agama 2

18
AGAMA DAN KEBERADAAN KASTA DI BALI I. PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH Kasta adalah tingkatan sosial yang terapat dalam Agama Hindu, khususnya Agama Hindu di Bali. Agama Hindu di Bali mengenal adanya empat kasta atau warna yaitu yang paling tinggi adalah Brahmana, Ksatrya, Wesya, dan terakhir adalah Sudra. Brhmana adalah orang-orang yang menekuni kehidulan spiritual dan ketuhanan, para cendikiawan, intelektual. Ksatrya adalah golongan yang menekuni bidang pemerintahan dan tata negara. Weisya adalah golongan yang bekerja di bidang ekonomi dan perdagangan, sedangkan Sudra adalah golongan yang menekuni bidang pekerjaan keras. Jelaslah dengan adanya empat kasta yang memiliki peran dan fungsi masing-masing, serta tingkatan yang berbeda muncul suatu batasan-batasan atau jarak antar tingkat kasta yang tertinggi dengan yang di bawahnya atau sebaliknya. Namun pada jaman kerajaan dahulu hal ini tidak terlalu diperdulikan karena hal ini sangat penting dalam melaksanakan tata pemerintahan. Namun siring majunya zaman dan globalisasi menuju era modern, kasta dalam agama hindu mulai terlupakan dan tidak dipandang sebagai hal yang besar lagi, sebagian besar orang sudah tidak menghiraukan kepanatikan terhadap

description

bagus

Transcript of agama 2

AGAMA DAN KEBERADAAN KASTA DI BALI

I. PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAHKasta adalah tingkatan sosial yang terapat dalam Agama Hindu, khususnya Agama Hindu di Bali. Agama Hindu di Bali mengenal adanya empat kasta atau warna yaitu yang paling tinggi adalah Brahmana, Ksatrya, Wesya, dan terakhir adalah Sudra. Brhmana adalah orang-orang yang menekuni kehidulan spiritual dan ketuhanan, para cendikiawan, intelektual. Ksatrya adalah golongan yang menekuni bidang pemerintahan dan tata negara. Weisya adalah golongan yang bekerja di bidang ekonomi dan perdagangan, sedangkan Sudra adalah golongan yang menekuni bidang pekerjaan keras. Jelaslah dengan adanya empat kasta yang memiliki peran dan fungsi masing-masing, serta tingkatan yang berbeda muncul suatu batasan-batasan atau jarak antar tingkat kasta yang tertinggi dengan yang di bawahnya atau sebaliknya. Namun pada jaman kerajaan dahulu hal ini tidak terlalu diperdulikan karena hal ini sangat penting dalam melaksanakan tata pemerintahan. Namun siring majunya zaman dan globalisasi menuju era modern, kasta dalam agama hindu mulai terlupakan dan tidak dipandang sebagai hal yang besar lagi, sebagian besar orang sudah tidak menghiraukan kepanatikan terhadap kasta terbukti dengn kebiasan berbicara dengan tingkat bahasa yang sama antar golongan kasta. Namun tidak semua orang mulai melupakan hal tersebut, di daerah tertentu, kepanatikan terhadap suatu kasta masih berjalan sebagai mana mestinya,dan masih menjadi suatu tradisi di daerah tersebut. Apakah dengn perkembangan jaman saat ini membuat adanya perubahan pandanga terhadap kasta dari jaman dulu dengan jaman sekarang ini ?. Untuk itulah kelompok kami mengangkat tema ini sebagai bahan paper dan berjudul KEBERADAAN KASTA DI BALI PADA MASA TERDAHULU DAN MASA KINI

1.2 RUMUSAN MASALAH1.2.1 Bagaimana Cara mengantisipasi agar keberadaan kasta di Bali tidak hilang ?1.2.2 Apa penyebab mulai hilangnya kefanatikan masyarakat terhadap adanya kasta di Bali sehingga terjadi suatu kesalahpahaman tentang kasta ?1.2.3 Mengapa masyarakat yang beragama Hindu di Bali harus melestarikan keberadaan Kasta ?

1.3 METODE PENELITIANMetode yang digunakan dalam pembuatan paper ini adalah metode perpustakaan yaitu mencari di buku-buku dan sumber-sumber tertentu seperti di internet dengan dibantu oleh fakta-fakta yang terjadi di kehidupan sekarang ini.

1.4 TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan yang ingin dicapai yaitu kami ingin menyampaikan kepada masyarakat yang beragama hindu khususnya dibali mengenai keberadaan kasta yang mulai terkikis perkembangan zaman. Kami juga ingin mengajak masyarakat yang beragama hindu agar tetap menjaga khususnya di Bali.

II PEMBAHASAN

2.1. RIWAYAT KASTAKasta, dalam Dictionary of American English disebut: Caste is a group resulting from the division of society based on class differences of wealth, rank, rights, profession, or job.Uraian lebih luas ditemukan pada Encyclopedia Americana Volume 5 halaman 775; asal katanya adalah Casta bahasa Portugis yang berarti kelas, ras keturunan, golongan.Bangsa Portugis yang dikenal sebagai penjelajah lautan adalah pemerhati dan penemu pertama corak tatanan masyarakat di India yang berjenjang dan berkelompok; mereka menamakan tatanan itu sebagai casta.Tatanan itu kemudian berkembang di Eropa terutama di Inggris, Perancis, Rusia, Spanyol, dan Portugis. Sosialisasi casta di Eropa tumbuh subur karena didukung oleh bentuk pemerintahan monarki (kerajaan) dan kehidupan agraris.Para elit ketika itu adalah the king (raja), the prince (kaum bangsawan), dan the land lord (tuan/ pemilik tanah pertanian); rakyat jelata kebanyakan buruh tani misalnya di Rusia disebut sebagai kaum proletar adalah kelompok mayoritas yang hina, hidup susah, dan senantiasa menjadi korban pemerasan kaum elit.

Lama kelamaan tatanan ini berubah karena tiga hal utama, yaitu:1. Revolusi Perancis dan Bholshevik (Rusia) yang menghapuskan monarki dan the land lord2. Industrialisasi yang mengurangi peran sektor agraris3. Pengembangan Agama Kristen yang menonjolkan segi kasih sayang diantara umat manusiaWalaupun demikian kasta tidak hilang sama sekali; ia berubah wujud sebagai Class System yang didefinisikan sebagai:A differentiation among men according to such categories as wealth, position, and power.Class System ini dianalisis secara ilmiah oleh berbagai tokoh masyarakat; yang terkemuka adalah Karl Marx dengan teorinya: The relations of production.Inilah embrio pemahaman sosialis komunis yang ingin meniadakan perbedaan kelas masyarakat, di mana pemerintah menguasai sumber-sumber kehidupan dan mengupayakan perimbangan income yang wajar diantara rakyatnya.Peredaran zaman menuju ke abad 20 membawa Class Theory yang klasik seperti pemikiran Karl Marx berubah menuju era baru seperti apa yang disebut sebagai Class Mobility, yaitu pengelompokan sosial karena kepentingan profesi.Kini kita biasa mendengar kelompok-kelompok: usahawan, birokrat, intelektual, militer, dan rohaniawan; mereka kemudian mengikat diri lebih khusus kedalam organisasi-organisasi seperti: IKADIN, IDI, ICMI, ICHI, MUI, PHDI, dll.India yang disebut dalam berbagai sumber sebagai asal Kasta Stelsel, sebenarnya mempunyai sekitar 3000 kelompok sosial masyarakat, namun pada umumnya dapat dibedakan menjadi empat.Pengelompokan ini di India tidak hanya ditemukan pada masyarakat yang beragama Hindu saja, tetapi juga pada masyarakat yang beragama lain misalnya penganut Islam berkelompok pada: Sayid, Sheikh, Pathan, dan Momin; penganut Kristen berkelompok pada: Chaldean Syrians, Yacobite Syrians, Latin Catholics, dan Marthomite Syrians; penganut Budha berkelompok pada: Mahayana, Hinayana, dan Theravadi.Istilah pertama yang digunakan di India bukan kasta tetapi varnas Bahasa Sanskerta yang artinya warna (colour); ditemukan dalam Rig Veda sekitar 3000 tahun sebelum Masehi yaitu Brahman (pendeta), Kshatriya (prajurit dan pemerintah), Vaishya (pedagang/ pengusaha), dan Sudra (pelayan).Tiga kelompok pertama disebut dwij karena kelahirannya diupacarai dengan prosesi pensucian.Dalam Bhagavadgita percakapan ke-IV sloka ke-13 ditulis:

CHATUR VARNYAM MAYA SRISHTAM, GUNA KARMA VIBHAGASAH, TASYA KARTARAM API MAM, VIDDHY AKARTARAM AVYAYAM

artinya: catur warna adalah ciptaan-Ku, menurut pembagian kualitas dan kerja, tetapi ketahuilah walaupun penciptanya, Aku tidak berbuat dan mengubah diri-Ku.Warna adalah profesi atau bidang kerja yang dilaksanakan seseorang menurut bakat dan keahliannya; tidak ada perbedaan derajat diantaranya karena masing-masing menjalankan karma dengan saling melengkapi.Mantram-mantram dari Yajurveda sloka ke-18, 48 antara lain berbunyi:

RUCAM NO DHEHI BRAHMANESU, RUCAM RAJASU NAS KRDHI, RUCAM VISYESU SUDRESU, MAYI DHEHI RUCA RUCAM

artinya: Ya Tuhan Yang Maha Esa bersedialah memberikan kemuliaan pada para Brahmana, para Ksatriya, para Vaisya, dan para Sudra. Semoga Engkau melimpahkan kecemerlangan yang tidak habis-habisnya kepada kami.Yajurveda Sloka ke 30, 5 berbunyi:

BRAHMANE BRAHMANAM, KSATRAYA, RAJANYAM, MARUDBHYO VAISYAM, TAPASE SUDRAM

artinya: Ya Tuhan Yang Maha Esa telah menciptakan Brahmana untuk pengetahuan, para Ksatriya untuk perlindungan, para Vaisya untuk perdagangan, dan para Sudra untuk pekerjaan jasmaniah.Profesi yang empat jenis itu adalah bagian-bagian (berasal) dari Tuhan Yang Maha Esa yang suci, diibaratkan sebagai anatomi tubuh manusia dalam tatanan masyarakat, sebagaimana Yajurveda sloka 31, 11 menyatakan:

BRAHMANO ASYA MUKHAM ASID, BAHU RAJANYAH KRTAH, URU TADASYA YAD VAISYAH, PADBHYAM SUDRO AJAYATA

artinya: Brahmana adalah mulut-Nya Tuhan Yang Maha Esa, Ksatriya lengan-lengan-Nya, Vaisya paha-Nya, dan Sudra kaki-kaki-Nya.Selanjutnya doa yang mengandung harapan agar masing-masing profesi/ warna melaksanakan swadharma yang baik terdapat pada Yajurveda sloka 33,81:

PRAVAKAVARNAH SUCAYO VIPASCITAH

artinya: para Brahmana seharusnya bersinar seperti api, bijak, dan terpelajar;Yajurveda sloka 20,25:

YATRA BRAHMA CA KSATRAM CA, SAMYANCAU CARATAH SAHA, TAM LOKAM PUNYAM PRAJNESAM, YATRA DEVAH SAHAGNINA

artinya: di negara itu seharusnya diperlakukan warga negaranya sebaik mungkin, di sana para Brahmana dan para Kesatriya hidup di dalam keserasian dan orang-orang yang terpelajar melaksanakan persembahan (pengorbanan).

Kesimpulannya adalah Warna itu realistis dan idealnya semua profesional berbuat sebaik-baiknya untuk kepentingan bersama dan kesejahteraan umat manusia.Warna seseorang tidak selamanya tetap apalagi turun temurun; misalnya seorang petani (berwarna sudra) karena ketekunannya berhasil menyekolahkan anaknya kemudian hari menjadi bupati maka anaknya sudah menjadi warna Ksatriya; demikian sebaliknya seorang keturunan Brahmana yang tidak lagi berprofesi sebagai Wiku tidak dapat disebut sebagai warna Brahmana.Perubahan status pada seseorang bahkan dapat terjadi setiap saat menurut bidang tugasnya, misalnya seorang pesuruh di suatu Kantor yang merangkap menjadi Pemangku di Pura/ Sanggah Pamerajan; ketika bertugas sebagai pesuruh dia berwarna Sudra, tetapi jika bertugas nganteb piodalan di Pura dia berwarna Brahmana.Warna yang diabadikan bahkan diwariskan turun temurun terjadi di India, sebagai usaha kelompok elit mempertahankan status quo, yang sebenarnya sudah sangat menyimpang dari ajaran suci Weda.Gejala mengabadikan warna inilah yang dilihat oleh orang-orang Portugis sehingga timbullah istilah casta seperti yang diuraikan di atas.Penerapan kasta stelsel di India menimbulkan pengkotak-kotakan masyarakat sehingga mereka saling bertikai. Dalam kondisi seperti ini jiwa nasionalisme pudar sehingga India mudah dipecah belah dan akhirnya dijajah Inggris.Perjuangan Mahatma Gandhi membangkitkan nasionalisme India dibayar sangat mahal yaitu dengan jiwanya sendiri ketika dia ditembak oleh seorang fanatikus kasta.Agama Hindu kemudian menyebar ke Indonesia lengkap dengan tatanan masyarakat menurut warna masing-masing. Mula-mula di Jawa tatanan masyarakat masih murni menurut Weda yaitu tatanan menurut profesi atau Warna.Ketika Majapahit hendak meluaskan kerajaan dengan cita-cita menyatukan Nusantara yang terkenal dengan Sumpah Palapa-nya Gajahmada, maka Majapahit menundukkan Kerajaan Bali Dwipa pada abad ke-13.Para penjajah Majapahit membawa serta kaum elit yang memimpin kerajaan Samprangan. Kaum elit itu dinamakan Triwangsa, yaitu Brahmana, Kesatria, dan Wesya. Semua penduduk Bali-asli yang dijajah, dikelompokkan sebagai Wangsa Sudra.Tujuan politik Gajahmada adalah agar kaum Bali-asli tidak bisa eksis, sehingga kelanggengan pemerintahan Samprangan dapat berlanjut terus.Sejak masa itulah Warna di Bali berubah menjadi Wangsa atau Kasta karena hak-hak kebangsawanan diturunkan kepada generasi seterusnya.Setelah kerajaan-kerajaan di Bali runtuh, kemudian Indonesia menjadi negara Republik, hak-hak kebangsawanan mereka dengan sendirinya hilang. Namun demikian titel-titel nama depannya masih digunakan, sekedar untuk mengenang kejayaan masa lalu dan mungkin dengan alasan lain yaitu menghormati leluhur.Sekarang tinggal masyarakat saja yang menilai kedudukan seseorang. Tinggi rendahnya status sosial seseorang di masyarakat ditentukan pada peranan pengabdiannya kepada kepentingan masyarakat, bukan pada embel-embel predikat nama itu.Mereka yang bijaksana akan senantiasa menjauhkan perilaku feodalisme, karena feodalisme itu membodohi diri sendiri.\

2.2. PEMAHAMAN YANG SALAH TENTANG KASTA DI BALI

Sampai saat ini umat Hindu di Indonesia khususnya di Bali masih mengalami polemik masalah Kasta. Hal ini menyebabkan ketidaksetaraan status sosial diantara masyarakat Hindu. Masalah ini muncul karena pengetahuan dan pemahaman yang dangkal tentang ajaran Agama Hindu dan Kitab Suci Weda yang merupakan pedoman yang paling ampuh bagi umat Hindu agar menjadi manusia yang beradab yaitu memiliki kemampuan bergerak (bayu), bersuara (sabda) dan berpikir (idep) dan berbudaya yaitu menghormati sesama ciptaan Tuhan Yang Maha Esa tanpa membedakan asal usul keturunan, status sosial, dan ekonomi.Pada masyarakat Hindu di Bali,terjadi kesalahan dan kekaburan dalam pemahaman dan pemaknaan warna, kasta, dan wangsa yang berkepanjangan. Dalam agama Hindu tidak dikenal istilah Kasta. Istilah yang termuat dalam kitab suci Veda adalah Warna. Apabila kita mengacu pada Kitab Bhagavadgita, maka yang dimaksud dengan Warna adalah Catur Warna, yakni pembagian masyarakat menurut Swadharma (profesi) masing-masing orang. Sementara itu, yang muncul dalam kehidupan masyarakat Bali adalah Wangsa, yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan. Wangsa tidak menunjukkan stratifikasi sosial yang sifatnya vertikal (dalam arti ada satu Wangsa yang lebih tinggi dari Wangsa yang lain). Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada warga masyarakat yang memiliki pandangan bahwa ada suatu Wangsa yang dianggap lebih tinggi daripada Wangsa yang lain. Untuk merubah pandangan seperti ini memang perlu sosialisasi dan penyamaan persepsi. Oleh karena itu, lebih baik tidak diperdebatkan lagi.Wiana (2000) menjelaskan perbedaan antara warna dan kasta. Warna merupakan penggolongan masyarakat berdasarkan fungsi dan profesi. Dalam ajaran Agama Hindu dikenal adanya empat warna/Catur Warna yaitu brahmana-orang-orang yang bertugas untuk memberikan pembinaan mental dan rohani serta spiritual, ksatria-orang orang yang bertugas untuk mengatur negara dan pemerintahan serta rakyatnya, waisya-orang yang bertugas untuk mengatur perekonomian, dan sudra-orang yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan menjadi pelayan atau pembantu orang lain.Warna dan gelar serta namanya sama sekali tidak diturunkan atau diwariskan ke generasi berikutnya. Warna tidak bersifat statis, tetapi dinamis. Artinya, warna bisa berubah setiap saat sesuai dengan fungsi dan profesinya, sebagai contoh; seorang yang berasal dari golongan sudra karena ketekunannya dalam belajar dan bekerja berhasil menjadi seorang polisi atau tentara maka secara otomatis golongannya meningkat menjadi seorang ksatria yang bertugas untuk membela dan mempertahankan kedaulatan negara. Bisa saja seorang brahmana yang melakukan tindak kejahatan seperti; pencurian, pemerkosaan, perjinahan dan tinakan melawan hukum lainnya turun derajatnya menjadi golongan yang lebih dan bahkan paling rendah karena perbuatannya sehingga harus menjalani hukuman penjara dan setelah selesai menjalani hukuman akan kembali bergabung dengan masyarakat dan tidak tahu lagi akan menjadi bergelut dalam bidang apa.Hubungan di antara golongan pada warna hanya dibatasi oleh dharma-kewajiban yang berbeda-beda tetapi menuju satu tujuan yakni kesempurnaan hidup. Jadi, catur warna sama sekali tidak membeda-bedakan harkat dan martabat manusia dan memberikan manusia untuk mencari jalan hidup dan bekerja sesuai dengan sifat, bakat, dan pembawaannya sejak lahir hingga akhir hayatnya.Sedangkan kasta merupakan penggolongan status sosial masyarakat dengan mengadopsi konsep catur warna (brahmana, ksatria, wesyia, dan sudra) yang gelar dan atribut namanya diturunkan dan diwariskan ke generasi berikutnya. Artinya, walaupun keturunannya tidak lagi berprofesi sebagai pendeta atau pedanda tetapi masih menggunakan gelar dan nama yang dimiliki leluhurnya yang dulunya menjadi pendeta atau pedanda. Ini sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang yang belum tentu atau tidak memiliki sifat-sifat brahmana harus disebut sebagai brahmana, dan juga terjadi pada kasta yang lainnya.Terlebih lagi nama dan gelar warisan masing-masing leluhurnya sekarang ini semakin diagung-agungkan dan digunakan untuk mempertajam kesenjangan di antara golongan kasta yang ada. Tetapi, jika nama dan gelarnya yang dipakai keturunannya hanya dijadikan sebagai tanda penghormatan kepada leluhurnya, maka tindakan ini merupakan tindakan yang sangat mulia dan terhormat.Konsep kasta sangat bertentangan dengan konsep warna dalam ajaran agama hindu. Namun, kesalahan pemahaman tentang kasta dan warna masih saja terjadi dan terus berlangsung hingga sekarang ini. Jika terjadi kesalahpahaman yang berkelanjutan maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadi konflik, perpecahan, dan kekacauan di masa yang akan datang.Tidak dapat dipungkiri banyak konflik yang terjadi akibat perbedaan kasta ini, seperti Konflik antar masyarakat yang terjadi pada Bulan Maret 2007 di Desa Tusan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung-Bali merupakan salah satu buntut dari tidak harmonisnya hubungan antara kaum brahmana dan sudra. Puluhan rumah kaum kasta brahmana dirusak dan dihanguskan oleh masyarakat sehingga masyarakat yang rumahnya hancur harus dievakuasi dan diamankan serta ditampung di MAPOLRES (Markas Polisi Resor) Klungkung. Perlu dipertanyakan kenapa ini terjadi? Tak bisa dibayangkan lagi bagaimana benci dan marahnya masyarakat terhadap kaum brahmana sehingga tega melakukan hal-hal yang anarkis ini. Belum ada penjelasan dari aparat berwenang mengenai penyebab kejadian ini. Walaupun demikian, patut diacungi jempol para masyarakat di sana bisa berdamai dan hidup berdampiangan kembali serta membuat pernyataan damai di antara masyarakat yang berkonflik.Dari penjelasan diatas jelas sudah perbedaan pandangan mengenai kasta, warna, dan wangsa. Kita sebagai umat Hindu yang memiliki intelektual sudah menjadi kewajiban memahami konsep ini agar tidak terjadi pandangan yang salah yang dapat menyebabkan kesenjangan sosial antarumat Hindu lebih-lebih bisa menyebabkan konflik yang berkepanjangan. Namun, sekarang ini nampaknya ada usaha-usaha untuk semakin mempertajam kesenjangan umat Hindu khususnya di Bali. Sebagai contoh mengenai pembagian wewenang, hak dan kewajiban pendeta. Pedanda (pendeta yang berasal dari kalangan Kasta Brahmana) memiliki wewenang yang jauh lebih tinggi dari pada pemangku (pendeta yang berasal dari Kasta Sudra). Pendanda bisa menyelesaikan kelima upacara keagamaan yang ada dalam agama hindu di Bali yang lazim disebut sebagai Panca Yadnya yaitu:(1) Dewa yadnya-upacara keagamaan yang ditujukan kepada Tuhan dan manifestasinya seperti odalan di pura-pura baik pura sad khayangan (pura umum yang bisa dikunjungi dan disembahyangi oleh semua umat hindu tanpa membedakan asal-usul keturunan) pura dang kayangan (pura yang sempat disinggahi oleh Dang Hyang Niratha-penyebar Agama Hindu dari Jawa) maupun pura keluarga atau merajan;(2) Rsi yadnya-upacara keagamaan yang ditujukan untuk para rsi atau upacara penyucian manusia seperti upacara dwi jadi (pengukuhan stutus dari masyarakat biasa menjadi pedanda atau pemangku);(3) Manusia yadnya-upacara keagamaan yang ditujukan untuk manusia seperti upacara bayi tujuh bulan dalam kandungan (magedong-gedongan), upacara satu bulan tujuh hari setelah bayi lahir (tutug kambuhan), upacara tiga bulan setelah bayi lahir (nelu bulanin), enam bulan setelah lahir (otonan), upacara potong gigi, dan upacara pernikahan (mewidhi- wedhana);(4) Pitra yadnya-upacara yang ditujukan kepada pitara atau orang yang sudah meninggal seperti upacara ngaben, ngeroras, dan nuntun;(5) Butha yadnya-upacara yang ditujukan kepada bhuta kala yang bertujuan untuk menyeimbangkan dunia dari pengaruh positif dan negatif.Sedangkan pendeta yang berasal dari kalangan kasta lain tidak bisa menyelesaikan kelima upacara agama tersebut di atas. Pembagian wewenang ini tanpa berlandaskan sumber yang jelas dan sering kali berasal dari justifikasi dan penapsiran orang atau kalangan tertentu saja.Sistem pembagian tugas dan wewenang pendeta ini hanya cocok diberlakukan di Bali saja karena tidak semua umat Hindu di seluruh Indonesia maupun dunia memiliki pendeta yang berasal dari golongan kasta brahmana.Dalam Bhagawad Gita secara jelas disebutkan bahwa dasar persembahan kepada Tuhan adalah keiklasan dan sama sekali tidak berdasarkan besar atau kecilnya persembahan dan siapa yang menyelesaikan upacara karena semua manusia sama di hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Apa yang dijelaskan di dalam ajaran suci Agama Hindu ini juga mempertegas bahwa tidak ada perbedaan di antara kita semua. Kita semua mahluk Tuhan dan tak perlu lagi ada pengkotak-kotakan yang berakibat pada perpecahan. Cintailah semua ciptaan Tuhan, semoga dam

2.3. CONTOH PERMASALAHAN KASTA

BENTUK-BENTUK "PERLAWANAN"saat ini terutama di kota denpasar dan di kalangan generasi muda masalah tata bahasaantar kastatidak terlalu dihiraukan. mengapa? pertama, karena kesadaran bahwa penghargaan terhadap orang bukan karena keturunannya tetapi karena perilakunya. kesadaran terhadap kesetaraan juga yang membuat generasi muda lebih tidak terlalu hirau. kedua, karena penggunaan bahasa indonesia. bahasa indonesia tidak mengenal istilah kasar atau halus jadi pengunaannya bebas. namun ada juga yang menyebutnya ini sebagai bentuk pelunturan budaya. kalau menurut saya, bagian kesetaraan bukanlah pelunturan budaya tetapi penguasaan bahasa bali yang semakin berkurang adalah pelunturan budaya saya setuju. apakah menegakkan budaya harus menekan kesetaraan? apakah menegakkan budaya berarti harus mangabadikan diskriminasi kasta? tentu tidak bukan. penggunaan tata bahasa bisa diapakai kepada orang tua atau yang lbh dihormati, tidak selalu kepada kasta yang lebih tinggi.Mengenai diskriminasi dalam upacara pernikahan, sampai dengan saat ini masih sangat-sangat sulit dihilangkan. tetapi ada bentuk perlawanan unik terhadap sistem pernikahan beda kasta. ada orang tua dari kasta yang lebih tinggi punya putri yang berpacaran dengan pria dari kasta yang lebih rendah. ketika sang pria mengutarakan niatnya untuk menikahi putri mereka, orangtua yang wanita berpesan, pada dasarnya dia tidak keberatan tapi karena kastanya berbeda, lebih baik kawin lari saja. dengan kawin lari, orang tua akan terlihat seperti tidak tahu dan dia tidak pernah "memberikan" putrinya untuk dinikahi. dengan demikian orang tuanya tidak akan dipersalahkan oleh adat karena "memberikan" anaknya ke kasta yang lebih rendah. bagaimana dengan wanita yang berkasta lebih rendah dan pria dengan kasta lebih tinggi. bentuk diskriminasi dalam upacara mungkin belum bisa dihilangkan, tapi dalam kehidupan berumah tangga sudah banyak sekali yang dipelakukan setara sebagaimana layaknya.

III PENUTUP

3.1. KESAN Setelah membaca dan mencari di berbagai literatur tentang kasta di bali, kami beranggapan bahwa keberadaan kasta saat ini di bali belum sepenuhnya hilang, mengapan demikian ? karena dilihat dari keberadaannya belum semua orang sudah benar-=benar melupakan hal ini, masih ada daerah-daerah yang memiliki kepanatikan besar terhadap kasta di bali.

3.2. SARANKita sebagai masyarakat pemeluk Agama Hindu di Bali, sudah seharusnya kita melestarikan keberadaan Kasta di Bali karena kasta merupakan kebudayaan kita dan merupakan warisan dari leluhur-leluhur kita terdahulu yang wajib untuk kita lestarikan. Untuk itu kami ingin mengajak masyarakat Hindu khususnya di Bali untuk kembali melestarikan keberadaan Kasta seperti terdahulu. Dan khusus kepada rekan rekan yang membaca paper kami , kami minta maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam isi dan susunannya terjadi kesalahan dalam penulisan