Aliran Esensialisme Dalam Filsafat Pendidikan
-
Upload
rhido-pangestu -
Category
Documents
-
view
104 -
download
2
Transcript of Aliran Esensialisme Dalam Filsafat Pendidikan
Aliran Esensialisme dalam Filsafat Pendidikan
PENDAHULUAN
Pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang bersifat demikian ini
dapat menjadikan pendidikan itu kehilangan arah. Berhubung dengan itu
pendidikan haruslah bersendikan atas nilai-nilai yang dapat mendatangkan
kestabilan. Agar dapat terpenuhi maksud tersebut nilai-nilai itu perlu dipilih yang
mempunyai tata yang jelas dan yang telah truji oleh waktu. Nilai-nilai yang dapat
memenuhi adalah berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama 4
abad belakangan ini, dengan perhitungan Zaman Renaisans, sebagai pangkal
timbulnya pandangan-pandangan esensialistis awal. Essensialisme percaya bahwa
pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak
awal peradaban umat manusia.
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ALIRAN ESENSIALISME DAN SEJARAHNYA
Aliran Filsafat Esensialisme adalah suatu aliran filsafat yang
menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama. Mereka
beranggapan bahwa kebudayaan lama itu telah banyak memperbuat
kebaikan-kebaikan untuk umat manusia. Yang mereka maksud dengan
kebudayaan lama itu adalah yang telah ada semenjak peradaban manusia
yang pertama-tama dahulu. Akan tetapi yang paling mereka pedomani
adalah peradaban semenjak zaman Renaissance, yaitu yang tumbuh dan
berkembang disekitar abad 11, 12, 13 dan ke 14 Masehi. Didalam zaman
Renaissance itu telah berkembang dengan megahnya usaha-usaha untuk
menghidupkan kembali ilmu pengetahuan dan kesenian serta kebudayaan
purbakala, terutama dizaman Yunani dan Romawi purbakala. Renaissance
itu merupaka reaksi terhadapa tradisi dan sebagai puncak timbulnya
individualisme dalam berpikir dan bertindak dalam semua cabang dari
aktivitas manusia. Sumber utama dari kebudayaan itu terletak dalam ajaran
para ahli filsafat, ahli-ahli pengetahuan yang telah mewariskan kepada umat
manusia segala macam ilmu pengetahuan yang telah mampu menembus
lipatan qurun dan waktu dan yang telah banyak menimbulkan kreasi-kreasi
bermanfaat sepanjang sejarah umat manusia.
Esensialisme modern dalam pendidikan adalah gerakan pendidikan
yang memprotes terhadap skeptisisme dan sinisme dari gerakan
progrevisme terhadap nilai-nilai yang tertanam dalam warisan budaya/
sosial. Menurut Esensialisme, nilai-nilai kemanusiaan yang terbentuk secara
berangsur-angsur dengan melalui kerja keras dan susah payah selama
beratus-ratus tahun, dan didalamnya berakar gagasan-gagasan dan cita-cita
yang telah teruji dalam perjalanan waktu.
Bagi aliran ini “Education as Cultural Conservation”, Pendidikan
Sebagai Pemelihara Kebudayaan. Karena ini maka aliran Esensialisme
dianggap para ahli “Conservative Road to Culture” yakni aliran ini ingin
kembali kekebudayaan lama, warisan sejarah yang telah membuktikan
kebaikan-kebaikannya bagi kehidupan manusia. Esensialisme percaya
bahwa pendidikan itu harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang
telah ada sejak awal peradaban umat manusia.
Karena itu esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak
pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama sehinga
memberikan kestabilan dan arah yang jelas.
B. CIRI-CIRI UTAMA ALIRAN ESENSIALISME
Esensialisme yang berkembang pada zaman Renaissance mempunyai
tinjauan yang berbeda dengan progressivisme mengenai pendidikan dan
kebudayaan. Jika progressivisme menganggap pendidikan yang penuh
fleksibelitas, serba terbuka untuk perubahan, tidak ada keterkaitan dengan
doktrin tertentu, toleran dan nilai-nilai dapat berubah dan berkembang,
maka aliran Esensialisme ini memandang bahwa pendidikan yang bertumpu
pada dasar pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi
sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, mudah goyah dan kurang
terarah dan tidak menentu serta kurang stabil. Karenanya pendidikan
haruslah diatas pijakan nilai yang dapat mendatangkan kestabilan dan telah
teruji oleh waktu, tahan lama dan nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan
terseleksi
Nilai-nilai yang dapat memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan
dan filsafat yang korelatif, selama empat abad belakangan ini, dengan
perhitungan zaman Renaisans, sebagai pangkal timbulnya pandangan-
pandangan Esensialistis awal. Puncak refleksi dari gagasan ini adalah pada
pertengahan kedua abad ke sembilan belas.
Idealisme dan Realisme adalahaliran-aliran filsafat yang membentuk
corak Esensialisme. Sumbangan yang diberikan oleh masing-masing ini
bersifat eklektik, artinya dua aliran filsafat ini bertemu sebagai pendukung
Esensialisme, tetapi tidak lebur menjadi satu. Berarti, tidak melepaskan
sifat-sifat utama masing-masing.
Realisme modern yang menjadi salah satu eksponen esensialisme,
titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik; sedangkan
idealisme modern sebagai eksponen yang lain, pandangan-pandangannya
bersifat spiritual.
Idealisme modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama
dengan substansi gagasan-gagasan(ide-ide). Di balik duni fenomenal ini ada
jiwa yang tidak terbatas yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya
kosmos. Manusia sebagai makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan
kekuasaan Tuhan. Dengan menguji menyelidiki ide-ide serta gagasan-
gagasannya, manusia akan dapat mencapai kebenaran, yang sumbernya
adalah Tuhan sendiri.
Sedangkan, ciri-ciri filsafat pendidikan esensialisme yang disarikan
oleh William C. Bagley adalah sebagai berikut :
1. minat-minat yang kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya
belajar awal yang memikat atau menarik perhatian bukan karena dorongan
dari dalam diri siswa.
2. pengawasan pengarahan, dan bimbingan orang yang dewasa adalah
melekat dalam masa balita yang panjang atau keharusan ketergantungan
yang khusus pada spsies manusia.
3. oleh karena kemampuan untuk mendisiplin diri harus menjadi tujuan
pendidikan, maka menegakan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan
untuk mencapai tujuan tersebut.
4. esensialisme menawarkan sebuah teori yang kokoh, kuat tentang
pendidikan, sedangkan sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme)
memberikan sebuah teori yang lemah.
C. POLA DASAR PENDIDIKAN ESSENSIALISME
Uraian berikut ini akan memberikan penjelasan tentang pola dasar
pendidikan aliran esensialisme yang didasari oleh pandangan humanisme
yang merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah kepada keduniaan,
serba ilmiah dan materialistik.
Untuk mendapatkan pemahaman pola dasar yang lebih rinci kita
harus mengenal dari referensi pendidikan esensialisme. Imam Barnadib
(1985)11) mengemukakan beberapa tokoh terkemuka yang berperan dalam
penyebaran aliran essensialisme dan sekaligus memberikan pola dasar
pemikiran mereka.
1. Desidarius Erasmus, humanis Belanda yang hidup pada akhir abad ke15
dan permulaan abad ke 16, adalah tokoh pertama yang menolak pandangan
hidup yanag berbijak pada “dunia lain”. Ia berusaha agar kurikulum di
sekolah bersifat humanistis dan bersifat internasional, sehingga dapat
diikuti oleh kaum tengahan dan aristokrat.
2. Johann Amos Comeniuc (1592-1670), tokoh Reinaissance yang pertama
yang berusaha mensistematiskan proses pengajaran. Ia memiliki pandangan
realis yang dogmatis, dan karena dunia ini dinamis dan bertujuan, maka
tugas kewajiban pendidikaan adalah membentuk anak sesuai dengan
kehendak Tuhan.
3. John Lock (1632-1704), tokoh dari inggris dan populer sebagai “pemikir
dunia” mengatakan bahwa pendidikan hendaknya selalu dekat dengan
situasi dan kondisi.
4. Johann Henrich Pestalozzi (1746-1827), mempunyai kepercayaan bahwa
sifat-sifat alam itu tercermin pada manusia, sehingga pada diri manusia
terdapat kemampuan-kemampuan wajarnya. Selain itu ia percaya kepada
hal-hal yang transendental, dan manusia mempunyai hubungan
transendental langsung dengan Tuhan.
5. Johann Frederich Frobel (1782-1852), seorang tokoh transendental pula
yang corak pandangannya bersifat kosmissintetis, dan manusia adalah
makhluk ciptaan Tuhan yang merupakan bagian dari alam ini. Oleh karena
itu ia tunduk dan mengikuti ketentuan dari hukum-hukum alam. Terhadap
pendidikan ia memandang anak sebagai makhluk yang berekspresi kreatif,
dan tugas pendidikan adalah memimpin peserta didik kearah kesadaran diri
sendiri yang murni, sesuai fitrah kejadiannya.
6. Johann Fiedrich Herbart (1776-1841), salah seorang murid Immanuel Kant
yang berpandangan kritis. Ia berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah
menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan dari Yang Mutlak, berarti
penyesuaian dengan hukum-hukum kesusilaan, dan ini pula yang disebut
“pengajaran yang mendidik” dalam proses pencapaian pendidikan.
7. Tokoh terakhir dari Amerika Serikat, William T. Harris (1835-1909)-
pengikut Hegel, berusaha menerapkan Idealisme Obyektif pada pendidikan
umum. Menurut dia bahwa tugas pendidikan adalah mengizinkan
terbukanya realita berdasarkan susunan yang pasti, berdasarkan kesatuan
spiritual. Keberhasilan sekolah adalah sebagai lembaga yang memelihara
nilai-nilai yang telah turun temurun dan menjadi penuntun penyesuaian diri
setiap orang kepada masyarakat
D. BEBERAPA PANDANGAN DALAM ESENSIALISME
Sebagai reaksi dalam tuntutan zaman yang ditandai oleh suasana
hidup yang menjurus kepada keduniaan, perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, yang mulai terasa sejak abad ke15, realisme dan idealisme
perlu menyusun pandangan-pandangan yang modern. Untuk itu perlu
disusun kepercayaan yang dapat menjadi penuntun bagi manusia agar
dapat jadi penuntun bagi manusia agar dapat menyesuaikan diri dengan
tuntutan keadaan itu. Kepercayaan yang dimaksud diusahakan tahan lama,
kaya akan isinya dan mempunyai dasar-dasar yang kuat.
Dasar-dasar yang telah diketemukan, yang akhirnya dirangkum
menjadi konsep filsafat pendidikan esensialisme ini, tamapk manifestasinya
dalam sejarah dari zaman Renaisans sampai timbulnya Progresivisme.
1. PANDANGAN MENGENAI REALITA
Sifat yang menonjol dari ontologi esensialisme adalah suatu
konsepsi bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur
dunia beserta isinya dengan tiada cela pula, ini berarti bagaimanapun
bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan dengan
tata tersebut. Dibawah ini adalah uraian mengenai penjabarannya menurut
realisme dan idealisme.
a. Realisme yang mendukung esensialisme disebut realisme obyektif
karena mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam serta tempat
manusia didalamnya. Terutama sekali ada dua golongan ilmu pengetahuan
yang mempengaruhi realisme ini.
Dari fisika dan ilmu-ilmu lain yang sejenis dapat dipelajari bahwa tiap
aspek dari alam fisik ini dapat dipahami berdasarkan adanya tata yang jelas
khusus. Ini berarti bahwa suatu kejadian yang sederhanapun dapat
ditafsirkan menurut hukum alam, seperti misalnya daya tarik bumi.
b. Idealisme obyektif mempunyai pandangan kosmis yang lebih optimis
dibandingkan dengan realisme obyektif. Yang dimaksud dengan ini adalah
bahwa pandangan-pandangannya bersifat menyeluruh yang boleh dikatakan
meliputi segala sesuatu. Dengan landasan pikiran bahwa totalitas dalam
alam semesta ini pada hakikatnya adalah jiwa atau spirit, idealisme
menetapkan suatu pendirian bahwa segala sesuatu yang ada ini nyata.
Ajaran-ajaran Hegel memperjelas pandangan tersebut diatas.
2. PANDANGAN MENGENAI NILAI
Nilai, seperti halnya pengetahuan berakar pada dan diperoleh dari
sumber-sumber obyektif. Sedangkan sifat-sifat nilai tergantung dari
pandangan yang timbul dari realisme dan idealisme. Kedua aliran ini
menyangkutkan masalah nilai dengan semua aspek peri kehidupan manusia
yang berarti meliputi pendidikan. Pandangan dari dua aliran ini, yang
mengenai nilai pada umumnya dan nilai keindahan pada khususnya akan
dipaparkan berikut ini.
Untuk hal yang pertama, dapatlah ditunjukan bahwa nilai mempunyai
pembawaan atas dasar komposisi yang ada. Misalnya, kombinasi warna
akan menimbulkan kesan baik, bila penempatan dan fungsinya disesuaikan
dengan pembawaan dari komponen-komponen yang ada.
Untuk hal yang kedua, dapatlah diutarakan bahwa sikap, tingkah laku
dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan
buruk.
3. PANDANGAN MENGENAI PENDIDIKAN
Pandangan mengenai pendidikan yang diutarakan disini bersifat
umum, simplikatif dan selektif, dengan maksud agar semata-mata dpat
memberikangambaran mengenai bagian-bagian utama dari esensialisme.
Disamping itu karena tidak setiap filsuf idealis dan realis mempunyai faham
esensialistis yang sistematis, maka uraian ini bersifat eklektik.
Esensialisme timbul karena adanya tantangan mengenai perlunya
usaha emansipasi diri sendiri, sebagaimana dijalankan oleh para filsuf pada
umumnya ditinjau dari sudut abad pertengahan. Usaha ini diisi dengan
pandangan-pandangan yang bersifat menanggapi hidup yang mengarah
kepada keduniaan, ilmiah dan teknologi, yang ciri-cirinya telah ada sejak
zaman Renaisans.
Tokoh yang perlu dibicarakan dalam rangka menyingkap sejarah
esensialisme ini adalah William T. Harris (1835-1909). Sebagai tokoh
Amerika Serikat yang dipengaruhi oleh Hegel ini berusaha menerapkan
idealisme obyektif pada pendidikan umum. Menurut Harris, tugas
pendidikan adalah mengijinkan terbukanya realita berdasarkan susunan
yang tidak terelakan (pasti) bersendikan kesatuan spiritual. Sekolah adalah
lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun-menurun, dan
menjadi penuntun penyesuaian orang kepada masyarakat.
Oleh karena terasaskan adanya saingan dari progresivisme, maka
pada sekitar tahun 1930 timbul organisasi yang bernama Esentialist
Comittee for the Advancement of Education. Dengan timbulnya Komite ini
pandangan-pandangan esensialisme (menurut tafsiran abad xx), mulai
diketengahkan dalam dunia pendidikan.
4. PANDANGAN MENGENAI PENGETAHUAN
Pada kacamata realisme masalah pengetahuan ini, manusia adalah
sasaran pandangan sebagai makhluk yang padanya berlaku hukum yang
mekanistis evolusionistis. Sedangkan menurut idealisme, pandangan
mengenai pengetahuan bersendikan pada pengertian bahwa manusia
adalah makhluk yang adanya merupakan refleksi dari Tuhan dan yang
timbul dari hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos.
5. PANDANGAN MENGENAI BELAJAR
Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai
pribadi individual dengan menitikberatkan pada aku, menurut idealisme,
seseorang belajar pada taraf permulaan adalah memahami akunya sendiri,
terus bergerak keluar untuk memahami dunia obyektif. Dari mikrokosmos
menuju kemakrokosmos.
Sebagai contoh, dengan landasan pandangan diatas, dapatlah
dikemukakan pandangan Immanuel Kant (1724-1804). Dijelaskan bahwa
segala pengetahuan yang dicapai oleh manusia lewat indera memerlukan
unsur a priori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu.
6. PANDANGAN MENGENAI KURIKULUM
Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu
hendaklah berpangkal pada landasan ideal dan organisasi yang kuat.
Bersumber atas pandangan ini, kegiatan-kegiatan pendidikan dilakukan.
Pandangan dari dua tokoh dipaparkan dibawah ini.
Herman Harrell Horne menulis dalam bukunya yang berjudul This
New Education mengatakan bahwa hendaknya kurikulum itu bersendikan
atas fundamental tunggal, yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri
masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan dan
ditujukan kepada yang serba baik tersebut. Atas dasar ketentuan ini berarti
bahwa kegiatan atau keaktifan anak didik tidak terkekang, asalkan sejalan
dengan fundamen-fundamen itu.
Bogoslousky, dalam bukunya The Ideal School, mengutarakan hal-hal
yang lebih jelas dari Horne. Disamping menegaskan supaya kurikulum
dapat terhindar dari adanya pemisahan mata pelajaran yang satu dengan
yang lain, kurikulum dapat diumpamakan sebagai sebuah rumah yang
mempunyai empat bagian, ialah :
a. Universum. Pengetahuan yang merupakan latar belakang dari segala
manifestasi hidup manusia, diantaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan
alam, asal-usul tata surya dan lain-lainnya. Basis pengetahuan ini adalah
ilmu pengetahuan alam kodrat yang diperluas.
b. Sivilisasi. Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat.
Dengan sivilisasi manusia mampu mengadakan pengawasan terhadap
lingkungannya, mengejar kebutuhan, hidup aman dan sejahtera.
c. Kebudayaan. Karya manusia yang mencakup diantaranya filsafat,
kesenian, kesusasteraan, agama, penafsiran dan penilaian mengenai
lingkungan.
d. Kepribadian. Bagian yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti
riil yang tidak bertentangan dengan kepribadian yang ideal.
Jadi, tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi
bahagia didunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu
pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu menggerakan kehendak
manusia. Kurikulum sekolah bagi esensialisme merupakan semacam
miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran
dan kegunaan. Maka dalam sejarah perkembangannya, kurikulum
esensialisme menerapkan berbagai pola kurikulum, seperti pola idealisme,
realisme dan sebagainya. Sehingga peranan sekolah dalam
menyelenggarakan pendidikan bisa berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip
dan kenyataan sosial yang ada dimasyarakat.
PENUTUP
SIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Aliran filsafat Esensialisme adalah suatu aliran filsafat yang menginginkan
agar manusia kembali kepada kebudayaan lama.
b. Aliran Esensialisme ini memandang bahwa pendidikan yang bertumpu
pada dasar pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi
sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, mudah goyah, kurang
terarah, tidak menentu dan kurang stabil.
c. Ciri-ciri filsafat pendidikan Esensialisme oleh William C. Bagley sebagai
berikut :
1) Minat-minat yang kuat dan tahan lama yang sering tumbuh dari upaya-
upaya belajar awal.
2) Pengawasan, pengarahan dan bimbingan orang yang dewasa adalah
melekat dalam masa balita yang panjang.
3) Kemampuan untuk mendisiplin diri harus menjadi tujuan pendidikan.
4) Esensialisme menawarkan sebuah teori yang kokoh tentang pendidikan
d. Tokoh-tokoh terkemuka yang berperan dalam penyebaran aliran
esensialisme diantarnya adalah Desidarius Erasmus, Johann Amos
Comenius, John Locke, Johann Henrich Pesta Lozzi, Johann Friederich
Frobel, Johann Friedrich Herbart dan William T. Harris.
e. Beberapa pandangan dalam esensialisme diantaranya :
1) Pandangan mengenai realita,
2) Pandangan mengenai nilai pendidikan,
3) Pandangan mengenai pengetahuan,
4) Pandangan mengenai belajar, dan
5) Pandangan mengenai kurikulum.