ANALISA PENGARUH TAREKAT RIFA’IYAH TERHADAP...
Click here to load reader
Transcript of ANALISA PENGARUH TAREKAT RIFA’IYAH TERHADAP...
ANALISA PENGARUH TAREKAT RIFA’IYAH TERHADAP
KEAGAMAAN DI BANTEN ABAD KE-19
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Oleh:
YANTI SUSILAWATI
(1111022000051)
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
i
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menjawab pertanyaan mengenai apa amalan yang
terdapat dalam tarekat Rifa’iyah dan bagaimana pengaruh tarekat Rifa’iyah
terhadap keagamaan di Banten. Di mana amalan dan ajaran tarekat Rifa’iyah
berhasil masuk ke dalam relung tradisi keagamaan Banten yang sebelumnya telah
mengakar kuat.
Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode yang
biasa digunakan dalam penelitian sejarah pada umumnya, yaitu: heuristik, kritik
sumber, interpretasi, dan historiografi. Penulis melakukan pengumpulan data
melalui metode kepustakaan dan wawancara. Selain itu, untuk menguatkan
analisa dalam skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan sosial dan keagamaan.
Dalam penelitian ini penulis menemukan fakta-fakta terkait amalan tarekat
Rifa’iyah diantaranya: pertama, Dzikir dan amalan (al-Fatihah), kedua, Wirid dan
do’a Al-Qur’an untuk pengobatan dan kekebalan dari benda tajam dan tahan
terhadap panas api, ketiga, Munajat Rifa’i, dan keempat, Shalawat Nabi. Amalan
tersebut terangkum dalam satu aktivitas yang dinamakan kesenian debus.
Sehingga dapat dikatakan debus merupakan wujud dari terkat Rifa’iyah. Adapun
pengaruh tarekat Rifa’iyah di Banten dibagi dalam tiga kategori: pertama,
munculnya pemimpin muslim yang diwakilkan oleh kiyai dan jawara. Dimana
kiyai ini memberikan suatu corak baru di Banten, ditandai dengan adanya kiyai
hikmah dan guru tarekat. Sedangkan Jawara sebagai sebuah transformasi
tradisional dapat memunculkan kepemimpinan tradisional debus. kedua, kategori
institusi yakni pesantren yang mana mengajarkan suatu tarekat. Dan ketiga, yaitu
tradisi sendiri dijadikan sebagai ritual lokal (debus).
Kata Kunci: Amalan, Banten, Debus, Keagamaan, Tarekat Rifa’iyah.
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT, yang telah memberikan petunjuk dan kasih sayang-Nya kepada hamba-Nya
yang selalu bersyukur. Shalawat beriring salam selalu terlimpah curahkan kepada
baginda alam yakni Nabi besar kita Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat
dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Syukur Alhamdulillah dengan do’a dan
usaha akhirnya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik, walaupun
tentunya banyak hambatan dan rintangan yang senantiasa menanti silih berganti.
Penulis menyadari skripsi yang berjudul “Analisa Pengaruh Tarekat
Rifa’iyah Terhadap Keagamaan Di Banten Abad ke-19”, ini tidak akan
terselesaikan tanpa bantuan dari semua pihak, baik dukungan moril maupun
materil. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Sukron Kamil, MA, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. H. Nurhasan, MA, selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Solikhatus Sa’diyah, M.Pd, selaku sekeretaris Jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam yang dengan sabar memberikan pelayanan terkait
administrasi yang penulis butuhkan.
iii
5. Dr. Saiful Umam, MA, selaku dosen pembimbing skripsi, yang dengan sabar
memberikan arahan, kritik dan saran, terutama kesediaan waktunya dalam
membimbing, sehingga penulis dapat menyelasaikan skripsi ini dengan baik.
6. Dr. H. Abd. Wahid Hasyim, M.Ag, selaku Dosen Penasehat Akademik yang
telah memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis selama
perkuliahan.
7. Prof. Dr. M. Dien Madjid, selaku dosen penguji I, terimakasih atas masukan
dan arahannya.
8. Drs. Saidun Derani, MA, selaku dosen penguji II terimakasih telah
memberikan arahan dan motivasi yang berharga kepada penulis hingga
penulis mampu menyelesikan penulisan skripsi ini dengan baik. Kemudian
keterlibatan beliau terutama dalam memberikan rujukan sumber-sumber yang
berkaitan dengan skripsi ini.
9. Dr. Jajat Burhanuddin, MA, yang telah memberikan arahan dan kontribusi
dalam penulisan skripsi ini.
10. Bapak dan Ibu Dosen, yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada
penulis selama perkuliahan.
11. Karyawan/Karyawati Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Adab
dan Humaniora yang telah memberikan pelayanan dan menyediakan fasilitas
dalam penulisan skrispi ini.
12. Kepada Bapak Tubagus Najib Al-Bantani, Abah Yadi dan bapak Maheri, yang
telah meluangkan waktunya untuk memberikan informasi.
13. Orang tua tercinta, ayahanda Jamani dan ibunda Samunah yang tiada hentinya
memberikan do’a, nasehat dan kasih sayangnya. Penulis mengucapkan
iv
terimakasih yang tulus. Semoga Allah selalu memberikan kebahagiaan di
dunia dan akhirat. Amin.
14. Kakak tercinta Aa Udin dan Aa Iwan dan Ecih, yang selalu memberikan do’a
dan dukungan kepada penulis agar terus melanjutkan pendidikan ke jenjang
selanjutnya. Serta kepada keluarga besar dari ayah dan ibu, terimakasih atas
do’anya don keponakan tersayang (Agam, Aji, Eza, Ezi, Arif, Erika, Arya).
15. Kepada Guru-guru MAN Kragilan terutama Bapak AM. Masruri Syihabudin
yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk tetap melanjutkan ke
bangku perkuliahan hingga sampai ke Almamater tercinta UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
16. Kepada Teh Tati Rohayati, S.Hum, yang telah memberi motivasi dan
membimbing. Dan kepada teman-teman MAN Kragilan terutama (Nita
Adiyati, Ika Yulita, Iim Rosadi, Didi Nahtadi, Dian Nurhayani, Vivi Selvia
Herlina, Rohita, Rizki) yang selalu memberikan semangat dan dukungan
kepada penulis. Terimakasih juga kepada M. Fathullah yang telah mengantar
penulis dalam melakukan (wawancara).
17. Kawan-kawan SKI seperjuangan angakatn 2011 terimakasih atas motivasi dan
kerjasamanya, terutama kepada Dirga Fawakih yang telah memberikan
motivasi dan arahan kepada penulis, serta Mulki, Amanah, Sulastri, Siti
Rahmawati, yang selalu berjuang dalam pencarian sumber.
18. Segenap keluarga Besar Bidikmisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan
2010, 2011, dan 2012, yang selalu berjuang demi tercapainya cita-cita.
v
Semoga Allah SWT selalu membalas segala amal baik kepada pihak yang
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari skripsi ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca demi lebih baiknya skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Jakarta, 10 Juli 2015
Yanti Susilawati
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ..................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. vi
PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................................ 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 7
D. Manfaat Penelitian .............................................................................. 7
E. Tinjauan Pustaka ................................................................................. 8
F. Metode Penelitian ................................................................................ 11
G. Sistematika Penulisan ......................................................................... 13
BAB II KONDISI UMUM MASYARAKAT BANTEN
A. Geografi dan Struktur Masyarakat Banten .......................................... 14
B. Perkembangan Kesultanan Banten ...................................................... 18
C. Kondisi Masyarakat Banten Secara Umum ........................................ 24
D. Perkembangan Tarekat di Banten ....................................................... 31
BAB III SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TAREKAT RIFA’IYAH DI
BANTEN ABAD KE-19
A. Tarekat Rifa’iyah di Banten (Profil, Sosial Historis) ........................... 35
B. Tarekat Rifa’iyah Dalam Budaya Banten ........................................... 39
C. Ajaran-Ajaran Tarekat Rifa’iyah ......................................................... 41
vii
D. Wirid dan Amalan Tarekat Rifa’iyah .................................................. 46
E. Wirid Sebagai Pengobatan .................................................................. 56
BAB IV ANALISA PENGARUH TAREKAT RIFA’IYAH TERHADAP
KEAGAMAAN DI BANTEN ABAD KE-19
A. Kiyai .................................................................................................. 60
B. Jawara ............................................................................................... 66
C. Pesantren ........................................................................................... 68
D. Tradisi Lokal ..................................................................................... 70
1. Tradisi Debus Banten ..................................................................... 70
2. Ritual Permainan Debus ................................................................. 72
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................... 77
B. Saran .................................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 79
LAMPIRAN ................................................................................................... 85
SURAT PENELITIAN
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padannya aksara latin:
Huruf
Arab
Nama Huruf latin Keterangan
Alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan ا
Ba‟ B Be ب
Ta‟ T Te ت
Tsa‟ Ts Te dan es ث
Jim J Je ج
Ha‟ H H (dengan garis di bawah) ح
Kha‟ Kh Ka dan ha خ
Dal D De د
Dzal Dz De dan zet ذ
Ra‟ R Er ر
Za‟ Z Zet ز
Sin S Es س
Syin Sy Es dan ye ش
Shat Sh Es (dengan garis di bawah) ص
Dlad D De (dengan garis di bawah) ض
Tha‟ Th Te (dengan garis di bawah) ط
Dzha‟ Z Zet (dengan garis di bawah) ظ
ain „ Koma terbalik di atas hadap„ ع
kanan
Ghain Gh Ge dan ha غ
Fa‟ F Ef ف
Qaf Q Ki ق
Lam K Ka ك
Mim L El ل
Nun M Em م
Wau N En ن
Ha‟ W We و
Lam alif H Ha هـ
Hamzah „ Apostrof ء
Ya Y Ye ي
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
ix
TANDA VOKAL ARAB TANDA VOKAL LATIN KETERANGAN
A Fathah ـــــ
I Kasrah ـــــ
U Dammah ــــــ
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
TANDA VOKAL ARAB TANDA VOKAL LATIN KETERANGAN
Ai a dan i ــــــ ي
au a dan u ــــــ و
Vokal Panjang:
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab di
lambangkan dengan harakat dah huruf, yaitu:
TANDA VOKAL ARAB TANDA VOKAL LATIN KETERANGAN
â a dengan topi di atas ـــا
î i dengan topi di atas ـــي
ŭ u dengan topi di atas ـــو
Kata Sandang:
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsiyyah
maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-
dîwân.
Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau Tasydid yang dalam sistem tulisan arab dilambangkan
dengan tanda )ــــــ( dalam alih aksara dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya kata “رورة tidak di tulis ”الض
ad-darŭrah melainkan al-darŭrah, demikian seterrusnya.
Ta Marbutah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbŭtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. hal
x
yang sama juga berlaku jika ta marbŭtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t).
namun, jika huruf ta marbŭtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/.
NO. KATA ARAB ALIH AKSARA
Tarîqah طريقة .1
Al-jămi‟ah al-islămiyyah الجامعة اإلسالمية .2
Wahdah al-wujŭd وحدة الوجود .3
Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan
yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara
lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,
nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri. Dan lain-lain.
Penting diperhatian, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang
tertulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal
nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abŭ Hămid
al-Ghazălî bukan Abŭ Hămid Al-Ghazăli, al-Kindi bukan Al-Kindi).
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)
atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak
miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar
katanya berasal dari bahasa arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani,
tidak „Abd al-Samad al-Palimbănî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nŭr al-Dîn al-ranîrî
xi
Cara Penulisan Kata:
Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism), maupun huruf (harf)
dituis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-
kalimat dalam bahasa arab, dengan pedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
Kata Arab Alih Aksara
Dzahaba al-ustădzu ذهب األسخاذ
Tsabata al-ajru ثبج األجر
Al-harakah al-„asriyyah الحركت العصريت
Asyhadu al lă ilăha illă Allăh أشهد أن ال اله إال هللا
Maulănă Malik al-Sălih مىلنا ملك الصالح
Yu‟atssirukum Allăh يؤثركم هللا
Al-mazăhir al-ăqliyyah المظاهر العقليت
الكىنيت اآلياث Al-ăyăt al-kauniyyah
رورة حبيح المحظىراث Al-darŭrat tubîhu al-mahzŭrăt الض
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banten yang notabenenya merupakan tanah Jawara, memiliki tingkat
religiusitas tinggi tidak bisa terlepas dari peran tarekat yang berkembang. Pada
abad ke-19 tarekat berperan dalam rangka untuk melawan kolonial Belanda, salah
satunya tarekat Rifa’iyah. Kolonial Belanda menganggap masyarakat Banten yang
menganut tarekat Rifa’iyah memiliki basis Islam tradisionalis dan fanatik,
sehingga ada kekuatan untuk memberontak. Adapun untuk mengaktualisasikan
tarekat Rifa’iyah tersebut, Banten memformulasikan dalam bentuk kesenian
Debus.
Debus yang identik dengan dunia mistik (aliran hitam), ini sesungguhnya
berakar dari sebuah tarekat bukan dari faham animisme dan dinamisme. Sebelum
membahas mengenai bagaimana pengaruh tarekat Rifa’iyah dan kesenian debus,
berikut terlebih dahulu dijelaskan pengertian tasawuf sebagai pengantar terlebih
dahulu.
Menurut Harun Nasution dalam buku Filsafat dan Mistisisme dalam Islam
mengatakan tasawuf adalah ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana
orang Islam dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.1 Sementara itu,
Annemarie Schimmel seorang yang ahli dalam bidang mistisisme Islam,
mengatakan tasawuf adalah beberapa cara yang digunakan oleh para ahli mistik
untuk mencapai suatu tujuan yang dilakukan sendiri maupun bersama-sama
1Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1999),
h. 53.
2
melalui kearifan atau cinta dengan cara latihan-latihan yang menuju kegairahan
tidak terhingga.2 Dalam tasawuf, salah satu upaya untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT yaitu dengan mengikuti tarekat.
Ada beberapa definisi tarekat menurut beberapa tokoh. Aboebakar Atjeh
mengartikan tarekat sebagai jalan, petunjuk dalam melakukan suatu ibadah sesuai
dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi, di kerjakan oleh para
sahabat dan tabi’in, secara turun-temurun, sambung-menyambung dan rantai-
berantai sampai kepada tingkat akhir yaitu guru tarekat.3 Sementara, menurut J.
Spencer Trimingham, tarekat adalah suatu metode untuk membimbing seorang
murid dengan menelusuri jalan pikiran, perasaan dan tindakan. Melalui tahapan
menuju pada hakekat yang sebenarnya.4 Sedangkan menurut Annemari Schimmel,
tarekat adalah “jalan” yang ditempuh para sufi yang digambarkan sebagai jalan
yang berpangkal dari syariat.5 Namun dalam pengertian ini masih bersifat umum.
Secara khusus, pengertian tarekat yang berarti “jalan” mengacu kepada sistem
latihan meditasi maupun amalan (muraqabah, dzikir dan wirid) yang dihubungkan
dengan para guru sufi dan organisasi yang tumbuh seputar metode sufi.6
Dari pendapat beberapa tokoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa tasawuf
adalah suatu ilmu untuk menyucikan diri dan memperbaiki akhlak agar bisa
mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan tarekat adalah cara atau jalan yang
digunakan oleh para sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah.
2Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Terj. Sapardi Djoko Damono
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), h. 23. 3Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, Cet. XI, (Solo: Ramadhani), 1995, h. 67.
4J. Spencer Trimingham, Mazhab Sufi, (Bandung: Pustaka, 1999), h. 3-4.
5Dalam hal ini, Annemari Schimmel, mengartikan jalan utama disebut syar’i .Sedangkan
anak jalan disebut tariq. Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, h. 101. 6Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis,
Geografis, dan Sosiologis, (Bandung: Mizan, 1992), h. 15.
3
Di Indonesia telah ada badan yang khusus memberikan perhatiannya kepada
tarekat-tarekat yang sudah diselidiki kebenarnya, yang dinamakan tarekat
Muktabarah. Seorang tokoh tarekat terkemuka, Dr. Syekh Jalaludin sebagaimana
yang dikutip oleh Abu Bakar Atjeh, ia menerangkan tarekat Muktabarah terdiri
dari 41 macam, yang masing-masing mempunyai syekh, murid, dzikir dan
upacara ritual.7 Dari sekian banyak aliran tarekat tersebut, setidaknya ada tujuh
aliran tarekat yang berkembang di Indonesia yaitu tarekat Qadiriyah, Khalidiyah,
Naqsyabandiyah, Sammaniyah, Khalwatiyah, Al-Hadad dan tarekat Rifa’iyah.8
Adapun tarekat yang penulis kaji pada skripsi ini yaitu tarekat Rifa’iyah.
Tarekat Rifa’iyah didirikan oleh Abdul Abbas Ahmad bin Ali Al-Rifa’i. Ia
lahir di Qaryah Hasan, dekat Basrah. Tahun kelahirannya diperkirakan pada 1106
M dan wafat pada tahun 1182 M. Tarekat ini masuk dan berkembang di Irak.9 Dan
berkembang pula ke beberapa wilayah, antara lain: Turki, Damaskus, India, Mesir
dan Suriah.10
Dalam perkembangannya, tarekat Rifa’iyah mempunyai cabang
yang cukup banyak. Di Suriyah, cabang tarekat ini antara lain adalah Haririyah,
Sa’diyah dan Sayyadiyah. Haririyah didirikan oleh al-Hariri dan Sa’diyah
didirikan oleh Sa’duddin Jibawi. Sedangkan di Mesir cabang tarekat ini antara
7Syekh Jalaludin mengemukakan tarekat Mu’tabaroh terdapat 41 macam, antara lain: 1.
Qadriyah, 2. Naqsyabandiyah, 3. Syadziliyah, 4. Rifa’iyah, 5. Ahmadiyah, 6. Dasukiyyah, 7.
Akbariyah, 8. Maulawiyyah, 9. Qurabiyyah, 10. Suhrawardiyyah, 11. Khalwatiyyah, 12.
Jalutiyyah, 13. Bakdasiyyah, 14. Ghazaliyyah, 15. Rumiyyah, 16. Jastiyyyah, 17. Sya’baniyyah,
18. Kaisaniyyah, 19. Hamzawiyah, 20. Biramiyyah, 21. Alawiyyah, 22. Usyaqiyyah, 23.
Bakriyyah, 24. Umariyyah, 25. Usmaniyyah, 26. Aliyyah, 27. Abbasiyyah, 28. Haddadiyyah, 29.
Maghribiyyah, 30. Ghaibiyyah, 31. Hadiriyyah, 32. Syattariyyah, 33. Bayumiyyah, 34.
Aidrusiyyah, 35. Sanbliyyah, 36. Malawiyyah, 37. Anfasiyyah, 38. Sammaniyyah, 39.
Sanusiyyah, 40. Idrisiyyah, 41. Badawiyyah. Dalam buku Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu
Tarekat, (Solo: Ramadhani), 1985, h. 303. 8Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 269-276.
9Namun tanggal lahirnya tersebut masih diperselisihkan. Aboebakar Atjeh, Pengantar
Ilmu Tarekat, h. 355 dan 357. 10
John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern Jilid 1, (Bandung : Mizan,
2001), h. 161.
4
lain Baziyah, Malkiyah dan Habibiyah.11
Yang di pimpin oleh Abu al-Fath al-
Wasiti, ia salah satu murid Ahmad al-Rifa’i.12
Perkembangan tarekat ini begitu cepat. Salah satunya melalui murid-murid
yang telah menyebarluaskan ajaran tarekat hingga kebeberapa negara di Asia
Tenggara terutama di Indonesia.13
Di Indonesia pusat tarekat Rifa’iyah terdapat di
Aceh, yang dibawa oleh Syekh Nuruddin Al-Raniri.14
Kemudian menyebar ke
Banten, Cirebon, Minangkabau dan Maluku. Ajaran dari tarekat Rifa’iyah
diyakini oleh masyarakat tersebut membuat orang kebal terhadap benda tajam,
tahan pada api yang menyala dan lain-lain. Sehingga praktek ini dibuktikan
dengan permainan debus.15
Permainan debus ini berkembang sampai ke daerah
Sunda, khususnya Banten.16
Perkembangan tarekat di Banten bermula dari adanya dukungan Kesultanan
Banten dan masyarakat yang memiliki sikap religius yang tinggi.17
Sehingga
Banten dikenal dengan salah satu daerah berbasis Islam tradisionalis dan fanatik.18
Tarekat mempunyai pengaruh terhadap perilaku keagamaan masyarakat Banten.
Salah satu efek dari tarekat yaitu mendorong para pemimpin yang fanatik untuk
memberontak dan berani melawan kolonial Belanda. Sehingga kolonial Belanda
merasa khawatir akan adanya tarekat. Kekhawatiran ini terlihat jelas pada
11
Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, h. 357-358. 12
“Ensiklopedi Islam”, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 172. 13
Fuad Said, Hakikat Tarekat Naqsyabandiyah, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1996), h. 11. 14
Nuruddin al-Raniri adalah salah seorang ulama Aceh yang berasal dari India. Ia belajar
tarekat Rifa’iyah melalui ulama keturunan Arab Hadramaut, yakni Said Abu Hafs Umar IbnAbd
Allah Ba Syaiban. Setelah belajar kemudian ia membawa dan mengajarkan tarekat Rifa’iyah ini
ke wilayah Melayu. Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabaroh di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 15. 15
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di
Indonesia. (Bandung: Mizan, 1995), h. 197. 16
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 269-276. 17
Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis,
Geografis, dan Sosiologis, (Bandung: Mizan, 1992), h. 43. 18
Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, (Jakarta:
YPM: Young Progressive Muslim, 2011), h. 29-30.
5
peristiwa Cilegon di Banten 1888, Peristiwa Cianjur Sukabumi tahun 1885 dan
Peristiwa Garut 1919.19
Salah satu tarekat yang masih berkembang di masyarakat Banten adalah
tarekat Rifa’iyah. Yang mana jejak tarekat Rifa’iyah tersebut dipraktekkan dalam
permainan debus. Keberadaan tarekat Rifa’iyah dibuktikan dari adanya naskah-
naskah yang berisikan ajaran tarekat Rifa’iyah seperti Ratib. Hingga saat ini
masyarakat masih mengamalkan dzikir dan ratib Rifa’iyah baik digunakan dalam
debus maupun tanpa debus.20
Isi ajaran tarekat Rifa’iyah berupa pembacaan do’a-do’a dan al-Fatihah
untuk dihadiahi kepada, Nabi Muhammad SAW dan keluarganya, nama
19
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 64. Peristiwa
Cilegon 1888 ialah suatu peristiwa perlawanan rakyat Banten terhadap pemerintah Belanda. Hal
ini terjadi karena adanay motif ekonomi, politik, sosial. Situasi sosial rakyat Banten pada saat itu
dalam keadaan resah dan memprihatinkan. Pemerintah Belanda mengadakan sistem tanam paksa,
pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan, tidak menghormati sikap orang Banten, tidak
menghargai agama, dan bertingkah laku yang kasar terhadap pribumi. Seluruh masyarakat Banten
dari berbagai kalangan merasakan kekejaman Belanda tersebut. Oleh karena itu, rakyat Banten
sudah tidak tahan dengan perlakuan Belanda yang seperti itu, maka para ulama Banten membuat
rencana untuk melakukan pemberontakan bersenjata. Sehingga pada hari Senin tanggal 9 Juli 1888
terjadilah pemberontakan yang dikenal dengan sebutan “Geger Cilegon 1888”. Yang di pimpin
oleh beberapa pemimpin tarekat di Banten yakni, H. Abdul Karim, H. Tubagus Ismail, H.
Marjuki, dan H. Wasyid. Peristiwa tersebut dilatarbelakangi oleh gerakan tarekat. Tarekat
digunakan oleh mereka sebagai sebuah senjata, sebelum melakukan perlawanan, mereka
berkumpul melakukan sembahyang dan berdzikir. Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani
Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya,
1984), h. 257 dan 342. Sementara itu, Peristiwa Cianjur Sukabumi adalah suatu peristiwa yang
terjadi sekitar tahun 1885, di mana pemerintah Hindia Belanda merasa gelisah adanya aktivitas
organisasi tarekat Naqsyabandiyah di Jawa Barat, karena jumlah anggota tarekat ini dari waktu ke
waktu semakin meningkat, sehingga kegelisahan yang dialami oleh kalangan masyarakat Belanda
yaitu mengira bahwa tarekat Naqsyabandiyah akan melawan pemerintah Belanda. K.F. Holle dan
Raden H. Muhammad Musa seorang Penghulu Kab. Garut memandang pengikut tarekat
Naqsyabandiyah yang berpusat di Cianjur itu “fanatik” sehingga dianggap membahayakan
keamanan dan ketertiban. Sedangkan Peristiwa Garut 1919 merupakan peristiwa pertempuran
tokoh agama yang di pimpin oleh H. Hasan melawan Belanda. Hal ini terjadi karena pemerintah
Belanda terus memaksa masyarakat untuk menjual hasil panen padinya kepada pemerintah
Belanda dengan harga yang sangat murah. Jika masyarakat tidak menaati maka padinya akan
disita, bahkan akan mendatangkan serdadu untuk mengajarkan ketaatan rakyat kepada pemerintah
Belanda. Bahkan H. Hasan dipaksa untuk memusnahkan semua tanamannya dan mengganikannya
dengan padi, namun H. Hasan merasa keberatan terhadap ketentuan tersebut, bukan bukan karena
harga, akan tetapi karena kebenciannya terhadap orang Belanda. Aqib Suminto, Politik Islam
Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 64-65, dan 70-71. 20
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di
Indonesia. h. 271.
6
Khulafaur Al-Rasyiddin dan para sahabatnya, kemudian diikuti dengan nama
Ahmad Rifa’i dan Abdul Qadir Al-Jaelani dan kelompok nama yang terakhir
adalah nama-nama yang paling menarik karena mereka adalah orang-orang
Banten. Seperti Maulana Hasanuddin, Syekh Abdullah Bin Abdul Qahar, Sultan
Abu Nasr Muhammad al-Arif Zainal Asyiqin, dan Sultan Abu al-Mufakhir
Aliyuddin. Dari nama-nama tersebut dapat memberikan indikasi mengenai tarekat
Rifa’iyah mulai tersebar di Banten.21
“Masyarakat yang mengamalkan tarekat Rifa’iyah ini akan mendapat
pengaruh yang dirasakan yaitu, merasa lebih dekat dengan Allah,
keagamaannya semakin meningkat, dan ilmunya bertambah. Sementara
yang mengikuti tarekat ini bebas dari kalangan mana saja, baik dia sebagai
kiyai, pejabat, pengusaha, pelajar, petani. semuanya bisa melakukannya
yang penting mereka ingin mengikutinya.”22
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Setelah menjelaskan tentang tarekat tersebut, untuk kasus Banten nampak
sekali bahwa tarekat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap masyarakat Banten
sehingga membentuk pola dan corak pemahaman keagamaan yang khas, bahkan
kemudian berkembang budaya-budaya khas Banten yang disebabkan oleh
pengamalan tarekat tersebut.
Menarik untuk diketahui lebih jauh, bagaimana relasi antara pengamalan
tarekat dengan pola keagamaan di Banten. Berdasarkan permasalahan di atas,
maka muncul pertanyaan besar bagaimana pengaruh tarekat Rifa’iyah terhadap
keagamaan di Banten Abad ke-19?
21
Ibid., h. 273. 22
Wawancara pribadi dengan Ustadz Maheri salah seorang tokoh Debus Banten, Serang,
22 Maret 2015, Pukul 11:38 WIB.
7
Adapun secara rinci rumusan masalah dibagi menjadi beberapa pertanyaan
yaitu:
1. Bagaimana Sejarah Perkembangan Tarekat Rifa’iyah di Banten Abad ke-
19?
2. Bagaimana Ajaran-Ajaran Tarekat Rifa’iyah di Banten?
3. Bagaimana Pengaruh Tarekat Rifa’iyah dalam Keagamaan di Banten Abad
ke-19?
C. Tujuan Penelitian
Adapun Tujuan penulisan ini yaitu :
1. Ingin Menjelaskan Sejarah Perkembangan Tarekat Rifa’iyah di Banten
Abad ke-19.
2. Ingin Memaparkan Ajaran-Ajaran yang Terdapat dalam Tarekat Rifa’iyah
di Banten.
3. Ingin Mengetahui Pengaruh Tarekat Rifa’iyah dalam Keagamaan di Banten
abad ke-19.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penulisan ini adalah:
1. Dalam studi ini menjadikan pelajaran untuk generasi yang akan datang
bahwa tarekat Rifa’iyah mempunyai pengaruh di Banten di lihat dari dzikir
dan bacaan-bacaannya.
2. Memberikan pengetahuan bahwa Tarekat Rifa’iyah di Banten digunakan
sebagai keberanian untuk menentang penjajah.
8
E. Tinjauan Pustaka
Banyak karya ilmiah yang sudah ditulis terkait dengan tarekat Rifa’iyah
antara lain:
Tesis Nauval Syamsu, Debus Sebuah Fenomena Keagamaan (Studi
Kultural Debus Banten).23
Isinya meliputi: Islam dan Tarekat di Banten,
Perkembangan Debus di Banten dan Debus Sebuah Fenomena Keberagamaan.
Dalam tesis ini, Nauval Syamsu meneliti hubungan Debus dengan tarekat
Qadiriyah Naqsabandiyah, tetapi tidak menjelaskan kaitan tarekat Rifa’iyah
dengan debus di Banten. Tesis ini juga menjelaskan bahwa keberagamaan umat
Islam merupakan gambaran pemahaman seorang muslim terhadap ajaran dan
doktrin-doktrin agama, sehingga terjadi perbedaan paham-paham keagamaan.
Salah satu bentuk perbedaan pemahaman terhadap doktrin agama adalah lahirnya
tarekat-tarekat. Nauval Syamsu, menyimpulkan bahwa debus sebagai salah satu
warisan budaya di Banten, yang pernah digunakan untuk melawan penjajahan dan
sekarang menjadi kesenian rakyat Banten.
Skripsi Makmun Muzzaki, Tarekat dan Debus Rifa’iyah di Banten, yang
diajukan pada Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.24
Skripsi ini menjelaskan
tentang debus dan tarekat Rifa’iyah dilihat dari kajian antropologi. Makmun
Muzaki menyimpulkan tarekat Rifa’iyah adalah suatu aliran yang pernah
berkembang dan memiliki ciri khasnya sendiri dan sedikit berbeda dibandingkan
dengan tarekat-tarekat sufi lainnya. Namun dalam skripsi ini penulis tidak
menemukan pengaruh tarekat Rifai’iyah pada Keagamaan di Banten.
23
Nauval Syamsu, Debus Sebuah Fenomena Keagamaan (Studi Kultural Debus Banten),
(Tesis S2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). 24
Makmun Muzzaki. Tarekat dan Debus Rifa’iyah di Banten. (Skripsi Fakultas Sastra.
Universitas Indonesia, 1990).
9
Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama,
Jawara.25
Memberikan informasi tentang Banten dari masa prasejarah hingga
lahirnya provinsi Banten. Buku ini menjelaskan tentang Arti Banten, Sultan-
Sultan Banten, kondisi Sosial, ekonomi dan budaya Banten, bahkan menjelaskan
konflik-konflik yang terjadi di Banten. Akan tetapi buku ini tidak menjelaskan
kehidupan keagamaan di Banten yang terkait dengan tarekat.
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-
Tradisi Islam di Indonesia.26
Menjelaskan tentang tarekat-tarekat dan
perkembangannya di Indonesia dan sedikit menjelaskan bahwa tarekat Rifa’iyah
di Banten biasanya digunakan untuk permainan debus. Namun buku ini tidak
menjelaskan secara spesifik tentang tarekat Rifa’iyah.
Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat,27
buku ini memberikan
gambaran tentang tarekat-tarekat, sejarah pekembangannya. Buku ini juga tidak
hanya mengenalkan tentang tarekat Qadariyah, Naqsyabandiyah, Rifa’iyah,
Khalwatiyah, Ghazaliyah, Sanusiyah, Syattariyah, Tjaniyah, dari segi
perkembangannya saja, tetapi memperkenalkan ajaran-ajaran tarekat, mengenai
kedudukannya dalam tasawuf, mengenai wirid ataupun do’a, dan menjelaskan
kedudukan guru dan murid.
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam,28
buku ini merupakan
kumpulan dari cerama-ceramah dan kuliah-kuliah yang diberikan di IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tahun 1970, yang disampaikan kepada kelompok
25
Nina H Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, (Jakarta:
Pustaka LP3ES, Indonesia, 2003). 26
Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1996). 27
Aboebakar Atjeh. Pengantar Ilmu Tarekat, Cet. XI, (Solo: Ramadhani, 1995). 28
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1999).
10
diskusi tentang Agama Islam. Yang terkandung dalam buku ini hanyalah tentang
Filsafat dan mistisisme dalam islam.
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam,29
Membahas beberapa
segi penting dalam tasawuf dan merupakan telaah dan uraian yang menyeluruh
mengenai dimensi mistik dalam Islam. Buku ini juga secara terperinci diuraikan
konsep tentang tasawuf, sejarah tasawuf klasik dan tarekat. Di samping itu
ditelaah juga wali-wali terpenting serta pemikiran mereka mengenai hubungan
antara manusia dan Tuhan. Namun dalam buku ini belum menjelaskan secara rinci
mengenai tarekat Rifa’iyah yang berada di Indoneia khususnya Banten.
Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Zaman Pertumbuhan dan
Perkembangan Keraaan-Kerajaan Islam di Indonesia.30
Menguraikan peristiwa-
peristiwa sejarah dari masa kedatangan Islam, serta pertumbuhan dan
perkembangan kerajaan yang bercorak Islam di kepulauan Indonesia. Buku ini
juga sedikit menjelaskan aliran-aliran Islam dan pengaruhnya, yang di dalamnya
terdapat tentang tasawuf dan tarekat. Salah satu tarekat yang mendapat pengaruh
ialah tarekat Rifa’iyah.
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda.31
Menjelaskan bahwa
Pemerintah Belanda tidak ingin bersikap netral di Bidang Agama. Agama Kristen
diberikan dukungan di daerah dan bidang tertentu dengan alasan untuk mengusir
orang Islam dari daerah tersebut. Dalam buku ini juga sedikit dijelaskan adanya
tarekat yang melatarbelakangi gerakan dan pemberontakan Cilegon di Banten
29
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Terj. Sapardi Djoko Damono,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986). 30
Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-
Kerajaan Islam di Indonesia, Ed. Marwati Djoened Poesponegoro Nugroho Notosusanto,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1977). 31
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985).
11
1888, Peristiwa Cianjur Sukabumi tahun 1885 dan Peristiwa Garut 1919. Kolonial
Belanda menganggap gerakan tarekat merupakan gerakan pemberontakan yang
bersifat fanatik.
Artikel Rohman, The Result of a Holy Alliance: Debus and Tariqah in
Banten Province.32
Artikel ini mendeskripsikan praktik debus dan fungsinya, bagi
masyarakat Banten dewasa ini. Debus berkembang sebagai pertunjukkan
kekebalan, Artikel ini juga menunjukkan praktik debus yang dikombinasikan
dengan aspek-aspek tarekat.
F. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode historis dengan
pendekatan sejarah. Metode ini merupakan proses menguji dan menganalisa
secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.33
Metode ini dapat
membantu untuk mengetahui fakta dan sejarah masa lampau dan dilakukan
melalui 4 tahapan, yaitu Heuristik, Kritik sumber, Interpretasi, dan Historiografi.34
Tahap pertama penulis melakukan kegiatan heuristik yaitu dengan mencari
informasi data-data, mengumpulkannya, membaca dan mengkaji buku-buku yang
berhubungan dengan tema skripsi ini. Kemudian penulis menghimpun sumber-
sumber tertulis baik yang bersifat primer maupun sekunder. Untuk sumber primer
penulis menggunakan naskah Ratib al-Rifa’i,35
yang terdapat di Perpusatakaan
32
Artikel Rohman, The Result of a Holy Alliance: Debus and Tariqah in Banten Province,
IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. 33
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto, (Jakarta: UI Press,
1983), h. 3. 34
Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu), 1999,
h. 54-55. 35
Naskah ratib al-Rifa’i nomor A 218, Naskah ini terdiri dari dua jilid yaitu Naskah Ratib
Rifa’i A 218 A, dan Naskah Ratib Rifa’i A 218 B.
12
Nasional Republik Indonesia. Sementara sumber lisan diperoleh melalui interview
(wawancara). Adapun yang menjadi narasumber yaitu bapak Maheri, ia sebagai
tokoh Debus yang menganut tarekat Rifa’iyah, Abah yadi, ia sebagai tokoh
Budaya, Bapak Tubagus Najib Al-Bantani ia peneliti di museum Arkeologi
Nasional, Bapak Hudaeri dosen IAIN Maulana Hasanuddin Serang dan kepada
Sekertaris MUI yang juga pernah meneliti tentang debus. Melalui wawancara ini
bertujuan untuk mendapatkan informasi terkait masalah.36
Sedangkan untuk sumber sekunder, penulis mendapatkan sumber-sumber
tertulis berupa buku, ensiklopedia, jurnal, artikel dan sebagainya. Pengumpulan
tersebut dilakukan di beberapa tempat yaitu di Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Adab dan Humaniora, Perpustakaan Nasional
RI, Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan IAIN Sultan Hasanuddin
Serang, Perpustakaan Umum Islam Iman Jama, Arsip Nasional Republik
Indonesia, Perpustakaan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Direkorat
Jenderal Kebudayaan Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang, dan Perpustakaan
Arsip Daerah Provinsi Banten. Selain itu penulis juga mendapatkan beberapa
sumber sekunder berupa buku di perpustakaan pribadi milik bapak Drs. Saidun
Derani, MA.
Setelah sumber-sumber terkumpul, penulis melakukan kritik sumber agar
diperoleh data yang absah, setelah melalui fase kritik, dimana penulis sudah
menemukan korelasi dan pemahaman yang baru mengenai tema yang akan di
bahas. Setelah itu penulis melakukan interpretasi, dimana penulis melakukan
penafsiran terhadap sumber-sumber yang telah diseleksi untuk kemudian
36
Dudung Abdurahman, Pengantar Metodologi Penelitian Dan Penulisan Karya Ilmiah
(Yogyakarta: IKFA Press, 1998), h. 74.
13
dilakukan tahap selanjutnya yaitu historiografi dengan melakukan penulisan
dalam satu urutan yang sistematik yang telah ditentukan dalam pedoman
penulisan skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan ini, penulis membagi ke dalam lima bab, berikut dituliskan
secara singkat bab I sampai bab V beserta sub-babya masing-masing.
Bab I Pendahuluan, yang terdiri dari: Latar Belakang, Batasan dan
Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Tinjauan
Pustaka, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
Bab II Kondisi Umum Masyarakat Banten yang meliputi: Geografi dan
Struktur Masyarakat Banten, Perkembangan Kesultanan Banten,
Kondisi Masyarakat Banten Secara Umum dan Perkembangan
Tarekat di Banten.
Bab III Sejarah dan Perkembangan Tarekat Rifa’iyah di Banten abad ke-19
yang meliputi: Tarekat Rifa’iyah di Banten (Profil Sosial Historis),
Tarekat Rifa’iyah dalam Budaya Banten, Ajaran-Ajaran Tarekat
Rifa’iyah, Wirid dan Amalan Tarekat Rifa’iyah, Wirid Sebagai
Pengobatan.
Bab IV Pengaruh Tarekat Rifa’iyah Terhadap Keagamaan di Banten Abad
ke-19, yang meliputi: Kiyai, Jawara, Pesantren, dan Tradisi Lokal
(Tradisi Debus di Banten, Ritual Permainan Debus).
Bab V Penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran.
14
BAB II
KONDISI UMUM MASYARAKAT BANTEN
A. Geografi dan Struktur Masyarakat Banten
Banten1 adalah salah satu Provinsi di Indonesia Ujung Barat Pulau Jawa.
Dulu Banten merupakan Keresidenan di Jawa Barat yang meliputi Kabupaten
Lebak, Pandeglang, Serang dan Tangerang. Provinsi ini berbatasan dengan Laut
Jawa di sebelah Utara, dengan Selat Sunda di Barat, di Selatan dengan Samudera
Hindia dan di sebelah Timur dengan Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat.2
Terdapat beberapa Pulau di Provinsi ini, antara lain pulau Panaitan, pulau Sertung,
pulau Panjang, Rakata (Krakatau), Pulau dua, Pulau Deli dan Pulau Tinjil.3
Luas Banten sekitar 114 mil2. Menurut data statistik resmi, pada tahun 1892
penduduk Banten berjumlah 568.935 Jiwa. Daerah yang paling padat
penduduknya adalah distrik Cilegon. Daerah Banten dapat dibagi menjadi dua
bagian yang secara umum berbeda satu sama lain. Bagian Selatan yang
merupakan daerah pegunungan dan sangat jarang penduduknya, jarang menjadi
1Asal-usul istilah Banten dikaitkan dengan dua kata, yaitu Wahanten nama kota lama
yang terletak agak kepedalaman dan Bantahan berarti suka membantah, memberontak, kiranya
dikaitkan dengan sejarah daerah ini sejak akhir abad ke-17 yang selalu melawan atau
memberontak tehadap kaum penjajah (Belanda). Ajip Rosidi, Ensiklopedi Sunda, Alam, Manusia,
dan Budaya Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 2000), h.
100. Adapun Menurut salah seorang pengurus Makam Sultan Hasanuddin, Asal nama Banten ada
tiga versi yaitu Katiban Inten, Bantahan, dan Sasajen. Disebut Katiban Inten karena pada waktu
itu dengan datangnya Islam , masyarakat Banten sangat bangga, saking bangganya merasa dirinya
kejatuhan intan dari atas langit, Bantahan diartikan bahwa suku yang membantah, memberontak
terhadap penjajah (Belanda), sedangkan Sasajen adalah sebuah tempat kecil yang di dalamnya
terdapat makanan, bunga-bunga, dan sebagainya. Wawancara dengan bapak Abbas, pengurus
makam Sultan Hasanuddin, Tanggal, 12 April 2014, Pukul 12:10 WIB. 2Statistik Gender dan Analisi Provinsi Banten, (Jakarta: Badan Pusat Statistika, tth), h.
13. 3Halwany Michrob dan Mudjahid Chudori, Catatan Masa Lalu Banten, (Serang: Saudara,
2011), h. 19.
15
ajang peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Banten, sedangkan bagian Utara
penduduknya jauh lebih padat.4
Sebagian besar penduduk Banten berbahasa Sunda.5 Mereka berdiam di
Banten Selatan, yang meliputi Kabupaten Pandeglang dan Lebak. Sedangkan
penduduk bagian Utara meliputi Kabupaten Serang dan Tangerang, merupakan
keturunan orang Jawa yang datang dari Demak dan Cirebon. Seiring berjalannya
waktu, mereka berbaur dengan orang-orang Sunda, Melayu, Bugis dan Lampung.
Selain perbedaan dalam hal bahasa dan adat istiadat, dalam hal penampilan fisik
dan watak orang Banten Utara menunjukkan perbedaan yang nyata dengan orang
Sunda dan orang Jawa dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.6 Di kalangan orang-
orang Belanda, orang Banten Utara terkenal fanatik dalam hal agama, agresif dan
suka memberontak. Perbedaan-perbedaan yang nyata antara Banten Utara dan
Banten Selatan disebabkan dari perbedaan lingkungan alam, faktor ekologis dan
juga perbedaan-perbedaan yang bersifat sosio-kultural atau historis.7
Sebagian masyarakat Banten dikenal keras dalam gaya bicara, bahasa dan
tindakannya. Hal itu menimbulkan image bahwa tindakan kekerasan seolah-olah
telah melekat dalam kehidupan masyarakat Banten. Untuk memahami kondisi
4Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan
Kelanjutannya, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984), h. 53. 5Bahasa Sunda di pakai secara luas dalam masyarakat di Jawa Barat. Dalam pemakaian
bahasa Sunda, dikenal pembagian atas tiga tingkatan, yaitu bahasa sunda lemes, sedang dan kasar.
Bahasa Sunda yang dianggap kurang halus ialah bahasa sunda di dekat pantai Utara, yaitu di
Banten Selatan. Harjoso, “Kebudayaan Sunda”, dalam Koentjaraningrat, Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan: 1971), h. 300-301. 6Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan
Kelanjutannya, h. 54. 7Ibid., h. 54.
16
tersebut dapat dilihat dari aspek historis dimana peristiwa-peristiwa kekerasan
telah terstruktur pada masa awal berdirinya Kesultanan Banten.8
Pada awal abad ke-16 di Banten terdapat kota pelabuhan yang teletak di
muara sungai Citarum, yang kemudian menarik para pedagang untuk singgah dan
juga menyebarkan agama Islam. Dari situlah terjadi proses Islamisasi Banten yang
sebelumnya merupakan bagian wilayah Kerajaan Sunda. Ketika berubah menjadi
kerajaan Islam merupakan kota pelabuhan yang lokasinya agak kepedalaman dan
disebut dengan Wahanten Girang.9 Dengan kedatangan para pedagang yang
menggunakan jalur pelayaran, maka daerah-daerah pesisir berkembang menjadi
kota, tidak heran jika proses islamisasi kebanyakan bermula di pesisir-pesisir.
Banten sendiri juga terletak di daerah pesisir. Dengan melalui proses Islamisasi
inilah akhirnya terbentuk kota bercorak Islam.10
Banten mempunyai posisi yang sangat strategis di pesisir Utara bagian Barat
pulau Jawa dekat Selat Sunda, yang dinamakan dengan “Jalan Sutra”.11
Sehingga
menjadi tempat persinggahan para pedagang internasional. Banten juga telah
mengembangkan pertanian. Sejak Sultan Abdul Mufakhir Muhammad Abdul
Kadir, pertanian telah dikembangkan dengan dibangunnya sistem irigasi oleh
Sultan Ageng Tirtayasa, sehingga pertanian di Banten maju pesat. Teknologi
8Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, (Jakarta: YPM:
Young Progressive Muslim, 2011), h. 29-30. 9Ajip Rosidi, Ensiklopedi Sunda, Alam, Manusia, dan Budaya Termasuk Budaya Cirebon
dan Bewtawi, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 2000), h. 100. 10
Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia
Dari Abad XIII sampai XVIII masehi, (Kudus: Menara Kudus, 2000), h. 36. 11
Sebutan “Jalan Sutra” berasal dari terjemahan “Silk Roads” yang pertama kali di
kemukakan oleh Baron Ferdinand Von Riohhofen, pada abad ke-19 untuk menyebutkan jalan-
jalan kuno yang menghubungkan negeri-negeri di Asia dan Barat, yang kecuali timbulnya
hubungan-hubungan perdagangan juga terjadinya kontak-kontak kebudayaan. Uka Tjandrasasmita,
Banten Abad XV-XXI Pencapaian Gemilang Penorehan Menjelang, Jakarta: Puslitbang Lektur dan
Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2011), h. 81.
17
industri gerabah yang berkembang di kota Banten juga memberi gambaran
pesatnya kemajuan industri ini.12
Kini Banten bukan lagi keresidenan, berdasarkan Undang-Undang Nomor
23 tahun 2000, Banten yang semula bagian dari Provinsi Jawa Barat, berubah
menjadi Provinsi Banten. Dengan luas wilayah 8.800,83 km², Banten berada pada
batas geografis 105°’11’’-106°7’12’’ Bujur Timur dan 5°7’50’’-71’1’’ Lintang
Selatan. Banten terdiri dari empat Kabupaten yaitu Kabupaten Pandeglang, Lebak,
Serang, Tangerang dan empat Kotamadya, yaitu Tangerang, Cilegon, Serang dan
Tangerang Selatan.13
Beberapa kota yang berperan sebagai pusat pertumbuhan
perekonomian adalah Serang, Pontang, Tirtayasa, Cikande, Labuan, Pandeglang,
Saketi, Rangkasbitung, Leuwidamar dan Banjarsari.14
Secara topografi wilayah provinsi Banten berkisar pada ketinggian 0-1.000
m dpl. Secara umum kondisi topografi wilayah provinsi Banten dataran rendah
yang berkisar antara 0-200 m dpl yang terletak di wilayah kota Cilegon, kota
Tangerang, Kabupaten Pandeglang dan sebagian besar Kabupaten Serang.
Adapun wilayah bagian Lebak Tengah dan sebagian kecil Kabupaten Pandeglang
memiliki ketinggian 201-2.000 m dpl. Sedangkan wilayah Lebak Timur memiliki
ketinggian ketinggian 501-2.000 m dpl yang terdapat di Puncak Gunung
Sanggabuana dan Gunung Halimun.15
12
“Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 3”, (Jakarta: PT Delta Pamungkas, 2004), h.
160. 13
Statistik Gender dan Analisis Provinsi Banten, (Jakarta: Badan Pusat Statistika, tth), h.
13. 14
“Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 3”, h. 158. 15
http://www.bpkp.go.id/dki2/konten/1092/GEOGRAFIS. Akses Tanggal: 27 April 2015,
Pukul 10:40 WIB.
18
B. Perkembangan Kesultanan Banten
Kesultanan Banten merupakan kerajaan yang berlandaskan Islam, namun
asas kerukunan, toleransi dan pluralisme beragama terbuka bagi masyarakat,
berbagai etnis dan agama. Buktinya terdapat kelenteng Tionghoa yang didirikan
pada masa Sunan Gunung jati dan sampai saat ini masih terawat dengan baik dan
menjadi situs cagar budaya nasional.16
Pada akhir abad ke-16 Banten mengalami zaman kejayaan. Kota Banten
banyak didatangi para saudagar dari dalam dan luar Nusantara, sehingga berfungsi
sebagai pusat perdagangan internasional. Tidak sedikit dari para pedagang yang
akhirnya bermukim dan menetap di daerah Banten.17
Sebagai pusat perdagangan,
Banten dikenal luas sebagai tempat jual beli rempah-rempah. Rempah-rempah
yang diperdagangkan ialah lada yang dihasilkan di Lampung maupun di Banten
sendiri dan cengkeh serta pala dihasilkan di Maluku.18
Kejayaan Kesultanan Banten tersebut tetap bertahan setelah Sultan Maulana
Hasanuddin wafat. Adapun para Sultan yang menggantikan beliau adalah
Maulana Yusuf, Maulana Muhammad dan Sultan Ageng Tirtayasa. Mereka tidak
hanya berhasil mempertahankan kejayaan tapi juga terus berusaha memperluas
wilayah teritorial Kesultanan Islam Banten.19
Hasanuddin wafat pada tahun 1570 M dan dimakamkan di samping Masjid
Agung Banten. Hasanuddin dijuluki oleh rakyat Banten sebagai Pangeran
Surosowan dan Panembahan Seda Kingkin. Julukan ini mengandung maksud
16
Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, (Jakarta:
YPM: Young Progressive Muslim, 2011), h.32. 17
Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, (Jakarta:
Yayasan Kota Kita, 2006), h. 1. 18
Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3, (Yogyakarta: Kanisius, 1973),
h. 58. 19
Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, h. 32.
19
bahwa Maulana Hasanuddin adalah pendiri Keraton Surosowan serta dengan
meninggalnya beliau, rakyat Banten berduka cita dan merasa rindu akan
kebijaksanaannya.20
Setelah Maulana Hasanuddin wafat, ia digantikan oleh putranya, Maulana
Yusuf atau dikenal sebagai Panembahan Yusuf. Ia giat memperluas daerahnya
dengan berusaha melenyapkan kerajaan yang belum Islam yaitu Padjajaran.21
Pada masa pemerintahannya, Maulana Yusuf lebih menitikberatkan pada
pengembangan kota, keamanan wilayah, perdagangan dan pertanian. Pada tahun
1579, pasukan Banten menyerang Pakuan, Ibu kota Padjajaran sehingga kerajaan
Sunda akhirnya runtuh.22
Penyerangan ini dilandasi oleh tekadnya untuk
menyebarkan agama Islam ke pedalaman Banten.23
Selain itu, Maulana Yusuf memperluas perekonomian rakyat dengan
pembukaan daerah persawahan di sepanjang pesisir Banten dan daerah
perkebunan lada di Lampung dan Bengkulu untuk meningkatkan produksi
pertanian yang sangat penting guna menunjang perniagaaan, serta untuk konsumsi
dalam negeri.24
Pada masa pemerintahannya, perdagangan sudah sangat maju
sehingga Banten merupakan tempat penimbunan barang-barang dari berbagai
wilayah yang kemudian diperdagangkan ke seluruh kerajaan di Nusantara.25
20
Ajip Rosidi, Ensiklopedi Sunda, Alam, Manusia, dan Budaya Termasuk Budaya
Cirebon dan Betawi, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 2000), h. 408. 21
Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3, (Yogyakarta: Kanisius, 1973),
h. 58. 22
Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari: Karya Sastra Sebagai Sumber Pengetahuan
Sejarah, (Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barta, 1986), h. 189. 23
Heriyanti Ongkodharma. Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, h. 73. 24
Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, h. 36. 25
Buku Halwany Michrob dan Mudjahid Chudori, Catatan Masa Lalu Banten, h. 89.
20
Pada Masa Pemerintahan Maulana Yusuf, Banten telah menjadi tempat
persinggahan dan transaksi perdagangan internasional.26
Sehingga situasi
perdagangan di Karangantu sangat ramai. Pedagang-pedagang dari Cina
membawa barang dagangan berupa porselen sutra, beludru, benang emas, kain
sulaman, jarum, sisir, payung, selop, kipas, kertas dan sebaginya. Pulangnya
mereka membawa lada, nila, kayu cendana, cengkeh, buah pala, kulit penyu dan
gading gajah. Orang Arab dan Persia membawa permata dan obat-obatan. Orang
Gujarat menjual kain dari kapas dan sutra, kain putih dari Coromandel. Pulangnya
mereka membeli rempah-rempah. Sedangkan orang Portugis membawa kain-kain
dari Eropa dan India.27
Pada tahun 1580 Maulana Yusuf wafat dan dimakamkan di Pekalangan
Gede dekat Kampung Kasunyatan, sehingga setelah meninggal ia lebih dikenal
sebagai pangeran Panembahan Pekalangan Gede atau Pangeran Pasarean.28
Sebagai penggantinya atau yang berhak naik takhta adalah putranya, Maulana
Muhammad, tetapi ketika itu ia baru berusia 9 tahun. Pamannya, Pangeran Aria
Jepara hendak menggeser takhta Maulana Muhammad, karena menganggap
Maulana Muhammad usianya masih terlalu muda. Akan tetapi kadhi (hakim
agung) dan para wali tidak setuju dengan keinginan Pangeran Jepara, sehingga
Maulana Muhammad tetap dijadikan sebagai Sultan Banten dengan gelar
Kangjěng Ratu Bantěn Surosowan.29
26
“Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 3”, (Jakarta: PT Delta Pamungkas, 2004), h.
159. 27
Halwany Michrob dan Mudjahid Chudori, Catatan Masa Lalu Banten, h. 89. 28
Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, h. 39. 29
Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten, (Jakarta: Djambatan,
1983), h. 41 dan 163.
21
Pada masa pemerintahannya Maulana Muhammad dikenal sebagai seorang
sultan yang amat soleh. Cara yang dilakukan dalam menyebarkan agam Islam
yaitu dengan menulis kitab-kitab agama Islam yang kemudian dibagikan kepada
masyarakat dan membangun masjid-masjid sampai ke pelosok. Ia juga yang
memperindah dan memperbaiki masjid Agung.30
Setelah dewasa Maulana
Muhammad mengadakan berbagai usaha untuk memajukkan negerinya dan
melakukan ekspansi31
ke Palembang.
Dalam ekspedisi tersebut, Pangeran Muhammad berkeinginan untuk
memerangi orang-orang kafir.32
Dengan 200 kapal perang, berangkatlah pasukan
Banten di bawah pimpinan Sultan Maulana Muhammad yang didampingi oleh
Mangkubumi dan Pangeran Mas. Tiba di Palembang terjadilah pertempuran yang
sangat dahsyat, bahkan Maulana Muhammad yang memimpim pasukan terbunuh
dalam peperangan tersebut, sehingga ekspedisi ini pulang dengan kekalahan.
Setelah wafat, Maulana Muhammad dimakamkan di serambi mesjid Agung.
Setelah itu ia dikenal sebagai Pangeran Seda ing Palembang atau Pangeran Seda
ing Rana.33
Maulana Muhammad meninggal pada usia yang masih muda, kurang lebih
25 tahun dengan meninggalkan seorang putera yang berusia 5 bulan dari
permaisuri Ratu Wanagiri, putri dari Mangkubumi. Sultan Abdul Mufakhir
Mahmud Abdul Kadir anak Maulana Muhammad menggantikan ayahnya. Namun
sehubungan dengan usianya yang masih muda, maka untuk menjalankan
30
Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, h. 40. 31
Ekspansi ialah perluasan suatu wilayah dengan menduduki sebagaian atau seluruh
wilayahnya. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 32
Heriyanti Ongodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-
1684, Kajian Arkeologi-Ekonomi, (Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2007), h. 34. 33
Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten. h. 164-169.
22
pemerintahan, ditunjuklah Mangkubumi Jayanegara,34
sebagai walinya.
Hingga ia meninggal dunia pada tahun 1602 yang kemudian digantikan oleh
adiknya. Akan tetapi pada tanggal 17 November 1602, adiknya itu dipecat dari
jabatannya karena kelakuannya tidak baik.35
Setelah Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir sudah dewasa, maka
barulah ia menjadi pemimpin pemerintahan di Banten dengan gelar Abu al-
Mafakhir Mahmud Abdul Kadir. Masa pemerintahannya penuh dengan
perselisihan antara Banten dan Belanda. Banyak terjadi pertempuran kecil antara
kedua wilayah tersebut. Pada tanggal 10 Maret 1651, Sultan Abdul Mufakhir
Mahmud Abdul Kadir meninggal dunia dan dimakamkan di Kenari.36
Pengganti Selanjutnya adalah Sultan Ageng Tirtayasa yang memerintah
tahun (1651-1682), ia adalah Sultan Banten yang anti Belanda. Semangat
memerangi Belanda merupakan salah satu tekad untuk mengalahkan kolonial
Belanda. Upaya yang dilakukannya antara lain mengadakan gerilya besar-besaran
di wilayah kompeni, merusak kebun-kebun tebu, mencegat serdadu Belanda, serta
membakar markas kompeni Belanda.37
Masyarakat Banten melakukan
Penyerbuan kecil-kecilan terhadap Belanda, atau perampasan kapal-kapal Belanda
dan merusak perkebunan tebu milik kompeni yang terdapat di daerah Banten.
Akibat serangan Banten terhadap Belanda, maka Belanda langsung mengirim
34
Mangkubumi Jayanegara adalah seorang yang lemah lembut dan luas pengalamannya
dalam pemerintahan. Setiap akan mengambil keputusan yang dianggap penting, ia selalu
bermusyawarah dengan para pembesar lainnya terutama dengan seorang wanita tua bijaksana yang
ditunjuk sebagai pengasuh sultan muda yang bernama Nyai Embah Rangkun. (Djajadiningrat,
Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten. h. 169 35
Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten. h. 170 36
Jurnal, Planesa Volume 3, Nomor 1 Mei 2012, Budi Sulistyo dan Gita Vemilya Many,
Revitalisasi Kawasan Banten Lama Sebagai Wisata Ziarah .h. 8. 37
Heriyanti Ongodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-
1684, Kajian Arkeologi-Ekonomi, h. 39.
23
empat sampai lima kapal dan mengadakan blokade38
terhadap pelabuhan
Banten.39
Peristiwa ini sangat merugikan perdagangan Banten, kemudian Sultan
mengadakan perundingan dengan pihak kompeni. Sehingga Sultan menjadikan
Kesultanan Banten berkembang pesat dan maju di bidang perdagangan.40
Pada Masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa usaha yang dilakukan
untuk kemakmuran negerinya yaitu membuat saluran air dari sungai Untung Jawa
hingga Pontang dan Tanahara. Saluran ini dibuat untuk kepentingan irigasi dan
memudahkan transformasi dalam peperangan. Selain itu juga untuk meningkatkan
produksi pertanian, mengairi sawah-sawah sehingga tumbuh menjadi daerah
penghasil pangan. Upaya yang dilakukannya tersebut tidak sia-sia, banyak kapal
dagang asing yang berlabuh, sehingga perdagangan di Pelabuhan Banten sangat
ramai.41
Selain itu juga salah satu kunci kemakmuran Banten, dengan
pelabuhannya yang indah serta aman dan baik waktu itu, maka Banten sudah
mencapai taraf internasional.42
Sultan Ageng Tirtayasa telah membawa Banten ke puncak kemajuan. Selain
memajukan pertanian dengan sistem irigasi, ia juga berhasil menyusun kekuatan
angkatan perangnya, memperluas hubungan diplomatik dan meningkatkan
perniagaan Banten sehingga menjadi aktif dalam dunia perdagangan internasional
di Asia.43
38
Blokade ialah pengepungan (penutupan) suatu wilayah sehingga orang, barang, kapal,
dan sebagainya tidak dapat keluar masuk dengan bebas. Kamus Besar Bahasa Indonesia 39
“Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 3”, h. 161. 40
Heryanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, h. 75. 41
Heriyanti Ongodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-
1684, Kajian Arkeologi-Ekonomi, h.40. 42
Uka Tjandrasasmita, Musuh Besar Kompeni Belanda (Jakarta: Yayasan Kebudayaan
Nusalarang, 1967), hal.7. 43
Nina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara. h. 50
24
C. Kondisi Masyarakat Banten Secara Umum
Banten sebagai sebuah kesultanan yang otonom mengalami suatu
perkembangan yang pesat, baik dalam bidang sosial, ekonomi, budaya dan agama.
Sehingga kehidupan masyarakat Banten memiliki latar belakang yang
berkembang dalam pelayaran, perdagangan dan pertanian. Masyarakat Banten
memiliki jiwa bebas dan lebih bersifat terbuka, dengan demikian mereka dapat
berbaur dengan pedagang-pedagang dari berbagai bangsa lain. Para pedagang
tersebut menetap dan mendirikan perkampungan di Banten. Seperti
perkampungan Pekojan (perkampungan orang Arab), Pecinan (perkampungan
orang Cina), Kampung Melayu, Kampung Jawa dan sebagainya.44
1. Sosial
Kehidupan sosial rakyat Banten didasarkan pada ajaran-ajaran yang berlaku
dalam Agama Islam.45
Pemerintahan Banten menggunakan aturan dan hukum
Islam, sehingga kehidupan masyarakatnya hidup secara teratur. Di Pelabuhan
Banten terdapat berbagai etnis pendatang antara lain: Eropa, Cina dan Arab.
Orang Eropa merupakan komunitas yang mendiami daerah perkotaan, sementara
orang Cina mendiami daerah atau pusat-pusat perekonomian, sedangkan orang-
orang Arab tinggal di Banten memberi dampak penyebaran agama Islam di daerah
ini.46
Dalam struktur sosial masyarakat Banten, terdapat 4 golongan yaitu
golongan para sultan dan keluarganya, golongan elit, golongan nonelit, dan
44
http://KehidupanSosialdan20Ekonomi%20Masyarakat%20Kerajaan%20Banten%20_%
20Perpustakaan%20Cyber.htm. 45
Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, (Jakarta:
YPM: Young Progressive Muslim, 2011), h. 1. 46
Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, h. 82.
25
golongan budak. Sultan dan keluarganya merupakan kelompok masyarakat yang
menempati lapisan sosial paling tinggi. Golongan kedua (elit) dikategorikan
dalam pejabat-pejabat tinggi kerajaan seperti Menteri, Mangkubumi, Kadhi,
Syahbandar, dan lain-lain.47
Golongan yang ketiga yaitu golongan nonelit yang
merupakan mayoritas rakyat Banten, yang termasuk dalam kelas ini adalah rakyat
pribumi yang berdiam disana. Mereka terdiri dari petani, buruh, pekerja ahli
(tukang), nelayan dan pedagang asing yang bertempat tinggal di Banten.48
Sedangkan lapisan terbawah yang merupakan golongan budak, pada umumnya
kehidupan mereka penuh pengabdian pada majikan, sehingga dapat diduga bahwa
sangat besar ketergantungan pada kebijaksanaan tuannya.49
Pada abad ke-19 Masyarakat Banten, mengalami penderitaan khususnya
sejak dihapuskannya kesultanan Banten oleh Daendells pada tahun 1808.50
Pasca
dihapuskannya pemerintahan kesultanan Banten, tekanan pemerintah Hindia
Belanda terhadap masyarakat pribumi semakin besar sehingga memunculkan
konflik di masyarakat.51
Keadaan rakyat Banten di tandai adanya bencana fisik yang silih berganti.
Pada tahun 1879 terdapat wabah penyakit pes sehingga banyak penduduk yang
meninggal, tahun 1883 terjadi letusan Gunung Krakatau, dan pada tahun 1888
terjadi perlawanan petani di Keresidenan Banten.52
Akan tetapi rakyat Banten
lambat laun bisa memulihkan kehidupannya menuju ke arah normal. Musibah
47
Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, (Jakarta:
Yayasan Kota Kita, 2006), h. 78. 48
Nina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, h. 83. 49
Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, h. 83. 50
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa,
dan Kelanjutannya, (Jakata: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984), hlm. 53 51
Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, h. 7. 52
Halwany Michrob, Catatan Sejarah dan Arkeologi: Eksport-Import di Zaman
Kesultanan Banten, (Serang: Kamar Dagang dan Industri Daerah (KADINDA), 1993), h. 14.
26
yang bertubi-tubi menimpa rakyat Banten dengan sendirinya membawa dampak
luas, di bidang sosial ekonomi, sehingga meski kehidupan sosial ekonomi dapat
dipulihkan pada tahun-tahun berikutnya, suasana di kalangan rakyat penuh
kegelisahan dan keresahan.53
2. Agama
Pada awal abad ke-16 kehidupan keagamaan dan kepercayaan masyarakat
Banten mengalami pergeseran yang mendasar. Pergeseran ini disebabkan oleh
masuk dan berkembangnya agama Islam. Pada tahun 1579 puncak penyebaran
agama Islam terjadi beriringan dengan runtuhnya Kerajaan Sunda akibat dari
serangan Banten di bawah Pimpinan Maulana Yusuf. Sejak saat itu, kehidupan
keagamaan dan kepercayaan masyarakat di Banten didominasi oleh Islam.54
Ada sebagian kecil masyarakat Banten yang menganut kepercayaan pra-
Islam, yakni masyarakat Baduy.55
Masyarakat Baduy berdiam di daerah Kenekes
dan mereka tinggal di tiga kampung yakni, Cibeo, Cikeusik dan Cikartawarna.
Kehidupan masyarakat tersebut sampai kini masih bercocok tanam dan
berpakaian khasnya sendiri. Perkampungan di daerah Kenekes begitu terpencil
sehingga tidak terpengaruh dengan perkembangan kehidupan sosial budaya
masyarakat di luarnya.56
53
Halwany Michrob dan Mudjahid Chudori, Catatan Masa Lalu Banten, (Serang: Saudara
Serang, 2011), h. 15-16. 54
Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, (Jakarta :
Pustaka LP3ES. Indonesia, 2003), h. 84. 55
Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, (Jakarta:
YPM: Young Progressive Muslim, 2011), h. 1. 56
“Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 3”, (Jakarta: PT Delta Pamungkas, 2004), h.
159.
27
Meskipun Islam sudah diterima secara luas, namun bukan berarti kehidupan
keagamaan dan kepercayaan masyarakat sepenuhnya bercorak Islam. Dalam
kenyataannya, praktik-praktik animistis masih dipraktekkan dalam kehidupan
sehari-hari. Sinkretisme menjadi sebuah kenyataan yang masih mewarnai
kehidupan masyarakat Banten.57
Praktik animisme lambat laun mulai menghilang
dengan kedatangan para pemuka agama.
Setelah kedatangan Syarif Hidayatullah dan putranya yang membawa dan
mengajarkan agama Islam di Banten, masyarakat Banten sebagian besar menganut
agama Islam, dan dikenal dengan salah satu daerah berbasis Islam tradisionalis
dan fanatik.58
Banten dikenal dengan daerah yang sering melakukan
pemberontakan. Salah satunya ialah pemberontakan Petani Banten 1888.
Pemberontakan tersebut dipandang sebagai gerakan protes terhadap penjajahan
Barat dan menggunakan agama sebagai simbol.
Pemimpin agama dengan demikian muncul sebagai pemimpin gerakan
rakyat. Oleh karena itu, gerakan pemberontakan yang mereka lancarkan dianggap
sebagai gerakan keagamaan.59
Kaum elit agama mempunyai kebebasan dalam
melaksanakan fungsi-fungsi mereka, seperti menyelenggarakan kegiatan-kegiatan
agama, mendirikan pesantren, bahkan mendirikan tarekat-tarekat yang digunakan
sebagai pemberontkan dan kekuatan bagi masyarakat Banten.60
57
Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, h. 84. 58
Ibid., h. 29-30. 59
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa,
dan Kelanjutannya, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984), h. 15. 60
Ibid., h. 135.
28
3. Ekonomi
Ekonomi merupakan faktor penting dalam mendukung perkembangan
Banten. Ia merupakan sumber dana untuk keberlangsungan Kesultanan Banten.
Maju atau mundurnya suatu kesultanan, tergantung bagaimana kemampuan
kesultanan dalam mengendalikan perekonomiannya.61
Pemegang hak monopoli
perdagangan yang terdapat dalam kerajaan-kerajaan tradisional di Indonesia
adalah raja.62
Artinya raja atau Sultan memegang peranan dalam mengendalikan
suatu perekonomian.
Perekonomian Banten bersifat agraris, sehingga mata pencaharaian mereka
sebagian kecil adalah petani, baik sebagai pemilik tanah atau sebagai penggarap
bagi hasil. Namun demikian, sebagian besar mata pencaharian mereka juga ialah
bekerja sebagai pedagang dan nelayan.63
Karena Banten sebagai kerajaan pesisir
yang bercorak Maritim, kehidupannya menitikberatkan pada bidang perdagangan
dan pelayaran, maka baik kekuasaan politik maupun ekonomi dipegang oleh
kaum ningrat yang mendominasi perdagangan sebagai pemberi modal. Tome
Pires menyebutkan bahwa Banten telah menjadi pelabuhan kedua tepenting
setelah Kalapa. Sebagai pelabuhan kedua, Banten telah menjadi pengekspor beras
dan lada.64
Pusat penjualan lada terdapat di pasar dekat pelabuhan Banten. Orang-orang
berdatangan ke tempat tersebut untuk melakukan transaksi jual beli lada dan
61
Tubagus Najib Al-Bantani, “Biografi K.Wasid Karya-Karya dan Perlawanan Terhadap
Kolonial di Banten”, (Skripsi Universitas Indonesia, 1991), h. 7. 62
Burger dan Prayudi, Sejarah Ekonomi Sosiologis Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita,
1962), Jilid 1. h. 23-25. 63
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa,
dan Kelanjutannya, h. 57. 64
Halwany Michrob, Catatan Sejarah dan Arkeologi: Eksport-Import di Zaman
Kesultanan Banten, (Serang: Kamar Dagang dan Industri Daerah (KADINDA), 1993), h. 14.
29
berbagai aktifitas, sehingga menjadikan kota Banten dikenal sebagai pusat
perdagangan,65
yang ramai dan disinggahi oleh kapal-kapal dagang Cina, India
dan Eropa.66
Perkembangan ekonomi tersebut kemungkinan besar terjadi ketika
membaur dengan perdagangan Cina.67
Pada abad ke-19 Banten mulai mengalami kemunduran sejak kedatangan
kolonial Belanda.68
Belanda masuk ke Banten karena Banten merupakan daerah
yang strategis dan mengalami kemajuan di bidang perdagangan. Sehingga
Belanda ingin menguasai wilayah Banten dan memonopoli perdagangan di
pelabuhan yang strategis tersebut dan ingin membuat rakyat Banten sengsara.69
Kehidupan ekonomi Rakyat Banten memburuk seiring menguatnya kekuasaan
Belanda. Rakyat Banten yang semula umumnya adalah pedagang di laut, beralih
profesi menjadi petani lada dan pemerintah kolonial campur tangan sampai ke
urusan desa.70
Pada abad tersebut Banten sangat prihatin dan tidak setuju dengan cara yang
diterapkan Belanda di Kesultanan Banten. Muncullah perlawannan yang dipimpin
para tokoh Banten. Bermarkas di hutan-hutan Selatan, mereka selalu siap
menghadang tentara Belanda yang menuju Batavia untuk mengangkat rempah-
rempah dan barang-barang pedagang lainnya di Banten. Belanda membalasnya
dengan melakukan penyiksaan tehadap masyarakat Banten seperti kerja rodi dan
65
Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, (Jakarta:
Yayasan Kota Kita, 2006), h. 3. 66
H.J.De Graaf dan TH. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, h. 137. 67
Claude Guillot, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII, (Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2011), h. 26. 68
Uka Tjandrasasmita, Banten Abad XV-XXI Pencapaian Gemilang Penorehan
Menjelang, (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Kementrian Agama RI, 2011), h. 75. 69
Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, (Jakarta :
Pustaka LP3ES. Indonesia, 200), h. 70. 70
Ibid., h. 97-98.
30
tanam paksa.71
Sistem tanam paksa yang dilakukan oleh Belanda merupakan
eksploitasi penjajahan di tanah koloni. Eksploitasi ini telah menciptakan
kemiskinan petani Jawa.72
4. Budaya
Banten juga dikenal karena budaya masyarakat lokal yang unik dan berbeda
dari daerah lainnya, walaupun setiap suku masyarakat yang mendiami daerah-
daerah lain di Indonesia memiliki kultur budaya mereka tersendiri.73
Budaya lokal
berintegrasi dan berinteraksi dengan konsep-konsep Islam, seperti tampak pada
adanya dua jenis pintu gerbang Bantar dan paduraksa sebagai ambang masuk
masjid di Keraton Kaibon. Namun sebaliknya “wajah asing” pun tampak sangat
jelas di komplek Masjid Agung Banten, yakni melalui pendirian bangunan
Tiamah dan Menara Mesjid.74
Dalam kehidupan sosial budaya, bahasa memegang peranan sangat penting.
Dengan bahasa, orang bisa berkomunikasi dengan para pedagang dalam maupun
luar negeri. Berdasarkan sumber sejarah yang yang ditemukan dapat diketahui
bahwa kurun waktu tahun 1500-1800 M masyarakat Banten terdiri dari beragam
etnis yang ada di Nusantara, antara lain: Sunda, Jawa, Bugis, Makasar dan Bali.
Beragam suku tersebut memberi pengaruh terhadap perkembangan budaya
71
Uka Tjandrasasmita, Banten Abad XV-XXI Pencapaian Gemilang Penorehan
Menjelang, h. 32. 72
Robert Van Niel, Sistem Tanam Paksa di Jawa.(Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia,
2003), h. ix. 73
Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, (Jakarta:
YPM: Young Progressive Muslim, 2011), h. 28-29. 74
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban Arkeologi dan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1998), h. 209.
31
Banten. Dari sekian banyak bahasa yang dikenal dan digunakan oleh masyarakat
Banten hanya tiga bahasa yaitu Sunda, Jawa, dan Melayu.75
Bahasa Sunda adalah bahasa yang digunakan oleh sebagain besar
masyarakat Banten bagian Selatan, sementara masyarakat Banten bagian Utara
menggunakan bahasa Jawa.76
Sedangkan bahasa melayu banyak digunakan di
pelabuhan karena kedudukannya sebagai lingua franca (bahasa perantara atau
bahasa penghubung).77
Masyarakat dan kebudayaan Banten memiliki keunikan dan kekhasan
tersendiri. Keunikan tersebut menjadi eksisitensi budaya Banten untuk dapat
diperkenalkan kepada masyarakat umum. Keunikan budaya Banten dapat dilihat
dari berbagai macam kesenina tradisional seperti, debus, rudat,78
dsb. Debus
merupakan kesenian tradisional khas Banten yang tumbuh bersamaan dengan
perkembangan agama Islam di Banten dan sebagai warisan budaya lokal
masyarakat Banten dan diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam.79
D. Perkembangan Tarekat di Banten
Sejalan dengan berkembangnya Kesultanan Banten, perkembangan ajaran-
ajaran Islam terus berjalan dengan pesat. Salah satu yang berkembang di Banten
adalah tarekat. Pemerintah Belanda menganggap tarekat sebagai pemberontakan
75
Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, (Jakarta :
Pustaka LP3ES. Indonesia, 2003), h. 84-85. 76
“Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 3”, (Jakarta: PT Delta pamungkas, 2004),h. 159. 77
Nina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, h. 85. Apabila
ada oarang asing yang datang ke Banten, maka bahasa melayu lah yang digunakan. 78
Rudat ialah suatu pertunjukkan yang dilakukan oleh beberapa orang. Cara melakukannya ialah duduk sambil memukul alat-alat bunyian, berupa genjring sebanyak lima sampai tujuh buah dan disertai ebuah kecrek. Sejarah Seni Budaya Jawa Barat 1, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), h. 87.
79Noviyanti Widyasari, Peranan Debus Dalam Pembinaan Budaya Kewarganegaraan
(Civil Culture) Pada Masyarakat Banten. Universitas Pendidikan Indonesia, 2014. h. 1
32
yang dipimpin oleh tokoh-tokoh Agama.80
Pada abad ke-19 di Pulau Jawa ada tiga
tarekat yang sangat penting yaitu Qadiriyah, Naqsyabandiyah, dan Satariyah.
Akan tetapi terdapat pula kelompok-kelompok tarekat Rahmaniyah dan Rifa’iyah
walupun tidak banyak pengikutnya.
Di Pulau Jawa secara keseluruhan tarekat Naqsyabandiyah yang paling
banyak pengikutnya.81
Sedangkan di Banten tarekat yang populer dan berafiliasi
di kalangan jawara Banten ialah Tarekat Qadiriyah, Rifa’iyah, dan Sammaniyah.82
Guru tarekat yang pertama kali datang ke Banten ialah Syekh Yusuf Al-Makasari,
tetapi tidak ada bukti tentang penyebarluasan suatu tarekat di kalangan
masyarakat Banten. Tarekat yang diajarkannya yaitu tarekat Khalwatiyah.
Penyebarannya masih terbatas diberikan kepada kelompok etnisnya saja.
Sehingga para pengikut yang diangkatnya hanyalah terdiri dari orang-orang
Makasar saja. Sementara tidak ada masyarakat Banten yang meneruskan tarekat
syekh Yusuf ini. Namun telah ditemukan beberapa tarekat terutama tarekat
Naqsyabandiyah dan Syatariyah, diajarkan di Banten yang di bawa oleh Abdullah
bin Abdul Qahar.83
Pada abad ke-19, tarekat di Indonesia memperoleh semangat dan dukungan
dari masyarakat. Hal ini disebabkan kedatangan para pengikut Syekh Khatib
Sambas dari Mekkah. Khatib Sambas ialah seorang pemimpin tarekat Qadiriyah
di Mekkah. Ia seorang Kiyai yang oleh murid-muridnya dianggap sebagai seorang
80
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 64. 81
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa,
dan Kelanjutannya, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984), hlm. 225. 82
Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, (Jakarta:
YPM: Young Progressive Muslim, 2011), h. 20. 83
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di
Indonesia. (Bandung: Mizan, 1995), h. 268-269. Dan hasil Wawancara Tokoh Budaya juga
mengatakan bahwa Abdullah bin abdul Qahar juga mengajarkan Sanusiyah, Awaliyah,
Syadziliyah, Rifa’iyah.
33
alim yang menguasai berbagai pengetahuan Islam. Khatib Sambas juga dikenal
sebagai pendiri suatu tarekat baru yaitu tarekat Qadariyah wa Naqsyabandiyah.84
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan tarekat yang baru dan
berdiri sendiri, yang di dalamnya terdapat unsur-unsur pilihan dari Qadiriyah dan
juga Naqsyabandiyah yang telah dipadukan menjadi sesuatu yang baru. Khatib
Sambas mempunyai banyak murid yang datang dari setiap penjuru Nusantara: dari
Malaya, Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok. Setelah ia wafat hanya seorang dari
mereka yang diakui sebagai pemimpin utama dari tarekat tersebut, dia adalah
Syeikh Ahmad Abdul Karim dari Banten.85
Sebelum didirikannya tarekat tersebut, para kiyai di Banten tidak melakukan
kerja sama satu sama lain. Setiap kiyai mendirikan pesantrennya sendiri dengan
caranya sendiri, dan bersaing dengan kiayi-kiyai lainnya untuk mendapat nama
sebagai ulama yang pandai.86
Dengan kedatangan Syekh Abdul Karim, tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabndiyah menjadi populer di kalangan masyarakat Banten.
Tarekat tersebut dikatakan sebagai pendorong pemberontakan petani yang terjadi
di Banten pada tahun 1888. Banten kemudian dikenal sebagai daerah yang sering
memberontak, dan dipelopori oleh tokoh-tokoh agama.87
Pengaruh para kiyai terhadap masyarakat sangat kuat. Kesetiaan para santri
kepada kiyai juga sangat tinggi, karena kiyai dianggap mempunyai kesaktian.
84
Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kiyai dan Visinya
Mengenai Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011), h. 219. 85
Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei historis,
geografis, dan sosiologis, h. 89-92. 86
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa,
dan Kelanjutannya, h. 230. 87
Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, h. 27.
34
Pada umumnya para kiyai sangat dicintai dan dihormati oleh rakyat karena
mereka menganggapnya sebagai lambang kejujuran dan keluhuran budi.88
88
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, h. 230.
35
BAB III
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TAREKAT RIFA’IYAH DI BANTEN
ABAD KE-19
A. Tarekat Rifa’iyah di Banten (Profil, Sosial Historis)
Tarekat Rifa‟iyah pertama kali muncul dan berkembang di wilayah Irak
bagian Selatan. Pendirinya adalah Syekh Abu Al-Abbas Ahmad ibn Ali Al-Rifa‟i.
Ia lahir di Qaryah Hasan, dekat Basrah. Tahun kelahirannya diperkirakan pada
1106 M dan wafat pada tahun 1182 M.1 Tarekat ini kemudian berkembang di
beberapa wilayah, seperti Mesir, Suriah dan Indonesia. Tarekat Rifa‟iyah masuk
ke Indonesia dari salah satu ulama yang berasal dari India yakni Nuruddin al-
Raniri.2 Ia ditunjuk oleh Syekh Ba Syaiban sebagai khalifah dalam tarekat
Rifa‟iyah, dan karenanya ia bertanggungjawab untuk membawa dan
menyebarkannya ke beberapa wilayah Indonesia.3 Pertama kali ia menyebarkan
ke wilayah Aceh,4 sehinggga kini pengaruhnya sampai ke Minangkabau, Cirebon,
Maluku, dan Banten.5
1Abu Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, Cet. XI, (Solo: Ramadhani, 1995), h. 355 dan
357. 2Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabaroh di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2005), h. 15. 3M. Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia,
2001), h. 38. Sebelumnya penganut tarekat ini ialah Syekh Muhammad Al-Aidarus (kakek rohani
dari Nurudin al-Raniri). Melaui Syeh Al-Aidarus ini Ba Syaiban diterima masuk dalam tarekat
Rifa‟iyah kemudian ia menggantikannya dan menerima kedatangan murid-murid baru. Sri
Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, Cet. ke-1, (Kencana: Prenada
Media Group, 2006), h. 88. 4Nurudin al-Raniri pertama kali menyebarkan tarekat Rifa‟iyah di wilayah Aceh, karena
ia telah menjabat Syekh al-Islam atau mufti di Kerajaan Aceh pada zaman Sultan Iskandar Tsani
dan Sultanah Shafiatu al-Din. Ia tinggal di Aceh selama 7 tahun. Sri Mulyati, Mengenal &
Memahami Tarekat-Tarekat Muktabaroh di Indonesia, h. 15. 5Badri Yatim, “Tarekat dan Perkembangannya”, Indonesia Dalam Arus Sejarah Jilid 3:
Kedatangan dan Peradaban Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2011), h. 369.
36
Tarekat Rifa‟iyah diperkirakan pertama kali masuk dan berkembang di
Banten pada masa Sultan Abu Al-Mufakhir Aliyuddin (1777-1802).6 Tarekat ini
pertama kali menyebar dari kalangan istana dan elit kota, kemudian menyebar ke
kalangan penduduk yang luas bahkan ke kalangan masyarakat awam.7 Tarekat
Rifa‟iyah yang berkembang di Banten merupakan tarekat yang berkaitan dengan
permainan debus,8 meski dalam perkembangannya tidak ada guru-guru terkemuka
yang memberi dorongan baru. Akan tetapi ada salah seorang Kiyai Abdul Qadir
seorang guru keturunan Banten yang bermukim di desa Cibaregbeg, Cianjur. Ia
dikenal sebagai Guru Tarekat Rifa‟iyah terakhir di Banten yang diakui secara
luas.9
Keberadaan tarekat Rifa‟iyah di Banten juga di dukung dengan adanya
naskah tentang Ratib tarekat Rifa‟i. Di dalam naskah tersebut, sering
menyebutkan nama pendiri tarekat Rifa‟iyah yaitu Syekh Ahmad al-Kabir al-
Rifa‟i. Penyebutan nama ini juga menunjukkan perkembangan tarekat Rifa‟iyah di
Banten.10
Di dalam isi naskah Ratib Rifa‟i juga terdapat nama-nama orang yang
dianggap penting dan memiliki hubungan dengan sejarah tarekat Rifa‟iyah di
Banten antara lain:
1. Syekh Ahmad al-Kabir al-Rifa‟i
2. Syekh „Abd al-Qadir al-Jaelani
3. Syekh Safi ad-Din Ahmad ibn „Alwan
6Riwayat Sultan Abu Al-Mufakhir belum ada yang mengungkapkan dan masa
pemerintahnnya juga belum ada sejarahnya, yang ada hanya tahun pemerintahannya saja. 7Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di
Indonesia. (Bandung: Mizan, 1995), h. 273. 8C. Snouck Hurgronje, De Atjehers Jilid II, (Leiden: E.J. Brill, 1894), h. 256.
9Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di
Indonesia, h. 271. 10
Ibid., h. 271.
37
4. Syekh Ahmad Badawi al-Rifa‟i
5. Syekh Ibrahim Ahmad ad-Dasuqi
6. Syekh Abu Bakar „Abdullah al-Aydarus
7. Syekh Musa ibn Sayyid „Abdullah al-Qadir al-Rifa‟i
8. Sultan Maulana Hasan ad-Din (Hasanuddin) ibn Maulana Mahdum
9. Sultan Muhammad al-Arif Zain al-„Asyiqin
10. Sultan Abu Mufakhir Muhammad „Aliyuddin.11
Syekh Ahmad al-Kabir al-Rifa‟i adalah Pendiri tarekat Rifa‟iyah,
sedangkan yang nomor dua Syekh Abd al-Qadir al-Jaelani, ia adalah tokoh utama
tarekat Qadiriyah.12
Tiga tokoh berikutnya adalah murid-murid Ahmad Rifa‟i
yaitu Syekh Safi ad-Din Ahmad ibn Alwan (w.1266 M), Syekh Ahmad Badawi
al-Rifa‟i (w.1276 M), Syekh Ibrahim Ahmad ad-Dasuqi (w.1288 M). 13
Tokoh yang keenam Syekh Abu Bakar „Abdullah al-Aydarus adalah salah
seorang syekh tarekat Rifa‟iyah yang namanya tercantum dalam silsilah Nuruddin
al-Raniri. Dalam silsilah tersebut tertulis nama lengkapnya Syekh Fakhir ad-Din
Abu Bakr Abdullah al-Aydarus al-Adani. Ulama ini selain mengajarkan tarekat
Rifa‟iyah, juga mengajarkan tarekat Qadiriyah. Al-Aydarus adalah kakek
Nuruddin al-Raniri dalam tarekat Rifa‟iyah. Nuruddin al-Raniri masuk dalam
tarekat Rifaiyah melalui Syekh Said Abu Hafs Umar bin Abdullah Ba Syaiban
11
Nur Karim, “Ratib Ar-Rifa‟i Terjemahan Naskah dan Pengungkapan Isi”, (Skripsi
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1991), h. 158. 12
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di
Indonesia, h. 207. 13
J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders In Islam, (New York: Oxford University Press,
1971). h. 40 dan 281.
38
dari Tarim. Sementara Ba Syaiban sendiri masuk tarekat Rifa‟iyah melalui Syekh
Abu Bakar Abdullah al-Aydarus.14
Tokoh nomor tujuh, dalam hadiah al-fatihah hanya disebutkan nama
singkatnya saja yaitu Sayyid Musa. Sedangkan dalam munajat Rifa‟i namanya
disebutkan secara lengkap sebagai Sayyid Syekh Musa ibn Sayyid Abd al-Qadir
al-Rifa‟i. Dalam naskah sering disebut sebagai petunjuk jalan, pengikut, dan
perantara kepada Allah SWT. Ia juga merupakan salah seorang syekh dalam
tarekat Rifa‟iyah, karena nama belakangnya Rifa‟i sehingga memperkuat dugaan
tersebut.15
Tiga tokoh selanjutnya yaitu, Sultan Maulana Hasanuddin ibn Maulana
Mahdum, Sultan Muhammad al-Arif Zain al-Asyiqin, dan Sultan Abu Mufakhir
Muhammad Aliyuddin, tiga orang sultan tersebut yang pernah memerintah di
Kesultanan Banten. Maulana Hasanuddin Sultan pertama Banten pada tahun
(1552-1570). Penyebutan nama Maulana Hasanuddin dalam naskah ditunjukkan
untuk lebih menghormatinya sebagai tokoh yang mengislamkan Banten dan
daerah sekitarnya. Muhammad al-Arif Zain al-„Asyiqin dengan nama lengkap
Abu al-Nasr Muhammad al-„Arif Zain al-Asyiqin, diganti oleh putranya pada
tahun 1777 M dengan gelar Sultan Abu Mufakhir Muhammad Aliyuddin16
yang
wafat pada tahun 1802 M.17
Dalam naskah tersebut menambahkan gelar khalifah18
kepada Sultan Abu Mufakhir Muhammad Aliyuddin.
14
Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, Cet. ke-1,
(Kencana: Prenada Media Group, 2006), h. 88. 15
Nur Karim, “Ratib Ar-Rifa‟i Terjemahan Naskah dan Pengungkapan Isi”, h. 159. 16
Mengenai Sultan Muhammad al-Arif Zain al-„Asyiqin, dan Sultan Abu Mufakhir
Muhammad Aliyuddin. Belum menemukan catatan yang mengungkapkan riwayat hidupnya,
bahkan masa pemerintahannyapun belum ditemukannya juga, yang bisa di temukan hanya sekedar
Nama dan tahun pemerintahannya saja 17
Sanusi Pane, Sejarah Indonesia Jilid II, (Jakarta: Perpustakaan Perguruan Kementrian,
1956), h. 14.
39
B. Tarekat Rifaiyah Dalam Budaya Banten
Tarekat Rifa‟iyah selain fungsi utamanya dalam mendekatkan diri kepada
Tuhan, akan tetapi di Banten digunakan sebagai alat untuk memobilisir rakyat
untuk melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Faktor-faktor yang
menyebabkan pemberontakan yaitu tejadinya keresahan sosial yang kompleks dan
beraneka ragam, seperti disintegrasi19
tatanan tradisional, semakin memburuknya
sistem politik dan tumbuhnya kebencian religius terhadap penguasa asing.20
Tarekat berfungsi sebagai pelekat diantara mereka sekaligus menjadi penguat
dalam melakukan pemberontakan.
Di Banten sendiri terdapat beberapa tarekat yang berkembang, antara lain:
Tarekat Awaliyah, Syatariyah, Sanusiyah, Sadziliyah, Samaniyah, Qadiriyah dan
Rifa‟iyah. Meski yang lebih berperan dalam pemberontakan Banten 1888 adalah
tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Tetapi tarekat-tarekat lainnya juga ikut
terlibat, dan saling membantu. Sehingga tarekat yang terdapat di Banten saling
mendukung satu sama lain.
Tarekat-tarekat di Banten selain digunakan untuk berjuang melawan
kolonial, juga dimanfaatkan untuk membangun simpatik di ranah kebudayaan atau
seni. Tarekat Syadziliyah, misalnya dikenal dengan seni pembacaan dalalil al-
18
Istilah khalifah sebenarnya dapat memiliki berbagai makna dan ternyata telah digunakan
dalam bentuk gabungan kata Khalifatullah “wakil Allah”, sebagai gelar seorang raja di beberapa
kerajaan muslim di Indonesia. Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat
Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, h, 273. 19
Disintegrasi adalah keadaan tidak bersatu padu, keadaan terpecah belah, hilangnya
keutuhan atau persatuan, perpecahan. 20
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa,
dan Kelanjutannya, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984), h. 157.
40
khoirot, Samaniyah dengan dzikir saman, Qadiriyah dengan wawacan seh Abdul
Qadir Jaelani, dan Rifa‟iyah dengan kekebalan atau debusnya.21
Dalam peristiwa pemberontakan di Banten, tarekat Rifa'iyah diyakini telah
memberi kekebalan kepada rakyat Banten yang belum memiliki persenjataan
modern, seperti pistol dan senapan. Alat yang digunakan adalah senjata
tradisional, seperti keris, golok, dan bambu runcing. Para ulama dan tokoh agama
biasanya memberi bekal yang mendorong keberanian rakyat dan pemuda Banten
untuk menghadapi tentara penjajah.22
Bekal yang diberikan dapat berupa dzikir
dan wirid serta do‟a-do‟a yang ada dalam tarekat, semangat juang dan juga
keyakinan akan kekebalan terhadap senjata tajam. Pengajaran dari sebagian
amalan tarekat yang bertujuan untuk mendapatkan kekebalan ini kemudian
berkembang menjadi suatu bentuk permainan yang kini lebih dikenal sebagai
debus.23
Debus merupakan suatu fenomena khas Indonesia yang terdapat di berbagai
daerah, selain di Banten juga berkembang di Aceh dan Sumatera Barat. di Aceh
debus dikenal dengan rafa‟i, dabuih24
dan di Minangkabau dinamakan dengan
madaboih. Di Banten debus sudah berkembang pada masa kekuasaan Sultan
Ageng Tirtayasa. Karena peran pentingnya dalam membangkitkan moral pasukan
melawan VOC, debus sering diasosiasikan dengan masyarakat Banten dari pada
lainnya.25
21
Wawancara Pribadi dengan Abah Yadi salah seorang tokoh Budaya Banten, Serang, 13
April 2015, Pukul, 11.00 WIB. 22
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa,
dan Kelanjutannya, h. 226. 23
Isman Pratama Nasution, “Debus, Islam dan Kiai: Studi Kasus di Desa Tegal Sari,
Kecamatan Walantaka, Kabupaten Serang, Jawa Barat”, (Tesis, FISIP, Universitas Indonesia,
1995), h. 5 24
C. Snouck Hurgronje, De Atjehers Deel II, (Leiden: Brill, 1894), h. 258 25
J.Vredenbregt, Dabus in West Java, h. 33.
41
Mengenai asal usul kata debus ini terdapat perbedaan. Sebagian orang
mengatakan bahwa debus berasal dari bahasa Sunda yang artinya “tembus”. Hal
ini dikaitkan dengan alat yang digunakan dalam permainannya adalah benda tajam
yang apabila ditusukkan ke dalam tubuh, dapat tembus. Namun kondisi badan
tidak terluka sama sekali.26
Permainan Debus yang dilakukan oleh masyarakat Banten, jika dicermati
secara mendalam didalamnya terkandung nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan
dalam kehidupan bersama. Nilai religius tercermin dalam do‟a yang dipanjatkan
oleh para pemain. Do‟a tersebut bertujuan agar para pemain selalu di lindungi dan
selalu mendapatkan keselamatan dari Allah SWT selama menyelenggarakan
permainan Debus.27
C. Ajaran-Ajaran Tarekat Rifa’iyah
1. Keanggotaan
Tarekat Rifa‟iyah adalah sebuah jemaat yang memiliki ajaran-ajaran
tertentu. Sebelum di bai‟at menjadi anggota tarekat Rifa‟iyah setiap orang atau
kelompok harus bisa menyelesaikan ujian yang diberikan oleh Guru, yaitu ujian
yang bersifat fisik, mental dan batin. Ketiga macam ujian itu dilaksanakan dalam
waktu yang bersamaan dengan melakukan puasa selama tiga hari.28
Bahkan
menurut salah seorang pengikut tarekat Rifa‟iyah, puasa dilaksanakan selama 40
hari. Selama puasa ada beberapa tindakan yang harus dilakukan, seperti tidak
26
Isman Pratama Nasution, Debus Walantaka: Fenomena Budaya Banten, Universitas
Indonesia, journal.ui.ac.id/index.php/jai/article/download/.../2607. Akses tanggal 21 april 2015. h.
32 27
http://wisnunatural.blogspot.com/2012/04/laporan-penelitian-kesenian-debus.html. 28
Makmun Muzakki, “Tarekat dan Debus Rifa‟iyah di Banten”, (Skripsi Fakultas Sastra,
Universitas Indonesia, 1990), h. 66.
42
boleh bertemu dengan perempuan, ketika berbuka puasa hanya diperbolehkan
memakan sekepal nasi putih, sedikit garam dan beberapa buah cabe rawit.
Selama menjalankan puasa, seorang murid juga diwajibkan untuk mandi
setiap malam hari dan membersihkan diri dari perbuatan dosa. Setelah mandi
tidak diperbolehkan tidur.29
Ia harus melaksanakan beberapa kewajiban yang lain
antara lain:
a. Shalat Istikharah enam rakaat, tiga kali salam. Dan masing-masing surat di
baca 11 kali setiap rakaat. Adapun cara melaksanakan shalat sebanyak enam
rakaat tersebut yaitu, untuk shalat dua rakaat pertama, surat yang dibaca yaitu
al-Qadar dan surat ad-Duha. Sementara untuk dua rakaat yang kedua, membaca
surat ad-Duha dan surat al-Insyiroh. Sedangkan untuk dua rakaat yang ketiga
membaca surat al-Kafirun dan surat al-Ikhlas.
b. Membaca istigfar sebanyak 100 kali
c. Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, 100 kali
d. Membaca Dzikir 100 kali
e. Membaca al-Qur‟an surat al-Fatihah dan al-Ikhlas sebanyak 100 kali, serta
membaca surat al-Falaq dan an-Nas masing-masing sekali.30
Di dalam tarekat terdapat hubungan anatara guru dan murid yang sangat
erat. Guru dalam tarekat di sebut Mursyid atau kiyai. Mursyid inilah orang yang
memberikan ilmunya kepada orang yang ingin belajar. Sedangkan orang yang
mau menerima ilmu mereka akan menjadi murid.31
Oleh karena itu untuk menjadi
29
Mohammad Hudaeri, Debus: Dalam Tradisi Masyarakat Banten, (Serang: FUD Press,
2009), h. 67. 30
Makmun Muzakki, “Tarekat dan Debus Rifa‟iyah di Banten”, h. 67-68. 31
Abu Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, h. 74.
43
pengikut tarekat Rifa‟iyah, seseorang harus menjalankan beberapa perintah dari
seorang mursyid atau kiayi.
2. Kewajiban Anggota
Anggota tarekat Rifa‟iyah mempunyai beberapa kewajiban, antara lain:
tidak boleh meninggalkan shalat lima waktu, harus meninggalkan perbuatan yang
melanggar agama, dan membiasakan membaca wirid atau amalan yang telah
diberikan. Selain itu, murid juga diwajibkan untuk mengikuti dua kali tawajjuh
(tatap muka), yakni hari Jum‟at pertama saat ia dilantik dan Jum‟at terakhir. Di
dalam Tawajjuh ini, murid memperoleh nasehat-nasehat keagamaan, juga
pelajaran moral dalam kehidupan sehari-hari. Diajarkan pula teknik-teknik dzikir
tertentu (Dzikir dzahri yang bersuara keras dan Kahfi yang lembut dan halus).
Adapun tawajjuh dilaksanakan sebagai berikut: Mursyid memimpin shalat
duha 4 rakaat dengan 2 kali salam. Setelah itu diteruskan dengan membaca dzikir
yang dibaca hanya 10 kali. Setelah wirid selesai dibaca bersama, Mursyid
memerintahkan para murid untuk duduk bersila setengah lingkaran menghadap
Mursyid.32
Calon murid duduk dengan posisi kepala tegak, dan pandangan mata
menatap lurus ke depan. Lengan terletak di atas lutut atau paha yang sedang
bersila.
Upacara tawajjuh kemudian dimulai dengan membaca surat al-Fatihah satu
kali, kemudian diteruskan dengan:
Membaca surat an-Nas, al-Falaq, dan al-Ikhlas, masing-masing tiga kali
Membaca shalawat dan Syahadat
32
Makmun Muzakki, “Tarekat dan Debus Rifa‟iyah di Banten”, h. 70-71.
44
Membaca dzikir nafi waitsbat33
sebanyak 165 kali
Istighasah kepada Abd Qadir Jaelani
٣x .الدين عبدالقادر جيالىن حمبوب اهلل غوث اهلل. اغثنا بإذن اهلل يا سيد شيج حمي Artinya:
“Wahai Sayyid Syekh Abd al-Qadir al-Jaelani, Mahbub dan Gauts Allah,
tolonglah kami dengan izin Allah”.
Berikutnya Kepada Syekh 8Amad al-Kabir al-Rifa‟i
٣x .فاعى أغثنا بإذن اهللفاعى معشوق اهلل الر يا سيد شيخ أمحد الكبري الر Artinya:
“Wahai Sayyid Syekh Ahmad al-Kabir al-Rifa‟i, Ma‟shuq Allah al-Rifa‟i,
tolonglah kami dengan izin Allah”.
Kemudian Membaca bagian dari wirid atau ratib Rifa‟i, pertama diawali
dengan membaca:
a. Bismillah yakni:
بسم اهلل تعظيمااهلل“Dengan nama Allah, segala keagungan bagi Allah”.
34
اهلل بسم اهلل توحيد“Dengan nama Allah, Esa bagi Allah”
b. Pujian atas keesaan Allah
مدة يا فردالص ا وحد ني ي“Wahai yang maha tunggal, satu-satunya tempat bergantung”.
35
33
Dzikir Nafi wa itsbat yakni mengucapkan lafadz laa ilaha illa „llah dengan gerakan-
gerakan tertentu. Dzikir tersebut dilakukan dengan suara yang keras dan dilakukan dengan
bersama-sama. Sehingga menimbulkan suara yang dapat didengarkan oleh pihak lain. Mohammad
Hudaeri, Debus: Dalam Tradisi Masyarakat Banten, h. 35. 34
Naskah Ratib Rifa‟i A 218 B, h. 59. 35
Naskah Ratib Rifa‟i A 218 B, h. 59.
45
c. Dzikir nafi itsbat dan pengakuan Nabi Muhammad sebagai Rasulallah
اهللالسو د الر اهلل حمم ال إالالو “Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah”.
36
d. Shalawat Nabi
معليو وسل صل هم د الل دنا حمم سي لىع صل هم الل “Wahai Allah anugerahkanlah salawat bagi junjungan kami Muhammad.
Ya Allah, anugerahkan shalawat dan salam baginya”.37
e. Membaca dzikir dengan variasi sifatnya, diantaranya:
اهللاال معبود . الاهللال موجود اال
اهللال مطلوب اال .اهللال مقصود اال “Tidak ada yang Maujud selain Allah. Tidak ada yang Ma‟bud selain
Allah. Tidak ada yang Maqsud selain Allah. Tidak ada yang Matlub
selain Allah”.38
Allah“ اهلل
”Allah Maha Hidup“ اهلل حي
”Dialah yang Maha Hidup“ ىواهلل حي
”Maha Hidup dan Maha Kekal“ دائم حي
”Allah Baka, yang lain fana“ فان اهلل باق وكل
”Maha Hidup, Maha Abadi“ ومياقي ياحي
36Naskah Ratib Rifa‟i A 218 B, h. 60.
37Naskah Ratib Rifa‟i A 218 B, h. 59-60.
38Naskah Ratib Rifa‟i A 218 B, h. 60-61.
46
39.وم اهللاهلل قي حي “Allah Maha Hidup, Allah Maha Abadi”
f. Doa Taubat
" املمتل اهلى يااهلى توبة قب“Ilahi, Wahai Ilahi Ampuni dosa sebelum wafat”
g. Pujian Bagi Syekh Ahmad Rifa’i dengan menyebut belaiu sebagai
orang yang amat perkasa, raja para laki-laki
٣x. جليارفاعى ابوصاحل سلطان الر ىرفاع“Rifa‟i wahai Rifa‟i, Abu Saleh, Rajanya lelaki”.
40
Semua bacaan di atas masing-masing dibaca sebanyak 100 kali oleh jamaah,
yang dipimpin oleh mursyid. Ratib tersebut dibaca dengan irama tertentu dan
suara yang agak keras. Bacaan itu kemudian diikuti dengan membaca dzikir Allah
sebanyak 4 kali dan membaca istigasah kembali sebanyak 3 kali.
Setelah proses tersebut sudah dilaksanakan semua, dan murid sudah
dinyatakan lulus atau mendapat ijazah dari sang guru, maka proses selanjutnya
yang harus diikuti oleh seorang murid adalah mengamalkan sejumlah wirid, doa,
dan munajat yang diberikan oleh guru. Ia juga harus mengikuti latihan fisik yaitu
dibuktikan dengan debus.41
D. Wirid dan Amalan Tarekat Rifa’iyah
Wirid berasal dari bahasa Arab, wird atau aurod. Wirid merupakan doa-doa
pendek untuk memohon kepada Allah atau kepada Nabi Muhammad SAW, dan
39
Naskah Ratib Rifa‟i A 218 B, h. 60-61. 40
Naskah Ratib Rifa‟i A 218 B, h. 61. 41
Mohammad Hudaeri, Debus: Dalam Tradisi Masyarakat Banten, (Serang: FUD Press,
2009), h . 69.
47
membacanya pada waktu-waktu yang telah ditentukan.42
Dalam tradisi tarekat
pembacaan wirid bukanlah suatu yang wajib diamalkan dan yang menjadi
keharusan. Akan tetapi dzikir yang berulang-ulang yang wajib dilaksanakan yaitu
dengan mengingat nama Allah ataupun mengucapkan kalimat la ilaha illallah.
Tujuan latihan ini adalah untuk mencapai kesadaran akan Tuhan.43
Oleh karena itu, setiap tarekat memiliki amalan zikir atau wirid. Sebagai
amalan pokok yang harus dilaksanakan oleh setiap anggotanya, wirid dan dzikir
antara satu tarekat dengan tarekat lainnya berbeda-beda.
Dalam tarekat Rifa‟iyah perbedaannya terletak pada dzikirnya. Dzikir kaum
Rifa‟iyah ini jenis dzkir yang lantang yang disebut “Darwis Menangis atau
melolong”, karena dilakukan bersama-sama dan diiringi oleh suara gendang yang
bertalu-talu. Dzikir tersebut dilakukan sampai mencapai keadaan. Seperti berjalan
di atas api yang menyala, tahan terhadap senjata tajam, dan lain-lain.44
Wirid dan amalan Rifa‟iyah pada dasarnya terdiri dari: Hadiah al-Fatihah
(doa syekh),45
Wirid al-Qur‟an dan do‟a, Munajat Rifa‟i, serta Salawat Nabi.46
a. Hadiah al-Fatihah
Hadiah al-Fatihah di sebut juga Wasilah47
secara etimologis bermakna
perantara atau menyambungkan kepada sesuatu dengan hati. Sedangkan secara
terminologi wasilah adalah perbuatan atau amal yang dikerjakan dan
42
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 21. 43
Mohammad Hudaeri, Islam Tantangan Modernitas, h. 225. 44
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Terj. Sapardi Djoko Damono
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), h. 223. 45
Al-Fatihah dihadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan beberapa tokoh penting
tarekat rifaiyah. 46
Makmun Muzakki, “Tarekat dan Debus Rifa‟iyah di Banten”, h. 79. 47
Tawasul adalah memohon atau berdoa kpd Allah Swt. dng perantaraan nama seseorang
yg dianggap suci dan dekat kpd Tuhan.
48
diamalkan oleh orang mukmin karena mengharapkan sesuatu dengan cara
membuat perantara sehingga ia memperoleh apa yang diharapkannya.48
Semua
aliran tarekat mengenal istilah wasilah, mediasi melalui seorang pembimbing
spiritual (mursyid) sebagai sesuatu yang sangat diperlukan demi kemajuan
spiritual. Dalam tarekat Rifa‟iyah pembacaan al-fatehah di lakukan 17 kali
sesuai dengan jumlah orang yang dianggap paling patut untuk dibacakan al-
fatihah.
Hadiah al-Fatihah ditujukan kepada para syekh merupakan hal penting
dalam mendapatkan ilmu debus, karenanya menjadi kegiatan rutin yang harus
diamalkan dalam setiap shalat lima waktu.49
Adapun hadiah al-Fatihah
diberikan kepada:
1. Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya
2. Khulafa al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman, Ali), dan para sahabat:
Zubeir, Said, Abd al-Rahman bin Auf, juga Hasan Husein bin Ali. Fatimah
al-Zahra dan Khadijah al-Kubra, serta tabi‟i al-tabi‟in.
3. Sayyid Syeikh Ahmad al-Kabir al-Rifa‟i
4. Syeikh Abd al-Qadir al-Jaelani
5. Syeikh Safi al-Din Ahmad ibn Alwan
6. Syeikh Ahmad al-Badawi al-Rafa‟i
7. Syeikh Ibrahim Al-ahmad al-Dasuqi
8. Syeikh Abu Bakar ibn Abdullah al-Aydarus
9. Sultan Maulana Hasanuddin bin Maulana Mahdzum
10. Syekh Musa ibn Sayyid Abdullah al-Qadir al-Rifa‟i
48
Mohammmad Hudaeri, Debus: Dalam Tradisi Masyarakat Banten, h. 113. 49
Ibid., h. 70.
49
11. Syekh Abdullah al-Sabur
12. Sultan Arifin Zayn al-Asyiqin atau Muhammad Arif Zayn al-Asyiqin al-
Bantani al-Tsan
13. Sultan Abu al-Mafakhir Muhammad Aliyuddin. Sultan Banten ke 15
(1773-1799)
14. Syeikh Abdullah ibn Abd al-Qahar
15. Haji Zaid ibn Kamal al-Din
16. Arwah kedua orang tua kami dan kamu serta orang-orang yang telah
meninggal.
17. Di tutup dengan keagungan Ruh Nabi Mustafa.50
b. Wirid Al-Qur’an dan Do’a
Setelah hadiah al-Fatihah dibacakan, maka dilanjutkan dengan wirid al-
Qur‟an. Surat-surat yang diwiridkan adalah membaca surat Al-Ikhlas, Al-
Falaq, dan An-Nas, setiap surat masing-masing di baca 3 kali. Selanjutnya
membaca do‟a yang berisi tentang permohonan masuk surga dan terhindar dari
azab neraka.51
انا نسئلك رضاك واجلنة ونعودبك من سختك والنار اللهم Artinya:
“Ya Allah, Kami mohon kepada-Mu Ridha-Mu dan Surga-Mu dan kami
berlindung kepada Engkau dari azab kemurkaan-Mu dan neraka-Mu”.
Adapun kutipan ayat-ayat Al-Qur‟an dalam teks naskah berisi:
1. Do’a dan Dzikir
50
Naskah Ratib Rifa‟i A 218 A, h. 4-8. 51
Mohammad Hudaeri, Debus: Dalam Tradisi Masyarakat Banten, h. 73.
50
عبادي عن فان قريب اجيب دعوةالداع اذادعان فليستجيبوايل وليؤمنوايب واذاسالك
(١۸٦لعلهم يرشدون )Artinya:
“Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku,
maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku
dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran”.(Q.S Al-
Baqarah: ayat 186).
نارب قولي اس منفمن الن ا ذكر اهلل كذكركم اباءكم اواشد افاذكرو ناسككمفاذا قضيتم م
ىف و حسنة انياتناىف الد ناقول رب خالق ومنهم من ي من االخرة لو ىفوما دنيااتنا ىف ال
(٢٠٠-٢٠١) ارلن ا عذاب قنااالخرةحسنة و Artinya:
“Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka berzikirlah kepada
Allah, sebagaiman kamu menyebut-nyebut nenek moyang kamu, bahkan
berzikirlah lebih dari itu. Maka diantara manusia ada orang yang berdoa, “Ya
Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia”, dan di akhirat dia tidak
memperoleh bagian apapun, dan lindungilah kami kami dari azab neraka”.
(Q.S. Al-Baqarah: ayat 200-201).
(١٥٢) تكفرون وال يل واشكروا اذكركم كرون فذArtinya:
“Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Dan bersyukurlah
kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku”.(Q.S. Al-Baqarah: ayat
152).
(٤٣) تعلمون ان كنتم ال كراىل الذ فسئلواArtinya:
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu
tidak mengetahui” (Q.S. An-Nahl: ayat 43).
51
2. Tauhid
(١١٥) اهلل واسع عليم وجو اهلل ان فثم واتول وهلل املشرق واملغرب فاينماArtinya:
“Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap di sanalah
wajah Allah. Sungguh Allah maha luas, lagi maha mengetahui”. (Q.S. Al-
Baqarah: ayat 115).
(١٥٣) ربينلص ا هلل معا ان ةلو والص رببالص عينواتسا ذين امنواال هاي ياArtinya :
“Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan kepada Allah
dengan sabar dan shalat. Sungguh Allah beserta orang-orang yang sabar”. (Q.S.
Al-Baqarah: ayat 153).
(٤٤) ىف االرض الو وىواحلكيم العليمالو و ءاملس ا ىفي ذىوال و Artinya:
“Dan Dialah Tuhan (yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di
bumi, dan Dialah yang Maha bijaksana lagi Maha mengetahui”. (Q.S. Al-
Zukhruf: ayat 84).
Dijelaskan pada Surat Al-Baqarah, ayat 186 dan ayat 115, dan surat Al-
Zukhruf ayat 84 dijadikan dalil yang menyatakan bahwa Allah SWT adalah
hakekat segala sesuatu.
c. Munajat al-Rifa’i
Setelah selesai wirid al-Qur‟an dan berdo‟a dilanjutkan membaca do‟a
munajat al-Rifa‟i. Pembacaan do‟a ini dimaksudkan untuk menghadirkan para
wali dan Nabi yang diminta “pertolongannya”. Kehadiran dan pertolongan
mereka sangat dibutuhkan dalam pertunjukkan debus. Karena keramat dari
para walidan mu‟zijat dari Nabi Muhammad SAW akan menyebabkan
52
pertunjukkan debus dapat berjalan lancar. Di dalam do‟a munajat Rifa‟i, sering
diucapkan kata-kata al-madad.52
Perkataan munajat banyak digunakan oleh orang-orang sufi dalam
menentukan salah satu bentuk do‟anya.53
Munajat dapat diartikan sebagai
pembicaraan akrab antara manusia dan Tuhan, secara tidak langsung
mencurahkan perasaan.54
Namun munajat Ratib al-Rifa‟i bukan lagi bentuk
harapan, rintihan, dan keluhan jiwa kepada Allah, melainkan permohonan
pertolongan yang dikenal dengan istigasah dan dengan berperantara (tawassul)
kepada Nabi SAW. Munajat yang ditunjukkan kepada orang-orang suci dengan
bermaksud untuk mendapatkan syafaat dari orang-orang suci tersebut, karena
kedudukan mereka di sisi Allah.55
Adapun Munajat Rifa‟iyah ditunjukkan kepada:
1. Rasulullah
2. Syekh Ahmad al-Kabir al-Rifa‟i
3. Syeikh Abd al-Qadir al-Jaelani
4. Syeikh Safi al-Din Ahmad ibn Alwan
5. Syeikh Ahmad al-Badawi al-Rafa‟i
6. Syeikh Ibrahim Aa-ahmad al-Dasuqi
7. Syeikh Abu Bakar ibn „Abdullah al-Aydarus
8. Aba Salih, Aba Ali, Aba Rajab, Aba Mahdi, Aba Yusuf, Aba Muhammad
9. Syekh Musa ibn Sayyid Abdullah al-Qadir al-Rifa‟i
52
al-madad berarti memohon pertolongan, bantuan maupun dukungan. Skripsi Makmun
Muzaki, h. 107. 53
Abu Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat,Cet. XI, (Solo: Ramadhani, 1995),h. 259 54
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, h. 160. 55
Syeh Ja‟far Subhani Tawassul, Tabbaruk, Ziarah Kubur, Karomah Wali, Termasuk
Ajaran Islam, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989), h. 145.
53
10. Sultan Muhammad Arif Zayn al-Asyiqin
11. Sultan Abu al-Mafakhir Muhammad „Aliyuddin
12. Sultan Maulana Hasanuddin
13. Maulana Mahdum.56
Munajat Rifa‟i dimulai dengan nama Rasulullah SAW:
يارسوالهلل املدادشيء اهلل , segala sesuatu untuk Allah”Madad-al“Wahai Rasulullah,
ياحبيب اهلل املدادشيءاهلل , segala sesuatu milik Allah”Madad-al“Wahai kekasih Allah,
ياشفيع املذنبني املدادشيءهلل, اهلل,اهلل
sesuatu milik , segalaMadad-al“Wahai pemilik syafaat,
Allah, Allah, Allah”
الثقلني املدادشيءهلل سيديا
, segala sesuatu madad-al“Wahai Penguasa dua alam Jin dan manusia,
milik Allah”
ياجداحلسني املداد شيءهلل , segala sesuatu milik Allah”Madad-al“Wahai kakek Husein,
اد شيءهللساكن احلرمني املديا
, segala sesuatu milik Allah”Madad-al“Wahai pemukim dua tempat suci,
يااولياءاهلل املدادشيءهلل
, segala sesuatu milik Allah”Madad-al“Wahai Aulia Allah,
حنن جبماهلم املدادشيءهلل“Wahai orang yang bersama kami, dengan keagungan mereka, al-Madad, segala
sesuatu milik Allah”.57
56
Nur Karim, “Ratib Ar-Rifa‟i Terjemahan Naskah dan Pengungkapan Isi”, (Skripsi
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1991), h. 137. 57
Naskah Ratib al-Rifa‟i A 218 A, h. 8. Lebih lengkap lihat naskah h. 8-12.
54
d. Shalawat Nabi
Salawat dan doa untuk Rasulullah merupakan bagian dari pada persyaratan
ritual dan dianggap sebagai do‟a yang harus diulang beberapa kali pada setiap
peristiwa.58
Abu Bakar Atjeh menjelaskan bahwa yang dimaksud shalawat
ialah membaca shalawat dan salam kepada Rasulullah, yang tersimpan dalam
lafadz-lafadz tertentu. Karena salawat kepada Nabi termasuk salah satu amal
ibadah yang diberi pahala dan ganjaran oleh Tuhan kepada mereka yang
mengerjakannya.59
Setiap orang yang beriman wajib memerikan ucapan
salawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana Allah SWT
telah menyerukan dalam firman-Nya:
(٥٦) مو تسليماوا عليو وسل ذين امنوا صل هاال يا اي يب ون على الن اهلل وملئكتو يصل ن اArtinya:
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai
orang-orang yang beriman! Bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah
salam dengan penuh penghormatan kepadanya”. (Q.S. Al-Ahzab: Ayat 56).
Dan Nabi SAW bersabda: 60
و من ولده ووالده والناس امجعني احدكم حق اكون احب الي يؤمن الArtinya:
“Tidak sempurna iman seorang dari kamu hingga aku lebih dicintai olehnya dari
pada ia mencintai anaknya, orang tuanya dan manusia seluruhnya”.
من صلى على واحدة صلى اهلل عليو عشرصلوات, وحط عنو عشرخطيئات ورغع لو
عشر درجات.
58
Annemarie Schimel, Dimensi Mistik Dalam Islam, h. 165. 59
Abu Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, h. 267. 60
Nur Karim, h. 139.
55
Artinya:
“Siapa yang bersalawat kepadaku satu kali, maka Allah bersalawat kepadanya
sepuluh kali dan Allah menghapus sepuluh kesalahan dan mengangkat sepuluh
derajat kepadanya”.
Dalam Naskah Ratib al-Rifa‟i, salawat kepada Nabi disebutkan sepuluh kali,
diawali dengan kalimat pujian kepada Allah, “Syayyilla indallah” sebanyak dua
kali.61
Adapun lafadz-lafadz Shalwat Nabi dalam wirid Ratib Rifa‟iyah antara
lain:
اللهم صلى على حممد يارب صلى عليو وسلم
“Ya Allah anugerahkanlah shalawat atas Muhammad, wahai Tuhan
anugerahkanlah shalawat dan salam kepadanya”
اللهم صلى على نبيك يارب صلى عليو وسلم“Ya Allah anugerahkanlah shalawat atas Nabi-Mu, wahai Tuhan anugerahkanlah
shalawat dan salam kepadanya”
سلماللهم صلى على حبيبك يارب صلى عليو و “Ya Allah anugerahkanlah shalawat atas kekasih-Mu, wahai Tuhan
anugerahkanlah shalawat dan salam kepadanya”
اللهم صلى على صفيك يارب صلى عليو وسلم“Ya Allah anugerahkanlah shalawat atas sahabat-Mu, wahai Tuhan
anugerahkanlah shalawat dan salam kepadanya”
اللهم صلى على خليلك يارب صلى عليو وسلم“Ya Allah anugerahkanlah shalawat atas kekasih-Mu, wahai Tuhan
anugerahkanlah shalawat dan salam kepadanya”
اللهم صلى على املشفع يارب صلى عليو وسلم“Ya Allah anugerahkanlah shalawat atas pemberi syafaat, wahai Tuhan
anugerahkanlah shalawat dan salam kepadanya”
اللهم اجعلن زيارم يارب صلى عليو وسلم
61Naskah Ratib Rifa‟i A 218 A, h. 14-15.
56
“Ya Allah anugerahkanlah shalawat atas mereka yang mengunjungi makan Nabi-
Mu, , wahai Tuhan anugerahkanlah shalawat dan salam kepadanya”
ارمحناوالدنا يارب ورمحنامجيع يف احلشر شفعنا حممد منجى احلال ئتو من جحنماللهم و
“Ya Allah sayangilah kedua orang tua kami, wahai Tuhan sayangilah kami
semuanya dalam himpunan penolong kami, Muhammad penyelamat dari neraka
jahanam.62
E. Wirid Sebagai Pengobatan
Di dalam tarekat Rifa‟iyah ada beberapa jenis wirid yang diamalkan oleh
para murid. Seperti wirid pengobatan, kekebalan dari benda tajam dan tidak
terbakar oleh api.63
1. Wirid Pengobatan
Wrid Pengobatan adalah wirid atau amalan yang dimaksudkan sebagai
pengobatan berbagai penyakit. Namun pada dasarnya penggunaan utama dari
pengobatan tersebut adalah untuk menutup luka akibat senjata tajam atau
benda-benda yang melukai badan. Sebenarnya amalan ini merupakan bagian
dari wirid atau amalan Rifa‟i yang telah dijelaskan di atas. Namun wirid ini
dapat juga dipisahkan sebagai bagian tersendiri. Pemisahan ini dilakukan bagi
mereka atau para murid yang tertarik untuk mengkhususkan diri dalam bidang
ilmu penyembuhan atau pengobatan. Bila sebelumnya wirid al-Rifa‟i
diamalkan secara keseluruhan, untuk pengobatan hanya sebagiannya saja.64
Adapun amalan pengobatan adalah sebagai berikut:
a. Niat
62
Naskah Ratib al-Rifa‟i A 218 A h. 14-15. 63
Mohammad Hudaeri, Debus: Dalam Tradisi Masyarakat Banten, h. 78. 64
Makmun Muzakki, “Tarekat dan Debus Rifa‟iyah di Banten”, h. 79-80.
57
لصا لوجو اهلل ة خالصا حمح المة والعافية والص فاعى إبتغاء رضااهلل والس نويت بأعمال الر
الكرمي هلل تعاىل Artinya: “Sengaja aku mengamalkan Rifa‟iyah agar dicukupkan Allah
SWT dengan keselamatan dan sehat wal afiyat, ikhlas, sunnah, karena
Allah”.
b. Hadiah Al-Fatihah dan Doa
فاعى صاحب االجازة والكرامة نفعنا ر يخ أمحد الكبري الد الش ي س قني ياشيا سلطان العا
ى اهلل د صل ى اهلل املصطفى رسول اهلل حمم ىب صل حتتم جبالل روح الن اهلل يدينو أمجعني ث
٣x . مداد٣x أثاب كم اهلل تعاىل ىو -الفاحتة -معليو وسل
-٤x حضر -نيا واألخرة ويوم القيامةاألولياء صا حب العاملني ىف الد سلطان كل يا
يخ عبدالقادر اجليالىن ويقال د الش فاعى وسي يخ أمحد الكبري الر د الش من قال سي حبق
يخ أمحد الكببري د الش واألمل وغريىا كريقى وحبق سي وشم شاف من مجيع أمراض
x ٣ د.يخ عبدالقادر اجليالىن مداد الش فاعى وسي لر اArtinya:
“Wahai Sultan orang yang „asyiq, wahai Sayyid Syekh Ahmad al-Kabir al-Rifa‟i
pemilik ijazah dan karamah. Semoga Allah memberikan kesempatan kepada kita
semua dengan agamanya. Kemudian kita akhiri dengan kebesaran jiwa (ruh) Nabi
yang mulia, Rasul Tuhan Muhammad SAW. Semoga Allah memberi pahala
kepada Anda. Al-fatihah, hua (Allah) 3x, al-madad 3x.”
“Wahai Raja para wali, penguasa Alam semesta di dunia dan akhirat serta hari
kiamat, hadir 4x. “Dan dengan haq orang yang mengatakan: Wahai Sayyid Syekh
Ahmad al-Kabir al-Rifa‟i dan Sayyid Syekh Abdul Qadir Jailani. Dikatakan:
Sembuh dari segala penyakit dari sejenisnya. Dengan haq Sayyid Syekh Abdul
Qadir al-Jaelani, al-madad 3x”.65
65
Ibid., h. 80-81.
58
2. Wirid Kekebalan dari Benda tajam (Debus)
Wirid imi merupakan bagian dari wirid yang biasa dipergunakan dalam
permainan debus. Adapun wirid yang biasa dipakai adalah:
رب االت احلدياد قياق املرياد عان الضااحفا جلاد الر هام وألناا لاو احلدياد. الل :حبق من قاال
رب احلدياد واالت كلهاا ك عان الضاشيئ حفي عقد تا على كل رب وال تضرونو شيئا إن
سايد ه العزياز وحباق اهلل سار القدير وحبق سايد شايخ أمحاد الكباري الرفااعى قادس بإذن امللك
وحباق سايد شايخ . ٣xماداد x ٣ الشيخ أمحد بن علوان سيدينا ابن علوان باا علاواىن أماني.
٣x مداد. ٣x.فاعى أمنيأمحد الكبري الر
Artinya:
“Dengan haq mereka yang mengatakan: “Dan kami tunduklah baginya besi.
Wahai Tuhan lindungilah kulit yang lembut (halus) dari pukulan alat besi dan
tiada sesuatu yang membahayakannya. Sesungguhnya Tuhanku berkuasa atas
segala sesuatu (memelihara). Sata ikat anda dari pukulan besi dan alat-alat
sejenisnya dengan izin Allah, Raja Yang Maha Kuasa. Dengan haq Sayyid Syekh
Ahmad al-Kabir al-Rifa‟i (semoga Allah mensucikan rahasia nya yang mulia).
Dan dengan haq Sayyid Syekh Ahsmad ibn Alwan, Sayyid ibn Alwan Ba Alawi
Amin 3x. al-madad 3x.
3. Wirid Tahan Dari Api
Wirid ini hanya hadiah al-fatihah bagi syekh-syekh tarekat:
فاعى يخ أمحد الكبريالر د الش جيالىن وسي ين عبدالقادريخ حمىي الد د الش وإىل أرواح سي
د وسي -الفاحتة -فعى وعبداهلل أبوبكر العيدروس سقى وأمحد البدوى الر وأمحد الد
الفاحتة ٣x مداد ٣x امني يخ...إىل اخرلش اArtinya:
59
“Untuk arwah Sayyid Syekh Muhyiddin Abd al-Qadir al-Jailani dan Syekh
Ahmad al-Kabir al-Rifa‟i dan Ahmad Dasuqi dan Sayyid Ahmad Badawi al-Rifa‟i
dan Abdullah al-Aydarus (Abu Bakar) al-Fatihah Amin 3x. al-madad 3x”.66
66
Mohammad Hudaeri, Debus: Dalam Tradisi Masyarakat Banten, h. 80. Lihat juga
skripsi Makmun Muzaki “Tarekat dan Debus Rifa‟iyah di Banten”.
60
BAB IV
ANALISA PENGARUH TAREKAT RIFAIYAH TERHADAP
KEAGAMAAN DI BANTEN ABAD KE-19
Pada Bab III, penulis sudah menjelaskan tentang sejarah tarekat Rifa’iyah di
Banten beserta ajaran-ajarannya. Adapun pembahasan selanjutnya yaitu mengenai
pengaruh tarekat Rifa’iyah terhadap keagamaan di Banten abad ke-19. Ada empat
pengaruh tarekat Rifa’iyah yang dibahas yaitu; kiyai, jawara, pesantren dan tradisi
debus.
Adapun dari empat pengaruh tersebut dikategorikan menjadi tiga bagian:
pertama, munculnya pemimpin muslim yang diwakilkan oleh kiyai dan jawara.
Dimana kiyai ini memberikan suatu corak baru di Banten, ditandai dengan adanya
kiyai hikmah dan guru tarekat. Sedangkan Jawara sebagai sebuah transformasi
tradisional dapat memunculkan kepemimpinan tradisional debus. kedua, kategori
institusi yakni pesantren yang mana mengajarkan suatu tarekat. Dan ketiga, yaitu
tradisi sendiri dijadikan sebagai ritual lokal debus.
A. Kiyai
Kiyai merupakan satu dari lima elemen utama dalam sistem pesantren di
Indonesia.1 Kiyai juga sering dianggap sebagai ulama masyarakat Jawa. Sekitar
abad ke-19 kiyai sudah menempati kedudukan yang signifikan di masyarakat
Banten. Dalam masyarakat Banten kiyai tidak hanya dipandang sebagai tokoh
1Adapun empat elemen lainnya dalam sistem pesantren yaitu pondok, masjid, santri, dan
kitab Islam klasik. Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kiyai dan
Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011), h. 93.
61
agama, tetapi juga sebagai seorang pemimpin masyarakat yang kharismatik.2
Penampilan kiyai yang khas merupakan simbol-simbol keshalehan. Misalnya,
bertutur kata lembut, berperilaku sopan, berpakaian rapih dan sederhana.
Berdasarkan peranannya, kiyai di Banten sering disebut sebagai “kiyai kitab”
yang banyak mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam,3 khususnya kitab kuning,
4
seperti; tafsir hadist, fiqih, ushul fiqih, akidah akhlaq, serta gramatika Bahasa
Arab.5 Kedudukan kiyai dalam hal ini akan mengerucut pada pembagian
peranannya yang dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu: guru ngaji, guru kitab dan
mubaligh.
Pertama, Guru Ngaji. Dimana peran kiyai yang paling awal yaitu
mengajarkan baca al-Qur’an dengan baik kepada santrinya. Pengajarannya mulai
dari cara pembacaan huruf Hijaiyyah dan kaidah-kaidahnya dengan benar yang
dikenal dengan ilmu tajwid. Selain itu kiyai juga mengajarkan beberapa metode
pembacaan ayat-ayat al-Qur’an dengan suara yang indah, yakni untuk para Qari
dan Qari’ah yang memiliki bakat suara yang baik.6 Meskipun kegiatan mengaji ini
tidak bersifat formal, akan tetapi dalam pengajarannya apabila murid sudah
dianggap baik membaca al-Qur’annya maka diadakan “hataman atau tammatan”.7
2Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, (Jakarta: YPM:
Young Progressive Muslim, 2011), h. 4. 3Martin Van Bruinessen, Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat
Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. (Bandung: Mizan, 1995), h. 279. 4Kitab kuning adalah sebutan untuk buku atau kitab tentang ajaran agama Islam atau tata
bahasa Arab yang dipelajari di pondok pesantren yang ditulis atau dikarang oleh para ulama pada
abad pertengahan. Buku-buku tersebut dinamakan dengan kitab kuning karena biasanya dicetak
dalam kertas buram (koran) yang berwarna agak kekuning-kuningan. Mohammad Hudaeri, Islam
Tantangan Modernitas dan Kearifan Budaya Lokal Banten, (Serang: Fakultas Ushuluddin dan
Dakwah Press, tth), h. 135. 5www.embun pagi_Banten,antara Pengaruh Kyai dan Jawara.html. Akses Tanggal 07 Mei
2015, Pukul 16:37 WIB. 6Mohammad Hudaeri, Islam Tantangan Modernitas dan Kearifan Budaya Lokal Banten,
h. 138. 7Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta:
PT Bulan Bintang, 1984), h. 152.
62
Guru ngaji biasanya tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu baca al-Qur’an,
tetapi juga tentang dasar-dasar ajaran Islam, seperti rukun Islam, rukun Iman,
praktek sholat, wudhu, nama-nama malaikat, nama-nama Nabi dan rasul serta
sifat-sifatnya. Diajarkan pula cara beretika dan berakhlak dalam kehidupan
sehari-hari. Kiyai juga biasanya mengadakan pengajian setiap seminggu sekali,
yang dihadiri oleh orang tua (bapak-bapak atau ibu-ibu), para remaja, atau
anak-anak. Pengajian ini dilaksanakan di masjid atau mushola.8
Kedua, Guru Kitab. Seorang santri yang telah lancar membaca al-Qur’an
maka ia akan diperkenalkan tentang kitab-kitab klasik. Setiap santri diharapkan
memiliki kemampuan dalam memahami kitab-kitab Islam klasik, terutama
karangan-karangan ulama fiqih yang bermazhab Syafi’i. Kitab-kitab klasik
yang diajarkan dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok yaitu:
Nahwu dan Shorof, fiqih, ushul fiqih, hadits, tafsir, tauhid, tasawuf dan etika,
tarikh dan balaghah.9 Kemasyhuran seorang kiyai ditentukan dari
kemampuannya dalam memahami isi dan memberikan pengajaran tentang
kitab-kitab klasik tersebut.10
Ketiga, Mubaligh. Kiyai juga disebut sebagai mubaligh yaitu orang yang
menyampaikan pesan agama Islam. Oleh karena itu seorang kiyai tidak hanya
tinggal diam di pesantren mengajarkan kitab-kitab klasik kepada para santrinya
atau menetap di suatu tempat atau menerima orang yang datang untuk minta
8Mohammad Hudaeri, Islam Tantangan Modernitas, h. 139.
9Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kiyai dan Visinya, h.
87. 10
Mohammad Hudaeri, Islam Tantangan Modernitas, h. 140.
63
nasehat, do’a dan kebutuhan praktis lainnya. Kiyai juga aktif melakukan
ceramah Agama kepada masyarakat luas.11
Dengan adanya perkembangan tarekat Rifa’iyah di Banten ini,
memberikan gambaran baru bahwa kiyai tidak hanya sebagai guru ngaji, guru
kitab dan mubaligh. Tetapi juga seorang kiyai dapat di kategorikan menjadi
dua yaitu kiyai hikmah dan guru tarekat. Dua kategori ini menambah gambaran
umum adanya pengaruh tarekat Rifa’iyah di Banten.
Pertama, Kiyai hikmah adalah kiyai yang dipandang sebagai sosok yang
paling dekat dengan pusat kekuatan supranatural dan dipercaya memiliki
kekuatan magis dan mistis.12
Kyai ini mempraktekkan ilmu-ilmu magis Islam
seperti permainan debus, pengobatan, kesaktian dan kewibawaan. Dengan
amalan yang digunakan yaitu membaca wirid, zikir dan ratib.13
Sebagian kiyai
yang mempunyai kemampuan tersebut adalah pengamal tarekat Rifa’iyah.
Ilmu hikmah yang dimiliki para kiyai biasanya berasal dari bacaan atau
tulisan-tulisan yang berbahasa Arab, yang bersumber dari al-Qur’an, yang
berupa dzikir dan wirid. Karena itu mereka yang menggunakan ilmu hikmah
merasa yakin bahwa ilmu yang dimilikinya berasal dari Allah SWT.14
Di Banten sendiri, hingga kini ilmu hikmah memiliki reputasi yang
cukup dikenal sebagai daerah tempat diajarkannya ilmu-ilmu gaib (ilmu
hikmah), sehingga tidak sedikit orang Banten yang memanfaatkan reputasi ini
11
Ibid., h. 143. 12
Hikmah makna dasarnya adalah kebijaksanaan. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa
”orang-orang yang telah diberi hikmah oleh Allah adalah orang-orang yang telah diberi nikmat
yang banyak. Namun dalam tradisi sufi atau tarekat kata hikmah lebih berarti kemampuan
seseorang untuk mengetahui hal-hal yang akan terjadi di masa yang akan datang. 13
www.embun pagi_Banten,antara Pengaruh Kyai dan Jawara.html. Akses Tanggal 07
Mei 2015, Pukul 16:37 WIB. 14
Mohammad Hudaeri, Islam Tantangan Modernitas, h. 143.
64
dengan bertindak sebagai juru ramal, pengusir setan, pengendali roh, pemulih
patah tulang, tukang pijat, tabib, pelancar usaha.15
Tetapi banyak juga guru
agama yang berpendapat bahwa praktek-praktek tersebut tidak sesuai dengan
ajaran Islam.16
Para kiyai yang menjadi mursyid suatu tarekat tidak hanya
dikenal sebagai pemimpin atau guru tarekat saja, tetapi juga dikenal sebagai
guru ilmu hikmah.
Kedua, Guru Tarekat. Pada abad ke-19 banyak guru pesantren yang
mengajarkan tarekat, yang dalam pengajarannya berbeda dengan pengajaran
kitab. Anggota tarekat rata-rata usianya lebih tua dari santri.17
Mereka
membentuk kelompok spiritual yang dapat menyesuaikan diri satu sama
lainnya.18
Penggunaan tarekat sebagai jaringan sosial untuk sumber kesaktian dan
ilmu kedigjayaan juga sangat menonjol pada saat melakukan perlawanan
terhadap penjajah Belanda.19
Para penggerak perlawanan tersebut adalah para
tokoh agama, yakni para kiyai dan guru-guru tarekat yang sering menganjurkan
kepada para muridnya untuk melakukan dzikir dan membaca do’a-do’a
tertentu, dengan tujuan untuk mendapatkan kesaktian atau ilmu kedigjayaan
agar kebal terhadap senjata, tidak terlihat oleh musuh, dan sebagainya.20
Para kiyai yang terdiri dari para Sayyid atau Syekh tarekat berkeliling
dari satu tempat ke tempat lain untuk berkhotbah kepada masyarakat. Oleh
karena itu pemerintah kolonial menjadi khawatir terhadap orang-orang yang
15
Mohammad Hudaeri, Islam Tantangan Modernitas, h. 142. 16
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, h. 153. 17
Mohammad Hudaeri, Islam Tantangan Modernitas, h. 153. 18
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, h. 153. 19
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa,
dan Kelanjutannya, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984), h. 257. 20
Mohammad Hudaeri , Islam Tantangan Modernitas, h. 202.
65
menyebarkan semangat keagamaannya dan beranggapan bahwa mereka
mengajarkan permusuhan terhadap kekuasaan orang Eropa dengan maksud
menimbulkan kebencian dan semangat memberotak.21
Dalam hal ini sebagian
mereka berasal dari tarekat Rifa’iyah.
Tarekat Rifa’iyah ini memiiki kekhasan dalam cara berdzikirnya yang
memperlihatkan kesaktian berupa kekebalan diri tehadap senjata tajam.22
Di
dalam suatu tarekat terdapat mursyid atau syekh, yaitu guru yang memberi
petunjuk mengenai riyadhah atau laitihan-latihan dalam melakukan dzikir atau
wirid. Syeh atau mursyid yang mengajarkannya harus mempunyai silsilah,
rangkaian pengambilan sesuatu tarekat sampai kepada dirinya dan kepada Nabi
Muhammad, serta harus mempunyai syarat-syarat tertentu.23
Perkembangan tarekat Rifa’iyah berhubungan dengan munculnya
fenomena debus di Banten.24
Dalam hubungan ini, tarekat Rifa’iyah dan debus
merupakan dua hal yang saling berkaitan. Salah satu peranan Kiyai dalam ilmu
magis yaitu mengembangkan kesenian debus. Sedangkan debus menjadi suatu
sarana bagi kiyai untuk melegitimasi diri sebagai tokoh yang memiliki
kemampuan luar biasa atau “karomah”.25
21
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, h. 236. 22
Isman Pratama Nasution “Debus, Islam dan Kiyai studi Kasus di Desa Tegal Sari,
Kecamatan Walantaka, Kabupaten Serang, Jawa Barat.” (Tesis FISIP, Universitas Indonesia,
1995), h. 36. 23
Ibid., h. 35. 24
J. Vredenbregt, Dabus in West Java, (BKI, 1973), h. 302. 25
Isman Pratama Nasution Debus, “Islam dan Kiyai studi Kasus di Desa Tegal Sari,
Kecamatan Walantaka, Kabupaten Serang, Jawa Barat, h. iv.
66
B. Jawara
Selain golongan agama (Kiyai), Jawara juga yang mempunyai andil di
masyarakat Banten pada abad ke-19.26
Jawara adalah salah satu murid dari
seorang kiyai.
Ada dua pengklasifikasian dalam struktur kelompok jawara yaitu jawara
yang beraliran hitam dan jawara yang beraliran putih. Jawara yang beraliran hitam
adalah mereka yang mempergunakan sumber-sumber kesaktian dari tradisi pra-
Islam. Adapun do’a yang mereka gunakan sebagai sumber magis dan kesaktian
berasal dari kepercayaan animisme dan dinamisme yang disebut dengan
Jangjawokan.27
Karena para jawara hitam ini tidak bisa mentransformasikan
tradisi Islam dengan kegiatan ritualnya, sehingga dikatakan jawara aliran hitam ini
beubah menjadi jawara aliran putih.
Sedangkan jawara yang beraliran putih adalah mereka yang memiliki
kesaktian yang berasal dari sumber-sumber agama Islam, biasanya mereka yang
mendalami ilmu tarekat Rifa’iyah, Jawara beraliran putih ini dipandang dekat
dengan kiyai, karena memang amalannya tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran
Islam.28
Beberapa ritual yang terlihat dalam jawara yang beraliran putih ialah amalan
dan puasa. Kedua ritual ini memiliki pengaruh yang sangat besar. Puasa
merupakan latihan pengendalian diri menahan hawa nafsu. Puasa dalam ritual ini
bukan seperti puasa Ramadhan yang dilaksanakan umat Muslim biasanya, tapi
dalam ritual ini merupakan upaya pengolahan batin agar selalu mengingat Allah
26
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, h. 57. 27
Jangjawokan adalah pembacaan mantra yang bukan bersumber dari ajaran Islam. 28
Mohammad Hudaeri, Islam Tantangan Modernitas dan Karifan Budaya Lokal Banten,
h. 152.
67
SWT. Jumlah puasa yang dilakukannya yaitu selama 3-7 hari bahkan ada yang
sampai 40 hari. Sementara amalan merupakan kegiatan dzikir. Dzikir tersebut
biasanya terdapat dalam al-Qur’an. Bentuk dzikir ini biasanya membaca tahmid,
atau takbir dan pembacaan ayat kursi atau beberapa dzikir khusus yang dimiliki
beberapa kelompok tertentu. Jumlahnya beragam ada yang dibaca 3 kali bahkan
ada yang dibaca 30 kali. Ritual ini biasanya dilakukan setelah shalat wajib atau
tahajud.29
Puasa dan dzikir tersebut bertujuan untuk memperoleh kesaktian.
Peranan Jawara yang masih dekat dengan kesaktian adalah permainan
debus, yang dianggap sudah memiliki kesaktian yang cukup. Di Banten sendiri
ada beberapa macam debus, yakni debus al-madad, surosowan dan langitan.30
Dinamakan debus al-madad.31
Karena setiap kali melakukan aksinya para pemain
selalu mengucapkan kata-kata al-madad, yang menggambarkan bahwa tindakan
tersebut didasarkan atas pertolongan dari Allah SWT. Debus al-madad ini
merupakan debus yang dalam permainannya harus melakukan amalam yang
sangat panjang. Amalan-amalan debus ini diambil dari tarekat Rifa’iyah.32
Hal ini
dapat dilihat dari silsilah, ritual, hizib dan bacaan-bacaan wirid atau dzikir yang
29
Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, h. 19. 30
Debus Surosowan adalah permainan debus yang tidak memerlukan kemampuan yang
tinggi. Karena itu permainan debus ini bisa dilakukan oleh para remaja. Melihat namanya
“Surosowan” bahwa debus ini berkaitan dengan nama istana Kesultanan Banten. Semenjak awal
debus ini hanya sebagai pertunjukkan di istana Surosowan bukan untuk mendapatkan kesaktian.
Sedangkan Debus Langitan adalah pertunjukkan debus yang mempergunakan anak-anak remaja
yang dijadikan obyek sasaran benda-benda tajam yang bersangkutan merasa sakit atau menderita
luka-luka. Permainan debus ini nampaknya ditunjukkan hanya untuk permainan belaka, bukan
untuk mendapatkan kekebalan tubuh atau kesaktian. Ibid., h. 154. 31
Al-maddad berasal dari bahasa Arab (Madadun) yang berarti pertolongan. Mahmud
Yunus, Kamus Bahasa Arab Indonesia (Jakarta: Hidayakarya Agung, 1989), h. 414. 32
Mohammad Hudaeri, Islam Tantangan Modernitas, h. 153-154.
68
dibacakan pada setiap pertunjukkan dan tata cara mempelajari kesenian debus
Banten.33
Hubungan tarekat dengan debus ini dilihat dari pertunjukkan yang selalu
dimulai dengan membaca shalawat-shalawat Nabi, do’a-do’a dan dzikir yang
memohon perlindungan dari Allah SWT serta diikuti dengan ritual tertentu, yang
ternyata ritual tersebut sama juga dilakukan oleh beberapa tarekat.
Permainan debus tidak bisa dipraktekkan oleh sembarang orang. Sebab yang
dapat melakukan praktek debus hanya orang yang sudah taat betul dengan ajaran-
ajaran agama. Apabila orang yang melakukan debus belum taat dalam
mengamalkan ajaran agama, maka senjata tajam yang digunkan tersebut bisa
melukai tubuhnya sendiri.34
C. Pesantren
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tradisional Islam untuk
memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan
pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-
hari.35
Dipesantren tidak hanya diajarkan ilmu-ilmu agama, akan tetapi juga
biasanya para guru mengajarakan ilmu tarekat. Di Banten sendiri, penulis belum
menemukan pesantren yang mengajarkan tarekat Rifa’iyah.
Namun didaerah lain, penulis menemukan ada salah satu pesantren yang
menganut tarekat Rifa’iyah ialah pesantren yang berada di desa Cibaregbeg,
Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur, yang didirikan oleh Kiyai Haji Abdul
33
Jurnal, Kiki Muhamad Hakiki, Debus Banten: Pergeseran Otentisitas dan Negoisasi
Islam-Budaya Lokal, h. 4. 34
Ibid., h. 5. didukung juga dari hasil wawancara dengan Abah Yadi salah seorang tokoh
Budaya, Serang, 13 April 2015, Pukul 11:29 WIB. 35
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: Seri INIS XX, 1994), h. 6.
69
Jalil ibn Musa al-Rifa’i. Secara fisik pesantren ini hanya sebuah bangunan yang
berfungsi ganda yaitu sebagai tempat belajar para santri dan sebagai langgar
tempat orang bersembahyang. Namun pesantren ini mempunyai banyak murid,
salah satu diantaranya adalah Kiyai Haji Mukri, salah seorang pemimpin
pemberontakan rakyat Banten 1926.
Kiyai Haji Abdul Jalil adalah seorang Kiyai (Mursyid) dari beberapa cabang
tarekat antara lain Syatariyyah, Sammaniyah, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, dan
Rifa’iyah. Dari namanya, Abdul Jalil ibn Musa al-Rifa’i tampaknya lebih
mengidentifikasikan diri sebagai tokoh tarekat Rifa’iyah. Ia berguru dan
mempelajari tarekat Rifa’iyah kepada ayahnya. Selain belajar kepada ayahnya, ia
juga belajar kepada Sayyid Salim al-Mu’ali di Mekkah selama beberapa tahun.
Setelah ia mempelajari tarekat Rifa’iyah, ia kembali memimpin di pesantren
Cibaregbeg tersebut, sekaligus mengajarkan tarekat Rifa’iyah kepada murid-
muridnya.36
Kemudian para murid meyakini amalan tarekat yang diajarkan oleh seorang
guru dapat dianggap sah bila dilakukan di bawah bimbingan seorang guru. Para
guru tarekat dijadikan perantara bagi para muridnya yang ingin berhubungan
dengan Tuhan dan memiliki otoritas mutlak atas murid-muridnya, baik dalam
persoalan kehidupan spiritual maupun material.37
Dalam lingkungan pesantren tarekat memiliki makna sebagai kepatuhan
terhadap peraturan-peraturan syariah Islam dan mengamalkannya dengan cara
yang sebaik-baiknya, yakni baik yang bersifat ritual maupun sosial. Seperti
36
Makmun Muzakki, “Tarekat dan Debus Rifa’iyah di Banten”, (Skripsi Fakultas Sastra,
Universitas Indonesia, 1990), h. 60 dan 62 37
Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kiyai dan Visinya
Mengenai Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011), h. 214.
70
praktek Wira’i38
dan Riyadhah.39
Kiyai lah yang mengajarkan amalan-amalan
dzikir kepada santrinya dan dibacanya bersama-sama. Bentuk dzikir dan amalan-
amalan tersebut tidak jauh berbeda dengan yang dipraktekkan oleh anggota-
anggota tarekat yang dianggap sah oleh Kiyainya.40
Dari pemaparan tersebut
dapatlah disimpulkan bahwa pesantren adalah tempat pengajaran dan praktek
tarekat Rifa’iyah dengan kiyai sebagai gurunya41
D. Tradisi Lokal
1. Tradisi Debus Di Banten
Debus berasal dari bahasa sunda yang artinya tembus, hal ini dikaitkan
dengan alat yang digunakan dalam permainan tersebut merupakan alat yang tajam
yang apabila ditusukkan ke bagian tubuh akan tembus.42
Debus mempunyai
beberapa pengertian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia debus atau dabbus
ialah suatu permainan (pertunjukan) kekebalan terhadap senjata tajam atau api
(dengan menusuk, menyayat, atau membakar bagian tubuh).43
Pengertian ini
semakna dengan yang dikatakann oleh Vredenbregh bahwa debus adalah sebuah
pertunjukkan yang mana memberikan fungsi yang nyata terhadap kekebalan
38
Wira’i ialah cara hidup yang suci dimana para pengamalnya selalu berusaha
menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang haram dan makruh dan banyak mengerjakan
amalan yang dianggap sunnah dan wajib. 39
Riyadhah ialah berprihatin antara puasa, menahan diri dari makan dan berpakaian
sekadar kebutuhannya. Cara melaksanakan Riyadhah ialah seorang santri harus mempunyai niat
yang kuat, dan selama berpuasa diwajibkan untuk mandi pada malam hari. Biasanya santri yang
sedang berpuasa menempati salah satu ruangan di dalam rumah seorang Kiyainya atau di dalam
masjid. Mohammad Hudaeri, Debus Dalam Tradisi Masyarakat Banten, (Serang: FUD Press,
2009), h. 67. 40
Ibid, h. 214. 41
Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kiyai dan Visinya
Mengenai Masa Depan Indonesia, h. 213. 42
K. Hadiningrat, Kesenian Tradisional Debus, (Jakarta: Proyek Media Kebudayaan
Jakarta Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 9182), h. 2. 43
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
71
tubuh.44
Sedangkan menurut Abu Bakar Atjeh Debus berasal dari bahasa Arab
Dabbus yaitu sepotong besi yang tajam. Dalam permainan debus ini, orang-orang
yang menganut tarekat Rifa’iyah berdzikir di tengah-tengah suara rebana yang
gemuruh.45
Dengan demikian debus adalah suatu permainan yang menikam diri dengan
benda tajam yang disertai dengan dzikir-dzikir dari tarekat Rifa’iyah. Para pelaku
debus adalah syekh debus atau pemimpin kelompok debus dan sejumlah pemain
debus. Peralatan yang digunakan untuk permainan debus adalah belati penusuk,
kayu dan paku besi yang ujungnya tajam.46
Dalam pengertian tersebut, kata debus
mengandung dua makna yaitu “sebagai suatu bentuk permainan kekebalan yang
menggunakan alat debus dan sebagai nama alat yang digunakan untuk permainan
kekebalan”.47
Dalam sejarahnya, Debus Banten merupakan tradisi yang berkembang sejak
masa kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten dengan tujuan membangkitkan
moral pasukan Banten melawan VOC.48
Kesenian Debus ini tidak hanya di
jumpai Banten, tetapi juga berkembang di Aceh dikenal dengan Rapa’i. Di Bugis,
Makasar, Sulawesi, permainan ini dikenal dengan nama Daboso dan
Minangkabau Rapa’i, deboih dan Madaboih.49
Jadi permainan debus di beberapa
daerah memiliki nama yang berbeda, namun dalam unsur permainannya memiliki
44
J. Vredenbregt, Dabus in West Java, (BKI, 1973), h. 302. 45
Abu Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, Cet. XI, (Solo: Ramadhani, 1995), h. 357. 46
J. Vredenbregt, Dabus In West Java, 302. 47
Isman Pratama Nasution, “Fungsi Debus Dalam Sistem Budaya Masyarakat Banten”,
(Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budayalaporan, 1998), h. 10. 48
Vredenbregt, Dabus in West Java, h. 33. 49
C. Snouck Hurgronje, The Achehnese Vol II, (Leiden: Briill, 1906), h. 351.
72
kesamaan yaitu suatu permainan kekebalan dengan menggunakan alat yang tajam
ditusukkan ke bagian tubuh.50
2. Ritual Permainan Debus
Ritual permainan debus adalah suatu proses upacara permainan debus, yang
mempertunjukkan permainan kekebalan yang dilakukan oleh anggota debus,
dalam rangka syi’ar Islam yang bernafaskan ritual keagamaan.51
Dalam tahap ini
ada tiga kegiatan yang harus dilakukan, yaitu: a). Pembukaan; b). Pembacaan
wirid dan amalan; c). Permainan debus.
a. Pembukaan
Pada tahap ini, ketua debus, pemain, pemusik dan penonton biasanya
menempati posisi tertentu dan melakukan peranan sesuai yang telah ditentukan.
Ketua biasanya menjadi pemimpin acara atau MC yang berada ditengah-tengah
pemain, atau antara pemain dan penonton. Sementara pemain debus dan para
pemain musik membentuk setengah lingkaran atau sejajar, berhadapan degan
penonton. Sedangkan penonton biasanya mengelilingi arena pertunjukkan.52
b. Pembacaan Wirid dan Amalan
Semua bacaan yang terdiri dari hadiah al-Fatihah kepada syekh, wirid Al-
Qur’an dan do’anya, Munajat Rifa’i dan Shalawat Nabi dibaca bersama-sama
oleh semua pemain yang dipimpin oleh syekhnya.53
Namun praktek seperti itu
sekarang jarang sekali dilakukan karena akan memakan waktu yang lama, oleh
karena itu pembacaan dilakukan di rumah sebelum datang ke tempat
50
A. Hasyimy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, (Jakarta: Beuna, 1983), h. 269-274. 51
Isman Pratama Nasution, “Fungsi Debus Dalam Sistem Budaya Masyarakat Banten”,
h. 22. 52
Ibid., h. 22. 53
Untuk melihat hadiah al-Fatihah kepada syekh, wirid Al-Qur’an dan do’anya, munajat
Rifai, dan shalawat Nabi lihat BAB III.
73
pertunjukkan. Kegiatan dzikir dan shalawat dilagukan dengan nada yang tinggi
dan rendah, dan diiringi dengan suara yang timbul dari alat musik. Atas izin
khalifahnya, para pemain kemudian mengambil peralatan musik yang telah
dipersiapkan dan mereka bersama-sama menabuhnya. Bersamaan dengan itu
syair segera dinyanyikan. Syair dan musik suaranya saling menyesuaikan.54
c. Pertunjukkan Debus
Pada pertunjukkan debus, perlengkapan yang harus disediakan antara
lain: Perlengkapan upacara, peralatan permainan dan busana permainan.
Perlengkapan upacara terdiri dari beberapa benda upacara seperti:
pendupaan yang dinyalakan ketika acara akan berlangsung. Menyediakan
Minyak kelapa, selain itu juga disediakan air yang ditempatkan di botol atau
gelas, kemudian wajan atau tempat yang berukuran sedang.
Dalam pertunjukkan debus, minyak kelapa digunakan untuk mengobati
orang apabila terkena bacokan dalam pertunjukkan debus. Sementara air yang
diletakkan dalam botol atau gelas, disebut sebagai air munajat. Para pemain
debus percaya bahwa air tersebut (berkat doa-doa yang dibaca saat debus akan
dimainkan) membawa berkah yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan
pengobatan, termasuk pengobatan kesurupan. Sedangkan wajan/tempat yang
berukuran sedang, dimanfaatkan untuk mengumpulkan uang dari para
pengunjung. Ketika pertunjukkan berakhir uang yang telah terkumpul dibagi-
bagikan kepada para pemain.55
54
Mohammad Hudaeri, Debus: Dalam Tradisi Masyarakat Banten, (Serang: FUD Press,
2009), h. 87-88. 55
Makmun Muzakki, “Tarekat dan Debus Rifa’iyah di Banten”, (Skripsi Fakultas Sastra,
Universitas Indonesia, 1990), h. 118-120.
74
Peralatan yang digunakan terdiri dari rebana yang berdiameter 25 cm
yang digunakan oleh oleh Syekh debus, sedangkan yang 30 cm digunakan oleh
pemain debus biasa. Selain rebana alat utama yang digunakan yakni besi yang
ujungnya runcing dengan ukuran 60 cm.56
Busana yang dikenakan oleh para pemain debus, biasanya berwarna
hitam-hitam atau putuh-hitam. Baik yang dipakai oleh pemain atau pelaku dan
pedzikir semuanya sama tidak ada perbedaan. Model bajunya berupa potongan
baju tanpa krah dengan dua buah kantong di bawah pada bagian kiri dan kanan
baju, yang bertangan panjang. Sedangkan model celananya dibuat sedemikian
rupa tanpa kantong dan tanpa tempat ikat pinggang. Ukuran bagian kaki cukup
lebar untuk memudahkan bergerak dalam bermain.57
Setelah perlengkapan sudah lengka semua, maka tahap selanjutnya yaitu
sang mursyid memohon izin kepada khalayak ramai. Permohonan izin ini
dianggap penting dilakukan sebelum upacara dimulai agar pertunjukkan bisa
berlangsung dengan baik tanpa adanya gangguan. Selain itu juga, permohonan
izin tesebut merupakan kode etik bagi setiap pertunjukkan dalam kesenian
debus.
Dalam tahap ini, barulah mulai dipertunjukkan permainan kekebalan,
dilakukan oleh pemain debus secara berurutan dan bergantian. Kemudian dua
orang pemain maju ke arena yang telah dipersiapkan. Seorang membawa gada
debus dan yang lainnya membawa palu besar. Para pemain debus,
mengucapkan dzikr dan shalawat yang dalam pengucapannya dilagukan
dengan nada yang naik dan turun. Dzikir dan shalawat ini diiringi dengan suara
56
J. Vredenbreght, Dabus in West Java, h. 305. 57
Isman Nasution Debus, “Islam dan Kiyai studi Kasus di Desa Tegal Sari, Kecamatan
Walantaka, Kabupaten Serang, Jawa Barat”, h. 109.
75
dari terbang gede dan kendang atau gong.58
Keduanya mulai menari dari jarak
yang satu dengan yang lainnya agak berjauhan. Mereka terus menari
menyesuaikan diri dengan irama musik pengiring dan dzikir yang dinyanyikan.
Selama pertunjukkan berlangsung dzikir dan shalawat serta musik masih
terus terdengar dan pada saat-saat tertentu dzikirnya merendah dan kadang kala
tinggi atau melengking, kedua pemain debus tersebut bergerak sambil
mendekat. Pada saat suara itu mencapai titik tertentu (puncak), maka kedua
pemain saling berdekatan. Salah seorang memegang gada debus dan
meletakkan bagian yang runcing di dada sebelah kanan pemain debus,
kemudian salah seorang yang memegang menghantamkan palu tersebut ke
kepala gada dengan keras sambil berteriak “al-madad”. Yang memegang gada
pula menyambut “illa Allah”. Pukulan tersebut diulangi sampai tiga kali
dengan ucapaan tersebut dalam jumlah yang sama.
Beberapa saat kemudian irama musik dan syair berubah semakin lama
semakin tinggi. Kedua pemain kembali bergerak saling mendekat satu dengan
yang lainnya. Pada irama puncak, seperti yang sudah dijelaskan tadi, mereka
saling mendekat yang kemudian diikuti gerakan yang satu memukul dan yang
lainnya menerima pukulan, kali ini bagian yang dipukul berbeda, yaitu dada
sebelah kiri. Hal semacam ini terus berulang kembali hanya sasarannya yang
berubah, bisa dada kiri, perut, atau anggota tubuh yang lainnya. Permaianan ini
diteruskan dan berakhir sampai syair yang dibaca habis. Maka itulah
pertunjukkan debus al-madad.59
58
Isman Pratama Nasution, “Debus, Islam, dan Kiyai, Studi Kasus di Desa Tegal Sari”, h.
89. 59
Mohammad Hudaeri, Islam Tantangan Modernitas dan Karifan Budaya Lokal Banten,
h. 269-270.
76
Oleh karena itu, tujuan dari pertunjukkan debus adalah untuk
membuktikan kekebalan dan para pemain harus mempunyai sikap yakin.60
Tanpa adanya sikap yakin, pemain tidak dapat melakukannya. Jadi debus
adalah bertujuan untuk meningkatkan keyakinan dengan cara membuktikan
kekebalannya dengan senjata tajam dan keyakinan akan keberadaan Allah yang
memberi kekebalan.61
60
J. Vredenbregt, Dabus in West Java, (BKI, 1973), h. 317. 61
Wawancara Pribadi dengan Abah Yadi, Tokoh Budaya, Serang, 13 April 2015, Pukul
11:29 WIB.
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa;
Tarekat Rifa’iyah ialah salah satu tarekat yang mulai berkembang di Banten
pada masa Sultan Abu Mufakhir Muhammad Aliyuddin. Penyebaran tarekat ini
berawal dari kalangan elit kota, sampai pada kalangan masyarakat awam.
Keberadaan dan Perkembangan tarekat Rifa’iyah di Banten juga dibuktikan
dengan adanya Naskah Ratib al-Rifa’i yang di dalamnya disebutkan nama pendiri
tarekat Rifa’iyah dan nama-nama menganut tarekat Rifa’iyah. Nama-nama yang
sering disebut dalam hadiah al-fatihah dan munajat Rifa’i ialah Ahmad al-Kabir
al-Rifa’i, Sultan Maulana Hasanuddin, Sultan Abu Nasr Muhammad al-Arif
Zainal Asyiqin, dan Sultan Abu al-Mufakhir Aliyuddin.
Tarekat Rifa’iyah pada abad ke-19 ialah digunakan sebagai alat untuk
melawan penjajah Belanda, karena tarekat Rifa’iyah ini memiliki keistimewaan
yakni membuat pengamalnya kebal dari senjata tajam yang kemudian dikenal
dengan debus. Sebelum para pengikut memainkan debus, mereka harus menjadi
anggota terlebih dahulu, yaitu dengan cara melaksanakan puasa dan mengamalkan
dzikir dan doa-doa yang terdapat dalam tarekat Rifa’iyah. Akan tetapi, permainan
debus sekarang ini kebanyakan dalam amalannya tidak menggunakan tarekat
Rifa’iyah lagi. Amalan yang mereka digunakan yaitu Jangjawokan (membaca
mantra).
78
Adapun ajaran/amalan yang terdapat dalam Tarekat Rifa’iyah yaitu dzikir
dan amalan berupa Hadiah al-fatihah, Wirid al-Qur’an dan doa, Munajat Rifa’i,
serta Salawat. Pada bagian munajat Rifa’i, terdapat doa-doa yang sering
menggunakan kata al-madad yang artinya meminta pertolongan. Selain digunakan
untuk permainan debus, dzikir dan amalannya juga digunakan sebagai
pengobatan. Pengobatan tersebut digunakan untuk menutupi luka akibat bacokan
dalam permainan debus.
Sementara pengaruh keagamaan dari tarekat Rifa’iyah terbagi menjadi tiga
kategori yaitu pertama; munculnya pemimpin muslim yang diwakilkan oleh kiyai.
Dimana kiyai ini memberikan suatu corak baru di Banten, ditandai dengan adanya
kiyai hikmah dan guru tarekat; kedua, Jawara sebagai sebuah transformasi
tradisional dapat memunculkan kepemimpinan tradisional debus dan ketiga,
kategori institusi yakni pesantren yang mana mengajarkan sebauh tarekat.
Sedangkan untuk tradisi sendiri dijadikan sebagai ritual lokal debus.
B. Saran
Penulis memahami betul dalam tulisan ini masih banyak kekurangan dan
jauh dari kata sempurna, maka dari itu kritik dan saran sangat dibutuhkan demi
baiknya tulisan/karya ini.
Untuk generasi selanjutnya akan lebih bagus lagi jika mengkaji lebih
mendalam dan memunculkan ide-ide yang cemerlang untuk menggali tulisan
khusus Banten seperti: Sejarah para pendiri Tarekat Rifai’iyah di Banten,
Pengajaran pesantren yang menganut tarekat Rifa’iyah, Konflik Ulama Tarekat
Rifa’iyah di Banten, Sejarah kesenian-kesenian yang ada di Banten dan lain
sebagainya.
79
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Primer
Naskah Ratib Rifa’i A 218 A.
Naskah Ratib Rifa’i A 218 B.
Buku-Buku
Abdurahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
1999.
__________________ Pengantar Metodologi Penelitian Dan Penulisan Karya
Ilmiah. Yogyakarta: IKFA Press. 1998.
Ambary, Hasan Muarif. Menemukan Peradaban Arkeologi dan Islam di
Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. 1998.
Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari: Karya Sastra Sebagai Sumber
Pengetahuan Sejarah. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa
Barta. 1986.
Atjeh, Aboebakar. Pengantar Ilmu Tarekat. Cet. XI. Solo: Ramadhani. 1995.
Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi
Islam di Indonesia. Bandung: Mizan. 1995.
____________________ Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis,
Geografis, dan Sosiologis. Bandung: Mizan. 1992.
Burger dan Prayudi. Sejarah Ekonomi Sosiologis Indonesia. Jilid 1. Jakarta:
Pradnya Paramita. 1962.
De Graaf, H. J. dan TH. Pigeaud. Kerajaan Islam Pertama di Jawa Tinjauan
sejarah Politik Abad XV dan XVI. Cet.I. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
1985.
Dhofier, Zamaksyari. Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kiyai dan
Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES. 2011.
Djajadiningrat, Hoesein. Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten. Jakarta:
Djambatan. 1983.
80
Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. Terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta: UI
Press. 1983.
Guillot, Claude. Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia. 2011.
Hadiningrat, K. Kesenian Tradisional Debus. Jakarta: Proyek Media Kebudayaan
Jakarta Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. 1981/9182.
Harjoso. “Kebudayaan Sunda”. dalam Koentjaraningrat. Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan: 1971.
Hasyimy, A. Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah. Jakarta: Beuna. 1983.
Hudaeri, Mohammad. Debus: Dalam Tradisi Masyarakat Banten. Serang: FUD
Press. 2009.
__________________ Islam Tantangan Modernitas dan Kearifan Budaya Lokal
Banten. Serang: Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Press. tth.
Hurgronje, C. Snouck. De Atjehers Vol II. Leiden: E.J. Brill. 1894.
Hurgronje, C. Snouck. The Achehnese Vol II. Leiden: E.J. Briill. 1906.
Irfani, Fahmi. Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya. Jakarta:
YPM: Young Progressive Muslim. 2011.
Kartodirdjo, Sartono. Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan,
Peristiwa, dan Kelanjutannya. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. 1984.
Lubis, Nina H. Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara.
Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. 2003.
Michrob, Halwany dan Mudjahid Chudori, Catatan Masa Lalu Banten. Serang:
Saudara. 2011.
Mulyati, Sri. Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabaroh di Indonesia.
Jakarta: Kencana. 2005.
__________ Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, Cet. ke-1.
Kencana: Prenada Media Group. 2006.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: PT Bulan
Bintang. 1999.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2012.
81
Niel, Robert Van. Sistem Tanam Paksa di Jawa. Jakarta: Pustaka LP3ES
Indonesia. 2003.
Pane, Sanusi. Sedjarah Indonesia Jilid II. Jakarta: Perpustakaan Perguruan
Kementrian. 1956.
Said, Fuad. Hakikat Tarekat Naqsyabandiyah. Jakarta: Al-Husna Zikra. 1996.
Saifullah. Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2010.
Schimmel, Annemarie. Dimensi Mistik Dalam Islam. Terj. Sapardi Djoko
Damono. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1986.
Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan
Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Ed. Marwati Djoened Poesponegoro
Nugroho Notosusanto. Jakarta: Balai Pustaka. 1977.
Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Yogyakarta: Kanisius.
1973.
Solihin, M. Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia. Bandung: Pustaka
Setia. 2001.
Statistik Gender dan Analisi Provinsi Banten. Jakarta: Badan Pusat Statistika. tth.
Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19.
Jakarta: PT Bulan Bintang. 1984.
Suminto, Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES. 1985.
Tjandrasasmita, Uka. Musuh Besar Kompeni Belanda. Jakarta: Yayasan
Kebudayaan Nusalarang. 1967.
__________________ Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di
Indonesia Dari Abad XIII sampai XVIII Masehi. Kudus: Menara Kudus.
2000.
__________________ Banten Abad XV-XXI Pencapaian Gemilang Penorehan
Menjelang. Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan
Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI. 2011.
Trimingham, J. Spencer. Mazhab Sufi. Bandung: Pustaka. 1999.
___________________ The Sufi Orders In Islam. New York: Oxford University
Press. 1971.
Untoro, Heriyanti Ongkodharma. Kebesaran dan Tragedi Kota Banten. Jakarta:
Yayasan Kota Kita. 2006.
82
___________________________ Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten
1522-1684, Kajian Arkeologi-Ekonomi. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya. 2007.
Vredenbregt, J. Dabus in Wast Java. BKI. 1973.
Yatim, Badri. “Tarekat dan Perkembangannya”. Indonesia Dalam Arus Sejarah
Jilid 3: Kedatangan dan Peradaban Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
2011.
Yunus, Mahmud. Kamus Bahasa Arab Indonesia. Jakarta: Hidayakarya Agung.
1989.
Sejarah Seni Budaya Jawa Barat 1. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. 1977.
Jurnal
Isman Pratama Nasution, “Debus Walantaka: Fenomena Budaya Banten”,
Universitas Indonesia,
journal.ui.ac.id/index.php/jai/article/download/.../2607. Akses tanggal 21
april 2015.
Jurnal, Kiki Muhamad Hakiki, “Debus Banten: Pergeseran Otentisitas dan
Negoisasi Islam-Budaya Lokal”.
Jurnal, Planesa Volume 3, Nomor 1 Mei 2012, Budi Sulistyo dan Gita Vemilya
Many, Revitalisasi Kawasan Banten Lama Sebagai Wisata Ziarah .
Ensiklopedi
“Ensiklopedi Islam”. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve. 1997.
“Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 3”. Jakarta: PT Delta Pamungkas. 2004.
Esposito, John L. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern Jilid 1. Bandung:
Mizan. 2001.
Rosidi, Ajip. “Ensiklopedi Sunda, Alam, Manusia, dan Budaya Termasuk Budaya
Cirebon dan Betawi”. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. 2000.
Wawancara
Wawancara Pribadi dengan Bapak Abbas, Pengurus Makam Sultan Hasanuddin,
Serang, 12 April 2014, pukul 12:10 WIB.
Wawancara Pribadi dengan Ustadz Maheri salah seorang tokoh Debus Banten,
Serang, 22 Maret 2015, Pukul 11:38 WIB.
Wawancara Pribadi dengan Abah Yadi, Tokoh Budaya, Serang, 13 April 2015,
Pukul 11:29 WIB.
83
Wawancara Pribadi dengan Sekertaris MUI, Serang, 15 April 2015, Pukul 10:18
WIB.
Skripsi
Makmun Muzakki, “Tarekat dan Debus Rifa’iyah di Banten”. Skripsi SI Fakultas
Sastra, Universitas Indonesia. 1990.
Nur Karim, “Ratib Ar-Rifa’i Terjemahan Naskah dan Pengungkapan Isi”. Skripsi
SI Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. 1991.
Tubagus Najib Al-Bantani, “Biografi K.Wasid Karya-Karya dan Perlawanan
Terhadap Kolonial di Banten”. Skripsi SI Universitas Indonesia, 1991.
Tesis
Isman Pratama Nasution, “Debus, Islam dan Kiai: Studi Kasus di Desa Tegal Sari,
Kecamatan Walantaka, Kabupaten Serang, Jawa Barat”. Tesis, FISIP,
Universitas Indonesia. 1995.
Syamsu Nauval, “Debus Sebuah Fenomena Keagamaan: Studi Kultural Debus
Banten”, Tesis S2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tihami, “Kiyai dan Jawara di Banten: Studi Tentang Agama, Magi, dan
Kepemimpinan di Desa Pesanggrahan Serang-Banten”. Tesis Universitas
Indonesia, Jakarta, 1992.
Artikel
Rohman, “The Result of a Holy Alliance: Debus and Tariqah in Banten
Province”, IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Artikel diakses pada
tanggal 21 april 2015.
http://journal.umy.ac.id/index.php/afkaruna/article/view/27/30. vol 9, no 1
(2013).
Kumpulan Tulisan
Al-Bantani, Tubagus Najib. Kebangkitan Kembali Banten Dari Masa ke Masa:
Berdasarkan Naskah Kuna dan Tinggalan Arkeologi. Serang: Yayasan
SengPho Banten. 2011.
Isman Pratama Nasution, “Fungsi Debus Dalam Sistem Budaya Masyarakat
Banten”, Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budayalaporan,
1998.
Noviyanti Widyasari. “Peranan Debus Dalam Pembinaan Budaya
Kewarganegaraan (Civil Culture) Pada Masyarakat Banten”. Universitas
Pendidikan Indonesia. 2014.
Internet
84
http://www.bpkp.go.id/dki2/konten/1092/GEOGRAFIS. Akses Tanggal: 27 April
2015, Pukul 10:40 WIB.
http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/269-sultan-maulana-hasanuddin#
Akses Tanggal 27 April 2015, Pukul 14:38 WIB.
http://Kehidupan%20Sosial%20dan%20Ekonomi%20Masyarakat%20Kerajaan%
20Banten%20_%20Perpustakaan%20Cyber.htm. Akses Tanggal 28 April
2015, Pukul 11:20 WIB.
www.embun pagi_Banten,antara Pengaruh Kyai dan Jawara.html. Akses Tanggal
07 Mei 2015, Pukul 16:37 WIB.
85
Lampiran 1.1 Hasil Wawancara
Narasumber : Ustadz Maheri
Tempat : Kp. Sandiang Rt/Rw 007/003, Kel. Cipete, Kec. Curug, Serang-
Banten
Jabatan : Ketua Debus
Hari/Tanggal : Minggu, 22 Maret 2015
No. Pertanyaan Jawaban
1. Tanya Tarekat apa saja yang terdapat di Banten?
Jawab Tarekat Babeluk, al-madad, Qadariyah, dan
Naqsyabandiyah. Tarekat Babeluk adalah tarekat yang
bacaannya digunakan untuk pemberangkatan orang yang
pegi haji dan untuk memperlihatkan budaya Banten.
Tarekat Babeluk ini hanya terdapat di Banten. Al-madad
ialah tarekat sebagai pengisian dari debus. Sementara
Qadariyah wa Naqsyabandiyah adalah tarekat yang
digunakan untuk melawan musuh pada masa penjajahan.
Semua tarekat yang terdapat di Banten digunakan sebagai
pertolongan dan alat yang digunakan yaitu bambu runcing
karena pada waktu itu belum ada senjata tajam, seperti
pistol, senapan dan lain-lain.
2. Tanya Apakah benar tarekat Rifa’iyah ada kaitannya dengan
debus, khususnya di Banten?
Jawab Benar ada, karena amalan tarekat Rifa’iyah digunakan
sebagai suatu pengisian yang dibuktikan dengan debus.
3. Tanya Selain digunakan untuk debus, digunakan untuk apa saja
tarekat Rifa’iyah tersebut?
Jawab Tarekat Rifa’iyah selain digunakan amalan debus,
amalannya juga digunakan untuk riungan, pengobatan.
Kalo debus hanya sebagai suatu permainan aja, misalnya
ingin kebal terhadap senjata tajam, sementara tarekat
hanya sebagai pengisiannya saja agar kuat dari senjata
tajam. Fungsinya untuk menutup luka, mengisi kekuatan
yang diambil dari amalan tarekat debus.
4. Tanya Menurut Bapak apa tarekat Rifa’iyah itu sendiri?
Jawab Tarekat Rifa’iyah adalah tarekat untuk kekebalan, dan
untuk menguatkan ukhuwah islamiyah pada masyarakat
Banten.
5. Tanya Dari mana bapak mengetahui dan mengenal tarekat
Rifa’iyah?
Jawab Dari guru-guru terdahulu, yang pada awalnya saya hanya
86
sebagai santrinya saja, kemudian diajarkan tentang
berbagai macam tarekat, khususnya tarekat Rifa’iyah, dan
sekarang saya dijadikan sebagai penerusnya untuk
mengajarkan tarekat Rifa’iyah di Banten.
6. Tanya Kapan tarekat Rifa’iyah masuk ke Banten?
Jawab Tarekat Rifa’iyah ada di Banten, awal mula ada pada bulan
Maulid, sehingga sekarang setiap bulan maulid semua
penganut tarekat bekumpul.
7. Tanya Siapa yang membawa Tarekat Rifaiyah ke Banten?
jawab Pada awalnya yang membawa tarekat Rifa’iyah ke Banten
yaitu Sultan Hasanuddin, karena beliau yang
mengislamkan masyarakat Banten, ia mengumpulkan para
wali, qadhi. dikumpulkan disuatu tempat kemudian
masing-masing diutus untuk mengajarkan tarekat yang
terdapat di Banten.
8. Tanya Bagaimana tarekat Rifa’iyah bisa berada di Banten?
Jawab Karena asal usul Syarif hidayatullah dan anaknya Sultan
Hasanuddin, yang dalam cerita ia adalah pendiri suatu
tarekat.
9. Tanya Digunakan untuk apa saja tarekat Rifa’iyah?
Jawab Selain amalannya digunakan untuk debus, amalannya juga
digunakan untuk megobati orang kesurupan, santet, teluh,
untuk mengobati orang yang sakit tidak sewajarnya,
menyelususri rumah angker, pengobatannya tersebut
diambil dari hizib-hizib Rifa’iyah, dan digabungkan dari
tarekat Qadariyah, Rifa’iyah, al-madad, Naqsyabadndiyah,
digabungkan hizib-hizibnya.
10. Tanya Biasanya tarekat-tarekat lain mendirikan suatu pesantren,
apakah ada pesantren yang khusus mengamalkan tarekat
rifaiyah?
Jawab Memang ada, namun tidak secara khusus mengamalkan
tarekat Rifa’iyah, namun untuk pesantren yang khusus
mengamalkan Rifa’iyah di Banten belum ada. Akan tetapi
ada sebagian yang lain mengamalkan tarekat-tarekat
mereka mengamalkan dzikirnya dan hizib-hizib dari suatu
tarekat tersebut.
11. Tanya Apas aja ajaran-ajaran dari tarekat Rifa’iyah?
Jawab Doa kepada Syekh, baca yasin, ayat kursi, puasa.
12. Tanya Kapan dan dimana dilaksanakannya?
Jawab Setiap malam Jumat, biasanya mereka terlebih dahulu
berkumpul di masjid Agung Banten.
13. Tanya Butuh berapa lama untuk menjadi tarekat Rifa’iyah?
Jawab Kira-kira 3 bulan, itupun khusus mengamalkan tarekat
Rifa’iyah yang digunakan untuk permainan debus.
Sementara jika digunakan untuk pengobatan tidak
membutuhkan waktu yang lama. Yang penting murid
sudah diajarkan amalan-amalannya.
87
14. Tanya Dari kalangan mana saja yang menganut tarekat Rifa’iyah?
Jawab Semua kalangan bisa mengikuti tarekat ini, tetapi biasanya
yang lebih diutamakan yaitu laki-laki.
15. Tanya Apakah setelah mengikuti tarekat Rifaiyah, perilaku
keagamaannya berubah?
Jawab Iya pasti, karena dalam tarekat sudah diajarkan, amalan-
amalan dan dan dalam tarekat tidak boleh melakukan
perbuatan yang dilarang Agama, seperti mencuri, mabok,
maling dan lain-lain.
16. Tanya Setelah megikuti tarekat Rifa’iyah, bagaimana pandangan
bapak?
Jawab Nyaman, karena dengan ilmu yang didapat, bisa digunakan
untuk menolong orang yang sakit dan sebagian masyarakat
Banten memandang hebat jika memiliki ilmu kekebalan
dan dengan ilmu yang di dapat, bisa dikenal banyak orang.
17. Tanya Bagaimana pengaruhnya setelah mengikuti tarekat
Rifa’iyah?
Jawab lebi dekat dengan Allah, karena setiap kita melakukan
kesalahan sekecil apapun pasti akan terasa.
18. Tanya Apakah ada masyarakat yang memandang tidak suka
dengan tarekat Rifa’iyah?
Jawab Ada, karena tidak semua orang menilai baik. Dan apabila
ada orang yang menganggap buruk kita hanya bisa
mendoakan saja.
19. Tanya Kapan tarekat Rifa’iyah diamalkan?
Jawab Biasanya setelah shalat.
20. Tanya Apakah tarekat Rifa’iyah berpengaruh terhadap agama,
sosial, ekonomi?
Jawab Kalo hubungan Agama, merasa ilmu yang di dapat sangat
bermanfaat sekali, karena adanya kehebatan Allah.
Sementara dari segi ekonomi lebih mengangkat, karena
dengan ilmu tersebut bisa di bawa orang untuk acara
pertunujukkan debus, dari dalam sampai ke luar negeri,
dari sosialnya bisa dipandang lebih baik oleh masyarakat.
21. Tanya Ada berapa orang dalam sekolompoknya Tarekat Rifa’iyah
dalam debus?
Jawab Ada 25. Mereka sebagai penabuh, gendang dan pemain.
88
Lampiran 2.1
Hasil Wawancara
Narasumber : Abah Yadi
Tempat : Bantenologi, IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
Jabatan : Tokoh Budaya
Hari/Tanggal : Senin, 13 April 2015
No Pertanyaan Jawaban
1. Tanya Tarekat apa saja yang berkembang di Banten?
Jawab Awaliyah, Syatariyah, Sanusiyah, Syadziliyah, Samaniyah,
Rifa’iyah dan Qadiriyah.
2. Tanya Apakah tarekat Rifa’iyah salah satu tarekat yang berkembang di
Banten?
Jawab Iya, dan 7 tarekat yang tadi disebutkan itu, tarekat Rifa’iyah
adalah salah satu tarekat lebih menonjol pada debusnya, Para
penganut tarekat Rifa’iyah setelah mengamalkan ajarannya maka
akan di tes keyakinan, kepercayaan kepada Tuhannya atau
kekebalan tubuh. Karena di Banten berbeda dengan di daerah
lain, misal, di Bogor Syatariyah yang berkembang, di Aceh
Samaniyah, di Palembang Syadziliyah, sedangkan di Banten
semuanya digabungkan menjadi satu. Oleh karena itu tarekat
yang terdapat di Banten tidak menjelekkan satu sama lainnya,
malahan tarekat di Banten saling mendukung. Walaupun pada
abad ke-19 tarekat yang paling berkembang yaitu Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah, karena pada zaman kolonial tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah lebih banyak pengikutnya, namun bukan berarti
tarekat yang lain tidak ada pengikutnya, Rifa’iyah juga ikut
berperan dalam pemberontakan, bahkan Abdullah bin Abdul
Qahhar yang mengajarkan tarekat Sanusiyah, Awaliyah,
Syadziliyah, Rifa’iyah. Dan beliau juga salah satu penganut
tarekat Rifa’iyah yang dibuktikan dengan salah satu naskah yang
di dalamnya terdapat nalam pendiri tarekat Rifa’iyah, Oleh
karena itu, secara tidak langsung ia mengamalkan tarekat
Rifa’iyah. Dan ia menjelaskan tidak ada perbedaan antara satu
tarekat dengan tarekat yang lainnya, yang membedakan hanya
leading sektornya saja, siapa yang paling kuat ia yang paling
berperan. Tarekat hanya sebagai kelompok untuk melakukan
perlawanan. Jadi semua tarekat yang berada di Banten semuanya
ikut berperan dalam perjuangan melawan kolonial Belanda. Di
samping itu juga, tarekat dijadikan untuk melakukan simpatik di
ranah kebudayaan atau seni pertunjukkan untuk mengenalkan
kebudayaan. Misalnya Syadziliyah dengan dalail khoirot,
Samaniyah dengan dzikir saman, Rifa’iyah dengan debus,
awaliyah juga dengan debusnya, Qadiriyah dengan wawacan seh.
89
Itu semua bukti pernah ada kekuatan besar satu sama lainnya.
Namun kesenian tersebut dilakukan hanya pada momen-momen
tertentu saja.
3. Tanya Bagaimana peranan tarekat Rifaiyah di Banten?
Jawab Peranan tarekat Rifa’iyah di Banten lebih pada debus, dan
ajarannya lebih kepada wahdatul wujud, keyakinan yang
sempurna, bahkan di tarekat Rifa’iyah itu dijelaskan beda dengan
tarekat yang lainnya tarekat Qadiriyah ada bagannya. Jika kata
orang sekarang namdalang, yaitu dalam jasad manusia biasanya
9 tapi dalam tarekat rifaiyah biasanya 12 tingkatannya. Artinya,
mereka yang kurang-kurang itu masuk ke dalam tarekat
Rifa’iyah dan dijadikan keyakinan tingkatan spiritual yang tinggi
di bandingkan yang 7 tarekat tadi di sebutkan itu, untuk
masyarakat Banten.
4. Tanya Kapan tarekat Rifa’iyah mulai masuk dan berkembang di Banten?
Jawab Jika dilihat dari naskah dan ajaran, sebelum adanya
kesultananpun tarekat sudah ada, hanya memang tokoh-tokoh
pendiri khusus di Banten yang benar-benar belum
ditemukan/belum terlacak dengan baik, yang kedua bukti tentang
keberadaan tarekat Rifa’iyah ini karena memang wahdatul wujud,
kalawan gusti keyakinan yang cukup tinggi. Sehingga hampir
semua masyarakat mengenal tarekat Rifa’iyah lebih pada ilmu
hikmah untuk dijadikan kekuatan, di samping tarekat-tarekat
yang lain, Rifa’iyah ini yang paling menonjol untuk ilmu
kanuragan, ilmu spiritualnya, yang kuat di bacok, yang
dipraktekkan dengan debus, dan ketika zaman kesultanan,
Rifa’iyah berkembang, khalwatiyah juga berkembang,
5. Tanya Siapa yang membawa tarekat-tarekat itu ke Banten?
Jawab Salah satu tokoh yang membawa tarekat ke Banten yakni
Abdullah bin Abdul Qahar tokoh sekaligus penulis kitabnya
berjudul Fathul Al-Mulk, yang menulis, membawa dan
mengajarkan tentang tarekat tersebut, sekitar tahun 1760-an. Dan
Abdullah bin Abdul Qahar ini sebenarnya penasehat Sultan dan
dijadikan sebagai keluarga Sultan.
6. Tanya Dari mana asal mula tarekat mucul?
Jawab Sebenarnya tarekat ialah, para penganut yang memiliki
keyakinan, merasa keyakinannya benar. Biasanya dari tarekat
berawal dari nama-nama tokoh seperti Syadzili, ia orang yang
mendirikan tarekat Syadziliyah, Rifa’iyah Syekh Rifa’i, yang
dipercayai oleh masyarakat memiliki kekuatan magis, sehingga
banyak masyarakat yang mengikuti. Kebanyakan tarekat muncul
di Syiria, Turki, Iran, dan tarekat Rifa’iyah memiliki banyak
cabang misalnya di Jawa, dikenal dengan Ronggowarsito
pemikiran tarekatnya dituangkan dalam bahasa sastra dituliskan
dengan bahsa lokal, sedangkan Abdullah bin Abdul Qahhar
dengan bahasa Arab.
7. Tanya Mengapa tarekat Rifa’iyah terdapat di Banten?
Jawab Karena Banten sebagai multikultur. Banten welcome terhadap
90
semua ajaran, karena Banten adalah kota maritim, siapapun yang
datang dan menguntungkan untuk Kerajaan Banten ia pasti akan
diterima. Salah satu wasiat dari Abdullah bin Abdul Qahhar
“wong banten kudu ngagagurat, udan guru banjar elmu wong
salah malah kaprah”. Dalam salah satu babad Banten disebutkan
pada masa Sultan Abdul Mufakhir, ia mendatangkan guru-guru
agama dari Timur Tengah, ratusan bahkan ribuan jumlah untuk
mengajarkan ilmu agama dan dari Eropa untuk mengajarkan ilmu
tekhnik pertanian, dsb. Semua didatangkan ke Banten dan
tujuannya untuk mengembangkan Banten. Karena banyaknya
guru-guru yang berbeda idiologi atau pemahaman, sehingga
ajaranpun bermacam-macam dan menjadi berkembang. Dan
untuk menghindarkan konflik internal, maka sultan memberikan
pemahaman. Sultan Abdul Qadir yang memberikan pemahaman
kepada masyarakat dan kemudian dilanjutkan oleh cucunya,
Sultan Ageng Tirtayasa, sehingga perkembangan Banten lebih
meluas.
8. Tanya Bagaimana proses masuknya tarekat Rifa’iyah ke Banten?
Jawab Kalo dulu setiap guru mengajarkan kepada murinya, dan ajaran
itu diikuti oleh murid-muridnya, karena guru sebagi panutan
murid sehingga apapun yang dilakukan oleh guru maka akan
ditiru, misalnya meniru tingkah lakunya dan pemikirannya.
9. Tanya Biasanya tarekat-tarekat lain mendirikan suatu pesantren, apakah
ada pesantren yang khusus mengamalkan tarekat Rifa’iyah?
Jawab Sebenarnya tidak semua tarekat mendirikan pesantren, kita harus
bisa membedakan ulama tarekat dengan ulama akademis, ulama
tarekat lebih banyak mempelajari ilmu hikmah. belajarnya masih
menggunakan kitab kuning. Jadi tarekat Rifa’iyah tidak
mendirikan pesantren khusus, dan jika ada yang ingin belajar,
silahkan datang kepada gurunya, paling lama belajarnya 3 bulan,
dan melaksanakan puasa. Beda dengan pesantren yang
dikategorikan pesantren akademis, belajarnya sudah modern. dan
jarang yang mempelajari kitab kuning, walaupun memang ada,
paling hanya sedikit presentasenya lebih banyak untuk
mengamalkan puasa dan amalan tarekatnya. Kalo sekarnag
biasanya bulan maulid semuanya melaksanakan puasa dan ritual-
ritual tarekat.
10. Tanya Digunakan untuk apa saja tarekat Rifa’iyah?
Jawab Jika di lihat dari isinya tarekat Rifa’iyah mengkondisikan diri
sebagai mahluk Tuhan, maksudnya kita bergerak, semuanya
adalah tingkah laku kita, sekecil apapun yang kita lakukan dari
ucapan dari tingkahlakunya. karena mereka taruhannya nyawa,
karena setelah mengamalkan ritual, ajaran-ajarannya akan dicoba
dengan golok, senjata tajam, ular berbisa, al-madad. dan apabila
dia tidak yakin dan tidak pasrah ia akan mati. debus merupakan
seni uji keyakinan untuk tarekat Rifa’iyah, jika seorang sudah
yakin maka diuji coba keyakinannya dengan debus tersebut, uji
tes kelulusan para pnganut tarekat Rifa’iyah. Sehingga kemudian
debus dijadikan seni kebudayaan untuk tes kelulusan dari tarekat
91
Rifa’iyah. untuk pengobatan biasanya semua tarekat, awal mula
debus ialah sebagai ritual upacara kelulusan pengikut tarekat
rifaiyah, kemudian pada tahun 1952 debus dijadikan sebagai seni
pertunjukkan, karena presiden soekarno pada waktu itu ingin
melihat permainan debus. mulai dari situ debus dijadikan sebagai
alat kesenian. dulu debus sebagai ritual.
11. Tanya Apakah sekarang masih ada hubungannya debus dengan tarekat
Rifa’iyah? walupun sekarag debus sudah dijadikan sebagai seni
budaya?
Jawab Sebenarmnya tarekat Rifa’iyah tidak diizinkan bahwa debus
dijadikan sebagai alat kesenian, namun jika orang yang benar-
benar menganut ajaran tarekat dia tidak mau, ada juga debus
dijadikan sebagai seni kebudayaan. debus dipertontonkan
12. Tanya Kegiatan apa saja yang dilakukan oleh pengikut tarekat?
Jawab Kegiatannya hampir sama dengan tarekat yang lain,
mengamalkannya setiap 5 waktu, sholawat, yang membedakan
hanya isi do’a-do’anya, isi ritualnya, dari mulai hadorot sampai
pengamalannya tergantung pada gurunya, kalo sekarang karena
orang sudah tidak lagi dan orang yang ingin belajar tarekat hanya
segelintir orang saja, sekarang hanya sisa-sisanya penerusnya
saja. biasanya dalam hadorot tokoh pendirinya selalu disebutkan.
bentuknya ilmu hikmah. dan sekarang juga masih ada yang
menganut tarekat tarekat Rifa’iyah walupun tidak banyak.
13. Tanya Bagaimana ajaran-ajarannya?
Jawab Kalo bacaannya bisa dilihat di kitabnya saja
14. Tanya Bagaimana pengaruh tarekat Rifa’iyah terhadap masyarakat
Banten?
Jawab Kalo pengaruhnya dengan debus, karena debus berasal dari
tarekat Rifa’iyah. Dan dalam tarekat Rifa’iyah tidak boleh
melakukan hal-hal yang dilarang (mabok, maling, madon) karena
yang menganut tarekat tarekat baisanya tidak boleh melakukan
hal-hal yang melanggar sekceil apapun. Orang yang menganut
tarekat tidak boleh melanggar kesalahan sekecil apapun, karena
untuk mendapatkannya lagi itu harus melaksanakan puasa yang
sangat panjang. Prosesnya lebih panjang lagi. karena kalo hal itu
dibiarkan terus, orang akan terus melakukan kesalahan, tidak bisa
dikontrol, kalo orang dulu takut akan kekuasaan Allah.
15. Tanya Butuh waktu berapa lama untuk mengenal dan mempelajari
tarekat Rifa’iyah?
Jawab Biasanya 3 tahun, dilaksanakan secara bertahap, biasanya
melaksakan puasa beberapa hari terlebih dahulu, setelah dianggap
lulus, ia melanjutkan lagi dan mengamalkannya.
16. Tanya Dari kalangan mana saja yang ikut tarekt Rifa’iyah?
Jawab Yang menganut tarekat Rifa’iyah, bebas dari berbagai kalangan,
dan 90% laki-laki, kiyai dan ulama. pada awalnya anak-anak
muda belajar kepada kiyai atau ulama.
17. Tanya Apakah ada sekelompok kiyai yang menganut tarekt Rifa’iyah?
92
Jawab Ada, namun sekarang agak berkurang, karena dianggap tujuannya
sesaat, tidak seperti orang-orang dulu yang benar-benar ingin
menguasai ilmunya.
18. Tanya Sejauh mana perkembangan tarekat Rifa’iyah di Banten?
Jawab Perkembnagnnya dari dulu smapi tahun 1900-an, dari 1900 kesini
sudah agak menurun sejak zaman kemerdekaan, penurunannya
sekarang karena lebih banyak pesantren moderen, yang
mengajarkan pelajarannnya dan kitab-kitab yang modern tidak
seperti pesantren salafi yang masih memmakai kitab kuning.
biasanya dalam penulisan bersifat subjektif, tarekat itu-itu saja
yang diangakat, sementara tarekat lain hanya sedikit yang
diangkat padahal perannya sama.
19. Tanya Bagaimana perilaku keagamaan masyarakat Banten setelah
mengikuti tarekat Rifa’iyah?
Jawab Kalo di Banten, baik yang sudah mengikuti atau belum
mengikuti, tidak terlihat perbedaannya, hanya sedikit
perbedaannya, dari kebiasaan. orang yang sudah menikuti tarekat
biasanya ia akan menjaga diri dari pembicaraannya, karena orag
Banten emosinya tinggi. kalo salah ngomong maka semnuanya
kacau. Dan kalo sudah mengikuti tarekat, maka tidak melarang
kepada orang lain untuk mengikuti tarekat namun ia menghargai
antar tarekat.
20. Tanya Bagaimana bapak bisa mengetahui tentang tarekat?
Jawab Karena banyak temen-teman yang berguru dalam tarekat, dan
saya sebagai pelacak naskah dan kebetulan terkadang naskahnya
tentang tarekat. di naskah-naskah kuno yang beredar di Banten.
21. Tanya Selain hubungan dengan keberagamaan, adakah hubungannya
dengan sosial, ekonomi, politik?
Jawab Semuanya berhubungan. Lahirnya tarekat karena kepentingan
politik, untuk melawan kekejaman para penjajah, dan dikemas
melalui ritual-ritual keagamaan.
93
Lampiran 3.1 Hasil Wawancara
Nara Sumber : Bapak Tubagus Najib al-Bantani
Tempat : Museum Arkeologi Nasional
Jabatan : Peneliti
Hari/Tanggal : Kamis, 26 Maret 2015
No Pertanyaan Jawaban
1. Tanya Digunakan untuk apa tarekat di Banten?
Jawab Tarekat penting digunakan untuk melawan kolonial,
karena semenjak koloni sudah ada tarekat berubah lagi
menjadi seni hiburan.
Karena tarekat Rifa’iyah berhubungan dengan debus.
oleh karena itu tarekat sebagai debus di bagi menjadi tiga
fase yaitu tarekat dijadikan sebagai dakwah, bela diri dan
seni hiburan.
2. Tanya Kapan debus berfungsi sebagai dakwah, bela diri dan
seni hiburan?
Jawab Debus sebagai dakwah ialah sebelum adanya kolonial
atau mulai dari Sultan Hasanuddin sampai Sultan
Maulana Muhammad. Sementara sebagai bela diri ialah
pada masa Sultan Abdul Mufakhir sampai runtuhnya
keraton Banten, karena kolonial sudah masuk sekitar
tahun 1506. Intinya kolonial terus yang dikenal, ini
berakhir sampai Sultan Haji. Kolonial menggunakan
berbagai cara bagaimana untuk mengalihkan suatu debus
yang tadinya dijadikan kekuatan, dibuatlah debus sebagai
suatu hiburan, nah disini lah mulai masa kolonial sekitar
tahun 1690 sampai sekarang ini debus sebagai suatu
hiburan atau seni. Karena kolonial tidak suka jika debus
dijadikan sebagai bentuk perlawanan sehingga dialihkan
(menguraikan fungsi).
sedangkan sebagai seni hiburan ialah pada masa akhir
kolonial hingga sekarang. Debus sebagai seni (yang
sekarang) yaitu yang terdapat di beberapa daerah di
Banten, itu semua dijadikan sebuah seni.
3. Tanya Apakah betul debus di Banten ini merupakan pengaruh
tarekat Rifa’iyah?
Jawab Betul, memang debus di Banten ada pengaruhnya dari
tarekat Rifa’iyah yang belum mendapat pengaruh.
Ada Rifaiyah yang mendapat pengaruh dan yang tidak
mendapat pengaruh. Tarekat Rifa’iyah mendapat
pengaruh dari tarekat Qadiriyah sehingga amalannya
dibuktikan dengan kekuatan debus. Oleh karena itu debus
mendapat pengaruh dari tarekat Rifa’iyah.
94
Tarekat Rifa’iyah berasal dari tradisi Islam, untuk
menjaga tradisi debus agar tidak hilang, debus tidak lagi
sebagai dakwah namun sebagai seni. MUI sudah
membolehkan debus sebagai suatu kesenian. Perjalanan
islam masuk ke persia, Islam masuk, debus dari tarekat
sementara tarekatdari islam. Jadi urutannya debus-
tarekat-islam. Islam yang tidak langsung, debus yang di
jawa debus dengan di persia. Debus dalam rangka
memperingati ali hasan husen.
Debus digunakan untuk melukai dirinya sendiri
kemudian debus dijadikan sebagai hiburan pada masa
keruntuhan Banten pada masa Sultan haji.
Pada masa Sultan Haji Banten mengalami keuntuhan
karena, sultan haji ditetapkan oleh Belanda sebagai
kadhi. Belanda juga mengambil seni debus dari Banten.
95
Lampiran 4.1 Hasil Wawancara
Nara Sumber : Sekertaris MUI
Tempat : Kantor MUI Provinsi Banten
Hari/Tanggal : Rabu, 15 April 2015
No. Pertanyaan Jawaban
1. Tanya Apakah debus berasal dari tarekat Rifa’iyah?
Jawab Debus ada yang bersifat teknis, tidak menggunakan mantra,
ada juga yang murni namun dalam aspek tentunya
dibarengi, umpamanya pertunjukkan memakan kelelawar
kalau untuk bisa tidak bergerak itu mungkin ada kekuatan
magic, tapi saat disimpannya sudah termasuk teknik. karena
kelelawar di simpan di mulut itu teknik, untuk bergerak
sehingga bisa terbang, ketika ia akan menampilkan hal
seperti itu ia tidak bisa tanpa ajaran-ajaran, misal harus
puasa. dan kelelawarnya juga harus dicari terlebih dahulu,
karena debus tidak bisa langsung, harus mempersiapkannya
2. Tanya Bagaimana debus kaitannya dengan Agama?
Jawab debus bisa di lihat dari dua sisi, yaitu debus sebagai budaya
tradisional yang kita lihat dari budayanya karena terlihat ada
suatu seninya, adanya musik tabuhan rebana karena di
daerah lain tidak ada. Tetapi ketika bicara secara megic,
megic yang bersumber dari tarekat sekalipun untuk
mengetahui tarekat dikalangan umat Islam memang masih
ada yang membolehkan ada yang tidak. yang membolehkan
berarti praktek-praktek itu tidak bisa terlepas dari pada
tawasul, sementara ada sebagian kelompok Islam yang tidak
menggunakan tawasul. Tawasul ini juga tidak ada unsur
aspek yang sepertinya hanya sebagai mediasi saja untuk
memohon kepada Tuhan, tapi ada yang benar-benar menjadi
sumber keyakinan yang kekuatan di luar tuhan masih
dominan, maka dalam tawasul ini ada yang membolehkan
tetapi ada persayaratnnya. Jadi memang dari aspek
peninjauan mantra yang di pakai itu tidak jauh berbeda dari
pemahaman umat Islam melihat tarekat dari sudut yang
membenarkan adanya tawasul dan tidak adanya adanya
tawasul, sehingga MUI provinsi Banten pernah
mendiskusikan hal seperti ini dari hasil penelitian pertama
bahwa MUI Provinsi Banten itu ingin mengembalikan agar
budaya-budaya Banten tetap ada, dan harus dikembangkan,
tetapi harus dihindari unsur-unsur yang menurut akidah
tidak dibenarkan.
3. Tanya Apakah ada hubungannya tarekat dengan debus?
Jawab iya memang ada, tetapi sudah terkontaminasi dengan
96
sumber-sumber wirid yang lain.
4. Tanya Apakah MUI membolehkan adanya debus?
Jawab Boleh tetapi dilihat dari budayanya, bahwa debus di Banten
itu suatu budaya dan budayanya itu harus dikembangkan
tetapi karena terlihat ada indikasi seperti itu maka diberikan
peringatan bahwa budaya yang harus dikembangkan harus
dihindari unsur-unsur yang magis
5. Tanya Apakah debus dijadikan sebagai dakwah?
Jawab MUI hanya sebatas baru memberikan peringatan seperti
bahwa debus yang diterima itu debus sebagai budaya. Jadi
pengajarannya yang harus dihindari, karena ini juga akan
terkait dengan program sosial, jadi ternyata kita melihat
adanya kekuatan-kekuatan yang sangat mukholafatul adat
orang yang di bacok tidak terluka itu saya kira
mukholafatul adat, yaitu mantra-mantra yang sumbe-
sumbernya berasal dari tarekat, itu memang ada semacam
keyakinan yang penuh. jadi terbukti kalo dulu dengan cara
tarekat ada kemampuan orang untuk mukholafatul adat,
mungkin pada awalnya untuk bela diri, tidak untuk
dipertontonkan tatapi ternyata setelah dicoba untuk
dipadukan dengan cara-craa yang tidak bersumber dari
tarekat, tapi dari Jangjawokan ternyata bisa, jadi artinya
kekuatan yang membuat orang menjadi super, menjadi luar
biasa itu adalah dari imajinasi yang kuat, dari keyakinan
yang kuat, apakah dengan memakai wirid-wirid yang
sumbernya dari tarekat/islam tetapi itu ada keyakinan. tetapi
kalo tidak yakin maka tidak akan bisa. Buktinya orang
beralih dari cara tarekat ke cara jangjawokan, ia yakin kalo
ia yakin pasti bisa, karena jika ada keraguan maka ia tidak
bisa. Ternyata ada yang menggunakan wirid-wirid yang
bersumber dari tarekat dan ada pula wirid-wirid yang
bersumber dari non tarekat, akan tetapi hasilnya sama bisa
melakukan hal-hal yang seperti: kebal terhadap sejata tajam,
dll. Proses tersebut dilakukan dengan cara puasa, nah di situ
yang dominan ada aspek keyakinan oleh karena itu ketika
orang mengamalkan Rifa’iyah ini harus yakin pasti berhasil.
Oleh karena itu wajar MUI provinsi Banten mengatakan
budayanya tidak boleh hilang karena salah satu ciri khas
Banten, tetapi aspek akidahnya harus dibenarkan, jika ada
hal yang begitu, tentu cara-cara mantranya tidak
menggunakan mantra yang diluar, atau tidak menyimpang
debus dijadikan sebagai proses islamisasi dan dijadikan
perlawanan kolonial. ya itu wajar, karena pendekatannya
dengan budaya dan kekuatan-kekuatan magic bukan hanya
dalam Islam, tetapi ada di Cina, Konghucu, mereka
memperoleh kekuatan itu ada yoga, ada semedi dan agama
Hindu juga ada seperti itu. Tuhan itu ternyata bukan satu,
orang Islam mempunyai Allah.
97
6. Tanya Apakah kekuatan seprti kebal terhadap senjata tajam
bersumber dari Tuhan yang asli?
Jawab wawloh hu a’lam, makannya di situ pendekatan agama lebih
mendalam. Allah paling praktis, Allah akan memberikan
sesuatu sesuai dengan sunatullah. Kalo dia tidak sesuai
dengan sunatullah berarti ia tidak percaya adanya Tuhan.
intinya percaya, tidak perlu minta bisa terbang, tidak perlu
mempan di bacok, karena allah menciptakan ini yang
sebenarnya berdarah. Karena hal seperti itu yang melakukan
bukan saja orang Islam.
7. Tanya Di daerah mana saja yang masih kental dengan unsur
tarekatnya?
Jawab di Walantaka masih menggunakan unsur tarekat sementara
di Anyer memakai unsur jangjowokan, namun pada waktu
prakteknya hasilnya sama, hanya saja harus ada keyakinan
yang kuat.
Naskah
Lampiran 5.1 Hadiah al-Fatihah kepada orang-orang suci.1
1Naskah Ratib Al-Rifa’i A 218 A, h. 4-8.
Lampiran 5.2 Munajat ini selalu menyebutkan kata-kata al-madad.2
2Naskah Ratib Rifa’i A 218 A, h. 8-12
Lamiran 5.3 Shalawat Nabi disebutkan sepuluh kali, dengan kalimat pujian kepada Allah, “Syayyilla indallah”.3
3Naskah Ratib al-Rifa’i, A 218 A, h. 14-15.
Lampiran 5.4 Wirid atau Ratib Rifa’i ini berisi: Pembacaan Bismillah, pujian atau keesaan
Allah, Dzikir nafi itsbat dan pengakuan Nabi Muhammad sebagai Rasulallah, shalawat atas
Nabi, membaca dzikir atas variasi sifanya, dan pujian bagi syekh Ahmad al-Rifa’i.4
4Naskah Ratib al-Rifa’i, A 218 B, h. 60-61.
Peralatan dan Pertunjukkan Debus
Lampiran 6.1 Alat yang dikatakan Debus yaitu sepotong besi yang ujungnya runcing dan pada
ujung lainnya diberi kayu berbentuk bundar serta diberi rantai sebanyak
Lampiran 6.2 Kelompok kesenian debus di Banten
Lampiran 6.3 Syekh Debus5
Lampiran 6.4 Pertunjukkan Debus6
5J. Vredenbregt, Dabus in West Jawa, (BKI, 1973), h. 306.
Lampiran 6.5 Pertunjukkan debus
Lampiran 6.6 Atraksi menggoreng telur dan kerupuk di atas kepala seorang pemain debus. Sedangkan
salah seorang lagi sedang membalikkan telur hanya dengan menggunakan tangan tanpa alas, tetapi tidak
mengalami luka h. 29.
6Ibid., h. 307.