ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET ...
Transcript of ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET ...
ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI
BUNTET PESANTREN: STUDI KASUS PENGAJIAN KITAB-
KITAB FIKIH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh:
Muhammad Syakir Niamillah Fiza
1113013000010
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
I
ABSTRAK
Muhammad Syakir Niamillah (1113013000010). Alih Kode dan Campur Kode
pada Pengajian di Buntet Pesantren; Studi Kasus Pengajian Kitab-kitab
Fikih.
Banyak penelitian tentang pesantren, tetapi belum ada yang menyentuh penggunaan
bahasanya. Hal itu yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian ini.
Tujuannya guna mengetahui bentuk alih kode dan campur kode dan mengungkap
faktor-faktor yang memengaruhinya pada pengajian kitab fikih di Buntet Pesantren.
Perlunya penjelasan rinci atas penelitian tersebut, maka penulis menggunakan
metode penelitian kualitatif deskriptif, dilengkapi dengan etnografi sebagai
pembedah lingkungannya. Penelitian ini dilakukan pada tiga jenjang, tiga sistem
pengajian, dan dua orang kiai.
Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa peralihan dan percampuran kode terjadi
pada bahasa Indonesia, bahasa Arab, bahasa Jawa, dan bahasa Indonesia informal.
Bentuk-bentuk alih kode yang muncul berupa klausa dan kalimat, sedangkan
bentuk campur kode berupa fonem, morfem, kata, dan frasa. Sementara itu, faktor-
faktor yang memengaruhi peralihan dan percampuran bahasa pada pengajian kitab-
kitab fikih di Buntet Pesantren adalah pemertahanan tradisi, kedekatan struktrur
bahasa Jawa dengan bahasa Arab, dan beragamnya asal santri.
Kata kunci: alih kode, campur kode, pengajian kitab fikih, Buntet Pesantren
II
Abstract
Muhammad Syakir Niamillah (1113013000010). Code Switching and Code
Mixing on Study in Buntet Pesantren; Case Study of Fikih Books Study.
Many research about pesantren, but no one touches using language there. That is
the reason of the writer for do this research. The aims are for knowing forms of
switch-code and mix-code and revealing the factors what influence them on the
study of fikih book in Buntet Pesantren. Need to detail explain, the writer use
descriptive qualitative research methode, completing by ethnography as dissection
of the environment. This research is done on three levels, three study systems, and
two kiais (teachers).
The result of this research showed switching and mixing code are happened on
Indonesian language, Arabic, Javanic, and Informal Indonesia language. Forms of
code-switching are clause and sentence, while forms of code-mixing are phonem,
morphem, word, and phrase. The factors which influence switching and mixing
language on study of fikih books in Buntet Pesantren are defending tradition, nearly
structure of Javanic with Arabic, and various origins of santri.
Key words: code switching, code mixing, study of fikih books, and Buntet Pesantren
III
KATA PENGANTAR
Bismillah, alhamdulillah, segala puji saya haturkan ke Hadirat Allah swt.
yang telah melimpahkan segala nikmat, rahmat, hidayah, dan inayah-Nya sehingga
penulis dapat merampungkan skripsi ini. Selawat dan salam semoga tercurah
kepada Nabi Muhammad saw., keluarga, sahabat, dan para pengikutnya, termasuk
penulis yang sangat mengharapkan syafaatnya kelak di yaumul qiyamah.
Penyusunan skripsi ini tidak lain guna memenuhi syarat menyandang gelar
Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dari Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Hal-hal lain,
meskipun sampingan, juga sangat memengaruhi penulis dalam menyusun tugas
akhir ini. Skripsi ini bukan hanya skripsi, tetapi sarana penulis untuk mengungkap
peristiwa yang selama ini, sepengetahuan penulis, belum tersentuh. Penelitian
pesantren hampir selalu berkutat pada pendidikan, sosok kiai, dan sejarahnya.
Penggunaan bahasa yang begitu beragam menarik penulis untuk terjun di dunia itu.
Skripsi ini bukan karya penulis semata, sebab di belakangnya begitu banyak
pendukung yang turut membantu penulisan ini hingga titik di halaman terakhir.
Oleh karena itu, penulis sangat berterima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus pembimbing skripsi
yang tidak lupa berbagi secangkir kopi setiap kali disowani untuk
bimbingan.
3. Bapak Toto Edidarmo, M.A. selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia.
4. Dra. Mahmudah Fitriyah Z.A., M.Pd. selaku penasehat akademik penulis
yang selalu membalas pesan singkat penulis kala bertanya. Hibah puluhan
bukunya juga sangat bermanfaat bagi penulis. Penulis sangat
mengharapkannya lagi.
IV
5. Dua dosen penguji skripsi penulis, Ibu Dr. Nuryani, M.A. dan Ibu Neneng
Nurjannah, M.Hum., yang telah memberikan banyak saran guna
perbaikan skripsi penulis.
6. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah berbagi pengetahuan seluas-luasnya
selama penulis menempuh studi dan selanjutnya.
7. Emak Fatmah yang tak kenal lelah, saban dua hari menelepon dan
menanyakan perihal tulisan yang tidak kunjung usai. Bapak Imaduddin
yang sedia diwawancarai, direkam pengajiannya, dan tentu saja arahan
dan motivasinya. Keduanya tak kenal lelah berbagi moril dan materil
kepada penulis, khususnya doanya yang selalu terpanjatkan di setiap
kesempatan.
8. Enam adik penulis yang senyumnya selalu memberi semangat untuk terus
berproses menjadi sulung yang berbakti.
9. KH Ade Nasihul Umam, Lc. yang telah bersedia diganggu sepanjang hari
di tengah kegiatannya yang sangat padat.
10. Saudara-saudara di Buntet Pesantren yang telah turut memikirkan tugas
akhir penulis, khususnya Kang Jamaluddin Husein, Kang Andi Majdi,
Kang Abudzar al-Ghiffari, dan Kang Anik Ahlami.
11. Rekan satu jurusan, satu angkatan, satu kelas, dan sudah sejak setahun
terakhir satu kamar kosan, Pak Guru M. Ilhamul Qolbi al-Babakani al-
Tegali yang tak lelah berbagi segalanya untuk penulis.
12. Rekan-rekan satu angkatan 2013 di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, serta kakak dan adik angkatan.
13. Forsilawan dan Forsilawati Forum Silaturahim Buntet Pesantren Cirebon
(FORSILA BPC) Jakarta Raya, Sahabat-sahabati Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia (PMII) Komisariat Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
serta Rayon Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Ang dan Yayu
Himpunan Mahasiswa Cirebon Jakarta Raya (HIMA CITA), Sugawan
dan Sugawati Keluarga Mahasiswa Sunan Gunung Djati (KMSGD),
Keluarga Mahasiswa Bidikmisi dan Mahad UIN Jakarta, kawan-kawan
V
Duta Dewantara 2016 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,. Rekan-
rekan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama, teman-teman Ikatan Mahasiswa
Bahasa dan Sastra Indonesia se-Indonesia, kawan-kawan kursus bahasa
Perancis di UIN Jakarta dan kursus bahasa Inggris dan Perancis di Euro
Management yang telah berbagi nikmatnya berorganisasi dan menjalin
kekerabatan yang luas.
14. Saudara-saudara dan teman-teman yang telah turut andil berbagi
semangat, yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu.
15. Seseorang di sana yang kuat menanggung beban rindu dan tak henti
mengharap temu. Terima kasih.
VI
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. I
KATA PENGANTAR ......................................................................................... III
DAFTAR ISI ........................................................................................................ VI
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................................. 3
C. Batasan Masalah ........................................................................................ 3
D. Rumusan Masalah ...................................................................................... 4
E. Tujuan ......................................................................................................... 4
F. Manfaat ....................................................................................................... 4
BAB II .................................................................................................................... 5
KAJIAN TEORI ................................................................................................... 5
A. Kontak Bahasa ........................................................................................... 5
B. Ekabahasa, Dwibahasa, dan Multibahasa ............................................... 5
C. Pengertian Alih Kode dan Campur Kode ................................................ 7
D. Sebab Alih Kode dan Campur Kode ...................................................... 15
E. Bahasa Nasional dan Bahasa Daerah ..................................................... 18
F. Etnografi Komunikasi ............................................................................. 19
G. Komunitas Tuturan .............................................................................. 20
H. Peristiwa Tutur ..................................................................................... 23
I. Pengajian ................................................................................................... 26
J. Penelitian Relevan .................................................................................... 29
BAB III ................................................................................................................. 31
METODOLOGI PENELITIAN ........................................................................ 31
VII
A. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................ 31
B. Subjek Penelitian ...................................................................................... 33
C. Metode Penelitian ..................................................................................... 31
D. Teknik Pengumulan Data ........................................................................ 33
1. Deskripsi tertulis ..................................................................................... 34
2. Rekaman ................................................................................................. 34
3. Mentranskripsi ........................................................................................ 34
4. Dokumentasi ........................................................................................... 34
E. Teknik Analisis Data ................................................................................ 35
BAB IV ................................................................................................................. 36
PEMBAHASAN .................................................................................................. 36
A. Profil Pondok Buntet Pesantren ............................................................. 36
1. Mbah Muqoyyim .................................................................................... 36
2. Mbah Mutaad ......................................................................................... 36
3. KH Abdul Jamil ...................................................................................... 36
4. KH Abbas ............................................................................................... 37
5. KH Mustahdi Abbas ............................................................................... 37
6. KH Mustamid Abbas .............................................................................. 38
7. KH Abdullah Abbas ............................................................................... 38
8. KH Nahduddin Abbas ............................................................................ 39
B. Hasil Analisis ............................................................................................ 40
1. Pengajian Sorogan .................................................................................. 40
2. Pengajian Bandungan ............................................................................. 44
3. Pengajian Terpadu .................................................................................. 64
2. Hasil Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Alih Kode dan
Campur Kode .................................................................................................. 72
BAB V ................................................................................................................... 78
PENUTUP ............................................................................................................ 78
A. Simpulan ................................................................................................... 78
B. Saran ......................................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 80
VIII
UJI REFERENSI ................................................................................................ 83
LAMPIRAN TRANSKRIPSI PENGAJIAN .................................................... 87
A. Sistem Sorogan ......................................................................................... 87
B. Sistem Bandungan .................................................................................... 87
C. Sistem Terpadu ........................................................................................ 94
BIODATA PENULIS ........................................................................................ 101
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia memiliki ratusan bahasa daerah yang tersebar di seluruh penjuru
negeri. Guna jalin komunikasi antarpenutur yang berbeda bahasanya, para pemuda
Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 berikrar untuk menjunjung bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan. Semangat persatuan ini yang dijunjung oleh
para pemuda Indonesia saat itu demi kemerdekaan yang didambakannya.
Bahasa yang terpilih sebagai bahasa persatuan adalah bahasa Melayu Riau.
Dipilihnya bahasa tersebut bukan tanpa alasan. Setidaknya ada dua alasan mengapa
bahasa tersebut dipilih, yakni (1) lingua franca. Bahasa Melayu sudah menusantara.
Artinya sudah digunakan di berbagai belahan daerah se-Nusantara. Bahasa tersebut
menjadi bahasa pengantar perdagangan. Meskipun penutur bahasa Jawa lebih
banyak daripada bahasa Melayu, tetapi bahasa Jawa tidak dipilih. (2) Bahasa
Melayu mudah dipelajari karena tidak mengenal tingkat atau level seperti bahasa
Jawa ataupun Sunda
Adanya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa nasional
membuat masyarakat perlu mengedukasi diri agar dapat menguasai bahasa tersebut
sebagai bahasa kedua. Hal demikian dipandang perlu mengingat bahasa ibu mereka,
yakni bahasa daerah, hanya berlaku dalam komunitas kecil di wilayah mereka saja.
Terlebih selepas merdeka, bahasa Indonesia semakin masif diterapkan dalam
berbagai acara resmi, digunakan sebagai bahasa pengantar dalam media massa dan
digunakan dalam institusi dan lembaga-lembaga pendidikan.
2
Tak terkecuali di pesantren. Sebagai suatu institusi pendidikan, dalam
kegiatan-kegiatan formal, pesantren tetap mengedepankan bahasa nasional sebagai
pengantarnya. Meski dalam berkomunikasi sehari-hari dengan lingkungannya, kiai,
santri dan masyarakatnya menggunakan bahasa daerahnya. Termasuk dalam
pengajian, para kiai memaknai kitab-kitab yang berbahasa Arab itu dengan
menggunakan bahasa daerahnya. Adapun dalam memberikan penjelasan, para kiai
kerap kali menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa dasar pengantarnya. Tak
sedikit juga juga yang menggunakan bahasa daerahnya.
Hal tersebut juga terjadi di Buntet Pesantren, sebuah pesantren yang terletak
di wilayah timur Kabupaten Cirebon. Tepatnya, pesantren ini terletak di Kecamatan
Astanajapura. Pesantren ini mencakup tiga desa, yakni Desa Mertapada Kulon
sebagai pusatnya, dan sebagian masuk dalam Desa Munjul dan Desa Buntet.
Masyarakat sekitar menggunakan bahasa Cirebon (bahasa Jawa dialek Cirebon)
dalam kesehariannya. Bahasa ini pun seringkali digunakan dalam pengajian.
Para kiai semenjak dulu tetap mempertahankan penggunaan bahasa Jawa
dalam memaknai kitab, khususnya dalam memberikan makna struktur gramatika
bahasa Arabnya. Hal tersebut konsisten sejak dulu hingga saat ini. Berbeda dengan
pemberian makna kata, terkadang bahasa Indonesia juga digunakan. Hal tersebut
pada hakikatnya menunjukkan, bahwa pesantren sudah menerapkan apa yang
menjadi motto Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, yakni Pertahankan
bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing. Pesantren
mempertahankan bahasa Indonesia dengan menggunakannya sebagai bahasa
daerah. Pesantren pun menggunakan bahasa daerah dalam pemaknaannya sebagai
ikhtiar melestarikan bahasa daerah. Pesantren juga mengajarkan bahasa Arab
sebagai langkah mengedukasi santri untuk menguasai bahasa asing.
Pemaknaan dengan menggunakan bahasa daerah tersebut tak terbatas pada
bidang apa saja. Namun, mengingat penelitian ini dibatasi pada bidang fikih
meliputi tiga jenjang dengan tiga metode berbeda, yakni pada kitab Safȋnah al-
Najȃh karya Syaikh Sumair al-Haḍrami dengan metode terpadu, kitab al-Ghayah
wa al-Taqrȋb karya Qaḍȋ Abu Syuja’ dengan metode sorogan, dan kitab Fath al-
Mu’in karya Syaikh Zainuddin Abdul Aziz al-Malibari dengan metode bandungan.
3
Oleh karena itu, penulis akan melakukan penelitian dengan judul “Alih Kode
dan Campur Kode pada Pengajian di Buntet Pesantren: Studi Kasus
Pengajian Kitab-kitab Fikih”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, dapat diidentifikasikan
masalah-masalah berikut.
1. Adanya kemampuan dwibahasa atau multibahasa, bahasa daerah sebagai
bahasa pertama, bahasa Indonesia sebagai bahasa keduanya, dan bahasa
Arab sebagai bahasa teks kitab yang setiap hari selalu ditemui dalam
pengajian.
2. Adanya ragam atau variasi bahasa yang dikuasainya, seperti dalam bahasa
Indonesia, resmi dan tidak resmi, dalam bahasa Cirebon ada ngaka,
madya, dan bebasan atau kromo (bahasa halus).
3. Adanya bentuk alih kode dan campur kode dalam pengajian di Buntet
Pesantren Cirebon.
4. Adanya faktor-faktor yang menyebabkan kiai memilih untuk melakukan
alih kode dan campur kode.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan masalah-masalah yang diidentifikasikan sebelumnya, penelitian
ini akan dibatasi pada permasalahan berikut.
1. Masalah yang berkaitan dengan alih kode dan campur kode dalam
pengajian kiai Buntet Pesantren Cirebon.
2. Masalah yang berkaitan dengan faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya alih kode dan campur kode dalam pengajian kiai Buntet
Pesantren Cirebon.
3. Penelitian ini dibatasi pada peralihan dan pencampuran bahasa Indonesia,
bahasa Arab, dan bahasa Jawa.
4. Penelitian ini dibatasi pada kitab-kitab fikih mengingat banyaknya fan
ilmu yang diajarkan di pesantren. Fikih dipilih karena bidang keilmuan
ini bersentuhan langsung dengan praktik peribadatan di masyarakat.
4
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, berikut rumusan masalah yang akan
diteliti.
1. Bagaimana bentuk alih kode dan campur kode dalam tuturan kiai dalam
pengajian di Buntet Pesantren Cirebon?
2. Apa faktor-faktor yang menyebabkan kiai melakukan alih kode dan campur
kode dalam pengajiannya?
E. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, berikut uraian
tujuan penelitian ini.
1. Mendeskripsikan bentuk-bentuk alih kode dan campur kode kiai Buntet
Pesantren Cirebon dalam pengajiannya.
2. Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode dan
campur kode kiai Buntet Pesantren Cirebon dalam pengajiannya.
F. Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis dan teoretis.
Harapan praktisnya, penelitian ini dapat memberikan gambaran, deskripsi dan
penjelasan mengenai bentuk-bentuk dan faktor-faktor alih kode dan campur kode
kiai Buntet Pesantren Cirebon dalam pengajiannya. Manfaat teroritis yang
diharapkan dapat menjadi rujukan ilmiah bagi peneliti yang ingin melakukan
penelitian sejenis dan menambah kekayaan penelitian dalam bidang
Sosiolinguistik, khususnya kontak bahasa. Selain itu, hasil dari pecampuran kode
pada penelitian berikut, diharapkan dapat memberikan sumbangsih entri baru pada
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
5
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Kontak Bahasa
Masyarakat dan santri Buntet Pesantren dalam kesehariannya menggunakan
bahasa Jawa dialek Cirebon. Ketika di sekolah, mereka menggunakan bahasa
Indonesia. Para santri jika bertemu dengan rekan sesama daerahnya tentu akan
menggunakan bahasa daerahnya. Penggunaan bahasa di wilayah-wilayah tersebut
lebih dari satu bahasa dalam waktu yang bersamaan. Hal inilah yang disebut dengan
kontak bahasa, sesuai dengan apa yang disampaikan Sarah G. Thomason, bahwa
kontak bahasa adalah penggunaan lebih dari satu bahasa pada satu tempat dan
waktu yang sama. 1Setidaknya, pendapat Thomason ini memiliki tiga unsur, yakni
(1) terdapat lebih dari satu bahasa, (2) satu tempat yang sama, dan (3) waktu yang
sama. Bahasa yang digunakan di satu tempat itu bermacam-macam, tidak cukup
satu. Artinya, dalam beberapa keadaan, orang akan menggunakan bahasa A, dan
dalam keadaan lainnya, orang tersebut menggunakan bahasa B.
Sedikit berbeda dengan Thomason, Matras menambahkan satu unsur lagi,
yakni bahasa-bahasa yang digunakan itu memengaruhi bahasa lainnya. Matras
mengungkapkan, bahwa kontak bahasa terjadi ketika para penutur yang berbeda
bahasa berinteraksi dan bahasa mereka saling memengaruhi satu sama lain.2 Dalam
tempat dan waktu yang sama tersebut, penutur berbeda bahasa itu terlibat interaksi.
Bahasa yang mereka gunakan saling memengaruhi satu sama lain. Begitu Matras
memberi pengertian kontak bahasa. Pengaruh yang diberikan tentu bermacam-
macam, bisa berupa pencampuran bahasa satu ke dalam bahasa lainnya, atau
berbicara dengan bahasa A tetapi menggunakan tatabahasa bahasa B.
B. Ekabahasa, Dwibahasa, dan Multibahasa
Setiap individu yang hanya mampu berkomunikasi dengan menggunakan
satu bahasa disebut ekabahasawan atau biasa dikenal dengan monolingual. Jendra
mengatakan bahwa monolingual adalah setiap individu pada suatu komunitas yang
1 Sarah G. Thomason, Language Contact, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2001), h. 1 2 Yaron Matras, Language Contact, (Cambridge: Cambridge University, 2009)
6
hanya mampu menggunakan satu bahasa dalam berkomunikasi.3 Di Inggris,
misalnya, bahasa yang digunakan hanyalah bahasa Inggris. Tidak ada bahasa lain
yang digunakan di negaranya. Kalaupun memang ada, hanyalah di tempat-tempat
tertentu. Bahasa Inggris itu digunakan di segala waktu, tempat, dan dalam berbagai
situasi atau keadaan. Bahasa keseharian, pengantar pendidikan, media massa, acara,
dan lainnya, semuanya berbahasa Inggris. Hal inilah yang dimaksud dengan
monolingual.
Kemampuan seseorang dalam berkomunikasi menggunakan dua bahasa
disebut dwibahasa atau billingual. Seperti yang diungkapkan Jendra, orang yang
tidak monolingual, tetapi dapat berbicara dua bahasa setiap hari itu disebut sebagai
bilingual.4 Sedikit berbeda tetapi masih dalam satu pemahaman, Spolsky
menyatakan bahwa bilingual adalah seseorang yang memiliki kemampuan
menggunakan bahasa kedua.5 Benang merah di antara keduanya, Jendra dan
Spolsky, adalah kemampuan berkomunikasi dengan dua bahasa. Itulah yang disebut
bilingual atau dwibahasa. Orangnya disebut dwibahasawan.
Dwibahasa atau bilingual lumrah di Indonesia. Masyarakat Indonesia
memiliki bahasa ibu, yakni bahasa daerahnya. Selain itu, mereka juga memiliki
kemampuan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Bahasa Indonesia juga
disebut sebagai bahasa persatuan karena menjadi pengantar komunikasi lintas
daerah sehingga mereka saling memahami satu sama lain apa yang dibicarakannya.
Dalam keseharian, sebagian besar bangsa Indonesia menggunakan bahasa daerah.
Tetapi dalam keadaan formal, seperti di wilayah pendidikan, media massa, dan
kegiatan formal lainnya, bahasa Indonesia lazim digunakan. Inilah yang disebut
sebagai bilingual atau dwibahasa.
Selain ekabahasa dan dwibahasa, ada pula multibahasa atau multilingual.
Multilingualisme dalam KBBI diartikan sebagai “gejala pada seseorang atau suatu
masyarakat yang ditandai oleh kemampuan dan kebiasaan memakai lebih dari satu
bahasa.”6 Berbeda dengan KBBI, Abdul Chaer dan Leonie Agustina menulis,
3 Made Iwan Indrawan Jendra. Sosiolinguistics The Study of Societies’ Languages. (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2012). Hlm. 68. 4 Ibid, h. 68. 5 Bernard Spolsky. Sociolinguistics. (Bristol: Oxford University Press, 2008). Hlm. 45. 6 Aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima (Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa)
7
“multilingualisme (dalam bahasa Indonesia disebut juga keanekabahasaan) yakni
keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya
dengan orang lain secara bergantian.7 Meskipun ada pertentangan definisi, antara
lebih dari satu bahasa atau lebih dari dua bahasa, tetapi pada praktiknya sama saja.
Abdul Chaer tidak membahasnya secara rinci karena hal tersebut.
C. Pengertian Alih Kode dan Campur Kode
Dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa, terjadi kontak antarbahasa
yang disebut dengan kontak bahasa seperti yang telah diuraikan di atas. Tentu
masyarakat memiliki satu bahasa dasar yang digunakan dalam beberapa situasi.
Selebihnya itulah yang bakal menjadi pilihan kedua untuk beralih atau
mencampurkannya dalam satu tuturan ataupun kalimat dalam tulisan. Sebagaimana
yang diungkapkan Made Iwan Indrawan Jendra, meskipun pemilihan kode bagi
seorang bilingual ataupun multilingual merupakan suatu rutinitas, tetapi bagi
mereka harus tetap memilih kode mana yang bakal tetap dikembangkan.8
Bahasa dasar biasanya bahasa yang lebih sering digunakan oleh masyarakat,
umumnya bahasa ibu mereka, yakni bahasa daerah. Pilihan menggunakan bahasa
lainnya, di luar bahasa daerah, tentu saja memiliki faktor-faktor tertentu yang akan
dijelaskan di bawah. Tetapi bagi masyarakat yang hidup di wilayah urban,
umumnya lebih sering menggunakan bahasa Indonesia sebab di wilayah tersebut
tidak hanya bertemu dengan masyarakat dari daerahnya saja, tetapi intensitas
perjumpaan mereka dengan masyarakat luar daerahnya juga sering, sehingga
bahasa Indonesia lebih banyak dipilih dalam komunikasi.
Dua bahasa atau lebih yang digunakan itu pada keadaan tertentu tidak
menutup kemungkinan akan menyatu dalam satu tuturan atau kalimat atau menjadi
pilihan kedua dan seterusnya. Peristiwa inilah yang melahirkan istilah alih kode dan
campur kode. Dua istilah ini menurut sebagian pendapat merupakan satu referen
yang sama. Meminjam istilah dari Abdul Chaer dan Leonie Agustina, keduanya
sukar untuk dibedakan.9 Namun ada pula yang membedakannya.
7 Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, (Jakarta: Rineka Cipta,
2010), h. 85 8 Made Iwan Indrawan Jendra, Op Cit, h. 70. 9 Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Op Cit, h. 114
8
Ronald Wardaugh berpandangan pada pendapat yang pertama. Dia
mengatakan,
“People, then, are usually required to select a particular code whenever they
choose to speak, and they may also decide to switch from one code to another
or to mix codes even within sometimes very short utterances and thereby
create a new code in a process known as code-switching. Code switching
(also called code-mixing) can occur in coversation between speakers’ turns
or within a single speaker’s turn.10
Orang, kemudian, selalu diminta untuk memilih kode secara partikular
kapanpun mereka berbicara, dan mereka juga memilih untuk beralih dari satu
kode ke kida lainnya atau memilih mencampurkan kode, bahkan terkadang
dalam ungkapan yang sangat pendek dan dengan demikian menciptakan kode
bary dalam sebuah proses yang diketahui sebagai alih kode. Alih kode
(disebut juga campur kode) dapat terjadi dalam percakapan di antara giliran
para penutur atau dalam giliran penutur tunggal.
Frasa yang bergaris bawah di atas jelas menandakan bahwa Ronald Wardaugh
berpendapat, antara alih kode dan campur kode itu tidak ada garis pembeda.
Menurutnya, alih kode atau campur kode adalah peristiwa tuturan orang yang dalam
keadaan tertentu memerlukan peralihan kode untuk berbicara sehingga dia
memutuskan untuk mengalihkan satu kode ke kode lain atau mencampurkannya
karena sedikitnya ungkapan dalam kode pertama. Alih kode atau campur kode juga,
masih menurut Wardaugh, dapat terjadi dalam percakapan dua arah ataupun satu
arah. Artinya, alih kode dapat terjadi dalam suatu obrolan antara dua penutur atau
lebih, seperti diskusi atau obrolan orang-orang di warung kopi. Alih kode juga dapat
terjadi pada seorang penutur saja, seperti penceramah, khatib, dan sebagainya.
Senada dengan Wardaugh, Hill dan Hill dalam penelitian mereka mengenai
masyarakat bilingual bahasa Spanyol dan Nahuali di kelompok Indian Meksiko,
mengatakan bahwa tidak ada harapan untuk dapat membedakan antara alih kode
dan campur kode.11 Pendapat ini menguatkan pandangan Wardaugh mengenai tidak
ada batas pembeda di antara dua istilah itu. Abdul Chaer dalam bukunya tidak
menjelaskan alasan tidak ada harapan untuk membedakan keduanya.
10 Ronald Wardaugh, An Introduction to Sociolinguistics, (Oxford: Blackwell Publishing, 2006), h.
101 11 Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, (Jakarta: Rineka Cipta,
2009), h. 114
9
Penelope Gardner dan Chloros pun berpendapat sama, bahwa alih kode
merujuk pada penggunaan beberapa bahasa atau dialek dalam satu percakapan atau
kalimat oleh dwibahasawan atau multibahasawan. Mereka tidak membedakan
antara alih kode dan campur kode. Lebih jauh lagi, mereka menjelaskan, bahwa alih
kode itu memengaruhi setiap orang dalam kontak lebih dari satu bahasa atau dialek
guna menuju sebuah tingkatan lebih baik atau sebaliknya.12 Penyampaian Gardner
dan Chloros ini bisa kita lihat di Jawa. Setidaknya, bahasa Jawa mengenal tiga
tingkat, yakni , madyo, dan kromo. Masyarakat Jawa jika berbicara dengan orang
yang seumuran dengan tingkat ekonomi atau kehormatan setara akan menggunakan
bahasa atau madyo. Tetapi, jika mereka berbicara dengan orang yang lebih tua atau
lebih dihormati secara strata sosialnya, tentu mereka akan menggunakan bahasa
kromo. Bahkan kata-kata tertentu dalam dua bahasa tersebut memiliki empat
tingkatan sekaligus. Selain tiga tingkat yang telah disebutkan di atas, ada satu yang
termasuk pada tuturan kasar, bukan lagi yang dianggap sebagai bahasa standar
meskipun itu juga sudah sedikit mengarah ke bahasa yang kasar. Sebagai contoh,
kata makan. Dalam bahasa Jawa, ada empat pilihan, yakni dahar, nedih, mangan,
dan badog (urutan dari paling halus atau kromo).
Contoh, seorang masyarakat, sebut saja Pak A, sekitar pesantren ingin
bertemu dengan kiai. Santri menerimanya. Pak A bertanya kepada santri dengan
menggunakan bahasa Indonesia, karena ia tidak mengetahui santri tersebut dari
daerah mana. Santri menjawabnya dengan menggunakan bahasa Jawa kromo.
Terlebih yang ditanyakannya kiainya. Berikut percakapan orang tersebut dengan
santri.
Pak A : Assalaamu alaikum
Santri : Walaaikumussalaam
Pak A : Pak kiainya ada?
Santri : Wonten pak. Tapi siweg sare. (Ada pak, tapi sedang tidur).
Pak A mengawali perjumpaannya tentu dengan salam berbahasa Arab. Santri
pun menjawabnya dengan bahasa Arab pula. Setelah itu, Pak A menggunakan
12 Penelope Gardner dan Chloros, Code Switching, (Cambridge: Cambridge University Press,
2009), h. 4
10
bahasa Indonesia. Tetapi jawaban santri bukan lagi dengan bahasa yang sama,
bahasa Indonesia. Ia malah menggunakan bahasa Jawa kromo dalam menjawabnya.
Hal tersebut dilakukan santri karena ia mengetahui mitra tuturnya itu adalah orang
sekitar yang tentu fasih dan biasanya menggunakan bahasa Jawa. Selain itu, mitra
tuturnya lebih tua darinya sehingga ia menggunakan bahasa halus tersebut. Hal ini
ditambah dengan pembicaraannya bertopik kiai yang tentu dihormati oleh
keduanya. Santri tersebut memilih kata sare ketimbang kilem, turu, dan dekok. Sare
dalam bahasa Jawa memiliki kedudukan tertinggi untuk menyatakan keadaan tidur
seseorang. Di sinilah letak kemunculan tingkatan dalam tataran bahasa yang
digunakan oleh orang dalam menjalin komunikasi dengan orang lain.
Berbeda dengan pendapat ilmuwan-ilmuwan di atas, Jendra mengatakan
bahwa terdapat suatu situasi yang pembicara dengan sengaja ataupun hati-hati
mengubah kode yang ia gunakan, dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Perubahan
inilah yang disebut sebagai alih kode.13 Artinya, dia memisahkan dua istilah di atas.
Alih kode menurutnya adalah adanya situasi yang membuat penutur sengaja
mengubah kode (baca: bahasa) yang digunakannya dengan kode lainnya. Ada unsur
kesengajaan saat ia mengalihkan bahasa yang digunakannya itu. Kesengajaan itu
terjadi karena beberapa faktor yang akan dibahas pada subbab berikutnya. Hal ini
senada dengan yang diungkapkan Pietro, bahwa alih kode adalah penggunaan lebih
dari satu bahasa dengan komunikasi-komunikasi pada suatu pelaksanaan tindakan
bertutur.14
Alih kode tidak saja meliputi peralihan dari satu bahasa ke bahasa lainnya,
tetapi peralihan variasi juga termasuk ke dalamnya. Seperti yang diungkapkan Dell
H. Hymes, alih kode juga menjadi istilah yang lazim untuk mengubah penggunaan
dua bahasa atau lebih atau variasi-variasi bahasa, atau bahkan gaya bicara.15
Sebagai contoh, satu orang Sunda dan satu orang Tegal sedang mengobrol. Lalu,
orang Sunda menirukan gaya bicara mitra tuturnya, yakni dengan dialek Jawa
Ngapak. Pun sebaliknya, orang Tegal meniru gaya bicara kawan tuturnya dengan
menggunakan langgam khas Sunda. Hal demikian juga bisa disebut alih kode.
13 Made Iwan Indrawan Jendra, Op Cit, Hlm. 73. 14 Ibid, h. 74 15 Ibid, h. 74
11
Selain itu, perubahan ragam bahasa, seperti dari ragam ke ragam kromo, dalam
bahasa Jawa. Contohnya bisa kita lihat di pesantren. Seorang santri sedang bincang-
bincang dengan kawannya. Tiba-tiba kiainya memanggil, sontak santri tersebut
beralih menggunakan bahasa Jawa kromo sebagai bentuk takzim, menghormati
kiai. Hal ini lumrah terjadi. Jika peralihan dari bahasa satu ke bahasa lainnya bisa
kita lihat di pengajian. Kiai membaca kata demi kata dalam kitab yang dikajinya
yang berbahasa Arab. Ia lalu memaknainya ke dalam bahasa Jawa. Setelah
memaknai, kiai akan menjelaskan maksud dari kalimat yang sudah ia alih
bahasakan ke Jawa itu dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Fasold menawarkan gramatika sebagai garis pembatas di antara keduanya
(alih kode dan campur kode). Menurutnya, kalau seseorang menggunakan satu kata
atau frase dari satu bahasa, dia telah melakukan campur kode. Tetapi apabila satu
klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika satu bahasa, dan berikutnya disusun
menurut struktur gramatika bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih
kode.16 Melengkapi Fasold, Kachru memberikan batasan campur kode sebagai
pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa
yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten.17 Setidaknya pandangan
Kachru ini mengandung tiga unsur, yakni (1) dua bahasa atau lebih, (2) masuknya
satu unsur bahasa ke bahasa lainnya, dan (3) konsistensi.
Thelander berpendapat bahwa unsur-unsur bahasa yang terlibat dalam
“peristiwa campur” (cooccurance) itu terbatas pada tingkat klausa. Ketiga unsur
yang disampaikan Kachru di atas, ditambahkan oleh Thelander dengan satu unsur
lagi, yakni terbatas pada tataran klausa saja. Lebih jauh lagi, Thelander menjelaskan
bahwa apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase
yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid
phrases), dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi
sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode, bukan alih kode.18
16 Abdul Chaer, Op Cit, h. 115 17 Fathur Rokhman, Sosiolinguistik Suatu Pendekatan Pembelajaran Bahasa dalam Masyarakat
Multikultural, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 38 18 Abdul Chaer, Op Cit, h. 115
12
Peristiwa peralihan dari satu bahasa ke bahasa lainnya ini disebut dengan alih
kode, meski masih dalam satu wilayah bahasa, tetapi dengan beda ragamnya.
Peristiwa pergantian bahasa yang digunakan dalam ilustrasi di atas dari
bahasa Sunda ke bahasa Indonesia, atau berubahnya dari ragam santai mejadi
ragam resmi, atau juga ragam resmi ke ragam santai, inilah yang disebut
peristiwa alih kode di dalam Sosiolinguistik.19
Jika peralihan tersebut terjadi antardialek atau antaraksen dalam satu wilayah
bahasa disebut alih kode intrabahasa. I Dewa Putu Wijana dan Rohmadi
menyebutnya permainan intrabahasa. Mereka menulis, “jenis permainan bahasa
yang pertama (intrabahasa) terjadi dalam satu bahasa dengan berbagai variasinya
(dialek, ragam, dan sebagainya).”20 Contoh, orang Cirebon bagian timur sedang
mengobrol dengan sesamanya. Tetiba datang seorang Cirebon bagian barat yang
biasanya mengganti vokal a di akhir dengan o, seperti sada menjadi sado. Salah
seorang di antara dua orang itu pun menirukan ragam bahasa orang Cirebon Barat
tersebut. Peralihan ini juga dianggap termasuk ke dalam alih kode, dengan jenis alih
kode ke dalam.
Berbeda jika alih kode itu dilakukan antarbahasa, ia disebut Antarbahasa.
Wijana dan Rohmadi menyebutkan, bahwa jenis permainan kedua (permainan
antarbahasa) yang terjadi antara bahasa satu dengan bahasa yang lain, misalnya
antara bahasa daerah dengan bahasa daerah yang lain, antara bahasa daerah dengan
bahasa Indonesia, atau bahasa asing, dan sebaliknya. Contoh, di hari pertama
pertemuan di kelas, seorang guru mengecek kehadiran siswanya sembari
menanyakan asal mereka. Setelah mengetahui Ahmad dari Tegal, sang guru
langsung mengubah bahasanya, tidak lagi menggunakan bahasa Indonesia, tetapi
menggunakan bahasa Jawa dengan dialek khas Tegal.
Guru : Ahmad
Ahmad : Hadir!
Guru : Dari mana?
Ahmad : Tegal, Pak.
19 Ibid, h. 106. 20 I Dewa Putu Wijana dan Muhammad Rohmadi, Sosiolinguistik Kajian Teori dan Analisis,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013) Cet. Keenam. H. 60
13
Guru : Tegale nang endi? (dengan berdialek khas Tegal)
Adapun campur kode merupakan bercampurnya dua kode atau lebih, satu
menjadi kode dasarnya dan lainnya menjadi serpihan saja. Misal, seseorang
berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia, tetapi dalam pembicaraan
tersebut, ia menyelipkan bahasa daerahnya. Abdul Chaer dan Leonie Agustina
bahkan menyebutkan bahwa contoh tersebut berakibat munculnya ragam bahasa
Indonesia yang kejawa-jawaan atau kesunda-sundaan.
Sedangkan di dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar
yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-
kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-
serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode.21
Basuki Suhardi dalam Pengembangan Bahasa Indonesia di Daerah
Perdesaan dalam buku Bahasa Indonesia menuju Masyarakat Madani,
menyampaikan bahwa ada tiga jenis pertalian bahasa Indonesia dan bahasa daerah,
yakni sebagai berikut,
1. Rentannya bahasa daerah terhadap pengaruh bahasa Indonesia
2. Tegarnya bahasa daerah dalam menghadapi pengaruh bahasa Indonesia
3. Mengandung ciri jenis pertama dan kedua. Kedua bahasa digunakan pada
ranahnya masing-masing.22
Pertalian pertama ini tentu dipengaruhi dengan semakin maraknya media
massa di kalangan masyarakat daerah. Penggunaan bahasa Indonesia secara masif
di berbagai media ini membuat masyarakat desa mau tidak mau selalu
menerimanya. Akibatnya mereka juga secara tidak sadar menggunakan bahasa
tersebut dalam keseharian. Bahkan saat ini tidak sedikit di antara mereka yang
memang menggunakan bahasa Indonesia dalam kesehariannya dengan
keluarganya. Bahkan guru bahasa Inggris berkomunikasi dengan anaknya
menggunakan bahasa tersebut, meski mereka tinggal di sebuah desa yang sehari-
harinya menggunakan bahasa daerah. Bahasa daerah semakin ditinggalkan oleh
21 Ibid, h. 114 22 Basuki Rahardi, Pengembangan Bahasa Indonesia di Daerah Perdesaan dalam Bahasa
Indonesia menuju Masyarakat Madani, (Jakarta: Progress, 2003), h. 95-96
14
penggunanya. Selain itu, pertalian pertama juga terdapat di daerah perkotaan yang
notabene menjadi pusat bertemunya orang dari berbagai daerah.
Pertalian kedua terjadi di wilayah pelosok dengan lingkup lingkungan yang
tidak begitu luas. Laju teknologi sudah tidak dapat dikendalikan. Masyarakat
plosok kini pun sudah dapat menikmati televisi dan ponsel, meskipun intensitas
mereka di hadapan dua benda tersebut tidak begitu lama dengan kegiatan dan
pekerjaannya yang lebih banyak di lautan, sawah, ataupun kebun. Hal itu yang
menyebabkan bahasa daerah tetap tegar di wilayah tersebut. Berbeda dengan
masyarakat kota yang memang pekerjaannya berpusat pada ponsel dan laptop
sehingga bahasa Indonesia ataupun bahasa asing lebih sering digunakan ketimbang
bahasa daerah. Tetapi jika hal ini tidak mendapat perhatian juga lama kelamaan bisa
jadi bahasa Indonesia ataupun bahasa lainnya akan menggerus eksistensi bahasa
daerah. Faktornya tentu saja tidak ada penanganan secara khusus untuk terus
mentradisikan bahasa daerahnya selain urbanisasi semakin banyak dan ladang
semakin ditinggal.
Pertalian ketiga bahasa daerah dan bahasa digunakan di ranahnya masing-
masing. Hal ada kemungkinan terjadi di wilayah desa yang semi perkotaan. Dalam
kegiatan formal seperti di sekolah, bahasa Indonesia digunakan sebagaimana
mestinya, tetapi dalam kegiatan lainnya seperti mengobrol atau bahkan acara resmi
berupa tradisi seperti selamatan, kendurian, atau tradisi lainnya bahasa daerahlah
yang digunakan. Singkatnya, bahasa Indonesia digunakan dalam kegiatan formal,
sedangkan bahasa daerah digunakan dalam kegiatan non-formal dan kegiatan resmi
berupa tradisi. Hal ini berlaku di Buntet Pesantren. Di sekolah, mereka
menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantarnya. Dalam kegiatan selamatan
haji (walimatussafar) misalnya, bahasa daerah dengan tingkatan paling tinggi
(kromo) yang digunakan.
Penulis dalam hal ini menggunakan teori yang dikemukakan oleh Fasold.
Alih kode dan campur kode dapat dibedakan dengan gramatika sebagai batasannya.
Jika sudah memenuhi unsur predikatif dengan menggunakan bahasa lain, maka itu
sudah termasuk alih kode. Namun jika masih berupa frasa, apalagi kata, dengan
bahasa yang berbeda, tentu hal tersebut masih tergolong peristiwa campur kode.
15
Berikut tabel perbedaan antara alih kode dan campur kode yang dirumuskan
oleh Made Iwan Indrawan Jendra.23
No. Points of View CS CM
1. Grammatical items
involved
Sentence and claus Phrase, word, morpheme,
phonemes
2. Base language Clear Sometimes unclear
3. Topics May change Maintained
4. Situations Formal and
informal
More likely informal
5. Bilingual fluencies Partial Total
Dari tabel tersebut, dapat disimpulkan, bahwa batasan alih kode terdapat pada
kalimat dan klausa, sedangkan campur kode dapat berupa frasa, kata, morfem, dan
fonem. Bahasa dasar alih kode dapat terlihat jelas, sementara campur kode
terkadang samar. Mengenai topiknya, alih kode dapat berubah, sedangkan campur
kode cenderung konsisten. Situasi yang melatarbelakangi alih kode meliputi formal
dan informal, sedangkan situasi campur kode kemungkinan besar informal.
Pengaruh dwibahasa pada alih kode hanya sebagian, tetapi pada campur kode
penuh.
D. Sebab Alih Kode dan Campur Kode
Situasi kebahasaan yang bilingual atau multilingual sangat menentukan
pilihan ragam bahasa, termasuk di dalamnya pemakaian ragam bahasa Indonesia
oleh para penutur, latar berlangsungnya tuturan, dan topik yang dibicarakan. Firth
menggambarkan pada konteks situasi berbahasa ada empat hal yang berpengaruh,
yakni partisipan, aksi, fitur relevan lainnya dalam situasi, dan efek tindakan
verbal.24 Partisipan atau peserta tutur dalam suatu percakapan tentu memiliki
pengaruh besar dalam mengubah percakapan. Identitas personal partisipan itu
23 Made Iwan Indrawan Jendra, Sociolinguistics: The Study of Societies’ Languages, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2012), cet. Kedua, h. 80 24 Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan. Language, Context, and Text: Aspects of Language in
Social Semiotic Perspective. Oxford: Oxford University Press. 1989), h. 6
16
memengaruhi. Belum lagi soal pengetahuan dan pengalamannya yang tentu saja
sedikit banyaknya memberikan dampak. Kedatangan seorang partisipan baru dalam
suatu percakapan setidaknya jika tidak mengubah bahasa secara umum atau secara
khusus dengan kode tertentu, bisa juga mengubah topik pembicaraan. Selain itu,
tindakan yang dilakukan oleh partisipan juga memengaruhi percakapan yang ada,
baik berupa tindakan verbal maupun non-verbal. Fitur relevan seperti situasi acara
juga berpengaruh terhadap percakapan. Firth mengerucutkan lagi pandangannya
pada tindakan verbal. Ini dimunculkan kembali guna menguatkan hal nomor dua.
Selain itu, tentu saja terdapat perbedaan yang bisa diamati, yakni pada perkataan
yang dimunculkan oleh partisipan.
Gardner dan Chloros juga mengungkapkan beberapa faktor alih kode itu
dilakukan oleh penutur. Menurut mereka, ada tiga hal, yakni sebagai berikut.
1. Faktor penutur dan keadaan sendiri pada variasi yang digunakan yang
memengaruhi penutur pada sebuah kelompok,
2. Faktor yang secara langsung berhubungan dengan penutur, keduanya
sebagai individu atau anggota dari kelompok bilingual
3. Faktor dalam percakapan yang alih kode ambil alih.25
Penutur menjadi faktor utama alih kode terjadi. Seperti Firth, Gardner dan
Chloros menempatkan penutur pada posisi faktor pertama yang dapat menyebabkan
alih kode. Perbedaan latar belakang penutur, baik pembicara maupun pendengar
akan sangat berpengaruh terhadap pilihan bahasa yang digunakan dalam
berkomunikasi. Dua orang yang sedang bercakap menggunakan bahasa daerah akan
beralih menggunakan bahasa nasional saat muncul rekannya yang lain yang tidak
memiliki asal yang sama, atau tidak memiliki kemampuan bahasa daerah yang
sama.
Semua penutur bahasa (tidak hanya) Inggris dapat berbicara satu sama lain
dengan pemahaman yang baik. Tetapi tidak ada dua pembicaaraan yang persis
sama. Beberapa perbedaan terjadi karena usia, kelamin, kecepatan berbicara, emosi,
25 Penelope Gardner dan Chloros, Sociolinguistic Factors in Code Switching dalam The
Cambridge Handbook of Linguistic Code-Switching, (Cambridge: Cambridge University Press,
2009), h. 98-99
17
kesehatan dan apakah bahasa tersebut sebagai bahasa pertama atau bukan.
Perbedaan lainnya datang dari pilihan kata, pengucapan kata, dan struktur
gramatika.26
Pada tataran fungsi, dwibahasawan kerap kali mengalihkan kode pada varian
kata guna mengkomunikasikan sesuatu di balik dangkalnya makna kata yang
mereka gunakan. Ekabahasawan pun bisa melakukan hal serupa dengan
menggunakan varian dialek, tinggi-rendahnya nada, strata bahasa, ataupun
intonasi.27
Ada kemungkinan ragam bahasa minor berpengaruh terhadap ragam bahasa
mayor karena varian dialek daerah yang umum selalu disuarakan. Carmen Fought
menulis,
Finally, there exists the possibility of influence from the minority ethnic
variety into the surrounding mainstream version of the regional dialect. Of
course such influence is clearly acknowleded in the realm of the lexicon, but
less investigation of possible phonological and grammatical influences in this
direction has been done.28
Pada akhirnya, terdapat kemungkinan pengaruh dari ragam etnis minor pada
dialek regional yang lebih umum. Pasti pengaruh demikian secara jelas diakui
dalam bidang leksikon, tetapi kurang investigasi terhadap fonologi dan
gramatika yang tepat berpengaruh pada pengawasan yang telah dilakukan. .
‘Bineka tunggal ika’ karena selalu digaungkan menjadi kata-kata yang umum.
Meskipun bahasa aslinya, yakni bahasa Kawi sudah amat jarang atau bahkan
langka, kecuali dalam bahasa tulis dalam manuskrip yang berusia ratusan tahun.
Karena kelangkaannya tersebut, bahasa Kawi tentu saja tergolong dalam bahasa
minor. Tetapi ia masih punya pengaruh pada ragam bahasa mayor, yakni bahasa
Indonesia sehingga istilah tersebut tetap lestari sampai saat ini. Kata-kata bahasa
Arab yang berartikan pemimpin pun begitu mendominasi kosakata bahasa
Indonesia, seperti imam, sultan, dan rais. Pemasukan ketiganya dalam KBBI tentu
saja karena seringnya disuarakan oleh para penuturnya. Para penutur, berkaitan
26 Victoria Fromkin, dkk. An Introduction to Language, (Australia: Thomson Wadsworth), h. 445 27 Penelope Gardner dan Chloros, Code Switching, (Cambridge: Cambridge University Press. 2009),
h. 4 28 Carmen Fought, Ethnicity dalam The Handbook of Language Variation. Blackwell. 2003. H.
343
18
dengan konteksnya, tentu akan memilih diksi yang tepat demi tercapainya pesan
yang dimaksud.
E. Bahasa Nasional dan Bahasa Daerah
Bertrand mengungkapkan, bahwa bahasa daerah dan bahasa nasional bisa
berjalan beriringan jika pembagian sosiolinguistiknya jelas sehingga tidak ada
benturan atau persaingan dalam wilayah sosial yang sama.
Bertrand’s remarks concern the ecological relationship between local
minority languages and the national language, suggesting that minority
languages and the national language, can co-exist if there is a clear
sociolinguistic division of labour that prevents that languages from
competing in the same social domains.
Ucapan Bertrand mengkhawatirkan hubungan ekologi antara bahasa
minoritas lokal dan bahasa nasional, mengusulkan bahasa minoritas dan
bahasa nasional dapat tetap bersama jika di sana pembagian
sosiolinguistiknya jelas terhadap kerja yang menghalangi bahwa bahasa dari
saingan dalam wilayah sosial yang sama.
Wilayah berbahasa daerah sudah tepat tergantikan dengan bahasa Indonesia,
atau setelah bahasa daerahnya menjadi bahasa kedua, kemajuan tidak dapat
dicegah. Modernisasi menyatakan secara tidak langsung menghabisi budaya.29
Bertrand ingin menyatakan, bahwa bahasa daerah harus tetap menjadi bahasa
pertama masyarakat pada umumnya. Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan
bisa menjadi bahasa pilihan kedua setelah bahasa daerah yang menjadi bahasa
komunitasnya. Jika bahasa Indonesia sudah menjadi pilihan pertama, tentu bahasa
daerah akan ditinggal. Hal tersebut dapat membunuh bahasa daerah secara
perlahan, tapi pasti.
Appel dan Muysken menulis, bahwa jika perubahan itu ke bahasa mayor,
bahasa tersebut terlihat mengalahkan domain lain setelah melalui tingkat menengah
pada penggunaan bahasa dwibahasawan. Ketika bahasa minor terucap pada bidang
yang lebih sedikit, maka nilainya menurun.30
29 James Sneddon. The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society. (Sydney:
University of New South Wales, 2003), H. 206 30 Rene Appel dan Peter Muysken, Language Contact and Bilingualism, (Amsterdam: Amsterdam
University Press), h. 41
19
The prestigious dialect is often that used by political leaders and the upper
socio-economic classes; it is the dialect used for literature or printed
documents; it is taudht in the schools, used by the military, and propagated
by mass media.31
Dialek prestisius kerap kali digunakan oleh politikus dan orang-orang yang
kelas ekonominya menengah ke atas. Dialek ini juga yang digunakan dalam
sastra, dokumen cetak. Selain itu, dialek tersebut juga berlaku di sekolah
sebagai media pengajaran, di militer, dan disebarkan oleh media massa.
Dialek standar tidak berarti ia superior. Hanya saja, dialek standard memiliki
fungsi sosial yang lebih guna mengikat banyak orang untuk mengembangkan
bentuk penulisan penutur lintas dialek.32 Oleh karena itu, banyak orang yang
menggunakan dialek standard, Anton M. Moeliono menyebutnya bahasa baku, itu
dalam komunikasi sehari-hari. Moeliono juga mencatat, bahwa dengan alasan
gengsi yang tinggi sebab bahasa baku itu digunakan oleh kalangan terpelajar dan
terkemuka menarik banyak orang untuk dapat menguasainya dan berbicara
menggunakan bahasa tersebut agar dapat dianggap sebagai orang yang tergolong
dalam ketegori kelas sosial yang tinggi.33 Di daerah-daerah, saat ini, sudah
menjamur orang tua yang mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pertamanya. Strata sosial menengah ke bawah menuntutnya untuk menaikkan
derajat agar terlihat setara. Sepertinya, bahasa sedikit membantu mendongkrak
strata sosialnya. Meskipun dalam pandangan mata keseharian hal tersebut belum
tentu memberikan gambaran yang diinginkan oleh penutur dari setiap orang yang
menemui atau ditemuinya.
F. Etnografi Komunikasi
Etnografi komunikasi, menurut Dell Hymes, adalah pendekatan terhadap
deskripsi peristiwa tuturan. Pendekatan ini digunakan untuk analisis terhadap setiap
faktor-faktor yang berkaitan.34 Hymes menyebutnya ethnography of speaking. Bagi
Hymes, setiap faktor dapat dipelajari secara bebas, tetapi semuanya memiliki
hubungan dalam bentuk struktur peristiwa yang lengkap. Untuk setiap macam
31 Victoria Fromkin dan Robert Rodman, An Introduction to Language, (Amerika Serikat: Holt,
Rinehart and Winston, Inc., 1974), h. 257 32 Victoria Fromkin dan Robert Rodman, An Introduction to Language, (Amerika Serikat: Holt,
Rinehart and Winston, Inc., 1974), h. 258 33 Anton M. Moeliono, Kembara Bahasa Kumpulan Karangan Tersebar, (Jakarta: Gramedia,
1989), h. 47 34 Bernard Spolsky, Sociolinguistics, (Oxford: Oxford University Press, 2010), h. 15
20
peristiwa tuturan, faktor-faktor tersebut direalisir dan dihubungkan dalam cara-cara
yang tepat.35
Pengambilan etnografi komunikasi sebagai salah satu alat penelitian ini tentu
saja bukan tanpa alasan. Pengajian sebagai suatu bentuk komunikasi seorang kiai
dengan santrinya dalam satu majelis merupakan suatu komunitas pembicaraan
tersendiri. Etnografi komunikasi sebagai sebuah studi mengambil fokus pada
kelompok tertentu yang sudah terorganisir dengan baik sebagai suatu sistem dan
cara interaksi dengan semua sistem budaya lainnya.36
Selain itu, alih kode dan campur kode yang masuk dalam sosiolinguistik juga
memiliki bidang kajian yang sama dengan etnografi komunikasi, yakni pada
penggunaan bahasa. Meskipun satu bidang yang sama, tetapi tentu saja masing-
masing memiliki fokus. Sosiolinguistik berfokus pada pengucapan dan struktur
kebahasaan, sedangkan etnografi komunikasi menaruh perhatiannya pada kesatuan
komunikasinya yang terorganisasi dengan baik, serta pada bagaimana mereka
mengikuti pola yang sudah tersistem. Dua hal tersebut, sosiolinguistik dan etnografi
komunikasi, digunakan dalam penelitian ini agar kesempurnaan penelitian dapat
tercapai, atau setidaknya mendekati.
G. Komunitas Tuturan
Saville dan Troike mendefinisikan komunitas tuturan ini dengan sebuah
kelompok yang bahasa tuturannya sangat terbatas pada kelompok tersebut saja.
Bahkan, orang-orang di luar komunitas tersebut harus mempelajari lebih dulu
bahasa yang digunakan dalam komunitas yang dimaksud.37 Contohnya, orang yang
sebelumnya tidak pernah tinggal di pesantren tinggal di dalam lingkungan
pesantren. Ia merupakan santri baru. Tentu saja ia tidak memahami bahasa yang
digunakan pesantren dalam pengajian. Dia harus turut mempelajari lebih dulu
bahasa yang digunakan orang-orang pesantren tersebut agar dapat memahami apa
yang disampaikan dalam pengajian tersebut.
35 Ibid, h. 15 36 Murielle Saville dan Troike, The Ethnography of Communication, (Australia: Blackwell,2003),
h. 2 37 Ibid, h. 16
21
Lebih rinci, Ronald Wardaugh memberi beberapa batasan-batasan khusus.
Batasan ini dibuat karena sulitnya membuat definisi sederhana untuk istilah
komunitas tuturan. Berikut penjelasan Wardaugh.
For our purposes, a group must have at least two members but there is really
no upper limit to goup membership. People can group together for one or
more reasons: social, religious, political, cultural, familial, vocational,
avocational, etc. The group may be temporary or quasi-permanent and the
purposes of its members may change, i.e., its raison d’être. A group is also
more than its members for they may come and go. They may also belong to
other groups and may or may not meet face-to-face. The organization of the
group may be tight or loose and the importance of group membership is likely
to vary among individuals within the group, being extemely important to some
and of little consequence to others.38
Untuk beberapa tujuan, setiadaknya anggota kelompok terdiri dari dua orang
tanpa ada batas maksimalnya. Orang-orang dapat membentuk kelompok
bersama karena satu atau beberapa alasan: sosial, agama, politik, budaya,
keluarga, kejuruan, kegemaran, dan lain-lain. Kelompok dapat terbentuk
secara sementara waktu saja ataupun dalam jangka waktu panjang dan tak
terbatas, dalam arti permanen dan tujuan-tujuan anggotanya dapat berubah.
Kelompok juga membiarkan anggotanya keluar ataupun terbuka dengan
menerima anggota baru. Mereka juga termasuk anggota kelompok lain dan
memungkinkan mereka untuk bertatap muka atau tidak. Organisasi kelompok
juga boleh ketat atau longgar dan hal terpenting anggota kelompok
memungkinkan untuk mengubah-ubah di antara individu yang termasuk
dalam kelompok tersebut untuk menjadi penting untuk beberapa dan sebagian
kecil konsekuensi untuk lainnya.
Pesantren merupakan salah satu komunitas tuturan. Ada beberapa hal
melandasi berdasar pada pengertian yang dibahas rinci oleh Wardaugh. Secara
keanggotaan, pesantren terdiri dari ratusan bahkan ribuan anggota yang terdiri dari
santri dan kiai. Alasan terbentuknya tentu saja atas dasar agama. Ada hal lain yang
memungkinkan, yakni sosial dan budaya. Agama sudah sangat jelas mengingat
pesantren sebagai suatu lembaga yang memberikan pendidikan dan pengajaran
ilmu-ilmu agama, baik secara teoritis maupun praktis melalui teladan para kiainya.
Dasar sosial dan budaya dalam pembentukan pesantren adalah menjaga tradisi yang
telah berlangsung turun-temurun. Di samping itu, pesantren juga dibentuk sebagai
suatu komunitas yang permanen, tidak hanya untuk sementara saja. Santri di suatu
pesantren juga sangat mungkin untuk keluar dan tinggal di pesantren lain atau
bergerak bergabung dengan komunitas lainnya. Pesantren juga terbuka dengan
38 Ronald Wardaugh, Op Cit, h. 119-120
22
orang-orang lain yang ingin ambil bagian di dalamnya. Setiap kelompok tentu saja
memliki aturan yang harus dipatuhi oleh setiap anggotanya. Begitupun pesantren.
Ada hal-hal tertentu yang harus dilaksanakan. Sebaliknya, ada pula sesuatu yang
tidak diperbolehkan.
Melengkapi Wardaugh, Claire Kramsch memberikan gambaran lebih jelas
tentang hubungan kelompok dengan anggota sebagai individunya masing-masing.
Berikut pandangan Kramsch.
People who identify themselves as members of a social group (family,
neighborhood, proffesional or ethnic affiliation, nation) acquire common
ways of viewing the world through their interactions with other members of
the same group. These views are reinforced through institutions like the
family, the school, the workplace, the church, the government, and other sites
of socialization throughout their lives. Common attitudes, beliefs, and values
are reflected in the way members of the group use language-for example, that
they choose to say or not to say and how they say it. Thus, in addition to the
notion of speech community composed of people who use the same linguistic
code, we can speak of dicourse communities to refer to the common ways in
which members of a social group use language to meet their social needs.39
Orang yang mengidentifikasi dirinya sebagai anggota kelompok sosial
(keluarga, tetangga, profesi, ataupun afiliasi suku, bangsa) memperoleh jalan
umum terhadap pandangan dunia melalui interaksi mereka dengan anggota
lain dalam kelompok yang sama. Pandangan ini diperkuat melalui lembaga
seperti keluarga, sekolah, tempat bekerja, gereja, pemerintah, dan tempat
sosialiasi lainnya di seluruh kehidupannya. Sikap, kepercayaan, dan nilai
umum direfleksikan pada cara anggota kelompok menggunakan bahasa,
seperti mereka memilih mengatakan atau tidak mengatakan, dan bagaimana
mereka mengatakan itu. Dengan demikian tambahan atas dugaan komunitas
tutur menyusun orang yang menggunakan kode linguistik yang sama, kita
dapat berbicara wacana kelompok untuk merujuk pada cara umum pada
anggota kelompok sosial menggunakan bahasa untuk menemukan kebutuhan
sosial mereka.
Bahasa menjadi gambaran sikap, kepercayaan dan nilai umum yang diterima
orang mengetahui pribadi seseorang ataupun kelompok sosial tertentu. Pesantren
tentu memiliki ciri khas tersebut sehingga orang luar pun mengetahui, bahwa
bahasa demikian itu digunakan di kelompok masyarakat pesantren. Bahasa dengan
strata tertinggi menjadi salah satu cirinya. Masyarakat pesantren dalam
kesehariannya dengan kiai dan orang yang usia atau keilmuannya lebih matang
biasa menggunakan bahasa kromo sebagai bentuk penghormatan. Terhadap
pedagang jajanan yang usianya lebih matang, santri juga menggunakan bahasa Jawa
39 Claire Kramsch, Language and Culture, (Oxford: Oxford University Press, 2014), h. 6
23
kromo jika ia tidak menggunakan bahasa Indonesia. Lain lagi dengan bahasa yang
digunakan dalam pengajian. Berbagai dialek dari bahasa Jawa bercampur baur
dalam pengajian tersebut karena seolah sudah ada konsensus tersendiri mengingat
hal tersebut diturunkan sejak zaman dahulu. Karena penghormatan juga,
masyarakat kini enggan mengganti sistem dan bahasa yang digunakan.
H. Peristiwa Tutur
Spolsky menyebutkan, bahwa fokus peralihan perhatian dari kalimat ke
tindakan komunikasi itu disebut sebagai speech event atau biasa diterjemahkan
dengan istilah peristiwa tutur.40 Abdul Chaer dan Leonie Agustina menulis, “Yang
dimaksud dengan peristiwa tutur (Inggris: speech event) adalah terjadinya atau
berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang
melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di
dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu.41 Keduanya memberi contoh komunikasi
yang dilakukan oleh pedagang dan pembeli di pasar. Hal tersebut dianggap sebagai
peristiwa tutur karena topik, tempat, waktu, dan situasinya tertentu dan tidak
berubah. Peristiwa tutur juga dapat terjadi pada suatu diskusi, rapat, ataupun sidang.
Sementara itu, percakapan yang terjadi antara orang yang tidak saling mengenal di
suatu tempat, semisal angkutan umum itu bukan merupakan peristiwa tutur,
menurut Abdul Chaer dan Leonie Agustina.
Lebih rinci, Hymes menggunakan akronim SPEAKING untuk menjelaskan
faktor-faktor yang memengaruhi peristiwa tutur. S sebagai akronim atas setting dan
scene, P untuk Participants, E untuk Ends, A sebagai Act sequence, K untuk Key, I
untuk Instrumentalities, N untuk Norms of interaction and interpretation, dan G
untuk Genre.
Setting (latar) merujuk pada tempat dan waktu peristiwa tutur itu terjadi.
Sementara scene (mengacu pada kondisi dan situasi psikologi ataupun budaya
lingkungannya.42 Perbedaan tempat, waktu, situasi psikologi dan kondisi
kebudayaan yang ada sangat berpotensi mengubah bahasa yang digunakan penutur.
Tentu akan makin variatif dengan beranekamacamnya perbedaan yang ada.
40 Bernard Spolsky, Sociolinguistics, (Oxford: Oxford University Press, 2010), h. 14 41 Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Op Cit, h. 47 42 Ronald Wardaugh, Op Cit, h. 247
24
Pengajian memiliki tempat dan waktu tertentu. Masing-masing pesantren sudah
menjadwalkan kegiatan pengajiannya.
“Participants (penutur dan petutur) adalah pihak-pihak yang terlibat dalam
pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan
penerima (pesan).”43 Orang-orang yang berkomunikasi tersebut dapat saling
memengaruhi ragam bahasa yang digunakannnya. Begitupun orang yang berbicara
satu arah dengan melihat latar belakang atau profil pendengarnya. Misalnya
pengajian. Kiai sebagai pembicara tunggal memberikan pemaknaan dan penjelasan
dengan melihat pendengarnya, yakni santri dengan beragam latar belakang.
Ends (hasil) merujuk pada hasil yang diharapkan dan dikenali secara
konvensional dan juga guna mencapai tujuan peristiwa secara terperinci.44 Kiai
tentu saja berharap agar santri-santrinya dapat memahami apa yang mereka sedang
pelajari dalam suatu pengajiannya. Maka demi tercapainya tujuan pemahaman
tersebut, kia menggunakan bahasa Indonesia sebagai dasar bahasanya. Dalam
perjalanannya, kiai sangat mungkin akan menggunakan ragam bahasa lainnya,
tetapi hal itu tak menghalangi hasil yang diharapkan.
Act squence (urutan kejadian) mengacu pada bentuk dan isi ujaran: pilihan
kata yang digunakan, bagaiamana penggunaannya, dan hubungan apa yang
dikatakan dengan topik yang diperbincangkan.45 Bentuk ujaran dalam belajar di
sekolah dan dalam pengajian di pesantren tentu saja berbeda. Hal tersebut salah
satunya dilatarbelakangi topik pembicaraan. Belajar di sekolah membincang ilmu
umum, sementara di pesantren secara khusus mempelajari agama. Bahasa buku
yang menjadi rujukan pun berbeda, di sekolah menggunakan buku berbahasa
Indonesia dan Inggris, sementara di pesantren menggunakan kitab berbahasa Arab
dan Jawa.
Key (cara) berkaitan dengan nada, cara, dan semangat penyampaian pesan:
senang hati, serius, saksama dengan singkat dan padat, sombong dengan
menonjolkan kemampuannya, mengejek, menyindir tajam, angkuh, dan
sebagainya.46 Kiai dalam pengajiannya masing-masing memiliki ciri khas, baik dari
43 Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Op Cit, h. 8 44 Ronald Wardaugh, Op Cit, h. 247 45 Ronald Wardaugh, Op Cit, h. 248 46 Ibid
25
nadanya, caranya, maupun semangatnya. Pada hal-hal tertentu, kiai akan
menyampaikan dengan nada rendah. Lain topik, kiai bernada tinggi tuturannya.
Dalam keseriusannya memberikan penjelasan, kiai kerap kali melontarkan humor
segar yang membuat otot tegang kembali renggang.
Instrumentalities (alat atau media) ini bersangkut paut dengan pilihan media
penutur: lisan, tulisan, telegrap, dan bentuk sebenarnya dari pilihan tuturan, seperti
bahasa, dialek, kode, ataupun nada suara yang dipilih.47 Pengajian tentu saja
melibatkan media lisan. Kiai memberikan pemaknaan dan penjelasan
menggunakan bahasa lisan. Begitupun santri membaca ulang dan bertanya. Media
tulisan juga digunakan dalam pengajian, tepatnya sebagai sarana peletakan makna
pada setiap kata dari kitab yang dipelajari. Selain itu, bentuk-bentuk bahasa,
penggunaan dialek dan kode tertentu, dan nada juga begitu diperhatikan dalam
pengajian. Terkadang hal tersebut juga terucapkan secara tidak sadar, baik itu oleh
kiai maupun oleh santrinya.
Norms of interaction and interpretation (norma interaksi dan interpretasi)
mengacu pada tindakan spesifik dan kemampuan yang mendukung penuturan, juga
bagaimana dilihat orang seperti volume suara, keheningan, tatapan balik, dan
sebagainya.48 Abdul Chaer dan Leonie Agustina mengaitkannya dengan “Norma
atau aturan dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara
berinterupsi, bertanya, dan sebagainya.”49 Meskipun tidak secara tegas tertulis,
dalam pengajian pun terdapat aturan-aturan atau norma-norma yang berlaku. Misal,
jika santri ditatap oleh kiai, ia akan menundukkan pandangannya. Pantangan sekali
bagi seorang santri untuk saling bersitatap dengan sang kiai. Sebelum penjelasan
rampung, pertanyaan di pikirannya masing-masing santri ditampung. Barulah
setelah dipersilakan, santri akan menyampaikan letak ketidakpahamannya.
Adapun genre (jenis) merujuk pada tipe ungkapan yang disampaikan oleh
penutur, seperti puisi, pepatah, teka-teki, nasehat, doa, ceramah atau kuliah, dan
tajuk rencana.50 Beragam jenis yang digunakan dalam pengajian. Nasehat tentu saja
kerap kali digunakan. Terlebih jika pengajiannya berbasis kitab akhlak ataupun
47 Ibid 48 Ibid 49 Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Op Cit, h. 48 50 Ronald Wardaugh, Op Cit, h. 248
26
tasawuf. Ceramah menjadi tipe yang paling sering dipilih mengingat penyampaian
penjelasan menuntut hal demikian, khususnya pada bidang fikih, usul fikih, nahwu
dan sharaf (gramatika bahasa Arab), tauhid, tajwid, dan sebagainya. Doa pun tidak
bakal lepas dari pengajian. Tipe ini biasa dijadikan sebagai pembuka dan penutup.
Kiai biasa mengawali pengajiannya dengan bertawassul, mengirim doa kepada
penulis kitab yang dikaji, guru-guru kiai tersebut, serta para ulama terdahulu.
Kegiatan pengajian juga ditutup dengan berdoa, baik itu dengan membaca Alquran
surat al-Fatihah, maupun doa penutup majlis. Ada pula yang hanya menutupnya
dengan mengucap kalimat Wallahu a’lamu bi al-șawab.
I. Pengajian
Pesantren sebagai lembaga pendidikan memiliki metode yang khas dalam
melakukan pembelajarannya. Sistem sorogan dan sistem bandungan merupakan
dua metode khas yang sampai kini masih digunakan dalam pengajaran di pesantren.
Murid diharuskan menguasai pembacaan dan terjemahan tersebut secara tepat dan
hanya bisa menerma tambahan pelajaran bila telah berulang-ulang mendalami
pelajaran sebelumnya.51 Begitu Zamakhsyari Dhofier mendefinisikan metode
pertama. Lebih lanjut, Dhofier mengatakan bahwa sistem pertama ini merupakan
sistem individual. Artinya, santri secara individu, satu persatu menghadap kiai.
Lebih jelasnya, Ahmad Zaini Hasan menjelaskan, bahwa metode sorogan itu
dilakukan dengan santri men-sorog-kan sebuah kitab kepada kiai untuk dibaca di
hadapan kiai. Dan kalau ada kesalahan langsung dibetulkan oleh kiai.52
Metode ini biasa digunakan untuk mengaji kitab-kitab kecil atau tipis, seperti
Safinah al-Najah, Fath al-Qarib, Sullam al-Taufiq, Bahjah al-Wasail, Qatr al-
Ghaits, dan lain-lain. Metode ini digunakan agar santri dapat memahami struktur
gramatika bahasa Arab dan hafal akan makna setiap kata dengan sendirinya tanpa
disadari. Hal tersebut karena pengulangan pembacaan yang diminta oleh kiai
berkali-kali, hingga 20 sampai 25 kali. Kiai dalam metode ini hampir tidak
menerangkan atau bahkan tidak menerangkan sama sekali, hanya memberi makna
dari setiap kata berbahasa Arab yang tersaji dalam setiap kitab yang santrinya kaji.
51 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya mengenai
Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011, Cet. Kesembilan), h. 53 52 Ahmad Zaini Hasan, Perlawanan dari Tanah Pengasingan; Kiai Abbas, Pesantren Buntet dan
Bela Negara, (Yogyakarta: LkiS, 2014), h. 116
27
Metode ini benar-benar dilakukan satu-persatu, antara individu santri dengan
kiainya seperti pengajian Alquran. Perhatian kiai pada santrinya dalam pengajian
dengan metode ini tentu sangat fokus sehingga kesalahan yang terjadi akan mudah
diketahui. Kiai akan lekas memberi peringatan dan perbaikan.
Adapun metode kedua, Zamakhsyari Dhofier mendefinisikan sekelompok
murid (antara 5-500 murid) mendengarkan seorang guru yang membaca,
menerjemahkan, menerangkan, bahkan seringkali mengulas buku-buku Islam
dalam bahasa Arab.53 Senada dengan Dhofier, Ahmad Zaini Hasan mengartikan
bandungan sebagai sistem mengajar tradisional khas pesantren di mana seorang kiai
duduk dikerumuni santri-santrinya sambil menyimak kitab. Kiai membaca,
menterjemahkan kitab yang dibaca ke dalam bahasa Jawa umumnya kemudian
menerangkan isi kitab pada santri. Para santri hanya mengapsahi, mencatat
terjemahnya pada kitab itu juga.54
Metode bandungan biasanya digunakan dalam pengajian kitab-kitab besar
atau berukuran tebal, seperti Tafsir Jalalain, Fath al-Wahhab, Sahih Bukhari, Sahih
Muslim, dan lain-lain. Metode ini juga digunakan dalam pengajian umum seperti di
masjid agung pondok. Di Buntet Pesantren, Masjid Agung Buntet Pesantren dua
kali menggelar pengajian umum dalam setahun. Pertama di bulan Rabiul Awwal
dengan pengajian kitab Madarij al-Shu’ud karya Syaikh Nawawi al-Bantani syarah
dari Kitab Al-Barzanji karya Syakih Jakfar Al-Barzanji. Pengajian kitab tersebut
dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad saw. Kedua di bulan Rajab
dalam rangka memperingati Isra Mi’raj Nabi Muhammad Saw. dengan membuka
pengajian kitab Qisshat al-Mi’raj karya Syaikh Ahmad al-Dardiri. Kedua kitab ini
dikaji dengan sistem bandungan karena seluruh santri Buntet Pesantren berkumpul
di satu tempat dengan beberapa kiai membacanya secara bergantian.
Pesantren Buntet selain menggunakan dua metode di atas, juga menggunakan
metode gabungan keduanya. K.H. Imaduddin Zaeni menyebutnya sebagai sistem
terpadu.55 Seorang kiai membaca kitab kepada kelompok kecil yang beranggotakan
53 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya mengenai
Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011, Cet. Kesembilan), h. 54 54 Ahmad Zaini Hasan, Perlawanan dari Tanah Pengasingan; Kiai Abbas, Pesantren Buntet dan
Bela Negara, (Yogyakarta: LkiS, 2014), h. 116 55 Wawancara pada tanggal 11 September 2017 di kediamannya di Buntet Pesantren,
Astanajapura, Cirebon.
28
dua sampai dua puluhan santri. Kiai memaknai satu kalimat atau klausa bahasa
Arab dengan bahasa Jawa, lalu para santri mengulangi apa yang kiai ucapkan.
Setelah itu, kiai memberikan penjelasan dengan bahasa Indonesia. Para santri diberi
kesempatan untuk bertanya mengenai seluruh hal apapun berkaitan dengan tema
yang sedang dipelajari, pembacaan kitab dilihat dari teori gramatika bahasa
Arabnya, dan hal-hal lain yang mereka belum begitu jelas memahaminya.
Setelah penjelasan dan tanya jawab dirasa cukup, kiai mempersilakan
santrinya mengulangi bacaan yang telah mereka baca sebelumnya secara
berkelompok. Selanjutnya, para santri mengulangi bacaan tersebut satu persatu di
hadapan kiai hinggga lancar. Setelah semua santri telah membaca satu persatu di
hadapan kiai, mereka kembali membaca bacaan tersebut sampai tiga atau lima kali
secara bersamaan. Barulah pengajian itu ditutup oleh kiai dengan membaca kalimat
wallahu a’lam bi al-shawab, Allah Mahamengetahui dengan benar. Sebelum kiai
memberikan penerjemahan dan penjelasan, para santri juga mengulang bacaannya
dari awal hingga ajen-ajen, batas yang akan dipelajari.
Sistem terpadu digunakan di beberapa pesantren tertentu dengan maksud
mencapai kedua fokus metode sebelumnya, yakni metode sorogan agar dapat
menghafal makna setiap kata dan memahami struktur gramatika setiap kalimatnya
dan metode bandungan agar dapat memahami substansi kalimat-kalimat yang
dipelajarinya. Metode ini memang tidak simpel dan butuh waktu yang cukup lama,
tidak efisien. Tetapi efektif guna mendapatkan dua tujuan itu, pemahaman dan
penghafalan. Metode ini biasanya tidak digunakan dalam dirosah, atau sistem
pengajian berkelas atau berjenjang, mengingat pengajian dengan menggunakan
metode terpadu tidak memberikan target khatam. Pengajian ini mengalir sesuai
kemampuan para santrinya.
Kitab yang digunakan dalam metode ini sama dengan kitab yang digunakan
dalam metode sorogan, seperti Safinah al-Najah, Sullam al-Taufiq, dan Fath al-
Qarib dalam bidang fiqh, Aqidah al-Awam, Tijan al-Darari, dan Qatr al-Ghaits
dalam bidang tauhid, Hidayat al-Shibyan, Tuhfat al-Athfal, dan Musthalah al-
Tajwid dalam bidang tajwid, Jurumiyah, Imrithi, dan Alfiyyah ibn Malik dalam
bidang nahwu, dan al-Amtsilah al-Tashrifiyyah, Kailani Izzi, dan Nadzm Maqsud
dalam bidang sharaf, dan sebagainya.
29
J. Penelitian Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang
dilakukan oleh Abdul Kholiq, Roekhan, dan Sunaryo dengan judul Campur Kode
pada Naskah Pidato Presiden Republik Indonesia Bapak Dr. Susilo Bambang
Yudhoyono.56 Penelitian yang digunakan untuk skripsinya itu dilakukan pada
naskah pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang diunduh dari situs web
resmi kepresidenan Republik Indonesia, yakni
http://presidenri.go.id/index.php/pidato/. Peneliti menemukan adanya bentuk
campur kode pada kata, frasa, baster, pengulangan kata, dan klausa. Penelitian ini
juga mendeskripsikan jenis-jenis campur kode yang terjadi, yakni campur kode ke
dalam (inner code-mixing) dan campur kode keluar (outer code-mixing). Selain itu,
peneliti juga menjelaskan fungsi penggunaan campur kode, yaitu untuk identifikasi
peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan.
Di sini memiliki kesamaan objek penelitian, yakni campur kode pada naskah
pidato. Bedanya, subjek dalam penelitian relevan itu adalah Presiden Republik
Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, sedangkan subjek dalam penelitian ini
adalah siswa yang juga merupakan santri Buntet Pesantren.
Selain itu, Dhanang Tri Atmojo pernah melakukan penelitian untuk
skripsinya dengan judul Alih Kode dan Campur Kode dalam Kelompok Masyarakat
Perantau di Desa Kedung Bagong, Sidomakmur, Widodaren, Ngawi.57 Mahasiswa
Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah itu melakukan penelitian di Desa
Kedung Bagong, Sidomakmur, Widodaren, Ngawi. Ia mendeskripsikan bahwa
masyarakat di desa tersebut melakukan alih kode dan campur kode dengan dua
variasi bentuk dasar, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Variasi pertama
didapati alih kode pada bahasa Jawa, bahasa Arab dan bahasa Inggris. Alih dan
campur kode pada bahasa Indonesia, bahasa Arab dan bahasa Inggris ditemukan
dalam versi kedua. Faktor yang memengaruhi peralihan atau pencampuran kode itu
bergantung pada jenisnya. Orang ketiga menjadi sebab peralihan kode pada jenis
situational code-switching. Pada metaphorical code-switching, peralihan bahasa
56 Diunduh dari http://jurnal-online.um.ac.id/article/do/detail-article/1/47/867 pada tanggal 23
September 2016, pukul 16.22 WIB 57 Diunduh dari http://eprints.ums.ac.id/23343/ pada tanggal 23 September 2016, pukul 16.21 WIB
32
terjadi karena penutur ingin menekankan tuturan yang diinginkannya sehingga
mendapat perhatian lebih dari pendengar. Adapun campur kode terjadi karena
penggunaan istilah yang lebih populer dan keterbatasn kode pada bahasa dasar.
31
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian kualitatif, yakni
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fenomena yang terjadi secara natural.
Sebagaimana yang diungkapkan Hancock, bahwa penelitian kualitatif menjelaskan
fenomena spesial seperti peristiwa yang terjadi secara natural..58
Laporan ini akan berisi data berupa kutipan ujaran kiai dalam pengajian yang
dilakukannya. Hal ini menunjukkan bahwa data yang diambil sangat bersifat
subjektif. Hancock menyatakan bahwa penelitian kualitatif dikontrasikan dengan
pendapat, pengalaman, dan rasa data subjektif yang dihasilkan oleh masing-masing
individu.59
Untuk menemukan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya permasalahan
yang akan diteliti, tentu peneliti harus mengetahui kondisi lingkungan tempat
penelitian, termasuk mengetahui subjek-subjek penelitiannya. Dengan arti lain,
peneliti harus memahami kondisi sosialnya secara rinci. Mason menulis, penelitian
kualitatif bertujuan untuk kebulatan hasil dan pemahaman kontekstual pada dasar
kekayaan, nuansa, dan rincian data.60 Oleh karenanya, peneliti menggunakan
pendekatan etnografi.
Ethnography is the study of people in naturally occuring settings or ‘fields’
by means of methods which capture their social meanings and ordinary
activities, involving the researcher participating directly in the setting, if not
also the activities, in order to collect data in a systematic manner but without
meaning being imposed on them externally.61
Etnografi adalah sebuah studi terhadap orang-orang dalam peristiwa natural
dengan maksud metode-metode yang menangkap makna-makna sosial dan
aktivitas kebiasaan mereka, menyertakan peneliti berpartisipasi secara
langsung dalam keadaan tersebut, jika tidak juga aktivitasnya, maka
58 Beverley Hancock, An Introduction to Qualitative Research, (Nottingham: Trent Focus Group,
2002), h. 2 59 Ibid 60 Jennifer Mason, Qualitative Researching, (London, SAGE Publications, 2002), h. 3 61 John D. Brewer, Ethnography, (Philadelphia: Open University Press, 2000), h. 10
32
mengumpulkan data pada sebuah perilaku sistematik tetapi tanpa
perencanaan menjadi memaksakan pada mereka secara eksternal.
Peneliti dalam pendekatan etnografi ini terlibat langsung di dalamnya.
Meskipun tidak secara aktif berpartisipasi, peneliti hadi di tempat penelitian guna
mengamati dan mengambil makna-makna sosial yang ada. Penelitian yang
dilakukan saat ini memang tidak lama dalam pengambilan datanya. Namun peneliti
sudah sejak lama terlibat aktif dalam lingkungan penelitian sehingga makna-makna
sosial di dalam penelitian ini sudah bisa peneliti telusuri.
Pendekatan etnografi diterapkan pada penelitian ini dengan tujuan untuk
menemukan keterkaitan konteks dengan bahasa yang dituturkan. Wardaugh
menulis, bahwa etnografi berusaha memahami bagaimana perbedaan kelompok
dalam menggunakan bahasa mereka jika kita sampai memahami pemahaman yang
komperhensif terhadap bagaimana bahasa tersebut berhubungan dengan
masyarakat yang menggunakannya.62
Di samping itu, eratnya hubungan bahasa dan sosial menguatkan penggunaan
pendekatan etnografi dalam penelitian ini.
Unlike Chomsky, but like Rousseau, moreover, some linguists are beginning
to attend to a conception of linguistic structure as interdependent with social
circumstances, and as subject to human needs and evolutionary adaptation.
And like Rousseau, our image of the linguistic world, the standard by which
we judge the present situation, harks back to an earlier stage of human
society.63
Tidak seperti Chomsky, tetapi seperti Rousseau, tambahan lagi, beberapa ahli
bahasa menghadirkan konsep struktur linguistik sebagai hubungan saling
ketergantungan dengan peristiwa sosial, dan sebagai subjek terhadap
kebutuhan manusia dan adaptasi evolusi. Dan seperti Rousseau, gambaran
kita terhadap dunia linguistik, standarnya dengan apa yang kita hukumi
situasi saat ini berhubungan dengan sebuah tempat yang lebih dulu atas
masyarakat.
Pernyataan Rousseau mendukung kuat pendekatan etnografi untuk digunakan
dalam penelitian ini mengingat penelitian yang akan dilakukan ini berusaha
mengungkap hubungan bahasa dengan situasi sosialnya yang lebih dulu
62 Ronald Wardaugh, An Introduction to Sociolinguistics, (Oxford: Blackwell Publishing, 2006), h.
242 63 Dell Hymes, Ethnography, Linguistics, Narrative in Equality Toward Understanding to Voice,
(London: Taylor and Francis, 2004), h. 25
33
berkembang di tengah masyarakat. Pemilihan bahasa Jawa dalam pemaknaan kitab-
kitab sudah beratus tahun tetap bertahan digunakan sampai saat ini oleh kalangan
pesantren dalam setiap pengajian.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada 10-13 September 2017. Tempat yang
menjadi objek penelitian adalah Pesantren Buntet, Kecamatan Astanajapura,
Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Di Buntet Pesantren, terdapat lebih dari 50
pondok. Peneliti mengambil tiga sampel dengan batasan pilihan berdasarkan
metode pengajiannya, yakni pengajian metode sorogan di Pondok Pesantren Al-
Andalusia, metode bandungan di Pondok Pesantren Al-Muttaba’, dan metode
terpadu di Pondok Pesantren Darul Amanah.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah kiai dalam pengajian. Subjek dibatasi dengan
metode pengajian. Hal ini guna mendapatkan gambaran dari tiga metode yang
diterapkan dalam pengajian di Pesantren Buntet. Subjek metode sorogan dan
bandungan K.H. Ade Nasihul Umam. Sementara itu, subjek metode terpadu K.H.
Imaduddin Zaeni.
Pilihan keduanya karena sudah sangat berpengalaman dalam bidang tersebut.
Hampir seluruh pengajian yang diampu oleh K.H. Imaduddin Zaeni menggunakan
metode terpadu. Sementara itu, K.H. Ade Nasihul Umam sudah bertahun-tahun
mengajar dengan metode bandungan dan sorogan.
D. Teknik Pengumpulan Data
Sebagaimana yang diungkapkan Hancock, teknik pengumpulan data
kualitatif dapat ditempuh dengan tiga cara, yakni wawancara, kelompok fokus, dan
observasi.64 Pada penelitian ini, akan dilakukan dua teknik sekaligus, yakni
wawancara dan observasi.
Teknik wawancara peneliti tempuh guna menemukan alasan-alasan khusus
dari para responden dalam melakukan alih kode dan campur kode. Selain itu, teknik
64 Hancock, Op Cit, h. 9
34
ini juga diperlukan guna menggali lebih dalam tentang beberapa hal yang perlu
ditanyakan terkait pendapat santri mengenai metode-metode pengajian yang
diikutinya. Ini penting dilakukan mengingat metode kualitatif diperlukan gambaran
secara rinci mengenai hal yang ditelitinya. Karena penelitian ini bersifat subjektif,
peneliti merasa perlu untuk menggali subjektivitas subjek penelitian agar
mendapatkan data yang akurat guna analisis terbaik.
Adapun mengenai observasi, peneliti akan melakukan empat langkah, yakni
memberikan deskripsi tertulis, merekam baik audio maupun video, mentranskripsi,
dan memotret . Peneliti akan menggunakan semua cara dalam observasi kecuali
artefak.
1. Deskripsi tertulis
Peneliti akan menulis deskripsi dengan rinci mengenai peristiwa tuturan
pada pengajian di Pondok Buntet Pesantren dengan berbagai metodenya,
yakni metode bandungan, metode sorogan, dan metode terpadu. Di sini,
peneliti akan menggunakan metode SPEAKING yang dikemukakan Dell
Hymes agar dapat memberikan gambaran tertulis secara rinci.
2. Rekaman
Peneliti akan merekam peristiwa pengajian dengan menggunakan alat
perekam suara dari ponsel. Saat proses merekam itu, penulis juga menyimak
penjelasan responden dan memberikan catatan-catatan khusus. Perekaman ini
juga dilakukan pada saat wawancara agar dapat menyempurnakan catatan
tertulis.
3. Mentranskripsi
Setelah pengajian itu direkam, peneliti akan mentranskripsi hasil
rekaman yang telah dilakukan. Hal ini dilakukan agar data yang mulanya
berbentuk suara itu dapat dilihat perubahan-perubahannya.
4. Dokumentasi
Peneliti juga memotret peristiwa pengajian tersebut. Hal ini dilakukan
guna memberikan gambaran bentuk pengajian di sana.
35
E. Teknik Analisis Data
Pada analisis data, penelitian ini mengikuti pendapat Arikunto, bahwa
pekerjaan analisis data meliputi tiga langkah, yaitu (1) persiapan, (2) tabulasi, dan
(3) penerapan data sesuai dengan pendekatan penelitian.65
Pada persiapan, peneliti memilih beberapa data untuk digunakan sebagai
sampel. Selainnya, data dibiarkan saja. Hal ini dilakukan agar data dapat diolah
dengan baik pada tahapan selanjutnya.
Dalam langkah selanjutnya, peneliti mengklasifikasikan data sesuai dengan
instrumen penelitian yang telah dibuat. Peneliti akan menempatkan data pada tabel-
tabel sesuai dengan klasifikasinya masing-masing.
Terakhir, peneliti akan melakukan analisis terhadap data yang sudah
terklasifikasi itu dengan menggunakan pendekatan sosiolinguistik, yakni
pendekatan dengan yang meneliti objek dipandang dari sosial kemasyarakatan
pemakai bahasa.
65 S. Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998) h. 240, dikutip oleh Abdul
Kholiq, Roekhan dan Sunaryo, Campur Kode pada Naskah Pidato Presiden Republik Indonesia
Bapak Dr. Susilo Bambang Yudhoyono, (JPBSI Online, Universitas Negeri Malang, Malang,
2013), h. 5
36
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Profil Pondok Buntet Pesantren
Pesantren Buntet didirikan oleh Mufti Keraton Kanoman Mbah Muqoyyim
pada abad 18. Tidak ada yang mengetahui pastinya kapan. Ada yang menyebut
tahun 1758, ada pula yang menyebut 1785. Pastinya, pendirian Pondok Pesantren
Buntet itu setelah Mbah Muqoyyim keluar dari lingkungan keraton karena enggan
bersekutu dengan pihak kolonial. Sampai saat ini, Buntet Pesantren sudah
mengalami pergantian kepemimpinan selama delapan kali.
1. Mbah Muqoyyim
Buntet Pesantren sempat vakum beberapa tahun karena pondoknya
yang saat itu berada di Dukuh Dawansela Desa Buntet diketahui dan dibakar
oleh Belanda. Mbah Muqoyyim beberapa tahun berkelana ke berbagai kota,
di antaranya Pemalang dan Aceh. Beliau pulang kembali ke Cirebon setelah
diminta oleh pihak Belanda untuk mengatasi wabah penyakit yang sedang
menjangkiti masyarakat Cirebon saat itu dengan syarat pangeran santri,
penerus tahta Keraton Cirebon, itu dikembalikan dari pengasingannya.
Setelah itu, Mbah Muqoyyim kembali membangun pesantren sekitar 500
meter arah timur dari pondok sebelumnya, yakni Buntet Pesantren yang
sekarang.
2. Mbah Mutaad
Selepas Mbah Muqoyyim, Buntet dipimpin oleh menantu cucunya
yakni Mbah Mutaad. Beliau salah satu pasukan Pangeran Diponegoro.
Mbah Mutaad dipilih sebagai pengganti karena Mbah Muqoyyim tidak
memiliki seorang putra. Semua anaknya perempuan. Antara Mbah Mutaad
dan Pangeran Diponegoro memiliki hubungan kekerabatan erat. Keduanya
merupakan penganut tarekat Syatariyyah.
3. KH Abdul Jamil
Setelahnya, Buntet Pesantren dipimpin oleh putra kelima Mbah Mutaad
dari istrinya yang pertama, yakni KH Abdul Jamil. Ki Duljamil, begitu K.H.
Abdul Jamil disebut, dipilih karena kakaknya yang laki-laki telah keluar dari
37
pesantren Buntet untuk mengembangkan Pesantren Benda Kerep yang
terletak di pusat Kota Cirebon. Ki Duljamil mengasuh Buntet Pesantren
hingga wafatnya pada tahun 1918. Salah satu santri beliau adalah Pencipta
lambang Nahdlatul Ulama KH Ridwan Abdullah.
4. KH Abbas
Buntet Pesantren diteruskan oleh putra pertamanya KH Abbas Abdul
Jamil yang dikenal sebagai Singa Jawa Barat. Beliau adalah orang yang
dinanti kedatangannya oleh Rois Akbar Nahdlatul ulama Hadratussyaikh
KH Hasyim Asy’ari pada November 1945. Beliau didapuk oleh para kiai
untuk memimpin jalannya perang di hari yang kini dikenal sebagai Hari
Pahlawan itu. Pada tahun 1946, beliau berpulang. Di antara santri-santri
beliau adalah Menteri Agama 1959-1962 K.H. Wahib Wahab (putra
pertama KH Abdul Wahab Hasbullah) dan Ketua Komisi Fatwa MUI 1986-
2000 Prof. Dr. K.H. Ibrohim Hosen.
Kiai Abbas merupakan anak kedua dari istri kedua K.H. Abdul Jamil.
Anak pertamanya perempuan bernama Ny. Zamrud. Dipilihnya Kiai Abbas
ini atas isyarat dari K.H. Abdul Jamil pada saat salat jemaah di Masjid
Agung Buntet Pesantren. Ki Duljamil meminta putranya itu untuk menjadi
imam meskipun pada saat itu Ki Duljamil masih sugeng.66
Kiai Abbas mendirikan sekolah pertama pada tahun 1928, yakni
Madrasah Wathaniyah. Kecintaannya terhadap tanah air itu salah satunya
terbukti dari penamannya terhadap sekolah yang didirikannya. Sekolah
tersebut kini berubah menjadi Madrasah Ibtidaiyah Wathaniyah.
5. KH Mustahdi Abbas
Kepemimpinan Pesantren Buntet diteruskan oleh putra pertamanya,
yakni KH Mustahdi Abbas hingga tahun 1975. Banyak perkembangan yang
terjadi pada masa kiai yang sudah jadzab sejak kecil itu. Beliau mendirikan
Pendidikan Guru Agama (PGA) yang kemudian berubah menjadi Madrasah
Tsanawiyah berdasarkan SK menteri. Lalu berdiri pula Madrasah Aliyah
Agama Islam Negeri (MAAIN) Buntet Pesantren Cirebon. Madrasah
66 Kisah ini diceritakan oleh K.H. Ade Nasihul Umam setiap kali memberikan penjelasan tarikh
ta’sis ma’had, sejarah pendirian pondok, pada saat ziarah kubur dalam rangka Haul Almarhumin
Sesepuh dan Warga Pondok Buntet Pesantren.
38
tersebut berubah menjadi Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Buntet Pesantren
Cirebon. Saat ini berdasarkan keputusan Menteri Agama, MAN Buntet
Pesantren Cirebon berganti nama menjadi MAN 3 Kabupaten Cirebon.
6. KH Mustamid Abbas
Selanjutnya, Pesantren Buntet dipimpin oleh adiknya Kiai Mustahdi
Abbas, yakni KH Mustamid Abbas. Kiai Mustamid aktif sebagai anggota
Dewan Perwakilan Rakyat perwakilan golongan. Pendidikan formal pada
kepemimpinan Kiai Mustamid semakin berkembang dengan hadirnya
Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama (MANU) Putri pada tahun 1982 dan
Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama (MANU) Putra pada tahun berikutnya.
Lima tahun selepas MANU Putra berdiri, kiai yang juga pernah menjabat
sebagai Rais Syuriyah PWNU Jawa Barat itu pulang ke rahmatullah.
Di antara santri K.H. Mustamid Abbas adalah putra mendiang Ketua
MPR dan DPR KH Idham Chalid, yakni K.H. Saeful Hadi Chalid. Sejak
2012 lalu, ia menjabat sebagai direktur utama LKBN Antara.
Sejak masa K.H. Abdul Jamil hingga K.H. Mustamid Abbas, para santri
diberi kebebasan mengaji ke kiai mana saja. Para kiai mengajar sesuai
keahliannya masing-masing. Ada yang sepanjang hari hanya mengajar
Alquran. Ada pula yang mengajar dengan sistem bandungan. Beberapa kiai
juga hanya mengajar sorogan. Para santri bebas memilih mengaji Alquran
pada siapa, sorogan pada siapa, dan bandungan pada siapa dengan waktu
yang tinggal disesuaikan dengan pengajian lainnya.
7. KH Abdullah Abbas
KH Abdullah Abbas, adiknya, dipercaya untuk meneruskan
perjuangannya. Meskipun dikenal ahli dalam bidang politik karena
keaktifannya dulu berperang melawan penjajah dengan lobi-lobinya, KH
Abdullah Abbas enggan meneruskan kakaknya menjadi anggota dewan.
Beliau memilih untuk senantiasa bersama Nahdlatul Ulama dan Buntet
Pesantren. Kehadiran Akademi Keperawatan (Akper) Buntet Pesantren
pada tahun 1996 adalah buah kerja keras beliau. Kiai Dulah, begitu beliau
akrab dipanggil, dikenal sebagai tiga ‘Hamba Allah’ yang menjadi paku
bumi, selain KH Abdullah Faqih, Langitan, Tuban, Jawa Timur, dan KH
39
Abdullah Salam, Kajen, Pati, Jawa Tengah. Setelah dirawat lebih dari
sebulan di salah satu rumah sakit di Cirebon, Kiai Dulah mengembuskan
nafas terakhirnya pada hari Jumat pagi, 10 Agustus 2007 pada usia 86 tahun.
Buntet Pesantren saat itu menjadi lautan manusia. Ribuan orang ingin
memberikan penghormatan terakhir pada sosok yang begitu dekat dengan
masyarakat itu.
Pada masa kepemimpinan Mbah Dulah, para santri yang berasal dari
berbagai daerah di seluruh wilayah Nusantara itu mulai tinggal di rumah-
rumah kiai setelah pada masa sebelumnya, para santri tinggal di pondok-
pondok yang didirikan atas swadaya masyarakat dari kota tertentu. Selain
itu, ada pula yang tinggal di asrama besar (Asbes) yang menampung ratusan
santri tidak berbatas wilayah.
Saat ini, para santri lebih banyak menghabiskan waktunya di pondok
masing-masing. Mereka telah disediakan pengajian dengan sistem dirosah
dengan kurikulum yang ditetapkan sendiri oleh kiainya.
8. KH Nahduddin Abbas
Kepemimpinan Buntet Pesantren semenjak berpulangnya Kiai Dulah
hingga kini dipegang oleh adiknya yang sejak tahun 1958 menetap di
London, Inggris, yakni KH Nahduddin Royandi Abbas. Mbah Din, begitu
beliau akrab disapa, mendirikan SMK NU Mekanika pada tahun 2009.
Enam tahun berikutnya, Mbah Din mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu
Tarbiyah (STIT) Buntet Pesantren.
Pesantren Buntet berpusat di Desa Mertapada Kulon. Sebagian wilayah barat
masuk Desa Munjul dan sebagian wilayah utara masuk dalam Desa Buntet. Adapun
di sebelah selatan berbatasan langsung dengan Desa Sidamulya. Pesantren Buntet
diapit dua sungai yang bermuara ke laut utara Cirebon.
Buntet Pesantren saat ini dihuni oleh tiga ribuan santri dari berbagai penjuru
di Indonesia. Dua ribuan ‘santri kalong’ turut mengaji dan sekolah di lingkungan
pondok Buntet Pesantren yang berasal dari wilayah sekitar.
Saat ini, bahasa yang digunakan di Buntet Pesantren sudah semakin beragam.
Perkembangan teknologi menjadi salah satu faktor utama perubahan bahasa di
40
Buntet Pesantren. Selain itu, pergaulan masyarakat Buntet Pesantren yang cukup
luas juga memengaruhi penggunaan bahasa. Adanya kiai yang menjadi anggota
DPR RI, akrab dengan para pejabat tinggi di tingkatan pusat, dan banyaknya
masyarakat Buntet Pesantren yang melakukan urbanisasi, merantau ke ibu kota
menjadi beberapa faktor yang memengaruhi penggunaan bahasa di Buntet
Pesantren. Selain itu, faktor lain yang berpengaruh juga kemajemukan santri.
Masyarakat Buntet Pesantren terkadang melakukan penyesuaian dengan mereka,
sehingga berusaha menggunakan bahasa asal para santri tersebut, misal
memanggilnya dengan sebutan bang atau mas.
B. Hasil Analisis
1. Pengajian Sorogan
Pengajian ini dilaksanakan pada hari Rabu, 13 September 2017,
pukul 19.40 WIB bertempat di kediaman K.H. Ade Nasihul Umam, Buntet
Pesantren. Pengajian metode sorogan ini dilakukan malam hari setelah
Isya karena waktu tersebut merupakan waktu dirasah bagi setiap pondok
di Buntet Pesantren yang menggunakan sistem kelas. Pengajian ini
berlangsung begitu khidmat karena dua santri langsung berhadap-hadapan
dengan kiainya.
Dalam pengajian ini, ada dua pihak yang terlibat, yakni kiai sebagai
pemberi pengajian (penutur) dan santri yang mengajinya (kawan tutur).
Baik penutur, maupun kawan tutur, keduanya aktif. Penutur membaca,
kawan tutur mengikutinya. Bahkan, kawan tutur cenderung lebih aktif
mengingat mereka harus mengulangi beberapa kali bacaannya sampai
benar-benar lancar tanpa ada salah sedikitpun. Sementara kiai hanya
mengingatkan kesalahan mereka saja.
Meskipun anak kiai yang sudah sekolah ibtidaiyah itu turut
mendampingi Babahnya 67, tetapi tidak mengganggu jalannya pengajian.
Hal ini terlihat dari pengajian yang tidak tersendat, atau berhenti
dikarenakan kiai harus mengondisikan anaknya. Pengajian juga tidak
terganggu dengan tempatnya yang berada persis di samping jalan. Hal
67 Panggilan anaknya terhadap kiai.
41
tersebut karena suara kiai masih jelas terdengar meskipun ada motor yang
melaju pada jalan tersebut.
Kedua santri itu tinggal di Pondok Pesantren Al-Istiqomah, asuhan
adik ipar kiai yang mengajar pengajian ini. Jarak Pondok Pesantran Al-
Istiqomah dengan rumah kiai tempat mereka mengaji sangat dekat, sekitar
20 meter. Mereka berasal dari kota yang berbeda, satu orang berasal dari
Bekasi, sementara satu lagi berasal dari Cirebon. Keduanya telah tinggal
di Buntet Pesantren sejak masuk tsanawiyah hingga kini kelas XII aliyah.
Hasil yang diharapkan dari pengajian ini adalah rasa santri terhadap
susunan gramatika bahasa Arab dapat berkembang. Hal ini dilakukan
dengan cara santri tersebut membaca teks yang telah ia ulangi dari ucapan
kiainya itu berulang kali hingga benar-benar lancar, tanpa ada kesalahan
sedikit pun.
Pengajian ini hanya menggunakan dua bahasa, yakni bahasa Arab
dan bahasa Jawa. Bahasa Arab sebagai bahasa teks asli yang dibaca dan
bahasa Jawa sebagai bahasa penerjemahannya. Selain digunakan untuk
memaknai kata perkata, bahasa Jawa juga digunakan untuk menandai
tarkib atau fungsi gramatika bahasa Arabnya. Bahasa Indonesia tidak
digunakan karena dalam pengajian ini, kiai tidak memberikan penjelasan
atas maksud dari teks yang telah dibaca dan dimaknainya.
Suara kiai dalam pengajian ini sangat datar mengingat tidak perlu
ada penekanan khusus dalam bagian-bagian tertentu. Hal tersebut
dikarenakan tidak memerlukan penjelasan atas teks yang mereka kaji.
Pada pengajian ini, kiai tidak memegang kitab. Ia hanya membaca
dari kitab santrinya. Kiai juga tidak perlu menggunakan pengeras suara
karena santri yang dihadapi hanya berjumlah dua orang. Bahkan dalam
sorogan yang aslinya, santri dihadapi satu persatu secara personal. Tetapi
dalam hal ini, karena cuma dua orang, santri pun dihadapi semuanya secara
bersamaan. Meskipun begitu, santri tetap harus membaca seorang-seorang
agar diketahui letak kesalahannya sehingga kiai dapat memberikan
perbaikan kepada setiap santri sesuai dengan kekurangannya masing-
masing.
42
Dalam pengajian ini, kiai membaca teks kitab disertai maknanya.
Santri melihat teks kitab tersebut dan mengikuti ucapan kiai tanpa
membubuhi tanda apapun di atas teks yang dibacanya. Hal ini guna
mengasah daya ingat santri. Selain itu, penerapan demikian juga untuk
meningkatkan feeling santri terhadap tarkib atau susunan gramatika bahasa
Arab yang ia baca.
Pengajian ini berjenre sorogan. Disebut demikian karena santri
secara personal men-sorog-kan kitabnya kepada kiai.
Peralihan kode dalam pengajian metode sorogan hanya terjadi dari
bahasa Arab ke bahasa Jawa. Berikut kutipannya.
(1) Bismi (a)llahi (al-)rrahmȃni (al-)rrahȋm. Fașlun utawi iki
ikulah fasal. Wafuruḍu (a)l-ghusli [sic.].
Peristiwa peralihan ini terdapat pada permulaan pengajian. Lafal
basmalah (1) merupakan kalimat berbahasa Arab. Meski secara kasat mata
tidak terlihat sebagai sebuah kalimat yang utuh karena tidak jelas mana
subjek dan predikatnya, tetapi lafal basmalah tersebut mengandung
keduanya. Kiai biasa memaknai lafal tersebut dengan, ngawiti ngaji ingsun
kelawan maca bismillah, saya mengawali pengajian ini dengan membaca
basmalah. Dari sini terlihat, bahwa lafal basmalah tersebut sudah berupa
kalimat karena sejatinya, mengandung unsur subjek predikat, atau dalam
bahasa Arabnya mengandung unsur fiil dan fail yang keduanya tersimpan,
atau dikira-kirakan, begitu dalam kaidahnya. Peralihan ini berbentuk
kalimat.
Percampuran bahasa Arab ke dalam bahasa Jawa terjadi pada
pemaknaan. Seperti metode lainnya, pemaknaan menggunakan bahasa
dasar bahasa Jawa. Ada dua percampuran bahasa Arab ke dalam bahasa
Jawa, yakni berupa kata dan frasa.
(2) Fașlun | utawi iki ikulah fasal
(3) Al-niyyatu | suwiji niat.
(4) Wa (a)l-basyarati | lan kulit.
Kata fașlun (2) dalam hal ini ‘terlihat’ sebagai kata nomina yang
masuk pada struktur bahasa Jawa. Sengaja penulis memberi tanda petik
pada terlihat karena hal tersebut akan berbeda jika dikaji secara gramatikal
43
bahasa Arab. Fașlun pada asalnya hȃżȃ fașlun. Jika demikian, maka
kalimat di atas termasuk pada alih kode pada tataran klausa.
Al-niyyatu (3) merupakan kata nomina berbahasa Arab yang
berkedudukan sebagai subjek dalam struktur kalimat di atas. Adapun
predikatnya berupa klausa, suwiji niat. Senada dengan kutipan di atas, al-
niyyatu juga bisa tergolong alih kode klausa. Pasalnya, kata tersebut pada
asalnya bisa berupa klausa ahaduha al-niyyatu. Namun kata ahaduha itu
dibuang karena sudah maklum. Selain itu, bisa juga kata tersebut berasal
dari al-ula al-niyyatu, pertama niat. Melihat maknanya, kiai menyertakan
makna dari lafal al-ula yang terbuang.
Wa (a)l-basyarati (4) merupakan campur kode nomina berbahasa
Arab yang menduduki fungsi subjek dalam struktur bahasa Jawa.
Sementara itu, predikatnya adalah lan kulit.
Campur kode pada tingkatan kata dalam metode sorogan ini hanya
terjadi pada kategori nomina. Tidak ada campur kode pada kategori verba
ataupun lainnya.
Adapun percampuran kode dengan bentuk frasa terjadi dalam tiga
bentuk, yakni frasa nominal, frasa verbal, dan frasa preposisional.
(5) Wa faraiḍu (a)l-ghusli | lan utawi piro-piro fardune adus.
(6) Iku tsalatsatu asyyaa | telu piro-piro sewiji-wiji.
(7) Wa izalatu (al-)nnajasati | lan ngilangaken najis.
(8) Wa ȋsȏlu (a)l-mȃ’i | lan nekaaken banyu.
Kalimat-kalimat di atas merupakan bentuk percampuran frasa
nominal bahasa Arab ke dalam struktur bahasa Jawa. Wa faraidu (a)l-
ghusli (5) merupakan frasa nominal yang berfungsi sebagai subjek,
sedangkan predikatnya adalah frasa setelahnya, yakni lan utawi piro-piro
fardune adus.
Tsalatsatu asyyaa (6) merupakan frasa nominal yang masuk pada
struktur kalimat bahasa Jawa sebagai subjek dengan predikatnya berupa
frasa setelahnya, yakni telu piro-piro sewiji-wiji.
Wa izalatu (al-)nnajasati (7) merupakan frasa nominal bahasa Arab
yang menduduki fungsi subjek pada struktur bahasa Jawa dengan
predikatnya berupa frasa verbal berbahasa Jawa lan ngilangaken najis.
Ada perubahan kategori setelah diterjemahkan. Mulanya, dalam bahasa
44
Arab, izalatu, berkategori nomina. Namun, setelah dibahasajawakan,
ngilangaken, berubah menjadi verba. Hal ini bisa terjadi lantaran kata
izalatu merupakan bentuk masdar68dari azȃla.
Hal sama juga terjadi pada Wa ȋșȏlu (a)l-mȃ’i | lan nekaaken banyu
(8). Wa ȋsȏlu (a)l-mȃ’i (8) merupakan frasa nominal bahasa Arab yang
masuk pada tatanan gramatika bahasa Jawa. Meskipun dalam bahasa Arab
berupa frasa nominal, Wa ȋșȏlu (a)l-mȃ’i, tetapi ketika diterjemahkan ke
dalam bahasa Jawa berupa frasa verbal. Seperti kutipan di atas, hal ini
lantaran kata ȋșȏlu merupakan masdar dari kata awșala.
Selain frasa nominal, ada pula percampuran berupa frasa verbal dan
frasa preposisional. Keduanya terangkum dalam satu contoh berikut.
(9) In kȃnat | lamon ana opo najis. Iku ‘alȃ badanihi | ingatase
badane wong.
(10) ilȃ jamȋ’i (al-)ssya’ri | tumeka maring sekabehane rambut
Frasa In kȃnat (9) merupakan frasa verbal bahasa Arab yang
berfungsi sebagai subjek dalam struktur bahasa Jawa dan predikatnya
adalah lamon ana opo najis.
Sementara itu, frasa preposisional ‘alȃ badanihi (9) juga menduduki
fungsi yang sama, yakni subjek. Adapun predikatnya adalah ingatase
badane wong.
Frasa preposisional juga terdapat pada kalimat berikut, ilȃ jamȋ’i (al-
)ssya’ri | tumeka maring sekabehane rambut (10). ilȃ jamȋ’i (al-)ssya’ri
(10) merupakan subjek, sedangkan predikatnya tumeka maring
sekabehane rambut.
2. Pengajian Bandungan
Pengajian ini dilakukan di Pondok Pesantren Al-Muttaba’ Buntet
Pesantren Cirebon pada hari Selasa, 12 September 2017, bakda Subuh,
06.00-06.30 WIB. Suasana pengajian ini sangat khidmat meskipun diikuti
68 Masdar merupakan bentuk ketiga dari tasrif istilahi pada kitab al-Amtsilah al-Tașrifiyah karya
K.H. Ma’shum Ali. Definisi ini biasa disebutkan di pondok pesantren karena kitab yang
disebutkan di atas merupakan kitab dasar di pesantren untuk memahami morfologi bahasa Arab.
Selain itu, dengan merujuk pada kitab tersebut, santri dapat mengetahui langsung perubahan
bentuknya. Sementara itu, definisi ilmiah dari masdar, berdasarkan KBBI, adalah nomina yang
diturunkan dari akar verba dengan fleksi. Dalam istilah lain, masdar disebut dengan nomina verba
karena maknanya yang seperti kata kerja.
45
oleh puluhan santri, baik laki-laki maupun perempuan. Para santri sibuk
menuliskan makna-makna kata pada kitabnya masing-masing.
Bagi individu santri secara personal, pengajian ini cukup terganggu
dengan beberapa hal. Pertama, perihal waktu yang masih pagi. Sisa kantuk
semalam cukup mengganggu konsentrasi santri. Mereka biasanya tidur
pada waktu yang cukup malam, sedang sebelum Subuh sudah harus
bangun untuk berjamaah. Kedua, orang yang berlalu lalang di jalan, persis
di depan tempat mereka mengaji. Mereka bisa melihat orang-orang
tersebut secara langsung. Ketika suara langkah itu terdengar ataupun
orangnya terlihat, sontak perhatian bisa teralihkan. Secara tidak langsung,
pendengaran mereka fokus pada suara langkah kaki atau bahkan laju
motor, meskipun hanya berlangsung beberapa detik saja, tidak lagi fokus
pada keterangan kiai. Pun mata mereka yang tidak lagi fokus pada kitab
ataupun kiainya, tetapi pada orang lewat.
Ada dua pihak yang terlibat dalam pertuturan pengajian, yakni kiai
sebagai penutur dan santri sebagai kawan tutur. Penutur di sini berperan
aktif, sementara kawan tutur berperan pasif, hanya menjawab nggih (iya)
saja ketika ditanya perihal pemahaman mereka. Kiai yang mengajar adalah
K.H. Ade Nasihul Umam. Ia asli dari Buntet Pesantren Cirebon.
Sementara para santri berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Namun,
mayoritas mereka berasal dari wilayah Jabodetabek. Ada beberapa dari
daerah sekitar Cirebon, seperti Indramayu, Majalengka, Kuningan, Brebes
ataupun Tegal. Ada pula dari wilayah yang cukup jauh, yakni dari Nusa
Tenggara Timur.
Sementara itu, ends, hasil yang diharapkan, dalam pengajian ini
adalah pemahaman terhadap maksud dari teks-teks yang telah dibacakan
kiai. Bab yang disampaikan dalam pengajian bandungan saat penelitian
berlangsung adalah zakat. Maka, tentu saja santri diharapkan dapat
mengerti tentang zakat. Oleh karena itu, dalam menjelaskan maksud-
maksud tersebut, K.H. Ade Nasihul Umam menggunakan bahasa
Indonesia.
46
Pengajian ini menggunakan tiga bahasa, yakni bahasa Arab, bahasa
Jawa, dan bahasa Indonesia. Bahasa Arab digunakan karena sebagai teks
rujukan atau dasar argumen untuk menjelaskan. Sementara itu, bahasa
Jawa digunakan untuk memberikan makna dari setiap kata dalam teks
bahasa Arab yang dipelajari. Selain itu, bahasa Jawa juga digunakan untuk
memberikan makna-makna tarkib, fungsi gramatika bahasa Arab. Adapun
bahasa Indonesia digunakan saat memberikan penjelasan atas teks bahasa
Arab yang sudah dibaca dan dimaknai dengan bahasa Jawa. Begitulah
urutan tindakannya (act sequence).
Nada bicara kiai pada pengajian bandungan ini datar. Kiai tampak
begitu serius dengan penjelasannya. Hal tersebut berkaitan dengan
pembahasannya, yakni tentang zakat yang cukup rumit. Naik turun
nadanya bergantung pada kalimat yang diucapkan. Pada titik tertentu, kiai
juga memberikan penekanan sebagai bentuk penegasan.
Dalam pengajian ini, kiai menggunakan kitab Fathul Muin yang
bercetak jahitan, bukan korasan69. Kiai Ade menggunakan pengeras suara
karena banyaknya santri yang turut mengaji sehingga dibutuhkan volume
suara yang cukup keras agar terdengar sampai barisan santri paling
belakang.
Ada dua bentuk penyampaian dalam pengajian bandungan, yakni
kiai memberikan makna teks hingga selesai lebih dahulu, kemudian
dilanjutkan dengan penjelasan dan kiai memberikan makna sekaligus
langsung memberikan penjelasan. Namun pada pengajian yang penulis
teliti, kiai menggunakan model pertama. Pada tahap pemaknaan, kiai dan
santri fokus pada kitab masing-masing. Sementara, pada tahap penjelasan,
kiai mulai menyapukan pandangan kepada para santri, sementara para
santri ada yang memandang kiai, ada pula yang sibuk mencatat penjelasan.
Jenis (genre) pengajian ini adalah bandungan. Disebut bandungan
karena pengajian ini diikuti oleh banyak santri secara bersamaan.
69 Lembarannya terpisah dengan jilidnya.
47
Pengajian metode ini jika dilihat dari cara kiai memaknai kitabnya terdapat
dua macam, yakni kosongan dan penuh.70
Dalam pengajian bandungan kosongan, ada sebagian makna kata
yang tidak disampaikan. Biasanya, kata-kata yang sudah sangat familiar
atau nama tempat, seperti fȋ makkata. Frasa preposisional demikian kerap
kali tidak dimaknai sebab sudah sangat maklum, santri mengetahui
maknanya tanpa harus dimaknai lagi oleh kiai. Selain itu, kata-kata yang
tersimpan, tidak muncul teksnya dalam kitab, juga kerap kali dilewat
dalam pengajian bandungan kosongan ini. Hal ini biasanya terdapat pada
predikat yang berupa frasa preposisional atau frasa adverbial, seperti lafal
al-hamdu lillȃhi. Kata al-hamdu berfungsi sebagai subjek, sedangkan
lillȃhi adalah predikatnya. Kata lillȃhi merupakan predikat yang berkelas
frasa preposisional. Al-Imam Muhammad ibnu Malik dalam magnum
opusnya al-Alfiyyah li ibn Malik, tepatnya pada Bab al-Ibtida, menulis wa
akhbaru bi ẓarfin aw bi harfi jarrin, nȃwȋna ma’na kȃinin aw istaqarra,
berilah khabar (predikat) dengan zaraf (frasa adverbial) atau dengan huruf
jar (frasa preposisional) dengan maksud menyimpan makna lafal kȃinun
(tetap) atau istaqarra (tetap). Merujuk pada kaidah tersebut, jika predikat
terdiri dari frasa preposisional (harf jarr) atau frasa adverbial (ẓarf), maka
menyimpan makna tetap (kȃinun bentuk nomina atau istaqarra bentuk
verba). Oleh karena itu, jika mengikuti pengajian bandungan kosongan,
kata tetap tidak akan disampaikan oleh kiai. Kiai akan memaknainya
sebagai berikut, al-hamdu | utawi sekabehane puji, iku lillahi | kagungane
Gusti Allah. Pelesapan kata tetap karena mengikuti pelesapan dalam
bahasa Arabnya. Meskipun kata tersebut tidak disampaikan, makan
asalnya tidak akan berubah.
Lain halnya jika mengikuti pengajian bandungan penuh, maka
makna akan disampaikan secara penuh tanpa ada yang dilewat, sekalipun
kata yang sudah maklum dan lafalnya tersimpan. Jika contoh di atas
dimaknai pada pengajian bandungan penuh, maka kata lillahi akan
70 Wawancara dengan K.H. Ade Nasihul Umam pada Selasa, 12 September 2017, pukul 20.00 di
kediamannya, di Pondok Pesantren Al-Andalucia Buntet Pesantren, Ds. Mertapada Kulon, Kec.
Asatanajapura, Kab. Cirebon.
48
dimaknai, iku lillahi tetep kagungane Gusti Allah atau iku tetep lillahi
kagungane Gusti Allah. Kata tetep itu akan disampaikan oleh kiai demi
menjaga makna aslinya.
Pengajian metode bandungan jika dilihat dari waktu pelaksanaannya
pun akan dibagi menjadi dua macam, yakni pengajian bandungan harian
dan pengajian bandungan pasaran.71
Pengajian bandungan harian dilakukan pada hari-hari biasa, baik
dilakukan setiap hari kecuali libur pekan, maupun seminggu sekali. Kiai
dalam pengajian model ini akan memberikan penjelasan secara rinci agar
teks yang dibaca dapat dipahami dengan baik oleh para santri.
Adapun pengajian bandungan pasaran dilakukan hanya pada bulan
Ramadan. Pengajian ini disebut juga posonan, puasaan, karena digelar di
bulan puasa. Dalam pengajian ini, kiai tidak memberikan penjelasan yang
komprehensif, atau bahkan tidak memberikan penjelasan sama sekali. Hal
ini disebabkan adanya target selesai pada tanggal tertentu. Sering kali, kiai
membacakan kitab-kitab yang berukuran tebal atau kitab-kitab besar
karena kitab-kitab standard sudah dibaca dalam keseharian, selain di bulan
Ramadan.
Dalam pengajian bandungan pasaran, ada dua motif santri
mengikutinya, yakni karena ingin ngalap berkah kiainya ataupun karena
ingin mengejar kitab-kitab yang belum pernah santri tersebut pelajari
sebelumnya. Dalam pengajian ini, santri akan lebih banyak menandai
fungsi kalimat dan memaknai kata-kata yang asing, baru kali itu santri
tersebut mendengarnya.
Dalam pengajian ini, terdapat pelbagai macam peralihan kode, yakni
bahasa Jawa ke bahasa Indonesia, bahasa Indonesia ke bahasa Jawa,
bahasa Indonesia ke bahasa Arab, bahasa Arab ke bahasa Indonesia,
bahasa Arab ke bahasa Jawa, dan bahasa Jawa ke bahasa Arab.
Berikut beberapa temuan peralihan kode dari bahasa Jawa ke bahasa
Indonesia.
71 Wawancara dengan K.H. Ade Nasihul Umam pada Selasa, 12 September 2017, pukul 20.00 di
kediamannya, di Pondok Pesantren Al-Andalucia Buntet Pesantren, Ds. Mertapada Kulon, Kec.
Asatanajapura, Kab. Cirebon.
49
(11) ... lan wong kang nyerahaken. Dalam masalah zakat,
disyaratkan harus ada niat dari orang yang mau menyerahkan
zakatnya.
(12) Ngertos nopo boten? Kemudian juga, lȃ muqoronatuha li al-
daf’i, seperti niat-niat yang lain bahwasanya niat dalam suatu
ibadah itu kan ada keharusan muqȃranah, makanya
definisinya kan qașdu syay’in muqtaranan bifi’lihi.
(13) Ngertos nopo boten?Yang penting bal takfi inda azli aw iqṭa’i
wakilin, yang penting ketika kamu memisahkan atau
menyiapkan barang yang mau dizakati di situ sudah diniati
atau diniati ketika kamu menyerahkan kepada wakil kepada
orang yang mau menyerahkan zakat tersebut.
(14) Ngertos nopo boten?Jadi yang menyerahkan itu tidak mesti
harus mengatakan kalimat zakat.
(15) Ngertos nopo boten? Ngertos nopo boten? Lah ini.
(16) Ngertos nopo boten? Ngertos nopo boten? Ya jadi seperti itu.
(17) Nggih nopo boten? Makanya, apa namanya, tidak perlu
mengucapkan “Pak, pak kiai, ini zakat saya,” seumpama.
(18) Nggih nopo boten? Itu berarti boleh kalau yang seperti itu.
(19) Niat apa jeh? Puasa Ramaḍan.
(20) Tașaddaq sodaqoha sira bihȃżȃ kelawan ikilah harta. Kalau
seumpama ada orang yang memberikan zakat tersebut dan dia
mengatakannya bukan bahasanya zakat tapi mengatakan
bahwa tolong sodaqohkan harta ini kepada orang lain.
Peralihan dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia dalam pengajian
kitab bandungan ini terdapat 10 peristiwa. Peristiwa peralihan pertama
terjadi saat perpindahan dari memaknai kitab ke menjelaskan maksud dari
kalimat yang kiai baca. Hal ini bisa dilihat di bagian (11). ... lan wong kang
nyerahaken itu kiai saat memaknai. Setelahnya, kiai langsung
mengalihkan bahasanya ke bahasa Indonesia untuk menjelaskan maksud
atau pemahaman terhadap teks-teks yang telah dibaca, yakni Dalam
masalah zakat, disyaratkan harus ada niat dari orang yang mau
menyerahkan zakatnya.
Selanjutnya, pada bagian (12) hingga (18), peralihan dari bahasa
Jawa ke bahasa Indonesia itu terjadi setelah kiai bertanya mengenai
penyampaiannya yang sudah diterima atau belum. “Nggih nopo boten?”
ataupun “Ngertos nopo boten?” merupakan pertanyaan guna mengetahui
penjelasan yang telah diberikan oleh kiai tersebut apakah sudah diterima
atau belum. Tetapi, meskipun santri tidak mengerti, santri tetap akan
menjawab dengan nggih, ya. Oleh karena itu, penulis melihatnya,
50
pertanyaan tersebut sebenarnya tidak sedang benar-benar bertanya
mengenai penjelasan, melainkan untuk mengetahui apakah santri sungguh
sedang menyimak penjelasannya atau tidak. Pertanyaan ini bahkan diulang
hingga dua kali guna memastikan suara jawaban itu bulat. Sepertinya,
tidak akan pernah terdengar jawaban boten (tidak) dari para santri.
Peralihan itu terjadi karena kiai kembali menjelaskan maksud-
maksud dari teks yang ia baca atau menegaskan penjelasan dengan
menggunakan kalimat seperti lah ini (15), ya jadi seperti itu (16), itu
berarti boleh (18).
Adapun bagian (19) pada dasarnya sama dengan sebelumnya. Hanya
konteksnya saja yang berbeda sehingga pertanyaan yang keluar itu guna
menegaskan hal yang baru saja dijelaskan. Sementara pertanyaan nggih
nopo boten? itu ditujukan untuk keseluruhan. Jika hanya niat apa? saja
tanpa jeh, bisa tidak tergolong alih kode, karena bahasa Indonesia pun
demikian. Tetapi partikel jeh muncul. Partikel tersebut hanya ada pada
bahasa Jawa dialek Cirebon sehingga menyebabkan peristiwa alih kode
dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia.
Partikel tersebut memiliki beragam makna tergantung posisi dalam
kalimatnya. Jika dalam kalimat tanya seperti pada bagian (19) tersebut,
partikel tersebut bisa bermakna katanya. Partikel tersebut juga bisa saja
tidak dimaknai apa-apa, melainkan hanya untuk menegaskan pertanyaan
saja.
Adapun bagian terakhir (20) itu terjadi karena pemaknaan ulang.
Sebelumnya, kiai merasa salah membaca, hingga akhirnya ia memutuskan
untuk memaknai ulang kalimat tersebut.
Ada pula peralihan dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa. Ini terjadi
ketika kiai memastikan penyampainnya diterima dengan baik atau tidak.
(21) Ketika dia mengeluarkan zakat itu dia sudah ta’yȋn, sudah
menentukan bahwasanya beras yang saya bawa ini adalah
merupakan za? Merupakan zakatnya. Ngertos nopo boten?
51
(22) Dan ketika si wakil itu memberikan kepada orang lain yang
saya tuju, tidak perlu mengatakan ini zakatnya babah
(panggilan santri kepada dirinya), ini zakatnya. “Ini dari
babah” ini sudah cukup. Ngertos nopo boten?
(23) Tidak harus bersaman dengan proses menyerahkan zakat
tersebut atau memberikan zakat tersebut kepada orang? Orang
lain. Ngertos nopo boten?
(24) Yang pertama adalah niat puasa Ramadan. Niat apa jeh?
(25) Tapi yang penting, yang mengeluarkan zakat ini sudah
memberikan kalimat atau sudah menentukan bahwa harta yang
mau diberikan itu adalah merupakan zakatnya. Ngertos nopo
boten?
(26) Ya sudah kalau begitu, silakan buat kamu sebagai zakat saya.
Nggih nopo boten?
(27) Ini gak boleh. Ngertos nopo boten?
(28) Harus niat, niat dikeluarkan apakah itu langsung diberikan
kepada mustahiknya atau ya diserahkan kepada orang lain
untuk memberikan menyampaikan kepada mustahik zakat
tersebut, ya sudah harus diniati. Ngertos nopo boten?
(29) Ada yang memberikan makna ada sebagai pembersih. Nggih
nopo boten?
(30) Untuk menyamarkan jangan sampai memberikan kalimat
zakat kepada terutama orang-orang yang sangat kita hormati.
Ngertos nopo boten?
(31) Atau tashaddaq, tadi maaf, tașaddaq sodaqoha sira bihȃżȃ
kelawan ikilah harta.
Seluruh peristiwa peralihan dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa
dapat dipastikan terjadi saat kiai memberikan penjelasan atau pemahaman
terhadap teks-teks yang telah ia baca. Kiai memastikan penyampaiannya
itu sudah dapat dipahami atau belum dengan menggunakan bahasa Jawa,
ngertos nopo boten? yang berarti paham tidak? Setelah sebelumnya
menjelaskan pemahaman terhadap kalimat dari kitab yang telah ia baca
dengan menggunakan bahasa Indonesia. Selain untuk memastikan
pemahaman yang selalu saja dijawab sudah mengerti, nggih, pertanyaan
tersebut juga sebenarnya kiai gunakan untuk memastikan para santrinya
menyimak. Dari suara jawaban yang terdengar, kiai dapat memperkirakan
santrinya sudah menyimaknya atau belum. Atau lebih tepatnya, untuk
mengingatkan santri agar terus bersamanya, memahami kitab yang tengah
dikaji. Pemahaman demikian bisa didapat ditengarai dengan adanya
pengulangan pertanyaan yang sama. Fungsinya tentu saja untuk
menegaskan.
52
Peralihan kode juga terjadi dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia,
yakni pada beberapa kutipan berikut.
(32) Dan niatnya pun tidak terlalu banyak, cukup dengan contoh
hȃżȃ zakȃtun, ini zakat.
(33) Seperti menggunakan hȃżihi șadaqatun mafruḍatun, ini
adalah sodaqoh wajib saya.
(34) Seperti hȃżȃ zakȃtȋ. Ini tidak mesti atau saya bahasakan tidak
perlu untuk diucapkan lagi.
(35) Kemudian juga, lȃ muqoronatuha li al-daf’i, seperti niat-niat
yang lain bahwasanya niat dalam suatu ibadah itu kan ada
keharusan muqȃranah, makanya definisinya kan qașdu
syay’in muqtaranan bifi’lihi.
(36) Yang penting bal takfi inda azli aw iqṭa’i wakilin, yang penting
ketika kamu memisahkan atau menyiapkan barang yang mau
dizakati di situ sudah diniati atau diniati ketika kamu
menyerahkan kepada wakil kepada orang yang mau
menyerahkan zakat tersebut.
(37) Walaw qȃla lighairihi tașaddaqa bihȃżȃ. Tsumma nawȃ (al)-
zzakȃta qabla tașadduqihi biżȃlika ajzaahu. Atau tashaddaq,
tadi maaf, tașaddaq sodaqoha sira bihȃżȃ kelawan ikilah harta.
(38) Tsumma nawa (al-)zzakata qabla tașadduqihi bidzalika,
ajzaahu. Namun setelah atau sebelum benda tersebut
dishadaqohkan lalu dia niat bahwa shdaqoh yang dimaksud itu
adalah zakat manka ini sudah bisa menjadi sah niat zakatnya.
(39) Berbeda dengan law qȃla liakhor iqbiḍ daynȋ min fulan
wahuwa laka zakatun. Iqbidl dayni min fulan wahuwa laka
zakatun lam yakfi hatta yanwiya huwa bakda qobḍihi. Berbeda
dengan seumpama kamu disuruh oleh saya untuk menagih
hutang kepada orang yang punya hutang kepada saya,...
(40) Lam yakfi hatta yanwiya huwa bakda qabḍihi tsumma
ya’dzana lahu fi akhżiha. Artinya dia boleh untuk
mengambilnya dan itu adalah dia berikan sebagai zakat dari
dirinya.
(41) Wa afta ba’ḍuhum anna (al-)ttawkila almuṭlaqa fȋ ikhrȃjihȃ
yastalzimu (al-)ttawkil fȋ niyyatihȃ. Orang yang diwakili atau
mewakili seseorang untuk mengeluarkan zakat ini juga
diperlukan untuk niat.
(42) ... walaupun ada niat yang secara bagus, nawaitu an ukhrija
zakȃtal fiṭri ‘an nafsȋ farḍan lillahi ta’ȃlȃ. Lah kalau
seumpama orangnya tidak ada, ya, makanya dia harus tawkil
kepada yang mau mengeluarkan zakatnya.
(43) Contohnya, “hȃżȃ zakȃtu fiṭri ibnȋ, ini zakat fitrah anak saya,
namanya ini,” udah.
(44) Qȃla syaikhunȃ wa fihina bal muttajid annahu lȃ budda min
niyyati (a)l-mȃlik aw tafwiḍihȃ li (a)l-wakil. Artinya yang
penting itu pemilik harta ketika mau mengeluarkan zakatnya
maka malikul mal harus apa?
53
Kiai, dalam bagian (32), mencontohkan salah satu niat zakat
menggunakan bahasa Arab, yakni hȃżȃ zakȃtun. Meskipun hanya terdiri
dari dua kata, tetapi dua kata tersebut sudah tergolong kalimat karena
memiliki unsur predikatif. Kalimat tersebut juga memiliki fungsi khusus,
yakni sebagai niat zakat, untuk menunjukkan bahwa benda yang sedang
dipegangnya yang ditunjuk oleh kata tunjuk (isim isyarah) , ini, merupakan
benda yang menjadi zakat. Hal yang sama juga terjadi pada kutipan (33).
Begitupun pada kutipan (34).
Peralihan pada kutipan (35) terjadi pada saat kiai mengutip kalimat
dari kitab, lȃ muqoronatuha li al-daf’i, untuk menjelaskan kalimat yang ia
kutip. Setelah mengutip kalimat tersebut, kiai menjelaskan maksud
kutipannya.
Kiai mengutip sebuah kalimat dari kitab, bal takfi inda azli aw iqṭa’i
wakilin, pada kutipan (36) untuk menunjukkan dalil kepentingan yang
disebut sebelumnya, yang penting. Kutipan tersebut sudah tergolong
kalimat karena sudah memiliki unsur predikatif.
Seperti penjelasan sebelumnya, peralihan pada kutipan (37) pun
sama peristiwanya, yakni kiai mengutip kalimat dari kitab. Kutipan (37)
bahkan lebih dari satu kalimat, Walaw qȃla lighairihi tașaddaqa bihȃżȃ.
Tsumma nawȃ (al)-zzakȃta qabla tașadduqihi biżȃlika ajzaahu.
Kalimat bahasa Arab terakhir pada kutipan (37) dibacakan kembali
oleh kiai pada kutipan (38) untuk menjelaskannya, Tsumma nawa (al-
)zzakata qabla tașadduqihi bidzalika, ajzaahu. Ada kemungkinan kiai
lupa, bahwa tadi sudah ia baca sehingga ia mengulangi bacaannya
kembali. Kemungkinan lainnya, kiai mengulangi bacaan yang sama
tersebut guna menegaskan, bahwa penjelasan yang akan disampaikan itu
seputar kalimat yang baru saja ia baca.
Kiai mengutip kalimat dari kitab, law qȃla liakhor iqbiḍ daynȋ min
fulan wahuwa laka zakatun. Iqbidl dayni min fulan wahuwa laka zakatun
lam yakfi hatta yanwiya huwa bakda qobḍihi, pada kutipan (39), untuk
54
menegaskan perbedaan antara hal yang akan disampaikan dengan hal yang
telah disampaikan.
Sebelum menjelaskan, seperti biasanya kiai mengutip kalimat dari
kitab lebih dahulu untuk menunjukkan, bahwa kalimat itulah yang sedang
dijelaskan olehnya. Berikut kalimat yang kiai kutip pada kutipan (40), Lam
yakfi hatta yanwiya huwa bakda qabḍihi tsumma ya’dzana lahu fi akhżiha.
Setelah itu, ia langsung menjelaskan. Meskipun ia mengatakan, artinya,
tetapi, yang ia maksud bukan arti secara alih bahasa, melainkan maksud
dari kalimat tersebut.
Hal sama juga terjadi pada kutipan (41), Wa afta ba’ḍuhum anna (al-
)ttawkila almuṭlaqa fȋ ikhrȃjihȃ yastalzimu (al-)ttawkil fȋ niyyatihȃ. Kiai
mengutip kalimat tersebut, lalu menjelaskan maksudnya dengan bahasa
Indonesia.
Berbeda dengan sebelumnya, kutipan (42), nawaitu an ukhrija
zakȃtal fiṭri ‘an nafsȋ farḍan lillahi ta’ȃlȃ, ini bukan kutipan dari kitab.
Kiai mengucapkan kalimat tersebut sebagai salah satu contoh niat zakat
fitrah. Niat zakat yang ditunjukkan pada kutipan (42) itu niat zakat fitrah
yang paling sempurna atau paling lengkap. Setelah itu, ia menjelaskan
kembali maksud dari kutipan kitab yang telah ia ucapkan sebelumnya.
Niat yang kurang lengkap pun ia utarakan pada kutipan selanjutnya
(43), hȃżȃ zakȃtu fiṭri ibnȋ. Setelah mengucapkan contoh kalimat niat zakat
fitrah untuk anaknya itu, ia menerjemahkannya. Peralihan dari bahasa
Arab ke bahasa Indonesia karena penerjemahannya.
Adapun peristiwa peralihan pada kutipan (44), Qȃla syaikhunȃ wa
fihina bal muttajid annahu lȃ budda min niyyati (a)l-mȃlik aw tafwiḍihȃ li
(a)l-wakil, sama seperti sebelum-sebelumnya. Peralihan dari bahasa Arab
ke bahasa Indonesianya karena untuk menjelaskan kalimat bahasa Arab
yang diucapkan sebelumnya oleh kiai.
Alih kode dalam pengajian ini juga terjadi dari bahasa Indonesia ke
bahasa Arab. Hal ini dibuktikan dengan beberapa kalimat di bawah ini.
55
(45) Dan niatnya pun tidak terlalu banyak, cukup dengan contoh
hȃżȃ zakȃtun, ini zakat.
(46) Seperti menggunakan hȃżihi șadaqatun mafruḍatun, ini
adalah sodaqoh wajib saya.
(47) Yang penting bal takfi inda azli aw iqṭa’i wakilin, yang
penting ketika kamu memisahkan atau menyiapkan barang
yang mau dizakati di situ sudah diniati atau diniati ketika kamu
menyerahkan kepada wakil kepada orang yang mau
menyerahkan zakat tersebut.
(48) Untuk membarengkan niat zakat kepada orang lain karena
memang orang yang diberikan zakatnya itu bisa karena
rumahnya atau pun yang tertuju itu tidak serumah dengannya
ataupun yang lainnya. Walaw qȃla lighairihi tașaddaqa
bihȃżȃ. Tsumma nawȃ (al)-zzakȃta qabla tașadduqihi biżȃlika
ajzaahu.
(49) Ini boleh tidak? Lah ini. Lihat! Tsumma nawa (al-)zzakata
qabla tașadduqihi bidzalika, ajzaahu.
(50) Berbeda dengan law qȃla liakhor iqbiḍ daynȋ min fulan
wahuwa laka zakatun. Iqbidl dayni min fulan wahuwa laka
zakatun lam yakfi hatta yanwiya huwa bakda qobḍihi.
(51) Itu berarti boleh kalau yang seperti itu. Lam yakfi hatta
yanwiya huwa bakda qabḍihi tsumma ya’dzana lahu fi
akhżiha.
(52) Artinya dia boleh untuk mengambilnya dan itu adalah dia
berikan sebagai zakat dari dirinya. Wa afta ba’ḍuhum anna
(al-)ttawkila almuṭlaqa fȋ ikhrȃjihȃ yastalzimu (al-)ttawkil fȋ
niyyatihȃ.
(53) Makanya kalau di Buntet Pesantren, zakat yang fitrah itu
supaya tahqiq, maka orang yang niat itu sambil memegang
berasnya lalu dia mengucapkan niat, walaupun ada niat yang
secara bagus, nawaitu an ukhrija zakȃtal fiṭri ‘an nafsȋ farḍan
lillahi ta’ȃlȃ.
(54) Contohnya, “hȃżȃ zakȃtu fiṭri ibnȋ
(55) Lah ini. Qȃla syaikhunȃ wa fihina bal muttajid annahu lȃ
budda min niyyati (a)l-mȃlik aw tafwiḍihȃ li (a)l-wakil.
Peralihan dari bahasa Indonesia ke bahasa Arab pada kutipan (45)
terjadi karena kiai perlu memberikan contoh niat zakat bahasa Arab, hȃżȃ
zakȃtun. Hal ini pun terjadi pada kutipan (46), (53), dan (54). Ketiga niat
tersebut tentu sudah memenuhi syarat untuk disebut sebagai sebuah
kalimat. Perbedaannya hanya pada bentuk lafal niatnya.
Pada kutipan (47), kiai mengucapkan kalimat bahasa Arab dari teks
kitab yang sebelumnya telah ia maknai. Peralihannya disebabkan untuk
56
memberikan batasan, bahwa penjelasan yang akan ia sampaikan hanya
berkutat sampai teks yang ia baca, tidak melebar ke hal selanjutnya.
Kiai mengutip Walaw qȃla lighairihi tașaddaqa bihȃżȃ. Tsumma
nawȃ (al)-zzakȃta qabla tașadduqihi biżȃlika ajzaahu pada kutipan (48).
Peralihan dari bahasa Indonesia ke bahasa Arab pada kutipan (48) itu
karena adanya peralihan pembahasan. Tandanya kiai mengutip kalimat
bahasa Arab dari teks lagi guna membatasi ulang penjelasan selanjutnya.
Hal ini pula menandai, bahwa penjelasan atas kalimat bahasa Arab yang
sebelumnya telah kiai baca itu selesai. Hal ini pun terjadi pada kutipan
(49), (50), (51), (52), dan (55).
Dalam pengajian ini juga terjadi alih kode dari bahaasa Jawa ke
bahasa Arab. Berikut kalimat-kalimatnya.
(56) Ngertos nopo boten? Wa qabla al-tafarruqoti li’usri
(i)qtirȃnihȃ biadȃi kulli mustahiqqin.
(57) Ngertos nopo boten? Wa jȃza likullin min (al-)syarikaini.
Tsumma qȃla, wallȃhu a’lam bi (al-)șawab.
Peralihan bahasa Jawa ke bahasa Arab ini terjadi dua kali. Keduanya
memiliki kesamaan peristiwa. Awalnya kiai menanyakan apakah santri
sudah paham, ngertos nopo boten? setelah santri menjawab, Kiai Ade
menyebutkan teks kitab yang akan dijelaskannya. Jadi, peristiwa peralihan
tersebut juga sebagai tanda peralihan pembahasan.
Alih kode juga terjadi dari bahasa Arab ke bahasa Jawa. Hal ini dapat
dilihat pada kalimat di bawah ini.
(58) Wa syuriṭo lahȗ niyyatun kahȃdza zakȃtun aw shadaqatun
mafruḍatun Wa syuriṭa | lan disyarataken. Lahȗ | kaduwe
nekaakaen zakat.
Kiai mengutip teks kalimat secara utuh lebih dulu, Wa syuriṭo lahȗ
niyyatun kahȃdza zakȃtun aw shadaqatun mafruḍatun (58). Setelah itu, ia
baru memaknai tiap kata dan frasanya dengan menggunakan bahasa Jawa.
Campur Kode bahasa Arab ke bahasa Jawa terdapat pada kutipan
berikut.
(59) Wa syuriṭa lan disyarataken. Lahȗ kaduwe nekaakaen zakat.
Opo niyyatun niat. Kahȃdza zakȃtun kaya lafadz ‘hȃdza
zakatun’. Hȃdza utawi ikilah harta. Iku zakȃtun zakat. Aw
shadaqotun atawa shadaqah. Mafrȗḍatun kang difarduaken.
57
(60) Lȃ muqȃranatuhȃ | ora barengaken niat zakat. Liddaf’i |
maring nyerahaken zakat. Bal takfȋ | balik cukup opo niat. Bal
takfi | balik cukup opo niat. ‘Inda ‘azri qadri al-zakȃti |
nalikane nyopot kira-kirane zakat. Aw iqṭȃ’i wakilin | atawa
olihe nyerahaken wakil. Aw bakda ahadihimȃ | atawa ing
dalem sawise salah sijine azri qadrizzakȃti aw tawkil.
(61) Waqabla al-tafarruqati | lan ingdalem sawise72 [sic] pisah.
Bi’usri (i)qtirȃnihȃ | karena angele barengaken niat. Biadȃi
kulli mustahiqqin | kelawan nekani saben-saben wong kang
ngehaki zakat.
(62) Walaw qȃla | lan lamon ngucap sopo wong. Lighairihi |
maring liyane wong. Ngucapaken tașaddaqa bihȃdza,
tashaddaqa | shadaqoh sopo wong, bihȃdza | kelawan ikilah
harta. Tsumma nawȃ | mangka kari-kari niat sopo wong. Al-
zakȃta | ing zakat. Qabla tașadduqihi | ingdalem sakdurunge |
shadaqohe wong. Biżȃlika | kelawan mengkono-mengkono
ucapan hȃdza. Ajzaahu | mangka nyukupi opo hȃża ing si
uwong. ‘An(i) al-zakȃti | saking zakat.
(63) Tapi walaw qȃla | lan lamon ngucap sopo wong. Liakhara |
maring wong liyan. Maqul qaule iqbiḍ baynȋ min fulȃnin,
iqbidl | nampanana sira, daini | ing utang isun, min fulȃnin |
saking fulan. Wahuwa | utawi daini. Iku [sic] laka kaduwe
sira. Wahuwa | lan utawi daini. Laka | kaduwe sira. Iku
zakȃtun | zakat. Lam takfi | maka ora nyukupi | opo ucapan
iqbiḍ daini. Hattȃ yanwiya | sehingga niat sopo wong. Ay
huwa | tegese wong. Bakda qabḍihi | ingdalem sawise
nerimane akhoro ing daini.
(64) Tsumma ya’dzana | mangka kari-kari ngidzini sopo wong,
lahu | maring akhor, fi akhdziha | ingdalem ngalap zakat.
Waaftȃ | lan maringi fatwa. Sopo ba’ḍuhum | sebagiane
ulama. Anna al-tawkȋla | ing setuhune wakilaken. Al-muṭlaqa
| kang mutlak. Fȋ ikhrȃjihȃ | ing dalem ngetoaken zakat. Iku
yastalzimu | wajibaken sopo attawkil. Al-tawkila | ing
wakilaken. Fi niyyatihȃ | ing dalem niat zakat.
(65) Qȃla | wis dawuh. Sopo syaikhunȃ | guru kita. Wa fȋhi |
nyatane lafadz wa fihi. Wa fȋhi | lan iku tetap ingdalem ‘afta
ba’ḍuhum al-ifta’, naẓrun | utawi pandangan, naẓrun | utawi
wicoro, bal(i) (a)l-muttajihu | balik utawi kaul kang
diwajahaken. Iku annahu | setuhune kelakuan, iku lȃ budda |
ora kena ora, min niyyati (a)l-mȃliki | saking niate wong kang
miliki harta. Aw tafwiḍiha | atawa nyerahaken ‘niyatu (a)l-
malik, li (a)l-wakili | maring wakil.
(66) Wa qȃla | lan wis dawuh, sopo al-Mutawalli | Imam al-
Mutawalli, wa ghairuhu | lan liyane al-Mutawalli. Dawuhe,
yata’ayyanu | dadi nyata, dadi tertentu, opo niyyatu (a)l-wakȋli
| niat wakil, iżȃ waqa’a | nalikane tumiba, opo farḍun | fardu,
72 Harusnya, maknanya sedurunge.
58
bimȃlihi | kelawan hartane wakil. Bian qȃla | kelawan yenta
ngucap, lahu | maring wakil, sopo muwakkiluhu | wong kang
wakilaken al-wakil. Dawuhe, addȋ zakȃtȋ min mȃlika, addȋ |
nekanana (sopo) sira, zakȃtȋ | ing zakat isun, min mȃlika |
saking hartane sira, liyanșarifa | supaya mengo atawa supaya
berpaling, opo fi’luhu | pegaweane al-wakil, ‘anhu | saking
muwakkil.
(67) Waqauluhu | lan utawi dawuhe muwakkil, żalika | ing
mengkono-mengkono ‘addȋ zakȃtȋ min mȃlika, iku
mutaḍamminun | nyimpen opo qauluhu, li (a)l-iżni | maring
idzin, lahu | kaduwe al-wakil, fi al-niyyati | ingdalem niat.
(68) Waqȃla | lan wis dawuh, sopo al-Qaffȃlu | Imam al-Qaffal.
Law qȃla | lamon ngucap sopo wong, lighairihi | kaduwe
liyane wong, ‘aqriḍni khamsatan’ nyatane ucapan aqriḍni
khamsatan. Aqriḍni | ngutangana sira ing isun, khomsatan |
ing lima, uaddȋhȃ | mangka nekaaken sopo isun ing khomsat,
‘an zakȃtȋ | saking zakat isun, fafa’ala | mangka ngelakoni
sopo wong, șahha | mangka sah opo qauluhu.
(69) Qȃla | dawuh, sopo syaikhunȃ | guru kita, wahuwa | utawi
șahha, iku mabniyyun | den jenengaken, ‘ala ro’yihi | ingatase
pendapate al-Qaffal, bijawazi (a)l-tihad(i) (a)l-qabiḍi |
kelawan wenange tunggale wong kang nerima, wa (a)l-
muqbiḍi | lan wong kang nyerahaken.
Dari keseluruhan kutipan di atas, penulis akan
mengklasifikasikannya berdasarkan kategorinya. Berdasarkan kategori
verba, ada beberapa kata sebagai berikut.
Dari teks tersebut, ada 16 fiil madi, yakni syuriṭa (59), walaw qȃla
(62), tașaddaqa (62), nawȃ (62), ajzaahu (62), walaw qȃla (63), aftȃ (64),
qȃla (65), wa qȃla (66), iżȃ waqa’a (66), waqȃla (68), law qȃla (58),
fafa’ala (68), șahha (68), qȃla (69), șahha (69).
Terdapat tujuh fiil mudlori bal takfȋ (60), hattȃ yanwiya (62),
tsumma ya’dzana (64), yastalzimu (64), yata’ayyanu (66), liyanșarifa (66),
dan uaddȋhȃ (68).
Pada kutipan di atas, terdapat tiga fiil amar, yakni iqbidl (63), addȋ
(66), dan aqriḍni (68).
Berdasarkan kategori nomina, ada beberapa kata dan frasa nominal
sebagai berikut.
Hȃdza (59), zakȃtun (59), shadaqotun (59), mafrȗḍatun (59), lȃ
muqȃranatuhȃ (60), Aw iqṭȃ’i wakilin (60), al-zakȃta (62), daini (63),
wahuwa (63), zakȃtun (63), ay huwa (63), ba’ḍuhum (64), anna al-tawkȋla
59
(64), al-muṭlaqa (64), al-tawkȋla (64), syaikhunȃ (65), naẓrun (65), bal(i)
(a)l-muttajihu (65), annahu (65), lȃ budda (65). Aw tafwiḍiha (65), wa
ghairuhu (66), niyyatu (a)l-wakȋli (66), farḍun (66), muwakkiluhu (66),
zakȃtȋ (66), fi’luhu (66), waqauluhu (67), żalika (67), mutaḍamminun
(67), khomsatan (68), syaikhunȃ (69), mabniyyun (69), wa (a)l-muqbiḍi
(69).
Berdasarkan kategori adverbia terdapat beberapa frasa adverbial
berikut.
Lahȗ (49), kahȃdza zakȃtun (49), liddaf’i (50), ‘inda ‘azri qadri al-
zakȃti (50), aw bakda ahadihimȃ (50), Waqabla al-tafarruqati (51), bi’usri
(i)qtirȃnihȃ (51), biadȃi kulli mustahiqqin (51), lighairihi (52), bihȃdza
(52), qabla tașadduqihi (52), biżȃlika (52), ‘an(i) al-zakȃti (52), liakhara
(53), min fulȃnin (53), laka (53), bakda qabḍihi (53), lahu (54), fi akhdziha
(54), fȋ ikhrȃjihȃ (54), fi niyyatihȃ (54), wa fȋhi (55), min niyyati (a)l-
mȃliki (55), li (a)l-wakili (55), bimȃlihi (56), bian qȃla (56), lahu (56), min
mȃlika (56), ‘anhu (56), li (a)l-iżni (57), lahu (57), fi al-niyyati (57),
lighairihi (58), ‘an zakȃtȋ (58), ‘ala ro’yihi (59),dan bijawazi (a)l-tihad(i)
(a)l-qabiḍi (59).
Pada dasarnya, percampuran kode dari bahasa Arab yang bercampur
dalam bahasa Jawa itu penyebabnya sama, yakni bahasa Arab diambil dari
teks kitab lalu dimaknai dengan menggunakan bahasa Jawa.
Campur kode bahasa Arab ke bahasa Indonesia terdapat dalam
kutipan-kutipan berikut.
(70) Ada yang talaffuẓ mengucapkan niat itu hukumnya sunnah,
ada yang juga tidak termasuk dalam kategori sunnah.
(71) Kemudian juga, lȃ muqoronatuha li al-daf’i, seperti niat-niat
yang lain bahwasanya niat dalam suatu ibadah itu kan ada
keharusan muqȃranah
(72) makanya definisinya kan qașdu syay’in muqtaranan bifi’lihi.
Ada yang tidak harus muqtaranan bifi’lihi
(73) Yang pertama adalah niat puasa Ramaḍan.
(74) Itu adalah qoblal fi’li.
(75) Kalau seumpama ada orang yang memberikan zakat tersebut
dan dia mengatakannya bukan bahasanya zakat tapi
mengatakan bahwa tolong sodaqoh-kan harta ini kepada orang
lain. Ini boleh tidak?
60
(76) ada șadaqatun mafrȗḍatun artinya apa? Șadaqah yang
diwajibkan, ada yang, apa namanya, șadaqatun
mustahabbatun, șadaqah taṭawwu’, artinya șadaqah sunnah.
(77) sebelum diserahkan dia sudah ada qașdu
(78) Maka lam yașihha niat zakat yang seperti itu kecuali apabila
hartanya sudah diterima oleh si penagih dan dia laporan.
(79) Makanya kalau di Buntet Pesantren, zakat yang fitrah itu
supaya tahqiq, maka orang yang niat itu sambil memegang
berasnya lalu dia mengucapkan niat,
(80) Lah kalau seumpama orangnya tidak ada, ya, makanya dia
harus tawkil kepada yang mau mengeluarkan zakatnya.
(81) Kalau tidak maka dia bisa mengeluarkan zakat sendiri atau
nanti di-tawzi’ dan dibagikan kepada yang lain.
(82) Artinya yang penting itu pemilik harta ketika mau
mengeluarkan zakatnya maka malikul mal harus apa?
Kata talaffuẓ pada kutipan (70) masuk dalam struktur bahasa
Indonesia. Kata tersebut berarti melafalkan. Kiai Ade lebih memilih diksi
tersebut ketimbang melafalkan. Tetapi kata selanjutnya yang ia ucapkan
adalah mengucapkan. Dua kata yang berderetan itu memiliki arti yang
sama. mengucapkan sepertinya untuk menegaskan ulang makna talaffuẓ.
Campur kode ini terjadi pada tataran nomina.
Campur kode nomina juga terjadi pada kutipan (71). Muqoronah
dipilih untuk menunjukkan makna bersamaan atau berbarengan. Pilihan
diksi bahasa Arab tersebut karena masuk dalam definisi yang diungkapkan
oleh ulama sehingga dengan menggunakan kata muqoronah, penjelasan
yang disampaikan terkesan lebih mendalam.
Pada kutipan (72), campur kode terjadi pada tataran frasa. Pada
kalimat pertama yang disampaikan pada kutipan (72) terdapat dua frasa,
yakni frasa nomina qașdu syay’in dan frasa preposisional bifi’lihi.
Sementara kalimat kedua pada kutipan (72) terdapat satu frasa
preposisional, yakni bifi’lihi. Adapun kata muqtaronan termasuk campur
kode pada tingkatan kata.
Kutipan (72) termasuk campur kode karena pada kutipan bahasa
Arab yang disampaikan Kiai Ade tidak memiliki unsur predikatif sehingga
ia tidak bisa digolongkan pada istilah alih kode. Bahasa Arab pada kalimat
pertama hanya kurang subjek karena pada asalnya subjeknya sudah
disebukan menjadi sebuah kata ganti ketiga pada kata definisinya.
61
Secara tertulis, kutipan (73) hampir tidak terlihat campur kodenya.
Tetapi, kiai mengucapkan nama bulan kesembilan dari tahun Hijriyah itu
dengan lafal bahasa Arab, Ramaḍan.
Sementara itu, pada kutipan (74), terdapat campur kode frasa
adverbial. Qablal fi’li merupakan frasa preposisional bahasa Arab yang
masuk dalam struktur bahasa Indonesia. Frasa ini lebih dipilih ketimbang
sebelum pelaksanaannya, karena memiliki ikatan kuat dengan definisi niat
yang sangat familiar di telinga santri, yakni muqtaranan bifi’lihi.
Meskipun sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia, yakni
sedekah, tetapi Kiai Ade memilih istilah bahasa Arabnya, șadaqah, dalam
kutipan (75). Sepertinya, kata tersebut lebih dekat dan lebih biasa di lidah
kiai. Terlebih konteks pengucapannya pun dalam pengajian, bukan dalam
percakapan keseharian. Hal ini tentu berpengaruh karena faktor situasi dan
kawan tuturnya.
Lebih rinci lagi, Kiai Ade juga menyebutkan beberapa istilah
sedekah dalam bahasa Arab pada kutipan (76), yakni șadaqatun
mafrȗḍatun, șadaqatun mustahabbatun, șadaqah taṭawwu’, dan șadaqah
sunnah. istilah-istilah tersebutlah yang ada pada kitab. Istilah terakhir
digunakan untuk menerjemahkan dua istilah sebelumnya karena diksi
sunnah lebih akrab di telinga masyarakat umum ketimbang
mustahabbatun dan taṭawwu’. Arti ketiganya sama, yakni jika melakukan
sedekah tersebut, pelaku akan mendapatkan pahala. Sebaliknya, jika pun
sedekah tersebut tidak dilakukan oleh seseorang, tentu tidak masalah.
Artinya orang Muslim tersebut tidak mendapatkan pahala dan dosa. Ketiga
frasa tersebut tergolong frasa nominal.
Selain campur kode yang ditandai frasa, pada kutipan (76) juga
terdapat campur kode kata. Kata yang disebutkan sama dengan kutipan
(75), yakni șadaqah.
Kutipan (77) menyajikan campur kode kata, yakni qașdu. Diksi ini
Kiai Ade pilih mengingat definisi niat itu qașdu syay’in muqtaranan
bifi’lihi. Kiai Ade memilih diksi tersebut karena penjelasannya perihal
62
niat. Pilihan kata menyengaja sepertinya kurang mewakili kata qasdu
sehingga Kiai Ade lebih memilih menggunakan istilah asalnya.
Sedikit janggal ketika Kiai Ade lebih memilih frasa lam yașihha
pada kutipan (78) ketimbang tidak sah ataupun batal. Tapi hal ini perlu
penelusuran lebih lanjut. Rupanya, frasa tersebut digunakan Kiai Ade
karena mengarah pada kutipan kitab yang menyebutkan lam yakfi untuk
ketidaksahannya meminta orang lain untuk menagih hutang kepada
seseorang yang memiliki hutang kepadanya dan hasil tagihan itu dijadikan
zakat. Tetapi, bahasa lam yakfi, tidak cukup, itu kurang familiar dalam
penentuan hukum sehingga diksi yakfi diganti oleh Kiai Ade dengan kata
yașihha.
Kata tahqiq sudah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Penulis tetap menggolongkan kutipan (79) sebagai peristiwa campur kode
karena adanya kata tersebut itu bukan tanpa alasan. Dilihat dari sisi
kalimat, kata tersebut agak rancu mengingat nomina tetapi dipasangkan
dengan adverb khusus verba dan ajektif atau konjungsi intrakalimat,
sementara tahqiq bukan verba, juga bukan ajektif, apalagi klausa. Tahqiq
hanya satu kata, tidak lebih. Ia berkategori nomina, dalam KBBI berarti
penetapan (penentuan) kebenaran dengan bukti.73 Kata tersebut juga
bermakna sah, dengan kategori ajektif. Jika tahqiq pada kalimat tersebut
diartikan sah, hal tersebut akan membatalkan argumen yang membolehkan
niat zakat tanpa harus memegang benda yang ia zakati. Tentu hal tersebut
tidak tepat. Oleh karena itu, kata tahqiq lebih tepat masuk dalam bahasa
Arab. Hal pertama yang membuat kata tahqiq pada kutipan (79) lebih
dekat dengan bahasa Arab karena pengucapannya yang lebih dalam.
Fonem-fonem pembentuk kata yang digunakan oleh kiai lebih dekat
dengan fonem /qaf/ bahasa Arab, bukan /k/ dalam bahasa Indonesia yang
sesuai dengan KBBI. Selain itu, kata tahqiq juga merupakan masdar.
Sebagai masdar, ia mengandung makna pekerjaan. Artinya, ada kesesuaian
73 Aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima, (Jakarta: Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2016).
63
dengan kata sebelumnya. Ini termasuk jenis campur kode kata dengan
kategori nominal.
Tawkil (80) dan tawzi’ (81) pada dua kutipan berikutnya hampir
sama kasusnya dengan tahqiq (79). Bedanya, tawkil dan tawzi’ lebih jelas
terlihat karena belum masuk pada KBBI. Selain itu, meskipun tawkil (80)
dan tawzi’ (81) tersebut tergolong nomina dalam bahasa Arab, tapi pada
praktiknya ketika campur kode terlihat seperti verba. Kata tawkil (80)
bersanding dengan kata harus, sedangkan morfem tawzi’ harus diberi
imbuhan di- untuk mengungkapkan makna pasif. Tawkil (80) dan tawzi’
(81) tersebut dipilih karena bagian dari istilah baku dalam teks kitab klasik,
meskipun tidak di bahasa Indonesia.
Kitab Fathul Muin menyebut al-malik untuk orang yang memiliki
harta. Pada awal kalimat, Kiai Ade menggunakan istilah bahasa Indonesia,
pemilik harta. Tetapi, ia juga menyebutkan istilah malikul mal pada
kutipan (82).
Pada pengajian ini juga terjadi campur kode bahasa Jawa ke bahasa
Indonesia. Percampuran kode juga terjadi pada kalimat-kalimat berikut.
(83) Contohnya, seumpama saya mau menyerahkan zakat kepada
seseorang, toli (kemudian) saya nyuruh orang lain, “Ini tolong
antarkan zakat saya kepada si A.” Lah ini sudah kalimat zakat
saya.
(84) Si tawkil juga harusnya tidak boleh hanya sruntul dibagiaken
saja.
(85) Harus apa jeh?
Pada kutipan (83), kata toli yang berarti kemudian itu masuk dalam
struktur bahasa Indonesia. Hal itulah yang menyebabkan peristiwa
campur kode pada kalimat tersebut.
Kiai menggunakan frasa sruntul dibagiaken pada kutipan (84).
Maksud frasa tersebut adalah ‘langsung membagikan’. Hal tersebut yang
menyebabkan kalimat tersebut menjadi campur kode. Frasa tersebut
dipilih karena yang muncul pertama di benak kiai adalah frasa diksi sruntul
untuk menunjukkan makna segera dengan waktu yang singkat.
Kata jeh muncul pada kutipan (85). Kata tersebut merupakan partikel
penegas yang tidak memiliki arti. Partikel tersebut hanya ada pada bahasa
Jawa dialek Cirebon.
64
Percampuran juga terjadi pada ragam informal ke ragam formal.
Sebagai contoh terdapat pada kalimat yang sama di atas, yakni kata
nyuruh. Kata tersebut beragam informal. Jika mengikuti ragam formal,
harusnya diksi yang digunakan adalah menyuruh. Hal ini terlihat pada
kutipan (83).
3. Pengajian Terpadu
Pengajian dengan model terpadu ini dilakukan di Pondok Pesantren
Darul Amanah pada hari Selasa, 12 September 2017 pukul 18.30.
Pengajian ini disampaikan oleh K.H. Imaduddin Zaeni. Pengajian model
ini berlangsung interaktif karena kiai selalu memenggal kata terakhir dari
setiap kalimat yang diucapkannya sehingga memancing belasan santri
untuk terus fokus pada penyampaiannya. Hal ini ia lakukan guna
mengetahui fokus para santrinya, mengingat kiai tidak dapat melihat
langsung para santrinya. Matanya tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya.
Dari pendengarannya yang menggunakan alat bantu dengar, ia
memperhatikan para santrinya dengan interaksi tersebut. Ia pun memberi
kesempatan kepada setiap santri untuk membaca satu persatu guna
mengetahui letak kesalahannya sehingga ia dapat memperbaiki kesalahan
yang santrinya lakukan.
Pengajian ini tidak begitu menemui hambatan mengingat waktu
mengaji masih tergolong sore, tidak terlalu malam. Kiai dan para santri
masih terjaga. Kantuk belum terlalu kuat datang. Suasana sekitar pun
sangat mendukung pengajian karena cukup sepi mengingat lingkungan
sekitar juga masih lingkungan pondok dan dekat juga dengan kebun.
Hanya saja terkadang, perhatian santri dan suara kiai terganggu dengan
suara kendaraan bermotor.
Seperti dua model sebelumnya, Kiai sebagai penutur berasal dari
Cirebon. Sementara itu, para santri yang mengikuti pengajian ini berasal
dari berbagai daerah di Indonesia. Sebagian besar berasal dari Brebes dan
Indramayu, sedangkan beberapa di antaranya dari Cirebon dan Bengkulu.
65
Metode ini memadukan dua metode sebelumnya, yakni sorogan dan
bandungan. Oleh karena itu, hasil yang diharapkan tentu hasil yang
diharapkan dari kedua model tersebut. Selepas pengajian, santri harus
memahami maksud dari teks yang telah dibaca. Selain itu, santri juga
diharapkan dapat menciptakan insting atau feeling pada struktur gramatika
bahasa Arab dengan membaca langsung di hadapan kiai secara berulang-
ulang hingga lancar.
Dalam pengajian metode terpadu, kiai membacakan teks bahasa
Arab beserta makna dalam bahasa Jawa, lalu diikuti oleh para santri.
Setelah satu kalimat utuh dibaca dan dimaknai, kiai langsung memberikan
penjelasan atas teks tersebut dengan menggunakan bahasa Indonesia. Jika
merujuk pada pembagian model penjelasan seperti yang disampaikan di
metode bandungan, maka ini menggunakan metode kedua.
Berbeda dengan Kiai Ade, Kiai Imad membacakan teks bahasa Arab
dengan makna Jawanya itu menggunakan irama. Ada naik turunnya nada
pada setiap kata yang dimaknainya. Hal ini memudahkan santri untuk
mengingatnya. Di samping itu, irama juga membuat santri lebih senang
membacanya karena tidak monoton. Kiai Imad juga kerap kali
memberikan lelucon sehingga menarik minat santri untuk tetap fokus
menyimaknya.
Kiai membacakan teks bahasa Arab dan maknanya dalam bahasa
Jawa itu tidak dengan menggunakan kitab. Bukan karena tidak ingin
menggunakan kitab tersebut, tetapi hal ini dilatarbelakangi daya lihatnya
yang sudah berkurang. Meskipun begitu, ia membacakan teks dan
maknanya itu dengan menggunakan daya hapalnya. Sampai saat ini,
beberapa kitab, ia ajarkan dengan menggunakan daya hapalnya. Tetapi, ia
juga mengajarkan kitab-kitab yang tidak dihapalnya. Santri yang mengaji
diminta membacanya, lalu ia akan membaca dengan benar kalimat yang
dibaca santrinya, kemudian memaknainya, dan memberikan
penjelasannya.
Kiai juga tidak menggunakan pengeras suara. Selain karena
suaranya yang lantang, santri yang mengaji pada beliau pun tidak begitu
66
banyak sehingga suara yang diucapkannya itu sudah bisa didengar oleh
santri tanpa harus menggunakan pengeras suara.
Para santri diharuskan mengulangi bacaan teks dan maknanya yang
telah diucapkan kiai secara langsung. Ketika penjelasan disampaikan,
santri harus menyimaknya dengan baik. Para santri tidak diperkenankan
menyela penjelasan yang disampaikan kiai. Boleh memberikan argumen
atau pertanyaan jika dipersilakan pada waktunya setelah penjelasan itu
selesai disampaikan. Ketika kiai bertanya perihal paham atau tidaknya,
hampir seluruh santri mengatakan paham. Ia boleh menjelaskan
ketidakpahamannya nanti jika disediakan waktu untuk sesi tanya jawab.
Pengajian ini berjenre terpadu. Disebut terpadu karena memadukan
dua jenis metode klasik guna mendapat hasil yang lebih baik. Meskipun
tetap saja terdapat kekurangannya, yakni tidak adanya target dalam
pengajian tersebut karena harus mengikuti kemampuan santri. Berbeda
dengan kelas dirasah yang dalam jangka waktu sekian bulan masa belajar
harus sudah menyelesaikan satu atau beberapa kitab tentang bidang ilmu
yang diajarkannya atau dipelajarinya. Istilah terpadu ini disebutkan oleh
K.H. Imaduddin Zaeni.74 Lain halnya dengan K.H. Ade Nasihul Umam. Ia
menyebut pengajian ini dengan istilah sorogan tingkat lanjut.75 Disebut
demikian karena pengajian ini pada dasarnya merupakan metode sorogan.
Para santri diwajibkan membaca teks kitab beserta makna Jawanya di
hadapan kiai satu persatu hingga benar-benar lancar, tanpa ada kesalahan
sedikitpun. Tetapi ada nilai tambah pada pengajian ini, yakni adanya
penjelasan mengenai maksud dari teks-teks yang dibacakan kiai tersebut.
Penjelasan itulah yang menjadi patron tingkat lanjutnya, karena pada
umumnya, menurut penuturan K.H. Ade Nasihul Umam, pengajian
sorogan diberikan untuk mubtadi, pemula mempelajari kitab kuning.76
Peralihan kode terjadi dari bahasa Arab sebagai bahasa dasarnya ke
bahasa Jawa. Hal ini terdapat pada tuturan berikut.
74 Wawancara dengan K.H. Imaduddin Zaeni pada tanggal 10 September 2017 75 Wawancara dengan K.H. Ade Nasihul Umam pada tanggal 11 September 2017 76 Ibid
67
(86) Bismillah(i) al-rahman(i) al-rahim. Wal ‘ilmu lan weruh
bifarḍiyyatiha kelawan kefarduane solat.
Kiai mengawali pengajiannya dengan mengucapkan lafal basmalah.
Lafal tersebut sudah termasuk kalimat, bukan lagi frasa atau hanya klausa.
Setelahnya, kiai menggunakan bahasa Jawa sebagai dasarnya.
Ada pula peralihan dari bahasa Jawa sebagai bahasa dasar ke bahasa
Indonesia. Hal tersebut terjadi beberapa kali.
(87) Wal ‘ilmu lan weruh bifarḍiyyatiha kelawan kefarduane solat.
Ya. Syarat berikutnya mengetahui hukum fardlunya salat.
(88) Wa anla ya’taqida lan yenta ora nekadaken sopo wong.
Farḍon ing fardu suwiji. Min furuḍiha setengah saking piro-
piro farḍune solat. Sunnatan ing sunnah. Iya. Yang tulisannya
sunnatun diganti sunnatan. Syarat yang ketujuh, rukun-rukun
solat jangan sampai dianggap sunnah.
(89) Wajtinabul mubṭilati lan ngadohi piro-piro perkara kang
batalaken solat. Yang kedelapan menjauhi segala yang
membatalkan solat.
Setelah memberikan pemaknaan bahasa Jawa pada satu kalimat
berbahasa Arab tersebut, kiai langsung memberikan penjelasan terhadap
kandungan kalimat tersebut dengan menggunakan bahasa Indonesia
sebagai bahasa dasarnya. Ketiga peristiwa di atas sama kejadiannya.
Selain itu, alih kode juga terjadi dari bahasa Indonesia ke bahasa
Jawa. Berikut beberapa kutipannya.
(90) Jelas? Wa anla ya’taqida | lan yenta ora nekadaken sopo
wong, farḍon | ing fardu suwiji, min furuḍiha | setengah saking
piro-piro farḍune solat, sunnatan | ing sunnah.
(91) Yang wajib memandikan adalah orang hidupnya. Ngerti?
Itulah hadas besar.
(92) Kalau hadas besar dibebaskannya dengan cara? (Mandi). Iya.
Ngerti yaa? Baru kita solat.
(93) Makanya di dalam hatinya ketika niat, ușalli farḍo dan nama
so? Ya? Ngerti?
Berbeda dengan Kiai Ade yang selalu menggunakan kalimat ngertos
nopo boten? untuk menanyakan penerimaan santri terhadap
penjelasannya, KH Imaduddin sedikit variatif dengan menggunakan dua
kalimat singkat, yakni jelas? dan ngerti?
Pada kutipan (90), kiai menanyakan kejelasan penyampaiannya
dengan satu kata, jelas? Ini menggunakan bahasa Indonesia. Setelahnya,
68
ia kembali menggunakan bahasa Jawa untuk melanjutkan pemaknaan teks
kitabnya.
Berbeda dengan kutipan (90), kutipan (91), (92), dan (93),
menanyakan kejelasan pengertian yang santri dapat dari penjelasan yang
sudah disampaikan oleh kiai tersebut dengan menggunakan bahasa Jawa,
yakni ‘ngerti?’ Peralihannya terjadi setelah memberikan penjelasan
dengan menggunakan bahasa Indonesia dan untuk menjeda penjelasannya
atau untuk mengakhiri penjelasan yang sudah kiai sampaikan tadi dengan
mengajukan pertanyaan kejelasan penerimaan santri.
Alih kode pada pengajian ini juga terjadi dari bahasa Arab ke bahasa
Indonesia sebagaimana yang terjadi pada kutipan berikut.
(94) Mữjibatul ghusli sittatun. Berapa sittatun tuh?
Peralihan bahasa Arab ke bahasa Indonesia terjadi saat kiai
memberikan penjelasan dengan mengutip teks kitab satu kalimat utuh.
Setelah mengutip kalimat berbahasa Arab tersebut, kiai kembali
menggunakan bahasa Indonesia untuk meneruskan penjelasannya.
Pada pengajian terpadu juga terjadi alih kode dari bahasa Indonesia
ke bahasa Arab. Hal ini terlihat dari kutipan berikut.
(95) Apa lagi yang mewajibkan mandi? Ada berapa saja kemaren
tuh? Tadi saja baru dibaca. Mữjibatul ghusli sittatun.
Mulanya kiai menjelasakan dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Guna meyakinkan denga menghadirkan sebuah dalil, maka kiai mengutip
satu kalimat utuh dari teks yang sebelumnya pernah dibaca oleh para
santri.
Adapun percampuran kode terjadi dengan berbagai bentuk. Ada
percampuran bahasa Arab terhadap bahasa Jawa sebagai dasarnya. Hal itu
terjadi pada kutipan-kutipan berikut.
(96) Wal ‘ilmu | lan weruh, bifarḍiyyatiha | kelawan kefarduane
solat.
(97) Wa anla ya’taqida | lan yenta ora nekadaken sopo wong,
farḍon | ing fardu suwiji, min furuḍiha | setengah saking piro-
piro farḍune solat, sunnatan | ing sunnah.
(98) Al-ahdȃtsu utawi piro-piro hadats. Iku itsnȃni loro.
(99) Așgharu | sewiji hadats cilik, wa akbaru | lan hadas gede.
69
(100) Fal-așgharu | maka utawi hadats cilik, iku ma | barang,
awjaba | kang majibaken opo ma, al-wuḍua | ing wudu.
(101) Wal-akbaru | lan utawi hadas gede, iku ma barang, awjaba |
kang majibaken opo ma. al-ghusla | ing adus.
Wal ‘ilmu (96) merupakan nomina bahasa Arab yang masuk dalam
struktur bahasa Jawa. Ia berada di posisi subjek. Frasa bifarḍiyyatiha (96)
merupakan frasa preposisional karena pada frasa tersebut terdapat huruf
ba. Artikel tersebut, ba, merupakan preposisi bahasa Arab. Frasa
bifarḍiyyatiha masuk dalam tataran struktur gramatika bahasa Jawa. Frasa
tersebut menempati fungsi subjek, sementara predikatnya adalah kelawan
kefarduane solat.
Wa anla ya’taqida (97) merupakan frasa verbal yang menempati
fungsi subjek dalam kalimat bahasa Jawa. ‘lan yenta ora nekadaken sopo
wong’ merupakan predikatnya. farḍon (97) berkategori nomina. Ia
menempati fungsi subjek, dengan ing fardu suwiji sebagai predikatnya.
Adapun min furuḍiha merupakan frasa preposisional dengan setengah
saking piro-piro farḍune solat sebagai predikatnya. Sunnatan berfungsi
sebagai subjek dengan kategori nomina, sementara ing sunnah merupakan
predikatnya.
Kata Al-ahdȃtsu dan itsnȃni pada kutipan (98) merupakan dua kata
bahasa Arab yang masuk pada tataran bahasa Jawa. Percampurannya
terjadi pada tingkatan kelas kata. Keduanya menempati fungsi subjek
dalam tataran gramatika bahasa Jawanya. Namun, dalam tataran bahasa
Arabnya, kata pertama sebagai subjek (mubtada) dan keduanya
menduduki fungsi predikat (khobar).
Pada kutipan (98), percampuran yang terjadi hanya pada kelas kata
dan berkategori nomina, yakni așgharu dan wa akbaru. Keduanya
menempati fungsi subjek dalam gramatika bahasa Arabnya, tetapi dalam
bahasa Arabnya, kata pertama hadir sebagai penjelas (ataf bayan) atau
pengganti (badal) dari kata itsnani yang berarti dua, sementara kata kedua
sebagai penjelas yang dihubungkan dengan kata hubung jumlah berupa
wa.
Percampuran dalam kutipan (99) meliputi dua kategori, yakni
nomina berupa fal-așgharu, ma, dan al-wuḍua, dan verba awjaba. Secara
70
bahasa Arab, kata pertama berfungsi sebagai subjek, kedua sebagai
predikat, ketiga sebagai objek, dan keempat sebagai perluasan predikat.
Namun, secara gramatika bahasa Jawa, semuanya menduduki fungsi
subjek. Sebagai predikatnya, bahasa Jawa yang menjelaskan arti kata
tersebut.
Percampuran bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia terjadi
beberapa kali. Hal ini terbukti pada kalimat-kalimat di bawah ini.
(102) Makanya di dalam hatinya ketika niat, ușalli farḍo...
(103) Yang tulisannya sunnatun diganti sunnatan
(104) Makanya menjauhi segala yang membatalkan solat dari mulai
allahu akbar sampai assalaamu ‘alaikum warahmatullah.
(105) Satu apa? Ȋlajul hasyafati memasukkan hasyafah ke dalam?
(Farji). Iya, memasukkan hasyafah ke dalam farji.
(106) Ayo, dibaca, bismillah!
Dalam menjelaskan niat, kiai mengucapkan lafal niatnya dengan
bahasa Arab, tetapi tidak lengkap. Ketidaklengkapan penyebutan lafal niat
salat itu dikarenakan kiai hanya menyebutkan hal yang wajib dilafalkan
dalam hatinya saja, yakni ușalli, farḍo, (102) dan nama salat. Karena dua
kata dalam percampuran tersebut dilafalkan terpisah, maka bukan lagi
masuk kelas klausa, melainkan kategori sendiri-sendiri, ușalli sebagai
verba dan farḍo sebagai nomina.
Pada kutipan (103), kiai memberi penjelasan tentang kesalahan cetak
pada kitab yang dibaca. Ia memberitahu tulisan yang benarnya seperti apa,
tentu dengan bahasa Arab, karena teksnya berbahasa Arab. Kedua kata
bahasa Arab dalam kutipan (103), sunnatun dan sunnatan, termasuk dalam
kategori nomina.
Kiai saat menjelaskan hal-hal yang mewajibkan mandi besar kepada
para santri kembali menghadirkan bacaan yang telah dibahas pada
pertemuan sebelumnya. Untuk mengingatkan para santri, kiai mengutip
frasa awalnya, yakni Ȋlajul hasyafati (105).
Percampuran bahasa Jawa ke dalam struktur bahasa Indonesia terjadi
pada kalimat-kalimat berikut.
(107) Kalau nganggep sunnah salatnya tidak ess?. ngerti?
(108) Ndak ngerti wajib atau sunnah.
(109) Tasyahhud awal pada solat Maghrib, Isya, Luhur, Asar.
(110) Kalau nganggep sunnah, solatnya tidak ess?
71
(111) Tapi kalau nganggep wajib tidak apa?
(112) Kalau yang sunnah dianggep wajib tidak apa?
(113) Makanya kalau kita tidak ngerti ini sunnah apa rukun, lah
anggap saja semuanya rukun tidak apa? Tasyahud awal rukun
apa sunnah?
(114) Kalau nganggep wajib tidak apa?
Kata nganggep pada kutipan (107), (110), (111), dan (114) dan kata
dianggep pada kutipan (112) merupakan verba bahasa Jawa yang masuk
dalam strutktur bahasa Indonesia. Kiai memilih menggunakan bahasa
Jawa mengungkapkan makna pendapat atau pandangan seseorang
terhadap hal yang sedang dibicarakan dengan menggunakan kata
nganggep atau dianggep daripada menggunakan bahasa Indonesia
mengaggap.
Frasa ndak ngerti (108) juga berbahasa Jawa yang masuk dalam
susunan bahasa Indonesia. Masuknya frasa tersebut saat kiai memberikan
penjelasan. Hal ini tergolong campur kode.
Luhur (109) merupakan bahasa Jawa yang berarti zuhur, waktu salat
wajib setelah matahari tergelincir sampai menjelang petang. Orang-orang
Jawa dulu melafalkan d dengan l. Selain kata luhur, ada pula kata rela yang
pada asalnya rida. Pilihan kata luhur di tengah struktur gramatika bahasa
Indonesia merupakan campur kode dari bahasa Jawa ke dalam bahasa
Indonesia.
Percampuran kata dari ragam informal ke dalam ragam formal
terjadi dalam beberapa bentuk. Hal ini terdapat pada beberapa kutipan
berikut.
(115) Ya entah pokoknya temen-temen solat ya solat saja
(116) Atau tidak diyakini apa-apa asal salat saja gak mengerti itu
wajib apa sunnah, maka juga tidak ess?
(117) Doa iftitah wajib apa sunnah? Doa iftitah itu hukumnya
sunnah. Tapi kalau nganggep wajib tidak apa?
(118) Fatihah di dalam solat sunnah apa wajib?
(119) Baca surat setelah Fatihah wajib apa sunnah? Wajib apa
sunnah?
(120) Makanya kalau kita tidak ngerti ini sunnah apa rukun, lah
anggap saja semuanya rukun tidak apa? Tasyahud awal rukun
apa sunnah?
(121) Wajib apa sunnah? Wajib apa sunnah?
(122) enggak papa yaa.
72
(123) Makanya kalau ngajarin solat pada anak-anak, ajarin saja
sesempurna mungkin. Yang sunnah-sunnahnya diajarin
semua supaya bisa semua.
(124) Nanti insyaallah fasalnya ada di belakang, apa saja yang
membatalkan solat. Salah satuya, misalnya, sedang solat
ngomong maka membatalkan solat.
(125) Ngomong sedikit kalau disengaja, atau banyak walaupun
alesan tidak sengaja.
(126) Nah ini makanya hadas tuh ada du?(dua).
(127) Ada berapa saja kemaren tuh?
Kata apa seharusnya adalah merupakan kata ragam informal.
Pertama, partikel. Dalam kutipan di atas berupa kata apa. Makna yang
dimaksud dari kata tersebut bukan sebagai kata tanya, melainkan makna
dari kata atau. Selain itu, kedua, berupa kata verba, yakni kata nganggep.
Kata tersebut merupakan ragam informal. Seharusnya, kata yang
digunakan pada kalimat tersebut adalah menganggap.
enggak papa ya kalimat tersebut menunjukkan adanya campur kode
informal berupa kata berkelas adverbia berupa enggak. Kata tersebut
dalam ragam formalnya berupa tidak atau tak.
Selain itu, kalimat tersebut juga menunjukkan adanya campur kode
informal berupa kata berkelas nomina berupa papa. Kata tersebut berasal
dari ragam formal, berupa apa-apa.
2. Hasil Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Alih Kode dan
Campur Kode
Bahasa Jawa dalam pemaknaan kitab pada masa lampau tidak hanya
digunakan pada sebatas wilayah yang berbahasa Jawa dalam kesehariannya
saja, tetapi juga sampai pada wilayah yang berbahasa Sunda dan Madura. Hal
ini pernah diutarakan oleh peneliti keislaman di Indonesia asal Belanda,
Martin van Bruinessen.
“Pada abad ke-19, pesantren di Madura dan Jawa Barat tidak
menggunakan bahasa wilayah mereka sendiri tetapi bahasa Jawa
sebagai medium: kalaupun teks-teks Arab diterjemahkan, terjemahan
ini ke dalam bahasa Jawa. Hal ini juga telah mengalami perubahan, dan
73
sekarang juga terdapat kitab kuning dalam bahasa Madura dan
Sunda.”77
Pemilihan bahasa Jawa sebagai pengantar dalam pemaknaan kitab tentu
saja bukan tanpa alasan. Hingga saat ini, bahasa tersebut tetap digunakan
meskipun perkembangan bahasa Indonesia dan bahasa asing sudah begitu
pesat dan bahkan semakin mengikis bahasa daerah.
Pertama, pesantren sangat mengenal adagium al-muhafȃẓatu ‘ala al-
qadȋm al-șȃlih wa al-akhżu bi al-jadȋd al-așlah, menjaga tradisi yang baik
dan mengambil hal baru yang lebih baik. Pemaknaan bahasa Jawa itu hal yang
baik yang perlu dipertahankan keberadaannya. Hal baru yang diambil tentu
saja penggunaan bahasa Indonesia pada saat memberikan penjelasan.
Kedua, ada alasan penting yang membuat bahasa Jawa dalam
pemaknaan tetap digunakan sampai saat ini. K.H. Saifuddin Zuhri
menuturkan dalam autobiografinya.
“Belajar dengan menggunakan kitab kuning dibagi menjadi dua. Yang
pertama ditempuh dengan sistem sorogan dan yang kedua menempuh
sistem bandungan. Yang dinamakan sorogan ialah belajar langsung
kepada guru dengan bertatap muka, masing-masing santri satu demi
satu menghadapi guru sambil membuka halaman kitab yag dipelajari.
Kiai mengajar cara membacanya, diartikan dalam bahasa Jawa “khas
pesantren” kalimat demi kalimat. Sekaligus santri diperkenalkan
dengan kedudukan tiap-tiap kalimat menurut ilmu bahasa Arab sebagai
mubtada’ (pemula kata, pokok kalimat yang lazimnya disebut pada
awal kalimat), khobar (kata yang menerangkan tentang apa atau siapa
itu mubtada’), isim fa’il (kata yang menunjukkan pelaku sesuai dengan
pekerjaan atau fungsinya), maf-ul-bih (kata yang kedudukannya
menjadi objek penderita), hal (kata yang menerangkan keadaan fa’il
atau maf’ul bih ketika terjadi suatu perbuatan pada sesuatu situasi),
tamyiz (sebuah kata yang memberi kejelasan sesuatu kalimat yang
tadinya mengandung tak-kejelasan), athaf (sebuah huruf yang menjadi
alat cara membaca dua kalimat yang berhubungan satu dengan lainnya),
dan sebagainya, dan sebagainya.”78
Pengenalan kedudukan kata pada kalimat itu menggunakan bahasa
Jawa, mubtada’ dengan utawi, khobar dengan iku, isim fa’il dengan sopo,
77 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, (Yogyakarta: Gading Publishing,
2012), h. 162-163 78 Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, (Jakarta: Gunung Agung, 1987), h. 98-99
74
maf’ul bih dengan ing, hal dengan hale, tamyiz dengan apane, dan
sebagainya. Kata-kata tersebut tidak terdapat dalam bahasa lainnya selain
bahasa Jawa. Artinya, penggunaan bahasa Jawa juga sebagai sarana untuk
memahami struktur gramatika bahasa Arab.
Hal tersebut juga diungkapkan oleh Ketua Yayasan Lembaga
Pendidikan Islam (YLPI) bidang kepesantrenan Pondok Buntet Pesantren
Cirebon K.H. Ade Nasihul Umam. Menurutnya, bahasa Jawa adalah bahasa
yang paling tepat untuk memberikan makna-makna bahasa Arab.
Tarkib yang paling tepat dalam memaknai afsahan yang lengkap
dengan menggunakan bahasa Jawa, dari mulai utawi, iki, iku. Semua
tarkib ada rumus dan cara pengucapannya. Kalau menggunakan bahasa
Indonesia hanya memberikan arti saja, tanpa mengetahui struktur
kalimatnya.79
Utawi merupakan artikel yang hanya memiliki tempat di permulaan
kalimat. Ia serupa dengan wawu ibtida atau wawu isti’naf dalam kaidah
nahwiyah, kaidah bahasa Arab. Artikel tersebut tidak terdapat dalam bahasa
Indonesia, Melayu, Sunda, ataupun lainnya. Adanya artikel-artikel tersebut
memudahkan santri untuk mengetahui posisi kata pada tiap kalimat, apakah
kata tersebut menjadi mubtada (subjek) ataukah jadi khabar (predikat), atau
lainnya.
Kata-kata yang menunjukkan kedudukan kata bahasa Arab itu, seperti
utawi, iku, ing, dan lainnya, berasal dari bahasa Jawa kuno. Kata-kata tersebut
sudah ada dalam naskah terjemah bahasa Jawa atas kitab Hill al-Rumuz wa
Mafatih al-Kunuz karya Muhyiddin Ibnu Arabi. Kitab berkasara Arab dan
Pegon atau Arab Jawi ini selesai ditulis pada 4 Februari 1772 M.
Utawi sakehe puji iku kaduwe ing Allah, Kang ambukakaken
sawiwiroga kang gaib ing tutup-tutupe ati, lan kang ngilangaken Allah
ing tetebengen sakehe kang samar-samar, lan kang anekakaken Allah
ing paningaling ati, maka nyata barang akng ana ing iya iku
ketetebengan.80
79 Wawancara dengan K.H. Ade Muhammad Nasihul Umam di kediamannya di Buntet Pesantren
pada tanggal 11 September 2017, pukul 21.00. 80 Pustaka Keraton Cirebon; Pembuka Rumus dan Kunci Perbendaharaan, Ed. Bambang Irianto
(Yogyakarta: Deepublish, 2013), h. 2
75
Utawi sakehe puji81 merupakan subjek pada kalimat tersebut. Utawi
merupakan morfem terikat yang tidak bisa berdiri sendiri tanpa morfem lain
setelahnya. Kata tersebut sebagai tanda yang menunjukkan permulaan
kalimat atau dalam istilah bahasa Arabnya disebut mubtada. Iku kaduwe ing
Allah82 menduduki fungsi predikat. Dalam bahasa Indonesia, predikatnya
berupa frasa preposisional. Untuk menunjukkan fungsi predikasinya, kata iku
muncul pada kalimat tersebut. Seperti utawi, iku juga merupakan morfem
terikat yang tidak berarti apa-apa jika tidak dirangkaikan dengan kata lainnya.
Kang ambukakaken sawiwiroga kang gaib ing tutup-tutupe ati83 merupakan
perluasan predikat. Frasa ing tutup-tutupe ati merupakan objek atas kata kerja
ambukakaken. Untuk menunjukkan fungsi objek tersebut, kata ing muncul.
Melihat beberapa hal tersebut, maka sesungguhnya bahasa Jawa dipilih
karena memudahkan para santri untuk memahami struktur gramatika bahasa
Arab. Lebih dari itu, Kiai Ade menjelaskan, bahwa jika mampu memahami
bahasa Jawa dalam memaknai kitab itu akan memudahkan penerjemah untuk
mengalihbahasakan ke bahasa lainnya.84
Dengan demikian, pesantren telah menempatkan fungsi bahasa
Indonesia sebagaimana mestinya, yakni sebagai sarana komunikasi dalam
upaya pencerdasan kehidupan bangsa sesuai dengan kedudukannya sebagai
bahasa persatuan seperti poin ketiga sumpah pemuda dan sebagai bahasa
negara berdasar Pasal 36 UUD 1945.85
Selain itu, pesantren juga sudah menghindarkan bahasa daerah dari
jurang kepunahan. Seperti pernyataan Mu’adz yang dikutip oleh Mahsun,
81 Utawi sakehe puji : adapun seluruh puji. 82 Iku kaduwe ing Allah : itu milik Allah. 83 Kang ambukakaken sawiwiroga kang gaib ing tutup-tutupe ati : yang telah membuka penutup
hati dengan kunci kesamaran. 84 Wawancara dengan K.H. Ade Muhammad Nasihul Umam di kediamannya di Buntet Pesantren
pada tanggal 11 September 2017, pukul 21.00 WIB 85 Hasan Alwi, Fungsi Politik Bahasa dalam Politik Bahasa, (Jakarta: Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, 2011), h. 12
76
bahwa dengan digunakannya bahasa daerah sebagai pengantar maka
dimungkinkan bahasa daerah itu terhindar dari kepunahan.86
Chaedar Alwasilah mengungkapkan lima hal bahasa daerah bisa
disikapi secara positif oleh orang.
Ada beberapa hal yang akan membuat seseorang bersikap positif
terhadap bahasa daerah, yaitu (1) keteladanan berbahasa oleh pemuka
masyarakat, ilmuwan, budayawan, dan aparatur pemerintah; (2)
tersedianya repertoar kebudayaan yang ditulis dalam bahasa daerah
seperti fiksi, sejarah, koran, dan majalah; (3) adanya hiburan dan wisata
intelektual melalui bahasa daerah seperti buku teks, acara-acara TV,
dan siaran radio; (4) banyaknya terjemahan karya tulis dari berbagai
bahasa ke dalam bahasa daerah; dan (5) banyaknya penutur bahasa
daerah lain dan orang asing yang mempelajari bahasa daerah.87
Dari kutipan di atas, setidaknya, ada tiga poin yang dicapai oleh
pesantren guna memartabatkan bahasa daerah sehingga bisa dipandang
positif, yakni poin pertama, keempat, dan kelima. Kiai sebagai tokoh
masyarakat memperlihatkan keteladanannya dalam berbahasa daerah. Ia
menggunakan bahasa daerah sebagai media pengantar pendidikan. Tidak
sedikit karya berbahasa Arab yang diterjemahkan ke bahasa daerah, dalam
hal ini bahasa Jawa. Terakhir, banyak santri yang tidak berbahasa ibu bahasa
Jawa, mempelajari bahasa Jawa demi memahami arti harfiah kata perkata dari
teks berbahasa Arab dalam kitab yang mereka pelajari.
Pesantren juga memperkaya kosakata bahasa daerah dengan
penyerapan istilah-istilah bahasa Arab yang tidak ada padanannya dalam
bahasa Jawa. Hal ini sejalan dengan apa yang pernah diungkapkan oleh
Mahsun, berbagai kosakata yang berhubungan dengan konsep-konsep dan
terminologi dalam bahasa asing akan teradopsi ke dalam bahasa daerah dan
sekaligus akan memperkaya kosakata bahasa daerah itu sendiri.88
86 Mahsun, Bahasa Daerah sebagai Sarana peningkatan Pemahaman Kondisi Kebinekaan dalam
Ketunggalikaan Masyarakat Indonesia: ke Arah Pemikiran dalam Mereposisi Fungsi Bahasa
Daerah dalam Jumariam (ed.), Politik Bahasa, (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa, 2011), h. 41-42 87 A. Chaedar Alwasilah, Politik Bahasa Nasional dan Bahasa Daerah dalam Politik Bahasa dan
Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), cet. Kedua, h. 22 88 Op Cit, Mahsun, h. 41-42
77
Dengan demikian, pesantren telah merencanakan politik bahasanya
dengan sangat apik. Bahasa daerah, bahasa nasional, dan bahasa asing telah
berperan sesuai garisnya masing-masing. Hal ini pun sejalan dengan motto
yang digaungkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, yakni
utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa
asing.
78
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan analisis data alih kode dan campur kode dalam pengajian kitab-
kitab fikih di Buntet Pesantren, dapat diperoleh hasil simpulan sebagai berikut.
Pertama, hasil penelitian menunjukkan campur kode lebih banyak terjadi
ketimbang alih kode. Alih kode bahasa Arab dalam pengajian kitab-kitab fikih di
Buntet Pesantren terjadi saat kali pertama mulai mengaji. Selain itu, peralihan ke
bahasa Arab juga terjadi saat kiai memberikan penjelasan, lalu kiai tersebut
mengutip teks kitab secara utuh guna mempertegas penjelasannya. Pengutipan
berupa frasa juga kerap kali muncul. Hal tersebut masuk dalam campur kode bahasa
Arab. Campur kode juga terjadi pada pemunculan istilah-istilah. Percampuran ini
meliputi hampir seluruh kategori, yakni nomina, verba, dan adverbia, beserta
keseluruhan frasanya. Alih kode bahasa Jawa terjadi saat kiai memberikan
pemaknaan terhadap teks kitab. Selain itu, dalam memberikan penjelasan, kiai juga
kerap kali mengalihkan bahasanya dengan menggunakan bahasa Jawa. Hal ini
terjadi secara alamiah. Kata-kata bahasa Jawa juga terkadang muncul di tengah
penjelasan menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini tergolong pada campur kode.
Kedua, peralihan dan percampuran bahasa Arab dalam pengajian kitab-kitab
fikih di Buntet Pesantren tentu saja dipengaruhi oleh bahasa dasar kitab yang dikaji,
yakni bahasa Arab. Bahasa Jawa dipilih sebagai bahasa pemaknaan setidaknya
memiliki dua alasan, yakni mempertahankan tradisi sebagai warisan kekayaan
budaya dan eratnya kesamaan antara bahasa Jawa dan bahasa Arab sehingga
memudahkan para santri untuk memahami teks berbahasa Arab tersebut.
B. Saran
Pertama, penggunaan alih kode dan campur kode dalam pengajian di Buntet
Pesantren sudah sangat tersusun rapi. Teks berbahasa Arab dimaknai dengan
menggunakan bahasa Jawa serta dijelaskan dengan menggunakan bahasa
Indonesia. Tiga bahasa tersebut sudah memiliki perannya masing-masing.
Ketiganya saling menguatkan, teks bahasa Arab mudah diketahui susunan
79
gramatikanya dengan pemaknaan yang menggunakan bahasa Jawa. Para santri pun
memahami esensi ataupun substansi teks kitab berbahasa Arab itu dengan
penjelasannya yang menggunakan bahasa Indonesia mengingat beragamnya asal
santri.
Kedua, Model penggunaan bahasa demikian memang sudah sangat cocok
sejak dulu digunakan di pesantren. Hal tersebut dapat mengakomodir kebutuhan
santri, yakni memahami bahasa Arab dan memahami isi teks. Oleh karena itu, hal
yang sudah teratur ini harus tetap dipertahankan.
Ketiga, istilah-istilah fikih berbahasa Arab yang belum masuk dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bisa diusulkan untuk masuk menjadi entri baru
pada penerbitan edisi selanjutnya.
80
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar. Pemasyarakatan Bahasa Indonesia dalam Pembangunan
Pedesaan dalam Bahasa Indonesia menuju Masyarakat Madani. Jakarta:
Progres. 2003.
Alwasilah, A. Chaedar. Politik Bahasa Nasional dan Bahasa Daerah dalam Politik
Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2000. Cet. Kedua.
Alwi, Hasan. Fungsi Politik Bahasa dalam Jumariam (ed.). Politik Bahasa. Jakarta:
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2011.
Ansaldo, Umberto. Contact of Languages. Cambridge: Cambridge University
Press. 2009.
Appel, Rene dan Peter Muysken, Language Contact and Bilingualism. Amsterdam:
Amsterdam University Press. 2005.
Arikunto, S. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1998. dikutip oleh
Abdul Kholiq, Roekhan dan Sunaryo, Campur Kode pada Naskah Pidato
Presiden Republik Indonesia Bapak Dr. Susilo Bambang Yudhoyono. JPBSI
Online. Universitas Negeri Malang. Malang. 2013.
Atmojo. Dhanang Tri. Alih Kode dan Campur Kode dalam Kelompok Masyarakat
Perantau di Desa Kedung Bagong, Sidomakmur, Widodaren, Ngawi.
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2013. Diunduh melalui
http://eprints.ums.ac.id/23343/ pada tanggal 23 September 2016, pukul 16.21
WIB.
Brewer, John D. Ethnography. Philadelphia: Open University Press. 2000.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta:
Rineka Cipta. 2009.
Coulmas, Florian. Sociolinguistics; The Study of Speaker’s Choices. Cambridge:
Cambridge University Press. 2005.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai dan
Visinya mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES. 2011. Cet.
Kesembilan.
Fromkin, Victoria, dkk. An Introduction to Language. Australia: Thomson
Wadsworth. 2003. Edisi Ketujuh.
81
Fromkin, Victoria dan Robert Rodman. An Introduction to Language. Amerika
Serikat: Holt, Rinehart and Winston, Inc. 1974.
Gardner, Penelope dan Chloros. Code Switching. Cambridge: Cambridge
University Press. 2009.
Gardner, Penelope dan Chloros. Sociolinguistic Factors in Code Switching dalam
The Cambridge Handbook of Linguistic Code-Switching. Cambridge:
Cambridge University Press. 2009.
Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan. Language, Context, and Text: Aspects of
Language in Social Semiotic Perspective. Oxford: Oxford University Press.
1989.
Hancock, Beverley. An Introduction to Qualitative Research. Nottingham: Trent
Focus Group. 2002.
Hasan, Ahmad Zaini. Perlawanan dari Tanah Pengasingan; Kiai Abbas, Pesantren
Buntet dan Bela Negara. Yogyakarta: LkiS. 2014.
Hymes, Dell. Ethnography, Linguistics, Narrative in Equality Toward
Understanding to Voice. London: Taylor and Francis. 2004.
Jendra, Made Iwan Indrawan. Sosiolinguistics The Study of Societies’ Languages.
Yogyakarta: Graha Ilmu. 2012.
Kholiq, Abdul, Roekhan, dan Sunaryo. Campur Kode pada Naskah Pidato
Presiden Republik Indonesia Bapak Dr. Susilo Bambang Yudhoyono.
Malang: Universitas Negeri Malang, 2013. Diunduh melalui http://jurnal-
online.um.ac.id/article/do/detail-article/1/47/867 pada tanggal 23 September
2016, pukul 16.22 WIB
Kramsch, Claire. Language and Culture. Oxford: Oxford University Press. 2014.
Lumintaintang, Yayah B. Peranan Bahasa Indonesia dalam Pembangunan
Perdesaan dalam Bahasa Indonesia menuju Masyarakat Madani. Jakarta:
Progres. 2003.
Mahsun. Bahasa Daerah sebagai Sarana peningkatan Pemahaman Kondisi
Kebinekaan dalam Ketunggalikaan Masyarakat Indonesia: ke Arah
Pemikiran dalam Mereposisi Fungsi Bahasa Daerah dalam Jumariam (ed.).
Politik Bahasa. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2011.
Matras, Yaron. Language Contact. Cambridge: Cambridge University. 2009.
82
Mason, Jennifer. Qualitative Researching. London: SAGE Publications. 2002.
Meuteur, Renata. F. I. Language Selection in Bilinguals: Mechanisms and
Processes dalam Handbook of Bilingualism: Psycholinguistic Approaches.
Oxford: Oxford University Press. 2005.
Moeliono, Anton M. Kembara Bahasa Kumpulan Karangan Tersebar. Jakarta:
Gramedia. 1989.
Rokhman, Fathur. Sosiolinguistik Suatu Pendekatan Pembelajaran Bahasa dalam
Masyarakat Multikultural. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2013.
Saville, Murielle dan Troike. The Ethnography of Communication. Australia:
Blackwell. 2003.
Sneddon, James. The Indonesian Language: Its History and Role in Modern
Society. Sydney: University of New South Wales. 2003.
Spolsky. Bernard. Sociolinguistics. Bristol: Oxford University Press. 2008.
Suhardi, Basuki. Perkembangan Bahasa Indonesia di Daerah Perdesaan dalam
Bahasa Indonesia menuju Masyarakat Madani. Jakarta: Progres. 2003. Thomason, Sarah G. Language Contact. Edinburgh: Edinburgh University Press.
2001.
Trask, R.L. Language Change. London: Routledge. 1994.
Walters, Joel. Bilingualism: The Sociopramatic – Psycholinguistic Interface. New
Jersey: Lawrens Erlbaum Associates, Publishers. 2005.
Wardaugh, Ronald. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Blackwell
Publishing. 2006.
Wee, Lionel. Malaysia, Singapore, Indonesia, Philippines dalam The Routledge
Handbook of Sociolinguistics Around the World. New York: Routledge.
2010.
Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. Sosiolinguistik Kajian Teori dan
Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2013. Cet. Keenam.
Aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima. Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. 2016.
87
LAMPIRAN TRANSKRIPSI PENGAJIAN
A. Sistem Sorogan
Bismi (a)llahi (al-)rrahmȃni (al-)rrahȋm
Fașlun | utawi iki ikulah fasal. Wafuruḍu [sic.] (a)l-ghusli. Wafaraiḍu (a)l-ghusli
| lan utawi piro-piro fardune adus. Iku tsalatsatu asyyaa | telu piro-piro sewiji-wiji.
Al-niyyatu | suwiji niat. Waizalatu (al-)nnajasati | lan ngilangaken najis. In kȃnat |
lamon ana opo najis | iku ‘alȃ badanihi | ingatase badane wong. Wa ȋsȏlu (a)l-mȃ’i
| lan nekaaken banyu | ilȃ jamȋ’i (al-)ssya’ri | tumeka maring sekabehane rambut |
wa (al-)basyarati | lan kulit. Ayuh, bareng!
B. Sistem Bandungan
Al-Fȃtihah!
A’udzubillȃhi min(a) al-syaiṭȃni al-rajȋm. Bism(i) (a)llah(i) al-rahmȃn(i) al-
rahȋm
Wa syuriṭo lahȗ niyyatun kahȃdza zakȃtun aw shadaqatun mafruḍatun
Wa syuriṭa | lan disyarataken. Lahȗ | kaduwe nekaakaen zakat. Opo niyyatun |
niat. Kahȃdza zakȃtun | kaya lafadz ‘hȃdza zakatun’. Hȃdza | utawi ikilah harta. Iku
zakȃtun | zakat. Aw shadaqotun | atawa shadaqah. Mafrȗḍatun | kang difarduaken.
Lȃ muqȃranatuhȃ | ora barengaken niat zakat. Liddaf’i | maring nyerahaken
zakat. Bal takfȋ | balik cukup opo niat. Bal takfi | balik cukup opo niat. ‘Inda ‘azri
qadri al-zakȃti | nalikane nyopot kira-kirane zakat. Aw iqṭȃ’i wakilin | atawa olihe
nyerahaken wakil. Aw bakda ahadihimȃ | atawa ing dalem sawise salah sijine azri
qadrizzakȃti aw tawkil.
Waqabla al-tafarruqati | lan ingdalem sawise89 [sic.] pisah. Bi’usri (i)qtirȃnihȃ |
karena angele barengaken niat. Biadȃi kulli mustahiqqin | kelawan nekani saben-
saben wong kang ngehaki zakat.
Walaw qȃla | lan lamon ngucap sopo wong. Lighairihi | maring liyane wong.
Ngucapaken tașaddaqa bihȃdza, tashaddaqa | shadaqoh sopo wong [sic.], bihȃdza |
89 Harusnya, maknanya sedurunge (sebelum).
88
kelawan ikilah harta. Tsumma nawȃ | mangka kari-kari niat sopo wong. Al-zakȃta |
ing zakat. Qabla tașadduqihi | ingdalem sakdurunge | shadaqohe wong. Biżȃlika |
kelawan mengkono-mengkono ucapan hȃdza. Ajzaahu | mangka nyukupi opo hȃża
ing si uwong. ‘An(i) al-zakȃti | saking zakat.
Tapi walaw qȃla | lan lamon ngucap sopo wong. Liakhara | maring wong liyan.
Maqul qaule iqbiḍ baynȋ min fulȃnin, iqbidl | nampanana sira, daini | ing utang isun,
min fulȃnin | saking fulan. Wahuwa | utawi daini. Iku [sic] laka kaduwe sira.
Wahuwa | lan utawi daini. Laka | kaduwe sira. Iku zakȃtun | zakat. Lam takfi | maka
ora nyukupi | opo ucapan iqbiḍ daini. Hattȃ yanwiya | sehingga niat sopo wong. Ay
huwa | tegese wong. Bakda qabḍihi | ingdalem sawise nerimane akhoro ing daini.
Tsumma ya’dzana | mangka kari-kari ngidzini sopo wong, lahu | maring akhor,
fi akhdziha | ingdalem ngalap zakat. Waaftȃ | lan maringi fatwa. Sopo ba’ḍuhum |
sebagiane ulama. Anna al-tawkȋla | ing setuhune wakilaken. Al-muṭlaqa | kang
mutlak. Fȋ ikhrȃjihȃ | ing dalem ngetoaken zakat. Iku yastalzimu | wajibaken sopo
attawkil. Al-tawkila | ing wakilaken. Fi niyyatihȃ | ing dalem niat zakat.
Qȃla | wis dawuh. Sopo syaikhunȃ | guru kita. Wa fȋhi | nyatane lafadz wa fihi.
Wa fȋhi | lan iku tetap ingdalem ‘afta ba’ḍuhum al-ifta’, naẓrun | utawi pandangan,
naẓrun | utawi wicoro, bal(i) (a)l-muttajihu | balik utawi kaul kang diwajahaken. Iku
annahu | setuhune kelakuan, iku lȃ budda | ora kena ora, min niyyati (a)l-mȃliki |
saking niate wong kang miliki harta. Aw tafwiḍiha | atawa nyerahaken ‘niyatu (a)l-
malik, li (a)l-wakili | maring wakil.
Wa qȃla | lan wis dawuh, sopo al-Mutawalli | Imam al-Mutawalli, wa ghairuhu |
lan liyane al-Mutawalli. Dawuhe, yata’ayyanu | dadi nyata, dadi tertentu, opo
niyyatu (a)l-wakȋli | niat wakil, iżȃ waqa’a | nalikane tumiba, opo farḍun | fardu,
bimȃlihi | kelawan hartane wakil. Bian qȃla | kelawan yenta ngucap, lahu | maring
wakil, sopo muwakkiluhu | wong kang wakilaken al-wakil. Dawuhe, addȋ zakȃtȋ
min mȃlika, addȋ | nekanana (sopo) sira, zakȃtȋ | ing zakat isun, min mȃlika | saking
hartane sira, liyanșarifa | supaya mengo atawa supaya berpaling, opo fi’luhu |
pegaweane al-wakil, ‘anhu | saking muwakkil.
89
Waqauluhu | lan utawi dawuhe muwakkil, żalika | ing mengkono-mengkono
‘addȋ zakȃtȋ min mȃlika, iku mutaḍamminun | nyimpen opo qauluhu, li (a)l-iżni |
maring idzin, lahu | kaduwe al-wakil, fi al-niyyati | ingdalem niat.
Waqȃla | lan wis dawuh, sopo al-Qaffȃlu | Imam al-Qaffal. Law qȃla | lamon
ngucap sopo wong, lighairihi | kaduwe liyane wong, ‘aqriḍni khamsatan’ nyatane
ucapan aqriḍni khamsatan. Aqriḍni | ngutangana sira ing isun, khomsatan | ing lima,
uaddȋhȃ | mangka nekaaken sopo isun ing khomsat, ‘an zakȃtȋ | saking zakat isun,
fafa’ala | mangka ngelakoni sopo wong, șahha | mangka sah opo qauluhu.
Qȃla | dawuh, sopo syaikhunȃ | guru kita, wahuwa | utawi șahha, iku mabniyyun
| den jenengaken, ‘ala ro’yihi | ingatase pendapate al-Qaffal, bijawazi (a)l-tihad(i)
(a)l-qabiḍi | kelawan wenange tunggale wong kang nerima, wa (a)l-muqbiḍi | lan
wong kang nyerahaken.
Dalam masalah zakat, disyaratkan harus ada niat dari orang yang mau
menyerahkan zakatnya. Niyyatun biqalbin, lȃ nutqin. Artinya, ketika mau
mengeluarkan zakat atau mau menyerahkan zakat, maka cukup dengan niat di
dalam hati saja. Artinya, tanpa ada ucapan yang terdengar oleh orang yang mau
menerima zakat. Dan niatnya pun tidak terlalu banyak, cukup dengan contoh hȃżȃ
zakȃtun, ini zakat. Ini sudah termasuk niat dan sudah bisa menentukan bahwa harta
yang mau diserahkan itu adalah harta za? Zakat. Artinya mustahiq itu tidak perlu
mengetahui apakah benda ataupun barang yang dia dapatkan itu adalah harta zakat
atau bukan. Yang penting, orang yang memberikannya itu sudah mempunyai niat
bahwa yang diberikan itu adalah za? Zakat.
Kalau seumpama tidak menggunakan kalimat zakat juga boleh. Seperti
menggunakan hȃżihi șadaqatun mafruḍatun, ini adalah sodaqoh wajib saya. Itu juga
boleh. Dan tidak mesti ataupun tidak harus kalimat tersebut terdengar oleh orang
lain. Kalimat tersebut tidak mesti harus didengar oleh orang yang mau menerima
zakatnya. Makanya di sini dalam syarahnya, niyyatun biqalbin lȃ nutqin. Cukup di
dalam hati saja. Cukup di dalam hati saja.
Sekarang kalau seumpama diucapkan boleh tidak? Boleh diucapkan.
“Pak, ini zakat saya.”
90
“Pak, ini shadaqoh wajib saya. Mohon diterima.”
Ini juga boleh. Tapi, apa namanya, yang wajib itu adalah biqalbin tanpa perlu
diucapkan lagi berbeda dengan talaffuẓ pada niat-niat yang lain. Ada yang talaffuẓ
mengucapkan niat itu hukumnya sunnah, ada yang juga tidak termasuk dalam
kategori sunnah. Seperti hȃżȃ zakȃtȋ. Ini tidak mesti atau saya bahasakan tidak perlu
untuk diucapkan lagi.
Apalagi kalau seumpama yang mustahiknya itu adalah orang yang terhormat.
Contohnya ada yang fakir dan dia adalah gurunya sendiri. Walaupun seumpama
ada seorang guru yang kebetulan gurunya fakir lalu kamu mau memberikan zakat
kepada guru yang fakir tersebut, ini langsung kamu serahkan saja, tidak perlu kamu
mengucapkan, “Kiai, ini zakat saya.” Ini tidak untuk perlu diucapkan. Langsung
diserahkan saja. “Ini mohon diterima dari saya.” Karena apa? Ketika dia
mengeluarkan zakat itu dia sudah ta’yȋn, sudah menentukan bahwasanya beras yang
saya bawa ini adalah merupakan za? Merupakan zakatnya. Ngertos nopo boten?
Kemudian juga, lȃ muqoronatuha li al-daf’i, seperti niat-niat yang lain
bahwasanya niat dalam suatu ibadah itu kan ada keharusan muqȃranah, makanya
definisinya kan qașdu syay’in muqtaranan bifi’lihi. Ada yang tidak harus
muqtaranan bifi’lihi. Yang pertama adalah niat puasa Ramaḍan. Niat apa jeh?
Puasa Ramaḍan. Itu adalah qoblal fi’li. Belum menjalankan puasa, kamu sudah
harus niat terlebih dahulu. Tidak boleh niat puasa berbarengan dengan
pelaksanaannya. Sebab, kalau berbarengan dengan pelaksanaanya, berarti nanti ada
waktu sekian detik di mana kamu, ya ada waktu sekian detik yang tidak atau belum
diniati puasanya. Niat puasa butuh waktu untuk talaffuẓ melafazkan atau pun untuk
mengucapkan apakah itu bi (a)l-qalbi atau bi (a)l-nutqi dengan cara mengucapkan.
Begitu juga dengan zakat. Zakat juga tidak berbarengan dengan
mengeluarkannya. Lȃ muqȃranatuhȃ li (a)l-daf’i. Ya. Tidak harus bersaman dengan
proses menyerahkan zakat tersebut atau memberikan zakat tersebut kepada orang?
Orang lain. Ngertos nopo boten?
Yang penting bal takfi inda azli aw iqṭa’i wakilin, yang penting ketika kamu
memisahkan atau menyiapkan barang yang mau dizakati di situ sudah diniati atau
91
diniati ketika kamu menyerahkan kepada wakil kepada orang yang mau
menyerahkan zakat tersebut. Contohnya, seumpama saya mau menyerahkan zakat
kepada seseorang, toli (kemudian) saya nyuruh orang lain, “Ini tolong antarkan
zakat saya kepada si A.” Lah ini sudah kalimat zakat saya. Ini sudah ada ta’yȋn
kalimat tersebut adalah zakat saya. Dan ketika si wakil itu memberikan kepada
orang lain yang saya tuju, tidak perlu mengatakan ini zakatnya babah (panggilan
santri kepada dirinya), ini zakatnya. “Ini dari babah” ini sudah cukup. Ngertos nopo
boten?
Jadi yang menyerahkan itu tidak mesti harus mengatakan kalimat zakat. Tapi
yang penting, yang mengeluarkan zakat ini sudah memberikan kalimat atau sudah
menentukan bahwa harta yang mau diberikan itu adalah merupakan zakatnya.
Ngertos nopo boten?
Wa qabla al-tafarruqoti li’usri (i)qtirȃnihȃ biadȃi kulli mustahiqqin. Karena
memang susah. Karena memang apa? Susah. Untuk membarengkan niat zakat
kepada orang lain karena memang orang yang diberikan zakatnya itu bisa karena
rumahnya atau pun yang tertuju itu tidak serumah dengannya ataupun yang lainnya.
Walaw qȃla lighairihi tașaddaqa bihȃżȃ. Tsumma nawȃ (al)-zzakȃta qabla
tașadduqihi biżȃlika ajzaahu. Atau tashaddaq, tadi maaf, tașaddaq sodaqoha sira
bihȃżȃ kelawan ikilah harta. Kalau seumpama ada orang yang memberikan zakat
tersebut dan dia mengatakannya bukan bahasanya zakat tapi mengatakan bahwa
tolong șadaqah-kan harta ini kepada orang lain. Ini boleh tidak? Lah ini. Lihat!
Tsumma nawa (al-)zzakata qabla tașadduqihi bidzalika, ajzaahu. Namun setelah
atau sebelum benda tersebut dishadaqohkan lalu dia niat bahwa șadaqah yang
dimaksud itu adalah zakat, maka ini sudah bisa menjadi sah niat zakatnya. Karena
apa? Karena kalimat tashaddaqo ini belum bisa bermakna zakat. Karena yang
namanya tașaddaqa atau șadaqat ada dua, ada șadaqatun mafrȗḍatun artinya apa?
Șadaqah yang diwajibkan, ada yang, apa namanya, șadaqatun mustahabbatun,
șadaqah taṭawwu’, artinya șadaqah sunnah. Kalau cuma șadaqah saja masih dua
punya kemungkinan, kemungkinan șadaqah mafruḍah kemungkinan șadaqah
taṭaw? taṭawwu’. Kalau yang diucapkan itu sebagai șadaqah dan sebelum
92
diserahkan dia sudah ada qașdu bahwa yang dimaksud șadaqah itu șadaqah zakat
maka itu sudah cu? sudah cukup.
Berbeda dengan law qȃla liakhor iqbiḍ daynȋ min fulan wahuwa laka zakatun.
Iqbidl dayni min fulan wahuwa laka zakatun lam yakfi hatta yanwiya huwa bakda
qobḍihi. Berbeda dengan seumpama kamu disuruh oleh saya untuk menagih hutang
kepada orang yang punya hutang kepada saya, “Bang (panggilan akrab kepada para
santri karena mayoritas santrinya dari Jakarta), tolong tagihin uang pada orang?”
“berapa?” “250000.” Tagihkan uang dua ratus ribu [sic] dan itu nanti buat zakat
kamu. Dan itu nanti buat zakat kamu, artinya saya berikan kepada kamu sebagai
zakatnya saya. Lah kalau niat yang seperti itu, maka itu masih belum sah niatnya.
Kenapa? Karena uangnya masih belum ada di tangan dia. Dan dia pun masih belum
tentu bisa, apakah orang yang ditagih itu mau membayarkan saat itu ataukah orang
yang ditagih itu nanti-nanti kalau waktu itu belum punya uang. Maka lam yașihha
niat zakat yang seperti itu kecuali apabila hartanya sudah diterima oleh si penagih
dan dia laporan. “Ini pak, alhamdulillah uangnya dia mau bayar.” “Berapa?” “250
(ribu).” “Mana?” Ya sudah kalau begitu, silakan buat kamu sebagai zakat saya.
Nggih nopo boten? Itu berarti boleh kalau yang seperti itu.
Lam yakfi hatta yanwiya huwa bakda qabḍihi tsumma ya’dzana lahu fi akhżiha.
Artinya dia boleh untuk mengambilnya dan itu adalah dia berikan sebagai zakat
dari dirinya. Wa afta ba’ḍuhum anna (al-)ttawkila almuṭlaqa fȋ ikhrȃjihȃ yastalzimu
(al-)ttawkil fȋ niyyatihȃ. Orang yang diwakili atau mewakili seseorang untuk
mengeluarkan zakat ini juga diperlukan untuk niat. Makanya niat zakat itu ya, yang
penting niat zakat itu adalah barang yang dizakatinya ada di depan mata, atau dia
tahu bentuk bendanya, dia tahu bentuk barang yang mau dizakatinya. Makanya
kalau di Buntet Pesantren, zakat yang fitrah itu supaya tahqiq, maka orang yang
niat itu sambil memegang berasnya lalu dia mengucapkan niat, walaupun ada niat
yang secara bagus, nawaitu an ukhrija zakȃtal fiṭri ‘an nafsȋ farḍan lillahi ta’ȃlȃ.
Lah kalau seumpama orangnya tidak ada, ya, makanya dia harus tawkil kepada yang
mau mengeluarkan zakatnya. Kalau tidak maka dia bisa mengeluarkan zakat
sendiri atau nanti di-tawzi’ dan dibagikan kepada yang lain. Kayak contoh
seumpama, para santri ketika dia mengeluarkan zakat fitrah dan santri tidak pulang,
seumpama. Santrinya tidak? Tidak pulang . Ini maka santri bisa zakat sendiri di
93
tempat masing-masing atau orang tua yang mengeluarkan zakat dan diberikan
kepada orang yang ada di asal tempat tinggalnya namun di sini harus tawkil. Harus
apa jeh? Harus tawkil. Tidak bisa kamu niat lewat telepon saja seumpama. “Ya
udah pak, saya iatnya pakai telfon saja,” seumpama. Gak bisa. Karena apa? Karena
dia tidak mengetahui barang apa yang mau dizakati. Makanya “ya udah pak, tawkil
saja.” Artinya, nanti orang tua kamu yang mewakili niat zakatnya. Gampang. Tidak
perlu pakai yang, apa namanya, yang resmi-resmi. Contohnya, “hȃżȃ zakȃtu fiṭri
ibnȋ, ini zakat fitrah anak saya, namanya ini,” udah. Nah itu, itu. Artinya apa? Si
tawkil juga harusnya tidak boleh hanya sruntul dibagiaken saja. Ini gak boleh.
Ngertos nopo boten? Ngertos nopo boten? Lah ini.
Qȃla syaikhunȃ wa fihina bal muttajid annahu lȃ budda min niyyati (a)l-mȃlik
aw tafwiḍihȃ li (a)l-wakil. Artinya yang penting itu pemilik harta ketika mau
mengeluarkan zakatnya maka malikul mal harus apa? Harus niat, niat dikeluarkan
apakah itu langsung diberikan kepada mustahiknya atau ya diserahkan kepada
orang lain untuk memberikan menyampaikan kepada mustahik zakat tersebut, ya
sudah harus diniati.
Ngertos nopo boten? Ngertos nopo boten?
Ya jadi seperti itu. Lebih baik. Karena dalam bahasanya zakat itu kan ada yang
memberikan makna, apa namanya, kotoran. Ada yang memberikan makna ada
sebagai pembersih. Nggih nopo boten? Makanya, apa namanya, tidak perlu
mengucapkan “Pak, pak kiai, ini zakat saya,” seumpama. Ini gak perlu
mengucapkan seperti itu. Ya, cukup langsung diberikan saja. “Mohon diterima, pak
kiai, șadaqah saya.” “Apa?” “șadaqah saya.” Padahal sebelumnya kamu sudah niati
apa? Zaa? Zakat. Itu gak jadi masalah. Untuk menyamarkan jangan sampai
memberikan kalimat zakat kepada terutama orang-orang yang sangat kita hormati.
Ngertos nopo boten? Ngertos nopo boten?
Wa jȃza likullin min (al-)syarikaini. Tsumma qȃla, wallȃhu a’lam bi (al-)șawab.
94
C. Sistem Terpadu
Kiai : Bismillah(i) (al-)rrahman(i) (al-)rrahim
Wal ‘ilmu | lan weruh, bifarḍiyyatiha | kelawan kefarduane solat.
Ya. Syarat berikutnya mengetahui hukum fardlunya salat. Sebagaimana yang
kita ketahui, hukumnya salat yang lima waktu itu wajib atau sunnah? Kalau
nganggep sunnah salatnya tidak ess?
Santri : Saah
Kiai : Ngerti?
Santri : Ngerti.
Kiai : Atau tidak punya anggap-anggapan. “Kamu salat apa?” “Salat
Maghrib” “Wajib apa sunnah?” “Ya entah pokoknya temen-temen solat ya
solat saja. Ndak ngerti wajib atau sunnah.” maka tidak ess?
Santri : Sah
Kiai : Jadi harus diyakini wa?
Santri : Jib.
Kiai : Kalau solat wajib harus diyakini wa?
Santri : Jib
Kiai : Kalau solat wajib diyakini sunnah maka tidak ess?
Santri : Sah
Kiai : Atau tidak diyakini apa-apa asal salat saja gak mengerti itu wajib
apa sunnah, maka juga tidak ess?
Santri : Sah
Kiai : Jadi solat yang lima waktu harus kita yakini hukumnya waa?
Santri : Jib
Kiai : Makanya di dalam hatinya ketika niat, ușalli farḍo dan nama so?
95
Santri : Lat
Kiai : Ya? Ngerti? Kalau solat fardu diyakini sunnah atau tidak diyakini
apa-apa maka salatnya tidak ess?
Santri : Sah
Kiai : Jelas? Wa anla ya’taqida | lan yenta ora nekadaken sopo wong,
farḍon | ing fardu suwiji, min furuḍiha | setengah saking piro-piro farḍune
solat, sunnatan | ing sunnah.
Kiai : Iya. Yang tulisannya sunnatun diganti sunnatan. Syarat yang
ketujuh, rukun-rukun solat jangan sampai dianggap sunnah. Kalau rukun-rukun
solat dianggap sunnah tidak ess?
Santri : Sah
Kiai : Contohnya kalau baca Fatihah di dalam solat sunnah apa wajib?
Kalau nganggep sunnah, solatnya tidak ess?
Santri : Sah.
Kiai : Doa iftitah wajib apa sunnah? Doa iftitah itu hukumnya sunnah.
Tapi kalau nganggep wajib tidak apa?
Santri : apa (tidak apa-apa).
Kiai : Kalau yang sunnah dianggep wajib tidak apa?
Santri : Apa.
Kiai : Yang penting, yang wajib jangan sampai dianggap sunn?
Santri : Sunnah.
Kiai : Kalau sunnah dianggap wajib tidak apa?
Santri : Apa.
Kiai : Baca surat setelah Fatihah wajib apa sunnah?
Santri : (Diam)
96
Kiai : Wajib apa sunnah? Sunnaaah. Kalau ngaggep wajib tidak apa?
Santri : Apa.
Kiai : Jadi yang penting, yang rukun jangan sampai dianggap sunnah.
Kalau yang sunnah dianggap rukun tidak apa?
Santri : Apa.
Kiai : Makanya kalau kita tidak ngerti ini sunnah apa rukun, lah anggap
saja semuanya rukun tidak apa?
Santri : Apa.
Kiai : Tasyahud awal rukun apa sunnah?
Santri : (Diam)
Kiai : Tasyahud awal pada solat Maghrib, Isya, Luhur, Asar. Itu ada
tasyahud awal itu. Wajib apa sunnah?
Santri : Wajib
Kiai : Wajib apa sunnah? Tasyahud awal? Sunn?
Santri : Sunnah
Kiai : Kalau nganggep wajib tidak apa?
Santri : Apa.
Kiai : Enggak papa yaa. Makanya kalau ngajarin solat pada anak-anak,
ajarin saja sesempurna mungkin. Yang sunnah-sunnahnya diajarin semua
supaya bisa semua. Kalau sudah terbiasa melaksanakan yang sunnah, ya tidak
berat lagi. Tidak keberatan lagi. Enak yaa. Jadi orang solat berikut melakukan
yang sunnah-sunnahnya, sama saja dengan makan banyak lauknya. Semakin
lahap, semakin enak. Solat juga semakin sempur(na)?
Santri : (sempur)Naa.
Kiai : pahalanya semakin be(sar)?
Santri : (be)Sar
97
Kiai : Katanya orang solat itu pahalanya sepuluh? Kok semakin besar?
Ya sepuluhnya sepuluh apa dulu? Sepuluh kambing dan sepuluh sapi besaran
mana?
Santri : Sapi.
Kiai : Iya lah itu. Kualitas solatnya semakin ting(gi)?
Santri : (ting)Gii.
Kiai : Jelas yaa? Jadi rukun solat jangan sampai dianggap sunnah. Kalau
sunnahnya solat dianggap rukun tidak apa?
Santri : Apa.
Kiai : Wajtinabul mubṭilati | lan ngadohi piro-piro perkara kang batalaken
solat. Yang kedelapan menjauhi segala yang membatalkan solat. Ya, otomatis
solatnya batal kalau melakukan sesuatu yang membatalkan solat. Makanya
menjauhi segala yang membatalkan solat dari mulai allahu akbar sampai
assalaamu ‘alaikum warahmatullah. Jangan melakukan satu pun sesuatu yang
membatalkan so?
Santri : Lat.
Kiai : Dari mulai takbir sampai sa?
Santri : Lam.
Kiai : Kalau melakukan sesuatu yang membatalkan solat ya otomatis
solatnya batal. Harus diulangi lagi. Jelas belum?
Santri : Jelas.
Kiai : Nanti insyaallah fasalnya ada di belakang, apa saja yang
membatalkan solat. Salah satuya, misalnya, sedang solat ngomong maka
membatalkan solat. Ngomong sedikit kalau disengaja, atau banyak walaupun
alesan tidak sengaja. Itu salah satu yang membatalkan so?
Santri : Lat.
98
Kiai : Kita menjauhinya. Segala yang membatalkan solat dari mulai
takbiratulihram sampai sa?
Santri : Lam.
Kiai : Jelas belum?
Santri : Jelas.
Kiai : Al-ahdȃtsu | utawi piro-piro hadats, iku itsnȃni | loro. Ya. Kemarin
kita sudah menjelaskan bahwa salah satu syaratnya solat harus bebas dari dua
hadas. Nah ini makanya hadas tuh ada du?
Santri : Dua.
Kiai : Așgharu | sewiji hadats cilik, wa akbaru | lan hadas gede. Satu
hadats kecil yang kedua hadats bes?
Santri : Sar.
Kiai : Fal-așgharu | maka utawi hadats cilik, iku ma | barang, awjaba |
kang majibaken opo ma, al-wuḍua | ing wudu. Yang nama hadats kecil adalah
sesuatu yang mewajibkan wudu. Atau dengan menggunakan kata lain sesuatu
yang membatalkan wudu. Sesuatu yang membatalkan wudu itu disebut hadats
ke?
Santri : Cil.
Kiai : Apa lagi yang membatalkan wudu? Kemarin kan sudah dibahas.
Sesuatu? Iya. Yang keluar dari kubul atau dubur. Baik sengaja atau?
Santri : Tidak sengaja.
Kiai : Baik biasa atau?
Santri : Luar biasa.
Kiai : Baik berbentuk benda? Benda padat, cair, dan? Beracun. Ya itu ya.
Yang kedua hilang? Hilang akal. Baik sengaja ataupun tidak sengaja. Baik
karena sakit atau ti?
99
Santri : Dur.
Kiai : Kecuali tidurnya orang yang merapatkan pantatnya, maka tidak
batal karena akalnya tidak hilang dan tidak kentut.
Santri : Yang ketiga apa? Yang ketiga apa yang membatalkan wudu? Sen?
Sentuhan antara kulit laki-laki dan perempuan yang sama-sama sudah dewasa
dan tidak ada pertalian mahram kemudian tidak ada penghalang. Itu ya. Itu
yang ketiga. Satu lagi yang keempat. Menyentuh kubul anak?
Santri : Anak Adam.
Kiai : Termasuk kepunyaan sendiri. Karena kan kita keturunan Adam,
bukan keturunan monyet. Atau kepunyaan jabang bayi kalau pakai dalamnya
telapak tangan. Kalau pakai luarnya tidak batal. Itulah hadas kecil. Sesuatu
yang mewajibkan wudu atau dengan kata lain sesuatu yang membatalkan wudu
itu disebut hadas kecil. Nah ini kalau kita solat harus bebas dari hadats tersebut.
Wal-akbaru | lan utawi hadas gede, iku ma barang, awjaba | kang majibaken
opo ma. al-ghusla | ing adus.
Yang nama hadas besar adalah sesuatu yang mewajibkan mandi. Apa lagi yang
mewajibkan mandi? Ada berapa saja kemaren tuh? Tadi saja baru dibaca.
Mữjibatul ghusli sittatun. Berapa sittatun tuh?
Santri : Enam
Kiai : Eh iya enam. Pinter orangnya sih. Yang mewajibkan mandi ada e?
Santri : Enam. Satu apa? Ȋlajul hasyafati memasukkan hasyafah ke dalam?
Santri : Farji.
Kiai : Iya, memasukkan hasyafah ke dalam farji. Walaupun milik orang
gila. Walaupun milik orang maa?
Santri : Ti.
Kiai : Walaupun milik binatang ter?
Santri : Nak.
100
Kiai : Kalau memasukkan ke situ, maka mewajibkan man?
Santri : Di.
Kiai : Ya? Ngerti? Baik yang kemasukan maupun yang memasukkan.
Ya? Yang kemasukan berarti perempuannya. Yang memasukkan berarti
pemilik kelamin laki-lakinya. Keduanya wajib mandi kalau sama-sama orang.
Kalau sama-sama orang. Kalau satunya binatang sih? Binatang gak wajib
mandi karena gak bisa mandi. Mandi juga dimandikan paling. Yang kedua
keluar mani. Baik sengaja atau tidak sengaja. Baik yang biasa ataupun luar
biasa. Baik dalam keadaan tidur atau melek. Apapun penyebabnya. Baik laki-
laki maupun perempuan itu keluar mani, maka wajib mandi. Yang ketiga keluar
darah haid. Nanti tapi kalau hed-nya sudah berhenti. Khusus bagi perempuan.
Yang keempat nifas. Kalau sudah berhenti. Ini juga berlaku? (bagi perempuan).
Yang kelima melahirkan. Juga berlaku khusus perempuan. Yang keenam mati.
Apa sebabnya orang mati dimandikan? Sebabnya gak bisa mandi sendiri atau
gak mau mandi sendiri. Walaupun bisa mandi sendiri juga tetap wajib mandi.
Yang wajib adalah orang hidup. Yang wajib memandikan adalah orang
hidupnya. Ngerti?
Santri : Ngerti.
Kiai : Itulah hadas besar. Nah kita kalau solat harus bebas dari hadas kecil
maupun hadas besar. Ya? Kalau masih berhadas ya harus dibebaskan dulu.
Kalau hadas kecil dibebaskannya dengan berwudu. Kalau hadas besar
dibebaskannya dengan cara?
Santri : Mandi.
Kiai : Iya. Ngerti yaa? Baru kita solat.
Ayo, dibaca, bismillah!
101
BIODATA PENULIS
Lahir dengan nama Muhammad Syakir Niamillah
Fiza, lelaki berkacamata itu kali pertama menangis
melihat keadaan dunia pada 20 Januari 1996 di Cirebon.
Sulung dari tujuh bersaudara itu merupakan putra
pasangan Imaduddin dan Fatmah. Ia beralamat di
rumah kedua orang tuanya di rumah No. 29 Rt/Rw
12/04, Ds. Mertapada Kulon, Kecamatan Astanajapura,
Kabupaten Cirebon.
Sejak mula masuk pendidikan formal di taman kanak-kanak, hingga duduk di
bangku aliyah, santri pesantren kilat itu menuntaskan pendidikan formalnya di
tanah kelahirannya.
Saat ini, pengelola akun Facebook, Instagram, dan Twitter Syakirnf itu masih
berkelana di ibu kota untuk kembali ke kota ibu.