Analisis Kontrak Karya II PT FreePort

5
Analisis kontrak karya II PT FreePort Beberapa ketentuan dalam kontrak karya II Freeport yang ditandatangani pada Desember 1991 yang tidak adil dan merugikan kepentingan Indonesia (khsusnya secara ekonimi) di antara ny : I. Menyangkut ketentuan Royalti atau iuran eksploitasi/produksi (Pasal 13): Bahwa sistem royalti dalam kontrak Freeport tidak didasarkan atau prosentase dari penerimaan penjualan kotor (gross revenue), tetapi dari prosentase penjualan bersih, yaitu penjualan kotor setelah dikurangi dengan biaya peleburan (smelting), biaya pengolahan (refining), dan biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan Freeport dalam penjualan konsentrat. Bahwa dalam hal besaran, prosentase royalti (yang didasarkan atas prosentase penerimaan penjualan bersih tersebut) juga tergolong sangat kecil. Yaitu 1% - 3,5% tergantung pada harga untuk konsentrat Tembaga, dan 1% flat fixed untuk logam mulia (Emas dan Perak). Meskipun dalam praktik industri pertambangan di dunia tidak ada suatu metode dan besaran yang baku menyangkut sistim dan prosentase yang diterapkan, tetapi royalti 1% untuk emas dan perak, dan 1% - 3,5% yang keduanya didasarkan atas penjualan bersih tersebut dapat dikatakan tergolong sangat rendah. Negara-negara Afrika seperti Bostwana, Ghana, Namibia, dan Tanzania menerapkan royalti emas dalam rentang 3% - 12% dari penjualan kotor, dan masih dapat dinegosiasikan/disesuaikan dengan harga yang berlaku. Sedangkan untuk tembaga, negara-negara tersebut menerapkan 3% - 8% royalti yang juga didasarkan atas penjualan kotor. Di Australia, royalti untuk tembaga

description

Kontrak karya PT. Free Port

Transcript of Analisis Kontrak Karya II PT FreePort

Page 1: Analisis Kontrak Karya II PT FreePort

Analisis kontrak karya II PT FreePort

Beberapa ketentuan dalam kontrak karya II Freeport yang ditandatangani pada Desember 1991 yang tidak adil dan merugikan kepentingan Indonesia (khsusnya secara ekonimi) di antara ny :

I. Menyangkut ketentuan Royalti atau iuran eksploitasi/produksi (Pasal 13):

Bahwa sistem royalti dalam kontrak Freeport tidak didasarkan atau prosentase dari penerimaan penjualan kotor (gross revenue), tetapi dari prosentase penjualan bersih, yaitu penjualan kotor setelah dikurangi dengan biaya peleburan (smelting), biaya pengolahan (refining), dan biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan Freeport dalam penjualan konsentrat.Bahwa dalam hal besaran, prosentase royalti (yang didasarkan atas prosentase penerimaan penjualan bersih tersebut) juga tergolong sangat kecil. Yaitu 1% - 3,5% tergantung pada harga untuk konsentrat Tembaga, dan 1% flat fixed untuk logam mulia (Emas dan Perak).

Meskipun dalam praktik industri pertambangan di dunia tidak ada suatu metode dan besaran yang baku menyangkut sistim dan prosentase yang diterapkan, tetapi royalti 1% untuk emas dan perak, dan 1% - 3,5% yang keduanya didasarkan atas penjualan bersih tersebut dapat dikatakan tergolong sangat rendah.

Negara-negara Afrika seperti Bostwana, Ghana, Namibia, dan Tanzania menerapkan royalti emas dalam rentang 3% - 12% dari penjualan kotor, dan masih dapat dinegosiasikan/disesuaikan dengan harga yang berlaku. Sedangkan untuk tembaga, negara-negara tersebut menerapkan 3% - 8% royalti yang juga didasarkan atas penjualan kotor. Di Australia, royalti untuk tembaga berkisar antara 4% - 18% yang didasarkan atas penjualan bersih, sedangkan yang didasarkan atas penjualan kotor berkisar antara 2,7% - 5%. Hal yang sama juga diterapkan untuk emas. Di nagara-negara Amerika Latin seperti Argentina, Bolivia, Republik Dominika dan Venezuela, royalti untuk emas bervariasi antara 3% - 7% di mana prosentase tersebut pada umumnya (kecuali Argentina) juga didasarkan atas penjualan kotor. Hal yang sama diterapkan untuk tembaga, dengan besaran royalti bervariasi antara 1% - 5%. (Otto, James , et al . 2006. Mining Royalties: A Global Study of Their Impact on Investor, Government, and Civil Society).

II. Menyangkut ketentuan iuran tetap untuk suatu wilayah pertambangan atau Deadrent (Pasal 13)

Di dalam kontrak Freeport (Lampiran D), besarnya iuran tetap untuk wilayah pertambangan yang dibayarkan berkisar antara 0,025 – 0,05 US dolar per hektar per

Page 2: Analisis Kontrak Karya II PT FreePort

tahun untuk kegiatan Penyelidikan Umum (General Survey), 0,1 – 0,23 US dolar per hektar per tahun untuk kegiatan Eksploasi, 0,5 US dolar per hektar per tahun untuk kegiatan Studi Kelayakan dan Konstruksi, dan 1,5 – 3 US dolar per hektar per tahun untuk kegiatan Operasi Eksploitasi/Produksi.Tarif iuran tersebut, di seluruh tahapan kegiatan, dapat dikatakan sangat sangat kecil dan bahkan sangat sulit diterima akal sehat. Dengan kurs 1 US dolar = Rp. 8.600,00, maka besaran iuran itu hanya berkisar antara Rp. 225,00 – Rp. 27.000,00 per hektar per tahun.

Sangat jauh lebih rendah dibandingkan dengan sewa lahan sawah oleh petani penggarap yang murah sekalipun, katakanlah Rp. 300.000 per hektar per tahun. Hal ini tentu saja sangat tidak adil, dan sekali lagi sangat sulit diterima akal sehat, mengingat potensi ekonomi yang terkadang di dalam wilayah pertambangan Freeport sangat jauh melebihi potensi ekonomi dari suatu lahan sawah.

III. Menyangkut kontrol/pengawasan atas kandungan bijih mineral yang dihasilkan

Dalam kontrak Freeport tidak ada satu pasal pun yang menyebutkan secara eksplisit bahwa seluruh operasi dan fasilitas pemurnian dan peleburan harus seluruhnya dilakukan di Indonesia dan dalam pengawasan pemerintah Indonesia. Pasal 10 poin 4 dan 5 memang mengatur tentang operasi dan fasilitas peleburan dan pemurnian tersebut, yang secara implisit ditekankan perlunya untuk dilakukan di wilayah Indonesia, tetapi tidak secara tegas dan eksplisit bahwa hal tersebut seluruhnya (100%) harus dilakukan/berada di wilayah Indonesia. Sehingga hingga saat ini, hanya 29% saja dari produksi konsentrat yang dimurnikan dan diolah di dalam negeri. Sisanya (71%) dikirimkan ke luar negeri, di luar pengawasan langsung dari pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia hanya mendapatkan laporan saja dari Freeport. Dengan demikian berapa jumlah sebenarnya emas, perak, tembaga, atau kandungan mineral lainnya yang diproduksi oleh Freeport dapat dikatakan pada dasarnya tidak diketahui secara pasti oleh pemerintah Indonesia.

IV. Menyangkut terminasi dan/atau perpanjangan kontrak

Di dalam Kontrak Freeport tidak ada satu pasal pun yang secara eksplisit mengatur bahwa pemerintah Indonnesia dapat sewaktu-waktu mengakhiri kontrak Freeport, pun jika Freeport dinilai melakukan pelanggaran-pelanggaran atau tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan kontrak. Sebaliknya, pihak Freeport dapat sewaktu-waktu mengakhiri kontrak tersebut jika mereka menilai pengusahaan pertambangan di wilayah kontrak pertambangannya sudah tidak menguntungkan lagi secara ekonomis (pasal 22 poin 1). Ketentuan ini sangat sepihak dan jelas sangat merugikan bagi Indonesia ditinjau dari segi apa pun (hukum, politik, ekonomi). Kedudukan dan posisi hukum pemerintah Indonesia sangat lemah dan dapat dikatakan berada di bawah Freeport.Dalam hal perpanjangan kontrak, pihak Freeport berhak mengajukan perpanjangan kontrak untuk dua kali masa perpanjangan yang masing-masing berdurasi 10 tahun di

Page 3: Analisis Kontrak Karya II PT FreePort

mana pemerintah Indonesia tidak berhak untuk tidak mengabulkan permohonan perpanjangan tersebut secara tidak wajar (Pasal 31 poin 2). Ketentuan ini juga sangat sepihak dan karenanya sabgat merugikan kepentingan nasional Indonesia karena posisi pemerintah Indonesia secara hukum dalam kontrak ini menjadi sangat-sangat lemah.

Page 4: Analisis Kontrak Karya II PT FreePort

BEBERAPA KETENTUAN DALAM KONTRAK BAGI HASIL YANG CENDERUNG PRO-ASING

1. Diberlakukannya cost recovery 100% dan bahkan 120% untuk lapangan marginal.2. Dimasukkannya pembayaran bunga ke dalam cost recovery.3. Diberlakukannya Domestic Market Obligation Holiday terhadap produksi migas

(kontraktor tidak wajib menjual bagian hasil produksinya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri Indonesia dalam jangka waktu tertentu, dalam hal ini hingga 60 bulan).

4. Diharuskannya Indonesia membeli minyak produksi KKKS yang merupakan dalam bagian dari minyak DMO dengan harga pasar sejak tahun 1976/1977. Padahal sebelum itu minyak tersebut dapat dibeli dengan harga 25% dari harga pasar.

5. Diubah-ubahnya porsi bagi hasil migas, dengan kecenderungan bagian pemerintah semakin lama semakin kecil. Contoh: diberikannya porsi bagi hasil sebelum pajak 0% bagi pemerintah Indonesia dan 100% bagi kontraktor dalam kontrak pengusahaan gas alam di Natuna Blok D Alpha.