Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization...

103
ANALISIS KASUS SULFITE BLINDING TERHADAP EFISIENSI SO 2 REMOVAL PADA SISTEM FLUE GAS DESULFURIZATION DI PLTU TANJUNG JATI B UNIT 1 Disusun oleh: Adik Bela Jannahti NIM : 3.29.10.0.03 PROGRAM STUDI TEKNIK KONVERSI ENERGI JURUSAN TEKNIK MESIN POLITEKNIK NEGERI SEMARANG 2013

Transcript of Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization...

Page 1: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

ANALISIS KASUS SULFITE BLINDING

TERHADAP EFISIENSI SO2 REMOVAL PADA

SISTEM FLUE GAS DESULFURIZATION DI

PLTU TANJUNG JATI B UNIT 1

Disusun oleh:

Adik Bela Jannahti

NIM : 3.29.10.0.03

PROGRAM STUDI TEKNIK KONVERSI ENERGI

JURUSAN TEKNIK MESIN

POLITEKNIK NEGERI SEMARANG

2013

Page 2: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

ii

ANALISIS KASUS SULFITE BLINDING

TERHADAP EFISIENSI SO2 REMOVAL PADA

SISTEM FLUE GAS DESULFURIZATION DI

PLTU TANJUNG JATI B UNIT 1

Disusun oleh:

Adik Bela Jannahti

NIM : 3.29.10.0.03

Diajukan untuk melengkapi syarat tugas akhir studi dan memperoleh sebutan Ahli

Madya Program Studi Teknik Konversi Energi Jurusan Teknik Mesin

PROGRAM STUDI TEKNIK KONVERSI ENERGI

JURUSAN TEKNIK MESIN

POLITEKNIK NEGERI SEMARANG

2013

Page 3: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

iii

PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir dengan judul “Analisis

Kasus Sulfite Blinding terhadap Efisiensi SO2 Removal pada Sistem Flue Gas

Desulfurization di PLTU Tanjung Jati B Unit 1” yang dibuat untuk melengkapi

sebagian persyaratan menjadi Ahli Madya pada Program Studi Teknik Konversi

Energi Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang, sejauh yang saya

ketahui bukan merupakan tiruan atau duplikasi dari tugas akhir yang sudah

dipublikasikan dan atau pernah dipakai untuk mendapatkan gelar Ahli Madya di

lingkungan Politeknik Negeri Semarang maupun di perguruan tinggi atau instansi

manapun, kecuali bagian yang sumber informasinya dicantumkan sebagaimana

mestinya.

Semarang, 22 Juli 2013

Adik Bela Jannahti

NIM 3.29.10.0.03

Page 4: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

PERSETUJUAN

Tugas Akhir dengan judul "Analisis Kasus Sulfite Blinding terhadap Efisiensi

SOz Removal pada Sistem Flue Gas Desulfurization di PLTU Tanjung Jati B Unit

1" dibuat untuk melengkapi sebagian persyaratan menjadi Ahli Madya pada

Program Studi Teknik Konversi Energi, Jurusan Telorik Mesin Politeknik Negeri

Semarang dan disetujui untuk diajukan dalam sidang ujian tugas akhir.

Pembimbing Utama

Semarang, 23 Juli2013

Pembimbing Pendamping

NIP. 197005 12199601 I 001

Drs. Teguh Harijono Mulud. M.T.NrP. 1 9561027198503 1001

Ka. Prodi Teknik Konversi Energi

Dwiana Hendrawati. S.T. M.T.NIP. 1 96908141998022001

IV

Page 5: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

.'

HALAMAN PENGESAHAN

Tugas akhir dengan judul "Analisis Kasus Sulfite Blinding terhadap Efisiensi SOz

Removal pada Sistem Flue Gas Desulfurization di PLTU Tanjung Jati B Unit 1"

telah dipertahankan dalam ujian wawancara dan diterima sebagai syarat untuk

menjadi seorang Ahli Madya pada Program Studi Teknik Konversi Energi Jurusan

Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang pada tanggal 29 Iuli 2013 .

Penguji I, Penguji III,

Suprivo. S.T.. M.T.

NrP. 1 9630424.19%A3. 1.001

Sekretaris,

n

4\-,Suwarti. S.T.. M.T.

D63A707 .198803.2.001

(q 4g*o'nI

Ir. Ilyas Rochani. M.T.

NIP. 195 I 1016.198903.1.001

Ketua,

NrP. 1 9700 512.199601. 1.001

NrP. 1 9620 427 .1991A3. 1.001

Mengesahkan,

Ketua Jurusan Teknik Mesin

NIP.

NrP. 19s80430.198803.1.001

Page 6: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

vi

PRAKATA

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat serta hidayah Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penyusunan laporan Tugas Akhir dengan judul “Analisis Kasus Sulfite Blinding

terhadap Efisiensi SO2 Removal pada Sistem Flue Gas Desulfurization di PLTU

Tanjung Jati B Unit 1”.

Penyusunan tugas akhir ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar Ahli Madya (A.Md) pada Program Studi Teknik

Konversi Energi Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang. Dalam

penyusunan Tugas Akhir ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan arahan

dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin

menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada:

1. Sahid S.T, M.T, selaku pembimbing utama dan Teguh Harijono Mulud,

Drs, M.T. selaku pembimbing pendamping yang telah memberikan

bimbingan dan arahan selama proses penyusunan tugas akhir ini.

2. Direktur Politeknik Negeri Semarang, Ketua Jurusan Teknik Mesin

Politeknik Negeri Semarang, Ketua Program Studi Teknik Konversi

Energi, serta wali kelas KE 3D.

3. Dosen pengampu mata kuliah di Program Studi Teknik Konversi Energi

yang telah membagi ilmu serta nasihat kepada penulis selama duduk di

bangku perkuliahan.

Page 7: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

4. Segenap staf laboratorium dan bengkel Konvesi Energi Politeknik Negeri

Semarang yang telah membantu dalam penyusunan tugas akhir.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tugas akhir ini masih

terdapat banyak kekurangan. Unfirk itu penulis mengharapkan kritik dan saran

yang membangun demi perbaikan tugas akhir ini.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

, Semarang,23 Jru/ri2}L3

Penulis

')'-*-ot^'(c/r

Adik Bela Jann*hti

NIM 3.29.10.0.03

vtl

Page 8: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

viii

MOTTO

“Ada keajaiban di setiap keberanian.”

“Gusti mboten sare.”

“Karena dedikasi itu memberi, bukan menerima.”

“Banyak membaca, banyak menulis. Sedikit membaca, sedikit menulis.

Tidak membaca, tidak menulis.”

“You’ll never walk alone.”

Page 9: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

ix

HALAMAN PERSEMBAHAN

Tugas akhir ini saya persembahkan untuk:

Ayah Tubagus Sabdo Wiguno dan Ibu Sri Wahyuni

Aulia Najaah Jannahti, Alm.

Seluruh staf pengajar dan karyawan Program Studi Teknik Konversi

Energi

Kawan dan rekan kerja di LPM Dimensi

Kawan-kawan seperjuangan di Teknik Konversi Energi

Kawan-kawan General Forestry FKT UGM 2010

dan seluruh warga bumi yang merindukan udara bersih dan bebas polusi.

Page 10: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

x

ABSTRAK

“Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh sulfite blinding terhadap

efisiensi SO2 removal pada sistem Flue Gas Desulfurization di PLTU Tanjung

Jati B Unit 1 dan menentukan laju massa aliran udara oksidasi yang optimum

untuk reaksi oksidasi yang sempurna sehingga tidak terjadi sulfite blinding.

Metode yang digunakan untuk pengambilan data adalah pengambilan data secara

langsung pada monitoring software seperti DCS (Distributed Control System) dan

secara tidak langsung pada arsip dan perpustakaan perusahaan saat terjadi kasus

tersebut. Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk mengetahui efisiensi dan laju

massa aliran udara oksidasi. Hasil yang dicapai adalah, sulfite blinding dapat

menurunkan efisiensi SO2 removal hingga menjadi 1,82% dengan kadar SO2

dalam gas buang keluar FGD sebesar 1101,45 mg/Nm3. Nilai tersebut melebihi

ambang batas yang telah ditetapkan KLH, yaitu sebesar 750 mg/Nm3. Oleh sebab

itu sulfite blinding sangat merugikan. Untuk menentukan laju massa aliran udara

oksidasi, didapatkan hasil 1012,4 m3/menit pada kisaran beban 500-660 MW.”

Kata Kunci: Sulfite Blinding, Efisiensi SO2 Removal, Flue Gas Desulfurization,

pH, Udara Oksidasi

Page 11: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

xi

ABSTRACT

“The goal of this research is to know the influence of sulfite blinding to SO2

removal efficiency on Flue Gas Desulfurization system in PLTU Tanjung Jati B

Unit 1 and to determine optimum mass flow of oxidation air to avoid sulfite

blinding. The method that used in this research is search for data directly on

monitoring software like DCS (Distribute Control System), and undirectly method

by take data from company’s file and documents. And then from data, mass flow

of oxidation air was determined. The result is, sulfite blinding could decrease the

SO2 removal efficiency until more than 90%, caused by the decrease of pH. For

the calculation of mass flow of oxidation air, the result is, 1012,4 m3/minute is the

optimum flow on load between 500-660 MW.”

Keywords: sulfite blinding, SO2 removal efficiency, flue gas desulfurization, pH,

oxidation air.

Page 12: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1.1 Grafik kapasitas pembangkit liatrik Indonesia berdasarkan

Bahan bakar ....................................................................................... 2

2.1 Skema proses produksi listrik di PLTU Tanjung Jati B .................... 10

2.2 Skema coal handling ........................................................................... 12

2.3 Skema proses water treatment ........................................................... 13

2.4 Skema siklus uap ............................................................................... 18

2.5 Diagram T-S ....................................................................................... 19

2.6 Skema alur flue gas ............................................................................. 21

2.7 Transmission line PLTU Tanjung Jati B ........................................... 25

2.8 Posisi PLTU Tanjung Jati B di sistem transmisi Jawa-Bali .............. 26

2.9 FGD pada PLTU Tanjung Jati B Unit 1 ............................................ 40

2.10 Skema alur gas buang ...................................................................... 41

2.11 Skema alur sistem FGD .................................................................... 41

2.12 Lokasi limestone jetty and conveyor ............................................... 42

2.13 Skema alur proses limestone handling ............................................. 43

2.14 Lokasi reagent preparation area ....................................................... 44

2.15 Vertical ball mill .............................................................................. 46

2.16 Siklus typical ball mill ..................................................................... 46

2.17 Proses reagent preparation dan persentase padatan

Limestone slurry .............................................................................. 47

2.18 Lokasi limestone slurry storage tank ............................................... 48

2.19 Lokasi absorber area ........................................................................ 49

2.20 Absorber module .............................................................................. 50

2.21 Lokasi absorber recirculation pump ................................................. 51

2.22 Perforated trays ................................................................................. 52

2.23 Agitator atau pengaduk .................................................................... 53

2.24 Letak agitator dalam reaction tank ................................................... 54

2.25 Skema proses FGD beserta reaksi yang terjadi ............................... 56

Page 13: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

xiii

2.26 Lokasi dewatering area .................................................................... 57

2.27 Proses pertama dalam dewatering system ....................................... 58

2.28 Foto mikroskopik terjadinya sulfite blinding ................................... 61

2.29 Hubungan antara efisiensi penyerapan SO2 dengan pH .................. 66

3.1 Nilai pH terhadap penyerapan SO2 .................................................... 75

3.2 Trend DCS saat terjadi sulfite blinding ............................................. 75

Page 14: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1 Pengaruh sulfur dioksida berdasarkan kadarnya ................................ 27

3.1 Data saat terjadi sulfite blinding tanggal 1-2 November 2012 .......... 67

3.2 Hasil perhitungan efisiensi SO2 removal ............................................ 69

3.3 Data yang dibutuhkan untuk menghitung laju massa

udara oksidasi .................................................................................... 71

Page 15: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Kontrol Bimbingan 1

Lampiran 2 Lembar Kontrol Bimbingan 2

Lampiran 3 Surat Keterangan Selesai Bimbingan Tugas Akhir

Lampiran 4 Surat Keterangan Siap Ujian Tugas Akhir

Lampiran 5 Revisi Tugas Akhir

Page 16: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

xvi

DAFTAR LAMBANG

Lambang Satuan

η efisiensi %

Laju aliran l/min

Massa jenis Kg/l

massa Gram atau Kg

molaritas mol

P Tekanan Atm atau bar

V Volume m3

T Temperatur

Page 17: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

xvii

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah....................................................................... 1

1.2 Ruang Lingkup ..................................................................................... 4

1.3 Tujuan .................................................................................................. 5

1.4 Manfaat ................................................................................................ 6

1.5 Metodologi Penelitian .......................................................................... 6

1.6 Sistematika Penyusunan ....................................................................... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORITIS

2.1 Sistem PLTU ...................................................................................... 9

2.1.1 Sistem bahan bakar minyak ....................................................... 10

2.1.2 Sistem batubara ......................................................................... 11

2.1.3 Siklus air umpan ....................................................................... 12

2.1.4 Sistem udara pembakaran .......................................................... 15

2.1.5 Siklus uap .................................................................................. 16

2.1.6 Siklus Air Pendingin.................................................................. 19

2.1.7 Sistem Gas Buang...................................................................... 19

2.1.8 Sistem Penanganan Abu ............................................................ 21

2.1.9 Sistem Penanganan Air Limbah ................................................ 22

2.1.10 Generator ................................................................................. 22

2.1.11 Sistem Transmisi ..................................................................... 24

2.2 Sulfur Dioksida dan Regulasinya ....................................................... 26

2.3 Penanganan Emisi SO2 dari Pembangkit Listrik

2.3.1 Pendahuluan .............................................................................. 29

2.3.2 Teknologi pengendalian SO2 ..................................................... 31

2.3.3 Sistem penyaringan kering untuk pengendalian SO2 ............... 34

2.3.4 Desulfurisasi gas buang dengan sistem FGD ............................ 35

2.3.5 Scrubbers sistem semprot kering untuk kontrol SO2 ................. 36

2.3.6 Scrubbers sistem basah untuk pengendalian SO2 ...................... 37

Page 18: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

xviii

2.4 Sistem FGD pada PLTU Tanjung Jati B Unit 1 ................................. 39

2.4.1 Limestone handling and storage ................................................ 42

2.4.2 Reagent preparation ................................................................... 44

2.4.3 Absorber area system ............................................................... 49

2.4.4 Dewatering system .................................................................... 56

2.4.5 Water system ............................................................................. 58

2.5 Kasus Sulfite Blinding pada Sistem FGD di PLTU

Tanjung Jati B Unit 1

2.5.1 Pendahuluan .............................................................................. 60

2.5.2 Indikasi terjadinya sulfite blinding ............................................ 62

2.5.3 Penyebab terjadinya sulfite blinding ........................................ 62

2.5.4 Akibat dari sulfite blinding dan pengaruhnya

terhadap efisiensi SO2 removal ................................................ 65

BAB III DATA DAN ANALISIS

3.1 Tujuan pengujian ................................................................................ 67

3.2 Data saat terjadi sulfite blinding ........................................................ 67

3.3 Perhitungan

3.3.1 Perhitungan efisiensi SO2 removal ............................................ 70

3.3.2 Perhitungan laju massa udara oksidasi optimum....................... 71

3.4 Grafik .................................................................................................. 76

3.5 Analisis Data ...................................................................................... 77

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan ......................................................................................... 79

DAFTAR PUSTAKA

Page 19: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pada Juni 1992 bertempat di Rio de Janeiro, Brasil, Indonesia turut serta

dalam Konferensi Tingkat Tinggi tentang Lingkungan dan Pembangunan yang

diselenggarakan oleh PBB. Konferensi tersebut selanjutnya ditindaklanjuti

dengan diselenggarakannya beberapa konvensi terkait lingkungan, dan salah

satunya adalah Konvensi Perubahan Iklim yang melahirkan Protokol Kyoto.

Agenda terpenting dari keputusan Protokol Kyoto pada tahun 1997

adalah usaha untuk mengurangi gas-gas pencemar, yaitu CO2, NOx, dan SO2,

dan selanjutnya keputusan diperluas menyangkut negara-negara berkembang

pada Konvensi Copenhagen pada Desember 2009.

CO2, NOX, dan SO2, atau yang lebih dikenal dengan sebutan gas rumah

kaca, merupakan polutan udara yang saat ini mendominasi. Keberadaannya di

alam saat ini makin meningkat, seiring dengan laju pertumbuhan industri,

melebihi kadar yang seharusnya. Sehingga terjadilah ketidakseimbangan alam.

Kontributor utama yang menyebabkan meningkatnya kadar gas-gas tersebut

yaitu pembakaran bahan bakar fosil, seperti minyak dan batubara.

Dengan ketersediaan sumberdaya alam batubara yang melimpah, lebih

dari 75% suplai energi listrik di Indonesia disediakan oleh pembangkit listrik

berbahan bakar batubara. Angka tersebut diperkirakan akan naik, mengingat

pemerintah saat ini telah mencanangkan program PLTU 10.000 MW tahap I,

dimana akan dibangun 35 PLTU yang tersebar di seluruh Indonesia.

Page 20: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

2

Gambar 1.1 Grafik Kapasitas Pembangkit Listrik Indonesia berdasarkan Bahan

Bakar

(Sumber: indone5ia.files.wordpress.com)

Padahal batubara merupakan bahan bakar fosil yang pembakarannya

menghasilkan gas-gas polutan yang sangat berbahaya bagi lingkungan. Salah

satunya adalah SO2 atau sulfur dioksida, yang menyebabkan terjadinya hujan

asam. Sulfur dalam batubara yang terbakar akan bereaksi dengan oksigen

sehingga menghasilkan SO2 pada gas buangnya. Bila tidak dilakukan

pengontrolan dan upaya untuk mengurangi kadar SO2, akan sangat berbahaya

bagi lingkungan dan nantinya juga akan berdampak buruk pada manusia.

Pembakaran batu bara dengan kadar sulfur tinggi akan menghasilkan

SO2 dalam jumlah besar dan dapat membahayakan lingkungan. Contoh kasus

di Provinsi Zheijiang (Cina), dilaporkan bahwa pada tahun 1998 telah terjadi

pencemaran udara akibat pembakaran batubara. Emisi gas SO2 mencapai 620

ribu ton dan asap debu 350 ribu ton serta hujan asam mencakup hingga 96%

area provinsi tersebut dengan pH berkisar 4,05 – 4,76. Begitu krusialnya

dampak yang diakibatkan oleh pencemaran sulfur dioksida sehingga

dikeluarkan regulasi untuk mengaturnya.

Page 21: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

3

Untuk dapat memenuhi peraturan tentang emisi udara, terutama saat

harus membakar batu bara dengan kadar sulfur tinggi, diperlukan peralatan

yang mampu menurunkan SO2 sebesar 90% atau lebih. Salah satu upaya yang

cukup efektif untuk mengurangi kadar SO2 pada gas buang adalah dengan

penyerapan menggunakan Flue Gas Desulfurization atau FGD. Melalui reaksi

kimia antara SO2 yang bersifat asam dengan batu kapur yang bersifat alkali,

kadar SO2 pada gas buang terbukti dapat menurun.

Di Indonesia sendiri belum banyak PLTU yang memiliki FGD. Tercatat

PLTU yang telah menggunakan teknologi FGD adalah PLTU Tanjung Jati B

dan PLTU Paiton. FGD yang digunakan di Tanjung Jati B dan Paiton berbeda

jenisnya. Pada PLTU Tanjung Jati B, digunakan jenis Wet Flue Gas

Desulfurization, sedangkan Paiton menggunakan jenis Dry Flue Gas

Desulfurization. Perbedaan mengenai kedua jenis tersebut akan dijelaskan

pada bab selanjutnya.

Dalam pengoperasian FGD, terdapat beberapa masalah yang kerap

terjadi dan itu sangat mengganggu. Karena di Indonesia pengetahuan akan

sistem FGD masih sangat terbatas, masalah-masalah yang sering terjadi

terkadang mengharuskan perusahaan mendatangkan ahli dari luar negeri,

biasanya dari perusahaan asing yang memproduksi FGD.

Salah satu kasus yang sering terjadi pada sistem FGD di PLTU Tanjung

Jati B adalah sulfite blinding, yaitu berkurangnya kemampuan batu kapur

dalam menyerap sulfur, diakibatkan permukaan batu kapur yang tertutupi oleh

sulfit. Sulfit merupakan produk yang tak diinginkan dalam sistem FGD karena

sifatnya yang lengket dan mudah mengeras sehingga menyebabkan

Page 22: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

4

pengerakan dan penyumbatan pada komponen-komponen FGD. Sulfit

terbentuk dari hasil reaksi absorpsi antara batu kapur dan sulfur. Untuk

mengubah sulfit menjadi sulfat, diperlukan reaksi kedua yaitu reaksi oksidasi.

Pada reaksi oksidasi, sulfit akan ditambah dengan udara oksidasi sehingga

akan menjadi sulfat yang merupakan bahan dasar pembuatan gipsum.

Bila reaksi oksidasi tak lancar, proses konversi sulfit menjadi sulfat pun

menjadi tersendat. Akibatnya, sulfit menumpuk. Karena sifatnya yang lengket

dan mudah mengeras itulah sulfit dapat mengurangi permukaan aktif dari batu

kapur, menyebabkan kemampuan menyerap sulfurnya berkurang. Akibat lebih

lanjutnya, kadar sulfur dalam gas buang tidak akan terserap banyak, sehingga

nantinya gas buang masih mengandung kadar sulfur yang amat tinggi.

Untuk itulah penanganan dan pencegahan terhadap sulfite blinding

sangat diperlukan demi tercapainya efisiensi penyerapan sulfur yang tinggi

sehingga gas buang relatif lebih bersih dan tidak melebihi ambang batas yang

telah ditetapkan pemerintah.

1.2 Ruang Lingkup

Penelitian dilakukan di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tanjung

Jati B unit 1. Maka dari itu sistem yang akan dijelaskan, termasuk sistem

produksi listrik adalah sistem yang digunakan di PLTU Tanjung Jati B.

Penelaahan dan kajian lebih mendalam tentang sistem FGD juga

dititikberatkan pada sistem yang digunakan di PLTU Tanjung Jati B. Kajian

meliputi sistem secara umum atau penjelasan cara kerja sistem.

Page 23: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

5

Rincian lingkup yang akan menjadi pembahasan dalam Tugas Akhir ini

adalah sebagai berikut:

1. Kajian pustaka mengenai sulfur dioksida dan regulasi yang

mengaturnya.

2. Kajian mengenai sistem Wet Flue Gas Desulfurization yang

digunakan di PLTU Tanjung Jati B.

3. Kajian mengenai kasus sulfite blinding dan pengaruhnya terhadap

efisiensi penyerapan sulfur dioksida di PLTU Tanjung Jati B unit 1

pada Bulan November tahun 2012.

1.3 Tujuan

Tujuan dibuatnya Tugas Akhir terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Tujuan akademis

a. Sebagai syarat untuk menyelesaikan program studi Diploma

III.

b. Sebagai laporan dari implementasi ilmu yang telah didapat di

bangku perkuliahan.

2. Tujuan penelitian

a. Untuk mengetahui pengaruh terjadinya sulfite blinding

terhadap efisiensi penyerapan sulfur dioksida.

b. Untuk menghitung laju massa aliran udara oksidasi yang

optimum agar reaksi oksidasi sempurna sehingga tidak terjadi

sulfite blinding.

Page 24: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

6

1.4 Manfaat

Dengan disusunnya Tugas Akhir ini, diharapkan terdapat manfaat-

manfaat yang bisa diambil, antara lain adalah:

1. Mengenalkan Sistem Flue Gas Desulfurization yang masih tergolong

baru di Indonesia untuk Program Studi Teknik Konversi Energi pada

khususnya, dan untuk Politeknik Negeri Semarang pada umumnya.

2. Tercapainya tujuan dari dunia industri untuk menghasilkan gas

buang yang lebih bersih dan ramah lingkungan, sehingga proses

produksi dan keseimbangan alam dapat terjaga.

1.5 Metodologi Penelitian

Dalam penyusunan Tugas Akhir ini, metode-metode yang digunakan

untuk mengumpulkan bahan dan data antara lain:

1. Studi pustaka

Studi pustaka dilakukan untuk mencari referensi yang menunjang

penyusunan laporan. Referensi bisa berbentuk buku, manual book,

buklet, arsip hasil pengujian, serta informasi-informasi dari internet.

Studi pustaka dilakukan sebelum terjun ke lapangan untuk observasi

langsung dan setelah observasi.

2. Observasi

Pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan secara langsung ke

lapangan dan pengamatan secara tidak langsung. Pengamatan

langsung dilakukan selama beberapa kali, sesuai dengan

kelengkapan data yang dibutuhkan. Sedangkan pengamatan secara

Page 25: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

7

tidak langsung adalah dengan melihat arsip data yang ada di PLTU

Tanjung Jati B.

3. Wawancara

Wawancara juga dilakukan dalam rangka pengumpulan data.

Wawancara dilakukan antara lain dengan mentor atau pembimbing

lapangan.

1.6 Sistematika Penyusunan

Sistematika penyusunan laporan Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Bab ini berisi latar belakang masalah, ruang lingkup,

tujuan, manfaat, metodologi penelitian, serta sistematika

penyusunan itu sendiri.

Bab II Tinjauan Pustaka dan Landasan Teoritis

Dalam bab II ini dibahas mengenai proses produksi listrik

di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tanjung Jati B,

mulai dari sistem bahan bakar hingga sistem distribusi

energi. Selanjutnya dibahas mengenai sistem flue gas

desulfurization yang digunakan di PLTU Tanjung Jati B.

Pada bab ini juga dibahas mengenai sulfite blinding dan

pengaruhnya terhadap efisiensi penyerapan SO2.

Page 26: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

8

Bab III Data dan Analisis

Bab ini berisi data saat terjadinya sulfite blinding, grafik,

dan perhitungan laju udara oksidasi. Selain itu hasil analisis

data juga dicantumkan.

Bab IV Penutup

Bab ini berisi kesimpulan dari Tugas Akhir ini dan saran

terkait dengan permasalahan yang diangkat.

Daftar Pustaka

Berisi daftar buku atau referensi yang digunakan sebagai

penunjang dalam penyusunan Tugas Akhir ini.

Page 27: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN

TEORITIS

2.1 Sistem PLTU

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara merupakan suatu

sistem konversi energi, diawali dari energi kimiawi yang tersimpan pada

batubara diubah menjadi energi panas melalui sistem pembakaran. Energi

panas ini digunakan untuk mengubah air menjadi uap dengan suhu dan

tekanan yang tinggi. Kemudian energi panas pada uap akan mampu memutar

sudu turbin sehingga terjadilah konversi energi panas menjadi energi kinetik.

Turbin yang telah dikopel dengan generator otomatis juga akan membuat

generator berputar. Pada generator inilah listrik dihasilkan dan langsung

disalurkan. Masing-masing unit di PLTU Tanjung Jati B berkapasitas sebesar

710 MW. Namun karena ada pemakaian sendiri, daya yang ditransmisikan

menjadi sebesar 660 MW. Total kapasitas PLTU Tanjung Jati B adalah 4x660

MW.

Dalam prosesnya, PLTU terdiri dari beberapa siklus dan sistem, yaitu:

1. Sistem bahan bakar minyak

2. Sistem bahan bakar utama (batubara)

3. Siklus air umpan

4. Sistem udara pembakaran

5. Siklus uap

6. Siklus air pendingin

Page 28: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

10

7. Sistem gas buang

8. Sistem penanganan abu

9. Sistem penanganan air limbah

10. Generator

11. Sistem transmisi

Gambar 2.1 Skema proses produksi listrik di PLTU Tanjung Jati B

(Sumber: Dokumen PT PLN Tanjung Jati B)

2.1.1 Sistem bahan bakar minyak

PLTU Tanjung Jati B menggunakan bahan bakar minyak HSD (High

Speed Diesel) sebagai sistem starting. Minyak digunakan sebagai bahan bakar

saat beban dibawah 160 MW serta digunakan saat terjadi gangguan. PLTU

Tanjung Jati B bekerja sama dengan PT Pertamina untuk suplai minyak.

Page 29: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

11

Minyak dari truk tangki dibongkar dan disimpan dalam oil tank. Dengan

boiler oil pump, minyak menuju boiler dan dinyalakan dengan ignitor. Pada

ignitor, minyak akan diatomisasi untuk memudahkan proses penyalaan.

2.1.2 Sistem batubara

PLTU Tanjung Jati B merupakan pembangkit tenaga listrik dengan

bahan bakar utama batubara. Batubara yang digunakan di PLTU Tanjung Jati

B adalah jenis sub bituminous coal yang disuplai oleh PT Kaltim Prima Coal,

PT Indominco Mandiri, PT Wijaya Karya Intrade dan PT Berau Coal, dikirim

dengan menggunakan Kapal Panamax berkapasitas 60.000-70.000 ton.

Coal handling adalah fasilitas penunjang terhadap kelangsungan

produksi listrik dari PLTU Tanjung Jati B. Penerimaan batubara dari supplier

batubara dilakukan di jetty (dermaga) atau pelabuhan khusus yang luas

dermaganya adalah 279,9 m x 27 m. Akses menuju dermaga tersebut

menggunakan jalan akses sepanjang 1,37 km yang membentang dari dari garis

pantai.

Peralatan utama untuk membongkar batubara terdiri dari 2 unit shunlo

(ship unloader) dan 2 line conveyor. Kemudian diangkut dengan

menggunakan jetty pada ship unloader. Selanjutnya menggunakan belt

conveyor dengan kapasitas 1500 ton/jam, menuju ke coal stockpile (coal

yard). Coal yard di PLTU Tanjung Jati berkapasitas 660.000 ton, yang

mampu menampung konsumsi batubara selama 2 bulan. Dari coal yard

batubara didistribusikan dengan stacker reclaimer (pengeruk) dan sistem

conveyor dengan kapasitas 1500 ton/jam menuju crusher untuk dihancurkan.

Page 30: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

12

Pecahan batubara ditampung pada silo yang kapasitasnya 550 ton untuk diatur

pemakaiannya sesuai kebutuhan bahan bakar saat itu di coal feeder dan

selanjutnya masuk pulverizer.

Di pulverizer terjadi penggerusan batubara untuk mengubah batubara

ukuran sekitar 20 mm menjadi berukuran 200 mesh atau sebesar 0,074

milimeter sebanyak minimal 70%. Penggerusan ini berfungsi untuk

memaksimalkan luas permukaan kontak pembakaran dari partikel batubara.

Selanjutnya hasil penggerusan batubara dihembuskan dengan udara

bertemperatur sekitar 60 °C menuju ruang bakar. Tepung batubara dihembus

dengan udara dari primary air fan ke ruang bakar boiler dan terbakar

bercampur dengan udara pembakaran dari forced draft fan.

Gambar 2.2 Skema coal handling

(Sumber: Dokumen PT PLN Tanjung Jati B)

Page 31: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

13

2.1.3 Siklus air umpan

Uap yang digunakan untuk memutar turbin merupakan hasil pemanasan

dari air umpan yang berasal dari laut. Namun sebelum digunakan sebagai air

umpan atau feed water, terlebih dahulu air harus ditreatment untuk memenuhi

standar baku. Standar utama yang harus dipenuhi adalah air harus bebas dari

mineral dan oksigen serta berbagai senyawa bawaan. Karena akan sangat

berbahaya bagi komponen-komponen PLTU terutama turbin bila air umpan

mengandung berbagai senyawa yang tak diinginkan.

Air bebas mineral didapatkan melalui sistem pemurrnian air laut yang

diproses di Water Treatment Plant.

Proses desalinasi adalah proses pemisahan air laut dari kandungan

garamnya. Service water merupakan air yang telah dihilangkan kandungan

garamnya melalui proses reverse osmosis sehingga dapat digunakan untuk

mencukupi kebutuhan di PLTU. Sedangkan proses demineralisasi adalah

proses pemurnian service water dari kandungan mineral-mineral untuk

menjadi make up water.

Page 32: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

14

Sea Water

Pre-Treatment

Reserve Osmosis Service Water

Desalination Plant

KationAnionMixed Bed Polisher

Make Up Water

Demineralized Plant

Gambar 2.3 Skema proses water treatment

(Sumber: PT PLN Tanjung Jati B)

Air yang telah murni dari water treatment plant selanjutnya dipompakan

ke kondenser. Dengan bantuan pompa vakum, uap keluaran low pressure

turbine akan turun ke kondenser. Dalam kondenser, terjadi perpindahan panas

secara tidak langsung melalui pipa-pipa. Air pendingin atau cooling water

yang melalui pipa-pipa kondenser bersuhu rendah sehingga dapat

mendinginkan uap dan uap terkondensasi menjadi cair. Air hasil ekstraksi

tersebut bercampur dengan make up water yang berasal dari water treatment

plant. Berikut adalah spesifikasi kondenser yang digunakan pada PLTU

Tanjung Jati B unit 1 dan 2.

Condenser vacuum : 0.0832 Bar abs

Inlet C.W. Temp. : 29.2 ⁰C

Output C.W. Temp. : 36.2 ⁰C

Page 33: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

15

Circulating water flow : 1,780 m3/mnt

Type circulating water : Sea water

Number of tubes : 34,074

Tube surface area : 27.523 m2

Dari kondenser, air dipompa oleh Condenser Extraction Pump menuju

Low Pressure Pre Heater atau LP Heater 1, LP Heater 2, dan LP Heater 3

sebagai pemanasan awal. Selanjutnya, air menuju deaerator untuk dihilangkan

kandungan oksigennya. Oksigen tak diinginkan karena dapat merusak turbin

secara lebih cepat akibat proses oksidasi.

Dari deaerator, air dipompakan menuju HP Heater 5, HP Heater 6, dan

HP Heater 7 untuk dipanaskan lagi menggunakan boiler feed pump dengan

spesifikasi sebagai berikut:

Number : 3 x 50%

Capacity : 21.5 m3/min at 174.3 ⁰C

Driver Output : 9000 kW

Driver Speed : Electric motor driven variable speed

Air umpan sebelumnya dipanaskan agar proses penguapan di boiler

dapat berlangsung lebih cepat, sehingga menambah efisiensi. Proses

pemanasan adalah dengan menggunakan sebagian uap keluaran turbin.

Setelah melewati feed water heater, air menuju economizer untuk

pemanasan lebih lanjut dan selanjutnya menuju steam drum. Dari steam drum,

air yang sudah berubah menjadi uap akan melalui super heater dan menuju ke

turbin. Proses tersebut terjadi secara kontinu sehingga membentuk siklus.

Page 34: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

16

2.1.4 Sistem udara pembakaran

Udara yang akan disuplai ke ruang pembakaran terlebih dahulu

dipanaskan agar mencapai efisiensi pembakaran yang baik. Pemanasan

dilakukan oleh air heater dengan cara konduksi dengan memanfaatkan panas

dari gas buang sisa pembakaran didalam furnace.

Udara yang akan digunakan untuk pembakaran terbagi menjadi dua

saluran. Yang pertama melalui primary air fan atau PA Fan. PA Fan

berfungsi menghasilkan primary air yang berfungsi antara lain untuk:

Mensirkulasikan batubara didalam pulverizer

Membantu mengeringkan batubara

Mendorong batubara dari pulverizer ke burner

Primary air berkontribusi sekitar 25% dari total udara pembakaran yang

dibutuhkan.

Sedangkan saluran kedua, udara melewati forced draft fan. FD Fan

berfungsi menghasilkan secondary air untuk mensuplai udara langsung ke

ruang pembakaran. Secondary air adalah udara yang digunakan untuk proses

pembakaran. Sekitar 66% udara yang digunakan untuk proses pembakaran

adalah secondary air.

2.1.5 Siklus uap

Uap merupakan fluida kerja yang menggerakkan turbin. Uap pada PLTU

berasal dari hasil pemanasan air umpan di dalam boiler. Karena pemanasan

tersebut, air berubah fase menjadi uap dan nantinya tekanannya akan

dinaikkan sehingga memiliki energi yang cukup untuk menggerakkan turbin.

Page 35: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

17

Boiler Feed Pump adalah pompa yang berfungsi untuk mengalirkan air

umpan menuju boiler. Air pada tekanan 2 bar dinaikkan tekanannya menjadi

170 bar oleh BFP. Sebelum masuk ke dalam boiler, air dipanaskan dengan

menggunakan HP heater 5, HP heater 6, HP heater 7. Penambahan temperatur

pada HP Heater 5, 6, dan 7 menggunakan uap yang dibocorkan dari HP

Turbine yang disebut juga Extraction. Heater berfungsi untuk menaikkan

temperatur air umpan sebelum masuk ke boiler. Dengan heater, efisiensi

pemanasan akan meningkat.

Pada economizer, temperatur air kembali dinaikkan. Economizer terletak

di dalam boiler yang kalornya didapat dari pembakaran boiler. Setelah melalui

economizer, uap dimasukan ke steam drum yang fungsinya untuk memisahkan

antara uap dengan air. Air dari steam drum akan dialirkan menuju wall tube

pada boiler untuk dipanaskan agar menjadi uap. Sedangkan uap dari steam

drum langsung dipanaskan dengan menggunakan super heater agar temperatur

naik dan menjadi uap superheat.

Uap superheat dengan temperatur sekitar 541°C dan tekanan 174 bar

digunakan untuk memutar High Pressure Turbine (HP Turbine) melalui Main

Control Valve (MCV). MCV dikontrol secara otomatis secara motorized

berdasarkan beban. Saat start up, turbin tidak digerakkan oleh uap melainkan

dengan turning motor. Setelah uap siap, yaitu uap dengan tekanan 174 bar dan

temperatur 541⁰ C, MCV akan dibuka.

Uap akan mengalami penurunan temperatur dan tekanan setelah

menumbuk sudu HP Turbine, untuk itu uap dialirkan ke reheater agar

temperatur uap kering dapat naik kembali menjadi sekitar 539 °C dengan

Page 36: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

18

tekanan sekitar 37,9 bar. Kemudian uap tersebut digunakan untuk memutar

Intermediate Pressure Turbine (IP Turbine), setelah itu uap kering langsung

digunakan untuk memutar Low Pressure Turbine (LP Turbine).

PLTU menggunakan turbin multi stage untuk memaksimalkan

pemanfaatan uap sehingga efisiensi dapat meningkat. HP, IP, dan LP Turbine

dikopel sehingga seporos.

Uap kering yang telah melalui serangkaian proses tersebut, masuk ke

dalam kondenser untuk didinginkan dengan cooling water yang berasal dari

air laut dengan menggunakan proses heat exchanger secara cross flow. Setelah

itu uap berubah menjadi air kembali. Pada kondenser diberikan penambahan

air yang disebut make up water untuk menambah jumlah feed water karena

pada proses blowdown terjadi pembuangan uap.

Untuk menjaga kualitas dari uap dan air yang disirkulasikan, dilakukan

sistem blowdown, yaitu membuang sebagian kecil uap melalui suatu katup

bernama blowdown valve. Tujuan dari blowdown adalah untuk menjaga agar

uap yang disirkulasikan benar-benar tidak mengandung oksigen atau senyawa

lain yang tak diinginkan yang dapat merusak turbin.

Tekanan pada boiler dibuat negatif, agar tidak terjadi radiation loss.

Radiation loss adalah hilangnya panas yang harus disalurkan akibat panas

berpindah ke permukaan pipa.

Berikut adalah gambar diagram T-S dan skema siklus uap di PLTU

Tanjung Jati B.

Page 37: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

19

Gambar 2.4 Skema siklus uap

(Sumber: Dokumen PT PLN Tanjung Jati B)

Gambar 2.5 Diagram T-S

(Sumber: Dokumen PT PLN Tanjung Jati B)

Page 38: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

20

2.1.6 Siklus air pendingin

Air pendingin dibutuhkan untuk mengkondensasikan uap keluaran Low

Pressure Turbine sehingga air hasil ekstraksi bisa dialirkan kembali untuk

menjadi air umpan boiler.

Air pendingin tersebut diambil dari laut oleh cooling water pump dan

dipompakan menuju kondenser. Pada kondenser, air dialirkan dalam pipa-pipa

yang berfungsi sebagai alat penukar panas (heat exchanger) dan langsung

mengalir keluar menuju saluran cooling water outfall.

2.1.7 Sistem gas buang

Gas sisa pembakaran dari boiler dilewatkan air preheater, dimanfaatkan

panasnya untuk meningkatkan suhu udara pembakaran. Setelah itu, gas buang

menuju ke ESP atau Electronic Precipitator. ESP adalah komponen yang

berfungsi untuk menyerap abu sisa pembakaran dalam gas buang sebelum gas

buang ditreatment lebih lanjut. Abu yang terkandung dalam gas buang apabila

tidak dihilangkan akan mencemari lingkungan.

Pada ESP, gas buang dilewatkan pada suatu medan listrik yang

terbentuk diantara discharge electrode dengan collector plate. Flue gas yang

awalnya bermuatan netral, setelah melewati medan listrik akan terionisasi

sehingga menjadi bermuatan negatif. Partikel debu yang bermuatan negatif

akan menempel pada collector plate. Debu yang terkumpul pada collector

plate kemudian dipindahkan secara periodik melalui suatu getaran (rapping)

dari collector plate ke pengumpul debu (ash hopper) dan kemudian

dipindahkan ke fly ash silo.

Page 39: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

21

Setelah melalui ESP, flue gas masih harus melalui FGD atau Flue gas

Desulfurization untuk dihilangkan kandungan sulfurnya. Kandungan sulfur

pada flue gas sangat berbahaya apabila dilepaskan begitu saja ke atmosfer

karena dapat menyebabkan hujan asam. Pada FGD, kandungan sulfur pada

flue gas dinetralisir dengan semprotan kapur secara counter flow.

Setelah melalui FGD, flue gas menuju ke stack atau cerobong untuk

dilepaskan ke atmosfer.

Gambar 2.6 Skema alur flue gas

(Sumber: PT PLN Tanjung Jati B)

2.1.8 Sistem penanganan abu

Sistem penanganan abu pada PLTU Tanjung Jati B terbagi menjadi 2

bagian. Yang pertama, penanganan abu dasar, menggunakan submerged

charged chain conveyor (konveyor pengeruk) yang berada dibawah ruang

Page 40: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

22

pembakaran dan terendam air. Dari konveyor, abu dasar dicurahkan ke area

penampungan, untuk kemudian diambil oleh loader dan dikirim menggunakan

truk menuju ke area penimbunan.

Yang kedua adalah fly ash yang terdapat pada flue gas. Fly ash pada flue

gas ditangkap dan dikumpulkan oleh electronic precipitator. Dari ESP, fly ash

dikumpulkan ke truk tertutup untuk diangkut menuju tempat pembuangan abu

atau dibawa ke industri semen.

2.1.9 Sistem penanganan air limbah

Pada beberapa bagian dari saluran air terdapat katup blowdown untuk

pembersihan. Air keluaran blowdown tersebut langsung menuju ke retention

basin.

Retention basin adalah tempat penampungan air-air buangan atau limbah

dari berbagai komponen PLTU. Flue Gas Desulfurization juga menghasilkan

air limbah yang menuju ke retention basin.

Air-air buangan lainnya antara lain berasal dari air buangan tungku, air

limpasan dari sistem penanganan batubara, air limpasan penanganan abu, dan

lain-lain.

Di retention basin, air kemudian menuju ke Waste Water Treatment

Plant (WWTP) untuk dinetralkan pada neutralization basin. Setelah air

menjadi netral, langsung menuju ke discharge atau saluran keluaran.

Terdapat alat yang digunakan untuk memantau proses dan memantau

kualitas air yang dibuang. Bila air keluaran ternyata tidak memenuhi standar

baku mutu maka akan dikembalikan lagi untuk diproses ulang.

Page 41: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

23

2.1.10 Generator

Generator adalah mesin konversi energi yang mengubah energi kinetik

menjadi energi listrik. Rotor generator terpasang 1 poros dengan rotor turbin

sehingga putaran rotor generator sama dengan putaran rotor turbin yaitu

sebesar 3.000 rpm yang ekuivalen dengan keluaran frekuensi energi listrik

sebesar 50 Hz.

Saat berputar, medan magnet pada rotor generator memotong penghantar

pada lilitan-lilitan stator sehingga menimbulkan tegangan pada stator

generator mengacu pada induksi elektromagnetik. Arus listrik mengalir saat

generator terhubung ke beban. Besarnya arus listrik yang mengalir tergantung

pada besarnya hambatan listrik (resistansi) pada beban. Pengaturan tegangan

dan arus listrik akan dilakukan dengan menggunakan transformator (trafo)

step up/down.

Generator di PLTU Tanjung Jati B berjumlah 4 unit, merupakan

generator sinkron 3 phasa yang menghasilkan masing-masing 22,8 kV.

Kemudian dinaikkan menggunakan generator transformer menjadi 2 x 500 kV

untuk dikirim menuju Ungaran dan 2 x 150 kV untuk dikirim ke Jepara.

Adapun Spesifikasi Generator yang digunakan di PLTU Tanjung Jati B:

Type : 3 phase synchronous generetor totally enclosed

Stator Wind. Cool. : Direct water cooled

Stator Core Cooling : Hydrogen cooled

Rotor Wind. Cool. : Direct hydrogen cooled

Excitation System : Static excitation with thyristor rectifier

Active Power : 721.8 MW

Apparent Power : 802 MVA

Page 42: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

24

Power Factor : 0.9 (lag) – 0.95 (lead)

Voltage : 22.8 kV

Speed Rotation : 3,000 rpm

Frequency : 50 Hz

Rated H2 Pressure : 4.4 barg

2.1.11 Sistem transmisi

Sistem transmisi Tanjung Jati B adalah proses penyaluran listrik yang

dihasilkan PLTU Tanjung Jati dari generator yang diputar oleh turbin.

Listrik yang dihasilkan PLTU Tanjung Jati B dikirim ke gardu induk

(GI) Ungaran melalui 500kV line. Untuk sistem SUTET (Saluran Udara

Tegangan Ekstra Tinggi) 500 kV diturunkan kembali dengan Trafo IBT

500/150 kV menjadi 150 kV menuju GI Jepara dan sistem 20 kV melalui

Town Feeder Trafo 150/20 kV untuk Jaringan Distribusi 20 kV sekitar PLTU

Tanjung Jati B.

Arus pada generator di PLTU Tanjung Jati B adalah 800 A. Sedangkan

arus maksimal pada line sistem transmisinya hingga 2500 A. Excitation

System pada masing-masing unit pembangkit mempunyai trafo step-down dari

22.8 kV yang dihasilkan oleh generator diturunkan menjadi 890 V untuk

sistem penguatan generator.

Pada sistem di Unit Transformator A (UTA) dan Unit Transformator B

(UTB), 22.8 kV yang dibangkitkan diturunkan menjadi 10.5 kV untuk

membangkitkan peralatan pada Unit tersebut yang dayanya hingga 50 MVA.

Daya yang dibangkitkan PLTU Tanjung Jati B adalah 710 MW untuk

setiap unitnya, tetapi sekitar 50 MW digunakan untuk membangkitkan

Page 43: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

25

peralatan. Jadi daya bersih yang dihasilkan PLTU Tanjung Jati B adalah 4 x

660 MW.

G G GG

Ungaran Ungaran 1

1

2

2

JeparaJepara

IBT 1 IBT 2Arus

max

2500 A

Arus

Min

250 A

GT GT GT GT

1 2 3 4

U .1 U. 2 U. 3 U. 4

CB

CB

500/150 KV

22.8/

528 KV

22.8 KV800 A 59 KVA 59 KVA

22.8/10.5 KV

UTA UTB

22.8/

890 V

EXITATION

SYSTEM

CB

Transmission Line of TJB

Gambar 2.7 Transmission Line PLTU TJB

(Sumber: Dokumen PT PLN Tanjung Jati B)

Spesifikasi generator transformer yang digunakan adalah:

Rated power : 786 MVA at 65 oC winding temp.

Phase : 3

Voltage : 22.8/525 kV

Vector Groups : YNd11

Cooling : ODAF

Tap Changer : NO-LOAD, + 5 %, 5 steps

Page 44: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

26

PLTU Tanjung Jati B sendiri sejak tahun 2006 telah mensuplai sekitar

7% dari total kebutuhan listrik Jawa-Madura-Bali. Dan setelah unit 3 dan 4

dioperasikan, PLTU Tanjung Jati B berkontribusi sekitar 11,5% dari total

kebutuhan listrik Jawa-Madura-Bali.

Gambar 2.8 Posisi PLTU TJB di sistem transmisi Jawa-Bali

(Sumber: Dokumen PT PLN Tanjung Jati B)

2.2 Sulfur Dioksida dan Regulasinya

Pencemaran oleh sulfur oksida terutama disebabkan oleh 2 komponen

sulfur berbentuk gas yang tidak berwarna, yaitu sulfur dioksida (SO2) dan

sulfur trioksida (SO3), kedua gas tersebut dikenal dengan sulfur oksida (SOX).

Sulfur dioksida memiliki karakteristik bau yang tajam dan tidak mudah

terbakar di udara. Sedangkan sulfur trioksida merupakan komponen yang

tidak reaktif. Pembakaran bahan-bahan yang mengandung sulfur akan

menghasilkan kedua bentuk sulfur oksida, tetapi jumlah relatif masing-masing

tidak dipengaruhi oleh jumlah oksigen. Di udara SO2 selalu terbentuk dalam

jumlah yang besar. Jumlah SO3 yang terbentuk bervariasi antara 1-10 % dari

total SOX.

Page 45: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

27

Pengaruh utama polutan SO2 terhadap manusia adalah iritasi saluran

pernafasan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan

terjadi pada kadar SO2 sebesar 5 ppm atau lebih bahkan pada beberapa

individu yang sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm. SO2 dianggap

pencemar yang berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan

penderita yang mengalami penyakit kronis pada sistem pernafasan

kadiovaskular. Individu dengan gejala penyakit tersebut sangat sensitif

terhadap kontak dengan SO2, meskipun dengan kadar yang relatif rendah.

(jurnalingkungan.wordpress.com)

Tabel 2.1 Pengaruh sulfur dioksida berdasarkan kadarnya.

Konsentrasi

( ppm )

Pengaruh

3 – 5 Jumlah terkecil yang dapat dideteksi dari baunya

8 – 12 Jumlah terkecil yang segera mengakibatkan iritasi tenggorokan

20 Jumlah terkecil yang akan mengakibatkan iritasi mata

20 Jumlah terkecil yang akan mengakibatkan batuk

20 Maksimum yang diperbolehkan untuk konsentrasi dalam waktu lama

50 – 100 Maksimum yang diperbolehkan untuk kontrak singkat (30 menit)

400 -500 Berbahaya meskipun kontak secara singkat

Sumber: jurnalingkungan.wordpress.com

Page 46: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

28

Selain itu, pencemaran oleh sulfur dioksida sangat merusak lingkungan.

Adanya sulfur dioksida yang berlebih dalam udara dapat menyebabkan

terjadinya hujan asam. Salah satu sifat dari senyawa sulfur dioksida adalah

mudah larut dalam air dan membentuk asam sulfat. Jika asam sulfat bereaksi

dengan air maka akan menyebabkan terjadinya hujan asam (acid rain). Reaksi

kimia sulfur dioksida dengan air hujan adalah sebagai berikut:

2 SO2 + O2 → 2 SO3

SO3 + H2O → H2SO4

Asam sulfat merupakan asam kuat yang bersifat sangat korosif. Karena

sifat korosifnya ini, hujan asam dapat menyebabkan korosi pada berbagai

material baik dari peralatan maupun konstruksi. Asam sulfat juga dapat

menurunkan pH pada air dan tanah sehingga kualitas air dan tanah menjadi

menurun.

Batubara Indonesia memiliki kadar sulfur antara 0,3 – 6% dari beratnya.

Meski kandungan sulfur dalam batubara tersebut tergolong minor, bila

pembakaran dilakukan dalam kapasitas besar, hingga berton-ton per hari,

dapat menghasilkan sulfur dioksida dalam jumlah besar pula. Jika suatu bahan

batubara mengandung sulfur 1% maka dalam pembakaran batubara tersebut

sebanyak 100 ton per hari akan menghasilkan sulfur maksimal 1 ton,

membentuk gas SO2 maksimal 2 ton, membentuk polutan SO2 maksimal 0,1

ppm dalam 1,4 x 1010

m3 udara (Aladin, 2011).

Emisi SO2 telah diatur oleh provisi aturan CAAA (Clean Air Act

Amandment) pada tahun 1990. Clean Air Act sebenarnya disahkan pada tahun

1970, kemudian mengalami amandemen pada tahun 1977 dan amandemen

Page 47: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

29

terbaru pada tahun 1990. CAAA mengharuskan adanya penurunan emisi SO2

yang cukup tinggi dari boiler yang beroperasi pada tahun 2000 dan

mengumumkan penurunan setiap tahun sesudahnya.

Selain itu, Konferensi Tingkat Tinggi tentang Bumi (The Earth Summit)

di Rio de Janeiro pada Juni tahun 1992 telah menghasilkan ISO (International

Standard Organization) 14000 tentang Standar Sistem Manajemen

Lingkungan yang meliputi berbagai masalah terkait lingkungan, salah satunya

adalah emisi udara. (Murdiyoso, 2003)

Di Indonesia sendiri, Kementerian Lingkungan Hidup telah

mengeluarkan regulasi untuk mengatur dan membatasi emisi gas buang untuk

pembangkit listrik tenaga termal, termasuk yang berbahan bakar batu bara.

Dalam Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) no. 21 tahun 2008

tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Bagi Usaha dan/atau

Kegiatan Pembangkit Tenaga Listrik Termal, tertulis bahwa kadar SO2

maksimum yang diizinkan dalam gas buang Pembangkit Listrik Tenaga Uap

berbahan bakar batu bara adalah sebesar 750 mg/Nm3. Ambang batas tersebut

dapat dilampaui sampai batas 5% dari data rata-rata harian selama 3 bulan

operasi bila pembangkit tersebut telah memasang CEMS (Continuous

Emission Monitoring System) pada cerobongnya.

Page 48: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

30

2.3 Penanganan Emisi SO2 dari Pembangkit Listrik

2.3.1 Pendahuluan

Clean Coal Technology (CCT) Program atau program pemanfaatan

batubara bersih di Amerika Serikat merupakan suatu program hasil kerjasama

antara pemerintah dan swasta dalam membiayai program inovasi baru tentang

pemanfaatan batubara yang ramah lingkungan di berbagai lokasi di Amerika

Serikat. Proyek ini telah dilaksanakan dalam skala yang cukup besar untuk

menghasilkan informasi tentang pemanfaatan teknologi tersebut secara

komersial dan menghasilkan data-data pencemaran, data konstruksi, operasi,

dan evaluasi teknis serta ekonomis pada ukuran komersial secara penuh.

Tujuan dari CCT yang utama adalah menyediakan teknologi pemanfaatan

batubara yang efisien dan dapat memenuhi syarat-syarat standar lingkungan.

Teknologi ini diharapkan dapat mengatasi berbagai hambatan oleh syarat-syarat

standar lingkungan yang membatasi penggunaan batubara. Untuk mencapai

tujuan tersebut, sejak tahun 1985, lima program utama telah dirintis oleh

Departemen Energi Amerika Serikat (US DOE), khususnya Federal Energy

Technology Center (FETC). Proyek-proyek yang dipilih melalui tahap

penyaringan ini mendemonstrasikan pilihan teknologi yang dapat memenuhi

kebutuhan sektor energi dan memenuhi persyaratan lingkungan hidup. Sebagian

dari program ini adalah demonstrasi teknologi yang disebut sebagai proses Flue

Gas Desulfurization (FGD) yang dirancang untuk mengurangi emisi sulfur

dioksida dari pembangkit-pembangkit listrik berbahan bakar batubara.

Tiga buah proyek CCT yang telah selesai dan telah berhasil

memperlihatkan penurunan emisi SO2 melalui usaha-usaha inovasi pada proses

Page 49: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

31

FGD tersebut telah dibahas dalam sebuah laporan khusus. Tujuan dari ketiga

proyek tersebut adalah untuk memperoleh angka penurunan SO2 lebih dari 90%.

Sasaran ini dapat dicapai dengan mengurangi kadar SO2 hingga 98%.

Pemindahan partikel-partikel pengotor dengan tingkat efisiensi tinggi juga

berhasil diperoleh. (Abdulkadir, 2011)

2.3.2 Teknologi pengendalian emisi SO2

Sebagian besar teknologi untuk mengendalikan emisi SO2 menyangkut

pemakaian sistem penyerapan dengan senyawa berbasis kalsium dalam sistem.

Dalam kondisi normal, material ini akan bersenyawa dengan SO2 untuk

membentuk kalsium sulfit (CaSO3) yang kemudian teroksidasi menjadi kalsium

sulfat (CaSO4). Karena harganya yang murah, limestone dan lime adalah

material yang paling sering dipakai untuk penyerapan. Pada sebagian besar

pemakaian, penyerap (sorbent) ini dilarutkan dalam campuran slurry dengan air.

Kontak antara gas buang dengan slurry terjadi dalam alat yang disebut scrubber.

Atau dengan cara lain, sorbent atau penyerap disemprotkan langsung ke dalam

ruang bakar (furnace) atau ke dalam saluran gas buang.

Pengalaman untuk membersihkan SO2 dari gas buang yang berasal dari

batubara dilakukan antara tahun 1920-1930, pada saat instalasi pembersihan

(scrubber) dibangun di Inggris. Instalasi ini ditutup selama Perang Dunia II

sehingga sistem pembangkit listrik Inggris tidak mudah dideteksi oleh pasukan

Jerman yang dapat mengikuti arah asapnya. Scrubber pertama ini sudah mampu

mengurangi SO2 sebesar 90%. Teknologi scrubber terus dikembangkan hingga

tahun 1960 dengan pembangunan instalasi di Amerika Serikat, Eropa, dan

Page 50: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

32

Jepang. Akan tetapi, di Amerika Serikat, instalasi ini tidak dimanfaatkan dengan

baik sehingga diberlakukan Clean Air Act pada 1970.

Di Amerika Serikat, banyak pembangkit listrik yang dilengkapi dengan

scrubber pada tahun 1970 hingga awal 1980. Peralatan ini sebagian besar

dipasang pada pembangkit listrik yang baru dibangun karena belum ada

kewajiban menurut undang-undang untuk memasang scrubber pada instalasi-

instalasi lama yang sudah ada.

Sekitar tahun 1980, pembangunan pembangkit listrik menurun. Hal ini

menyebabkan pemasaran teknologi scrubber pindah ke luar negeri, dimana

terdapat perkembangan teknologi yang berbasis nol pencemaran lingkungan.

Namun saat ada keharusan untuk mengatasi hujan asam, sesuai dengan aturan

Clean Air Act Amandment (CAAA) tahun 1990, terjadi peningkatan pasar

terhadap teknologi scrubber di Amerika Serikat. Perkembangan teknologi

selanjutnya terus meningkatkan kinerja (performance) dan penurunan biaya.

Perkembangan teknologi pengurangan SO2 pada gas buang pada saat itu

terdiri dari antara lain:

a) Sistem injeksi penyerap (sorbent) kering dan semikering

Suatu kalsium reaktif atau sodium-based absorbent diinjeksikan ke dalam

economizer atau saluran gas buang, dimana partikel-partikel yang

disemprotkan bereaksi dengan SO2 sehingga dapat dipindahkan bersama

dengan fly ash dengan cara boilers pacticulate control device. Dua calcium

based sorbent yang paling sering digunakan adalah limestone, CaCO3, dan

slaked lime Ca (OH2). Limestone yang umumnya memerlukan suhu reaksi

yang tinggi, biasanya diinjeksikan kedalam sebagai bubuk kering (dry

Page 51: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

33

powder). Tetapi, sebaliknya, lime biasanya ditangani sebagai slurry yang

mengering seketika setelah diinjeksikan ke dalam aliran gas buang yang

panas. Metode ini disebut semi-dry scrubbing, yang mendominasi pasaran

sistem injeksi sorbent. Seluruh sistem semi-dry sorbent di Amerika Serikat

memakai lime dan fly ash yang didaur ulang (recycled) sebagai sorbent.

Sistem ini meliputi kurang lebih 8-10% dari seluruh instalasi FGD di

Amerika Serikat.

b) Produksi asam sulfat

Meskipun jarang dimanfaatkan, pendekatan lain adalah mengoksidasi SO2

menjadi SO3 melalui suatu katalisator dan mengabsorpsinya dalam air untuk

menghasilkan asam sulfat (H2SO4) yang memiliki nilai jual yang cukup

tinggi.

c) Teknologi FGD basah konvensional

Sistem FGD basah konvensional (conventional wet FGD technology) umum

didesain untuk penyerapan SO2 dengan efisiensi sekitar 90%, yang

merupakan level yang disyaratkan untuk memenuhi standar kualitas udara

saat membakar batubara dengan kadar sulfur yang tinggi.

Skema proses untuk sebagian besar sistem FGD jenis basah pada dasarnya

adalah: gas buang dari pengumpul partikulat mengalir kearah absorber SO2,

energi yang diperlukan untuk mengatasi sistem FGD pressure drop

diberikan oleh Induce Draft (ID) Fan. Didalam absorber, suatu varietas dari

teknologi yang spesifik mengatur kontak antara gas buang dengan cairan

slurry. Gas yang mengalir per unit luas penampang, yang menentukan

diameter scrubber, harus cukup rendah untuk meminimalkan hambatan.

Page 52: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

34

Karakteristik mass-transfer akan menghitung keperluan tingginya absorber.

Setelah kontak dengan slurry, flue gas yang telah dibersihkan melewati

eliminator bintik-bintik air yang membuang butiran-butiran kecil slurry saat

masuk. Eliminator bintik-bintik air perlu dibersihkan secara periodik dengan

air.

d) Inovasi teknologi FGD basah

Perubahan baru terhadap scrubbers yang ada sekarang signifikan dengan

teknologi wet scrubber pada tahun 1970. Wet scrubbers yang baru

mempunyai efisiensi lebih tinggi, harga lebih rendah, dan kompak. Scrubber

ini telah mengeliminasi permasalahan waste disposal system dengan

memakai sistem oksidasi limpahan kalsium sulfit menjadi gipsum

berkualitas tinggi. Sistem ini sangat reliable sehingga tidak diperlukan

sistem serap dan telah diterima dengan baik oleh industri pembangkit listrik

di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang, serta memenuhi syarat-syarat yang

ditetapkan dalam CAAA.

2.3.3 Sistem penyaringan kering untuk pengendalian SO2

Campuran cairan dan serbuk batubara diambangkan dan diputar dengan

memakai campuran kering untuk mereduksi SO2 didalam aliran gas buang,

bertempat di ruang pencampuran. Di dalam CFB (Circulating Fluidized Bed)

sistem campuran kering (dry scrubber process), cairan kapur diinjeksikan

langsung ke dalam CFB. Air juga diinjeksikan ke dalam campuran agar

memperoleh suasana campuran operasional mendekati suhu campuran

adiabatik. Proses ini memindahkan CO2 dengan efisiensi kurang lebih 93-97%.

Page 53: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

35

Gas buang memasuki reaktor CFB dari bawah, kemudian mengalir vertikal ke

atas melalui suatu venturi dan masuk ke dalam saluran silinder. Tinggi saluran

ini dirancang agar dapat mengakomodasi jumlah massa dari material yang

diperlukan untuk mencapai waktu pencampuran selama kurang lebih 3 detik.

Semua masukan material dari luar yang disirkulasikan, pelarut (sorbent)

yang masih segar, dan gas yang dibasahi air dimasukkan ke dalam arus gas

melalui dinding yang membesar pada saluran. Proses ini mudah diatur dan

dilakukan karena tidak memerlukan peralatan suhu tinggi seperti pompa slurry

yang abrasif, water otomiser, atau pengering limbah cair. Proses ini dapat

mencapai tingkat efisiensi pemisahan SO2 diatas 95%. Dalam sistem pencampur

padat yang berputar, serbuk penyerap kering terdiri dari serbuk batubara dan

kapur (lime) yang diinjeksikan kedalam absorber. Dalam praktiknya, banyak

peralatan yang menggunakan proses semacam ini dapat mencapai penyerapan

SO2 diatas 90%. (Abdulkadir, 2011)

2.3.4 Desulfurisasi gas buang dengan sistem FGD

Ariono Abdulkadir dalam bukunya yang berjudul Teknologi Pembangkit

Listrik Ramah Lingkungan membagi proses desulfurisasi gas buang dalam enam

kategori, yaitu:

a) Sistem wet scrubbers

b) Spray dry scrubbers

c) Sorbent injection process

d) Dry scrubbers

e) Referable system

Page 54: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

36

f) Combined SO2/Nox removal process

Sistem wet scrubbers memimpin di pasar FGD diseluruh dunia, diikuti

oleh sistem spray dry scrubbers dan sorbent injection system. Instalasi

kombinasi SO2/Nox yang dapat dipisahkan dan digabung mempunyai andil kecil

dalam pemasaran dan diperkirakan tidak akan mengalami perubahan dalam

waktu dekat menurut penelitian yang dilakukan terhadap kebutuhan

pemasangan FGD. Teknologi baru yang berkembang adalah sistem injeksi

(penyemprotan) sorbent, dan jenis instalasi FGD ini akan lebih banyak

diaplikasikan pada pembangkit listrik yang sudah tua.

2.3.5 Scrubbers sistem semprot kering untuk kontrol SO2

Scrubbers sistem semprot kering (spray dry scrubber) memerlukan

pemakaian suatu alat pengendali partikel seperti Electronic Precipitator (ESP)

atau filter kain. Suatu fasilitas daur ulang (recycling) akan memperbaiki

pemanfaatan sorbent dan sistem pembuangan produk sampingan (by product).

Sorbent yang biasanya dipakai adalah lime dan kalsium oksida. Campuran

slurry dengan lime, yang juga disebut susu lime (lime milk) diatomisasi dan

disemprotkan kedalam reaktor vessel dalam bentuk butiran air kecil-kecil seperti

awan (droplets).

Air dievaporasi oleh panasnya gas buang. Resident time kurang lebih 10

detik dalam reaktor cukup untuk membiarkan SO2 dan gas-gas asam lainnya,

seperti SO3 dan HCl, untuk bereaksi secara bersamaan dengan lime (kapur) yang

terhidrasi, untuk membentuk campuran kering yang terdiri dari kalsium sulfat

dan sulfit. Pembersihan air bekas pakai tidak diperlukan pada sistem spray dry

Page 55: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

37

scrubbers sebab air telah sepenuhnya terevaporasi dalam spray dry absorber.

Produk sampingan (by product) juga mengandung lime yang tidak bereaksi,

dapat didaur ulang dan dicampur dengan fresh lime slurry untuk meningkatkan

efisiensi sorbent. Faktor-faktor yang memengaruhi sifat-sifat absorpsi meliputi

suhu gas buang, konsentrasi SO2 dalam gas buang, dan ukuran butir-butir atomis

dari slurry yang disemprotkan.

Material konstruksi dari absorber biasanya carbon steel yang dapat

membuat proses yang diinginkan menjadi tidak mahal dalam capital cost

dibandingkan dengan sistem wet scrubbers. Akan tetapi, keperluan pemakaian

kapur (lime) dalam proses ini akan meningkatkan biaya operasi.

Spray dry scrubbers adalah jenis teknologi kedua dari FGD yang paling

banyak digunakan. Tetapi, penggunaannya dibatasi pada volume gas buang pada

pembangkit-pembangkit berukuran 200 MW secara rata-rata. Pembangkit yang

lebih besar akan memerlukan beberapa jenis modul untuk dapat menangani

jumlah gas buang yang ada. Itulah sebabnya, pada umumnya, teknologi ini

dipakai pada pembangkit berukuran kecil dan medium dengan bahan bakar

batubara. Spray dry scrubbers di dalam pemakaian komersial telah mencapai

efisiensi pengambilan partikel-partikel diatas 90% dan beberapa pabrikan telah

menjanjikan angka efisiensi yang dapat dicapai diatas 95%.

2.3.6 Sistem scrubbers basah untuk pengendalian SO2

Jenis scrubber yang paling banyak digunakan pada teknologi FGD untuk

pengendalian SO2 di seluruh dunia adalah wet scrubbers. Sorbent berbasis

kalsium, sodium, dan ammonium telah dicoba dalam campuran slurry yang

Page 56: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

38

diinjeksikan kedalam bejana yang dirancang khusus untuk bereaksi dengan SO2

dalam gas buang. Sorbent yang paling sering digunakan untuk mengoperasikan

wet scrubbers adalah limestone diikuti oleh lime. Kombinasi ini disukai karena

keberadaan dan biayanya yang murah. Seluruh reaksi kimiawi yang terjadi pada

limestone atau lime sorbent dapat dinyatakan dalam persamaan sederhana

sebagai berikut:

SO2 + CaCO3 = CaSO3 + CO2 (2.1)

Dalam praktiknya, udara di dalam gas buang dapat menyebabkan

terjadinya beberapa oksidasi dan pada reaksi yang terakhir menghasilkan produk

yang merupakan campuran basah dari kalsium sulfat dan kalsium sulfit (bentuk

lumpur atau sludge). Suatu sistem oksidasi yang terjadi di tempat scrubber (in

situ) atau di tempat lain (ex situ) yang menyangkut injeksi udara, menghasilkan

produk yang dapat dijual, yaitu gipsum, melalui reaksi sebegai berikut:

SO2 + CaCO3 + ½ O2 + 2H2O = CaSO4 . 2H2O + CO2 (2.2)

Berikut beberapa jenis desain scrubber yang ada:

a. Desain dengan spray tower dimana tekanan pompa dan nozel penyemprot

(spray nozzles) mengatomisasi scrubbing liquids kedalam ruang reaksi

(reactions chamber) dan memberikan particle surface area yang luas agar

terjadi transfer massa yang efisien.

b. Plate tower design dimana gas dilarutkan kedalam gelembung-gelembung,

yang juga memberikan permukaan sorbent surface area yang luas.

c. Suatu scrubber design yang didasarkan pada gesekan dimana ruang vertikal

menampung plat-plat perforasi (berlubang-lubang) dengan bukaan yang

cukup lebar. Plat-plat ini akan dibanjiri oleh lapisan sorbent slurry dan gas

Page 57: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

39

buang yang diakselerasikan keatas melalui lubang-lubang perforasi. Gas

buang dan cairan sorbent membuat kontak di sekitar plat yang menjadi

sasaran, menciptakan daerah turbulen yang diharapkan dapat menyebabkan

reaksi yang lebih cepat.

d. Design packed tower dimana gas buang mengalir keatas melalui suatu

packing material agar terjadi gerakan counter current terhadap sorbent.

e. Design fluidized tower atau turbulent contact absorber, turbulasi yang

terbentuk akan membersihkan packing materials dan memperbaiki transfer

massa antara flue gas dan slurry liquid.

2.4 Sistem FGD pada PLTU Tanjung Jati B Unit 1

PLTU Tanjung Jati B unit 1 menggunakan bahan bakar batubara jenis

Medium Caloric Value (MCV), dengan nilai kalori sekitar 5000-6000 kkal dan

dengan kadar sulfur yang cukup tinggi, yaitu sekitar 1,05 % weight.

Rata-rata setiap harinya PLTU Tanjung Jati B unit 1 membakar batubara

sebanyak 6750 ton/hari dan menghasilkan gas buang dengan kadar SO2

maksimal 1750 mg/m3. Kadar tersebut melebihi ambang batas yang telah

ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup yaitu sebesar 750 mg/m3.

Untuk itu PLTU Tanjung Jati B unit 1 menggunakan Flue Gas Desulfurization

(FGD) untuk mengurangi kadar sulfur dioksida dalam gas buangnya. FGD

pada PLTU Tanjung Jati B unit 1 dan 2 mampu mengurangi kadar sulfur

dalam gas buang sebanyak 80-98%.

Page 58: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

40

FGD pada PLTU Tanjung Jati B merupakan jenis Wet Flue Gas

Desulfurization yang menggunakan batu kapur (limestone) sebagai penyerap

SO2.

Gambar 2.9 FGD pada PLTU Tanjung Jati B unit 1

(Sumber: Dokumen PT PLN Tanjung Jati B)

Gas buang dari ruang pembakaran setelah melewati Electronic

Precipitator (ESP) untuk diserap abunya, kemudian disedot oleh induced

draft fan dan dibawa menuju FGD. Gas buang perlu melewati ESP terlebih

dahulu, agar kerja FGD tidak berat. Bila gas buang yang masuk ke FGD masih

mengandung abu atau fly ash, hal itu dapat menurunkan performa FGD dan

gas buang yang dikeluarkan tidak akan sesuai dengan standar yang telah

ditetapkan. Setelah melalui FGD, gas buang yang sudah bersih akan menuju

ke cerobong.

Page 59: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

41

Gambar 2.10 Skema alur gas buang

(Sumber: Babcock & Wilcox)

FGD pada PLTU Tanjung Jati B terdiri dari 4 subsistem utama serta 1

subsistem pendukung, yaitu:

1. Limestone Handling and storage

2. Reagent preparation

3. Absorber system

4. Dewatering Area

5. Water System

Gambar 2.11 Skema alur sistem FGD

(Sumber: Babcock & Wilcox)

Page 60: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

42

2.4.1 Limestone Handling and Storage

Gambar 2.12 Lokasi Limestone Jetty and Conveyor

(Sumber: Babcock & Wilcox)

Limestone Handling and Storage System atau Sistem Penanganan dan

Penyimpanan batu kapur adalah proses pemindahan atau pembongkaran batu

kapur dari tongkang hingga Limestone Storage Silos atau penyimpanan batu

kapur.

Batu kapur diangkut ke dermaga pembongkaran batu kapur oleh kapal

tongkang. Ukuran batu kapur yang dibawa rata-rata sebesar 20 mm2.

Pembongkaran di dermaga dilakukan dengan cara memindahkan bucket

unloader ke satu limestone unloading conveyor. Limestone unloading

conveyor menyalurkan batu kapur menuju ke limestone storage pile.

Sebuah front end loader yang bergerak memindahkan batu kapur dari

limestone storage pile menuju dua limestone storage silo melalui feed hopper

dari sebuah bucket elevator yang berdekatan dengan silo. Bucket elevator

terhubung ke satu limestone silo feed reversing conveyor. Reversing conveyor

atau konveyor pembalik dapat dihubungkan ke kedua limestone silo.

Page 61: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

43

Semua sistem dalam penanganan dan penyimpanan batu kapur ini diatur

secara otomatis menggunakan Programmable Logic Control (PLC).

Sistem Pembongkaran dan Penanganan Batu Kapur terdiri dari

komponen-komponen utama sebagai berikut:

a. Limestone Unloading Hopper

b. Limestone Unloading Conveyor

c. Limestone Bucket Elevator Reclaim Hopper

d. Limestone Bucket Elevator

e. Limestone Silo Feed Reversing Conveyor

f. Limestone Unloading Conveyor Vibrating Feeder

g. Magnetic Separator

h. Limestone Bucket Elevator Vibrating Feeders

i. Limestone Silo

j. Limestone Silo Dust Collector

Gambar 2.13 Skema alur proses limestone handling

(Sumber: Babcock & Wilcox)

Page 62: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

44

2.4.2 Reagent Preparation

Gambar 2.14 Lokasi Reagent Preparation Area

(Sumber: Babcock & Wilcox)

Reagent preparation adalah proses pengolahan batu kapur kasar dari

Limestone silo hingga menjadi limestone slurry (bubur) yang nantinya akan

disimpan dalam limestone slurry storage tank.

“Fresh” Limestone slurry yang diproduksi oleh vertical ball mills

digunakan untuk mengganti slurry yang telah habis kemampuan

penyerapannya atau yang telah menjadi gypsum slurry dan keluar dari modul

absorber selama operasi.

Sistem ini terdiri dari 6 komponen utama, yaitu:

a. The vibrating bin activator

Terletak di keluaran masing-masing limestone silo. Fungsinya adalah

untuk merontokkan batu kapur dari silo agar jatuh ke limestone

feeder.

Page 63: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

45

b. Limestone Feeder

Fungsinya adalah untuk mengontrol jumlah atau flow rate dari batu

kapur kasar yang akan dimasukkan ke limestone pre-crusher.

Kapasitas dari limestone feeder adalah sebesar 25 metric ton/jam.

c. Limestone pre-crusher

Fungsinya adalah memperkecil ukuran batu kapur hingga 80%. Batu

kapur yang awalnya berukuran 20 mm diubah menjadi sekitar 0,36

mm atau sekitar 45 mesh.

d. Vertical ball mills

Vertical ball mills memproses batu kapur dari limestone pre-crusher

menjadi “fresh” limestone slurry yang akan dibawa menuju

hydroclone melewati mill outlet sump dimana slurry akan

diklasifikasikan. Slurry yang telah memenuhi standar, yaitu yang

berupa 30% padatan, akan disalurkan ke limestone slurry storage

tank. Sedangkan slurry yang belum memenuhi standar akan

dikembalikan ke mill recirculation sump.

Setiap vertical ball mill memiliki satu recirculation sump yang

berfungsi mengklasifikasikan limestone slurry yang meninggalkan

ball mill.

Recirculation sump memiliki low level switch untuk memastikan

bahwa level cairan didalam vertical ball mill cukup untuk proses

operasi. Sump juga memiliki satu agitator untuk menjaga agar batu

kapur tidak mengendap.

Page 64: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

46

Limestone slurry pada mill recirculation sump langsung disalurkan

ke mill outlet sump dan ke vertical ball mill oleh mill recirculation

pump.

Gambar 2.15 Vertical Ball Mill

(Sumber: Dokumen PT PLN Tanjung Jati B)

Gambar 2.16 Siklus Typical Ball Mill

(Sumber: Babcock & Wilcox)

Page 65: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

47

e. Hydroclones & mill outlet sump

Hydroclone berfungsi untuk mengklasifikasikan atau

mendistribusikan limestone slurry dengan 30% padatan ke limestone

slurry tank. Limestone slurry yang tidak memenuhi 30% padatan

dikembalikan ke mill recirculation sump untuk diproses kembali di

vertical ball mill. Terdapat alat yang mengukur apakah padatan

slurry sudah memenuhi standar atau belum, yaitu density meter.

Limestone slurry yang keluar dari mill hydroclone harus memenuhi

standar sebagai berikut:

Flow : 19,38 metric ton/jam

Density : 30% padatan

Ukuran : 95% sebesar 325 mesh

Gambar 2.17 Proses reagent preparation dan persentase padatan limestone

slurry

(Sumber: Babcock & Wilcox)

Page 66: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

48

f. Limestone slurry storage tank

Limestone slurry storage tank terletak disebelah limestone silo, dapat

menyimpan 472 m3 fresh slurry untuk 8 jam penyimpanan bila kedua

unit beroperasi pada pembakaran penuh batubara Bengalon dengan

kandungan sulfur 1%.

Gambar 2.18 Lokasi Limestone Slurry Storage Tank

(Sumber: Babcock & Wilcox)

Page 67: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

49

2.4.3 Absorber Area System

Gambar 2.19 Lokasi Absorber Area

(Sumber: Babcock & Wilcox)

Sistem FGD memiliki dua ruang absorber. Fungsi dari sistem absorber

adalah untuk menghilangkan sulfur dioksida dalam gas buang melalui proses

penyerapan yang disemprotkan berlawanan arah. Penyerapan dapat dicapai

bila terjadi kontak antara limestone slurry dan gas buang didalam ruang

absorber. Dengan menyemprotkan limestone slurry ke gas buang, sulfur

dioksida diubah menjadi hidrat kalsium sulfit dan kalsium sulfat. Satu ruang

absorber dapat membersihkan gas buang yang ekivalen dengan beban 660

MW.

Page 68: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

50

Gambar 2.20 Absorber Module

(Sumber: Babcock & Wilcox)

Gas buang dari boiler mengalir melalui absorber inlet duct dan menuju

ke ruang absorber. Gas buang yang telah diabsorpsi keluar melalui outlet gas

buang dan akan menuju ke stack. Guillotine dampers terletak pada absorber

inlet, absorber outlet, dan bypass gas buang untuk mengamankan absorber

saat sedang dalam perbaikan.

Penyerapan sulfur dioksida terjadi karena proses penyerapan oleh

semprotan yang berlawanan arah yang terjadi dalam absorber. Dengan

menyemprotkan limestone slurry ke gas buang, sulfur dioksida dikonversikan

menjadi hidrat kalsium sulfit (CaSO3. ½ H2O) dan kalsium sulfat

(CaSO4.2H2O).

Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

CaCO3 + SO2 + H2O → CaSO3. ½ H2O + CO2 (2.3)

Page 69: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

51

Setiap absorber memiliki satu perforated absorption tray, dan dua

absorber spray header levels untuk penyerapan sulfur dioksida. Setiap dua

level header memiliki dua interspatial spray header. Setiap header disuplai

oleh absorber recirculation pump, 3 pompa beroperasi dan 1 pompa sebagai

cadangan.

Gambar 2.21 Lokasi absorber recirculation pump

(Sumber: Babcock & Wilcox)

Saat gas buang panas memasuki absorber, gas didinginkan hingga

saturasi oleh slurry yang disemprotkan dari atas. Gas buang yang telah

tersaturasi akan naik melewati perforated absorber tray. Perforated absorber

tray mendistribusikan gas buang dan cairan dari spray level melewati

absorber cross sectional area.

Page 70: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

52

Gambar 2.22 Perforated trays

(Sumber: Babcock & Wilcox)

Ketika gas melewati lapisan dari slurry diatas tray, meningkatnya

kecepatan gas akibat lubang-lubang dari tray menyebabkan tumbukan keras,

dengan demikian menjamin optimalnya kontak liquid-gas. Kemudian gas

buang akan melewati absorber spray zone diatas tray dimana slurry

disemprotkan kebawah, berlawanan arah dengan aliran gas buang dari dua

spray levels, melengkapi proses penyerapan sulfur dioksida.

Setelah itu gas buang akan terus naik keatas menuju mist eliminator

pertama yang terletak setelah absorber. Mist eliminator tahap pertama

merupakan 3 laluan vertikal berlapis, dirancang untuk menangkap uap air

yang terbawa dalam gas buang dan slurry yang terbawa dalam gas buang.

Diatas dan dibawah mist eliminator tahap pertama terdapat header dengan

spray nozzle yang menyemprotkan air laut dari mist eliminator wash water

tank ke mist eliminator tahap pertama. Semprotan ini berfungsi untuk

membersihkan berbagai padatan yang terkumpul pada lapisan-lapisan mist

eliminator bagian atas dan bagian bawah. Setelah melewati mist eliminator

Page 71: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

53

tahap pertama, gas kemudian memasuki mist eliminator tahap kedua. Mist

eliminator tahap kedua juga memiliki 3 laluan berlapis, dan fungsinya adalah

untuk menangkap uap air bawaan dari wash water spray pada mist eliminator

tahap pertama. Bagian atas dari mist eliminator tahap kedua juga disemprot

dengan air laut. Setelah melewati mist eliminator tahap kedua, kemudian gas

akan keluar dari ruang absorber melewati outlet.

The recycle slurry atau slurry yang disirkulasikan dan mist eliminator

wash water yang disemprotkan di dalam ruang absorber akan turun dan akan

dikumpulkan di dasar ruang absorber atau yang disebut sebagai absorber

reaction tank. Terdapat empat agitator atau pengaduk (dimana 3 beroperasi

dan 1 sebagai cadangan) yang menjaga agar slurry tidak memadat.

Gambar 2.23 Agitator atau pengaduk

(Sumber: Dokumen PT PLN Tanjung Jati B)

Page 72: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

54

Gambar 2.24 Letak agitator atau pengaduk dalam reaction tank

(Sumber: Babcock & Wilcox)

Setiap absorber reaction tank mendapat recycle slurry dari keempat

absorber recirculation pump (dimana 3 beroperasi dan 1 sebagai cadangan).

Setiap absorber recirculation pump mensuplai kebutuhan semprotan slurry

dari satu spray header.

Slurry batu kapur baru yang berasal dari limestone slurry feed

ditambahkan ke dalam absorber untuk mengontrol pH dari recycle slurry.

Jumlah limestone slurry yang ditambahkan ke dalam absorber merupakan

fungsi dari perkiraan beban boiler, nilai SO2, dan pH aktual dari recycle slurry

dalam absorber seperti yang terukur pada gypsum slurry blowdown line.

Faktor-faktor kimiawi yang menentukan efisiensi penyerapan SO2 yaitu:

a. pH atau alkalinitas.

b. Batu kapur yang ditambahkan pada slurry yang disirkulasikan.

c. Kandungan kimiawi dari larutan.

Page 73: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

55

d. Masukan SO2 (kombinasi dari konsentrasi dan beban) (Maller,

2008).

Sedangkan faktor-faktor mekanik yang menentukan efisiensi penyerapan

SO2 yaitu:

a. Rasio Liquid to Gas (L/G Ratio).

b. Karakteristik transfer massa dari absorber.

c. Distribusi gas dan cairan.

d. Bypass gas buang. (Maller, 2008)

Proses penyerapan sulfur dioksida membentuk hasil padatan. Ini

menyebabkan meningkatnya densitas atau kepadatan dari slurry yang

diresirkulasikan. Kepadatan slurry secara kontinu dikontrol dengan

penambahan air dari process water tank ke absorber. Sebuah pengukur

kepadatan ultrasonik diletakkan pada pipa blowdown gypsum slurry untuk

mengukur kepadatan dari slurry yang diresirkulasikan.

Sulfur dioksida, secara kontinu dihilangkan dari gas buang, membentuk

hasil reaksi, menyebabkan level cairan pada absorber reaction tank

meningkat. Level cairan ini dikontrol dengan cara menyalurkan slurry yang

diresirkulasikan menuju ke dewatering system menggunakan skema blowdown

yang kontinu.

Proses penyerapan sulfur dioksida juga melibatkan sistem oksidasi in

situ. Sistem oksidasi akan mengubah kalsium sulfit (CaSO3. ½ H2O) yang

terbentuk dari proses penyerapan SO2 menjadi kalsium sulfat (CaSO4. 2H2O)

dengan mengoksidasinya.

Page 74: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

56

Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

CaSO3. ½ H2O + O2 + H2O → CaSO4. 2H2O (2.4)

Udara oksidasi yang digunakan untuk mengoksidasi slurry disuplai oleh

3 oxidation air blower, masing-masing 1 untuk 1 unitnya dan 1 sebagai

cadangan. Udara oksidasi masuk ke absorber melalui air sparger yang

terletak dibawah level slurry yang diresirkulasikan pada absorber reaction

tank untuk memastikan bahwa proses oksidasi dapat berjalan baik.

Gambar 2.25 Skema proses FGD beserta reaksi yang terjadi

Sumber: Data PT PLN TJB

2.4.4 Dewatering system

Dewatering system memproses slurry yang dikeluarkan dari absorber

dalam dua tahap, dan membuatnya menjadi gypsum cake. Gypsum cake yang

Page 75: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

57

terbentuk diharapkan berupa 80% padatan dan 20% air. Air yang diambil dari

absorber akan dikembalikan untuk digunakan kembali di FGD.

Gambar 2.26 Lokasi Dewatering Area

(Sumber: Babcock & Wilcox)

Tahap pertama dari proses dewatering adalah Primary Dewatering

System yang mengambil slurry dari absorber dan memompakannya menuju

Hydroclone separator. Kemudian slurry dipompakan menuju ke Rotary Drum

Vacuum Filter. Tahap ini merupakan Secondary Dewatering System, tahap

kedua dan terakhir dalam proses Dewatering.

Gypsum slurry yang berasal dari absorber tank dialirkan menuju

hydroclone oleh gypsum slurry pump. Dalam hydroclone, gypsum slurry

dinaikkan konsentrasi padatannya, dari 15% padatan menjadi 45% padatan.

Untuk mengukur kepadatan dari slurry, terdapat density meter yang dipasang

pada sisi keluaran gypsum slurry pump.

Page 76: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

58

Gambar 2.27 Proses pertama dalam dewatering system

(Sumber: Babcock & Wilcox)

Gipsum yang sudah berupa 45% padatan akan disalurkan ke Vacuum

Filter Feed Tank berkapasitas 565 m3 untuk diproses lebih lanjut oleh vacuum

filter.

Dari vacuum filter feed tank, gypsum slurry dipindahkan ke vacuum

filter oleh vacuum filter feed pump untuk proses final dewatering. Selama

beroperasi, slurry diresirkulasikan dari vacuum filter feed tank menuju vacuum

filter, sebagian akan diproses langsung oleh vacuum filter dan sebagian

dikembalikan menuju vacuum filter feed tank. Hal ini bertujuan untuk

menjaga agar tak ada slurry yang mengendap dalam pipa.

Vacuum filter merupakan proses kedua atau secondary process sekaligus

proses terakhir dalam dewatering system. Vacuum filter tank yang berupa

drum-type akan memproses gypsum slurry dan menjadikannya berupa 80%

padatan.

Page 77: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

59

Gypsum slurry yang sudah berupa 80% padatan dikeluarkan ke

dewatering area bunker. Sedangkan 20% air filtrat akan dialirkan menuju

process water tank untuk digunakan kembali.

2.4.5 Water system

Water system dalam FGD terdiri dari beberapa subsistem, yaitu:

a. Seawater

Seawater atau air laut digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam

sistem. Air laut digunakan dalam reagent preparation area untuk

mengolah batu kapur menjadi limestone slurry dan juga digunakan dalam

absorber untuk membersihkan mist eliminator. Satu Mist Eliminator Wash

Spray Water Tank digunakan untuk menyediakan air untuk mist eliminator

wash spray header pada absorber melalui mist eliminator wash water

pump. Air laut juga digunakan untuk membilas atau membersihkan

reagent preparation area.

Terdapat dua seawater vertical sump pump (1 beroperasi dan 1

sebagai cadangan) yang digunakan untuk mensirkulasikan air ke sistem

FGD termasuk ke reagent preparation area, ke process water tank, dan ke

mist eliminator wash water tank.

b. Process Water

Process water merupakan gabungan dari air laut dan filtrat dari

sistem dewatering, digunakan untuk mengendalikan densitas dari absorber

dan juga digunakan untuk membersihkan komponen-komponen lainnya.

Page 78: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

60

c. Service Water

Service water adalah air laut yang telah melalui proses desalinasi

atau dihilangkan kandungan garamnya. Service water pada FGD

digunakan untuk beberapa keperluan yaitu oxidation air humidification,

vacuum pump gland seal, tower mill reducer, lube oil system cooling, dan

untuk pembersihan beberapa komponen.

d. Cooling Water

Terdapat dua siklus air pendingin pada FGD. Masing-masing adalah

untuk setiap absorber area. Air pendingin digunakan untuk pendinginan

minyak recirculation pump gear box, pendinginan minyak pelumas

oxidation air blower, dan pendinginan oxidation air blower bearing. Air

disirkulasikan secara tertutup. Air pendingin juga digunakan untuk

pendingin minyak pelumas tower mill reducer.

2.5 Kasus Sulfite Blinding pada Sistem FGD di PLTU

Tanjung Jati B Unit 1

2.5.1 Pendahuluan

Sulfite Blinding merupakan suatu fenomena yang terjadi pada FGD,

yaitu meningkatnya konsentrasi sulfit pada absorber, diakibatkan oleh reaksi

oksidasi yang tidak sempurna.

Sistem oksidasi dibutuhkan untuk mengubah CaSO3 menjadi CaSO4.

Sistem oksidasi berjalan dengan penambahan oksigen atau udara oksidasi

pada absorber, seperti pada persamaan reaksi 2.2.

Page 79: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

61

Sistem oksidasi bergantung pada beberapa faktor, yaitu:

a. Rasio antara O2 dan SO2.

b. Sifat kimia larutan.

c. Temperatur.

Masalah yang sering terjadi adalah pada suplai udara oksidasi, sehingga

menyebabkan proses oksidasi tak berjalan lancar dan menyebabkan kegagalan

reaksi oksidasi sehingga sulfit tidak diubah menjadi sulfat.

Di dalam area sekitar partikel kalsium karbonat (komposisi aktif dalam

batu kapur) terdapat pH yang relatif tinggi, yaitu antara 6 hingga 8. Sedangkan

sebagian besar slurry berada pada kisaran pH 5,2 hingga 5,6. Daya larut dari

campuran seperti kalsium sulfit akan menurun seiring dengan meningkatnya

pH. Akibatnya, sulfit akan mengendap pada permukaan limestone. Sulfite

blinding akan mengurangi area permukaan aktif dari limestone. Hal ini

menyebabkan pH menjadi tidak terkontrol. pH akan terus menurun dan

semakin menurun.

Gambar 2.28 Foto mikroskopik terjadinya sulfite blinding

(Sumber: Dokumen PT PLN Tanjung Jati B)

Page 80: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

62

Meski limestone bersifat basa, namun menambahkan limestone slurry

saat terjadi sulfite blinding tidak akan menaikkan pH, malah akan

memperparah keadaan. Semakin banyak slurry ditambahkan saat terjadi

blinding akan menyebabkan semakin banyak sulfit yang terbentuk.

2.5.2 Indikasi Terjadinya Sulfite Blinding

Indikasi terjadinya blinding:

a. pH absorber menurun (dalam keadaan normal, pH berada dalam

kisaran 5,2 – 5,6).

b. Pada Distribute Control System (DCS), trend pH terlihat flat (tidak

berosilasi).

c. Presentase SO2 reduction menurun.

d. Outlet SO2 meningkat.

2.5.3 Penyebab terjadinya sulfite blinding

Penyebab utama terjadinya sulfite blinding adalah kurangnya suplai

udara oksidasi sehingga reaksi oksidasi tidak berjalan sempurna. Selain itu,

juga ada faktor lain yang dapat menimbulkan potensi terjadinya sulfite

blinding.

a. Kurangnya suplai udara oksidasi ke dalam absorber

Wet FGD yang digunakan pada PLTU Tanjung Jati unit 1 adalah

sistem Wet Flue Gas Desulfurization yang menggunakan kalsium karbonat

Page 81: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

63

pada batu kapur (limestone) sebagai penyerap SO2 dengan hasil samping

berupa gipsum yang bernilai jual.

Untuk memperoleh gipsum tersebut, diperlukan proses lagi setelah

proses absorpsi, yaitu proses oksidasi. Karena proses absorpsi hanya

menghasilkan CaSO3 atau kalsium sulfit, sedang yang diinginkan adalah

berupa CaSO4 atau kalsium sulfat.

Kalsium sulfit tidak diinginkan dalam proses ini. Selain nilai jualnya

kurang, sulfit bersifat lebih asam sehingga lebih korosif, mudah

mengendap dan cenderung lengket sehingga dapat menempel pada

komponen-komponen dalam absorber dan menimbulkan penyumbatan

atau masalah-masalah lain.

Untuk itu pada WFGD ini CaSO3 yang terbentuk perlu dioksidasi

(ditambahkan oksigen) agar berubah menjadi CaSO4 atau gipsum.

Untuk proses oksidasi tersebut, pada absorber ditambahkan sistem

udara oksidasi atau oxidation air system.

Terdapat 3 buah oxidation air blower, 2 beroperasi untuk masing-

masing absorber dan 1 sebagai cadangan.

Saat oxidation air blower mulai beroperasi, air dialirkan ke aliran

dasar pipa untuk proses humidify atau melembabkan udara hingga titik

saturasinya. Tujuan dari proses humidify adalah untuk mengurangi potensi

terbentuknya endapan di dalam air header dan pada header nozzle akibat

wet-dry interface antara gypsum slurry dan air header piping.

Page 82: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

64

Masalah yang sering terjadi diakibatkan ketidakandalan oxidation air

blower. Oxidation air blower yang digunakan sering mengalami vibrasi

tinggi.

Selain itu, masalah disebabkan akibat kurang terdistribusinya udara

oksidasi yang telah masuk ke absorber. Hal tersebut dapat diakibatkan

karena tertutupnya lubang udara oksidasi pada oxidation air headers oleh

endapan slurry ataupun kerak.

b. Tertutupnya lubang keluaran udara oksidasi pada absorber

Pada PLTU Tanjung Jati B unit 1 dan 2 sebelum tahun 2012 sering

terjadi sulfite blinding karena kurangnya udara oksidasi. Desain absorber

ternyata juga mempengaruhi timbulnya masalah tersebut.

Sebelum diganti, sistem udara oksidasi pada absorber di FGD unit 1

dan 2 hanya berupa udara yang berasal dari air blower disalurkan ke pipa

atau air headers dalam absorber. Pada header tersebut terdapat beberapa

titik nozel tempat keluarnya udara oksidasi. Pada nozel-nozel tersebut

sering terjadi penyumbatan akibat slurry ataupun kerak.

Berbeda dengan desain pada unit 3 dan 4, dimana dalam absorber,

nozel tempat keluarnya udara oksidasi memiliki lubang keluaran yang

lebih besar dan diletakkan didepan agitator sehingga udara akan tercampur

dengan lebih merata. Hal tersebut juga dapat menghindari tersumbatnya

nozel.

Page 83: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

65

c. TSS slurry yang tak memenuhi standar (45% solids)

TSS atau Total Suspended Solids merupakan padatan yang

tersuspensi di dalam air berupa bahan-bahan organik dan inorganik yang

dapat disaring dengan kertas millipore berpori-pori 0,45 μm.

TSS dalam slurry berarti padatan yang terkandung dalam limestone

slurry, yaitu padatan kalsium karbonat. Kalsium karbonat merupakan

kandungan utama dalam limestone yang bersifat basa sehingga digunakan

untuk menyerap SO2 yang bersifat asam.

Untuk reaksi penyerapan yang baik, dibutuhkan limestone slurry

yang paling tidak terdiri dari 45% solids.

Permasalahannya, hydroclone yang digunakan untuk memisahkan

antara slurry yang telah memenuhi TSS standar dengan yang belum kini

semakin berkurang performansinya, mengakibatkan slurry sering tidak

memenuhi standar.

2.5.4 Akibat dari sulfite blinding dan pengaruhnya terhadap

efisiensi SO2 removal

Efisiensi penyerapan SO2 adalah persentase jumlah SO2 yang bisa

diserap oleh FGD, dapat dirumuskan sebagai berikut:

(2.5)

Akibat-akibat lebih lanjut ditimbulkan oleh sulfite blinding yang juga

menyebabkan efisiensi SO2 removal menurun adalah:

a. pH absorber menurun.

Page 84: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

66

b. Korosif material.

c. Plugging pada tray, mist eliminator, dan komponen lain.

Salah satu kunci yang menentukan efisiensi penyerapan SO2 pada sistem

Flue Gas Desulfurization adalah pH. pH yang terlalu rendah mengakibatkan

efisiensi penyerapan SO2 rendah. Sedangkan pH yang terlalu tinggi

menyebabkan reaksi penyerapan tidak terjadi. pH absorber dijaga dalam

kisaran 5,2 – 5,6. (Babcock & Wilcox, 2005)

Meningkatnya kadar sulfit dalam absorber dapat menurunkan pH karena

sulfit bersifat asam.

Gambar 2.29 Hubungan antara efisiensi penyerapan SO2 dengan pH

(Sumber: Maller FGD Module)

Page 85: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

67

BAB III

DATA DAN ANALISIS

3.1 Tujuan Pengujian

Tujuan dari pengambilan data ini adalah untuk mengetahui kondisi

parameter-parameter tertentu saat terjadi sulfite blinding. Parameter yang

diambil adalah beban atau energi listrik yang dihasilkan pembangkit, kadar

SO2 dalam gas buang yang dihasilkan, kadar SO2 dalam gas buang setelah

keluar FGD, pH slurry, dan laju aliran limestone slurry dalam absorber.

Selain itu, tujuan pengujian adalah untuk mengetahui nilai laju aliran

udara oksidasi optimum untuk menghindari terjadinya sulfite blinding.

3.2 Data Saat Terjadi Sulfite Blinding

Data diambil saat terjadi sulfite blinding pada tanggal 1-2 November

2012 di FGD PLTU Tanjung Jati B Unit 1 melalui pengamatan tidak langsung

pada monitoring software. Nilai yang tertera merupakan nilai rata-rata dalam

waktu 60 menit.

Page 86: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

68

Tabel 3. 1 Data saat terjadinya sulfite blinding tanggal 1-2 November

MW Net FGD Inlet SO2 FGD Outlet SO2

Limestone

Slurry Feed

Flow

pH

MW mg/Nm3 mg/Nm

3 l/m

556.54 1282.57 380.69 216.217 4.96

556.08 1291.30 388.07 212.131 4.97

553.65 1296.76 404.54 207.523 4.97

588.29 1245.59 362.85 206.732 4.96

653.99 1261.98 353.94 220.893 4.96

611.53 1249.12 137.40 208.465 4.98

561.91 1243.88 86.70 197.560 4.96

575.70 1313.56 82.98 212.995 5.01

611.42 1398.94 79.39 223.003 5.00

611.00 1409.08 383.95 222.689 5.02

613.40 1449.91 104.11 217.357 5.03

600.23 1495.03 78.46 203.042 5.04

565.70 1487.62 77.48 210.478 4.98

600.21 1548.28 85.78 225.273 5.01

612.88 1612.49 80.13 227.173 5.02

559.51 1526.65 115.37 202.823 5.04

558.80 1420.44 444.33 197.607 5.01

589.05 1410.04 486.46 215.271 5.02

658.06 1590.74 627.13 241.882 5.03

655.74 1678.50 682.72 235.874 5.03

654.42 1767.48 759.55 252.164 4.97

623.85 1751.32 677.42 289.225 4.96

607.28 1700.94 594.25 298.536 4.89

605.84 1666.57 641.01 316.574 4.80

607.07 1642.85 671.51 334.121 4.77

606.45 1579.42 635.38 341.519 4.78

535.47 1494.70 531.14 294.209 4.84

Page 87: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

69

(Sumber: PT PLN Tanjung Jati B)

507.42 1455.19 383.74 229.480 4.96

551.08 1458.11 339.92 19.491 5.04

557.86 1475.56 581.88 -0.909 4.78

555.53 1490.50 1040.89 -0.903 4.37

558.43 1518.43 1101.45 93.357 3.98

558.57 1555.53 1009.38 172.731 4.47

608.43 1601.16 924.02 182.126 4.66

657.59 1728.69 933.96 248.725 4.80

617.31 1652.62 691.28 287.805 5.01

563.28 1615.84 601.84 217.579 5.12

636.56 1685.53 703.80 273.649 4.99

645.57 1699.80 657.76 271.500 5.00

601.18 1577.59 553.57 213.740 5.11

556.21 1529.94 532.43 182.449 5.00

599.98 1549.34 602.95 266.746 4.92

613.40 1559.15 553.02 265.760 5.07

610.96 1562.96 543.70 241.611 5.06

613.06 1570.39 583.13 241.576 5.02

613.60 1620.96 610.52 269.134 4.99

614.80 1720.15 656.82 307.345 5.08

611.53 1779.31 670.12 342.641 5.15

Page 88: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

70

3.3 Perhitungan

3.3.1 Perhitungan efisiensi SO2 removal

Efisiensi SO2 removal adalah jumlah atau kadar SO2 dalam gas buang

yang dapat dikurangi oleh FGD, dapat dirumuskan sebagai berikut:

(4.1)

Untuk contoh perhitungan, digunakan data pertama pada tabel 3.1.

Data hasil perhitungan efisiensi SO2 removal adalah sebagai berikut:

Tabel 3.2 Hasil perhitungan efisiensi SO2 removal

MW Net Inlet SO2 Outlet SO2 η SO2 Reduction

MW mg/Nm3 mg/Nm

3 %

556.54 1282.57 380.69 70.31%

556.08 1291.30 388.07 69.93%

553.65 1296.76 404.54 68.80%

588.29 1245.59 362.85 70.88%

653.99 1261.98 353.94 71.97%

611.53 1249.12 137.40 89.13%

561.91 1243.88 86.70 93.01%

575.70 1313.56 82.98 93.68%

611.42 1398.94 79.39 94.32%

611.00 1409.08 383.95 72.46%

613.40 1449.91 104.11 92.78%

600.23 1495.03 78.46 94.76%

565.70 1487.62 77.48 94.81%

600.21 1548.28 85.78 94.45%

612.88 1612.49 80.13 95.02%

559.51 1526.65 115.37 92.36%

558.80 1420.44 444.33 68.22%

589.05 1410.04 486.46 65.45%

658.06 1590.74 627.13 60.53%

Page 89: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

71

655.74 1678.50 682.72 59.32%

654.42 1767.48 759.55 57.04%

623.85 1751.32 677.42 61.45%

607.28 1700.94 594.25 65.07%

605.84 1666.57 641.01 61.44%

607.07 1642.85 671.51 59.03%

606.45 1579.42 635.38 59.82%

535.47 1494.70 531.14 64.51%

507.42 1455.19 383.74 73.69%

551.08 1458.11 339.92 76.63%

557.86 1475.56 581.88 60.13%

555.53 1490.50 1040.89 16.10%

558.43 1518.43 1101.45 1.82%

558.57 1555.53 1009.38 34.61%

608.43 1601.16 924.02 42.32%

657.59 1728.69 933.96 46.09%

617.31 1652.62 691.28 58.46%

563.28 1615.84 601.84 62.69%

636.56 1685.53 703.80 58.30%

645.57 1699.80 657.76 61.34%

601.18 1577.59 553.57 64.94%

556.21 1529.94 532.43 65.06%

599.98 1549.34 602.95 61.12%

613.40 1559.15 553.02 64.56%

610.96 1562.96 543.70 65.28%

613.06 1570.39 583.13 62.79%

613.60 1620.96 610.52 62.46%

614.80 1720.15 656.82 61.76%

611.53 1779.31 670.12 62.49%

3.3.2 Perhitungan laju massa udara oksidasi optimum

Penyebab utama terjadinya sulfite blinding adalah akibat tidak

sempurnanya proses oksidasi karena suplai udara oksidasi yang kurang. Untuk

mengatasi permasalahan itu, diperlukan laju udara oksidasi yang optimum

agar proses oksidasi dapat berjalan lancar dan tidak menyebabkan blinding.

Untuk contoh perhitungan laju udara oksidasi, diambil contoh data yaitu

nilai rata-rata data tanggal 1-2 November. Nilai yang dicari adalah massa O2

Page 90: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

72

yang dibutuhkan untuk reaksi oksidasi sempurna dan laju aliran udara oksidasi

yang dibutuhkan. Perhitungan menggunakan data-data yang dibutuhkan

adalah sebagai berikut:

Tabel 3.3 Data yang dibutuhkan untuk menghitung laju massa udara oksidasi

Parameter Sumber data Satuan Nilai

Kadar inlet SO2 Data PT PLN Tanjung Jati B ppm 708

Laju aliran gas buang Data PT PLN Tanjung Jati B m3/min 41688,5

η SO2 Removal Data PT PLN Tanjung Jati B % 66,73

Laju aliran limestone

slurry Data PT PLN Tanjung Jati B l/min 224,1

Massa jenis limestone

slurry FGD Daily Report PT TJBPS kg/l 1.24

% padatan limestone

slurry FGD Daily Report PT TJBPS % 30

Laju aliran process water Data PT PLN Tanjung Jati B l/min 969

Tekanan oxidation air

blower

Oxd. Air Blower Technical

Data atm 2.02

Temperatur udara

oksidasi Data PT PLN Tanjung Jati B ⁰ C 45

a. Analisis massa pada reaksi I (reaksi absorpsi)

Reaksi: CaCO3 + SO2 + H2O CaSO3.1/2 H2O + CO2

1) Menghitung massa CaCO3

Laju aliran limestone slurry = 224,1 liter/menit

Persentase padatan slurry atau kadar CaCO3 dalam slurry = 30%

Laju aliran CaCO3 :

= 30% x 224,1 = 67,23 liter/menit

Massa jenis limestone slurry = 1,239 kg/l

Massa CaCO3 per menit: massa jenis x laju aliran

(4.2)

Page 91: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

73

Massa CaCO3 = 1,239 x 67,23 = 83,3 kg/menit

2) Menghitung massa SO2 yang bereaksi :

Inlet SO2 = 708 ppm = 70,8 g/m3

Laju aliran gas buang = 41688,5 m3/min

Massa SO2 = 70,8 g/m3 x 41688,5 m

3/min = 2951,55 kg/menit (4.3)

η SO2 removal = 66,73 %

Massa SO2 yang bereaksi = 66,73 % x 2951,55 kg = 1969,56 kg/menit

3) Menghitung massa H2O :

Laju aliran process water = 969 l/menit

Volume = 969 liter = 0,969 m3

Seawater density = 1025 kg/m3

Massa H2O:

= 993,2 kg/menit

4) Menghitung massa CaSO3.1/2 H2O dengan perbandingan molar:

Reaksi: CaCO3 + SO2 + H2O CaSO3.1/2 H2O + CO2

Massa Mol Relatif CaCO3 = 100 g/mol

Massa Mol Relatif SO2 = 64 g/mol

Massa Mol Relatif CaSO3 = 120 g/mol

Massa Mol Relatif H2O = 18 g/mol

Massa Mol Relatif CO2 = 44 g/mol

Massa CaSO3.1/2 H2O

=

Page 92: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

74

Massa CaSO3.1/2 H2O =

x (83,3 + 1969,56 + 993,2)

= 2271,34 kg/menit

b. Analisis massa pada reaksi kedua (reaksi oksidasi)

Reaksi: CaSO3.1/2 H2O + O2 + H2O CaSO4. 2 H2O

Sesuai dengan persamaan 4.6, didapatkan massa CaSO3.1/2 H2O =

2271,34 kg/menit

1) Menghitung massa O2 yang diperlukan:

Massa mol relatif CaSO3.1/2 H2O = 129 g/mol

Massa mol relatif H2O = 18 g/mol

Massa mol relatif O2 = 32 g/mol

Massa O2 =

Massa O2 =

x 2271,34 x 1000 = 526687,5 g/menit

2) Menghitung Volume O2 yang diperlukan:

Menggunakan Hukum Gay-Lussac atau persamaan gas ideal

(4.4)

Dimana:

Page 93: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

75

Volume gas pada keadaan STP dicari dengan Hukum Avogadro:

(4.5)

Volume O2 yang dibutuhkan:

/menit

3) Menghitung laju udara oksidasi

Kadar O2 dalam udara = 21% by volume

Volume O2 yang dibutuhkan = Liter/menit

V udara oksidasi =

Laju udara oksidasi yang dibutuhkan per menit = 1012,4 m3/menit.

Page 94: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

76

3.4 Grafik

Gambar 3.1 Nilai pH terhadap penyerapan SO2

Gambar 3.2 Trend DCS saat terjadi sulfite blinding pada 1-2 November 2012

(Sumber: PT TJBPS)

y = -1.6212x2 + 2.6974x + 3.9078 R² = 0.8236

0

1

2

3

4

5

6

0% 20% 40% 60% 80% 100%

pH

SO2 Removal

pH terhadap SO2 Removal

pH

Poly. (pH)

Page 95: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

77

3.5 Analisis Data

Dari data yang diambil saat terjadinya sulfite blinding, dapat dilihat

bahwa:

1. Berdasarkan hasil perhitungan yang tercantum dalam tabel 3.2,

efisiensi penyerapan SO2 tertinggi pada tanggal 1-2 November 2012

adalah sebesar 95.02%, yaitu pada saat pembangkit berbeban 612,88

MW, dengan gas buang berkadar SO2 1612,49 mg/Nm3, nilai ini

masih jauh dari ambang batas yang ditetapkan Kementerian

Lingkungan Hidup (KLH) yaitu sebesar 750 mg/Nm3. Gas buang

yang keluar dari FGD memiliki kadar SO2 sebesar 80,13 mg/Nm3.

Nilai ini sudah memenuhi standar yaitu sebesar 750 mg/Nm3.

2. Pada saat-saat pH rendah, persentase SO2 reduction atau efisiensi

penyerapan SO2 rendah. Hal ini menyebabkan kadar SO2 dalam gas

buang yang keluar menuju stack masih cenderung tinggi, bahkan

hingga melewati standar yang telah ditetapkan KLH yaitu sebesar

750 mg/Nm3.

3. pH terendah adalah sebesar 3,98. Di titik ini pula efisiensi

penyerapan SO2 berada pada titik yang paling rendah, yaitu sebesar

1,82% dengan kadar SO2 pada gas buang yang menuju ke stack

sebesar 1101,45 mg/Nm3, nilai ini melewati ambang batas dari KLH

yaitu sebesar 750 mg/Nm3.

4. Hal itu dapat disebabkan karena meningkatnya sulfit dalam absorber,

sehingga menyebabkan pH menurun.

Page 96: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

78

5. Berkurangnya efisiensi penyerapan SO2 mungkin awalnya

disebabkan oleh tertutupnya permukaan aktif dari batu kapur atau

limestone sehingga jumlah SO2 yang dapat terserap menjadi

berkurang.

6. Selain itu, pH yang semakin menurun menyebabkan reaksi absorpsi

menjadi semakin sulit. pH standar adalah dalam kisaran 5,2 hingga

5,6. Dasar dari sistem FGD ini adalah menetralisir asam (SO2)

menggunakan alkali atau basa (CaCO3). Bila keadaan absorber

terlalu asam atau terlalu basa, reaksi penetralisiran akan tidak

sempurna.

7. Terjadinya sulfite blinding tidak dipengaruhi oleh variasi beban.

8. Saat pH absorber semakin menurun, laju aliran limestone slurry

perlahan juga diturunkan. Hal ini bertujuan untuk mengembalikan

pH seperti keadaan operasi normal. Menambah limestone slurry saat

pH menurun dapat semakin menurunkan pH karena akan terus

menerus terjadi reaksi yang tak sempurna antara CaCO3 dan SO2.

9. Berdasarkan perhitungan, laju udara oksidasi yang dibutuhkan agar

terjadi proses oksidasi yang sempurna adalah sebesar 1012,4

m3/menit.

Page 97: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

79

Bab IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dari hasil kajian terhadap data-data dan perhitungan yang telah

dilakukan, dapat disimpulkan:

1. Pada kisaran beban 500-660 MW, PLTU Tanjung Jati B Unit 1

menghasilkan gas buang dengan kadar SO2 berkisar antara 1282 hingga

1779 mg/Nm3.

2. Dalam kondisi operasi normal, FGD dapat mengurangi kadar SO2 dalam

gas buang hingga menjadi 77,48 mg/Nm3, dengan efisiensi SO2 removal

sebesar 94,81%.

3. Sulfite blinding dapat mengurangi efisiensi penyerapan SO2 hingga 90%

karena saat terjadi, pH absorber dapat menurun hingga 3,98 dan

menurunkan efisiensi penyerapan SO 2 menjadi 1,82%.

4. Sulfite blinding terjadi karena reaksi oksidasi yang tidak sempurna.

Penyebab utamanya adalah kurangnya suplai udara oksidasi.

5. Pada kisaran beban 500-660 MW, laju udara oksidasi yang dibutuhkan

agar terjadi proses oksidasi yang sempurna adalah sekitar 1012,4

m3/menit.

Page 98: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir, Ariono. 2011. Teknologi Pembangkit Listrik Ramah Lingkungan.

Bandung: Penerbit ITB

Achmad, Rukaesih. 2004. Kimia Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit Andi

Aladin, Andi. 2011. Sumber Daya Alam Batubara. Bandung: Penerbit Lubuk

Agung

Babcock and Wilcox. 2005. Tanjung Jati B Power Station Flue Gas

Desulfurization System Training. The Babcock and Wilcox Company.

Indone5ia.files.wordpress.com

Jurnalingkungan.wordpress.com

Maller, Gordon. 2008. FGD Chemistry Module on WPCA Duke Energy Seminar.

Concord: World Pollution Control Association

Murdiyoso, Daniel. 2003. 10 Tahun Perjalanan Konvensi Perubahan Iklim.

Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Suharto, Ign. 2011. Limbah Kimia dalam Pencemaran Udara dan Air.

Yogyakarta: Penerbit Andi

Susetyo, Arif. 2012. Flue Gas Desulfurization, An Operational Point of View.

Jepara: PT PLN Tanjung Jati B

Sutresna, Nana. 2006. Kimia untuk SMA kelas II. Bandung: Grafindo Media

Pratama

Page 99: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

LEMBAR KONTROL BIMBINGAN

TUGAS AKHIR

No. FPM

Revisi

Tanggal

Halaman

NAMA : Adik Bela Jannahti

KELAS : KE_3D

NIM : 3.29.10.0.03

JUDUL TUGAS AKHIR :

ANALISIS KASUS SULFITE BLINDING TERHADAPEFISIENSI SO2 REMOVAL PADA SISTEM FLUE GASDESULFURIZAT]ON DI PLTU TANJUNG JATI B UNIT 1

NO TANGGAL URAIAN TANDA TANGANPEMBIMBING

t.

L.

3.

Is,

b

?

8

Ilo

9 ?.'ti Zo tg

{O )*u Lot}

i5 J"q 2ol3

lL bY zotz

l*Lu 2-ct.,r

L8 )r[ 2otB

2z S"u )or3

72 Ju-u 2.>t g

Z\ J*u ,otg

LE ]au J4t7

[}-uulol.^^. 6rU

l1olr,-. b--tl a

A oc b.,t I

Bi."run^.aor^ Vb

&r*=f bc,t, -it

[&-S 6.r" g

Acc b*u ff,Pe*>< beb I

Rqr s Lqt [,

Aec hot E ? -IVLr,E

\, 20rSemarang, ........?.:..'..Pembimbirig Utama,

Page 100: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

LEMBAR KONTROL BIMBINGAN

TUGAS AKHIR

No. FPM

Revisi

Tanggal

Halaman

NAMA : Adik Bela Jannahti

KELAS : KE-3D

NIM : 3.29.10.0.03

JUDUL TUGAS AKHIR:ANALISIS KASUS SULFITE BLINDING TERHADAPEFtStENSt SO2 REMOVAL PADA SISTEM FLUE GASOESULFURIZATION DI PLTU TANJUNG JATI B UNIT 1

NO TANGGAL URAIAN TANDATANGANPEMBIMBING

t"

I

3

4

5"

6

+.

g.

4.

lo.

5 J,^t^ 2-o1t

9 ).ru Zb\,

io ]ut^ 2ot3

it Juti 2r>r5

i5 J"h -)or3

U, Juu 2o r!

i+ lut )ots

iB ).rli J-bt3

i9 XrE tt.f

.2J- Utu, )ot5

$'ijnt2,na1 ol^ bav -1

Rc-rS bcru 5

Acc 6ou f

Bi -Ul,.qp. b"b 3

Re *.si bc"b TRe\dsr *,v If ? bqt

Rwin b".b f[&Cc ba,r E4 cC lr.b E. Rcrtsi

[cc torr" &

JJ

E't Iv

lfl .'/ ,.fu342

4/?,q)Gry

7frq

q. 'Lr, t"/r

P.rS, TegU-h Ha.f iio n-o. M Ult t{, MT.NrP. 1 9561 0271 985031 001

Page 101: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

SURAT KETERANGA}I

SELESAI BIMBINGAN TUGAS AKHIR

Yth. Kaprodi Teknik Konversi Energi

Dwiana Hendrawati, S.T., M.T.

di tempat

Yang bertandatangan dibawah

menerangkan bahwa Mahasiswa :

Nama

NIM

Kelas

ini, Pembimbing Utama dan

: Adik Bela Jannahti

: 3.29.10.0.03

:KE-3D

Pembimbing Pendamping

denganjudul Tugas Akhir :

ANALISIS KASUS SIILFITE BLINDING TERIIADAP EFISIENSI SOZ REMOVAL

PADA SISTEM F'LUE GAS DESULFURIZATION DI

PLTU TANJT]NG JATI B T]hIIT 1

Benar-benar telah menyelesaikan pembuatan Tugas Akhir dan

wawancara TA.

melakukan ujian

'zot3

Mengetahui,

smp

Pembimbing Pendamping

Drs. Teeuh Harijono Mulud. M.T.NrP. 19561027198s03 1001

Pembimbing Utama

t2tee60tl00I

Page 102: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONALPOLITEKI{IK I{E GERI SE MARANG

Jl. Prof. H. Sudharto, S.H. Tembalang, Kotak Pos 6199/SMS, Semarang 50329Tlp . 7 473417 , 7 499585, 7 499586 (hunting) Fax : 7 472396

Web : http://r!'rvii .polines.ac.id. Email : f@

SURAT KETERANGA]\

SIAP UJIAN TUGAS AKHIR

Yang bertanda tangan di bawah ini, Pembimbing Utama dan Pembimbing Pendamping menerangkan

bahwa Mahasiswa :

NO. NAMA NIM KELAS

1 Adik Bela Jannahti 3.29 10 0 03 Konversi Energi 3D

dengan judul tugas akhir :

ANALISIS KASUS SULFITE BLINDING TERI{ADAP EFISIENSI SOZ REMOVAL PADA

SISTEM FLUE GAS DESULFURIZATION DI PLTU TANJUNG JATI B UNIT 1

Benar-benar telah siap untuk diuji dalam ujian tugas akhir.

Surat keterangan ini dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Pembimbing Utama

Semarang, fla,rrl; zQ.t >..U

Pembimbing Pendamping

Drs. Teguh Harijono Mulud. M.T.NrP. 19561027198s03 100112199601 1001

Setelah ditandatangani pembimbing diserahkan kepada administrasijurusan saat pendaftaran ujian

Page 103: Analisis Kasus Sulfite Blinding Terhadap Efisiensi SO2 Removal Pada Sistem Flue Gas Desulfurization Di PLTU Jati B Unit 1

RHITISI TUGAS AKHIR

No. FPM 7.5.2U8

Revisi 2

Tanggal 1Juli2010

Halaman UT

Yang beftanda tangan di bawah ini, penguji VfilIfi menerangkan bahwa :

Analisis Kasus Sulfite Blinding terhadap Efisiensi SO2 Removat

Sistem Flue Gas Desulfurization di pLTU Tanjung Jati B Unit 1

benar-benar telah melaksanakan revisi tugas akhir.

Surat keterangan ini dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

PengujI

Ir. Ilyas Rochani, M.T.NIP. 195110161989031001

Dr. Totok Prasetyo, B.Eng, M.T.NrP. 196204271991031001

Supriyo, S.T., M.T.NIP. 196304241993031001

1. Surat dibuat rangkap tiga, satu hmbar untuk mahasiswa.

2. Setelah ditandatangani pengujil, u, ilI diserahkan kepada Ketua program Studi masing-masing.