Analisis Pendapat Al-Imam Al-Syirazi Tentang Hukum Wali Nikah Meminta Izin Kepada Gadis Dewasa
-
Upload
angah-pija -
Category
Documents
-
view
55 -
download
1
description
Transcript of Analisis Pendapat Al-Imam Al-Syirazi Tentang Hukum Wali Nikah Meminta Izin Kepada Gadis Dewasa
i
ANALISIS PENDAPAT AL-IMAM AL-SYIRAZI TENTANG
HUKUM WALI NIKAH MEMINTA IZIN KEPADA GADIS DEWASA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata Satu ( S.1 )
Dalam Ilmu Syari‟ah
Oleh:
ABDULLAH ANIQ
NIM. 0 6 2 1 1 1 0 0 3
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
ii
Dr. H. Moh. Arja Imroni, M.Ag.
Perum Beringin Indah Jl. Mahoni blok.D IV/03,
Ngaliyan Semarang
H. Ahmad Furqon, Lc., MA.
Jl. Karonsih Timur Raya V/ No. 128,
Ngaliyan Semarang
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 Naskah eks
Hal : Naskah Skripsi
An. Sdr. Abdullah Aniq
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari‟ah
IAIN Walisongo
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini
kami kirimkan naskah skripsi Saudara :
Nama : Abdullah Aniq
NIM : 062111003
Jurusan : Ahwal al-Syakhsiyyah
Judul Skripsi : Analisis Pendapat Al-Imam Al-Syirazi Tentang
Hukum Wali Nikah Meminta Izin Kepada Gadis
Dewasa
Dengan ini kami mohon kiranya skripsi mahasiswa tersebut dapat segera
dimunaqosahkan.
Demikian harap menjadi maklum.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Semarang, 08 Desember 2011
Pembimbing I
Dr. H. Moh. Arja Imroni, M.Ag.
NIP. 19690709 199703 1 001
Pembimbing II
H. Ahmad Furqon, Lc., MA.
NIP. 19751218 200501 1002
iii
KEMENTERIAN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AH
PENGESAHAN
Nama : Abdullah Aniq
NIM : 062111003
Jurusan : Ahwal Al-Syahsiyah
Judul Skripsi : Analisis Pendapat Al-Imam Al-Syirazi Tentang
Hukum Wali Nikah Meminta Izin Kepada Gadis
Dewasa
Telah dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari‟ah Institut
Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan
predikat cumlaud / baik / cukup, pada tanggal : 28 Desember 2011
dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata 1
tahun akademik 2011.
Semarang, 9 Januari 2011
Mengetahui,
Ketua Sidang Sekretaris Sidang
H. Johan Arifin, S. Ag., MM. H. Ahmad Furqon, Lc., MA .
NIP. 19710908 200212 1001 NIP. 19751218 200501 1002
Penguji I, Penguji II,
Drs. H. Nur Khoirin, M.Ag Muhammad Shoim, S.Ag., MH.
NIP. 19630801 199203 1001 NIP. 19711101 200604 1003
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr. H. Moh. Arja Imroni, M.Ag H. Ahmad Furqon, Lc., MA.
NIP. 19690709 199703 1 001 NIP. 19751218 200501 1002
Alamat : Jl. Prof. Dr. Hamka Km.2 Ngaliyan Kampus III Telp/Fax : 024-7614454 Semarang 50185
iv
MOTTO
Artinya: “ Maka disebabkan rahmat dari Allahlah, engkau bersikap lemah lembut
terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras
niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian
apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-
Nya”. (QS. Ali „Imran: 159) 1
1 Lajnah Pentashih Al-Qur‟an Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,
Semarang: CV. As-Syifa‟, 1992, hlm. 102.
v
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah, dengan segenap rasa syukur yang mendalam kepada Allah
SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Karya ini penulis
persembahkan untuk:
1. Bapak Abdul Hamid dan Ibu Chunnaiyah, selaku orang tuaku yang selalu
menjadi teladan dan spirit dalam segala aktifitasku, do‟a dan kasih sayang
yang telah engkau berikan tak akan pernah bisa ku lupakan, dan tak
mungkin dapat terbalaskan. Engkau tak pernah lelah dan selalu sabar dalam
mendidik serta selalu tulus memberikan segala sesuatu demi kebahagiaan
putranya. Sembah sungkem kepada bapak ibu, semoga Allah SWT selalu
melimpahkan rahmat-Nya kepadamu, dan selalu diberikan kesehatan dan
kenikmatan. Ya Allah, Ampunilah dosa-dosa kedua orang tuaku dan
kasihanilah mereka berdua sebagaimana mereka mengasihiku ketika waktu
kecil. Adik-Adikku, Zuhairizzaman & Lathoiful Mahasin, yang membuat
penulis ingat akan cita-cita, perjuangan hidup dan kekeluargaan.
Qurrata‟Ain ku, terima kasih atas segala dukungan, pengertian dan
motivasinya selama ini. Semoga engkau selalu dalam lindungan-Nya.
2. Bapak Prof. Dr. H. Abdul Jamil, M.A., yang telah menjabat sebagai Rektor
IAIN Walisongo sebelumnya, Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M. Ag.,
sebagai Pembantu Rektor I sebelumnya, Bapak Drs. H. Machasin, M.Si.,
selaku Pembantu Rektor II sebelumnya, dan Bapak Prof. Dr. H. Moh. Erfan
Soebahar, M.Ag., sebagai Pembantu Rektor III sebelumnya. Terima kasih
atas segala kebijakan yang telah bapak berikan.
vi
3. Bapak Drs. H. Muhyiddin, M. Ag., sebagai Dekan Fakultas Syari‟ah
sebelumnya, Bapak Drs. Musahadi, M.Ag., sebagai Pembantu Dekan I
sebelumnya, Bapak Drs. H. Maksun, M.Ag., sebagai Pembantu Dekan II
sebelumnya, dan Bapak Drs. H. Nur Khoirin, M.Ag sebagai Pembantu
Dekan III sebelumnya, terima kasih atas segala kebijakan dan jasa yang
telah bapak diberikan.
4. Bapak Drs. Ahmadi Jaya‟ Selaku Pembina UKM WSC, terima kasih banyak
atas jasa-jasanya, sehingga penulis dapat mengerti tentang arti sebuah
kepemimpinan, dan terima kasih atas masukan-masukannya sehingga
penulis dapat mengambil kebijakan dalam mengambil sebuah keputusan
berdasarkan saran dari bapak ketika di UKM WSC.
5. Bapak Priyono, M. Pd. Selaku Kepala Bagian Akademik dan
Kemahasiswaan IAIN Walisongo, Ibu Sutinah dan tidak lupa staf
kemahasiswaan yang lain. Terima kasih atas jasa dan pelayanannya kepada
mahasiswa. Jasa bapak / ibu sulit penulis lupakan.
6. Bapak/Ibu Guru MA Riyadhlotut Thalabah, Bapak Guru Madin Tuhfatus
Sibyan, Bapak Guru di Pontren Bicharul Muta‟allimin Sedan Rembang, dan
semua bapak/ibu guru di jenjang pendidikan sebelumnya, terima kasih
banyak atas ilmu yang engkau berikan. Semoga penulis dapat
mengamalkannya dan semoga amal kebaikan bapak ibu guru diterima oleh
Allah SWT serta mendapatkan balasan dengan sebaik-baiknya.
7. Kepada mas-masku, mas Dain Fazani, SHI., Khoirul Huda, SHI., Dwi
Hartanto, S. Fil.I, M. Hanif S. Pd. I., Ainun Nafi‟ S. Pd., mbak Dewi
vii
Kurniasari, S. Pd., Muhammad Amin, S. Sos.I, yang tercinta dan tersayang,
terima kasih atas saran dan nasehatnya. Untuk mas Dain Fazani, SHI.,
terima kasih atas ilmu dan motivasinya dalam pengembangan Tenis Meja
sehingga penulis dapat meraih apa yang dicita-citakan, sungguh luar biasa
kesabarannya dalam melatih dan membina penulis pada khususnya dan
anggota Table Tennis Division UKM WSC (Walisongo Sport Club) pada
umumnya, untuk maz Khoirul Huda, SHI., terima kasih atas nasehat dan
ilmunya dalam berorganisasi, dan juga dalam memahami arti hidup. Untuk
mas Dwi Hartanto, S. Fil.I, dan M. Hanif S. Pd. I., terima kasih atas
ilmunya dalam memahami arti perjuangan, pengorbanan dan loyalitas.
Untuk mas Muhammad Amin, S. Sos.I, terima kasih atas ilmu nya dalam
pembangunan karakter dan ubudiyah penulis.
8. Semua pengurus dan keluarga besar UKM WSC, tetaplah sholid dan
semangat berjuang, raih prestasi setinggi-tingginya dengan menjunjung
tinggi nilai sportivitas.
9. Adik-adikku tercinta di cabang Tenis Meja UKM WSC, Arif Tongklo
pemain blok yang ita-itu, Farid Schlager spesialis pemanasan, aziz tapi
bukan gagap yang cekithang-cekithing, Rifqi robot, Nafi‟ pemain specialis
chop, kamal pujangga melankolis yang mang-meng kalau lagi maen, fachry,
vita, susy, rizka, tetaplah semangat dan tunjukkan permainan terbaik kalian,
jagalah tali kekekuargaan ini hingga akhir hayat.
10. Mantan Pengurus UKM WSC 2010, Desma, Ah.Aniq, Sabiq, Halim Nying-
nying, Upi Cute, Rafika Haque, pak Dhe Muttakin, Faris Darsono, dkk.,
viii
yang telah bekerja keras selama kepengurusannya. Terima kasih atas waktu,
dan loyalitasnya kepada UKM WSC.
11. Team Centra Comp Jl.Ringin Sari 02: Bagus Juwantoro A.Md, M. Latief
S.Sos.I, M. Zamroni A.Md, Fajar Agus Arifin, S.Sos.I, Beni Dolo, S.Sos. I,
M. Mu‟innudin SHI., Gendut, Jarjit, terima kasih atas saran dan
motivasinya sehingga penulis dapat mengerti arti sebuah persahabatan.
12. Bapak Sutikno dan Ibu Kusminah sekeluarga, (Hendro, Pipin, Amir, Azhar,
Sukron) Terima kasih banyak atas tumpangannya. Jasa Bapak dan Ibu
sekeluarga sulit penulis lupakan, bapak ibu lah yang mengajari tentang
kekeluargaan.
13. Konco-konco HMJ ASA 2006, Vian, Tamam, Wahyu Galih, Misbakul tahu,
Anam, Suyanto, Isnan, Hanif, Saefuddin blenko, Gus mus, Mugni korek,
Ani, Irma, Inayah, Leni F, semoga semuanya sukses dan tercapai semua
cita-citanya. Amien.
14. Konco-konco Kost, Muhib, Sofian, Rifqi Gendut, terima kasih atas
motivasinya, terus berjuang dan semangat.
15. Teman-temanku semuanya, yang telah memberikan dorongan dan semangat
kepadaku
ix
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak
berisi materi yang pernah ditulis oleh orang
lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini
tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain
kecuali informasi yang terdapat dalam
referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 08 Desember 2011
Deklarator
Abdullah Aniq
NIM : 62111003
x
ABSTRAK
Setiap orang mempunyai hak untuk menentukan nasib hidupnya sendiri.
Termasuk dalam memilih pasangan hidup, seorang perempuan dewasa yang sehat
akalnya berhak untuk memilih calon suaminya sendiri. Menurut Al-Auza‟i dan
ulama‟ Hanafiyah apabila orang tua ingin menikahkan anak gadisnya dengan
pilihannya maka harus izin terlebih dahulu kepada gadis dewasa tersebut, karena
akad nikah tanpa adanya kerelaan calon mempelai maka pernikahan itu dianggap
tidak sah dan batal demi hukum. Tetapi menurut ulama‟ Syafi‟iyah seperti al-
Imam al-Syirazi dalam kitabnya al-Muhazzab, ia menyatakan bahwa seorang ayah
atau kakek boleh menikahkan anak gadisnya yang sudah dewasa tanpa kerelaan
darinya, karena ayah atau kakek lebih berhak atas gadis tersebut.
Berdasarkan pemaparan diatas, pokok masalah yang diangkat dalam
skripsi ini adalah bagaimana pendapat al-Imam al-Syirazi mengenai bolehnya wali
menikahkan gadis dewasa tanpa izin dari gadis tersebut? bagaimana pula istinbat
hukum al-Imam al-Syirazi dalam menguatkan pendapatnya tentang bolehnya wali
menikahkan gadis dewasa tanpa izin?
Untuk menjawab permasalahan diatas, perlu dilakukan upaya penelitian,
sedangkan metode yang dipakai penulis dalam penelitian tersebut adalah library
research. Data primer yang digunakan adalah kitab al-Muhazzab dan al-Tanbih,
karya al-Imam al-Syirazi, sedangkan data sekundernya adalah semua bahan yang
berhubungan dengan permasalahan dalam skripsi ini. Data-data yang telah
terkumpul disusun, ditelaah kemudian dianalisis dengan menggunakan metode
deskriptif analisis, dan pendekatan yang bersifat normatif.
Berdasarkan hasil analisis, penulis berkesimpulan bahwa pendapat Al-
Imam al-Syirazi tentang bolehnya ayah / kakek selaku wali menikahkan anak
gadisnya yang sudah dewasa tanpa meminta izin darinya terlebih dahulu
merupakan pendapat yang lemah. Menurut ulama‟ Muta‟akhirin pendapat yang
rajih adalah tidak boleh menikahkan gadis dewasa tanpa izin dari gadis tersebut.
Unsur kerelaan merupakan salah satu syarat bagi keabsahan suatu akad, oleh
karena itu apabila unsur tersebut tidak terpenuhi dan terdapat unsur pemaksaan,
maka akad nikah tersebut fasid (rusak). Sebagaimana syarat perkawinan dalam
pasal 16 KHI, bahwa “ Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai ”.
Jika dilihat dari istinbat hukum yang dipakai al-Imam al-Syirazi dalam
menguatkan pendapatnya, maka hadits tersebut lebih menjelaskan kepada anjuran
seorang ayah untuk meminta pendapat dan izin terlebih dahulu kepada anak
gadisnya ketika menikahkan, bukan menjelaskan tentang hak ayah yang lebih
berhak atas anak perawannya. Dalam hadist riwayat Abu Hurairah, sangat jelas
sekali menunjukkan larangan terhadap pemaksaan menikah terhadap gadis
dewasa. Dan hadits inilah yang paling kuat dalam segi periwayatannya, karena
yang paling banyak diriwayatkan. Jadi meminta izin terlebih dahulu merupakan
sebuah keharusan, bukan hanya sebuah anjuran. Penyusun sepakat bahwa tolok
ukur seseorang perempuan dalam hal ini bukan dilihat dari gadis atau janda, tetapi
kedewasaannya lah yang menghilangkan unsur pemaksaan tersebut. karena kultur
masyarakat sekarang tentu sangat berbeda dengan masyarakat dahulu.
xi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrahim,
Segala puji bagi Allah SWT, yang senantiasa memberi kenikmatan dan
kasih sayang tiada terkira kepada hamba-Nya . Sungguh hamba yang tidak tahu
diri apabila sepanjang hidupnya tidak pernah mensyukuri nikmat dan karunia
yang telah diberikan Tuhannya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan
kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya.
Beliulah sang revolusioner sejati, pembawa kebenaran dan kedamaian.
Dalam proses penyusunan skripsi ini, tentunya tidak terlepas dari bantuan
dan peran serta berbagai pihak baik berupa ide, kritik, saran maupun lainnya.
Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag., selaku Rektor IAIN Walisongo
Semarang, Bapak Prof. Dr. H. Achmad Gunaryo, M. Soc. Sc., selaku
Pembantu Rektor I, Bapak Dr. H. Ruswan, M.A., selaku Pembantu Rektor II,
Bapak Dr. H. M. Darori Amin, M.A., selaku Pembantu Rektor III, selamat
atas terpilihnya bapak, semoga dapat membawa amanah dan bijaksana dalam
mengeluarkan kebijakan.
2. Bapak Dr. Imam Yahya, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN
Walisongo Semarang. Bapak Abdul Ghofur M.Ag selaku Pembantu Dekan I,
xii
Bapak Saifullah M.Ag selaku Pembantu Dekan II, Bapak Arif Budiman
M.Ag selaku Pembantu Dekan III.
3. Ibu Anthin Lathifah M.Ag selaku ketua jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah, Ibu
Nur Hidayati Setyani, S.H., M.H., selaku sekretaris jurusan, serta Ibu Novita
Dewi Masithoh, SH., M. Hum, selaku staf ahli jurusan, atas kebijakannya
khususnya yang berkitan dengan kelancaran penulisan skripsi ini.
4. Bapak Dr. H. M. Arja Imroni, M.Ag selaku pembimbing I, dan Bapak H.
Ahmad Furqan, Lc., MA yang telah bersedia membimbing dalam proses
penyusunan skripsi ini. Terima kasih atas bimbingan dan motivasinya serta
saran-sarannya hingga skripsi ini selesai. Dari bimbingan tersebut, penulis
dapat mengerti tentang banyak hal tentang sesuatu yang berhubungan dengan
hukum Islam. Penulis merasa masih harus banyak menimba ilmu dari bapak,
penulis tidak dapat membalas keikhlasan dan jasa bapak, hanya ucapan terima
kasih yang sebanyak-banyaknya atas waktu yang diluangkan buat penulis.
5. Segenap Dosen Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang terima kasih
yang tak terhingga atas bekal ilmu pengetahuannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan kuliah sekaligus penulisan skripsi ini.
6. Seluruh Staf dan Karyawan Perpustakaan IAIN Walisongo dan Perpustakaan
Fakultas Syariah, terimakasih banyak atas pelayanan dan pinjaman bukunya.
7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu yang
telah membantu penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.
xiii
Semoga amal baik dan keikhlasan yang telah mereka perbuat menjadi
amal saleh dan mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT, Amin. Penulis
telah berusaha semaksimal mungkin demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.
Penulis sadar atas kekurangan dan keterbatasan yang ada pada diri penulis.
Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran konstruktif demi
kesempurnaan skripsi ini.
Semarang, 08 Desember 2011
Penulis,
Abdullah Aniq
NIM: 62111003
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ................................................................................ iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ v
HALAMAN DEKLARASI ....................................................................... ix
HALAMAN ABSTRAK ........................................................................... x
HALAMAN KATA PENGANTAR ........................................................... xi
DAFTAR ISI ............................................................................................. xiv
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 10
C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 10
D. Telaah Pustaka ......................................................................... 10
E. Metode Penelitian ..................................................................... 13
F. Sistematika Penulisan .............................................................. 16
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG WALI NIKAH DAN GADIS
DEWASA
A. Pengertian Wali Nikah .............................................................. 17
B. Dasar Hukum Wali Nikah ......................................................... 22
C. Syarat-Syarat Wali Nikah ......................................................... 31
D. Macam-Macam Wali Nikah ...................................................... 34
E. Urutan Wali Nikah ................................................................... 36
F. Pengertian Gadis Dewasa ......................................................... 41
xv
BAB III : PENDAPAT AL-IMAM AL-SYIRAZI TENTANG HUKUM
WALI NIKAH MEMINTA IZIN KEPADA GADIS DEWASA
A. Biografi Al-Imam Al-Syirazi ............................................... 44
1. Riwayat Hidup Al-Imam Al-Syirazi ................................... 44
2. Karya-karya Al-Imam Al-Syirazi ...................................... 46
B. Pendapat Al-Imam Al-Syirazi Tentang Hukum Wali Nikah
Meminta Izin Kepada Gadis Dewasa ........................................ 51
C. Istinbat Al-Imam Al-Syirazi Tentang Bolehnya Wali
Menikahkan Gadis Dewasa Tanpa Izin ................................... 54
BAB IV : ANALISIS PENDAPAT AL-IMAM AL-SYIRAZI TENTANG
HUKUM WALI NIKAH MEMINTA IZIN KEPADA GADIS
DEWASA
A. Analisis Pendapat Al-Imam Al-Syirazi Tentang Hukum Wali
Nikah Meminta Izin Kepada Gadis Dewasa ............................. 57
B. Analisis Istinbat Al-Imam Al-Syirazi Tentang Bolehnya Wali
Menikahkan Gadis Dewasa Tanpa Izin .................................. 68
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 83
B. Saran-Saran .............................................................................. 85
C. Penutup .................................................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi
kehidupan manusia. Karena tujuan perkawinan dalam Islam tidak hanya
sekedar pada batas pemenuhan nafsu biologis atau pelampiasan nafsu
seksual belaka, tetapi memiliki tujuan yang lebih mulia yaitu untuk
menciptakan keluarga yang hidup dengan aman dan tenteram (sakīnah),
pergaulan yang saling mencintai (mawaddah) dan saling menyantuni
(rahmah).1 Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Rum ayat 21:
Artinya: " Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir ”. 2
Perkawinan merupakan suatu akad yang tidak hanya sekedar
menjalin hubungan dua pihak secara individual antara suami istri namun
lebih jauh dapat mempererat tali hubungan antara keluarga pihak suami
dan pihak istri. Agar terjalin sebuah hubungan yang harmonis dalam
1 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, hlm. 4.
2 Lajnah Pentashih Al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya,
Semarang: CV. As-Syifa’, 1992, hlm. 644.
2
rumah tangga sebagaimana tujuan perkawinan maka perkawinan harus
didasari dengan rasa kasih sayang yang dimiliki oleh suami istri maupun
orang tua. Tanpa kasih sayang maka tujuan perkawinan tidak akan
tercapai.
Menurut pasal 1 undang-undang No 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Dalam definisi tersebut disebutkan tujuan pernikahan
yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan
perkawinan secara temporal seperti nikah mut’ah. Selain itu juga
dijelaskan dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam: “ Perkawinan menurut
hukum islam adalah akad yang sangat kuat atau mitsāqon ghōlidhon untuk
menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.
Ungkapan " akad yang sangat kuat atau mitsāqon ghōlidhon "
merupakan penjelasan dari ungkapan “ ikatan lahir batin” yang terdapat
dalam rumusan undang-undang yang mengandung arti bahwa akad
perkawinan itu bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan.
Sedangkan ungkapan " untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah " merupakan penjelasan dari
ungkapan “ Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ” dalam undang-
undang. Hal ini lebih menjelasakan bahwa perkawinan bagi umat Islam
3
merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang telah
melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah.3
Disamping agama memandang perkawinan sebagai perbuatan
ibadah, ia juga merupakan Sunnah Allah dan Sunnah Rasul. Sunnah Allah
berarti menurut qudrat dan iradah Allah dalam penciptaan alam ini,
sedangkan sunnah rasul berarti suatu tradisi yang telah ditetapkan untuk
dirinya sendiri dan untuk umatnya. 4 Karena melaksanakannya merupakan
ibadah maka dalam perkawinan haruslah terpenuhi syarat-syarat dan
rukunnya, salah satu rukunnya adalah wali nikah, meskipun ulama berbeda
pendapat dalam hal ini.
Menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah, wali merupakan rukun
dalam sebuah perkawinan. Apabila pernikahan dilakukan tanpa adanya
wali maka pernikahan itu tidak sah. Begitu juga tidak sah pernikahan
tanpa wali menurut ulama Hanabilah, meskipun dalam pengambilan
dalilnya berbeda dengan Malikiyah dan Syafi’yah.
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, wali bukanlah termasuk
rukun nikah yang wajib terpenuhi melainkan hanya sebagai syarat sahnya
perkawinan bagi anak kecil, orang gila laki-laki / perempuan meskipun
dewasa. 5 Jadi wanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih
sendiri suaminya dan boleh pula melakukan aqad nikah sendiri baik
perawan atau janda. Tidak seorang pun yang mempunyai wewenang atas
3 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahah dan
Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Prenata Media, Cet ke-II, hlm. 41.
4 Ibid.
5 Dedi Supriyadi, Fiqih Munakahah Perbandingan, Dari Tekstualitas sampai Legislasi,
Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011, Cet ke-I, hlm. 33-50.
4
dirinya atau menentang pilihannya, dengan syarat orang yang dipilihnya
itu sekufu dengannya dan maharnya tidak kurang dari mahar mitsil.6
Dalam sebuah perkawinan yang paling berhak menjadi wali nikah
adalah ayah selaku orang tua. Bagi orang tua anak adalah bagian dari
harapan terbesar untuk meneruskan tugas kekhalifahan di muka bumi.
Demi regenerasi itu, para orang tua senantiasa menginginkan seluruh
keturunannya menjadi putra - putri yang shalih dan shalihah, serta
memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Lebih dari itu, setiap manusia
menginginkan seluruh keturunannya menjadi perhiasan, penyejuk mata
(qurrota a‟yun) bagi mereka. Allah swt berfirman dalam surat Al-Furqan
ayat 74:
Artinya: " Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan, anugerahkanlah
kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang-
orang yang bertakwa “. 7
Namun demikian, anak tetap bukanlah hak milik bagi orang tua. Ia
adalah titipan Allah swt semata. Orang tua berkewajiban mengasuh,
membesarkan, mendidik, dan menikahkan putra-putri mereka apabila telah
waktunya tiba. Walaupun demikian, apakah kewajiban ini menjadikan
6 Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh „Ala Al-Mazāhib Al-Khamsah, Fiqih Lima
Mazhab: Ja‟fari, Hanafi, Maliki, Syafi‟i,Hambali ,Terj. Masykur. A. B. et. Al., Jakarta: Lentera,
2007, Cet. ke-VI, hlm. 345.
7 Lajnah Pentashih Al-Qur’an Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 569.
5
orang tua berhak sepenuhnya menentukan calon pasangan bagi anak-
anaknya terutama anak perempuannya.
Dalam hal memilihkan pasangan hidup ini, masih kita jumpai
pemaksaan kehendak orang tua atas anak gadisnya. Bahkan tidak jarang
orang tua memaksakan kehendak dengan semena-mena terhadap anaknya
dengan alasan kasih sayang dan demi kebaikan anaknya.
Hal itu terjadi, apakah karena masih banyak pemahaman di
kalangan orang tua bahwa anak adalah hak milik bagi mereka. Orang tua
berhak sepenuhnya untuk menentukan kehidupan sang anak, termasuk
menentukan calon suami yang hendak menjadi pasangan hidup bagi si
anak gadis untuk sepanjang umurnya. Oleh sebab itu, jika seorang anak
gadis menolak calon suami pilihan orang tua, seorang ayah merasa berhak
memaksakan kehendaknya tanpa mempertimbangkan persetujuan calon
mempelai. Padahal telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 16
yang menyatakan bahwa: “ Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon
mempelai ”.
Hal ini didasarkan pada pemahaman ajaran agama mengenai hak
ijbār yang dimiliki oleh orang tua yaitu ayah atau kakek selaku wali
mujbir. Bagi orang yang kehilangan kemampuannya seperti gila, anak-
anak yang masih belum mencapai usia tamyiz, boleh dilakukan wali
mujbir atas dirinya sebagaimana dengan orang-orang yang kurang
kemampuannya seperti orang yang akalnya belum sempurna tetapi sudah
6
berusia tamyiz (abnormal).8 Yang dimaksud berlakunya wali mujbir yaitu
seorang wali berhak mengakadnikahkan orang yang diwakilkan diantara
golongan tersebut tanpa menanyakan pendapat mereka terlebih dahulu.
Akadnya berlaku juga bagi orang yang diwakilkan tanpa melihat ridha
atau tidaknya. 9
Seorang perempuan yang masih perawan yang akan dinikahkan
cukup dimintai izinnya. Sebagai salah satu bentuk persetujuan izin tersebut
adalah diam. Tetapi, ayah dan kakek memiliki hak istimewa untuk
memaksa menentukan pilihan pasangan hidupnya. Hak ijbar oleh banyak
orang dipahami sebagai hak bagi wali (ayah atau kakek) untuk
menjodohkan anak atau cucu perempuan. Ulama berbeda pendapat
mengenai boleh dan tidaknya seorang ayah atau kakek menikahkan anak /
cucu gadisnya yang sudah dewasa tanpa izinnya.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa seorang ayah yang bertindak
sebagai wali tidak diperkenankan menikahkan anak gadisnya yang sudah
dewasa tanpa sepengetahuan atau izinnnya. Dan juga tidak boleh
memaksanya, karena pemaksaan hanya berlaku bagi anak kecil, orang gila
laki-laki / perempuan walaupun dewasa. 10
8 Sayid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, Fiqih Sunnah, Terj. Nor Hasanuddin, dkk., Jakarta Pusat:
Pena Pundi Aksara, 2007, Cetakan ke-II, hlm. 18.
9 Ibid.
10 Imam Kamaludin Muhammad bin Abdul Wahid Ibnu Al-Hammam Al-Hanafi, Fathul
Qadīr, Juz III, Libanon: Beirut, Dar al-Kutub al-Alamiyah, hlm. 251.
7
Menurut ulama Malikiyah, paksaan dapat diberlakukan pada gadis
dewasa dan janda kecil (belum dewasa). 11
Al-Imam al-Syafi’i dalam kitabnya al-Umm, mengatakan bahwa : “
janda yang masih kecil tidak boleh dinikahkan kecuali dengan izinnya, dan
tidak boleh menikahkan perawan / gadis kecuali dengan izinnya pula,
tidak boleh menikahkan gadis kecil kecuali ayah atau kakeknya setelah
kematian ayahnya “ .12
Hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW yang
berbunyi:
13
Artinya: “ Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id, Telah
menceritakan kepada kami Malik bin Anas dari Abdillah bin
Fadhol dari Nafi' bin Jubair bin Mu'thim dari ibnu Abbas bahwa
sesungguhnya Rasulullah S.A.W telah bersabda: Janda-janda itu
lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedang gadis itu
dimintai pendapat tentang dirinya, dan persetujuannya adalah
diamnya ”.
Tetapi pendapat ini berbeda dengan pendapat para muridnya dan
ulama Syafi’iyah yang lain. Al-Imam al-Mawardi mengatakan: “ gadis itu
11 Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Alih Bahasa Imam
Ghazali Said, Bidāyatul Mujtahīd wa Nihāyatul Muqtashīd, Jakarta: Pustaka Amani, Cet ke-II,
hlm. 404. 12 Imam Abi Abdillah bin Muhammad bin Idris Al-Syafi’i, Al-Umm, Juz VIII, Libanon:
Beirut, Dar al-Fikr, hlm. 265.
13 Al-Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah al- Salmi (209-279 H ), Sunan al-
Tirmidzi, Juz II, Naskah ditahqiq oleh Ahmad Muhammad Syakir dan Kawan-kawan, Libanon:
Beirut, Dar al-Kitab al-Alamiyah, Hadis 1108, hlm. 416., Muslim al-Qusyayri, Abu Al-Husayn
Muslim bin al-Hajaj al-Naisabury ( 206-261 H ), Sahih Muslim, Juz I, Libanon: Beirut, Dar al-
Fikr, Cet.ke-I, hlm. 650., Abu Daud Sulayman bin al-Asy’ats al-Sijistani al-Azdi (202-275 H),
Sunan Abu Daud, Naskah ini ditahqiq oleh Muhammad Muhy al-Din Abd al-Hamid, Beirut: Dar
al-Fikr, hlm. 232., Al-Nasa'i, Sunan al-Nasā'i, Beirut: Dar al-Fikr, Juz 5, hlm. 84.
8
boleh dipaksa menikah oleh sebagian walinya (ayah / kakek) baik itu
masih kecil, dewasa, berakal atau gila “. 14
Menurut al-Imam al-Ramli boleh bagi ayah menikahkan gadis
yang masih kecil dan dewasa (baik berakal atau gila) tanpa izinnya dengan
mahar mitsil tunai (berlaku umum) di negaranya. 15
Sedangkan al-Imam al-Syirazi juga berpendapat sama dengan al-
Imam al-Mawardi dan al-Imam al-Ramli sebagaimana dalam kitabnya al-
Muhazzab:
Artinya: “ Seorang ayah atau kakek boleh menikahkan gadisnya tanpa
ridhanya baik gadis itu masih kecil atau dewasa ”.
Dalam kitabnya al-Tanbīh ia juga menyatakan:
Artinya: “ Apabila wanita itu merdeka dan mengaku sekufu, maka wajib
bagi wali untuk menikahkannya, apabila wanita itu masih gadis
maka boleh bagi ayah atau kakek menikahkannya dengan tanpa
persetujuannya ” .
Jika melihat problematika diatas maka nampak sekali perbedaan
pendapat antara mazhab satu dengan yang lain. Perbedaan pendapat
14 Abi Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, al-Hāwī al-Kabīr, Juz IX,
Libanon: Beirut, Dar al-Kutub al-Alamiyah, hlm. 69.
15 Imam Syamsuddin al-Ramli, Nihāyatul Muhtāj ila as-Syarhi al- Minhāj, Libanon:
Beirut, Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1996, hlm. 228-229.
16
Abi Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf Al-Syirazi, Al-Muhazzab, Juz II, Beirut: Dar al-
Kutub al-Alamiyah, hlm. 429.
17 Al-Imam al-Syirazi, Al-Tanbīh, Beirut: Dar al-Kitab al-Alamiyah, hlm. 222.
9
tersebut tentunya tidak terlepas dari keumuman hadis dan juga illat hukum
yang menjadi akar munculnya perbedaan pendapat itu sendiri.
Perbedaan pendapat tersebut tidak hanya antar mazhab saja, tetapi
terjadi antar ulama syafi’iyah, yaitu antara al-Imam al-Syafi’i sendiri
dengan murid-muridnya. Mayoritas ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa
seorang ayah atau kakek selaku wali memang boleh menikahkan gadis
dewasa tanpa izinnya, hanya saja mereka berbeda dalam hal istinbat
hukumnya. Salah satunya adalah al-Imam al-Syirazi.
Adapun dasar hukum yang dipakai al-Imam al-Syirazi untuk
menguatkan pendapatnya adalah hadis Nabi SAW yang berbunyi:
Artinya: " Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Mansur,
kemudian berkata: telah menceritakan kepada kami Sufyan dari
Ziyad bin Sa'id, dari Abdillah bin Fadhol dari Nafi' bin Jubair dari
ibnu Abbas bahwa sesungguhnya Nabi S.A.W telah bersabda: “
janda itu lebih berhak atas dirinya sendiri dari pada walinya,
sedangkan gadis ayahnya meminta pendapat tentang dirinya ”.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis bermaksud
mengkaji lebih mendalam dalam bentuk skripsi dengan judul: “ Analisis
Pendapat al-Imam al-Syirazi Tentang Hukum Wali Nikah Meminta
Izin Kepada Gadis Dewasa ”
18 Al-Nasa'i, op.cit., hlm. 85., Abu Daud, op.cit., hlm. 233.
10
B. Rumusan Masalah
Dari Latar belakang diatas, maka yang menjadi pokok masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana pendapat al-Imam al-Syirazi tentang hukum wali nikah
meminta izin kepada gadis dewasa?
2. Bagaimana istinbat hukum al-Imam al-Syirazi tentang bolehnya wali
menikahkan gadis dewasa tanpa izin?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pendapat al-Imam al-Syirazi tentang hukum wali
nikah meminta izin kepada gadis dewasa.
2. Untuk mengetahui istinbat hukum al-Imam al-Syirazi tentang
bolehnya wali menikahkan gadis dewasa tanpa izin.
D. Telaah Pustaka
Al-Imam al-Syirazi adalah seorang tokoh fiqih Islam yang
bermazhab Syafi’i yang merupakan salah satu mujtahid dikalangan
mazhab syafi’i. Oleh karena itu fatwa-fatwanya digunakan rujukan bagi
para ulama fiqih dan murid-muridnya dalam perkembangan fiqih.
Dalam menyusun skipsi ini penulis telah melakukan beberapa
kajian dan penelusuran mengenai karya karya yang berhubungan dengan
wali nikah khususnya kitab karya al-Imam al-Syirazi yaitu al-Muhazzab
dan al-Tanbīh yang menjelaskan bahwa ayah boleh menikahkan gadis (
11
baik kecil maupun dewasa ) tanpa izinnya. Dalam penelusuran, penulis
belum menemukan skripsi yang membahas tentang hukum wali nikah
meminta izin kepada gadis dewasa. Tetapi untuk kajian yang lebih
mendalam, penulis perlu melakukan penelaahan terhadap skripsi lain yang
mempunyai relevansi dengan masalah tersebut.
Skrispi yang disusun oleh Abdul Ghufron (NIM 2104035) yang
berjudul “ Analisis Pendapat Imam al-Syafi'i Tentang Wali Nikah Bagi
Janda Di Bawah Umur ”. Dalam skripsi ini menjelaskan tentang pendapat
Imam al-Syafi’i bahwa wali nikah merupakan suatu keharusan sebagai
syarat sahnya perkawinan dan tidak sah nikah tanpa wali meskipun bagi
janda dibawah umur. Imam Syafi’i juga berpendapat bahwa janda yang
masih kecil tidak boleh dipaksa menikah oleh walinya. Tetapi dalam
analisinya skripsi ini lebih menekankan bahwa wali nikah merupakan
suatu rukun yang wajib terpenuhi sebagai syarat sahnya nikah berdasarkan
dalil-dalil yang dijadikan dasar hukum. Apabila pernikahan itu tanpa harus
ada wali nikah maka aspek madharatnya lebih besar.
Skripsi yang disusun oleh Wirdah Rosalin (NIM 2100105 ) yang
berjudul “ Analisis Pendapat Ahmad Hassan Tentang Bolehnya Wanita
Gadis Menikah Tanpa Wali ”. Skripsi ini menjelaskan pendapat salah
seorang ulama di Indonesia yaitu Ahmad Hassan yang membolehkan
wanita gadis menikah tanpa wali. Menurutnya, keterangan-keterangan
yang mensyaratkan adanya wali dalam pernikahan itu tak dapat dijadikan
alasan untuk mewajibkan perempuan menikah harus disertai wali, karena
12
berlawanan dengan beberapa keterangan dari al-Qur'an, Hadis dan
riwayatnya yang sahih dan kuat. Dengan tertolaknya keterangan-
keterangan yang mewajibkan wali itu, berarti wali tidak perlu, artinya tiap-
tiap wanita boleh menikah tanpa wali. Jika sekiranya seorang wanita tidak
boleh menikah kecuali harus ada wali, tentunya al-Qur'an menyebutkan
tentang itu. Demikian pendapat A. Hassan. Sedangkan jumhur ulama
mensyaratkan adanya wali nikah dalam akad perkawinan dan wanita tidak
boleh mengawinkan dirinya sendiri. Dengan kata lain pendapat yang lebih
maslahat adalah yang menganggap nikah tanpa wali adalah batal. Karena
peran dan fungsi wali sangat penting.
Skripsi yang susun oleh Khoirul Jaza (NIM 2103220) yang
berjudul “ Studi Analisis Pendapat Imam Malik Tentang Wali Washi‟ Dari
Bapak Lebih Didahulukan Sebagai Wali Nikah Dari Pada Wali Nasab “.
Skripsi ini menjelaskan tentang pendapat Imam Malik bahwa wali yang
timbul karena sebab wasiat artinya wasiat dari bapak itu lebih didahulukan
untuk menikahkan seorang perempuan dari pada wali nasab, karena wali
washi dari bapak termasuk wali mujbir, sehingga wali-wali yang lainnya
tidak bisa menduduki kedudukan untuk menikahkan seorang perempuan
jika masih ada wali washi dari bapak. Menurut Imam Syafi’i wali washi
tidak berhak menjadi wali bagi perempuan yang diasuhnya. Dalam
analisisnya penulis skripsi ini sependapat dengan pendapat Imam Malik.
Skripsi yang disusun oleh Basyid (NIM 210584) yang berjudul “
Studi Analisis Pendapat Imam Syafi'i Tentang Hak Wali Nikah Bagi Anak
13
Angkat ”. Dalam skripsi ini menjelaskan tentang hak wali anak angkat
menurut Imam Syafi’i tetap pada orang tua kandung, bukan orang yang
mengadopsinya (orang tua angkat). Anak angkat bukanlah anak kandung,
tetapi hanya mendapatkan asuhan dalam kehidupannya. Hak wali
berpindah manakala orang tua tidak ada atau adhal. Sedangkan yang
berhak menjadi pengganti bagi orang yang tidak punya wali adalah hakim.
Dari berbagai penelitian diatas maka sudah jelas terdapat
perbedaan yang signifikan dengan skripsi yang akan penulis susun. Dalam
skripsi ini penulis lebih menekankan pada argumentasi pendapat al-Imam
al-Syirazi mengenai hukum wali nikah meminta izin kepada gadis dewasa
dan bagaimana istinbat hukum yang digunakan al-Imam al-Syirazi serta
akibat hukumnya ketika gadis dinikahkan oleh walinya tanpa kerelaaan
darinya.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian bermakna seperangkat pengetahuan tentang
langkah-langkah sistematis dan logis dalam mencari data yang berkenaan
dengan masalah tertentu untuk diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan
selanjutnya dicarikan cara pemecahannya. Metode penelitian yang
digunakan dalam menyusun skripsi ini sebagai berikut: 19
19 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 21-22.
14
1. Jenis Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan jenis
penelitian kepustakakaan (Library Research) yaitu Penelitian yang
mengandalkan data dari bahan pustaka untuk dikumpulkan dan
kemudian diolah sebagai bahan penelitian.20
Adapun bahan yang
dikumpulkan meliputi beberapa teori, kitab-kitab dan pendapat para
ahli dan karangan ilmiah lain yang mempunyai kaitan dengan
pembahasan skripsi ini.
2. Sumber Data
a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari sumber asli yang
memuat informasi. 21
Sumber data primer ini adalah kitab karya al-
Imam al-Syirazi yaitu al-Muhazzab dan al-Tanbīh.
b. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber yang bukan
asli dan memuat informasi. 22
Adapun data sekunder dalam
penulisan skripsi ini diantaranya adalah:
1. Kitab Al-Umm karangan al-Imam al-Syafi’i
2. Kitab Al-Hāwī al-Kabīr karangan al-Imam al-Mawardi
3. Kitab Minhāj al-Thālibīn karangan al-Imam an-Nawawi.
4. Kitab Nihāyatul Muhtāj karya al-Imam al-Ramli
5. Kitab Fathul Qadir karangan Ibnu al-Hammam al-Hanafy
20 Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqih, Bogor: Prenada Media, 2003, hlm. 89.
21 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yogyakarta: Lkis, 1999, hlm. 9.
22 Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, Cet. ke-
VIII, hlm. 126.
15
6. Buku-buku lain yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data ini penulis menggunakan metode
dokumentasi yaitu dengan mencari dan menelaah berbagai buku dan
sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan pembahasan skripsi
ini.23
Dengan metode ini maka penulis tidak hanya mengumpulkan
kitab-kitab fiqih saja, tetapi juga kitab-kitab lain yang saling berkaitan
agar dapat dikaji secara komprehensif.
4. Metode Analisis Data
Setelah data-data hasil penelitian kepustakaan terkumpul maka
kemudian penulis menganalisis dengan menggunakan metode
deskriptif-analisis yaitu dengan cara menggambarkan data yang
berkaitan dengan pendapat al-Imam al-Syirazi tentang hukum wali
nikah meminta izin kepada gadis dewasa untuk kemudian dianalisis
bagaimana istinbat hukum wali menikahkan gadis dewasa tanpa izin
yang digunakan oleh al-Imam al-Syirazi.
23 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, dan Tekhnik,
Bandung: Tarsito, 1989, hlm. 163.
16
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab yang masing-masing
bab terdiri dari beberapa sub bab yang mempunyai korelasi antara satu
dengan yang lainnya.
Bab pertama berisi pendahuluan, yaitu gambaran secara umum
dengan memuat: latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua berisi tinjauan secara umum tentang wali nikah
meliputi: pengertian wali nikah, dasar hukum wali nikah, syarat-syarat
wali nikah, macam-macam wali nikah, urutan wali nikah, pengertian gadis
dewasa.
Bab ketiga berisi pendapat al-Imam al-Syirazi tentang hukum wali
nikah meminta izin kepada gadis dewasa yang meliputi: biografi al-Imam
al-Syirazi, karya-karyanya, pendapat al-Imam al-Syirazi tentang hukum
wali nikah meminta izin kepada gadis dewasa, serta istinbat hukum al-
Imam al-Syirazi tentang bolehnya wali menikahkan gadis dewasa tanpa
izin.
Bab keempat berisi analisis terhadap pendapat al-Imam al-Syirazi
tentang hukum wali nikah meminta izin kepada gadis dewasa dan analisis
istinbat hukum al-Imam al-Syirazi tentang bolehnya wali menikahkan
gadis dewasa tanpa izin.
Bab kelima merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan
saran.
17
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG WALI NIKAH
A. Pengertian Wali Nikah
Secara bahasa wali nikah merupakan gabungan dari kata wali dan
nikah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata wali mempunyai
banyak makna, antara lain: 21
1. Orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban
mengurus anak yatim serta hartanya, sebelum anak itu dewasa.
2. Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang
melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki).
3. Orang saleh (suci), penyebar agama.
4. Kepala pemerintah dan sebagainya.
Secara spesifik, perwalian, dalam literatur fiqih disebut dengan
/ , seperti kata yang juga bisa disebut dengan
. Secara etimologis, / , memiliki beberapa arti. Diantaranya
adalah yang berarti cinta, dan yang berarti pertolongan.22
Seperti Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 56:
21
Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1975, hlm. 1175.
22 Ahmad Warsan Munawwir, Kamus Al-Munawwir, Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-
Munawwir Krapyak, 1984, hlm. 1690.
18
Artinya: " Barang siapa yang mengambil Allah dan Rasul-Nya dan orang-
orang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya
pengikut (agama) Allah itulah orang-orang yang pasti menang
”. (QS. Al-Ma‟idah: 56).23
Dan surat at-Taubah Ayat 71
Artinya: " Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan,
sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang
lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah
dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan
mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi
rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana."24
Selain itu wali juga berarti kekuasaan / otoritas ( as-sulthah wal-
qudrah), seperti dalam ungkapan al-wali, yakni orang yang mempunyai
kekuasaan. Hakikat dari al-walayah (al-wilayah) adalah tawally al-amr (
mengurus/ menguasai sesuatu). 25
Secara istilah wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat
dipaksakan kepada orang lain sesuai bidang hukumnya. 26
Menurut
Wahbah al-Zuhayli, wali ialah “ kekuasaan / otoritas (yang dimiliki)
seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri tanpa
harus bergantung (terikat) kepada izin orang lain.” 27
23 Lajnah Pentashih Al-Qur‟an Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 170. 24 Lajnah Pentashih Al-Qur‟an Departemen Agama RI, op. cit, hlm. 291. 25
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta, Rajawali
Pers, 2004, hlm. 134.
26 Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 11. 27
Wahbah Al-Zuhayli, Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, 1409 H / 1989 M, Beirut: Libanon:
Darul Fikr, Jil.VII, hlm. 718.
19
Sedangkan kata nikah secara bahasa diartikan adh-dhamm
(berkumpul atau bergabung) dan al-ikhtilāth (bercampur). Dalam bahasa
Arab misalnya dikatakan:
Artinya: " Pohon-pohon itu kawin ”.
Dimaksudkan ketika bergabung satu dengan yang lain. Atau dikatakan:
Artinya: " Hujan itu bergabung dengan tanah ”.
Maksudnya ketika air hujan itu bercampur dengan tanah.
Kata lain yang sama artinya dengan nikah adalah az-zawāj, yang
berasal dari kata yang diartikan pasangan, mengawinkan atau
menjodohkan. Sebagaimana disebut dalam surat Ad-Dukhan ayat 54:
Artinya: " Dan Kami kawinkan mereka dengan bidadari ”.
Para ulama memerinci makna lafal nikah ada empat macam.
Pertama, nikah diartikan akad dalam arti sebenarnya dan diartikan
percampuran suami istri dalam arti kiasan. Kedua, sebaliknya, nikah
diartikan percampuran suami istri dalam arti sebenarnya dan akad berarti
kiasan. Ketiga, lafal musytarak (mempunyai dua makna yang sama).
20
Keempat, nikah diartikan adh-dhamm (bergabung secara mutlak) dan al-
ikhtilāth (percampuran).28
Diantara ayat-ayat yang menunjukkan kata nikah adalah surat Al-
Baqarah ayat 230, yang berbunyi:
Artinya : " Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang
kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia
kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami lain
menceraikannya maka tidak ada dosa keduanya (bekas suami
pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Itulah hukum-hukum Allah yang diterangkan-Nya kepada kaum
yang (mau) mengetahui ”. 29
Ayat ini menjelaskan bahwa jika seorang perempuan telah bercerai
dengan suaminya dengan talak tiga, maka tidak halal lagi bagi perempuan
itu kawin dengan bekas suaminya itu, kecuali ia lebih dahulu kawin
dengan laki-laki lain. Kemudian setelah dia bercerai dengan suaminya
yang kedua, barulah dia boleh menikah kembali dengan bekas suaminya
yang pertama.
Said bin Musayyab, seorang tabi‟in dan murid Abu Hurairah dalam
menafsirkan, “ sehingga perempuan itu kawin dengan suami yang lain”
telah mengambil zahir ayat itu saja dan berkata, cukuplah semata-mata
28 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Al-Usrah Wa-Ahkamuhā Fi- al- Tasyrī'i al-Islāmi,
Fiqih Munakahat: Khitbah, Nikah dan Talak.Terj. Dr.H. Abdul Majid Khon, M. Ag., Jakarta:
Sinar Grafika, Cet. Ke-I, hlm.38. 29 Lajnah Pentashih Al-Qur‟an Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 56.
21
akad yang baru. Artinya sesudah itu ia kembali kepada suaminya yang
pertama. Tetapi pendapatnya itu ditolak oleh jumhur, salaf, dan khalaf
dengan menyatakan, bahwa disamping akad nikah dengan suami yang
kedua, disyaratkan keduanya harus bersetubuh dan tidak memadai semata-
mata akad saja dengan tidak campur.30
Dalam pengertian secara istilah, ulama Syafi‟iyah merumuskan
pengertian nikah sebagaimana berikut:
Artinya: " Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan
hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz nakaha atau
zawaja ” .
Apabila kata wali dan nikah digabungkan maka berarti orang yang
menjadi wali dalam pernikahan. Menurut Prof. Amir Syarifuddin wali
nikah adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan
dalam suatu akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak
laki-laki dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak
perempuan dilakukan oleh walinya.31
Sedangkan Menurut Muhammad Jawad Mughniyyah, “ Perwalian
dalam perkawinan adalah suatu kekuasaan atau wewenang syar’i atas
golongan manusia, yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna,
30 Syeikh H. Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsīr Ahkām, Jakarta: Kencana, 2006, Cet. Ke-I,
hlm. 121. 31 Amir Syarifuddin, op. cit., hlm. 69.
22
karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu, demi
kemaslahatannya sendiri ”.32
Atas dasar pengertian tersebut, kata wali dapat dipahami alasan
hukum Islam menetapkan ayah sebagai orang yang paling berhak untuk
menjadi wali bagi kepentingan anaknya. Hal ini karena ayah adalah orang
yang paling dekat, siap menolong, serta mengasuh dan membiayai anak-
anaknya, barulah hak perwaliannya digantikan oleh keluarga dekat lainnya
dari pihak ayah, dan seterusnya. 33
B. Dasar Hukum Wali Nikah
Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti
dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu
ditempatkan sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama
secara prinsip. Memang tidak ada satu pun ayat Al-Qur‟an yang jelas
secara ibārat al-nash yang menghendaki keberadaan wali dalam akad
perkawinan. Tetapi dari ayat tersebut secara isyārat nash dapat dipahami
menghendaki adanya wali .34
Diantara ayat-ayat Al-Qur‟an yang mengisyaratkan adanya wali
adalah surat Al-Baqarah ayat 232 yang berbunyi:
32 Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit., hlm. 345.
33 Dedi Supriyadi, op. cit., hlm. 32. 34 Amir Syarifuddin, loc. cit., hlm. 69.
23
Artinya: " Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa
iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi
mereka kawin lagi dengan bakal suaminya apabila Telah
terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf.
Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di
antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik
bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak
Mengetahui ”. 35
Kalau sang istri telah habis masa iddahnya, dan tidak ada halangan
lain yang ditetapkan agama, maka bekas suami, para wali, atau siapapun
tidak boleh melakukan ‘adhl, yakni menghalang-halangi mereka, wanita
itu menetapkan sendiri masa depannya menyangkut perkawinan. Siapa
saja yang dipilihnya baik suami mereka yang telah pernah
menceraikannya, maupun pria lain yang ingin dikawininya dan bakal
menjadi suami-suami mereka, maka itu adalah haknya secara penuh,
karena janda berhak atas dirinya daripada yang lain.36
Ayat ini ditujukan kepada para wali, jika mereka tidak mempunyai
hak dalam perwalian, tentu mereka tidak dilarang untuk menghalang-
halangi.37
Ayat lain yang menunjukkan tentang wali nikah adalah surat Al-
Baqarah (2) ayat 221 yang berbunyi:
35 Lajnah Pentashih Al-Qur‟an Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 56. 36 M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Misbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian Dalam Al-Qur’an,
Juz I, Jakarta: Lentera Hati, 2000, hlm. 501.
37 Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, op. cit., hlm. 366.
24
Artinya: "Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin
lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia
menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran ”. 38
Ayat di sini mengandung pengertian bahwa para wali dilarang
mengawinkan wanita-wanita muslimah dengan musyrik. Paling tidak ada
dua hal yang perlu digaris bawahi:
Pertama, penggalan ayat tersebut ditujukan kepada para wali,
memberi isyarat bahwa wali mempunyai peranan yang tidak kecil dalam
perkawinan putri-putrinya atau wanita-wanita yang berada dibawah
perwaliannya. Peranan tersebut dibahas oleh para ulama dan menghasilkan
aneka pendapat. Ada yang berpendapat sangat ketat, sampai mensyaratkan
persetujuan dan izin yang bersifat pasti dari para wali dalam penentuan
calon suami bagi putrinya. Tidak sah perkawinan dalam pandangan ini
tanpa persetujuan itu. Tetapi ada juga yang hanya memberi sekedar hak
untuk mengajukan tuntutan pembatalan jika perkawinan berlangsung tanpa
38 Lajnah Pentashih Al-Qur‟an Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 53.
25
restunya. Menurut penganut pandangan ini, tuntutan tersebut pun tidak
serta merta dapat dibenarkan, kecuali setelah memenuhi sejumlah syarat. 39
Betapapun demikian perlu diingat, bahwa perkawinan yang
dikehendaki Islam adalah perkawinan yang menjalin hubungan harmonis
antara suami istri, sekaligus antar keluarga, bukan saja keluarga masing-
masing tetapi juga antara kedua keluarga mempelai. Dari sini peranan
orang tua dalam perkawinan menjadi sangat penting. Baik dengan
memberi kepada orang tua wewenang yang besar, maupun sekedar restu,
tanpa mengurangi hak anak. Oleh karena itu, walaupun Rasul
memerintahkan orang tua supaya meminta persetujuan anak gadisnya,
namun karena tolak ukur anak itu tidak jarang berbeda dengan tolak ukur
orang tua, maka tolak ukur anak, ibu dan bapak harus dapat menyatu dan
mengambil keputusan perkawinan.
Kedua, larangan mengawinkan wanita-wanita muslimah dengan
orang-orang musyrik. Walaupun pandangan mayoritas ulama dapat
memasukkan ahl al-kitāb dalam kelompok dinamai musyrik, tetapi ini
bukan berarti ada izin untuk pria ahl al-kitāb untuk mengawini wanita
muslimah. Larangan tersebut, menurut ayat di atas,berlanjut hingga
mereka beriman, sedang ahl al-kitāb tidak dinilai beriman dengan iman
yang dibenarkan oleh Islam. Maka bagi para wali dilarang menikahkan
39 M. Quraish Shihab, op.cit., hlm. 475.
26
wanita-wanita muslimah dengan orang-orang musyrik dan juga ahl al-
kitāb. 40
Selain itu dijelaskan dalam surat Al-Nur (24) ayat 32 yang
berbunyi:
Artinya: " Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu,
dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-
Nya) lagi Maha Mengetahui ”.
Ibarāt nash ketiga ayat tersebut tidak menunjukkan keharusan
adanya wali, karena yang pertama merupakan larangan menghalangi
perempuan yang habis masa iddahnya untuk kawin, ayat kedua larangan
perkawinan antara perempuan muslimah dengan laki-laki musyrik,
sedangkan ayat ketiga suruhan untuk mengawinkan orang-orang yang
masih bujang. Namun karena dalam ketiga ayat itu khitāb Allah berkenaan
dengan perkawinan dialamatkan kepada wali, dapat pula dipaham daripada
keharusan adanya wali dalam perkawinan.
Dari pemahaman ketiga ayat tersebut diatas, jumhur ulama
(Malikiyah, Syafi‟iyah, dan Hanabilah ) menetapkan keharusan adanya
wali dalam perkawinan.
40 M. Quraish Shihab, op.cit., hlm. 476.
27
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah dan ulama Syi‟ah Imamiyah
berkesimpulan bahwa perempuan yang sudah dewasa dan sehat akalnya
dapat melakukan sendiri perkawinannya dan tidak perlu wali
mengakadkannya. Alasan rasionalnya ialah orang yang telah dewasa dan
sehat akalnya dapat bertindak hukum dengan sendiri tanpa diperlukan
bantuan walinya.
Adapun ayat Al-Qur‟an yang dijadikan dasar hukum ulama
Hanafiyah dan ulama Syi‟ah Imamiyah adalah:
Surat Al-Baqarah (2) ayat 232:
Artinya: " Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa
iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi
mereka kawin lagi dengan bakal suaminya apabila Telah
terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf.
Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di
antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik
bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak
Mengetahui ”. 41
Surat Al-Baqarah (2) ayat 230:
41 Lajnah Pentashih Al-Qur‟an Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 56.
28
Artinya : " Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang
kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia
kawin dengan suami yang lain ”. Kemudian jika suami lain
menceraikannya maka tidak ada dosa keduanya (bekas suami
pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Itulah hukum-hukum Allah yang diterangkan-Nya kepada kaum
yang (mau) mengetahui.
Surat Al-Baqarah (2) ayat 234:
Artinya: "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan
dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila
telah habis idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang
patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat ”.
Menurut ulama Hanafiyah dan ulama Syi‟ah Imamiyah ayat
pertama diatas dengan tegas mengatakan perempuan itu mengawini bekas
suaminya dan wali dilarang mencegahnya. Ayat kedua jelas menyatakan
perempuan itu melakukan perkawinan dengan laki-laki lain dan ayat ketiga
perempuan itu berbuat atas dirinya (maksudnya kawin). Dalam ketiga ayat
tersebut fā’il atau pelaku dari perkawinan itu adalah perempuan itu sendiri
tanpa disebutkan wali. 42
42 Amir Syarifuddin, op. cit., hlm. 72.
29
Pendapat Hazairin yang dikutip oleh Sayuti Thalib menerangkan
bahwa memang wali tidak menjadi syarat bagi sahnya perkawinan seorang
perempuan yang telah dewasa. 43
Jumhur ulama di samping menggunakan ayat-ayat diatas sebagai
dalil yang mewajibkan wali dalam perkawinan, mereka menguatkan
pendapatnya itu dengan serangkaian hadis dibawah ini:
a. Hadis Nabi dari Abu Burdah bin Abi Musa menurut riwayat Ahmad
Artinya: " Tidak boleh nikah tanpa wali ".
b. Hadis Nabi dari Aisyah yang dikeluarkan oleh empat perawi hadis
selain al-Nasa‟i
Artinya: " Perempuan mana saja yang kawin tanpa izin walinya,
perkawinannya batal ".
c. Hadis dari Abu Hurairah yang mengutip ucapan Nabi:
Artinya: " Perempuan tidak boleh mengawinkan perempuan dan
perempuan juga tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri ".
Golongan Hanafiyah dan Syi‟ah Imamiyah yang tidak mewajibkan
adanya wali bagi perempuan dewasa dan akal sehat, menanggapi hadis
43 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UII press, 1986, Cet ke-V, hlm.
64. Dalam hal ini, meskipun Sayuti Thalib sependapat dengan Hanafiyah dan Hazairin, tetapi
menurutnya alangkah baiknya wanita itu memakai wali dalam melakukan ijab qabul.
30
pertama diatas dengan menyatakan bahwa hadis tersebut mengandung dua
arti:
Pertama: Tidak sempurna suatu perkawinan tanpa adanya wali,
bukan berarti tidak sah. Kedua: Bila kata itu tidak diartikan dengan tidak
sah, maka arahnya adalah kepada perempuan yang masih kecil atau tidak
sehat akalnya, karena terhadap dua perempuan tersebut ulama hanafiyah
juga mewajibkan adanya wali sebagaimana ulama jumhur. 44
Sedangkan terhadap hadis yang kedua ulama Hanafiyah dan
pengikutnya mengatakan bahwa perkawinan yang batal itu adalah bila
perkawinan yang dilakukan tanpa izin wali, bukan yang mengawinkannya
hanyalah wali. Hadis yang melarang perempuan mengawinkan dirinya
atau perempuan lain itu adalah bila perempuan itu masih kecil sedangkan
yang sudah dewasa boleh saja ia mengawinkan dirinya atau orang lain.
Disamping pembelaan Hanafiyah terhadap hadis-hadis yang
dikemukakan jumhur ulama, ulama Hanafiyah juga mengemukakan hadis
Nabi yang mendukung pendapatnya. Diantaranya adalah hadis Nabi dari
Ibnu Abbas menurut riwayat Muslim yang berbunyi:
Artinya: " Janda itu berhak atas dirinya sendiri daripada walinya ".
Juga hadis dari Ibnu Abbas menurut riwayat Abu Daud, dan al-
Nasa‟i dan disahkan oleh Ibnu Hibban yang bunyinya:
44 Amir Syarifuddin, op. cit., hlm. 73.
31
Artinya: " Tidak ada urusan wali terhadap perempuan yang sudah janda".
Dua hadis tersebut diatas digunakan oleh ulama Hanafiyah dan
pengikutnya untuk menguatkan pendapatnya dalam memahami ayat-ayat
Al-Qur‟an tersebut sebelumnya untuk menetapkan tidak wajibnya wali
bila yang melangsungkan perkawinan itu adalah perempuan yang sudah
dewasa dan akal sehat.
C. Syarat-Syarat Wali Nikah
Seseorang dapat menjadi wali dalam pernikahan apabila telah
memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:45
1. Telah dewasa dan berakal sehat dalam arti anak kecil dan orang gila
tidak berhak menjadi wali. Ini merupakan syarat umum bagi seseorang
yang melakukan aqad.
2. Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali. Ulama Hanafiyah
dan ulama Syi‟ah mempunyai pendapat yang berbeda dalam
persyaratan ini. Menurut mereka perempuan yang telah dewasa dan
berakal sehat dapat menjadi wali untuk dirinya sendiri dan dapat pula
menjadi wali untuk perempuan lain yang mengharuskan adanya wali.
3. Muslim. Tidak sah orang yang tidak beragama Islam menjadi wali
untuk muslim. Hal ini berdalil dari firman Allah dalam surat Ali Imran
ayat 28:
45 Amir Syarifuddin, op.cit., hlm.76.
32
Artinya: " Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang
kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah
ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat)
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.
Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya.
Dan hanya kepada Allah kembali (mu) " .
Dan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 51:
Artinya: " Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah
pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di
antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-
orang yang lalim " .
4. Orang merdeka
5. Tidak berada dalam pengampuan atau mahjūr ‘alaih, alasannya ialah
bahwa orang yang berada dibawah pengampuan tidak dapat berbuat
hukum dengan sendirinya. Kedudukan sebagai wali merupakan suatu
tindakan hukum.
6. Berpikiran baik. Orang yang terganggu pikirannya karena ketuaannya
(pikun) tidak boleh menjadi wali, karena dikhawatirkan tidak akan
mendatangkan maslahat dalam perkawinan tersebut.
33
7. Adil dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak sering
melakukan dosa kecil, serta tetap memlihara murū’ah atau sopan
santun. Ulama Syi‟ah tidak mensyaratkan adilnya wali dalam
perkawinan. Menurut Sayyid sabiq seorang wali tidak disyaratkan adil.
Jadi, seorang yang durhaka tidak kehilangan hak menjadi wali dalam
perkawinan kecuali bila kedurhakaannya melampaui batas-batas
kesopanan yang berat. Ia tidak bias menjadi wali karena ia jelas tidak
mententramkan jiwa orang yang diurusnya. Karena itu, haknya
menjadi wali menjadi hilang.46
Keharusan wali itu adil berdasarkan
sabda Nabi dalam hadis dari Aisyah menurut riwayat Daruquthniy:
Artinya: " Tidak sah niklah kecuali bila ada wali dan dua orang saksi
yang adil " .
8. Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah. Hal ini
berdasarkan hadis Nabi dari „Utsman menurut riwayat Muslim yang
mengatakan:
Artinya:" Orang yang sedang ihram tidak boleh menikahkan
seseorang dan tidak boleh pula dinikahkan oleh seseorang ".
46 Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 11.
34
Dalam hal persyaratan ini ulama Hanafiyah mengemukakan pendapat
yang berbeda. Menurut mereka wali yang melakukan ihram dapat
menikahkan pasangan yang sedang ihram.
D. Macam-Macam Wali Nikah
Bagi fuqaha‟ yang memegangi keharusan adanya wali dalam
perkawinan, macam-macam wali itu ada tiga, yaitu:47
1. Wali nasab (keturunan), yaitu wali yang berhubungan tali
kekeluargaan dengan perempuan yang akan menikah.
2. Wali mu’thiq, yaitu orang yang menjadi wali terhadap perempuan
bekas hamba sahaya yang dimerdekakannya.
3. Wali hakim atau wali sulthan, yaitu orang yang menjadi wali dalam
kedudukannya sebagai hakim atau penguasa.
Dalam menetapkan wali nasab terdapat beda pendapat dikalangan
ulama. Beda pendapat ini disebabkan oleh tidak adanya petunjuk yang
jelas dari Nabi, sedangkan Al-Qur‟an tidak membicarakan sama sekali
siapa-siapa yang berhak menjadi wali.
Jumhur ulama yang terdiri dari Syafi‟iyah, Hanabilah, Zahiriyah,
dan Syi‟ah Imamiyah membagi wali itu menjadi dua kelompok:
Pertama: wali dekat atau wali qarīb, yaitu ayah dan kalau tidak ada
ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan yang mutlak
terhadap anak perempuan yang akan dikawinkannya. Ia dapat
47 Amir Syarifuddin, op. cit., hlm. 75.
35
mengawinkan anaknya yang masih berada dalam usia muda tanpa
meminta persetujuan dari anaknya tersebut. Wali dalam kedudukan seperti
ini disebut wali mujbir. Ketidakharusan meminta pendapat dari anaknya
yang masih muda itu adalah karena orang yang masih muda tidak
mempunyai kecakapan untuk memberikan persetujuan. Ulama Hanabilah
menempatkan orang yang diberi wasiat oleh ayah untuk mengawinkan
anaknya berkedudukan sebagai ayah.
Kedua: wali jauh atau wali ab’ad, yaitu wali dalam garis kerabat
selain dari ayah atau kakek, juga selain dari anak dan cucu, karena anak
menurut ulama jumhur tidak boleh menjadi wali terhadap ibunya dari segi
dia anak, bila anak berkedudukan sebagai wali hakim boleh dia
mengawinkan ibunya sebagai wali hakim. Adapun wali ab’ad adalah
sebagai berikut:
a. Saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada
b. Saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada
c. Anak saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada
d. Anak saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada
e. Paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada
f. Paman seayah, kalau tidak ada pindah kepada
g. Anak paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada
h. Anak paman seayah
i. Ahli waris kerabat lainnya
36
Ulama Hanafiyah menempatkan seluruh kerabat nasab, baik sebagai
ashābah dalam kewarisan atau tidak sebagai wali nasab, termasuk zaul
arhām. Menurut mereka yang mempunyai hak ijbar bukan hanya ayah
tetapi semuanya mempunyai hak ijbar, selama yang akan dikawinkan itu
adalah perempuan yang masih kecil atau tidak sehat akalnya.
Ulama Malikiyah menempatkan seluruh kerabat nasab yang
ashābah sebagai wali nasab dan membolehkan anak mengawinkan ibunya,
bahkan kedudukannya lebih utama dari pada ayah atau kakek. Golongan
ini menambahkan orang yang diberi wasiat oleh ayah sebagai wali dalam
kedudukan sebagaimana kedudukan ayah. Berbeda dengan ulama
Hanafiyah golongan ini memberikan hak ijbar hanya kepada ayah saja dan
menempatkannya dalam kategori wali aqrāb.
E. Urutan Wali Nikah
Menurut ulama Syafi‟iyah, orang yang harus didahulukan untuk
menjadi wali nikah adalah ayah dari perempuan yang bersangkutan. Kalau
ayahnya telah meninggal dunia atau disebabkan tidak memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan syari‟at semisal; hilang ingatan, pikun, pergi tidak
diketahui rimbanya dan sebagainya, maka yang berhak menjadi wali
adalah kakek (ayah dari ayah), kalau kakeknya tidak ada, maka yang
berhak menjadi wali adalah buyutnya (ayah dari kakek), demikian
seterusnya sampai ke atas.
37
Kalau yang disebutkan di atas tidak ada, maka yang berhak menjadi
wali adalah saudara laki-laki yang sekandung (seayah seibu). Kalau
saudara laki-laki yang dimaksud tidak ada, maka walinya adalah saudara
laki-laki yang seayah. Kalau wali yang disebut di atas tidak ada, maka
yang berhak menjadi wali adalah anak laki-laki dari saudara laki-laki yang
sekandung. Kalau masih tidak ada juga, maka yang berhak menjadi wali
adalah anak dari saudara laki-laki yang seayah, demikian seterusnya
sampai ke bawah.
Kalau wali yang diatas tidak ada, maka yang berhak menjadi wali
adalah paman (saudara ayah yang sekandung). Kemudian yang berhak
menjadi wali setelah urutan di atas adalah paman yang bersaudara dengan
ayah yang seayah. Urutan berikutnya kalau masih tidak ada walinya adalah
sepupu (anak laki-laki dari paman yang bersaudara dengan ayahnya
sekandung. Sedangkan urutan berikutnya, yang berhak menjadi wali
adalah saudara sepupu (anak laki-laki dari paman yang bersaudara dengan
ayah yang seayah). Dan begitulah seterusnya sampai ke bawah. 48
Apabila diuraikan secara rinci, wali nikah menurut ulama Syafi‟iyah
sebagai berikut:
a. Ayah kandung
b. Kakek (dari garis ayah) dan seterusnya ke atas dalam garis laki-laki;
c. Saudara laki-laki sekandung;
d. Saudara laki-laki seayah;
48 Muhammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, Yogyakarta:
Darussalam, 2004, hlm. 69
38
e. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung;
f. Anak laki-laki saudara laki-laki yang seayah;
g. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung;
h. Anak laki-laki dari anak laki-laki seayah;
i. Saudara laki-laki ayah kandung;
j. Saudara laki-laki ayah seayah (paman seayah);
k. Anak laki-laki paman sekandung;
l. Anak laki-laki paman seayah
m. Saudara laki-laki kakek sekandung;
n. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek sekandung;
o. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek seayah.49
Sedangkan menurut ulama Malikiyah urutan wali nikah adalah:
a. Ayah (al-Ab)
b. Al-Washi yaitu orang yang menerima wasiat dari ayah (al-Ab) untuk
menjadi wali nikah.
c. Anak laki-laki, meskipun itu hasil dari hubungan perzinaan.
d. Cucu laki-laki.
e. Saudara laki-laki yang sekandung.
f. Saudara laki-laki yang seayah;
g. Anak laki-laki dari saudara yang sekandung;
h. Anak laki-laki dari saudara yang seayah;
i. Kakek yang seayah;
49 Muhammad Syarbini, Al-Iqna’ fī hilli al Alfād Abī Sujā’, Bandung: Daar al-Ikhya‟ al-
Kutubiyyah al-Alamiyyah, t.th., Juz II, hlm.246.
39
j. Paman yang sekandung dengan ayah;
k. Anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah;
l. Anak laki-laki dari paman yang seayah dengan ayah;
m. Ayah dari kakek.50
Adapun urutan wali dalam mazhab Hanabilah sebagai berikut;
a. Bapak (al-Ab)
b. Washi dari bapak setelah meninggalnya
c. Hakim ketika dalam keadaan tertentu
Ketiga wali inilah yang dijadikan sebagai wali mujbir, menurut
Imam Hambali. Sedangkan wali aqrāb dari nasab menurut Imam Hambali
adalah sebagaimana dalam hal waris antara lain:
a. Bapak
b. Kakek (ayah bapak) sampai derajat ke atas
c. Anak laki-laki
d. Cucu laki-laki dari anak laiki-laki sampai derajat ke bawah
e. Paman (saudara laki-laki bapak sekandung)
f. Paman (saudara laki-laki dari ayah yang seayah)
g. Saudara sepupu (anak laki-laki saudara laki-laki ayah sekandung)
h. Saudara sepupu (anak laki-laki saudara laki-laki yang seayah)ke bawah
i. Paman-pamannya kakek
j. Anak-anak pamannya kakek
50 Abu Bakar bin Hasan al-Kusnawi, Ashal al-Madārik, Jilid 1, Beirut: Daar al-Fikr, 1996,
hlm. 366.
40
Ulama Hanafiyah berpandangan bahwa status wali hanyalah syarat
perkawinan, bukan rukun perkawinan. Oleh karena itu mereka meringkas
rukun nikah hanya terdiri atas ijāb dan qabūl .Rasionalitas tentang wali
didasarkan bahwa akad nikah sama dengan akad jual beli. Status wali
hanya berlaku pada orang yang masih kecil (belum dewasa), baik laki-laki
maupun perempuan, dan orang gila perempuan atau laki-laki meskipun
dewasa.51
Meskipun status wali menurut ulama Hanafiyah seperti itu,
tetapi ulama Hanafiyah memliki urutan perwalian sebagai berikut:
a. Anak laki-laki, cucu laki-laki seterusnya sampai ke bawah
b. Ayah, kakek (ayah dari ayah) dan seterusnya sampai ke atas
c. Saudara laki-laki yang sekandung
d. Saudara laki-laki yang seayah
e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sekandung;
f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah;
g. Paman yang bersaudara dengan ayah yang sekandung;
h. Paman yang bersaudara dengan ayah yang seayah;
i. Saudara sepupu atau anak laki-laki dari paman yang bersaudara dengan
ayah yang sekandung
j. Saudara sepupu atau anak laki-laki dari paman yang bersaudara dengan
ayah yang seayah, dan seterusnya sampai ke bawah.
Jumhur ulama mempersyaratkan urutan orang yang berhak menjadi
wali dalam arti selama masih ada wali nasab, wali hakim tidak dapat
51 Dedi Supriyadi, op. cit., hlm. 33.
41
menjadi wali dan selama wali nasab yang lebih dekat masih ada wali yang
lebih jauh tidak dapat menjadi wali.
Pada dasarnya yang menjadi wali itu adalah wali nasab yang qarīb.
Bila wali qarīb tersebut tidak memenuhi syarat balīgh, berakal, Islam,
merdeka, berpikiran baik dan adil, maka perwalian berpindah kepada wali
ab’ad menurut urutan tersebut diatas. Bila wali qarīb sedang dalam ihram
haji atau umrah, maka kewalian tidak pindah kepada wali ab’ad, tetapi
pindah kepada wali hakim secara kewalian umum.
Demikian pula hakim menjadi wali nikah bila keseluruhan wali
nasab tidak ada, atau wali qarīb dalam keadaan „adhal atau enggan
mengawinkan tanpa alasan yang dapat dibenarkan. Begitu pula akad
perkawinan dilakukan oleh wali hakim bila wali qarīb sedang berada di
tempat lain yang jaraknya mencapai dua marhalah (sekitar 60 km).
Demikian adalah menurut pendapat jumhur ulama.52
F. Pengertian Gadis Dewasa
Menurut Fiqih, seseorang dapat dikatakan dewasa apabila ia telah
baligh. Para ulama sepakat bahwa haidh dan hamil merupakan bukti ke-
baligh-an seorang wanita. Hamil terjadi karena terjadinya pembuahan
ovum oleh sperma, sedangkan haidh kedudukannya sama dengan
mengeluarkan sperma bagi laki-laki. 53
52 Amir Syarifuddin, op. cit., hlm. 78. 53 Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit, hlm. 317.
42
Imamiyah, Maliki, Syafi‟i dan Hambali mengatakan bahwa
tumbuhnya bulu-bulu ketiak merupakan bukti balighnya seseorang.
Sedangkan Hanafiyah menolaknya, sebab bulu-bulu ketiak itu tidak ada
bedanya dengan bulu-bulu lain yang ada pada tubuh.
Jika dilihat dari aspek usia, Syafi‟i dan Hambali menyatakan usia
baligh untuk anak laki-laki dan perempuan adalah lima belas tahun,
sedangkan Maliki menetapkan tujuh belas tahun. Sementara itu Hanafi
menetapkan usia baligh bagi anak laki-laki adalah minimal dua belas
tahun dan maksimal delapan belas tahun, sedangkan anak perempuan
minimal sembilan tahun dan maksimal tujuh belas tahun. Adapun menurut
Imamiyah usia baligh bagi laki-laki adalah lima belas tahun, sedangkan
bagi perempuan adalah sembilan tahun. Sementara itu, pengalaman
membuktikan bahwa kehamilan dapat terjadi pada anak gadis usia
sembilan tahun. 54
Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan
tahun 1974, seseorang dapat dikatakan dewasa apabila telah mencapai usia
sembilan belas tahun bagi laki-laki dan enam belas tahun bagi
perempuan.55
Sedangkan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
seseorang belum dapat dikatakan dewasa apabila belum mencapai umur
dua puluh satu tahun atau belum pernah menikah. Sedangkan batas
54 Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit, hlm. 318.
55 Kompilasi Hukum Islam Pasal 15 ayat 1 dan Undang-undang Perkawinan tahun 1974
Pasal 7, Trinity Optima Media, Cet.ke-I, 2007.
43
minimal usia minimal untuk menikah adalah delapan belas tahun bagi laki-
laki dan lima belas tahun bagi perempuan. 56
Terkadang kita temukan seseorang yang sudah mencapai umur
dewasa bahkan sudah tua tetapi masih mempunyai sifat kekanak-kanakan
dalam perilaku maupun cara berfikirnya. Begitu juga sebaliknya,
terkadang seseorang yang masih belia tetapi cara berfikirnya seperti halnya
orang dewasa.
Hal ini menandakan bahwa ukuran seseorang dapat dikatakan
dewasa adalah relatif. Oleh karena itu, yang dimaksud gadis dewasa dalam
pembahasan skripsi ini adalah anak perempuan yang sudah baligh, masih
perawan, belum pernah melangsungkan pernikahan, sehat akalnya dan
juga dewasa dari sisi psikologis sehingga ia dipandang dapat menentukan
masa depannya sendiri. Jadi seseorang dapat dikatakan dewasa tidak hanya
dilihat dari usia atau fisiknya saja, tetapi juga dewasa cara berfikirnya.
56 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Visimedia, Cet. ke-I, 2008.
44
BAB III
PENDAPAT AL-IMAM AL-SYIRAZI TENTANG
HUKUM WALI NIKAH MEMINTA IZIN KEPADA GADIS DEWASA
A. Biografi Al-Imam Al-Syirazi
1. Riwayat Hidup Al-Imam Al-Syirazi
Ibrahim bin „Ali bin Yusuf bin Abdullah, yang dikenal dengan Abu
Ishaq, adalah pemikir fiqh Syafi‟i, sejarawan dan sastrawan. Ia dilahirkan
pada tahun 393 H di desa Firz Abaz, sebuah kota dekat Syiraz, Persia.
Ketika dewasa ia pindah ke Syiraz.
Di Syiraz ia belajar fiqh pada Abu Abdillah al-Baidawi dan Ibnu
Ramin. Kemudian ke Bashrah untuk belajar fiqh pada Al-Jazari. Tahun
415 H pindah ke Baghdad dan berguru ilmu ushul fiqh pada Abu Hatim
al-Qazwaini dan al-Zajjaj. Selanjutnya ilmu hadis diterimanya dari Aba
Bakar al-Barqani, Abi „Ali bin Syazan dan Aba Tayyib al-Tabari, bahkan
menjadi asistennya.21
Sementara murid-muridnya antara lain adalah:
a. Abu Abdullah bin Muhammad bin Abu Nasr al-Humaidi
b. Abu Bakar bin al-Hadinah
c. Abu al-Hasan bin Abd al-Salam
d. Abu al-Qasim al-Samarqandi
21 Abdullah Mustofa Al-Maraghi, Fath Al-Mubīn fi Tabaqāt al-Ushūliyyīn: Pakar-pakar
Fiqh Sepanjang Sejarah, Terj. Hussein Muhammad, Yogyakarta: LKPSM, 2001, Cet. Ke-I, hlm.
159.
45
Dalam sebuah riwayat ia mengatakan: “ ketika saya berjalan-jalan
ke Khurasan, saya tidak menjumpai hakim, mufti atau khatib, selain
murid-murid atau teman-teman saya”.
Abu Ishaq adalah seorang yang bersahaja bahkan sangat fakir
sampai untuk melaksanakan hajipun ia tidak mampu. Makanannya juga
sangat sederhana. Nama Abu Ishaq popular dimana-mana sebagai
cendekiawan yang tangguh, bahasanya bagus, ahli berdebat, berdiskusi
dan pembela mazhab Syafi‟i. Ia pernah menjadi dosen pada Universitas
Nizhamiyah di Baghdad, sebuah Perguruan Tinggi Islam yang didirikan
oleh seorang wazir (Menteri ) kerajaan Saljuq.22
Ia menempati kedudukan tersendiri di hati Khalifah Al-Muqtadi bi
Amrillah, sampai-sampai ketika ia meninggal, Madrasah Nizhamiyah,
sebuah perguruan tinggi yang dibangunnya dimana al-Syirazi juga
mengajar, harus ditutup, sebagai penghormatan dan rasa duka cita yang
mendalam atas kematiannya.
Abu Ishaq al-Syirazi merupakan salah satu mujtahid muqayyad
dari kalangan Syafi‟iyah. Mujtahid muqayyad adalah Seseorang yang
berijtihad dalam masalah-masalah yang tidak ada nashnya dalam kitab-
kitab madzhab. Selain Abu Ishaq al-Syirazi, mujtahid muqayyad lainnya
dari kalangan Syafi‟iyah adalah Al-Mawardi, Muhammad bin Jarir, Abi
Nashr, dan Ibnu Khuzaimah.
22
Sirajuddin Abbas, Thabaqāt Al-Syāfi‟iyyah, Ulama Syafi‟i dan Kitab-kitabnya dari Abad
ke Abad, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, hlm. 128.
46
Dari kalangan Hanafiyah antara lain Al-Hashafi, Al-Thahawi, Al-
Karkhi, Al-Halwani, Al-Sarkhasi, Al-Bazdawi dan Qadli Khan.
Sedangkan dari kalangan Mazhab Al-Malikiyah misalnya: Al-Abhari,
Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani. Al-Qadli Abu Ya‟la. Adapun Al-Qadli Abi
Ali bin Abi Musa merupakan mujtahid fatwa dari kalangan MadzhabAl-
Hanabilah.
Mereka semua disebut para imam Al-Wujūh, karena mereka dapat
menyimpulkan suatu hukum yang tidak ada nashnya dalam kitab
madzhab mereka. Hal ini dinamakan wajhān dalam madzhab ( satu segi
dalam madzhab) atau satu pendapat dalam madzhab. Mereka berpegang
kepada madzhab bukan kepada Imamnya (gurunya), hal ini tersebar
dalam dua madzhab yaitu, Al-Syafi‟iyah dan Al-Hanabilah.
2. Karya-karya Al-Imam Al-Syirazi
Ia menulis sejumlah buku yang banyak dipakai dan menjadi
referensi utama generasi pengikut mazhab Syafi‟i sesudahnya. Antara
lain: Al-Tanbīh dan Al-Muhazzab. Kedua kitab tersebut merupakan kitab
fiqh yang sangat popular dalam mazhab Syafi‟i.
Kitab Al-Tanbīh adalah kitab yang sangat istimewa karena banyak
para ulama yang men syarah yaitu memperjelas, menguraikan isinya
dengan panjang lebar, dan memberikan komentar terhadap kitab tersebut.
Diantara syarah bagi kitab Al-Tanbīh ada sebanyak 37 kitab yakni:23
23 Ibid, hlm. 129.
47
1. Taujīhut Tanbīh, karangan Abul Hasan Muhammad bin Mubarak
yang terkenal dengan nama Ibnul Khilli. ( Wafat : 552 ).
2. Al-Ikmāl Limā Waqa‟a fi al-Tanbīh min al-Isykāl, karangan
Syamsuddin Muhammad bin Abdirrahman al-Hadlrami. ( wafat:
613H).
3. Syarah Tanbīh, karangan Abdul Fadhal Ahmad bin Kamaluddin al-
Irbili. (Wafat: 662 H).
4. Syarah Tanbīh, karangan Abul „Abbas, Ahmad bin Imam Musa bin
Yunus al-Maushili. (Wafat: 662 H).
5. Raf‟ut Tamwīh‟ an Musykilatit Tanbīh, karangan Al-Dizmari.( Wafat:
643 H ).
6. Syarah Tanbīh, karangan Syafarudin Abdullah bin Muhammad al
Fihri al-Tilmisani. (Wafat: 644 H).
7. Syarah Tanbīh, karangan Abu Muhammad al-Mundziri.
(Wafat:565H)
8. Syarah Tanbīh, karangan Abdul „Abbas as-Sibti, Ahmad bin Yahya
al-Hadlrami. (Wafat: 675 H ).
9. Tuhfatut Thālib, karangan Imam Nawawi. (Wafat: 676 H ).
10. Syarah Tanbīh, karangan Al-Disyani. (Wafat: 677 H ).
11. Syarah Tanbīh, karangan Ibnu Nafis. (Wafat: 687 H ).
12. Syarah Tanbīh, karangan Ibnu al-Qaliyubi. (Wafat: 689 H).
13. Syarah Tanbīh, karangan Abul „Abbas, Ahmad bin Abdillah al-
Thabari. (Wafat: 694 H ).
48
14. Syarah Tanbīh, karangan Ibnu Sibti, (Wafat: 710 H ).
15. Syarah Tanbīh, karangan Syihabuddin al-Yamani. (Wafat: 731 H ).
16. Syarah Tanbīh, karangan Najmuddin al-Balisi. (Wafat: 729 H ).
17. Syarah Tanbīh, karangan Burhanuddin bin Ibrahim Ibnu al-Farkah.
(Wafat: 729 H ).
18. Tuhfatun Nabih fi Syarhi al- Tanbīh, karangan syeikh Majdudin al-
Sankalumi. (Wafat: 740 H ).
19. Al-Wadlihun Nabih fi Syarhi al-Tanbīh, karangan al-Manawi. (Wafat:
746 H ).
20. Syarah Tanbīh, karangan „Alaudin bin „Ali bin Abdul Kafi Al-Subki.
(Wafat: 747 H ).
21. Syarah Tanbīh, karangan „Alaudin al-Subki. (Wafat: 747 H ).
22. Syarah Tanbīh, karangan Abul „Abbas al-Nasa‟i. (Wafat: 757 H ).
23. Syarah Tanbīh, karangan Qadhi Jama‟ah. (Wafat: 760 H ).
24. Syarah Tanbīh, karangan Ibnu-al-Naqib al-Mishri. (Wafat: 758 H ).
25. Tashhih at-Tanbīh, karangan al-Asnawi. (Wafat: 772 H ).
26. Nashul Faqih fi Syarhi al-Tanbīh, karangan al-Mardini. (Wafat: 788
H).
27. Tafqiyah fi Syarhi al- Tanbīh, karangan Qadli Jamaluddin al-Yamani.
(24 Jilid). Wafat: 792 H.
28. Syarah Tanbīh, karangan Zarkasyi. (Wafat: 794 H ).
29. Irsyādun Nabih ilā Syarhi al- Tanbīh, karangan Ibnu al-Mulqin.
(Wafat: 804 H ).
49
30. Umniyatun Nabih Syarah al- Tanbīh, karangan Ibnu al-Mulqin.
31. „Ajalut Tanbīh, karangan Ibnu al-Mulqin.
32. Ghāyatul Faqīh fi Syarhi al-Tanbīh, karangan Ibnu al-Mulqin.
33. Hadin Nabih fi Syarhi al-Tanbīh, karangan Ibnu al-Mulqin. “
Sepanjang sejarah, Ibnu al-Mulqin mengarang lima buah kitab syarah
atas kitab al-Tanbih ”, demikian diterangkan dalam Kashfu al-
Zhunun.
34. Syarah Tanbīh, karangan Ibnu Hasyani. (Wafat: 828 H ).
35. Syarah Tanbīh, karangan Ibnu Shabah. (Wafat: 851 H ).
36. Majmū‟ul „Usyā Syarah al-Tanbīh karangan Khaidlari.(Wafat:894 H )
37. Syarah Tanbīh, karangan Khatib Syarbani. (Wafat: 977 H ).
Sedangkan kitab al-Muhazzab dikarang pada tahun 455 H dan
selesai pada bulan Jumadil Akhir tahun 469 H. jadi, selama 14 tahun
lamanya Abu Ishaq al-syirazi menyelesaikan kitab al-Muhazzab.
Diantara ulama yang mensyarah al-Muhazzab sebagai berikut:24
1. Abu Ishaq al-Iraqi. (Wafat: 596 H).
2. Al-Ashbahani. (Wafat: 600 H ). Dengan nama kitabnya Syarah al-
Muhazzab.
3. Ibnui Baththal Muhammad bin Ahmad al-Yamani. (Wafat: 630 H ).
Dengan nama kitabnya: al-Musta‟dzab fi Syarhi Garībi al-Muhazzab.
4. Imam Nawawi, Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-
Nawawi. (Wafat: 676 H ). Dengan nama kitabnya: al-Majmū‟ fi
24 Sirajuddin Abbas, Ibid, hlm. 132.
50
Syarhi al-Muhazzab, yang terdiri dari 12 Jilid: kairo. (Disyarahnya
sampai bab riba saja. Kemungkinan beliau wafat sampai disini).
5. Syeikh jamaluddin Al-Suyuthi. ( Wafat: 911 H ). Dengan nama
kitabnya al-Kāfī fī-Zawidil Muhazzab.
Kitab-kitab lain karangan Abu Ishaq al-Syirazi sebagai berikut:
1. Al-Luma‟ ( Ushul Fiqh ).
2. At-Tabsīrah ( Ushul Fiqh ).
3. Tabaqāt Fuqahā‟ (Nama-nama ahli Fiqih).
4. Al-Aqīdah ( Ilmu Kalam )
5. Al-Madzhab fil Madzhab.
6. Al-Ma‟ūnah fil Jidāl.
7. Al-Mulkhish fil Jidāl.
8. An-Nukāt fi „ilmil Jidāl.
9. Tadzkīrah al-Mas‟ulīn ( Perbedaan pendapat mazhab Syafi‟i-Hanafi).
Buku terakhir ini ditulis setelah ia mendengar ucapan Ibnu Al-
Sabbagh “ Kalau saja tidak ada perbedaan pendapat antara Abu Hanifah
dan Al-Syafi‟i, niscaya Abu Ishaq tidak punya apa-apa. Ini merupakan
sindiran akan keterbatasan pengetahuan Abu Ishaq. Ia dianggap hanya
tahu tentang perbedaan antara Abu Hanifah dan Al-Syafi‟i. 25
Ia meninggal di rumah Abu al-Muzaffar bin Rais al Ruasa, malam
ahad jumada al-Akhir 476 H. Jenazahnya dishalati oleh Khalifah al-
Muqtadi bin Amrillah, setelah lebih dulu dimandikan oleh Abu al-Wafa
25 Abdullah Mustofa Al-Maraghi, op.cit, hlm. 159.
51
bin „Aqil al-Hambali kemudian dikubur di pemakaman Bab al-Harbi
Baghdad.
B. Pendapat Al-Imam Al-Syirazi Tentang Hukum Wali Nikah Meminta
Izin Kepada Gadis Dewasa
Dalam pandangan ulama Syafi‟iyah, sebagai wali nikah, seorang
bapak atau kakek mempunyai keistimewaan tersendiri dibandingkan wali
yang lain. Ulama Syafi‟iyah menempatkan bapak dan kakek sebagai wali
mujbīr. Maksud wali mujbir adalah seorang wali berhak menikahkan
perempuan yang diwakilkan tanpa menanyakan pendapat mereka terlebih
dahulu, dan berlaku juga bagi orang-orang yang diwakilkan tanpa melihat
ridha atau tidaknya pihak yang berada dibawah perwaliannya.26
Dalam kitab Al-Muhazzab, al-Imam al-Syairazi menyatakan:
Artinya: “ Seorang ayah atau kakek boleh menikahkan gadisnya tanpa
ridhanya baik gadis itu masih kecil atau dewasa ”.
Hal ini menunjukkan bahwa ayah atau kakek berhak menikahkan
anak / cucu gadisnya baik masih kecil atau dewasa meskipun tanpa
persetujuannya. Tetapi selanjutnya dalam kitab Al-Muhazzab ia juga
berpendapat:
26 Tihami, Fiqih Munakahah: Kajian Fiqih Lengkap, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2009, hlm. 101.
27 Al-Imam Al-Syirazi, Al-Muhazzab, op.cit., hlm. 429.
52
Artinya: ” Apabila gadis itu baligh maka disunnahkan untuk meminta
izinnya, dan tidak boleh selain ayah atau kakek menikahkan gadis
tersebut kecuali ia telah baligh dan mengizinkan ” .
Pernyataan al-Imam al-Syirazi tersebut diatas menjelaskan bahwa ia
mensunnahkan untuk meminta izinnya terlebih dahulu, apabila gadis tersebut
telah baligh. Sedangkan selain ayah dan kakek maka tidak boleh
menikahkannya kecuali ia telah baligh dan atas persetujuannya.
Dalam kitab al-Tanbīh al-Imam al-Syirazi mengatakan:
Artinya: “ Apabila wanita itu merdeka dan mengaku sekufu, maka wajib bagi
wali untuk menikahkannya, apabila wanita itu masih gadis maka
boleh bagi ayah atau kakek menikahkannya dengan tanpa
persetujuannya. Dan disunnahkan meminta persetujuan gadis
tersebut apabila ia telah baligh, dan izinnya adalah diam. Apabila
wanita itu janda, baligh, berakal maka seseorang tidak boleh
menikahkannya kecuali atas persetujuannya, dan izinnya adalah
dengan ucapan. Apabila wanita itu gila, masih kecil, maka bagi
ayah atau kakek boleh menikahkannya, dan apabila telah dewasa,
ayah, kakek, dan hakim juga boleh menikahkannya”.
28
Al-Imam al-Syirazi, loc.cit. 29 Al-Imam Al-Syirazi, Al-Tanbih, op. cit., hlm. 222..
53
Dalam Al-Muhazzab al-Imam al-Syirazi juga menjelaskan bahwa "
bagi janda yang telah dewasa, berakal, maka walinya tidak boleh
menikahkannya tanpa seizinnya dan izin tersebut haruslah diucapkan.
Sedangkan janda yang masih kecil, maka bagi wali selain ayah dan kakek
harus menunggu sampai ia dewasa apabila ingin menikahkannya. Adapun
ayah dan kakek diperbolehkan menikahkan janda yang masih kecil ".30
Apabila wanita itu gila, maka ayah atau kakek boleh menikahkannya
baik masih kecil ataupun sudah dewasa. Bagi asobah selain ayah dan kakek,
tidak boleh menikahkannya karena tidak memliki hak ijbār.
Sedangkan hakim juga tidak boleh mengawinkannya apabila wanita
gila itu masih kecil, karena tidak adanya kebutuhan untuk menikah. Tetapi
apabila ia telah dewasa, maka hakim diperbolehkan untuk menikahkannya
dengan alasan diyakini bahwa terkadang dibalik pernikahannya ia dapat
sembuh dari penyakit gilanya.31
Apabila wanita itu telah hilang keperawanannya disebabkan selain
persetubuhan, maka dalam hal ini ada dua pendapat: yang pertama, wanita itu
disamakan sebagaimana orang yang telah melakukan persetubuhan. Yang
kedua, wanita tersebut pernikahannya dikiaskan sebagaimana menikahkan
gadis. sesungguhnya bagi janda, pertimbangan atas izinnya adalah hilangnya
malu sebab persetubuhan sedangkan rasa malu tidak dapat dihilangkan
kecuali dengan persetubuhan.
30 Al-Imam al-Syirazi, Al-Muhazzab, op. cit, hlm. 430. 31
Al-Imam al-Syirazi, op. cit. hlm. 431.
54
C. Istinbat Al-Imam Al-Syirazi Tentang Bolehnya Wali Menikahkan Gadis
Dewasa Tanpa Izin
Dasar hukum al-Imam al-Syirazi tentang bolehnya wali menikahkan
gadis dewasa tanpa izinnya adalah hadis Nabi SAW yang berbunyi:
Artinya: " Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Mansur,
kemudian berkata: telah menceritakan kepada kami Sufyan dari
Ziyad bin Sa'id, dari Abdillah bin Fadhol dari Nafi' bin Jubair dari
ibnu Abbas bahwa sesungguhnya Nabi S.A.W telah bersabda: “
janda itu lebih berhak atas dirinya sendiri dari pada walinya,
sedangkan gadis ayahnya meminta pendapat tentang dirinya ”.
Al- Imam al-Syirazi berpendapat bahwa " hadis ini menunjukkan
seorang wali (ayah atau kakek) lebih berhak atas anak gadisnya". Oleh karena
itu boleh-boleh saja apabila ayah atau kakek hendak menikahkan anak
gadisnya tanpa ridha/ persetujuannya.
Meskipun demikian, ia mensunnahkan untuk meminta persetujuan
anak gadisnya terlebih dahulu apabila gadis tersebut telah baligh. Hal ini
didasarkan atas hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas yang
berbunyi:
32 Al-Nasa'i , op.cit, hlm. 85., Abu Daud, op.cit, hlm. 233.
55
33
Artinya: “ Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id, Telah
menceritakan kepada kami Malik bin Anas dari Abdillah bin
Fadhol dari Nafi' bin Jubair bin Mu'thim dari ibnu Abbas bahwa
sesungguhnya Rasulullah S.A.W telah bersabda: Janda-janda itu
lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedang gadis itu
dimintai pendapat tentang dirinya, dan persetujuannya adalah
diamnya ”.
Menurut al-Imam al-Syirazi seorang gadis itu cenderung malu untuk
menyatakan izinnya dengan sebuah ucapan kepada ayah atau kakek selaku
walinya. Oleh karena itu dianggaplah diamnya sang gadis merupakan izin/
persetujuan darinya.
Sedangkan janda yang telah hilang keperawanannya sebab hubungan
sexual, baligh, dan berakal maka tidak seorangpun dapat menikahkannya
kecuali atas izin-persetujuan darinya. Sedangkan izinnya adalah dengan
ucapan. Hal ini didasarkan atas hadis:
Artinya: “ Diriwayatkan dari Khansa' ibn Khizam al-Anshariyah bahwa
ayahnya telah mengawinkannya, sedangkan dia sudah janda dan
tidak senang dengan perkawinan itu. Kemudian dia datang (
33 Al-Tirmidzi, op.cit. hlm. 416., Muslim al-Qusyayri, op.cit, hlm. 650., Abu Daud, op.cit.,
hlm. 232., Al-Nasa‟i, op.cit., hlm. 84.
34 Al-Imam Abi Abdillah Muhammad Bin Isma'il bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin
Barzabah Al-Bukhari Al-Ja'fi, Shahīh al-Bukhāri, Juz V, Beirut: Dar al-Kitab al-Alamiyah, hlm.
460.
56
mengadukan halnya) kepada Rasulullah SAW, maka Rasulullah
SAW membatalkan pernikahan itu ”.
Hadis tersebut menyatakan bahwa apabila kita menikahkan wanita
yang sudah tsayyib, tanpa izinnya, dan dia tidak suka, maka dia berhak
menolaknya. 35
35 Muhammad Hasbi Al-Siddieqy, Koleksi hadis-Hadis Hukum 8, Semarang: PT. Pustaka
Rizqi Putra, 2001, hlm. 48.
57
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PENDAPAT AL-IMAM AL-SYIRAZI TENTANG
HUKUM WALI NIKAH MEMINTA IZIN KEPADA GADIS DEWASA
A. Analisis Pendapat Al-Imam Al-Syirazi Tentang Hukum Wali Nikah
Meminta Izin Kepada Gadis Dewasa
Dalam bab ini penulis akan menganalisis pendapat al-Imam al-
Syirazi tentang hukum wali nikah meminta izin kepada gadis dewasa dengan
jalan membandingkan dengan pendapat ulama lain serta dalil-dalil yang
berkaitan dengan permasalahan tersebut.
Pernikahan dalam Islam merupakan sesuatu yang diagungkan, karena
bertujuan membentuk keluarga yang sakīnah, mawaddah dan rahmah.
Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur‟an surat Al-Rum ayat 21.
Artinya: " Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir ”. 21
Tujuan perkawinan memliki dua sisi, yaitu primer dan sekunder.
Tujuan primer (utama) dari sebuah perkawinan adalah hubungan seksual dan
21 Lajnah Pentashih Al-Qur‟an Departemen Agama RI, op.ci.t, hlm 644.
58
kemandirian. Sedangkan tujuan sekunder adalah hubungan kekerabatan atau
kekeluargaan. Tujuan primer adalah menjadi hak perempuan sendiri
sedangkan sekunder melibatkan hubungan antara perempuan itu dengan
keluarganya.22
Untuk mencapai tujuan tersebut, dalam pelaksanaan perkawinan
tentunya unsur kerelaan calon mempelai harus terpenuhi. Sebagaimana
tertuang dalam pasal 16 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi : “
perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai ”.
Dalam sebuah perkawinan, wali mempunyai peranan penting untuk
menentukan sah dan tidaknya suatu akad. Karena menurut jumhur ulama
pernikahan itu tidak sah apabila tanpa adanya wali, walaupun ulama
Hanafiyah menafsirkan lain. Menurut ulama Hanafiyah, wali bukan sebuah
keharusan, tetapi tidaklah dianggap sempurna apabila pernikahan itu
dilaksanakan tanpa adanya seorang wali.
Selama ini masih ada pandangan umum yang menyatakan bahwa
perempuan menurut fiqih Islam tidak berhak menentukan pilihan atas
pasangan hidupnya. Yang menentukan dalam hal ini adalah ayah atau
kakeknya. Terlebih dalam kalangan ulama Syafi‟iyah ayah dan kakek
tergolong dalam wali mujbir. Seorang ayah atau kakek mempunyai hak ijbār
(hak memaksa) untuk menikahkan putrinya tanpa persetujuannya.
Termasuk ulama Syafi‟iyah yang berpendapat demikian adalah al-
Imam al-Syirazi. Dalam kitabnya al-Muhazzab ia mengungkapkan:
22 Hussein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kyai Atas Wacana Agama dan Gender,
Yogyakarta: Lkis, Cet ke-I, 2001, hlm. 84.
59
Artinya: “ Seorang ayah atau kakek boleh menikahkan gadisnya tanpa
ridhanya baik gadis itu masih kecil atau dewasa ”.
Secara tekstual, pendapat al-Imam al-Syirazi mengidentifikasikan
bahwa ayah atau kakek boleh memaksa kepada anak atau cucunya yang masih
gadis baik kecil maupun dewasa untuk menikah dengan pilihannya walapun
tanpa sepengetahuan dan persetujuannya.
Selanjutnya dalam kitab al-Muhazzab, al-Imam al-Syirazi
menjelaskan lebih lanjut:
Artinya:” Apabila gadis itu baligh maka disunnahkan untuk meminta
izinnya, dan tidak boleh selain ayah atau kakek menikahkan
gadis tersebut kecuali ia telah baligh dan mengizinkan ”.
Dalam kitab al-Tanbīh, ia juga menjelaskan:
Artinya: “ Apabila wanita itu merdeka dan mengaku sekufu, maka wajib
bagi wali untuk menikahkannya, apabila wanita itu masih gadis
maka boleh bagi ayah atau kakek menikahkannya dengan tanpa
23 Al-Imam Al-Syirazi, Al-Muhazzab, op.cit., hlm. 429.
24 Ibid. 25 Al-Imam Al-Syirazi, Al-Tanbih, op. cit., hlm. 222..
60
persetujuannya. Dan disunnahkan meminta persetujuan gadis
tersebut apabila ia telah baligh, dan izinnya adalah diam.
Apabila wanita itu janda, baligh, berakal maka seseorang tidak
boleh menikahkannya kecuali atas persetujuannya, dan izinnya
adalah dengan ucapan. Apabila wanita itu gila, masih kecil,
maka bagi ayah atau kakek boleh menikahkannya, dan apabila
telah dewasa, ayah, kakek, dan hakim juga boleh
menikahkannya“ .
Pernyataan diatas menjelaskan bahwa walaupun seorang ayah atau
kakek boleh menikahkan tanpa persetujuan dari anak gadisnya, tetapi ia
menganjurkan untuk meminta izin / persetujuan terlebih dahulu apabila anak
gadis tersebut telah baligh / dewasa. Menurut beliau meminta izin kepada
calon mempelai tidaklah sebuah keharusan / kewajiban yang harus terpenuhi,
melainkan hanya sebuah anjuran apabila gadis tersebut telah dewasa. Oleh
karena itu sah-sah saja apabila ayah memaksa anak gadisnya menikah dengan
pilihannya tanpa persetujuan dari sang gadis.
Senada dengan pendapat al-Imam al-Syirazi, al-Imam al-Mawardi
mengatakan: “ gadis itu boleh dipaksa menikah oleh sebagian walinya (ayah /
kakek) baik itu masih kecil, dewasa, berakal atau gila.” 26
. Sedangkan al-Imam
al-Ramli menyatakan : “ boleh bagi ayah menikahkan gadis yang masih kecil
dan dewasa (baik berakal atau gila) tanpa izinnya dengan mahar mitsil tunai
(berlaku umum) di negaranya ”. 27
.
Dalam kitabnya Mughni al-Muhtāj, al-Syarbini juga mengatakan hal
serupa bahwa: “ seorang ayah boleh menikahkan anak gadisnya baik kecil
26 Abi Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, op.cit., hlm. 69.
27 Imam Syamsuddin al-Ramli, op.cit.,, hlm. 228-229.
61
maupun dewasa tanpa izinnya”. Tetapi ia menggantungkan kebolehan tersebut
dengan syarat-syarat sebagai berikut:28
1. Tidak ada permusuhan antara bapak dan anak.
2. Hendaklah dinikahkan dengan orang yang setara (sekufu).
3. Maharnya tidak kurang dari mahar mitsil (sebanding).
4. Tidak dinikahkan dengan orang yang tidak mampu membayar mahar.
5. Tidak dinikahkan dengan laki-laki yang mengecewakan (membahayakan)
si anak kelak dalam pergaulannya dengan laki-laki itu. Misalnya: orang itu
buta, atau orang yang sudah sangat tua sehingga tidak ada harapan akan
mendapatkan kebahagiaan dalam pergaulannya.
6. Tidak dalam keadaan menunaikan ibadah ihram / haji.
Pada dasarnya mayoritas ulama Syafi‟iyah berpendapat sama, yakni
membolehkan seorang ayah atau kakek menikahkan anak gadisnya yang sudah
dewasa tanpa izinnya, meskipun kebolehan tersebut digantungkan dengan
beberapa syarat.
Pendapat ulama Syafi‟iyah ini, berbeda dengan pendapat al-Imam al-
Syafi‟i yang menyatakan bahwa “ janda yang masih kecil tidak boleh
dinikahkan kecuali dengan izinnya, dan tidak boleh menikahkan perawan /
gadis kecuali dengan izinnya pula, tidak boleh menikahkan gadis kecil kecuali
ayah atau kakeknya setelah kematian ayahnya ”. 29
28 Syamsuddin Muhammad bin Muhammad al-Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtāj, Al-
Qahirah: Darul Hadis, 2006, hlm. 250.
29 Imam Al-Syafi‟i, op.cit. hlm. 265.
62
Menurut ulama Malikiyah, paksaan dapat diberlakukan pada gadis
dewasa dan janda kecil (belum dewasa). 30
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, seorang ayah yang bertindak
sebagai wali tidak diperkenankan menikahkan anak gadisnya yang sudah
dewasa tanpa sepengetahuan atau izinnnya. Dan juga tidak boleh
memaksanya, karena pemaksaan hanya berlaku bagi anak kecil, orang gila
laki-laki / perempuan walaupun dewasa. 31
Menurut al-Sayyid al-Sabiq, “ sekalipun ada pendapat tentang hak
wanita menjadi wali, wajib bagi wali untuk terlebih dahulu menanyakan
pendapat calon istri dan mengetahui keridhaannya sebelum diakadnikahkan.”
Hal ini karena perkawinan merupakan pergaulan abadi dan persekutuan suami
istri, kelanggengan, keserasian, kekalnya cinta dan persahabatan, yang tidak
akan terwujud apabila keridhaan pihak calon istri belum diketahuai
sebelumnya. Karena itu, Islam melarang kita menikahkan dengan paksa, baik
gadis maupun janda, dengan pria yang tidak disenanginya. Akad nikah tanpa
kerelaan wanita tidaklah sah. Ia berhak menuntut dibatalkannya perkawinan
yang dilakukan oleh walinya dengan paksa tersebut. 32
Hal senada juga disampaikan oleh Abu Zahrah yang menyatakan
bahwa ia lebih condong kepada pendapat ulama Hanafiyah yang mencegah
wilāyatul ijbāriyah setelah gadis itu baligh. 33
30 Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, op.cit., hlm. 404.
31 Imam Kamaludin Muhammad bin Abdul wahid Ibnu al-Hammam al-Hanafi, op.cit.,,
hlm. 251. 32 Sayid Sabiq, op.cit.,, hlm. 16. 33 Muhammad Abu Zahrah, Aqdu al-Zawāj Wa‟ Atsāruhu, Darul Fikr, hlm. 157.
63
Menurut Wahbah al-Zuhaily, “ adalah tidak sah perkawinan dua
orang calon mempelai tanpa kerelaan mereka berdua ”. Jika salah satunya
dipaksa secara ikrāh dengan suatu ancaman misalnya membunuh atau
memukul atau memenjarakan, maka akad perkawinan tersebut menjadi fāsid
(rusak) ” . 34
Dalam bukunya “ Menggugat Peran Wali Dalam Pernikahan: Studi
Kritis atas Hadis-hadis Wali Nikah ”, Muhibbin menjelaskan bahwa dalam
hadis tentang wali nikah disebutkan setiap perempuan yang menikah tanpa
izin walinya maka nikahnya batal dan apabila kemudian mereka berkumpul
atau bersetubuh, maka perempuan tersebut berhak atas maskawin atau mahar
sebagai akibat dari persetubuhan yang dianggap halal tersebut. 35
Sama
halnya ketika pernikahan itu terjadi dengan tanpa sepengetahuan atau
persetujuan dari gadis, maka nikahnya juga batal.
Akibat dari batalnya pernikahan, maka segala konsekwensi yang ada
kaitannya dengan pernikahan menjadi batal termasuk status suami istri dan
karena itu kalau mereka mengadakan hubungan sebadan, hukumnya sama
dengan zina. Tetapi dalam teks hadis dinyatakan bahwa walaupun pernikahan
tersebut batal, akan tetapi ketika mereka melakukan hubungan sebadan tetap
dianggap halal, dan seorang istri berhak atas mahar atas hubungan sebadan
tersebut. pernyataan ini menyesatkan, karena sepintas ada upaya untuk
melegalkan perzinaan dengan memberikan mas kawin. Pernyataan ini
34 Wahbah Al-Zuhaily, op.cit, hlm. 6567. 35 Muhibbin, Menggugat Peran Wali Dalam Pernikahan: Studi Kritis atas Hadis-hadis
Wali N Ikah, Penelitian Individual: IAIN Walisongo Semarang, 2005, hlm. 71.
64
sekaligus memberikan justifikasi tentang ketidakberdayaan perempuan. 36
Dengan kata lain, kalau pernikahan dinyatakan batal, maka sesunguhnya tidak
atau belum ada sebuah perkawinan.
Dari beberapa pendapat diatas, maka penulis kurang sepakat dengan
pendapat al-Imam al-Syirazi yang menyatakan bahwa “ seorang ayah atau
kakek boleh menikahkan gadisnya tanpa ridhanya baik gadis itu masih kecil
atau dewasa”, karena unsur kerelaan merupakan salah satu syarat bagi
keabsahan suatu akad.
Jika melihat sistem kekerabatan di Indonesia, masyarakat kita
menganut sistem kekerabatan masyarakat di kawasan Timur Tengah yaitu
patrilineal. Otoritas bapak (suami) menempati posisi yang dominan dan peran
penting dalam keluarga. Bapak atau suamilah yang bertanggung jawab
terhadap seluruh keutuhan, keselamatan, dan kelangsungan keluarga. Ibu atau
istri hanya ikut terlibat sebagai anggota keluarga dalam suatu rumah tangga.
Untuk itu, bapak dan kaum laki-laki pada umumnya mendapatkan beberapa
hak istimewa sebagai konsekuensi dari tanggung jawab mereka yang
sedemikian besar dibanding pihak istri atau perempuan secara umum. 37
Termasuk hak istimewa tersebut adalah ketika dalam pernikahan,
maka ayah berhak menentukan calon suami putrinya. Karena menurut budaya
bangsa Arab, martabat sosial diukur dari garis keturunan bapaknya. Jika putri
seorang tokoh kawin dengan laki-laki biasa yang sangat jarang terjadi di timur
tengah, maka status sosial anak-anaknya mengikuti bapaknya. Untuk
36 Ibid.
37 Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur‟an, Jakarta:
Paramadina, Cet. Ke-I, 1999, hlm. 128.
65
melestarikan status social berlaku konsep kesetaraan (kafa‟ah). Seorang laki-
laki dari golongan budak tidak bolah kawin dengan seorang perempuan
bangsawan, karena akan menurunkan derajat keturunan. Sebaliknya laki-laki
bangsawan bebas mengawini semua jenis perempuan lebih dari satu.38
Dalam masyarakat patriarki, silsilah keturunan ditentukan melalui
jalur ayah dan peran lebih besar diberikan kepada laki-laki, baik dalam urusan
rumah tangga maupun dalam urusan masyarakat luas. Sebaliknya perempuan
mendapatkan peran yang tidak menonjol didalam masyarakat. Konsep
patriarki menurut para feminis dianggap salah satu indikasi struktur sosial
yang paling menonjol diberbagai kelompok. Didalam masyarakat ini, jenis
kelamin laki-laki memperoleh keuntungan secara budaya, sedangkan
perempuan mengalami beberapa pembatasan dan tekanan. Dalam tradisi
masyarakat bangsa Arab, pembagian peran sudah terpola jelas. Laki-laki yang
berperan mencari nafkah dan melindungi keluarga, sementara perempuan
berperan dalam urusan reproduksi, seperti memelihara anak dan menyiapkan
makanan untuk seluruh anggota keluarga. 39
Dalam hal pernikahan, memilih jodoh atau pasangan bukan lagi hak
istimewa laki-laki, anak perempuan juga berhak memberikan pandangan dan
pendapat yang berbeda dari pilihan ayahnya. Perempuan berhak menentukan
nasibnya sendiri, kapan dan dengan siapa ia akan menikah. Sebab hal ini
38 Nasaruddin Umar, op. cit. hlm. 134.
39 Nasaruddin Umar, op. cit. hlm. 128-129.
66
sangat terkait dengan kesiapan lahir dan batin, dan yang lebih mengetahui hal
itu adalah dirinya sendiri. 40
Jika dilihat dari sudut pandang perempuan dalam predikatnya sebagai
seorang anak, dalam hal ini sangatlah dilematis, disatu sisi ia harus berbakti
kepada kedua orang tua dengan menuruti kemauan orang tua, disatu sisi ketika
ia dinikahkan dengan seseorang yang tidak ia cintai maka ia tidak akan
mendapatkan kebahagiaan.
Seorang anak diwajibkan untuk menghormati dan berbakti kepada
orang tua. Dalam al-Qur‟an surat Al-Isra' ayat 23 dijelaskan:
Artinya: “ Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada
kedua orang tuamu dengan sebaik-baiknya Jika salah seorang di
antara keduanya atau kedua-duanya berumur lanjut dalam
pemeliharamu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya „‟ah” dan janganlah kamu membentak mereka
dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia ”. (QS.
Al-Isra: 23).41
Bagi orang tua anak adalah bagian dari harapan terbesar untuk
meneruskan tugas kekhalifahan di muka bumi. Demi regenerasi itu, para orang
tua senantiasa menginginkan seluruh keturunannya menjadi putra - putri yang
shalih dan shalihah, serta memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Lebih
dari itu, setiap manusia menginginkan seluruh keturunannya menjadi
40 Sri Suhanjati Sukri, Bias Jender dalam Pemahaman Islam, Yogyakarta: Gama Media,
2002 Cet. ke-I, hlm. 25-26. 41 Lajnah Pentashih Al-Qur‟an Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 427.
67
perhiasan, penyejuk mata (qurrota a‟yun) bagi mereka. Allah swt berfirman
dalam surat Al-Furqan ayat 74:
Artinya: " Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan, anugerahkanlah
kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang-
orang yang bertakwa ”. 42
Namun demikian, anak tetap bukanlah hak milik bagi orang tua. Ia
adalah titipan Allah swt semata. Orang tua berkewajiban mengasuh,
membesarkan, mendidik, dan menikahkan putra-putri mereka apabila telah
waktunya tiba. Walaupun demikian, kewajiban tersebut tidak menjadikan
orang tua berhak sepenuhnya untuk menentukan calon pasangan bagi anak-
anaknya terutama anak perempuannya.
Jika ditinjau dari maqāsidus syarī'ah-nya, boleh ditegaskan bahwa
dalam hal menikahkan anak yang sudah dewasa merupakan maslahah, karena
kepedulian dan kasih sayang orang tua terhadap anak. Mengingat nikah sendiri
sunnah hukumnya, tetapi untuk menghindari mafsadah yang timbul yaitu
terjadinya perceraian akibat tidak adanya kasih sayang calon mempelai karena
tidak adanya izin serta persetujuan dari sang gadis maka menghindari
mafsadah lebih didahulukan dari pada menarik maslahah. Hal ini sesuai
dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
42 Lajnah Pentashih Al-Qur‟an Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 569.
68
43
Artinya: " Menolak kerusakan diutamakan ketimbang mengambil
kemaslahatan ".
Jadi antara orang tua dan anak hendaklah saling mengerti dan
memahami hak dan kewajiban masing-masing. Dalam hal memilih jodoh
maka antara anak dan orang tua agar menyatukan pandangan, manakah yang
terbaik bagi keduanya, karena tujuan perkawinan tidak hanya sekedar
menjalin hubungan dua pihak secara individual antara suami istri namun lebih
jauh mempererat tali hubungan antara keluarga pihak suami dan pihak istri.
B. Analisis Istinbat Hukum Al-Imam Al-Syirazi Tentang Bolehnya Wali
Menikahkan Gadis Dewasa Tanpa Izin
Hukum Islam sebagai ajaran wahyu dipetakan menjadi dua kelompok.
Pertama ajaran Islam yang bersifat absolut, universal, permanen tidak berubah
dan tidak dapat dirubah. Termasuk dalam kelompok ini adalah ajaran Islam
yang tercantum dalam Al-qur‟an dan hadis mutawatir, yang penunjukannya
telah jelas (qath‟i al-dalālah). Kedua, ajaran Islam yang bersifat relatif, lokal
dan temporal yang senantiasa mengadaptasi perkembangan dan perubahan
zaman (zhanny al-dalālah). Termasuk dalam kelompok kedua ini adalah
ajaran islam yang dihasilkan melalui proses ijtihad. 44
43 Abdul Hamid Hakim, Mabādi‟u al-Awwaliyyah: Fī Ushūli al-Fiqhi Wa al-Qawāidi Al-
Fiqhiyyah, Jakarta: Sa'adiyah Putera, hlm. 34.
44 Fatkhurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997, hlm.
43.
69
Adalah tugas ulama kontemporer sebagaimana dikemukakan oleh
Yusuf al-Qardhawi, memperbarui dan mereformulasi produk ijtihad tersebut
dengan mengadaptasi perubahan dan perkembangan mutakhir di kalangan
masyarakat. 45
Kompleksitas permasalahan umat yang selalu berkembang seiring
dengan berkembangnya zaman membuat hukum Islam harus menampakkan
sifat elastitas dan fleksibilitasnya guna memberikan yang terbaik serta dapat
memberikan kemaslahatan bagi umat manusia. Fleksibilitas yang dimilki
hukum Islam menyebabkan hukum Islam mampu mengikuti dan menghadapi
era globalisasi karena ia telah mengalami pengembangan pemikiran melalui
hasil ijtihad. 46
Permasalahan wali nikah memang telah menjadi problem klasik dan
menjadi perbincangan diantara ulama fiqih dari dahulu sampai sekarang.
Perbedaan pendapat ini terjadi karena tidak ada nash al-Qur‟an yang
menjelaskan secara pasti mengenai keharusan wali dalam perkawinan. Tetapi
pada prinsipnya ulama jumhur menganggap bahwa nash Al-Quran
menunjukkan khitab kepada wali nikah. Diantara ayat-ayat yang
mengisyaratkan keharusan adanya wali nikah adalah surat Al-Baqarah ayat
232, ayat 221 dan surat Al-Nur ayat 32. Dan juga hadis Nabi SAW yang
dipahami sebagai larangan terhadap pernikahan tanpa adanya wali.
Islam sangat menjunjung tinggi nilai kebebasan dan hak asasi
manusia, oleh karena itu islam tidak menganjurkan pemaksaan. Tetapi dalam
45 Yusuf al-Qardhawi, Syari‟at Islam Ditantang Zaman, alih bahasa Abu Zaky, Surabaya:
Pustaka Progresif, 1990, hlm. 115.
46 Amir Syarifudin, op.cit., hlm. 4.
70
kaitannya terhadap wali nikah, memang agama membenarkan terhadap adanya
wali mujbir. Ulama sepakat terhadap wali mujbir didalam pernikahan, tetapi
bagi orang-orang tertentu, yakni anak kecil, dan orang safīh (baik kecil
maupun dewasa). Sedangkan terhadap gadis dewasa maka ulama berbeda
pendapat. Apakah meminta izin terhadap gadis dewasa tersebut merupakan
sebuah keharusan atau tidak.
Al-Imam al-Syirazi dalam berijtihad mengenai bolehnya ayah atau
kakek menikahkan gadis dewasa tanpa izinnya berhujjah dengan hadis Nabi
SAW yang berbunyi:
Artinya: " Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Mansur,
kemudian berkata: telah menceritakan kepada kami Sufyan dari
Ziyad bin Sa'id, dari Abdillah bin Fadhol dari Nafi' bin Jubair dari
ibnu Abbas bahwa sesungguhnya Nabi S.A.W telah bersabda: “
janda itu lebih berhak atas dirinya sendiri dari pada walinya,
sedangkan gadis ayahnya meminta pendapat tentang dirinya ”.
Menurut al-Imam al-Syirazi, Hadis tersebut menjelaskan bahwa
sesungguhnya ayah selaku wali nikah lebih berhak atas perawan. Jadi
walaupun seorang gadis tidak ridha atas pernikahannya, maka wali boleh
memaksanya, dan sahlah pernikahan tersebut. Dalam pernyataannya, menurut
al-Imam al-Syirazi meminta pendapat kepada gadis dewasa tersebut hanyalah
47 Al-Nasa'i, op.cit , hlm. 85., Abu Daud, op.cit, hlm. 233.
71
sebuah anjuran dan bukan merupakan sebuah keharusan. Hal ini didasarkan
atas hadis Nabi yang berbunyi:
48
Artinya: “ Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id, Telah
menceritakan kepada kami Malik bin Anas dari Abdillah bin
Fadhol dari Nafi' bin Jubair bin Mu'thim dari ibnu Abbas bahwa
sesungguhnya Rasulullah S.A.W telah bersabda: Janda-janda itu
lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedang gadis itu
dimintai pendapat tentang dirinya, dan persetujuannya adalah
diamnya ”.
Sedangkan al-Imam al-Ramli dan Ibnu Hajar al-Haitamy, walaupun
sependapat dengan al-Imam al-Syirazi, tetapi dalam menguatkan pendapatnya
keduanya berbeda dalam beristinbat hukum. Adapun hadis yang digunakan
sebagai dasar hukum adalah hadis riwayat al-Imam al-Daruquthni yang
berbunyi:
Artinya: “ Janda itu lebih berhak atas dirinya sendiri dari pada walinya
sedangkan gadis maka ayahnya lah yang mengawinkannya”.
Dalam kitabnya al-Umm, al-Imam al-Syafi'i menjelaskan bahwa janda
yang masih kecil tidak boleh dinikahkan kecuali dengan izinnya, dan tidak
boleh menikahkan perawan / gadis kecuali dengan izinnya pula, tidak boleh
48 Al-Tirmidzi, op.cit., hlm. 416., Muslim al-Qusyayri, op.cit., hlm. 650., Abu Daud,
op.cit., hlm. 232., Al-Nasa‟i, op.cit., hlm. 84.
72
menikahkan gadis kecil kecuali ayah atau kakeknya setelah kematian ayahnya.
Hal ini mengindikasikan bahwa pendapat ulama Syafi'iyah berbeda dengan
pendapat al-Imam al-Syafi'i sendiri. Adapun hadis yang dijadikan dasar al-
Imam al-Syafi'i adalah hadis Nabi SAW yang berbunyi:
49
Artinya: “ Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id, Telah
menceritakan kepada kami Malik bin Anas dari Abdillah bin
Fadhol dari Nafi' bin Jubair bin Mu'thim dari ibnu Abbas bahwa
sesungguhnya Rasulullah S.A.W telah bersabda: Janda-janda itu
lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedang gadis itu
dimintai pendapat tentang dirinya, dan persetujuannya adalah
diamnya ”.
Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa seorang ayah yang
bertindak sebagai wali tidak diperkenankan menikahkan anak gadisnya yang
sudah dewasa tanpa sepengetahuan atau izinnnya. Dan juga tidak boleh
memaksanya, karena pemaksaan hanya berlaku bagi anak kecil, orang gila
laki-laki / perempuan walaupun dewasa. 50
Dasar hukum yang digunakan
adalah hadis Nabi SAW yang berbunyi:
49 Al-Tirmidzi, op.cit., hlm. 416., Muslim al-Qusyayri, op.cit., hlm. 650., Abu Daud,
op.cit., hlm. 232., Al-Nasa‟i, op.cit., hlm. 84.
50 Imam Kamaludin Muhammad bin Abdul wahid Ibnu al-Hammam al-Hanafi, op.cit.,
hlm. 251.
73
Artinya: " Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Mansur,
kemudian berkata: telah menceritakan kepada kami Sufyan dari
Ziyad bin Sa'id, dari Abdillah bin Fadhol dari Nafi' bin Jubair dari
ibnu Abbas bahwa sesungguhnya Nabi S.A.W telah bersabda: “
janda itu lebih berhak atas dirinya sendiri dari pada walinya,
sedangkan gadis ayahnya meminta pendapat tentang dirinya ”
Dan Hadis Nabi SAW:
52
Artinya: “ Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id, Telah
menceritakan kepada kami Malik bin Anas dari Abdillah bin
Fadhol dari Nafi' bin Jubair bin Mu'thim dari ibnu Abbas bahwa
sesungguhnya Rasulullah S.A.W telah bersabda: Janda-janda itu
lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedang gadis itu
dimintai pendapat tentang dirinya, dan persetujuannya adalah
diamnya ”.
Ibnu Rusd menjelaskan didalam Bidāyah al-Mujtahid bahwa sebab
adanya pertentangan tersebut disebabkan oleh pertentangan antara dalil umum
dengan dalil khitāb. Dalil umum tersebut adalah hadis Imam Muslim yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas yang berbunyi:
51 Al-Nasa'i, op.cit., hlm. 85., Abu Daud, op. cit., hlm. 233.
52 Al-Tirmidzi, op.cit., hlm. 416., Muslim al-Qusyayri, op.cit., hlm. 650., Abu Daud,
op.cit., hlm. 232., Al-Nasa‟i, op.cit., hlm. 84.
74
Arttinya:“ Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa‟id, telah
menceritakan kepada kami Sufyan dari Ziyad bin Sa‟d dari Abd
Allah bin Fadhol ia telah mendengar dari Nafi‟ bin Jubair yang
menceritakan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW telah bersabda: “
Janda itu lebih berhak atas dirinya sendiri dari pada walinya dan
gadis itu dimintai persetujuannya, dan izinnya adalah diamnya ”.
Sedangkan dalil khitab nya adalah hadis Nabi SAW yang berbunyi:
Artinya:” Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan
kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad dari Muhammad bin
Umar dan dari Abi Salamah dari Abu Hurairah berkata,
Rasulullah bersabda: “ anak yatim itu dimintai persetujuan atas
dirinya, apabila dia diam itulah izinnya, dan apabila menolak
maka tidak boleh menikahkan atas dirinya ”.
Dalam hal ini, Ibnu Rusd menyimpulkan bahwa dalil umum lebih
kuat dari pada dalil khitāb. Selain itu ia menyatakan bahwa sebab lain yang
menimbulkan silang pendapat adalah pengambilan qiyās dari ijmā‟. Ijmā‟nya
adalah para fuqāha sepakat bahwa ayah boleh memaksa gadis belum dewasa,
sedang janda belum dewasa tidak boleh dipaksa. Kemudian mereka berselisih
53 Muslim al-Qusyayri, op.cit. hlm. 650.,
54 Abu Daud, op.cit, hlm. 231.
75
pendapat mengenai sebab bolehnya pemaksaan, apakah karena masih gadis
atau karena belum dewasa. 55
Menanggapi pendapat Ibnu Rusd, alasan lain yang menyebabkan
terjadinya perbedaan pendapat ini adalah pengambilan qiyās. Jika yang
menjadi illat hukum (sebab bolehnya pemaksaan) adalah karena masih kecil
(belum dewasa), sebagaimana pendapat ulama Hanafiyah, maka sangat logis
ketika anak kecil dinikahkan, maka ia belum belum dapat berfikir jernih
sebagimana orang dewasa. Tetapi itu pun ketika dilihat pada masa sekarang
maka hal itu akan berlawanan dengan kultur dan juga hukum positif di negara
kita. Oleh karena itu, ulama Hanafiyah menyamakan gadis dengan janda
dalam hal meminta persetujuannya. Jadi penulis sepakat bahwa tolok ukur
seseorang perempuan dalam hal ini bukan dilihat dari status gadis atau janda
nya, tetapi kedewasaannya lah yang menghilangkan unsur pemaksaan
tersebut.
Menurut Hasbi Al-Shiddieqy, hadis yang mengisyaratkan tentang
keharusan seorang wali meminta izin kepada gadis dewasa diantaranya adalah
sebagai berikut: 56
57
55 Abu Al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusd, op.cit., hlm. 403.
56 Muhammad Hasbi Al-Siddieqy, op.cit, hlm. 44.
57 Al-Tirmidzi, op.cit., hlm. 416., Muslim al-Qusyayri, op.cit., hlm. 650., Abu Daud,
op.cit., hlm. 232., Al-Nasa‟i, op.cit., hlm. 84.
76
Artinya: “ Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id, Telah
menceritakan kepada kami Malik bin Anas dari Abdillah bin
Fadhol dari Nafi' bin Jubair bin Mu'thim dari ibnu Abbas bahwa
sesungguhnya Rasulullah S.A.W telah bersabda: Janda-janda itu
lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedang gadis itu
dimintai pendapat tentang dirinya, dan persetujuannya adalah
diamnya ”.
Artinya: ” Telah menceritakan kepada kami Mu'az bin Fudhalah telah
bercerita kepada kami Hisyam dari Yahya dari Abi Salamah
bahwa Abu Hurairah menceritakan kepada Sahabat bahwa Nabi
SAW bersabda: " tidak dinikahkan janda sehingga dia
memintanya, tidak dinikahkan wanita bikr sehingga diminta
izinnya " . Para Sahabat bertanya, Ya Rasulullah, bagaimana
izinnya? Nabi SAW menjawab: " Dia berdiam diri " .
Menurut beliau hadis yang pertama menunjukkan bahwa wanita yang
sudah janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya, sedang wanita
bikr, harus diminta izin untuk dikawinkan, sedang diamnya dapat dipandang
sebagai izin. Hadis yang kedua menyatakan bahwa wanita janda dinikahkan
sesudah diminta supaya menyuruh kita untuk menikahkannya, sedang wanita
bikr dinikahkan sesudah meminta izinnya pula, dan izinnya cukup dengan
diamnya saja. 59
58 Al-Imam Al-Bukhari, op.cit., hlm. 460., Muslim al- Qusyayri, op.cit., hlm. 649., al-
Nasa‟i, op.cit., hlm. 85., Abu Daud, op.cit., hlm. 231., Al-Tirmidzi, op.cit. hlm. 415., Ibnu Majah
al-Qazwayni, Muhammad bin Yazid Abu Abd Allah (207-275 H), Sunan Ibnu Majah, Naskah ini
ditahqiq oleh Muhammad Fu‟ad Abd Al-Baqi, Beirut: Libanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1983 M,
hadis 1871, hlm. 601.
59 Muhammad Hasbi Al-Siddieqy, op.cit, hlm. 48.
77
Al-Auza'y, Al-Tsaury, dan Hanafiyah berpendapat bahwa apabila
dikawinkan si bikr yang telah sampai umur tanpa izinnya, tidak sahlah akad
itu. Sedangkan Malik, Syafi'iyah, Al-Laits, Ibnu Abi Lailal, Ahmad dan Ishaq
berpendapat bahwa ayah boleh menikahkan si bikr tanpa izin.
Menurut Hasbi Al-Assiddieqy, Hadis-hadis ini terang dan tegas,
menyatakan bahwasannya ayah tidak dapat memaksakan anak gadisnya untuk
dikawinkan. Jika ayah tidak dapat memaksa, maka wali-wali yang lain tentu
lebih-lebih lagi. Dan hadis ini sifatnya umum, tidak hanya mengenai wanita
bikr yang datang bertanya itu saja. Maka dalam masalah ini pendapat Al-
Auza'i lah yang tidak membenarkan ayah memaksa si anak untuk dikawinkan
yang harus kita pilih dan kita kuatkan, walaupun Al-Baihaqy dan Al-Asqalani
menguatkan Syafi'iyah. 60
Menurut hemat penulis, dari beberapa dasar hukum yang telah
diutarakan oleh beberapa ulama diatas, yang menjadi akar perbedaan pendapat
adalah hadis Nabi SAW yang berbunyi:
61
Artinya: “ Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id, Telah
menceritakan kepada kami Malik bin Anas dari Abdillah bin
Fadhol dari Nafi' bin Jubair bin Mu'thim dari ibnu Abbas bahwa
60 Muhammad Hasbi Al-Siddieqy, op.cit, hlm. 50. 61 Al-Tirmidzi, op.cit., hlm. 416., Muslim al-Qusyayri, op.cit., hlm. 650., Abu Daud,
op.cit., hlm. 232., Al-Nasa‟i, op.cit., hlm. 84.
78
sesungguhnya Rasulullah S.A.W telah bersabda: Janda-janda itu
lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedang gadis itu
dimintai pendapat tentang dirinya, dan persetujuannya adalah
diamnya ”.
Hadis ini dapat dipahami sebagai bentuk perintah (wajib hukumnya)
untuk meminta persetujuan terlebih dahulu kepada gadis sebelum menikahkan
dan juga dapat dipahami hanya sebagai anjuran / sunnah untuk meminta izin
terlebih dahulu.
Menurut penulis, dalam hal menikahkan seorang gadis dewasa maka
seorang ayah atau kakek wajib hukumnya meminta izin terlebih dahulu
kepada gadis tersebut dan tidak boleh memaksakan kepada gadis untuk
menikah dengan calon suami yang tidak ia cintai, sebagaimana pendapat al-
Auza‟i, al-Tsauri, Abu Hanifah, Ibnu Rusd, Hasbi al-Siddieqy, Wahbah al-
Zuhaily, Abu Zahrah, Sayid al-Sabiq dan ulama lain yang sependapat. Hal ini
berdasarkan hadis Nabi SAW yang berbunyi:
Artinya: ” Telah menceritakan kepada kami Mu'az bin Fudhalah telah
bercerita kepada kami Hisyam dari Yahya dari Abi Salamah
bahwa Abu Hurairah menceritakan kepada Sahabat bahwa Nabi
SAW bersabda: " tidak dinikahkan janda sehingga dia
memintanya, tidak dinikahkan wanita bikr sehingga diminta
62 Al-Imam Al-Bukhari, op.cit., hlm. 460., Muslim al- Qusyayri, op.cit., hlm. 649., al-
Nasa‟i, op.cit., hlm. 85., Abu Daud, op.cit., hlm. 231., Al-Tirmidzi, op.cit. hlm. 415., Ibnu Majah,
op.cit., hadis 1871, hlm. 601.
79
izinnya " . Para Sahabat bertanya, Ya Rasulullah, bagaimana
izinnya? Nabi SAW menjawab: " Dia berdiam diri " .
Dari segi periwayatan, hadis ini merupakan dasar hukum yang paling
kuat tentang larangan ayah atau kakek menikahkan secara paksa terhadap anak
gadisnya / perawan yang sudah dewasa, karena hadis inilah yang paling
banyak diriwayatkan.
Hadis ini merupakan penjelasan tentang larangan menikahkan janda
sebelum dia memerintahkan untuk menikahkannya, dan larangan menikahkan
gadis sebelum dimintai izinnya, dan diamnya gadis tersebut adalah izinnya,
selama tidak ada hal-hal yang menunjukkan penolakan secara jelas.
Janda dan gadis dalam pernikahan sama-sama dimintai pendapatnya.
Perbedaan keduanya hanya terletak pada cara mengungkapkan pendapatnya
saja. Diamnya seorang gadis diterima karena itu menunjukkan kata sepakat,
sedangkan yang diterima dari janda adalah jawaban yang jelas. 63
Dalam hadis
tersebut terdapat kata Isti‟mār dan Isti‟dzān yang mempunyai pengertian
sama, hanya persetujuan perawan tandanya diam, karena malunya masih kuat,
lain halnya dengan janda, maka persetujuannya harus dengan ucapannya.64
Dalam kitab Irsyād al-Syārī Syarh Sahīh al-Bukhāri dijelaskan bahwa
lafal Isti‟dzān lebih umum dibandingkan Isti‟mār. Isti‟mār mengandung
pengertian persetujuannya harus dengan ucapan (lafaz) yang jelas, sedangkan
Isti‟dzān persetujuannya dapat berupa ucapan dan juga lainnya seperti isyarat
63 Muhammad Al-Syarif, Lin Nisa‟i Ahkamun Wa Adabun: Syarah Arba‟in Nisa‟iyah, 40
Hadis Wanita: Bunga Rampai Hadis dan Akhlak, Terj. Sarwedi Hasibuan, dkk., Solo: Aqwam
Media Profetika, Cet ke-I, 2009, hlm. 201.
64 Manshur Ali Nashif, al-Tāj Al-Jāmi‟ Lil Ushuli Fi Ahāditsi Al-Rasul, Mahkota Pokok-
pokok Hadis Rasulullah SAW, Jilid II, Terj. Bahrun Abu Bakar, Bandung: Sinar Baru Algesindo,
Cet Ke-I, 1993, hlm.885.
80
atau diam.65
Intinya walaupun keduanya berbeda dalam bentuk kata, tetapi
mempunyai kesamaan, yaitu sama-sama merupakan bentuk izin / persetujuan.
Lafaz Isti‟dzān dan Isti‟mār digunakan untuk membedakan bentuk
persetujuan antara gadis dan janda.
Jika dilihat secara tekstual, dalam hadis tersebut terdapat lā nahi ( )
yang bermakna larangan “ jangan menikahkan....,” meskipun ada
kemungkinan menunjukkan arti nafi ( peniadaan ) “ tiada seorang pun yang
dinikahkan”, akan tetapi larangan lebih tepat. 66
Artinya pernikahan yang
dilaksanakan tanpa sepengetahuan gadis (dewasa), maka hukumnya tidak sah,
dan gadis tersebut berhak untuk membatalkan (fasakh) dengan mengajukan
gugatan kepada pengadilan setempat
Oleh karena itu, dalam sahih nya al-Imam al-Bukhari membuat judul
“ Seorang ayah dan lainnya tidak boleh menikahkan anaknya yang gadis atau
janda, kecuali dengan ridhanya. Setelah itu, ia langsung menerangkan bab “
bila seorang menikahkan putrinya dan ia tidak suka maka nikahnya tidak sah”.
Hadis lain yang menunjukkan larangan pemaksaan orang tua atas
pernikahan anaknya yang gadis / perawan dengan laki-laki yang tidak
disukainya adalah sabda Nabi SAW yang berbunyi:
65 Abi al-Abbas Syihab al-Din Ahmad bin Muhammad al-Qasthalani, Irsyād al-Syārī
Syarh Sahīh al-Bukhāri, Jilid VIII, Dar al-Fikr, Cet Ke-VI. hlm.54. 66 Muhammad Al-Syarif, op.cit., hlm. 202.
81
Artinya: “ Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abi Syaibah telah
bercerita kepada kami Husain bin Muhammad telah bercerita
kepada kami Jarir bin Hazim dari Ayyub dari Ikrimah dari Ibn
Abbas bahwa seorang anak gadis datang kepada Nabi SAW, lalu
menceritakan bahwa ayahnya mengawinkannya padahal ia tidak
menyukainya, maka Nabi SAW menyuruh untuk memilih ”.
Hadis ini menjelaskan bahwa seorang gadis diberikan hak khiyār
(memilih) antara meneruskan pernikahan apabila ia setuju dengan pilihan
ayahnya, dan ia berhak membatalkan pernikahan apabila ia menolak untuk
meneruskan pernikahan karena ia tidak suka dengan pilihan ayahnya. Hal ini
mengandung pengertian bahwa apabila ternyata pernikahan tetap dilaksanakan
tanpa persetujuan dari gadis tersebut, maka pernikahan tersebut dinyatakan
batal.
Dan juga hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Siti „Aisyah yang
berbunyi:
67 Ibnu Majah, op.cit. hlm. 603., Al-Nasa‟i, op.cit. hlm. 85., Abu Daud, op.cit. hlm. 232.
82
Artinya: “ Telah bercerita kepada kami Ziyad bin Ayyub ia berkata telah
bercerita kepada kami „Ali bin Ghurab ia berkata telah
menceritakan kepada kami Kahmas bin Hasan dari Abdullah bin
Buraidah dari „Aisyah bahwa seorang gadis mendatangi „Aisyah,
istri Nabi SAW, dan berkata kepadanya: “ ayahku ingin
mengawinkan aku dengan kemenakannya agar dengan itu ia
meningkatkan derajatnya, sedangkan aku sebenarnya tidak
menyukainya ”. „Aisyah berkata kepadanya: “ tunggu sampai
Rasulullah datang ! ” maka ketika ketika beliau datang, „Aisyah
menyampaikan kepada Rasulullah tentang keluhan dari gadis
tersebut. Beliau segera mengutus orang untuk memanggil ayah
dari gadis tersebut dan setelah itu ia menyerahkan urusan itu
kepada gadis tersebut. Namun segera setelah menyadari bahwa
pilihan itu kini berada ditangannya, gadis itu berkata: “ ya
Rasulullah, kini aku menyetujui apa yang dikehendaki ayahku. Aku
hanya ingin menyampaikan kepada kaum perempuan, bahwa ayah-
ayah mereka tidak memliki apa pun dalam urusan ini “ .
Hadis ini menjelaskan bahwa seorang ayah tidak mempunyai hak
penuh atas pernikahan anak gadisnya dengan laki-laki pilihannya, meskipun
sang anak mau mengikuti kemauan ayahnya untuk memilih meneruskan
pernikahan tersebut setelah diberikan hak khiyar (memilih) oleh Rasulullah
SAW. Sedangkan hadis yang dijadikan dasar hukum oleh Al-Imam Al-Syirazi
merupakan penjelasan mengenai perbedaan antara janda dan gadis. Janda
lebih berhak atas dirinya sendiri dalam menentukan perkawinan dari pada
ayahnya, sedangkan gadis maka ayahnya diberikan hak istimewa untuk
memilihkan calon pasangan, tetapi bukan berarti hak ayah lebih dimenangkan
dari pada anak gadisnya dalam hal memilih meneruskan pernikahan tersebut.
68 Al-Nasa‟i, op.cit., Hadis No. 3217. Hal. 86-87., Ibnu Majah, op.cit., Hadis no.1874, hlm.
602-603.
83
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa menurut Al-Imam Al-Syirazi, hukum wali nikah
(bapak/kakek) meminta izin terlebih dahulu kepada gadis dewasa
sebelum menikahkan tidaklah sebuah keharusan (wajib), tetapi hanya
sebuah anjuran (sunnah). Menurut ulama muta’akhirin pendapat
yang rajih adalah wajib hukumnya wali nikah (bapak/kakek)
meminta izin terlebih dahulu kepada gadis dewasa. Unsur kerelaan
merupakan salah satu syarat bagi keabsahan suatu akad, oleh karena
itu apabila unsur tersebut tidak terpenuhi dan terdapat unsur
pemaksaan, maka akad nikah tersebut fāsid (rusak).
2. Memang seorang anak wajib hukumnya menghormati kedua orang
tuanya, tetapi dalam hal memilih jodoh, gadis dewasa boleh menolak
terhadap pilihan orang tuanya, apabila dalam pernikahannya nanti
akan menimbulkan kehancuran dalam rumah tangganya. Oleh karena
itu sangat perlu adanya pengkajian ulang dan perubahan pemahaman
terhadap konsep wali mujbir. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi
resiko perceraian dini yang marak terjadi dilingkungan masyarakat
kita.
84
3. Berdasarkan hadis yang diambil, dalam kitab Al-Muhazzab Al-Imam
Al-Syirazi berpendapat bahwa ayah itu lebih berhak atas anak
gadisnya. Walaupun anak gadis tersebut tidak ridha atas
perkawinannya, maka ayah boleh saja memaksa menikah dengan
pilihannya. Hadis tersebut secara tekstual dapat dipahami sebagai
anjuran kepada ayah untuk meminta izin terlebih dahulu kepada anak
gadisnya, bukan diartikan hak seorang ayah yang lebih berhak atas
anak gadisnya. Padahal dalam hal perkawinan gadislah yang
menjalani dan menentukan masa depan dan kebahagiaan rumah
tangganya.
4. Dalam hadis riwayat Abu Hurairah, sangat jelas sekali menunjukkan
larangan terhadap pemaksaan menikah terhadap gadis dewasa. Jadi
meminta izin terlebih dahulu merupakan sebuah keharusan (wajib
hukumnya) bukan hanya sebuah anjuran (sunnah). Jika dilihat dari
Dari segi periwayatan, hadis ini merupakan dasar hukum yang paling
kuat tentang larangan ayah atau kakek menikahkan secara paksa
terhadap anak gadisnya / perawan yang sudah dewasa, karena hadis
inilah yang paling banyak diriwayatkan. Penyusun sepakat bahwa
tolok ukur seseorang perempuan dalam hal ini bukan dilihat dari
gadis atau janda, tetapi kedewasaan dari segi usia, berfikir dan juga
dalam menentukan masa depannya lah yang menghilangkan unsur
pemaksaan tersebut. karena kultur masyarakat sekarang tentu sangat
berbeda dengan masyarakat dahulu.
85
B. Saran-saran
Setelah penulis membahas tentang pendapat Al-Imam Al-Syirazi
tentang hukum wali nikah meminta izin kepada gadis dewasa , maka
perkenankanlah penulis menyampaikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Sebagai orang tua, ketika mempunyai anak gadis yang sudah
memenuhi kriteria dewasa, maka berikanlah hak memilih pasangan
hidup kepadanya. Jangan sampai kita sebagai orang tua merasa paling
berhak terhadap anak apalagi sampai memaksa kehendak walaupun
orang tua lah yang mengurus dan membiayai hidup anaknya. Karena
pada dasarnya anak yang akan menjalani kehidupan rumah tangganya
sendiri. Jika mempunyai kehendak untuk menikahkan maka tanyakan
terlebih dahulu terhadap pendapat gadis tersebut, dan izin darinya
perlu kita perhatikan, agar tidak menyesal dikemudian hari.
2. Sebagai anak, wajib hukumnya menghormati kedua orang tua,
meskipun terkadang orang tua mempunyai keinginan lain, karena pada
dasarnya orang tua tetap menyayangi anaknya. Anak tetap harus
menghargai pendapat orang tua, oleh karena itu segala sesuatu
haruslah disampaikan dengan baik dan sopan, agar orang tua dapat
menerima pendapat dan keinginan kita. Jika ternyata orang tua masih
bertahan dengan keinginannya, maka yakinkanlah kepadanya bahwa
semua itu demi kebaikan kita semua. Segala sesuatu jika didasarkan
atas kemaslahatan tentu akan berbuah kebaikan. Dan selalu mintalah
86
petunjuk dari-Nya agar kita selalu diberikan petunjuk dan jalan
terbaik.
3. Kesimpulan diatas merupakan hipotesa dari penulis yang tentunya
bersifat subyektif. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan
kelemahan dalam menganalisis pendapat tersebut. Untuk itulah penulis
sangat mengharapkan ada pengkajian lebih lanjut dan komprehensif
demi tercapainya pengembangan pemikiran yang dinamis dan terus
menerus terhadap hukum-hukum Islam.
C. Penutup
Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena
berkat hidayah dan inayah-Nya lah skripsi ini dapat terselesaikan.
Shalawat salam kita haturkan kepada baginda Rasulullah Muhammad
SAW, semoga kita mendapatkan syafaa’atnya dihari akhir nanti. Dalam
penulisan skripsi ini tentu masih banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak.
Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para
pembaca pada umumnya. Wassalāmu’alaikum Warahmatullāhi
Wabarakātuh.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Sirajuddin, Thabaqāt Al-Syāfi’iyah, Ulama’ Syafi’i dan Kitab-kitabnya
dari Abad ke Abad, Jakarta: Pustaka Tarbiyah.
Abi Al-Abbas Syihab Al-Din Ahmad bin Muhammad Al-Qasthalani, Irsyād al-
Syārī Syarh Sahīh al-Bukhāri, Jilid VIII, Dar al-Fikr, Cet Ke-VI.
Abu Daud, Sulayman bin al-Asy’ats al-Sijistani al-Azdi (202-275 H), Sunan Abu
Daud, Naskah ini ditahqiq oleh Muhammad Muhy al-Din Abd al-
Hamid, Beirut: Dar al-Fikr.
Abu Zahrah, Muhammad, Aqdu al-Zawāj Wa Atsāruhu, Dar al-Fikr.
Al-Bukhari, Al-Imam Abi Abdillah Muhammad Bin Isma'il bin Ibrahim bin Al-
Mughirah bin Barzabah, Shahīh al-Bukhāri, Beirut: Dar al-Kitab al-
Alamiyah, Juz V.
Al-Hammam, Imam Kamaludin Muhammad bin Abdul Wahid al-Hanafi, Fathul
Qadīr, Beirut: Dar al-kutub al-Alamiyah: Juz III.
Ali Nashif, Manshur, Al-Tāj Al-Jāmi’ Lil Ushuli Fi Ahāditsi Al-Rasul, Mahkota
Pokok-pokok Hadis Rasulullah SAW, Jilid II, Terj. Bahrun Abu Bakar,
Bandung: Sinar Baru Algesindo, Cet Ke-I, 1993.
Al-Kusnawi, Abu Bakar bin Hasan, Ashal al-Madārik, Jilid I, Beirut: Daar al-
Fikr, 1996.
Al-Maraghi, Abdullah Mustofa, Fath Al-Mubīn fī Tabaqāt al-Ushūliyyīn: Pakar-
pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, Terj. Hussein Muhammad, Yogyakarta:
LKPSM, Cet ke-I, 2001.
Al-Mawardi Abi Hasan Ali bin Muhammad bin Habib, Al-Hāwī Al-Kabīr, Beirut:
Dar al-kutub al-Alamiyah: Juz IX.
Al-Nasa'i, Sunan al-Nasā'i, Beirut: Darul al-Fikr, Juz V.
Al-Qardhawi, Yusuf, Syari’at Islam Ditantang Zaman, alih bahasa Abu Zaky,
Surabaya: Pustaka Progresif, 1990.
Al-Syafi’i, Imam abi Abdillah bin Muhammad bin Idris, Al-Umm, Beirut: Dar al-
Fikr, Juz VIII.
Al-Syarif, Muhammad , Lin Nisa’i Ahkamun Wa Adabun: Syarah Arba’in
Nisa’iyah, 40 Hadits Wanita: Bunga Rampai Hadits dan Akhlak, Terj.
Sarwedi Hasibuan, dkk., Solo: Aqwam Media Profetika, Cet ke-I, 2009.
Al-Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah al- Salmi (209-279 H ), Sunan
al-Tirmidzi, Juz II, Naskah ditahqiq oleh Ahmad Muhammad Syakir
dan Kawan-kawan, Beirut: Libanon, Dar al-Kitab al-Alamiyah.
Al-Zuhayli, Wahbah, Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1409 H / 1989 M (Beirut-
Libanon: Darul Fikr), Jil VIII.
Amin Summa, Muhammad, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta:
Rajawali Pers, 2004.
Ar-Ramli, Imam Syamsuddin, Nihāyatul Muhtāj ilā al-Syarhi al- Minhāj, Beirut:
Dar al-kutub al-Alamiyah, 1996.
Asmawi, Muhammad, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, Yogyakarta:
Darussalam, 2004.
As-Syarbini, Syamsuddin Muhammad bin Muhammad al-Khatib, Mughnī al-
Muhtāj, Al-Qahirah: Darul Hadis, 2006.
As-Syirazi, Abi Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf, al-Muhazzab, Beirut: Dar al-
kutub al-Alamiyah: Juz II.
As-Syirazi, Abi Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf, Al-Tanbīh, Beirut: Dar al-Kitab
al-Alamiyah.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad, Al-Usrah Wa-Ahkamuhā Fī- Al-Tasyrī'i Al-
Islāmi, Fiqih Munakahat: Khitbah, Nikah dan Talak.Terj. Dr.H. Abdul
Majid Khon, M. Ag., Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Ke-I.
Bisri, Cik Hasan, Model Penelitian Fiqih, Bogor: Prenada Media, 2003.
Departemen Agama RI, Lajnah pentashih Al-Qur’an , Al-Qur’an dan
Terjemahannya, Semarang: CV. As-Syifa’, 1992.
Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta, Balai Pustaka, 1975.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Lkis, 1999.
Hasan Binjai, Abdul Halim, Tafsir Ahkam, Jakarta: Kencana, Cet. ke-I, 2006.
Hasbi Ash-Siddieqy, Muhammad, Koleksi hadis-Hadis Hukum 8, Semarang: PT.
Pustaka Rizqi Putra, 2001.
Ibnu Majah, Muhammad bin Yazid Abu Abd Allah Al-Qazwayni (207-275 H),
Sunan Ibnu Majah, Naskah ini ditahqiq oleh Muhammad Fu’ad Abd
Al-Baqi, Beirut: Libanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1983 M, hadis
1871, hlm. 601.
Ibnu Rusyd, Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad, Alih Bahasa
Imam Ghazali Said, Bidāyatul Mujtahīd wa Nihāyatul Muqtashid,
Jakarta: Pustaka Amani, Cet ke-II.
Jamil, Fatkhurrahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997.
Jawad Mughniyah, Muhammad, Al-Fiqh ‘Alā Al-Mazāhib Al-Khamsah, Fiqih
Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali , Terj.
Masykur. A. B. et. Al., Jakarta: Lentera, Cetakan Ke-VI, 2007.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Visimedia, Cet. ke-I, 2008.
Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan tahun 1974, Trinity
Optima Media, Cet.ke-I, 2007.
Muhammad, Hussein, Fiqih Perempuan: Refleksi kyai atas wacana agama dan
Gender, Yogyakarta: Lkis, Cet Ke-I, 2001.
Muhibbin, Menggugat Peran Wali Dalam Pernikahan: Studi Kritis atas Hadis-
hadis Wali Nikah, Penelitian Individual: IAIN Walisongo Semarang,
2005.
Muslim al-Qusyayri, Abu Al-Husayn Muslim bin al-Hajaj al-Naisabury ( 206-261
H ), Sahih Muslim, Juz I, Libanon: Beirut, Dar al-Fikr.
Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet ke-
VIII, 2003.
Quraish Shihab, Muhammad, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian
Dalam Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, Juz I, 2000.
Ramulyo, Idris, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
Sabiq, Sayyid, Fiqhu al-Sunnah, Fiqih Sunnah, Terj. Nor Hasanuddin, dkk.,
Jakarta Pusat: Pena Pundi Aksara, Cetakan ke-II, 2007.
Soekanto, Soejono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.
Sukri, Sri Suhanjati, Bias Jender Dalam Pemahaman Islam, Yogyakarta: Gama
Media, Cet ke-I, 2002.
Supriyadi, Dedi, Fiqih Munakahah Perbandingan, Dari Tekstualitas sampai
Legislasi, Bandung: CV. Pustaka Setia, Cet ke-I, 2011.
Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, dan Tekhnik,
Bandung: Tarsito, 1989.
Syarbini, Muhammad, Al-Iqnā’ Fī Hilli al-Alfād Abī Sujā’, Bandung: Daar al-
Ikhya’ al-Kutubiyyah al-Alamiyyah, , t.th., Juz II.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih
Munakahah dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Prenata Media,
Cet ke-II.
Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UII Press, Cet ke-V,
1986.
Tihami, Fiqih Munakahah: Kajian Fiqih Lengkap, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2009.
Umar, Nasarudin, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta:
Paramadina, Cet. Ke-I, 1999.
Warsan Munawwir, Ahmad, Kamus Al-Munawwir, Yogyakarta: Pondok
Pesantren Al-Munawwir Krapyak, 1984.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Abdullah Aniq
Tempat/Tanggal Lahir : Rembang, 25 Maret 1986
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Desa Sumurtawang Rt. 01 / Rw. 01, Kragan, Rembang.
Pendidikan :
1. SDN 01 Sumurtawang Kragan Rembang lulus tahun 1997.
2. SLTP N 01 Kragan Rembang lulus tahun 2000.
3. MA Riyadhlotut Thalabah Sidorejo Sedan Rembang lulus tahun 2003.
4. Fakultas Syari’ah Jurusan Ahwal al-Syakhsiyah IAIN Walisongo Semarang.
Pengalaman Organisasi :
1. Pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa Bina Olah Raga (UKM BINORA ) Fakultas
Syari’ah IAIN Walisongo periode 2007-2008 sebagai Koordinator cabang Tenis
Meja.
2. Ketua Umum Unit Kegiatan Mahasiswa Bina Olah Raga (UKM BINORA ) Fakultas
Syari’ah IAIN Walisongo periode 2008-2009
3. Pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa Walisongo Sport Club (UKM WSC) IAIN
Walisongo periode 2009-2010 sebagai Koordinator cabang Tenis Meja.
4. Ketua Umum Unit Kegiatan Mahasiswa Walisongo Sport Club (UKM WSC) IAIN
Walisongo periode 2010-2011.
Prestasi yang pernah diraih:
1. Juara I Orsenik cabang tenis meja kategori single perorangan tahun 2006.
2. Juara I WSC CUP cabang tenis meja kategori single perorangan tahun 2007.
3. Juara I WSC CUP cabang tenis meja kategori ganda tahun 2007.
4. Juara III PIONIR (Pekan Ilmiah Olah Raga dan Riset) antar Mahasiswa PTAIN Se-
Indonesia cabang tenis meja kategori beregu tahun 2007 di Pontianak Kalimantan
Barat.
5. Juara I Liga Tenis Meja Divisi 5 PTM SIMPANG LIMA tahun 2010 di Semarang.
6. Juara II PIONIR (Pekan Ilmiah Olah Raga dan Riset) antar Mahasiswa PTAIN Se-
Indonesia cabang tenis meja kategori perorangan single putra tahun 2010 di
Watampone, Sulawesi Selatan
7. Juara I PIONIR (Pekan Ilmiah Olah Raga dan Riset) antar Mahasiswa PTAIN Se-
Indonesia cabang tenis meja kategori perorangan ganda putra tahun 2010 di
Watampone, Sulawesi Selatan.
8. Juara II Kejuaraan tenis Meja Beregu Putra Antar Koperasi se-Kabupaten Rembang
tahun 2011.
Demikian Daftar iwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya untuk
dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Semarang, 08 Desember 2011
Penulis
Abdullah Aniq
NIM: 62111003