Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam...
-
Upload
fakhri-azzumar -
Category
Documents
-
view
15 -
download
0
description
Transcript of Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam...
Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah
Hukum
Dosen : Prof. Dr. Bintan R. Saragih, S.H
Nama : Fakhri Azzumar
MAGISTER ILMU HUKUM BISNIS
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2015
Kata Pengantar
Sejarah hukum merupakan bagian dari sejarah umum sesuai dengan
apa yang dicita-citakan, seyogyanya sejarah menyajikan dalam bentuk
sinopsis suatu keterpaduan seluruh aspek kemasyarakatan dari abad ke
abad, yakni sejak untuk pertama kali tersedia informasi sampai hari ini.
Akan tetapi tidak terhingganya ruang lingkup misi yang akan dijelajah ini
mengakibatkan bahwa untuk alasan-alasan praktis, maka biasanya
penugasan tersebut dibelah menjadi daerah bagian tempat tolak punggung
sebagai berikut1 :
1. Menurut tolak ukur, kronologis, misalnya sejarah purbakala, abad
pertengahan, dan sebagainya.
2. Menurut tolak ukur ilmu bumi, seperti sejarah Belgia, Amerika
Serikat, dan lain-lain.
3. Atas dasar tematik, yakni sejarah ekonomi, literature, kesenian,
hukum, dan lain-lain.
Memaknai sejarah hukum sebagai bagian dari sejarah yang dicita-citakan
untuk memberitahu masyarakat yang akan menggunakan aturan-aturan
hukum atau peraturan perundang-undangan, bahwa perlu mengetahui
mengenai bagaimana proses, dasar, landasan dan pertimbangan apa yang
menjadikan suatu aturan tersebut dibentuk dan disahkan menjadi
peraturan yang berlaku guna kepentingan masyarakat di suatu negara.
1 Prof. Emeritus John Gilissen dan Prof. Dr. Emeritus Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, PT. Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 4
Dalam hal ini, akan di kaji lebih lanjut secara koheren dan sistematis
mengenai sejarah hukum dari keberadaan Undang-Undang Nomor. 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen. Peraturan ini akan di analisis
dengan melihat dari sudut pandang sejarah hukum. Guna melihat
bagaimana hubungan keberadaan suatu aturan dengan kronologis, tolak
ukur apa yang digunakan serta mengamati aspek-aspek apa yang
melandasi dibentuknya Undang-Undang Nomor. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen di Indonesia.
Analisis ini akan mendapatkan hasil berupa alasan mengapa
Undang-Undang Nomor. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
menjadi suatu aturan yang berlaku saat ini (ius constitutum). Hal ini
dilakukan agar ketentuan yang berlaku, dengan mudah dapat diketahui dan
digunakan untuk menyelesaikan setiap terjadi peristiwa hukum.2 Dengan
metode analisis dari perspektif sejarah hukum, maka diharapkan pembaca
akan mendapatkan pemahan lebih mendalam tentang keberadaan
Undang-Undang Nomor. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
dari perpektif sejarah hukum.
BAB 12 R. Abdoel Djamali, S.H, Pengantar Hukum Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hlm. 5
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sejarah hukum menurut Munir Fuadi adalah suatu metode dan ilmu
yang merupakan cabang dari ilmu sejarah (karenanaya bukan cabang dari
ilmu hukum, yang mempelajari, menganalisis, memverifikasi,
menginterpretasi, menyusun dalil dan kecenderungan, dan menarik
kesimpulan tertentu tentang setiap fakta, konsep, kaidah, dan aturan yang
berkenaan dengan hukum yang pernah berlaku, baik secara kronologis dan
sistematis, berikut sebab akibat serta ketersentuhannya dengan bidang lain
dari hukum).3 Sedangkan arti dari sejarah menurut R. Abdoel Djamali
bahwa dilihat dari etimologi atau asal kata, sejarah dalam bahasa Latin
adalah “Historis”. Dalam bahasa Jerman disebut “Geschichte” yang berasal
dari kata geschenhen, berarti “sesuatu yang terjadi”.4 Ini menandakan
bahwa begitu pentingnya suatu penyebab terjadinya sesuatu yaitu sejarah.
Sejarah menjadikan sesuatu itu menjadikan suatu pengungkapan
terjadinya sesuatu dan sejarah hukum adalah upaya menjelaskan
bagaimana suatu aturan hukum itu dapat terbentuk dengan berbagai
konsep dan kaidahnya. Dalam hal ini, Von Savigny berkata bahwa, semua
sistem hukum berasal atau bersumber dari kebiasaan dan dalam
perkembangannya kemudian hukum dihasilkan lewat aktivitas dan kreasi
3 Munir Fuady, Sejarah Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2013, hlm. 14 Supranote 2, hlm. 8
pembuat hukum.5 Kemudian menurut Savigny, hukum dan masyarakat
berkembang dalam 3 (tiga) tahap, yaitu6 :
1) Perkembangan melalui pembentukan elemen-elemen politik
(political elements) yaitu prinsip-prinsip hukum yang tidak
ditemukan dalam undang-undang, melainkan merupakan
bagian dari keyakinan dan spirit masyarkat tersebut
(volksglauben).
2) Mentransformasikan elemen-elemen politik menjadi elemen
teknis hukum (technical elements of juristic skill). Pada periode
ini masyarkat berada pada puncak sebuah budaya hukum dan
merupakan saat yang tepat untuk melakukan kodifikasi hukum.
3) Ditandai dengan menurutnya eksistensi suatu masyarakat atau
bangsa. Pada tahap ini hukum tidak lagi menjadi nafas dan
denyut nadi kehidupan suatu masyarakat, melainkan hanya
menjadi aset dan hegemoni para ahli hukum. Apabila situasi ini
hadir, maka hakikatya masyarakat tersebut telah kehilangan
identitasnya dan dengan sendirinya hukum pun tidak lagi
memiliki peran yang berarti.
Selanjutnya Savigny menegaskan bahwa hukum bukan merupakan sebuah
fenomena dari sekumpulan formula verbal yang beridiri sendiri dari
5 Luis Kurtner, Savigny: “German Lawgiver”, Marquatte Law Review, Vol. 55, Issue 2 Spring , 1972, hlm. 280-2836 Leopard Pospisil, Anthropology of Law: A Comparative Theory, USA, Willey, 1971, hlm. 142.
sejumlah nilai-nilai ideal universal atau sebuah proposisi natural.7 Dalam
hal ini, Savigny mengatakan bahwa mahzab sejarah menekankan kepada
penggalian dan kajian yang mendalam mengenai asal mula hukum dan
transformasinya. Savigny meyakini bahwa hukum memiliki sejarah dan
tahap-tahap pertumbuhannya sendiri.8 Atas dasar ini, mahzab sejarah
mengklaim bahwa hukum adalah sesuatu yang senantiasa berubah dan
berevolusi. Apa yang benar menurut hukum juga benar menurut sejarah
hukum.9 Pada tahap perkembangannya hukum terekpresikan secara
spontan sebagai ide bebas mengenai hak yang didsarkan kepada kebiasaan
dan tradisi dimana setiap orang menaatinya. Oleh karena itu bagi mazhab
sejarah, sumber hukum hakiki adalam kebiasaan (custom).10 Hukum hanya
akan berevolusi yang berawal dari spirit dan jiwa bangsa, pergerakannya
akan terlihat lambat dan hamper tidak terlihat pertumbuhannya, hukum
adalah produk dari kesunyian, hukum adalah kekuatan yang anonym, dan
bukan hasil dari sebuah keputusan arbiter dan dipaksakan.11 Selanjutnya
Savigny mengatakan sebagai berikut :
“The motley world of legal norms…. Does not evolve in virtue of
deliberate natural reflection or reasoned considerations of utility, it springs
rather from the cmmon conviction of the people, from the like feeling of
7 Stone, Social Dimension of Law and Justice, Stevens, USA, 1966, hlm. 948 Jeremy Hall, Reading in Jurisprudence, UK: The Bobbs Merrils Company, 1938, hlm. 879 Stone, The Provinceand Function of Law, Associated General Publication Pty. Ltd, Sydney, 1946, hlm. 421-422.10 Alf Ross, On Law and Justice, USA: The Lawbook Exchange. Ltd, 1959, hlm. 3811 Supranote. 9, hlm. 299
inner necessity which excludes all thought offirtuitous and arbitrary
origin.”12
Perlindungan konsumen di Indonesia telah berkembang sejak
diundangkannya Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen yang berlaku pada tanggal 20 April 2000.
Perjalanan mengenai perlindungan konsumen kian hari semakin banyak
digunakan baik dalam kepentingan individu maupun kelompok di
Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 27 ayat (1)13 dalam
ketentuan tersebut menyatakan, bahwa segala warga negara Indonesia
bersamaan kedudukannya dalam hukum dan Pemerintahan, dan wajib
menjunjung hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Dalam pasal tersebut pada dasarnya memberi landasan konstitusional bagi
perlindungan konsumen di Indonesia karena dalam ketentuan itu secara
jelas dinyatakan bahwa kedudukan hukum semua warga negara adalah
sama (sederajat) (equality before the law).14 Sebagai warga negara,
kedudukan hukum konsumen tidak boleh lebih rendah daripada pelaku
usaha atau pihak distributor dari pelaku usaha. Mereka memiliki hak-hak
yang seimbang satu sama lainnya.
Kondisi keberadaan Undang-Undang Nomor. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen ini masuk menjadi suatu aturan hukum positif di
12 Hienrich Rommen, The Natural Law: A Study in Legal Social History and Philosophy, (transt; Thomast Hanley Indianapolis: Liberty Fund, 1936, hlm. 11613 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 27 ayat (1)14 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000, hlm. 74
Indonesia. Perkembangan konsep perlindungan konsumen ini menjadi
aturan yang terbentuk melalui sistem hukum civil law (Civil Law System).
Sistem hukum di Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental.
Tetapi sering disebut sebagai Civil Law (Civil Law System).15 Prinsip utama
yang menjadi dasar sitem hukum Eropa Kontinental itu ialah “hukum
memperoleh kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan-
preaturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematik
di dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu”. Prinsip dasar ini dianut
mengingat bahwa nilai utama yang merupakan tujuan hukum adalah
“kepastian hukum”.16 Menurut Sudikno Mertokusumo, dalam menegakkan
hukum ada 3 (tiga) unsur harus dipenuhi yaitu :
1) Kepastian hukum (Rechtssicherheit),
2) Kemanfaatan (Zwechmaasigheit),
3) Keadilan (Gerechetigheit).
SIstem hukum ini berkembang di Negara-negara Eropa daratan yang
sering disebut “Civil Law”. Sebenarnya semula berasal dari kodifikasi
hukum yang berlaku di kekaisaran Romawi pada masa pemerintahan Kaisar
Justinianus abad VI sebelum masehi. Peraturan-peraturan hukumnya
merupakan kumpulan dari berbagai kaidah hukum yang ada sebelum masa
Justinianus yang kemudian disebut “Corpus Juris Civilis”. Dalam
perkembangannya, prinsip-prinsip hukum yang terdapat pada Corpus Juris
Civilis itu dijadikan dasar perumusan dan kodifikasi hukum di negara-
15 Supranote 2, hlm. 6816 Supranote 2, hlm. 69
negara Eropa daratan, seperti Jerman, Belanda, Prancis dan Italia, juga
Amerika Latin dan Asia termasuk Indonesia pada masa penjajahan
pemerintah Belanda.17
Karena prinsip utama yang menjadi dasar sistem hukum Eropa
kontinental itu ilah “hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena
diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang
dan tersusun secara sistematik di dalam kodifikasi atau kompilasi
tertentu,18 maka kepastian hukum oleh setiap orang dapat terwujud
dengan ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Hukum
yang berlaku pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang, hal ini dikenal
juga dengan istilah fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini
runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian
hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap
tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat
memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.
Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan
adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas
menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.
Kepastian hukum hanya dapat diwujudkan bila tindakan-tindakan
hukum manusia dalam pergaulan hidup diatur dengan peraturan-peraturan
hukum yang tertulis. Dengan tujuan hukum itu dan berdasarkan sistem
hukum yang dianut, hakim tidak dapat leluasa menciptakan hukum yang
17 Supranote 2, hlm. 68-6918 Id
mempunyai kekuatan mengikat umum. Hakim hanya berfungsi
“menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan dalam batas-batas
wewenangnya”. Putusan seorang hakim dalam suatu perkara hanya
mengikat para pihak yang berperkara saja (doktrins Res Ajudicata).19
Undang-Undang Nomor. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
ini mengatur mengenai keberadaan pelaku usaha dan konsumen di
Indonesia. Pengaturan ini mendasari bahwa setiap konsumen patut untuk
dilindungi dalam hal perbuatan hukum yang tujuannya untuk mendapatkan
barang dan/atau jasa yang disediakan dan didapat dari pelaku usaha pada
sektor bisnis.
Peraturan mengenai perlindungan konsumen ini sejalan dengan
pertumbuhan Negara-negara nasional pada saat dahulu di Eropa. Di Eropa
pada saat itu bertitik tolak kepada unsur kedaulatan (sovereignty) nasional
termasuk kedaulatan untuk menetapkan hukum, maka yang menjadi
sumber hukum di dalam sistem hukum Eropa Kontinental adalah “undang-
undang”.20 Ini yang menjadi titik dasar mengapa Indonesia saat ini
menerapkan sistem civil law (Civil law System) di Indonesia. Bangsa
Belanda dengan code civil yang dibawa dari Perancis, dikembangkan dan
diterapkan di Indonesia sejak masa penjajahan hingga saat ini.
Undang-undang itu dibentuk oleh pemegang kekuasaan legislative.
Selain itu, diakui “peratuan-peraturan” yang dibuat pemegang kekuasaan
eksekutif berdasarkan wewenang yang telah ditetapkan oleh undang-
19 Id20 Id
undang (peraturan-peraturan hukum administrasi Negara) dan “kebiasaan-
kebiasaan” yang hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat
selama tidak bertentangan dengan undang-undang.21
Dengan hal tersebut maka peraturan berupa Undang-Undang Nomor. 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen akan di analisis menggunakan
metode analisis sejarah hukum. Dengan metode tersebut, maka akan
didapat manfaat akhir berupa fungsi dan kegunaan sejarah hukum.
Menurut Munir Fuady, fungsi dan kegunaan sejarah hukum adalah22 :
1) Untuk mempertajam pemahaman dan penghayatan tentang
hukum yang berlaku sekarang. Kita dapat mengetahui dan
menghayati bahwa hukum yang berlaku sekarang sudah cukup
baik jika dibandingkan dengan konsepsi tentang hukum di
bidang yang bersangkutan di masa lalu.
2) Untuk mempermudah para perancang dan pembuat hukum
sekarang dengan menghindari kesalahan di masa lalu serta
mengambil manfaat dari perkembangan positif dari hukum di
masa lalu. Ini penting bagi par pembuat dan perancang hukum
untuk tidak membuat hukum seperti yang terjadi di masa lalu.
Mungkin saja hukum di masa lalu penuh dengan berbagai
kelemahan yang dapat menimbulakan malapetakan dan tragedy
bagi umat manusia. Jadi, jangan ada keledai yang tersangund
kakinya dua kali di batu yang sama.
21 Id22 Supranote 3, hlm. 7
3) Untuk mengetahui makna hukum positif bagi para akademisi
maupun praktisi hukum dengan melakukan penelusuran dan
penafsiran yang bersifat sejarah. Karena umumnya hukum
berkembang secara evolutif dalam sejarah, maka konsep dan
pengertian hukum yang berlaku saat ini akan dipahami dengan
baik dan utuh jika kita juga memahami akar sejarah dan alur
perkembangan konsep dan pengertian hukum di masa lalu.
4) Sejarah hukum dapat mengungkapkan atau setidaknya
memberikan suatu indikasi tentang dari mana hukum tertentu
berasal; bagaimana posisinya sekarang ; dan hendak ke mana
arah perkembangannya.
5) Menurut Soerjono Soekanto, sejarah hukum juga berguna
karena dapat mengungkapkan fungsi dan efektivitas dari
lembaga-lembaga hukum tertentu. Artinya, dalam keadaan yang
abgaimana suatu lembaga hukum dapat efektif menyelesaikan
persoalan hukum dan dalam keadaan yang bagaimana pula
lembaga tersebut gagal. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan
yang ada dalam sejarah hukum tersebut.23
Selanjutnya John Gilissen dan Fritz Gorle menambahkan beberapa fungsi
dari sejarah hukum, yaitu sebagai berikut24 :
23 Soerjono Soekanto, Pengantar Sejarah Hukum, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 4124 Supranote 1, hlm. 1
1) Hukum tidak hanya berubah menurut dimensi ruang dan letak,
tetapi juga berubah menurut dimensi waktu dari masa ke masa.
2) Norma-norma hukum dewasa ini sering kali hanya dapat dimengerti
melalui sejarah hukum.
3) Pengetahuan tentang sejarah hukum penting bagi ahli hukum
pemula untuk mengetahui budaya dan pranata hukum
4) Mempelajari sejarah hukum erat kaitannya dengan prinsip
perlindungan hak asasi manusia. Pelanggaran-pelanggaran hak
asasi, seperti dalam sejarah hukum di masa lampau, bukan
zamannya lagi untuk diberlakukan di masa kini.
Soedjono, D, menjelaskan bahwa : “Sejarah hukum adalah salah satu
bidang studi hukum, yang mempelajari perkembangan dan asal-usul sistem
hukum dalam suatu masyarakat tertentu dan memperbandingkan antara
hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan waktu.”25 Senada
dengan perkataan Soerjono Soekanto yaitu “Perbincangan sejarah hukum
mempunyai arti penting dalam rangka pembinaan hukum nasional, oleh
karena usaha pembinaan hukum tidak saja memerlukan bahan-bahan
tentang perkembangan hukum masa kini saja, akan tetapi juga bahan-
bahan mengenai perkembangan dari masa lampau. Melalui sejarah hukum
kita akan mampu menjajaki berbagai aspek hukum Indonesia pada masa
yang lalu, hal mana akan dapat memberikan bantuan kepada kita untuk
memahami kaidah-kaidah serta institusi-institusi hukum yang ada dewasa
25 Drs. Sudarsono, SH.M.Si, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hlm. 261
ini dalam masyarakat bangsa kita”.26 Dengan hal tersebut, maka sejarah
hukum dapat menciptakan suatu hukum yang berlaku dimasyarakat (Ius
Constitutum) dan dapat menjadikan tolak ukur untuk dapat membentuk
suatu hukum dimasa yang akan datang (Ius Constituendum).27
26 Supranote 15, hlm. 927 Utrecht E, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, NV Penerbitan dan Balai Buku Indonesia, Jakarta, 1956, hlm. 123-124
BAB II
SISTEM HUKUM
1. Sistem Hukum
Berbicara tentang sistem hukum, maka disini tentunya akan berbicara
tentang sistem hukum positif di Indonesia, yaitu suatu sistem hukum yang
berlaku di Indonesia.
Sistem adalah gambaran abstrak dari sebuah gejala atau objek dan
gejala atau objek itu digambarkan sebagai suatu keseluruhan yang terdiri
atas sejumlah bagian atau komponen yang saling berkaitan, yang secara
organisatoris tersusun dalam suatu struktur.28
Menurut R. Abdoel DJamali, S.H, setiap sistem mengandung beberapa
asas yang menjadi pedoman dalam pembentukannya. Dapat dikatakan
bahwa suatu sistem tidak terlepas dari asas-asas yang mendukungnya.
Dengan demikian, sifat sistem itu menyeluruh dan berstruktur yang
keseluruhan komponen-komponennya bekerja sama dalam hubungan
fungsional. Jadi, hukum adalah suatu sistem. Artinya, suatu susunan atau
tataan teratur dari aturan-aturan hidup, keseluruhannya terdiri dari
bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain. Misalnya saja dalam “hukum
perdata” sebagai sistem hukum positif. Sebagai keseluruhan, di dalamnya
terdiri dari bagian-bagian yang mengatur tentang hidup manusia sejak lahir
sampai meninggal dunia. Dari bagian-bagian itu dapat dilihat kaitan
28 Tim Pengajar PIH Fakultas Hukum UNPAR, Diktat Pengantar Ilmu Hukum, Bandung, 1995, hlm.112
aturannya sejak seseorang dilahirkan, hidup sebagai manusia yang memiliki
hak dan kewajiban, dan suatu waktu keinginan untuk melanjutkan
keturunan dilasanakan membentuk keluarga. Dalam kehidupan sehari-hari,
manusia juga memiliki kekayaan yang dipelihara dan dipertahankan
dengan baik. Pada saat meninggal dunia semuanya akan di tinggalkan
untuk diwariskan kepada yang berhak. Dari bagian-bagian sistem hukum
perdata itu, ada aturan-aturan hukumnya yang berkaitan secara teratur.
Keseluruhannya merupakan peraturan hidup manusia dalam keperdataan
(hubungan manusia satu dengan lainnya demi hidup).
Apabila kita berbicara tentang hukum, maka pikiran kita akan lansung
menuju kepada perundang-undangan atau peraturan tertulis lainnya.
Padahal sebenarnya, hukum mempunyai begitu banyak aspek dan terdiri
dari anyak kompoen atau unsur, seperti misalnya filsafat hukum, kaidah
hukum, asas hukum, lemabga hukum, pranata hukum dan lain sebagainya.
Semua itu yang membangun sistem hukum yaitu : “suatu kesatuan yang
teridiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan
bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut.29 Melihat hal ini,
maka tentu sejarah hukum yang terjalin sekian lama dan termanifestasi
dalam suatu sistem hukum yang digunakan oleh Indonesia, ini menjadi
dasar mengapa sistem hukum hingga tata pelaksanaan hukum di Indonesia
memiliki struktur dan tata cara kerja sendiri. Yang menjadikan seluruh
29 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 244
halnya dapat diaplikasikan dengan pendekatan konsep analisis sejarah
hukum.
Sedangkan menurut Rusadi Kantaprawira dalam bukunya menyebutkan
bawa sebuah sistem memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut30 :
1) Keintegrasian
2) Keutuhan
3) Keteraturan
4) Keterorganisasian
5) Keterlekatan komponen satu sama lain
6) Keterhubungan komponen satu sama lain dan,
7) Ketergantungan komponen satu sama lain.
Dari ciri-ciri tersebut, maka tiap sistem mempunyai batas-batas
(boundaries) yang membedakan atau memisahkan unsur-unsur yang
merupakan komponen dari sistem yang bersangkutan dari unsur-unsur
yang bukan komponen sistem tersebut, melainkan komponen dari sistem
lain.31 Dengan demikian bahwa dapat dikatakan sistem hukum bukanlah
sekedar kumpulan peraturan hukum, melainkan komponen atau unsur
yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya serta tidak boleh terjadi
tumpang tindih (overlapping) atau kontradiksi di dalamnya.
30 Rusadi Kantaprawira, Aplikasi Pendekatan SIstem Dalam Ilmu-Ilmu Sosial, Bunda Karya, Bandung, 1987, hlm. 1231 Tim Dosen Pengajar Matakuliah PHI, Diktat Pengantar Hukum Indonesia, Bandung, 2005, hlm. 12
Bagir Manan menyebutkan bahawa keadaan hukum (the existing legal
system) Indonesia dewasa ini menunjukkan hal-hal sebagai berikut32 :
1) Dilihat dari substansi hukum – asas dan kaidah – hingga saat ini
terdapat berbagai sistem hukum yang berlaku – sistem hukum adat,
sistem hukum agama, sistem hukum barat, dan sistem hukum
nasional. Tiga sistem yang pertama merupakan akibat politik hukum
masa penjajahan. Secara negatif, politik hukum tersebut
dimaksudkan untuk membiarakan rakyat tetap hidup dalam
lingkungan hukum tradisional dan sangat dibatasai untuk memasuki
sistem hukum yang diperlukan bagi suatu pergaulan yang modern.
2) Ditinjau dari segi bentuk --- sistem hukum yang berlaku lebih
mengandalkan pada bentuk-bentuk hukum tertulis, Para pelaksana
dan penegak hukum senantiasa mengarahakan pikiran hukum pada
peraturan-peraturan tertulis. Pemakaian kaidah hukum adat atau
hukum islam hanya dipergunakan dalam hal-hal yang secara hukum
ditentukan harus diperiksa dan diputus menurut kedua hukum
tersebut.33 Penggunaan Yurisprudensi (putusan pengadilan) dalam
mempertimbangkan suatu putusan hanya sekedar untuk
32 Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional, dalam Mochtar Kusumaatmaja : Pendidik &Negarawan (Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahum Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja, SH. LL.M., Editor Mieke Komar, Etty R. Agoes, Eddy Damian, Penerbit Alumni Bandung, 1999, hlm. 238 – 245. 33 Bagir Manan, Dasar-dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan Nasional, Makalah, Jakarta, 1993, hlm. 2
mendukung peraturan hukum tertulis yang menjadi tumpuan
utama.
3) Hingga saat ini masih cukup banyak hukum tertulis yang dibentuk
pada masa Pemerintah Hindia Belanda. Hukum-hukum ini bukan
saja dalam banyak hal tidak sesuai dengan alam kemerdekaan,
tetapi telah pula ketinggalan orientasi dan mengandung
kekosongan-kekososngan baik ditinjau dari sudut kebutuhan dan
fungsi hukum maupun perkembangan masyarakat.
4) Keadaan hukum kita dewasa ini menunjukkan pula banyak aturan
kebijakan (beleidsregel). Peraturan-peraturan kebijakan ini tidak
saja berasal dari administrasi negara, bahkan pula dari badan
justisial. Peraturan kebijakan merupakan instrumen yang selalu
melekat pada administrasi negara. Yang menjadi masalah,
adakalanya peraturan kebijakan tersebut kurang memperhatikan
tatanan hukum yang berlaku. Berbagai aturan kebijakan
menyimpang dari ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku karena
terlalu menekankan aspek “doelmatigheid” dari pada
“rechtsmatigheid”. Hal-hal semacam ini sepintas lalu dapat
dipandang sebagai “terobosan” tas ketentuan-ketentiuan hukum
yang dipandang tidak memadai lagi. Namun demikian dapat
menimbulkan kerancuan dan ketidak pastian hukum.
5) Keadaan lain dari hukum kita dewasa ini adalah sifat departemental
centris. Hukum khususnya peraturan perundang-undangan – sering
dipandang sebagai urusan departemen bersangkutan. Peraturan
perundang-undangan pemerintah daerah adalah semata-mata
urusan Departemen Dalam Negeri. Peraturan perundang-undangan
industri adalah semata-mata urusan Departemen Perindustrian dan
Perdagangan.
6) Tidak pula jarang dijumpai inkonsistensi dalam penggunaan asas-
asas hukum atau landasan teoretik yang dipergunakan.
7) Keadaan hukum kita – khususnya peraturan perundang-undangan
yang dibuat dalam kurun waktu dua puluh lima tahun terakhir –
sangat mudah tertelan masa, mudah aus (out of date) . Secara
obyektif hal ini terjadi karena perubahan masyarakat di bidang
politik, ekonomi, sosial dan budaya berjalan begitu cepat, sehingga
hukum mudah sekali tertinggal di belakang. Secara subyektif,
berbagai peraturan perundang-undangan dibuat untuk mengatasi
keadaan seketika sehingga kurang memperhatikan wawasan ke
depan. Kekurangan ini sebenranya dapat dibatasi apabila para
penegak hukum berperan aktif mengisi berbagai kekososngan atau
memberikan pemahaman baru suatu kaidah. Kenyataan
menunjukkan bahwa sebagian penegak hukum lebih suka memilih
sebagai “aplikator” daripada sebagai “dinamisator” peraturan
perundang-undangan.
Ini yang menandakan bahwa bentuk hukum tertulis saat ini yang
dilaksanakan oleh Indonesia, diakibatkan oleh politik hukum dimasa
penjajahan. Politik tersebut adalah bentuk sejarah hukum yang
membentuk dan menjadi landasan mengapa seluruh tatanan hukum di
Indonesia menjadi seperti sekarang. Politik hukum tersebut secara negatif
membuat Indonesia secara langsung membatasi perkembangan hukum
pada masa lampau untuk mendapatkan sistem hukum yang lain. Dengan
kata lain, bahwa Indonesia harus melanjutkan dan tetap menggunakan
sistem hukum yang diberikan oleh Negara penjajah pada masa lampau.
Menurut Lawrence M. Friedman, ada tiga unsur dalam sistem hukum,
yaitu :34
1) Sistem hukum mempunyai struktur. Sistem hukum terus
berubah, namun bagian-bagian sistem itu berubah dalam
kecepatan yang berbeda, dan setiap bagian berubah tidak
secepat bagian tertentu lainnya. Ada pola jangka panjang yang
berkesinambungan – aspek sistem yang berada di sini kemarin (
atau bahkan pada abad yang terakhir) akan berada di situ
dalam jangka panjang. Inilah struktur sistem hukum – kerangka
atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang
memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan.
Struktur sistem hukum terdiri dari unsur berikut ini : jumlah
dan ukuran pengadilan, yurisdiksinya (yaitu, jenis perkara yang
diperiksa, dan bagaimana serta mengapa), dan cara naik
34 Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction Second Edition (Hukum Amerika Sebuah Pengantar) Penerjemah Wishnu Basuki, Penerbit PT. Tatanusa, Jakarta, 2001, hal 7 –9.
banding dari satu pengadilan ke pengadilan lain. Jelasnya
struktur adalah semacam sayatan sistem hukum – semacam
foto diam yang menghentikan gerak.
2) Aspek lain sistem hukum adalah substansinya. Yaitu aturan,
norma, dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam
sistem itu. Substansi juga berarti “produk” yang dihasilkan oleh
orang yang berada dalam sistem hukum itu – keputusan yang
mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun.
Penekannya di sini terletak pada hukum hukum yang hidup
(Living law) , bukan hanya pada aturan dalam kitab hukum (law
books).
3) Komponen ketiga dari sistem hukum adalah budaya hukum.
Yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum –
kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Dengan kata
lain budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan
sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan,
dihindari atau disalah gunakan. Tanpa budaya hukum, sistem
hukum itu sendiri tidak akan berdaya – seperti ikan yang mati
terkapar di keranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang
di lautnya.
Friedman mengibaratkan sistem hukum itu seperti “struktur” hukum
seperti mesin. Substansi adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh
mesin itu. Budaya hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan
untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan
bagaimana mesin itu digunakan.
2. Sistem Hukum di Indonesia35
Sistem hukum di Indonesia berdasarkan pada asas konkordansi
memperlakukan sistem hukum yang berasal dari daratan Eropa (Eropa
Kontinental). Sementara itu selain sistem hukum yang berasal dari Eropa, di
Indonesia berlaku hukum adat sebagai hukum yang asli. Di Samping itu juga
berlaku hukum Islam bagi pemeluknya. Karena agama Islam adalah
mayoritas dari agama lainnya di Indonesia, maka penetrasi ajaran Islam
dalam kehidupan bangsa Indonesia banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai dari
ajaran Islam. Sehingga hukum adat Indonesia turut pula dipengaruhi oleh
nilai-nilai ajaran Islam. Bahkan di Sumatera Barat landasan kehidupan bagi
masyarakat Minangkabau yang menyatakan “adat basandi syara’, syara’
basandi kitabullah”, artinya adat itu bersendikan pada syara’ (syariat
Islam), dan syara’ bersendikan kitab Allah SWT, (Al Qur’an dan Hadits). Al
Qur’an dan Hadits itu adalah sumber syariat atau ajaran yang dipedomani
bagi orang yang beragama Islam.
Hukum adat Indonesia tumbuh dan berkembanga dari kebiasaan-
kebiasaan sehari-hari dari masyarakat adat, lalu oleh anggota masyarakat
yang bersangkutan bila dilanggar maka akan menadpat kecaman dari
anggota masyarakat lainnya. Keadaan ini berlangsung terus menerus iikuti
lagi oleh lainnya dan digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi pengetua 35 Budiman Ginting (Dosen FH USU), Perbandingan Sistem Hukum Sebagai Alternatif Metode Pembaharuan Hukum di Indonesia, Jurnal Equalitu Vol. 10 No 1, 2005, hlm. 33-34
adat atau pemimpin masyarakat adat, ataupun dijadikan sebagai acuan
bagi pengetua adat untuk mengkonstituir suatu persoalan lalu
dikonstalasikan dalam putusannya oleh pengetua adat atau lewat
peradilan adat.
Inilah yang dimaksudkan oleh Ter Haar sebagai teori keputusan atau
yang disebut dengan “Beslissingenleer Theorie”,36 lalu kemudian diikuti
oleh masyarakat lainnya karena memang dianggap patut, pantas dijadikan
sebagai pedoman hidup antar sesamanya, sehingga lama kelamaan
menjadi kebiasaan. Dan kebiasaan ini jika tidak dituruti oleh perseorangan
atau individual akan dikucilkan dari kehidupan bersama. Kemudiaan
kebiasaan-kebiasaan ini jika dilanggar oleh anggota masyarakat jika di
bawa ke forum musyawarah masyarakat (rembuh rakyat atau rembuh
desa) yang dipimpin oleh pengetua adat, putusannya ini lalu dijadikan
sebagai hukum adat yang hidup dan dijadikan sebagai peraturan kebiasaan
dan diperintahkan didalam pergaulan hidup baik di kota maupun di desa-
desa (costumary law). Terhadap pelanggaran aturan adat istiadat ini oleh
masyarakat adat itu sendiri akan memberi suatu sanksi yang tegas, berupa
penguilan dari lingkungannya, dibuang ke daearh lain dan tidak bisa lagi
berkomunikasi dengan sanak keluarganya, dan yang terberat dapat
dihukum dengan hukuman fisik berupa kerja berat dan denda berupa
penggantian dengan sejumlah harta miliknya berupa ternak-ternak
peliharaannya maupun sejumlah uang pengganti malu. Dari kelima sistem 36 Budiman Ginting, Perspektif Politik Hukum Indonesia dalam Pembangunan Hukum Nasionalnya (makalah), Universitas Sumatera Utara, PPS, Medan, 2000.
hukum seperti disebut di atas bahwa sistem hukum yang mana yang dianut
oleh masing-masing Negara di dunia ini dapat dilihat atau temukan pada
masing-masing dasar falsafah atau pandangan hidup bangsa yang
bersangkutan dan bagaimana aturan-aturan hidup mereka dalam
menylesaika suatu masalah hukum. Setiap Negara berbeda-beda dasar
falsafah hidupnya ataupun pandangan dan sikap hidupnya serta kultur atau
budaya bangsanya, oleh sebab itu hukumannya pun berbeda, sebab hukum
itu adalah sebagian besar tumbuh dari kebudayaan suatu bangsa.37
Di Indonesia sistem hukumnya banyak dipengaruihi oleh sistem hukum
Belanda. SIstem hukum Belanda sendiri adalah sistem hukum Eropa atau
sering disebut sistem hukum Romawi Jerman (Romawi Jermania) yang
pada awalnya bersumber dari sistem hukum Romawi Kuno yang
dikembangkan oleh Negara-negara Perancis, Spanyol, Portugis dan lain-
lain. Berkembangnya sistem hukum Romawi Jerman adalah berkat usaha
dari Napoleon Bonaparte yang berusaha menyusun Code Civil atau Code
Napoleon yang bersumber dari Hukum Romawi. Sistem hukum ini pertama
kali berkembang dalam hukum perdatanya (private law) atau civil law38,
yaitu hukum yang mengatur hubungan sesame anggota masyarakat. Oleh
karena itu sistem hukum Romawi Jerman ini lebih terkenal dengan sebutan
sistem hukum Civil Law39. Rene Devid dan John E.C. Brierly, mengatakan
37 Soetanyo Wignjopsoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, ELSAM dan HUMA, 2002, Jakarta.38 Rene Devid and John E.C. Brierley, Mayor Legal Systems in the World Today, Second Edition. Steven & Sons, London, 197839 Id
selain sistem hukum civil law juga dikenal sistem common law. Dan
menurutnya di dunia ini terdapat 3 (tiga) sistem hukum yang dominan yaitu
:
1) Sistem hukum Romawi Jerman atau civil law,
2) Common law system,
3) Socialist law system
Lain pendapat dikemukakan oleh John Henry Merryman40, menyatakan
bahwa dalam dunia kontemporer ada tiga tradisi hukum, yaitu :
1) Tradisi hukum continental (civil law)
2) Tradisi hukum adat (common law)
3) Tradisi hukum sosial (social law)
Dalam perkembangannya sistem socialist law ini banyak dipengaruhi
sistem civil law karena banyak dari Negara-negara sosial sebelumnya
menganut sistem civil law.41 Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sistem
hukum yang dominan hanya ada 2 (dua) yaitu sistem hukum civil law dan
common law.
BAB III
CIVIL LAW42 DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
40 John Henry Merryman, The Civil Law Tradition, Stanford University Press, California, 1969.41 Supranote. 3842 Supranote. 31, hlm. 15-21
1. Civil Law System
Dalam rumpuh hukum ini, ada dua istilah untuk menunjukan rumpun
hukum ini, yaitu rumpun hukum Romano-Germanik dan rumpun hukum
Eropa Kontinental. Istilah Eropa Kontinental mengacu pada kenyatan
bahwa rumpun ini berkembang terutama di kawasan tersebut, smentara
istilah Civil Law mengacu pada sejarah perkembangan rumpun hukum ini
yang pada dasarnya terikat erat dengan tata hubungan warga masyarkat
Eropa. Akhirnya istilah Romano-Germanik muncul mengingat bahwa
rumpun ini dipengaruhi sejumlah aliran hukum, terutama pengaruh dari
hukum Romawi dan hukum Jerman. Selain itu, munculnya Negara
kebangsaan (nation states) di Eropa juga memberi andil yang besar dalam
pembentukan rumpun Civil Law ini.
Tata hukum menurut rumpun hukum ini merupakan seperangkat
kaidah perilaku (rule of conduct) yang sangat erat terkait dengan konsep
keadilan dan moralitas. Substansi utama rumpun hukum ini adalah
pandangan-pandangan para ahli hukum, sementara jurisprudensi dan
praktek hukum hanyalah sekedar “periferi” semata.
Atas dasar faktor-faktor yang bersifat historis, rumpun hukum ini lebih
banyak diisi oleh hukum privat. Rumpun hukum ini dikembangakan oleh
universitas-universitas Eropa, terutama di kawasan Latin dan Jerman sejak
abad 12-13. Basis utama perkembangan rumpun Civil Law adalah kompilasi
hukum peninggalan Kaisar Yustinianus, kemudan dilengkapi dengan
pelbagai adaptasi atas dasar pengaruh dunia modern.
Pada awalnya rumpun civil law ini menyebar ke seluruh dunia melalui
kolnialisme bangsa-bangsa Eropa, kemudian juga tersebar melalui resepsi
oleh Negara yang tidak terjamah oleh proses kolonialisme atas dasar
kebutuhan Negara-negara itu dalam menjawab modernisasi.
Akar utama rumpun hukum ini terletak pada kekaisaran Romawi yang
berhasil menciptakan suatu peradabat yang luar biasa. Orang Romawi juga
telah berhasil emmbangun sistem hukumnya sendiri. Pada prinsipnya,
sistem hukum Romawi ini terdiri atas sejumlah adat kebiasaan setempat
yang tercampur dengan sejumlah pandangan Kristen.
Sebuah kompilasi hukum Romawi yang monumental yang disusun
sejak tahun 529 sampai 534 yang dikenal sebagai Corpus Iuris Civilis atas
Kodeks Yustinianus.
Corpus Iuris Civilis ini terdiri dari 4 bagian yaitu :
1) Institutiones merupakan semacam pengantar ringkas bagi
mahasiswa yang hendak mempelajari hukum.
2) Digesta atau Pandectae berisi materi-materi yang harus
dipelajari oleh para mahasiswa.
3) Codex merupakan suatu koleksi peraturan perundang-
undangan Romawi yang tersusun secara sistematis.
4) Novelli merupakan peraturan perundang-undangankekaisaran
yang ditambahkan setelah Codex dan Digesta selesai disusun.
Selanjutnya, pada prinsipnya ada dua golongan yang mengarahkan hukum
romawi kepada Usus Modernus Pandectarum, yaitu :
1) Golongan yang disebut kaum Glossator – mereka mencoba
merekonstruksi dan memahami teks hukum Romawi (Iuris
Corpus Civilis) seasli mungkin.
2) Golongan yang disebut kaum komentator atau disebut pula
kaum Pasca Glossator mereka mengembangkan hukum Romawi
dengan menyesuaikan dengan perkembangan baru yang ada
saat itu.
Pada gilirannya, melalui para mahasiswa yang belajar hukum di Eropa Barat
inilah Usus Modernus Pandectarum tersebut menyebar ke seluruh Eropa.
Rumpun hukum ini telah mempersatukan bangsa-bangsa Eropa dengan
keaneka ragamannya.
Dengan demikian dapat dikatakan telah ada Ois Commune atau Droit
Commun atau Gemeines Recht di benua Eropa, meskipun mengandung
nuansa-nuansa setempat.
Ius Commune ini kemudian menjadi hukum pokok di hamper seluruh benua
Eropa, sementara nuansa setempat tampak dalam bentuk seberapa jauh
resepsi hukum Romawi ke dalam kehidupan hukum setempat.
Pada prinsipnya aliran Hukum Alam ini mencoba untuk merumuskan
pemikiran hukum yang bersifat universal dan lestari, berlaku dimana saja
dan kapan saja.
1) Pembaharuan konsep hukum yang memasukan faktor hak-hak
pribadi ke dalam tradisi hukum Romawi,
2) Mendeduksi prinsip-prinsip rasio ke dalam konstitusi, praktek
administrasi dan hukum pidana,
3) Memperkenalkan cabang hukum publik sehingga hukum
mempunyai peran yang baru.
Disamping fungsi-fungsi tradisional, hukum yang berperan
sebagai pengatur hubungan antara yang memerintah
(penguasa) dengan yang diperintah (rakyat), antara pihak
administrasi dengan pribadi-pribadi privat.
Pada awalnya muncul hukum pidana yang diperlukan untuk
melindungi warga dari tindak kekerasan atau kejahatan.
Sementara itu, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi
diperlukan untuk menata tatanan organisasi pemerintahan.
4) Pembentukan kodifikasi yang merupakan ujung logis dari suatu
progress pemikiran universitas selama berabad-abad.
Kodifikasi di samping membaurkan aspek teori dan praktek
hukum juga berperan besar dalam mengeliminasikan
fragmentasi hukum.
Dengan demikian, dengan munculnya aliran Hukum Alam ini
orang mulai berpikir tentang hukum positif.
Selanjutnya, dengan munculnya kodifikasi, maka berakhirlah peran Ius
Commune. Positivisme hukum menjadi marak, hukum menyempit menjadi
hukum nasional semata.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diberikan ringkasan bahwa berbicara
hukum dalam Vivil Law System, segera muncul peranan yang sangat besar
dari hukum yang tertulis (perundang-undangan). Civil Law System berjalan
dan tumbuh atas dasar peraturan yang dibuat manusia, peraturan
perundang-undangan. Hukum positif hanya menjadi kerangka umum saja
yang memberikan tuntutan dalam pengambilan keputusan, bukan berisi
kaidah yang komplit.
Namun terhadap perundang=undangan ini harus dilakukan pembatasan-
pembatasan yang berupa keadilan. Pemabtasan ini dilakukan dengan
penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan untuk kasus-kasus
konkrit. Oleh karena itu sistem hukum ini tidak membutuhkan dan tidak
mengenal konsep “equity” dan “courts of equity” seperti sistem di Inggris,
yang fungsinya melakukan koreksi terhadap ketegaran dari kaidah hukum
yang sangat konkrit itu.43
Dalam Civil Law System, kepastian hukum dapat dicapai jika segala
tindakan hukum manusia diatur dengan peraturan hukum yang tertulis,
43 Supranote. 29, hlm. 249
sehingga berdasarkan tujuan hukum itu hakim tidak dapat leluasa untuk
menciptakan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat
umum. Hakim berfungsi hanya menetapkan dan menafsirkan peraturan
sebatas kewenangannya saja, sehingga putusannya dalam suatu perkara
hanya mengikat para pihak yang berperkara saja (Doktrin Res Ajudicata)
2. Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen menurut Undang-Undang Nomor. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 angka 1 adalah
“segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen.” Rumusan pengertian perlindungan
konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UUPK telah memberikan
cukup kejelasan. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan
tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi
untuk kepentingan perlindungan konsumen.44
Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi
perlindungan terhadap konsumen barang dan/atau jasa, yang berawal dari
tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan/atau jasa hingga ke
dampak dari pemakaian barang dan/atau jasa itu. Cakupan perlindungan
konsumen dalam 2 (dua) aspeknya itu, dapat dijelaskan sebagai berikut45 :
44 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 145 A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, C.V Diadit Media, Jakarta, 2002, hlm. 3
1. Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkan kepada konsumen
barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah
disepakati atau melanggar ketentuan undang-undang. Dalam kaitan
ini termasuk persoalan-persoalan mengenai penggunaan bahak
baku, proses produksi, proses distribusi, desain produk, dan
sebagainya, apakah telah sesuai dengan standar sehubungan
keamanan dan keselamatan konsumen atau tidak. Juga, persoalan
tentang bagaimana konsumen mendapatkan penggantian jika
timbul kerugian karena memakai atau mengkonsumsi produk yang
tidak sesuai.
2. Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat-
syarat yang tidak adil. Dalam kaitan ini termasuk persoalan
persoalan promosi dan periklanan, standar kontrak, harga, layanan
purnajual dan sebagainya. Hal ini berkaitan dengan perilaku
produsen dalam memproduksi dan mengedarkan produknya.
Tujuan dari terbentuknya Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen tertuang dalam Pasal 3, yaitu :
a) meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri;
b) mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau
jasa;
c) meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d) menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi;
e) menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
f) meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Tujuan adanya perlindungan konsumen ini dimaksudkan agar
konsumen mampu serta sadar untuk melindungi pribadi konsumen dari
barang dan/atau jasa yang dapat merugikan konsumen. Aturan ini
mengharapkan konsumen untuk dapat menjaga harkat martabat
konsumen dari ekses negatif barang dan/atau jasa yang disediakan oleh
pihak pelaku usaha. Dalam hal ini, konsumen diberikan hak untuk memilih
jenis-jenis barang dan/atau jasa yang akan di gunakan dalam kehidupan
sehari-hari. Kepastian hukum, informasi yang jelas serta keterbukaan akses
menjadikan konsumen dapat memilih dan menggunakan barang dan/atau
jasa yang ada untuk menghindari kerugian yang akan dideritanya kelak.
Pelaku usaha pun dituntut untuk menumbuhkan sikap yang jujur dan
bertanggung jawab demi terciptanya perlindungan bagi konsumen dan
pelaku usaha dapat meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang
diproduksi demi keselamatan, kenyamanan dan keamanan dari konsumen.
BAB IV
ANALISIS SEJARAH HUKUM TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR. 8
TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
1. Perlindungan konsumen dengan konsep dan tujuan dasar untuk
melindungi serta menjaga tatanan perekenomian di Indonesia yang
akan menitik beratkan terhadap perlindungan terhadap konsumen
maupun pelaku usaha, memperlihatkan adanya kausalitas antara
tujuan hukum dari suatu undang-undang perlindungan konsumen dan
kaitannya dengan sejarah hukum. Dapat di lihat dalam pasal 1 dalam
Undang-Undang Nomor. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen yaitu adanya sifat atau dasar yang menaytakan bentuk
kepastian hukum. Dalam kaitannya dengan sejarah hukum, kepastian
hukum di jadikan dasar dalam upaya pembentukan Code Napoleon
untuk membentuk suatu aturan hukum yang dapat memberikan
jaminan dan kepastian hukum bagi seluruh rakyat. Jaman romawi
menjadi titik tolak sebagai sejarah terbentuknya sistem Civil Law yang
menginginkan adanya keterpaduan dan keteraturan dalam
penggunaan dan pengelompokan hukum secara sistematis.
2. Selanjutnya menurut Von Savigny, bahwa sistem hukum berasal dari
kebiasaan dan perkembangannya dihasilkan lewat aktivitas dan kreasi
pembuat hukum.46 Seperti diketahui, bahwa peraturan mengenai
perlindungan konsumen yang berbentuk undangundang ini diawali
46 Supranote 5, hlm 280-283
dengan sejarah dan perkembangan mengenai perlindungan terhadap
konsumen di Amerika. Selanjutnya, konsep ini menyebar dan diterima
oleh banyak masayrakat di Benua Amerika dan Eropa, bahkan Benua
Asia khususnya Indonesia mendapatkan manfaat dari implementasi
terhadap konsep atas peraturan perlindungan konsumen yang telah
hadir terlebih dahulu di 2 (dua) benua tersebut. Menganai hal
tersebut, maka lembaga legislative di Indonesia dengan inisiatif dan
konsepsi ketatanegaran yang bertujuan ingin menciptakan
kemanfaatan dan kepastian serta perlindungan terhadap rakyat
Indonesia, membentuk suatu peraturan adalah kewajiban dari sebuah
lemabga legislative. Dengan merujuk terhadap konsep Von Savigny,
maka atas dasar kebiasaan dan perkembangan hukum mengenai
perlindungan konsumen di dunia, maka dibentuklah Undang-Undang
Nomor. 8 tentang Perlindungan Konsumen.
3. Von Savigny pun mengatakan bahwa hukum dan masyarakat itu
berkembang melalui elemen-elemen politik, maksudnya
perkembangan hukum dan masyarakat dilandaskan dari keyakinan dan
spirit masyarakat tersebut.47 Maksudnya, bahwa pembentukan
peraturan mengenai perlindungan konsumen di Amerika saja
didasarkan dengan keyakinan dan semangat dari masyarakat yang
diakomodasi oleh pemerintah untuk melindungi masyarakatnya dari
tindakan pelaku usaha dalam kedudukan masyarakat sebagai
47 Supranote. 6, hlm. 142
konsumen (pengguna jasa dan/atau barang). Dari hal tersebut,
perkembangan dan konsep tersebut diterima dengan sangat baik
sehingga munculnya kesadaran dari berabgai Negara untuk
menjadikan suatu aturan mengenai perlindungan onsumen adalah hal
yang perlu untuk ditindak lanjuti pengaturannya. Di Indonesia, tidak
dapat suatu keyakinan hanya tetap keyakinan. Perlu pembentukan
hukum yang tertulis dan sistematis dengan dasar asas kepastian
hukum dan perlindungan hukum terahdap masyarakat yaitu konsumen
untuk dapat digunakan dan ditegakan keberadaan aturan tersebut
untuk mencegah adanya kesewenang-wenangan dari pelaku usaha
yang menawarkan barang dan/atau jasanya.
4. Sudikno Mertokusumo pun mengatakan bahwa dalam hal menegakan
hukum haruslah ada 3 (tiga) unsur yang dipenuhi yaitu :
a) Kepastian hukum.
Undang-Undang Nomor. 8 tentang Perlindungan Konsumen ini
menjadikan fondasi atau landasan bagi masyarakat Indonesia
untuk mempergunakan dan memanfaatkan peraturan
perundang-undangan sebagai pelindung untuk menuju
masyarakat hukum yang aman dan penuh unsur kepastian
hukum. Legislatif menjadikan suatu peraturan mengenai
perlindungan konsumen dengan harapan bahwa masyarakat
akan tercipta rasa aman, nyaman dan terlindungi dari tindakan
negative pelaku usaha.
b) Kemanfaatan
Peraturan mengenai perlindungan konsumen menjelaskan
mengenai manfaat yang diciptakan dalam butir-butir pasal yang
tertuang didalam Undang-Undang Nomor. 8 Tentang
Perlindungan Konsumen yang menjadikan peraturan ini
bermanfaat dan tidak menimbulkan reaksi negative dari
masyarakat.
c) Keadilan
Tentu dengan adanya aturan tertulis, maka keadilan menjadi
sumber atau dasar yang akan ditujukan terhadap para
konsumen dan pelaku usaha. Dibentuknya konsep keadilan
akan melihat sebagaimana pentingnya kedudukan diantara
kedua belah pihak dalam tindakan bisnis yang melibatkan
konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada kerugian yang
ditimbulkan oleh sebagian pihak.
BAB V
KESIMPULAN
Dengan konsepsi ketatanegaraan yang berada di Indonesia saat ini.
Seluruh peraturan perundang-undangan dibentuk oleh legislative sebagai
lembaga yang berwenang untuk membentuk suatu peraturan dibawah
undang-undang, maka Undang-Undang Nomor. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menjadi salah satu dari sekian banyak peraturan
yang dibentuk oleh legislative. Dengan kerangka teori dari Von Savigny dan
ahli-ahli lain dalam ilmu sejarah hukum dan doktrin dari pakar ilmu hukum
di Indonesia, maka konsep sejarah hukum itu adalah dasar atas pencapaian
yang diciptakan oleh masyarakat saat ini. Perkembangan dan
penegakanhukum yang ada saat ini mengembangkan konsep hukum yang
dahulu dikembangkan sejalan dengan konsep dari sistem hukum yang ada
di Indonesia, yaitu Civil Law.
Metode sejarah hukum menekankan pemahaman dan penghayatan
tentang hukum yang berlaku sekarang. Dengan hal tersebut, kita dapat
mengetahui dan menghayati bahwa hukum yang berlaku saat ini sudah
cukup baik jika dibandingkan dengan konsepsi tentang hukum di bidang
yang bersangkutan pada masa lalu.
Sejarah hukum juga dapat mempermudah para perancang dan
pembentuk hukum saat ini dengan menghindari kesalahan di amsa lalu
serta mengambil manfaat dari perkembangan positif dari hukum di masa
lalu. Ini penting bagi para pembentuk dan perancang hukum untuk tidak
membentuk hukum seperti yang terjadi di masa lalu.
Konsep analisis hukum dari sejarah hukum dengan Undang-Undang
Nomor. 8 tentang Perlindungan Konsumen berguna untuk mengetahui
makna hukum positif bagi para akademisi maupun praktisi hukum dengan
melakukan penelusuran dan penafsiran yang bersifat sejarah. Karena
umumnya hukum berkembang secara evolutif dalam sejarah, maka konsep
dan pengertian huukum yang berlaku saat ini akan dipahami dengan baik
dan utuh jika kita juga memahami akar sejarah dan alur perkembangan
konsep dan pengertian hukum di masa lalu.
Hal ini pun dapat mengungkapkan atau memberikan indikasi
tentang dari mana hukum berasal, bagaimana kedudukannya saat ini dan
akan di bawa kemana arah perkembangannya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof. Emeritus John Gilissen dan Prof. Dr. Emeritus Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, PT. Refika Aditama, Bandung, 2011.
2. R. Abdoel Djamali, S.H, Pengantar Hukum Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.
3. Munir Fuady, Sejarah Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2013.4. Luis Kurtner, Savigny: “German Lawgiver”, Marquatte Law Review,
Vol. 55, Issue 2 Spring, 1972.5. Leopard Pospisil, Anthropology of Law: A Comparative Theory, USA,
Willey, 1971.6. Stone, Social Dimension of Law and Justice, Stevens, USA, 1966.7. Jeremy Hall, Reading in Jurisprudence, UK: The Bobbs Merrils
Company, 1938.8. Stone, The Provinceand Function of Law, Associated General
Publication Pty. Ltd, Sydney, 1946.9. Alf Ross, On Law and Justice, USA: The Lawbook Exchange. Ltd,
1959.10. Hienrich Rommen, The Natural Law: A Study in Legal Social History
and Philosophy, (transt; Thomast Hanley Indianapolis: Liberty Fund, 1936.
11. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.12. Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo,
Jakarta, 2000.13. Soerjono Soekanto, Pengantar Sejarah Hukum, Alumni, Bandung,
1983.14. Drs. Sudarsono, SH.M.Si, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta,
Jakarta, 2001.15. Utrecht E, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, NV Penerbitan dan
Balai Buku Indonesia, Jakarta, 1956.16. Tim Pengajar PIH Fakultas Hukum UNPAR, Diktat Pengantar Ilmu
Hukum, Bandung, 1995.17. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1991.18. Rusadi Kantaprawira, Aplikasi Pendekatan SIstem Dalam Ilmu-Ilmu
Sosial, Bunda Karya, Bandung, 1987.19. Tim Dosen Pengajar Matakuliah PHI, Diktat Pengantar Hukum
Indonesia, Bandung, 2005.20. Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional, dalam Mochtar
Kusumaatmaja : Pendidik &Negarawan (Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahum Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja, SH. LL.M., Editor Mieke Komar, Etty R. Agoes, Eddy Damian, Penerbit Alumni Bandung, 1999.
21. Bagir Manan, Dasar-dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan Nasional, Makalah, Jakarta, 1993.
22. Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction Second Edition (Hukum Amerika Sebuah Pengantar) Penerjemah Wishnu Basuki, Penerbit PT. Tatanusa, Jakarta, 2001.
23. Budiman Ginting (Dosen FH USU), Perbandingan Sistem Hukum Sebagai Alternatif Metode Pembaharuan Hukum di Indonesia, Jurnal Equalitu Vol. 10 No 1, 2005.
24. Budiman Ginting, Perspektif Politik Hukum Indonesia dalam Pembangunan Hukum Nasionalnya (makalah), Universitas Sumatera Utara, PPS, Medan, 2000.
25. Soetanyo Wignjopsoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, ELSAM dan HUMA, 2002, Jakarta.
26. Rene Devid and John E.C. Brierley, Mayor Legal Systems in the World Today, Second Edition. Steven & Sons, London, 1978
27. John Henry Merryman, The Civil Law Tradition, Stanford University Press, California, 1969.
28. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
29. A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, C.V Diadit Media, Jakarta, 2002.
30. Undang-Undang Nomor. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.