Enakmen 1 Tahun 2002 (Enakmen Keluarga Islam
Kelantan 2002), Enakmen 3 Tahun 2005 (Enakmen Undang-undang Keluarga
Islam Pahang 2005), Enakmen 2 Tahun 2003 (Enakmen Undang-undang
Keluarga Islam Negeri Selangor 2003), Enakmen 8 Tahun 2004 (Enakmen
Undang-undnag Negara Islam Sabah 2004), Enakmen 17 Tahun 2003 (Enakmen
Undang-undang Keluarga Islam Negeri Johor 2003), Enakmen 7 Tahun 2006
(Enakmen Undang-undang Keluarga Islam 2006), sedangkan bagi orang-orang
yang beragama non Islam, perkawinannya diatur dalam Law Reform (Marriage
and Divorce) Act 1976 untuk seluruh wilayah Malaysia.
3. Persamaan-persamaan dari syarat-syarat perkawinan yang berlaku di Indonesia
dan Malaysia yakni:
a. Persetujuan kedua pihak
Bahwa para pihak yang ingin melangsungkan suatu perkawinan harus
berdasarkan persetujuan kedua pihak agar perkawinan dilaksanakan bukan
karena paksaan.
b. Izin Orang Tua-Wali
Setiap perkawinan dilaksanakan atas izin orang tua/wali para mempelai
terutama bagi orang-orang yang berusia dibawah 21 (dua puluh satu) tahun.
c. Larangan Perkawinan
Perkawinan tidak boleh dilangsungkan apabila kedua mempelai masih
memunyai hubungan darah keatas, kebawah, menyamping ataupun ketentuan
lainnya dalam undang-undang.
d. Perkawinan Di Luar Negeri
Perkawinan yang dilaksanakan diluar negeri adalah sah apabila dilakukan
berdasarkan aturan hukum perkawinan dimana perkawinan tersebut
dilangsungkan dengan tetap memperhatikan aturan perkawinan di negara
asal.
4. Perbedaan-perbedaan dari syarat-syarat perkawinan yang berlaku di Indonesia
dan Malaysia yakni:
a. Pengaturan Perkawinan
Analisis Perbandingan ..., Della Kartika Sari, FH UI, 2016
19
Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang berlaku untuk seluruh masyarakat Indonesia,
sedangkan perkawinan di Malaysia diatur berdasarkan wilayah federasinya
masing-masing untuk yang beragama Islam dan Law Reform (Marriage and
Divorce) Act 1976 untuk yang beragama Non Islam yang berlaku diseluruh
Malaysia.
b. Batas Usia Minimum
Perkawinan di Indonesia dilaksanakan oleh orang-orang yang usia
minimalnya 16 (enam belas) tahun bagi perempuan dan 19 (sembilan belas)
tahun bagi laki-laki, sedangkan di Malaysia minimal orang bisa
melangsungkan perkawinan adalah 16 (enam belas) tahun untuk perempuan
dan 18 (delapan belas) tahun bagi laki-laki.
c. Tata Cara Perkawinan (Pendaftaran Perkawinan)
Perkawinan di Indonesia dapat dikatakan sah apabila didaftarkan pada
lembaga pencatatan perkawinan yang berwenang, sedangkan di Malaysia
untuk orang Islam, perkawinan yang tidak dicatat tetap dianggap sah apabila
telah sah pula dalam aturan agamanya.
d. Asas Perkawinan Monogami
Dalam aturan perkawinan untuk Non Islam di Malaysia, berlaku asas
perkawinan monogami mutlak sedangkan di Indonesia dan Malaysia untuk
agama Islam berlaku asas perkawinan monogami terbuka.
e. Larangan Perkawinan (Perkawinan Beda Agama)
Dalam aturan perkawinan di Indonesia dan Malaysia untuk Non Islam,
perkawinan dengan orang yang berbeda agama dan kepercayaan dilarang,
sedangkan dalam aturan Malaysia untuk orang Islam perkawinan beda agama
dapat dilaksanakan dengan berbagai syarat berdasarkan ketentuan wilayah
masing-masing.
Analisis Perbandingan ..., Della Kartika Sari, FH UI, 2016
20
SARAN
Berdasarkan analisis dan kesimpulan yang telah penulis uraikan sebelumnya, saran
yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah Indonesia dapat memperbarui kembali undang-undang yang
mengatur mengenai perkawinan yaitu Undang-Undang No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.
2. Masih terdapat beberapa kelemahan mengenai sanksi terhadap pelanggaran
syarat perkawinan. Seperti misalnya masih banyak terdapat perkawinan yang
dilakukan oleh anak dibawah umur yang tentu saja melanggar dari salah satu
syarat sahnya perkawinan. Sehingga aturan mengenai hal ini dapat diperketat
dan setiap pelaksanaan perkawinan harus diawasi.
3. Kemudian mengenai hal perkawinan campuran terhadap orang-orang yang
mempunyai agama dan keyakinan yang berbeda, masih terdapat celah untuk
dapat dilakukannya perkawinan oleh orang yang berbeda agama dan
keyakinan, seperti dapat melangsungkan perkawinannya di luar negeri atau
menikah pada dua upacara agama yang berbeda. Seharusnya aturan mengenai
hal ini dapat diperketat dengan diberikan sanksi yang lebih ketat dan tegas
terhadap peraturan-peraturan seperti ini.
4. Dikarenakan terdapat banyak persamaan antara peraturan-peraturan yang ada
di Malaysia, maka akan lebih praktis apabila aturan-aturan perkawinan di
Malaysia dibuat satu aturan yang mengatur perkawinan bagi seluruh wilayah
federasi Malaysia untuk yang beragama Islam.
Analisis Perbandingan ..., Della Kartika Sari, FH UI, 2016
21
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Agustina, Rosa. Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga dan Hukum Waris di Belanda dan Indonesia dalam Beberapa Catatan tentang Hukum Perkawinan di Indonesia. Cet 1. Denpasar: Pustaka Larasan. 2012.
Darmabrata, Wahyono. Tinjauan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya. Cet 2. Jakarta: CV. Gitamaya Jaya. 2003.
Hakim, S.A. Hukum Perkawinan: menurut Undang-undang tentang Perkawinan. Bandung: Elemen. 1974.
Mahdi, Sri Soesilowati, et. al. Hukum Perdata (Suatu Pengantar). Cet 1. Jakarta: Gitama Jaya. 2005.
Nasution, Khoiruddin. Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-Kitab Fiqih. Jakarta: Ciputat Press. 2003.
Prawirohamidjojo, R. Soetojo. Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia. Airlangga University Press. 1988.
Rasjidi, Lili. Hukum Perkawinan Dan Perceraian Di Malaysia Dan Indonesia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press. 2005.
Soeroso, R. Perbandingan Hukum Perdata. Cet 7. Jakarta: Sinar Grafika. 2007.
Usman, Rachmadi. Aspek-Aspek Hukum Perorangan & Kekeluargaan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2006.
Jurnal
Marwin. Pencatatan Perkawinan Dan Syarat Sah Perkawinan Dalam Tatanan Konstitusi. (ASAS. vol. 6. No. 2) Juli 2014.
Supani. Pencatatan Perkawinan Dalam Teks Perundang-undangan Perkawinan Di Beberapa Negara Islam Perspektif Usul Fikih.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Tentang Perkawinan, UU No.1, LN Nomor 1 Tahun 1974, TLN No. 3400.
Law Reform (Marriage and Divorce) Act 1976.
Enakmen 5 Tahun 2004 (Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam Negeri Pulau
Pinang 2004).
Analisis Perbandingan ..., Della Kartika Sari, FH UI, 2016