Analisis Kelayakan Tekno-Ekonomi Pemanfaatan Panas Bumi ... filei Analisis Kelayakan Tekno-Ekonomi...
Transcript of Analisis Kelayakan Tekno-Ekonomi Pemanfaatan Panas Bumi ... filei Analisis Kelayakan Tekno-Ekonomi...
i
Analisis Kelayakan Tekno-Ekonomi Pemanfaatan Panas Bumi untuk
Enhanced Oil Recovery dan Pemodelan Reservoir
Nadhilah Reyseliani1, Widodo Wahyu Purwanto, Yuswan Muharam
Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI, Depok,
16424, Indonesia
1Email: [email protected]
Abstrak
Proses produksi kukus untuk steam flooding umumnya menggunakan gas alam sebesar 1,7
Tcf/tahun. Sementara itu, proyek steamflood umumnya merupakan proyek jangka panjang dan
gas alam sudah mulai langka serta harganya mahal diseluruh plosok dunia. Untuk itu perlu
dilakukan penelitian skema produksi kukus alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Penelitian skema produksi dilakukan menggunakan perangkat lunak ASPEN HYSYS dan
kemudian kualitas kukus yang diproduksi akan dievaluasi dalam penerapannya pada operasi
steamflood menggunakan perangkat lunak COMSOL dan CMG. Skema pemanfaatan panas
bumi mampu meningkatkan rekoveri hingga 60% dengan biaya produksi kukus yang lebih
hemat 12% dengan jarak terjauh lapangan minyak dan lapangan panas bumi 30 km untuk
kemungkinan penerapan skema ini. Selain itu, pada penelitian ini dilakukan tinjauan singkat
untuk sistem lapangan panas bumi yang terdedikasi untuk proyek steamflood dimana terdapat
1 lapangan minyak yang 100% prosesnya menggunakan skema ini dan 1 lapangan minyak 70%
prosesnya menggunakan skema ini.
Abstract
Techno-Economic Feasibility Analysis of Geothermal Energy Utilization for Enhanced
Oil Recovery and Reservoir Modelling
The steam roduction process for steam flooding generally use natural gas at 1.7 Tcf/year. Meanwhile, steamflood
project is generally a long-term project and natural gas is already scarce and expensive throughout the world.
Therefore, it is necessary to find alternatives steam production process scheme to overcome these problems.
Research conducted using ASPEN HYSYS to simulate steam production process and furthermore it will be
evaluated in its steamflood operations application using software COMSOL and CMG. Geothermal energy
utilization schemes can improve recovery by up to 60% to the cost of steam production more efficient by 12%
with the furthest distance the field of oil and geothermal field 30 km to the possibility of applying this scheme.
Additionally, in this study conducted a brief review of the system of geothermal field fully dedicated to steamflood
projects where there are one oil field to 100% process using this scheme and one 70% oil field process using this
scheme.
Keywords: Enhanced Oil Recovery; Geothermal Waste Heat; Reservoir Modelling; Steamflooding.
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara yang dianugerahi dengan sumber daya panas bumi yang melimpah. Potensi
energi panas ini tersebar di 265 lokasi pada 26 provinsi dengan total potensi energi 28,1 GWe atau setara dengan
12 milyar barel minyak untuk massa operasi 30 tahun. Hingga saat ini, pemanfaatan energi panas bumi di Indonesia
baru mencapai 4% dari seluruh potensi yang ada (Kementerian ESDM, 2012). Fokus pembangunan panas bumi di
Indonesia saat ini masih terpaku pada pemanfaatan secara tidak langsung sebagai pembangkit listrik, sedangkan
pemanfaatan langsung panas bumi masih jauh tertinggal (Kementerian ESDM, 2012).
Disisi lain, bangsa Indonesia sedang dihadapi krisis energi berbasis bahan bakar fosil. Pada tahun 2013
produksi minyak di Indonesia hanya sebesar 825.000 barel setiap harinya dari target produksi 840.000 barel per
hari (SKK Migas, 2014). Penurunan tingkat produksi ini dikarenakan permintaan akan bahan bakar fosil terus
meningkat sementara sumur minyak sudah mulai menua dan cadangan minyak konvensional yang sudah menipis.
Hal ini sangat memungkinkan cadangan minyak akan habis dalam beberapa tahun kedepan.
Proses pemerolehan minyak dan gas dapat dilakukan dengan metode konvensional yaitu metode primer
dan sekunder. Namun dengan pengaplikasian metode tersebut masih terdapat 60-70% minyak yang tersisa di
dalam reservoir (US Energy Government, 2015). Minyak tersebut dapat diambil menggunakan metode
pemerolehan minyak tersier yang disebut dengan enhanced oil recovery (EOR). Pengaplikasian EOR di Indonesia
saat ini baru dilakukan di Lapangan Duri, Riau menggunakan steam flooding.
Salah satu jenis metode EOR adalah thermal enhanced oil recovery (TEOR) yang diaplikasikan pada
lapangan yang mengandung minyak berat terutama di Indonesia dimana cadanganya mencapai 10 milyar barel
(Law, D.H.S., 2004). Thermal enhanced oil recovery merupakan teknologi yang paling murah dengan probabilitas
keberhasilan yang paling besar (Davis, R.J., 2010). Teknologi konvensional dari TEOR adalah steam flooding
yang merupakan teknologi injeksi kukus secara kontinyu untuk memperoleh minyak. Sebagai pertimbangan dari
kuantitas minyak masih banyak di dalam reservoir tersebut dan besarnya potensi dari cadangan minyak berat di
Indonesia, aplikasi dari steam flooding merupakan suatu solusi yang dapat menjawab target produksi minyak di
Indonesia setiap tahunnya.
Steam flooding umumnya menggunakan once through steam generator untuk memproduksi kukus yang
akan disuplai ke resevoir. Namun, pengunaan steam generator membutuhkan bahan bakar berupa gas alam sebesar
1,7 Tcf/tahun untuk proyek TEOR (Chaar, M. dkk, 2015). Sementara itu, proyek TEOR umumnya merupakan
proyek jangka panjang sesuai dengan standarnya. Di California, terdapat proyek TEOR khususnya steamflood
yang telah berlangsung selama 40 atau 50 tahun. Sementara itu gas alam sudah mulai langka dan harganya mahal
diseluruh plosok dunia. Tentunya hal ini akan mempengaruhi biaya produksi dari minyak itu sendiri. Berdasarkan
besarnya potensi energi panas bumi dan permasalahan yang dihadapi dalam sektor industri minyak dan gas
ditambah lagi kekurangan teknologi steam generator untuk steam flooding, maka pada penelitian kali ini akan
mengkaji kemungkinan pemanfaatan energi panas dari lapangan panas bumi untuk pembentukan kukus dalam
teknologi steam flooding pada sumur minyak berat. Tentunya faktor seperti jarak, jatuh tekan, dan perubahan suhu
selama proses pengiriman kukus dari lapangan panas bumi menuju lapangan minyak akan dievaluasi.
1.2. Tujuan
Tujuan umum dari penelitian ini adalah membuat simulasi steam flooding dengan kukus yang dihasilkan
dari pemanfaatan panas pada lapangan panas bumi untuk meningkatkan produksi minyak. Secara khusus, tujuan
dari penelitian ini adalah:
1. Mendapatkan skema pemanfaatan panas bumi untuk steam flooding yang memungkinkan secara
teknis.
2. Memperoleh jarak maksimum antara lapangan minyak dan lapangan panas bumi maksimum yang
memungkinkan diterapkannya pemanfaatan panas bumi sebagai EOR.
3. Memperoleh hasil perbandingan harga levelized cost of energy dari kukus pada skema penggunaan
panas bumi dengan skema yang telah ada dalam industri.
4. Mendapatkan profil tingkat pemerolehan kembali minyak dari reservoir terhadap waktu injeksi pada
variasi tekanan dan suhu injeksi.
2. Tinjauan Teoritis
2.1. State of The Art
Tabel 2.1 menjelaskan penelitian terkait dengan pemanfaatan panas bumi untuk steamflood dan pemodelan
reservoir.
Tabel 2.1 State of the Art
No Nama Tahun Topik Hasil Penelitian
1 Departemen Energi
Amerika Serikat 1989
Panas bumi
dan
steamflood
Estimasi besar pengurangan viskositas
minyak dari 100 cp pada suhu 90oF
menjadi 10 cp jika minyak dipanaskan
menjadi 200oF.
2 Shutler, N.D. 1970 Steamflood Tingkat rekoveri minyak dari nol hingga
mencapai 70%
3 Coats, dkk. 1974 Steamflood Tingkat rekoveri minyak dari nol hingga
mencapai 70%.
4 Ehsani, M.R., dkk. 2012 Steamflood Tingkat rekoveri minyak dari nol hingga
mencapai 60%.
2.2. Panas Bumi
Panas bumi merupakan panas yang dihasilkan secara terus-menerus oleh bumi akibat peluruhan material
radioaktif dalam inti bumi (Gehringer, M. dan Victor L., 2012). Panas berpindah menuju permukaan melalui
perpindahan kalor secara konduksi dan konveksi. Proyek panas bumi yang dikembangkan saat ini sebagian besar
diperuntukan untuk keperluan pembangkit listrik atau disebut dengan indirect use. Sementara itu, energi panas
bumi dapat dimanfaatkan secara langsung tanpa perlu adanya konversi energi panas kedalam bentuk energi lainnya
atau yang biasa disebut dengan direct use.
2.3. Steamflooding
Steam flooding merupakan thermal enhanced oil recovery konvensional yang biasanya diaplikasikan pada
berbagai reservoir yang mengandung minyak berat di dunia yang masih terus dikembangkan penerapannya
(Carrizales, M., 2009). Gambar 2.20 menunjukkan skema dari proses ini.
Gambar 2.1 Skema Steam Flooding (Sumber: Hong, K.C., 1994)
Prinsip dasar dari teknik ini adalah injeksi kukus secara kontinyu untuk mengurangi saturasi minyak pada area
kukus dan produksi minyak dengan faktor pendorong kukus (steam drive). Operasi steam flooding diterapkan
dengan menggunakan suatu sumur sebagai sumur injeksi dan sumur lainnya sebagai sumur produksi (Iyoho, 1978).
Selama operasi ini, kukus dengan kualitas tinggi diinjeksikan kedalam reservoir yang mengandung minyak berat.
Kemudian kukus tersebut akan memanaskan minyak tersebut dan mendorongnya menuju sumur produksi secara
terus menerus. Oleh karena kukus melepaskan panas kedalam formasi batuan, maka kukus akan terkondensasi
menjadi air panas yang juga dapat mendorong produksi dari minyak.
Seiring dengan kukus yang bergerak disepanjang reservoir antara sumur injeksi dan produksi, terdapat 5
daerah yang diciptakan pada kurva yang menghubungkan temperatur dengan saturasi fluida yang ditunjukkan pada
Gambar 2.21.
Gambar 2.2 Profil Temperatur dan Saturasi dari Metode Steam Flooding (Sumber: K. C. Hong, 1994)
Oleh karena adanya perbedaan mekanisme perpindahan minyak pada setiap zona, saturasi minyak akan bervariasi
diantara sumur injeksi dan produksi. Seiring dengan kukus masuk ke dalam reservoir, hal tersebut menyebabkan
adanya zona kukus jenuh disekitar sumur. Dari gambar diatas zona A menunjukan lokasi yang paling berdekatan
dengan sumur injeksi. Pada zona ini, suhunya setara dengan suhu injeksi kukus. Zona tersebut dapat berekspansi
seiring dengan semakin banyaknya kukus yang diinjeksikan. Pada zona A, saturasi minyak akan mencapai titik
terrendahnya karena minyak dikontakkan langsung dengan suhu tinggi. Saturasi aktual residual yang dicapai pada
dasarnya tidak bergantung dengan saturasi mula-mula, nammun bergantung dengan suhu dan komposisi dari
minyaknya. Minyak dipindahkan dari zona A menuju zona B dan C menggunkana distilasi uap pada suhu kukus,
gas juga dilucuti dari minyak pada zona ini. Pada zona B dan C, kukus mulai terkondensasi menjadi air seiring
dengan panas yang hilang ke dalam formasi dan menghasilkan kondensat panas. Akibat adanya gaya dorong dari
kukus, kondensat yang membawa sejumlah panas akan bergeser menuju zona yang lebih dingin dari zona injeksi.
Panas yang hilang pada kondensat akan membuat suhunya turun mencapai suhu reservoir mula-mula pada zona
D. Saturasi aktual pada zona ini umumnya lebih tinggi dari saturasi minyak mula-mula. Pada zona E, suhu dan
saturasi mencapai kondisi mula-mula. Mobilisasi dari minyak didorong oleh injeksi kukus dari zona A dan air
panas pada zona C.
Viskositas minyak akan menurun seiring dengan pertambahannya suhu seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya. Penamahan suhu ini juga menyebabkan viskositas air turun, namun pada derajat yang lebih rendah.
Untuk itu, kenaikan suhu akan menyebabkan rasio mobilitas minyak terhadap air akan menjadi lebih baik. Proses
produksi dari minyak dilakukan dengan bantuan artificial lift.
3. Metode Penelitian
Secara garis besar proses penelitian ini tergambar dalam Gambar 3.1.
Gambar 2.3 Diagram Alir Penelitian
Dalam penelitian ini, secara umum simulasi yang dilakukan terdiri dari proses produksi kukus yang
disumulasikan dalam ASPEN HYSYS dan steamflooding yang dimodelkan dan disimulasikan dalam CMG Star
dan COMSOL. Variabel bebas dalam penelitian ini berupa tekanan keluaran pompa, duty total, dan skema
produksi. Variabel tetap dalam penelitian ini adalah fraksi uap kukus dan tekanan injeksi kukus. Variabel terikat
dalam penelitian ini adalah panjang sistem perpipaan dan tingkat pemerolehan kembali minyak. Skema yang
divariasikan:
1. Skema 1: proses produksi kukus dengan steam generator (skema yang sudah ada atau skema dasar)
2. Skema 2: proses produksi kukus dengan pemanfaatan panas bumi
3. Skema 3: proses produksi kukus dengan pemanfaatan panas bumi dan steam generator
Variasi tekanan keluaran pompa yang dilakukan adalah 28, 30, dan 32 bar. Sedangkan variasi duty yang dilakukan
adalah 3.879, 3.979, 4.079, 4.179, 4.279, dan 4.379 kW. Analisis yang dilakukan adalah analisis teknis dan
ekonomi.
4. Hasil Penelitian
4.1. Pemodelan
Persamaan model matematis dibagi menjadi tiga bagian, diantaranya neraca momentum berupa persamaan
Darcy, neraca massa, dan neraca energi yang disederhanakan sesuai dengan asumsi yang telah ditentukan.
Penyelesaian komputasi tiap fenomena fisis dilakukan bersamaan mengingat fenomena-fenomena fisis
yang digunakan saling mempengaruhi satu sama lain. Fenomena fisis terdiri dari neraca momentum atau
persamaan Darcy 3 fasa, neraca energi, dan neraca massa untuk 2 fasa.
1. Hukum Darcy
Dalam hukum Darcy persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut.
pk
ui
(4.1)
0
u
t (4.2)
Pada hukum Darcy ini variabel terikat berupa tekanan yang memiliki arti tekanan sistem termasuk fluida-dluida
didalamnya. Persamaan tersebut direduksi dari hukum Darcy yang sebenarnya (Bab 2) untuk simplifikasi model
dimana suku gravitasi pada hukum Darcy dilihangkan. Persamaan Darcy ini merupakan persamaan neraca
momentum untuk ketiga fasa. Untuk itu densitas yang dimasukan kedalam persamaan tersebut merupakan densitas
campuran (rho_3p). Selain densitas, viskositas dalam persamaan ini merupakan viskositas campuran yang
merupakan penjumlahan viksostas setiap fasa. Rumus densitas dan viskositas campuran dapat dilihat dalam
konstanta dan persamaan pada Subab sebelumnya.
Dalam fisik hukum Darcy di COMSOL, terdapat persamaan tambahan yang sudah otomatis ada dalam fisik
yaitu berupa persamaan konservasi massa. Oleh karena persamaan Darcy merupakan pengabungan dari ketiga
fasa, maka persamaan konservasi massa yang ada didalam Darcy merupakan konservasi massa total. Kondisi batas
dan kondisi awal dari hukum Darcy adalah sebagai berikut:
a. No flow
Pada geometri yang tidak adanya aliran fluida, digunakan kondisi batas tidak ada aliran pada bagian atas
dan bawah reservoir serta bagian sumur yang tidak terperforasi. Berikut adalah kondisi batas tanpa aliran.
-n∙ ρ u = 0 (4.3)
b. Kondisi Awal
Kondisi awal yang diinputkan pada kondisi batas ini merupakan tekanan awal reservoir sebesar 300 psi
pada t = 0.
P = P0 (4.4)
dimana:
P0 = 300 psi
c. Kecepatan Produksi
Kecepatan produksi merupakan kondisi batas pada posisi perforasi sumur produksi. Persamaan kecepatan
produksi adalah sebagai berikut.
-n∙ ρ u = -ρ 𝑢0 (4.5)
dimana:
u0 =200 ft/s
d. Tekanan
Dalam proses steam flood terdapat tekanan injeksi yang tentunga lebih besar dibandingkan dengan tekanan
reservoir. Tekanan injeksi tersebut merupakan kondisi batas untuk sumur injeksi yang merupakan bagian
terperforasi. Tekanan injeksi kukus divariasikan dalam pemodelan ini.
P = P0 (4.6)
Dimana:
P0=variasi tekanan injeksi kukus
2. Neraca Massa
Dalam simulasi ini digunakan dua fisis neraca massa untuk fasa air dan fasa kukus. Neraca massa minyak
akan dihitung sendiri mengingat dalam persamaan Darcy sudah terdapat persamaan konservasi massa keseluruhan.
Persamaan dan adalah neraca massa untuk air dan kukus secara berturut-turut.
fucct
ww
(4.7)
fucct
ss
(4.8)
dimana:
f = ρs x q x ss x
(Ts-T)
(Ts-T0)
q = laju kondensasi = 1000 1/s
Kondisi batas dan awal pada neraca massa ini untuk neraca massa air adalah sebagai berikut.
a. Zero flux
Pada geometri yang tidak adanya aliran fluida, digunakan kondisi batas tidak ada aliran pada bagian atas
dan bawah reservoir serta bagian sumur yang tidak terperforasi. Berikut adalah kondisi batas tanpa aliran.
-n∙ 𝑐𝑤 = 0 (4.9)
b. Kondisi awal
Kondisi awal pada fisik ini adalah fluid content dari air dalam sumur pada t = 0.
𝑐𝑤 = ρ𝑤 x sw (4.10)
c. Fluks
Pada sumur produksi yang terdapat perforasi, terdapat aliran minyak dan air yang keluar dari sistem. Untuk
itu diperlukannya kondisi batas fluks yang keluar dari sistem.
-n ∙ 𝑐𝑤 = -u ∙ 𝑐𝑤 (4.11)
dimana:
u0 =200 ft/s
Kondisi batas dan awal pada neraca massa ini untuk neraca massa kukus adalah sebagai berikut.
a. Zero flux
Pada geometri yang tidak adanya aliran fluida, digunakan kondisi batas tidak ada aliran pada bagian atas
dan bawah reservoir serta bagian sumur yang tidak terperforasi. Berikut adalah kondisi batas tanpa aliran.
-n∙ cs = 0 (4.12)
b. Kondisi awal
Kondisi awal pada fisik ini adalah fluid content dari kukus dalam sumur pada t = 0.
cs = ρs x ss (4.13)
c. Kondisi batas dirichlet
Pada sumur injeksi yang terdapat perforasi, terdapat aliran kukus yang diinjeksikan kedalam sistem
reservoir. Untuk itu diperlukannya kondisi batas fluks yang masuk dari sistem.
𝑐𝑠= ρs (4.14)
3. Neraca Energi
Persamaan neraca energi yang digunakan dalam pemodelan ini adalah fisis neraca energi untuk aliran dalam
media berpori. Pada persamaan ini variabel terikatnya adalah temperatur. Berikut ini adalah persamaan neraca
energi yang digunakan.
QqTuCt
TC peffp
(4.15)
Tkq eff (4.16)
ppppppeffp CCC )1(, (4.17)
kkk pppeff )1( (4.18)
Kondisi batas dan kondisi awal dari persamaan neraca energi adalah sebagai berikut.
a. Suhu awal
Suhu awal yang dimasukan adalah suhu reservoir pada saat t = 0 dimana belum terjadi injeksi kukus pada
reservoir.
T = T0 (4.19)
dimana:
T0=110℉
b. Insulasi
Pada bagian atas, bawah, dan sumur yang tidak memiliki perforasi, tidak adanya proses perpindahan panas
menuju keluar sistem. Untuk itu diasumsikan dinding-dinding tersebut diberikan insulasi. Berikut ini dalah
persamaannya.
-n∙ q = 0 (4.20)
c. Temperatur
Pada bagian sumur injeksi yang memiliki lubang perforasi, terdapat kukus yang diinjeksikan pada suhu
yang tinggi. Injeksi kukus ini membuat kondisi batas suhu pada sumur injeksi perlu diberikan.
T = T0 (4.21)
dimana:
T0= suhu injeksi kukus yang divariasikan
d. Outflow
Pada sumur produksi, terdapat minyak dan air yang diproduksi dengan suhu tertentu. Hal ini menyebabkan
adanya perpindahan panas keluar sistem. Untuk itu pada sumur produksi yang berperforasi diberikan kondisi batas
-n∙ q = 0 (4.22)
4.2. Pendahuluan Analisis
Pada penelitian ini, data lapangan minyak yang didapatkan dari jurnal referensi merupakan data untuk satu
sumur produksi. Sedangkan dalam suatu lapangan minyak, terdapat lebih dari satu sumur produksi. Hal ini akan
menyebabkan jumlah kukus yang seharusnya dikirim untuk proses EOR menjadi lebih besar. Namun karena
keterbatasan data jumlah sumur produksi dan sumur injeksi yang ada pada lapangan minyak, maka jumlah sumur
injeksi diestimasikan.
Estimasi jumlah sumur injeksi dibandingkan dengan data tipikal seperti yang ditunjukkan Tabel 4.6 yang
berisikan data lapangan minyak yang menerapkan steam flooding pada sumurnya. Laju alir rata-rata kukus dari
berbagai sumur digunakan sebagai laju alir total kukus pada lapangan minyak. Laju alir tersebut adalah 2.722.708
lb/hari dan jika diasumsikan satu sumur memiliki laju alir sesuai pada data lapangan minyak, maka jumlah sumur
yang diperoleh adalah 272 sumur.
Estimasi jumlah sumur tersebut dibandingkan dengan jumlah sumur pada lapangan minyak lainnya pada
Tabel 4.6. Jumlah sumur yang diestimasikan sedikit lebih besar dibandingkan pada lapangan Duri. Hal ini
dikarenakan perbedaan dimensi reservoir minyak. Lapangan minyak dalam penelitian ini memiliki kedalaman
reservoir yang cukup kecil dalam rentang kriteria screening reservoir yang dijelaskan pada Bab 2, sehingga laju
alir kukus yang dibutuhkan dalam satu reservoir minyak tergolong kecil dan menyebabkan jumlah sumur injeksi
banyak.
Tabel 2.2 Data Proyek Steam Flooding
Lapangan Okha Oil
Field
Zybza
Field
Duri Oil
Field
Kern Oil
Field
Lake
Maracaibo
Lapangan
Minyak
Sumur Injeksi 201 65 272
Laju Alir Kukus (lb/hari) 110.231–
132.277
154.323-
198.416 350.534 209.439 456.356 1.000*
Tekanan Kukus (psi) 348 304-348 406-3.450 500 400 350-430
Suhu Kukus (°F) 356-536 419-428 449,6-456,8 467,06 444,56 441,86
*Data untuk satu sumur injeksi
(Sumber: diolah dari berbagai sumber)
4.3. Analisis Pengaruh Skema Proses Produksi Kukus terhadap Kebutuhan Bahan Bakar Steam Generator
Pada skema 2, kukus yang diinjeksikan ke dalam reservoir minyak pada proses steam flooding dihasilkan
hanya dari 4.6.
Gambar 2.4 Simulasi HYSYS Skema 2
Tabel 4.11 menunjukan kondisi aliran air keluaran penukar kalor pada variasi tekanan 28, 30, dan 32 bar.
Tabel 2.3 Kondisi Aliran Air Keluaran Penukar Kalor Skema 2 (a) 28, (b) 30, (c) 32 Bar
(a) (b) (c)
Berdasarkan Tabel 4.11, tidak akan ada kukus yang dihasilkan dari pertukaran panas dengan kukus panas
bumi pada penukar kalor. Hal ini dikarenakan panas yang berasal dari kukus panas bumi tidak mampu mengubah
air bertekanan menjadi kukus. Panas yang dikandung oleh kukus panas bumi tidak mampu mengubah fasa air
dikarenakan tekanan air tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan pada kukus panas bumi. Tekanan kukus
panas bumi hanya sebesar 20 bar. Sedangkan air memiliki tekanan sebesar 28-32 bar. Berdasarkan teori, semakin
tinggi tekanan air maka suhu yang diperlukan untuk mengubah fasa cair menjadi fasa uap akan semakin tinggi.
Dibutuhkan energi yang lebih banyak untuk membuat tekanan uap air sama dengan tekanan air agar dapat terjadi
perubahan fasa. Energi yang lebih banyak ini menyebabkan semakin besarnya suhu yang diperlukan untuk air
berubah menjadi kukus. Untuk itu dapat dikatakan bahwa skema 2 tidak dapat diterapkan dari segi teknisnya.
Pada skema 1 dan 3, secara teknis keduanya menghasilkan kukus pada akhir ujung sistem perpipaan.
Perbedaan kedua sistem adalah sumber panas yang digunakan untuk menghasilkan kukus. Pada skema 3,
ditambahkan penukar kalor yang menukarkan panas dari kukus panas bumi secara maksimal dengan batasan
heuristik yang ada pada penukar kalor. Gambar 4.3 dan 4.4 menunjukkan perbedaan simulasi skema 1 dan 3.
Gambar 2.5 Simulasi Skema 1
Gambar 2.6 Simulasi Skema 3
Aliran yang dihasilkan pada penukar kalor berupa air panas. Selanjutnya air panas tersebut akan dimasukan
kedalam steam generator, untuk dipanaskan sampai mengalami perubahan fasa. Tabel 4.12 menjelaskan
perbedaan duty pada skema 2 dan 3. Perbedaan duty pada steam generator menyebabkan perbedaan jumlah bahan
bakar yang digunakan.
Tabel 2.4 Pengaruh Skema Proses terhadap Kebutuhan Bahan Bakar
Pp,out (bar)
Skema 1 Skema 3
DSG (kW)) Bahan Bakar
(MMBTU/hari) DSG (kW)
Bahan Bakar
(MMBTU/hari)
28
3.879 453,62 2.900 319,61
3.979 463,85 3.000 332,13
4.079 476,78 3.100 344,31
4.179 486,44 3.200 353,38
4.279 499,43 3.300 365,92
4.379 511,72 3.400 375,01
30
3.879 453,46 2.900 319,93
3.979 463,76 3.000 331,96
4.079 476,76 3.100 344,42
4.179 486,47 3.200 353,54
4.279 499,52 3.300 365,75
4.379 511,85 3.400 374,89
32
3.879 453,31 2.900 319,06
3.979 463,68 3.000 331,19
4.079 476,75 3.100 343,74
4.179 487,29 3.200 353,50
4.279 499,61 3.300 365,79
4.379 511,91 3.400 374,97
Dapat dilihat dari Tabel 4.12, skema 3 yang memiliki duty yang lebih rendah pada berbagai variasi tekanan pada
simulasi ini dan variasi duty memiliki jumlah bahan bakar yang lebih kecil dibandingkan dengan skema 1. Seperti
contohnya, pada tekanan 30 bar dengan duty total sebesar 4.379 kW, skema 1 membutuhkan bahan bakar sebesar
511,85 MMBTU/hari dan skema 3 membutuhkan bahan bakar sebesar 374,89 MMBTU/hari. Hal ini dikarenakan
pada skema 3, terdapat sistem pre-heating yang duty-nya berasal dari panas bumi. Sistem pre-heating ini akan
menggurangi kinerja atau beban dari steam generator. Beban yang berkurang ini menyebabkan gas alam yang
dibutuhkan untuk menghasilkan panas lebih sedikit.
4.4. Jarak Maksimum Sistem Perpipaan dalam Sistem Produksi Kukus Menggunakan Panas Bumi
Jarak maksimum sistem perpipaan dalam sistem produksi kukus menggunakan panas bumi menunjukkan
jarak maksimum lapangan minyak dan lapangan panas bumi untuk menerapkan sistem ini. Hal ini ditunjukkan
dengan hasil simulasi sistem perpipaan yang didapatkan dijabarkan kedalam grafik yang menghubungkan tekanan
injeksi dengan panjang pipa seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 4.5 sampai 4.7.
Gambar 2.7 Pengaruh P,p,out terhadap Panjang Pipa pada Skema 3 (Pp,out = 28 bar)
Gambar 2.8 Pengaruh P,p,out terhadap Panjang Pipa pada Skema 3 (Pp,out = 30 bar)
Gambar 2.9 Pengaruh P,p,out terhadap Panjang Pipa pada Skema 3 (Pp,out = 32 bar)
Dalam Gambar 4.5 sampai 4.7, batasan plot dalam grafik adalah fraksi uap sama dengan 1. Artinya kurva-
kurva diatas merepresentasikan kondisi panjang pipa terhadap tekanan injeksi kukus saat tidak adanya fasa cair
disepanjang pipa hingga keluar dari sistem perpipaan. Gambar 4.5 sampai 4.7 menunjukkan bahwa semakin besar
tekanan keluaran pompa yang divariasikan, maka panjang sistem perpipaan untuk suatu nilai tekanan injeksi
tertentu semakin besar. Seperti contohnya pada Gambar 4.5, jika tekanan injeksi di reservoir diatur sebesar 24 bar,
maka panjang sistem perpipaan maksimum untuk menghasilkan kukus dengan fraksi uap satu dan pada variasi
duty sebesar 3.400 kW adalah 11,2 km. Sedangkan pada variasi duty dan tekanan injeksi yang sama pada Gambar
4.20 menunjukkan panjang pipa sebesar 18 km dan pada Gambar 4.6 adalah 25,4 km. Semakin besaar variasi
tekanan keluaran pompa menunjukkan semakin besar tekanan yang masuk kedalam sistem perpipaan. Hal ini
berkaitan dengan Persamaan 2.40, dimana semakin besar tekanan masukan sistem perpipaan, maka jatuh tekan
setiap 1 kmnya akan lebih kecil. Hal ini dikarenakan ketika sebuah tekanan lebih besar masuk kedalam sistem
perpipaan dengan jatuh tekan yang sama dengan tekanan kecil, maka untuk penambahan setiap kilometernya
-5
5
15
25
35
24 25 26 27 28 29
Pan
jan
g p
ipa
(km
)Tekanan Injeksi (bar)
2900 3000 3100 3200 3300 3400
-5
5
15
25
35
24 25 26 27 28 29
Pan
jan
g p
ipa
(km
)
Tekanan Injeksi (bar)
2900 3000 3100 3200 3300 3400
-5
5
15
25
35
24 25 26 27 28 29
Pan
jan
g p
ipa
(km
)
Tekanan Injeksi (bar)
2900 3000 3100 3200 3300 3400
Variasi DSG (kW):
Variasi DSG (kW):
Variasi DSG (kW):
(panjang pipa) maka tekanan keluaran akan lebih besar ketika tekanan masuknya lebih besar juga. Untuk itu, untuk
menghasilkan tekanan keluaran yang sama, sistem dengan fluida yang masuk kedalam pipa pada tekanan yang
lebih tinggi memiliki panjang pipa yang lebih panjang untuk menurunkan tekanan yang lebih besar.
Berdasarkan Gambar 4.5 sampai 4.7, jarak maksimal sistem perpipaan dengan batasan tekanan injeksi dan
fraksi uap kukus saat akan memasuki reservoir ditunjukkan pada Tabel 4.13.
Tabel 2.5 Panjang Maksimal Sistem Perpipa untuk Skema 3
Pp,out (bar) DSG (kW) LP (km) Pinj (bar) Tinj (°C)
28
2.900 11,2 25,20 224,37
3.000 14,1 24,13 239,91
3.100 12,8 24,13 271,71
3.200 12,1 24,13 292,95
3.300 11,3 24,13 321,84
3.400 11,2 24,13 342,42
30
2.900 10,2 27,62 230,37
3.000 22,0 24,13 221,66
3.100 21,7 24,13 261,35
3.200 20,3 24,13 261,72
3.300 18,9 24,13 299,44
3.400 18,0 24,13 314,56
32
2.900 10,2 29,79 233,45
3.000 20,3 27,27 228,61
3.100 28,4 24,85 223,76
3.200 30,1 24,13 231,67
3.300 25,8 24,13 261,58
3.400 25,4 24,13 275,80
Berdasarkan Tabel 4.13, untuk dapat mengintegrasikan industri panas bumi dan minyak dengan tekanan injeksi
yang dibatasi, maka jarak kedua industri tersebut berada pada rentang 10,2 km sampai 30,1 km dengan kondisi
operasi tertentu. Jika dilihat pada Tabel 4.13, bahwa jarak maksimum dapat dicapai ketika kondisi tekanan
keluaran pompa adalah 32 bar dan duty steam generator sebesar 3.200 kW.
4.5. Analisis Pengaruh Skema Produksi Kukus terhadap Harga Kukus
Analisis ekonomi yang dilakukan pada memiliki basis perhitungan, diantaranya umur pabrik 20 tahun,
biaya gas alam = US$7/MMTBU, interest rate= 10% (Asumsi), nilai tukar dolar terhadap rupiah Rp13.500
Berdasarkan Tabel 4.12, terdapat perbedaan jumlah bahan bakar yang digunakan dalam proses produksi
kukus. Hal ini tentunya akan mempengaruhi biaya produksi kukus persatuan massa kukus (levelized cost of energy
atau LCOE). Selain jumlah kebutuhan bahan bakar yang berbeda, pada skema 3 dibutuhkan biaya instalasi penukar
kalor yang akan mempengaruhi biaya produksi kukus. Biaya kapital yang dihabiskan untuk skema 1 dan 3
ditunjukkan pada Tabel 4.14 dan 4.14.
Tabel 2.6 Biaya Kapital Skema 1
CAPEX
(Milyar Rp)
Variasi Tekanan Keluaran Pompa (bar)
28 30 32
Var
iasi
Du
ty
Ste
am
Gen
era
tor
(kW
)
3.879 92,22 92,24 92,26
3.979 92,22 92,24 92,26
4.079 92,22 92,24 92,26
4.179 92,22 92,24 92,26
4.279 92,22 92,24 92,26
4.379 92,22 92,24 92,26
Tabel 2.7 Biaya Kapital Skema 3
CAPEX
(Milyar Rp)
Variasi Tekanan Keluaran Pompa (bar)
28 30 32 V
aria
si D
uty
Ste
am
Gen
era
tor
(kW
)
2.900 100,87 100,95 101,05
3.000 100,87 100,95 101,05
3.100 100,87 100,95 101,05
3.200 100,87 100,95 101,05
3.300 100,87 100,95 101,05
3.400 100,87 100,95 101,05
Berdasarkan Tabel 4.14 dan/atau 4.15, dapat dilihat bahwa seiring dengan bertambahnya tekanan keluaran pompa,
biaya kapital yang dihasilkan semakin besar. Hal ini dikarenakan berdasarkan persamaan biaya kapital pompa
dipengaruhi besarnya besarnya head. Sedangkan variasi duty steam generator tidak mempengaruhi biaya kapital
karena diasumsikan steam generator sudah ada dalam pabrik produksi kukus. Biaya operasional kedua skema
dijabarkan kedalam Tabel 4.16 dan 4.17.
Tabel 2.8 Biaya Operasional Skema 1
OPEX
(Milyar Rp)
Variasi Tekanan Keluaran Pompa (bar)
28 30 32
Var
iasi
Du
ty
Ste
am
Gen
era
tor
(kW
)
3.879 21,24 21,24 21,24
3.979 21,59 21,59 21,60
4.079 22,04 22,04 22,05
4.179 22,37 22,51 22,41
4.279 22,82 22,83 22,84
4.379 23,24 23,25 23,26
Tabel 2.9 Biaya Operasional Skema 3
OPEX
(Milyar Rp)
Variasi Tekanan Keluaran Pompa (bar)
28 30 32
Var
iasi
Du
ty
Ste
am
Gen
era
tor
(kW
)
2.900 16,62 16,63 16,61
3.000 17,05 17,05 17,03
3.100 17,47 17,48 17,46
3.200 17,78 17,92 17,80
3.300 18,21 18,21 18,22
3.400 18,53 18,53 18,54
Dari Tabel 4.16 dan 4.17, dapat dilihat bahwa variasi tekanan tidak berpengaruh dengan biaya operasional. Hal
ini dikarenakan peningkatan variasi tekanan keluaran pompa menyebabkan daya pompa lebih besar, namun
perbedaan daya pompa pada setiap variasi tidak signifikan. Daya pompa dapat dilihat dalam Lampiran B.
Sementara itu, jumlah bahan bakar yang digunakan akan semakin sedikit untuk tekanan yang lebih tinggi akibat
perbedaan path pada diagram fasas. Pada diagram fasa tekanan yang lebih tinggi akan memiliki panas laten yang
lebih kecil untuk dapat merubah fasa air menjadi uap, sehingga bahan bakar yang dibutuhkan akan lebih sedikit.
Selain itu, dapat dilihat juga bahwa semakin besar variasi duty steam generator, maka biaya operasional
yang dibutuhkan semakin besaar. Hal ini dikarenakan untuk menghasilkan duty yang lebih besar, maka bahan
bakar yang dikonsumsi juga akan lebih banyak (Lihat Tabel 4.13).
Gambar 2.10 LCOE Skema 2 dan 3
Dari Gambar 4.8, skema 1 menghasilkan LCOE kukus yang lebih besar terhadap setiap berat kukus yang
dihasilkan. Selisih harga keseluruhan yang ditandai dengan garis berwarna merah merupakan biaya yang dihemat
akibat adanya pemanfaatan panas bumi sebagai pre-heating pada proses produksi kukus. Salah satu contohnya
adalah pada variasi tekanan keluaran pompa sebesar 28 bar dan duty total sebesar 3.879 kW, LCOE kukus pada
skema 1 adalah Rp685 sedangkan pada skema 2 sebesar Rp603. Hal ini menunjukkan adanya penghematan sebesar
12% dengan menggunakan panas bumi. Pada variasi lainnya penghematan berkisar antara 11-12%. Meskipun
diperlukan biaya instalasi penukar kalor, namun dapat dilihat pada Gambar 4.8 bahwa yang mempengaruhi LCOE
dari kukus adalah biaya operasional dibandingkan dengan biaya kapital.
4.6. Hasil Simulasi Steam Flooding (EOR) Menggunakan COMSOL
Pemodelan yang telah dilakukan pada Bab 4, disimulasikan kedalam perangkat lunak COMSOL. Hasil
simulasi dalam perangkat lunak COMSOL tidak merepresentasikan proses steamflooding. Simulasi dalam
COMSOL tidak konvergen pada neraca momentum berupa persamaan Darcy. Gambar 4.9 menunjukkan grafik
konvergensi simulasi steamflooding pada COMSOL.
Gambar 2.11 Kurva Konvergensi COMSOL
Pada Gambar 4.9, sumbu y pada grafik tersebut menunjukkan resiprokal dari step size dan sumbu x merupakan
time step. Resiprokal dari step size merupakan satu dibagi time step. Solver time dependent dalam COMSOL
memiliki kemampuan untuk merubah step waktu. Ukuran step akan meningkat ketika proses iterasi berjalan
dengan baik. Artinya seluruh variabel dan persamaan dapat dievaluasi pada fungsi waktu dan posisi. Namun ketika
variabel dan persamaan tidak dapat dievaluasi atau terdapat error, maka COMSOL akan memperkecil step size
yang berakibat pada sumbu y yang meningkat. Error ini kemungkinan besar dikarenakan COMSOL yang tidak
bisa mendapatkan parameter yang konsistem selama proses iterasi.
4.7. Hasil Simulasi Steam Flooding (EOR) Menggunakan CMG
4.7.1. Pengaruh Tekanan Injeksi terhadap Produksi Minyak
Reservoir yang disimulasikan pada penelitian ini memiliki asumsi yang telah dijabarkan dalam Bab 4.
Simulasi dilakukan dengan memvariasikan tekanan dengan batasan operasi fraksi uap kukus sama dengan satu.
Variasi tekanan yang dilakukan adalah 24; 26; dan 29,6 bar sesuai dengan batasan tekanan injeksi yang
disumulasikan Ehsani, M.R., dkk (2003). Variasi tekanan dibatasi karena tidak dilakukannya penelitian atau
simulasi reservoir diluar rentang tersebut (simulasi kondisi reservoir bukan simulasi proses TEOR). Dibutuhkan
analisis dan simulator yang berbeda untuk menganalisis perilaku reservoir diluar rentang tersebut. Suhu yang
disimulasikan adalah konstan yaitu sebesar 452°F atau 233°C. Dalam variasi kondisi injeksi tersebut, seluruhnya
merupakan kukus dengan fraksi uap sama dengan satu. Gambar 4.16 dan 4.17 adalah hasil simulasi reservoir pada
berbagai variasi tekanan.
Gambar 2.12 Pengaruh Variasi Tekanan Injeksi terhadap Produksi Kumulatif Minyak
Gambar 2.13 Pengaruh Variasi Tekanan Injeksi terhadap Rekoveri
Dari Gambar 4.16 dan 4.17 dapat dilihat bahwa semakin besar tekanan injeksi, maka minyak yang akan diperoleh
akan semakin besar terhadap satuan waktu. Hal ini ditunjukkan dengan produksi minyak kumulatif dan rekoveri
pada satuan waktu yang lebih besar. Sesuai dengan teori, bahwa tingkat pemerolehan minyak dalam proses steam
flooding berkisar pada angka 50-60%. Pada akhir waktu reservoir, perolehan minyak pada berbagai kondisi operasi
akan sama sesuai dengan teori tersebut. Namun demikian, yang membedakan adalah breakthrough time dari ketiga
profil diatas. Breakthrough time merupakan waktu dimana produksi minyak akan konstan. Breakthrough time
untuk variasi tekanan injeksi 24, 26, dan 30 bar secara berturut turut adalah 249, 219, dan 177 hari. Sehingga,
semakin besar tekanan kukus yang diinjeksikan, maka breakthrough time lebih kecil atau semakin cepat. Hal
tersebut dikarenakan semakin tekanan yang tinggi akan memberikan efek mendorong dari sumur injeksi dan sumur
produksi untuk menekan minyak dan air menuju area sumur produksi. Jika dikuantifikasi perubahan tekanan dari
26 bar menuju 30 bar maka breakthrough time akan lebih cepat 42 hari dan jika tekanan diubah dari 24 bar menuju
0
5000
10000
15000
0 100 200 300 400
Pro
du
ksi
Min
yak
Ku
mu
lati
f
(bb
l/h
ari)
Waktu Hari
Pinj = 24 bar Pinj = 26 bar Pinj = 30 bar
0%
20%
40%
60%
80%
0 50 100 150 200 250 300 350 400
Rek
over
i (%
)
Waktu (hari)
Pinj = 24 bar Pinj = 26 bar Pinj = 30 bar
22 bar maka breakthrough time akan lebih cepat 15 hari. Artinya setiap penambahan 1 bar tekanan injeksi, maka
proses steamflooding akan lebih cepat 13 hari.
Selain kedua grafik diatas, hasil simulasi steam flooding lainnya adalah berupa profil saturasi minyak dan
saturasi kukus yang ditunjukkan Gambar 4.18.
(a) (b) (c)
Gambar 2.14 Profil Saturasi Kukus pada Variasi Tekanan Injeksi pada Reservoir (a) 24 b (b) 26 (c) 29,6
bar pada Hari ke 147
Dari Gambar 4.18 dapat dilihat bahwa semakin besar tekanan maka kukus akan semakin cepat menempati ruang
didalam reservoir. Artinya ketika kukus semakin banyak menempati ruang dalam reservoir per satuan waktu, maka
tingkat pemerolehan minyak yang terdesak akibat keberadaan kukus akan semakin meningkat dalam suatu waktu.
Untuk itu, saturasi minyak akan semakin berkurang pada satuan waktu dan geometri. Saturasi minyak dalam
reservoir dapat dilihat berdasarkan Gambar 4.19.
(a) (b) (c)
Gambar 2.15 Profil Saturasi Kukus pada Variasi Variasi Tekanan Injeksi pada Reservoir (a) 24 b (b) 26
(c) 29,6 bar pada Hari ke 147
Pengaruh Suhu Injeksi terhadap Produksi Minyak
Simulasi ini dilakukan dengan memvariasikan suhu dengan batasan operasi fraksi uap kukus sama dengan
satu. Variasi suhu yang dilakukan adalah 433oF; 450 oF; dan 638oF bar dengan tekanan sebesar 380 psi. Dalam
variasi kondisi injeksi tersebut, seluruhnya merupakan kukus dengan fraksi uap sama dengan satu. Hal ini
dilakukan untuk melihat perbandingan injeksi kukus pada kondisi kukus jenus dan kukus jenuh lanjut. Gambar
4.20 dan 4.21 adalah hasil simulasi reservoir pada berbagai variasi suhu.
Gambar 2.16 Pengaruh Variasi Suhu Injeksi terhadap Produksi Kumulatif Minyak
Gambar 2.17 Pengaruh Variasi Suhu Injeksi terhadap Rekoveri
Dari Gambar 4.21 semakin besar suhu injeksi kukus, maka breakthrough time proses steamflood akan lebih cepat.
Pada Gambar 5.21 breakthrough time yang dihasilkan pada variasi 433, 450, dan 638oF secara berturut-turut adalah
180, 134, dan 85. Semakin kecil breakthrough time maka jumlah produksi minyak kumulatif per satuan waktu
akan semakin besar pada suhu yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan kukus dalam kondisi jenuh lanjut memiliki
kalor panas laten yang dapat menyuplai panas kedalam kukus lebih besar lagi. Jika dikuantifikasi perubahan suhu
dari 433oF menjadi 450 oF breakthrough time akan berkurang 17 hari dan perubahan dari 638oF menjadi 433oF
breakthrough time akan berkurang 49 hari. Artinya setiap penambahan 1 oF waktu breakthrough akan menjadi
berubah 1,24 hari.
Profil saturasi kukus yang ditunjukkan pada Gambar 4.22 menunjukkan semakin bertambahnya suhu kukus
akan semakin cepat menepati ruang kosong didalam reservoir yang ditandai dengan meningkatnya saturasi akibat
meningkatnya laju produksi minyak. Profil sebaliknya ditunjukkan pada Gambar 4.22 yang menunjukkan profil
saturasi minyak.
(a) (b) (c)
Gambar 2.18 Profil Saturasi Kukus pada Variasi Suhu Injeksi pada Reservoir (a) 433 b (b) 450 (c) 638oF
pada Hari ke 77
0
5000
10000
15000
0 100 200 300 400
Pro
duksi
Min
yak
Kum
ula
tif
(bb
l/har
i)Waktu (hari)
Tinj = 433F Tinj = 450F Tinj = 638F
0%
20%
40%
60%
80%
0 100 200 300 400
Rek
over
i (%
)
Waktu (hari)
Tinj = 433F Tinj = 450F Tinj = 638F
(a) (b) (c)
Gambar 2.19 Profil Saturasi Minyak pada Variasi Suhu Injeksi pada Reservoir (a) 433 b (b) 450 (c) 638oF
pada Hari ke 77
Gambar 4.23 menunjukkan profil temperatur pada satuan waktu yang sama. Dari Gambar 4.23 menunjukkan
bahwa semakin tinggi suhu injeksi kukus, maka suhu reservoir yang berada dekat dengan lokasi injeksi memiliki
rentang suhu yang lebih tinggi.
(a) (b) (c)
Gambar 2.20 Profil Suhu pada Variasi Suhu Injeksi pada Reservoir (a) 433 (b) 450 (c) 638oF pada Hari ke
30
4.8. Pemilihan Skema Terbaik
Berdasarkan simulasi unit produksi kukus dan reservoir, didapatkan hasil evaluasi kinerja dari berbagai
macam skema pada berbagai variasi tekanan keluaran pompa dan duty total. Kemudian simulasi tersebut
merupakan data input dalam simulasi reservoir untuk dilihat pengaruh tingkat pemerolehan kembali minyak.
Berdasarkan simulasi reservoir, variasi kondisi operasi tingkat pemerolehan minyak yang beragam tidak
berpengaruh kepada tingkat pemerolehan kembali minyak hanya breakthrough time yang bukan merupakan
parameter utama keberhasilan proses steamflood. Seluruh kondisi operasi memberikan tingkat pemerolehan
minyak sebesar 60%. Untuk itu, basis penentuan skema terbaik didasarkan pada panjang sistem perpipaan
maksimum yang menunjukkan fleksibilitas dari kondisi operasi pada suatu skema untuk menerapkan sistem ini.
Selain itu, aspek ekonomi juga ditinjau untuk memperlihatkan pengaruh variasi skema dengan harga produksi
kukus. Berdasarkan Gambar 4.8, variasi kondisi operasi dalam satu skema tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap harga produksi kukus.
Berdasarkan keekonomian, skema pemanfaatan panas bumi dapat menghemat biaya produksi kukus
sebesar 12% untuk setiap satuan massa kukus. Berdasarkan nilai tersebut skema 3 yang menggunakan panas bumi
menawarkan skema operasi yang lebih murah dibandingkan dengan skema produksi kukus yang ada pada saat ini.
Skema 3 yang lebih ekonomis tersebut mampu mengintegrasikan lapangan panas bumi dengan lapangan
minyak dengan jarak maksimal sebesar 30,1 km dengan tekanan keluaran pompa sebesar 32 bar dan duty steam
generator sebesar 3.200 kW. Tekanan injeksi kukus pada skema ini adalah 24,13 bar dengan suhu 231,67oC atau
sebesar 449oF. Pada suhu tersebut, waktu breakthrough reservoir adalah 134 hari dengan basis tekanan pengukur
26,2 bar atau 380 psi. Seperti yang dijelaskan sebelumnya penurunan tekanan setiap bar akan menambah waktu
breakthrough sebesar 13 har. Untuk itu, breakthrough time yang kondisi operasi ini adalah 162,6 hari. Biaya kukus
yang dihasilkan dari kondisi operasi ini adalah Rp 629,6/kg kukus.
5. Kesimpulan
1. Skema pemanfaatan panas bumi pada proses steam flooding adalah sebagai pre-heating pada steam generator
atau skema 3. Hal tersebut dikarenakan tingkat level temperature dari kukus panas bumi tidak dapat merubah
air menjadi kukus jika tidak menggunakan steam generator.
2. Jarak maksimum pada skema produksi kukus dengan panas bumi sebagai pre-heater dalam steam generator
adalah 30,1 km dengan tekanan keluaran pompa 32 bar dan duty total 4.179 kW.
3. Skema 3 menghasilkan harga kukus per satuan berat kukus yang lebih murah dibandingkan dengan skema 1.
Pemanfaatan panas bumi ini menghemat 12% dari biaya produksi kukus.
4. Tingkat pemerolehan kembali minyak dengan menggunakan sistem pre-heating kukus panas bumi adalah
60%. Variasi tekanan dan suhu injeksi atau tekanan keluaran sistem produksi hanya mempengaruhi
breakthrough time dari steamflood. Penambahan 1 bar tekanan injeksi, maka proses steamflooding akan lebih
cepat 13 hari. Penambahan 1 oF waktu breakthrough akan menjadi berubah 1,24 hari.
Daftar Referensi
Abdallah, W,, 2007, Fundamental of Wettability, New Mexico Petroleum Recovery Research Center Socorro,
USA,
Affandi, M,, Mamat, N,, Kanafiah, S,N,A,M,, dan Khalid, N,S, 2013, Simplified Equations for Saturated Steam
Properties for Simulation, Procedia Engineering, vol 5, p 722-726, Dilihat 2 November 2015,
www,sciencedirect,com
Ali, S, M, F,, & Thomas, S, 1989, The Promise and Problems Of Enhanced Oil Recovery Methods, Petroleum
Society of Canada,
ASPENTECH, 2008, An Integrated Approach to Modeling Pipeline Hydraulic in a Gathering and Production
System, Aspen Technology Inc, US,
www,aspentech,com
Alvarez, J dan Sungyun Han, 2013, Current Overview od Cyclic Steam Injection Process, Journal of Petroleum
Science Research, vol 2, p 116-127,
Bahadori, A, 2014, Natural Gas Processing, 1st Edition, Technology and Engineering Design, Gulf Professional
Publishing, US,s
Bratland, O, 2013, Pipe Floe 2, Multi-phase Flow Assurance, Dr Ove Bratland, US,
Chaar, M. dkk, 2015. Economic of Steam Generation for Thermal Oil Recovery. Society of Petroleum Engineers:
USA.
Chilingarian, G, V,, Donaldson, E,C,, dan T,F, Yen, 1989, Enhanced Oil Recovery, II Process and Operations,
Elsevier, Journals of Petroleum Science,Vol 17 pp 61-68, dilihat 10 Desember 2015,
http://www,sciencedirect,com/
Coats, K,H,, George, W,D, dan Marcum, B,E,, 1974, Three-dimensional Simulation of Steamflooding, Soc, Pet,
Eng, J, , 14(6): 573-592, pp 5, Dilihat 12 Desember 2015,
http://web,iitd,ac,in/
Davis, R,J, 2010, Steamflooding for Future, Premier Energy, US,
Dickson, M,H,, dan Mario, F, 2003, Geothermal Energy Utilization and Technology, UNESCO Publishing, United
Nation Educational Scientific and Cultural Organization, Paris,
Edward, J,E, 2010, PIPING WORKBOOK Solving Piping and Header Networks Using CHEMCAD Version 6,2,
Chemstation Engineering Advance, UK,
Ehsani, M,R, Mohammadi, A, H,, dan Nikookar, M, 2013, Numerical Modeling of Steam Injection In Heavy Oil
Reservoirs, Elsevier Journal of Fuel, vol, 112, p, 185-192,
Ernst & Young’s Moscow Oil & Gas Center, 2014, Enhanced Oil Recovery (EOR) Methods in Russia: Time is of
The Essence, Ernst & Young’s Moscow Oil & Gas Center Russia,
Everett, J, P, dan Charles F, Weinaug, 1955, Physical Properties of Eastern Kansas Crude Oil, Vol 7, P 114,