ANALISIS LINGKUNGAN

10
ANALISIS LINGKUNGAN Sulawesi tengah merupakan daerah satu-satunya di Indonesia yang endemik Schistosomiasishanya ditemukan di Sulawesi Tengah, yaitu di Dataran Tinggi Lindu, Napu dan Bada. Dataran Lindu merupakan daerah dengan topografi yang relatif bervariasi, dari dataran sampai perbukitan. Sebagian besar wilayah Lindu merupakan kawasan hutan taman nasional dan perairan berupa danau yang dikenal dengan Danau Lindu, Penggunaan lahan di wilayah ini berupa: sawah, tanah ladang, perkebunan coklat dan kopi, sedangkan selebihnya merupakan semak belukar dan hutan. Danau Lindu dikelilingi oleh delapan pegunungan yakni Nokilalaki, Adale, Kona’a, Tumaru, Gimba, Jala, Rindi, dan Toningkolue. Gambar Peta tofografi Dataran Tinggi Lindu, Propinsi Sulawesi Tengah dengan menggunakan Citra Satelit Quickbird.

description

analisis lingkungan wabah di sigi

Transcript of ANALISIS LINGKUNGAN

ANALISIS LINGKUNGAN

Sulawesi tengah merupakan daerah satu-satunya di Indonesia yang

endemik Schistosomiasishanya ditemukan di Sulawesi Tengah, yaitu di Dataran

Tinggi Lindu, Napu dan Bada.

Dataran Lindu merupakan daerah dengan topografi yang relatif bervariasi,

dari dataran sampai perbukitan. Sebagian besar wilayah Lindu merupakan

kawasan hutan taman nasional dan perairan berupa danau yang dikenal dengan

Danau Lindu, Penggunaan lahan di wilayah ini berupa: sawah, tanah ladang,

perkebunan coklat dan kopi, sedangkan selebihnya merupakan semak belukar dan

hutan. Danau Lindu dikelilingi oleh delapan pegunungan yakni Nokilalaki, Adale,

Kona’a, Tumaru, Gimba, Jala, Rindi, dan Toningkolue.

Gambar Peta tofografi Dataran Tinggi Lindu, Propinsi Sulawesi Tengah dengan menggunakan Citra Satelit Quickbird.

Penduduk yang tinggal di Dataran Tinggi Lindu mayoritas terdiri dari

penduduk lokal yang dikenal sebagai etnis Kaili Tado, disamping etnis Kaili

lainnya (seperti Kaili Ledo, Kaili Ija, Kaili Ado, Kaili Tado, Kaili Moma, Tohului

dan Uma), etnis Arab dan bugis yang telah tinggal dan menetap di kawasan

tersebut sejak tahun 1950-an. Sampai dengan tahun 2008, tercatat terdapat 3754

jiwa yang tinggal di Lindu. Mayoritas penduduk tinggal di Desa Tomado (1855

jiwa), Desa Puroo (766 jiwa), Langko (641 jiwa) dan Anca (492 jiwa)., Sebagian

besar penduduk berprofesi sebagai petani sawah dan kebun, nelayan dan penderes

pohon aren.

Desa Anca merupakan wilayah paling potensial sebagai habitat O. h.

lindoensis. Jumlah habitat terbanyak di desa tersebut ditemukan di wilayah sub

desa Paku, sebanyak 26 habitat yang tersebar dari mulai tepi danau (bekas sawah

yang sudah tidak diolah, kebun coklat) sampai di dalam hutan. Di dusun lainnya,

yaitu Bamba dan Muara, 13 habitat berhasil dipetakan. Habitat di wilayah ini juga

tersebar mulai dari tepian muara danau sampai ke dalam hutan. Habitat lain juga

ditemukan di wilayah dusun Anca (9 habitat), Langkasa, Kalinco (5 habitat), dan

Pongku (2 habitat). Habitat-habitat tersebut berada di pinggir danau pada semak

belukar dan lahan sawah yang sudah tidak diolah.

Pakis atau Boa-boa sangat dikenal oleh masyarakat lokal karena digunakan

sebagai tolak bala terhadap roh jahat sebelum masuk ke dalam hutan. Pada habitat

ini, keong O. h. lindoensis biasa dijumpai menempel pada pangkal dan helai

rumput. Lantai sawah yang lembab/agak becek juga menjadi tempat berkembang

biak keong penular Skistosomiasis tersebut.

Gambar Habitat keong O. h. lindoensis di wilayah Paku, Anca

Gambar Lokasi fokus aktif O. h. lindoensis yang baru di daerah muara Danau Lindu;

Gambar Habitat keong O. h. lindoensis di Dusun Owo, Puroo;

Gambar Habitat keong O. h. lindoensis di Dusun Malo;

Secara keseluruhan, sebaran habitat keong O. h. lindoensis di dataran

tinggi Lindu, dapat dilihat pada Peta sebaran sebagai berikut :

Gambar Peta sebaran habitat keong O. h. lindoensis di dataran tinggi Lindu.

Selain itu keadaan alam yang menunjang seperti habitat keong O.h.

lindoensis yang terdapat di daerah pertanian, hutan, sepanjang irigasi dan daerah

penggembalaan . Hal ini memungkinkan hewan-hewan mamalia banyak mencari

makanan di daerah tersebut sehingga penularan atau siklus hidup cacing S.

japonicum masih terus berlangsung.

Dataran Tinggi Lindu tidak hanya menyangkut keong sebagai perantara

dan cacing sebagai penular, akan tetapi juga menyangkut aspek lain seperti aspek

sosial budaya. Aspek sosial budaya mempunyai peranan dalam penularan

schistosomiasis meliputi: pengetahuan, perilaku, kepercayaan masyarakat

terhadap schistosomiasis.

Pengetahuan tentang penyebab schistosomiasis sudah banyak diketahui

oleh kalangan masyarakat Lindu, dan sampai saat ini secara turun temurun mereka

mengatakan schistosomiasis adalah penyakit keong dalam bahasa orang Lindu

disebut susu. Bagi sebagian penduduk di Lindu, schistosomiasis bukan lagi

penyakit yang ditakuti warga, karena bagi mereka pengobatan secara rutin yang

dilakukan setiap enam bulan oleh petugas laboratorium

schistosomiasis, sudah memberikan jaminan kesehatan bagi masyarakat Lindu.

Bagi masyarakat Lindu schistosomiasis bukanlah penyakit tradisional yang

diakibatkan oleh mahluk-mahluk ghaib. Keseluruhan masyarakat memiliki

pengetahuan medis dan percaya bahwa penyebab schistosomiasis adalah dari

keong. Pengetahuan tentang gejala schistosomiasis. Beberapa masyarakat

mengatakan gejala pertama orang terinfeksi schistosomiasis adalah gatal-gatal.

Gatal-gatal terjadi saat pertama kali seseorang menginjakkan kakinya di air atau

melewati daerah-daerah becek, jika tubuh terasa gatal parasit sudah masuk dalam

tubuh manusia dan dalam beberapa hari orang akan mengalami gejala muntah,

pusing, demam dan sakit kepala. Masyarakat Lindu telah memiliki pemahaman

yang baik tentang gejala-gejala schistosomiasis. Pengetahuan masyarakat Lindu

tentang proses penularan schistosomiasis membuktikan, bahwa rata-rata

Masyarakat khususnya penderita masih kurang mengetahui cara-cara penularan

schistosomiasis.. Sebagian besar masyarakat mengatakan penularan

Schistosomiasis dari keong. Adapula yang mengatakan penularan terjadi akibat

sering buang air besar disembarang tempat, tidak menggunakan sepatu boot dan

menginja kotoran hewan seperti sapi, kerbau dan anjing. Ini menandakan

pengetahuan masyarakat Lindu tentang proses penularan schistosomiasis masih

sangat minim.

Berbicara mengenai pengetahuan dan perilaku kesehatan sedikitnya terkait

dengan masalah nilai-nilai budaya dan lingkungan masyarakat. Faktor-faktor

sosialpsikologi dan faktor budaya sering memainkan peran dalam mencetuskan

penyakit (Djeky, R 2002). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang Lindu,

tidak melakukan pencegahan terhadap schistosomiasis, meskipun mereka

memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam menganalisis penyakit ini baik dari

segi penyebab, gejala dan penularan. Tindakan yang mereka lakukan hanyalah

pengobatan schistosomiasis, tanpa memikirkan cara yang baik agar tidak

terinfeksi schistosomiasis. Secara medis efek samping obat schistosomiasis bisa

mengakibatkan efek buruk bagi tubuh orang yang sering meminumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ningsi, Yamin Sani Pawenari Hijjang. PENGETAHUAN DAN PERILAKU

KESEHATAN MASYARAKAT LINDU TERKAIT KEJADIAN

SCHISTOSOMIASIS DI KABUPATEN SIGI SULAWESI TENGAH.. Balai

Litbangkes P2B2 Donggala