ANALISIS FUNGSI DAN REPERTOAR MUSIK DALAM KONTEKS … · analisis fungsi dan repertoar musik dalam...
Transcript of ANALISIS FUNGSI DAN REPERTOAR MUSIK DALAM KONTEKS … · analisis fungsi dan repertoar musik dalam...
ANALISIS FUNGSI DAN REPERTOAR MUSIK DALAM KONTEKS
RITUAL GONDANG SAPOTANG PADA UGAMO MALIM
NAJUMANGHON URAS DI DESA MERANTI TIMUR, KECAMATAN
PINTUPOHAN MERANTI, KABUPATEN TOBA SAMOSIR
SKRIPSI SARJANA
O
L
E
H
NAMA : TUMPAL SINTONG SITORUS
NIM : 130707049
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2018
KATA PENGANTAR
Penulis panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa pencipta
semesta alam serta segala isinya atas kuasa dan bimbinganya menyertai perjalan
dalam menyelesaikan karya ilmiah berbentuk skripsi ini yang berjudul: Analisis
Fungsi dan Repertoar Musik Dalam Konteks Ritual Gondang Sapotang Pada
Ugamo Malim Najumanghon Uras Di Desa Meranti Timur, Kecamatan
Pintupohan Meranti, Kabupaten Toba Samosir. Penulisan karya ilimiah ini
merupakan syarat untuk lulus dari bangku perkuliah dan memperoleh gelar
Sarjana Seni (S.Sn) dari Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara.
Penulis mengucap terima kasih kepada Bapak Prof. Runtung Sitepu, SH,
M.Hum Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Dr. Budi Agustono, M.S
Dekan Fakultas Ilmu Budaya , Ibu Arifni Netrirosa SST., M.A Ketua Departemen
Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara. dan kepada Bapak Drs. Bebas
Sembiring, M.Si Sekretaris Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera
Utara. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh staff Universitas
Sumatera Utara terkhususnya kepada Bapak Drs. Irwansyah Harahap, M.A., dan
Ibu Dra. Rithaony Hutajulu, M.A., selaku dosen pembimbing yang telah memberi
arahan serta saran yang membangun dan membantu penulis dari tahap awal
hingga akhir penulisan karya ilmiah ini. Tidak lupa penulis mengucapkan
terimakasih yang semestinya kepada Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh staff
Departemen Etnomusikologi USU. Bapak Prof. Mauly Purba, M.A.,Ph.D, Bapak
Drs. Torang Naiborhu, M.Hum., Ibu Arifni Netrosa, SST,M.A., Bapak Drs. Bebas
Sembiring, M.Si., Bapak Drs. Perikuten Tarigan, M.Si., Bapak Drs. Kumalo
Tarigan, M.A., Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum.,Ph.D., Ibu Dra. Frida
Deliana, M.Si., Bapak Drs. Dermawan Purba, M.Si., dan Bapak Drs. Fadlin, M.A.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada keluarga
besar Ompung Pahala Sitorus, kepada Orang Tua serta Saudara. Secara khusus,
menyampaikan terimakasih yang utuh dan setulusnya kepada kedua orang tua
penulis, Among Jongguran Sitorus dan Inong Runggu Simanjuntak, yang selalu
mendukung penulis lewat dukungan moril maupun materil. Biarlah doa serta
berkat kalian menjelma sayap yang menerbangkan menuju cita-cita ku. Tidak
terhingga pengorbanan serta kasih yang kalian beri sejak aku lahir, sampai
sekarang dan untuk sepanjang masa. Semoga Among dan Inong senantiasa
dilindungi, diberi kesehatan juga umur yang panjang dari Tuhan Yang Maha
Kuasa.
Ucapan terimakasih yang setulusnya kepada masyarakat Parmalim
najumanghon Uras atas kesediaan serta kemurahan hati untuk menerima penulis
saat melakukan penelitian lapangan dan keterbukaan dalam memberi informasi
yang menjadi bahan pembahasan utama dalam tulisan ini. Penulis sampaikan
terimakasih kepada para informan, kepada Lae Panjaitan yang menerima serta
memberi atap sebagai tempat bernaung selama beberapa kali pertemuan lapangan.
Kepada Ompung Lungguk Siahaan dan Ompung Siagian yang mau meluangkan
waktu untuk menjawab rangkaian pertanyaan yang penulis lontarkan. Tidak lupa
penulis ucapakan terimakasih kepada keluarga Ompung Jaya Simangunsong
selaku parsarune dalam ritual yang dibahas pada tulisan ini, atas kerelaan waktu
dalam membimbing, memberi informasi juga dukungan moral dan materi yang
penulis rasa sangat besar manfaatnya dalam penulisan karya ilmiah ini. Kepada
masyarakat Parmalim na jumanghon Uras tulisan ini penulis persembahkan.
Kepada seluruh teman seangkatan 2013 yang menjadi orang-orang
pertama sebagai saudara juga sahabat dan teman bertukar pikiran dalam
melaksankan perkuliahan dan kegiatan di luar perkuliahan, dengan ini ku ucapkan
terimakasih. Semoga kelak disuatu kesempatan yang diijinkan oleh semesta kita
dapat kembali bekerja sama. Terimaksih buat segala kenangan dan pengalaman
yang kita lewati bersama. Jadilah kita intelektual yang menyumbangkan
pemikiran dalam bentuk nyata dan berguna bagi masyarakat dimanapun kita
berada.
Khusus untuk Black Canal Community dan IME, tempat dimana penulis
memperoleh pengalaman, dukungan, serta tempat yang dipenuhi teman-teman
untuk bermusyawarah secara intensif maupun hanya sekedar debat kusir. Penulis
mengucapkan terimakasih kepada: Bang Dolok Blunder, yang sangat membantu
dari segala sisi materil maupun non materil, beliau sangat membantu terutama
dalam proses pentranskripsian dan analisis yang dibahas dalam tulisan ini, sekali
lagi terimakasih Bang Dols. Juga terimakasih kepada teman-teman yang lain,
Bang Jakson AK Blunder, Nevo Kaban Blunder, Bang Boim, Bang Ivan R.H
Sianipar, Bang Muek, Bang Benny, Abangda AAT(O‟O), Bang Woyo, Bang Coy,
Hiskia Tinok, Mang Ganda Assman, Velix Pele, Sintong Kirby, Anoy Manaek
nan tampan, Ando Penyanyi, Lae Dores (LDR), Pranata Ciks, Lek Juardi, Deni
Djimbo, Daniel Tentara, Bang Goppas, Abanganda July Best dan juga kepada
Bang Welly, adinda Jobel, Gedoy juga Klewang, dan Sry Wahyuni. Penulis juga
mengucapkan kata maaf jika terdapat kesalahan kata serta ada nama yang tidak
disebutkan.
Penulis telah melakukan yang terbaik sejauh ini tetapi penulis menyadari
masih terdapat kekurangan pada setiap bab pembahasan dalam tulisan ini, dengan
demikian tulisan ini masih jauh dari kata sempurna, banyak data belum penulis
dapatkan untuk memenuhi dan menyempurnakan tulisan ini. Oleh karena itu
penulis dengan kerendahan hati serta lapang dada menerima segala bentuk kritik
serta saran demi perbaikan tulisan ini. Akhir kata, Eme si tamba tua parlinggoman
ni siborok, Debata na di ginjang harasma tondi ta di parorot.
Medan, Agustus 2018
Tumpal Sintong Sitorus
NIM: 130707049
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan sebelumnya untuk memperoleh gelar Kesarjanaan di suatu
Perguruan Tinggi, dan sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah di tulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
di dalam skripsi ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Agustus 2018
Tumpal Sintong Sitorus
NIM: 130707049
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul, Analisis Fungsi dan Repertoar Musik dalam
Konteks Ritual Gondang Sapotang pada Ugamo Malim Najumanghon Uras di
Desa Meranti Timur, Kecamatan Pintupohan Meranti Kabupaten Toba
Samosir. Penelitian ini menjabarkan ritual gondang sapotang, fungsi gondang
serta makna yang terkandung di dalamnya. Dalam penelitian ini penulis mencoba
untuk menguraikan secara sistematis berdasarkan pendekatan kualitatif dengan
teknik penelitian lapangan melalui proses kerja studi kepustakaan, observasi,
perekaman dokumentasi ritual, wawancara, serta transkripsi dan analisis
laboratorium. Menekankan pada aspek struktur upacara ritual, konteks, serta
fungsi dari gondang sabangunan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan
sudut pandang atropologi, etnomusikologi, dan musikologi dengan menggunakan
teori Koentjaraningrat (1984: 243) dalam menjabarkan struktur upacara ritual.
Untuk menjelaskan fungsi dari gondang sabangunan penulis menggunakan teori
yang ditawarkan oleh Alan P. Merriam (1964: 223-226). Untuk menjelaskan
struktur musik penulis menekankan pada aspek tempo, meter, serta pola ritem
yang terkandung dalam permainan taganing. Gondang sapotang merupakan suatu
ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat Parmalim Batak Toba, pelaksanaannya
dilatarbalakangi atas dasar kepercayaan religi tradisional yang terkandung di
dalamnya nilai, sendi-sendi adat, serta falsafah kehidupan tradisional masyarakat
Batak Toba. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa dalam pelaksanaan ritual
Gondang sapotang ensambel gondang sabangunan memiliki peran vital terlihat
dari setiap tahapan ritual gondang sabangunan memainkan beragam komposisi
dan repertoar gondang untuk mengintegrasikan masyarakat, berkomunikasi
dengan dimensi spiritual, dan menuntun pelaksanaan ritual.
Kata kunci: gondang sapotang, parmalim, najumanghon uras, gondang
sabangunan, ritual, fungsi, repertoar.
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1: Kondisi Monografi Desa Meranti Timur ............................................ 25
Tabel 2.2: Data kependudukan Desa Meranti Timur ............................................27
Tabel 2.3: Sarana dan Prasarana Desa Meranti Timur.......................................... 27
Tabel 2.4: Struktur Pemerintahan Desa Meranti Timur........................................ 31
Tabel 3:1 Denah Denah posisi peserta ritual .........................................................60
Tabel 5.1: Daftar Tempo Repertoar Gondang Somba.............................................151
Tabel 5.2: Motif Pada Tangan Kiri Gondang Somba Tu Mulajadi na Bolon.......153
Tabel 5.3: Motif Pada Tangan Kanan Gondang Somba Tu Mulajadi na Bolon..154
Tabel 5.4: Motif Pada Tangan Kiri Gondang Somba Tu Debata na Tolu............155
Tabel 5.5: Motif Pada Tangan Kanan Gondang Somba Tu Debata na Tolu........156
Tabel 5.6: Motif Pada Tangan Kiri Gondang Somba Tu Siboru Deak Parujar...158
Tabel 5.7: Motif Pada T. Kanan Gondang Somba Tu Siboru Deak Parujar……158
Tabel 5.8: Motif Pada Tangan Kiri Gondang Somba Tu Sisingamangaraja........159
Tabel 5.9: Motif Pada T Kanan Gondang Somba Tu Sisingamangaraja..............160
Tabel 5.10: Motif Pada Tangan Kiri Gondang Somba Tu Bautan ni Tano..........162
Tabel 5.11: Motif Pada Tangan Kanan Gondang Somba Tu Bautan ni Tano......164
Tabel 5.12: Motif Pada T. Kiri Gondang Somba Tu Raja Parhabinsaran...........166
Tabel 5.13: Motif Pada T. Kanan Gondang Somba Tu Raja Parhabinsaran.......166
Tabel 5.14: Motif Pada T. Kiri Gondang Somba Tu Ina na Mailiubulung...........168
Tabel 5.15: Motif Pada T. Kanan Gondang Somba Ina na Mailiubulung............169
Tabel 5.16: Motif Pada T. Kiri Gondang Somba Tu Raja Panumpahi.................170
Tabel 5.17: Motif Pada T. Kiri Gondang Somba Tu Raja Panumpahi.................172
Tabel 5.18: Motif T. Kiri Gondang Somba Boru Saneang Naga, Hasahatan.....173
Tabel 5.19: Motif T. Kanan Gondang Somba Boru Saneang Naga, Hasahatan.174
DAFTAR NOTASI
Notasi 5.1: Pola Mangodapi Gondang Somba tu Debata Mulajadi na Bolon.....135
Notasi 5.2: Pola Mangodapi Gondang Somba tu Debata na Tolu.........................136
Notasi 5.3: Pola Mangodapi Gondang Somba tu Si Boru Deak Parujar..............137
Notasi 5.4: Pola Mangodapi Gondang Somba tu Sisingamangaraja...................138
Notasi 5.5: Pola Mangodapi Gondang Somba tu Bauntanni tano....................... 139
Notasi 5.6: Pola Mangodapi Gondang Somba tu Bauntan ni tano........................140
Notasi 5.7: Pola Mangodapi Gondang Somba tu Raja Parhabinsaran................141
Notasi 5.8: Pola Mangodapi Gondang Somba tu Raja Parhabinsaran................142
Notasi 5.9: Pola Mangodapi Gondang Somba tu Boru Tolam Banua,................. 143
Notasi 5.10: Pola Mangodapi Gondang Somba tu Boru Tolam Banua.................144
Notasi 5.11: Pola Mangodapi G.Somba tu Raja Panumpahi.................................145
Notasi 5.12: Pola Mangodapi G. Somba tu Raja Panumpah................................146
Notasi 5.13: Pola Mangodapi G. Somba tu Boru Saneang Naga.......................... 147
Notasi 5.14: Contoh sistem notasi pada Taganing...................................................148
Notasi 5.15: Pola Siklus Ogung..................................................................................153
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
PENGESAHAN PEMBIMBING ........................................................................ii
PERSETUJUAN PROGRAM STUDI ..............................................................iii
PENGESAHAN FAKULTAS ............................................................................iv
KATA PENGANTAR ..........................................................................................v
PERNYATAAN ...................................................................................................ix
ABSTRAK….……….............................................................................................x
DAFTAR ISI……................................................................................................xii
DAFTAR TABEL.................................................................................................xi
DAFTAR NOTASI...............................................................................................xi
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Pembatasan Masalah.................................................................................6
1.3 Pokok Permasalahan.................................................................................8
1.4 Tujuan dan manfaat..................................................................................9
1.4.1 Tujuan Penelitian.....................................................................9
1.4.2 Manfaat Penelitian...................................................................9
1.5 Konsep dan Teori....................................................................................10
1.5.1 Konsep...................................................................................10
1.5.2 Teori.......................................................................................13
1.6 Metode Penelitian.............................. ....................................................16
1.6.1 Studi Kepustakaan.................................................................17
1.6.2 Pemilihan Informan...............................................................19
1.6.3 Lokasi Penelitian.................................................................. 20
1.7 Kerja Lapangan.............................. .......................................................20
1.7.1 Observasi...............................................................................20
1.7.2 Wawancara.............................. .............................................21
1.7.3 Dokumentasi dan Perekaman................................................21
1.8 Kerja Laboratorium........................... ....................................................22
1.8.1. Penyediaan Data...................................................................22
1.8.2 Pengolahan Data................................................................... 22
BAB II MASYARAKAT BATAK TOBA DI DESA MERANTI TIMUR…..24
2.1 Monografi Desa Meranti Timur..............................................................24
2.2 Masyarakat Meranti Timur.....................................................................26
2.3 Asal usul Batak Toba di Meranti Timur.................................................28
2.4 Sistem Masyarakat..................................................................................30
2.5 Sistem Kekerabatan................................................................................31
2.5.1 Kekerabatan Berdasarkan Hubungan Darah.........................32
2.5.2 Kekerabatan Berdasarkan Hubungan Perkawinan................33
2.6 Sistem Bahasa.........................................................................................37
2.7 Religi.......................................................................................................38
2.8 Sistem Matapencaharian.........................................................................46
2.9 Sistem Kesenian......................................................................................47
2.9.1 Seni Musik.............................................................................47
2.9.2 Seni Tari (Tortor) .................................................................48
2.9.3 Seni Sastra.............................................................................49
2.9.4 Seni Rupa...............................................................................49
BAB III TAHAPAN DAN ANALISIS RITUAL GONDANG SAPOTANG....51
3.1. Pendahuluan...........................................................................................51
3.2. Pengertian, Latar Belakang dan Tujuan Gondang Sapotang.................51
3.3. Tempat Pelaksanaan Ritual Gondang Sapotang....................................57
3.4. Saat Ritual Gondang Sapotang..............................................................60
3.5. Peralatan dan Bahan Perlengkapan Ritual Gondang Sapotang.............61
3.5.1 Peralatan .............................. .............................. ..................61
3.5.2 Bahan Perlengkapan Ritual...................................................65
3.5.2.1 Pelean dan Rudang rudang.......................................66
3.5.2.1.1 Pelean..............................................................66
3.5.2.1.2 Rudang rudang................................................67
3.5.2.2 Gantang.....................................................................69
3.5.2.3 Parabiton..................................................................69
3.5.2.4. Piso Ompu Marsada dan Ulos Simarinjam Sisi.......72
3.5.2.5 Hain Tolu Rupa.........................................................73
3.6. Pendukung Ritual Gondang Sapotang...................................................73
3.6.1 Partamiang............................. ..............................................73
3.6.2 Panitangi...............................................................................74
3.6.3 Parbaringin...........................................................................74
3.6.4 Partahi...................................................................................74
3.6.5 Ama dan Ina...........................................................................75
3.6.6 Raja Panggomgomi...............................................................75
3.6.7 Pargonsi................................................................................75
3.6.8 Parhobas................................................................................76
3.7 Pelaksanaan Ritual Gondang Sapotang..................................................76
3.7.1 Persiapan Ritual Gondang Sapotang.....................................76
3.7.2 Jalannya Ritual Gondang Sapotang......................................77
3.7.2.1 Parungguhon.............................................................77
3.7.2.2 Marmual Si Titotio dohot Marindahan na Las.........79
3.7.2.3 Mangarudangi...........................................................80
3.7.2.4 Panakokhon Pelean...................................................85
3.7.2.5 Paniaran Ina/ Tortor Ina..........................................81
3.7.2.6 Paniaran Ama/ Tonggo Ama/ Tortor ama................84
3.7.2.7 Tortor Hombar Balok................................................86
3.7.2.8 Jou tu Natuatuani Huta dohot Panggomgomi Huta.92
3.7.2.9 Maradi.......................................................................93
3.7.2.10 Ulaon Pajonjong Sahala.........................................93
3.7.2.10.1 Pajonjong Sahala Ina..........................94
3.7.2.10.2 Pajonjong Sahala Ama........................95
3.7.2.11 Manggohi Ulaon Sian Ulu Punguan......................97
IV FUNGSI GONDANG SABANGUNAN PADA RITUAL GONDANG
SAPOTANG.........................................................................................................100
4.1 Pendahuluan..........................................................................................100
4.2. Fungsi Gondang Sabangunan Saat Parrunguhon...............................103
4.3 Fungsi Gondang Sabangunan Saat Mangarudangi..............................106
4.4 Fungsi Gondang Sabangunan Saat Paojakhon Pelean........................107
4.5 Fungsi Gondang Sabangunan Saat Prosesi Paniaran Ina....................109
4.6 Fungsi Gondang Sabangunan Saat Paniaran Ama..............................110
4.6.1 Alualu.............................. .............................. ............................110
4.6.2 Gondang Somba.............................. .............................. ...........112
4.6.3 Gondang Adat.............................. .............................. .............. 122
4.7 Fungsi Gondang Sabangunan Saat Maradi..........................................124
4.8 Fungsi Gondang Sabangunan saat Pajonjong Sahala Ina...................125
4.9 Fungsi Gondang Sabangunan saat Pajonjong Sahala Ama.................126
4.10 Manggohi Ulaon Sian Ulu Punguan..................................................128
4.11 Fungsi Gondang Sabangunan dalam ritual Gondang Sapotang........130
BAB V TRANSKRIPSI DAN ANALISIS STRUKTUR MUSIK TAGANING
PADA GONDANG SABANGUNAN DALAM REPERTOAR GONDANG
SOMBA PADA RITUAL GONDANG SAPOTANG........................................131
5.1 Transkripsi..............................................................................................131
5.1.1 Metode Transkripsi..................................................................133
5.1.2 Sistem Notasi…........................................................................134
5.2 Analisis Struktur Musik Taganing, Repertoar Gondang Somba............149
5.2.1 Metode Analisis........................................................................149
5.2.1.1 Tempo......................................................................................150
5.2.1.2 Meter........................................................................................152
5.2.1.3 Motif dan Pola Ritem Pada Repertoar Gondang Somba.........153
5.2.1.3.1 Gondang Somba tu Debata Mulajadi na Bolon............153
5.2.1.3.2 Gondang Somba tu Debata na Tolu…………….…….155
5.2.1.3.3 Gondang Somba tu Si Boru Deak Parujar....................158
5.2.1.3.4 Gondang Somba tu Sisingamangaraja………………..159
5.2.1.3.5 Gondang Somba tu Bautanni Tano...............................162
5.2.1.3.6 Gondang Somba tu Raja Parhabinsaran......................166
5.2.1.3.7 Gondang Somba tu Ina na Mailiu Bulung.....................168
5.2.1.3.8 Gondang Somba tu Raja Panumpahi Raja Panolongi..170
5.2.1.3.9Gondang Somba tu Parmual Sitotio, Raja Hasahatan...173
BAB VI PENUTUP........................................................................................... 176
6.1 Kesimpulan...........................................................................................176
6.2 Saran ....................................................................................................180
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................183
DAFTAR INFORMAN......................................................................................185
LAMPIRAN .......................................................................................................186
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gondang sapotang merupakan salah satu ritual keagamaan yang terdapat
dalam masyarakat Parmalim Najumanghon Uras Batak Toba. Ditinjau secara
etimologi, gondang sapotang terdiri atas kata gondang yang bermakna upacara
dan sapotang yang bermakna senja atau malam. Kedua kata tersebut membentuk
suatu arti kegiatan ritual yang dilaksanakan ketika senja menjelang malam hari.
Dalam praktiknya ritual gondang sapotang memiliki beragam konteks
diantaranya, untuk memohon berkat dan memuji Mulajadi na bolon dan tondi
turunannya. Konteks ini disebut dengan mangurgur uras atau ulaon hadosan yang
dilaksanakan oleh seluruh anggota dalam satu ikatan atau satu ruas. Ulaon
marsumangot dilaksanakan oleh satu keluarga besar yang berasal dari satu garis
keturunan (genealogis) untuk mendoakan dan meminta berkat dari arwah leluhur.
Ulaon marsaem dilaksanakan satu keluarga yang terdiri atas pasangan suami isteri
dan keturunan mereka untuk memohon kesembuhan dari penyakit yang diderita
salah satu dari anggota keluarga. Namun, pelaksanaan gondang sapotang apapun
konteksnya tidak terlepas dari unsur religi Parmalim Najumanghon Uras.
Menurut Koentjaraningrat ada beberapa unsur yang terdapat pada sebuah
upacara, yaitu : (a) bersaji, (b) berkorban, (c) berdoa, (d) makan bersama dengan
makanan yang telah disucikan dengan doa, (e) menari tarian suci, (f) menyanyi
nyanyian suci, (g) berprosesi atau berpawai, (h) memainkan seni drama suci, (i)
berpuasa, (j) intoksikasi atau mengaburkan pikiran dengan makan obat bius
sampai kerasukan, (k) bertapa, (i) bersemadi1. Unsur yang ada terdapat dalam
ritual ini adalah (a) bersaji, (b) berkorban, (c) berdoa, (d) makan bersama dengan
makanan yang telah disucikan dengan doa, (e) menari tarian suci, (f) menyanyi
nyanyian suci (bermain alat music dengan memainkan repertoar tertentu).
Beragam material utama yang terdapat dalam pelaksanaan ritual
diantaranya, pangurasan (wadah berisi air, jeruk purut, dan kemangi),
pandaupaan (wadah pembakar kemenyan), rudang-rudang, pelean (sesajen), dan
ensambel gondang sabangunan. Pangurasan merupakan mangkuk porselen
berwarna putih yang menampung di dalamnya mual sitiotio (air tawar), bue ni
junjung buhit (jeruk purut), sanggul banebane (kemangi). Pandaupaan
merupakan wadah kayu tempat membakar getah kemenyan. Rudang-rudang dan
pelean merupakan sesaji yang terdiri atas bahan-bahan makanan yang dapat
dikonsumsi dan tidak dapat dikonsumsi, baik yang telah diolah maupun yang
masih mentah yang terdiri atas: sanggul banebane, baion si tudu langit, ratting ni
demban, baringin, ihan, parbue, sugi sugi, gambiri, taor, tolor ni manuk, manuk
puti, sitompion, napuran na humbang, pandaupaan.
Gondang sabangunan merupakan ensambel musik Batak Toba yang
memiliki peran penting dalam kegiatan adat dan religi suku Batak Toba yang
terdiri atas sebuah sarune bolon (double reeds-oboe), seperangkat susunan 5
taganing (single-headed drum) diurut dari ukuran terkecil: tingting, paidua
tingting, painonga, paidua odap, odap odap, odap (double headed drum), dan
gordang bolon (single-headed bass drum), empat buah ogung (suspended-gongs):
1 Pengantar Ilmu Antropologi, Koentjaraningrat (edisi revisi 2009:296)
ogung oloan, ogung doal, ogung panggora, dan ogung ihutan, serta satu buah
hesek (idiophone).
Sarune Bolon (double reeds-oboe) merupakan instrument aerophone yang
dimainkan dengan ditiup. Dalam budaya musikal Batak Toba sarune bolon
berfungsi sebagai pembawa melodi utama dari sebuah komposisi gondang
sabangunan.
Taganing (single-headed drum) adalah instrument gendang yang memiliki
unsur melodis (drum chimes) terdiri dari 5 gendang dimainkan oleh satu orang
yang disebut sebagai partaganing. Gordang bolon (single-headed bass drum)
merupakan gendang yang terbesar ukurannya dan dimainkan oleh satu orang dan
yang memainkanya disebut panggordang. Dalam konsep ensambel gondang
sabangunan, gordang bolon berperan sebagai istrumen ritmikal. Odap (double
headed drum) merupakan gendang yang sangat khusus penggunaan dalam
masyarakat Batak Toba, odap hanya dimainkan untuk kepentingan spiritual, tidak
dimainkan untuk mengiringi gondang-gondang dalam konteks adat (seremonial
social)2. Dalam praktiknya taganing (single-headed drum), odap (double headed
drum), dan gordang bolon (single-headed bass drum) merupakan jenis instrument
gendang (membranophone) yang selalu digabung dalam suatu pelaksanaan
upacara adat ataupun ritual masyarakata Batak Toba dan pada umumnya selalu
dimainkan oleh dua orang dengan menggunakan palupalu atau stik yang terbuat
dari kayu atau rotan.
Ogung (suspended-gongs) merupakan seperangkat gong berpencu
berjumalah 4 buah yang digantung pada seutas tali, masing-masing gong
2 Harahap, (2016:196)
dimainkan oleh satu orang yang berfunsi sebagai penentu pola kolotomik dari
permainan gondang sabangunan.
Hesek (idiophone) merupakan plat logam atau kayu yang dapat
menghasilkan bunyi nyaring, berfungsi sebagai penentu pulsa dasar dalam
permainan gondang sabangunan.
Dalam pelaksanaan gondang sapotang ensambel gondang sabangunan
dimainkan berbeda dari ensambel gondang sabangunan pada umumnya.
Penggunaan ensambel gondang sabangunan terdiri atas dua ensambel yang
dimainkan pada tahapan berlangsungnya ritual, yakni pada awal dimulainya ritual,
gondang sabangunan dimainkan di luar rumah dengan susunan empat ogung dan
satu taganing. Tahapan ini disebut sebagai parrungguan. Kemudian, tahapan
berlangsungnya ritual gondang sabangunan dimainkan dengan susunan
instrument yang terdiri atas sarune bolon, empat ogung, taganing dan odap tanpa
gordang bolon. Taganing dimainkan oleh satu orang sedangkan pada umumnya
dimainkan oleh dua orang.
Pentingnya gondang sabangunan terefleksikan dari tonggo yang
disampaikan partamiang saat berlangsungnya ritual, yakni berbunyi demikian:
“Asa mangalu alu ahu da Oppung Martua Debata Mulajadi Na Bolon na
di banua ginjang, ala takkas do hamu Martua Debata Mulajadi Nabolon
na jumadihon hami jolma manisia, dison di tea hami ima sitoppion na
bolon, napuran na hombang, parbue sitiotio, ima na ni ondoshon ni
gondang sabangunan”.
Terjemahan
“Mengadu aku Oppung Martua Debata Mulajadi Na Bolon di dunia atas,
sebab Engkau Martua Debata Mulajadi Nabolon yang menciptakan kami
manusia, di sini kami junjung sitoppion na bolon, napuran na hombang,
parbue sitiotio, yang disampaikan gondang sabangunan”.
Dari urain tonggo alualu di atas dapat kita lihat betapa pentingnya
gondang sabangunan sebab melalui gondang sabangunan pelean itu
disampaikan. Dengan kata lain gondang sabangunan adalah jembatan yang
menghubungkan komunikasi manusia dengan sang pencipta menurut ajaran
Parmalim.
Dalam praktiknya taganing yang terdapat dalam susunan gondang
sabangunan umumnya juga memainkan melodi. Namun dalam ritual gondang
sapotang Parmalim Najumanghon Uras, taganing dimainkan dengan cara
mangodap-odapi, yaitu stik pada tangan kiri mengikuti pola siklus ogung dan stik
pada tangan kanan hanya membuat pola ritme dengan aksentuasi diantara melodi
sarune bolon3 atau hanya memainkan ritem konstan dengan membunyikan salah
satu dari beberapa instrument gendang yang menyusun perangkat taganing. Hal
tersebut menunjukkan bahwa dalam konsep musikal Parmalim Najumanghon
Uras terdapat pemahaman jika tiap gendang yang menyusun kesatuan taganing
mewakili atau merupakan refleksi dari salah satu tondi na marsahala yang
terdapat dalam kepercayaan Parmalim Najumangho Uras. Hal ini juga terlihat
pada saat alu-alu (pemberitahuan) selesai disampaikan oleh partamiang,
partaganing meneruskan alu-alu dengan membunyikan salah satu dari susunan
taganing atau gordang.
Dalam pelaksanaan ritual gondang sapotang terdapat beragam repertoar
yang dimainkan khusus untuk mewakili dan mengiringi prosesi ritual yang sedang
berlangsung. Tiap repertoar terdiri atas beberapa komposisi gondang yang
3 Lihat Skripsi Mario King A.S. Sianipar “Deskripsi Struktur dan fungsi music taganing
pada repertoar sipitu gondang dalam ensambel gondang sabangunan yang disajikan oleh
Maningar Sitorus 2015, hlm 2.
dimainkan secara khusus sesuai konteks prosesi ritual. Repertoar yang dimainkan
gondang sabangunan dalam ritual gondang sapotang memiliki peran vital serta
posisi yang sangat penting. Berdasarkan repertoar-repertoar tersebut terlihat jelas
prosesi ritual yang sedang berlangsung serta susunan doa dan permintaan yang
ditujukan kepada tondi na marsahala; figure-figure keillahian yang dipercaya dan
disembah dalam ajaran ugamo malim najumanghon uras.
Berdasarkan uraian singkat yang penulis jabarkan di atas, penulis melihat
bahwa gondang sabangunan adalah salah satu elemen pendukung utama yang
tidak terpisahkan dalam pelaksanaan ritual gondang sapotang yang dalam setiap
tahapannya gondang sabangunan selalu dimainkan dengan repertoar yang
mewakili konteks tahapan ritual tersebut. Oleh sebab itu, penulis merasa perlu
untuk segera melakukan penelitian ini, disebabkan kelangkaan kepustakaan
mengenai Parmalim terkhususnya Parmalim Najumanghon Uras serta belum
adanya penelitian dalam bidang Etnomusikologi yang membahas mengenai
penggunaan gondang khususnya dalam masyarakat Parmalim Najumanghon
Uras. Dengan demikian, penulis membahas dan mengkajinya menjadi bahan
penelitian ilmiah berbentuk skripsi dengan judul: ANALISIS FUNGSI DAN
REPERTOAR MUSIK DALAM KONTEKS RITUAL GONDANG
SAPOTANG PADA “UGAMO” MALIM NAJUMANGHON URAS DI DESA
MERANTI TIMUR, KECAMATAN PINTUPOHAN MERANTI,
KABUPATEN TOBA SAMOSIR.
1.2 Pembatasan Masalah
Dari beragamnya konteks dalam pelaksanaan ritual gondang sapotang
yang dilaksanakan oleh ugamo malim na jumanghon uras, penulis memfokuskan
pembahasan pelaksanaan ritual gondang sapotang yang berlangsung tanggal 18-
19 Maret 2018 di desa Meranti Timur dusun Adian Baja Kecamatan Pintu Pohan
Meranti Kabupaten Tobasa. Hal ini disebabkan, pelaksanaan ritual tersebut
berlangsung atas dasar kepentingan bersama lepas dari kepentingan pribadi
individual penganut ugamo malim najumanghon uras. Ritual dalam pembahasan
ini juga disebut sebagai ulaon hadosan, bermakna ritual yang dilaksanakan atas
dasar musyawarah kolektif menunjukkan bahwa unsur sosial dari ritual tersebut
sangat ditonjolkan.
Penulis memfokuskan pembahasan dengan menggunakan sudut pandang
sosial, antropologi, dan musikologi dengan menekankan pembahasan struktur
ritual, konteks ritual, teks tonggo serta makna ritual dan unsur musikal yang
terdapat dalam pelaksanaan ritual sebagai pendukung berlangsungnya ritual.
Terdapat tiga pendekatan untuk mendeskripsikan musik yaitu: 1. Sistematif;
2.Intuitif; 3. Selektif (Bruno Netll, terjemahan 2012: 133).
Pendekatan sistematis merupakan suatu deskripsi musik melalui
identifikasi segala yang mungkin atau banyak, tujuan praktis sekelompok aspek-
aspek musik tertentu, dan menjabarkan tiap aspek dari sebuah komposisi atau dari
sekumpulan komposisi musik karena suatu alasan dapat dikategorikan sebagai
sebuah unit. Pendekatan intuitif merupakan suatu pendekatan alternatif dari
pendekatan sistematik elemen-elemen yang menyusun suatu kesatuan musik
dengan menekankan pada pembahasan terpenting dari unsur musik berdasarkan
pernyataan dari pemilik kebudayaan tersebut. Pendekatan selektif merupakan
suatu pendekatan yang berupaya untuk tidak menjabarkan suatu komposisi atau
suatu korpus musik secara total, serta hanya menganalisis aspek-aspek yang saling
berkaitan di dalam musik. Hal tersebut disebabkan si peneliti berasumsi bahwa
aspek tertentu di dalam musik tersebut lebih mendasar daripada aspek yang lain.
Dengan demikian, penulis menggunakan pendekatan intuitif dan selektif dalam
mendeskripsikan aspek yang berhubungan dengan unsur musikal di dalam
pelaksanaan ritual gondang sapotang.
Dari banyaknya komposisi gondang yang dimainkan ketika
berlangsungnya ritual keseluruhannya terdapat dalam beberapa repertoar. Penulis
menekankan pada pentranskripsian pola yang dimainkan oleh instrument taganing
dalam repertoar gondang somba yang dimainkan ketika partamiang selesai
martonggo. Adapun alasan fokus pentranskripsian pada repertoar gondang somba
dikarenakan repertoar gondang somba terdiri atas kumpulan komposisi gondang
yang merupakan komposisi utama dalam pelaksanaan ritual. Hal ini terlihat dari
seringnya komposisi-komposisi tersebut dimainkan di luar kesatuan repertoar
gondang somba ketika ritual sedang berjalan. Dalam pelaksanaan ritual ketika
gondang dimainkan instrument taganing hanya memainkan pola mangodapi. Hal
tersebut berbeda dari pola permainan taganing yang juga memainkan melodi
dalam kebudayaan music Batak Toba. Karena tiap buah taganing merupakan
representasi dari figure-figure keillahian yang dipercaya dalam ajaran ugamo
malim najumanghon uras, partaganing hanya memainkan salah satu dari masing-
masing penyusun taganing dengan variasi pola ritem sesuai kepada siapa gondang
tersebut ditujukan. Berdasarkan hal tersebut penulis memfokuskan
pentranskripsian dan analisis pada pola mangodap-odapi yang dimainkan
instrument taganing.
1.3 Pokok Permasalahan
Atas dasar latar belakang yang telah penulis jabarkan sebelumnya dalam
uraian di atas, pokok permasalahan, yaitu:
1. Bagaimana tahapan dan makna ritual gondang sapotang Parmalim
Najumanghon Uras di Desa Meranti Timur?
2. Bagaimana fungsi repertoar gondang sabangunan dalam jalannya ritual
gondang sapotang Parmalim Najumanghon Uras di Desa Meranti Timur?
1.4 Tujuan dan manfaat
1.4.1 Tujuan
Hal yang menjadi tujuan dalam penelitan ini adalah seperti berikut ini:
1. Untuk memahami makna dari ritual gontang sapotang Parmalim
Najumanghon Uras secara holistik.
2. Untuk menganalisis dan memahami posisi serta peranan repertoar
gondang sabangunan dalam ritual gondang sapotang Parmalim
Najumanghon Uras.
3. Sebagai materi preservasi upacara ritual Parmalim Najumanghon
Uras.
1.4.2 Manfaat
Penulis berharap bahwa hasil penelitian ini dapat memberi manfaat bagi
khalayak, terkhususnya masyarakat secara umum. Adapun manfaat yang
penulis maksudkan adalah sebagai berikut:
1. Sebagai bahan informasi yang bermanfaat dan berguna bagi
masyarakat untuk mengenal keberagaman kebudayaan bangsa
Indonesia terkhususnya Parmalim Najumanghon Uras.
2. Sebagai sumbangan kecil untuk menutup lubang kosong
perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia.
3. Sebagai pelengkap tulisan dalam bidang Etnomusikologi di
Universitas Sumatera Utara.
1.5 Konsep dan Teori
Untuk membantu penulis dalam mewujudkan tujuan dan manfaat yang
hendak diraih dalam penelitian, peneliti meminjam buah-buah pikiran dari para
peneliti sebelumnya yang berkompeten dalam bidang ini. Penulis menjadikan
pemikiran-pemikiran tersebut sebagai landasan dalam mengumpulkan dan
mengolah data.
1.5.1 Konsep
Konsep adalah pengertian abstrak dari konsepsi-konsepsi atau pengetian,
pendapat (faham) yang telah ada dalam pikiran (Bacthiar 1997:10) hal ini senada
dengan apa yang dinyatakan Soedjadi (2000:14). Konsep adalah ide abstrak yang
dapat digunakan untuk mengadakan klasifikasi atau penggolongan yang pada
umumnya dinyatakan dengan suatu istilah atau rangkaian kata (lambang bahasa).
Seorang individu dapat juga menggabungkan dan membanding-bandingkan
bagian-bagian dari suatu penggambaran dengan bagian-bagian dari berbagai
penggambaran lain yang sejenis, berdasarkan azas-azas tertentu secara konsisten
(Koentjaraningrat (1990:104).
Berdasarkan hal yang dikemukakan para ahli di atas, konsep menurut
penulis adalah susunan pengertian yang dibentuk sebagai dasar dalam usaha untuk
menemukan suatu pemahaman akan adanya hubungan empiris antara subjek
dengan objek.
Melakukan analisis berarti melakukan kajian untuk memahami struktur
suatu fenomena-fenomena yang berlaku di lapangan (Iskandar 2009: 136). Kata
analisis dalam tulisan ini bermakna untuk memahami struktur dan konteks dari
penggunaan gondang sabangunan di dalam ritual gondang sapotang. Dengan
demikian penulis melakukan penguraian data dengan tahap pengorganisasian data
yaitu mengurutkan, mengelompokkan secara sitematis data yang di peroleh dari
hasil pengamatan, wawancara, catatan lapangan, dan data dokumentasi audio
visual.
Istilah musik dalam Oxford Universal Dictionary Third Edition 1955
(Merriam, 1964:27) didefinisikan sebagai berikut:
“An art of sound in time which expresses ideas and emotions in significant
forms through the elements of rhythm, melody, harmony, and color”.
Secara harfiah berarti, salah satu bagian seni murni yang meliputi kombinasi
bunyi-bunyian dengan suatu pandangan dalam memperindah bentuk dan ekspresi
hasil pikiran atau perasaan. Selain itu musik diartikan di dalam American College
Dictionary Text Edition 1948 (Merriam 1964:27) sebagai:
“That one of the fine arts which is concerned with the combination of
sounds with a view to beauty of form and the expression of thought or
feeling”.
Artinya, musik adalah sebagai salah satu seni yang medianya suara diolah
berdasarkan waktu yang mengekspresi berbagai gagasan dan emosi dalam bentuk
yang signifikan melalui unsur-unsur ritme, melodi, harmoni, dan warna suara.
Berdasarkan dua pengertian musik di atas, dapat disimpulkan bahwa musikal
merupakan suatu hal yang berasal dari kombinasi pemikiran dan perasaan yang
bermediakan suara yang diolah berdasarkan waktu untuk mengungkapkan
ekspresi beragam gagasan serta beragam emosi di mana mengandung kombinasi
bunyi-bunyian (ritme, melodi, harmoni, dan warna).
Repertoar adalah kumpulan beberapa komposisi lagu yang membentuk
dan memiliki korelasi satu dengan yang lainnya.
Dalam sebuah makalah yang ditulis tahun 1923 oleh Bronislaw
Malinowski menciptakan istilah konteks situasi yang dimaksud dengan istilah itu
adalah lingkungan (Halliday, 1992:7). Konteks yang penulis maksud di sini
adalah mencakup peranan musik di dalam ruang dan waktu atau lingkungan saat
berlangsungnya ritual gondang sapotang.
Koentjaraningrat mengemukakan tiga komponen yang ada dalam religi,
yaitu:
1. Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia menjadi religious.
2. Sisitem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan-
banyang manusia tentang sifat tuhan, serta tentang wujud dari alam
gaib.
3. Sistem upacara religius yang bertujuan mencari hubungan antara
manusia dengan tuhan, dewa-dewa atau mahluk halus yang mendiami
alam gaib.
Ritual menurut Echols dan Sadily (2000:488) memiliki arti upacara
keagamaan, adalah sistem atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau
hukum yang berlaku di dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai
macam peristiwa yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan
(Koentjaraningrat 1987:190).
Gondang sapotang terdiri atas kata gondang yang bermakna upacara dan
sapotang yang bermakna senja atau malam, bila digabung kedua kata itu
membentuk suatu arti kegiatan ritual yang dilaksanakan saat senja menjelang
malam hari. Beragamnya konteks pelaksanaan gondang sapotang menyebabkan
penulis memfokuskan pembahasan pada pelaksanaan ritual yang dilakukan oleh
seluruh anggota dalam satu ikatan atau satu ruas yaitu disebut ulaon hadosan.
Parmalim merupakan sebutan yang terbentuk dari imbuhan par- berarti
„yang melakukan‟ dan malim yang berarti „suci/bersih‟. Bila disatukan
membangun suatu definisi orang yang berlaku atau bertindak sesuai dengan
prinsip-prinsip kesucian (Torang Naiborhu, 2008:73). Hal ini telihat dari sikap
dalam kehidupan yang terdiri atas beberapa bentuk kesucian4 yang harus
dijalankan dalam kehidupan, yaitu malim di simalolong (mengendalikan diri
dalam melihat), malim di sipareon (mengendalikan diri dalam mendengar), malim
di simangkudap (mengendalikan diri ketika berbicara), malim pangalaho (baik
dalam bersikap), dan asa malim di pusu pusuk (agar suci sanubari).
Dari penjelasan konsep yang telah penulis jabarankan, tulisan ini mengkaji
secara mendalam makna tiap tahapan proses ritual gondang sapotang yang
dilakukan Parmalim Najumanghon Uras, mencari tahu makna dari setiap materi
pendukung jalannya ritual gondang sapotang, dan melihat bagaimana peranan
dari gondang sabangunan dalam ritual gondang sapotang.
4 Wawancara dengan M. Simangunsong pada tanggal 04 Mei 2018 di desa Lobu Jior
1.5.2 Teori
Teori berfungsi untuk mensitematiskan penemuan-penemuan penelitian,
menyajikan penjelasan dan, dalam hal ini, untuk menjawab pertanyaan mengapa.
(Marx dan Goodson dalam Lexy J. Moloeng, 2007). Sebagai landasan dalam
peneliatian ini penulis menggunkan teori-reori yang relevan untuk membahas
ritual dan peranan gondang sabangunan (musikal) dan hal-hal yang terkait di
dalamnya.
Bruno Netll mengungkapakan bahwa salah satu studi etnomusikologi
adalah musik rakyat yang berkaitan dengan konteks budayanya (1964: 5, 269).
Berdasarkan hal tersebut studi etnomusikologi bukan hanya mempelajari musik
sebagai musik dalam bentuk bunyi-bunyian saja melainkan lebih dari itu yakni
mempelajari manusia dan budaya yang berkaitan erat dengan kehidupan manusia
tersebut. Hal tersebutlah yang penulis lakukan dalam penulisan karya ilmiah ini.
Allan P.Meriam mengajukan penuntun penelitian berdasarkan tiga
tingkatan yaitu: (1) Konsep-konsep mengenai musik, (2) Tingkah laku, (3) Bunyi
musik itu sendiri5. Meriam menjelaskan bahwa bunyi musik memiliki suatu
stuktur dan bahkan memiliki suatu sistem yang berkolerasi erat dengan
pendengarnya. Penulis melakukan pentranskripsian bunyi taganing untuk melihat
pola ritem dasar dari bunyi taganing yang dimainkan dalam pelaksanaan ritual
gondang sapotang. Musik dihasilkan oleh tingkah laku manusia. Perilaku tersebut
dapat dikategorikan kepada tiga kategori yaitu: (1) Perilaku fisik/jasmani, (2)
Perilaku sosial, (3) perilaku verbal (ungkapan kata). Untuk memenuhi
kelengkapan perilaku jasmani, penulis mendeskripsikan gerakan jasmani yang
5 Rahayu Supanggah, (Etnomusikologi 1995, 84-85)
terjadi pada saat berlangsungnya ritual. Selanjutnya untuk melihat perilaku sosial
penulis mentranskripsikan ucapan yang diucapakan para peserta ritual khususnya
pada saat martonggo dan meminta gondang. Hal tersebut bertujuan
mengungkapkan konsep serta makna yang terdapat dalam pelaksanaan ritual, baik
mengenai musik, pemusik, dan segala yang berperan dalam pelaksanaan ritual.
Bahasa Batak Toba merupakan bahasa yang digunakan para peserta ritual untuk
berkomunikasi ketika ritual sedang berlangsung. Penulis berusaha untuk
menerjemahkan ungkapan-ungkapan dan hasil wawancara dalam bahasa Batak
Toba tersebut ke dalam Bahasa Indonesia. Hal ini bertujuan mengungkapkan
perilaku verbal yang terdapat dalam ritual gondang sapotang.
Untuk menemukan jawaban dari makna ritual secara holistik atau
menyeluruh penulis menggunakan teori yang dikemukakan Koentjaraningrat
(1984: 243) yang menyatakan bahwa komponen upacara ada 4, yaitu:
(1) tempat upacara,
(2) saat upacara,
(3) alat-alat perlengkapan upacara,
(4) pendukung dan pemimpin upacara.
penulis mendeskripsikan secara bertahap bagaimana pelaksanaan upacara tersebut
dilangsungkan. Selanjutnya penulis menganalisis hubungan di antara tahapan
ritual dengan eleman-elemen yang terdapat dalam pelaksanaan ritual serta
komponen-komponen yang mendukung di dalamnya. Hal ini penulis lakukan
untuk melihat makna yang terkandung di dalam ritual seutuhnya.
Untuk menemukan jawaban dari fungsi gondang sabangunan dalam ritual
gondang sapotang Parmalim Najumanghon Uras, penulis memakai teori guna
dan fungsi musik yang dikemukakan Allan P. Merriam dalam bukunya The
Anthropology of Music (1964:223-226) menyebutkan ada sepuluh fungsi musik
yaitu: 1. Fungsi pengungkapan emosional; 2. Fungsi pengungkapan estetika; 3.
Fungsi hiburan; 4. Fungsi komunikasi; 5. Fungsi perlambangan; 6. Fungsi reaksi
jasmani; 7. Fungsi yang berkaitan dengan norma sosial; 8. Fungsi pengesahan
lembaga sosial; 9. Fungsi kesinambungan kebudayaan; 10. Fungsi pengintegrasian
masyarakat.
1.6 Metode Penelitian
Menurut Nettl (1964: 62-64) ada dua hal yang esensial untuk melakukan
aktivitas penelitian dalam disiplin Etnomusikologi, yaitu kerja lapangan (field
work) dan kerja meja\laboratorium (desk work). Kerja lapangan ini meliputi
pemilihan informan, pendekatan dan pengumpulan data, pengumpulan dan
perekaman data, dan latar belakang perilaku sosial ataupun mempelajari seluruh
pemakaian musik. Sedangkan kerja laboratorium meliputi pengolahan data yang
didapatkan dari lapangan, menganalisis, dan membuat hasil dari keseluruhan data-
data yang diperoleh. Dalam studi etnomusikologi dikenal istilah teknik lapangan
dan metode lapangan. Kedua hal ini tidak dapat dipisahkan dalam menentukan
masalah lapangan. Teknik berarti cara-cara khusus untuk mengumpulkan data di
lapangan berupa pertanyaan-pertanyaan untuk informan, menjalin hubungan yang
baik dengan informan, dan sebagainya. Sedangkan metode lapangan memiliki arti
lebih luas meliputi dasar-dasar teoritis umum yang merupakan landasan bagi
teknik lapangan (Supanggah, 1995: 92-93). Maka sehubungan dengan pernyataan
dari kedua ahli di atas, dalam penulisan karya ini penulis menggunakan metode
penelitian kualitatif.
Bogdan dan Taylor dalam Moloeng (2007) mendefenisiskan metode
penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati. Pendekatan ini dilakukan dan diarahkan pada latar dan individu secara
holistik (utuh). Salah satu yang menjadi ciri khas sebuah penelitian kualitatif yaitu
menggunakan cara berpikir induktif; dimulai dari pemaparan fenomena-fenomena
masalah untuk menarik sebuah kesimpulan. Secara umum penelitian dalam tulisan
ini dibagi ke dalam tiga tahapan yaitu:
1. Tahapan sebelum ke lapangan
2. Kerja Lapangan (Field Work)
3. Kerja Laboratorium (Desk Work)
1.6.1 Studi Kepustakaan
Penelitian muncul selalu berawal dari adanya suatu masalah yang timbul
di lapangan maupun sesuatu yang masih menjadi pertanyaan bagi peneliti dan
masyrakat. Oleh karena itu, langkah pertama di dalam sebuah penelitian biasanya
menentukan atau memilih masalah yang akan diteliti (Sanafiah Faisal, 1995).
Salah satu langkah awal dalam memilih dan merumuskan masalah yang diteliti di
dalam tulisan ini adalah dengan melakukan studi kepustakaan.
Studi kepustakaan merupakan pengamatan pertama untuk mencari
informasi tentang suatu masalah dari sumber bacaan atau literature. Sumber
bacaan dapat berupa: abstrak dan indeks, majalah, koran, buku, jurnal ilmiah,
skripsi sarjana, baik yang sudah diterbitkan atau yang belum diterbitkan. Hal ini
juga dilakukan untuk membantu dalam penulisan, sebagai sumber inspirasi untuk
memfokuskan pembahasan serta untuk menghindari adanya kesamaan dalam
pembahasan. Dengan demikian penulis memilih beberapa tulisan ilmiah yang
telah ada sebelumnya yakni, beberapa dari tulisan-tulisan yang membahas
mengenai upacara adat dan alat musik Batak Toba:
1. Buku Irwansyah Harahap yang berjudul “Hata ni debata”: Buku ini
membahas dengan terperinci mengenai Parmalim Na Siakbagi yang
berada di Kecamatan Laguboti Kabupaten Tobasa, mengkaji dari segi
sejarah Parmalim Na Siakbagi juga mengenai penggunaan Gondang
dalam peribadatan Parmalim Na Siakbagi.
2. Buku Rithaony Hutajulu dan Irwansyah Harahap yang berjudul “Gondang
Batak Toba”. Buku ini membahas mengenai asal-usul suku bangsa Batak
Toba secara singkat juga ringkas dan membahas mengenai gondang
hasapi dan gondang sabangunan serta penggunaannya dalam masyarakat
Batak Toba, dan perkembangan musik Batak Toba yang ditandai dengan
lahir kelompok opera Batak yang melakukan suatu inovasi baru kala itu,
yaitu penggabungan ensambel gondang hasapi dan gondang sabangunan
dalam suatu bentuk kesenian baru yaitu Opera Batak yang memberikan
dampak kepada masyarakat Batak Toba secara luas.
3. Skripsi dari Gerpasius Aritonang yang berjudul “Upacara gondang Saem
di Desa Siboro: Suatu Tinjauan Deskriptif Musikologis, Tekstual, Konteks
dan Makna”. Tulisan ini menjadi bahan reverensi yang sangat membantu
penulis dalam mencoba untuk menjelaskan seberapa pentingnya suatu teks
di dalam arkaif etnomusikologi.
4. Skripsi dari Restitawati Manurung yang berjudul “Studi Deskriptif dan
Musikologis Gondang Sabagunan dalam upacara mardebata pada
masyarakat Parmalim Huta Tinggi-Laguboti di Desa Siregar Kecamatan
Lumban Julu Kabupaten Toba Samosir”. Srkipsi ini lebih menekankan
pembahasan secara deskriptif namun rinci mengenai penggunaan gondang,
elemen ritual dan jalannya upacara Mardebata yang dilaksanakan salah
satu Ruas dari Parmalim Na Siakbagi.
5. Jurnal Etnomusikologi yang diterbitkan Jurusan Etnomusikologi
Universitas Sumatera Utara. Jurnal tersebut memuat satu artikel yang
ditulis Torang Naiborhu berjudul “Gondang Hasapi sebagai Medium
Komunikasi kepada Pencipta: Kajian dalam Konteks Upacara Sipahasada
Parmalim”. Artikel tersebut membahas secara ringkas konsep Parmalim
serta penggunaan Gondang hasapi dalam salah satu ritual Parmalim Na
Siakbagi.
6. Buku Etnomusikologi oleh Rahayu Supanggah berisi tentang kumpulan
artikel dari para etnomusikolog luar negeri yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia.
7. Buku Teori dan Metode dalam Etnomusikologi, karya Bruno Netll
terjemahan kedalam Bahasa Indonesia.
8. Buku The Anthropology of Music Karya Alan P. Merriam.
Studi ini bertujuan untuk mempelajari konsep-konsep serta teori-teori yang
relevan untuk membahas permasalahan dalam tulisan ini sekaligus menghindari
kesamaan topik pembahasan dengan karya ilmiah lainnya. Studi pustaka juga
bertujuan untuk mencari informasi dan menambah data-data yang dibutuhkan di
dalam penulisan karya ilmiah.
1.6.2 Pemilihan Informan
Dalam suatu penelitian peran informan sangatlah penting untuk
mendukung proses pengumpulan data yang berhubungan dengan penelitian.
Sebelum terjun ke lapangan terlebih dahulu menentukan informan yang
memberikan informasi secara mendalam mengenai pokok permasalahan yang
sudah ditetapkan. Informan dalam penelitian skripsi ini adalah:
1. Ompung Lungguk Siahaan merupakan Ulu Punguan Parmalim najumanghon
uras pada ruas Meranti Timur juga merupakan Partamiang dalam ritual
gondang sapotang yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini.
2. M. Simangunsong merupakan Parsarune parmalim najumanghon uras, juga
yang menjadi parsarune dalam ritual gondang sapotang yang dibahas dalam
tulisan ini.
3. Ompung Siagian merupakan salah satu anggota Parmalim Najumanghon
Uras.
4. Lae Panjaitan merupakan Panitangi dalam ritual gondang sapotang yang
dibahas dalam tulisan ini.
1.6.3 Lokasi Penelitian
Ada beberapa lokasi penelitian di dalam penelitian, ini disebabkan tempat
tinggal para informan yang berbeda juga lokasi pelaksanaan ritual gondang
sapotang yang berbeda. Adapun lokasi penelitian ini berada di:
1. Lobu Jior : Tempat tinggal dari parsarune
2. Adian Baja : Lokasi pelaksanaan ritual gondang sapotang
1.7 Kerja Lapangan
Kerja lapangan mengacu pada kegiatan mengumpulkan rekaman-rekaman
dan memperoleh pengalaman tentang kehidupan musikal dari tangan pertama
dalam kebudayaan tertentu. Kerja lapangan meliputi observasi, wawancara, dan
pendokumentasian.
1.7.1 Observasi
Kegiatan observasi meliputi melakukan pengamatan, pencatatan secara
sistematik kejadian-kejadian, perilaku, objek-objek yang dilihat dalam hal-hal lain
yang diperlukan dalam mendukung penelitian yang sedang dilakukan. Observasi
merupakan kegiatan untuk melakukan pengukuran dengan menggunakan indera
penglihatan. Dalam mengumpulkan data salah satu teknik yang efisien untuk
diterapkan adalah pengamatan secara langsung satu observasi terhadap subjek
yang hendak diteliti. Dalam hal ini penulis mengadakan observasi pengamatan
secara langsung ritual gondang sapotang yang dilaksanakan parmalim
Najumanghon Uras.
1.7.2 Wawancara
Kartono (dalam Basuki, 2006) interview atau wawancara adalah suatu
percakapan yang diarahkan pada suatu masalah tertentu, ini merupakan proses
tanya jawab lisan, dimana dua orang atau lebih berhadap-hadapan secara fisik.
Untuk mendapatkan informasi mengenai hal-hal yang terkait dengan ritual
gondang sapotang, penulis menggunakan metode wawancara terstruktur. Metode
ini mengarahkan peneliti bahwa sebelum melakukan wawancara, penulis terlebih
dahulu menyusun daftar pertanyaan (interview guide) sebagai pedoman untuk
melakukan wawancara. Akan tetapi, setiap pertanyaan dari wawancara tersebut
akan dikembangkan lagi dan tidak hanya terbatas pada pertanyaan yang telah
disusun (Koentjaraningrat 1983:174).
1.7.3 Dokumentasi dan Perekaman
Merriam (1954: 6) menekankan pentingnya menggunakan perekaman
yang mudah dioperasikan dan dipasang untuk kerja lapangan. Perekaman dapat
memudahkan penulis dalam proses transkripsi. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan handphone android camera dan alat perekam suara Roland Edirol
R-09HR.
1.8 Kerja Laboratorium
Etnomusikologi bukan hanya sebuah disiplin lapangan, melainkan juga
merupakan disiplin laboratorium. Pada dasarnya kerja laboratorium merupakan
proses transkripsi, analisis, dan penarikan kesimpulan, Netll (1964: 61). Berikut
ini tahapan kerja laboratorium yang penulis lakukan.
1.8.1 Penyediaan Data
Dalam kerja laboratorium, semua data yang dikumpulkan oleh penulis
akhirnya diolah. Dalam tahapan ini penulis mengumpulkan setiap data yang
didapatkan di lapangan baik data dari hasil observasi, wawancara, maupun catatan
lapangan. Selanjutnya, data berupa gambar dan video rekaman rekaman suara
disalin/dicopy ke dalam komputer dan diurutkan sesuai dengan kronologis waktu
didapatkannya data tersebut. Selain untuk merapikan penyimpanan data, cara
tersebut juga membantu penulis dalam mengingat proses penelitian.
1.8.2 Pengolahan Data
Data hasil wawancara oleh penulis dicatat kembali dan diolah secara
intensif sesuai kebutuhan tulisan ini. Selanjutnya, data audio-visual yang direkam
dalam kerja lapangan diputar secara berulang-ulang dan ditranskripsikan.
Kemudian dianalisis oleh penulis. Dalam proses transkripsi penulis berpedoman
pada pendapat Nettl (1991:23) yang mengatakan ada dua pendekatan yang bisa
digunakan untuk mendeskripsikan musik, yaitu: (1) kita dapat menganalisis dan
mendeskripsikan musik dari apa yang kita dengar, (2) kita dapat menuliskan bunyi
musik itu dalam tulisan sehingga dapat mendeskripsikan tulisan itu, maka dari itu
dalam hal sistematika bunyi dari gondang yang dimainkan dalam ritual gondang
sapotang penulis mengacu pada pendapat Seeger (1958:184-195). Notasi
perskriptif yaitu notasi yang hanya menuliskan garis besar dari bunyi.
Dalam hal penotasian musikal ini penulis menggunakan penotasian tradisi
musik klasik barat. Notasi barat telah memiliki bentuk yang baku dan
penggunaannya pun relatif mudah. Untuk mendukung pengerjaan ini penulis
menggunakan bantuan berbagai macam software untuk menulis notasi musik
berupa not balok. Software ini umum dipakai oleh musisi, pencipta lagu, dan
instistusi musik/sekolah musik. Selain untuk menulis not balok juga untuk
mengedit notasi balok agar sesuai dengan kebutuhan.
BAB II
MASYARAKAT BATAK TOBA DI DESA MERANTI TIMUR
Dalam bab ini penulis membahas tentang deskripsi umum wilayah
penelitian berlangsungnya pelaksanaan gondang sapotang. Meliputi monografi
desa Meranti Timur, indentifikasi masyarakat yang menempati desa Meranti
Timur, sistem masyarakat, sistem bahasa, mata pencarian, dan religi atau agama
yang dianut masyarakat di Desa Meranti Timur.
2.1 Monografi Desa Meranti Timur
Untuk melengkapi data mengenai keadaan daerah penelitian, daerah
Meranti Timur, penulis menyertakan peta serta data umum mengenai daerah desa
Meranti Timur, sebagai berikut ini:
Gambar 2.1: Peta Desa Meranti Timur
Sumber:https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/1/1f/%28Peta_Lokasi%29_De
Berikut ini tabel berisi data tentang keadaan dan kondisi monografi desa
Meranti Timur yang penulis peroleh dari Kantor kepala desa Meranti Timur:
Tabel 2.1: Kondisi Monografi Desa Meranti Timur
No Letak Geografis Desa Meranti
Timur
Statistik
1. Luas Wilayah Daratan 65,68 km²
2. Pemakaian Lahan Lahan perkebunan 2.227 Ha
Lahan persawahan 45 Ha
Pemukiman penduduk 91 Ha
Jalur hijau 1.795 Ha
Lahan yang tidak diolah
2.409 Ha
3. Batas wilayah
Sebelah Utara
Sebelah Selatan
Sebelah Barat
Sebelah Timur
Kabupaten Asahan
Kecamatan Habinsaran
Desa Meranti Tengah
Kabupaten Labuhanbatu
4. Ketinggian di atas Permukaan
Laut
150-250 meter
5. Curah Hujan pertahun 2.532 mm
6. Suhu Rata-rata 23-26 C .
7. Jarak Desa Meranti Timur ke
Pusat Kecamatan Pintu Pohan
Meranti
35 kilometer
8. Jumlah Dusun 1. Dusun I : Lobu Jior
2. Dusun II : Adian Baja
3. Dusun III : Sigalapang
Sumber: Kantor Kepala Desa Meranti Timur
2.2 Masyarakat Meranti Timur
Suatu kesatuan kolektif manusia dapat dikatakan masyarakat bila memiliki
beberapa unsur pokok di dalamnya. Masyarakat merupakan sekumpulan manusia
yang saling bergaul atau saling berinteraksi. Namun tidak semua kesatuan
masyarakat yang bergaul atau berinteraksi merupakan masyarakat karena suatu
masyarakat harus memiliki suatu ikatan lain yang khusus. Ikatan yang
menyatakan suatu kumpulan manusia itu sebagai masyarakat adalah pola tingkah-
laku yang khas mengenai semua faktor kehidupannya seperti adanya norma-
norma, hukum atau aturan khas dalam batas kesatuan itu, pola bersifat mantap dan
kontinyu atau berlangsung secara tidak terputus. Dengan kata lain pola khas itu
sudah menjadi adat istiadat. Selain semua hal yang terjabar di atas suatu kesatuan
manusia dapat dikatakan sebagai masyarakat apabila memiliki suatu rasa identitas
bersama di antara para warganya dan merasa bahwa mereka memang berbeda dari
kesatuan-kesatuan manusia lainnya (Koentjaraningrat 2009).
Berdasarkan unsur yang telah dijabarkan di atas, definisi masyarakat
secara khusus adalah sebagai berikut:
“Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut
suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontiniu, dan yang terikat
oleh suatu rasa identitas bersama”. (Koentjaraningrat 1990, 146-147)”.
Terdapat suatu konsep masyarakat yang diadakan oleh M.M Djojodigoeno
yaitu adanya konsep masyarakat “dalam arti luas dan sempit” (Koentjaraningrat
1990, 147). Dalam arti konsep masyarakat luas, masyarakat dapat dilihat dari
status kewarganegaraan sedangkan dalam konsep masyarakat sempit suatu
masyarakat dapat dilihat dari status kekerabatan, marga, atau suku. Warga desa
Meranti Timur dalam konsep masyarakat luas merupakan masyarakat Indonesia,
dalam konsep masyarakat sempit warga desa Meranti Timur terdiri atas
masyarakat Melayu, masyarakat Jawa, dan masyarakat Batak Toba. Berikut ini
tabel berisi data tentang kependudukan desa Meranti Timur:
Tabel 2.2: Data Kependudukan Desa Meranti Timur
Sumber: Kantor Kepala Desa Meranti Timur
No. Dusun Jumlah Kepala
Keluarga
Jumlah Berdasarkan
jenis Kelamin
Jumlah
Keseluruhan
LK PR
1. Lobu Jior 197 508 397 905
2. Adian Baja 252 659 628 1.287
3. Sigalapang 50 111 111 222
Total 2.414
Berikut ini tabel berisi data mengenai sarana dan prasarana penduduk yang
terdapat di desa Meranti Timur:
Tabel 2.3: Sarana dan Prasarana Desa Meranti Timur
Sumber: Kantor Kepala Desa Meranti Timur
2.3 Sejarah Batak Toba di Meranti Timur
Meranti Timur dilihat dari letak geografisnya merupakan titik yang
menjadi pembatas antara wilayah Kabupaten Tobasa dengan Kabupaten Asahan
dan Labuhanbatu. Sebelum kemerdekaan daerah Meranti Timur merupakan
daerah hutan belantara yang belum berpenghuni dan diperkirakan sekitar tahun
1930-an telah dibuka ladang di sana6. Orang Batak yang pertama sebagai
pembuka lahan atau yang disebut sebagai sinuan bulu di desa Meranti Timur
adalah seorang yang berasal dari daerah Sitorang7, yaitu Ompung Junjungan
Panjaitan. Invasi militer Belanda yang datang untuk menguasai daerah batak pada
masa pra kemerdekaan yang datang ke daerah Sitorang mengancam hidup dari
6 Wawancara dengan M Simangunsong pada tanggal 04 Mei 2018 di desa Lobu Jior
7 Daerah Sitorang sendiri berada di Kecamatan Silaen Kabupaten Tobasa.
No. Sarana dan Prasarana Statistik
1. Sarana Kesehatan Posyandu 3
Pustu 1
2. Sarana Pendidikan Paud 2
SD 2
SMP 2
SMK 2
3. Sarana Ibadah Mesjid 3
Gereja Katolik 1
Gereja Protestan 7
Oppung Junjungan Panjaitan. Pada akhirnya dia mengambil inisiatif agar segera
pindah dari daerah Sitorang. Perpindahan Ompung Junjungan diikuti oleh sanak
saudaranya yang akhirnya membuat mereka mendirikan sebuah kampung untuk
pertama kali di daerah Meranti Timur yang sekarang dinamakan dusun Adian
Baja.
Dikutip dari Skripsi Mario King A.S. Sianipar “Deskripsi Struktur dan
Fungsi Musik Taganing pada Repertoar Sipitu Gondang dalam Ensambel
Gondang Sabangunan yang disajikan oleh Maningar Sitorus 2015, hlm 23),
berdasarkan letak geografisnya, wilayah yang didiami oleh etnis batak terdiri atas:
1. Wilayah pegunungan di sebelah Timur danau Toba disebut Uluan.
2. Wilayah pegunungan di sebelah Tenggara danau Toba disebut Habinsaran
meliputi Parsoburan.
3. Wilayah dataran landai di sebelah Selatan danau Toba disebut Toba
Holbung meliputi Balige, Laguboti, Sigumpar, Silaen, dan Posea.
4. Wilayah pegunungan di sebelah Timur Laut danau Toba disebut Humbang
meliputi Siborong-borong, Dolok Sanggul, Muara, Bakara, dan Sibandang.
5. Wilayah lembah di sebelah Selatan Humbang disebut Silindung meliputi
Tarutung, Sipoholon, Sipahutar.
6. Samosir dan Tele.
7. Wilayah pinggiran danau Toba di sebelah Barat Laut disebut Silalahi na
Bolak.
8. Pesisir meliputi Barus dan Sibolga.
Berdasarkan uraian lokasi penyebaran suku batak tersebut, dapat kita
perhatikan bahwa desa Meranti Timur bukanlah wilayah asli penyebaran orang
batak pada awalnya. Hal ini diperkuat dengan kondisi perkampungan desa
Meranti Timur yang berbeda dengan kondisi perkampungan batak tradisional pada
umumnya yang berciri memiliki rumah-rumah adat di dalamnya. Dengan
demikian daerah Meranti Timur jauh dari apa yang dikatakan perkampungan
masyarakat batak tradisional. Namun beberapa masyarakat batak di Meranti
Timur masih menjaga nilai-nilai tradisi yang berasal dari nenek moyang
masyarakat Batak Toba.
2.4 Sistem Masyarakat
Koentjaraningrat (1995:110) mengatakan bahwa stratifikasi sosial orang
batak dalam kehidupan sehari-hari dapat dibedakan menjadi empat prinsip yaitu:
1. Perbedaan tingkat umur dapat dilihat dalam pesta adat, orang-orang tua
yang tingkat umurnya lebih tinggi akan lebih banyak berbicara.
2. Perbedaan pangkat dan jabatan, dapat dilihat pada keturunan raja-raja,
dukun (datu), pemusik (pargonsi), dan juga pandai-pandai seperti besi,
tenun, ukir, dan lain-lain.
3. Perbedaan sifat keaslian. Dalam sistem ini berlaku sifat keturunan,
contohnya daerah Lumban Julu adalah daerah asal marga Sitorus, maka
secara otomatis keturunan marga Sitorus ini lebih berhak atas jabatan
kepemimpinan di daerah tersebut seperti Kepala Desa atau jabatan yang di
luar pemerintahan. Demikian juga halnya dalam hak ulayat dalam
pemilikan tanah.
4. Status perkawinan dapat dilihat di dalam kehidupan sehari-hari pada orang
Batak yang sudah berkeluarga. Mereka sudah mempunyai wewenang
untuk mengikuti acara adat atau berbicara dalam lingkungan keluarganya.
Hal tersebut masih terlihat jelas di dalam pergaulan sehari-hari masyarakat
Batak Meranti Timur. Namun masyarakat Batak Toba yang berada di desa
Meranti Timur tidak lagi menganut sistem pemerintahan masyarakat Batak Toba
tradisional. Hal ini disebabkan masyarakat yang mendiami desa Meranti Timur
bukan hanya masyarakat Batak Toba melainkan terdiri atas beragam suku seperti
suku bangsa Jawa dan suku bangsa Melayu. Sistem masyarakat yang dipakai
adalah sistem masyarakat yang diatur oleh pemerintahan kabupaten seperti yang
tertera dalam tabel berikut ini:
Tabel 2.4: Struktur Pemerintahan Desa Meranti Timur 2018 Sumber: Kantor Kepala Desa Meranti Timur
Pimpinan di desa Meranti Timur ialah kepala desa yang dipilih dengan
cara pemilihan umum yang diatur dalam undang-undang Kabupaten Tobasa, lalu
terdapat staf-staf pembantu Kepala desa yang terdiri atas 3 Kasi, 1 Sekretaris desa
yang dibantu 3 Kaur, serta terdapat 6 kepala dusun yang masing-masing terdapat 2
dalam satu dusun.
Kepala Desa
Bangun Siahaan
Kadus I
Bahar Siagian
Kadus II
Kanagua Siahaan
Kadus III
Hitler Panjaitan
Kadus IV
Suriyanto Damanik
Kadus V
Sadi TampoBolon
Kadus VI
Taman Simanjorang
Kasi Pelayanan Perjuangan Panjaitan
Sekretaris Desa
Arimo Panjaitan
Kaur tata usaha dan umum
Reston Tampubolon
Kaur Keuangan
Marden Panjaitan
Kaur Perencanaa
Malatua Siagian
Kasi Kesejahteraan
Saba Panjaitan
Kasi Pemerintahan
Jonson Panjaitan
2.5 Sistem Kekerabatan
Adanya sistem kekerabatan antara sesama manusia disebabkan beberapa
hal diantaranya akibat adanya hubungan darah (consaigual) dan dikarenakan
adanya hubungan perkawinan (konjunal). Sistem kekerabatan berdasarkan adanya
hubungan darah pada umumnya dibagi ke dalam 3 kategori yakni:
1. Sistem keturunan melalui garis laki-laki saja disebut prinsip patrilineal.
2. Sistem keturunan melalui garis perempuan disebut prinsip matrilinieal
3. Sistem keturunan yang memperhitungkan hubungan kekerabatan melalui
laki-laki dan perempuan disebut prinsip bilateral.
Secara umum sistem kekerabatan yang berlaku dalam masyarakat Batak
Toba menganut garis keturunan patrilineal dimana marga (nama belakang yang
menjadi tanda pengenal) keturunan dalam keluarga akan mengikuti marga si ayah
yang juga berperan sebagai kepala keluarga. Meskipun garis keturunan mengikuti
keturunan ayah bukan berarti pihak keluarga ibu tidak dianggap penting. Saudara
laki-laki dari ibu yang dipanggil tulang (paman) oleh keturunannya bahkan
memiliki status yang tinggi dalam adat batak. Status ini dikenal dengan nama
hula-hula. Keseluruhan hubungan kekerabatan suku bangsa Batak Toba diatur
dalam suatu tatanan sosial yang disebut Dalihan na tolu.
2.5.1 Kekerabatan Berdasarkan Hubungan Darah
Pada masyarakat Batak Toba hubungan kekerabatan atas dasar hubungan
darah ditentukan oleh tarombo. Di dalam tarombo, seseorang batak dapat
mengetahui posisinya berada pada urutan generasi ke berapa, dengan demikian dia
dapat menentukan sebutan yang tepat kepada seseorang batak yang baru diajaknya
berkenalan, panggilan tersebut diantaranya:
Ompung Doli (Kakek), dibaca Oppung Doli adalah panggilan khusus
kepada kakek yaitu ayah dari ayah/ibu.
Ompung Boru (Nenek), dibaca Oppung Boru adalah panggilan khusus
kepada nenek yaitu ibu dari ayah/ibu.
Among adalah sebutan panggilan anak-anak kepada ayahnya selaku kepala
rumah tangga.
Inong adalah sebutan panggilan untuk ibu yang melahirkan anak- anaknya.
Gelleng adalah sebutan untuk anak-anak (laki-laki dan perempuan) yang
merupakan keturunan dari suami istri.
Anaha/sinuan tunas adalah sebutan panggilan ayah dan ibu kepada
anaknya laki-laki.
Boru/sinuaan bue adalah sebutan panggilan ayah dan ibu kepada anak
perempuannya.
Ito/iboto adalah adalah panggilan anak laki-laki kepada anak perempuan,
demikian juga sebaliknya.
Anggi adalah panggilan antara anak laki-laki kepada adiknya laki-laki dan
juga panggilan antara anak perempuan dengan adik perempuannya.
Akkang adalah panggilan anak yang lebih muda kepada anak yang lebih
tua darinya. Dalam konteks ini adalah mereka yang berjenis kelamin sama.
Pahoppu adalah panggilan kakek dan nenek kepada cucu-cucunya8.
8 Dikutip dari Skripsi Elkando Purba “Analisis tekstual dan musical Ende Marhaminjon
pada masyarakat Batak Toba di desa Pandumaan Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang
Hasundutan.
2.5.2 Kekerabatan Berdasarkan Hubungan Perkawinan
Sistem kekerabatan keluarga Batak Toba tidak dapat dipisahkan dari
filsafat hidupnya. Suatu pranata tidak hanya mengikat seorang laki-laki dan
seorang wanita, tetapi mengikat suatu hubungan tertentu yaitu kaum kerabat dari
pihak laki-laki atau kaum kerabat dari pihak perempuan. Seluruh pihak yang
masuk dalam lingkaran kerabat Batak Toba masing-masing memiliki sebutan
panggilan yang menunjukkan status kekerabatan. Filsafat hidup kekerabatan inilah
yang disebut Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga) yang terdiri atas:
Hula-hula adalah pihak dari istri, yaitu orang tua dan semua saudara laki-laki
dari wanita yang dinikahi oleh pria dari marga lain dan merupakan pihak
keluarga yang sangat dihormati. Dalam adat hula-hula disebut sebagai
parrajaon (pihak yang dirajakan). Bagi masyarakat Batak Toba hula-hula
dianggap sebagai pemberi kebahagiaan, pemberi rejeki, dan pemberi berkat
yang harus dihormati. Hal tersebut tergambar dalam sebuah pepatah “somba
marhula hula” (hormat kepada hula-hula).
Dongan tubu merupakan hubungan persaudaraan yang berasal dari garis
keturunan yang sama, dalam golongan yang memiliki marga yang sama.
Dalam suatu acara adat kedudukan dongan tubu sama atau sederajat dengan
pihak yang menyelenggarakan pesta (suhut). Dongan tubu mempunyai tugas
untuk mengawasi berjalannya acara adat. Kedekatan yang terjalin antara
seseorang dengan dongan tubunya haruslah dijaga sebab ada pepatah batak
yang mengatakan “hau na jenek do na mar siogosan” yang berarti dahan dari
pohon yang dekatlah yang mampu saling bergesekan. Untuk menjaga
terhindarnya gesekan diantara yang berkeluarga, hubungan dengan dongan
tubu digambarkan dalam pepatah yang berbunyi “manat hita mardongan
tubu” yang berarti hati-hati dalam bertingkah atau berkelakuan kepada dongan
tubu.
Boru adalah keluarga yang memperistri anak perempuan dari suatu marga.
Pada suatu pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan adat, boru
bertugas sebagai parhobas yang mempersiapkan segala hal yang berhubungan
dengan teknis dalam berlangsungnya acara adat. Boru lah yang selalu sibuk
dan mempersiapkan segala sesuatu dalam setiap acara atau kegiatan adat,
seperti mempersiapkan konsumsi dan membersihkan tempat berlangsungnya
upacara adat. Suatu upacara adat tanpa adanya boru bisa dipastikan
berlangsung tidak lancar. Untuk mensiasati hal itu ada pepatah suku batak
yang berbunyi”elek hita marboru” yang berarti lembut kepada boru. Hal ini
dimaksudkan agar pihak suhut selaku hulahula dari boru tidak bertindak
sesuka hatinya kepada pihak boru.
Prinsip Dalihan Na Tolu berkaitan erat dengan sistem marga dan silsilah.
Seorang Batak harus mengetahui asal-usul marga dan urutan silsilahnya sehingga
dapat menempatkan diri dalam tatanan kehidupan bermasyarakat dengan baik.
Posisi dalihan na tolu ini bergantung pada konteksnya. Setiap orang Batak
memiliki ketiga posisi tersebut pada saat yang sama. Seorang hula-hula berposisi
sebagai boru jika yang mengadakan pesta adalah pihak keluarga dari istrinya.
Begitu juga sebaliknya, seorang boru menjadi hula-hula bagi keluarga anak
perempuannya yang telah menikah dengan marga lain dan menjadi dongan tubu
bila yang melakukan pesta adalah saudara semarga.
Selain sebutan kekerabatan yang terjadi akibat adanya hubungan darah,
dalam tatanan daliha na tolu juga terdapat sebutan yang ditujukan kepada orang-
orang tertentu tergantung sebagaimana posisinya di dalam adat, adapun sebutan-
sebutan itu antara lain:
Amang simatua adalah sebutan panggilan kepada mertua laki-laki.
Inang simatua adalah sebutan panggilan kepada mertua perempuannya.
Tulang adalah panggilan kepada saudara laki-laki dari ibu, atau laki-laki yang
satu marga dengan Istri.
Nantulang adalah panggilan kepada istri dari tulang.
Amang Boru adalah panggilan kepada suami dari adik perempuan ayah.
Namboru adalah sebutan panggilan kepada saudari perempuan dari ayah yang
telah menikah ataupun belum.
Hela adalah panggilan kepada menantu laki-laki atau sebutan untuk suami dari
anak perempuan abang/anak adik.
Parumaen adalan sebutan panggilan kepada menantu perempuan atau isteri
dari anak laki-laki.
Lae adalah panggilan seorang laki-laki kepada anak laki-laki dari tulangnya,
dan juga panggilan seorang laki-laki kepada suami dari saudari
perempuannya.
Tunggane adalah panggilan kepada semua saudara laki-laki dari istri atau
semua anak laki-laki dari tulang.
Eda adalah panggilan yang ditujukan oleh seorang perempuan kepada istri
dari saudaranya laki-laki dan istri dari saudara laki-lakinya tersebut juga
memanggil dengan panggilan yang sama kepada saudari perempuan dari
suaminya.
Amangbao/bao adalah sebutan panggilan kepada suami dari eda seorang
perempuan.
Inangbao adalah sebutan panggilan kepada istri dari hula-hula atau tunggane
(abang/adik isteri).
Pariban adalah sebutan panggilan yang diucapkan seorang laki-laki kepada
putri dari pihak tulang atau satu marga dengan tulang, sebutan yang diucapkan
seorang perempuan kepada anak laki-laki dari namborunya9.
Dapat dilihat bahwa dalihan na tolu berfungsi mengatur setiap segi dalam
kehidupan masyarakat batak pada umumnya, diantaranya mengatur hubungan
sosial antar marga, mengatur ketertiban dalam pelaksanaan suatu upacara adat,
menentukan kedudukan dalam struktur sosial masyarakat batak, menentukan hak
dan kewajiban seseorang di dalam adat, dan sebagai landasan dalam
bermusyawarah dan bermufakat bagi suku bangsa batak.
2.6 Sistem Bahasa
Pertukaran-pertukaran dan pengadaptasian kebudayaan diperoleh dari
banyak hal diantaranya dalam bidang teknologi, pencaharian, pendidikan, bahasa,
dan lain sebagainya. Masyarakat Batak Toba yang menempati Meranti Timur
masih menggunakan bahasa Batak dengan fasih, walaupun terdapat beberapa
kosakata yang dicampur di dalam susunan kalimatnya. Namun hal itu terjadi
hanya dalam percakapan sehari-hari. Dalam konteks agama hal-hal seperti
9 Dikutip dari Skripsi Elkando Purba “Analisis tekstual dan musical Ende Marhaminjon
pada masyarakat Batak Toba di desa Pandumaan Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang
Hasundutan.
pencampuran kosakata dalam pelaksanaan ritualnya sangat jarang diucapkan,
jikapun ada itu semata-mata dilakukan dengan spontan. Berikut ini contoh bahasa
batak yang digunakan dalam suatu ritual peribadatan masyarakat Batak Toba di
Meranti Timur:
“Alu aluhon ma tu oppungta soripada na bolon, tu oppungta raja
hasahatan, tu raja hatorusan, asa patorus hita alualuta tu Mulajadi na
bolon, tu tondi na marsangap tu rajai parhabinsaran tu oppungnta
sisingamangaraja”
Terjemahan
“Adukanlah kepada leluhur kita soripada na bolon, kepada leluhur kita
raja hasahatan, kepada raja hatorusan, agar kita sampaikan pengaduan
kita kepada Mulajadi na bolon. Kepada jiwa yang terhormat Raja
Parhabinsaran [orang yang menempati habinsaran] kepada leluhur kita
Sisingamangaraja”
Dari tonggo di atas dapat diperhatikan bahwa penggunaan bahasa batak
oleh sebagian dari penduduk Meranti Timur masih asli dan tidak terkontaminasi
bahasa-bahasa suku lain di sekitarnya. Secara umum bahasa yang terdapat dan
digunakan oleh masyarakat Meranti Timur diantaranya: bahasa Batak Toba,
bahasa Melayu, bahasa Jawa, dan bahasa Indonesia. Bahasa batak digunakan oleh
kalangan orang batak dan orang bukan batak yang mengerti bahasa batak, begitu
juga dengan penggunaan bahasa-bahasa lainnya kecuali bahasa Indonesia yang
digunakan untuk bertutur diantara mereka yang memiliki latar belakang budaya
yang berbeda.
2.7 Religi
Religi merupakan kata yang berasal dari bahasa latin yang pengejaannya
sering dilafalkan dengan religio, namun seorang penulis Romawi yaitu Cicero
menyatakan bahwa religi (religion) berasal dari kata leg yang berarti mengambil,
atau menjemput, atau mengumpulkan, menghitung, atau memperhatikan”. Lain
lagi tanggapan Sevius yang beranggapan bahwa religi berasal dari kata lig yang
berarti mengikat. (Adeng Muchtar 2010:5). Religi adalah sesuatu yang mengikat
manusia untuk mau mengambil, mengumpulkan, dan memperhatikan sesuatu
yang berada di atas kemampuan manusia.
Secara administrasi religi atau agama yang terdapat di Desa Meranti Timur
hanyalah agama yang diakui oleh negara diantaranya adalah agama Islam, Kristen
Protestan, Kristen Katolik. Namun selain agama yang terdaftar dalam formalitas
administrasi negara, ada kepercayaan yang mengandung unsur-unsur kepercayaan
asli masyarakat Batak Toba yaitu Ugamo Malim.
Ugamo merupakan kata serapan dari bahasa Indonesia yang bermakna
agama, sedangkan kata malim berarti suci atau bersih. Dengan kata lain ugamo
malim merupakan suatu agama yang berladaskan prinsip kesucian dalam
menjalani kehidupan bagi penganutnya. Parmalim merupakan sebutan yang
terbentuk dari imbuhan par- berarti yang melakukan dan malim yang berarti
suci/bersih, bila disatukan membangun suatu definisi orang yang berlaku atau
bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip kesucian (Torang Naiborhu, 2008:73). Hal
ini telihat dari sikap dalam kehidupan yang terdiri atas beberapa bentuk kesucian
yang harus dijalankan dalam kehidupan, yaitu malim di simalolong
(mengendalikan diri dalam melihat), malim di sipareon (mengendalikan diri
dalam mendengar), malim di simangkudap (mengendalikan diri saat berbicara),
dan asa malim di pusu pusuk (agar suci sanubari) 10
.
Ugamo Malim Najumanghon Uras adalah salah satu “sekte” dari
kepercayaan Malim yang awalnya berasal dari daerah Habinsaran di pedalamam
10
Wawancara dengan M. Simangunsong pada tanggal 04 Mei 2018 di desa Lobu Jior
Kabupaten Tobasa. Kemudian menyebar ke daerah-daerah lain di pinggiran
Tobasa dan di sekitaran Kabupaten Asahan. Ugamo Malim Najumanghon Uras
tersebar dari beberapa punguan, yakni di Habinsaran Kecamatan Parsoburan Desa
Panamparan dan Pararungan, di Desa Meranti Timur Dusun Lobu Jior, Lobu
Rappa, Adian Baja, di Desa Meranti Tonga di Dusun Jambu Dolok dan Batu
Rangin, di desa Meranti Utara di Dusun Batu Mamak.
Dari segi atribut yang dikenakan di dalam kegiatan keagamaan terdapat
karakteristik dari ugamo Malim Najumanghon Uras, terlihat dari pakaian yang
dikenakan. Parmalim Najumanghon Uras mengenakan gotong gotong (ikat
kepala) dan pakaian serba hitam. Dalam peribadatannya Parmalim na Jumanghon
uras memiliki keyakinan kepada Mulajadi na Bolon sebagai awal dari segalanya,
maha mutlak dan tidak terganggu gugat serta Raja Sisingamangaraja Patuan raja
malim sebagai perantara yang mengajarkan ajaran dari Mulajadi na bolon kepada
manusia di dunia. Terdapat kepercayaan mengenai tondi yang merupakan
manifestasi dari kuasa yang dimiliki Debata Mulajadi na bolon. Tondi yang
dipercaya tersebut terbagi ke dalam dua penggolongan yaitu tondi ama dan tondi
ina. Tondi Ama merupakan perwujudan kuasa Debata Mulajadi na bolon dalam
bentuk laki-laki sedangkan tondi Ina merupakan perwujudan kuasa Debata
Mulajadi na bolon dalam bentuk perempuan. Hal tersebut dijelaskan informan
dalam teks wawancara berikut ini:
“Tondi on na boi mulak tuginjang turun tu toru, laho tu ginjang laho tu
toru boi do on, alai na sian Debata Mulajadi na bolon dope on, daong
songon tondinta, lain do tu hitai. Alana ia tondi dua, tondi ni ama dohot
tondi ni ina”.
Terjemahan
“Tondi (jiwa) ini yang mampu kembali ke atas [dan] turun ke bawah, pergi
ke atas pergi kebawa dia bisa, akan tetapi ini [tondi] berasal dari Debata
Mulajadi na bolon, tidak seperti tondi kita (jiwa) ini berbeda dengan kita.
Sebab terdapat dua tondi, tondi ni ama dengan tondi ni ina”.
Hal-hal mengenai kuasa yang dimiliki oleh figur-figur keillahian yang
terdapat dalam ugamo malim terefleksikan dari tonggo-tonggo atau doa yang
diucapkan ketika ritual berlangsung. Pembahasan mengenai peran dari figur
keillahian serta kuasa yang dimilikinya terefleksi dari tonggo yang diucapkan
pada saat ritual berlangsung merupakan pembahasan pada bab berikutnya. Namun
dalam bab ini penulis menjabarkan secara beurutan figur-figur keillahian yang
disebutkan di dalam tonggo yang diucapkan pada saat ritual berlangsung:
Debata mulajadi na bolon- disebut dengan beberapa sebutan, seperti Martua
debata, Debata Mulajadi, Ompungta- merupakan Tuhan atas segala hal yang
ada di alam semesta, pencipta alam semesta, dan segala isinya. Kuasa yang
dimiliki oleh Debata Mulajadi terlihat dari tonggo-tonggo yang umumnya
disebutkan ketika Parmalim najumanghon Uras melaksanakan suatu ritual.
Debata na tolu Batara guru, Bane bulan, dan Bale sori merupakan
representasi dari kekuatan Mulajadi na bolon. Hal ini terefleksikan dari urain
tonggo yang disampaikan partamiang ketika mangalu-alu.
Si Boru Deak parujar merupakan perancang tanah tempat manusia berpijak
untuk hidup.
Sisingamagaraja najomolo tubu- disebut juga Patuan Singa Debata, Singa
banua ginjang, Singa banua tonga- merupakan perantaraan yang datang dari
banua ginjang turun ke banua tonga untuk mengajarakan ajaran yang
diberikan Mulajadi na bolon untuk dianut manusia.
Tuan saribu raja, Martua raja Rum, Martua raja Sinambur.
Raja Parhabinsaran- juga bernama Martua raja mangalambung nasiak bagi
patuat raja malim, Raja tonggam ni langit, Ukku rading,-dalam kepercayaan
Malim najumanghon uras merupakan sosok yang datang dari Hasundutan
membawakan ajaran Uras sohaliapan Uras sohalipurpuran atau ajaran
Ugamo Malim kepada suku bangsa batak di Habinsaran. Singkat cerita dalam
perjalanannya untuk mengajarkan Ugamo Malim, Raja Parhabinsaran selalu
mendapatkan kesulitan yang membahayakan hidupnya. Bagi masyarakat
Parmalim na jumanghon uras sosok dari raja Parhabinsaran dipercaya masih
hidup dan sedang dalam perjalanan jauh dan panjang untuk menyampaikan
pesan dari ajaran Uras sohaliapan Uras sohalipurpuran. Maka untuk
mengingat pengorbanan yang diberikan oleh Raja Parhabinsaran masyarakat
Parmalim yang diwakilkan oleh partamiang selalu mengucap perihal agar
terberkati raja parhabinsaran di dalam perjalanannya.
Boru Tolam banua, inang boru Pormaliman, inang si Boru Pinahot
merupakan sosok dari tondi sahala ina yang meratapi kesedihan dari raja
Parhabinsaran.
Boru Saniang Naga Parmual sitiotio merupakan figur penguasa yang menjaga
dan merawat mata air yang dianggap sebagai sumber penghidupan. Dalam
praktik gondang sapotang pengucapan tonggo kepada boru saniang naga
selalu disatukan dengan pengucapan tonggo kepada Raja Hasahatan yang
juga bernama Raja Hartorusan, dengan maksud agar sampai segala
permohonan sejernih air yang dijaga Boru saniang naga kepada Mula jadi na
bolon yang diantarkan oleh Raja Hasahatan, Raja Hatorusan.
Raja hasahatan juga disebut Raja hatorusan merupakan figur keillahian yang
memiliki peran sebagai penghantar doa dan pengharapan Parmalim
Najumanghon Uras kepada Mulajadi na Bolon.
Masing-masing tondi na marsahala tersebut memiliki peranan dalam
kehidupan manusia. Oleh sebab itu, sahala tondi tersebut selalu diucapkan di
dalam tonggo yang disampaikan partamiang pada pelaksanaan suatu ritual.
Dalam kegiatan ritual Ugamo Malim terdapat struktur yang diberi
kepercayaan untuk mengatur jalanya ritual terdiri atas:
Sesepuh (guru sinambung)
Ulu Punguan
Panitangi
Raja Parbaringin
Raja Partahi
Seperti kebanyakan kepercayaan umumnya memiliki suatu kegiatan ritual
yang dilaksanakan dalam konteks tertentu, begitu juga dengan Parmalim Na
Jumanghon Uras. Semua kegiatan dalam peribadatan ditulis dan diatur dalam
patik ajaran Parmalim na jumanghon uras. Berikut patik yang dianut pengikut
Parmalim na Jumanghon uras:
Hata Parjolo
“Jumolo tangan marsomba tu Debata namartua. Sitongos patik ni ugamo
patik na sampulu dua. Di pasahat do tu jolma na memetmet na matua Asa
pita partondionta sahat horas, saur matua.”
Hata ni Patik
Ia patik parjolo Ta puji debata sian sude na si pujion ikon sangap tu ibana
jala tong-tong hita marholong na lumobi tu ibana asa hita di ramoti
marhite-hite sahalana.
Patik paduahon, Pasangapon raja angka raja dohot dibagasan adat
haholongan dongan jolma, pasangapon rajai molo Sintong do
paruhumanna. Molo hot adat uhumna pasahaton tu debata.
Patik patoluhon, sai padot do iba mangula, mansamot marpinahan sude
naposo na matua, asa adong lao pargogo mamuji sangap ni Ompunta.
Maradat maruhum tu debata na martua.
Patik paopathon, Patik siunang ma so jadi managko mangalakup,
mamunu jolma diorai, marosom late-late sai dipinsang mulajadi rohantai
sai tongtong dame debata ta habiari.
Patik palimahon, sai denggan do paboa on jonjong uhumi sitongkai
tabaon. Tingkos uhumi sitonkai paelengon peak uhumi sitongkai gulingon.
Patik paonompon, Unang palea namatua napogos, na marniang pina boa
tu hamuna, na metmet, nab alga, na magodang, na mabalu, naborua sai
tong tong mai haholongi asa olo hita martua.
Patik papituhon, bege hita dipatorang, sitongkai dipasiat na mapitungi lao
tu lombang. Unang pina oto-oto molo binoto do na denggan, unang
pinahatahata na nengel parbinegean.
Patik paualuhon pasangapon ama dohot ina nametmet na magodang, na
tumoras sian iba pantun marserep ni roha denggan pagalahonta asa mura
dapot rajoki na niulape tarida.
Patik pasiahon, sude asa satolop tu ulaon parsaulian pajonjong ugason
torop, natua hangolouan hipas hipas jala parmokmok sada ugasan
homitan agamai tongotng taingot.
Patik pasampuluhon, unang maranak eme di hombung tu balian doi gabe,
unang maranak hepeng di poti tu tiga-tiga ma pinake hepeng asa
mangomo na digadis pe mardame.
Patik pasampulu sadahon, uhum ugamo adat na paingot haporseaon,
pinasaha ni rajanta sian debata mulajadi na bolon sai ido debatanta
Sinuru ginora na ta olio di rohanta.
Patik pasampulu duahon, sahat patiki tu patik nasampulu dua, sai
tongtong ta puji puji debata namartua ta pasahat tu ibana tondi saluhut na
ala saguru dilomo na bale gok baletongan.
Hata Pangarimpunan: Ia harimpunan ni patik nasampulu dua I, “sada”
ima patik sitingkos ni ari si jujung ningor hot di adat hot di uhum na.
Terjemahan
Kata Pertama
Terlebih dahulu tangan menyembah Debata na martua. Sang pemberi
kedua belas titah ugamo malim. Disampaikan kepada manusia yang anak-
anak juga kepada orang tua agar mendarah daging bagi kita agar horas
saur matua.
Titah pertama, kita sembah Debata dari segenap yang disembah haruslah
hormat kepadanya serta kita selalu berkasih setia yang terutama
terhadapnya agar kita dikarunian melalui sahalanya.
Titah kedua, setiap raja harus menghormati segenap raja didalam adat
mengasihi sesama manusia, hormati raja tersebut jika benar
perhukumannya. Jika teguh adat dan hukumnya sampaikan kepada debata.
Titah ketiga, rajinlah selalu bekerja, berternak segala ternak yang muda
juga yang tua, agar ada bekal tenaga untuk memuji kehormatan ompung
kita. Beradat dan berhukum debata na martua.
Titah keempat, titah yang melarang mencuri, membunuh manusia dilarang,
iri dan dengki hati semoga ditegur mulajadi hati kita agar selalu kedamain
yang diberi debata kita turuti.
Titah kelima, baik untuk memberitahukan berdirinya hukum dilarang
untuk ditebang, bagus hukum itu dilarang untuk ditahan-tahan, jatuh
hukum itu jangan digelindingkan.
Titah keenam, diberitahukan kepada kalian jangan permalukan yang tua
miskin yang kurus, yang kecil, yang besar, yang dewasa yang duda/janda,
perempuan sesalulah kasihi agar kelak kita bertuah.
Titah ketujuh, kita dengarkan penjelasan, jika dipaksakan yang dilarang
maka sibuta akan pergi kejurang. Jengan membodohi diri jika tahu yang
benar, jangan membicarakan yang tidak mendengar.
Titah kedelapan, homati ayah dan ibu wahai anak-anak dan orang dewasa,
yang lebih tua pantun marserep ni roha baik sikap kita agar mudah
mendapat rejeki yang dikerjakanpun terlihat.
Titah kesembilan, seluruh agar satolop kepada kegiatan yang suci
menuguhkan kegiatan bersama, yang memiliki umur panjang memenuhi
dirinya dengan kegiatan agama.
Titah kesepuluh, jangan beranak pinak padi di lumbung di sawahlah itu
baik. Jangan beranak pinak uang di peti kepada barang dagangan lah itu di
pergunakan agar beruntung yang didagangkan pun berdamai.
Titah kesebelas, hukum agama adat yang mengigatkan keimanan,
disampaikan raja kita dari Debata mulajadi na bolon hanya itulah Tuhan
kita perintah dan panggilannya kita turuti dihati.
Titah keduabelas, selalulah kita sembah Debata yang bertuah kita
sampaikan kepadanyanya seganap jiwa kita sebab seguru pada
kesukaannya bale gok baletongan.
Kata yang merimpunkan: keseluruhan dari titah yang keduabelas tersebut
adalah “satu” itulah titah ima patik sitingkos ni ari si jujung ningor teguh pada
adat teguh pada hukum.
Kegiatan yang dilaksanakan para pengikut ajaran Malim didasarkan pada
patik yang kedua belas tersebut. Namun, di samping patik yang kedua belas itu
ada hata pangarimpunan yang bermakna sebagai inti keseluruhan patik yaitu:
“Sitingkos ni ari si jujung ningor hot di adat hot di uhum na”. Secara harfiah
bermakna bahwa semua hal tersebut terimplementasikan di dalam hukum dan adat
yang dilaksanakan Parmalim Najumanghon uras. Berikut pelaksanaan kegiatan
agama yang dilaksanakan Ugamo Malim Najumanhon Uras:
Pelaksanaan ketika ada orang yang bukan parmalim ingin menjadi Parmalim.
Dilaksanakan dengan Partamiang meminumkan uras yang telah didoakan
terlebih dahulu kepada seseorang yang akan mengikuti ajaran parmalim dan
diikuti dengan doa memohon yang di sampaikan kepada Mulajadi na bolon
melalui jujungan Najumanghon Uras yaitu Raja Sisingamangaraja Patuat
Raja Malim dan pimpinan ugamo malim (partamiang) menyampaikan aturan
dan pelaksanaan sesuai ajaran ugamo malim Najumanghon Uras.
Pelaksanaan ketika kelahiran anak menyampaikan uras dengan cara
memandikan si anak dan menyampaikan doa kepada Mulajadi na Bolon
dengan harapan bahwa si anak berumur panjang, sehat, dan bebudi akal agar
anak teserbut bertakwa kepada Mulajadi na Bolon dan mentaati ajaran Ugamo
Malim Najumanghon Uras.
Pelaksanaa ketika pernikahan, Parmalim Najumanghon Uras menikahkan
keturunannya dengan cara dipasu-pasu oleh partamiang yang disaksikan oleh
kedua orang tua dari masing-masing mempelai. Jika salah satu diantara
mempelai bukanlah parmalim, si mempelai tesebut diminumkan uras dan
diurasi sesuai dengan hukum/patik penganut kepercayaan Ugamo Malim
Najumanghon Uras.
Pelaksanaan ketika ada yang meninggal, para dongan saulaon atau sahadosan
datang untuk melayat ke tempat orang yang meninggal dan partamiang
menyampaikan doa kepada Mulajadi na bolon sesuai dengan ajaran ugamo
malim najumanghon uras agar tubuh dari yang meninggal diterima bumi dan
rohnya diterima mulajadi na bolon.
Pelaksanaan ketika menanam padi. Di saat mulai menanam padi penganut
ajaran malim na jumanghon uras diwajibkan berkumpul untuk berdoa
bersama yang dipimpin raja parbaringin, dengan tujuan agar padi yang di
tanam tumbuh subur dan menghasilkan panen yang memuaskan.
Pelaksanaan ketika memanen padi penganut Ugamo Malim Najumanghon
Uras menyampaikan doa puji syukur kepada Mulajadi na bolon melalui
jujungan raja Sisingamangaraja patuat raja malim dengan memukul gondang
untuk menyampaikan pelean persembahan kepada Mulajadi na Bolon.
2.8 Sistem Matapencarian
Jika ditinjau secara keseluruhan penduduk Meranti Timur memiliki mata
pencarian sebagai petani, peternak, pegawai pemerintahan, pegawai swasta, dan
wiraswasta. Dikarenakan kondisi geografis, Desa Meranti Timur berada pada 150-
250 meter dari permukaan laut (DPL) dengan kondisi tofografi berbukit serta
curah hujan berada pada 2.532 mm pertahun dan dengan suhu 23-26 C , yang
mengakibatkan sebagian besar penduduknya menggantungkan hidup dari
pertanian dan peternakan. Adapun yang menjadi tanaman utama adalah padi dan
sawit yang membentang luas mengelilingi daerah Meranti Timur. Selain itu ternak
yang dipelihara dan dibudidayakan diantaranya ialah binatang memamahbiak
seperti lembu dan kambing, ternak unggas penghasil telur dan daging, ikan air
tawar yang dikembangbiakkan pada tempat yang dekat dengan sumber air seperti
persawahan. Beberapa dari penduduk Meranti Timur juga bermata pencarian
sebagai pedagang bahan sembako.
2.9 Sistem Kesenian
Berkesenian merupakan salah satu aktivitas manusia yang sangat umum
dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian berkesenian merupakan suatu
kebutuhan yang penting bagi masyarakat untuk mengekspresikan dirinya sebagai
manusia yang memiliki perasaan indah, senang, gembira maupun sedih. Dengan
kata lain melalui kesenian dapat diketahui corak atau identitas dari sebuah suku
bangsa. Begitu juga yang terdapat di Desa Meranti Timur, meskipun telah
meninggalkan bonapasogitnya masyarakat Batak di sana masih mempertahankan
unsur-unsur kesenian peninggalan nenek moyang diantaranya:
2.9.1 Seni Musik
Seni musik yang masih terdapat dan hidup pada masyarakat Meranti
Timur adalah penggunaan ensambel gondang sabangunan dan instrument yang
termasuk dalam kategori uning-uningan. Penggunaan instrument uning-uningan
hanya pada konteks hiburan saja terlepas itu hiburan pribadi atau hiburan bersama
(kolektif) yang biasanya dimainkan ketika melepas rasa lelah dan penat di kedai
tuak sehabis bekerja pada siang hari. Terdapat hal yang menarik dalam
penggunaan ensambel gondang sabangunan pada masyarakat Batak Meranti
Timur, yaitu terdapat 3 (tiga) bentuk ensambel gondang sabangunan, yaitu
penggunaan gondang sabangunan dalam konteks adat dan penggunaan gondang
sabangunan dalam konteks ritual agama, sebagai berikut:
Dalam konteks adat, susunan gondang sabangunan meliputi: satu buah
sarune bolon, seperangkat taganing dengan gordang bolon, tanpa odap, 4
ogung yang dimainkan oleh dua orang, dan keyboard.
Dalam konteks ritual terdapat 2 (dua) bentuk susunan ensambel gondang
sabangunan: (a). Jika ritual dilaksanakan di luar rumah maka susunan
ensambel gondang sabangunan terdiri atas, satu buah sarune bolon,
seperangkat taganing dengan odap dan gordang bolon, 4 (empat) buah ogung,
dan satu hesek. (b). Jika ritual dilaksanakan di dalam rumah susunan ensambel
gondang sabangunan yang terdapat di dalamnya terdiri atas: satu buah sarune
bolon, seperangkat taganing dengan odap tanpa gordang bolon, 4 (empat)
buah ogung, dan satu hesek.
2.9.2 Seni Tari (Tortor)
Seni tari (Tortor) adalah ekspresi gerakan yang estetis dan artistik
menjelma dalam gerakan yang teratur, sesuai dengan isi irama gondang yang
sedang dimainkan. Gerakan teratur ini dapat dilakukan oleh perorangan,
berpasangan ataupun berkelompok. Tortor yang terdapat dalam masyarakat
Meranti Timur terbagi dalam dua konteks pelaksanaanya yaitu dalam adat dan
ritual agama. Ada perbedaan-perbedaan yang tampak di antara kedua konteks
tersebut. Dalam konteks adat, tortor hanya ditarikan sebagai ungkapan jasmani,
disebabkan bunyi gondang, dan gerakan yang terdapat di dalamnya cenderung
bebas dan tanpa unsur estetis11
. Sedangkan dalam konteks ritual, tortor khusus
dipersembahkan kepada tondi na marsahala yang terdapat dalam ajaran parmalim
najumanghon uras, serta gerakannya yang memiliki aturan tersendiri.
2.9.3 Seni Sastra
Sastra daerah merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan
berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan sastra daerah dapat
11
Butuh penelitian lebih lanjut
dikatakan masih berkisar pada sastra lisan saja. Sastra itu sebagian tersimpan di
dalam ingatan orang-orang yang mempunyai keahlian khusus dalam menceritakan
sastra tersebut yang jumlahnya semakin berkurang karena banyak hal. Salah satu
bentuk sastra yang masih ada dalam masyarakat Batak Toba di Meranti Timur
bisa dilihat dalam tonggo ritual parmalim na jumanghon uras, umumnya selalu
dipadukan dengan pengucapan umpasa dan umpama.
2.9.4 Seni Rupa
Seni rupa berupa gorga, ulos, serta ukir-ukiran batak tradisional tidak lagi
ada pembuatnya di desa Meranti Timur. Hal ini terlihat dari arsitektur bangunan
rumah penduduk tidak lagi mengikuti bentuk dari arsitektur rumah batak. Jikapun
ada hanyalah rumah parsaktian dari agama Malim Najumanghon Uras yang
dijadikan sebagai tempat melaksanakan ritual peribadatannya. Penggunaan ulos
hanyalah pada saat-saat kegiatan adat dan ritual saja. Hal ini menunjukkan bahwa
seni rupa dalam bentuk arsitektur bangunan, ukir-ukiran tangan, serta kesenian
tekstil sudah tertinggalkan.
BAB III
TAHAPAN DAN ANALISIS RITUAL GONDANG SAPOTANG
3.1. Pendahuluan
Koentjaraningrat (1984: 243) menyatakan bahwa komponen upacara ada 4
(empat), yaitu: 1.Tempat upacara; 2. Saat upacara; 3. Alat-alat perlengkapan
upacara; dan 4.Pendukung dan pemimpin upacara. Dalam bab ini penulis
mencoba menjelaskan urutan ritual, makna setiap elemen yang terdapat dalam
pelaksanaan ritual, menerjemahkan transkrip wawancara serta tonggo yang
diucapkan oleh informan dan peserta ritual yang keseluruhannya terdapat dalam
bahasa Batak Toba. Penerjemahan dilakukan dalam bahasa Indonesia untuk
mengungkap makna dalam pelaksanaan ritual yang penulis peroleh saat penelitian
lapangan yang mencakup wawancara dan peliputan upacara.
3.2. Latar Belakang, dan Tujuan Gondang Sapotang
Margondang sapotang yang menjadi pembahasan dalam tulisan ini ialah
gondang sapotang yang dilaksanakan secara hadosan yaitu ritual manggurgur
uras. Berikut ini cuplikan tonggo dan wawancara dengan responden untuk
memperjelas latar belakang dan tujuan diadakannya ritual gondang sapotang.
“Ia ulaon di najumanghon uras martingkat ulaon, adong do gondang
samalam sajo ima sapotang, saborngin, sabodari sarupadoi. Mangihutho
na dirohani suhut mamikkiri alani sidabuaon, Alani tikki sipata, Alani
ekonomi sipata”.12
Terjemahan
“Kegiatan (ritual) dalam (kepercayaan) na jumanghon uras memiliki
tingkatan, ada hanya gondang semalam saja, saborngin, sabodari itu sama
saja. Mengikuti keinginan si pelaksana kegiatan (suhut) disebabkan biaya
pelaksanaan (sembako), terkadang karena waktu, terkadang kerena perihal
perekonomian”.
12
Wawancara dengan M Simangunsong tanggal 05 Mei 2018
Pada teks wawancara tersebut terlihat bahwa gondang sapotang
merupakan suatu kegiatan alternatif yang dilaksanakan dikarenakan ada hal-hal
yang mengakibatkan tidak bisanya suatu kegitan ritual dilakukan ketika siang hari.
Hal-hal yang menyebabkan diadakannya gondang pada malam hari karena pihak
suhut pada suatu keadaan tertentu tidak cukup dalam perekonomian, juga pada
saat tertentu waktu sangat tidak memungkinkan. Hal yang melatarbelakangi
pelaksanaan ritual gondang sapotang juga terlampir dalam cuplikan tonggo
berikut ini:
”Ala dung jumpang do buhuni taon, marsada ni roha ma hami na
jumanghon pangurasan jumujung hamalimon ni, mangulahon adat ni
inantai na mailiubulungi pinatikhon ni da oppung nami
Sisinganmangaraja na jumolo tubui. Hehean ma tahe uras sohaliapan
uras sohali purpuran, asa anggiat hehe raja panumpahi borhat raja
panolongi, ima jumolongi lakkani na martua na marsangap rajai
parhabinsaran”13
asa lam tarida tu tio na hata ni uras sohaliapan uras
sohalipurpurani. Gabe na niula hami sinur ma pinahan nami…. sahat ma
hami gabe, sahat ma hami horas, horas hami jolma manisia”.
Terjemahan
“Sebab telah tiba waktunya. Seiya sekata kami na jumanghon pangurasan
jumujung hamalimon, melaksanakan adat dari ibu yang sakti. Yang di
titahkan leluhur kami Sisingamangaraja yang pertama “junjunglah uras
sohaliapan uras sohali purpuran”. Agar bangkit raja panumpahi pergi
raja panolongi, menolong langkah yang bertuah dan terhormat Raja
Parhabinsaran, agar semakin terlihat jelas pesan dari uras sohaliapan
uras sohalipurpuran. Berkah yang kami kerjakan, baiklah ternak
kami….sampailah berkat pada kami, sampailah pada kami horas, horas
kami manusia”.
Dalam tonggo tersebut terdapat kalimat “dung jumpang buhu ni taon”
yang menjadi dasar penggerak mereka bermusyawarah agar melaksanakan “adat
ni inanta na mailiubulungi” yang dititahkan oleh leluhur yaitu Ompung
Sisingamangaraja yang pertama, yaitu untuk menjunjung “uras sohaliapan uras
13
Transkrip tonggo ritual gondang sapotang tanggal 19 Maret 2018
sohalipurpuran”. Agar bangkit “raja panumpahi” bergerak pergi “raja
panolongi” untuk menolong langkah dari “raja Parhabinsaran” yang sedang
dalam perjalanan untuk menyampaikan pesan agar semakin terlihat jelas pesan
dari “uras sohaliapan uras sohali purpuran” agar menjadi berkah segala hal baik
yang dikerjakan dan agar semakin baik juga kiranya hewan yang diternakkan atau
dengan kata lain agar terberkatilah kehidupan mereka sebagai manusia yang
diciptakan “Debata”. “Adat ni inanta na mailuibulung” adalah titah yang
disampaikan kepada Ompung Sisingamangaraja agar para pengikut ajaran
parmalim menjujung pesan dari “uras sohaliapan uras sohalipurpuran”.
Manifestasi dari uras sohaliapan uras sohalipurpuran adalah pangurasan yang
terdiri atas beberapa benda yang memiliki makna tersendiri yang menyusun
kesatuan dari pangurasan. Adapun benda-benda tersebut ialah: sawan (cawan
putih), mual sitio tio (air tawar), sanggul bane bane (kemangi), dan bueni junjung
buhit (jeruk purut).
Uras atau pangurasan ialah salah satu media materi yang harus ada untuk
berkomunikasi kepada Ompung Mulajadi na Bolon, suatu yang membersihkan
segala hal agar menjadi bersih dan suci. Alasan dari menjunjung uras terjabarkan
dalam cuplikan wawancara berikut ini:
“Ala nungnga torbang hasingaoni tu banua ginjang, hasingaonni
ompungta. Mangangguk ma portibi, matua tano. Asi ma rohani debata ala
naung gumulik paradaton humusor paruhuman. Ditongos debata ma uras
sohaliapan uras sohalipurpuran. Ido dalan ni hite hite pangidoan tu
debata, tu na martua tuna martondi. Ditongos ma uras sohaliapan uras
sohalipurpuran”14
.
Terjemahan
14
Wawancara dengan Ompung Lungguk Siahaan tanggal 03 Mei 2018
“Sebab telah terbang hasingaoni (suatu kuasa spiritual) ke dunia atas,
hasingaon leluhur kita. Menangis dunia (tempat manusia), menjadi tua
tanah. Iba perasaan debata sebab telah gumulik paradaton bergeser tata
hukum. Debata mengirim uras sohaliapan uras sohalipurpuran. Itulah
jalan perantara untuk meminta kepada debata, kepada yang bertuah
kepada yang berjiwa. Dikirimlah uras sohaliapan uras sohalipurpuran”.
Secara harfiah dalam wawancara dengan responden tersebut beliau
menceritakan perihal menjunjung uras diakibatkan karena telah terbang atau pergi
hasingaon atau suatu kharisma yang bersifat baik dari leluhur Parmalim
Najumanghon Uras. Hal tersebut menyebabkan kesusahan atau kesedihan bagi
mereka. Kesusahan dan kesedihan yang mereka alami dilihat oleh Debata dan
akhirnya memunculkan suatu rasa welas asih kepada mereka. Oleh karena itu,
Debata memberi uras sohaliapan uras sohalipurpuran sebagai perantara
permintaan bagi penganut ugamo Malim Najumanghon Uras kepada-Nya dan
kepada tondi yang terhormat dan bertuah.
Uras atau pangurasan terdiri atas beberapa benda yang menyusun suatu
kesatuan seperti sawan (cawan putih), mual sitio tio (air tawar), sanggul bane
bane (kemangi), dan bueni junjung buhit (jeruk purut). Setiap bagian uras
memiliki maknanya tersendiri, seperti yang diceritakan informan dalam penelitian
ini.
“Suan suananni habonaran naung adong ni dohononna, molo unte pangir
(bueni junjung buhit) suan suananni batara guru, sanggul bane bane
suananni bane bulan, haminjon suananni bane sori15
”.
Terjemahan
“Tanaman kebenaran yang memiliki makna, jeruk purut (unte pangir,
bueni junjung buhit) penanamnya Batara Guru, kemangi (sanggul bane
bane) penanamnya Bane Bulan, kemenyan (haminjon) penanamnya Bane
Sori”.
15
Wawancara dengan M. Simangunsong tanggal 05 Maret 2018
Berikut ini cuplikan wawancara yang menjelaskan makna air yang terdapat
dalam pangurasan:
“Rikkot di hita mual….tu boru saniang naga do hita mangido, Alana
nungga dilehon kuasa tu ibana na paegakhon mual sitio tio mangaradoti
manjaga”.16
Terjemahan
“Penting bagi kita air…. Kepada boru saniang naga lah kita meminta,
sebab telah diberi kuasa kepadanya untuk paegakhon mual sitio tio
memperhatikan menjaga”.
Dari keterangan wawancara yang terlampir terdapat suatu pemahaman
masyarakat parmalim na jumanghon uras bahwa pangurasan merupakan kesatuan
dari para tondi yang bertuah dan terhormat dimana pada merekalah manusia
memohon sesuatu perihal kepentingan dalam hidupnya.
Dalam ajaran parmalim Batara Guru, Bane, dan Sori Bane Bulan
merupakan tondi na marsahala yang disebut sebagai Debata na tolu sada, yaitu
tiga tetapi satu yang masing-masing memiliki kemampuan yang berbeda-beda.
Kemampuan yang mereka miliki merupakan kemampuan yang diberikan Ompung
Mulajadi na bolon untuk membantu manusia. Hal ini terlihat dalam cuplikan
tonggo yang disampaikan partamiang saat ulaon gondang sapotang yang
berbunyi sebagai berikut:
“Asa mangalualu muse ma ahu tu oppung debata na tolu Batara guru,
Bane bulan, bale sori nasomurung. Takkas do hamu da oppung
nasumurung ni oppungta na martua debata mulajadi na bolon17
”
Terjemahan
“Kembali aku mengadu kepada ompung Debata na tolu, Batara guru,
Bane bulan, Bale sori yang berkesaktian. Jelaslah kalian ompung diberi
kesaktian ompungta yang bertuah Debata Mulajadi na bolon.”
16
Ibid 17
Transkrip Tonggo dalam ulaon gondang sapotang tanggal 18-19 April 2018.
Kemampuan dan kesaktian yang mereka miliki antara lain ialah. Debata
Batara guru kuasa supranatural atas hukum, pengetahuan, dan kebijaksanaan,
Debata sori sohaliapan (bane sori) kuasa supranatural atas hukum kesucian
(timbangan hamalimon), dan Debata bala bula (bane bulan) kuasa supranatural
atas kharisma kemuliaan dan karisma bertuah18
.
Berdasarkan semua hal tersebut penulis menginterpretasikan bahwa
gondang sapotang yang dibahas dalam tulisan ini bertujuan memperingati tona
atau pesan yang disampaikan ina na mailiubulung kepada Sisingamangaraja untuk
menjunjung uras sohaliapan uras sohalipurpuran. Menjunjung uras sohalipapan
uras sohali purpuran adalah tetap berperilaku berdasarkan ajaran adat dan hukum
yang dipesankan oleh Sisingamangaraja Patuat Raja Malim kepada para pengikut
Ugamo Malim Najumanghon Uras.
Uras sohaliapan uras sohalipurpuran dimanifestasikan sebagai
pangurasan yang terdiri atas beberapa elemen yang menyusun kesatuan seperti
sawan putih, mual sitio tio, bueni junjung buhit, dan sanggul bane bane. Setiap
elemen penyusun pangurasan merupakan benda yang dikuasai oleh sahala tondi
tertentu. Mual sitio tio penjaganya ialah Boru Saniang Naga. Bueni junjung buhit
merupakan tanaman dari Batara Guru. Bane bane merupakan tanaman dari Bane
bulan. Berdasarkan hal tersebut pangurasan melambangkan penghidupan,
pengetahuan, pensucian, percaya, dan penghormatan yang berasal dari Ompung
Mulajadi na Bolon.
Uras diberikan Mulajadi na Bolon kepada manusia sebagai perantara
untuk berkomunikasi kepada-Nya. Dengan kata lain untuk dapat berkomunikasi
18
Irwansyah Harahap, Hatani Debata 2010, 97.
kepada Mulajadi na Bolon manusia haruslah hidup dalam pengetahuan, suci,
memiliki kepercayaan atau iman, dan memiliki kehormatan yang sesuai dengan
ajaran yang diberikannya melalui perantaraan Sisingamangaraja Patuat Raja
Malim. Ajaran itu disebut Ugamo Malim. Untuk berkomunikasi kepada Mulajadi
na Bolon dibuatlah suatu pelaksanaan ritual.
3.3. Tempat Pelaksanaan Ritual Gondang Sapotang
Desa Meranti Timur merupakan tempat atau lokasi berlangsungnya ritual
gondang sapotang yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini. Secara
administrasi desa Meranti Timur berada di wilayah Kecamatan Pintupohan
Meranti Kabupaten Toba Samosir. Desa Meranti Timur terbagi atas tiga wilayah
dusun yaitu, Dusun Lobu Jior, dan Dusun Adian Baja, Dusun Sigalapang. Ritual
gondang sapotang yang dibahas dalam tulisan ini berlangsung di Dusun Adian
Baja.
Adian Baja merupakan salah satu dusun yang pertama berdiri di desa
Meranti Timur. Desa tersebut didirikan oleh Ompung Junjungan Panjaitan yang
berasal dari daerah Sitorang. Ompung Junjungan merupakan keturunan lansung
dari Guru Sinambung. Guru Sinambung ialah sisean19
dari raja Parhabinsaran
yang menyampaikan pesan atau tona ni ompung Sisingamangaraja tentang adat
ni inanta na mailiubulung untuk menjunjung hatani uras sohaliapan uras
sohalipurpuran. Dengan kata lain Guru Sinambung merupakan penyambung lidah
penyampaian pesan ajaran haparmalimon. Hal ini disampaikan oleh informan
ketika penelitian ini berlangsung, sebagai berikut:
19
Murid
“Guru Sinambung natoras ni marga panjaitani, ibana ma naparjolo
manjalo hata ni uras sian natua tuai raja parhabinsaran. Jadi dang goar
aslinai, rajai do parhabinsaran na pararathon hata ni urasi do mambahen
goar ni guru sinambung. „bahenno hu ma goar mu guru sinambung, ho ma
na manambung sude ulahon ruhut, adat, uhum, patik, dohot aturan on‟.”20
Terjemahan
“Guru Sinambung leluhur dari marga Panjaitan itu, dia yang pertama
menerima pesan uras dari raja parhabinsaran. Itu bukan namanya yang
sebenarnya, Raja parhabinsaran yang memberi dia sebutan guru
sinambung. „Ku berilah kau nama guru sinambung, „kaulah yang
menyambungkan semua ruhut, adat, patik, juga aturan ini‟.”.
Guru Sinambung merupakan sebuah gelar yang diberikan sacara lansung
oleh Raja Parhabinsaran kepada leluhur dari Ompung Junjungan Panjaitan.
Pemberian nama Guru Sinambung agar tetap menyambungkan pesan uras
sohaliapan uras sohalipurpuran kepada masyarakat Batak Toba.
Ritual gondang sapotang yang dibahas dalam tulisan ini berlangsung di
dalam sebuah rumah keturunan Guru Sinambung yang dianggap sebagai rumah
parsaktian juga sebagai tempat kesekretariatan dari parmalim najumanghon uras.
Hal tersebut disebabkan Guru Sinambung merupakan penerima lansung tona atau
pesan dari Raja Parhabinsaran dan keturunan Guru Sinambung yaitu Ompung
Junjungan pada masa hidupnya merupakan Ulu Punguan dari Ugamo Malim
Najumanghon Uras. Berdasarkan mufakat tersebut rumah dari keturunan Guru
Sinambunglah yang dipilih sebagai tempat pelaksaan ritual. Ritual yang
berlangsung merupakan ulaon hadosan yang dilaksanakan atas dasar mufakat
bersama. Perlu untuk diketahui bahwa setiap pelaksanaan dari ritual gondang
sapotang itu wajib dilaksanakan di dalam rumah. Hal ini diutarakan oleh informan
dalam cuplikan teks wawancara berikut ini:
20
Wawancara dengan M. Simangunsong pada tanggal 04 Mei 2018 di desa Lobu Jior
“Alana sude pelean diginjang do dibahen di jabu, dang mungkin dijabu di
bahen alai diluar, waktu dang mungkin diluar molo sapotang”21
Tejemahan
“Sebab semua sesaji dipersembahkan di rumah, tidak mungkin dirumah
[ritual berlansung] tetapi di luar [sesajinya], waktu tidak memungkin
diluar jika sapotang”.
Berdasarkan pernyataan tersebut ritual gondang sapotang dilaksanakan di
dalam rumah untuk mempersembahkan pelean kepada Debata Mulajadi dan para
Tondi na marsahala na martua yaitu di sokkor pogang dan mombang sipitu pitu.
Pemilihan waktu ketika malam hari tanpa cahaya serta gelap gulita disebabkan
hal-hal lainnya.
Dalam pelaksanaan gondang sapotang setiap peserta menempati posisi
duduk sesuai dengan statusnya didalam ugamo malim najumanghon uras, yang
terdiri dari 4 (empat) posisi yaitu Jabu Bona, Jabu Suhat, Jolo-jolo, dan Ruma
Soding. Dalam pelaksanaan gondang sapotang terdapat beberapa aturan dalam
menduduki posisi Jabu Bona. Jika ritual tersebut merupakan ulaon hadosan yang
menduduki posisi Jabu bona adalah pemilik rumah tempat dilaksanakannya ritual
gondang sapotang. Namun, bila gondang sopotang dilakukan atas dasar
kepentingan pribadi yang menduduki posisi Jabu Bona adalah dia yang memiliki
kepentingan pribadi tersebut atau yang disebut dengan pihak Suhut, terlepas dari
dimana dilaksanakan ritual gondang sapotang. Jabu Suhat merupakan posisi yang
di tempati pihak Raja yaitu pemerintah setempat dan para orang tua, pada
pelaksanaan pesta adat Jabu Suhat merupakan posisi yang di tempati oleh dongan
tubu atau teman semarga atau saudara laki-laki. Jolo-jolo merupakan posisi yang
ditempati pihak hula-hula di dalam adat. Namun dalam pelaksanaan gondang
sapotang merupakan tempat dari para pargonsi. Ruma soding merupakan posisi
21
Wawancara dengan M. Simangunsong tanggal 05 Mei 2018
yang ditempati oleh pihak boru di dalam adat, sedangkan di dalam pelaksanaan
ritual gondang sapotang merupakan posisi yang ditempati oleh pihak ina (ibu).
Berikut ini denah deskripsi mengenai posisi letak dari peserta ritual.
Pintu Depan
Tabel 3.1: Denah posisi peserta ritual
Sumber: Rekonstruksi Penulis
3.4. Saat Ritual Gondang Sapotang
Ritual gondang sapotang yang menjadi pembahasan dalam tulisan ini
berlagnsung pada malam hari tanggal 18 Maret 2018 ± pukul 20:00 WIB sampai
19 Maret 2018 ± pukul 05:00 WIB. Alasan pelaksanaan ritual diatur terlebih
dahulu melalui musyawarah dengan para penganut ugamo malim. Sebagai catatan
ritual gondang sapotang selalu dilaksanakan pada malam hari. Namun, sebelum
ritual dimulai terlebih dahulu para parhobas menyiapkan peralatan dan
Jabu Soding
Jolo-jolo
Jabu Bona
Jabu Suhat
perlengkapan ritual pada sore hari. Pelaksanaan ritual pada malam hari didasarai
oleh pernytaan berikut:
“Ia ulaon di najumanghon uras martingkat ulaon, adong do gondang
samalam sajo ima sapotang, saborngin, sabodari sarupadoi. Mangihutho
na dirohani suhut mamikkiri alani sidabuaon, Alani tikki sipata, Alani
ekonomi sipata”
Terjemahan
“Dalam na jumanghon uras terdapat tingkatan kegiatan, ada hanya
gondang semalam saja, saborngin, sabodari itu sama saja. Mengikuti
keinginan si pelaksana kegiatan (suhut) memikirkan kerena yang
dijatuhkan (sembako), terkadang karena waktu, terkadang karena perihal
perekonomian”
Dalam cuplikan wawancara tersebut informan menjelaskan bahwa
kegiatan ugamo parmalim terdapat tingkatan suatu ritual. Pemilihan waktu ketika
malam merupakan alternatif dikarenakan pelean yang di sampaikan, juga
disebabkan pada keadaan tertentu kegiatan tidak dapat dilakukan ketika siang hari.
Jadi, perihal waktu merupakan sesuatu hal yang ditentukan melalui musyawarah
atas dasar melihat keadaan dan kondisi serta situasi yang sedang terjadi pada saat
dilaksanakannya suatu ritual.
3.5. Peralatan dan Bahan Perlengkapan Ritual Gondang Sapotang
3.5.1 Peralatan
Peralatan yang penulis maksud adalah benda yang digunakan untuk
membantu saat melakukan pekerjaan tertentu dengan maksud dan tujuan tertentu
dalam ritual gondang sapotang. Adapun peralatan dalam pelaksanaan ritual
gondang sapotang adalah sebagai berikut:
Sokkor Pogang dan Mombang Sipitu pitu
Sokkor pogang dan mombang sipitu pitu terletak di dalam rumah. Sokkor
pogang merupakan tempat bagi pelean yang disampaikan kepada sahala ama,
sedangkan mombang sipitu pitu merupakan tempat untuk menyampaikan pelean
kepada sahala ina.
Pandaupaan dan Pangurasan
Pandaupaan merupakan tempat membakar kemenyan yang disebut
sebagai gota ni hau na hukkus22
berfungsi sebagai penyampai tonggo-tonggo
kepada Debata mula jadi nabolon dan tondi na marsahala yang dipercaya dalam
ajaran ugamo malim. Sementara itu, pangurasan merupakan cawan putih berisi
mual sitio tio (air tawar), bueni junjung buhit (jeruk purut), dan sanggul bane
bane (kemangi) yang berfungsi sebagai media pembersih dari segala hal yang
tidak baik. Pandaupaan dan pangurasan merupakan representative dari debatana
tolu yaitu Batara guru, Bane sori, Bane bulan sebab masing-masing dari
penyusun pandaupan dan pangurasan merupakan tanaman dari Debata na tolu.
Jeruk purut (unte pangir, bueni junjung buhit) penanamnya Batara guru, kemangi
(sanggul bane bane) penanamnya Bane bulan, dan kemenyan (haminjon)
penanamnya bane sori”.
Amak
Merupakan tikar yang terbuat dari ayaman daun yang telah dikeringkan
terlebih dahulu. Amak digunakan sebagai alas untuk meletakkan pelean somba di
sokkor pogang yang dituju kepada Debata mulajadi na bolon dan tondi na
marsahala dan sebagai alas duduk para pelaksana ritual.
Sige sige
22
Getah kayu yang khusus
Sige-sige adalah sebuah batang kayu yang telah dibentuk sedemikian rupa
menjadi tangga bagi parhobas untuk menjangkau sokkor pogang dan mombang
sipitu pitu yang berada sekitar dua meter dari lantai rumah untuk menaikkan
pelean somba dan menaruhnya pada sokkor pogang dan mombang sipitu pitu.
Lampu Teplok
Lampu Teplok digunakan sebagai penerang dalam ritual gondang
sapotang. Lampu teplok diletak pada sokkor pogang yang berada sekitar dua
meter dari lantai dimana saat malam hari sokkor pogang berada dalam kondisi
gelap. Hal mengenai penggunaan lampu teplok juga dijelaskan oleh informan
sebagai berikut:
“Molo na pasangapon ulaon hadebataon dang golap, ikhon tiur do. Alana
ulaon hadebataon daong dinagolapi, ido asa dang boi lampu listrik, ia
mintop annon, manaka dibahen lampu teplok asa masinondang.”23
Terjemahan
“Kalau menghormati pekerjaan untuk Debata tidak boleh gelap, haruslah
terang. Sebab pekerjaan untuk tuhan tidak di tempat yang gelap, itulah
mengapa tidak boleh lampu listrik, jika nanti padam, maka dipakailah
lampu templok agar tetap terang”.
Dari cuplikan wawancara tersebut terlihat bahwa lampu templok pada
mulanya murupakan penerang dalam ritual gondang sapotang. Namun
penggunaan lampu teplok digantikan oleh lampu listrik, tetapi lampu teplok tetap
dipetahankan penggunaannya dalam menerangi sokkor pogang. Hal ini untuk
mengantisipasi dari kondisi yang tidak diinginkan seperti pemadam listrik yang
dilakukan oleh pihak yang berwenang.
Gondang Sabangunan
23
Wawancara dengan M. Simangunsong tanggal 04 Mei 2018
Berikut ini susunan gondang sabangunan dalam ritual gondang sapotang
Parmalim Najumanghon Uras:
Taganing (single-headed drum) diurut dari yang memiliki ukuran paling
kecil: tingting, paidua tingting, painonga, paidua gordang, dan gordang.
Susunan taganing pada ritual gondang sapotang berbeda dengan susunan
taganing yang terdapat pada masyarakat batak pada umumnya. Dalam
tradisi gondang batak susunan taganing pada umumnya meliputi: ting-
ting, paidua tinting, painonga, paidua odap, odap-odap, dan gordang
bolon24
.
Odap (double headed drum) merupakan gendang dua sisi yang sangat
khusus penggunaan dalam masyarakat Batak Toba. Odap hanya dimainkan
untuk kepentingan spiritual, tidak dimainkan untuk mengiringi gondang
gondang dalam konteks adat (seremonial sosial).
Sarune bolon (double reeds-oboe) merupakan instrument musik berjenis
aerophone berlidah ganda yang berfungsi sebagai pembawa melodi dalam
ritual gondang sapotang.
Ogung (suspended-gongs) merupakan seperangkat gong berpencu yang
digantungkan pada seutas tali. Berikut ini susunan ogung yang terdapat
dalam ritual gondang sapotang: Ogung Oloan, Ogung Doal, Ogung
Panggora, dan Ogung Ihutan.
Hesek (idiophone), benda yang dijadikan hesek dalam ensambel gondang
sabangunan terlihat fleksibel. Biasanya potongan logam atau bekas botol
minuman yang dipukul dengan stik kayu. Namun dalam pelaksanaan ritual
24
Lihat Irwansyah Harahap, Hatani Debata hlm 197.
gondang sapotang yang dijadikan hesek adalah mata cangkul yang
dibunyikan dengan memukulkan stik kayu secara langsung pada mata
cangkul tersebut.
Dalam ensambel gondang sabangunan yang terdapat dalam ritual gondang
sapotang dapat kita perhatikan bahwa gordang bolon (single-headed bass drum)
tidak digunakan. Hal ini disebabkan dalam ugamo malim najumanghon uras
terdapat aturan jika hendak melakukan suatu peribadatan, yaitu gordang hanya
khusus dimainkan ketika ritual berlangsung di luar rumah. Karena adanya
kepercayaan dengan dimainkannya gordang di luar rumah, akan tampak
kekuasaan dari para tondi yang dipercaya terlebih kepada raja na opat pulu opat.
Berikut ini cuplikan wawancara dengan informan untuk memperjelas
pembahasan:
“Molo hata na di alaman asa anggiat jonjong harajaonni akka na martua
na marsahalai, lumobi di parjalananni raja na opatpulu opat asa tarida
raja panumpahi dohot raja panolongi”.25
Terjemahan
“Pelaksanaan di halaman agar berdiri kerajaan para yang bertuah dan
berkesaktian, terlebih pada perjalanan raja na opat polu opat agar terlihat
raja panumpahi dengan raja panolongi”.
Dapat juga terlihat bahwa gordang bolon mewakilkan figur dari raja na
opat polu opat. Walaupun demikian, dalam pelaksanaan gondang sapotang
tonggo kepada raja na opat pulu opat tetap diucapkan oleh partamiang dengan
pargonsi memainkan gondang memukul odap-odap yang dianggap menjadi
gordang.
25
Wawancara dengan M. Simangunsong tanggal 26 April 2018
3.5.2 Bahan Perlengkapan Ritual
Berikut ini bahan dan perlengkapan yang ada di dalam pelaksanaan ritual
gondang sapotang berdasarkan pengamatan di lapangan dan wawancara dengan
para responden di dalam penelitian. Adapun bahan yang penulis maksud ialah
benda yang dipakai dan dijadikan sebagai sesembahan dalam ritual, sedangkan
perlengkapan yang penulis maksud ialah benda yang hanya ada dalam ritual yang
memiliki suatu makna dan fungsinya hanya sebagai simbol penanda. Jadi, bahan
dan perlengkapan yang penulis maksud merupakan benda yang menjadi
sesembahan dan benda yang tidak menjadi sesembahan. Namun, harus tetap ada
sebagai pelengkap ritual.
3.5.2.1 Pelean dan Rudang rudang
Dalam ritual gondang sapotang terdapat bahan makanan yang dijadikan
sebagai sesembahan puji-pujian kepada Debata Mulajadi na Bolon dan tondi na
marsahala. Sesembahan ini disebut pelean somba. Rudang-rudang terdiri atas
daun-daunan dan benda-benda lainnya yang memiliki makna tersendiri. Meskipun
berbeda antara pelean dan rudang-rudang, kedua hal ini pada dasarnya sama yaitu
pelaen somba yang dipersembahkan kepada Debata Mulajadi na bolon dan Tondi
na marsahala sesuai kepercayaan dalam ajaran ugamo malim. Berikut ini pelean
dan rudang-rudang yang terdapat dalam gondang sapotang yang dibahas dalam
tulisan ini.
3.5.2.1.1 Pelean
Sitompion merupakan makanan berbahan dasar beras yang ditumbuk menjadi
tepung dan diolah dengan cara dikukus. Sitompion salah satu pelean yang
penting dalam ritual gondang sapotang sebab bagi masyarakat parmalim
sitompion merupakan pelean yang disampaikan kepada Mulajadi na bolon dan
tondi na marsahala sebagai ganti tubuhnya atau dapat dikatakan bahwa dalam
ritual gondang sapotang sitompion selalu ada dipersembahkan.
Ihan (Neolissochilus thienemanni) merupakan ikan air tawar yang hidup pada
perairan sungai yang mengalir dan jernih. Ikan yang menjadi sesembahan
merupakan ikan yang dipilih secara khusus, yaitu dengan kriteria adanya motif
hariara (beringin) pada kepala ikan tersebut.
Manuk Lombingan (Gallus domesticus) merupakan ayam yang biasa disebut
di Indonesia sebagai ayam kampung. Sesembahan ini ditujukan kepada inanta
na mailiu bulung yang diletak pada mombang sipitu pitu. Ayam yang
dijadikan sebagai sesembahan dalam ritual gondang sapotang adalah ayam
betina yang masih remaja atau ayam betina yang belum bertelur. Hal ini
disebabkan menurut ajaran parmalim setiap pelean atau sesembahan haruslah
masih dalam keadaan suci.
Itak gurgur merupakan makanan khas Batak Toba berbahan dasar beras yang
telah dihaluskan. Dalam kepercayaan parmalim najumanghon uras bahwa itak
gurgur merupakan perlambangan dari tanah yang menjadi pijakan dan tempat
tinggal serta sumber penghidupan bagi manusia yang dibawa oleh siboru Deak
parujar ke dunia.
Tolor ni manuk merupakan telur ayam kampung yang tujukan kepada inanta
na mailiu bulung sebagai taor (jimat, penawar, dan penangkal).
3.5.2.1.2 Rudang rudang
Baringin (Ficus benjamina) merupakan tanaman yang mampu tumbuh besar
dengan tinggi berpuluh meter dan daun yang rimbun. Bagian dari beringin
yang digunakan dalam ritual gondang sapotang ialah bagian ranting yang
memiliki daun. Beringin dalam ugamo malim memiliki ragam makna seperti
yang dijelaskan oleh informan sebagai berikut:
“Lapatanni paboahon natutu do ulaonon ulaon hamalimon jala tetap
ikhon adong do di si baringin. Asa adongi menurut ruhut ni ugamo
hamalimon alani raja doi”26
Terjemahan
“Maknanya untuk memberitahu bahwa benar kegiatan ini merupakan
kegiatan hamalimon maka tetap harus ada di situ beringin. Mengapa itu
ada menurut aturan ugamo hamalimon karena itu [beringin] merupakan
raja”
Dalam ritual gondang sapotang beringin melambangkan sebuah upacara
yang dilaksanakan atas dasar kesucian. Beringin melambangkan raja yang
memiliki kekuasaan besar serta mampu melindungi dan memberi keteduhan bagi
rakyatnya. Hal ini terlihat dari adanya ranting beringin yang masih memiliki daun
yang diletakkan di sudut rumah pada bagian ruma suhat.
Sugi-sugi (Hystrix sumatrae) merupakan duri hewan mamalia yang dalam
Bahasa Indonesia disebut landak. Dalam kepercayaan parmalim sugi-sugi
dianggap sebagai benda yang mampu merapikan hal yang kusut. Jadi sugi-
sugi dimaknai sebagai suatu hal yang mampu meluruskan jalannyanya ritual.
Sanggul banebane (Ocimum ×citriodorum) atau kemangi merupakan
tumbuhan yang menurut ugamo malim merupakan tanaman langsung dari
26
Wawancara dengan M. Simangunsong Tanggal 04 Mei 2018
salah satu Debata na tolu yaitu Bane bulan. Dengan kata lain sanggul bane-
bane merupakan manifestasi dari Bane bulan dalam ulaon gondang sapotang.
Ratting ni demban (piper betle) merupakan ranting dari sirih.
Gambiri (Aleurites moluccanus) atau kemiri digunakan sebagai bahan dasar
minyak dan penawar.
Mage-mageni pinang (Areca catechu) dalam bahasa Indonesia merupakan
bagian tonggkol pada pinang.
Parbue merupakan beras yang terdapat pada sijagaron dan gantang.
3.5.2.2 Gantang
Gantang merupakan sebuah bakul kecil terbuat dari anyaman rotan
berisikan beberapa macam rudang-rudang yaitu parbue (beras), pinang, demban
(sirih), bane-bane (kemangi), dan sugi-sugi (bulu landak). Dalam ritual gondang
sapotang gantang diletak pada sokkor pogang dengan alasan bahwa gantang
merupakan perlambangan dari keadilan. Berikut ini cuplikan teks wawancara
yang menjelaskan mengenai gantang:
“Ia artini gantang dang boi lobi dang boi hurang, silean na suksuk….
Maka dang adong baringin neon, ikhon bane bane do, ido asa digoari
ompungta sisingamangaraja parsanggul banebane”.27
Terjemahan
“Arti dari gantang tidak bisa lebih tidak bisa kurang, pemberi takaran yang
tepat…. Maka tidak ada beringin di sini, haruslah bane-bane (kemangi),
itulah mengapa leluhur kita Sisinganmangaraja pemakai sanggul bane
bane”.
Jadi gantang selain melambangkan suatu ukuran yang tepat juga melambangkan
sosok seorang Sisingamangaraja yang adil dan tegas.
27
Wawancara dengan M. Simangunsong tanggal 04 Mei 2018
3.5.2.3 Parabithon
Parabithon dalam Bahasa Indonesia berarti pakaian merupakan hal yang
sangat diperhatikan dalam ulaon hamalimon, gondang sapotang juga termasuk
dalam ulaon hamalimon. Dalam ulaon gondang sapotang terlihat bahwa para
pelaksana ritual yaitu penganut ugamo malim memakai pakaian yang serba hitam
dipadu dengan ulos, kain hitam bernama gotong-gotong, dan sabe-sabe berwarna
hitam dan putih. Adapun alasan dipakainya pakaian serba hitam pada pelaksanaan
gondang sapotang adalah bagi mereka penerima ajaran yang disampaikan
Sisingamangaraja patuat malim haruslah berpakaian serba hitam dikarenakan
menurut penganut ugamo malim seperti itulah pakaian orang batak terlebih
Sisingamangaraja patuat malim memang memakai pakain serba hitam.
Aturan pakaian dalam pelaksanaan ritual gondang sapotang menunjukkan
perbedaan identitas dan peran diantara para pelaksana dalam ritual gondang
sapotang. Berikut ini penjelasan pakaian serta aturan pengenaannya:
Gotong gotong
Dalam pelaksanaan ritual gondang sapotang para pria mengenakan kain
hitam atau disebut gotong gotong sepanjang ± 1 meter yang diikatkan di kepala.
Berdasarkan wawancara dengan informan gotong gotong memiliki makna
terkandung di dalamnya sebagai berikut ini:
“Molo hami ikhon marpahen na birong dohot tali tali na birong…. Maka
ikhon na birong ima tanda ni ulaon hamalimon dihalak batak, alai na
marningot dipatik ni raja nasiak bagi patuat raja malim, ima
parhabinsaran na pararathon hatani uras on”28
Terjemahan
28
Wawancara dengan M. Simangunsong tanggal 04 Mei 2018
“Kalau kami harus berpakain hitam dengan tali tali (ikat kepala) yang
hitam…. Maka harus yang hitam itulah tanda pekerjaan yang bersih pada
orang batak, akan tetapi yang ingat pada titah raja nasiakbagi patuat raja
malim, itulah parhabinsaran yang mengabarkan pesan uras ini”
Berdasarkan informasi dari informan tersebut penggunaan gotong-gotong
merupakan tanda bagi mereka yang menerima pesan atau ajaran yang dibawa dan
dikabarkan oleh raja parhabinsaran, juga merupakan ciri khas dari penampilan
raja parhabinsaran yang ditiru dan wajib dikenakan dalam setiap pelaksanaan
suatu ritual. Bagi pengikut ajaran ugamo malim najumanghon uras gotong-gotong
wajib dikenakan para lelaki. Hal ini menunjukkan bahwa gotong-gotong sebagai
pembeda gender.
Baju Hitam
Baju yang dikenakan pada pelaksanaan ritual gondang sapotang pada
dasarnya terlihat bebas dalam modelnya. Warna hitam merupakan warna dari baju
yang wajib dikenakan pada pelaksanaan ritual gondang sapotang.
Sabesabe
Sabesabe merupakan kain memiliki panjang sekitar dua meter yang
dikenakan pada badan. Sabesabe dikenakan dengan melilitkannya pada badan.
Dalam ritual gondang sapotang sabesabe sebagai tanda bahwa kegiatan yang
dilaksanakan merupakan kegiatan hamalimon, yaitu suatu ritual yang dilakukan
untuk menjalin komunikasi dengan Debata mulajadi na bolon dan tondi na
marsahala yang berada pada alam dimensi spriritual. Terdapat dua jenis sabe-
sabe dalam pelaksanaan ritual gondang sapotang, yaitu sabe-sabe berwarna putih
dan sabe-sabe berwarna hitam. Sabe-sabe berwarna hitam wajib dikenakan oleh
partamiang dan istrinya saat martonggo dan prosesi paniaran ina berlangsung.
Sementara itu sabesabe putih dikenakan pabaringin, partahi, panitangi, dan
perwakilan dari ruas.
Ulos
Ulos merupakan kain tenun tradisi yang berasal dari suku bangsa Batak
Toba yang memiliki makna dan fungsi yang beragam, diantaranya sebagai
pakaian dan selimut. Terdapat beragam jenis dari ulos, perbedaan tiap ragam ulos
ini menunjukkan fungsi dan kegunaan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba.
Perbedaan ini terletak pada motif, warna, dan bahan dasar. Berikut ini ulos yang
digunakan dalam ritual gondang sapotang parmalim najumanghon uras:
Ragi hotang atau Sirara merupakan ulos yang dikenakan oleh pihak ama.
Pinunsa digunakan oleh ama yaitu dikenakan dari pinggang kebawah
menutupi kaki.
Ragi pakko digunakan oleh ina yang disandangkan pada bahu sebelah
kanan.
Ulos dalam pelaksanaan ritual gondang sapotang juga menunjukkan
identitas gender sipemakainya. Berdasarkan pengamatan penulis terdapat
perbedaan penggunaan ulos dalam upacara pribadi dan upacara hadosan. Dalam
pelaksanaan yang dilakukan oleh seseorang secara pribadi ulos yang dikenakan
berbeda dari yang dikenakan peserta upacara lainnya. Hal itu disebabkan karena
dalam ritual tersebut dialah yang menjadi suhut, sedangkan dalam ulaon hadosan
pihak suhut merupakan semua peserta ritual. Dengan demikian ulos yang di
kenakan pada umumnya sama perbedaan hanya terdapat pada ulos yang
dikenakan oleh laki-laki dan perempuan.
Mandar
Mandar atau sarung dalam ritual gondang sapotang pada umunya
dikenakan oleh seluruh pelaksana ritua yang digunakan untuk menutupi bagian
pingang ke bawah. Jenis dari sarung yang dikenakan pada laki-laki dan
perempuan pada dasarnya tidak terdapat perbedaan.
3.5.2.4. Piso Ompung Marsada dan Ulos Simarinjam Sisi
Piso ompumg Marsada merupakan benda pusaka peninggal dari Raja
Parhabinsaran, piso yang melambangkan kesatuan dari Raja parhabinsaran dan
Sisingamangaraja29
, sedangkan ulos simarinjam sisi merupakan pakain
peninggalan dari Sisingamangaraja30
.
3.5.2.5 Hain Tolu Rupa
Hain tolu rupa merupakan kain yang berjumlah tiga dan memiliki warna
yang berbeda diantara ketiganya, terdiri atas warna putih, merah, dan hitam.
Ketiga warna tersebut merupakan warna yang sangat khas bagi suku batak. Hal ini
terlihat dari hampir semua perabotan dan ornamen-ornamen seni Batak Toba
tradisional memiliki warna yang terdiri atas ketiga warna tersebut.
3.6. Pendukung Ritual Gondang Sapotang
Dalam suatu upacara adat ataupun upacara ritual terdapat elemen-elemen
yang membentuk suatu kesatuan dengan tujuan berlangsungnya suatu upacara
atau ritual sesuai seperti yang diharapkan. Setiap elemen yang membentuk
kesatuan tersebut memiliki peran dan tujuan masing-masing dalam mendukung
jalannya ritual tersebut. Berikut ini penjabaran elemen-elemen yang mendukung
29
Dalam penelitian ini hal tersebut tidak akan dibahas lebih jauh, disebabkan terbatasnya
waktu dan hal tersebut akan memperlebar pokok pembahasan yang penulis coba uraikan
dalam penelitian ini. 30
Wawancara dengan M.simangunsong tanggal 04 Mei 2018
jalannya ritual gondang sapotang ugamo malim najumanghon uras atau disebut
sebagai parhobas31
.
3.6.1 Partamiang
Partamiang bertugas sebagai penyampai tonggo-tonggo kepada Mulajadi
na bolon dan tondi na marsahala, peminta gondang persembahan ketika hendak
mempersembahkan pelean kepada Debata mulajadi na bolon dan tondi na
marsahala. Partamiang berperan mempersiapkan pelean ketika akan
dipersembahakan kepada Mula jadi na bolon dan tondi na marsahala yaitu suatu
prosesi yang disebut mangarudangi.
3.6.2 Panitangi
Panitangi dalam ritual gondang sapotang bertugas memenuhi dan
memperhatikan apa yang dipinta tondi na marsahala saat hadir di tengah-tengah
pelaksanaan ritual.
3.6.3 Parbaringin
Dalam ugamo malim najumanghon uras orang yang dianggap sebagai
parbaringin ialah seseorang yang telah dituakan atau dihormati. Parbaringin
berperan sebagai partonggo di dalam pelaksanaan ritual buhu ni taon, yaitu untuk
meminta keberhasilan dari hasil bumi dan panen yang melimpah32
. Pelaksanaan
ritual gondang sapotang dalam tulisan ini parbaringin juga ikut dalam
mempersiapkan persembahan yang dipersembahkan kepada Mulajadi na Bolon
dan tondi na marsahala.
31
Wawancara dengan M.simangunsong tanggal 04 Mei 2018 32
Wawancara dengan M. Simangunsong tanggal 04 Mei 2018
3.6.4 Partahi
Partahi bertugas memperhatikan hal apa saja yang dibutuhkan dalam
setiap prosesi jalannya ritual. Partahi juga ikut dalam mempersiapkan pelean
ketika dipersembahkan. Mulai persiapan dari dapur, penyusunan tiap pelean
sampai kepada menaikan pelean ke sokkor pogang dan mombang sipitupitu.
3.6.5 Ama dan Ina
Ama dan Ina merupakan peserta ritual datang untuk beribadah yaitu
mengikuti pesan dan ajaran yang disampaikan raja Parhabinsaran patuat raja
malim untuk menjunjung uras sohaliapan uras sohali purpuran. Mereka hadir
untuk menyembah Debata Mulajadi na Bolon dan tondi na marsahala.
3.6.6 Raja Panggomgomi
Raja Panggonggomi merupakan gelar yang diberikan kepada pemerintah
setempat dikarenakan penghormatan atas jabatannya dalam masyarakat.
Kehadiran raja panggomgomi dianggap penting karena tercantum di dalam patik
atau titah Ugamo Malim pada ayat yang kedua. Pada saat ritual berlangsung raja
pangomgomi duduk di bagian jabu suhat.
3.6.7 Pargonsi
Dalam kebudayaan Batak Toba pargonsi disebut sebagai amang tukkang
atau amang pande nami. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pandangan
masyarakat Batak Toba pada umumnya pargonsi merupakan suatu kepandaian
yang hanya dimiliki oleh beberapa orang saja. Dengan demikian kehadiran
pargonsi sangatlah diperlukan. Namun, pargonsi yang hadir dan memaikan
gondang sabangunan dalam ritual gondang sapotang haruslah parmalim dan
mengerti adat, patik, uhum, dan aturan yang terdapat dalam Ugamo Malim
Najumanghon Uras, terutama partaganing dan parsarune. Hal ini dikarenakan
ritual gondang sapotang merupakan ritual kepercayaan yang masih mengandung
unsur-unsur budaya asli musikal suku bangsa Batak Toba dan terdapat repertoar-
repertoar yang tentunya tidak dimainkan lagi dalam konteks adat masyarakat
batak yang bukan parmalim.
3.6.8 Parhobas
Parhobas memiliki peranan penting dalam ritual gondang sapotang sebab
parhobaslah yang bekerja di dapur untuk mengolah logistik yang diperlukan saat
berjalannya ritual. Dalam ritual gondang sapotang yang berperan sebagai
parhobas di dapur merupakan hal yang fleskibel yaitu para naposo bulung, ama,
dan ina.
3.7 Pelaksanaan Ritual Gondang Sapotang
Gondang sapotang merupakan ritual yang dilaksanakan berdasarkan
aturan-aturan tertentu terdiri atas berbagai tahapan ritual yang dilaksanakan untuk
mencapai harapan dari tujuan pelaksanaan ritual. Berikut ini penjabaran ritual
gondang sapotang yang menjadi bahan pembahasan pada tulisan ini yang
berlangsung pada tanggal 18-19 Maret 2018 di dusun Adian Baja desa Meranti
Timur Kecamatan Pintupohan Meranti Kabupaten Toba Samosir.
3.7.1 Persiapan Ritual Gondang sapotang
Sebelum ritual gondang sapotang dilaksanakan pada malam hari, terlebih
dahulu parhobas yang terdiri atas ama dan ina serta para naposo bulung
berkumpul pada siang hari di rumah parsaktian untuk melakukan pekerjaan
marhobas, yaitu pekerjaan yang dilakukan bersama untuk mempersiapkan bahan
dan perlengkapan yang digunakan dalam pelaksanaan ritual gondang sapotang.
Adapun pembagian tugas meliputi pengumpulan rudang-rudang,
mempersiapkan pelean diantaranya mengolah beras menjadi tepung yang akan
dijadikan sitompion, menyembelih ayam dan ikan batak, menyiapkan pandaupan
dan pangurasan, menanak nasi dan lauk pauk yang akan disantap bersama
sebelum ritual dimulai, serta ada yang bertugas dalam mempersiapkan tempat
ritual mulai dari membersihkan sampai mendekorasi tempat. Sementara itu, pihak
pargonsi mempersiapkan ensambel gondang sabangunan mulai dari pelarasan
taganing sampai pada pelarasan sarune.
3.7.2 Jalannya Ritual Gondang Sapotang
Ritual gondang sapotang terbagi atas beberapa tahapan, masing-masing
tahapan dilatarbelakangi dengan tujuan tertentu. Berikut ini penjabaran dari
tahapan ritual gondang sapotang.
3.7.2.1 Parungguhon
Secara etimologi kata parrungguhon terbentuk dari imbuhan par- berarti
melakukan dan kata runggu bermakna berkumpul. Jadi secara harfiah
parrungguhon merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengumpulkan
orang pada tempat tertentu agar melaksanakan suatu kegiatan. Hal ini sesuai
dengan yang dikatakan oleh informan ketika wawancara berlangsung, yakni
bahwa parrungguhon merupakan pemberitahuan kepada lingkungan sekitar
bahwa akan diadakanya suatu kegiatan ritual pada saat itu, sebagai pertanda
kepada para parhobas yang ada di dalam rumah tempat pelaksanaan ritual bahwa
telah tiba saatnya untuk makan33
.
Parrungguhon ditandai dengan empat ogung dan satu taganing yang
dimainkan di luar rumah. Dimainkannya hanya beberapa instrument musikal yang
masuk dalam ensambel gondang sabangunan tersebut diutarakan oleh informan
sebagai berikut ini:
“Ima boaboa turaja dohot tu mala ni huta, boraspati ni jabu, ala naung
dibuat sanggul sanggul bautanni tano, rudang rudang ni surungan na
bolon na gabe pelean somba tu debata”.34
Terjemahan
“Itu pemberitahuan kepada raja dan penghuni kampung, boraspati rumah,
sebab telah diambil sanggul sanggul bautanni tano, rudang ni surungan
na bolon yang dijadikan persembahan kapada debata”.
Berdasarkan wawancara dengan Ompung Lungguk Siahaan, makna
dimainkan beberapa instrument dari ensambel gondang sabangunan merupakan
sebagai pemberitahuan kepada lingkungan sekitar mereka bahwa telah disediakan
persembahan yang disampaikan melalui ritual gondang sapotang.
Berdasarkan pengamatan lapangan dan wawancara dengan informan
dalam prosesi parrungguhon terdapat beberapa repertoar yang dimainkan di luar
rumah berfungsi sebagai pemberitahuan yang ditujukan kepada Debata Mula jadi
na bolon, kepada raja yaitu pihak hulahula, boru, dan dongan tubu atau teman
semarga. Gondang juga ditujukan kepada pemerintahan setempat sebagai
pemberitahuan.
Hal ini sesuai dengan pernyataan M. Simangunsong saat parrungguhon
walaupun yang dimainkan hanya empat ogung dan satu taganing tetap ada
33
Wawancara dengan M. Simangunsong tanggal 04 Mei 2018 34
Wawancara dengan Op. Lungguk Siahaan tanggal 03 Mei 2018
gondang atau repetoar yang dimainkan, jenis dari repertoar tersebut dipertegas
oleh pukulan taganing. Berikut ini cuplikan wawancara dengan M. Simangunsong
selaku parsarune dalam ritual gondang sapotang.
“Gondang nai tolu doi, na parjolo boaboa tu omputa mulajadi na bolo,
boaboa tu raja hula boru dongan tubu, [gondang] hasahatanni boaboai
ma i. jala adong sada nai dibahen elekelek atik adong na sosahat boaboai.
Asa sahat boaboai di adat ni dongan sahuta elekelek ma on tu habonaran
banua ginjang alana ulaon ugamo, tu raja banua tonga. Simonangmonang
asa digordanghon iben ma disi”.
Terjemahan
“Gondang-nya ada tiga, yang pertama boaboa kepada Ompu mulajadi na
bolon, boaboa kepada raja hula, boru, dongan tubu, [gondang]
hasahatan. Boaboa itulah selanjutnya. Namun ada satu lagi dimainkan
yaitu elekelek35
siapa tahu boaboa itu tidak sampai. Agar sampai boaboa36
itu dalam adat teman sekampung di elekelek-lah kepada habonaron banua
ginjang (kebenaran yang datang dari atas) sebab ini merupakan kegiatan
agama, lalu kepada raja banua tonga (pemerintahan setempat)”.
Terdapat tiga komposisi gondang utama dalam parrungguhon yaitu
boaboa tu Mulajadi na bolon, boaboa tu raja hulahula, boru, daongan tubu, dan
gondang hasahatan. Namun, selain ketiga gondang utama tersebut juga terdapat
gondang tambahan yaitu, gondang elekelek dan gondang Si monangmonang.
Gondang elek-elek diselipkan pada saat gondang boaboa tu raja dimainkan. Hal
tersebut bertujuan sebagai tanda permohonan maaf kepada seluruh wujud yang
dihormati ketika gondang boaboa dimainkan sampai selesai wujud yang
dihormati tidak sempat mendengarkan gondang boaboa tersebut. Gondang
Simonangmonang dimainkan secara bersambung ketika gondang hasahatan
selesai dimainkan. Hal ini menandakan bahwa telah selesai penyampaian
pemberitahuan atas dasar itu suatu kemenangan telah diraih.
35
Elekelek merupakan jenis dari tempo komposisi gondang yang dimainkan bertujuan
untuk membujuk seseorang atau sahala tondi. 36
Pemberitahuan
3.7.2.2 Marmual Si Titotio dohot Marindahan na Las
Pada tahapan ini seluruh peserta telah berkumpul di tempat pelaksanaan
ritual dengan menempati posisinya masing-masing. Adapun posisi tersebut terdiri
atas Jabo bona, ruma suhat, jolo-jolo, dan ruma soding. Dari posisi tersebut dapat
dilihat siapa dan bagaimana peranannya di dalam Ugamo Malim Najumanghon
uras. Jabu bona merupakan tempat bagi pemilik rumah, ruma suhat ditempati
oleh pihak ama, jolo-jolo ditempati para pargonsi, dan ruma soding khusus bagi
pihak ina.
Setelah peserta berkumpul dan menepati posisnya, kemudian parhobas
yang terdiri atas ina, ama, dan naposo membagikan perlengkapan makan.
Selanjutnya makanan dibagikan kepada para peserta ritual. Pelaksanaan ini juga
sebagai wujud dari kebersamaan umat Ugamo Malim Najumanghon Uras.
3.7.2.3 Mangarudangi
Proses mangarudangi dilakukan di ruang tengah ruma parsaktian setelah
marmual sitiotio dan marindahan na las. Pada tahapan ini rudang-rudang dan
pelean dipersiapkan untuk diletak pada sokkor pogang dan mombang sipitupitu.
Hal tersebut bertujuan mempersembahakan pelean kepada Debata Mulajadi na
Bolon dan tondi na marsahala yang dipercayai. Persiapan pelean wajib dilakukan
oleh partamiang, panitangi, parbaringin, dan partahi. Hal ini memperlihatkan
adanya suatu struktur pembagian tugas pada masing-masing peserta ritual.
Proses mangarudangi dimulai ketika gondang sabangunan dibunyikan
oleh para pargonsi. Pada tahapan ini gondang sabangunan dimainkan tanpa
terlebih dahulu disampaikan kata permintaan dari peserta ritual. Berdasarkan
wawancara dengan informan itu lumrah dilakukan dengan tujuan mengisi
kelegangan suasana. Alasan tersebut dijabarkan oleh narasumber sebagai berikut:
“Alana nga dipasahat attong tu hami, hami na ma mambahen ruhut ni
gondang ni, i ruhut ni gondang si pitu gonsi namai dang pala digoari
alana mangarudangi dope”37
Terjemahan
“Sebab telah disampaikan kepada kami, kamilah yang menentukan urutan
gondangnya, itu merupakan urutan gondang sipitu dan tidak perlu
dimintakan karena masih mangarudangi”
Berdasarkan pernyataan dari narasumber tersebut, repertoar yang
dimainkan termasuk dalam kategori repertoar gondang sipitu gonsi38
. Alasan tidak
disampaikannya kata permintaan gondang dikarenakan penggunaan gondang
hanya sebagai pengisi kelegangan suasana dan belum termasuk prosesi
peribadahan. Dimainkannya gondang menurut M. Simangunsong sebagai
pemandu bagi para parhobas yang sedang mangarudangi agar tidak melakukan
kesalahan dalam menata setiap rudang-rudang.
3.7.2.4 Panakokhon Pelean
Pelean yang telah dirudangi diletakkan pada sokkor pogang dan
mombang sipitupitu untuk dipersembahkan kepada Mulajadi na bolon serta tondi
na marsahala. Sebelum pelean tersebut dinaikkan pada sokkor pogang dan
mombang sipitupitu terlebih dahulu pelean diurasi dengan memercikkan air dari
pangurasan ke seluruh pelean dan mengelilingkan pandaupaan pada pelean
sebanyak tiga kali. Tujuan dari kedua hal tersebut adalah membersihkan pelean
37
Wawancara Dengan M. Simangunsong tanggal 04 Mei 2018 38
Sipitu gonsi (Sipitu gondang) merupakan repertoir dalam gondang sabangunan terdiri
dari tujuh bahkan lebih komposisi gondang yang disajikan sebagai pembuka sebuah upacara.
Secara harfiah, pengertian sipitu gondang adalah tujuh gondang.
yang sebelumnya telah bersentuhan dengan tangan manusia. Selanjutnya
partamiang martonggo, berikut ini tonggo yang disampaian oleh partamiang:
“On ma uras sohaliapan uras sohali purpuran oppung martua Debata
Mulajadi na Bolon, na marningot do hami di lungun ni oppung nami raja
na martua raja na marsangap raja i parhabinsaran, ala naung torbang
harajaon ni ompui Sisingamangaraja na jumolo tubui tu banua ginjang,
mangandung ma inanta si boru Solam banua, basa do roha ni ompunta
martua debata mulajadi na boloni, di tongos do uras sohaliapan uras
sohali purpuran, ima sumurung tu raja na martua tu raja na marsangap tu
rajai parhabinsaran dohot oppung sisingamangaraja, dohot martua raja
rum, martua raja….. na mangulahon ma hami di adat ni inanta na mailu
bulungi, ima asa hot adat dohot uhum di atas ni tano on unang lupa …..
horas ma hita jolma on, bahen ma amang panggual pargonsi gondang
sitantan mijumijur sigesige lao manaek, asa panaek hita pelean somba tu
oppung ta na martua debata, ima na marningot tu lugun ni rajai
parhabinsaran, ima na manghatahon uras sohaliapan uras
sohalipurpuran, unang ma haliapan unang halipurpuran, borhat ma
attong raja panumpahi raja panolongi, jumolongi di lakkani na tuatuai
horas hita jolma na mangolu tondi”.
Terjemahan
“Inilah uras sohaliapan uras sohalipurpuran ompu Debata Mulajadi na
bolon, masih kami ingat kesedihan ompu (leluhur) kami raja na martua
raja na marsangap rajai parhabinsaran, sebab telah terbang kerajaan
ompu Sisingamangaraja yang pertama ke dunia atas, mangandung39
lah
inanta si boru tolam banua, adillah kiranya ompunta martua Debata
Mulajadi na boloni, diberikannya uras sohaliapan uras sohali purpuran,
itulah yang turun kepada raja bertuah dan raja yang terhormat yaitu raja
parhabinsaran dan ompung Sisingamangaraja , dengan yang bertuah raja
rum, martua raja Sinambur. Kami lakukan adat ni inanta na mailiu
bulungi, agar tetap teguh adat dan hukum di atas tanah ini agar tidak
lupa…. Horaslah kita manusia. Mainkanlah amang panggual pargonsi
gondang sitantan mijumijur sigesige lao manaek, agar kita naikkan
persembahan kepada ompung kita martua Debata, sebab masih kita ingat
kesedihan Raja Parhabinsaran yang menyampaikan pesan uras
sohaliapan uras sohalipurpuran, agar janganlah haliapan jangan
halipurpuran, bergeraklah raja panumpahi raja panolongi, menolong
langkah dari orang yang bertuah itu, horas kita manusia yang hidup dan
berjiwa”.
Dari pengucapan tonggo tersebut terlihat kronologi serta alasan
pelaksanaan ritual. Uras sohaliapan uras sohalipurpuran merupakan suatu
39
Mangandung merupakan suatu jenis lament nyanyian ratapan yang terdapat dalam
budaya musical masyarakat batak toba
artefak abstrak yang menjadi pengingat hubungan manusia dengan Mulajadi na
bolon. Hubungan tersebut didasari perginya suatu kuasa yang hidup diantara
manusia. Perginya kuasa tersebut mengakibatkan terjadinya pergeseran tatanan
nilai yang menjadi patokan hidup manusia. Hilangnya patokan hidup dan
bergesernya nilai dalam kehidupan, akhirnya menggerakkan manusia untuk
memohon dan meminta kepada Debata mulajadi na bolon untuk diberikan suatu
patokan dalam hidup. Melalui permintaan dari inanta na mailuibulung, Debata
Mulajadi na Bolon memberikan permintaan tersebut melalui Raja Parhabinsaran
berupa ajaran untuk hidup berlandaskan tata cara hidup yang suci dan bersih.
Tatacara hidup itu yang memprakkarsai penganut Ugamo Malim Najumanghon
Uras untuk melalukan ritual margondang.
Bersamaan dengan akhir dari pengucapan tonggo partamiang
memintakan kepada pargonsi untuk memainkan gondang sitantan mijumijur
sigesige lao manaek untuk mengiringi proses peletakan pelean pada sokkor
pogang dan mombang sipitupitu. Menaikan pelean merupakan hal yang
diperhatikan, tidak dapat sembarangan dalam melakukannya. Sebelum pelean
dinaikkan pertama sekali partahi mengurasi sokkor pogang dan mombang
sipitupitu dengan tujuan tempat tersebut bersih sebelum pelean diletakkan.
Setelah sokkor pogang dan mombang sipitupitu diurasi, dinaikkanlah pelean
secara berurutan sebagai berikut:
Tihar sitolutolu atau tihar login merupakan tikar yang terbuat dari anyaman
daun pandan kering yang berjumlah tiga buah dan saling melapisi. Tihar login
bermakna alas tumpuan dari Debata na tolu, na tolu suhu sada hadirion40
40
Wawancara dengan M. Simangunsong tanggal 04 Mei 2018
yang termanifestasikan dalam pangurasan dan pandaupaan. Saat masih di
bawah sebelum dinaikan pada sokkor pogang, tihar login dalam keadaan
tergulung, dalam gulungan terdapat ulos simarinjam sisi dan piso ompu
marsada. Saat berada di sokkor pogang, tihar login dibentangkan di atasnya
terdapat bentangan dari ulos simarinjam sisi, sabe-sabe hitam, dan piso ompu
marsada.
Pangurasan diletak pada sokkor pogang harus bersentuhan dengan rambu
atau rumbai dari ulos simarinjam sisi.
Gantang paniangi dinaikkan setelah pangurasan dan diletak pada sokkor
pogang dengan ketentuan harus bersentuhan dengan rumbai ulos simarinjam
sisi.
Sijagaron dinaikkan setelah gantang paniangi. Selanjutnya, diletak pada
sokkor pogang dengan ketentuan harus bersentuhan dengan rumbai ulos
simarinjam sisi.
Itak puti dinaikkan setelah sijagaron dan diletak pada sokkor pogang dengan
ketentuan harus bersentuhan dengan rumbai ulos simarinjam sisi.
Sitoppion dinaikkan setelah sijagaron dan diletak pada sokkor pogang.
Dekke sitiotio merupakan ihan atau ikan batak yang dinaikkan setelah
sitompion diletak pada sokkor pogang.
Sitompion dinaikkan setelah dekke sitiotio dan diletak pada sokkor pogang.
Sitompion dinaikkan setelah sitompian yang diletak pada sokkor pogang dan
diletak pada mombang sipitupitu.
Manuk puti dinaikkan setelah sitompion dan mombang sipitupitu.
Sitompion dinaikkan setelah manuk puti dan diletak pada mombang sipitupitu.
Peletakan tiap pelean pada sokkor pogang dan mombang sipitupitu
menunjukan kepada siapa pelean tersebut disampaikan. Jika pelean diletak pada
sokkor pogang hal tersebut menunjukkan bahwa pelean dipersembahkan kepada
sahala ama, sedangkan bila pelean diletak pada mombang sipitupitu hal tersebut
menunjukkan bahwa pelean disampaikan atau dipersembahkan pada sahala ina.
Setelah semua pelean dinaikkan pada sokkorpogang dan mombang sipitupitu,
kemudian prosesi dilanjutkan pada pada kegiatan yang disebut paniaran ina.
3.7.2.5 Paniaran Ina/ Tortor Ina
Ina merupakan sebutan dalam bahasa Batak Toba yang bermakna ibu.
Paniaran ina merupakan salah satu tahapan dalam ritual gondang sapotang yang
dilakukan khusus oleh ina atau ibu. Paniaran ina dilakukan di tengah ruangan
ruma parsaktian dan di bawah dari mombang sipitupitu yang bertujuan
menyembah Debata Mulajadi na Bolon serta para sahala tondi yang dilakukan
oleh para ibu dengan manortor.
Terdapat 5 (lima) orang ina yang terlibat dalam tahapan ini, jumlah ini
pada dasarnya bukan merupakan suatu patokan. Dikarenakan ulaon tersebut
merupakan ulaon hadosan yang merupakan kegiatan dilakukan atas dasar niat dan
kepentingan bersama, maka berapapun pihak ina yang marpaniaran tidak
ditetapkan. Namun, hal ini berbeda bila pada ulaon gondang sapotang yang
dilaksanakan oleh perorangan pihak ina yang manortor ditetapkan empat orang41
.
Beriringan dengan persiapan para ina pihak parhobas juga membagikan
demban (daun sirih) kepada para raja dan peserta lainnya untuk menunggu
41
Wawancara denganM. Simangunsong tanggal 04 Mei 2018
persiapan tersebut, sedangkan para pargonsi memainkan gondang sabangunan
disela-sela persiapan dengan tujuan agar suasana tidak lengang.
Setelah para ina bersedia partamiang meminta gondang kepada pargonsi.
Adapun hata yang disebutkan partamiang ketika meminta gondang adalah
sebagai berikut:
“Amang pande nami bahen hamu ma gondang somba tu oppungta Debata
Mulajadi na bolon, asa rap marsomba hita dohot inanta na mora, ima na
marningot hita di lungun ni oppung ta raja na marsangap raja na martua,
ima na humehei uras sohaliapan uras sohalipurpuran, asa unang haliapan
unang halipurpuran hita on saluhutna na jumanghon pangurasan i, di
lehon ma attong gabe ni na ni ula horas ni hajolmaon, tubu pancariani,
dao akka nasolomoni roha di hita, takkas ma pukkul amang pande nami.
Terjemahan
“Wahai pande kami mainkanlah gondang somba kepada ompung kita
Mulajadi na bolon, agar bersama kita menyembah dengan inanta na mora,
sebab masih kita ingat kepedihan leluhur kita raja yang terhormat raja
yang bertuah yang menjunjung uras sohaliapan uras sohalipurpuran, agar
jangan haliapan jangan halipurpuran kita seluruhnya yang menjunjung
pangurasan itu diberilah keberhasilan untuk yang kita tanam horas
hajolmaon, tumbuh pencaharian, jauh segala yang tidak disenangi hati
kita, jelas mainkan wahai pande kami”.
Dalam pengucapan kata tersebut partamiang meminta kepada pargonsi untuk
memainkan gondang somba tu Mulajadi na bolon. Irama dari gondang diikuti ina
dengan gerakan tortor somba yang dipersembahkan kepada Debata mula jadi na
bolon. Tortor somba kepada Debata mulajadi na bolon dilakukan sebanyak dua
kali pengulangan gondang. Kemudian dilanjukan dengan tortor mangaliat diiringi
dengan gondang mangaliat. Adapun tortor mangaliat merupakan gerakan tortor
yang dilakukan dengan gerakan manerser mengelilingi mombang sipitupitu
bertujuan mempersembahakan tortor tersebut kepada Raja Parhabinsaran dan ina
na mailiubulung. Gerakan mengelilingi mombang sipitupitu dilakukan sebanyak
lima kali. Setelah mombang sipitupitu dikelilingi para ina kembali ketempat
semula kemudian gondang Hasahatan dimainkan diikuti para ina dengan gerakan
tortor somba sebanyak satu kali. Tortor somba merupakan akhir dari paniaran
ina.
3.7.2.6 Paniaran Ama/ Tonggo Ama/ Tortor ama
Paniaran ama bertujuan menyampaikan tonggo-tonggo atau doa serta
sarana bagi para ama untuk monortor. Dalam tahapan ini pelaksananya
merupakan para lelaki yang telah menjadi ayah dan meraka yang dituakan dalam
ugamo Malim najumanghon uras. Adapun diantaranya yang wajib ada dalam
prosesi ini adalah partamiang, panitangi, parbaringin, partahi. Sama seperti
paniaran ina, paniaran ama juga dilakukan ditengah ruma parsaktian dan
dibawah dari sokkor pogang dan mombang sipitupitu.
Paniaran ama dilakukan terlebih dahulu dengan berdirinya lima orang
ama di bawah sokkor pogang dan mombang sipitupitu. Adapun posisi para ama
tersebut saling berhadapan, posisi dari partamiang dan panitangi menghadap jabu
suhat, sedangkan parbaringin, partahi menghadap jabu bona. Paniaran ama
ditandai dengan partamiang memakai sabesabe berwarna hitam, memegang
piring yang berisikan sitompion serta rudang-rudang pada kedua tangannya.
Panitangi memegang pangurasan dengan kedua tangannya, ketiga ama lainnya
hanya menyatukan kedua tangannya yang ditutupi sabe-sabe putih. Paniaran ama
dimulai ketika partamiang mulai martonggo. Berikut ini tonggo yang diucapkan
oleh partamiang:
“Nungnga jonjong hami dison, ima tumea sitompion na bolon, sanggul
marata demban malauate, dohot ima parbue sitio tio, dohot uras
sohaliapan uras sohali purpuran. Ima naung marsadani roha hita
najumanghon pangurasan jumujung malim ni martua raja na marsangapi,
ima pinatikhonni ompung ta sisingamangaraja ulahononthon ma adat ni
inanta na mailiubulungi, ima marsomba tu ompung ta martua debata
mulajadi na bolon. Ima namanghehei uras sohaliapan uras
sohalipurpuran, na marningot lungunni rajai parhabinsaran na sumurung
raja mangalambung anggiat hehe raja panumpahi dohot raja panolongi,
humungkap dohot manolongi lakkani na tuatuai. Asa lam tanda hata ni
uras sohaliapan uras sohalipurpuran hot ni adat hot ni uhumi. Asa horas
hita saluhutna jolma na mangolu. Hami pe nuaeng na manghatahon,
marsada ni roha mahita jala marsadia ma hita di bagasan sada ni roha.
Anggiat di alusi raja na martua mulajadi na bolon, dohot tondi na
marsangap sahala na martua oppungta sisingamangaraja, rajai
parhabinsaran dohot inanta mailiubulungi, hehe ma raja panumpahi
borhat ma raja panolongi, asa di tolongi lakkani raja namartua raja
namarsangapi, sahat ma attong na ta pangido na pinangidona horas hita
manjakhoni, mauliate ma. Ido ale amang panggual pargonsi”.
Terjemahan
“Telah berdiri kami di sini memegang sitompion na bolon, sanggul marata
demban malauate, dengan parbue sitio tio, uras sohaliapan uras sohali
purpuran. Telah sekata najumanghon pangurasan yang menjunjung
kesucian raja bertuah raja dan terhormat, yang dititahkan ompung kita
Sisingamangaraja untuk melakukan adat dari inanta na mailiubulungi,
yaitu bersembah kepada ompung kita yang bertuah Debata mula jadi na
bolon. Yaitu menjunjung uras sohaliapan uras sohalipurpuran, mengingat
kepedihan raja parhabinsaran yang sakti Raja Mangalambung. Semoga
bangkit raja pemberi berkat juga raja penolong, muncul serta menolong
langkah orang yang bertuah itu, agar semakin jelas tanda pesan uras
sohaliapan uras sohalipurpuran teguh pada adat teguh pada hukum, agar
horas kita segenapnya manusia yang hidup. Kamilah yang mewakilkan,
sekatalah kita serta bersedialah kita dalam sehati, semoga dijawab Debata
na martua Mulajadi na bolon juga tondi yang terhormat sahala yang
bertuah sisingamangaraja, raja parhabinsaran serta inanta na
mailiubulung. Bangkitlah raja pemberi berkat bergeraklah raja penolong,
agar ditolong langkah raja yang bertuah raja yang terhormat itu, sampailah
yang kita pintakan juga yang terpintakan horas kita berdasarkan itu,
terimakasih. Begitulah amang panggual pargonsi”.
Dalam kata yang diucapkan oleh partamiang memuat informasi bahwa
pada pelaksanaan ritual para ama yang berdiri merupakan perwakilan dalam
menyampaikan doa kepada Debata Mulajadi nabolon. Akhir dari hata yang
disampaikan partamiang dibalas pargonsi dengan membunyikan taganing,
kemudian partamiang melanjutkan hata yaitu hata alu-alu. Hata alu-alu
merupakan hal yang terlebih dahulu disampaikan sebelum tonggo-tonggo
diucapkan partamiang. Alu-alu dalam ritual gondang sapotang bermakna
pemberitahuan kepada para tondi na marsahala bahwa mereka najumanghon uras
akan mempersembahkan persembahan. Pargonsi selalu membunyikan taganing
pada akhir kata alu-alu yang diucapkan partamiang. Berikut ini urutan dari alu-
alu yang disampaikan partamiang:
Alu-alu tu Debata Mulajadi na Bolon
Alu-alu tu Debata na Tolu
Alu-alu tu si Boru Deak Parujar
Alu-alu tu patuan Singa Debata
Alu-alu tu Bautan ni tano Martua Raja Rum, Martua Raja Sinambur, Tuan
Saribu Raja.
Alu-alu tu Raja Parhabinsaran
Alu-alu tu Tuan Saribu Raja
Alu-alu tu inanta na maliubulung
Alu-alu tu Boru Saniang naga
Alu-alu tu raja Hasahatan, tu raja Hatorusan.
Setelah partamiang selesai mangalualu selanjutnya partamiang
martonggo. Sebagai catatan, ketika pargonsi menyampaikan alu-alu
partaganinglah yang membalas sahutan dari partamiang dengan memukul
taganing. Namun taganing yang dipukul tidaklah sembarang, berbeda alu-alu
yang disampaikan begitu juga taganing yang dipukul berbeda.
Selesai mangalualu dilanjutkan dengan martonggo. Tonggo merupakan
segala ungkapan perasaan dari para penganut Ugamo Malim Najumanghon uras,
diantaranya untuk menyembah Debata Mulajadi na bolon serta para tondi na
marsahala. Hal ini dilakukan karena bagi penganut Ugamo Malim Najumanghon
Uras Debata Mulajadi na bolon lah yang menciptakan segala yang ada di alam
semesta, sedangkan para tondi na marsahala merupakan manifestasi dari
kekuasaan yang dimiliki Mulajadi na bolon, dengan demikian mereka miliki tugas
dan tanggung jawab di dalam alam semesta ini. Salah satu bentuk dari tanggung
jawab yang mereak miliki adalah membantu manusia dalam kehidupannya. Sifat
dari sahala yang memiliki tanggung jawab menggerakkan manusia yaitu para
penganut ugamo malim untuk menyembah dan mengucap terima kasih yang
dinyatakan dalam tonggo-tonggo.
Setiap tonggo diucapkan secara berurutan. Isi dari setiap tonggo tidaklah
berbeda, perbedaan terdapat pada tokoh yang dituju dalam penyampain tonggo
tersebut. Oleh karena itu, penulis hanya melampirkan urutan dari sosok yang
dituju di dalam tonggo, sebagai berikut:
Tonggo tu Ompung Debata Mulajadi na Bolon
Tonggo tu Debata na tolu
Tonggo tu Inanta na mailiubulung Boru deak parujar
Tonggo tu ompung Sisingamangaraja
Tonggo tu ompung bautan ni tano
Tonggo tu raja parhabinsaran
Tonggo tu inang na mailiu bulung
Tonggo tu Raja Panumpahi raja Panolongi
Tonggo tu Boru Saneang Naga dohot Raja Hasahatan Raja
Hatorusan
Pada akhir dari pengucapan tonggo-tonggo, partamiang melanjutkan
dengan permintaan gondang. Adapun gondang yang diminta oleh partamiang
berurutan sesuai dengan urutan tonggo-tonggo yang telah di ucapkan terlebih
dahulu, berikut ini urutan dari gondang yang dimintakan oleh partamiang:
Gondang Somba tu Debata Mulajadi na Bolon
Gondang Somba tu Debata na Tolu
Gondang Somba tu Si Boru Deak Parujar
Gondang Somba tu Sisingamangaraja na jumolo tubu
Gondang Somba tu Bautan ni tano
Gondang Somba tu Raja Parhabinsaran
Gondang Somba tu Inanta na Mailiubulung
Gondang Somba tu Raja Panumpahi raja Panolongi
Gondang Somba tu Boru Saneang Naga dipadomu tu Raja Hasahatan
Setelah gondang somba selesai dimainkan, partamiang mengucapkan hata
olopolop menandakan bahwa tonggo-tonggo telah selesai diucapkan dan pelean
telah dipersembahkan yang diletak pada sokkor pogang dan mombang sipitupitu.
Mendekati akhir dari pengucapan hata tersebut panitangi melemparkan beras
kearah langit-langit rumah hal ini bermakna bahwa tonggo tonggo dan pelean
telah disampaikan kepada Debata Mulajadi na bolon serta para tondi na
sumurung ni debata. Hal ini dibalas seisi rumah dengan mengucap “emma tutu”.
Kemudian sitompion yang berada ditangan partamiang kembali dinaikkan pada
sokkor pogang.
Selesai partamiang mengucapkan hata pangolopan, kemudian panitangi
marhata dan meminta gondang hasurungan uras sohaliapan uras
sohalipurpuran. Gondang hasurungan uras sohaliapan menjadi akhir dari
penyampaian tonggo dan pelean.
Selesai penyampaian tonggo-tonggo dan persembahan pelean ditandai
dengan diucapkannya hata pangolopan dari partamiang. Kemudian prosesi
dilanjutkan ke tortor ama atau gondang adat42
yang dimulai dengan partamiang
kembali meminta gondang kepada pargonsi. Berikut ini urutan gondang adat:
Gondang Sampuara Marorot
Gondang Sigabe Taon
Gondang Raja Panggomgomi
Gondang Si tiotio
Gondang Debata Jujungan
Gondang Pangalu pangalambohi
Gondang Hasahatan
Setelah selesai partamiang marhata dan meminta gondang, pargonsi
kemudian memainkan gondang hasatan. Godang hasahatan menandai
berakhirnya tahapan tortor ama.
3.7.2.7 Tortor Hombar Balok
Hombar balok merupakan sebutan penganut Ugamo Malim Najumanghon
uras yang berada dalam satu ruas berbeda. Dalam prosesi ini diberi kehormatan
dan kesempatan bagi teman seagama yang berbeda ruas untuk meminta gondang.
Hal ini merupakan suatu keharusan dalam ugamo malim najumanghon uras yang
termuat pada patik ugamo malim yang kedua, yaitu:
42
Wawancara dengan M Simangunsong Pada Tanggal 04 Mei 2018
“Pasangapon raja angka raja dohot dibagasan adat haholongan dongan
jolma, pasangapon rajai molo Sintong do paruhumanna. Molo hot adat
uhumna pasahaton tu debata”.
Terjemahan
“Hormati rajalah para raja serta didalam adat salang mengasihi sesama
manusia, hormati raja jikalau benar hukumnya. Jika teguh adat dan
hukumnya sampaikan kepada debata”.
Dapat diperhatikan dalam patik ugamo malim najumanghon uras di atas,
adanya penekanan untuk saling menghormati sesama manusia. Berdasarkan hal
itu, menghargai sesama dengan memberi ruang untuk manortor adalah suatu
kewajiban. Namun, dalam pelaksanaan gondang sapotang dalam tulisan ini,
dongan hombar balok tidak meminta gondang dan manortor. Berdasarkan
wawancara penulis dengan responden hal ini merupakan suatu yang lumrah
terjadi, tidak hadirnya dongan hombar balok yang disebabkan banyak hal. Salah
satunya adalah jarak antar ruas yang saling berjauhan melewati berpuluh
kilometer jalur darat serta medan yang dilalui sulit ditempuh kendaraan umum.
3.7.2.8 Joujou tu Natuatuani Huta dohot Panggomgomi Huta
Dalam tahapan ini diberikan kesempatan dan kehormatan khusus kepada
orang yang telah dituakan di kampung serta kesempatan dan kehormatan kepada
pemerintah setempat yang disebut sebagai panggomgomi huta. Hal ini tercantum
dalam titah Ugamo Malim najumanghon uras yang kedua. Akan tetapi, pada
pelaksanaan ritual gondang sapotang dalam tulisan ini pihak natuatuani huta dan
raja panggomgomi huta tidak meminta gondang dan manortor karena natuatuani
huta dan raja panggomgomi mengatakan “sai gabema”, yang artinya mereka
sudah merasa dihormati dengan dimintakannya gondang penghormatan kepada
mereka pada prosesi sebelumnya.
3.7.2.9 Maradi
Maradi merupakan prosesi dalam pelaksanaan ritual untuk beristirahat
sebelum kegiatan selanjutnya dilaksanakan. Ketika tiba saat beristirahat para
parhobas yang tergabung dalam formasi ina, ama dan naposo bulung datang dari
dapur kemudian membagikan makanan dan minuman kepada peserta ritual.
Bersamaan dengan hal tersebut para pargonsi mengisi kelegangan suasana dengan
memainkan dan mengajari naposo untuk memainkan instrument yang termasuk
ensambel gondang sabangunan.
3.7.2.10 Ulaon Pajonjong Sahala
Ulaon hasahalaan merupakan salah satu rangkaian proses upacara yang
terdapat dalam ritual gondang sapotang, untuk menjalin komunikasi dengan alam
spiritual yang ditempati para sahala dan tondi yang dipercaya dalam ugamo
malim najumanghon uras. Penganut ugamo malim najumanghon uras
mempercayai bahwa sahala terbagi dua yaitu sahala ama dan sahala ina.
Berdasarkan hal tersebut dalam praktiknya ulaon hasahalaan terbagi menjadi dua
pembagian yaitu pajonjong sahala ina dan pajonjong sahala ama.
Ulaon hasahalaan dimulai dari pihak ina yang menjadi mediator untuk
berkomunikasi dengan dimensi spiritual. Berikut ini tahapan dari ulaon
panjonjong sahala.
3.7.2.10.1 Pajonjong Sahala Ina
Ulaon pajonjong sahala ina dilakukan oleh para ibu yang dipercaya
“ditemani” sahala ina. Ibu yang dipercaya ditemani sahala ina disebut dengan
inanta namora. Tubuh mereka menjadi media bagi tondi dari sahala ina untuk
datang dan berkomunikasi dengan para penganut ugamo malim najumnaghon
uras saat ritual gondang sapotang. Komunikasi dengan tondi sahala ina
dilakukan agar penganut kepercayaan ugamo malim menerima pesan dan nasehat
yang berguna bagi kehidupan mereka.
Dalam praktiknya ulaon pajonjong sahala ina dimulai ketika partamiang
marhata dan meminta gondang sabangunan untuk dimainkan. Setelah gondang
dimainkan para ina sebanyak tiga orang baris bersaf di bawah mombang
sipitupitu.
Gondang yang dimainkan ketika ulaon pajonjong sahala tidak memiliki
susunan yang baku. Hal ini disebabkan kedatangan tondi merupakan hal yang
spontan. Dalam kasus tertentu dapat hanya sekali meminta gondang maka tondi
ina marsahala telah datang. Namun dalam tulisan ini, tidak cukup hanya dengan
sekali permintaan gondang.
Sebagai berikut urutan gondang yang dimintakan ketika ulaon pajonjong
sahala ina yang dibahas dalam tulisan ini:
Gondang Somba tu Ina na Mailiubulung
Gondang Somba tu Sisingamangaraja na Jumolo tubu
Gondang Somba tu inanta na Mailiubulung
Gondang Jou-jou Tondi inanta na Mailiu Bulung
Gondang Tomu-tomu tu Inanta na Mailiubulung
Gondang Hasurungan ni Uras sohaliapan uras sohalipurpuran
Kedatangan tondi sahala ina ditandai dari gerakan tidak normal yang
dilakukan oleh salah seorang ina yang menjadi mediator. Jika telah dipastikan
kedatangan tondi sahala ina, segera para pargonsi menghentikan permainan
gondang. Selanjutnya, terjadilah dialog diantara seluruh peserta ritual dengan
tondi sahala ina.
Di tengah dialog yang berlangsung tidak jarang tondi sahala ina meminta
pargonsi memainkan gondang. Namun tidak secara spesifik menyebutkan judul
dari gondang yang dimintakan. Pada saat seperti ini pengetahuan dari seorang
pargonsilah yang dituntut oleh tondi sahala tersebut.
Hal yang menandakan selesainya ulaon pajonjong sahala ina, adalah tidak
ada lagi dari peserta yang mengalami siar atau kesurupan. Jika ulaon pajonjong
sahala ina telah selesai, kemudian dilanjukan pada ulaon pajonjong sahala ama.
3.7.2.10.2 Pajonjong Sahala Ama
Ulaon pajonjong sahala ama tidak jauh berbeda dengan ulaon pajonjong
sahala ina, perbedaan pada pajonjong sahala ama pihak ama yang berperan
sebagai mediator kedatangan tondi sahala ama, perbedaan juga terlihat dari
komposisi yang terdapat di dalam repertoar gondang yang dimainkan.
Dalam prosesi pajonjong sahala ama panitangi berperan sebagai peminta
gondang. Pajonjong sahala ama dimulai ketika panitangi marhata dan meminta
gondang. Berikut ini tahapan dan urutan gondang yang dimintakan panitangi
pada saat ulaon pajonjong sahala:
Gondang Somba tu Debata Mulajadi na bolon
Gondang Somba tu Debata na Tolu
Gondang Somba tu Singa Banua Ginjang Singa banua tonga
Gondang Somba tu Raja Parhabinsaran
Gondang Somba tu Tuan saribu raja tu raja na Opat pulu opat
Gondang Somba tu ina tolam banua, tu inang boru pormaliman, inang siboru
pina hot
Gondang Somba tu Sahala panumpahi Sahala panolongi
Gondang Somba tu Boru Saniang Naga, tu Raja Hashatan Raja Hatorusan
Gondang Hasurungan ni uras sohaliapan uras sohalipurpuran
Gondang Tomu tomu tu pargantang paniangi parhatiam pamulori.
Gondang Sitio tio Hasahatan
Gondang Simonangmonang
Dari keseluruhan gondang yang dimainkan untuk memanggil tondi sahala
ama, hanya terdapat satu gondang yang ditujukan kepada sahala ina yakni
gondang somba tu boru tolam banua, ina si boru pormaliman, ina siboru pinahot.
Gondang tersebut dimainkan untuk menghormati tondi sahala ina. Sebab yang
meminta uras sohaliapan uras sohalipurpuran kepada Debata Mulajadi na bolon
merupakan tondi dari sahala ina.
Dari wawancara dengan informan, pada saat ulaon pajonjong sahala
dimulai, banyak hal di luar dugaan dapat terjadi, misalnya mungkin saja tondi
sahala ina datang saat pajonjong sahala ama kemudian merasuki para ama yang
berada di lokasi pelaksanaan ritual. Dapat juga terjadi tondi sahala yang datang
merasuki orang bukan parmalim yang sedang menyaksikan jalannya ritual.
Pada dasarnya tidak ada patokan tetap yang menjadi acuan saat pajonjong
sahala. Hal tersebut didasari pengamatan penulis saat ritual berlangsung.
Kedatangan dari tondi sahala tidak dapat diprediksi, terjadi secara spontan dan
merasuki siapa saja yang berada di lingkunagn sekitar pelaksanaan ritual, terlepas
dari apakah seseorang tersebut penganut ugamo malim atau tidak.
Dari keseluruhan gondang pada saat pelaksanaan ritual, gondang
simonangmonang merupakan satu-satunya gondang yang dimainkan untuk
mengantar tondi sahala yang merasuki tubuh dari peserta ritual kembali ke
alamnya. Dapat dikatakan bahwa gondang simonang-monang merupakan
gondang yang mampu menyadarkan seseorang dari keadaan kerasukan. Akhir dari
ulaon pajonjong sahala ama ditandai dengan sadarnya seluruh peserta ritual dari
keadaan kesurupan. Hal ini tidak terjadi secara bersamaan, tetapi terjadi secara
perlahan-lahan, yaitu satu-persatu dari tondi sahala dihantarkan dengan bunyi
gondang simonangmonang.
3.7.2.11 Manggohi Ulaon Sian Ulu Punguan
Manggohi ulaon secara hafiah bermakna memenuhi kegiatan. Prosesi ini
dilakukan agar ritual gondang sapotang terpenuhi berjalan sesuai dengan ruhut
dan aturan yang berlaku dalam ugamo malim najumanghon uras. Pada dasarnya
manggohi ulaon dilakukan dengan ulu punguan marhata dan meminta pargonsi
memainkan gondang penutup. Berikut ini teks dari hata yang diucapkan
partamiang saat menutup akhir dari ritual.
“Somba tu oppungta martua debata mulajadi na bolon, sunggul sunggul
tu tondi ni inanta na maliubulungi na marningot hita parmeme sibonduton
parajar sioloan ni, ima na marningot di lungun ni natuatuai raja na
martua raja na marsangap martongos di rohana, songon na di patudunna
tu hita saluhut na, dapot ma na nijalahan jumpang ma na niluluan.
Nungnga tondi horas ima tondi madingin di tambaima pasu pasuna tu hita
saluhutna hatinggalan ni hata nai, gabe na ta ula sinur pinahanta, gabe
pancarian di horasi ma saluhutna siminitta na di huta, dohot na di tano
parserahani, asa takkas amang tukkang nami, nungnga mardalan be
ruhuti ima tondi ni inanta na maliu bulungi dohot tondi ni amanta na
martuai na mangalean pasu pasu, dohot na laho ojakhonon na tu ari
marsogot, ba tio ma songo mata ni mual, poltak songon bulan marondang,
sihar songon matani ari binsar, hot ni adat hot ni uhum inanta na maliu
bulungi horas ma hita saluhutna, gohi amang ma amang tukkang nami”.
Terjemahan
“Sembah kepada leluhur kita Debata mulajadi na bolon, kepada tondi ni
inanta na mailibulung pemilik beras yang kita makan guru yang selalu
mau, yang mengingat kepiluan dari orang yang bertuah itu raja na martua
raja na marsangap berbekas pada hatinya, seperti yang diperlihatkannya
pada kita seluruhnya. Dapatlah yang nijalahan dan dicari. Ditambahkanlah
berkat kepada kita seluruhnya melalui kata yang ditinggalkannya.
Berhasillah yang kita kerjakan bertambah banyaklah ternak kita, berhasil
mata pencaharian di horasilah seluruhnya keturunan kita yang di kampung
dan yang berada di tanah perantauan. Agar semakin jelas bapak tukang
kami telah berjalan tata aturan dari tondi inanta na mailiu bulung dan
tondi amanta na martuai yang memeberi berkat, juga yang akan
diberikannya dikemudian hari. Jernihlah seperti mata air, bersinar bagai
bulan purnama, cerah seperti matahari terbit, teguh pada adat teguh pada
hukum inanta na mailiubulung horaslah kita seluruhnya, penuhilah bapak
tukang kami.”
Pargonsi kemudian memainkan tiga komposisi gondang secara berurutan,
dimulai dari gondang somba, gondang hasahatan, dan gondang simonang
monang.
Pada dasarnya ritual gondang sapotang dilakukan untuk beribadah dan
memuji Mulajadi na bolon. Sebab dalam kepercayaan Ugamo Malim semua yang
ada di dunia ini merupakan ciptaan-Nya. Melalui para tondi na marsahala
terwujud kekuatan dan kekuasaannya. Sisingamangaraja patuat raja malim
merupakan utusan sebagai penyampai pesan uras sohalipan uras sohalipurpuran
yang menyembah Debata mulajadi na bolon. Dengan mengikuti ajaran tersebut
manusia dapat menjadi bersih dari segala hal yang tidak baik dan dipermudah
segala kehidupannya di dunia.
BAB IV
FUNGSI GONDANG SABANGUNAN PADA RITUAL GONDANG
SAPOTANG
4.1 Pendahuluan
Bab ini membahas secara rinci bagaimana gondang sabangunan hidup di
dalam pelaksanaan ritual gondang sapotang. Pembahasan difokuskan pada
permulaan dan akhir dari pelaksanaan ritual gondang sapotang. Penulis mengulas
gondang pada tiap-tiap prosesi dalam ritual gondang sapotang. Berdasarkan hal
tersebut penulis memakai teori guna dan fungsi musik yang dikemukakan Allan P.
Merriam dalam bukunya The Anthropology of Music (1964:223-226)
menyebutkan ada sepuluh fungsi musik yaitu: 1. Fungsi pengungkapan emosional;
2. Fungsi pengungkapan estetika; 3. Fungsi hiburan; 4. Fungsi komunikasi. 5.
Fungsi perlambangan; 6. Fungsi reaksi jasmani; 7. Fungsi yang berkaitan dengan
norma sosial; 8. Fungsi pengesahan lembaga sosial; 9. Fungsi kesinambungan
kebudayaan; 10. Fungsi pengintegrasian masyarakat.
Dalam buku yang berjudul Teori dan Metode dalam Etnomusikologi
(Terjemahan 2012: 91-93) Bruno Netll menyebutkan sembilan sasaran kerja
dalam operasional arkaif etnomusikologi yang dilakukan saat field work dan desk
work berlangsung, antara lain: 1. Materi harus disimpan di tempat yang dingin dan
kering; 2. Berbagai catatan transkripsi teks-teks dan materi tulis lainnya yang
berangkat dari sebuah koleksi harus disatukan dengan koleksi atau dalam lemari
penyimpanan, namun dinamai sehingga hubungannya dengan rekaman diketahui
dengan jelas; 3. Semua materi harus diberi nomor dan lebel dengan jelas; 4.
Katalo-katalog—biasanya dalam kartu isian—harus dipertahankan menurut entri
berikut ini: pengumpul, bahasa atau suku, dan lokasi; 5. Buatlah perjanjian khusus
dengan kolektor, yang menyatakan apa saja hak pihak arsip dan apa hak kolektor;
6. Jika sebuah arsip dapat melewati langkah-langkah dasar di atas, maka arsip itu
diharapkan untuk membuat sebuah rekaman duplikasi untuk semua koleksinya; 7.
Arsip dapat membuat pengkatalokan diluar yang dibuat oleh pengumpulnya,
menyatukan entri-entri dan membuat entri terpisah untuk tiap item musik yang
tercakup didalamnya; 8. Agar koleksi dalam arsip menjadi lebih berguna bagi para
peneliti dan pengajar, disarankan untuk menganalisis lagu-lagunya secara singkat
sehingga dapat dibuat katalog berdasarkan unsur-unsur stilistik tertentu; 9.
Terakhir, tentu saja sebuah arsip dapat menyediakan koleksinya dalam rekaman-
rekaman yang diterbitkan.
Pada poin kedua dalam penekanan sasaran dalam arkaif etnomusikologi,
Netll menekankan pentingnya catatan mengenai teks-teks dan materi tertulis
lainnya yang berhubungan dengan koleksi yang sedang dan akan diteliti. Hal ini
untuk memperjelas hubungan antara teks dan materi musik yang dijadikan subjek
bagi peneliti tersebut.
Pentingnya suatu teks dalam penelitian etnomusikologi juga diutarakan
oleh Allan P. Meriam dalam tulisannya yang berjudul Metode dan Teknik
penelitian dalam Etnomusikologi. Dalam tulisan tersebut Merriam mengutarakan
bahwa penelitian etnomusikologi bukan hanya studi musik dari aspek oralnya saja
melainkan juga dari aspek sosial, kultural, psikologi, serta estetikanya. Merriam
mengutarakan setidaknya ada enam wilayah penyelidikan dalam etnomusikologi,
diantaranya: 1. Budaya material musik, meliputi studi tentang instrument musik
yang disusun peneliti dengan klasifikasi yang biasa digunakan: idiofon,
membranofon, aerofon, dan chordofon; 2. Studi tentang teks nyanyian, studi ini
meliputi studi teks sebagai peristiwa linguistik, hubungan antara linguistik dengan
suara musik, dan masalah-masalah isi yang diungkapkan oleh teks tersebut; 3.
Meliputi kategori-kategori musik yang dibuat oleh peneliti yang sesuai dengan
kategori yang berlaku dalam kelompok tersebut; 4. Pemain musik, meliputi
latihan menjadi pemusik dan cara-cara untuk menjadi pemusik; 5. Guna dan
fungsi musik di dalam hubungan dengan aspek-aspek budaya lain; 6. Musik
sebagai aktivitas kreatif di dalam budaya (Rahayu Supanggah 1990: 100-103).
Pada butir kedua dari keenam wilayah penyelidikan penelitian dalam studi
etnomusikologi, Merriam menekankan pentingnya suatu teks untuk diteliti
karenan manfaatnya yang jelas dalam mengungkapkan tingkah laku manusia
pemilik suatu kebudayaan. Teks sering mengungkapkan nilai-nilai yang hidup
serta diayomi oleh suatu masyarakat, juga digunakan sebagai catatatan sejarah
bagi kelompok tertentu, sebagai cara untuk menanamkan nilai-nilai, dan sebagai
cara untuk membudayakan generasi muda.
Dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba khususnya yang masih
menganut nilai-nilai serta kepercayaan tradisional yakni masyarakat Parmalim,
yang dalam fokus penelitian ini adalah masyarakat Parmalim na Jumanghon uras.
Pada saat upacara ritual gondang sapotang sedang berlangsung terdapat beberapa
hal yang berkaitan erat dengan pengucapan teks. Dalam inti pelaksanaan ritual
setiap gondang yang dimainkan oleh pargonsi terlebih dahulu dimintakan oleh
peserta yang berperan dalam prosesi ritual yang sedang berlangsung. Permintaan
gondang disampaikan dengan mengucapkan kata-kata dan sering juga disertai
dengan umpasa atau umpama yang merupakan sastra lisan yang terdapat dalam
kebudayaan Batak Toba. Dalam kata-kata tersebut mengandung makna yang
hendak disampaikan oleh yang meminta gondang. Dengan demikian gondang
yang dimainkan oleh pargonsi mengandung makna dari ungkapan kata-kata yang
disampaikan oleh si peminta gondang. Gondang yang dimainkan pargonsi
memiliki makna, tujuan serta dari siapa dan untuk siapa gondang tersebut
dimainkan sehingga terlihat jelas konteks dari gondang yang mainkan. Dengan
kata lain pengucapan kata-kata, ungkapan serta kalimat yang diungkapkan oleh si
peminta gondang setara dengan teks nyanyian yang diungkapkan oleh Merriam di
atas. Namun, pada saat ritual sedang berlangsung gondang dapat dimainkan tanpa
terlebih dahulu diucapkan kata-kata untuk meminta gondang kepada pargonsi.
Hal ini terjadi pada beberapa aspek ritual saja, diantaranya ketika ritual akan
dimulai yang disebut sebagai parrungguhon serta untuk mengisi kekosongan pada
saat maradi (istirahat) serta persiapan kekosongan prosesi yang akan berlangsung
dalam ritual yakni, proses mangarudangi, persiapan paniaran ina, dan persiapan
paniaran ama.
Berdasarkan yang telah penulis jabarkan di atas, dalam bab ini penulis
menyertakan pembahasan fungsi gondang dengan mengikut sertakan pengucapan
kata-kata, ungkapan, serta kalimat yang diutarakan oleh para peserta upacara
dalam berlangsungnya ritual. Hal ini untuk melihat konteks penggunaan gondang
dalam setiap prosesi ritual pada saat ritual sedang berlangsung.
4.2. Fungsi Gondang Sabangunan saat Parrunguhon
Pada saat parrungguhon para pargonsi memainkan empat ogung dan satu
taganing di luar rumah dengan tujuan memberitahukan kepada lingkungan bahwa
pada saat itu segera dilaksanakan suatu kegiatan ritual keagamaan. Hal ini
dipertegas oleh M. Simangunsong selaku pemain sarune saat ritual berlangsung.
Berikut ini cuplikan wawancara dengan beliau:
“Anggo parrungguhon boaboa tu lingkungan dope na adong ulaon
bodari, paboahon na adong diruhutni ugamo hamalimon boaboa doi tu
luat, artina pe na di jabu nga dapot tikkina laho mangan”43
Terjemahan
“Kalau parrungguhon merupakan pemberitahuan kepada lingkungan
bahwa ada kegiatan pada malam itu. Pemberitahuan yang ada dalam tata
aturan ugamo hamalimon pemberitahuan kepada lingkungan, juga berati
bahwa di rumah telah waktunya untuk makan”.
Hal ini sesuai dengan yang penulis amati, ketika gondang dimainkan para
peserta ritual datang dari berbagai arah dan berkumpul di rumah parsaktian
sedangkan para parhobas membawa makanan dari dapur ke tengah-tengah rumah
parsaktian. Berdasarkan wawancara dengan M. Simangunsong, terdapat 3 (tiga)
komposisi gondang utama dan 2 (dua) komposisi gondang tambahan yang
dimainkan ketika parrungguhon, adapun komposisi gondang tersebut adalah:
Boaboa tu Mulajadi na bolon.
Boaboa tu Raja hulahula, boru, dongan tubu.
Hasahatan ni boaboa.
Elekelek tu habonaran, tu raja banua tonga.
Simonangmonang.
Tiga komposisi gondang utama adalah Boaboa tu Mulajadi na bolon,
Boaboa tu Raja hulahula, boru, dongan tubu dan, Hasahatan ni boaboa.
Sedangkan dua repertoar tambahan adalah elekelek tu habonaran, tu raja banua
tonga dan simonangmonang.
43
Wawancara dengan M. Simangunsong pada tanggal 04 Mei 2018 di desa Lobu Jior
Boaboa tu Mulajadi na Bolon merupakan gondang pertama dimainkan
oleh pargonsi untuk memberitahukan kepada Mulajadi na bolon pada malam itu
akan dilaksanakan suatu ritual yang menggunakan pelean dan gondang.
Sementara itu, komposisi gondang yang kedua adalah boaboa tu raja hulahula,
dongan tubu, dan boru. Tujuan memainkan gondang ini adalah untuk
memberitahukan kepada seluruh penghuni banua tonga atau lingkungan sekitar
bahwa manusia yang hidup di banua tonga memiliki keterikatan dalam hubungan
yang diatur oleh dalihan na tolu. Selanjutnya secara berurutan dimainkan boaboa
tu raja, gondang elekelek, dan gondang hasahatan. Hal ini bertujuan membujuk
dongan sahuta atau teman sekampung yaitu raja hulahula, dongan tubu dan boru.
Gondang hasahatan dimainkan sebagai pertanda bahwa boaboa telah
disampaikan kepada sang pencipta dan seluruh penghuni alam semesta. Gondang
simonang monang menandakan kemenangan dalam menyampaikan boaboa.
Beberapa fungsi gondang menurut teori Allan. P. Merriam pada saat
parungguho adalah:
Fungsi pengungkapan emosional ditandai dengan dimainkannya gondang
simonang monang.
Fungsi komunikasi ditunjukkan dengan dimainkannya gondang boaboa tu
debata mulajadi na bolon dan gondang boaboa tu raja hulahula, dongan
tubu, boru.
Fungsi pengintegrasian masyarakat terlihat saat keseluruhan gondang telah
dimainkan, dimana satu persatu dari peserta ritual dan warga sekitar
datang berkumpul di rumah parsaktian.
4.3 Fungsi Gondang Sabangunan saat Mangarudangi
Mangarudangi merupakan saat mempersiapkan pelean untuk
dipersembahkan kepada Mulajadi na Bolon dan tondi na marsahala. Pada saat
mangarudangi pargonsi memainkan gondang sabangunan tanpa dimintakan
terlebih dahulu. Pada saat gondang dimainkan parhobas membawa rudang-
rudang dari dapur ke tengah ruang utama pelaksanaan ritual. Menurut M.
Simangunsong:
“Lapatan gondang na tikki mangarudangion asa tetap do marningot
halakon, asa unang adong tinggal pelean….artina asa songgop sahala
haguruani tu na tinompanai”.
Terjemahan
“Makna gondang ketika mangarudangi agar mereka tetap mengingat, agar
tidak ada tinggal sesembahan…..artinya agar datang sahala guru kepada
mereka”
Berdasarkan wawancara tersebut, permainan gondang saat mangarudangi
merupakan pengingat kepada para parhobas untuk tidak melupakan satu pun dari
pelean dan rudang rudang. Meskipun demikian, urutan dari gondang yang
dimainkan merupakan hal fleksibel sesuai keinginan pargonsi seperti yang
diutarakan oleh M. Simangunsong:
“Nungnga dipasahat attong tu hami, hami nama na mambahen ruhut ni
gondang ni…..dang pala di goari alana mangarudangi dope dison laho
mangahahon asa neng dimulai ulaon hadebataon”.
Terjemahan
“Karena tela diembankan kepada kami, kamilah yang membuat aturan
gondangnya…..tidak perlu dinamai sebab masih mangarudangi sebagai
pertanda akan dimulai kegiatan hadebataaon (yang berkaitan dengan
ketuhanan)”.
Berdasarkan pengamatan serta hasil dari wawancara, penulis
menyimpulkan saat mangarudangi terdapat dua fungsi dari gondang sabangunan,
yaitu:
Fungsi pengungkapan estetika terlihat dari tata aturan gondang yang
dimainkan saat mangarudangi merupakan spontanitas dari pargonsi,
dengan kata lain pemilihan gondang merupakan subjektif dari pargonsi.
Fungsi komunikasi hal ini terlihat ketika gondang dimainkan untuk
membantu parhobas agar tidak melupakan satupun dari pelean yang ada.
4.4 Fungsi Gondang Sabangunan saat Paojakhon Pelean
Pada saat paojakhon pelean partamiang memintakan gondang sitantan
mijumijur sigesige lao manaek kepada pargonsi. Berikut ini tonggo yang
diucapkan oleh partamiang pada saat meminta gondang:
“On ma uras sohaliapan uras sohali purpuran oppung martua Debata
Mulajadi na bolon, na marningot do hami di lungun ni oppung nami raja
na martua raja na marsangap raja i parhabinsaran, ala naung torbang
harajaon ni ompui Sisingamangaraja na jumolo tubui tu banua ginjang,
mangandung ma inanta si boru Solam banua, basa do roha ni ompunta
martua debata mulajadi na boloni, di tongos do uras sohaliapan uras
sohali purpuran, ima sumurung tu raja na martua tu raja na marsangap tu
rajai parhabinsaran dohot oppung sisingamangaraja, dohot martua raja
rum, martua raja….. na mangulahon ma hami di adat ni inanta na mailu
bulungi, ima asa hot adat dohot uhum di atas ni tano on unang lupa …..
horas ma hita jolma on, bahen ma amang panggual pargotci gondang
sitantan mijumijur sigesige lao manaek, asa panaek hita pelean somba tu
oppung ta na martua debata, ima na marningot tu lugun ni rajai
parhabinsaran, ima na manghatahon uras sohaliapan uras
sohalipurpuran, unang ma haliapan unang halipurpuran, borhat ma
attong raja panumpahi raja panolongi, jumolongi di lakkani na tuatuai
horas hita jolma na mangolu tondi”.
Terjemahan
“Inilah uras sohaliapan uras sohalipurpuran ompu Debata mulajadi na
bolon, kami masih mengenang kesedihan leluhur kami raja na martua
raja na marsangap rajai parhabinsaran, sebab telah terbang kerajaan
ompu itu Sisingamangaraja yang pertama sekali ke dunia atas,
mangandung44
lah inanta si boru tolam banua, adillah kiranya ompunta
martua debata mulajadi na boloni, diberikannya uras sohaliapan uras
sohali purpuran, itulah yang turun kepada yang raja bertuah dan raja yang
terhormat yaitu raja parhabinsaran dan ompung Sisingamangaraja ,
dengan yang bertuah raja rum, martua raja…. Melakukanlah kami pada
adat ni inanta na mailiu bulungi, agar tetap teguh adat dan hukum di atas
tanah ini agar tidak lupa…. Horaslah kita manusia. Mainkanlah amang
panggual pargonsi gondang sitantan mijumijur sigesige lao manaek, agar
kita naikkan persembahan sembah kepada ompung kita martua debata,
sebab masih mengingat kita pada kesedihan raja parhabinsaran, itulah
yang menyampaikan pesan uras sohaliapan uras sohalipurpuran, agar
janganlah haliapan jangan halipurpuran, bergeraklah raja panumpahi raja
panolongi, menolong langkah dari orang yang bertuah itu, horas kita
manusia yang hidup dan berjiwa”.
Dalam tonggo di atas partamiang meminta gondang setelah dia
mengucapkan maksud tujuannya, yaitu untuk memberikan persembahan kepada
Mulajadi na bolon dan figur keillahian lainnya yang disebut sebagai tondi na
marsahala. Gondang sabangunan yang dimainkan diharapkan dapat
menggerakkan peserta untuk menghayati kepiluan dari hidup yang dijalani oleh
Raja Parhabinsaran. Ketika gondang dimainkan setiap pelean dinaikkan pada
sokkorpogang dan mombang sipitupitu. Fungsi dari gondang sabangunan pada
saat paojakhon pelean yaitu:
Fungsi reaksi jasmani terlihat saat gondang dimainkan para parhobas
bergerak untuk menaikkan pelean ke sokkor pogang dan mombang
sipitupitu.
Fungsi yang berkaitan dengan norma sosial terlihat dari tonggo yang
diucapkan oleh partamiang. Dalam tonggo tersebut partamiang
mengucapkan:
44
Mangandung merupakan suatu jenis lament nyanyian ratapan yang terdapat dalam
budaya musical masyarakat Batak Toba.
“Na mangulahon ma hami di adat ni inanta na mailu bulungi, ima asa
hot adat dohot uhum di atas ni tano on unang lupa …..”
Terjemahan
“Kami lakukan adat dari inanta na mailiu bulungi, agar tetap teguh
adat dan hukum di atas tanah ini agar tidak lupa….”
Dapat diperhatikan bahwa pelaksanaan ritual merupakan suatu kewajiban
yang tetap dilaksanakan dengan tujuan memperteguh perintah dari Mulajadi na
bolon. Keteguhan dalam melaksanakan perintah tersebut menunjukkan keimanan
yang dimiliki para penganut ugamo malim najumanghon uras.
4.5 Fungsi Gondang Sabangunan Saat Prosesi Paniaran Ina
Ketika paniaran ina pargonsi memainkan dua komposisi gondang yaitu
gondang somba tu Debata Mulajadi na bolon dan gondang mangaliat. Gondang
somba dipersembahkan kepada Mulajadi na bolon sedangkan gondang mangaliat
dipersembahkan kepada Sisingamangaraja patuat raja malim raja parhabinsaran
dan ina na mailiu bulung. Hal ini terlihat dari kata yang diucapkan oleh
partamiang sebelum gondang dimainkan:
“Amang pande nami bahen hamu ma gondang somba tu oppungta debata
mulajadi na bolon, asa rap marsomba hita dohot inanta na mora, ima na
marningot hita di lungun ni oppung ta raja na marsangap raja na martua,
ima na humehei uras sohaliapan uras sohalipurpuran, asa unang haliapan
unang halipurpuran hita on saluhutna na jumanghon pangurasan i, di
lehon ma attong gabe ni na ni ula horas ni hajolmaon, tubu pancariani,
dao akka nasolomoni roha di hita, takkas ma pukkul amang pande nami.
Terjemahan
“Wahai pandai kami mainkanlah gondang somba kepada ompung kita
Mulajadi na bolon, agar bersama kita menyambah dengan inanta na mora,
sebab masih mengingat kita pada kepedihan leluhur kita raja yang
terhormat raja yang bertuah, yaitu yang menjunjung uras sohaliapan uras
sohalipurpuran, agar jangan haliapan jangan halipurpuran kita seluruhnya
yang menjunjung pangurasan itu diberilah keberhasilan yang kita tanam
horas hajolmaon, tumbuh pencaharian, jauh segala yang tidak disenangi
hati kita, jelaslah pukul wahai pandai kami”.
Gondang itu ditujukan kepada Mulajadi na bolon, inanta na mora, dan
kepada leluhur yang menjunjung uras sohaliapan urasa sohalipurpuran. Dengan
demikian fungsi gondang dalam paniaran ina adalah:
Fungsi reaksi jasmani terlihat jelas dari kedua gondang yang dimainkan,
yaitu gondang somba tu Mulajadi na Bolon dan gondang mangaliat. Saat
gondang somba dimainkan para ina merespon bunyi dari gondang dengan
melakukan gerak tortor somba, sedangkan ketika gondang mangaliat
dimainkan para ina bergerak melakukan gerakan tortor mangaliat yaitu
dengan mengelilingi mombang sipitupitu.
4.6 Fungsi Gondang Sabangunan Saat Paniaran Ama
Paniaran ama diawali dengan partamiang mengucapkan perihal
pelaksanaan ritual gondang sapotang, alualu, dan martonggo. Kemudian
partamiang meminta kepada pargonsi untuk memainkan gondang sabangunan
yang terbagi ke dalam tiga bagian repertoar. Berikut ini urutan dari penggunaan
gondang sabangunan.
4.6.1 Alu-alu
Alu-alu merupakan tahapan awal sebelum partamiang mengucapkan
tonggo-tonggo. Dalam praktiknya alu-alu diikuti dengan bunyi taganing yang
dimainkan setelah alu-alu diucapkan. Terlihat adanya interaksi antara partamiang
dengan pargonsi khususnya partaganing saat alualu diucapkan. Berikut ini urutan
dari pengucapan alu-alu.
Alualu tu Martua Debata Mulajadi na Bolon, pargonsi melakukannya dengan
memukul odap.
Alualu tu Debata na tolu Batara guru, Bane bulan, Bale sori na sumurung,
pargonsi melakukannya dengan memukul gordang.
Alualu tu inanta na Maliubulungi Si Boru Deak Parujar, pargonsi
melakukannya dengan memukul odap.
Alualu tu patuan Singa debata, singa banua ginjang, singa banua tonga,
pargonsi melakukannya dengan memukul odap.
Alualu tu Bautan ni tano martua Raja Rum, martua Raja Sinambur,
asurungan na bolon tuan Saribu raja, pargonsi melakukannya dengan
memukul gordang.
Alualu tu Raja Parhabinsaran, pargonsi melakukannya dengan memukul
paidua gordang.
Alualu tu surungan na bolon Tuan saribu raja, desa na opat na humasing
desa na walu, pargonsi melakukannya dengan memukul gordang.
Alualu tu Inantai na Maliubulungi, parmemesibonduton, parajar sioloan,
inata si boru Tolam banua, inanta Pormaliman, dohot inanta si Boru Pinahot,
pargonsi melakukannya dengan memukul odap.
Alualu tu boru Saneang naga parmual sitiotio, pargonsi melakukannya
dengan memukul odap.
Alualu tu soripada na bolon, tu oppungta Raja Hasahatan, tu Raja Hatorusan,
pargonsi melakukannya dengan memukul odap.
Terdapat beberapa fungsi gondang sabangunan pada saat alualu, sebagai
berikut:
Fungsi komunikasi merupakan fungsi paling mencolok terlihat, dapat
dikatakan inilah fungsi utama dari bunyi taganing yang dialualukan.
Fungsi perlambangan terlihat jelas saat salah satu dari taganing dipukul.
Lambang yang terdapat pada taganing adalah perlambangan identitas, gender,
dan kosmis.
Perlambangan identitas terlihat dari masing-masing taganing yang
dipukul saat partamiang meminta alualu. Odap melambangkan
Debata Mulajadi na bolon, ina na mailiubulung dan patuan singa
debata. Gordang melambangkan Debata na tolu, Bautanni tano tuan
saribu raja martua Raja Rum martua Raja Sinambur. Paidua gordang
melambangkan Raja Parhabinsaran.
Perlambangan gender terlihat pada sahala ina khusus dipukul odap
dan pada sahala ama khusus dipukul gordang.
Perlambangan kosmis terlihat dari odap yang melambangkan banua
ginjang tempat dari Mulajadi na Bolon, gordang melambangkan
banua tonga tempat tinggal dari bautanni tano parsurungan na bolon
tuan saribu raja martua raja rum, dan raja parhabinsaran.
4.6.2 Gondang Somba
Gondang somba khusus dimintakan partamiang dalam ritual gondang
sapotang untuk menyembah Debata Mulajadi na bolon dan para tondi na
marsahala. Gondang somba diminta ketika partamiang selesai mengucapkan
seluruh tonggo. Berikut ini urutan dari gondang somba serta kata yang diucapkan
partamiang ketika meminta gondang saat ritual gondang sapotang.
Gondang Somba tu Mulajadi na Bolon,
“Asa mangalualu ahu da ompung Martua Debata Mulajadi na Bolon na
di banua ginjang, ala takkas do hamu martua debata mulajadi na bolon
na jumadihon hami jolma manisia...”
Terjemahan
“Mengadu aku ompung Martua Debata Mulajadi na Bolon di atas, sebab
jelas lah Engkau bertuah Debata Mulajadi na Bolon menjadikan kami
manusia…”
Hata meminta gondang Somba:
“Bahen gondang Somba tu oppungta Debata na martua Mulajadi na
bolon”.
Terjemahan
“Mainkanlah gondang somba kepada Debata na martua Mulajadi na
bolon”.
Penulis menyertakan pengucapan kata alu-alu yang disampaikan oleh
partamiang saat tahapan prosesi alu-alu untuk memperjelas alasan dari
permintaan gondang yang ditujukan kepada Debata mulajadi na bolon.
Dalam bahasa Batak Toba kata “Debata” sepadan dengan kata “Tuhan”
dalam bahasa Indonesia. Sedangkan kata “mula” berarti “awal”. Kata “jadi”
merupakan “ciptaan” sedangkan “na bolon” memiliki arti “yang besar”. Maka
Debata mulajadi na bolon memiliki arti “Tuhan awal penciptaan dari segala hal di
dalam alam semesta yang maha besar dan luas tak terjangkau”.
Jika diperhatikan secara seksama di dalam kata alu-alu yang di sampai
partamiang, Debata Mula jadi na Bolon merupakan sosok supranatural yang
memiliki kekuatan dan kekuasaan yang menciptakan manusia di dunia.
Berdasarkan hal tersebut, masyarakat parmalim na jumanghon uras memuji dan
menyembah melalui perantaraan bunyi gondang sabangunan Mulajadi na bolon.
Gondang Somba tu Debata na tolu.
“Asa mangalualu muse ma ahu tu oppung debata na tolu Batara guru,
Bane bulan, bale sori nasomurung. Takkas do hamu da oppung
nasumurung ni oppungta na martua debata mulajadi na bolon”.
Terjemahan
“Kembali aku mengadu kepada ompung Debata na Tolu Batara guru,
Bane bulan, Bale sori yang sakti. Kalian ompung memiliki kesaktian yang
diberi leluhur kita yang bertuah Debata Mulajadi na Bolon”.
Kata meminta Gondang Somba:
“Bahen ma gondang somba tu oppungta Debata natolu Batara Guru,
Bane Bulan, Bale sori, asa sinomba hami na tolu, anggiat lam tarida
hatani uras sohaliapan uras sohalippurpuran”.
Terjemahan
Mainkanlah gondang somba kepada leluhur kita Debata natolu Batara
Guru, Bane Bulan, Bale sori. Kami sembah ketiganya, agar terlihat pesan
uras sohalipan uras sohalipurpuran”.
Dalam kata tonggo dan meminta gondang terdapat kata “Debata” yang
bermakna Tuhan, “na tolu” yang bermakna “yang tiga”. Maka “Debata na tolu”
memiliki makna ketiga Tuhan. Terdapat kalimat “nasumurung ni oppungta na
martua Debata Mulajadi na Bolon”, berarti “pemilik kesaktian yang diberi
ompung na martua Debata Mulajadi na Bolon”. Maka Debata na tolu merupakan
figur keillahian yang terdiri dari tiga sosok supranatural yaitu Batara Guru, Bane
Bulan, Bale Sori yang dianggap sebagai Tuhan atas dasar kuasa yang diberikan
oleh Debata Mulajadi na Bolon.
Gondang Somba tu Si Boru Deak Parujar
“Asa mangalualu ma muse ahu tu da inang mailiu bulung i, ima da inang
si boru deak parujar, na mangujarhon tano manjarak, tano manjirir
ojahan nami jolma manisia, takkas do ho inong namaliubulung
hasurungan ni oppungta mulajadi na bolon. Partano sigantangan partano
si olopani”.
Terjemahan
“Kembali aku mengadu kepada inanta na mailiubulung (ibu yang sakti),
inang si boru deak parujar. Melalui kesaktiannya menciptakan tanah
bergelombang, tanah datar pijakan kami manusia. Engkaulah ibu yang
pemilik kesaktian dari Mulajadi na bolon. Pemilik tanah sigantangan
pemilik tanah yang diberkati”.
Kata ketika meminta Gondang Somba:
“Bahen ma gondang somba tu inanta si boru Deak parujar asa manumpak
sahalana ma masu masu tondina horas hita jolma manisia”.
Terjemahan
“Mainkanlah gondang somba kepada ibu kita si boru Deak parujar agar
memberkati sahala dan jiwanya, horas kita manusia”.
Dalam kepercayaan Ugamo Malim Najumanghon Uras, Si Boru Deak
Parujar merupakan sosok dari tondi sahala ina yang memiliki kekuatan yang
diberi Mulajadi na bolon. Dari kemampuan yang diberikan Mulajadi na bolon,
siboru Deak parujar mampu menciptakan daratan yang merupakan pijakan tempat
dan menggantungkan hidup manusia. Dengan demikian dalam gondang somba tu
Si Boru Deak Parujar terdapat harapan bahwa Siboru Deak parujar akan
memberkati serta mengkaruniai kehidupan mereka sehari-hari.
Gondang Somba Tu Sisingamangaraja
“Bahen ma gondang somba tu oppungta Sisingamangaraja na jumolo
tubui, ima na mamatikhon singa ni adat singa ni uhum di banua tonga on,
anggiat tarida hatani natuatuai na manatikhon, ikkon ingoton siak ni
ngolu rajai parhabinsaran na purading na sumurung, ima na paliathon
hata ni uras sohaliapan uras sohalipurpuran‟, na mangoloi hatana na
mangoloi ajaran, asa takkas mamasu masu natuatuai horas hita tu joloan
ari, horas hita tu joloan panumpahi tondina”.
Terjemahan
“Mainkanlah gondang somba kepada leluhur kita Sisingamangaraja yang
pertama. Dia yang metitahkan singa ni adat singa ni uhum di dunia ini,
semoga terlihat perkataan orang bertuah itu yang mentitahkan agar
mengingat penderitaan hidup dari Raja Parhabinsaran pelayan sakti yang
menyiarkan pesan uras sohaliapan uras sohalipurpuran, mengiyakan
perkataannya, mengiyakan ajaran. Agar diberkati orang yang bertuah itu
horas kita dihari depan, horas kita kedepan diberkati tondinya”.
Dalam ugamo malim, Sisingamangaraja merupakan sebuah gelar
kehormatan diberikan oleh Debata mulajadi na bolon kepada manusia melalui
sahala yang diturunkannya dari banua ginjang (dimensi spiritual tempat dari
tondi na marsahala berdiam) yaitu tondi sahala Singa ni Debata. Gelar tersebut
turun kepada beberapa manusia melalui lintas generasi, tidak melalui garis
keterunan sedarah (genealogis). Sisingamangaraja bukanlah gelar yang turun
kepada sembarang orang, terdapat kriteria tertentu agar seseorang itu layak
mendapatkan gelar Sisinganmangaraja. Diataranya adalah seseorang yang tunduk
kepada Debata Mulajadi na bolon serta ajaran yang ditetapkan olehNya. Namun,
pada dasarnya hanya Debata Mulajadi na bolon yang mengetahui bagaiman
kelayakan manusia yang dapat mengemban gelar Sisingamangaraja.
Sisingamangaraja merupakan sosok yang menjadi perantaraan Debata
Mulajadi na bolon di dunia dengan manusia. Bertugas menyampaikan hukum dan
ajaran yang diperintahkan Debata Mulajadi na bolon untuk dijalankan manusia.
Di dalam hata tersebut terdapat suatu perintah kepada manusia yang disampaikan
oleh Sisingamangaraja, agar manusia tetap mengingat kepiluan serta derita yang
dialami Raja Parhabinsaran di dalam hidupnya ketika mengabarkan pesan diberi
Debata Mulajadi na bolon.
Gondang somba tu Bautan ni tano, hasurungan na bolon tuan saribu raja,
martua Raja Rum, martua Raja Sinambur.
Cuplikan tonggo-tonggo kepada Bautan ni Tano:
“Oppung na sumurung asi ma roham oppung, ia nungngai jalo hami
panumpakni tondim panumpahi sahala mi oppung bautan ni tano di lehon
ho tano morai, asa adong ulahon nami pasangaphon oppungta Martua
Debata dohot tondi munai Sisingamangaraja”
Terjemahan
“Leluhur yang sakti ibalah hatimu, telah kami minta berkat serta karunia
mu wahai ompung bautanni tano, suburkanlah tanah agar ada yang kami
olah serta kerjakan untuk menghormati dan memuliakan leluhur kita
martua Debata juga Sisingamangaraja.
Kata ketika meminta Gondang somba:
“Bahen ma gondang somba tu bautani tano parsurungan na bolon tuan
saribu raja tu oppungta martua raja rum, martua raja sinambur, asa hu
somba hami tondi na hu somba, ala takkas do natuatuai par hau hau na
bolon…..asa anggiat manumpak tondina mamasu masu sahalana horas
hita manisia”.
Terjemahan
“Mainkanlah gondang somba kepada pelindung tanah yang sakti, Tuan
Saribu Raja kepada oppungta martua Raja Rum, martua Raja Sinambur.
Agar kami sembah jiwa yang disembah, orang bertuah itu pemilik tonggak
yang besar…. Semoga memberhati tondi dan sahalnya horas kita
manusia”.
Dapat diperhatikan dalam tonggo di atas bagaimana peranan dari Bautan
ni tano bagi kehidupan penganut ugamo Malim Najumanghon Uras. Bautan ni
tano dipercaya sebagai tondi yang memberikan kesuburan dan berkat bagi lahan
pertanian. Pentingnya peranan dari Bautani tano dalam kehidupan bagi ugamo
malim najumangho uras menjadi dasar penghormatan yang dipanjatkan
kepadanya melalui gondang.
Gondang Somba tu Raja Parhabinsaran (Raja Mangalambung)
“Bahen ma amang tukkang nami gondang somba tu rajai parhabinsaran na purading na sumurung
martua raja mangalambung, ima na marningot hami na jumanghon uras sohaliapan uras sohali
purpuran di ujuni ngolu natuatuai, ima na humehei uras sohaliapan uras sohali purpuran mi, anggiat
hehe na tuatuai”.
Terjemahan
“Mainkanlah tukang kami gondang somba kepada raja parhabinsaran
pelayan sakti yang bertuah Raja Mangalambung, masih kami
najumanghon uras sohaliapan uras sohalipurpuran mengingat kehidupan
orang bertuah itu, dialah penjunjung uras sohaliapan uras
sohalipurpuran”.
Gondang somba tu raja Parhabinsaran merupakan ungkapan rasa hormat
dari penganut ugamo malim najumanghon uras kepada sosok spiritual tersebut.
Hal ini, disebabkan dalam kepercayaan yang dianut parmalim najumanghon uras
Raja Parhabinsaran merupakan sosok yang membawa dan mengajarkan ajaran
Malim najumanghon Uras. Dalam perjalanan untuk mengajarkan ajaran malim,
Raja parhabinsaran mengalami kesulitan dan kepiluan hidup, meskipun demikian
Raja Parhabinsaran tetap teguh menjalankan tugas yang diembankan kepadanya.
Gondang Somba tu ina Mailiubulung Boru Tolam Banua, Pormaliman, Si
Boru Pinahot.
“Bahen ma gondang somba tu inanta na mailiubulungi parmeme
sibonduton, parsiajar si oloani, ima inanta si boru Tolam banua, inanta si
Pormaliman, dohot inanta si boru Pinahot, ima na mangandunghon
hatani uras sohaliapan uras sohalipurpuran ni, ala naung torbang
hasingaon ni rajai tu banua ginjang ala naung matoras hau matua tanoi,
gumuling parumuon humusor paradatan ni ala basa do martua Debata
Mulajadi na bolon di tongos do uras sohaliapan uras sohalipurpuran,
asang asang tu jolo tundun di pudi tondi na marsangap sahala na martua
marningot di oppungta martua debata asa hot di ada hot di uhum attong
horas ma hita saluhutna”.
Terjemahan
“Mainkanlah gondang somba kepada inanta na mailiubulungi (ibu yang
sakti) pemilik makanan, guru yang baik. Kepada ibu si Boru Tolam banua,
ibu si Boru Pormaliman, dan ibu si Boru Pinahot. Mereka yang meminta
ajaran uras sohaliapn uras sohalipurpuran sebab telah terbang hasingaon
raja ke dunia dan telah semakin tua kayu, terguling perhukuman bergeser
peradatan. Tetapi Debata bermurah hati, dikirimkan uras sohaliapan uras
sohali purpuran, yang dapat kita andalkan di depan dan menjaga dari
belakang. Agar teguh pada adat dan pada hukum horas kita seluruhnya”.
Dalam kata yang diucapkan oleh partamiang terdapat kalimat,
“mangandunghon hatani uras sohaliapan uras sohalipurpuran ni”, yang secara
bermakna “menangisi (lament) pesan dari uras sohaliapan uras sohali purpuran”.
Hal ini terjadi dikarenakan pergi hasingaon, yaitu suatu kuasa yang diturunkan
oleh Mulajadi na bolon kedunia untuk membantu kehidupan manusia. Hal ini di
perjelas dalam kalimat meminta gondang somba di atas, “ala naung torbang
hasingaon ni rajai tu banua ginjang”. Perginya hasingaon dari debata
mengakibatkan terjadi pergeseran nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat.
Pergeseran itu melenceng dari norma-norma yang selama ini dianut oleh mereka,
hal ini diperjelas dalam kalimat berikut ini, “ala naung matoras hau matua tanoi,
gumuling parumuon humusor paradatan ni”. Akhirnya Mulajadi na bolon
mengirimkan uras sohalipan uras sohalipurpuran yang termanifestasikan ke
dalam ajaran Ugamo Malim najumanghon Urasa. Ungkapan syukur atas
pengorbanan yang diberi oleh ina na mailiubulung (ibu yang sakti) kepada
manusia untuk dapat kembali pada jalur menuju Mulajadi na bolon, diwujudkan
melalui bunyi gondang sabangunan.
Gondang somba tu Raja Panumpahi tu Raja Panolongi
“Bahen ma gondang somba tu raja panumpahi tu raja panolongi, ima
pina surung ni oppungta martua debata, habonaron banua ginjang
habonaron banua tonga. Anggiat di tolongi di lakkani na tuatuai ima na
paojakhon hata ni uras sohaliapan uras sohali purpuran ni, asa tio
songon baba ni mual poltak songon bulan marondang binsar songon
mataniari binsar. Na laho ojakhononna tu hita jolma manisia di atasni
tano di toru ni langiti, na mangunduk di lakkana na mangoloi diajaran na,
hot ni adat hot ni uhum horas hita attong saluhutna.
Terjemahan
“Mainkalah gondang somba kepada Raja Panumpahi, Raja Panolongi
yang diberi kesaktian oleh leluhur kita martua Debata, kebenaran dunia
atas kebenaran dunia tengah. Semoga ditolong langkah orang bertuah yang
menyampaikan pesan uras sohaliapan uras sohalipurpuran. Agar jernih
bagai mata air, terang laksana bulan purnama, cerah seperti matahari terbit,
yang hendak diberikan pada kita manusia diatas tanah dan dibawah langit,
yang tunduk pada langkah dan memaui ajarannya. Teguh diadat dan
hukum horas kita seluruhnya”.
Dalam ajaran ugamo malim najumanghon uras, Raja Parhabinsaran
dipercaya masih bekerja dan sedang dalam perjalanan panjang untuk
mengabarkan pesan atau ajaran yang dititahkan oleh Debata Mulajadi na bolon.
Hal tersebut terlihat dari kalimat berikut ini “Anggiat di tolongi di lakkani na
tuatuai ima na paojakhon hata ni uras sohaliapan uras sohali purpuran ni”.
Tujuan gondang dimainkan agar raja panumpahi dan raja panolongi menolong
langkah dari Raja Parhabinsaran, dengan harapan perjalanan yang sedang
ditempuh Raja Parhabinsaran tidak mengalami kesulitan.
Gondang Somba tu Boru Saniang Naga dipadomu tu gondang Raja
Hasahatan
“Bahen ma gondang somba tu boru saniang naga parmual sitiotio,
padomu tu oppungta raja hatorusan raja hasahatani, ia nungnga ta
pasahat di na marningot di adat ni parompuon, adat ni parinaon. Ima na
pinatikhon ni oppungta Sisingamangaraja na jumoloi, ikhon hehean uras
sohaliapan uras sohalipurpuran, anggiat hehe raja panumpahi borhat
raja panolongi dohot di lakkani natuatuai, asa di paojak hatani uras
sohaliapan uras sohalipurpurani diatas ni tano di toru ni langit, unang
mumpat ni tuhe unang sega gadugadu asa hot hita songon pulo takkas
songon parsihodoan manjakhon hata ni uras sohaliapan uras sohali
purpuran ni, asa dao na solomoni roha horas ma hita jolma manisia”.
Terjemahan
“Mainkanlah gondang somba kepada boru saniang naga parmual sitiotio,
satukan dengan [gondang] ompungta raja hatorusan raja hasahatani.
Telah kita sampaikan sesuai adat dari parompuan, adatni painaon (aturan
yang berasal dari sahala ina). Telah disampaikan leluhur kita
Sisingamangaraja yang pertama, haruslah dijunjung uras sohalipan uras
sohalipurpuran, semoga bangkit raja penolong mendampingi langkah dari
orang yang bertuah itu, agar disampaikan pesan uras sohaliapan uras
sohalipurpuran diatas tanah dan dibawah langit. Jangan tercabut pusaka
agar tidak rusak pematang,teguh laksana pulau baik seperti parsihodoan
(tungku api) menerima pesan uras sohaliapan uras sohalipurpuran, agar
menjauh yang tidak kita senangi horaslah kita manusia”.
Dari kata yang diucapkan partamiang di atas, gondang tersebut tertuju
kepada dua sosok supranatural yang dipercaya dalam Ugamo Malim ajumanghon
Uras, yaitu Boru Saneang Naga parmual sitio-tio dan Raja Hasahatan (Raja
Hatorusan). “Par” dalam bahasa batak merupakan suatu imbuhan yang
menandakan sesuatu hal kepada kata yang di-imbuhinya. Imbuhan itu dapat
bermakna yang melakukan, yang memiliki, atau cirikhas tertentu yang
dimilikinya. “Mual” dalam bahasa Batak memiliki makna “air” kata “sitio-tio”
berasal dari kata “tio” yang bermakna “jernih”, dengan demikian “parmual sitio-
tio” dapat bermakna pemilik atau yang menjaga segenap air yang jenih.
“Hasahatan” memiliki kata dasar “sahat” yang bermakna “sampai” kata
“hatorusan” berasal dari kata dasar “torus” bermakna “terus”. Maka Raja
Hasahatan (Raja Hatorusan), merupakan Raja yang menyampaikan serta
meneruskan perihal segala hal yang ditujukan kepada Debata Mulajadi na bolon.
Dengan demikian gondang tersebut dimaksudkan agar keseluruhan puji-pujian
serta sembah yang dipanjatkan kepada Debata Mulajadi na bolon dan tondi na
marsahala (figure-figure keillahian) disampaikan dengan ketulusan hati dan
kejujuran yang sejernih air.
Gondang Hasurungan Uras sohaliapan Uras sohalipurpuran
Gondang hasurungan uras sohaliapan uras sohalipurpuran merupakan
gondang yang dimintakan oleh panitangi ketika semua gondang somba telah
dimintakan partamiang, bermakna sebagai tanda jikia somba telah disampaikan
kepada Mulajadi na bolon dan para tondi na marsahala. Berikut ini kata yang
diucapkan oleh pada saat meminta gondang tersebut.
“Amang panggual pargonsi nga sahat tutu somba somba uhum marhite
hite ni adat ima sitompion jonjong di mombang sipitupitu na marsangap
na martua, ima tu inanta na maliu bulungi anggiat ma tutu sahat
pangidoan, ala nungnga dipasahat oppungta na martua debata marhite-
hite uras sohaliapan uras sohalipurpuran on, bahen damang ma disi
gondang hasurungan ni uras sohaliapan uras sohalipurpuran, asa hot jala
horas pardalanan partondion hita sluhutna jolma na tinompani oppungta
na martua Debata mulajadi na bolon”.
Terjemahan
“Amang pangual pargonsi telah sampai persembahan hukum melalui adat
sitompion terletak di mombang sipitupitu yang terhormat dan bertuah,
dipersembahkan kepada inanta na mailiubulung (ibu yang sakti),
semogalah sampai harapan…. Disampaikan leluhur debata yang bertuah
melalui uras sohalipan uras sohalipurpuran, agar teguh jasmani dan
rohani kita seluruhnya manusia yang diciptakan leluhur yang bertuah
Mulajadi na Bolon”.
Terdapat beberapa fungsi dari gondang yang terlihat saat seluruh gondang
somba dan gondang hasurungan uras sohaliapan uras sohali purpuran
dimainkan, sebagai berikut ini:
Fungsi yang berkaitan dengan norma sosial
Fungsi perlambangan terlihat dari setiap gondang yang melambangkan
kepada siapa gondang itu ditujukan. Seperti gondang somba tu mulajadi
merupakan gondang yang melambangkan Mulajadi na bolon dan gondang
uras sohaliapan uras sohalipurpuran melambangkan Ugamo Malim
Najumanghon Uras.
Fungsi reaksi jasmani terlihat dari reaksi tubuh para peserta ritual yang
melakukan gerakan tortor somba saat gondang dimainkan.
4.6.3 Gondang Adat
Gondang adat merupakan gondang bertujuan bagi kepentingan hidup
penganut Ugamo Malim najumanghon Uras, dimintakan oleh partamiang saat
gondang somba selesai disampaikan. Selesai menyampaikan pujian kepada
Debata dan para tondi selanjutnya penganut Ugamo Malim najumanghon Uras
mengucapkan pengharapan kepada Mulajadi na bolon dan para tondi na
marsahala. Gondang yang dimintakan dan dimainkan saat gondang adat tidak
memiliki patokan dan urutan tertentu. Berikut ini gondang adat yang dimintakan
partamiang.
Gondang Sampuara Marorot
Gondang Sigabe Taon
Gondang Raja Panggomgomi
Gondang Sitiotio
Gondang Debata Jujungan
Gondang Pangalu Pangalombohi
Gondang Hasatan
Beberapa gondang yang diminta oleh partamiang memiliki konteks dalam
permitaannya. Konteks tersebut terlihat dalam kata yang diucapkan partamiang
saat meminta gondang, dengan demikian maksud dan tujuan dari gondang dapat
dilihat dari kata yang diucapkan pertamiang. Berikut ini beberapa fungsi dari
gondang sabangunan yang terdapat ketika gondang dimainkan:
Fungsi pengungkapan emosional terlihat pada kata yang diucapakan
partamiang yaitu:
“Bahen ma amang gondang sigabe taon ni, asi ma rohani oppungta
debata dohot bautanni tano, gabe ma na ta ula sinur ma pinahan horas
hita manisia”.
Terjemahan
“Mainkanlah gondang sigabe taon, murah hatilah leluhur kita Debata dan
bautanni tano. Semoga berhasillah yang kita kerjakan bertambah banyak
ternak, horas kita manusia”.
Dalam kata yang diucapkan tersebut partamiang mengungkapakan
perasaannya agar Debata dan bautanni tano menolong meraka dalam kehidupan
sehari-hari, dan melalui gondang sigabe taon partamiang menyampaikan
perasaannya kepada Mulajadi na bolon.
Fungsi reaksi jasmani terlihat saat semua gondang dimainkan partamiang
dan seluruh ama yang terlibat dalam paniaran ama manortor mengikuti
irama dari gondang sabangunan yang dimainkan pargonsi.
4.7 Fungsi Gondang Sabangunan Saat Maradi
Maradi merupakan beristirahat sebelum ritual dilanjutkan kembali. Pada
saat istirahat tidak ada kegiatan khusus yang dilakukan, selain saling
bercengkrama antara para peserta ritual. Untuk mengisi kelegangan suasana
pargonsi memainkan dan mengajari naposo untuk memainkan instrument yang
terdapat di dalam ensambel gondang sabangunan. Saat maradi gondang
sabangunan tidak dimainkan dalam kegiatan khusus tetapi terdapat beberapa
fungsi dari gondang sabangunan, yaitu:
Fungsi pengungkapan estetika terlihat pada saat pargonsi mengajari salah
satu naposo untuk memainkan taganing. Pargonsi mempraktekkan
bagaimana memukul taganing dengan benar agar menghasilkan suara
yang baik.
Fungsi hiburan terlihat ketika pargonsi memainkan gondang sabangunan
untuk mengisi kelegangan suasana. Permainan dari gondang sabangunan
menjadi hiburan tradisi bagi warga sekitar yang tidak menganut ajaran
Ugamo Malim.
Fungsi kesinambungan kebudayaan terlihat ketika pargonsi mengajari
naposo memainkan taganing.
Fungsi pengintegrasian masyarakat tampak saat gondang sabangunan
dimainkan para warga sekitar yang bukan parmalim ikut berkumpul dan
menyaksikan dari luar rumah permainan gondang. Terlihat bahwa
gondang sabangunan mampu mengitengrasikan masyarakat yang berbeda
ideologi keagamaan.
4.8 Fungsi Gondang Sabangunan pada saat Pajonjong Sahala Ina
Pajonjong sahala ina dalam ritual gondang sapotang dilakukan khusus
oleh para ina (ibu) untuk menjalin suatu komunikasi dengan dimensi spiritual.
Dalam komunikasi dengan dimensi spiritual para ina menjadi media bagi sosok
supranatural yang hendak dipanggil yaitu tondi sahala ina. Dengan demikian
gondang yang dimainkan merupakan gondang yang khusus untuk para sahala ina.
Meskipun begitu, tetap terdapat gondang yang khusus dimainkan kepada sahala
ama. Hal ini disebabkan yang membawa ajaran parmalim merupakan seorang
ama yaitu Sisingamangaraja patuat raja malim Raja Parhabinsaran. Dengan
demikian gondang ama dimainkan dalam pajonjong sahala ina adalah untuk
menghormati sahala ama yaitu Sisingamangaraja Patuat Raja Malim. Berikut ini
urutan dari gondang yang dimintakan partamiang ketika pajonjong sahala ina:
Gondang tu inanta na Mailiubulung.
Gondang somba tu Sisingamangaraja
Gondang joujou tu inanta na Maliubulung.
Gondang tomu tomu tu ina Mailiubulungi dohot tu boru na pitu.
Gondang hasurungan uras sohaliapan uras sohalipurpuran.
Gondang somba tu inanta na Mailiu bulung.
Gondang sitio tio.
Gondang yang dimainkan pargonsi pada dasarnya ditujukan memanggil
sahala ina untuk hadir pada saat ritual. Memanggil sahala ina untuk datang
ditengah pelaksanaan ritual tidak cukup dengan sekali permintaan gondang,
dengan demikian gondang yang dimainkan dalam prosesi pajonjong sahala ina
tidak memiliki urutan tertentu, permintaan gondang dikondisikan sesuai dengan
keadaan. Dalam pajonjong sahala ina gondang akan terus dimaiankan sampai
tondi sahala ina datang dalam pelaksanaan ritual.
Terlihat adanya korelasi antara beberapa komposisi gondang membentuk
suatu kesatuan yang mengakibatkan fungsi dari gondang sabangunan saat
pajonjong sahala ina saling berintegritas. Adapun fungsi-fungsi dari gondang
sabanguna tersebut adalah:
Fungsi komunikasi merupakan fungsi yang paling utama dan terlihat
jelas dalam konteks prosesi ritual dan setiap gondang yang dimintakan
pada dasarnya untuk menjalin komunikasi dengan dimensi spiritual.
Fungsi perlambangan tampak dari gondang hasurungan uras sohalipan
uras sohalipurpuran yang melambangkan penganut ajaran Ugamo Malim
najumanghon Uras.
Fungsi reaksi jasmani terlihat jelas dari gerakan tortor yang mengikuti
dari irama gondang sabangunan.
4.9 Fungsi Gondang Sabangunan saat Pajonjong Sahala Ama
Pajonjong Sahala Ama tidak jauh berbeda dengan pajonjong sahala ina,
perbedaan hanya terdapat pada siapa yang melaksanakan dan sosok yang dituju.
Mediator dalam pelaksanaan pajonjong sahala ama merupakan seorang ama
(bapak) yang dianggap sebagai natuatua di dalam Ugamo Malim na jumanghon
Uras. Berikut ini urutan dari gondang yang dimintakan oleh panitangi ketika
memanggil tondi sahala ama untuk datang ditengah-tengah ritual untuk
memberikan pesan yang baik dan berguna bagi penganut Ugamo Malim
najumanghon Uras:
Gondang somba tu Debata Mulajadi na bolon
Gondang somba tu Debata na Tolu
Gondang Somba Tu Singa banua ginjang, Singa banua tonga,
Sisingamangaraja na parjolo tubu
Gondang Somba tu Raja Mangalambung Raja Habinsaran
Gondang Somba Tuan Saribu Raja, desa naopat mamassing desa na walu
dohot tu raja na opatpulu opat”
Gondang Somba tu Inang Tolam Banua, tu Inang Boru Pormaliman,
Inang Siboru Pinahot.
Gondang somba tu Sahala Sanumpahi Sahala Panolongi
Gondang Somba tu Boru Saneang Naga Parmual Sitiotio, tu Raja
Hasahatan Raja Hatorusan
Gondang Hasurungan ni Uras sohaliapan Uras sohalipurpuran
Gondang Tomu tomu tu Pargantang paniangi parhatiam pamulori
Gondang Sitio tio Hasahatan
Gondang diminta panitangi secara berurutan untuk memangil tondi yang
gelarnya disebut didalam kata yang diucapkan panitangi. Sama seperti pajonjong
sahala ina gondang tetap dimintakan oleh panitangi jika belum ada terlihat tand
datangnya tondi sahala ama ditengah-tengah pelaksanaan ritual. Hadirnya tondi
dari sahala ama memulai dialog antara ama yang sedang “rasuki” oleh tondi
sahala ama dengan para peserta ritual. Di dalam dialog yang terjadi diantara
peserta ritual dan tondi sahala sering terjadi adanya permitaan gondang oleh tondi
na marsahala. Gondang permintaan sahala tondi yang dimainkan oleh pargonsi
sering memicu keadaan trance berantai dari para penganut ugamo malim bahkan
warga sekitar yang menyaksikan pelaksanaan ritual secara lansung.
Berdasarkan pengamatan penulis dan teori fungsi musik yang diutarakan
oleh Alan P. Merriam penulis melihat ada beberapa fungsi dari gondang
sabangunan pada prosesi pajonjong sahala ama, sebagai berikut:
Fungsi komunikasi, sama seperti pajonjong sahala ina dalam
pajonjong sahala ama fungsi komunikasi merupakan yang paling
utama dan terlihat jelas dalam konteks prosesi ritual, setiap gondang
yang dimintakan pada dasarnya untuk menjalin komunikasi dengan
dimensi spiritual.
Fungsi perlambangan tampak dari gondang hasurungan uras
sohalipan uras sohalipurpuran yang melambangkan penganut ajaran
ugamo malim na jumanghon uras.
Fungsi reaksi jasmani juga terlihat jelas dari gerakan tortor yang
mengikuti irama dari gondang sabangunan.
4.10 Manggohi Ulaon Sian Ulu Punguan
Manggohi ulaon merupakan akhir dari pelaksanaan ritual gondang
sapotang yang ditandai dengan hata panggohan dari Ulu punguan dan bunyi
gondang sabangunan. Pada pelaksanaannya terlebih dahulu Ulu punguan yang
merupakan partamiang mengucapkan hata panggohan berisi semua tata aturan
pelaksanaan dri ritual gondang sapotang telah terpenuhi. Setelah ulu punguan
selesai marhata selanjutnya meminta kepada pargonsi untuk memenuhi dan
mengakhiri ritual dengan memainkan gondang sabangunan.
Untuk memenuhi akhir dari pelaksanaan ritual pargonsi memainkan tiga
potongan komposisi gondang sabangunan yaitu:
Gondang somba tu Mulajadi na bolon.
Gondang Sitiotio Hasahatan.
Gondang Simonang monang.
Gondang yang pertama dimainkan adalah gondang somba tu Mula jadi na
bolon. Hal ini merupakan bentuk penghormatan kepada Mulajadi na bolon yang
dipercaya sebagai awal dan sumber dari segalanya di alam semesta ini.
Selanjutnya dimainkan godang sitiotio hasahatan bertujuan agar semua
permintaan yang telah dimintakan tetap sebersih dan sampai kepada para tondi na
marsahala. Setelah gondang sitiotio hasahatan dimainkan pargonsi melajutkan
dengan memainkan gondang simonang monang. Tujuan dimainkannya gondang
simonang monang adalah sebagai tanda ritual telah terlaksana sepenuhnya yang
menimbulkan rasa kemenangan atau suka cita bagi penganut ugamo malim
najumanghon uras.
Adapun fungsi gondang sabangunan yang terdapat pada prosesi terakhir
ini adalah:
Fungsi pengesahan lembaga sosial merupakan fungsi pokok dari
dimainkannya gondang sabangunan yang bertujuan untuk memenuhi
ritual, dimainkannya gondang sabangunan menyatakan bahwa
sepenuhnya ritual telah sah dilaksanakan sesuai dengan struktur dan nilai
yang menjalin interaksi diantara para pengikut ugamo malim na
jumanghon uras.
4.11 Fungsi Gondang Sabangunan dalam ritual Gondang Sapotang
Berdasarkan penjabaran yang telah penulis lampirkan pada pembahasan
sebelumnya, fungsi yang terdapat dari gondang sabangunan dalam ritual gondang
sapotang secara keseluruhan adalah:
Fungsi pengungkapan emosional.
Fungsi pengungkapan estetika.
Fungsi hiburan.
Fungsi komunikasi.
Fungsi perlambangan.
Fungsi reaksi jasmani.
Fungsi yang berkaitan dengan norma sosial.
Fungsi pengesahan lembaga sosial.
Fungsi kesinambungan kebudayaan.
Fungsi pengintegrasian masyarakat.
Seluruh fungsi musik oleh Alan P. Meriam terdapat dalam gondang
sabangunan yang dimainkan pada saat ritual gondang sapotang. Namun pada
dasarnya seluruh fungsi tersebut saling berintergritas dan memiliki korelasi yang
erat, sebab suatu fungsi diakibatkan oleh fungsi yang lain dan pada akhirnya juga
menjadi sebab dari fungsi yang lainnya.
BAB V
TRANSKRIPSI DAN ANALISIS STRUKTUR MUSIK TAGANING PADA
GONDANG SABANGUNAN DALAM REPERTOAR GONDANG SOMBA
PADA RITUAL GONDANG SAPOTANG
5.1 Transkripsi
Transkripsi merupakan suatu usaha atau kegiatan untuk mentransmisikan
bunyi musik kedalam bentuk visual atau notasi yang dapat dibaca, atau dengan
kata lain suatu transmisi dari dimensi pendengaran ke dimensi penglihatan. Pada
dasarnya proses mentransmisikan bunyi dalam hal ini musik ke dalam bentuk
visual bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk serta struktur dari musik
yang sedang diteliti serta untuk memberi gambaran kepada pembaca mengenai
informasi musikal yang dimiliki suatu kebudayaan.
Gondang somba merupakan repertoar yang dimainkan untuk mewakili
konteks upacara marsomba dalam pelaksanaan ritual gondang sapotang. Pada
dasarnya repertoar gondang somba merupakan ungkapan doa serta pujian yang
ditujukan kepada figure-figure keillahian yang dipercaya keberadaan serta
kuasanya di dalam Ugamo Malim Najumanghon Uras. Adapun figure-figure
keillahian tersebut adalah sebagai berikut:
1. Debata Mulajadi na bolon;
2. Debata na Tolu, terdiri dari Batara guru, Bane Sori, Bale Bulan;
3. Si Boru Deak parujar;
4. Sisingamangaraja;
5. Bautan ni tano, terdiri dari Tuan Saribu Raja, Martua Raja Rum,
Martua Raja Sinambur;
6. Raja Parhabinsaran;
7. Ina na Mailiu Bulung, terdiri dari Si Boru Tolam Banua, Si Boru
Pormaliman, Si Boru Pinahot;
8. Raja Panumpahi Raja Panolongi;
9. Boru Saneang Naga;
10. Raja Hasahatan (Raja Hatorusan).
Gondang Somba dimainkan secara berurutan sesuai dengan urutan yang
penulis jabarkan, di dalam pelaksanaan tahapan gondang somba gondang Boru
Saneang Naga dan Raja Hasahatan (Raja Hatorusan) digabung menjadi satu
komposisi gondang.
Seperti yang telah penulis jabarkan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa
masing-masing gendang yang menyusun taganing mereprentasikan masing-
masing dari figure keillahian yang dipercaya di dalam ugamo malim najumanghon
uras. Berdasarkan hal tersebut ketika gondang dimainkan partaganing hanya
memainkan taganing dengan teknik mangodap-odapi, yaitu teknik pukulan
tangan kiri sebagai pembawa pola tetap yang mengikuti ritme doal dan hesek
dengan memukul sisi taganing dan membrane (penentu tempo), sedangkan tangan
kanan memainkan pola ritem variable dengan penekanan pukulan pada salah satu
gendang penyusun taganing. Dalam pembahasan transkripsi penulis menekankan
kepada keseluruhan komposisi gondang yang terdapat di dalam repetoar gondang
somba, hal ini untuk melihat bagaimana struktur pola mangodap-odapi pada
masing-masing komposisi gondang yang terdapat di dalam repertoar gondang
somba.
5.1.1 Metode Transkripsi
Pada dasarnya transkripsi di dalam studi etnomusikologi bertujuan untuk
mendeskripsikan bentuk dari musik yang dijadikan sebagai subjek utama dalam
suatu penelitian. Adapun tujuan dari pendeskripsian tersebut adalah untuk melihat
bagaimana struktur dari elemen-elemen yang membangun musik tersebut. Dengan
melihat elemen yang membentuk struktur dari suatu musik diharapkan mampu
didapat informasi penting mengenai suatu kebudayaan.
Beragam pendekatan yang telah dilakukan untuk mendeskripsikan musik
di dalam studi etnomusikologi, diantaranya seperti yang diutarakan oleh Bruno
Netll: 1. Kita dapat menganalisis dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, dan
2. Dengan beberapa cara kita dapat menuliskan dan mendeskripsikan apa yang
kita lihat. (2012, Terjemahan: 96). Dalam pembahan pada tulisan yang sama Netll
mengutip pernyataan Charles Seeger yang mengatakan bahwa terdapat dua notasi
musik berdasarkan tujuannya. Adapun yang dimaksud adalah notasi preskiptif dan
notasi deskriptif (2012, Terjemahan: 97). Notasi preskriptif pada dasarnya
digunakan dengan tujuan sebagai pengingat bagi pemusik dalam suatu
pertunjukan, dalam notasi preskriptif hanya melampirkan bagian-bagian penting
bagi pemusik, sedangkan notasi deskriptif bertujuan untuk memberikan informasi
kepada pembaca tentang karakteristik-karakteristik serta detail dari dari sebuah
komposisi yang belum diketahui oleh pembaca. Dengan demikian Penulis
menekankan kepada penggunaan notasi deskriptif dengan memfokuskan kepada
penotasian transkripsis struktur taganing.
5.1.2 Transkripsi dan Sistem Notasi Taganing
Seperti yang telah penulis jelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwa
permainan taganing dalam konteks ritual gondang sapotang dimainkan dengan
cara mangodap-odapi. Yaitu teknik pukulan tangan kiri sebagai pembawa pola
tetap yang mengikuti ritme doal dan hesek dengan memukul sisi taganing dan
membrane (penentu tempo), sedangkan tangan kanan memainkan pola ritem
variable dengan penekanan pukulan pada salah satu gendang penyusun taganing.
Penulis menyimpulkan bahwa terdapat pembagian diantara tangan kanan dan
tangan kiri, pembagian tersebut menentukan fungsi dari kedua tangan
partaganing.
Selain pembagian tangan kanan dan tangan kiri, dalam permainan
taganing juga terdapat beberapa teknik untuk menghasilkan bunyi diantaranya:
1. Bunyi yang dihasilkan melalui pukulan pada membran taganing;
2. Bunyi yang dihasilkan melalui pukulan pada sisi taganing;
3. Teknik memukul membran dengan menyandarkan pemukul pada membran
taganing, sehingga bunyi yang dihasilkan relative lebih singkat;
4. Teknik memukul stik pada tangan kiri yang disandarkan pada membran
taganing, sehingga terdengar perpaduan antara bunyi membran dan stik.
Teknik tersebut penulis manifestasikan dalam beberapa simbol di dalam
notasi. Berikut ini gambar dari sistem penotasian dan teknik permainan taganing.
Notasi 5.1: Contoh sistem notasi pada Taganing
Keterangan posisi serta notasi pada saat taganing dimainkan:
1. Tingting.
2. Bagian Sisi Paidua tingting.
3. Paidua Tingting.
4. Paitonga.
5. Bagian Sisi Odap.
6. Teknik memukul Odap dengan menyandarkan stik pada membrane.
7. Odap.
8. Paidua Gordang.
9. Gordang.
10. Bagian Sisi Gordang.
11. Teknik memukul Gordang dengan menyandarkan stik pada membrane.
12. Teknik memukul stik pada tangan kiri yang disandarkan pada
membrane taganing (Gordang).
Notasi 5.2: Pola Mangodapi Gondang Somba tu Debata Mulajadi na Bolon
148
Notasi 5.3: Pola Mangodapi Gondang Somba tu Debata na Tolu
162
Notasi 5.4: Pola Mangodapi Gondang Somba tu Si Boru Deak Parujar
160
Notasi 5.5: Pola Mangodapi Gondang Somba tu Sisingamangaraja
e\
164
wewe
Notasi 5.6: Pola Mangodapi Gondang Somba tu Bauntanni tano
160
Notasi 5.7: Pola Mangodapi Gondang Somba tu Bauntanni tano
Notasi 5.8: Pola Mangodapi Gondang Somba tu Raja Parhabinsaran
160
Notasi 5.9: Pola Mangodapi Gondang Somba tu Raja Parhabinsar
Notasi 5.10: Pola Mangodapi Gondang Somba tu Boru Tolam Banua, Pormaliman, Pinahot
Notasi 5.11: Pola Mangodapi Gondang Somba tu Boru Tolam Banua, Pormaliman, Pinahot
Notasi 5.12: Pola Mangodapi Gondang Somba tu Raja Panumpahi Raja Panolongi
160
Notasi 5.13: Pola Mangodapi Gondang Somba tu Raja Panumpahi, Raja Panolongi
Notasi 5.14: Pola Mangodapi Gondang Somba tu Boru Saneang Naga, Raja Hasahatan
5.2 Analisis Struktur Musik Taganing dalam Repertoar Gondang Somba
5.2.1 Metode Analisis
Menganalisis suatu musik bertujuan untuk mengetahui struktur serta
elemen-elemen yang membangun musik tersebut. Hasil dari analisis kemudian
dideskripsikan secara abstrak atau dengan memvisualisasikannya ke dalam suatu
bentuk simbol, dengan maksud dicapai suatu pemahaman yang untuh terhadap
musik tersebut. Setidaknya terdapat tiga pendekatan dalam mendeskripsikan
musik. Ketiga pendekatan ini ialah 1. Pendekatan Sistematis; 2. Pendekatan
Intuitif; 3. Pendekatan Selektif (Bruno Netll, 2012 Terjemahan: 133).
Pendekatan sistematis pada dasarnya menganalisis serta mendeskripsikan
secara keseluruhan suatu komposisi musi. Hal ini disebabkan adanya anggapan
bahwa tiap aspek dari komposisi musik memiliki kesamaan sehingga
dikategorikan sebagai sebuah unit. Pendekatan intuitif dilakukan dengan
mengidentifikasi aspek paling penting dari sebuah komposisi musik. Berdasarkan
fokus terhadap pernyataan yang diterima dari pemilik kebudayaan tersebut.
Pendekatan selektif merupakan suatu pendekatan yang tidak berupaya
menjabarkan suatu komposisi musik secara total atau utuh, hanya menganalisa
suatu atau sekelompok aspek yang saling berkaitan sebab ada asumsi bahwa aspek
tertentu dari musik tersebut lebih mendasar dari pada aspek lain.
Didalam pembahasan ini penulis menggunakan pendekatan intuitif yang
dipadu dengan pendekatan selektif. Dengan demikian, dalam pembahasan ini
penulis mencoba menguraikan musik serta mereduksi kedalam bagian-bagian
terkecil meliputi: 1. Tempo; 2. Meter; 3. Mencatat berbagai nilai not kemudian
mendeskripsikan fungsi dari nilai not tersebut. Hal ini bertujuan untuk melihat
bentuk dari struktur yang membangun musik tersebut.
5.2.1.1 Tempo
Terdapat sembilan komposisi gondang di dalam repertoar gondang somba,
kesembilan gondang tersebut tidak dimainkan secara utuh, sebab di dalam
gondang somba tiap gondang selain memiliki fungsi implisit di dalamnya juga
memiliki kegunaan sebagai pengiring dari tortor somba, dengan demikian jika
tortor selesai dilakukan secara otomatis gondang juga selesai dimainkan.
Berdasarkan hal tersebut, durasi dari gondang yang dimainkan relatif singkat.
Bruno Netll di dalam tulisannya mengutip metode dari Kolinski dan
Cristensen dalam menentukan tempo suatu komposisi musik mereka menjadikan
jumlah ketukan dasar di dalam satu menit (60 detik) dari suatu komposisi sebagai
tempo rata-rata dari suatu komposisi musikal (Netll, terjemahan 2012: 145). Tetap
durasi tiap komposisi yang terdapat di dalam repertoar gondang somba secara
keseluruhan tidak dimainkan selama satu menit. Dengan demikian penulis
menghitung jumlah ketukan dasar di dalam durasi 30 detik yang merupakan
setengah dari satu menit (60 detik), lalu mengkali dua tiap ketukan dasar tersebut
agar terdapat hitungan penuh dalam satu menit (60 detik). Sebagai contoh, jika di
dalam 30 detik terdapat 74 ketukan dasar, maka ketukan tersebut dikali dua
(74×2= 148), dengan metode seperti itu dapat diketahui bahwa tempo dari
komposisi tersebut adalah ± 148 M.M. Namun, terdapat pengecualian didalam
komposisi gondang somba tu Boru Saneang naga, Raja Hasahatan. Penulis
melakukan pengkalian sebanyak empat perkalian hal ini disebabkan durasi
gondang saat dimainkan tidak mencapai 30 detik.
Berikut ini daftar dari durasi waktu serta tempo dari tiap komposisi gondang
di dalam repertoar gondang somba:
Tabel 5.1: Daftar Tempo Repertoar Gondang Somba
No Gondang Somba tu Durasi Jumlah
Ketukan
(30 detik)
Perkalian Tempo (M.M)
1. Debata Mulajadi
na Bolon
32 detik 74 Ketuk 74×2=148 ± 148 M.M
2 Debata na Tolu 39 detik 81 Ketuk 81×2=162 ± 162 M.M
3 Boru Deak
Parujar
35 detik 80 Ketuk 80×2=160 ± 160 M.M
4 Sisingamangaraja 34 detik 82 Ketuk 82×2=164 ± 164 M.M
5 Tuan Sariburaja,
Raja Rum, Raja
Sinambur
51 detik 80 Ketuk 80×2=160 ± 160 M.M
6 Raja
Parhabinsaran
41 detik 80 Ketuk 80×2=160 ± 160 M.M
7 Si Boru tolam
Banua, Boru
Pormaliman, Boru
Pinahot
41 detik 79 Ketuk 79×2=158 ± 158 M.M
8 Raja Panolongi 40 detik 83 Ketuk 83×2=166 ± 166 M.M
9 Boru Sanean
Naga, Raja
Hasahatan
27 detik 86 Ketuk 86×4=172 ± 172 M.M
Jika diperhatikan pada tabel, rata-rata dari tempo gondang berkisar
diantara 160 M.M, terlihat adanya suatu intensitas peningkatan dari tempo tiap
gondang.
5.2.1.2 Meter
Meter merupakan unit ketukan dasar yang terdiri dari aksentuasi pukulan
lemah dan kuat yang menjadi patokan pola pengulangan di dalam suatu
pertunjukan musik. Ketukan dasar yang terdiri dari aksentuasi tersebut dapat
dirangkum dalam beberapa variasi, diantarnya 2/4, 4/4, 3/4, dan seterusnya.
Setidaknya terdapat beragam meter yang digunakan dalam komposisi musical,
diantaranya dapat dibagi menjadi tiga yakni: 1. Bercirikan satu satuan meter yang
diulang-ulang tanpa diselingi meter yang lain, disebut dengan isometric; 2.
Memiliki satu satuan meter yang banyak diulangi namun terkadang diselingi
satuan meter yang lain, disebut dengan heterometric; 3. Tidak memiliki pola
meter, disebut freemetric.
Salah satu cara untuk menentukan pola meter yang terdapat pada gondang
sabangunan adalah dengan mengamati siklus pengulangan ogung, terutama pola
dari ogung oloan dan ihutan. Ogung oloan selalu dimainkan pada ketukan
pertama dari suatu komposisi, frekuensi getaran dari ogung oloan semakin
menipis mendekati ketukan ketiga, sedangkan ogung ihutan selalu berbunyi pada
ketukan ketiga dan semakin menipis frekuensi dari getarannya pada ketukan
keempat. Berikut ini gambar yang memvisualisasikan pola dari siklus permainan
ogung.
Notasi 5.15: Pola Siklus Ogung
Jika diperhatikan pada notasi di atas jelas terlihat pola pengulangan yang
sama pada setiap bar, hal ini menunjukkan bahwa meter yang terdapat dalam
gondang sabangunan hanya memiliki satu jenis meter atau dapat disebut
isometric.
5.2.1.3 Motif dan Pola Ritem dalam Repertoar Gondang Somba
Berikut ini motif dan pola ritem yang terdapat dalam repertoar gondang
somba. Penulis membagi tiap pembahasan kepada pembagian motif tangan kiri
dan kanan hal ini disebabkan penggunaan tangan kiri dan kanan yang berbeda
pada permainan gondang.
5.2.1.3.1 Gondang Somba tu Debata Mulajadi na Bolon
Motif yang dimainkan tangan kiri
Tabel 5.2: Motif Pada Tangan Kiri Gondang Somba Tu Mulajadi na Bolon
No Motif Bar Keterangan
1
1-3 Pembuka
2
4 Pembuka
3
5-17 Ritem Konstan
4
18-19 Penutup
Motif yang dimainkan tangan kanan
Tabel 5.3: Motif Pada Tangan Kanan Gondang Somba Tu Mulajadi na Bolon
No Motif Bar Keterangan
1
1-3 Pembuka
2
4 Pembuka
3
5-8 Ritem Variasi
4
9 Ritem Variasi
5
10-12 Ritem Variasi
6
13-14 Ritem Variasi
7
15-16 Ritem Variasi
8
18-19 Penutup
5.2.1.3.2 Gondang Somba tu Debata na Tolu
Motif yang dimainkan Tangan kiri.
Tabel 5.4: Motif Pada Tangan Kiri Gondang Somba Tu Debata na Tolu No Motif Bar Keterangan
1
1-3 Pembuka
2
4-24 Ritem Konstan
3
24-25 Penutup
Motif yang dimainkan tangan kanan.
Tabel 5.5: Motif Pada Tangan Kanan Gondang Somba tu Debata na Tolu
No Motif Bar Keterangan
1
1-2 Pembuka
2
3 Pembuka
3
4 Ritem Variasi
4
5-6 Ritem Variasi
5
7-8 Ritem Variasi
6
9 Ritem Variasi
7
10-12, 23 Ritem Variasi
8
13-16 Ritem Variasi
9
17-20 Ritem Variasi
10
21 Ritem Variasi
11
24-26 Penutup
5.2.1.3.3 Gondang Somba tu Si Boru Deak Parujar
Motif yang dimainkan Tangan Kiri
Tabel 5.6: Motif Pada Tangan Kiri Gondang Somba Tu Siboru Deak Parujar No Motif Bar Keterangan
1
1-2 Pembuka
2
3 Pembuka
3
4-22 Ritem Konstan
4
23-24 Penutup
Motif yang dimainkan tangan kanan
Tabel 5.7: Motif Pada Tangan Kanan Gondang Somba tu Siboru Deak Parujar No Motif Bar Keterangan
1
1-2 Pembuka
2
3-13 Ritem Variasi
3
14 Ritem Variasi
4
15 Ritem Variasi
5
16-17 Ritem Variasi
6
18-22 Ritem Variasi
7
23-24 Penutup
5.2.1.3.4 Gondang Somba tu Sisingamangaraja
Motif yang dimainkan tangan kiri
Tabel 5.8: Motif Pada Tangan Kiri Gondang Somba tu Sisingamangaraja No Motif Bar Keterangan
1
1-3 Pembuka
2
4-19
Ritem Konstan
3
21 Penutup
4
22-23 Penutup
Motif yang dimainkan tangan kanan
Tabel 5.9: Motif pada tangan kanan gondang somba tu Sisingamangaraja No Motif Bar Keterangan
1
1-2 Pembuka
2
3 Pembuka
3
4 Ritem Variasi
4
5 Ritem Variasi
5
6 Ritem Variasi
6
7-8 Ritem Variasi
7
9, 17
Ritem Variasi
8
10 Ritem Variasi
9
11-12 Ritem Variasi
10
13 Ritem Variasi
11
14 Ritem Variasi
12
15 Ritem Variasi
13
16 Ritem Variasi
14
18 Ritem Variasi
15
19-20 Ritem Variasi
16
21 Penutup
17
22 Penutup
5.2.1.3.5 Gondang Somba tu Tuan Saribu Raja, Martua Raja Rum,
Raja Sinambur
Motif yang dimainkan tangan kiri
Tabel 5.10: Motif pada tangan kiri Gondang Somba tu Bautan ni Tano No Motif Bar Keterangan
1
1 Pembuka
2
2 Pembuka
3
3 Pembuka
4
4 Ritem Variasi
5
5 Ritem Variasi
6
7-8 Ritem Variasi
7
9-10
20-22
Ritem Variasi
8
11-14 Ritem Variasi
9
15-19 Ritem Variasi
10
23-32 Ritem Variasi
11
33 Penutup
12
34 Penutup
Motif yang dimainkan tangan Kanan
Tabel 5.11: Motif pada tangan kanan gondang somba tu Bautan ni Tano
No Motif Bar Keterangan
1
1 Pembuka
2
2 Pembuka
3
3 Pembuka
4
4-5 Ritem Variasi
5
6-7 Ritem Variasi
6
8-13 Ritem Variasi
7
14-15
17-18
Ritem Variasi
8
16 Ritem Variasi
9
19-21 Ritem Variasi
10
22 Ritem Variasi
11
23-31 Ritem Variasi
12
32 Ritem Variasi
13
33 Penutup
5.2.1.3.6 Gondang Somba tu Raja Parhabinsaran
Motif yang dimainkan tangan Kiri
Tabel 5.12: Motif pada tangan kiri Gondang Somba tu Raja Parhabinsaran No Motif Bar Keterangan
1
1-2 Pembuka
2
3 Pembuka
3
4-26 Ritem Konstan
4
27 Ritem Variasi
5
28 Penutup
Motif yang dimainkan tangan Kanan
Tabel 5.13: Motif pada tangan kanan Gondang Somba Tu Raja Parhabinsaran No Motif Bar Keterangan
1
1-2 Pembuka
2
3, 20 Pembuka
3
4 Ritem Variasi
4
5 Ritem Variasi
5
6 Ritem Variasi
6
7 Ritem Variasi
7
8-9 Ritem Variasi
8
10-14 Ritem Variasi
9
15,
19-26
Ritem Variasi
10
16 Ritem Variasi
11
17 Ritem Variasi
12
18 Ritem Variasi
13
27-28 Penutup
5.2.1.3.7 Gondang Somba tu Boru Tolam Banua, Boru Pormaliman,
Boru Pinahot
Motif yang dimainkan pada tangan kiri
Tabel 5.14: Motif pada tangan kiri gondang somba tu Ina na Mailiubulung No Motif Bar Keterangan
1
1-2 Pembuka
2
3 Pembuka
3
4-25 Ritem Variasi
4
26-27 Penutup
Motif yang dimainkan pada tangan kanan
Tabel 5.15: Motif pada tangan kanan Gondang Somba Ina na Mailiubulung No Motif Bar Keterangan
1
1-2 Pembuka
2
3 Pembuka
3
4 Ritem Variasi
4
5-25 Ritem Variasi
5
26 Penutup
6
27-28 Penutup
5.2.1.3.8 Gondang Somba tu Raja Panumpahi Raja Panolongi
Motif yang dimainkan pada tangan kiri
Tabel 5.16: Motif Pada Tangan kiri gondang somba tu Raja Panumpahi No Motif Bar Keterangan
1
1-2 Pembuka
2
3 Pembuka
3
4-5 Ritem Variasi
4
6 Ritem Variasi
5
7-11 Ritem Variasi
6
12-25 Ritem Variasi
7
26 Penutup
8
27 Penutup
Motif yang dimainkan pada tangan kanan
Tabel 5.17: Motif pada tangan kiri gondang somba tu Raja Panumpahi No Tempo Bar Keterangan
1
2 Pembuka
2
3 Pembuka
3
4-5 Ritem Variasi
4
6-8 Ritem Variasi
5
9-11 Ritem Variasi
6
11-20
23-25
Ritem Variasi
7
21-22 Ritem Variasi
8
26 Penutup
9
27 Penutup
5.2.1.3.9 Gondang Somba tu Boru Saneang Naga, Raja Hasahatan
Motif yang dimainkan pada tangan kiri
Tabel 5.18: Motif tangan kiri gondang somba Boru Saneang Naga, Hasahatan No Motif Bar Keterangan
1
1-5 Pembuka
2
6-15 Ritem Variasi
3
16 Penutup
Motif yang dimainkan pada tangan Kanan
Tabel 5.19: Motif Tangan Kanan Gondang Somba Boru Saneang Naga,
Hasahatan No Motif Bar Keterangan
1
1-4 Pembuka
2
5 Ritem Variasi
3
6-11 Ritem Variasi
4
12-14 Ritem Variasi
5
15 Ritem Variasi
6
16 Penutup
7
17 Penutup
Jika diperhatikan pada setiap tabel di atas terdapat pembagian fungsi pada
tangan kanan serta tangan kiri dalam permainan taganing. Tangan kiri memiliki
fungsi sebagai pengatur pulsa dasar dari permainan taganing. Hal ini ditandai
dengan panjangnya durasi dari ritem konstan yang dimainkan dalam sertiap
komposisi gondang dalam permainan taganing tersebut. Sedangkan tangan kanan
berfungsi sebagai pengisi aksentuasi-aksentuasi ritmis dalam permainan taganing,
hal ini ditandai dengan bergamnya pola ritem variasi yang terdapat pada masing-
masing komposisi gondang pada repertoar gondang somba.
Pada dasarnya setiap gondang terdiri dari 4 bentuk yaitu: 1. Pembuka; 2.
Ritem konstan; 3. Ritem variasi; dan 4. Penutup. Pembuka selalu dimainkan
secara bersamaan antara tangan kiri dan kanan. Kedua, merupakan bagian yang
secara dominan dimainkan pada tangan kiri yaitu bagian ritem konstan. Ketiga,
bagian yang terdiri dari berbagai ritem variasi, merupakan pola ritem yang
dimainkan secara dominan dengan tekanan pukulan yang berubah-ubah untuk
mengiringi jalannya ritual. Keempat, bagian penutup dominan dimainkan pada
tingting, dengan menggunakan kedua tangan serta durasi permainan yang relative
singkat
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian penulis menemukan kesimpulan dari pokok
permasalahan utama dalam penelitian ini. Penjelasan dari pokok permasalahan
telah penulis jelaskan pada setiap bab pembahasan dalam tulisan ini yang terdiri
atas bab I, bab II, bab III, bab IV, bab V. Dalam pembahasan bab VI ini penulis
menjelaskan kembali secara singkat pembahasan pada bab-bab sebelumnya
sebagai kesimpulan utama dari penelitian ini.
Dalam masyarakat Parmalim Najumanghon Uras terdapat dua garis besar
pelaksanaan ritual gondang yang didasarkan pada perputaran waktu, yakni ritual
yang dilaksanakan saat pagi menjelang siang hari dan ritual yang dilaksankan
pada sore menjelang malam hari. Ritual yang dilaksanakan pada pagi hari
dinamakan Ulaon Mardebata sedangkan ritual pada malam hari disebut dengan
Ulaon Gondang Sapotang—disebut juga dengan Ulaon Gondang Saborngin,
Gondang Sabodari.
Gondang sapotang merupakan suatu ritual alternatif yang dilaksanakan
berdasarkan berbagai konteks. Ritual gondang sapotang dalam tulisan ini
pelaksanaannya dilatarbelakangi musyawarah kolektif diantara penganut Ugamo
Malim Najumanghon Uras yang disebut sebagai Ulaon Manggurgur Uras. Selain
itu, berdasarkan pokok permasalahan yang ditetapkan pada bab I tulisan ini,
mengenai tahapan makna ritual gondang sapotang dan fungsi dari gondang
sabangunan di dalam pelaksanaan ritual. Dalam kesimpulan ini penulis
menguraikan secara umum bagaimana tahapan dan makna ritual, fungsi dari
gondang sabangunan pada pelaksanaan ritual gondang sapotang, dan struktur dari
pola mangodap-odapi taganing.
1) Dari sisi pelaksanaan upacara, gondang sapotang terdiri dari sebelas
tahapan upacara, yaitu: Tahapan 1. Parrungguhon, pemberitahuan akan
dimulainya ritual, ditandai dengan dimainkannya seperangkat Ogung dan
sebuah taganing; 2. Marindahan na alas dohot marmual sitiotio, makan
bersama sebelum ritual dilaksankan; 3. Mangarudangi merupakan tahapan
untuk mempersiapkan segala jenis persembahan yang digunakan di dalam
pelaksanaan ritual; 4. Panakokhon pelean merupakan tahapan meletak
setiap jenis dari persembahan ke tempatnya masing-masing yaitu sokkor
pogang dan mombang sipitu-pitu untuk dipersembahkan kepada figure
spiritual; 5. Paniaran Ina merupaka tahapan pihak ibu mempersembahkan
tortor; 6. Paniaran Ama merupaka tahapan pihak bapak menyampaikan
doa kepada Sang Pencipta; 7. Tortor Hombar Balok merupaka pemberian
kesempatan kepada sesama penganut Ugamo Malim yang masih dalam
satu afiliasi tetapi berbeda ruas atau wilayah agar manortor; 8. Joujou tu
Natuatuani huta merupakan suatu pemberian hormat kepada orang tua
yang berada di tempat tersebut untuk manortor; 9 Maradi merupakan
waktu beristirahat sesaat; 10. Pajonjong Sahala, yang terdiri dari dua
bagian yakni, pajonjong sahala ina dan pajonjong sahala ama merupakan
salah satu dari tahapan ritual yang terpenting, hal ini disebabkan pada saat
tahapan dijalin suatu komunikasi aktif dengan dimensi spiritual; 11.
Manggohi Ulaon Sian Ulu Punguan merupakan akhir dan pemenuhan dari
pelaksanaan ritual, ditandai dengan pengucapan kata oleh Ulu punguan
dan diakhiri dengan dimainkannya gondang sabangunan.
2) Dari segi repertoar pada pelaksanaan ritual gondang sapotang penulis
memperoleh hasil sebagai berikut: Terdapat beberapa repertoar gondang
yang mewakili konteks dari pelaksanaan tahapan ritual tersebut, yakni 1.
Repertoar Gondang Parrungguhon; 2. Repertoar Gondang
Mangarudangi; 3. Repertoar Gondang Paniaran Ina; 4. Repertoar
Gondang Paniaran Ama, meliputi repertoar gondang Alu-alu, repertoar
gondang Somba, repertoar gondang Adat; 5. Repertoar Gondang
Pajonjong sahala Ina; 6. Repertoar Gondang Pajonjong Sahala Ama; 7.
Repertoar Gondang Manggohi Ulaon.
3) Dari segi fungsi gondang sabangunan dalam pelaksanaan ritual gondang
sapotang. Selain berguna sebagai pengiring jalannya ritual, gondang
sabangunan dalam hal ini, repertoar dan komposisi yang terkandung di
dalamnya memiliki fungsi yang terlihat secara implisit dan eksplist. Secara
eksplisit fungsi dari gondang sabangunan terlihat lansung didalam
jalannya ritual, yakni 1. Gerakan jasmani mengikuti irama dari permainan
gondang sabangunan; 2. Adanya suatu integritas saat berkumpulnya
masyarakat pada pelaksanaan ritual; 3. Berkumpulnya masyarakat
disekitar pelaksanaan ritual untuk menyaksikan permainan gondang
sabangunan dan pelaksanaan ritual secara lansung; 4. Terjalinnya suatu
komunikasi diantara para penganut Ugamo Malim Najumanhon Uras yang
berkumpul di tempat pelaksanaan ritual ketika Ogung serta taganing
dibunyikan. Secara implisit fungsi dari gondang sabangunan terdapat
dalam konteks dimainkannya gondang tersebut dalam tahapan ritual. Hal
ini disebabkan sebelum sebuah komposisi gondang dimainkan terlebih
dahulu kata diucapkan untuk meminta gondang tersebut. Dalam kata yang
diucapkan untuk meminta gondang tersebut tersimpul erat harapan dari
sipeminta gondang. Adapun dalam kata yang diucapkan terkandung rasa
emosional, norma sosial, ungkapan estetika, serta harapan kepada
keturunannya agar tetap melaksanakan suatu ritual untuk menyembah
Debata Mulajadi na bolon. Gondang sabangunan melalui bunyi juga
instrumen yang terkandung di dalamnya melambangkan sesuatu, antara
lain kosmis, identitas gender serta indentitas kelompok.
4) Dari unsur musikal yang penulis kaji yakni struktur dari pola mangodap-
odapi taganing penulis memperoleh informasi sebagai berikut: 1.
Memainkan taganing dengan teknik mengodap-odapi disebabkan seluruh
gendang yang menyusun perangkat taganing merupakan manifestasi dari
figur-figur keillahian yang dipercaya di dalam Ugamo Malim
Najumanghon Uras; 2. Terdapat pembagian yang jelas antara penggunaan
tangan kanan dan tangan kiri, tangan kanan memainkan pola ritem variasi
sedangkan tangan kiri memainkan pola ritem konstan; 3. Meter yang
terdapat dalam struktur gondang sabangunan merupakan meter yang
disebut sebagai isometric, hal ini terlihat jelas dari siklus permainan
ogung; 4. Terdapat beragam motif yang membentuk struktur dari pola
mangodap-odapi yang dimainkan dengan beragam teknik pukulan, dan
dalam permainan taganing terlihat jelas teknik-teknik sticking tradisional
yang digunakan untuk membunyikan taganing.
5) Dari segi teks lisan yang diucapkan saat berlansungnya ritual dapat
dikatakan terdapat catatan penting dari perjalanan hidup suatu kelompok
masyarakat. Pengalaman dan sejarah pada akhirnya membentuk suatu pola
tingkahlaku yang bertujuan untuk memperingati, menjalankan, dan
meneruskan catatan tersebut kepada keturunan berikutnya.
Bedasarkan pada hasil penelitian yang objektif, dengan memaparkan
informasi yang penulis terima secara lansung ketika penelitian lapangan, dan
didasarkan kepada interpretasi objektif yang didukung dengan fakta di lapangan.
Penulis menyimpulkan bahwa gondang sapotang merupakan suatu ritual yang
pelaksanaannya masih belandaskan kepada tata aturan tradisonal masyarakat
Batak Toba yang di dalamnya terkandung nila-nila, norma yang kaya falsafah
kehidupan. Selain itu, terdapat beragam repertoar gondang yang digunakan sesuai
dengan konteks makna yang melatarbelakanginya. Dengan demikian pengetahuan
akan gondang serta konteks yang melatarbelakanginya masih hidup dalam
pelaksanaan gondang sapotang yang dilaksanakan Parmalim Najumanghon Uras.
6.2 Saran
Masyarakat tradisional nusantara terutama yang mempertahankan dan
menjalankan kehidupan tardisionalnya ada dan menjalankan kehidupan sehari-hari
berdasarkan nilai-nilai yang dianut dan dipercayainya. Namun, informasi
mengenai kehidupan serta kebudayaan mereka masih jauh dari sentuhan para
peneliti budaya. Banyak hal yang mengakibatkan kurangnya informasi mengenai
kehidupan budaya di nusantara, antaralain adanya kekurangan dalam publikasi
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, serta kurangnya minat membaca dan
menulis di masyarakat. Melihat pesat dan cepatnya pekembangan zaman yang
hampir menyentuh segala aspek kehidupan manusia, dan semakin mudahnya
segala informasi diperoleh, segala informasi tersebut dapat berpengaruh baik serta
sebaliknya bagi berkehidupan di masyarakat. Tentu ada indikasi bahwa
keterbukaan informasi mengakibatkan adanya tarik ulur saling mempengeruhi
diantara manusia, hal ini jelas menghawatirkan jika tarik ulur saling mempengruhi
tersebut membawa pengaruh tidak baik kepada manusia, yang dalam lingkup
besar berarti masyarakat, lebih khusus lagi masyarakat yang berbudaya. Jika hal
tersebut terjadi tentu dapat mengakibatkan terjadinya pergeseran nilai-nilai,
norma, serta falsafah yang dimiliki suatu kebudayaan, yang akan berdampak besar
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab di dalam kebudayaanlah secara
mutlak jati diri suatu bangsa ditemukan, dan bangsa bagaimankah yang tidak
memiliki jati diri? Bangsa yang besar merupakan bangsa yang menjunjung tinggi
budaya, nilai, serta kearifan lokal yang diwariskan nenek moyang dan leluhurnya.
Karya ilmiah berbentuk skripsi ini merupakan tulisan pertama dalam
keilmuan Etnomusikologi yang membahas penggunaan serta fungsi gondang
sabangunan pada masyarakat Malim Najumanghon Uras. Tentu penulis
menyadari banyaknya kekurangan dalam tulisan ini, dengan demikian penelitian
ini tidak akan berakhir hanya dalam pembahasan ini. Penulis juga mengharapkan
dengan sepenuh hati dan kembali mengajak kepada para peneliti berikutnya agar
mau terjun dan bekontribusi penuh dalam penelitian yang mengkaji nilai-nilai
kebudayaan.
Besar harapan penulis semoga karya ini memberi informasi yang positif
serta berguna bagi para pembaca, penggelut kebudayaan, serta bagi mereka yang
mengapresiasi tinggi kebudayaan serta ilmu pengetahuan. Semoga tulisan ini
menjadi khazanah bagi ilmu pengetahuan secara umum, khususnya disiplin
Etnomusikologi.
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, Gerpasius 1995 “Upacara gondang Saem di Desa Siboro: Suatu
Tinjauan Deskriptif Musikologis, Tekstual, Konteks dan Makna” Skripsi
Sarjana S-1 Etnomusikologi. Fakultas Sastra. Universitas Sumatera Utara.
Halliday, M.A.K, dan Ruqaiya Hasan. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Harahap, Irwansyah.2016. Hatani Debata. Medan: Semai.
Hutajulu, Rithaony dan Irwansyah Harahap. 2005. Gondang Batak Toba.
Bandung:
P4ST UPI.
HOHO.1994.Joting: Tradisi Seni Pertunjukan yang tinggal dalam kenangan.
Medan: Universitas Sumatera Utara.
Iskandar. 2009. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Gaung Persada.
Koentjaraningrat. 1984. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Gramedia.
---------------------1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.
--------------------- (Ed.). 1985. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Gramedia.
---------------------- 2005. Pengantar Antropologi I. Jakarta: Rineka Cipta.
----------------------. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Naiborhu, Torang. 2006. Gondang Hasapi: Fungsinya pada Upacara Ritual
Parmalim Sipaha Sada Batak Toba. Etnomusikologi, Jurnal Ilmu
Pengtahuan dan Seni. Medan.
Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. New York: The
Free
Press.
Nettl, Bruno. (Ed). 2012. Teori dan Metode Dalam Etnomusikologi. Papua:
Jayapura Center of Music.
Manurung, Restitawati.2007. Studi Deskriptif dan Musikologis Gondang
Sabagunan dalam upacara mardebata pada masyarakat Parmalim Huta
tinggi Laguboti di desa Siregar Kecamatan Lumban Julu Kabupaten Toba
Samosir. Skripsi Sarjana S-1 Etnomusikologi. Universitas Sumatera Utara.
Mandiri Solin, Surung. 2016. Analisis Fungsi dan Strutur Ritme Repetoar
Gendang
Mengkerboi Dalam Upacara Ncayur Ntua Masyarakat Pakpak di Desa
Natam Jehe, Kecamatan Kerajaan, Kabupaten Pakpak Bharat. Skripsi
SarjanaS-1 Etnomusikologi. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Sumatera
Utara
Merriam, Alan P. 1964. Anthropology of Music. Chicago: Northwestern
University
Press
Muchtar Ghazali, Adeng. 2011. Antropologi Agama. Bandung: Alfabeta
Saragih. Amrin. 2011. Semiotik Bahasa. - : -
Sianipar Mario King A.S. 2015 “Deskripsi Struktur dan fungsi music taganing
Pada repertoar sipitu gondang dalam ensambel gondang sabangunan
yang disajikan oleh Maningar Sitorus” Skripsi Sarjana S-1
Etnomusikologi. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Sumatera Utara
Supanggah, Rahayu.1995. Etnomusikologi. Yogyakarta: Yayasan Betang Budaya.
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : M. Simangunsong (Op. Jaya)
Alamat : Dusun Lobu Jior,desa Meranti Timur
Umur : -
Pekerjaan : Pargonsi, Petani
2. Nama : Ompung Lungguk Siahaan
Alamat : Desa Batu Mamak
Umur :-
Pekerjaan : Petani
3. Nama : Ama Murni Panjaitan
Alamat : Dusun Adian Baja, desa Meranti Timur
Umur :-
Pekerjaan : Petani
4. Nama : Runggu Simanjuntak
Alamat : Desa Tangga Batu Satu Sosorladang
Umur : 51 Tahun
Pekerjaan : Berdagang
LAMPIRAN I
Gambar 1: Gapura Desa Meranti Timur
Gambar 2 : Rumah Parsaktian Ugamo Malim Najumanghon Uras di desa Meranti Timur
Gambar 3: Sokkor Pogang
Gambar 4: Mombang Sipitupitu
Sumber: Hiskia Hutabarat
Gambar 5: Pandaupaan
Gambar 6: Pangurasan
Sumber: Penulis
Gambar 7: Amak
Sumber: Dokumentasi penulis
Gambar 8: Sige-sige
Gambar 9: Lampu Teplok
Sumber: Dokumentasi penulis
Gambar 10: Susunan Taganing dan Odap
Sumber: Dokumentasi Penulis
Gambar11: Sarune Bolon Saat Dimainkan Sumber: Dokumentasi Penulis
Gambar 12: Susunan Ogung
Gambar 3.13: Sitompion Sumber: Dokumentasi penulis
Gambar 14: Ihan
Sumber: Dokumentasi Penulis
Gambar 15: Manuk Lombingan
Sumber: Dokumentasi Penulis
Gambar 16: Itak
Gambar 17: TolorManuk
Gambar 18: Baringin
Gambar 19: Sugi-sugi Sumber: Dokumentasi Penulis
Gambar 20: Sanggul Banebane
Sumber: Hiskia Hutabarat
Gambar 21: Ranting ni demban Sumber: Hiskia Hutabarat
Gambar 22: Mage-mage ni Pinang
Gambar 23: Parbue
Sumber: Hiskia Hutabarat.
Gambar 24: Gantang Paniangi
Sumber: Hiskia Hutabarat
Gambar 25: Pakaian yang dikenakan pada saat ritual
Gambar 26: Proses Mangarudangi
Sumber: Hiskia Hutabarat
Gambar 27: Panakhok Pelean Somba
Sumber: Dokumentasi Penulis
Gambar 28: Paniaran Ina
Sumber: Dokumentasi Penulis
Gambar 29: Paniaran Ama
Sumber: Dokumentasi
Gambar 30: Pajonjong Sahala Ina
Sumber: Dokumentasi Penulis
Gambar 31: Panjonjong Sahala Ama
Sumber: Dokumentasi Penulis
Gambar.32: Manggohi Ulaon Sian Ulu Punguan
Sumber: Dokumentasi Penulis
Gambar 33: Atribut Ugamo Malim Najumanghon Uras
Sumber: Dokumentasi Penulis
Gambar 34: Rekonstruktif Posisi Memainkan Odap
Sumber: Dokumentasi Penulis
Gambar 35: Rekonstruktif Posisi Memainkan Gordang
Sumber: Dokumentasi Penulis
Gambar 36: Rekonstruktif Posisi Memainkan Paidua Gordang
Sumber: Dokumentasi Penulis
Gambar 37: Rekonstruktif Posisi Memainkan Gordang pada Gondang Raja Panumpahi
Sumber: Dokumentasi
Gambar 38: Rekonstruktif Teknik Memukul Stick disandarkan pada membrane Gordang
Sumber: Dokumentasi Penulis
Gambar 4.7: Rekonstruktif Posisi memukul sisi Gordang
Sumber: Dokumentasi Penulis
Gambar 4.4: Rekonstruktif Posisi Memainkan Odap pada Gondang Hasahatan
Sumber: Dokumentasi Penulis