analisis kontrastif dalam pembelajaran bahasa
Transcript of analisis kontrastif dalam pembelajaran bahasa
Analisis Kontrastif
1 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
ANALISIS KONTRASTIF
DALAM PEMBELAJARAN BAHASA KEDUA
Pendahuluan
Dalam pemerolehan dan pembelajaran bahasa kedua, siswa sering
menghadapi kesulitan dan kesalahan. Hal itu terjadi akibat siswa menggunakan
pengetahuan dan pengalaman dalam bahasa pertama. Dalam hal ini, siswa
menggunakan sejumlah unsur kebahasaan dalam bahasa pertama untuk kegiatan
dalam bahasa kedua. Akibat unsur-unsur itu tidak terdapat dalam bahasa kedua,
namun digunakan oleh siswa maka itu mengakibatkan kesalahan berbahasa.
Akibat unsur-unsur kebahasaan itu tidak terdapat dalam bahasa pertama
sedangkan siswa pada saat menggunakan bahasa kedua dituntut untuk
menggunakan unsur itu, maka siswa menjadi kesulitan. Dalam pengajaran bahasa
kedua, kesulitan dan kesalahan siswa tersebut perlu disolusikan oleh guru.
Solusi terhadap kesulitan dan kesalahan siswa dalam pemerolehan dan
pembelajaran bahasa kedua selalu diupayakan. Cara untuk menyolusikan kesulitan
dan kesalahan siswa itu pun cukup banyak sehingga guru dapat memilih salah satu
cara yang dipandang paling tepat. Salah satu solusi untuk mengatasi kesulitan dan
kesalahan siswa akibat pengaruh unsur-unsur kebahasaan itu adalah analisis
kontrastif. Oleh karena itu, analisis kontrastif dapat dijadikan solusi alternatif
dalam pengajaran bahasa kedua. Dengan melakukan analisis kontrastif, guru dapat
mengetahui kesulitan dan kesalahan siswa dalam berbahasa.
Anda perlu mengetahui analisis kontrastif sebagai salah satu cara untuk
mengatasi kesulitan dan kesalahan dalam berbahasa. Dengan pengetahuan itu,
anda diharapkan untuk mempraktikkan dalam mengatasi kesulitan dan kesalahan
siswa dalam berbahasa Indonesia. Selain itu, hasil dari kegiatan anda melakukan
analisis itu dapat digunakan untuk mengatasi masalah dalam pengajaran bahasa di
Sekolah Dasar. Oleh karena itu, anda perlu mempelajari hal tersebut dalam sajian
ini.
Analisis Kontrastif
2 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
Pengajaran bahasa Indonesia yang dilaksanakan di Sekolah Dasar (SD)
merupakan salah satu wujud pengajaran bahasa kedua. Masalah kesulitan dan
kesalahan siswa dalam berbahasa Indonesia adalah hal yang sering dihadapi oleh
guru di kelas. Siswa pada umumnya menghadapi kesulitan dan kesalahan itu
akibat siswa menggunakan pengetahuan dan pengalaman dalam bahasa pertama
(B1). Tidak sedikit unsur-unsur bahasa pertama yang digunakan oleh siswa dalam
pemerolehan dan pembelajaran bahasa kedua mengakibatkan kesulitan dan
kesalahan berbahasa. Analisis kontrastif dipandang memiliki peluang untuk
mendeskripsikan dan memprediksikan kesulitan dan kesalahan siswa dalam
pemerolehan dan pembelajaran bahasa kedua. Oleh karena itu, analisis kontrastif
dapat diimplementasikan ke dalam pengajaran bahasa Indonesia.
Dalam modul ini, anda akan mempelajari analisis kontrastif dalam
pengajaran bahasa kedua dan implementasi analisis tersebut ke dalam pengajaran
bahasa Indonesia di SD. Diharapkan setelah anda mempelajari modul ini, anda
mengetahui tentang: (1) pengertian analisis kontrastif, (2) tujuan analisis
kontrastif, (3) kegunaan analisis kontrastif, (4) ruang lingkup analisis kontrastif,
(5) hipotesis analisis kontrastif, (6) metodologi analisis kontrastif, (7) langkah-
langkah analisis kontrastif, (8) implementasi analisis kontrastif dalam pengajaran
bahasa Indonesia, dan (9) pemanfaatan hasil analisis kontrastif dalam pengajaran
bahasa Indonesia di SD. Oleh karena itu, anda perlu memiliki pengetahuan
tentang analisis kontrastif sehingga anda dapat membantu mengatasi kesulitan dan
kesalahan siswa dalam proses pemerolehan dan pengajaran bahasa Indonesia.
Materi tentang analisis kontrastif disajikan menjadi dua kegiatan belajar, untuk itu
anda dapat mempelajarinya. Semoga anda berhasil!!
Analisis Kontrastif
3 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
Kegiatan Belajar 1
ANALISIS KONTRASTIF SUATU KAJIAN UNSUR KEBAHASAAN
1. Pengertian
Analisis kontrastif adalah suatu kajian terhadap unsur-unsur kebahasaan.
Menurut Lado (1975), analisis kontrastif adalah cara untuk mendeskripsikan
kesulitan atau kemudahan pembelajar bahasa dalam belajar bahasa kedua dan
bahasa asing. Analisis kontrastif bukan saja untuk membandingkan unsur-unsur
kebahasaan dan sistem kebahasaan dalam bahasa pertama (B1) dengan bahasa
kedua (B2), tetapi sekaligus untuk membandingkan dan mendeskripsikan latar
belakang budaya dari kedua bahasa tersebut sehingga hasilnya dapat digunakan
pengajaran bahasa kedua atau bahasa asing. Dalam buku “Linguistic Across
Cultures”, Lado (1975) mengatakan bahwa on the assumption that we can predict
and describe the pattern that will cause difficulty in learning, and those that will
not cause difficulty, by comparing systematically the language and culture to be
learned with the native language and culture of the student.
Kajian terhadap unsur-unsur kebahasaan itu dilakukan dengan cara
membandingkan dua data kebahasaan, yakni data bahasa pertama (B1) dengan
data bahasa kedua (B2). Kedua data bahasa itu dideskripsikan atau dianalisis,
hasilnya akan diperoleh suatu penjelasan yang menggambarkan perbedaan dan
kesamaan dari kedua bahasa itu. Pembahasan data itu harus juga
mempertimbangkan faktor budaya, baik budaya bahasa maupun budaya siswa.
Hasil dari pembahasan tersebut akan diperoleh gambaran kesulitan dan
kemudahan siswa dalam belajar suatu bahasa.
Analisis kontrastif menurut Brown (1980); Ellis (1986), ada empat
langkah yang harus dilakukan. Keempat langkah itu adalah:
1) mendeskripsikan sistem atau unsur-unsur bahasa pertama (B1) dan bahasa
kedua (B2)
2) menyeleksi sistem atau unsur-unsur bahasa (B1 dan B2) yang akan
dibandingkan atau dianalisis.
Analisis Kontrastif
4 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
3) mengontraskan sistem atau unsur-unsur bahasa (B1 dan B2) dengan cara
memetakan unsur-unsur dari kedua bahasa yang dianalisis.
4) memprediksikan sistem atau unsur-unsur bahasa (B1 dan B2) untuk
keperluan pengajaran bahasa di sekolah.
Analisis kontrastif menurut Tarigan (1997), adalah suatu prosedur kerja
yang memiliki empat langkah, yakni: (1) memperbandingkan B1 dengan B2, (2)
memprediksi atau memperkirakan kesulitan belajar dan kesalahan berbahasa, (3)
menyusun atau merumuskan bahan yang akan diajarkan, dan (4) memilih cara
(teknik) untuk menyajikan pengajaran bahasa kedua. Dengan analisis kontrastif,
diharapkan pengajaran bahasa kedua (B2) atau bahasa asing (BA) menjadi lebih
baik.
Jadi, analisis kontrastif adalah suatu kajian terhadap unsur-unsur
kebahasaan untuk keperluan pengajaran bahasa kedua, terutama untuk mengatasi
kesulitan dan kesalahan berbahasa yang dilakukan oleh siswa.
2. Kedudukan Analisis Kontrastif
Analisis kontrastif muncul sebagai jawaban terhadap tuntutan perbaikan
pengajaran bahasa kedua (B2) atau bahasa asing (BA). Menurut Tarigan (1985),
pandangan (pendekatan) kaum behavioris sejak tahun 1930–an sudah digunakan
dalam kajian kebahasaan, seperti yang dikerjakan oleh Bloomfield. Salah satu
temuannya yang didasarkan pada psikologi behavioris adalah bahasa
memungkinkan seseorang membuat jawaban (R = respons) apabila orang lain
memberikan atau memiliki rangsangan (S = stimulus). Skinner pada tahun 1957
mengembangkan pandangan psikologi behavioris itu pada kajian tentang model
behavioristik tingkah laku kebahasaan. Teori kebahasaan yang dikemukakan oleh
Skinner didasari oleh hasil percobaan terhadap perilaku tikus. Teori itu dikenal
dengan istilah “Skinner’s Boxes” (Brown, 1980). Skinner juga mengembangkan
tentang pemerolehan bahasa atau pembelajaran bahasa yang didasari oleh
“Operant Conditioning.” Bagi Skinner pembelajaran dari suatu kebiasaan dapat
dilakukan melalui proses peniruan atau melalui penguatan. Oleh karena itu,
analisis kontrastif dapat digunakan untuk memperhitungkan atau memprediksi
Analisis Kontrastif
5 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
perilaku pembelajar bahasa dan bahasa sasaran (bahasa yang dipelajari) yang
harus dikuasai atau dilatihkan dalam pembelajar bahasa. Jadi, analisis kontrastif
dapat didudukkan sebagai analisis atau kajian perilaku bahasa dan unsur-unsur
bahasa untuk dijadikan area isi dalam pembelajaran bahasa kedua. Dengan
demikian analisis kontrastif dapat mendukung pembelajaran bahasa yang
berlandastumpukan pada teori belajar aliran psikologi behavioris.
Dalam pandangan pengajaran bahasa behavioris digunakan prinsip-prinsip
sebagai berikut: 1) bahasa adalah ujaran, bukan tulisan, 2) bahasa adalah
serangkaian kebiasaan, 3) bahasa adalah apa-apa yang dikatakan atau diujarkan
oleh para penutur (native speaker) bukan apa-apa yang oleh seseorang seharusnya
dikatakan demikian atau dituturkan seperti itu, dan 4) tidak ada bahasa yang persis
sama dengan bahasa yang lain.
Ajarkan bahasanya bukan tentang bahasanya.
Dalam pengajaran bahasa kedua (B2) ataupun pengajaran bahasa asing
(BA), ada masalah yang harus disolusikan, antara lain: “bagaimana” cara
memperbaiki pengajaran dihubungkan dengan masalah yang dihadapi oleh siswa?
Masalah yang sering dihadapi oleh siswa dalam belajar bahasa itu antara lain: (1)
kesulitan mempelajari bahasa kedua (B2) dan (2) kesalahan berbahasa. Analisis
kontrastif dapat digunakan sebagai salah satu solusi alternatif untuk mengatasi
masalah pengajaran bahasa kedua tersebut, yakni pengajaran bahasa yang bertolak
dari pandangan behavioris.
Pengaruh pandangan behavioris dan pandangan mentalis masih cukup kuat
mewarnai pengajaran bahasa saat ini. Akibatnya, pengajaran bahasa kedua
senantiasa mempertimbangkan faktor eksternal dan faktor internal yang
berpengaruh pada proses pemerolehan bahasa kedua. Faktor internal adalah
faktor-faktor yang muncul dalam diri pembelajar (siswa), seperti: kognitif,
inteligensi, sikap, motivasi, jenis kelamin dan usia. Faktor eksternal adalah faktor-
faktor yang berada di luar diri pembelajar, seperti: lingkungan (apakah bahasa
yang dipelajari itu berada pada lingkungan bahasa pertama atau di lingkungan
bahasa kedua) dan keadaan linguistik bahasa pertama (B1) dan linguistik bahasa
kedua (B2). Dalam pandangan behavioris, diyakini bahwa pemerolehan bahasa
Analisis Kontrastif
6 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
merupakan serangkaian proses stimulus–respons–penguatan (pengulangan)– dan
ganjaran. Adapun pandangan mentalis, meyakini bahwa pemerolehan bahasa
akibat adanya aktivitas mental (berpikir) dan manusia pada dasarnya sudah
dibekali kemampuan untuk menggunakan perangkat pemerolehan bahasa (LAD =
Language Acquisition Device). Analisis kontrastif tidak dapat menjangkau
pandangan mentalis, karena analisis kontrastif tidak dapat menjelaskan bahasa
yang ada dalam wilayah mental, sebagai aktivitas berpikir pada diri pembelajar.
Analisis kontrastif tidak sejalan dengan pandangan pengajaran bahasa
rasionalis atau mentalis, namun tepat bagi pandangan pengajaran bahasa
behavioris (empiris atau mekanistis). Oleh karena itu, analisis kontrastif bukan
berlandaskan pada filsafat dan psikologi aliran behavioris dan aliran kebahasaan
(linguistik) struktural.
Pandangan aliran tersebut mengkaji unsur kejiwaan manusia berdasarkan
fakta-fakta yang dapat diamati, bukan unsur kejiwaan manusia yang tidak dapat
diamati secara langsung. Menurut pandangan kaum behavioris, unsur dalam
(batin) merupakan unsur kejiwaan yang tidak dapat diamati secara langsung.
Unsur kejiwaan (batin/mental) itu hanya dapat diamati apabila itu memiliki fakta
atau data muncul di permukaan akibat adanya rangsangan (R) tertentu (Pavlov dan
Witson, Bower dan Hilgard, 1981; Nurhadi, 1990; Sugianto, 1990). Dengan
demikian, analisis kontrastif selalu dihubungkan dengan kegiatan atau perilaku
bahasa yang bersifat pragmatis (ada data bahasannya). Lado mempercayai bahwa
hasil dari kajian (analisis) kontrastif itu dapat digunakan untuk memprediksi atau
meramalkan kesulitan atau kemudahan pembelajar bahasa dalam belajar bahasa
kedua atau bahasa asing. Itulah kedudukan utama analisis kontrastif sehingga
dapat terus dipertahankan sampai saat ini.
3. Perkembangan Pragmatik
Perkembangan pragmatik atau penggunaan bahasa merupakan hal yang
paling penting dalam bidang pertumbuhan bahasa pada periode usia sekolah. Pada
usia prasekolah anak belum memiliki keterampilan bercerita secara sistematis.
Selama periode usia sekolah, proses kognitif meningkat sehingga memungkinkan
Analisis Kontrastif
7 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
anak menjadi komunikator yang lebih efektif. Secara umum, anak kurang dapat
menerima pandangan i orang lain. Apabila anak telah memperoleh struktur bahasa
yang lebih banyak, dia dapat lebih berkonsentrasi pada pendengar. Kemampuan
menerima (pandangan) orang lain ini memungkinkan i pembicara atau pendengar
menggunakan dan memahami kata “di sini” dan “di sana” dengan tepat (dari
pandangan pembicara). Anak-anak mulai mengenal adanya berbagai pandangan
mengenai suatu topik. Mereka dapat mendeskripsikan sesuatu, tetapi deskripsi
yang mereka buat lebih bersifat personal dan tidak mempertimbangkan makna
informasi yang disampaikannya bagi pendengar. Informasi tersebut biasanya tidak
selalu benar, karena tercampur dengan hal-hal yang ada dalam khayalannya
(Owens, 1992: 358).
Anak-anak berumur lima dan enam tahun menghasilkan berbagai macam
cerita. Cerita-cerita anekdot yang paling banyak mereka hasilkan. Isinya tentang
hal-hal yang terjadi di rumah mereka masing-masing dan di masyarakat
sekitarnya. Cerita-cerita tersebut mencerminkan kelompok sosial budaya dan
suasana yang berbeda-beda. Meskipun setiap masyarakat memberi kesempatan
kepada anak-anak untuk mendengar dan menghasilkan empat macam cerita,
namun sebaran, frekuensi, dan pengembangannya berbeda-beda. Keempat jenis
cerita tersebut ialah cerita pengalaman bersama orang lain atau tentang yang
dibaca, penjelasan tentang kejadian, cerita pengalaman sendiri, dan cerita fiksi
(Owens, 1992: 359). Kemampuan membuat cerita tersebut seharusnya sudah
diperkenalkan pada usia prasekolah, meskipun masih sangat sederhana, yakni
selama kegiatan mengasuh anak, bermain, dan membacakan cerita kepada anak-
anak. Dengan demikian ketika memasuki sekolah dasar, anak-anak tidak merasa
asing lagi dengan keempat jenis cerita tersebut. Mereka diharapkan sudah dapat
mulai menggunakan keempat bentuk cerita itu. Apabila hal ini dibina terus maka
diharapkan kemampuan verbal anak-anak menjadi semakin baik. Lebih dari itu
mereka diharapkan terlatih mengekspresikan pikiran dan perasaannya secara
sistematis dan dengan santun. Pada waktu berada di kelas dua, anak-anak mulai
dilatih menggunakan kalimat yang agak panjang dengan konjungsi: dan, lalu dan
kata depan: di, ke, dari. Meskipun plot (alur) cerita belum jelas, anak-anak sudah
Analisis Kontrastif
8 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
dapat dilatih bercerita mengenai beberapa kejadian secara kronologis. Dengan
demikian mereka diharapkan dapat membedakan kejadian yang sudah terjadi,
yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi.
Anak-anak berumur enam tahun sudah dapat bercerita sederhana tentang
acara televisi atau film yang mereka lihat. Kemampuan ini selanjutnya
berkembang secara teratur, sedikit demi sedikit. Mereka belajar menghubungkan
kejadian tetapi bukan yang mengandung hubungan sebab akibat. Konjungsi yang
sering digunakan ialah dan, lain. Pada usia tujuh tahun anak-anak mulai dapat
membuat cerita yang agak padu. Mereka sudah mulai dengan mengemukakan
masalah, rencana untuk mengatasi masalah, dan penyelesaian masalah tersebut,
meskipun belum jelas siapa yang melakukannya. Pada umur delapan tahun anak-
anak menggunakan penanda awal dan akhir cerita, misalnya: "Akhirnya mereka
hidup rukun". Kemampuan membuat alur cerita yang agak jelas baru mulai
diperoleh oleh anak-anak pada usia lebih dari delapan tahun. Pada umur tersebut
barulah mereka dapat mengemukakan pelaku yang mengatasi masalah dalam
cerita. Anak-anak mulai dapat menarik perhatian pendengar atau pembaca cerita
yang mereka buat. Struktur cerita mereka menjadi semakin jelas.
Pada waktu duduk di kelas-kelas rendah sekolah dasar, bahasa anak laki-
laki dan perempuan mulai mencerminkan perbedaan. Perbedaan ini dapat dilihat
pada kosakata yang digunakan dan gaya bercerita. Perubahan status wanita dalam
masyarakat mungkin mengurangi perbedaan ini, namun demikian perbedaan
tersebut tetap ada.
Perbedaan kosakata yang digunakan oleh anak laki-laki dan perempuan
pada umumnya ada pada pilihan katanya. Pada umumnya anak perempuan
menghindari bahasa yang berisi umpatan dalam percakapan dan cenderung
menggunakan kata-kata yang lebih sopan, misalnya silakan, terima kasih, selamat
jalan, dan sebagainya. Perbedaan yang cukup besar juga dapat dilihat pada
ekspresi emosional atau rasa sayang. Wanita cenderung menggunakan ekspresi:
Oh sayangku, Ya Allah, dan sebagainya, sedangkan laki-laki cenderung
menggunakan umpatan: sialan, bedebah, dan sebagainya. Bahkan anak-anak kelas
satu sekolah dasar sudah menunjukkan adanya perbedaan tersebut. Namun apabila
Analisis Kontrastif
9 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
anak laki-laki atau anak perempuan sama-sama memperoleh pendidikan agama
yang kuat, biasanya umpatan-umpatan itu tidak digunakan. Sebagai gantinya
anak-anak akan terbiasa menggunakan kata-kata astagfirullah, ya Tuhan, dan
sebagainya.
Wanita cenderung menggunakan cara-cara tidak langsung dalam meminta
persetujuan dan lebih banyak mendengarkan, sedangkan laki-laki cenderung
memberi tahu. Contoh: "Ani ikut kakak pergi, Ibu tidak marah kan?". Pertanyaan
"Ibu tidak marah kan?", secara langsung berarti Bolehkah?". Wanita menganggap
bahwa perannya dalam percakapan adalah sebagai fasilitator, sedangkan laki-laki
sebagai pemberi informasi. Cara orang tua berbicara dengan anak perempuan dan
anak laki-laki mereka bervariasi. Ayah lebih banyak menggunakan perintah ketika
berbicara dengan anak laki-lakinya. Ayah juga lebih banyak menginterupsi
pembicaraan anak perempuannya. Anak laki-laki biasanya kurang banyak
berbicara dan lebih banyak berbuat. Tindakan (kadang kekerasan) dan percakapan
digunakannya untuk berjuang agar tidak dikuasai oleh anak lain atau kelompok
lain. Sebagai kebalikan dari anak laki-laki, anak perempuan biasa berpasangan
dengan teman akrabnya, dan saling menceritakan rahasia masing-masing.
Masalah-masalah pribadinya dikemukakan kepada temannya dan temannya
biasanya menyetujuinya dan dapat memahami masalah tersebut (Owens, 1992:
371-373).
4. Perkembangan Semantik dan Proses Kognitif
Selama periode usia sekolah dan sampai dewasa, setiap individu
meningkatkan jumlah kosakata dan makna khas istilah. Secara teratur seseorang
mempelajari makna lewat konteks tertentu. Dalam proses tersebut seseorang
menyusun kembali aspek-aspek kebahasaan yang telah dikuasainya. Susunan baru
yang dihasilkannya itu tercermin dalam cara seseorang menggunakan kata-kata.
Sebagai dampaknya ialah adanya perkembangan penggunaan bahasa figuratif atau
kreativitas berbahasa yang cukup pesat. Keseluruhan proses perkembangan
semantik yang mulai pada tahun-tahun awal sekolah dasar ini dapat dihubungkan
dengan keseluruhan proses kognitif (Owens, 1992: 374).
Analisis Kontrastif
10 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
Kita semua mengalami bahwa sepanjang hidup kita akan terus menambah
kata-kata baru yang kita peroleh dari mendengarkan atau membaca tulisan orang
lain. Penambahan kata tersebut memang tidak sama kecepatannya sepanjang hayat
kita, setelah berumur 70 tahun kecepatannya menurun. Kesehatan kita dan
aktivitas kita dalam mengembangkan pengetahuan juga menentukan kecepatan
dan frekuensi penambahan kata. Selama periode usia sekolah dan dewasa, ada dua
jenis penambahan makna kata. Secara horizontal, anak-anak semakin mampu
memahami dan dapat menggunakan suatu kata dengan makna yang tepat.
Penambahan vertikal berupa peningkatan jumlah kata-kata yang dapat dipahami
dan digunakan dengan tepat (Owens, 1992: 375).
Dalam proses mendefinisikan kata-kata baru atau mendefinisikan kembali
kata-kata lama (yang sudah diketahui salah satu artinya) pada dasarnya anak
membentuk makna. Makna mi dibentuk kembali atau ditegaskan lewat
penggunaan bahasa. Sebagai contoh, anak-anak taman kanak-kanak mengartikan
kata "besar" mungkin terlalu mengarah pada tinggi. Misalnya anak yang lebih
besar, mereka beri makna yang lebih tinggi dari dirinya sendiri. Hal ini
menunjukkan bahwa anak-anak tersebut sedang dalam proses menemukan definisi
yang lebih tepat bagi kata besar. Demikian juga dengan kata-kata yang lain. Di
kelas-kelas rendah sekolah dasar juga terjadi perkembangan dalam penggunaan
istilah-istilah yang menyatakan tempat. Penggunaan istilah-istilah yang umum
atau yang tidak spesifik berkurang dan terjadi peningkatan penggunaan istilah-
istilah yang menunjukkan tempat yang bersifat khas. Berdasarkan istilah umum di
sini dan di sana, anak kemudian memahami dan dapat menggunakan istilah-istilah
jauh, dekat, atas, bawah, kanan, kiri, muka, belakang, dan sebagainya.
Kemampuan anak di kelas-kelas rendah sekolah dasar dalam
mendefinisikan kata-kata meningkat dengan dua cara. Pertama, secara konseptual
dari definisi berdasar pengalaman individu ke makna yang lebih bersifat sosial
atau makna yang dibentuk bersama. Kedua, anak bergerak secara sintaksis dari
definisi berupa kata-kata lepas ke kalimat-kalimat yang menyatakan hubungan
yang kompleks (Owens, 1992: 376). Kemampuan anak membuat definisi sangat
dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya. Apabila anak banyak memperoleh
Analisis Kontrastif
11 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
kesempatan untuk bercakap-cakap dengan orang tua atau saudara-saudaranya, dia
memperoleh tantangan untuk menjelaskan maksudnya kepada orang lain.
Demikian juga kalau di sekolah anak banyak diberi kesempatan untuk praktik
berbahasa, anak akan dapat mengembangkan potensi berbahasanya dengan baik,
termasuk kemampuannya dalam membuat definisi.
Pengetahuan kosakata mempunyai korelasi (hubungan) dengan
kemampuan kebahasaan secara umum. Anak yang menguasai banyak kosakata
lebih mudah memahami wacana. Selama periode usia sekolah, anak menjadi
semakin baik dalam menemukan makna kata berdasarkan konteksnya. Anak
berumur lima tahun mendefinisikan suatu kata secara sempit sedangkan anak
berumur sebelas tahun membentuk definisi dengan menggabungkan makna-
makna yang telah diketahuinya. Dengan demikian definisinya menjadi lebih luas.
Ciri definisi yang luas tersebut yakni mengandung kategori yang lebih tinggi,
misalnya: Kucing ialah binatang yang biasa dipelihara di rumah-rumah penduduk.
Anak usia sekolah juga mengembangkan bahasa figuratif yang
memungkinkan penggunaan bahasa secara benar-benar kreatif. Bahasa figuratif
menggunakan kata-kata secara imajinatif, tidak secara literal, untuk menciptakan
kesan emosional atau imajinatif. Yang termasuk jenis bahasa figuratif ialah
ungkapan, metafora, kiasan, dan peribahasa. Ungkapan adalah pernyataan pendek
yang telah digunakan bertahun-tahun dan tidak dapat dianalisis secara gramatikal.
Berikut mi merupakan daftar ungkapan dalam bahasa Indonesia: rumah makan,
kamar kecil, makan hati, memotong jalan, kepala batu, ringan tangan.
Metafora dan kiasan adalah bentuk ucapan yang membandingkan benda
yang sebenarnya dengan khayalan Dalam metafora perbandingan dinyatakan
secara implisit, misalnya "Suaranya membelah bumi". Sebaliknya, kiasan adalah
perbandingan secara eksplisit, biasanya dinyatakan dengan kata seperti atau
bagaikan, misalnya “Dua gadis kembar itu seperti pinang dibelah dua”. Anak-
anak prasekolah menciptakan banyak kiasan dan metafora. Namun, hal ini tidak
berarti bahwa mereka dapat menggunakan bahasa figuratif. Kreativitas berbahasa
pada anak-anak kecil disebabkan oleh ketidaktahuan atau keterbatasan
penguasaan bahasa. Misalnya makanan yang lebar seperti topi, mereka sebut topi.
Analisis Kontrastif
12 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
Setelah berumur lebih dan enam tahun, penggunaan metafora secara spontan
dalam percakapan menjadi semakin kurang. Dua kemungkinan sebab penurunan
penggunaan metafora ini, yang pertama anak telah memiliki sejumlah kosakata
dasar, yang kedua adanya latihan berbahasa berdasarkan kaidah bahasa yang
diberikan di sekolah membatasi kreativitas. Sementara penggunaan metafora dan
kiasan menurun, pemahaman meningkat. Anak berumur 5 sampai 7 tahun lebih
suka menghubungkan dua istilah daripada menyamakannya. Pemahamannya
hanya secara fisik, misalnya "kepala dingin" diartikan kepala bertemperatur
rendah, tidak panas. Sebaliknya pada umur 8 sampai 9 tahun anak mulai dapat
menghargai proses psikologis, sehingga pemahamannya tidak hanya secara fisik.
Namun, masih sering terjadi kesalahan penafsiran metafora, karena anak belum
sepenuhnya memahami dimensi psikologis.
Bentuk bahasa figuratif yang terakhir ialah peribahasa, yakni pernyataan
pendek yang sudah dikenal yang berisi kebenaran yang terterima, pikiran yang
berguna, atau nasihat. Contoh: Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak
berguna. Menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri. Anak berumur 6, 7, atau 8
tahun menafsirkan peribahasa secara literal. Perkembangan pemahaman
berlangsung terus sampai pada periode adolesen dan dewasa. Ketepatan
pemahaman ungkapan dan peribahasa meningkat secara perlahan-lahan pada akhir
masa kanak-kanak dan masa adolesen. Perkembangan ini bervariasi antara anak
yang satu dengan yang lain, bergantung antara lain pada pengalaman belajarnya.
Bahasa figuratif lebih mudah dipahami dalam konteks daripada secara terpisah
oleh anak adolesen. Makna bahasa figuratif disimpulkan oleh anak dari
penggunaan yang berulang-ulang dalam konteks yang berbeda-beda. Kejelasan
metaforik, yakni hubungan makna literal dan figuratif, memudahkan penalaran.
Sebagai contoh, "tutup mulut" lebih mudah dipahami daripada "makan hati".
Kemampuan memahami peribahasa sangat erat hubungannya dengan
kemampuan bernalar analogis. Dalam memahami peribahasa, anak harus
memahami hubungan antara peribahasa dan konteks. Penalaran analogis
mengikuti format A harus B seperti halnya C harus D. Oleh karena itu semakin
Analisis Kontrastif
13 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
baik kemampuan anak dalam bernalar analogis, diharapkan semakin mudah
memahami peribahasa demikian juga sebaliknya.
5. Perkembangan Morfologis dan Sintaksis
Perkembangan bahasa pada periode usia sekolah mencakup perkembangan
secara serentak (simultan) bentuk-bentuk sintaktik yang telah ada dan
pemerolehan bentuk-bentuk baru. Anak memperluas kalimat dengan
menggunakan frase nomina dan frase verba. Fungsi-fungsi kata gabung dan kata
ganti juga diperluas. Tambahan struktur yang dikuasai termasuk juga bentuk pasif.
Anak-anak mempelajari bentuk-bentuk morfem mula-mula bersifat hafalan. Hal
ini kemudian diikuti dengan membuat kesimpulan secara kasar tentang bentuk dan
makna fonem. Akhirnya anak membentuk kaidah. Proses yang rumit ini dimulai
pada periode prasekolah dan terus berlangsung sampai pada masa adolesen.
Anak-anak berumur 5 sampai 7 tahun menggunakan hampir semua elemen
frase nomina dan verba tetapi sering meninggalkan elemen-elemen tersebut
meskipun sebenarnya hal itu diperlukan. Bahkan pada umur 7 tahun, mereka
menghilangkan beberapa elemen tetapi memperluas yang lain dengan
pengulangan yang tidak perlu. Misalnya untuk menyebut “buku tulisku” hanya
dikatakan “bukuku”, sedangkan “pet” (jenis topi) disebut topi pet. Bagi anak,
bentuk-bentuk verba lebih sulit daripada bentuk-bentuk nomina. Kesulitan ini
mungkin berkaitan dengan berbagai perbedaan bentuk kata kerja yang
menyatakan arti yang berbeda. Misalnya kata ditulis, ditulisi, dituliskan, dan
bertuliskan memiliki arti yang berbeda. Dalam mempelajari frase nomina, anak
mempelajari penggunaan kata ganti dan kata sifat. Susunan kata sifat juga perlu
dipelajari, misalnya “bagus sekali”, “sangat bagus”, “merah muda”, dan
sebagainya.
Anak-anak sering mengalami kesulitan membedakan bentuk pasif dan
aktif. Khususnya pengenalan bentuk pasif menimbulkan masalah bagi anak.
Anak-anak jarang menggunakan bentuk pasif. Bahkan orang dewasa pun tidak
sering menggunakan bentuk pasif. Hal ini berbeda dengan pemakai bahasa
Melayu yang lebih banyak menggunakan bentuk pasif daripada bentuk aktif. Pada
Analisis Kontrastif
14 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
umumnya anak-anak mengenai bentuk pasif dari preposisi yang digunakan.
Mereka menyebut kalimat sebagai kalimat pasif jika ada preposisi “oleh”, karena
itu mereka menyatakan bahwa kalimat “Ani dipanggil oleh ibu” adalah kalimat
pasif, dan “Kue-kue diberikan kepada adik” adalah kalimat aktif (seharusnya
kalimat pasif juga).
Ada tiga jenis bentuk pasif: (1) dapat dibalik, (2) tidak dapat dibalik yang
pelakunya berupa instrumen, dan (3) tidak dapat dibalik yang pelakunya berupa
manusia. Bentuk pasif yang dapat dibalik artinya objeknya dapat dijadikan subjek
dan sebaliknya. Contoh “Ani dikejar Amir”, dapat dibalik “Amir dikejar Ani”.
Contoh bentuk pasif yang kedua: “Mangga dilempar dengan batu”; tidak mungkin
dibalik “Batu dilempar dengan mangga”. Sedangkan contoh bentuk pasif yang
ketiga adalah “Buku saya dipinjam oleh Jono”. Kalimat ini tidak mungkin dibalik
“Jono dipinjam oleh buku saya”.
Anak-anak biasanya menggunakan bentuk pasif yang dapat dibalik dan
yang tidak dapat dibalik dalam jumlah yang seimbang. Namun, anak-anak sering
mengalami kesulitan dalam membuat kalimat dan juga dalam menafsirkan kalimat
pasif yang dapat dibalik, kemudian menjelang berumur 8 tahun mereka mulai
lebih banyak menggunakan bentuk pasif yang tidak dapat dibalik. Pada umur 9
tahun, anak-anak mulai banyak menggunakan bentuk pasif yang tidak dapat
dibalik, yang umur 11–13 tahun mereka banyak menggunakan bentuk pasif yang
tidak dapat dibalik yang pelakunya manusia. Penggunaan kata-kata penghubung
juga meningkat pada periode usia sekolah. Anak-anak di bawah umur 11 tahun
sering menggunakan kata "dan" pada awal kalimat. Pada umur 11–14 tahun,
penggunaan “dan” pada awal kalimat ini mulai jarang muncul.
Kata penghubung yang menghubungkan klausa mulai sering digunakan
pada umur 12 tahun. Yang paling banyak digunakan adalah kata penghubung
“karena”, “jika”, dan “supaya”. Anak-anak sering mengalami kesulitan dalam
memahami dan menggunakan kata “karena”. Untuk memahami kalimat dengan
kata sambung "karena", anak harus memahami tidak hanya hubungan antara dua
kejadian tetapi juga urutan waktunya. Dalam kalimat “Saya menghadiri
pertemuan itu karena diundang”, menurut urutan waktunya pembicara diundang
Analisis Kontrastif
15 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
baru kemudian dia pergi ke pertemuan tersebut. Anak-anak biasanya bingung
untuk membedakan “karena”, “dan”, dan “lalu”. Sering anak-anak taman kanak-
kanak mengatakan maksudnya “Saya sakit karena saya tidak masuk sekolah”,
padahal maksudnya “Saya tidak masuk sekolah karena saya sakit”. Pemahaman
kata “karena” baru mulai berkembang pada umur 7 tahun. Pemahaman secara
konsisten benar baru terjadi pada kurang lebih umur 10 atau 11 tahun.
Faktor-faktor pragmatik dapat juga mempengaruhi perkembangan kata
penghubung. Anak-anak lebih tepat dalam memperkirakan makna yang
disampaikan pembicara dengan kalimat-kalimat yang memiliki hubungan positif.
Karena itu kalimat dengan kata sambung "karena" lebih mudah mereka pahami
daripada "meskipun".
Contoh: Saya memakai payung karena hujan.
lebih mudah daripada
Saya pergi ke sekolah meskipun hujan.
6. Perkembangan Fonologis
Pada awal usia sekolah anak-anak sudah dapat mengucapkan semua bunyi
bahasa. Namun, bunyi-bunyi tertentu terutama yang berupa kluster masih sulit
bagi mereka untuk mengucapkannya. Hasil penelitian Darmiyati Zuchdi
menunjukkan bahwa beberapa anak kelas dua dan tiga melakukan kesalahan
pengucapan: f diucapkan /p/, sy diucapkan /s/, dan ks diucapkan /k/ (1995: 29).
Kompetensi fonemik tampak jelas dalam kemampuan anak mengenal
irama. Pada usia prasekolah anak-anak menjadi sensitif terhadap pola fonetik dan
sering membuat irama kata-kata dengan mengganti suatu bunyi atau suku kata,
sehingga mengucapkan: dag, dig, dug, atau ini ani, ini ima. Proses ini berlangsung
secara spontan dan otomatis sebagai permainan kata, kemudian sesudah itu
barulah terjadi proses penggunaan kata secara terkontrol.
Sebelum masa usia sekolah anak-anak belum memahami dasar kesamaan
bunyi. Meskipun anak-anak prasekolah mengetahui bahwa kata "sudah" berbeda
dengan kata “mudah”, tetapi berbeda dengan orang-orang dewasa mereka tidak
menyadari bahwa perbedaan tersebut hanya pada fonem "s" dan "m" pada awal
Analisis Kontrastif
16 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
kata. Mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan kelas tiga, terjadi
perkembangan kemampuan anak membedakan kata-kata bersajak dan yang tidak
bersajak. Misalnya kata buih dan putih bersajak, sedangkan kata buih dan buah
tidak bersajak.
Perubahan morfofonemik adalah modifikasi fonologis atau bunyi yang
terjadi apabila morfem-morfem digabungkan. Contoh cetak berubah menjadi
cetakan (k diucapkan jelas). Bunyi kluster biasanya anak juga sulit
mengucapkannya, misalnya ekstra, kompleks, administrasi. Bahkan ada beberapa
orang dewasa yang mengucapkan kata-kata tersebut dengan menghilangkan bunyi
s, sehingga terjadi ucapan yang salah: ektra, komplek, dan adminitrasi. Supaya hal
ini tidak terjadi, sejak di sekolah dasar anak-anak perlu dilatih mengucapkan kata-
kata secara benar. Sebelum usia prasekolah, anak juga mempelajari konteks
perubahan vokal. Contoh: bunyi o pada toko berbeda dengan o pada tokoh, u pada
paru berbeda dengan u pada paruh. Demikian juga bunyi i pada gandi berbeda
dengan i pada gandik.
6.1 Perkembangan Keterampilan Berbahasa
Seperti halnya berbicara, kemampuan awal dalam membaca mungkin
diperoleh lewat interaksi sosial tidak lewat pembelajaran secara formal. Dalam
kegiatan membacakan cerita yang dilakukan oleh orang tua, tampak baik orang
tua maupun anak berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Orang tua menggunakan
berbagai teknik agar anak memusatkan perhatian, mengajukan pertanyaan, dan
mendorong agar anak mencoba membaca.
Orang tua sebaiknya memperkenalkan buku-buku cerita kepada anak
sedini mungkin. Tentu saja buku yang digunakan adalah yang banyak gambarnya
dan berwarna-warni sehingga menarik perhatian anak. Pada awalnya memang
anak hanya memperhatikan gambar-gambar yang ada pada buku tersebut. Namun,
apabila orang tua kadang-kadang membacakan cerita yang ada di samping
gambar-gambar tersebut. hal itu secara tidak langsung mengajarkan kepada anak
tentang susunan ceritanya.
Analisis Kontrastif
17 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
Di samping kegiatan membaca yang dilakukan orang tua, acara-acara
televisi ada yang bermanfaat untuk pengembangan literasi (kemampuan baca
tulis). Sebagai contoh Sesame Street (dalam bahasa Inggris) dan, "A Ba Ta Tsa"
(pengembangan baca tulis bahasa Arab asuhan Neno Warisman). Lewat kegiatan-
kegiatan tersebut anak-anak secara tidak langsung mempelajari tulisan-tulisan
yang mengandung informasi yang mereka peroleh.
Ada beberapa fase perkembangan membaca. Dalam fase pramembaca,
yang terjadi sebelum umur 6 tahun, anak-anak mempelajari perbedaan huruf dan
perbedaan angka yang satu dengan yang lainnya, sehingga kemudian dapat
mengenal setiap huruf dan setiap angka. Kebanyakan anak dapat mengenal nama
mereka jika ditulis. Biasanya, dengan belajar lewat lingkungan misalnya tanda-
tanda dan nama benda yang dilihatnya, kata-kata yang dikenalnya sedikit demi
sedikit akan lepas dari konteksnya sehingga akhirnya anak dapat mengenal kata-
kata tersebut dalam bentuk tulisan. Kira-kira 60% dan anak-anak berumur 3 tahun
dan 80% dari yang berumur 4 dan 5 tahun di Amerika mengenal kata staf
(Goodman, lewat Owens, 1992: 400).
Pada fase ke-1, yaitu sampai dengan kira-kira kelas dua, anak memusatkan
pada kata-kata lepas dalam cerita sederhana. Supaya dapat membaca, anak perlu
mengetahui sistem tulisan, cara mencapai kelancaran membaca, terbebas dari
kesalahan membaca. Untuk itu anak harus dapat mengintegrasikan bunyi dan
sistem tulisan. Pada umur 7 atau 8 kebanyakan anak telah memperoleh
pengetahuan tentang huruf, suku kata dan kata yang diperlukan untuk dapat
membaca. Pengetahuan ini dalam kebanyakan negara banyak yang diperoleh di
sekolah. Pada fase ke-2, kira-kira ketika berada di kelas tiga dan empat, anak
dapat menganalisis kata-kata yang tidak diketahuinya menggunakan pola tulisan
dan kesimpulan yang didasarkan konteksnya. Pada fase ke-3, dari kelas empat
sampai dengan kelas dua SLTP tampak adanya perkembangan pesat dalam
membaca yaitu tekanan membaca tidak lagi pada pengenalan tulisan tetapi pada
pemahaman. Pada fase ke-4, yakni akhir SLTP sampai dengan SLTA, remaja
menggunakan keterampilan tingkat tinggi misalnya inferensi (penyimpulan) dan
pengenalan pandangan penulis untuk meningkatkan pemahaman. Akhirnya pada
Analisis Kontrastif
18 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
fase ke-5, tingkat perguruan tinggi dan seterusnya, atau orang dewasa dapat
mengintegrasikan hal-hal yang dibaca dengan pengetahuan yang dimilikinya dan
menanggapi secara kritis materi bacaan (Owens, 1992: 400-401).
Ada kesejajaran antara perkembangan kemampuan membaca dan menulis.
Pada umumnya penulis yang baik adalah pembaca yang baik, demikian juga
sebaliknya. Proses menulis dekat dengan menggambar dalam hal keduanya
mewakili simbol tertentu. Namun, menulis berbeda dengan menggambar. dan hal
ini diketahui oleh anak ketika berumur sekitar 3 tahun (Gibson dan Levin, dalam
Owens, 1992: 403). Anak-anak mulai dengan menggambar. kemudian menulis
“cakar ayam”, barulah membuat bentuk-bentuk huruf. Mula-mula anak sekolah
menulis, meskipun ia tidak mengetahui nama-nama huruf. Kata-kata yang
dikenalnya dengan baik, misalnya namanya sendiri menolong anak belajar bahwa
huruf yang berbeda melambangkan bunyi-bunyi yang berbeda.
Anak mencoba menggunakan aturan dalam menulis dengan menyesuaikan
bunyi dan tulisan. Bunyi-bunyi dalam nama huruf disesuaikan dengan bunyi-
bunyi yang didengarnya. Pada mulanya anak hanya memperhatikan huruf pertama
pada setiap kata, huruf-huruf lain dalam setiap kata kurang mendapat perhatian.
Hal ini sama dengan tahap awal dalam membaca, anak juga hanya memperhatikan
huruf pertama. Berdasarkan hal ini apabila anak-anak dihadapkan pada cerita yang
ditulis dengan menggunakan huruf yang besar ukurannya pada setiap awal kata
pertama setiap paragraf, lebih-lebih jika menggunakan warna-warna yang kontras,
mereka akan lebih mudah mengenal perbedaan huruf yang satu dengan yang
lainnya. Dengan kata lain, kesiapan mereka membaca dan menulis akan terjadi
secara relatif cepat dengan tidak memberatkan anak. Selanjutnya anak seolah-olah
menulis suku kata, tanpa vokal dan juga tanpa antara. Misalnya "bola" ditulis "bl"
atau "gelas" ditulis "gls", dan sebagainya. Dengan bimbingan guru, anak-anak
dapat mengenal sistem tulisan yang berlaku.
Banyak kesalahan ejaan yang terjadi di kelas-kelas rendah sekolah dasar
yang bersifat fonologis, yakni berupa penghilangan, penggantian, atau
penambahan fonem khususnya pada bunyi kluster, dan penggantian bunyi
berdasarkan persamaan fonologis (misalnya bawa diganti pawa). Mungkin ada
Analisis Kontrastif
19 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
persamaan dalam hal kesalahan ejaan dan ucapan anak-anak. Hal ini perlu diteliti.
Tentu saja menulis tidak hanya melibatkan ejaan, anak-anak yang baru belajar
menulis sering lupa akan kebutuhan membaca. Anak berumur 6 tahun kurang
sekali memperhatikan format, jarak tulisan, ejaan, dan tanda baca. Apabila salah
satu segi diutamakan, segi yang lainnya memburuk. Misalnya ketika anak mulai
diajari menulis latin (berganti dari huruf cetak ke huruf latin), ejaan dan struktur
kalimat banyak yang salah. Terlepas dari kekurangan-kekurangan tersebut cerita
yang ditulis anak sering bersifat langsung dan sederhana tapi cukup indah.
Anak-anak kelas I dan 2 (kelas-kelas rendah sekolah dasar) belum
memperhatikan pembaca, masih bersifat egosentrik. Kira-kira ketika berada di
kelas 3 atau 4 barulah terjadi perubahan. Mereka mulai memperhatikan reaksi
pembaca. Mereka mulai merevisi dan menyunting tulisannya (Bertlett, dalam
Owens, 1992: 406). Hal ini dipengaruhi oleh pengetahuan sintaktik (tata kalimat)
yang mereka kuasai. Pada umumnya pada periode usia sekolah terjadi
perkembangan kemampuan menggunakan kalimat dengan lengkap baik secara
lisan maupun tertulis. Terjadi pula peningkatan penggunaan klausa dan frase yang
kompleks serta penggunaan kalimat yang bervariasi.
6.2 Pemerolehan Bahasa Anak
Pengertian perkembangan bahasa dan pemerolehan bahasa tidak mudah
dibedakan secara tegas. Hal ini mengingat bahwa dalam proses perkembangan
bahasa yang sifatnya alami itu sebenarnya anak juga memperoleh bimbingan dari
lingkungan sosialnya. Biasanya tekanan pemerolehan bahasa adalah pada sifat
formal bimbingan yang diterima oleh anak. Bimbingan formal ini biasanya
diartikan pembelajaran di sekolah. Pada bagian ini yang dimaksudkan dengan
pemerolehan bahasa adalah bahasa Indonesia yang bagi kebanyakan anak
Indonesia merupakan bahasa kedua. Dengan demikian pembicaraan difokuskan
pada pemerolehan bahasa kedua yang diajarkan di sekolah.
Beberapa pakar menyatakan bahwa perkembangan bahasa kedua anak
yang diperoleh dari pembelajaran tidak berbeda secara signifikan (berarti) dengan
yang diperoleh secara alami. Baik pemerolehan bahasa lewat pembelajaran
Analisis Kontrastif
20 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
maupun yang secara alami memiliki proses dan urutan yang sama. Selanjutnya
beberapa penulis tentang pengajaran bahasa telah menganjurkan agar diupayakan
pengalaman belajar bahasa yang alami di sekolah, dan menghilangkan penilaian
struktural, yang difokuskan pada pembetulan kesalahan bentuk bahasa (Freeman
dan Long, 1991: 299).
Hasil penelitian terhadap siswa-siswa Italia berumur antara 7–9 tahun yang
belajar bahasa Jerman menunjukkan bahwa para siswa hanya dapat belajar dari
pembelajaran bahasa kedua jika mereka “siap” secara psikolinguistik. Demikian
juga hasil penelitian-penelitian terhadap pembelajar bahasa Inggris sebagai bahasa
kedua (Prinemann, 1984; Lightborn, 1983; lewat Freeman dan Long, 1991).
Apabila kita menganalogikan hasil penelitian tersebut dengan pembelajaran
bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua, maka untuk dapat belajar bahasa
Indonesia dengan baik, anak-anak hendaknya juga memiliki kesiapan
psikolinguistik. Untuk dapat memiliki kesiapan psikolinguistik, anak-anak
hendaknya memperoleh kesempatan untuk paling tidak mendengar penggunaan
bahasa Indonesia di lingkungan keluarganya. Lebih baik lagi kalau di lingkungan
keluarganya tersedia koran, majalah, dan buku-buku dalam bahasa Indonesia yang
sesuai dengan kebutuhan anak. Lebih bagus lagi apabila budaya membaca bacaan
berbahasa Indonesia telah tumbuh di lingkungan keluarga. Keadaan semacam ini,
di samping memberikan kesiapan secara psikolinguistik (kejiwaan dan
kebahasaan) juga membantu pemerolehan bahasa Indonesia di sekolah. Mengingat
pada saat ini di daerah pedesaan terpencil masih banyak orang tua keluarga
Indonesia yang belum berbudaya baca bahkan fasilitas untuk membaca juga
belum banyak tersedia, sekolah sedapat mungkin menyediakan. sebanyak-
banyaknya bacaan yang sesuai dengan kebutuhan anak. Masalah ini antara lain
dapat diatasi lewat kerja sama dengan organisasi penyalur zakat, infaq, dan
sedekah, misalnya BAZIS. Demikian juga minat dan keterampilan membaca
anak-anak harus dikembangkan terus-menerus melalui tugas-tugas membaca
secara individual dan kelompok.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wode (1981), Felix (1981), dan Felix
dan Simmet (1981) menunjukkan bahwa ada kesamaan yang terjadi secara alami.
Analisis Kontrastif
21 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
Penelitian lain yang hasilnya memberikan sugesti dengan dorongan pada guru-
guru ialah yang dilaksanakan oleh Pica (1982). Pica membedakan tiga konteks
pemerolehan bahasa, yaitu: alami, konteks pembelajaran, dan campuran. Yang
terakhir ini ialah kelompok yang memperoleh pembelajaran bahasa kedua di kelas
yang juga secara alami berhadapan dengan lingkungan yang menggunakan bahasa
kedua yang dipelajari. Hasilnya mendukung hasil penelitian sebelumnya, yakni
menunjukkan adanya korelasi yang tinggi antara nilai membuat urutan morfem
oleh pembelajar bahasa kedua dalam ketiga konteks tersebut. Di samping
persamaan tersebut juga pada perbedaan persentase skor yang diperoleh oleh
setiap kelompok, misalnya dalam membuat bentuk jamak dengan penambahan s
(dalam bahasa Inggris), kelompok pembelajar yang hanya belajar bahasa kedua di
sekolah memperoleh skor 19%, satu peringkat lebih tinggi dari kelompok
campuran, dan dua peringkat lebih tinggi dari kelompok yang memperoleh bahasa
kedua secara alami. Pica menyimpulkan bahwa pembelajaran bahasa kedua di
sekolah mempunyai pengaruh yang terbesar dalam pemerolehan bahasa (Freeman
dan Long, 1991: 309). Selanjutnya dengan menganalisis kesalahan yang
dilakukan ketiga kelompok tersebut, Piaget menemukan bahwa kelompok
pembelajar yang tidak pernah menerima pembelajaran secara formal di sekolah
cenderung menghilangkan morfem, misalnya morfem /-ing/ dan /-s/.
Manfaat yang dapat ditarik dari hasil penelitian tersebut dalam
pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah, khususnya bagi anak-anak di kelas
rendah sekolah dasar ialah bahwa pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah tentu
juga mempunyai pengaruh yang paling besar dalam pemerolehan bahasa
Indonesia. Oleh karena itu, kondisi yang sebaik-baiknya perlu diupayakan agar
anak-anak memperoleh pengalaman berbahasa sebanyak-banyaknya dengan
memperhatikan kaidah bahasa yang berlaku. Namun, perlu diingat jangan sampai
pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah menekankan pada penggunaan kaidah
semata. Pemerolehan bahasa yang mendekati pemerolehan bahasa yang alami
perlu diusahakan dengan cara menggunakan konteks-konteks berbahasa yang
sebenarnya, yang dekat dengan kehidupan anak. Misalnya saja dimunculkan
Analisis Kontrastif
22 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
topik-topik “menjaga adik”, "membantu ayah dan ibu", "mengatur peralatan
belajar", "silaturahmi dengan sanak famili", "bermain bola", dan sebagainya.
Long (1983) dalam Freeman dan Long (1991) mengkaji sebelas hasil
penelitian tentang capaian belajar bahasa kedua, yang menggunakan tiga
kelompok belajar yaitu yang memperoleh pembelajaran saja. yang memperoleh
pembelajaran dan juga berada dalam lingkungan yang menggunakan bahasa yang
dipelajari, dan yang memperoleh bahasa secara alami tanpa pembelajaran di
sekolah. Ia menemukan, enam penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang
menerima pembelajaran bahasa di sekolah mengalami perkembangan
pemerolehan bahasa lebih cepat.
Pada periode usia sekolah, perkembangan semantik dan pragmatik
berkembang pesat. Anak-anak memahami bentuk-bentuk baru dan belajar
menggunakannya. Anak laki-laki dan anak perempuan berbeda perkembangan
bahasanya dalam hal penggunaan kosakata dan gaya bercerita. Perkembangan
kosakata berlangsung secara horizontal dan vertikal. Perkembangan bahasa
figuratif yang dialami anak memungkinkannya menggunakan bahasa secara
kreatif. Perkembangan membaca berlangsung dalam beberapa fase: fase ke-1,
memperoleh pengetahuan tentang huruf, suku kata, dan kata-kata sederhana; fase
ke-2, dapat menganalisis kata-kata yang tidak diketahui; fase ke-3 tekanan
membaca pada pemahaman; fase ke-4, dapat menyimpulkan dan mengenal
pandangan penulis; dan fase ke-5, dapat mengintegrasikan hal-hal yang dibaca
dan menanggapi materi bacaan secara kritis. Perkembangan menulis mulai dengan
menggambar, kemudian menulis "cakar ayam", baru membuat bentuk-bentuk
huruf. Kesalahan ejaan (demikian juga kesalahan pengucapan) biasanya berupa
pengurangan kluster dan penggantian bunyi berdasarkan persamaan fonologis.
Bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi oleh anak sebagai
anggota masyarakat tersebut dapat dibedakan menjadi dua unsur yakni bentuk
(arus uaran) dan makna (isi). Bentuk merupakan bagian-bagian yang dapat diserap
oleh unsur panca indera (mendengar atau membaca). Bagian ini terdiri dari dua
unsur, yaitu: unsur segmental dan unsur suprasegmental. Unsur segmental secara
Analisis Kontrastif
23 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
hierarkis dari segmen yang paling besar sampai segmen yang paling kecil yaitu
wacana, kalimat, frase, kata, morfem dan fonem.
Unsur suprasegmental terdiri atas intonasi. Unsur-unsur intonasi adalah:
tekanan (keras, lembut ujaran), nada (tinggi rendah ujaran), durasi (panjang
pendek waktu pengucapan), perhentian (yang membatasi arus ujaran).
Makna adalah isi yang terkandung dalam bentuk-bentuk di atas. Sesuai
dengan urutan bentuk dari segmen yang paling besar sampai segmen yang
terkecil, makna pun dibagi berdasarkan hierarki itu, yaitu: makna morfemis
(makna imbuhan), makna leksikal (makna kata) dan makna sintaksis (makna
frase, klausa, kalimat) serta makna wacana yang disebut tema. Hal itu dijelaskan
dalam bagan berikut ini.
Bahasa
Bentuk (Arus Ujaran)
Makna (Isi)
Unsur Suprasegmental
makna morfemis
makna leksikal
makna sintakasis
intonasi wacana
kalimat
klausa
Bahasa
frase
kata
morfem
Suku kata
fonem
Unsur Segmental
Analisis Kontrastif
24 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
Bahasa sebagai alat komunikasi memiliki fungsi yang dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Fungsi informasi, yaitu untuk menyampaikan informasi timbal–balik
antaranggota keluarga ataupun anggota-anggota masyarakat. Berita,
pengumuman, petunjuk pernyataan lisan ataupun tulisan melalui media massa
ataupun elektronik merupakan wujud fungsi bahasa sebagai fungsi informasi.
b. Fungsi ekspresi diri, yaitu untuk menyalurkan perasaan, sikap, gagasan, emosi
atau tekanan-tekanan perasaan pembicara. Bahasa sebagai alat
mengekspresikan diri ini dapat menjadi media untuk menyatakan eksistensi
(keberadaan) diri, membebaskan diri dari tekanan emosi dan untuk menarik
perhatian orang.
c. Fungsi adaptasi dan integrasi, yaitu untuk menyesuaikan dan membaurkan diri
dengan anggota masyarakat. Melalui bahasa seorang anggota masyarakat
sedikit demi sedikit belajar adat istiadat, kebudayaan, pola hidup, perilaku dan
etika masyarakatnya. Mereka menyesuaikan diri dengan semua ketentuan
yang berlaku dalam masyarakat melalui bahasa. Kalau seorang mudah
beradaptasi dengan masyarakat di sekelilingnya maka dengan mudah pula ia
akan membaurkan diri (integrasi) dengan kehidupan masyarakat tersebut.
Dengan bahasa manusia dapat saling bertukar pengalaman dan menjadi bagian
dari pengalaman itu. Mereka memanfaatkan pengalaman itu untuk
kehidupannya. Dengan demikian mereka saling terikat dengan kelompok
sosial yang dimasukinya. Bahasa menjadi alat integrasi (pembauran) bagi tiap
manusia dengan masyarakatnya.
d. Fungsi kontrol sosial, yaitu bahasa berfungsi untuk mempengaruhi sikap dan
pendapat orang lain. Bila fungsi ini berlaku dengan baik, maka semua
kegiatan sosial akan berlangsung dengan baik pula. Sebagai contoh pendapat
seorang tokoh masyarakat akan didengar dan ditanggapi dengan tepat bila ia
dapat menggunakan bahasa yang komunikatif dan persuasif. Kegagalannya
dalam menggunakan bahasa akan menghambat pula usahanya dalam
mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain. Dengan bahasa seseorang dapat
Analisis Kontrastif
25 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
mengembangkan kepribadian dan nilai-nilai sosial kepada tingkat yang lebih
berkualitas.
Setiap bahasa memiliki fungsi khusus. Bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional mempunyai fungsi khusus yang sesuai dengan kepentingan bangsa
Indonesia. Fungsi itu adalah sebagai:
1. alat untuk menjalankan administrasi negara. Fungsi ini terlihat dalam surat-
surat resmi, surat keputusan, peraturan dan perundang-undangan, pidato dan
pertemuan resmi.
2. alat pemersatu berbagai suku yang memiliki latar belakang budaya dan bahasa
yang berbeda-beda.
3. wadah penampung kebudayaan. Semua ilmu pengetahuan dan kebudayaan
harus diajarkan dan diperdalam dengan mempergunakan bahasa Indonesia
sebagai medianya.
Ragam bahasa dapat diklasifikasikan berdasarkan bidang wacana. Dengan
dasar ini ragam bahasa dapat dibedakan atas; a) ragam ilmiah yaitu bahasa yang
digunakan dalam kegiatan ilmiah, ceramah, tulisan-tulisan ilmiah; b) ragam
populer yaitu bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari dan dalam
tulisan populer.
Ragam bahasa dapat digolongkan menurut sarana dibagi atas ragam lisan
dan ragam tulisan. Makna ragam lisan diperjelas dengan intonasi yaitu, tekanan,
nada, tempo suara dan perhentian. Sedangkan penggunaan ragam tulisan
dipengaruhi oleh bentuk, pola kalimat, dan tanda baca.
Ragam bahasa dari sudut pendidikan dapat dibagi atas bahasa baku dan
bahasa tidak baku. Ragam baku menggunakan kaidah bahasa yang lebih lengkap
dibandingkan dengan ragam tidak baku. Ciri ragam bahasa baku adalah a)
memiliki sifat kemantapan dinamis artinya konsisten dengan kaidah dan aturan
yang tetap, b) memiliki sifat kecendekiaan, 3) bahasa baku dapat mengungkapkan
penalaran atau pemikiran yang teratur, logis dan masuk akal.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bahasa berperan penting
dalam segala aspek kehidupan. la dapat membantu manusia dalam menjalankan
tugasnya. Era globalisasi yang telah datang pada awal 2003 membawa berbagai
Analisis Kontrastif
26 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
pembaharuan dalam dunia budaya dan teknologi. Masalahnya adalah dapatkah
bahasa Indonesia tetap diakui keberadaannya di tanah airnya sendiri. Agar tetap
eksis tentu saja banyak tantangannya karena bahasa Asing dalam aspek tertentu
lebih diterima oleh masyarakat daripada bahasa Indonesia. Perkembangan bahasa
yang kalah cepat dengan perkembangan teknologi industri dan ilmu pengetahuan
telah memunculkan masalah baru. Masalah ini adalah Bagaimana Bahasa
Indonesia dapat berperan maksimal sebagai sarana komunikasi dalam era
globalisasi.
Rangkuman
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer (manasuka) yang
digunakan oleh manusia (masyarakat) untuk berkomunikasi. Dalam
penggunaannya, terjadi saling mempengaruhi antara satu bahasa dengan bahasa
yang lain, misalnya: bahasa pertama (B1) mempengaruhi bahasa kedua (B2).
Analisis kontrastif adalah kajian kebahasaan atau cara untuk mendeskripsikan
hasil perbandingan bahasa. Salah satu kegunaan dari analisis kontrastif dapat
menjelaskan dan memprediksi kesulitan dan kesalahan dalam berbahasa. Oleh
karena itu, hasil dari analisis kontrastif dapat digunakan dalam pengajaran bahasa
kedua. Ada empat langkah analisis kontrastif, yakni: membandingkan unsur
kebahasaan B1 dan B2, memprediksi pengaruh B1 dan B2 yang berakibat kepada
kesulitan dan kesalahan berbahasa, memilih bahan ajar serta menentukan prosedur
pembelajaran.
Tes Formatif 1
Petunjuk: Anda ditugaskan untuk mengerjakan tes formatif ini dengan cara
memilih salah satu (a, b, c, atau d) sebagai jawabannya.
1. Analisis kontrastif merupakan sebuah kajian tentang …….
a. kesalahan berbahasa
b. kesalahan pengajaran bahasa
c. keterampilan berbahasa
d. unsur-unsur kebahasaan
Analisis Kontrastif
27 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
2. Teori belajar yang melandasi analisis kontrastif adalah …….
a. rasionalis c. mekanisme
b. behavioris d. empiris
3. Sumbangan terbesar dari hasil analisis kontrastif adalah diperolehnya …….
a. penjelasan tentang pembelajaran bahasa
b. prediksi kesulitan dan kesalahan berbahasa
c. perbandingan kompetensi siswa dalam berbahasa
d. perbedaan unsur-unsur bahasa dalam suatu bahasa
4. Munculnya analisis kontrastif sebagai jawaban dari pertanyaan …….
a. Bagaimana cara mengajarkan bahasa?
b. Bagaimana cara mengajarkan bahasa pertama?
c. Bagaimana cara mengajarkan bahasa kedua?
d. Bagaimana cara pertama mengajarkan bahasa?
5. Aspek psikologi yang ada dalam analisis kontrastif adalah …….
a. perbandingan unsur (struktur) dua bahasa untuk menemukan perbedaan
b. berdasarkan perbedaan struktur bahasa yang dibandingkan dapat diprediksi
kesulitan belajar
c. pendeskripsian unsur-unsur bahasa dapat dibandingkan dengan unsur-
unsur bahasa yang lain
d. perbandingan dua bahasa adalah langkah analisis kontrastif
6. Apabila tingkah laku yang telah dipelajari sesuai dengan tingkah laku yang
sedang dipelajari, maka itu diistilahkan dengan …….
a. interferensi c. transfer negatif
b. interaksi d. transfer positif
7. Kesulitan belajar bahasa kedua yang dialami oleh siswa, diprediksikan akibat
dari …….
a. struktur bahasa pertama sama dengan struktur bahasa kedua
b. struktur setiap bahasa pertama tidak berbeda dengan struktur bahasa kedua
c. struktur bahasa kedua berbeda dengan struktur bahasa pertama
d. struktur bahasa kedua sama dengan struktur bahasa pertama
Analisis Kontrastif
28 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
8. Tataran linguistik yang dapat dianalisis kotrastif antara lain …….
a. fonologi c. sintaksis
b. morfologi d. komunikasi
9. Hasil analisis kontrastif, diketahui bahwa tidak ada perbedaan dalam bahasa
Indonesia dengan bahasa Inggris. Misalnya:
a. /a, b, c/ c. /k, l, m/
b. /l, m, n/ d. /m, b, c/
10. Tidak terdapat perbedaan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Sunda,
misalnya:
a. rumah, saya, baru
b. meja, tulis, guru
c. meja, mobil, Ani
d. kursi, tamu, kita
Umpan Balik dan Tindak Lanjut
Cocokkan jawaban anda dengan kunci jawaban Tes Formatif yang ada;
hitunglah jawaban anda yang benar dan tentukan nilainya dengan rumus sebagai
berikut.
Tingkat Penguasaan Anda = 10
benaryangJawaban x 100%
Arti tingkat penguasaan:
90% – 100% = Sangat Baik
80% – 89% = Baik
70% – 79% = Cukup Baik
0% – 69% = Kurang Baik
Anda dapat melanjutkan pada kegiatan belajar berikutnya apabila anda
mencapai tingkat penguasaan di atas 80%. Apabila tingkat penguasaan anda di
bawah 80%, anda perlu mempelajari kegiatan belajar ini, sebelum anda
melanjutkan pada kegiatan belajar berikutnya.
Kunci jawaban tes formatif ini adalah: 1.(d), 2.(a), 3.(b), 4.(c), 5.(b), 6.(d),
7.(c), 8.(d), 9.(b), dan 10.(c).
Analisis Kontrastif
29 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
Daftar Pustaka
Alwasilah, A. Chaedar. (1985). Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.
Brown, Douglas H. 1980. Principles of Language Learning and Language Teaching. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Depdikbud. (1988). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Ellis, Rod, 1986. Understanding Second Language Acquisition. Oxford: Oxford University Press.
Gleason, J.B. (1985). The Development of Language. Columbus: Charles E. Merril Publishing Company
Goodman, Ken. 1986. What’s Whole in Whole Language. New Hamshire: Heinemann Educational Books.
Husein, H. Akhlan dan Yayat Sudaryat. 1996. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud Bagian Proyek Penataran Guru SLTP Setara D-III.
Indihadi, Dian. (2006). Pembinaan dan Pengembangan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: UPI Press.
James, Carl. 1980. Contrastive Analysis. Harlow Essex: Longman Group Ltd.
Lado, Robert. 1957. Linguistics Across Cultures. Ann Arbor: The University of Michigan Press.
Nurhadi, Roekhan. 1990. Dimensi-dimensi dalam Belajar Bahasa Kedua. Bandung: Sinar Baru.
Owens, R.E. (1992). Language Development An Introduction. New York: Macmillan Publising Company
Tarigan, Guntur H. (1988). Pengajaran Pemerolehan Bahasa. Bandung: Angkasa.
Tarigan, Guntur H. (1990). Proses Belajar Mengajar Pragmatik. Bandung: Angkasa.
Tarigan, Guntur H. (1990). Pengajaran Kompetensi Bahasa. Bandung: Angkasa.
Tarigan, Guntur H. (1997). Analisis Kesalahan Berbahasa. Jakarta: Depdikbud.
Zuchdi, D. dkk. (1997). Pendidikan Bahasa Indonesia di Kelas Rendah. Jakarta: Depdikbud.
Analisis Kontrastif
30 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
Kegiatan Belajar 2
PENERAPAN ANALISIS KONTRASTIF DALAM BAHASA INDONESIA
1. Tujuan Analisis kontrastif
Tujuan analisis kontrastif ini dilihat dari koteks pengajaran bahasa kedua.
Dalam hal ini adalah pengajaran bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Tujuan
utama analisis kontrastif adalah mengatasi (solusi) masalah yang dihadapi oleh
guru dan dialami oleh siswa dalam proses pemerolehan bahasa kedua. Di awal,
anda sudah mengetahui bahwa masalah yang dihadapi oleh siswa dalam belajar
bahasa kedua itu antara lain: (1) siswa sering menghadapi kesulitan dalam
pemerolehan bahasa kedua, dan (2) siswa sering menghadapi kesalahan berbahasa
dalam proses pembelajaran bahasa kedua. Analisis kontrastif berusaha
mendeskripsikan masalah yang dihadapi siswa tersebut. Jadi, hasil analisis
kontrastif adalah deskripsi data empiris tentang: (1) kesulitan siswa dalam
pemerolehan bahasa kedua, dan (2) kesalahan siswa dalam proses pembelajaran
berbahasa kedua. Merujuk pada pendapat Lado, deskripsi analisis kontrastif itu
ditujukan untuk memprediksi atau meramalkan kesulitan dan kemudahan siswa
(pembelajar bahasa) dalam belajar bahasa kedua.
Tujuan analisis kontrastif, selain untuk membantu siswa dalam pembelajar
bahasa, juga untuk membantu para pakar pengajaran bahasa. Menurut James
(1980) kajian kebahasaan dalam analisis kontrastif biasanya dilaksanakan oleh
para pakar kebahasaan (linguistik), sedangkan penerapannya diserahkan kepada
para pakar pengajaran atau pembelajaran bahasa. Tetapi tidak menutup
kemungkinan kedua ilmu (pakar kebahasaan dan pakar pembelajaran bahasa) itu
ditangani bersama-sama, atau oleh seorang pakar yang menguasai keduanya.
Untuk itu, tujuan analisis kontrastif selain untuk membantu pengajaran bahasa,
juga untuk memperkuat kedudukan kedua ilmu itu, pendidikan (pengajaran
bahasa) dan linguistik (linguistik terapan).
Analisis Kontrastif
31 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
Kajian hasil analisis kontrastif, khususnya pada temuan adanya perbedaan
antara bahasa pertama dengan bahasa kedua dapat digunakan untuk menentukan
area isi pembelajaran bahasa kedua. Hasil itu biasanya mendeskripsikan tentang
tingkat kesukaran dan kemudahan yang akan dihadapi oleh pembelajar bahasa
kedua, sehingga itu mempermudah pakar pengajaran bahasa dalam merumuskan
urutan area isi dan proses pembelajaran bahasa kedua (Brown, 1980). Tujuan
analisis kontrastif dapat membantu dalam perumusan area isi dan proses
pembelajaran bahasa kedua.
Di awal sajian anda sudah mempelajari tujuan praktis analisis kontrastif
yang meliputi 4 (empat) langkah, yakni: (1) mendeskripsi sistem bahasa pertama
(B1) dan sistem bahasa kedua (B2), (2) menyeleksi butir-butir kaidah dan bentuk-
bentuk yang dapat dibandingkan antara B1 dengan B2, (3) mengontraskan, yakni
membuat peta sistem kebahasaan dari yang umum sampai ke hal yang lebih
khusus, hasilnya adalah sebuah deskripsi (paparan) tentang perbedaan dan
persamaan masing-masing unsur yang dikontraskan dalam B1 dan B2, dan (4)
melakukan prediksi, yakni membuat rumusan kesalahan atau kesulitan
berdasarkan hasil-hasil dari langkah sebelumnya, langkah 1, 2, dan 3.
Tujuan analisis kontrastif dihubungkan dengan proses belajar–mengajar
bahasa kedua, antara lain seperti dijelaskan oleh Tarigan (1997) sebagai berikut:
1. untuk penyusunan materi (bahan) pengajaran bahasa kedua, yang dirumuskan
berdasarkan butir-butir yang berbeda antara kaidah (struktur) bahasa pertama
(B1) dan kaidah bahasa kedua (B2) yang akan dipelajari oleh siswa;
2. untuk penyusunan pengajaran bahasa kedua yang berlandastumpukan pada
pandangan linguistik strukturalis dan psikologi behavioris;
3. untuk penyusunan kelas pembelajaran bahasa terpadu antara bahasa pertama
(B1) siswa dengan bahasa kedua (B2) yang harus dipelajari oleh siswa;
4. untuk penyusunan prosedur pembelajaran atau penyajian bahan pengajaran
bahasa kedua. Adapun langkah-langkahnya adalah:
a. menunjukkan persamaan dan perbedaan antara B1 siswa dengan B2 yang
akan dipelajari oleh siswa;
Analisis Kontrastif
32 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
b. menunjukkan butir-butir dalam B1 siswa yang berpeluang mengakibatkan
kesulitan belajar dan kesalahan berbahasa B2 siswa;
c. mengajukan solusi (cara-cara) mengatasi intervensi terhadap B2 yang akan
dipelajari oleh siswa;
d. menyajikan sejumlah latihan pada butir-butir yang memiliki perbedaan
antara B1 dengan B2 yang akan dipelajari oleh siswa.
2. Ruang Lingkup Analisis Konstrastif
Analisis konstrastif merupakan cara memprediksi kemungkinan terjadinya
kesulitan ataupun kemudahan pada diri pembelajaran (siswa) dalam memperoleh
bahasa kedua. Jadi, ruang lingkup analisis kontraftif adalah menemukan atau
menentukan pola-pola kesulitan dan kemudahan pada diri siswa dalam
mempelajari dan memperoleh bahasa kedua. Pola itu dapat ditemukan atau
ditentukan apabila dilakukan (1) deskripsi terhadap sistem bahasa pertama
maupun sistem bahasa kedua (2) seleksi terhadap butir-butir kaidah dan bentuk-
bentuk yang ada dalam bahasa pertama dan bahasa kedua, dan (3) kontras, yaitu:
merumuskan pola (peta) sistem kebahasaan dari yang umum sampai ke hal yang
lebih khusus ; tentu saja hasilnya menunjukkan perbedaan dan persamaan
masing-masing unsur yang dikontraskan, dan (4) prediksi terhadap kesulitan dan
kemudahan dalam memperoleh dan mempelajari bahasa kedua.
Analisis kontrastif, menurut Tarigan (1997) muncul sebagai jawaban atas
pertanyaan “Bagaimana cara mengajarkan bahasa kedua atau bahasa asing secara
efisien dan efektif?” Ruang lingkup analisis kontrastif adalah menemukan cara
mengajarkan bahasa kedua secara efisien dan efektif. Sebagai sebuah prosedur
kerja, analisis kontrastif dapat menjelaskan jawaban atas pertanyaan itu. Langkah-
langkahnya seperti disebutkan di atas, yakni: (1) membandingkan bahasa struktur
bahasa pertama (B1) dan struktur bahasa kedua (B2) yang akan dipelajari oleh
siswa sehingga tergambar perbedaan di antara kedua bahasa itu, (2) berdasarkan
perbedaan itu diprediksi kesulitan belajar dan kesalahan berbahasa yang akan
dialami oleh siswa dalam mempelajari bahasa kedua, (3) berdasarkan kesulitan
belajar dan kesalahan berbahasa tersebut disusunlah bahan ajar (bahan
Analisis Kontrastif
33 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
pengajaran) yang lebih tepat, dan (4) bahan pengajaran tersebut disajikan dengan
cara-cara tertentu yang sesuai dengan keadaan siswa.
Dalam teori interferensi, diakui bahwa kesalahan berbahasa pada
pembelajaran bahasa kedua, antara lain diakibatkan oleh transfer negatif dari
unsur-unsur bahasa pertama (B1). Berdasarkan unsur-unsur bahasa, transfer
negatif itu dimungkinkan terjadi pada tataran: (a) fonologi, (b) morfologi, (c)
sintaksis, (d) semantik maupun (e) tataran wacana. Berdasarkan taksonomi
strategi performasi, kesalahan berbahasa itu terjadi akibat: (a) penanggalan
(omission), (b) penambahan (addition), (c) kesalahbentukan (misformation)
ataupun (d) kesalahurutan (misordering) unsur-unsur bahasa (B1) pada
penggunaan unsur-unsur bahasa kedua (B2). Oleh karena itu, analisis kontrastif
akan mendeskripsikan hal tersebut. Jadi, itu pun dapat dipandang sebagai ruang
lingkup dari analisis kontrastif, yakni bagaimana unsur-unsur bahasa pertama (B1)
dapat menjadikan transfer negatif pada bahasa kedua (B2)? Hasil dari analisis ini,
selanjutnya dapat digunakan untuk memprediksi kesalahan dan kesulitan siswa
dalam pemerolehan dan pembelajaran bahasa kedua.
Ukuran kesahan dalam bahasa Indonesia dapat didasarkan pada faktor-
faktor penentu dalam berkomunikasi dan kaidah kebahasaan. Ukuran itu
dikembangkan dari pertanyaan “Pergunakanlah Bahasa Indonesia yang baik dan
benar”. Apabila bahasa Indonesia yang dipergunakan berada di luar ukuran itu,
maka itu dipandang memiliki kesalahan. Faktor-faktor penentu dalam
berkomunikasi antara lain:
1. Siapa yang berbahasa dengan siapa.
2. Untuk tujuan apa berbahasa.
3. Dalam situasi apa (tempat dan waktu) berbahasa.
4. Dalam konteks apa (partisipan lain, kebudayaan, suasana) berbahasa.
5. Dengan jalur mana (lisan atau tulisan).
6. Dengan media apa (tatap muka, bertelepon, surat, Koran, makalah, ataupun
buku).
7. Dalam peristiwa apa (bercakap-cakap,ceramah, upacara, laporan, pernyataan
perasaan, lamaran pekerjaan ataupun pernyataan kecewa).
Analisis Kontrastif
34 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
Ukuran kesalahan kedua berkaitan dengan penggunaan kaidah kebahasaan
(tata bahasa) yang ada dalam bahasa Indonesia. Ukuran tersebut dapat juga
dijadikan sumber analisis kontrastif. Adapun bidang analisis kontrastif adalah
sebagai berikut:
1. Analisis bidang fonologi
Analisis bidang fonologi dapat dilakukan pada tataran: fonem, diftong,
kluster dan pemenggalan kata. Hasil temuan analisis bidang fonologi, antara
lain:
a. Fonem /a/ diucapkan menjadi /e/.
b. Fonem /i/ diucapkan menjadi /e/.
c. Fonem /e/ diucapkan menjadi /é/.
d. Fonem /é/ diucapkan menjadi /e/.
e. Fonem /u/ diucapkan menjadi /o/.
f. Fonem /o/ diucapkan menjadi /u/.
g. Fonem /c/ diucapkan menjadi /se/.
h. Fonem /f/ diucapkan menjadi /p/.
i. Fonem /k/ diucapkan menjadi /?/ bunyi hambat glotal.
j. Fonem /v/ diucapkan menjadi /p/.
k. Fonem /z/ diucapkan menjadi /j/.
l. Fonem /z/ diucapkan menjadi /s/.
m. Fonem /kh/ diucapkan menjadi /k/.
n. Fonem /u/ diucapkan/dituliskan menjadi /w/.
o. Fonem /e/ diucapkan menjadi /i/.
p. Fonem /ai/ diucapkan menjadi /e/.
q. Fonem /sy/ diucapkan menjadi /s/.
r. Kluster /sy/ diucapkan menjadi /s/.
s. Penghilangan fonem /k/.
t. Penyimpangan pemenggalan kata.
2. Analisis bidang morfologi
Analisis bidang morfologi meliputi tataran: (1) morfologi kata,
(2) morfologi frase, (3) morfologi klausa, (4) sintaksis, (5) semantik, dan
(6) wacana. Adapun hasil dari analisis bidang morfologi, antara lain:
Analisis Kontrastif
35 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
a. Morfologi Kata
1) Salah penentuan bentuk asal.
2) Fonem yang luluh tidak diluluhkan.
3) Fonem yang tidak luluh diluluhkan.
4) Penyingkatan morfem men-, meny-, meng-, dan menge- menjadi n, ny, ng,
dan nge-.
5) Perubahan morfem ber-, per-, dan ter- menjadi be-, pe-, dan te-.
6) Penulisan morfem yang salah.
7) Pengulangan yang salah.
8) Penulisan kata majemuk serangkai.
9) Pemajemukan berafiksasi.
10) Pemajemukan dengan afiks dan sufiks.
11) Perulangan kata majemuk.
b. Morfologi Frase
1) Frase kata depan tidak tepat.
2) Salah penyusunan frase.
3) Penambahan kata “yang” dalam frase benda (nominal) (N + A).
4) Penambahan kata “dari” atau “tentang” dalam frase nominal (N + N).
5) Penambahan kata kepunyaan dalam frase nominal.
6) Penambahan kata “dari” atau “pada” dalam frase verbal (V + Pr).
7) Penambahan kata “untuk” atau “yang” dalam frase nominal (N + V).
8) Penambahan kata “untuk” dalam frase nominal (V + yang + A).
9) Penambahan kata “yang” dalam frase nominal (N + yang + V pasif).
10) Penghilangan preposisi dalam frase verbal (V intransitif + preposisi + N).
11) Penghilangan kata “oleh” dalam frase verbal pasif (V pasif + oleh + A).
12) Penghilangan kata “yang” dalam frase adjektif (lebih + A + daripada +
N/Dem).
c. Morfologi Klausa
1) Penambahan preposisi di antara kata kerja dan objek dalam klausa aktif.
2) Penambahan kata kerja bantu “adalah” dalam klausa pasif.
Analisis Kontrastif
36 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
3) Pemisahan pelaku dan kata kerja dalam klausa pasif.
4) Penghilangan kata “oleh” dalam klausa pasif.
5) Penghilangan proposisi dari kata kerja berpreposisi dalam klausa
pernyataan.
6) Penghilangan kata “yang” dalam klausa nominal.
7) Penghilangan kata kerja dalam klausa intransitif.
8) Penghilangan kata “untuk” dalam klausa pasif.
9) Penggantian kata “daripada” dengan kata “dari” dalam klausa bebas.
10) Pemisahan kata kerja dalam klausa medial.
11) Penggunaan klausa rancu.
d. Morfologi Sintaksis
1) Penggunaan kata perangkai, dari, pada, daripada, kepada, dan untuk.
2) Pembentukan kalimat tidak baku, antara lain:
a) Kalimat tidak efektif.
b) Kalimat tidak normatif.
c) Kalimat tidak logis.
d) Kalimat rancu.
e) Kalimat ambigu.
f) Kalimat pengaruh struktur bahasa asing.
e. Morfologi Semantik
1) Akibat gejala hiperkorek.
2) Akibat gejala pleonasme.
3) Akibat bentukan ambiguitas.
4) Akibat diksi (pemilihan kata).
f. Morfologi Wacana
1) Akibat syarat-syarat paragraf tidak dipenuhi.
2) Akibat struktur sebuah paragraf.
3) Akibat penggabungan paragraf.
4) Akibat penggunaan bahasa dalam paragraf.
Analisis Kontrastif
37 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
5) Akibat pengorganisasian isi (topik-topik) dalam paragraf.
6) Akibat pemilihan topik (isi) paragraf yang tidak tepat.
7) Akibat ketidakcermatan dalam perujukan.
8) Akibat penggunaan kalimat dalam paragraf yang tidak selesai.
3. Langkah-langkah Analisis Kontratif
Analisis kontrastif adalah suatu prosedur kerja yang mempunyai empat
langkah, yakni memperbandingkan B1 dan B2 memperkirakan kesulitan belajar
dan kesalahan berbahasa, menyusun bahan, dan memilih cara penyajian. Dengan
menerapkan langkah-langkah kerja analisis kontrastif tersebut diharapkan
pengajaran bahasa kedua atau bahasa asing itu akan menjadi lebih efisien dan
efektif. Tarigan (1997) menjelaskan langkah-langkah analisis kontrastif itu
sebagai berikut:
Langkah Pertama, guru memperbandingkan struktur bahasa pertama dan
kedua yang akan dipelajari oleh siswa. Butir-butir yang diperbandingkan adalah
setiap tataran linguistik, misalnya fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik
kedua bahasa. Melalui perbandingan itu dapat diidentifikasikan perbedaan antara
bahasa pertama dan bahasa kedua. Aliran linguistik yang sering digunakan dalam
memperbandingkan bahasa pertama dan kedua tersebut adalah linguistik
struktural. Kadang-kadang digunakan juga linguistik generatif yang terkenal
dengan kesemestaan linguistiknya.
Langkah Kedua, adalah memprediksi kesulitan belajar dan kesalahan
berbahasa. Perkiraan ini didasarkan kepada perbedaan antara lain bahasa pertama
dan bahasa kedua yang diperoleh dari hasil perbandingan struktur kedua bahasa
itu. Berdasarkan perbedaan-perbedaan antara kedua bahasa itu, guru dapat
memperkirakan kesulitan belajar yang akan dialami siswa dalam mempelajari
bahasa kedua. Perbedaan struktur bahasa pertama dan kedua beserta kesulitan
belajar yang ditimbulkannya diyakini sebagai sumber dan penyebab kesalahan
berbahasa yang sering dibuat oleh siswa dalam mempelajari bahasa kedua.
Kesulitan belajar bahasa dan kesalahan berbahasa Inggris, tidak sama pada siswa
yang berbahasa ibu bahasa Indonesia dengan siswa yang berbahasa ibu bahasa
Analisis Kontrastif
38 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
Jepang. Bila dikaitkan dengan pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua,
dapat dikatakan bahwa kesulitan belajar dan kesalahan berbahasa yang dialami
siswa di daerah Sunda berbeda dengan yang dialami oleh siswa di daerah Jawa,
Bali, Karo, Aceh, dan lainnya.
Langkah Ketiga, berkaitan dengan pemilihan penyusunan, pengurutan, dan
penekanan bahan pengajaran. Perbandingan struktur bahasa pertama dengan
bahasa kedua menghasilkan deskripsi perbedaan antara bahasa pertama dan
kedua. Perbedaan bahasa pertama dan kedua dipakai sebagai dasar untuk
memperkirakan kesulitan belajar yang bakal dihadapi oleh siswa dalam
mempelajari bahasa kedua . perbedaan struktur beserta kesulitan belajar dan
kesalahan berbahasa ini dipakai sebagai dasar untuk menentukan pemilihan,
pengurutan, dan penekanan bahan pengajaran bahasa kedua.
Langkah Keempat, berkaitan dengan pemilihan cara-cara penyajian bahan
pengajaran. Siswa yang mempelajari bahasa kedua sudah mempunyai kebiasaan
tertentu dalam menggunakan bahasa ibunya. Kebiasaan tersebut harus diatasi agar
tidak mengintervensi dalam penggunaan bahasa kedua. Pembentukan kebiasaan
yang sesuai dengan penggunaan bahasa kedua dilakukan dengan penyajian bahan
pengajaran bahasa kedua dengan cara-cara tertentu pula. Ada empat cara yang
dianggap sesuai untuk menumbuhkan kebiasaan dalam menggunakan bahasa
kedua itu, yakni (i) peniruan, (ii) pengulangan, (iii) latihan runtun, dan (iv)
penguatan (hadiah dan hukuman). Dengan cara-cara tersebut di atas dapat
diharapkan siswa memiliki kebiasaan berbahasa kedua yang kuat sehingga dapat
mengatasi kebiasaan dalam bahasa ibunya.
4. Kegunaan Analisis Kontrastif
Anda dalam kegiatan belajar 1 sudah mempelajari analisis kontrastif dalam
pembelajaran bahasa kedua. Setelah mempelajari itu, anda tentu sudah
mengetahui, antara lain: pengertian, kedudukan, tujuan, ruang lingkup dan
langkah-langkah analisis kontrastif. Dalam kegiatan belajar 2, anda akan
mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan penerapan analisis kontrastif dalam
Analisis Kontrastif
39 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
bahasa Indonesia, khususnya dalam pembelajaran bahasa Indonesia sebagai
bahasa kedua.
Analisis kontrastif tidak mungkin terpisah dari analisis kesalahan
berbahasa. Meskipun terdapat perbedaan namun keduanya memiliki kesamaan
yakni : membahas perihal pemerolehan dan pengajaran bahasa dan interferensi B1
pada B2 anak. Menurut Tarigan (1997) dalam buku Analisis Kesalahan
Berbahasa, transfer negatif menyebabkan timbulnya kesalahan dan kesulitan bagi
siswa dalam pemerolehan dan pengajaran bahasa kedua. Data kesalahan dan
kesulitan siswa itu perlu dianalisis oleh guru, diklasifikasikan, dicarikan
penyebabnya dan melalui analisis kontrastif ditemukan solusinya. Hasilnya
digunakan sebagai masukan (umpan balik/ feedback) dalam penyempurnaan
pengajaran bahasa. Kegunaan dari analisis kontrastif tersebut dapat anda pelajari
dalam sajian berikut.
Analisis kontrastif sebagai jawaban atas pertanyaan “Bagaimana
mengajarkan bahasa kedua atau bahasa asing efisien dan efektif?” Sebagai
prosedur kerja, analisis kontrastif mempunyai empat langkah. Langkah pertama
membandingkan struktur bahasa pertama dan struktur bahasa kedua yang akan
dipelajari oleh siswa sehingga tergambar itu diprediksi di antara kedua bahasa
yang bersangkutan. Langkah kedua, berdasarkan perbedaan itu diprediksi
kesulitan belajar dan kesalahan berbahasa yang akan dialami oleh siswa dalam
mempelajari bahasa kedua. Langkah ketiga berdasarkan kesulitan belajar dan
kesalahan berbahasa tersebut disusunlah bahan pengajaran yang lebih tepat.
Langkah keempat, bahan pengajaran disajikan dengan cara-cara tertentu seperti
peniruan, pengulangan, latihan runtun, dan penguatan.
Langkah pertama berkaitan dengan linguistik. Langkah kedua, dan
keempat berkaitan dengan psikologi khususnya teori belajar. Karena itu para
pakar pengajaran bahasa menyatakan bahwa analisis kontrastif mempunyai dua
aspek, yakni, aspek linguistik dan aspek psikologis.
Aspek linguistik analisis kontrastif berkaitan dengan perbandingan
struktur dua bahasa untuk menemukan perbedaan-perbedaannya. Model tata
bahasa yang biasa digunakan adalah model tata bahasa struktural. Linguistik
Analisis Kontrastif
40 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
menekankan pendeskripsian bahasa secara renik, kategori deskripsi yang berbeda,
istilahnya formal, dan disusun secara induktif.
Membandingkan dua bahasa yang serumpun atau pendekatan memang
terasa mudah. Misalnya membandingkan bahasa Belanda dengan bahasa Jerman,
bahasa Portugis dengan bahasa Spanyol, atau Sunda dengan bahasa Indonesia
belum terasa ada masalah. Hal ini disebabkan oleh adanya kategori yang bersifat
umum dalam dua bahasa yang bersangkutan. Tetapi bila kita membandingkan dua
bahasa yang tidak serumpun misalnya, antara bahasa Sunda dengan bahasa Rusia,
maka mulai terasa ada masalah. Sebab di antara kedua bahasa, yakni bahasa
Sunda dan bahasa Rusia, tidak terdapat kategori yang bersifat umum (Tarigan,
1997).
Penggunaan linguistik struktural dalam mengidentifikasi perbedaan antara
dua bahasa lebih-lebih antara dua bahasa yang tidak serumpun, sering
mengundang kesangsian. Bagaimana mungkin melaksanakan perbandingan yang
efektif kalau dalam setiap bahasa tidak terdapat kategori yang bersifat umum.
Untuk mengatasi hal itu Chomsky mengusulkan penggunaan tata bahasa generatif
sebagai landasan bagi pelaksanaan perbedaan dua bahasa. Teori kesemestaan
bahasa yang dianut oleh linguistik generatif menyatakan bahwa semua bahasa
mempunyai kesamaan paling sedikit kesamaan dalam bidang teori. Kesamaan
dalam bidang teori dapat digunakan sebagai dasar perbandingan antara dua
bahasa.
Apabila teori kesemestaan bahasa yang digunakan sebagai landasan
perbandingan dua bahasa maka yang akan diperoleh satu keuntungan.
Perbandingan dua bahasa baik antara bahasa-bahasa yang serumpun maupun
bahasa-bahasa yang tidak serumpun dapat dilaksanakan dengan cara yang sama
atau seragam. Hal tersebut tidak mungkin terlaksana apabila dasar perbandingan
dua bahasa itu adalah linguistik struktural. Apabila dalam membandingkan dua
bahasa yang tidak serumpun tidak mungkin dilaksanakan dengan cara yang sama
atau seragam. Anehnya, walaupun linguistik struktural inilah yang mendominasi
analisis kontrastif.
Analisis Kontrastif
41 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
Telaah analisis kontrastif belum merata dalam setiap tataran linguistik.
Bidang fonologi paling banyak diperbandingkan dengan alasan pengaruh akses
bahasa ibu sangat besar terhadap bahasa kedua. Setelah bidang fonologi menyusul
bidang sintaksis. Bidang leksikografi, semantik, pemakaian bahasa, dan budaya
sangat kurang mendapat perhatian. Gambaran telaah analisis kontrastif fonologi,
sedikit ke arah sintaksis, dan sangat mengabaikan leksikografi, semantik, dan
pemakaian bahasa.
Hal-hal apa saja yang mungkin diungkap melalui kegiatan analisis
kontrastif atau perbandingan struktur dan bahasa? Melalui perbandingan struktur
dua bahasa banyak yang sama mungkin diungkapkan seperti hal-hal berikut ini:
1. Tiada perbedaan:
Sistem atau aspek tertentu dalam dua bahasa tidak ada perbedaan sama sekali.
Misalnya konsonan /l, m, n/ diucapkan sama baik dalam bahasa Indonesia
maupun dalam bahasa Inggris.
2. Fenomena konvergen:
Dua butir atau lebih dalam bahasa pertama menjadi satu butir dalam bahasa
kedua. Misalnya, kata-kata padi, beras, nasi dalam bahasa Indonesia menjadi
satu kata dalam bahasa Inggris yakni rice.
3. Ketidakadaan:
Butir atau sistem tertentu dalam bahasa pertama tidak terdapat atau tidak ada
dalam bahasa kedua atau sebaliknya.
Misalnya, sistem penjamakan dengan penanda –s atau –es dalam bahasa
Inggris tidak ada dalam bahasa Indonesia. Sebaliknya, sistem penjamakan
dengan pengulangan kata dalam bahasa Indonesia (meja-meja, kuda-kuda,
ikan-ikan) tidak ada dalam bahasa Inggris.
4. Beda distribusi:
Butir tertentu dalam bahasa pertama berbeda distribusi dengan butir yang
sama dalam bahasa kedua. Misalnya fonem /ng/ dalam bahasa Indonesia dapat
menduduki posisi awal, tengah, dan akhir kata :
ngeri, nganga, ngarai
Analisis Kontrastif
42 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
bangsa, bangku, tangkai
terbang, sayang, magang
Dalam bahasa Inggris fonem /ng/ hanya terdapat pada tengah dan akhir kata
lingo, language, linguistic
sing, slang, along
5. Tidak persamaan:
Butir tertentu dalam bahasa pertama tidak mempunyai persamaan dalam
bahasa kedua. Misalnya, predikat kata sifat dan kata benda dalam bahasa
Indonesia tidak terdapat dalam bahasa Inggris.
Bahasa Indonesia Bahasa Inggris
Dia kaya He is rich
Dia guru he is a teacher
6. Fenomena divergers:
Satu butir tertentu dalam bahasa pertama menjadi dua butir dalam bahasa
kedua. Kata we dalam bahasa Inggris menjadi kita atau kami dalam bahasa
Indonesia
Aspek psikologi analisis kontrastif berkaitan dengan langkah kedua,
ketiga, dan keempat prosedur kerja analisis kontrastif. Langkah kedua,
berdasarkan perbedaan struktur bahasa pertama dan bahasa kedua yang akan
dipelajari siswa diprediksi kesulitan belajar dan kesalahan berbahasa yang
mungkin dihadapi atau dialami oleh siswa dalam belajar bahasa kedua. Langkah
ketiga berdasarkan kesulitan belajar dan kesalahan berbahasa itu disusun bahan
pengajaran bahasa kedua yang lebih tepat susunannya, urutannya, dan
penekanannya.
Langkah keempat, bahan pengajaran itu disajikan dengan cara-cara
tertentu, misalnya melalui cara peniruan, pengulangan, latihan runtun, dan
penguatan. Dasar psikologi analisis kontrastif ada dua, yakni asosiasionisme dan
teori stimulus–respons.
Analisis Kontrastif
43 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
Istilah “associative learning” atau belajar secara asosiatif berarti belajar
apabila terjadi hubungan kontak, koneksi, atau asosiasi antara dua hal atau benda.
Sedangkan contoh mari kita lihat asosiasi seperti berikut ini:
1. Asosiasi kontak atau hubungan (association by contiguity)
Apabila seseorang mendengar kata meja maka yang bersangkutan teringat atau
berpikir kepada kata kursi, karena kedua kata itu sering digunakan bersama-
sama atau berpasangan.
Contoh lain :
sendok - garpu
kopi - susu
kerja - lembur
peristiwa belajar seperti contoh di atas dikenal dengan istilah “association by
contiguity” atau asosiasi kontak atau asosiasi hubungan.
(2) Asosiasi kesamaan (association by similarity)
Apabila seseorang mendengar kata sulit maka yang bersangkutan segera atau
berpikir kata sukar karena kedua kata itu bersinonim
kitab - buku
pandai - pintar
mati - meninggal
peristiwa belajar seperti contoh di atas dikenal dengan istilah “association by”
atau asosiasi kesamaan.
(3) Asosiasi kontras (association by contrast)
Apabila seseorang mendengar kata atas maka yang bersangkutan teringat atau
terpikir kata bawah karena kedua kata itu mempunyai makna yang
berlawanan.
susah - senang
malas - rajin
muda - tua
peristiwa belajar seperti contoh di atas dikenal dengan istilah “association by
contrast” atau asosiasi kontras atau asosiasi berlawanan.
Analisis Kontrastif
44 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
Ada dua hal yang menjadi inti teori stimulus–respons (S-R) berdasarkan
psikologi behaviorisme (tingkah laku), yakni kebiasaan (habit) dan kesalahan
(error). Bila kedua istilah tersebut dihubungkan dengan pemerolehan bahasa,
maka diperoleh istilah kebiasaan berbahasa (language habit) dan kesalahan
berbahasa (language error). Pengertian tingkah laku dapat dijelaskan melalui aksi
dan reaksi atau stimulus dan responsi. Stimulus tertentu menghasilkan respons
tertentu pun. Apabila stimulus dan responsi itu dapat bersifat mapan atau tetap
maka hubungan antara stimulus dan responsi itu disebut kebiasaan atau “habit”.
Kebiasaan mempunyai beberapa ciri. Ciri pertama, kebiasaan itu bersifat
“observable” atau dapat diamati. Apabila kebiasaan itu berupa benda maka benda
itu dapat diraba. Bila kebiasaan itu berupa kegiatan atau aktivitas maka kegiatan
itu dapat dilihat. Ciri kedua, kebiasaan itu terjadi secara spontan tanpa disadari.
Ciri ketiga, kebiasaan itu sukar dihilangkan, kecuali kalau lingkungannya diubah,
misalnya menghilangkan stimulus yang membangkitkan kebiasaan itu.
Cara terjadinya hubungan antara stimulus dan responsi atau kebiasaan,
menurut Watson, salah seorang penganut aliran psikologi klasik, adalah setiap
stimulus mendatangkan responsi. Apabila stimulus berlangsung secara tetap
maka, responsi pun terlatih dan diarahkan menjadi tetap sehingga bersifat
otomatis. Menurut Skinner, salah seorang pengikut psikologi behaviourisme,
kebiasaan dapat terjadi melalui peniruan dan penguatan. Peniruan yang tepat
dikuatkan sedang peniruan yang belum tepat disempurnakan.
Hubungan antara stimulus, responsi, dan penguatan dapat digambarkan
sebagai berikut. Stimulus adalah suatu rangsangan atau aksi yang menuntut suatu
tindakan atau reaksi pada seseorang atau organisme. Responsi adalah perilaku
yang timbul sebagai reaksi seseorang terhadap suatu aksi atau stimulus. Penguatan
atau “reinforcement” adalah suatu stimulus baru yang mengikuti terjadinya suatu
responsi. Stimulus baru itu dapat membuat responsi yang telah terjadi berulang
terjadi lagi atau tidak terjadi lagi. Penguatan yang menunjang suatu responsi
berulang kembali disebut sebagai penguatan positif atau “positive reinforcement”,
misalnya dalam bentuk hadiah atau pujian. Penguatan yang menghalangi terjadi
Analisis Kontrastif
45 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
kembali responsi yang tidak diingini disebut penguatan negatif atau “negative
reinforcement”, misalnya hukuman.
Teori pembentukan kebiasaan itu memang bersifat umum, namun
aplikasinya dapat digunakan dalam pengajaran bahasa pertama maupun
pengajaran bahasa kedua. Dalam pengajaran bahasa pertama anak-anak
menguasai bahasa ibunya melalui peniruan. Peniruan yang sudah sempurna
biasanya diikuti oleh pujian atau hadiah yang disebut penguatan positif. Melalui
kegiatan itulah anak-anak menguasai struktur dan kebiasaan yang berlaku dalam
bahasa ibunya. Hal yang sama juga terjadi dalam pengajaran bahasa kedua.
Melalui kegiatan peniruan, pengulangan, latihan runtun, dan penguatan siswa
diarahkan untuk menguasai struktur dan kebiasaan yang berlaku dalam bahasa
kedua dan menghilangkan tekanan bahasa ibu terhadap bahasa kedua.
Tekanan bahasa ibu terhadap bahasa kedua berkaitan dengan teori belajar
terutama teori transfer. Transfer adalah suatu proses yang menggambarkan
penggunaan tingkah laku yang telah dipelajari secara spontan dan otomatis dalam
memberikan responsi baru. Transfer ini dapat bersifat negatif dan positif. Transfer
negatif terjadi apabila tingkah laku yang telah dipelajari bertentangan dengan
tingkah laku yang sedang dipelajari. Sebaliknya, transfer positif terjadi apabila
tingkah laku yang telah dipelajari sesuai dengan tingkah laku yang sedang
dipelajari. Bila pengertian kedua transfer ini diaplikasikan ke dalam pengajaran
bahasa, maka transfer negatif terjadi kalau sistem bahasa ibu yang telah dikuasai
digunakan dalam bahasa kedua, sedangkan sistem bahasa ibu berbeda dengan
sistem bahasa kedua. Sebaliknya, apabila sistem bahasa ibu dan bahasa kedua
sama maka terjadilah transfer positif. Transfer negatif dalam pengajaran bahasa
kedua disebut interferensi, yang menimbulkan penyimpangan atau kesalahan
berbahasa pada siswa pembelajar bahasa kedua.
Landasan kerja analisis kontrastif ada dua yakni teori linguistik dan teori
psikologi. Langkah-langkah kerja analisis kontrastif yang dijabarkan dari kedua
landasan itu menggambarkan dengan jelas daerah cakupan analisis kontrastif.
Cakupan pertama berkaitan dengan perbandingan dua bahasa, yakni bahasa ibu
siswa dengan bahasa kedua yang akan dipelajari oleh siswa. Perbandingan ini
Analisis Kontrastif
46 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
dapat dilakukan pada setiap sistem bahasa seperti sistem fonologi, sistem
morfologi, sistem sintaksis, sistem semantik, atau sistem pemakaian bahasa.
Cakupan kedua berkaitan dengan memprediksi kesulitan belajar dan kesalahan
berbahasa yang mungkin dihadapi oleh siswa dalam belajar bahasa kedua. Hal ini
didasarkan pada didasarkan kepada perbedaan antara bahasa ibu dan bahasa
kedua. Cakupan ketiga berkaitan dengan bahan pengajaran, pemilihannya,
penyusunannya, dan penekanannya. Dasar penyusunan bahan ini adalah kesulitan
belajar dan kesalahan berbahasa yang dialami oleh siswa. Cakupan keempat
berkaitan dengan cara penyajian bahan pengajaran bahasa. Ada empat cara
penyajian bahan pengajaran bahasa yang dianut oleh analisis kontrastif, yakni (i)
peniruan, (ii) pengulangan, (iii) latihan runtun, dan (iv) penguatan.
5. Hipotesis Analisis Kontrastif
Langkah pertama dalam metodologi analisis kontrastif adalah
memperbandingkan struktur dua bahasa yakni, bahasa ibu siswa dan bahasa kedua
yang akan dipelajari oleh siswa. Melalui perbandingan dua bahasa itu dapat
diidentifikasi perbedaan struktur bahasa pertama dan bahasa kedua. Perbedaan
struktur di antara kedua bahasa ini dijadikan sebagai landasan dalam memprediksi
kesulitan belajar dan kesalahan berbahasa yang akan dialami oleh siswa dalam
mempelajari bahasa kedua.
Kesulitan belajar bahasa dan kesalahan berbahasa yang dialami oleh siswa
dalam belajar bahasa kedua tersebut di atas digunakan sebagai landasan dalam
menyusun hipotesis analisis kontrastif. Ada dua hipotesis analisis kontrastif.
Hipotesis pertama adalah “Strong Form Hypothesis” atau Hipotesis Bentuk Kuat.
Hipotesis kedua bernama “Weak Form Hypothesis” atau Hipotesis Bentuk Lemah.
Hipotesis Bentuk Kuat menyatakan bahwa semua kesalahan berbahasa
dalam bahasa kedua dapat diramalkan dengan mengidentifikasi perbedaan struktur
bahasa pertama dan bahasa kedua yang dipelajari oleh siswa. Hipotesis bentuk
kuat ini didasarkan kepada lima asumsi berikut.
1) Penyebab utama kesulitan belajar dan kesalahan berbahasa dalam mempelajari
bahasa kedua adalah interferensi bahasa ibu.
Analisis Kontrastif
47 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
2) Kesulitan belajar itu disebabkan oleh perbedaan struktur bahasa ibu dan
bahasa kedua yang dipelajari oleh siswa.
3) Semakin besar perbedaan antara bahasa ibu dan bahasa kedua semakin besar
pula kesulitan belajar.
4) Perbedaan struktur bahasa pertama dan bahasa kedua diperlukan untuk
memprediksi kesulitan belajar dan kesalahan berbahasa yang akan terjadi
dalam belajar bahasa kedua.
5) Bahan pengajaran bahasa kedua ditekankan pada perbedaan bahasa pertama
dan kedua yang disusun berdasarkan analisis kontrastif.
Hipotesis Bentuk Lemah menyatakan bahwa tidak semua kesalahan
berbahasa disebabkan oleh interferensi. Dalam Hipotesis Bentuk Lemah tersirat
asumsi hal-hal berikut. Kesalahan berbahasa disebabkan oleh berbagai faktor.
Peranan bahasa pertama tidak besar dalam mempelajari bahasa kedua. Analisis
kontrastif dan analisis kesalahan berbahasa harus saling melengkapi. Analisis
kesalahan berbahasa mengidentifikasi kesalahan berbahasa yang dibuat oleh
siswa. Kemudian analisis kontrastif menetapkan kesalahan mana yang termasuk
ke dalam kategori yang disebabkan oleh perbedaan bahasa pertama dan bahasa
kedua.
Apa rasional hipotesis analisis kontrastif? Penguat atau rasional hipotesis
analisis kontrastif adalah hal-hal berikut. Pertama, pengalaman guru, yang
menggambar kesalahan berbahasa yang dibuat oleh siswa dengan tekanan bahasa
ibu terhadap bahasa kedua yang dipelajari oleh siswa. Kedua, kontak bahasa, yang
menggambarkan pengaruh bahasa pertama terhadap bahasa kedua atau sebaliknya
pengaruh bahasa kedua terhadap bahasa pertama. Ketiga, teori belajar, yang
menggambarkan transfer positif dan transfer negatif dalam belajar bahasa kedua.
1) Pengalaman Guru
Setiap guru bahasa asing atau bahasa kedua yang sudah berpengalaman pasti
mengetahui kesalahan berbahasa yang dibuat oleh siswa dalam mempelajari
bahasa kedua. Kesalahan itu selalu berulang atau biasa diperbuat oleh siswa.
Mereka juga dapat mengaitkan kesalahan berbahasa tersebut dengan tekanan
Analisis Kontrastif
48 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
bahasa ibu siswa. Tekanan bahasa ibu dapat terjadi pada pelafalan, susunan
kata, pembentukan kata, susunan kalimat. Misalnya siswa berbahasa ibu
bahasa Sunda berbahasa Indonesia dengan aksen Sunda atau siswa berbahasa
ibu bahasa Jawa menggunakan struktur kalimat bahasa Jawa dalam kalimat
“Rumahnya Pak Ahmad besar sendiri”.
2) Kontak Bahasa
Kontak bahasa terjadi di dalam situasi kedwibahasaan. Orang yang mengenal
atau mengetahui dua bahasa disebut dwibahasawan. Dwibahasawan
merupakan wadah tempat terjadinya kontak bahasa. Semakin besar jumlah
dwibahasawan itu semakin intensif pula kontak antara kedua bahasa. Kontak
bahasa menimbulkan saling mempengaruhi antara kedua bahasa. Bahasa yang
paling dikuasai oleh dwibahasawan mempengaruhi bahasa yang kurang
dikuasai. Dalam pengajaran bahasa kedua sudah dapat dipastikan bahwa
bahasa ibu lebih dikuasai ketimbang bahasa kedua. Akibatnya, pengaruh
bahasa ibu mendominasi penggunaan bahasa kedua. Bila pengaruh itu tidak
sejalan dengan sistem bahasa kedua maka terjadilah interferensi. Interferensi
merupakan sumber kesulitan belajar bahasa dan kesalahan berbahasa.
3) Teori Belajar
Sumber ketiga sebagai pendukung hipotesis analisis kontrastif adalah teori
belajar terutama teori transfer. Transfer diartikan sebagai suatu proses yang
melukiskan penggunaan tingkah laku yang telah dipelajari digunakan secara
spontan dalam memberikan responsi baru. Transfer dapat bersifat negatif
dapat pula bersifat positif. Transfer negatif terjadi apabila tingkah laku yang
dipelajari berbeda dengan tuntutan tugas baru. Sebaliknya, transfer positif
terjadi apabila tingkah laku yang telah dipelajari sesuai dengan tuntutan tugas
baru. Jika kedua pengertian transfer itu dikaitkan dengan pengajaran bahasa
kedua maka aplikasinya seperti berikut. Transfer negatif terjadi apabila sistem
bahasa ibu yang telah dikuasai oleh siswa digunakan dalam bahasa kedua
sedang sistem itu berbeda dalam kedua bahasa. Sebaliknya apabila sistem itu
sesuai dengan sistem bahasa kedua maka terjadi transfer positif. Transfer
Analisis Kontrastif
49 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
negatif dalam pengajaran bahasa kedua disebut interferensi. Interferensi
adalah kesulitan belajar maupun kesalahan berbahasa.
6. Analisis Kontrastif Bidang Fonologi
Bidang fonologi merupakan salah satu tataran analisis kontrastif. Dalam
sajian ini anda dapat mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan bidang fonologi
dalam bahasa Indonesia. Adapun yang menjadi fokus garapan dalam bidang
fonologi antara lain: pembentukan, klasifikasi dan penggunaan bunyi bahasa.
Vokal, konsonan dan diftong atau semivokal adalah klasifikasi bunyi bahasa
berdasarkan proses artikulasi. Dalam penggunaannya, bunyi tersebut dapat
mengalami perubahan akibat penggunaan suatu bahasa kepada bahasa yang lain.
Misalnya: bahasa pertama (B1) mempengaruhi bahasa kedua (B2). Hal itu dapat
dijelaskan apabila dilakukan analisis kontrastif.
Anda tentu sudah mengetahui tentang klasifikasi bunyi vokal, konsonan
dan diftong dalam suatu bahasa. Vokal, konsonan dan diftong merupakan jenis
bunyi yang dibedakan berdasarkan ada tidaknya rintangan terhadap arus udara
dalam saluran suara. Semi vokal biasa dimasukkan ke dalam konsonan. Karena
itu, bunyi segmental lazim dibedakan atas bunyi vokal dan bunyi konsonan.
Vokal adalah bunyi bahasa yang arus udaranya tidak mengalami rintangan.
Pada pembentukan vokal tidak ada artikulasi. Hambatan untuk bunyi vokal hanya
pada pita suara saja. hambatan pada pita suara tidak lazim disebut artikulasi.
Karena vokal dihasilkan dengan hambatan pita suara maka pita suara bergetar.
Posisi glotis dalam keadaan tertutup, tetapi tidak rapat sekali. Dengan demikian,
semua vokal termasuk bunyi bersuara.
Konsonan adalah bunyi bahasa yang dibentuk dengan menghambat arus
udara pada sebagian alat ucap. Dalam hal ini terjadi artikulasi. Proses hambatan
atau artikulasi ini dapat disertai dengan bergetarnya pita suara, sehingga terbentuk
bunyi konsonan bersuara. Jika artikulasi itu tidak disertai bergetarnya pita suara,
glotis dalam keadaan terbuka akan menghasilkan konsonan tak bersuara.
Analisis Kontrastif
50 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
Bunyi semi-vokal adalah bunyi yang secara praktis termasuk konsonan, tetapi
karena pada waktu diartikulasikan belum membentuk konsonan murni. Bunyi
semivokal dapat juga disebut semikonsonan, namun istilah ini jarang dipakai.
1. Bunyi Nasal dan Oral
Bunyi nasal atau sengau dibedakan dari bunyi oral berdasarkan jalan
keluarnya arus udara. Bunyi nasal dihasilkan dengan menutup arus udara ke
luar melalui rongga mulut, tetapi membuka jalan agar dapat keluar melalui
rongga hidung. Penutupan arus udara ke luar melalui rongga mulut dapat
terjadi : (1) antara kedua bibir, hasilnya bunyi [m]; (1) antara ujung lidah dan
ceruk, hasilnya bunyi [n]; (3) antara pangkal lidah dan langit-langit lunak,
hasilnya bunyi [η]; dan (4) antara ujung lidah dan langit-langit keras, hasilnya
bunyi [ñ].
Bunyi oral dihasilkan dengan jalan mengangkat ujung anak tekak
mendekati langit-langit lunak untuk menutupi rongga hidung sehingga arus
udara dari paru-paru keluar melalui mulut. Selain bunyi nasal, semua bunyi
vokal dan konsonan bahasa Indonesia termasuk bunyi oral.
2. Bunyi Keras dan Lunak
Bunyi keras (fortis) dibedakan dari bunyi lunak (lenis) berdasarkan ada
tidaknya ketegangan arus udara pada waktu bunyi itu diartikulasikan. Bunyi
bahasa disebut keras apabila pada waktu diartikulasikan disertai ketegangan
kekuatan arus udara. Sebaliknya, apabila pada waktu diartikulasikan tidak
disertai ketegangan kekuatan arus udara, bunyi itu disebut lunak.
Dalam bahasa Indonesia terdapat kedua jenis bunyi tersebut. Baik
bunyi keras maupun bunyi lunak dapat berupa vokal dan konsonan seperti
diuraikan berikut ini.
Bunyi keras mencakupi beberapa jenis bunyi seperti: .
a. bunyi letup tak bersuara: [p, t, c, k],
b. bunyi geseran tak bersuara: [s],
c. bunyi vokal: [⊃]
Bunyi lunak mencakupi beberapa jenis seperti:
Analisis Kontrastif
51 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
a. bunyi letup bersuara: [b, d, j, g],
b. bunyi geseran bersuara: [z],
c. bunyi nasal: [m, n, ñ, η],
d. bunyi likuida: [r, 1],
e. bunyi semi-vokal: [w, y],
f. bunyi vokal: [i, e, o, u].
3. Bunyi Panjang dan Pendek
Bunyi panjang dibedakan dari bunyi pendek berdasarkan lamanya
bunyi tersebut diucapkan atau diartikulasikan. Vokal dan konsonan dapat
dibedakan atas bunyi panjang dan bunyi pendek.
Tanda bunyi panjang lazimnya dengan tanda garis pendek di atasnya
[ K ] atau dengan tanda titik dua [:] di belakang bunyi yang panjang itu.
Misalnya, [a] panjang akan ditulis [a ] atau [a:]. Begitu pula, [m] panjang akan
ditulis [ m ] atau [m:].
4. Bunyi Nyaring dan Tak Nyaring
Bunyi nyaring dibedakan dari bunyi tak nyaring berdasarkan
kenyaringan bunyi pada waktu terdengar oleh telinga. Pembedaan bunyi
berdasarkan derajat kenyaringan itu merupakan tinjauan fonetik auditoris.
Derajat kenyaringan itu sendiri ditentukan oleh luas sempitnya atau besar
kecilnya ruang resonansi pada waktu bunyi itu diucapkan. Makin luas ruang
resonansi saluran bicara yang dipakai pada waktu membentuk bunyi bahasa,
makin tinggi derajat kenyaringannya. Sebaliknya, makin sempit ruang
resonansinya, makin rendah derajat kenyaringannya.
5. Bunyi Tunggal dan Rangkap
Bunyi tunggal dibedakan dari bunyi rangkap berdasarkan
perwujudannya dalam suku kata. Bunyi tunggal adalah sebuah bunyi yang
berdiri sendiri dalam satu suku kata, sedangkan bunyi rangkap adalah dua
bunyi atau lebih yang bergabung dalam satu suku kata. Semua bunyi vokal
dan konsonan adalah bunyi tunggal. Bunyi tunggal vokal disebut juga
monoftong.
Analisis Kontrastif
52 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
Bunyi rangkap dapat berupa diftong maupun klaster. Diftong, yang
lazim disebut vokal rangkap, dibentuk apabila keadaan posisi lidah sewaktu
mengucapkan bunyi vokal yang satu dengan bunyi vokal yang lainnya saling
berbeda. Misalnya, dalam bahasa Indonesia terdapat diftong [oi], [aI], dan
[aU].
Kluster, yang lazim disebut gugus konsonan, dibentuk apabila cara
artikulasi atau tempat artikulasi dari kedua konsonan yang diucapkan saling
berbeda. Misalnya, dalam bahasa Indonesia terdapat gugus [pr], [kr], [tr], dan
[bl].
6. Bunyi Egresif dan Ingresif
Bunyi egresif dan ingresif dibedakan berdasarkan arus udara. Bunyi
egresif dibentuk dengan cara mengeluarkan arus udara dari dalam paru-paru,
sedangkan bunyi ingresif dibentuk dengan cara mengisap udara ke dalam
paru-paru. Kebanyakan bunyi bahasa Indonesia merupakan bunyi egresif.
Bunyi egresif dibedakan lagi atas bunyi egresif pulmonik dan bunyi
egresif giotalik, Bunyi egresif pulmonik dibentuk dengan cara mengecilkan
ruangan paru-paru oleh otot paru-paru, otot perut, dan rongga dada. Hampir
semua bunyi bahasa Indonesia dibentuk melalui egresif pulmonik. Bunyi
egresif giotalik terbentuk dengan cara merapatkan pita suara sehingga glotis
dalam keadaan tertutup sama sekali. Bunyi egresif giotalik disebut juga bunyi
ejektif.
Bunyi ingresif dibedakan atas bunyi ingresif giotalik dan bunyi ingresif
velarik. Bunyi ingresif giotalik memiliki kemiripan dengan cara pembentukan
bunyi egresif giotalik, hanya arus udara yang berbeda. Bunyi ingresif velarik
dibentuk dengan menaikkan pangkal lidah ditempatkan pada langit-langit
lunak.
Berdasarkan bentuk atau posisi bibir sewaktu vokal diucapkan atau udara
dihembuskan, vokal dibedakan menjadi:
Analisis Kontrastif
53 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
1. vokal bulat, yakni vokal yang diucapkan dengan bentuk bibir bulat. Bentuk
bibir bulat bisa terbuka atau tertutup. Jika terbuka, vokal itu diucapkan
dengan posisi bibir terbuka bulat. Misalnya, vokal [u], [o], dan [a].
2. vokal tak bulat, yakni vokal yang diucapkan dengan bentuk bibir tidak bulat
atau terbentang lebar. Misalnya, [i], [e], dan [8].
Berdasarkan tinggi rendahnya lidah, vokal dapat dibedakan atas:
1. vokal tinggi atau atas yang dibentuk apabila rahang bawah merapat ke rahang
atas : [i] dan [u]
2. vokal madya atau tengah yang dibentuk apabila rahang bahwa menjauh sedikit
dari rahang atas: [e] dan [o]
3. vokal rendah atau bawah yang dibentuk apabila rahang bawah diundurkan lagi
sejauh-jauhnya: [a].
Berdasarkan bagian lidah yang bergerak atau maju mundurnya lidah, vokal
dapat dibedakan atas:
1. vokal depan, yakni vokal yang dihasilkan oleh gerakan turun naiknya lidah
bagian depan, seperti: [i] dan [e];
2. vokal tengah, yakni vokal yang dihasilkan oleh gerakan lidah bagian tengah,
misalnya : [∂] dan [a];
3. vokal belakang, yakni vokal yang dihasilkan oleh gerakan turun naiknya lidah
bagian belakang atau pangkal lidah, seperti: [u] dan [o].
Berdasarkan posisi dalam suku kata, posisi bunyi vokal dapat dibedakan
seperti pada tabel berikut.
POSISI VOKAL DALAM SUKU KATA
Posisi Fonem Awal Tengah Akhir
/ i / /ikan/ ikan /pintu/ pintu /api/ api
/ e / /ekor/ ekor /nenek/ nenek /sore/ sore
/ ∂ / /∂mas/ emas /ruw∂t/ ruwet /tip∂/ tipe
/ a / /anak/ anak /darma/ darma /kota/ kota
/ u / /ukir/ ukir /masuk/ masuk /bau/ bau
/ o / /obat/ obat /balon/ balon /baso/ baso
Analisis Kontrastif
54 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
Striktur adalah keadaan hubungan posisional artikulator (aktif) dengan
artikulator pasif atau titik artikulasi. Karena vokal tidak mengenal artikulasi,
Striktur untuk vokal ditentukan oleh jarak antara lidah dengan langit-langit.
Berdasarkan strikturnya, vokal dibedakan atas empat jenis, yakni vokal tertutup,
vokal semi-tertutup, vokal terbuka, dan vokal semi-terbuka.
11. vokal tertutup, yakni vokal yang dibentuk dengan lidah diangkat setinggi
mungkin mendekati langit-langit dalam batas vokal. Jika digambarkan, vokal
tertutup ini terletak pada garis yang menghubungkan antara [i] dan [u]. Karena
itu, menurut strikturnya vokal [i] dan [u] merupakan vokal tertutup.
12. vokal semi-tertutup, yakni vokal yang dibentuk dengan lidah diangkat dalam
ketinggian sepertiga di bawah tertutup atau dua pertiga di atas vokal yang
paling rendah, terletak pada garis yang menghubungkan antara vokal [e]
dengan [o]. Karena itu, vokal [e] dan [o] termasuk vokal semi-tertutup.
13. vokal semi-terbuka, yakni vokal yang dibentuk dengan lidah diangkat dalam
ketinggian sepertiga di atas vokal yang paling rendah atau dua pertiga di
bawah vokal tertutup. Letaknya pada garis yang menghubungkan vokal [ε]
dengan [o]. Dengan demikian, vokal [s] dan [o] termasuk vokal semi-tertutup.
14. vokal terbuka, yakni vokal yang dibentuk dengan lidah dalam posisi serendah
mungkin, kira-kira pada garis yang menghubungkan antara vokal [a] dengan
[A]. Karena itu, kedua vokal itu termasuk vokal terbuka.
Posisi tinggi rendahnya lidah, keadaan lidah, dan strikturnya dapat dilihat
pada bagan berikut.
STRIKTUR VOKAL
Depan Tengah Belakang
Tertutup
Semi-tertutup
Semi-terbuka
Terbuka
Tinggi
Madya
Rendah
Analisis Kontrastif
55 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
Berdasarkan posisi lidah, tinggi–rendahnya lidah, maju mundurnya lidah,
dan strikturnya, vokal dapat dibagankan sebagai berikut.
KLASIFIKASI VOKAL
Depan Tengah Belakang
Struktur tak bulat tak bulat bulat netral
Tinggi 1 u Tertutup
Semi-tutup
Madya e ∂ o Semi-buka
Rendah a σ
Posisi konsonan dalam suku kata dapat dijelaskan dalam tabel berikut.
POSISI KONSONAN DALAM SUKU KATA
Posisi
Konsonan Awal Tengah Akhir
/ p / /pasang/ /apa/ /siap/
/ b / /bahasa/ /sebut/ /adab/
/ t / /tali/ /mata/ /rapat/
/ d / /dua/ /ada/ /adab/
/ c / /cakap/ /beca/ -----
/ j / /jalan/ /manja/ /mi’raj/
/ k / /kami/ /paksa/ /politik/
/ g / /galag/ /tiga/ /jajag/
/ f / /fakir/ /kafan/ /maaf/
/ v / /varia/ /lava/ -----
/ s / /suku/ /asli/ /lemas/
/ z / /zeni/ /lazim/ -----
/ š / /syarat/ /isyarat/ /arasy/
/ h / /hari/ /lihat/ /tanah/
Analisis Kontrastif
56 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
/ m / /maka/ /kami/ /diam/
/ n / /nama/ /anak/ /daun/
/ ñ / /nyata/ /hanya/ -----
/ η / /ngilu/ /angin/ /pening/
/ r / /raih/ /juara/ /putar/
/ l / /lekas/ /alas/ /kesal/
/ w / /wanita/ /hawa/ -----
/ y / /yakin/ /payung/ -----
Dalam bahasa Indonesia, konsonan itu memiliki deretan tertentu, seperti
disajikan dalam tabel berikut.
DERETAN KONSONAN DALAM BAHASA INDONESIA
fonem p t c k b d j g s h w y m n ñ ηηηη l r
p pt ps py pl pr
t tp tt tb tw ty tm tr
c
k kt kc kb kd ks kw km
b bt bd bs by bl br
d dh dy dm dl dr
j jl jr
g gy
s sp st sc sk sb sw sm sn sl sr
h ht hk hs hw hy hm hl hr
w
y
m mp mt mc mb mj ms mh ml mr
n np nt nc nk nd nj ns
ñ
η ηk ηg ηs ηl ηr
l lp lt lk lb ld lj ls lh lw lm
r rp rt rc rk rb rd rs rh rw ry rm rn rl
Analisis Kontrastif
57 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
Bahasa Indonesia mengikuti kaidah kebahasaan pada umumnya. Akan
tetapi, karena kaidah bahasa yang satu tidak sama dengan kaidah bahasa yang
lain, maka bahasa Indonesia pun memiliki kaidah tersendiri, termasuk dalam
kaidah fonologis. Penentuan kaidah bahasa tersebut dikembangkan oleh
masyarakat bahasanya untuk membedakannya dari kaidah bahasa yang lain.
Dari sekian banyak kemungkinan bunyi yang dapat dibuat oleh manusia,
bahasa Indonesia memanfaatkan sebagian kecil yang selaras dengan
perkembangan sejarah bahasa itu. Demikian pula pengaturan bunyi menjadi kata
atau suku kata dan penggunaan aspek suprasegmental ditentukan oleh masyarakat
bahasa Indonesia secara konvensional.
Kenyataan menunjukkan bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa
kedua dalam urutan pemerolehannya bagi kebanyakan orang Indonesia yang
digunakan dalam berbagai situasi telah menyebabkan timbulnya masyarakat
diglosik. Situasi diglosia dapat disaksikan di dalam masyarakat bahasa jika dua
ragam pokok bahasa yang masing-masing mungkin memiliki berjenis subragam
lagi dipakai secara berdampingan untuk fungsi kemasyarakatan yang berbeda-
beda. Ragam pokok yang satu, yang dapat dianggap dilapiskan di atas ragam
pokok yang lain, merupakan sarana kepustakaan dan kesusastraan yang muncul
pada suatu, masyarakat bahasa seperti halnya bahasa Melayu untuk Indonesia dan
Malaysia. Ragam pokok yang kedua tumbuh dalam berbagai rupa dialek rakyat.
Ragam pokok yang pertama dapat disebut "ragam tinggi" dan ragam pokok yang
kedua dapat dinamai “ragam rendah”.
Untuk situasi yang tidak resmi, banyak orang Indonesia menggunakan
bahasa daerahnya. Sebagai akibat masyarakat yang diglosik itu, bahasa Indonesia
mengenal diasistem, yaitu adanya dua sistem atau lebih dalam tata bunyi, karena
tata bunyi sebagian bahasa daerah di Indonesia cukup besar perbedaannya dengan
bahasa Indonesia. Gejala diasistem tersebut terutama terjadi karena beberapa
fonem dalam bahasa Indonesia merupakan diafonem dalam bahasa daerah atau
sebaliknya.
Analisis Kontrastif
58 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
Gejala diasistem dalam bahasa Indonesia dapat diterima orang dalam batas
tertentu. Misalnya, pelafalan kata toko sebagai [toko] atau [t⊃k⊃] dirasakan biasa.
Demikian pula, kata kebun yang diucapkan sebagai [k∂bun] atau [k∂b⊃n].
Sebagai perwujudan fonem yang sama di dalam posisi yang sama, gejala
diasistem dalam tata bunyi vokal bahasa Indonesia tampak pada realisasi vokal /i/,
/e/, /o/, dan /u/. Sebagian penutur akan lebih mengenal bunyi [i], [e], [o], dan [u]
yang lebih tertutup di samping bunyi [I], [e], [⊃], dan [U] yang lebih terbuka,
tetapi sebagian lain hanya mengenal kualitas vokal yang terakhir itu. Jadi, lafal
toko dan tokoh oleh penutur yang berlatar belakang bahasa Jawa cenderung
dilafalkan [toko] dan [t⊃k⊃h], tetapi oleh penutur bahasa yang berlatar belakang
bahasa Sunda cenderung dilafalkan [t⊃k⊃ ] dan [t⊃k⊃h] dengan kualitas /o/ yang
sama.
Perlu dicatat bahwa sistem realisasi fonem vokal bahasa Indonesia yang
tidak termasuk alofon fonem yang bersangkutan akan menimbulkan kejanggalan
dalam pendengaran penutur lain. Jadi, jika fonem /∂/ direalisasi sebagai [e], [⊃]
atau sebagai [Ö] ( e bundar), bunyi demikian akan terasa janggal bagi kebanyakan
penutur bahasa Indonesia.
Dalam tata bahasa baku masalah perbedaan lafal yang dirasakan atas
variasi regional seperti itu tidak dipakai sebagai ukuran untuk menentukan baku
tidaknya bahasa Indonesia yang dipakai oleh seseorang.
Para penutur bahasa daerah pada waktu berbahasa Indonesia secara
fonologis cenderung untuk mentransfer sistem fonologi bahasa daerahnya ke
dalam bahasa Indonesia (BI). Hal itu muncul karena sistem fonologis bahasa
daerah (BD) dengan sistem fonologis bahasa Indonesia memiliki kemiripan. Jika
fonem-fonem yang secara relatif telah dianggap mirip, tetapi nyatanya
mempunyai varian-varian yang berbeda, maka akan timbul masalah-masalah yang
berikut.
1) Fonem BI /d/ dalam posisi akhir kata yang diucapkan [t], oleh penutur BD
seperti penutur bahasa Sunda (BS) cenderung akan diucapkan [d]. Misalnya:
Kata Lafal BI Lafal BS
tekad [tskat] [tekad]
Analisis Kontrastif
59 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
abad [abat] [abad]
akad [akat] [akad]
babad [babat] [babad]
jihad [jihat] [jihad]
2) Fonem BI /b/ dalam posisi akhir kata yang diucapkan [p], oleh penutur BS
cenderung akan diucapkan [b]. Misalnya:
Kata Lafal BI Lafal BS
lalab [lalap] [lalab]
sebab [sebap] [sebab]
adab [adap] [adab]
lembab [l∂mbap] [l∂mbab]
jilbab [jilbap] [jilbab]
3) Fonem Bi /g/ dalam posisi akhir kata yang diucapkan /k/, oleh penutur BS
cenderung akan diucapkan [g]. Misalnya:
Kata Lafal BI Lafal BS
bedug [beduk] [bedug]
gebug [gebuk] [gebug]
gubug [gubuk] [gubug]
balig [balik] [balig]
4) Fonem BI /k/ dalam posisi akhir kata yang diucapkan [?],oleh penutur BS
cenderung diucapkan [k]. Misalnya:
Kata Lafal BI Lafal BS
anak [ana?] [anak]
tindak [tida?] [tidak]
enak [εna?] [?εnak]
lunak [luna?] [lunak]
berak [bεra?] [bεrak]
Analisis Kontrastif
60 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
5) Para penutur BS cenderung akan melakukan diferensiasi atau. pembedaan
dalam pengucapan bunyi [∂] pada akhir kata-kata BI baru menjadi bunyi [ö].
Misalnya:
Kata Lafal BI Lafal BS
mode [mod∂l] [modö]
metode [metod∂] [metodö]
halte [halt∂] [haltö]
orde [ord∂] [ordö]
kampanye [kampañ∂] [kampañö]
6) Setiap suku kata terbuka cenderung oleh penutur BS diucapkan berglotal [?].
Misalnya:
Kata Lafal BI Lafal BS
tapi [tapi] [tapi?]
tempe [tεmpε] [tεmpε?]
mode [mod∂] [modö?]
kota [k⊃ta] [k⊃ta?]
toko [t⊃k⊃] [t⊃k⊃?]
batu [batu] [batu?]
7) Para penutur bahasa Jawa (BJ) cenderung mengucapkan [b] di awal kata
dengan [mb]. Misalnya:
Kata Lafal BI Lafal BJ
Bandung [Banduη] [mBanduη]
baso [baso] [m baso]
Problema lain yang terdapat dalam pembakuan tata bunyi bahasa
Indonesia ialah bahwa realisasi fonem yang dianggap umum itu amat beragam.
Jadi, tidak memenuhi syarat "norma tunggal". Hal ini berarti bahwa pembakuan
bahasa Indonesia dalam bidang tata bunyi tidak mungkin bersifat monosentris,
melainkan perlu bersifat bisentris atau polisentris. Dengan demikian, dalam sistem
Analisis Kontrastif
61 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
fonem bahasa Indonesia terdapat dua subsistem, yakni sistem utama yang berlaku
umum, dan subsistem yang berlaku bagi daerah-daerah tertentu. Misalnya:
SISTEM LAFAL FONEM BAHASA INDONESIA
Sistem Lafal Utama Sistem Lafal Daerah
/t/ /t/ (Bali)
/d/ /d/ (Bali)
/r/ /R/ (Palembang)
/∂/ /ε/ (Batak Toba)
/∂/ (akhir kata) /ö/ (Sunda)
Di samping kesulitan yang disebabkan oleh lafal khas daerah, masih
dihadapi kesulitan lain yang berupa realisasi fonem yang tidak ajeg, walaupun
dalam kondisi yang sama dan dilafalkan oleh penutur yang sama. Misalnya:
/i/ direalisasikan [i] pada [tulis] juga [I] pada [tulIs],
/u/ direalisasikan [u] pada [b∂rikut] juga [U] pada [takUt],
/h/ direalisasikan [h] pada [latihan] juga [O] pada [lati yan].
Upaya perumusan sistem bunyi bahasa Indonesia harus mengarah ke
norma-norma tunggal yang diterima secara luas oleh masyarakatnya. Karena
fonem merupakan satuan abstrak yang berada dalam tataran sistem (langue), yang
digeneralisasikan dari sejumlah fon dalam tataran ujaran (parole), maka
pengertian norma tunggal itu haruslah ditafsirkan sebagai berikut.
a) Realisasi fonem itu harus diskret, tidak kabur, artinya bahwa modifikasi kecil
yang ditimbulkan oleh beragamnya penutur menurut asal daerah tidak
mengganggu oposisi fungsionalnya. Misalnya, dari kata [mata] dan [mata]
dapat digeneralisasikan bahwa [t] dan [t] masih dianggap sama karena
realisasinya tidak membedakan makna. Akan tetapi, kata [gigi h] dan [gigi]
dapat dinyatakan bahwa [i h] harus dianggap bukan realisasi dari [i] karena
dapat mengganggu oposisi fungsional. Jadi, tidak diskrit dan dapat
menimbulkan salah paham.
Analisis Kontrastif
62 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
b) Diskret tidaknya suatu realisasi fonem harus didasarkan pada banyaknya
penutur bahasa daerah yang menerima lafal bunyi itu secara luas. Kalau
penutur Batak, Minang, Lampung, Sunda, Jawa, dan sebagainya (tidak
termasuk Bali) masih menganggap bahwa [mata] sama dengan [mata], maka
[t] harus dianggap diskret dan dianggap sebagai realisasi fonem /t/.
Sesuai dengan anggapan bahwa lafal atau realisasi fonem bahasa Indonesia
tidak memperlihatkan ciri lafal suatu daerah biasa dianggap lafal yang baik.
Karena itu, lafal atau realisasi fonem yang khas daerah harus dianggap bukan lafal
fonem bahasa Indonesia yang baik (baku). Dengan syarat inilah, bunyi [t] sebagai
realisasi /t/, [i h] sebagai realisasi /i/, glotalisasi pada suku akhir terbuka seperti
[a?] sebagai realisasi /a/, [u?] sebagai realisasi /u/, [I?] sebagai realisasi /i/, dan
sebagainya, harus ditolak sebagai realisasi dari fonem bahasa Indonesia yang baik.
Rangkuman
Tujuan utama analisis kontrastif adalah mengatasi berbagai masalah yang
dihadapi oleh guru dan dialami oleh siswa dalam proses belajar mengajar bahasa
kedua. Implikasi analisis kontrastif dalam proses belajar mengajar bahasa kedua di
antaranya: (1) Penyusunan materi pengajaran bahasa kedua disusun berdasarkan
butir-butir yang berbeda antara struktur bahasa ibu siswa dan struktur bahasa
kedua yang akan dipelajari oleh siswa, (2) Penyusunan tata bahasa pedagogis
didasarkan pada aliran linguistik tertentu. Linguistik struktural sangat
mendominasi analisis kontrastif, (3) Penataan kelas belajar bahasa kedua
dilaksanakan secara terpadu. Bahasa ibu siswa digunakan sebagai bahasa
pengantar dalam pengajaran bahasa kedua. Penggunaan bahasa ibu siswa
dikurangi secara berangsur-angsur sejalan dengan tingkat pemahaman siswa
terhadap bahasa kedua, dan (4) Penyajian bahan pengajaran bahasa kedua
dilaksanakan secara langsung, dengan cara: (a) Menunjukkan persamaan dan
perbedaan antara struktur bahasa ibu siswa dengan struktur bahasa kedua yang
akan dipelajari oleh siswa, (b) Menunjukkan butir-butir bahasa ibu siswa yang
mungkin mendatangkan kesulitan belajar dan kesalahan berbahasa dalam bahasa
Analisis Kontrastif
63 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
kedua, (c) Menganjurkan cara-cara mengatasi interferensi bahasa ibu terhadap
bahasa kedua yang akan dipelajari oleh siswa, dan (d) Memberikan latihan yang
intensif pada butir-butir yang berbeda antara bahasa ibu dengan bahasa kedua
yang akan dipelajari oleh siswa.
Analisis kontrastif adalah suatu konsep yang berfungsi sebagai sarana
mengefisienkan dan mengefektifkan pengajaran bahasa. Analisis kontrastif
mempunyai langkah-langkah tertentu yang dikenal dengan istilah metodologi
analisis kontrastif. Langkah-langkah kerja atau metodologi analisis kontrastif itu
sudah tersirat dalam definisi analisis kontrastif berikut. Analisis kontrastif adalah
suatu prosedur kerja yang mempunyai empat langkah kerja, yakni
memperbandingkan struktur bahasa pertama dan bahasa kedua, memprediksi
kesulitan belajar dan kesalahan berbahasa, memilih bahan pengajaran dan
menentukan. cara penyajian bahan secara tepat dalam rangka mengefisienkan dan
mengefektifkan pengajaran bahasa kedua.
Berdasarkan definisi analisis kontrastif di atas dapat diidentifikasikan
empat langkah kerja atau metodologi analisis kontrastif, yakni: (i)
memperbandingkan struktur dua bahasa, yakni bahasa pertama dengan bahasa
kedua, yang akan dipelajari oleh siswa. Melalui perbandingan itu dapat
diidentifikasi perbedaan antara struktur bahasa ibu dengan bahasa kedua, yakni
guru dapat memprediksi kesulitan belajar dan kesalahan berbahasa yang mungkin
dialami dan diperbuat oleh siswa dalam belajar bahasa kedua, (ii) memprediksi
kesulitan belajar dan kesalahan berbahasa, (iii) memilih bahan pengajaran, yakni
kesulitan belajar dan kesalahan berbahasa yang telah diprediksi itu dijadikan
sebagai landasan dalam memilih bahan menyusun bahan, dan menentukan
penekanan bahan pengajaran, dan (iv) memilih cara penyajian bahan pengajaran,
yakni guru memilih cara-cara penyajian bahan seperti: (a) peniruan, (b)
pengulangan, (c) latihan runtun, dan (d) penguatan.
Analisis Kontrastif
64 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
Tes Formatif 2
Petunjuk: Anda ditugaskan untuk mengerjakan tes formatif ini dengan cara
memilih salah satu (a, b, c, atau d) sebagai jawabannya.
1. Langkah pertama dalam analisis kontrastif adalah …….
a. membandingkan struktur bahasa pertama
b. membandingkan dua struktur bahasa
c. membandingkan struktur bahasa kedua
d. membedakan dua struktur bahasa
2. Dalam merumuskan bahan pengajaran bahasa kedua, guru sebaiknya …….
a. memisahkan bahan ajar yang sulit
b. menghindari bahan ajar yang sulit
c. memprediksi bahan ajar yang sulit
d. menggunakan bahan ajar yang sulit
3. Periode usia SD, perkembangan bahasa anak yang paling tampak adalah ….
a. semantik dan pragmatis
b. morfologi dan sintaksis
c. semantik dan kosakata
d. pragmatik dan fonologi
4. Kemampuan metalinguistik anak usia SD dapat dibuktikan melalui kegiatan
anak …….
a. dalam menyimak dan mewicara
b. dalam menyimak dan membaca
c. dalam menulis dan mewicara
d. dalam membaca dan menulis
5. Landasan analisis kontrastif antara lain:
a. kesulitan belajar bahasa c. pengajaran bahasa kedua
b. kesalahan berbahasa d. a dan b
6. Rasional hipotesis kontrastif antara lain:
a. teori belajar c. kontak bahasa
b. pengalaman guru d. kesalahan berbahasa
Analisis Kontrastif
65 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
7. Problem terbesar dalam sistem fonem bahasa Indonesia adalah …….
a. perbedaan lafal c. penulisan lafal
b. persamaan lafal d. pemaknaan lafal
8. Penutur bahasa daerah pada saat berbahasa Indonesia secara fonologi memiliki
kecenderungan …….
a. menggunakan lafal bahasa daerah
b. menghindari lafal bahasa daerah
c. mentransfer lafal bahasa daerah
d. memilih lafal bahasa daerah
9. Gejala diasistem dalam bahasa Indonesia diakibatkan oleh fonem bahasa
Indonesia merupakan …….
a. fonem dalam bahasa daerah
b. padanan fonem dalam bahasa daerah
c. diafonem bahasa daerah atau sebaliknya
d. tata fonem bahasa daerah
10. Perbedaan bahasa Indonesia dengan bahasa daerah terjadi pada masyarakat
Indonesia, karena …….
a. bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua
b. bahasa adalah alat komunikasi
c. pemerolehan bahasa dan pembelajaran bahasa
d. bahasa adalah sistem arbitrer
Umpan Balik dan Tindak Lanjut
Cocokkan jawaban anda dengan kunci jawaban Tes Formatif yang ada;
hitunglah jawaban anda yang benar dan tentukan nilainya dengan rumus sebagai
berikut.
Tingkat Penguasaan Anda = 10
benaryangJawaban x 100%
Arti tingkat penguasaan:
90% – 100% = Sangat Baik
80% – 89% = Baik
Analisis Kontrastif
66 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
70% – 79% = Cukup Baik
0% – 69% = Kurang Baik
Anda dapat melanjutkan pada kegiatan belajar berikutnya apabila anda
mencapai tingkat penguasaan di atas 80%. Apabila tingkat penguasaan anda di
bawah 80%, anda perlu mempelajari kegiatan belajar ini, sebelum anda
melanjutkan pada kegiatan belajar berikutnya.
Kunci jawaban tes formatif ini adalah: 1.(b), 2.(c), 3.(a), 4.(d), 5.(d), 6.(d),
7.(a), 8.(c), 9.(c), dan 10.(a).
Glosarium
Analisis kesalahan : kajian atau penelaahan terhadap kesalahan berbahasa, baik
lisan maupun tertulis.
Strategi komunikasi : upaya sadar pembelajar atau siswa atau
mengomunikasikan pikirannya ketika tatabahasa antara
(interlanguage) tidak memadai untuk menyampaikan
pikiran tersebut.
Problema komunikasi siswa : kesulitan siswa dalam menggunakan bahasa kedua
terutama terjadi pada: (a) kesulitan pemilihan arti, (b)
kesulitan pemilihan bentuk, dan (c) kesulitan pemilihan
kaidah (rule of speaking).
Lapses : kesalahan berbahasa akibat penutur berganti strategi atau
cara sebelum suatu kalimat selesai dinyatakan; dalam
bahasa lisan disebut “terpeleset lidah” (slip of the tongue),
dalam bahasa tulis disebut “kekeliruan menulis” (slip of
the pen).
Error : kesalahan berbahasa akibat penutur melanggar kaidah
(tatabahasa) dalam suatu bahasa.
Mistake : kesalahan berbahasa akibat penutur tidak tepat dalam
memilih kata atau ungkapan sesuai dengan situasi tertentu
dalam suatu bahasa.
Analisis Kontrastif
67 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
Bahasa Indonesia
– baku : bahasa Indonesia yang baik dan benar.
– yang baik : bahasa Indonesia yang sesuai dengan unsur-unsur
komunikasi (pragmatik).
– yang benar : bahasa Indonesia yang sesuai dengan unsur-unsur
kebahasaan.
Bahasa baku : suatu bahasa (variasi) bahasa yang telah ditata dan
ditetapkan kaidah-kaidah atau aturan-aturannya sehingga
bahasa itu dapat digunakan sebagai acuan atau patokan
berbahasa baik lisan maupun tertulis oleh penggunanya.
Pembakuan bahasa : suatu unsur di dalam perekayasaan bahasa atau
perencanaan bahasa untuk menghasilkan bahasa baku.
Daftar Pustaka
Alwasilah, A. Chaedar. (1985). Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.
Brown, Douglas H. 1980. Principles of Language Learning and Language Teaching. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Depdikbud. (1988). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Ellis, Rod, 1986. Understanding Second Language Acquisition. Oxford: Oxford University Press.
Gleason, J.B. (1985). The Development of Language. Columbus: Charles E. Merril Publishing Company
Goodman, Ken. 1986. What’s Whole in Whole Language. New Hamshire: Heinemann Educational Books.
Husein, H. Akhlan dan Yayat Sudaryat. 1996. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud Bagian Proyek Penataran Guru SLTP Setara D-III.
Indihadi, Dian. (2006). Pembinaan dan Pengembangan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: UPI Press.
James, Carl. 1980. Contrastive Analysis. Harlow Essex: Longman Group Ltd.
Lado, Robert. 1957. Linguistics Across Cultures. Ann Arbor: The University of Michigan Press.
Analisis Kontrastif
68 Drs. Dian Indihadi, M.Pd.
Nurhadi, Roekhan. 1990. Dimensi-dimensi dalam Belajar Bahasa Kedua. Bandung: Sinar Baru.
Owens, R.E. (1992). Language Development An Introduction. New York: Macmillan Publising Company
Tarigan, Guntur H. (1988). Pengajaran Pemerolehan Bahasa. Bandung: Angkasa.
Tarigan, Guntur H. (1990). Proses Belajar Mengajar Pragmatik. Bandung: Angkasa.
Tarigan, Guntur H. (1990). Pengajaran Kompetensi Bahasa. Bandung: Angkasa.
Tarigan, Guntur H. (1997). Analisis Kesalahan Berbahasa. Jakarta: Depdikbud.
Zuchdi, D. dkk. (1997). Pendidikan Bahasa Indonesia di Kelas Rendah. Jakarta: Depdikbud.