ANALISIS ASPEK SOSIAL BUDAYA DALAM CERITA RAKYAT …
Transcript of ANALISIS ASPEK SOSIAL BUDAYA DALAM CERITA RAKYAT …
JESA JURNAL EDUKASI SEBELAS APRIL Februari 2018 Vol. 2 No. 1
JESA (Jurnal Edukasi Sebelas April) Vol. 2, No. 1 p-ISSN 2548-8988, e-ISSN 2548-8996 ©STKIP Sebelas April Sumedang
1
ANALISIS ASPEK SOSIAL BUDAYA DALAM CERITA RAKYAT
“ENYENG” DI DESA CIPANCAR SEBAGAI BAHAN PEMBELAJARAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA
ARIP BUDIMAN
Email: [email protected] Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia STKIP Sebelas April Sumedang
Abstrak: Penelitian ini dilatarbelakangi oleh semakin derasnya arus teknologi informasi
yang membuat cerita rakyat menghadapi tantangan untuk tetap tumbuh dan berkembang
di masyarakat. Kurang menariknya penyajian materi cerita rakyat di sekolah membuat
cerita rakyat semakin terabaikan. Untuk mendongkrak hal tersebut maka perlu adanya
analisis terhadap karya sastra, agar karya sastra tersebut dapat digunakan sebagai
pemilihan bahan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Hasil yang diperoleh
dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat aspek sosial dan budaya. Aspek sosial
yang paling banyak muncul dalam cerita rakyat “Enyeng” adalah karakteristik
masyarakat pedesaan yang mencerminkan jika diberi janji akan selalu diingat dengan
frekuensi 3 buah. Hal ini membuktikan bahwa warga desa Cipancar sangat memegang
teguh janji dan amanah dari leluhurnya. Sedangkan nilai budaya yang paling banyak
muncul dalam cerita rakyat “Enyeng” adalah sistem religi dengan frekuensi 3 buah. Ini
membuktikan bahwa mayarakat desa Cipancar masih memegang teguh ajaran tentang apa
yang harus dipercayai, diyakini dan diimani oleh setiap orang Islam. Tradisi lisan untuk
mengganti nama hewan kucing/ucing dengan ènyèng/emèng/mèong merupakan hasil
budaya dari generasi-kegenerasi, kemudian mereka memegang teguh pada keyakinannya
yang dikukuhkan oleh legenda dan mitos dalam bentuk tradisi lisan. Walaupun mereka
menerima budaya luar yang datang dan mereka mengikuti kemajuan/budaya modern,
namun mereka tetap memegang teguh keyakinannya, dimanapun mereka berada atau
sekalipun dalam perantauan.
Kata Kunci: Aspek Sosial, Aspek Budaya, dan Cerita rakyat.
1. Latar Belakang
Bahasa dan sastra Indonesia
merupakan salah satu karya seni (produk
kreativitas) manusia yang mengandung
nilai-nilai humaniora yang menggunakan
bahasa sebagai media ekspresinya. Hal ini,
kita bisa mengungkapkan pemikiran,
perasaan, ide, semangat dan keyakinan
yang sedang kita rasakan selama ini.
Dikatakan demikian, karena sangat
berpengaruh terhadap kehidupan kita.
Sumedang sebagai bagian dari
daerah pedalaman yang ada di sekitar Tatar
Sunda, memiliki sejumlah cerita rakyat
yang beragam, misalnya “Sasakala
Gunung Tampomas”, “Sumedang Larang”,
“Asal-Usul Kampung Marongge”, dan
lain-lain. Ada mitos yang berkembang di
kalangan masyarakat desa Cipancar
Kecamatan Sumedang Selatan. Sampai
saat ini, kepercayaan masyarakat desa
Cipancar tidak berani untuk meyebutkan
JESA JURNAL EDUKASI SEBELAS APRIL Februari 2018 Vol. 2 No. 1
JESA (Jurnal Edukasi Sebelas April) Vol. 2, No. 1 p-ISSN 2548-8988, e-ISSN 2548-8996 ©STKIP Sebelas April Sumedang
2
nama binatang tertentu dalam bahasa
pergaulan sehari-hari. Di daerah ini
masyarakat setempat tidak berani dan
“pantang” untuk menyebutkan secara
langsung binatang “kucing”, nama itu
mereka ganti dengan “enyeng”. Mereka
percaya jika hal tersebut dilanggar akan
terjadi malapetaka. Budaya tersebut
merupakan warisan dari para leluhur yang
diturunkan kepada genarasi penerusnya
yang berwujud adat istiadat yang terdapat
dalam cerita rakyat “Enyeng” yang di
dalamnya mengandung unsur aspek sosial
budaya.
Aspek sosial budaya yang terdapat
dalam cerita rakyat “Enyeng” inilah yang
akan penulis gali dalam penelitian sebagai
bahan pembelajaran apresiasi sastra.
Karena sebuah karya sastra hadir
dipengaruhi oleh beberapa hal salah
satunya ialah latar sosial budaya
masyarakat yang membentuknya. Peranan
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia
bagi kepentingan pendidikan pada
umumnya ialah agar siswa mampu
menikmati dan memanfaatkan karya sastra
untuk mengembangkan kepribadian,
memperluas wawasan kehidupan, serta
untuk meningkatkan kemampuan
berbahasa. Hal ini berarti karya sastra
sangat penting dipelajari oleh siswa. Oleh
karena itu, agar pembelajaran dapat
menyenangkan siswa, guru harus dapat
memilih bahan pembelajaran yang sesuai
untuk siswa.
2. Rumusan Masalah
Apakah bahan pembelajaran yang
dapat disusun dari cerita rakyat
“Enyeng” di desa Cipancar untuk
bahasa dan satra Indonesia di
SMA?
3. Tujuan Penelitian
Mendeskripsikan bahan
pembelajaran yang dapat disusun
dari cerita rakyat “Enyeng” di desa
Cipancar untuk bahasa dan satra
Indonesia di SMA.
4. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif.
Melalui metode deskriptif ini penulis akan
mendeskripsikan aspek sosial budaya yang
terdapat dalam cerita rakyat “Enyeng” di
desa Cipancar, serta bahan pembelajaran
yang dapat disusun untuk apresiasi sastra
di SMA.
5. Kajian Teori
5.1 Pengertian Cerita Rakyat
Cerita rakyat adalah sebagian
kekayaan budaya dan sejarah yang dimiliki
bangsa Indonesia. Cerita rakyat yang
merupakan bagian dari sastra rakyat adalah
salah satu unsur kebudayaan yang perlu
JESA JURNAL EDUKASI SEBELAS APRIL Februari 2018 Vol. 2 No. 1
JESA (Jurnal Edukasi Sebelas April) Vol. 2, No. 1 p-ISSN 2548-8988, e-ISSN 2548-8996 ©STKIP Sebelas April Sumedang
3
dikembangkan karena mengandung nilai-
nilai budaya, norma-norma, dan nilai-nilai
etika serta nilai moral masyarakat
pendukungnya. Dengan mengetahui cerita
rakyat tersebut, kita dapat mengetahui
gambaran yang lebih banyak mengenai
berbagai aspek kehidupan masyarakat
tertentu dan dapat pula membina pergaulan
serta pengertian bersama sebagai suatu
bangsa yang memiliki aneka ragam
kebudayaan.
Menurut Kamus Bahasa
Indonesia, “Folklor adalah adat istiadat
tradisional dan cerita rakyat yang tidak
dibukukan” (2008: 418). Folklor adalah
sebagian kebudayaan suatu kolektif yang
tersebar dan diwariskan turun-temurun,
diantaranya kolektif macam apa saja,
secara tradisional dalam versi yang
berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun
contoh yang disertai dengan gerak isyarat
atau alat bantu pengingat (Danandjaja,
2007: 2). Dengan demikian, folklor
merupakan bagian dari warisan budaya
yang diwariskan secara turun temurun dan
biasanya disampaikan melalui lisan.
Danandjaja (2007: 3) berpendapat
bahwa,
Ada beberapa ciri folklore,
diantaranya adalah: (a) penyebaran
dan pewarisannya biasanya
dilakukan secara lisan, (b) bersifat
tradisional dalam bentuk yang
relatif tetap/standar, (c) ada dalam
versi-versi, bahkan varian-varian
yang berbeda, (d) bersifat anonim,
(e) berbentuk berumus, berpola, (f)
berkegunaan di dalam kehidupan
bersama suatu kolektif, (g) bersifat
pralogis, artinya memiliki logika
sendiri yang tidak sesuai dengan
logika umum, (h) menjadi milik
bersama dari kolektif tertentu, dan
(i) folklor pada umumnya bersifat
polos dan lugu sehingga sering
terkesan kasar, terlalu spontan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa cerita rakyat
merupakan salah satu warisan budaya yang
disampaikan secara turun temurun dan
biasanya disampaikan melalui lisan oleh si
penutur kepada si pendengar. Folklore juga
mempunyai ciri-ciri tertentu yang dapat
membedakan dengan karya sastra lain.
5.2 Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia
Tujuan pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia meliputi tujuan umum dan
tujuan khusus. Terdapat empat tujuan
umum. Dari keempat tujuan umum
tersebut, satu diantaranya yaitu berkenaan
dengan pembelajaran sastra. Tujuan
tersebut menyatakan bahwa, “Siswa harus
mampu menikmati, memahami, dan
memanfaatkan karya sastra untuk
mengembangkan kepribadian, memperluas
wawasan kehidupan, serta meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan berbahasa”
(Depdikbud, 1995: 1). Sedangkan tujuan
khusus pembelajaran Bahasa dan Sastra
JESA JURNAL EDUKASI SEBELAS APRIL Februari 2018 Vol. 2 No. 1
JESA (Jurnal Edukasi Sebelas April) Vol. 2, No. 1 p-ISSN 2548-8988, e-ISSN 2548-8996 ©STKIP Sebelas April Sumedang
4
Indonesia meliputi tujuan kebahasaan,
pemahaman, dan penggunaan.
Moody (1988: 91) berpendapat
bahwa, “Tujuan pembelajaran sastra dapat
dibagi menjadi empat, yaitu: (1) informasi,
(2) konsep, (3) perspektif, dan (4)
apresiasi”.
Informasi yaitu tujuan yang
berkaitan dengan pemahaman pengetahuan
dasar tentang sastra. Tercapainya tujuan ini
dapat ditunjukkan oleh siswa dalam
menjawab pertanyaan yang berhubungan
dengan sastra. Herman J Waluyo (1987:
49) berpendapat bahwa, “Informasi yang
perlu ditanyakan dalam hal ini antara lain,
apa itu sastra; unsur-unsur yang
membangun karya sastra; siapa
pengarangnya; dimana karya itu
diciptakan; kapan waktunya; dan
sebagainya”.
Konsep yaitu tujuan yang
berkaitan dengan pemahaman terhadap
pengertian-pengertian pokok mengenai
suatu hal. Dalam hal ini, siswa dapat
mengenal terminologi dari setiap aspek.
Misalnya memahami konsep wilayah
kajian sastra, dengan berbagai genre, atau
wilayah jenis sastra, ciri-ciri pembeda, dan
unsur-unsur pembentuknya.
Perspektif yaitu tujuan yang
berkaitan dengan kemampuan untuk
memandang bagaimana sebuah karya
sastra itu diciptakan menurut perspektif
pikiran siswa. Baguskah imajinasi karya
yan dibacanya; menarikkah konflik yang
dikemas dan disajikan dalam cerita;
bagaimana karakter tokoh-tokohnya; dan
bagaimana penokohannya.
Bahasa dan sastra Indonesia
bertujuan yang berkaitan dengan
pemahaman, penghayatan, penikmat, dan
penghargaan terhadap karya sastra. Tujuan
pembelajaran yang lebih terperinci lagi ada
dalam bentuk silabus yang di dalamnya
terdapat komponen standar kompetensi
sebagai bahan kajian mata pelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia berorientasi
pada hakikat pembelajaran sastra, bahwa
belajar bahasa Indonesia adalah belajar
berkomunikasi dan belajar sastra adalah
belajar menghargai manusia dari nilai-nilai
kemanusiaanya. Oleh karena itu,
pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan
untuk meningkatkan kemampuan siswa
untuk berkomunikasi dalam berbahasa
indonesia.
6. Analisis Data
Bahan Pembelajaran Apresiasi Sastra
Cerita Rakyat “Enyeng”
Berdasarkan isi kriteria pemilihan
bahan pembelajaran sastra, disebutkan
bahwa tujuan umum pembelajaran sastra
diantaranya adalah siswa mampu
menikmati, memahami, dan memanfaatkan
karya sastra untuk mengembangkan
JESA JURNAL EDUKASI SEBELAS APRIL Februari 2018 Vol. 2 No. 1
JESA (Jurnal Edukasi Sebelas April) Vol. 2, No. 1 p-ISSN 2548-8988, e-ISSN 2548-8996 ©STKIP Sebelas April Sumedang
5
kepribadian, memperluas wawasan
kehidupan, serta meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan berbahasa,
sedangkan tujuan khusus pembelajaran
sastra diantaranya siswa mampu
menikmati, menghayati, memahami, dan
menarik manfaat dari karya-karya tersebut.
Dari hasil penelitian penulis, isi
dari cerita rakyat “Enyeng” sesuai dengan
psikologis siswa SMA. Karena usia siswa
SMA sudah mulai memasuki usia dewasa,
sehingga ceritanya bisa menjadi cerminan
dan pedoman bagaimana seharusnya
menjaga amanah dan memegang teguh apa
yang kita yakini. Pembelajaran cerita
rakyat di SMA dapat digunakam untuk
salah satu cara pelestarian budaya. Dalam
cerita rakyat “Enyeng” ini mengandung
aspek sosial, dan aspek budaya yang dapat
di jadikan pembelajaran bagi siswa.
Berikut bahan pembelajaran
tentang aspek sosial dan budaya yang dapat
disusun dari hasil penelitian ini.
1. Bahan pembelajaran tentang aspek
sosial.
Aspek sosial adalah hubungan
sosial yang dinamis, yang menyangkut
hubungan timbal balik antarindividu,
antarkelompok manusia, maupun antara
orang dengan kelompok manusia dan
masalah sosial ini tidaklah sama antara
masyarakat yang satu dengan masyarakat
yang lain karena adanya perbedaan dalam
tingkat perkembangan dan kebudayaannya,
sifat kependudukannya, dan keadaan
lingkungan alamnya.
1) Sederhana
Sebagian besar masyarakat desa
hidup dalam kesederhanaan.
Kesederhanaan ini terjadi karena dua hal:
1) secara ekonomi memang tidak mampu,
2) secara budaya memang tidak senang
menyombongkan diri.
a. Cara hidup yang sederhana
Saat Eyang Sutra Ngumbar hijrah
ke desa Cipancar, beliau hidup sebagai
seorang petani yang jauh dari kemewahan.
Meskipun beliau adalah anak seorang raja,
tetapi beliau lebih memilih hidup
sederhana dengan menjadi seorang petani
untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari,
meskipun sebenarnya secara ekonomi
beliau mampu.
b. Tidak menyombongkan diri
Eyang Sutra Ngumbar
menyembunyikan identitasnya sebagai
anak dari seorang raja Siliwangi. Beliau
tidak memanfaatkan kedudukannya
sebagai keturunan raja Siliwangi untuk
kepentingan hidupnya. Karena sikap
menyombongkan diri merupakan sikap
yang tidak terpuji.
2) Mudah curiga
Secara umum, masyarakat desa
akan menaruh curiga pada hal-hal baru di
JESA JURNAL EDUKASI SEBELAS APRIL Februari 2018 Vol. 2 No. 1
JESA (Jurnal Edukasi Sebelas April) Vol. 2, No. 1 p-ISSN 2548-8988, e-ISSN 2548-8996 ©STKIP Sebelas April Sumedang
6
luar dirinya yang belum dipahaminya,
seseorang/sekelompok yang bagi
komunitas mereka dianggap “asing”.
a. Karena karakteristik masyarakat desa
Cipancar yang mudah curiga terhadap hal-
hal baru maupun curiga terhadap orang
asing, saat itu Eyang Sutra Ngumbar
menyebarkan ajaran Islam dengan sangat
hati-hati agar tidak terjadi kesalahpahaman
serta dapat diterima masyarakat. Curiga
terhadap hal baru memang diperlukan, kita
perlu memahami sesuatu sebelum
menerimanya.
3) Menjunjung tinggi “unggah-ungguh”
Sebagai “orang Timur”, orang
desa sangat menjunjung tinggi kesopanan
atau “unggah-ungguh” apabila bertemu
dengan tetangga, berhadapan dengan
pejabat, berhadapan dengan orang yang
lebih tua/dituakan, berhadapan dengan
orang yang lebih mampu secara ekonomi,
dan berhadapan dengan orang yang tinggi
tingkat pendidikannya.
a. Masyarakat desa Cipancar sangat
menjunjung tinggi kesopanan. Mereka
menghormati leluhurnnya yaitu Eyang
Sutra Ngumbar sebagai sesepuh kabuyutan
di desa mereka. Karena mereka
menganggap Eyang Sutra Ngumbar
mempunyai ilmu yang tinggi. Sehingga
mereka menghargai jasa Eyang Sutra
Ngumbar yang telah menyebarkan agama
Islam di Cipancar.
4) Guyub, kekeluargaan
karakteristik khas bagi masyarakat
desa adalah suasana kekeluargaan dan
persaudaraannya telah “mendarah-daging”
dalam hati sanubari mereka.
a. Eyang Sutra Ngumbar bersama
masyarakat desa Cipancar selalu
berkumpul untuk melakukan kegiatan
keagamaan seperti shalawatan kepada Nabi
Muhammad SAW bersama-sama. Dengan
berkumpulnya Eyang Sutra gumbar dengan
masyarakat sekitar, maka terjalin suasana
kekeluargaan dan persaudaraan yang erat.
5) Perasaan minder terhadap orang kota
Satu fenomena yang ditampakkan
oleh masayarakat desa, baik secara
langsung ataupun tidak langsung ketika
bertemu/bergaul dengan orang kota adalah
perasaan mindernya yang cukup besar.
Biasanya mereka cenderung untuk
diam/tidak banyak bicara.
a. Saat Dalem Sumedang meminjam
seperangkat gamelan yang dibuat oleh
Eyang Sutra Ngumbar, tetapi tidak pernah
dikembalikan. Eyang Sutra Ngumbar tidak
meminta untuk dikembalikan lagi dan
tidak bertanya alasan gamelannya tidak
dikembalikan. Beliau cenderung diam dan
tidak banyak bicara.
6) Menghargai ngajeni orang lain
Masyarakat desa benar-benar
memperhitungkan kebaikan orang lain
yang pernah diterimanya sebagai
JESA JURNAL EDUKASI SEBELAS APRIL Februari 2018 Vol. 2 No. 1
JESA (Jurnal Edukasi Sebelas April) Vol. 2, No. 1 p-ISSN 2548-8988, e-ISSN 2548-8996 ©STKIP Sebelas April Sumedang
7
“patokan” untuk membalas budi sebesar-
besarnya. Balas budi ini tidak selalu dalam
wujud material tetapi juga dalam bentuk
penghargaan sosial atau dalam bahasa
Jawa biasa disebut dengan “ngajeni”.
a. Masyarakat desa Cipancar sampai saat
ini masih menjaga amah dan melestarikan
tradisi lisan yang diberikan leluhurnya
yaitu untuk menyebutkan kata enyeng
sebagai pengganti nama hewan berkaki
emapat kucing. Di manapun mereka berada
sekalipun di perantauan mereka tetap
menjaga tradisi lisan tersebut. Dan juga
sampai saat ini mereka tidak memainkan
atau menabuh gamelan yang terbuat dari
perunggu di Cipancar. hal tersebut mereka
lakukan karena mereka sangat menghargai
jasa Eyang Sutra Ngumbar yang telah
menyebarkan agama Islam di Cipancar.
7) Jika diberi janji akan selalu diingat
a. Raja Siliwangi sangat memegang
teguh ajarannya, karena ia telah bersumpah
untuk setia terhadap ajaran Purbatisti
Purbadjati Sunda maka dengan berat hati
beliau tidak bersedia untuk memeluk
Islam. Memegang teguh pada janji inilah
yang patut kita contoh.
b. Sampai saat ini masyarakat desa
Cipancar tetap memegang amanah yang
diberikan oleh leluhurnya. Mereka mnjaga
dan melestarikan tradisi lisan untuk
menyebutkan kata enyeng sebagai kata
ganti hewan berkaki empat kucing. Mereka
juga sampai saat ini tidak memainkan dan
menabuh gamelan yang terbuat dari
perunggu, karena Eyang Sutra Ngumbar
melarang siapapun untuk memainkan alat
tersebut di desa Cipancar.
7. Simpulan dan Saran
7.1 Simpulan
1. Aspek budaya yang terdapat dalam
cerita rakyat “Enyeng” terdapat tujuh
data. Unsur kebudayaan sistem religi
yang mengacu pada sistem
kepercayaan, sistem nilai dan
pandangan hidup, komunikasi
keagamaan, upacara keagamaan adalah
yang paling banyak muncul yaitu
sebanyak tiga data. Ini membuktikan
bahwa perkembangan Islam padasaat
itu sangat pesat. Kegiatan religi dalam
cerita rakyat tersebut diantaranya
Eyang Sutra Ngumbar belajar dan
mendalami agama Islam di Gunung
Djati dan mengajar gama Islam di
Demak serta menyebarkan ajarannya
di desa Cipancar, selanjutnya eyang
Sutra Ngumbar bersama masyarakat
desa Cipancara bershalawat kepada
Nabi Muhammad SAW.
2. Setelah diteliti, penulis menyimpulkan
bahwa cerita rakyat “Enyeng” tidak
hanya bersifat menghibur tetapi juga
memiliki nilai-nilai pendidikan dan
juga dapat dijadikan alat untuk
JESA JURNAL EDUKASI SEBELAS APRIL Februari 2018 Vol. 2 No. 1
JESA (Jurnal Edukasi Sebelas April) Vol. 2, No. 1 p-ISSN 2548-8988, e-ISSN 2548-8996 ©STKIP Sebelas April Sumedang
8
memelihara dan menurunkan suatu
suku atau bangsa pemilik sastra itu.
Cerita rakyat yang sarat akan nilai-
nilai moral dan kearifan lokal yang
bisa menjadi sarana komunikasi untuk
mengajarkan nilai-nilai tentang
kehidupan kepada anak-anak. Hal ini
sangat berguna bagi pengembangan
kepribadian siswa, sehingga kelak
menjadi orang yang arif dan waspada
dalam menghadapi masalah
kehidupan.
7.2 Saran
1. Penulis mengharapkan cerita rakyat
yang berkembang di masyarakat desa
Cipancar yaitu cerita rakyat
“Enyeng” terlebih dahulu dikenalkan
oleh guru mata pelajaran
bersangkutan sebagai salah satu
alternatif bahan pembelajaran bahasa
dan sastra Indonesia di sekolah
khususnya di daerah Sumedang.
2. Agar pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia , khususnya cerita rakyat
mendapat respon yang baik dari siswa,
hendaknya guru membuatnya menjadi
lebih menarik dengan menggunakan
pendekatan, teknik, dan metode yang
terkini agar siswa tidak merasa bosan
dan mendapat tantangan baru.
8. Daftar Pustaka
Abdurachman, A. (2009). Pantun Melayu:
Titik Temu Islam dan Budaya
Lokal Nusantara. Yogyakarta:
LKis.
Djajasudarma, F. T. (1999). Semantik 2:
Pemahaman Ilmu Makna.
Bandung: PT Refika Aditama.
Endarswara, S. (2005). Metodologi
Penelitian Sastra (Epistomologi,
Model, Teori, dan Aplikasi).
Yogyakarta: Media Pressindo.
Hidayat, K. (1991). Perencanaan
Pengajaran Bahasa Indonesia.
Bandung: Bina Cipta
Koentjaraningrat. (2000). Kebudayaan
Mentalitas Dan Pembangunan.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Kosasih. (2012). Dasar-dasar Ketrampilan
bersastra. Bandung:Yrama Widya.
Lipsey, Richard, G. dan Steiner, Peter, O.
(1991). Pengantar Ilmu Ekonomi I
Edisi Keenam. Jakarta: Rineka
Cipta.
Luxemburg, J V. dkk. 1984. Pengantar
Ilmu Sastra. Terjemahan Dick
Hartoko. Jakarta: PT Gramedia.
Nasution. (1998). Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung: Tarsito.
Nurgiyantoro, B. (2005). Sastra Anak.
Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Ratna, N. K. (2011). Antropologi Sastra:
Peranan Unsur-unsur Kebudayaan
dalam Proses Kreatif. Yogyakarta:
PT Pustaka Pelajar.
Ritonga, M. T dan Firdaus, Y. (2007).
Ekonomi untuk SMA kelas X.
Jakarta: Phibeta.
Rusyana, Y. (1984). Bahasa dan Sastra
dalam Gamitan Pendidikan.
Bandung: CV. Diponegoro.
Soetardjo. (1984). Desa. Yogyakarta: PN
Balai Pustaka.
Stanton, R. (2012). Teori Fiksi Robert
Stanton. Yogyakarta: Pustaka
Belajar.
Sudjiman, P. (1988). Memahami Cerita
Rekaan. Jakarta : Pustaka Jaya.
JESA JURNAL EDUKASI SEBELAS APRIL Februari 2018 Vol. 2 No. 1
JESA (Jurnal Edukasi Sebelas April) Vol. 2, No. 1 p-ISSN 2548-8988, e-ISSN 2548-8996 ©STKIP Sebelas April Sumedang
9
Teeuw. (1984). Sastra dan Ilmu Sastra:
Pengantar Teori Sastra. Jakarta:
Erlangga.
Untara, W. (2014). Kamus Bahasa
Indonesia. Yogyakarta: Indonesia
Tera.
Waluyo, Herman, J. (1987). Teori dan
Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
Wellek, R, dan Warren, A. (1989). Teori
Kesusastraan. Diterjemahkan oleh
Melani Budianta. Jakarta:
Gramedia.
Zulkarnaen dan Beni, A. S. (2012). Hukum
Konstitusi. Bandung: Pustaka
Setia.