Adhi Pradana . B NIM:130200566
Transcript of Adhi Pradana . B NIM:130200566
PELANGGARAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF DI PERAIRAN
NATUNA DALAM PERSPEKTIF HUKUM LAUT INTERNASIONAL
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh Gelar Sarjana
Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh:
Adhi Pradana . B
NIM:130200566
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
Universitas Sumatera Utara
i
PELANGGARAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF DI PERAIRAN NATUNA
DALAM PERSEPEKTIF HUKUM LAUT INTERNASIONAL
SKRIPSI
Disusun untuk diajukan untuk melengkapi Persyaratan untuk meraih gelar sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh:
ADHI PRADANA.B
130200566
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS HUKUM
MEDAN
2017
Universitas Sumatera Utara
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan
banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya. Dan harapan kami semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca,
Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar
menjadi lebih baik lagi. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman
kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu
kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang
Maha Esa atas selesainya makalah yang berjudul "Pelanggaran zona ekonomi
eksklusif di perairan Natuna oleh negara China dalam perspektif Hukum laut
internasional". Atas dukungan moral dan materil yang diberikan dalam penyusunan
makalah ini, maka penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
a) Pertama saya ingin bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha
Esa yang telah memberikan ide untuk mengangkat tema yang telah dipaparkan
dalam skripsi ini.
b) Prof.Dr.Suhaidi.S.H,M.Hum selaku Dosen pembimbing 1 yang telah memberi
masukan dan kritikan guna penyelesaian skripsi.
c) Bapak Arif S.H,M.Hum selaku pembimbing 2 yang telah meluangkan waktu
dan memberi masukan dan penyempurnaan skripsi.
Universitas Sumatera Utara
iii
d) Kepada ketua Departemen Hukum Internasional pak Abdul Rahman
S.H,M,Hum yang telah menyetujui dan memilihkan judul yang sesuai.
e) Kepada Orang tua saya yang telah mendukung dan dan mengakomodir segala
kebutuhan yang diperlukan guna penyempurnaan skripsi ini
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan, kritik dan
saran sangat diharapkan demi kesempurnaan dalam pennyeleaian skripsi ini dan
dapat nantinya dapat dijadikan sebagai referensi untuk generasi,mendatang.Penulis
sadar bahwa karya ini tidak akan sempurna tanpa kritik dan saran dari semua para
pihak yang nantinya dapat membangun agar penulisan hukum ini menjadi sempurna
dan nantinya dapat bermanfaat dan membantu pihak-pihak yang memerlukan.
Medan, 26 November 2017
Hormat Penulis
Adhi Pradana .B
130200566
Universitas Sumatera Utara
iv
PELANGGARAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF DI PERAIRAN
NATUNA DALAM PERSPEKTIF HUKUM LAUT INTERNASIONAL
ABSTRAK
Abdul Rahman S.H M.Hum *
Prof.Dr.Suhaidi S.H M.Hum **
Arif.S.H M.Hum ***
Wilayah Indonesia berbatasan dengan sejumlah negara lain. Wilayah lautnya
dikelilingi oleh 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam,
Filipina, Australia, Timor Leste, Palau, dan Papua Nugini. Sementara itu, wilayah
daratnya berbatasan langsung dengan tiga negara, yaitu Malaysia, Timor Leste, dan
Papua Nugini sepanjang 2914,1 km, Disisi lain pemerintah China juga terlalu
percaya diri dengan pelanggaran yang dilakukannya atas wilayah Natuna.
Dimasukannya wilayah Natuna kedalam Zona Ekonomi Eksklusifnya China
memberikan masalah baru kepada Indonesia tidak lengkap untuk memahami
kebijakan maritim China saat ini bila tidak mencoba mengetahui apa yang disebut
“Nine-Dash Line”, karena hal ini sangat erat kaitannya dengan klaim teritorial
negara-negara lain yang terletak di kawasan Laut China Selatan. Penetapan
“sembilan garis terputus-putus” ini sebenarnya tidak dibuat oleh pemerintah China
yang sekarang, melainkan telah ada sejak tahun 1947, ketika pemerintahan
Koumintang berkuasa di daratan China.rumusan masalah antara lain:(1) Latar
belakang masalah pengaturan kawasan zona ekonomi eksklusif berdasarkan
UNCLOS 1982.(2) Pengamanan zona ekonomi eksklusif Indonesia. (3) Usaha
pengamanan zona ekonomi eksklusif dari Negara lain.
Dalam penulisan skripsi ini metode penelitian yang penulis gunakan adalah tipe
penelitian deskriptif dengan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka (library
research) yang bersumber dari buku, jurnal, dokumen dan website yang
valid.Sedangkan untuk menganalisis data penulis menggunakan teknik analisis
kualitatif dengan teknik penulisan deduktif.Oleh dari karena itu Penulis memberikan
kesimpulan ;(1) Penetapan batas wilayah dan yurisdiksi negara merupakan hal yang
sangat penting dan strategis sekaligus sensitif, karena berkaitan dengan pengaturan
permasalahan kedaulatan (sovereignity) (2) ZEE dari negara lain juga dapat
diperkuat dengan kemampuan diplomasi dan mengisolasi ancaman dari negara lain
menggunakan kuasa ekonomi untuk melakukan atau memaksa kerja sama
,menjaga angkatan bersenjata .Saran dari penulis, Indonesia harus meninjau kembali
garis-garis pangkal laut wilayah dan menyesuaikannya dengan ketentuan-ketentuan
dalam konvensi, baik dengan ketentuan-ketentuan dalam laut.
* Pembimbing I
** Pembimbing II
*** Mahasiswa Universitas Sumtara Utara
Kata Kunci ; Zona Ekonomi Eksklusif,Hukum Laut Internasional.
Universitas Sumatera Utara
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….ii
ABSTRAK………………………………………………………………...………iv
DAFTAR ISI…………………………………………………………………..…..v
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............…………………………………………………………1
B. Rumusan Masalah............................................……………………………….....5
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan..............................................................................5
D. Keaslian Penulisan ……………………………………………………………....6
E. Tinjauan Kepustakan………………………………………………………….....7
F. Metodologi Penulisan…………………………………………………………..12
G. Sistematika Penulisan…………………………………………………………..14
BAB II: PENGATURAN KAWASAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF
BERDASARKAN UNCLOS 1982
A. Defenisi Zona Ekonomi Eksklusif………………………………….………....17
B. Dasar Hukum yang Menetapkan Kebijakan Zona Ekonomi
Eksklusif..……………………………………………………………………..34
C. UNCLOS dan Hukum yang Berkaitan Mengatasi Masalah Pelanggaran yang Ada
di perairan ZEE …………………………......…………………………...46
BAB III : PENGAMANAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA A. Masalah yang Berkaitan dengan “Traditional Fishing
Zone”………………………………………………………………….………50
B. Dampak Kasus Pelanggaran ZEE Terhadap Peraturan Hukum Laut
Internasional……………………..…………………………..………...………55
C. Dampaknya pada perairan Zona Ekonomi Eksklusif…………..………..…….58
BAB IV: USAHA PENGAMANAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF
INDONESIA DARI NEGARA LAIN
A. Langkah Diplomatik dengan Cara “Preventif Diplomacy……………………63
B. Mempertahankan ZEE dengan Konsep “Detterence” atau Penangkapan Guna
Memberi Dampak Psikologis bagi Negara Lain….…………………………..69
C. Implementasi Undang-Undang Hukum Laut Internasional Secara Tegas
Mengenai Wilayah ZEE…………………………..…………………......……73
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………………….78
B. Saran…………………………………………………………………….……...79
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………..…………….80
Universitas Sumatera Utara
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wilayah Indonesia sendiri berbatasan dengan sejumlah negara lain. Wilayah
lautnya dikelilingi oleh 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand,
Vietnam, Filipina, Australia, Timor Leste, Palau, dan Papua Nugini. Sementara
itu, wilayah daratnya berbatasan langsung dengan tiga negara, yaitu Malaysia,
Timor Leste, dan Papua Nugini sepanjang 2914,1 km. Wilayah perbatasan laut
dan darat tersebut tersebar ke 38 kabupaten/ kota di 12 provinsi. Panjangnya garis
perbatasan dengan 10 negara tetangga ini di satu sisi dapat menjadi potensi bagi
kerja sama antarnegara, tetapi di sisi lain dapat menjadi ancaman kedaulatan dan
keamanan negara.1
Salah satu bentuk potensi yang dapat berubah menjadi existential threat
adalah masih terdapatnya sejumlah segmen perbatasan yang belum selesai dibahas
dan disepakati dengan negara tetangga. Ancaman tersebut dapat berupa agresi,
pelanggaran wilayah, pemberontakan bersenjata, sabotase, spionase, aksi teror
bersenjata, ancaman keamanan laut dan udara, serta konflik komunal.2
Masalah kedaulatan wilayah merupakan masalah sensitif. Tidak ada negara
yang rela kehilangan sejengkal wilayahnya. Karena itu, masalah perbatasan tidak
didiamkan. Masalah perbatasan berpotensi besar menimbulkan konflik. Hal ini
sebisa mungkin harus dihilangkan dengan menyelesaikan sengketa perbatasan.
1 Tirtamulia, Tjondro “Zona-Zona laut UNCLOS”, Bandung, PT. Brilian internasional, 2011 hal 17-23 2 Agoes, Etty R. Konsepsi “Economic Zone” Di Dalam Hukum Laut Internasional. Padjadjaran No. 4/1976 dan N0. 1/1977, hal 89-100
Universitas Sumatera Utara
2
Hilangnya sengketa perbatasan membuat kedaulatan lebih terjamin. Bagaimana
menyelesaikannya? Dibutuhkan upaya terkoordinasi dengan mekanisme lebih
sederhana dan bisa diterima semua pihak. Tanpa ini, penyelesaian masalah
perbatasan sering butuh waktu lama.3
Dengan dianggap pentingnya masalah perbatasan wilayah menjadikan
organisasi internasional membahasnya menjadi agenda bersama dan memberikan
solusi penyelesaian kasus perbatasan ini yakni ASEAN. Namun, dokumen-
dokumen ASEAN hanya sedikit menyinggung solusi soal sengketa wilayah. Ini
menegaskan jalan menuju komunitas ASEAN masih jauh. Di sisi lain, sebuah
komunitas membutuhkan ”pengorbanan” setiap anggota dengan ”membagi”
sebagian wilayah untuk dilebur ke dalam suatu nilai-nilai bersama. Namun, ada
pertanda baik. ASEAN sudah mulai menyerap unsur-unsur kedaulatan itu menjadi
suatu nilai bersama. Kemajuan lain, prinsip non- interferensi (tidak boleh campur
tangan) mulai ditembus. Akan tetapi, ada keengganan menyentuh lebih dalam
masalah sengketa perbatasan. Ini mengindikasikan masih besarnya resistensi
untuk melonggarkan urusan kedaulatan.4
Dalam kasus pelanggaran wilayah pulau Natuna yang secara sepihak oleh
pemerintah China mengindikasikan bahwa kekuatan dan pertahanan nasional
dalam hal kedaulatan Negara masih memiliki kekurangan dan celah yang bisa
dimanfaatkan oleh Negara lain. Disisi lain pemerintah China juga terlalu percaya
diri dengan pelanggaran yang dilakukannya atas wilayah Natuna. Dimasukannya
wilayah Natuna kedalam Zona Ekonomi Eksklusifnya China memberikan masalah
3 Ibid
4 ibid
Universitas Sumatera Utara
3
baru kepada Indonesia meskipun kasus ini sudah lama bergulit. Kasus ini semakin
membuat pemerintah Indonesia geram yakni dengan adanya kapal China yang
berlabuh dan memasuki wilayah laut Indonesia tanpa izin. Serta beberapa kasus
pencurian ikan yang dilakukan Negara ini diatas perairan wilayah
Indonesia.Kasus yang berawal pada tahun 2009 ini menurut versi China, mereka
memasukan wilayah Natuna kedalam peta wilayah mereka didasarkan pada
sembilan titik garis/ nine dash line yang selama ini diklaim Tiongkok dan
menandakan perbatasan maritimnya. Namun dari Sembilan titik garis ini
Indonesia tidak mengakuinya karena menurut Indonesia hal itu tidak memiliki
dasar hukum internasional apapun.5 Sembilan titik imaginer itu sendiri merupakan
salah satu penyebab munculnya konflik di wilayah Laut China Selatan. Klaim ini
memancing emosi sejumlah negara yang turut mengklaim memiliki hak di
wilayah yang jadi jalur perdagangan dunia itu. Usut punya usut, klaim yang
membuat repot enam negara ini dipicu kebijakan pemerintahan Partai
Kuomintang (kini berkuasa di Taiwan). Mazhab politik Kuomintang menafsirkan
wilayah China mencapai 90 persen Laut China Selatan.6
Adalah tidak lengkap untuk memahami kebijakan maritim China saat ini
bila tidak mencoba mengetahui apa yang disebut “Nine-Dash Line”, karena hal ini
sangat erat kaitannya dengan klaim teritorial negara-negara lain yang terletak di
kawasan Laut China Selatan. Penetapan “sembilan garis terputus-putus” ini
sebenarnya tidak dibuat oleh pemerintah China yang sekarang, melainkan telah
ada sejak tahun 1947, ketika pemerintahan Koumintang berkuasa di daratan China
5 Subagyo, P. Joko “Hukum Laut Indonesia”, Jakarta , PT. Rineka cipta, 2005 hal 76-90 6 Hasibuan, Rosmi.. Kaitan Permasalahan Rejim Hukum Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Dan Lintas Kontinen Dalam Konvensi Hukum Laut,Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1982,hal 66
Universitas Sumatera Utara
4
yang mengklaim wilayah teritorial yang mencakup hampir seluruh kawasan Laut
China Selatan. Ketika itu klaim ini pada dasarnya tidak ada pertimbangan politik
dan strategik tertentu karena rezim yang berkuasa pada saat itu sibuk membenahi
keadaan paska pendudukan Jepang dan dan juga sesudah itu terlibat dalam perang
saudara dengan rezim komunis. Sepeninggal Jepang, pemerintah Koumintang
segera menerbitkan peta yang berisi 11 garis terputus, sebagai klaim teritorial
yang kenyataannya berlokasi jauh dari daratan China mencakup seluruh perairan
Laut China Selatan.7
Sekalipun peta ini tidak memuat secara spesifik dan akurat mengenai batas-
batasnya, peta ini pun diadopsi oleh pemerintahan komunis yang mengambil alih
kekuasaan dan mendirikan negara People’s Republic of China (PRC) sejak tahun
1949. Sejak saat itu peta ini dijadikan dasar klaim teritorial dan kebijakan politik
pemerintahan Beijing sampai pada era sekarang ini. Suatu perubahan dilakukan
pada tahun 1953, yaitu China menghapus dua garis sehingga tinggal sembilan,
kemungkinan dijadikan sebagai salah satu cara untuk menghindari atau
meredakan ketegangan dengan Vietnam sebagai negara tetangga dekat pada waktu
itu.8
Luas wilayah yang termasuk dalam batas sembilan garis terputus itu
mencapai 3,5 juta kilometer persegi, meliputi 90 persen luas keseluruhan Laut
China Selatan. Peta laut baru China pada awal diterbitkan, tidak mendapatkan
penentangan ataupun protes dari negara-negara sekawasan/ berbatasan, karena
negara-negara tersebut sebahagian besar sedang sibuk berjuang untuk
7 S.K Wahyono, Indonesia Negara Maritim, Yayasan Penerbit Nusantara, Jakarta, 2007.hal 30 8 N.H.T. Siahaan dan H. Suhendi, Hukum Laut Nasional, Djambatan, Jakarta,1989.hal 66-81
Universitas Sumatera Utara
5
kemerdekaan nasionalnya dari penjajah. Beijing menganggap sikap diam dari
negara-negara tetangga dan bahkan komunitas maritim internasional, sebagai
suatu pengakuan dan untuk mengimbanginya Beijing pun bersikap diam agar
tidak menimbulkan penentangan dari manapun.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan
mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh Negara China di perairan pulau
Natuna tersebut dengan mengangkat judul “Pelanggaran Zona Ekonomi
Eksklusif di Perairan Natuna oleh Negara China dalam Perspektif Hukum
Laut Internasional.”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka penulis merumuskan
masalah penelitian, yaitu:
1. Pengaturan kawasan Zona Ekonomi Eksklusif berdasarkan UNCLOS 1982.
2. Penegakan hukum terkait pelanggaran di sekitar Zona Ekonomi Eksklusif di
Indonesia.
3. Usaha pengamanan zona ekonomi eksklusif Indonesia dar Negara lain.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Berdasarkan perumusan masalah diatas, tujuan yang ingin dicapai dalam
penulisan skripsi sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
6
1. Untuk mengetahui dan mengerti apa yang jadi kebijakan di daerah lautan
perairan di Indonesia dan sekitarnya.
2. Untuk mengetahui bagaimana UNCLOS dan hukum yang berkaitan akan
mengatasi masalah pelanggaran yang ada di perairan Natuna.
3. Untuk mengetahui bagaimana penegakan hukum terhadap negara yang
melanggar perairan Laut Indonesia khsusnya Perairan Pulau Natuna
menurut perspektif Hukum Laut Internasional.
2. Manfaat Penulisan
Seperti pada umumnya dalam setiap penulisan skripsi pasti ada manfaat
yang diambil dari penelitian yang dilakukan dalam penulisannya. Manfaat secara
umum yang dapat diambil dari penulisan ini terdiri dari manfaat yang bersifat
teoritis dan manfaat yang bersifat praktis.
a. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dan penulisan skripsi ini adalah untuk menambah
pengetahuan dan mendalami dan mempelajari hukum internasional
khusunya hukum laut internasional serta dapat bermanfaat untuk
memperluas wawasan mengenai wilayah perairan dan kepulauan dan
bagaimana jika terjadi suatu pelanggaran oleh negara lain jika oleh negara
asing menurut Hukum Internasional.9
9 Tedjo Edhy Purdijanto, Mengawal Perbatasan Negara Maritim, Sinar Grafika, Jakarta, 2001.hal 88
Universitas Sumatera Utara
7
b. Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penulisan skripsi ini adalah menjadi
acuan dalam kerangka berfikir bagi upaya dan penyelesaian di Wilayah
Laut Natuna.
D. Keaslian Penulisan
Judul skripsi ini adalah “Pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif di Perairan
Natuna oleh Negara China dalam perspektif Hukum Laut Internasional”.
Penelitian ini difokuskan pada cara penegakan hukum yang paling tepat atas
pelanggaran yang diakukan oleh Negara China di Wilayah Zona Ekonomi
Ekslusif Indonesia di Perairan Pulau Natuna yang dikaji menurut Hukum Laut
Internasional.Skripsi ini ditulis berdasarkan ide, gagasan, serta pemikiran Penulis
dengan menggunakan berbagai referensi10
, sehingga bukan hasil dari
penggandaan karya tulis orang lain dan oleh karena itu keaslian dari skripsi dapat
dipertanggungjawabkan. Penulisan skripsi ini juga diperoleh dari buku-
buku,jurnal ilmiah, media cetak, media elektronik. Dan jika ada suatu persamaan
maka itu hanya digunakan sebagai suatu referensi dan penunjang yang penulis
perlukan dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini.11
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Zona Ekonomi Eksklusif
Dalam UNCLOS (UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW
OF THE SEA) Zona ekonomi eksklusif adalah suatu daerah di luar dan
berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rejim hukum khusus yang
10 Hasibuan, Rosmi.. Kaitan Permasalahan Rejim Hukum Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Dan Lintas Kontinen Dalam Konvensi Hukum Laut,Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1982 11
Solihin, Akhmad.. Menantikan UU Batas Wilayah,Jakarta,Raja Grafindo Persada, 2005,hal 77
Universitas Sumatera Utara
8
ditetapkan dalam Bab ini berdasarkan mana hak-hak dan yurisdiksi Negara pantai
dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan Negara lain, diatur oleh ketentuan-
ketentuan yang relevan Konvensi ini.
Hak berdaulat Indonesia, lanjutnya, ada pada Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE) dan Landas Kontinen. ZEE adalah kawasan yang berjarak 200 mil dari
pulau terluar. Di kawasan ZEE ini, Indonesia berhak untuk memanfaatkan segala
potensi sumber daya alam yang ada, termasuk ikan.
Adapun landasan kontinen merupakan wilayah dasar laut dan juga tanah di
bawahnya yang bersambungan dengan pantai di luar laut teritorial hingga k
Kedalaman 200 meter atau lebih, sepanjang kedalaman kolom air laut di
atasnya masih memungkinkan untuk dieksplorasi dan dieksploitasi.12
2. Hak-hak dan kewajiban Negara lain di zona ekonomi eksklusif
Di dalam ketentuan UNCLOS 1982 telah dibahas dalam pasal 58
mengenai hak dan kewajiban negara lain dalammelakukan kegiatan di wilayah
Zona Ekonomi Eksklusif sebagai berikut :
a. Di zona ekonomi eksklusif, semua Negara, baik Negara berpantai atau tak
berpantai, menikmati, dengan tunduk pada ketentuan yang relevan Konvensi ini,
kebebasan kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan meletakkan
kabel dan pipa bawah laut yang disebut dalam pasal 87 dan penggunaan laut lain
yang sah menurut hukum internasional yang bertalian dengan kebebasan-
kebebasan ini, seperti penggunaan laut yang berkaitan dengan pengoperasian
12
Diantha, I Made Pasek, Zona Eksklusif Indonesia , PT.Mandar Maju ,jakarta, 2016,hal 67
Universitas Sumatera Utara
9
kapal, pesawat udara, dan kabel serta pipa di bawah laut, dan sejalan dengan
ketentuan-ketentuan lain Konvensi ini.
b. Pasal 88 sampai 115 dan ketentuan hukum internasional lain yang berlaku
diterapkan bagi zona ekonomi eksklusif sepanjang tidak bertentangan dengan Bab
ini.
c. Dalam melaksanakan hak-hak memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi
ini di zona ekonomi eksklusif, Negaranegara harus memperhatikan sebagaimana
mestinya hak-hak dan kewajiban Negara pantai dan harus mentaati peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh Negara pantai sesuai dengan ketentuan
Konvensi ini dan peraturan hukum internsional lainnya sepanjang ketentuan
tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan bab ini.13
3. Delimitasi dari Zona Ekonomi Eksklusif
a. Batas Luar
Batas dalam ZEE adalah batas luar dari laut teritorial. Zona batas luas tidak
boleh melebihi kelautan 200 mil laut dari garis dasar dimana luas pantai teritorial
telah ditentukan. Kata-kata dalam ketentuan ini menyarankan bahwa 200 mil laut
adalah batas maksimum dari ZEE, sehingga jika ada suatu negara pantai yang
menginginkan wilayahnya ZEE-nya kurang dari itu, negara itu dapat
mengajukannya. Di banyak daerah tentu saja negara-negara pantai tidak akan
memilih mengurangi wilayahnya ZEE kurang dari 200 mil laut, karena kehadiran
wilayah ZEE negara tetangga. Kemudian timbul pertanyaan mengapa luas 200 mil
laut menjadi pilihan maksimum untuk ZEE. Alasannya adalah berdasarkan sejarah
13
Parthiana, I Wayan, “Pengantar Hukum Indonesia”, PT.Mandar Maju, 2003,hal 89
Universitas Sumatera Utara
10
dan politik: 200 mil laut tidak memiliki geografis umum, ekologis, dan biologis
nyata. Pada awal UNCLOS zona yang paling banyak diklaim oleh negara pantai
adalah 200 mil laut, diklaim negara-negara Amerika Latin dan Afrika. Lalu untuk
mempermudah persetujuan penentuan batas luar ZEE maka dipilihlah figur yang
paling banyak mewakili klaim yang telah ada. Tetapi tetap mengapa batas 200 mil
laut dipilih sebagai batas luar jadi pertanyaan. Menurut Prof. Hollick, figur 200
mil laut dipilih karena suatu ketidaksengajaan, dimulai oleh negara Chili.
Awalnya negara Chili mengaku termotivasi pada keinginan untuk melindungi
operasi paus lepas pantainya. Industri paus hanya menginginkan zona seluas 50
mil laut, tapi disarankan bahwa sebuah contoh diperlukan. Dan contoh yang
paling menjanjikan muncul dalam perlindungan zona diadopsi dari Deklarasi
Panama 1939. Zona ini telah disalahpahami secara luas bahwa luasnya adalah 200
mil laut, padahal faktanya luasnya beraneka ragam dan tidak lebih dari 300 mil
laut.
b. Batasan
Dalam banyak wilayah negara banyak yang tidak bisa mengklaim 200 mil
laut penuh, karena kehadiran negara tetangga, dan itu menjadikan perlu
menetapkan batasan ZEE dari negara-negara tetangga, pembatasan ini diatur
dalam hukum laut internasional.
c. Pulau-Pulau
Pada dasarnya semua teritori pulau bisa menjadi ZEE. Namun, ada 3 kualifikasi
yang harus dibuat untuk pernyataan ini. Pertama, walau pulau-pulau normalnya
bisa menjadi ZEE, artikel 121(3) dari Konvensi Hukum Laut mengatakan bahwa,
Universitas Sumatera Utara
11
" batu-batu yang tidak dapat membawa keuntungan dalam kehidupan manusia
atau kehidupan ekonomi mereka, tidak boleh menjadi ZEE."
d. Wilayah yang tidak berdiri sendiri.
Kualifikasi kedua berkaitan dengan wilayah yang tidak meraih baik
kemerdekaan sendiri atau pemerintahan mandiri lain yang statusnya dikenal PBB,
dan pada wilayah yang berada dalam dominasi kolonial. Resolusi III, diadopsi
oleh UNCLOS III pada saat yang sama pada teks Konvensi, menyatakan bahwa
dalam kasus tersebut ketentuan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban
berdasarkan Konvensi harus diimplementasikan untuk keuntungan masyarakat
wilayah tersebut, dengan pandangan untuk mempromosikan keamanan dan
perkembangan mereka.
4. Batas luar dan lebarnya zona ekonomi eksklusif
Angka yang dikemukakan mengenai lebarnya zona ekonomi eksklusif
adalah 200 mil atau 370,4 km. kelihatannya angka ini tidak menimbulkan
kesukaran dan dapat diterima oleh negara-negara berkembang dan negara-negara
maju.semenjak dikemukakannya gagasan zona ekonomi, angka 200 mil dari garis
pangkal sudah menjadi pegangan.sekiranya lebar laut wilayah 12 mil sudah
diterima, seperti kenyataannya sekarang ini, sebenarnya lebar zona ekonomi
eksklusif adalah 200-12 = 188 mil. Sebagaimana telah dikemukakan hak-hak
negara pantai atas kedua laut tersebut berbeda yaitu kedaulatan penuh atas laut
wilayah(teritorial) dan hak-hak berdaulat atas zona ekonomi untuk tujuan
eksploitasi sumber kekayaan yang terdapat di daerah laut tersebut.
Universitas Sumatera Utara
12
Batas dalam ZEE adalah batas luar dari laut territorial.Zona batas luas tidak
boleh melebihi kelautan 200 mil dari garis dasar dimana luas pantai territorial
telah ditentukan. Kata-kata dalam ketentuan ini menyarankan bahwa 200 mil
adalah batas maksimum dari ZEE, sehingga jika ada suatu negara pantai yang
menginginkan wilayahnya ZEE-nya kurang dari itu, negara itu dapat
mengajukannya. Di banyak daerah tentu saja negara-negara pantai tidak akan
memilih mengurangi wilayah ZEEnya kurang dari 200 mil, karena kehadiran
wilayah ZEE negara tetangga. Kemudian timbul pertanyaan mengapa luas 200 mil
menjadi pilihan maksimum untuk ZEE. Alasannya adalah berdasarkan sejarah dan
politik : 200 mil tidak memiliki geographis umum, ekologis dan biologis nyata.
Pada awal UNCLOS zona yang paling14
banyak di klaim oleh negara pantai
adalah 200 mil, diklaim negara-negara amerika latin dan Afrika. Lalu untuk
mempermudah persetujuan penentuan batas luar ZEE maka dipilihlah figur yang
paling banyak mewakili klaim yang telah ada.Tetapi tetap mengapa batas 200 mil
dipilih sebagai batas luar jadi pertanyaan. Menurut Prof. Hollick, figure 200 mil
dipilih karena suatu ketidaksengajaan, dimulai oleh negara Chili. Awalnya negara
Chili mengaku termotifasi pada keinginan untuk melindungi operasi paus lepas
pantainya.Industri paus hanya menginginkan zona seluas 50 mil, tapi disarankan
bahwa sebuah contoh diperlukan.Dan contoh yang paling menjanjikan muncul
dalam perlindungan zona adalah diadopsi dari Deklarasi Panama 1939.Zona ini
telah disalahpahami secara luas bahwa luasnya adalah 200 mil, padahal faktanya
luasnya beranekaragam dan tidak lebih dari 300 mil.15
14 http://indonesiadalamsejarah.blogspot.co.id 15
N.H.T. Siahaan dan H. Suhendi, Hukum Laut Nasional, Djambatan, Jakarta,1989.hal 134
Universitas Sumatera Utara
13
F. Metodologi Penulisan
Metodologi penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan
yuridis normatif adalah pendekatan yang melakukan analisa hukum atasperaturan
perundang-undangan dan keputusan hakim dan penulisan ini pendekatan yuridis
normatif digunakan untuk meneliti norma-norma hukum yang berlaku yang
mengatur tentang wilayah perairan suatu negara di wilayah laut dan upaya
bagaimana penyelesaian sebagimana yang terdapat dalam perspektif Hukum Laut
Internasional.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian bersifat deskriptif yaitu metode
penelitian yang menggambarkan semua data yang kemudian dianalisis dan
diibandingkan berdasarkan kenyataan yang sedang berlangsung dan selanjutnya
mencoba memberikan pemecahan masalahnya.
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini, penulis nmenggunakan sumber-sumber data sebagai
berikut:
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang
merupakan lamdasan utama yang digunakan dalam penelitian ini. Bahan Hukum
Primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah Piagam PBB 1945, Konvensi
Hukum Laut 1982, UNCLOS 1982
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang menunjang dan memberi
penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku , jurnal ilmiah dan
pendapat para ahli hukum internasional.
Universitas Sumatera Utara
14
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya kamus hukum,
ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya. Agar diperoleh informasi yang
terbaru dan berkaitan erat dengan permasalahannya, maka pustaka yang dicari
harus relevan dan mutakhir.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data penulis menggunakan metode library research
(penelitian kepustakaan) yakni dengan melakukan penelitian dari berbagai
sumber bacaan seperti buku-buku, majalah, pendapat para sarjana dan juga bahan
kuliah maupum bacaan lainnya yang berhubungan dengan peulisan skripsi ini,
adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi, anatara lain
berasal dari buku milik pribadi dan pinjaman dari perpustakaan, serta artikel yang
diambil dari media cetak maupun media elektronik dan dokumen-dokumen
pemmerintah, termasuk peraturan perundang-undangan .Tahap-tahap
pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut:
a. Melakukan inventirasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang
relevan dengan objek penelitian.
b. Melakukan penelusuran kepustakaan lewat artikel media cetak dan elektronik,
serta peraturan perundangan .
c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.
d. Menganalisa data-data yang relevan twersebut untuk menyelesaikan masalah
yang jadi objek penelitian.
Universitas Sumatera Utara
15
4. Teknik Analisis Data
Data yang terdapat dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif. Aanalisis
data kualitatif adalah proses kegiatann yang meliputi, mencatat,
mengorganisasikan, mengelompokkan, dan mentesiskan data selanjutya dan
memaknai setiap setiap kategori data, mencari, dan menemukan pola, hubungan –
hubungan , dan memaparkan temuan-temuan dalam bentuk deskriptif naratif.
G. Sistematika Penulisan
Penulis dalam memudahkan penyusuna dan pemahaman skripsi ini ,
membuat suatu sistematika penulisan ini secara teratur dan berbagai hal dan
bagian yanng semunya punya hubungan satu denngan lainnya. Sistematika
penulisan tersebut dibagi dalam penulisan tersebut dibagi dalam beberapa bab dan
dianntara bab-bab ini terdiri atas sub-sub bab. Skripsi ini dirancang dengan tujuan
agar terhindar dari kesimpangsiuran sehingga tak terjadi tumppang tindih anntar
satu bab lainnya sehingga disususn sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan
Merupakan kerangka yang terdiiri dari latar belakang penulisan,
perumusan masalah, tujuan, dan manfaat penulisan, keaslian
penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan (jenis penelitian,
sumber data, metode pengumpulan data, analisis data), sistematika
penulisan.
BAB II Pengaturan kawasan Zona Ekonomi Eksklusif Dalam
UNCLOS 1982
Universitas Sumatera Utara
16
Dalam BAB II ini berisi mengenai penegakan hukum atas eksploitasi
sumber dalamya negara Indonesia oleh negara lain bagaimana
tanggung jawab hukumnya baik Negara Indonesia dan dan Negara
China.bab ini akan menjelaskan kebijakan dan peraturan yang telah
dikeluarkan dan upaya yang dilakukan untuk menutaskan pelanggaran
ini.
BAB III Pengamanan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
Dalam bab ini yang akan dibahas adalah masalah hukum yang
berkaitan dengan “Tradisional fishing zone” dan dampak kasus
pelanggaran perairan Natuna terhadap peraturan Hukum Laut
Indonesia dan juga dampkanya pada pertahanan wilayah perairan
Indonesia.
BAB IV Usaha Pengamanan Zona ekomomi eksklusif Indonesia Dari
Negara Lain
Dalam bab ini akan dibahas bagaimana cara langkah diplomatis yang
tepat untuk menanggulangi dan mempertahankan perairan Indoonesia
dan implementasi secara tegas Undang-Undang Hukum Laut tentanng
wilayah negara pantai
BAB V Penutup
Dalam bab ini akan adalah kumpulan intisari dari bab yang
sebelumnya dan di simpulkan menjadi suatu rangkuman singkat, dan
juga sebagian saran dari Penulis.
Universitas Sumatera Utara
17
BAB II
PENGATURAN KAWASAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF
BERDASARKAN UNCLOS 1982
A. Definisi Zona Ekonomi Eksklusif
Secara umum dapat didefinisikan tentang apa yang dimaksud dengan Zona
Ekonomi Eksklusif yaitu “Bagian perairan laut yang terletak di luar dan
berbatasan dengan laut teritorial selebar 200(dua ratus mill) laut diukur dari
garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur.”16
Dan definisi umum ini dapat ditarik beberapa prinsip dasar dari Zona
Ekonomi Eksklusif ini,yaitu:
a) Letak zona ekonomi eksklusif ini secara geografis adalah di luar laut
teritorial. Dengan demikian,zona ekonomi eksklusif bukanlah bagian dari
laut teritorialkarena letaknya yang diluar laut teritorial.
b) Letaknya yang secara geografis di luar laut teritorial bukanlah berjauhan
dengan laut teritorial, melainkan berdampingan dengan laut teritorial, ini
berarti keduanya dibedakan oleh suatu garis batas. Garis batas ini ditinjau
dari laut teritorial yang merupakan garis atau batas luar (outer limit) dari
laut teritorial itu sendiri.17
c) Lebar dari zona ekonomi eksklusif tersebut adalah 200 mill laut. Sesuai
dengan yang telah disepakati dari negara-negara peserta dalam Konferensi
16 . Wayan Parthiana,Hukum laut internasioanal dan Hukum Laut Indonesia (Bandung:yrama Widya,2014), hlm.143 17 Ibid, hlm.144
Universitas Sumatera Utara
18
Hukum Laut PBB (1973-1982) yang berhasil diccapai melalui
perundingan yang cukup lama.
d) Pengukuran mengenai lebar 200 mill laut tersebut dilakukan dari garis
pangkal. Garis pangkal yang dimaksudkan adalah. Garis pangkal darimana
lebar laut teritorial diukur. Garis pangkal itu bisa berupa. Garis pangkal
normal,garis pangkal lurus dari ujung ke ujung, ataupun garis pangkal
kepulauan (bagi negara kepulauan)
e) Oleh karena itu baik laut teritorial maupun zona ekonomi eksklusif sama-
sama diukur dari garis pangkal, maka praktis lebar dari zona ekonomi
eksklusif adalah (200-12) mil laut, yakni sebesar 118 mill laut hal ini
disebabkan karena laut sebesar 12 mill laut dari garis pangkal sudah
merupakan laut teritorial yang merupakan wilayah negara pantai dan
tunduk pada kedaulatan negara pantai itu sendiri.
f) Zona Ekonomi Eksklusif dengan demikian bukanlah merupakan bagian
wilayah negara pantai dan, oleh karena itu, tidak tunduk pada kedaulatan
negara pantai. Negara pantai hanya memiliki hak-hak berdaulat dan
yuridiksi yang sifatnya eksklusif pada zona ekonomi eksklusifnya.
Mengapa dinamakan zona ekonomi eksklusif? Klaim-klaim sepihak yang
menjadikan lahirnya hukum yang bernama zona ekonomi eksklusif ini sebenarnya
dilatarbelakangi oleh motif, maksud dan tujuan ekonomi, bukan kedaulatan .
klaim-klaim yang berupa perluasan keedaulatan adalah klaim-klaim mengenai
pelebaran laut teritorial, motif, dan maksud tujuan ekonomi atas sumber daya
alam hayatinya, seperti ikan dan mahluk hidup lainnya maupun sumber daya non-
Universitas Sumatera Utara
19
hayati seperti gelombang laut,18
arus air laut,dan angin yang dapat dimanfaatkan
menjadi energi terbarukan. Semua sumber daya alam ini sangat penting artinya
bagi pembangunan negara-negara pantai yang bersangkutan. Sedangkan aspek
eksklusifnya adalah pada hak dan yuridiksi atas zona tersebut secara khusus atau
eksklusif diberikan kepada negara pantai yang bersangkutan, bukan kepada negara
atau subyek hukum lainnya.
Pasal 55 konvensi menegaskan bahwa zona ekonomi eksklusif sebagai
daerah perairan (laut) yang terletak diluar dan berdampingan dengan laut
teritorial, tunduk pada rezim hukum khusus. Yang ditetapkan dalam bab ini
berdasarkan mana hak-hak dan yuridiksi negara pantai. Hak – hak, serta
kebebasan-kebebasan negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan
dari konvensi ini. Rezim hukum khusus.ini tampak dalam kekhususan dari hukum
yang berlaku di pada zona ekonomi eksklusif tersebut sebagi suatu keterpaduan
yang meliputi:
a. Hak-hak berdaulat,yuridiksi ,dan kewajiban negara pantai.
b. Hak-hak serta kebebasan daru negara-negara lain;
c. Kebebasan-kebebasan laut lepas; dan
d. Kaidah-kaidah hukum internasional sebagaimana ditentukan dalam konvensi.
Pasal 6 ayat 1 huruf (a) konvensi menegaskan bahwa pada zona ekonomi
eksklusifnya, negara pantai memiliki hak-hak berdaulat (sovereign rights) untuk
keperluan:
18 Ibid., hlm.145
Universitas Sumatera Utara
20
a) Pengeksplorasian dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan atas sumber
daya alam, baik hayati maupun non-hayati.
b) Kegiatan lain untk keperluan eksplorasi dan eksploitasi untuk tujuan
ekonomi dari zona ekonomi eksklusif tersebut, seperti memproduksi energi
dari air laut, arus laut, dan angin.
Semua hak dan kegiatan yang berupa eksplorasi dan eksploitasi dan
berbagai kegiatan lainnya dilakukan pada perairan yang dinamakan zona ekonomi
eksklusif. Selanjutnnya pasal 56 ayat 1 huruf (b) mengatur tentang yuridiksi yang
diberikan kepada negara pantai pada zona ekonomi eksklusifnya, yuridiksi
tersebut berkenaan dengan:
a) Pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi, dan bangunan
b) Penelitian ilmiah kelautan
c) Perindungan dan pelestarian daya laut.
Selain itu negara pantai juga diberi yurisdiksi untuk melakukan penelitian
ilmiah kelautan pada zona ekonomi eksklusif, apakah penelitian dengan senjata
modern juga termasuk dalam hal penelitian, konvensi sama sekali tidak ada
menjelaskan, ini berarti ruang lingkup dari ccakupan dari kegiatan penelitian
ilmiah tersebut diserahkan sepenuhya kepada negara pantai itu masing-masing.
Pasal 38 ayat 1 statuta mahkamah internasional menetapkan bahwa sumber
hukum internasional yang dipakai oleh mahkamah dalam mengadili perkara-
perkara adalah:
a) Perjanjian internasional (international conventions), baik yang berupa
umum maupun khusus;
Universitas Sumatera Utara
21
b) Kebiasaan internasional (international custom);
c) Prinsip-prinsip umum hukum (general principles of law) yang diakui
oleh Negara-negara beradab;
d) Keputusan pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli yang
telah diakui kepakarannya (teaching of the most highly qualified
publicists) merupakan sumber tambahan hukum internasional.
Penetapan, Penyesuaian atau Perubahan Peraturan Perundang-Undangan
Nasional.
Indonesia merupakan negara yang cukup awal dalam meratifikasi
UNCLOS 1982 dengan mengundangkan Undang-undang No. 17 tahun 1985
pada tanggal 31 Desember 1985. UNCLOS 1982 sangat penting karena telah
memberikan landasan hukum internasional bagi kedudukan Indonesia sebagai
suatu negara kepulauan. Wawasan Nusantara yang dideklarasikan pada tahun
1957 pada akhirnya diakui oleh masyarakat internasional, dan dimasukkan ke
dalam Bab IV UNCLOS 1982. Sebagai negara yang telah meratifikasinya,
Indonesia berkewajiban untuk segera melakukan tindak lanjut dengan
mengimplementasikan ketentuan-ketentuan hukum internasional tersebut ke
dalam peraturan perundang-undangan nasional. Dua hal yang penting yang
berkaitan dengan wilayah kedaulatan dan yurisdiksi negara di laut adalah
Penetapan Batas-Batas Terluar dari Berbagai Zona Maritim yang Berada di
Bawah Kedaulatan dan Yurisdiksi Negara Untuk itu pada tanggal 8 Agustus
1996, Pemerintah menetapkan Undang-undang No. 6 tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia untuk menggantikan Perpu No. 4 tahun 1960. Melalui
Universitas Sumatera Utara
22
Undang-undang tersebut untuk pertama kalinya Indonesia menetapkan
dirinya sebagai suatu negara kepulauan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
2 Undang-undangini. Lebih jauh Undang-undang ini juga telah menempatkan
bagian penting dari Deklarasi Djuanda 1957 dalam Pasal yang sama, yang
berbunyi: “Segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan
pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik
Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian
integral dari wilayah daratanNegara Republik Indonesia sehingga merupakan
bagian dari perairan Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik
Indonesia.” Pasal 6 Undang-Undang tersebut menetapkan bahwa garis-garis
pangkal lurus kepulauan Indonesia dicantumkan dalam peta dengan skala atau
skala-skala yang memadai untuk menegaskan posisinya, atau dapat pula
dibuat daftar titik-titik koordinat geografis yang secara jelas memerinci datum
geodetiknya. Peta atau daftar koordinat geografis tersebut lebih lanjut diatur
dengan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat
Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Kurang lebih satu
dekade sebelum UNCLOS 1982 mulai berlaku, Indonesia telah
mengumumkan juga Undang-undang No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia yang mengatur tentang pelaksanaan hak-hak berdaulat dan
yurisdiksi Indonesia di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Pelaksanaan lebih
lanjut Undang-undang ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 15 tahun
1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Ekslusif
Indonesia. Pengaturan tentang perikanan secara umum kemudian dituangkan ke
dalam Undang-undang No. 9 tahun 1985 tentang Perikanan beserta beberapa
Universitas Sumatera Utara
23
peraturan pelaksanaannya, yang sejak berdirinya Departemen Kelautan dan
Perikanan telah mengalami beberapa kali perubahan, khususnya dalam
pengaturan tentang usaha perikanan termasuk di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia. DPR mencoba untuk mengubah Undang-undang No. 9 tahun 1985
tersebut melalui mekanisme hak inisiatif dan telah berhasil menyusun
Undang-undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan yang kemudian diubah
dengan Undang-undang No. 43 tahun 2009.
Upaya untuk menyesuaikan Undang-undang No. 1 tahun 1973 tentang
Landas Kontinen Indonesia dengan ketentuan UNCLOS 1982 telah dilakukan
oleh Kementrian Hukum dan HAM. Konvensi ini memberi peluang kepada
Indonesia untuk menetapkan batas terluarlandas kontinen, minimal sampai dengan
200 mil-laut, dan maksimal sampai dengan batas 350 mil-laut dari titik-titik
pangkal pada garis-garis pangkal Indonesia, atau pada jarak 100 mil dari
kedalaman (isobath) 2500 meter. Apabila secara teknis-ilmiah Indonesia
dapat mencapai batas maksimal tersebut, menurut ketentuan Pasal 4 dari
Annex II UNCLOS 1982, batas tersebut harus diserahkan kepada
Commission on the Limits of the Continental Shelf (beyond 200 Miles)
paling lambat 10 tahun setelah mulai berlakunya UNCLOS 1982 tersebut,
jadi batas waktu sesuai dengan ketentuan tersebut akan jatuh pada tanggal 16
November 2004. Berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB, batas waktu tersebut
telah diperpanjang hingga tahun 2009. Pada tanggal 16 Juni 2008
pemerintah Indonesia telah menyampaikan kepada CLCS, sesuai dengan
ketentuan Pasal 76 ayat (8) UNCLOS 1982, submisi tentang batas terluar landas
kontinen Indonesia diluar batas 200 mil diukur dari garis pangkal di daerah Barat
Universitas Sumatera Utara
24
Laut pulau Sumatera. Pada tanggal 28 Maret2011 CLCS menetapkan
“Recommendations of the Commission on the Limits of the Continental
Shelf in regard to the submission made by Indonesia in respect of the area North
West of Sumatra on 16 June 2008”. Belum diketahui apakah dengan rekomendasi
tersebut submisi Indonesia dapat disetujui sehingga Indonesia dapat
memperluas landas kontinennya di daerah tersebut, Disamping itu, penetapan
titik-titik pangkal dan garis-garis pangkal Indonesia dapat dijadikan dasar
untuk meninjau kembali ketentuan Undang-Undang No. 1 tahun 1973, dan
menetapkan batas terluar landas kontinen Indonesia sesuai dengan ketentuan
hukum internasional yang baru
Konvensi-konvensi internasional yang merupakan sumber utama hukum
internasional adalah konvensi yang berbentuk law-making treaties yaitu
perjanjian-perjanjian internasional yang berisikan prinsip-prinsip dan ketentuan-
ketentuan yang berlaku secara umum. Sebagai contoh dapat disebutkan:19
1. Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan 1907 mengenai Hukum Perang dan
Penyelesaian Sengketa Secara Damai.
2. General Treaty for the Renunciation of War, 27 Agustus 1928.
3. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, 1945.
4. Konvensi-konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik, 1961 dan
Hubungan Konsuler, 1963.
5. Konvensi-konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindunagn Korban Perang dan
Protokol-protokol tambahan, 1977.
19 Mahyudi,Konvensi PBB tentang hukum laut interasional, diakses dari, http://maritimblog.blogspot.co.id pada tanggal 2 Juli 2016 pukul 04.29
Universitas Sumatera Utara
25
c) Konvensi PBB tentang Hukum Laut, 1982.
d) Konvensi Senjata-senjata Kimia, (Chemical Weapons Convention), 1993.
e) Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty (CTBT), 1996
Dalam hukum internasional, hak-hak berdaulat dan yuridiksi tersebut yang
meliputi hak,kekuasaan, atau kewenangan yang diberikan kepada negara untuk
mengatur suatu objek yang tidak hanya dalam dimensi nasional tapi juga dimensi
internasional, dalam pengertian mengatur, meliputi membuat beberapa peraturan
hukum atau undang-undang nasional. Pelaksanannya yuridiksi legislatif, yuridiksi
eksklusif,dan yuridiksi yudikatif sebagimana diatur dalam Pasal 56 ayat 1 huruf
(a) dan (b), negara pantailah yang berhak berkuasa dan berwenang mengaturnya
yang meliputi ketiganya, namun semua ini harus dilakukan dengan tetap
menghormati kaidah hukum internasional.
Hukum laut internasional adalah sekumpulan kaedah hukum yang
mengatur hubungan hukum antara negara pantai atau yang berhubungan dengan
pantai, yang terkurung oleh daratan dan atau organisasi maupun subyek
hukuminternasional lainnya, yang mengatur mengenai kedaulatan negara di laut,
yurisdiksi negara dan hak-hak negara atas perairan tersebut. Hukum
lautinternasional mempelajari tentang aspek-aspek hukum di laut dan peristiwa-
peristiwa hukum yang terjadi di laut.20
Sejak zaman Emperium Romawi dengan kekuasaannya yang sangat luas,
tak ada bangsa lain yang berani menentang ketentuan dari Kerajaan Romawi
termasuk dalam hal penguasaan mengenai laut. Yang dulu dikenal 2 asas yang
20 Dikdik Mohamad Sodik,Hukum laut internasional(Bandung,PT.Refika Aditama,2014)., hlm, 45
Universitas Sumatera Utara
26
kuat, yaitu Res Communis Omnium yaitu laut adalah warisan milik bersama umat
manusia, sehingga manusia (negara) boleh memilikinya secara bersama-sama.
Disisi lain, ada asas Res nullius yang mengatakan bahwa laut tidak boleh dimiliki.
Namun, dilaut juga berlaku "first come first serve" yang berarti siapa yang
pertama datang dia yang menguasai, sehingga dengan kekuasaannya pada zaman
itu Romawi berkedaulatan penuh di lautan Tengah. Setelah Romawi runtuh,
hukum laut mulai berkembang pesat dengan munculnya negara-negara baru di
daratan Eropa, dan timbullah permasalahan baru tentang siapa yang memiliki laut
diantara negara-negara yang sedang berkembang itu.
Dari permasalahan dan sengketa-sengketa antar bangsa inilah, mulai
bermuncul doktrin-doktrin baru (battle of the books) diantara yang sangat terkenal
adalah :
a. Konsep laut terbuka (mare liberium)
Konsep ini dikemukakan oleh Hugo Crotius tahun 1906 dari Belanda, "mare
liberium" ini menjelaskan bahwa laut itu terbuka dan bebas untuk berlayar oleh
siapa saja.21
b. Konsep laut tertutup (mare calussum)
Konsep ini dikemukakan oleh John Selden pada tahun 1635.Teori ini
dikemukakan pada abad XVII oleh Inggris untuk menentang teori yang telah
dikemukakan oleh Grotius. Selden mengemukakan bahwa selama laut dikuasai
oleh suatu negara tertentu, maka negara tersebut mempunyai kekuasaan atas
laut tersebut (tertutup).
c. Konsep Kompromi
21 Ibid, hlm, 47
Universitas Sumatera Utara
27
Dari kedua doktrin di atas, Pontanus mencoba menggabungkan antara "mare
liberium" dan "mare claussum", dan mengemukakan bahwa laut yang berada
dekat dengan tepi pantai suatu negara (bangsa) adalah di bawah kedaulatan
suatu negara pantai dan selebihnya adalah laut bebas. Maka dari pendapat
itulah awal mula munculnya sebuah gagasan yang dikenal dengan "laut
teritorial dan laut lepas".
Mare Clausum kembali dikembangkan oleh Cornelis van Bynkershoek
yang menyatakan "terrae protestas finitur ubi finiturarmorum vis" atau lebih
dikenal dengan teori tembakan meriam, yang menyebutkan bahwa lebar laut
territorial suatu negara adalah sejauh 3 mil laut. Alasannya karena 3 mil laut
adalah jarak yang paling jauh yang bisa ditempuh oleh tembakan meriam.22
Pada zaman modern, hukum laut internasional mengalami perkembangan
yang sangat luar biasa. Perkembangan hukum laut internasional pada masa ini
lebih banyak melibatkan negara-negara di dunia melalui konferensi sebagai
pemikir dan pembuat aturan-aturan dalam perumusan hukum laut. 23
1. Den Haag Convention 1930
Merupakan konferensi yang bertujuan membentuk kodifikasi hukum
internasional yang diprakarsai oleh Liga Bangsa Bangsa, yang meliputi 3 hal
penting yakni :
a) Wilayah negara (nationality)
b) Laut teritorial (territorial waters)
c) Hak lintas damai
22
Ibid.hlm.75 23 Ibid.hlm,77
Universitas Sumatera Utara
28
2. Truman Proclamation 28 September 1945
Latar belakang yang mendasari keluarnya Proklamasi Truman adalah:
a) Banyaknya Negara yang merdeka atau menyatakan merdeka;
b) Kemajuan teknologi;
c) Banyak Negara yang menyadari laut sebagai sumber daya alam yang
potensial.
d) Pada pokoknya, proklamasi ini melontarkan pengertian baru tentang
rezim Continental Shelf (Landas Kontinen). Menurut Truman, landas
kontinen merupakan suatu kelanjutan alamiah dari wilayah daratan
dengan tujuan mengamankan dan mencadangkan sumber kekayaan alam
serta penguasaan atas sumber daya alam di bawahnya tanpa adanya
effective occupation.
3. Konvensi Jenewa 1958 (UNCLOS II)
Konferensi ini menghasilkan 4 Konvensi yaitu :
a) Konvensi tentang laut teritorial dan zona tambahan
b) Konvensi laut lepas
c) Konvensi tentang perikanan dan perlindungan kekayaan hayati
d) Konvensi tentang landas kontinen24
Berdasarkan Konvensi Jenewa 1958 ini, maka :
a) Negara dari aspek geografis dibedakan menjadi dua yaitu negara tak
berpantai dan negara pantai.
b) Laut dibagi dalam beberapa zona yaitu :
24
Bambang Mubiantoro, Penerapan Hukum Laut Di Indonesia,diakses dari, www.academia.edu/9708343/Penerapan_Hukum_Laut_Di_Indonesia
Universitas Sumatera Utara
29
a. laut teritorial (territorial sea), lebarnya masih berdasarkan hukum
kebiasaan internasional 3, 4, dan 6 mil
b. perairan pedalaman (internal water)
c. zona tambahan (contiguous zone)
d. laut lepas (high sea)
e. daerah dasar laut dan tanah di bawahnya, yaitu landas kontinen
(kontinen self)
4. Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982)
Konvensi ini disahkan tanggal 10 Desember 1982, di Montegobay,
Jamaica. Berdasarkan Konvensi ini di hasilkan beberapa keputusan penting, yaitu:
a) Negara dari aspek geografis dibagi menjadi tiga yaitu negar tak berpantai,
negara pantai dan negara kepulauan
b) Pembagian laut dibagi dalam beberapa zona yaitu :
a. Laut teritorial (territorial sea) sejauh 12 mil dari garis pangkal (baseline)
b. Perairan pedalaman (internal water)
c. Zona tambahan (contiguous zone) 24 mil dari garis pangkal
d. Perairan kepulauan (archipelagic water) diukur dari titik terluar pulau
terluar suatu negara kepulauan.
e. Zona ekonomi eksklusif (exclusive economic zone) 200 mil dari garis
pangkal
f. Laut lepas 25
25 Andi Muhammad, “KAWASAN LAUT BERDASARKAN KONVENSI HUKUM LAUT PBB 1982”, /aliinformation.wordpress.com, diakses pada 22 Mei 2016. Hal 189
Universitas Sumatera Utara
30
Negara Indonesia merupakan salah satu anggota pada konferensi
kodifikasi yang diselenggarakan oleh volkenbond dalam tahun 1930 di den Haag
ternyata bahwa dari 37 negara peserta hanya terdapat 9 negara yang
mempertahankan 3 mil limit sedangkan sebagian besar Negara peserta
menggangap 3 mil itu tidak cukup lebar kegagalan untuk mencapai kata sepakat
tentang lebar laut teritorial yang unform inilah yang menyebabkan kandasnya
usaha liga bangsa-bangsa untuk mengadakan kodifikasi hokum laut mengenai
penguasaan laut.
Suatu keberatan besar bagi bangsa Indonesia karna cara tersebut kurang atau
sama sekali tidak memperhatikan sifat khusus dari pada inndonesia sebagai suatu
Negara kepulauan (archipelago). Menurut cara pengukuran laut territorial yang
klassik yaitu dihitung dari base-line yang berupa garis air rendah secara teoritis
setiap dari tiga ribu (3000) pulau di Indonesia itu mempunyai laut teritorialnya
sendiri, dapatlah dibayangkan bahwa keadaan demikian sangat menyukarkan
pelaksanaan tugas pengawasan laut dengan sempurna karena susunan daerah yang
harus diawasi. Demikian ruwet kantong-kntong berupa laut bebas di tengah-
tengah dan diantara bagian darat (pulau) dari wilayah Negara Indonesia ini
menempatkan petugas dalam keadaan yang sulit karena mereka harus
memperhatikan setiap waktu.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas perlu dicari pemecahan
persoalan yang berpokok pada pendirian, bahwa kepulauan Indonesia itu
merupakan satu kesatuan (unit) dan bahwa lautan diantara pulau-pulau kita itu
merupakan satu bagian yang tidak dapat dilepaskan dari bagian darat (pulau-
pulau) Negara kita. Perkataan “tanah air” dalam bahasa Indonesia cukup menjadi
Universitas Sumatera Utara
31
bukti bahwa pendirian itu secara atau tidak sudah meresap pada pikiran rakyat itu.
Berdasarkan pendirian ini maka lautan territorial harus terletak sepanjang garis
yang menghubungkan titik ujung terluar dari pada kepulauan Indonesia.
Cara penentuan laut territorial di sekeliling kepulauan Indonesia menurut
cara yang kita perbincangkan sekarang mau tidak mau akan mengambil sebagai
suatu garis dasar (base line) suatu garis lurus yang menghubungkan titik yang
terluar dari pada kepulauan Indonesia. Cara penarikan “straight base line from
point to point” ini mendapat pengakuan dalam hokum internasional dengan
keputusan mahkamah dalam anglo Norwegia Fisheries case pada tanggal 18
desember 1951.
Cara penenetuan base-line yang ditetapkan dalam royal norwegia degree
dari tanggal 12 juli ini di benarkan oleh mahkamah yang menyatakan “that the
base- lines fixed by the said degree were not contary to international law”.26
Sangat menarik sebab yang mendorong mahkamah internasional untuk
mengambil keputusan itu katanya disebabkan oleh “geographical realities“ dan
juga di pengaruhi oleh “economic interes”. Walaupun keadaan gegrafis Indonesia
berlainan yakni garis-garis yang menghubungkan titik ujung akan jauh lebih
panjang dari pada garis terpanjang yang diketengahkan dalam pertikaian antara
inggris dan norwegia itu (44 mil).27
Namun kadaan Indonesia sebagai suatu pulau
cukup unik untuk dapat membenarkan cara penentuan garis pangkal ( base line)
yang serupa. Yang penting dalam Anglo Norwegia Fisheries Case ini adalah
bahwa suatu cara penarikan garis pangkal yang lain dari pada cara yang klasik
26
Ibid,hlm, 220 27 Ibid,hlm 225
Universitas Sumatera Utara
32
(yaitu menurut garis air rendah) telah mendapat pengakuan dari Mahkamah
ineternasional. Jadi, yang kita lakukan adalah peninjauan kembali dari pada base
line (garis pangkal) yang disesuaikan dengan keadaan Indonesia sebagai suatu
kepulauan.
Selanjutnya pendirian delagasi ditentukan pula oleh deklarasi pemerintah
pada tanggal 13 desember 1957 mengenai wilayah perairan Indonesia harus
diusahakan dan diperjuangkan oleh delegasi supaya konferensi di jenewa
menerima tambahan satu artikel yang mengatur soal laut teritorial di sekitar
kepulauan sebagai suatu kesatuan (unit). Sebagi konsekuensi dari pada deklarasi
pemerintah RI tanggal 13 desember 1957 harus pula diperjuangkan agar
konperensi jangan sampai menentukan suatu limit maximum bagi panjangnya
“straight base-line from point to point”. Demikian pila sesuai dengan deklarasi
pemerintah tanggal 13 desember 1957 harus diperjuangkan agar laut territorial
dapat ditentukan menjadi 12 mil.28
Semenjak berakhirnya perang dunia ke II, hukum laut merupakan cabang
hokum internasional telah mengalami perubahan-perubahan yang mendalam dan
bahkan dapat dikatakan telah mengalami revolusi sesuai dengan perkembangan
dan tuntutan zaman. Bila dulu hukum laut pada pokoknya hanya mengurus
kegiatan-kegiatan diatas permukaan laut. Tetapi dewasa ini perhatian juga telah
diarahkan pada dasar laut dan kekayaan mineral yang terkandung didalamnya.
Hokum laut yang dulunya bersifat un dimensional sekarang telah berubah menjadi
plu dimensional yang sekaligus merombak filosofi dan konsepsi hokum laut
dimasa lalu.
28 ibid,hlm,289
Universitas Sumatera Utara
33
Memang konferensi PBB 1 tentang hokum laut tahun 1958 di jenewa,
UNITED NATIONS CONFERENCE ON THE LAW OF THE SEA (UNCLOS)
berhasil mengeluarkan konvensi, namun masih banyak lagi masalah hokum yang
belum diselesaikan sedangkan ilmu pengetahuaan dan teknologi berkembang
dengan pesat. Konvensi-konvensi pada tahun 1958 bukan saja belum mengatur
semua persoalan tetapi ketentuan-ketentuan yang adapun dalam waktu yang
pendek tidak lagi memadai dan telah ditinggalkan perkembangan teknologi.
Disamping itu, negara-negara yang lahir susudah tahun 1958 yang jumlahnya
sedikit dan yang tidak ikut merumuskan konvensi-konvensi tersebut menuntut
agar dibuatnya ketentuan-ketentuan baru dan merubah ketentuan yang tidak
sesuai.
Demikian juga untuk menyesuaikan ketentuan-ketentuan yang ada dengan
perkembangan-perkembangan yang terjadi dan menampung masalah-masalah
yang dating kemudian. Majelis umum PBB tahun 1976 membentuk suatu badan
yang bernama UNETED NATIONS seabed committee, siding-sidang komite ini
kemudian dilanjutkan dengan konferennsi hokum laut III (UNCLOS) yang siding
pertamanya diadakan di New York bulan September tahun 1973 dan yang 9 tahun
kemudian berakhir dengan penandatanganan konvensi PBB tentang hukum laut
pada tanggal 10 desember 1982 di Montage Bay, Jamaica.
Itulah yang menjadi sebagian penjelasan dari zona ekonomi eksklusif
yang dapat dijadikan suatu pendahuluan mengenai semua pembahasan yang ada di
dalam peraturan UNLOS 1982 sudah ditentukan seluruh hal yang membahas
segala hal yang berkaitan dengan perairan dan cara penegakan hukumnya yang
benar dan terpadu yang pada saat ini kita punya masalah dan harus ditindaklanjuti.
Universitas Sumatera Utara
34
B. Dasar Hukum yang Menetapkan Kebijakan Zona Ekonomi Eksklusif
Menilik sejarah, negara Indonesia yang cukup dikenal wilayahnya merupakan
kumpulan dari pulau-pulau besar dan kecil, dalam praktek ketatanegaraannya
telah memperlakukan ketentuan selebar 12 mil laut. Dimana pada tanggal 13
Desember 1957 pemerintah RI mengeluarkan pernyataan yang dikenal “Deklarasi
H. Djuanda”.
Dikeluarkannya deklarasi ini dimakhsudkan untuk menyatukan wilayah
daratan yang terpecah-pecah sehingga deklarasi akan menutup adanya lautan
bebas yang berada di antara pulau-pulau wilayah daratan.Adapun pertimbangan-
pertimbangan yang mendorong pemerintah RI sebagai suatu negara kepulauan
sehingga mengeluarkan pernyataan mengenai wilayah perairan Indonesia adalah
:29
a) Bahwa bentuk Geografi Indonesia yang berwujud negara kepulauan, yang
terdiri atas 13.000 lebih pulau-pulau besar dan kecil yang tersebar di
lautan.
b) Demi untuk kesatuan wilayah negara RI, agar semua kepulauan dan
perairan ( selat ) yang diantaranya merupakan kesatuan yang utuh dan
tidak dapat dipisahkan antara pulau yang satu dengan pulau yang lainnya,
atau antara pulau dengan perairannya.
c) Bahwa penetapan batas perairan wilayah sebagai menurut “Teritoriale Zee
en Mariteme Kringen Ordonampie 1939” yang dimuat dalam Staatsblad
29 Ibid,hlm, 89
Universitas Sumatera Utara
35
1939 no 442 pasal 1 ayat (1 ) sudah tidak cocok lagi dengan kepentingan
Indonesia setelah merdeka
d) Bahwa Indonesia setelah berdaulat sebagai suatu negara yang merdeka,
mempunyai hak sepenuhnya dan berkewajiban untuk mengatur segala
sesuatunya, demi untuk keamanan dan keselamatan negara serta
bangsanya. Peraturan perundang-undangan tentang wilayah laut ( perairan
) yang mengimplementasikannya:
e) Undang-undang no 4 PRP tahun 1960 tentang perairan Indonesia (
Wawasan Nusantara )
f) Peraturan pemerintah no 8 tahun 1962 tentang lalu lintas laut damai
kendaraan air asing dalam perairan Indonesia.
g) Keputusan Presiden RI no 16 tahun 1971, tentang pemberian izin berlayar
bagi segala kegiatan kendaraan asing dalam wilayah perairan Indonesia.
h) UU no 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia
i) UU no 5 tahun 1983, tentang Zona Ekonomi Ekslkusif Indonesia
j) Peraturan Pemerintah no 15 tahun 1984 tentang pengolahan SDA hayati di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
k) UU no 20 tahun 1982, tentang ketentuan-ketentuan pokok pertahanan
keamanan NKRI.
Persetujuan pemerintahan Indonesia dengan beberapa negara yang berbatasan
tidak lepas dengan hak dan kewajiban persetujuan yang telah dilakukan mengatur
masalah Landasan Kontinen dua negara atau lebih berbentuk peraturan
perundangan mempunyai konsekuensi untuk dilaksanakan, terjadinya
Universitas Sumatera Utara
36
pelanggaran perbatasan berarti kemungkinan ketegangan akan timbul, oleh sebab
itu disajikan batas-batas wilayah sehingga garis batas Landas Kontinen antara :
1. Pemerintahan Indonesia dengan Pemerintahan Malaysia
Persetujuan ke dua negara tersebut bagi pemerintahan Indonesia yang telah
disahkan secara konstitusionil diwujudkan dalam bentuk keputusan Presiden yaitu
Keputusan Presiden RI no 89 tahun 1969 menetapkan, mengesahkan persetujuan
antara pemerintah RI dengan pemerintah Indonesia tentang penetapan garis batas
landas kontinen antara ke dua negara yang di tanda tangani para delegasi masing-
masing di Kuala Lumpur pada tanggal 17 Agustus 1969.30
2. Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Malaysia dan Kerajaan Thauland
Hasil persetujuan delegasi-delegasi RI dengan Malaysia dan Kerajaan
Thailand di tanda tangani di Kuala Lumpur tanggal 21 Desember 1971 dan oleh
pemerintah Indonesia secara Konstitusional di tuangkan dalam bentuk Keputusan
Presiden pada 11 Maret 1972, yaitu Keputusan Presiden no 20 tahun 1972 tentang
pengesahan persetujuan antara pemerintah RI, pemerintah Malaysia dan Kerajaan
Thailand dalam penetapan garis-garis batas Kontinen di bagian utara selat Malaka.
3. Pemerintah RI dengan Pemerintah Thailand.
Hasil persetujuan antara pemerintahan RI dengan pemerintahan kerjaan
Thailand membicarakan batas landas kontinen dua negara dibagian selat Malaka
dan di laut Andaman, untuk memisahkan bagian kedaulatan ke dua negara di
bagian wilayah Kontinennya dan di tanda tangani di Bangkok pada tanggal 17
Desember 1971 dan oleh pemerintahan RI disahkan dalam bentuk keputusan
30 Ibid,hlm,99
Universitas Sumatera Utara
37
Presiden yang ditetapkan pada tanggal 11 Maret 1972, yaitu keputusan presiden
nomor 21 tahun 1972.31
4. Pemerintah RI dengan Pemerintah Filipina.
Sistem yang dianut Filipina dalam penetapan batas landas kontinennya
adalah sistem yang sama dengan yang dianut oleh Indonesia yakni Middle Line
atau Ekuedistant, baik Indonesia maupun Filipina kedua nya adalah negara
kepulauan. Pada bulan Mei 1979 Filipina mengumumkan ZEE 200 milnya,
dengan terjadinya penetapan batas tersebut oleh masing-masing pihak dan diukur
dari garis-garis pangkal darimana diukur laut teritorial masing-masing yang
mengelilingi kepulauannya, maka di baigian selatan Filipina ( selatan Mindanau )
dan bagian utara Indonesia ( Laut Sulawesi dan Sangir Talaud ).
5. Pemerintah RI dan Pemerintah Vietnam
Vietnam telah mengeluarkan pernyataan mengenai wilayah perairannya
pada tanggal 12 Mie 1977 dan menetapkan UU Maritimnya pada bulan Januari
1980. Dalam UU tersebut ditetapkan bahwa wilayah maritim Virtnam adalah
sejauh 200 mil laut dengan perincian 12 mil laut Teritorial, 2 mil wilayah
menyangga dan selebihnya ZEE. Menurut Guy Sacerdotti dalam tulisannya tahun
1980 menyebutkan bahwa pihak Indonesia berpendirian bahwa tidak ada wilayah
yang tumpang tindih dengan pihak Vietnam.
6. Pemerintah RI dengan Pemerintah Papua Nugini
Kedua negara sudah membicarakan sebelumnya pada bulan Mei 1978
yang menegaskan bahwa perjanjian-perjanjian dahulu tetap mempunyai daya laku
dan akan diadakan persetujuan final mengenai penetapan ke dua negara, juga
31 Ibid,hlm,60-77
Universitas Sumatera Utara
38
dalam pernyataan bersana tersebut disebutkan bahwa tindakan-tndakan yang
diambil oleh pihak Papua Nugini untuk menetapkan Zona perikanan 200 mil serta
kebijakannya dalam pergolakan sumber-sumber daya hayati dalam zona tersebut
diakui. Adapun undang-undang yang mengatur mengenai dasar hokum pada zona
ekonomi ekslusif adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan atas UNCLOS 1982
Pada tanggal 31 Desember 1985 pemerintah mengeluarkan Undang-
Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the
Law of the Sea (Konvensi PBB tentang Hukum Laut) untuk meratifikasi Konvensi
PBB tentang Hukum Laut pada tahun 1982. Menurut UNCLOS, Indonesia berhak
untuk menetapkan batas-batas terluar dari berbagai zona maritim dengan batas-
batas maksimum ditetapkan sebagai berikut:32
a) Laut Teritorial sebagai bagian dari wilayah negara : 12 mil-laut;
b) Zona Tambahan dimana negara memiliki yurisdiksi khusus : 24 mil-laut;
c) Zona Ekonomi Eksklusif : 200 mil-laut, dan
d) Landas Kontinen : antara 200 – 350 mil-laut atau sampai dengan 100 mil-
laut dari isobath (kedalaman) 2.500 meter.
Pada ZEE dan Landas Kontinen, Indonesia memiliki hak-hak berdaulat
untuk memanfaatkan sumber kekayaan alamnya. Di samping itu, sebagai suatu
negara kepulauan Indonesia juga berhak untuk menetapkan:33
a) Perairan Kepulauan pada sisi dalam dari garis-garis pangkal kepulauannya,
32 Ibid,hlm, 85-86 33
Etty.R.Agoes,”Beberapa ketentuan Konvensi PBB Tentang Hukum Laut 1982 yang berkaitan dengan Hukum Maritim,” Fakultas Hukum UNPAD, hlm 9-11
Universitas Sumatera Utara
39
b) Perairan pedalaman pada perairan kepulauannya.
Berbagai zona maritim tersebut harus diukur dari garis-garis pangkal atau
garis-garis dasar yang akan menjadi acuan dalam penarikan garis batas.
2. Undang-Undang No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
Pada tanggal 8 Agustus 1996, Pemerintah menetapkan Undang-Undang
No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, yang lebih mempertegas batas-batas
terluar (outer limit) kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia di laut, juga memberikan
dasar dalam penetapan garis batas (boundary) dengan negara negara tetangga
yang berbatasan, baik dengan negara-negara yang pantainya berhadapan maupun
yang berdampingan dengan Indonesia.
Pada dasarnya Undang-undang ini memuat ketentuan-ketentuan dasar
tentang hak dan kewajiban negara di laut yang disesuaikan dengan status hukum
dari berbagai zona maritim, sebagaimana diatur dalarn UNCLOS. Batas terluar
laut teritorial Indonesia tetap menganut batas maksimum 12 mil laut, dan garis
pangkal yang dipakai sebagai titik tolak pengukurannya tidak berbeda dengan
pengaturan dalam Undang-Undang No. 4/Prp. tahun 1960 yang disesuaikan
dengan ketentuan baru sebagaimana diatur dalam UNCLOS.
3. Peraturan Pemerintah, No. 61 tahun 1998 tentang Daftar Koordinat Geografis
Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna,
diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat
Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia
Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) Undang-
undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang menentukan bahwa
Universitas Sumatera Utara
40
Daftar Koordinat tersebut harus didepositkan di Sekretariat Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa, Undang-undang No. 6 tahun 1996 tersebut kemudian dilengkapi
dengan Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 1998 tentang Daftar Koordinat
Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia di sekitar Kepulauan
Natuna, yang kemudian dicabut dan digantikan dengan Peraturan Pemerintah No.
38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal
Kepulauan Indonesia, dengan melampirkan daftar koordinat geografis titik-titik
garis pangkal kepulauan Indonesia. Daftar koordinat ini tidak dimasukkan sebagai
ketentuan dalam batang tubuh Peraturan Pemerintah ini dengan tujuan agar
perubahan atau pembaharuan (updating) data dapat dilakukan dengan tidak perlu
mengubah ketentuan dalam batang tubuh Peraturan Pemerintah ini. Lampiran-
lampiran tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Peraturan
Pemerintah ini.34
Selain itu terdapat pula beberapa Undang-Undang yang dikeluarkan
sebelum Indonesia meratifikasi UNCLOS pada tahun 1985 yang belum diubah
yaitu:35
1. Undang-undang No. 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia
Undang-Undang ini dibuat berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa
tentang Landas Kontinen tahun 1958 yang menganut penetapan batas terluar
landas kontinen berbeda dengan UNCLOS. Dengan demikian perlu diadakan
perubahan terhadap Undang-Undang ini dengan menyesuaikan sebagaimana
mestinya ketentuan tentang batas terluar landas kontinen.
34
Dikdik Mohamad Sodik,op.cit, hlm, 69 35 Ibid,hlm, 99
Universitas Sumatera Utara
41
2. Undang-undang No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
Menurut Undang-Undang ini di Zona Ekonomi Eksklusif, Indonesia
mempunyai hak-hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber
daya alam hayati dengan mentaati ketentuan tentang pengelolaan dan konservasi.
Batas terluar Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ditetapkan sejauh 200 mil-laut.
Sampai saat ini Indonesia belum mengumumkan zona tambahannya
maupun memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
penetapan batas terluar, maupun tentang penetapan garis batas pada zona
tambahan yang tumpang tindih atau yang berbatasan dengan zona tambahan
negara lain. Badan Pembinaan Hukum Nasional dari Departemen Kehakiman dan
HAM pernah melakukan pengkajian dan menghasilkan suatu naskah akademik
dan RUU tentang Zona Tambahan, namun sampai saat ini belum menjadi
Undang-Undang.
Menurut ketentuan Pasal 47 ayat 8 dan 9 dari UNCLOS, garis-garis pangkal
yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut harus
dicantumkan dalam peta atau peta-peta dengan skala atau skala-skala yang
memadai untuk menegaskan posisinya. Sebagai gantinya dapat dibuat daftar
koordinat geografis titik-titik yang secara jelas memerinci datum geodetik.36
Secara nasional pengaturan mengenai hak lintas damai terdapat dalam:
1) UU No 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia
2) Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 1962 tentang Hak Lintas Damai kendaraan
Air Asing.
36 Ibid,hlm,110
Universitas Sumatera Utara
42
3) UU No 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nation Convention of the
Law of the Sea 1982.
4) UU No 6 Tahun 1996 tentang Perairan
5) Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal
Asing dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia
6) PP no.19 tahun 1999 tentang pengendalian dan atau perusakan laut
Namun melihat peraturan yang ada mengatur tentang laut territorial
diindonesia masih banyak terdapat berbagai kekurangan diantaranya tidak adanya
pengaturan batas laut Indonesia.
Perkembangan zona ekonomi eksklusif (exclusive economic zone)
mencerminkan kebiasaan internasional (international customs) yang diterima
menjadi hukum kebiasaan internasional (customary international law) karena
sudah terpenuhi dua syarat penting, yaitu praktik negara-negara (state practice)
dan opinio juris sive necessitatis. Zona ekonomi eksklusif bagi negara
berkembang seperti Indonesia adalah vital karena di dalamnya terdapat kekayaan
sumber daya alam hayati dan nonhayati, sehingga mempuyai peranan sangat
penting bagi pembangunan ekonomi bangsa dan negara
Zona ekonomi eksklusif adalah daerah di luar dan berdamping dengan laut
territorial yang tunduk pada rejim hukum khusus di mana terdapat hak-hak dan
jurisdiksi Negara pantai, hak dan kebebasan Negara lain yang diatur oleh
Konvensimsedangkan dalam undang-undang No 5 Tahun 1983 Tentang Zona
Ekonomi Eksklusif disebutkan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah
jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana
ditetapkan berdasarkan undang undang yang berlaku tentang perairan Indonesia
Universitas Sumatera Utara
43
yang meliputi dasar laut,tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar
200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.
Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwasanya Indonesia telah
berusaha memperjuangkan status Negara kepulauan sejak Deklarasi Djuanda 13
Desember 1957, walaupun beberapa Negara sudah ada yang mengakui hal
tersebut, namun pada waktu itu belumlah mendapatkan pengakuan secara resmi
dari masyarakat internasional. Diperjuangkannya Indonesia sebagai Negara
Kepulauan yang berwawasan nusantara untuk mewujudkan suatu kesatuan
wilayah Indonesia, ialah satu kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan
pertahanan keamanan.
Sehubungan dengan diakuinya Indonesia sebagai Negara Kepulauan, maka
otomatis perairan Indonesia yang dahulunya merupakan bahagian dari Laut Lepas
kini menjadi wilayah perairan Indonesia, artinya kedaulatan Indonesia atas
wilayah perairannya semakin luas dibandingkan sebelum ditandatanganinya
Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982. Indonesia memiliki
pulau sebanyak 17.480 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km, sehingga
secara geografis Indonesia merupakan negara maritim, yang memiliki luas total
wilayah 7,9 Juta Kilometer Persegi, yang terdiri atas 1,9 Juta Kilometer Persegi
daratan dan 5,8 Juta Kilometer Persegi berupa Lautan. Bersamaan dengan
semakin luasnya wilayah perairan Indonesia tersebut juga berdampak kepada
keutuhan kesatuan wilayah Negara Republik Indonesia, yaitu sebelumnya ada
diantara wilayah Indonesia yang harus dipisahkan karena adanya laut lepas, tapi
setelah Konvensi Hukum Laut 1982 disepakati dan wilayah perairan Indonesia
Universitas Sumatera Utara
44
semakin bertambah menyebabkan wilayah laut lepas tadi tidak ada lagi, akan
tetapi bersatu menjadi satu kesatuan wilayah perairan Indonesia.
Status Negara kepulauan yang dimiliki Indonesia juga memiliki dampak
positif lainnya, yaitu memposisikan Indonesia berada pada posisi yang strategis
bagi kegiatan ekonomi, sosial dan budaya, karena sebagaimana yang diketahui
bahwasanya Indonesia berada di garis khatulistiwa , berada diantara dua benua (
Asia dan Australia), dan dua samudera (Pasifik dan India), serta Negara yang
menjadi tempat perlintasan kapal-kapal asing sebagai bentuk aktifitas-aktifitas
perekonomian.
Dengan meratifikasi UNCLOS III kedalam peraturan perundang-undangan
nasional membuat adanya kejelasan batas wilayah dari Negara Indonesia,
sehingga dapat dijadikan alat legitimasi dalam menjalin hubungan berbangsa dan
bernegara. Kejelasan batas-batas perairan suatu negara dengan Negara-negara
yang berbatasan langsung juga akan dapat membantu memperjelas fungsi
pertahanan negara, yaitu menjaga kemungkinan serangan atau penyusupan dari
luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena dengan
meratifikasi UNCLOS 1982 merupakan sebagai bentuk langkah untuk
mempertahankan kedaulatan Negara, karena mengingat bahwasanya Indonesia
memiliki wilayah perairan yang sangat luas.
Dilihat dari sudut pengaturan rejim-rejim hukum laut juga banyak
memberikan keuntungan bagi Indonesia sebagai Negara kepulauan yang
berwawasan nusantara, diantaranya adalah: Pertama, pengaturan mengenai lebar
laut territorial yang sebelum diratifikasikannya UNCLOS III menunjukkan adanya
keanekaragaman dalam masalah lebar Laut territorial, dimana ada Negara yang
Universitas Sumatera Utara
45
mengukur lebar laut teritorialnya dari 3 mil sampai 200 mil jauhnya, namun
sekarang menemukan titik kejelasan bahwasanya lebar Laut Teritorial adalah
tidak boleh lebih dari 12 mil laut. Kedua, pengaturan mengenai lebar Zona
Tambahan adalah maksimal 24 mil laut diukur dari garis dasar Laut Teritorial,
Indonesia memiliki yurisdiksi pengawasan di zona tersebut untuk mencegah dan
menindak pelanggaran Bea Cukai, Imigrasi, Fiskal dan saniter. Ketiga, Zona
Ekonomi Eksklusif yang diatur memiliki lebar sampai 200 mil laut membuat
wilayah laut Negara Indonesia bertambah luas yaitu dengan diberikannya “Hak
Berdaulat” atas ZEE tersebut. Keempat, dalam hal pengaturan lebar Landas
Kontinen juga menunjukkan dampak yang positif bagi Negara-negara pantai -
khususnya Indonesia, yaitu dimana Landas Kontinen yang pada mulanya
termasuk kedalam rejim Zona Ekenomo Eksklusif, namun pada Konvensi Hukum
Laut PBB 1982 (UNCLOS III) Landas Kontinen diatur dalam Bab tersendiri dan
memberikan kesempatan yang memungkinkan suatu Negara panati (salah satunya
Indonesia) memiliki lebar Landas Kontinen melebihi lebar Zona Ekonomi
Eksklusif, yaitu dengan tidak melebihi dari 350 mil laut.
Kejelasan batas-batas rejim hukum laut yang diatur di dalam UNCLOS III di
atas tentunya dapat menciptakan kesejahteraan khususnya bagi warga negara
Indonesia melalui terjaminnya pemanfaatan potensi sumber daya alam seperti
kegiatan perikanan, eksplorasi dan eksploitasi lepas pantai, wisata bahari,
transportasi laut dan berbagai kegiatan kelautan lainnya.Selain kelebihan atau
dampak positif yang didapatkan Indonesia dengan mengesahkan United Nations
Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Tentang Hukum Laut) melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985, ternyata
Universitas Sumatera Utara
46
ada kelemahan yang dirasakan atau dampak negatif yang masih dapat dirasakan
oleh Negara Indonesia, walaupun dampak negatif itu berbanding lebih sedikit dari
pada dampak positif yang sangat banyak dirasakan.
Diantara kelemahannya itu adalah disamping keberadaan Indonesia pada
posisi yang strategis dalam kegiatan perekonomian, sosial dan budaya juga
berpengaruh terhadap Indonesia yang sangat rawan untuk mengalami konflik
dengan negara tetangga, baik yang berbatasan langsung dengan Indonesia maupun
berbatasan secara tidak langsung dengan Indonesia. Negara-negara tetangga akan
mengklaim suatu wilayah laut yang pada mulanya diklaim oleh Indonesia sebagai
wilayah kekuasaanya, hal ini terjadi karena Negara yang berbatasan langsung
dengan Negara indonesia tersebut juga berusaha memperluas wilayah lautnya
dengan pengukuran garis batas sebagaimana yang ditentukan di dalam UNCLOS
III. Selain itu konflik dapat saja terjadi ketika Indonesia sudah mengesahkan
UNCLOS III, kemudian mendasarkan pengaturan wilayah laut berdasarkan
UNCLOS tersebut, namun di lain pihak Negara tetangga dalam mengklaim suatu
wilayah laut malah tidak tunduk atau tidak didasarkan kepada UNCLOS akan
tetapi hanya dilakukan secara sepihak, seperti halnya contoh konflik yang terjadi
antara Indonesia dengan Malaysia terkait kasus perebutan blok Ambalat.
C. UNCLOS dan Hukum yang Berkaitan Mengatasi Masalah Pelanggaran
yang Ada di Perairan Natuna.
Masalah kedaulatan wilayah merupakan masalah sensitif. Tidak ada
negara yang rela kehilangan sejengkal wilayahnya. Karena itu, masalah
perbatasan tidak didiamkan. Masalah perbatasan berpotensi besar menimbulkan
Universitas Sumatera Utara
47
konflik. Hal ini sebisa mungkin harus dihilangkan dengan menyelesaikan
sengketa perbatasan. Hilangnya sengketa perbatasan membuat kedaulatan lebih
terjamin. Bagaimana menyelesaikannya? Dibutuhkan upaya terkoordinasi dengan
mekanisme lebih sederhana dan bisa diterima semua pihak. Tanpa ini,
penyelesaian masalah perbatasan sering butuh waktu lama.37
Dalam kasus Natuna yang diklaim secara sepihak oleh pemerintah China
mengindikasikan bahwa kekuatan dan pertahanan nasional dalam hal kedaulatan
Negara masih memiliki kekurangan dan celah yang bisa dimanfaatkan oleh
Negara lain. Disisi lain pemerintah China juga terlalu percaya diri dengan
pengkklaiman yang dilakukannya atas wilayah Natuna. Dimasukannya wilayah
Natuna kedalam Zona Ekonomi Eksklusifnya China memberikan masalah baru
kepada Indonesia meskipun kasus ini sudah lama bergulit. Kasus ini semakin
membuat pemerintah Indonesia geram yakni dengan adanya kapal China yang
berlabuh dan memasuki wilayah laut Indonesia tanpa izin. Serta beberapa kasus
pencurian ikan yang dilakukan Negara ini diatas perairan wilayah Indonesia.38
Dalam kasus ini, sebenarnya Indonesia berada diposisi yang kuat daripada
China yang hanya mendasarkan pada aturan nine dash line itu. Apalagi ditambah
dengan polah China yang selama ini kerap melanggar zona eksklusif perairan
Indonesia, selain itu juga dengan beberapa kali tersangkut masalah illegal fishing
yang dilakukan oleh masyarakat China terhadap perairan Indonesia dan kapal
China yang masuk dalam wilayah perairan Indonesia dan tanpa seizin dari pihak
Indoensia dan tindakan ini jelas melanggar UU ZEE No 5 Tahun 1983 kita
khususnya dalam pasal 7. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa barangsiapa
37
Etty.R,Agoes,op,cit,hlm ,250 38 Ibid,hlm,200
Universitas Sumatera Utara
48
melakukan kegiatan di perairan wilayah Indonesia harus mendapat persetujuan
dari pemerintah Indonesia.39
Dari insiden illegal fishing oleh kapal China berbuntut protes resmi dari
pemerintah Indonesia karena upaya penindakan yang hendak dilakukan oleh tim
KKP dihalang-halangi oleh kapal patroli milik badan keamanan laut (coastguard)
Tiongkok.40
Kapal penjaga pantai (coast guard) milik Angkatan Laut China nekat
menerobos perbatasan. Tak hanya itu, mereka juga menabrak dan menarik paksa
kapal yang baru saja ditangkap operasi gabungan Kementerian Kelautan dan
Perikanan bersama TNI AL. Akibat ulah dari kapal coast guard China yang
menerabas wilayah perairan Natuna, Indonesia ini belum usai. Hal ini membuat
pemerintah Indonesia kini berencana meningkatkan pengamanan wilayah
perbatasan itu.
Dilihat dari segi ZEE (Zona Economy Exlucive) Pasal 3 UU ZEE No. 5
tahun 1983 ayat (1) dijelaskan bahwa Apabila Zona Ekonomi Eksklusif Indo nesia
tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif negara-negara yang antainya
saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, maka batas zona
ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan
persetujuan antara Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan. Dari segi
ini maka sudah jelas tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Indoensia, yakni
dengan tegas untuk menyelesaikan kasus ini. Apalagi apabila dikaitkan dengan
hak kedaulatan Negara. Dijelaskan pula dalam Pasal (5) UU ini bahwa Dengan
tidak mengurangi ketentuan ayat (1), eksplorasi dan/atau eksploitasi sumber daya
39
Ibid,hlm,278 40 Ibid,hlm,245
Universitas Sumatera Utara
49
alam hayati harus mentaati ketentuan tentang pengelolaan dan konservasi yang
ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Dengan adanya tindakan China yang melakukan illegal fishing—kasus ini
masih berhubungan dengan pengklaiman Natuna—maka sudah jelas bahwa China
harus mengikuti dan mematuhi segala aturan yang berlaku dalam pemerintahan
Indonesia.
Dan jika kita ingin mengacu pada UNCLOS 1982 maka ada peraturan
yang mengatur segala macam peraturan mengenai wilayah kedaulatan Perairan
dan wilayah laut Indonesia berdasarkan Pasal 73 UNCLOS Indonesia sebagai
"coastal state" memiliki hak untuk mengekplorasi, ekploitasi, konservasi dan
mengkontrol sumber daya alam pada wilayah ZEE."Indonesia juga berhak untuk
melakukan tindakan seperti "boarding", inspeksi penahanan dan melakukan proses
hukum untuk menegakkan hukum penangkapan ikan," kata dia. Sementara,
berdasarkan Pasal 58 ayat 3 UNCLOS, negara-negara lain harus menghormati dan
melaksanakan aturan yang diterapkan oleh Indonesia sebagai 'coastal state'.
untuk menggunakan lautnya sebagai mata pencaharian pokok yang sudah
berlangsung puluhan atau ratusan tahun. Namun, jika wilayah tradisional tersebut
melampaui teritorial wilayah negara lain, maka harus ada agreement atau
persetujuan bilateral lebih dahulu dari negara-negara tersebut agar teritorialnya
boleh digunakan oleh nelayan tradisional tersebut. Sepanjang tidak
ada agreement atau persetujuan bilateral antar-negara maka hak nelayan
tradisional (traditional fishing rights) untuk melaut di teritorial negara lain tetap
dikategorikan sebagai perbuatan illegal fishing.
Universitas Sumatera Utara
50
BAB III
PENGAMANAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA
A. Masalah yang Berkaitan dengan “Traditional Fishing Zone”
Indonesia adalah Negara kepulauan dan Nelayan Republik Indonesia
adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Semua fakta geografis yang
menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan dan negara pantai,
menempatkannya juga sebagai negara dengan populasi nelayan yang patut
diperhitungkan. Nelayan adalah suatu komunitas yang harus ada di dalam negara
kepulauan. Sehingga, tanpa nelayan, negara kepulauan akan kehilangan hak
tradisional yang diamanatkan UNCLOS 1982. Karena, dengan keberadaan
nelayan, negara kepulauan dapat mengklaim hak tradisionalnya terhadap negara
tetangganya apabila perlu untuk mendapatkan hak tradisional melintasi wilayah
laut yurisdiksi negara tetangga. Dengan demikian, menjadi penting dan berjalin-
kelindan hubungan atau pengaruh nelayan terhadap negara kepulauan.
Hak Penangkapan Ikan Secara Tradisional (Traditional Fishing Right),
yaitu hak yang diberikan kepada nelayan-nelayan tradisonal negara tetangga untuk
menangkap ikan secara tradisional di perairan kepulauan tertentu berdasarkan
perjanjian bilateral. Mengenai hal ini sudah diatur berdasarkan perjanjian bilateral
sesuai ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut dan ketentuan Hukum Laut
Internasional (HLI).
Pemerintah china telah menyampaikan pendapat lisannya soal kapal
nelayan dan coastguard-nya di perairan Natuna, yang memasuki wilayah
Indonesia. Menurut mereka, wilayah itu merupakan area tangkapan ikan
Universitas Sumatera Utara
51
tradisional. Pendapat tersebut diungkapkan kuasa usaha sementara Kedutaan di
Jakarta kepada Menteri Luar Negeri insiden di Natuna.
"Dalam komunikasi lisan yang disampaikan kuasa usaha kedutaan besar
Tiongkok yang di Jakarta, mereka menyampaikan, kejadian itu berada
di traditional fishing zone-nya negara Tiongkok," ujar Retno di Kemenko
Polhukam, Kamis (24/3/2016).41
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan pemerintah
Indonesia dan Cina tak pernah membuat perjanjian apa pun tentang traditional
fishing zone. Perjanjian semacam itu hanya dilakukan Cina dengan Malaysia. “Itu
pun hanya di Selat Malaka dan wilayah terbatas yang telah ditentukan bersama,”
ucap Susi dalam konferensi pers di Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta
Pusat, Selasa, 21 Juni 2016. Susi menegaskan, tindakan TNI Angkatan Laut yang
mengusir dan menangkap kapal berbendera Cina di perairan Natuna pada 17 Juni
2016 sudah benar. Sebab, kapal-kapal itu menangkap ikan di zona ekonomi
eksklusif milik Indonesia. “Itu adalah illegal unreported unregistered fishing,”
ujarnya.
Bagi Susi, penegakan hukum yang dilakukan Indonesia terhadap kapal-
kapal ikan asing yang mencuri ikan haruslah dihormati negara lain, karena itu
bagian dari hubungan bilateral. Ia menganggap, kalau hal itu saja tak dihormati,
tak ada hubungan baik di antara kedua negara. “Saya hanya tegakkan hukum
pencuri ikan di wilayah kita.” Susi menilai, klaim wilayah perairan tersebut
merupakan traditional fishing zone tersebut tidak diakui secara global. Selain itu
Indonesia juga tidak memiliki perjanjian dengan Tiongkok terkait hal tersebut.
41 Dheri Agriesta/MTVN,http://www.mediaindonesia.com/news Kamis, 24 March 2016 20:20
Universitas Sumatera Utara
52
"Traditional fishing zone tidak di-recognize (diakui) di perjanjian apapun.
Apa yang diklaim pemerintah Tiongkok sebagai traditional fishing zone itu hanya
diakui sepihak, tidak diakui dunia. Yang diratifikasi oleh semua
negara tradisional fishing right. Jadi traditional fishing zone itu tidak
ada. International community hanya me-recognize traditional fishing right itu pun
harus disetujui dua atau lebih negara,"
Demikian kata pakar hukum laut internasional Profesor Hasyim Djalal
seperti dilaporkan Antara, Jumat (1/7). “Zona Ekonomi Ekskusif Indonesia
(ZEEI) sesuai dengan ketentuan hukum laut internasional. Di dalam ZEEI tidak
ada traditional fishing ground China,” kata Hasyim Djalal dalam sebuah forum
diskusi. Untuk itu, ia mengingatkan bahwa dalam Konvensi PBB tentang hukum
laut tidak muncul istilah traditional fishing ground, akan tetapi yang ada
adalah traditional fishing rights.
Lebih lanjut, menurut Hasyim Jalal, traditional fishing rights harus
dirumuskan dengan negara terkait yang memiliki zona ekonomi sehingga
kedaulatan sumber daya dapat dimiliki. “Makanya konvensi hukum laut mengatur
hak-hak atas zona ekonomi itu,” terang dia.
Dan juga dari peraturan yang tertulis dalam UNCLOS 1982 dalam Pasal
51 ayat 1 yang menyebutkan”Tanpa mengurangi arti ketentuan pasal 49, Negara
kepulauan harus menghormati perjanjian yang ada dengan Negara lain dan harus
mengakui hak perikanan tradisional dan kegiatan lain yang sah Negara tetangga
yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang berada dalam perairan
kepulauan. Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatan demikian
Universitas Sumatera Utara
53
termasuk sifatnya, ruang lingkup dan daerah dimana hak akan kegiatan demikian,
berlaku, atas permintaan salah satu Negara yang bersangkutan harus diatur dengan
perjanjian bilateral antara mereka. Hak demikian tidak boleh dialihkan atau dibagi
dengan Negara ketiga atau warga negaranya.”
Pertanyaannya adalah, apakah claim Tiongkok terhadap traditional fishing
zone dapat membebaskan nelayan tersebut dari pelanggaran atas dua konvensi
tersebut? Atau apakah traditional fishing zone dapat dijadikan
sebagai accused (alasan pemaaf) untuk menghapus kesalahan yang dilakukan oleh
KM Kway Fey 10078? Kedua konvensi tersebut tidak mengenal
terminologi traditional fishing zone sebagaimana yang di-claim oleh Tiongkok.
Dalam Pasal 47 (6) dan pasal 51 (1) UNCLOS ada satu terminologi yang
memiliki kemiripan dengan “traditional fishing zone” tetapi memiliki makna yang
berbeda. Terminologi tersebut adalah “traditional fishing rights”. Traditional
fishing rights ini adalah hak-hak nelayan tradisional untuk melakukan
penangkapan ikan yang sudah dilakukan secara tradisional dan turun temurun atas
teritorial suatu negara tertentu. Hak ini diberikan untuk menghormati hak-hak
penduduk asli (indigenous people) untuk menggunakan lautnya sebagai mata
pencaharian pokok yang sudah berlangsung puluhan atau ratusan tahun. Namun,
jika wilayah tradisional tersebut melampaui teritorial wilayah negara lain, maka
harus ada agreement atau persetujuan bilateral lebih dahulu dari negara-negara
tersebut agar teritorialnya boleh digunakan oleh nelayan tradisional tersebut.
Sepanjang tidak ada agreement atau persetujuan bilateral antar-negara maka hak
nelayan tradisional (traditional fishing rights) untuk melaut di teritorial negara
lain tetap dikategorikan sebagai perbuatan illegal fishing.
Universitas Sumatera Utara
54
Aturan mengenai hak perikanan tradisional yang tertuang dalam UNCLOS
1982 sangat sedikit, yaitu dalam satu pasal, yaitu Pasal 51 yang isinya “Tanpa
mengurangi arti pasal 49, negara kepulauan harus menghormati perjanjian yang
ada dengan negara lain dan harus mengakui hak perikanan tradisional dan
kegiatan lain yang sah negara tetangga yang langsung berdampingan dalam
daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan. Syarat dan ketentuan bagi
pelaksanaan hak dan kegiatan demikian, termasuk sifatnya, ruang lingkup dan
daerah di mana hak dan kegiatan demikian berlaku, atas permintaan salah satu
negara yang bersangkutan harus diatur dengan perjanjian bilateral antara mereka.
Hal demikian tidak boleh dialihkan atau dibagi dengan negara ketiga atau warga
negaranya”.
Dapat disimpulkan bahwa konsep traditional fishing rights harus melalui
mekanisme bilateral kedua negara yang berbatasan perairan. Perlu diingat, bahwa
konsep traditional fishing rights tidak sama dengan traditional fishing area.
Traditional fishing rights adalah mekanisme antarnegara yang mengatur hak-hak
nelayan di perairan yang berbatasan/berdampingan. Sedangkan traditional fishing
area adalah daerah penangkapan ikan yang diberikan kepada nelayan tradisional
dalam batas-batas konservasi laut diperairan nasional ataupun daerah.
Universitas Sumatera Utara
55
B. Dampak Kasus Pelanggaran Perairan Natuna Terhadap Peraturan
Hukum Laut Internasional
Perairan Natuna bagi Indonesia memiliki arti sangat penting dan strategis,
sebab perairan dan kepulauannya merupakan batas terluar dari NKRI yang
menjadi penentu keberdaulatan negara. Apabila kemudian wilayah ini menjadi
objek sengketa atau dilanggar batas wilayahnya maka kedaulatan NKRI kembali
dipertaruhkan, dan tentunya kita tidak ingin kembali mengulangi kesalahan
beberapa tahun lalu ketika harus kehilangan Sipadan dan Ligitan.
Masuknya kapal-kapal Tiongkok ke wilayah perairan Indonesia dan
adanya perlindungan dari kapal patroli mereka, telah menunjukkan adanya upaya
untuk menentang hukum laut internasional, khususnya terkait dengan Zona
Ekonomi Eksklusif milik Indonesia. Atas dasar kondisi itu memang sudah
sewajarnya pemerintah Indonesia kemudian memberikan teguran yang keras
kepada pemerintah Tiongkok. Sensitivitas persoalan Laut China Selatan kini
dengan kata lain tidak lagi menyangkut persoalan Tiongkok dengan negara-negara
seperti Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, dan Malaysia.
Keikutsertaan Indonesia secara aktif dalam mengatasi persoalan di Laut
China Selatan seharusnya juga tidak lagi hanya sebatas sebagai penengah, namun
juga aktif menjadi aktor yang mencegah negeri tirai bambu untuk memperluas
wilayah kekuasaannya secara sewenang-wenang. Untuk mengatasi persoalan itu
maka upaya diplomasi melalui komunikasi dengan negara-negara lain di Asia
Tenggara, termasuk dengan negara peng-klaim yaitu Tiongkok, mutlak segera
dihidupkan kembali. Upaya ini merupakan cara awal yang dapat ditempuh untuk
menghindari adanya gesekan yang lebih parah di wilayah perairan.
Universitas Sumatera Utara
56
United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut) melalui Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 1985, ternyata ada kelemahan yang dirasakan atau dampak
negatif yang masih dapat dirasakan oleh Negara Indonesia, walaupun dampak
negatif itu berbanding lebih sedikit dari pada dampak positif yang sangat banyak
dirasakan.
Diantara kelemahannya itu adalah disamping keberadaan Indonesia pada
posisi yang strategis dalam kegiatan perekonomian, sosial dan budaya juga
berpengaruh terhadap Indonesia yang sangat rawan untuk mengalami konflik
dengan negara tetangga, baik yang berbatasan langsung dengan Indonesia maupun
berbatasan secara tidak langsung dengan Indonesia. Negara-negara tetangga akan
mengklaim suatu wilayah laut yang pada mulanya diklaim oleh Indonesia sebagai
wilayah kekuasaanya, hal ini terjadi karena Negara yang berbatasan langsung
dengan Negara indonesia tersebut juga berusaha memperluas wilayah lautnya
dengan pengukuran garis batas sebagaimana yang ditentukan di dalam UNCLOS
III. Selain itu konflik dapat saja terjadi ketika Indonesia sudah mengesahkan
UNCLOS III, kemudian mendasarkan pengaturan wilayah laut berdasarkan
UNCLOS tersebut, namun di lain pihak Negara tetangga dalam mengklaim suatu
wilayah laut malah tidak tunduk atau tidak didasarkan kepada UNCLOS akan
tetapi hanya dilakukan secara sepihak, seperti halnya contoh konflik yang terjadi
antara Indonesia dengan Malaysia terkait kasus perebutan blok Ambalat.
Selain itu, wilayah Indonesia yang sebagian besar adalah wilayah perairan
mempunyai banyak celah kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh negara lain
yang pada akhirnya dapat meruntuhkan bahkan dapat menyebabkan disintegrasi
Universitas Sumatera Utara
57
bangsa Indonesia. wilayah/zona tersebut mempunyai hak untuk memanfaatkan
batas ZEE-nya baik kekayaan alam didalamnya, juga berhak melintasi wilayah
udara diatasnya, menggunakan kebebasan bernavigasi, melakukan penanaman
kabel dan pipa juga menggunakan kebijakan hukumnya. Selain itu,mengadakan
penelitian mengenai sumber daya hayati maupun sumber daya laut. Dasar Hukum
yang mengatur ZEE adalah UU RI No.5 tahun 1983. Seorang pengamat kelautan,
Diah S Koesdinar mengatakan pengelolaan wilayah laut ZEE, harus
mengedepankan kedaulatan negara untuk dimanfaatkan sebagai cara
memakmurkan dan mensejahterakan rakyat dan negara. Tanpa adanya kedaulatan,
satu negara tidak ada artinya.
Permasalahan yang terjadi pada wilayah laut ZEE Indonesia yaitu adanya
potensi ancaman yang dapat merugikan Indonesia sendiri dalam segala macam
aspek kehidupan baik dalam bidang ekonomi, kebudayaan, pertahanan dan
keamanan. Karena, tidak mudah untuk mengelola wilayah laut NKRI yang luas
dengan dana terbatas juga koordinasi terpadu dari berbagai instansi pemerintah
terkait yang belum efektif. Padahal, pembangunan kelautan merupakan satu
kesatuan dengan pembangunan negara. Selain itu, pengembangannya yang tidak
begitu maksimal, dan adanya keterbatasan SDM, Infrastruktur, Pengetahuan dan
Teknologi yang dianggap sebagai faktor utama menyebabkan mudahnya negara-
negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia masuk kewilayah kedaulatan
Indonesia secara bebas.
Indonesia memiliki peranan yang sangat penting dalam lalu lintas laut.
Dengan posisi laut yang strategis dapat memberikan dampak yang bisa
menguntungkan juga merugikan bangsa Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
58
C. Dampaknya pada Pertahanan Wilayah Perairan Indonesia
Ketegangan sejumlah Negara di wilayah Kepulauan Natuna dimulai sejak
China mereklamasi dan memperluas pulau-pulau kecil Mischief Reef dan Pulau
Subi sebagai bagian dari Kepulauan Spratly di Laut China Selaatan. Kepulauan
Natuna yang berada di antara ujung barat laut indonesia di Kalimantasn dan ujung
selatan Vietnam, memiliki 270 pulau menjadi bagian Provinsi Kepelauan Riau
dengan 70.000 penduduk.
Pengklaiman kepulauan Natuna terletak pada daerah perairan di sekitar
kepulauan yang berpotensi tumbang tindih pada batas garis imajiner Nine Dash
Line yang ditetapkan oleh China. Dalan kasus ini permasalahan bukan pada klaim
kepulauannya saja tapi pada perariran sekitar Kepulauan Natuna juga. Klaim ini
akan berdampak pada hak daulat pada wilayah kedaulatan Indonesia. Dengan
Nine Dash Line yang tidak jelas batasnya mengakibatkan timbulnya masalah atas
hak berdaulat. Ketidakjelasalan NDL ini berdampak pada hak daulat kawasan
ZEE Dalam kasus Natuna yang diklaim secara sepihak oleh pemerintah China
mengindikasikan bahwa kekuatan dan pertahanan nasional dalam hal kedaulatan
Negara masih memiliki kekurangan dan celah yang bisa dimanfaatkan oleh
Negara lain. Disisi lain pemerintah China juga terlalu percaya diri dengan
pengkklaiman yang dilakukannya atas wilayah Natuna. Dimasukannya wilayah
Natuna kedalam Zona Ekonomi Eksklusifnya China memberikan masalah baru
kepada Indonesia meskipun kasus ini sudah lama bergulit. Kasus ini semakin
membuat pemerintah Indonesia geram yakni dengan adanya kapal China yang
berlabuh dan memasuki wilayah laut Indonesia tanpa izin. Serta beberapa kasus
pencurian ikan yang dilakukan negara ini diatas perairan wilayah Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
59
Kasus yang berawal pada tahun 2009 ini menurut versi China, mereka
memasukan wilayah Natuna kedalam peta wilayah mereka didasarkan pada
sembilan titik garis/ nine dash line yang selama ini diklaim Tiongkok dan
menandakan perbatasan maritimnya. Namun dari sembilan titik garis ini Indonesia
tidak mengakuinya karena menurut Indonesia hal itu tidak memiliki dasar hukum
internasional apapun. Sembilan titik imaginer itu sendiri merupakan salah satu
penyebab munculnya konflik di wilayah Laut China Selatan. Klaim ini
memancing emosi sejumlah negara yang turut mengklaim memiliki hak di
wilayah yang jadi jalur perdagangan dunia itu. Usut punya usut, klaim yang bikin
repot enam negara ini dipicu kebijakan pemerintahan Partai Kuomintang (kini
berkuasa di Taiwan). Mazhab politik Kuomintang menafsirkan wilayah China
mencapai 90 persen Laut China Selatan.
Dalam kasus ini, sebenarnya Indonesia berada diposisi yang kuat daripada
China yang hanya mendasarkan pada aturan nine dash line itu. Apalagi ditambah
dengan polah China yang selama ini kerap melanggar zona eksklusif perairan
Indonesia, selain itu juga dengan beberapa kali tersangkut masalah illegal fishing
yang dilakukan oleh masyarakat China terhadap perairan Indonesia dan kapal
China yang masuk dalam wilayah perairan Indonesia dan tanpa seizin dari pihak
Indoensia dan tindakan ini jelas melanggar UU ZEE No 5 Tahun 1983 kita
khususnya dalam pasal 7. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa barangsiapa
melakukan kegiatan di perairan wilayah Indonesia harus mendapat persetujuan
dari pemerintah Indonesia.
Dengan melihat betapa seriusnya negara dalam hal mempertahankan
wilayah kita dan menyelesaikan konflik ini, maka bisa disimpulkan bahwa dengan
Universitas Sumatera Utara
60
adanya pengklaiaman wilayah Kepulauan Natuna ini berdampak sangat besar
pada ketahanan dan keamanan negara. Selain itu yang terpenting adalah
kedaulatan negara yang dilanggar oleh China. Dengan beraninya mereka
melanggar kedaulatan negara yang dapat diasumsikan itu merupakan rumah atau
kekuasaan Indoensia. Bisa dibayangkan bagaimana kacaunya apabila suatu negara
wilayahnya diambil dan diklaim oleh negara tetangga yang itu merupakan sudah
jelas miliknya negara tersebut.
Sama halnya dengan tujuan diselenggarakannya Konvensi Hukum Laut
PBB 1982, Indonesia meratifikasi United Nations Convention On The Law Of The
Sea(UNCOLS III) ialah atas suatu keinginan dan ketekadan yang kuat untuk
memperkokoh perdamaian, keamanan, kerjasama dan hubungan bersahabat antara
semua bangsa sesuai dengan asas keadilan dan persamaan hak dan akan
memajukan peningkatan ekonomi dan sosial segenap rakyat dunia, sesuai dengan
tujuan dan asas Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagaiamana yang telah ditetapkan.
Kemudian daripada itu secara khusus Indonesia meratifikasi UNCLOS III adalah
sebagai suatu bentuk upaya untuk memperkuat, memperjelas, menjaga kekuasaan
Indonesia atas kedaulatan wilayah lautnya.
Dengan Indonesia meratifikasi UNCLOS III, secara garis besar hal
tersebut sangat bermanfaat dan memberikan lebih banyak dampak positif bagi
Indonesia dalam hal penguasaan atas wilayah laut. Diantaranya yang sangat
menguntungkan dari sisi Indonesia adalah sebagaimana yang dijelaskan di dalam
penjelasan umum Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tersebut menyebutkan
bahwasanya konvensi ini ( Konvensi Hukum Laut PBB 1982) mempunyai arti
yang sangat penting bagi Bangsa dan Negara Republik Indonesia karena untuk
Universitas Sumatera Utara
61
pertama kalinya asas Negara Kepulauan yang selama dua puluh lima tahun secara
terus menerus diperjuangkan oleh Indonesia pada akhirnya telah membuahkan
hasil, yaitu berhasil memperoleh pengakuan resmi masyarakat internasional.
Dimana pengakuan resmi asas Negara Kepulauan tersebut sangatlah penting bagi
Indonesia dalam mewujudkan satu kesatuan wilayah Negara Republik Indonesia.
Pola ancaman yang dapat terjadi dari dampak ZEE salah satunya pola
ancaman berbentuk keamanan perairan Indonesia yang harus dihadapi oleh TNI
yang merupakan kejahatan trans nasional yang memiliki aspek politik ekonomi
bahkan melibatkan keterkaitan antara Negara-negara ASEAN dengan berupa
perompakan juga penyeludupan manusia yang terjadi di perairan pasifik yang
hingga saat ini menjadi kasus dengan persentase tertinggi di dunia. Ancaman
lainnya berupa eksploitasi hasil laut contohnya penangkapan ikan juga sumber
kekayaan alam didalamnya secara illegal. Adanya penyeludupan kayu
gelondongan, senjata, amunisi, bahan peledak maupun harta karun. Pola ancaman
lainnya terlihat pada letak batas ZEE yang bersinggungan dengan ZEE ataupun
perbatasan Negara-negara lain. Contoh kasusnya ada pada Perbatasan antara
Indonesia dan India. Perbatasan kedua negara terletak antara pulau Rondo yang
berada di Aceh dan Pulau Nicobar di India. Kesepakatan kedua Negara mengenai
Batas maritim dengan landas kontinen yang terletak pada titik-titik koordinat
tertentu di kawasan perairan Samudera Hindia dan Laut Andaman, sudah ada.
Tetapi, masalah di antara kedua negara masih sering muncul dikarenakan sering
terjadinya pelanggaran wilayah oleh kedua pihak,
Dengan banyaknya cara untuk mempertahankan Negara dan berbagai trik
diplomasi lainnya maka dalam hal ini deetterence dapat dijadikan suatu hal yang
Universitas Sumatera Utara
62
dapat diandalkan dan jadi suatu pertahanan yang mumpuni dan dapat di jadikan
landasan dalam berdiplomasi di kancah Internasional dan dapat dijadikan contoh
untuk Negara yang punya masalah yang sama dan bermanfaat.
Masalah kedaulatan wilayah merupakan masalah sensitif. Tidak ada negara
yang rela kehilangan sejengkal wilayahnya. Karena itu, masalah perbatasan tidak
didiamkan. Masalah perbatasan berpotensi besar menimbulkan konflik. Hal ini
sebisa mungkin harus dihilangkan dengan menyelesaikan sengketa perbatasan.
Hilangnya sengketa perbatasan membuat kedaulatan lebih terjamin. Bagaimana
menyelesaikannya? Dibutuhkan upaya terkoordinasi dengan mekanisme lebih
sederhana dan bisa diterima semua pihak. Tanpa ini, penyelesaian masalah
perbatasan sering butuh waktu lama. Dengan dianggap pentingnya masalah
perbatasan wilayah menjadikan organisasi internasional membahasnya menjadi
agenda bersama dan memberikan solusi penyelesaian kasus perbatasan ini yakni
ASEAN. Namun, dokumen-dokumen ASEAN hanya sedikit menyinggung solusi
soal sengketa wilayah. Ini menegaskan jalan menuju komunitas ASEAN masih
jauh. Di sisi lain, sebuah komunitas membutuhkan ”pengorbanan” setiap anggota
dengan ”membagi” sebagian wilayah untuk dilebur ke dalam suatu nilai-nilai
bersama. Namun, ada pertanda baik. ASEAN sudah mulai menyerap unsur-unsur
kedaulatan itu menjadi suatu nilai bersama. Kemajuan lain, prinsip non-
interferensi (tidak boleh campur tangan) mulai ditembus. Akan tetapi, ada
keengganan menyentuh lebih dalam masalah sengketa perbatasan. Ini
mengindikasikan masih besarnya resistensi untuk melonggarkan urusan
kedaulatan.
Universitas Sumatera Utara
63
BAB IV
USAHA PENGAMANAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA
DARI NEGARA LAIN
A. Langkah Diplomatis dengan Cara “Preventif Diplomacy”
Tujuan PBB seperti yang diamatkan dalam Pasal 1 Piagam PBB, adalah
untuk menciptakan perdamaian dan keamanan internasional. Adalah kewajiban
PBB untuk mendorong agar sengketa- sengketa diselesaikan secara damai. Dua
tujuan tersebut adalah sebuah reaksi yang terjadi akibat pecahnya Perang Dunia II.
Adalah upaya PBB agar perang dunia baru tidak kembali terjadi. Adalah kerja
keras PBB agar sengketa yang terjadi antar negara dapat diselesaikan sesegera
mungkin secara damai.
Langkah-langkah lebih lanjut tentang yang harus dilakukan oleh negara –
negara anggota PBB guna penyelesain sengketa secara damai diuraikan dalam
Bab IV (Pacific Settlement of Disputes). Terkait hal –hal tersebut PBB
mempunyai berbagai cara yang terlembaga dan termuat didalam Piagam PBB. Di
samping itu PBB mempunyai cara informal yang lahir dan berkembang dalam
pelaksanaan tugas PBB sehari –hari. Cara –cara ini kemudian digunakan dan
diterapkan dalam menyelesaikan sengketa yang timbul diantara negara
anggotanya.42
Dalam upayanya menciptakan perdamaian dan keamanan internasional,
PBB memiliki empat kelompok tindakan, yang saling berkaitan satu sama lain dan
dalam pelaksanaanya memerlukan dukungan dari semua anggota PBB agar dapat
42
Rosmi Hasibuan, Kaitan Permasalahan Rezim Hukum Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Lintas kontinen dalam Konvensi hukum laut,hlm, 150, Jakarta,Raja Grafindo Persada, hal 85
Universitas Sumatera Utara
64
terwujud. Dan salah satu tindakannya adalah dalam bentuk “Preventive
Diplomacy”
Preventive Diplomacy adalah suatu tindakan untuk mencegah timbulnya
suatu sengkta di antara para pihak, mencegah meluasnya suatu sengketa, atau
membatasi perluasan suatu sengketa. Cara ini dapat dilakukan oleh Sekjen PBB,
Dewan Keamanan, Majelis Umum, atau oleh organisasi –organisasi regional
berkerjasama dengan PBB. Misalnya upaya yang dilakukan oleh Sekjen PBB
sebelumnya Kofi Annan dalam mencegah konflik Amerika Serikat – Irak menjadi
sengketa terbuka mengenai keenganan Irak mengizinkan UNSCOM memeriksa
dugaan adanya senjata pemusnah massal di wilayah Irak, walaupun upaya tersebut
akhirnya menemui jalan buntu.
Michael S. Lund, penulis "Mencegah Konflik Kekerasan: Strategi untuk
Pencegahan Diplomasi", mengidentifikasikannya sebagai "tindakan yang diambil
di tempat dan waktu yang rentan untuk menghindari ancaman atau penggunaan
angkatan bersenjata dan bentuk pemaksaan yang terkait oleh negara bagian atau
kelompok untuk Menyelesaikan perselisihan politik yang bisa timbul dari efek
destabilisasi perubahan ekonomi, sosial, politik, dan internasional. "
Sejak berakhirnya Perang Dingin, masyarakat internasional melalui
institusi internasional telah fokus pada diplomasi preventif. Karena Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan organisasi regional serta kekuatan global dan regional
menemukan tingginya biaya pengelolaan konflik, ada persepsi umum yang kuat
mengenai kebajikan diplomasi preventif. Tindakan diplomasi preventif dapat
dilakukan oleh PBB, organisasi regional, jaringan LSM dan negara bagian. Salah
Universitas Sumatera Utara
65
satu contoh diplomasi preventif adalah misi penjaga perdamaian PBB di
Macedonia (UNPREDEP) pada tahun 1995-1999. Ini adalah tindakan pencegahan
pertama PBB.
Di era seperti sekarang ini masih terdapat atau dijumpai negara yang
masih belum menyadari akan pentingnya keamanan dan perdamaian di sekitar
negaranya. Hal inilah yang memunculkankekurangan bagi diplomasi preventif
yaitu diplomasi preventif masih sering diragukan dan belum semua negara
menyadari adanya diplomasi preventif oleh karenanya diplomasi preventif masih
sulit dalam perkembanganya. Selain itu kekurangannya ialah dalam bentuk tidak
bisa diseleseikannya semua masalah yang ada contohnya kasus politik yang
tentunya membutuhkan penyelesaian secara politik, adanya ketidakpercayaan
dianatara pihak yang berkonflik, keterbatasan sumber daya di PBB dan adanya
anggapan jika diplomasi ini merupakan cara lama yang sudah tidak relevan
sehingga menghambat proses penyeleseian konflik. Disisi positifnya PBB
mengutarakan bahwa diplomasi ini dianggap sebagai cara yang efektif untuk
menyeleseikan krisis di dunia, dan penggunaan mediator juga menjadikan
diplomasi ini sebagai diplomasi yang mengalami perluasan konflik paling
mustahil. Karena pihak ketiga berusaha untuk mengakhiri konflik..
Dalam implementasinya diplomasi preventif meliputi beberapa aktivitas
yakni penemuan fakta mengenai konflik yang sedang terjadi antar negara,
melakukan mediasi dan tindakan pencgahan sengketa. Mengenai penyelidikan
diplomasi ini dilakukan dengan menyelidiki sebab dari konflik kemudian
diadakan pendekatan kepada para pihak yang sedang bersengketa agar konflik
tidak memanas dan menjadi perang terbuka. Untuk menjaga agar terhindar dari
Universitas Sumatera Utara
66
sengketa maka dibutuhkan mediator sebagai penengah antar negara yang
berkonflik. Contohnya ialah pada kasus Kosovo dimana kasus yang terjadi alah
pertiakaian antara etnis Albania dan etnis Serbia. Diawali dari Milosevic yang
melakukan pembersihan etnis Albania, karena etnis ini memerangi etnis Serbia.
PBB mengirimkan UNMIK yang dibentuknya pada 10 juni 1999, mediator ini
berasal dari dewan keamanan PBB no 1244. UNMIK melakukan pemulihan
keadaan dengan membentuk pemerintahan sementara pasca lengsernya Milosevic,
selain itu melakukan pembangunan disegala bidang. Dan sebelum PBB
mengirimkan UNMIK, PBB sebelumnya menggirimkan KFR (kosovo force)
untuk melakukan pendekatan dengan cara diplomasi preventif kepada para pihak
yang bertikai di Kososvo.
Selanjutnya dalam diplomasi preventif terdapat 3 formula dalam menjaga
perdamaian, yang pertama ialah peacemaking. Peacemaking merupakan tindakan
penegakan kembali perdamaian pasca konflik yang meliputi pembentukan
perdamaian dengan cara penyeleseian sengketa melalui konsolidasi, mediasi dan
arbritasi. Namun pihak ketiga tidak memiliki hak unutk memutuskan dan pihak
ketiga hanya menengahi bila terjadi suasana yang memanas.
Kemudian peacekeeping, merupakan tindakan penjagaan peridak pecah kembali
damaian agar tidak pecah kembali perang terbuka antara ppihak yang bertikai
dengan cara penempatan tentara untuk menjaga perdamaian di daerah konflik.
Pasukan untuk menajga perdamaian ini biasanya dilakukan oleh negara-negara
yang emmeilii tentara kuat dan di bawah pimpinan PBB. Yang terakhir
ialah peacebulding, merupakan kegiatan pembangunan kembali daerah-daerah
yang mengalami kehancuran akibat terjadinya konflik. Sebelumnya harus
Universitas Sumatera Utara
67
dilakukan identifikasi struktur-struktur lokal yang dapat digunakan untuk
memperkuat perdamaian untuk mengahindari agar tidak terjadi konflik.
Selain implementasi diplomasi preventif yang dapat dilihat dari kasus
Kosovo, implementasi lain ialah dalam usaha preventif yang dilakukan pada
masa damai yakni dengan membangun hubungan baik dan masa krisis dilakukan
dengan pencarian fakta, memberikan jasa-jasa baik, mengurangi aksi kekerasan
dan penempatan unit-unit yang ditunjuk untuk mencegah eskalasi konflik. Contoh
lain dari implementasi diplomasi preventif ialah negara-ASEAN dalam
menyikapi adanya diplomai prevenyif yang difungsikan untuk menjaga
perdamaian di kawasan Asia Tenggara. “Namun hingga kini implementasi
diplomasi ini di wilayah ASEAN masih terhambat sikap saling curiga negara-
negara peserta ASEAN Reginonal Forum (ARF)”, hal tersebutlah yang dikatakan
oleh Direktur Politik dan Keamanan Ditjen Kerjasama ASEAN Kementrian Luar
Negeri, Ade Padmo Sarwono, dari hasil rapat yang diadakan di Surabaya. Dari 27
negara hanya sembilan dan termasuk Indonesia yang menyerahkan draf “ARF
Security Outlook” sebagai implementasi dari diplomasi preventif. Sikap saling
curiga ini didasari karena diplomasi preventif selalu mengandung unsur intervensi
yang dilakukan oleh negara yang sudah maju diantara negara-negara ASEAN.
Hal tersebut juga yang menjadikan hambatan dalam penerapan secara utuh dari
diplomasi preventif.
Diplomasi preventif dapat dilakukan oleh Sekjen PBB pribadi atau melalui
pejabat senior atau badan-badan khusus atau program, oleh Dewan Keamanan
maupun Majelis Umum dan oleh organisasi-organisasi regional bekerjasama
dengan PBB. Diplomasi preventif memerlukan langkah-langkah untuk
Universitas Sumatera Utara
68
menciptakan kepercayaan, membuat satu peringatan dini dengan pengumpulan
informasi dan misi pencarian fakta baik secara resmi maupun tidak resmi, di
samping juga harus melibatkan penempatan pasukan preventif, dan dalam
keadaan tertentu menempatkan wilayah bebas militer.
Sampai saat ini PBB menganggap diplomasi ini sebagai cara yang
efektif untuk menyelesaikan krisis di seluruh dunia (http://www.unic-jakarta.org).
Contohnya adalah kekerasan paska pemilihan yang dipicu oleh sengketa
pemungutan suara di Kenya tahun 2008, menurut Pascoe saat itu mantan
Sekretaris-Jenderal Kofi Annan secara cepat menempatkan pejabat politik, ahli
pemilu, konstitusional dan keamanan yang menjadi staf pendukung utama untuk
mediator untuk membantu pihak-pihak membentuk perjanjian untuk mengakhiri
krisis (http://www.unic-jakarta.org). Pascoe juga menyatakan bahwa, Sekretaris-
Jenderal Ban Ki-moon telah dari awal beliau menjabat, menjadikannya sebagai
prioritas untuk memfokuskan kembali kemampuan PBB sehingga para diplomat
dan mediator dapat dimobilisasi sebagai responden pertama titik masalah.
Namun di sisi lain, kekurangan dari diplomasi preventif ini adalah
tidak bisa menyelesaikan semua masalah yang ada contohnya kasus politik yang
tentunya membutuhkan penyelesaian secara politik, adanya ketidakpercayaan
dianatara pihak yang berkonflik, keterbatasan sumber daya di PBB dan adanya
anggapan jika diplomasi ini merupakan cara lama yang sudah tidak
relevan(http://www.unic-jakarta.org). Namun apapun upaya yang ditempuh untuk
penyelesaian konflik, diplomasi preventif dapat dipertimbangkan sebagai suatu
varian yang bisa dipilih dengan kelebihan dan kekurangan yang mewarnainya.
Universitas Sumatera Utara
69
B. Mempertahankan Perairan Indonesia dengan Konsep “Detterence” atau
Penangkalan Guna Memberi Dampak Psikologis bagi Negara Lain
Realis melihat bahwa sistem internasional adalah anarki, untuk “survive”
di dunia yang sangat berbahaya dengan tidak adanya pemerintah yang baik,
sehingga harus ada pemimpin yang mampu membuat keamanan untuk negaranya.
Untuk bertahan di sistem internasional, negara membangun pertahanan guna
mengamankan negaranya agar tidak ada negara yang mungkin akan menginvasi.
“Deterrence” bertujuan untuk menunjukkan pada musuh untuk tidak melakukan
suatu aksi. Kita yang menentukan, berusaha menunjukkan pada musuh
konsekuensi jika mereka bertindak, dan menunggu (suksesnya deterrence dapat
dihitung dengan apakah sesuatu terjadi); jika musuh “melewati batas” yang telah
kita gambarkan, kita akan memberikan hukuman atas aksi yang mereka lakukan.
Deterrence dianggap sukses bila tidak ada satupun musuh yang memasuki batas
suatu negara. “Deterrence is conservative: it seeks to protect the status quo”.
Deterrence sama seperti bertahan atau bisa dibilang menunggu, musuh harus
bergerak menjauh sebelum ada reaksi dari negara yang mempertahankan
negaranya.
Konsep deterrence biasa diasosiasikan dengan kekuatan nuklir, tetapi
penerapannya diperluas dalam berbagai situasi dimana salah satu pihak mencoba
untuk mencegah pihak lain untuk melakukan tindakan yang belum dilakukan.
Deterrence dapat pula digunakan dengan kekuatan untuk mencegah kelemahan
dari percobaan penggulingan suatu negara. Para ahli strategi mengidentifikasikan
4 macam deterrence. Dua jenis pertama yaitu general dan immediate, dilakukan
sesuai dengan kerangka waktu strategi. General deterrence adalah strategi jangka
Universitas Sumatera Utara
70
panjang yang dimaksudkan untuk “mengecilkan hati dengan pertimbangan yang
serius atas segala bentuk ancaman kepentingan negara lain”. General deterrence
berjalan setiap waktu, berusaha untuk mencegah negara lain yang mencoba
menyerang dengan berbagai cara militer karena konsekuensi yang diinginkan.
Immediate deterrence, sebaliknya, adalah suatu tanggapan terhadap yang ancaman
yang jelas dan tegas atas kepentingan negara. Ketika aggressor mulai menyerang
General deterrence dinyatakan gagal, tetapi immediate deterrence mungkin masih
dapat dilakukan untuk meyakinkan aggressor untuk menghentikan dan tidak
melanjutkan serangan. Dua jenis deterrence yang lain berhubungan dengan
lingkup geografis dari strategi yang dimaksud. Primary deterrence dimaksudkan
untuk meminta negara lain untuk tidak menyerang wilayah suatu negara, selain itu
extended deterrence adalah “mengecilkan hati” negara lain untuk tidak menyerang
partner atau sekutu suatu negara.
Korea Utara membangun program nuklir untuk melakukan deterrence
kepada lawan-lawannya, baik yang berada di kawasan Asia Timur ataupun
Amerika Serikat.Senjata nuklir yang dibuat oleh Pyongyang adalah sebuah sarana
pertahanan yang digunakan untuk mengamankan negaranya dan menakut-nakuti
Amerika Serikat serta negara-negara dengan perekonomian maju di sekitarnya.
Jika negara-negara tersebut mengusik Korea Utara, maka senjata nuklir yang
dikembangkan oleh Korea Utara akan meluncur ke negara mereka masing-
masing.
karena kita mengutamakan hubungan dan penyelesaian damai, maka kita
wajib mempergiat usaha diplomasi. Dalam hal ini kita mengajak semua pihak
yang bersangkutan dengan LCS melaksanakan Code of Conduct yang telah
Universitas Sumatera Utara
71
ditetapkan. Kita tidak hendak mempertajam pertentangan antara China dan
negara-negara ASEAN , karena tidak ada yang beruntung kalau terjadi sengketa
perang terbuka di Asia Tenggara. Akan tetapi di pihak lain China harus
disadarkan bahwa ia tidak akan beruntung kalau menggunakan kekuatan
militernya untuk memaksakan kehendaknya . Ia harus kita sadarkan untuk
melaksanakan tata cara bertindak yang telah dimufakati dan ditetapkan.
Akan tetapi diplomasi hanya ada harapan berhasil kalau ASEAN bersatu
kompak menyatakan sikapnya. Hal ini sekarang masih menghadapi kelemahan
karena Kambodia dan Laos tidak bersedia bersatu dalam ASEAN menunjukkan
satu sikap terhadap China. Rupanya China berhasil merebut dukungan dua negara
itu dengan memberikan dukungan ekonomi untuk pembangunan negara mereka.
Selain itu China selalu berkehendak untuk menghadapi negara ASEAN secara
bilateral dan tidak bersedia menghadapi ASEAN sebagai gabungan negara Asia
Tenggara. Selama China merasa kuat ia akan tetap bersikap demikian. Dengan
begitu diplomasi menghadapi cukup banyak hambatan.
Sebab itu diplomasi harus didukung oleh kekuatan fisik yang nyata.
Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN harus mengembangkan kekuatan
militernya sesuai dengan status itu. Harus diwujudkan satu TNI yang merupakan
kekuatan harmonis di darat-laut-udara pada tingkat kekuatan yang makin tinggi.
Harmoni itu perlu disempurnakan dengan mempertinggi kekuatan AL dan AU
serta dibangunnya Pengawal Pantai (Coast Guard) yang tinggi kemampuannya. Di
Natuna perlu dibangun pangkalan AL dan AU yang makin tinggi kemampuannya
sehingga lebih mampu menjamin kedaulatan RI.
Universitas Sumatera Utara
72
Dampak dan sumbangan teori deterrence .Bila diamati penerapan konsep
deterrrence yang telah dilakukan oleh berbagai negara seperti Amerika Serikat,
Uni Soviet, dapat dikatakan bahwa deterrence telah memberikan dampak positif
terhadap terciptanya keamanan nasional negara-negara tersebut serta berperan
besar dalam menciptakan keamanan dunia. Alasan yang dapat diajukan adalah
selama perang dingin tidak pernah terjadi perang terbuka (perang dalam arti
sebenarnya) antara AS maupun Uni Soviet. Kekuatan nuklir yang dimiliki oleh
kedua negara tidak pernah digunakan untuk saling menyerang, bahkan sampai hari
ini. Karena masing-masing pihak merasa bahwa tidak akan mendapatkan
keuntungan (politis maupun militer) apapun juga, sebaliknya akan sama-sama
mengalami kehancuran jika persenjataan nuklir mereka digunakan untuk saling
menyerang. Jadi pada dasarnya kekuatan nuklir Amerika Serikat dan Uni Soviet
hanya sebagai alat untuk menciptakan efek psikologis yaitu masing-masing pihak
takut untuk melakukan first strike’ 43
Hal ini dikarenakan, dengan menggunakan diplomasi ofensif maka negara
dapat mengukur tingkat deterrence mereka terhadap negara lain sekaligus melatih
kemampuan negara untuk mempertahankan konsistensi dalam menghadapi isu-isu
internasional yang ada.
43
Joenil kahar, artikel penyelesaian batas Maritim NKRI,hlm 230,Bandung , Gramedia Pustaka utama, hal 87-99
Universitas Sumatera Utara
73
C. Implementasi Undang-Undang Hukum Laut Internasional Secara Tegas
Mengenai Wilayah Negara Kepulauan
Dengan terbitnya UNCLOS 1982 tersebut maka membawa konsekuensi
logis bagi bangsa Indonesia yaitu adanya amanat yang harus dilaksanakan berupa
hak-hak dan kewajiban dalam pengelolaan wilayah kelautan Indonesia
berdasarkan hukum internasional. Kini UNCLOS 1982 telah berjalan selama 25
tahun, tentu sebagai Negara Kepulauan sudah saatnya melakukan evaluasi
kebijakan tentang apa saja yang telah dilaksanakan dan belum dilaksanakan dalam
rangka memenuhi amanat seperti yang telah dicantumkan dalam UNCLOS 1982.
Negara kepulauan (Archipelagic States) adalah hasil keputusan dari
Konvensi PBB mengenai Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982 yang diatur
dalam Bagian IV Konvensi (Pasal 46-54) untuk negara-negara kepulauan
(Archipelagic States) dan perairan negara-negara kepulauan. Menurut Pasal 46 (b)
Konvensi Hukum Laut Internasional, “archipelago means a group of islands,
including parts of islands, interconnecting waters and other natural features
which are so closely interrelated that such islands, waters and other natural
features form an intrinsic geographical, economic and political entity, or which
historically have been regarded as such.” (Terjemahannya: kepuluan berarti suatu
gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan di antara pulau-pulau tersebut dan
wujud-wujud alamiah lainnya yang wujud alamiahnya satu sama lain demikian
eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan
satu kesatuan geografis, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara
historis dianggap sebagai demikian). Jadi, Menurut Pasal 46 (b), “Archipelagic
Universitas Sumatera Utara
74
State means a State constituted wholly by one or more archipelagos and may
include other islands”.
Metode garis pangkal lurus dipakai sebagai solusi untuk masalah perairan
kepulauan yang dimuat dalam Pasal 47 dan 49 Konvensi Hukum Laut
Internasional. Suatu negara kepulauan yang menarik garis pangkal lurus
kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau dan karang kering dari
kepulauan itu, dengan akibat bahwa kedaulatan negara kepulauan meluas hingga
yang tertutup karena penarikan garis pangkal lurus demikian, samapai ke ruang
udara yang ada di atasnya, dasar laut dan tanah dibawahnya serta kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya.
Dalam Pasal 51-54 ditentukan mengenai dihormatinya oleh negara
kepulauan perjanjian-perjanjian yang ada, hak-hak perikanan tradisional dan
kabel-kabel bawah laut, mengenai hak lintas damai, mengenai penetapan-
penetapan secara tepat alur-alur laut dan rute-rute udara oleh negara kepulaua, dan
mengenai kewajiban-kewajiban yang sama yang harus diperhatikan oleh kapal
dan pesawat udara asing, dan oleh negara kepulauan, sebagaimana yang secara
“mutatis mutandis” dalam hal lintas transit melalui selat-selat yang digunakan
untuk pelayaran internasional menurut ketentuan Pasal 39, 40, 42 dan 44.
Hak dan Kewajiban Indonesia serta status saat ini Indonesia sebagai
Negara kepulauan lebih banyak mempunyai hak daripada kewajiban menurut
Konvensi Hukum Laut 1982. Hak tersebut seperti menetapkan garis pangkal lurus
kepulauan sehingga menjadi bagian kedaulatan RI. Perairan kepulauan yang
semula dulu adalah bagian dari laut lepas, sekarang menjadi bagian dari
kedaulatan Indonesia, sehingga Indonesia harus benar-benar memanfaatkan
Universitas Sumatera Utara
75
kekayaan sumber daya alam di laut tersebut. Indonesia memang harus
menghormati perjanjian-perjanjian dengan Negara tetangga yang sudah ada
sebelumnya, menghormati hak penangkapan ikan tradisional yang dilakukan oleh
negara tetangga, sebagai contoh Indonesia telah melakukan perjanjian bilateral
dengan Malaysia mengenai hak perikanan tradisional, sebagaimana tertuang
dalam Undang- Undang No 1 Tahun 1983 Tentang Pengesahan Perjanjian antara
RI – Malaysia Tentang rezim hukum negara nusantara dan hak-hak negara
Malaysia di laut teritorial dan perairan nusantara serta ruang udara di atas laut
teritorial perairan nusantara dan wilayah RI yg terletak diantara Malaysia Timur
dan Malaysia Barat, Indonesia juga telah melakukan perjanjian dengan Papua
Nugini mengenai hak-hak warga negara masing masing pihak yang berdasarkan
kebiasaan dan dengan cara-cara tradisional telah menangkap ikan di perairan
pihak lainnya, seperti diatur dalam pasal 5 Keputusan Presiden No. 21 tahun 1982
tentang Persetujuan Wilayah Laut. Maritim, Indonesia – Papua Nugini. Indonesia
juga harus menghormati perjanjian mengenai kabel-kabel bawah laut dan
menghormati hak lintas damai semua kapal asing (rights of innocent passage). Di
samping itu memang konsekuensi Indonesia sebagai Negara kepulauan, Indonesia
dapat memberikan, bukan kewajiban, hak alur laut kepulauan (right of
archipelagic sea lanes passage) bagi kapal dan rute udara di atasnya sebagaimana
diatur oleh Pasal 53 Konvensi Hukum Laut 1982, tetapi dalam ayat (12)
menegaskan bahwa “If an archipelagic State does not designate sea lanes or air
routes, the right of archipelagic sea lanes passage may be exercised through the
routes normally used for international navigation”, yaitu apabila negara
kepulauan tidak menentukan alur laut kepulauan atau rute penerbangannya, maka
Universitas Sumatera Utara
76
hak alur laut kepulauan tersebut dapat dilaksanakan melalui rute yang biasanya
digunakan untuk pelayaran internasional. Penetapan alur laut kepulauan ini
membuat Indonesia harus bekerja sama dengan IMO dan status saat ini Indonesia
sudah menentukan alur laut tersebut.
Di zona ekonomi eksklusif setiap Negara pantai seperti Indonesia ini
mempunyai hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan
mengelola sumber daya alam baik hayati maupun nonhayati di perairannya, dasar
laut dan tanah di bawahnya serta untuk keperluan ekonomi di zona tersebut seperti
produksi energi dari air, arus, dan angin. Sedangkan jurisdiksi Indonesia di zona
itu adalah jurisdiksi membuat dan menggunakan pulau buatan, instalasi, dan
bangunan, riset ilmiah kelautan, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
Dalam melaksanakan hak berdaulat dan jurisdiksinya di zona ekonomi eksklusif
itu, Indonesia harus memperhatikan hak dan kewajiban Negara lain.
Indonesia sudah dilengkapi dengan UU No. 5 Tahun 1983 dan PP No. 15
Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Hayati Laut di ZEE Indonesia.
Sehubungan dengan zona ini banyak kegiatan tindak lanjut yang harus dilakukan
Indonesia seperti penetapan batas terluar ZEE Indonesia dan menyimpankan copy
peta-peta atau daftar koordinat-koordinatnya kepada Sekretariat Jenderal PBB.
Sesuai Pasal 62 Konvensi 1982, Indonesia harus memberitahukan mengenai
pembangunan dan letak pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-
bangunan lainnya di ZEE.
Menurut Pasal 13 Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia yang menyatakan bahwa “dalam rangka melaksanakan hak
berdaulat dan jurisdiksinya itu, aparatur penegak hukum dapat mengambil
Universitas Sumatera Utara
77
tindakan penegakan hukum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana”. Oleh karena itu, untuk
menjaga dan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam di ZEE Indonesia itu,
Indonesia harus mempunyai kekuatan armada laut yang dapat diandalkan,
sehingga kekayaan di zona itu tidak diambil oleh kapal-kapal asing.
Universitas Sumatera Utara
78
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dikemukakan pada
BAB IV, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Negara Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan atau negara
maritime dimana segala perairan di sekitar, di antara, dan yang
menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan
negara Republik Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas atau
lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah daratan negara Republik
Indonesia sehingga merupakan bagian dari perairan Indonesia yang berada di
bawah kedaulatan negara Republik Indonesia. Ini sudah sesuai dengan
peraturan yang tertulis sesuai dengan UNCLOS 1982 yang jadi sumber
hukum dalam masalah kawasan
2. Perlindungan batas wilayah dan yurisdiksi negara merupakan hal yang sangat
penting dan strategis sekaligus sensitif, karena berkaitan dengan
permasalahan kedaulatan (sovereignity), hak-hak berdaulat (sovereign rights)
dan yurisdiksi (jurisdiction) suatu negara terhadap zona-zona maritim
sebagaimana diatur dalam United Nation Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS 1982) atau yang lebih dikenal dengan”Hukum Laut
Internasional”.dan pengamanan yang mumpuni oleh TNI AL Indonesia juga
mampu memperkuat wilayah perairan Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
79
3. Pengamanan wilayah ZEE dari negara lain juga dapat diperkuat dengan
kemampuan diplomasi dan mengisolasi ancaman dari negara lain
menggunakan kuasa ekonomi untuk melakukan atau memaksa kerja sama
,menjaga angkatan bersenjata yang efektif,melakukan pertahanan
sipil dan kesiapan darurat ,memastikan pemulihan cepat dan
perbanyakan infrastruktur kritikal.
B. Saran
Indonesia harus meninjau kembali garis-garis pangkal laut wilayah dan
menyesuaikannya dengan ketentuan-ketentuan dalam konvensi, baik dengan
ketentuan-ketentuan dalam laut wilayah maupun ketentuan-ketentuan dalam
negara-negara nusantara. Melaporkan garis-garis pangkal laut wilayah yang sudah
dibuat oleh Indonesia ke Sekretaris Jenderal PBB.Indonesia harus mengkaji PP 36
tahun 2002 apakah sudah sesuai dengan Hukum Laut Internasional (UNCLOS
1982). Indonesia juga harus mempunyai kekuatan armada yang mampu
mengawasi kedaulatan negara di perairan kepulauan untuk menjaga dan
memanfaatkan sumber daya alam hayati berupa ikan, sehingga tidak ada lagi
kapal-kapal asing yang beroperasi di perairan kepulauan Indonesia yang selama
ini secara besar-besaran kapal-kapal asing itu mengeksploitasi ikan milik
Indonesia. Mereka telah merugikan Negara dan rakyat Indonesia. Oleh karena itu,
Indonesia harus mempunyai sumber daya manusia dan infrastrukturnya dalam
memanfaatkan kekayaan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
80
DAFTAR PUSTAKA
Sumber buku:
Agoes, Etty R. Konsepsi “Economic Zone” Di Dalam Hukum Laut Internasional.
Padjadjaran No. 4/1976 dan N0. 1/1977
Hasibuan, Rosmi.. Kaitan Permasalahan Rejim Hukum Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE) Dan Lintas Kontinen Dalam Konvensi Hukum Laut,Jakarta:Raja
Grafindo Persada, 1982
Kahar, Joenil. Artikel Penyelesaian Batas Maritim NKRI,Bandung,Gramedia
Pustaka Utama, 2004
Solihin, Akhmad.. Menantikan UU Batas Wilayah,Jakarta,Raja Grafindo Persada,
2005
Mohamad sodik, Dikdik. Hukum Laut Internasional dan pengaturannya di
Indonesia ,Bandung, PT.Refika Aditama
Parthiana, I Wayan, Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia,
Bandung, Yrama Widya, 2003
Tirtamulia, Tjondro “Zona-Zona laut UNCLOS”, Bandung, PT. Brilian
internasional, 2011
Subagyo, P. Joko “Hukum Laut Indonesia”, Jakarta , PT. Rineka cipta, 2005
S.K Wahyono, Indonesia Negara Maritim, Yayasan Penerbit Nusantara, Jakarta,
2007.
Universitas Sumatera Utara
81
N.H.T. Siahaan dan H. Suhendi, Hukum Laut Nasional, Djambatan, Jakarta,1989.
Chairyl Anwar, ZEE di Dalam Hukum Internasional dan ZEE Asia Pasifik, Sinar
Grafika, Jakarta, 1995
Tedjo Edhy Purdijanto, Mengawal Perbatasan Negara Maritim, Sinar Grafika,
Jakarta, 2001.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Diantha, I Made Pasek, Zona Eksklusif Indonesia , PT.Mandar Maju ,jakarta,
2016
Parthiana, I Wayan, “Pengantar Hukum Indonesia”, PT.Mandar Maju, 2003
Sumber website:
www.pikiran-rakyat.com
www.suarakarya.com
Bambang Mubiantoro, Penerapan Hukum Laut Di Indonesia, diakses dari,
www.academia.edu/9708343/Penerapan_Hukum_Laut_Di_Indonesia
Mahyudi,Konvensi PBB tentang hukum laut interasional, diakses dari,
http://maritimblog.blogspot.co.id pada tanggal 2 Juli 2016 pukul 04.29
Dheri Agriesta/MTVN,http://www.mediaindonesia.com/news Kamis
Universitas Sumatera Utara