Adab Berbicara
Transcript of Adab Berbicara
Bab. Adab-Adab Berbicara
Allah ta’ala berfirman :
“ Dan janganlah kalian mengikuti apa-apa yang kalian tidak mempunyai
ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya akan diminta pertanggung jawabannya “ (Al-Israa` : 36 )
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“ Barang siapa yang dapat memberi jaminan atas apa yang ada antara
jenggotnya dan yang berada diantara kedua kakinya, maka saya akan
menjaminnya surga “1
Diantara adab-adab berbicara :
1. Menjaga Lisan
Yang sepatutnya bagi seorang muslim adalah memperhatikan lisannya
dengan baik. Menghindari perkataan yang batil, perkataan dusta, ghibah,
adu domba, perkataan yang keji, secara ringkas dari semua itu adalah
menjaga lisannya dari segala yang Allah dan Rasul-Nya haramkan.
Seseorang mungkin mengucapkan suatu kalimat yang akan
mencelakakan kehidupan dunianya dan juga akhiratnya. Dan bisa pula
mengucapkan suatu kalimat dimana dengan kalimat tersebut Allah akan
mengangkatnya beberapa derajatnya. Yang menunjukkan hal itu adalah
sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“ Sesungguhnya seorang hamba akan berbicara dengan suatu ucapan yang
sama sekali dia memperoleh kejelasannya,maka diapun dijerumuskan diapi
neraka lebih jauh dari pada arah timur “ Dan pada riwayat Muslim dan
Ahmad : “ Lebih jauh melebihi jarak antara timur dan barat “2
Dan juga pada riwayat Ahmad : “ Sesungguhnya seseorang akan berbicara
dengan suatu ucapan untuk membuat orang-orang yang duduk
1 Takrijnya akan disebutkan nanti2 HR. Al-Bukhari ( 6477 ), dan lafazh diatas adlah lafazh riwayat beliau, Muslim ( 2988 ) dan Ahmad ( 8703 )
menyertainya tertawa, maka dia dicampakkan melebihi jauhnya bintang
tsurayya “3
Dan sebagaimana suatu kalimat akan dapat menjadi penyebab
kemurkaan Allah, juga suatu kalimat dapat menjadi sebab pengangkatan
derajat dan kebahagiaan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“ Sesunguhnya seorang hamba akan mengucapkan suatu kalimat dari
keridhaan Allah dimana dia sama sekali tidak memperhatikannya, maka
Allah mengangkatnya beberapa derajatkarena kalimat tersebut. Dan
sesungguhnya seorang hamba akan mengucapkan suatu kalimatdari
kemurkaan Allah yang dia sama sekali tidak menyadarinya, hingga dia
dicampakkan ke neraka jahannam “4
Dan pada pertanyaan Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang amalan yang akan
memasukkan kedalam surga dan menjauhkan dari api neraka, kemudian
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan rukun-rukun Islam, dan
beberapa pintu kebaikan. Kemudian beliau bersabda:
“ Maukah saya beritahukan kepadamu yang mengumpulkan semuanya itu ?
Beliau menjawab : Tentulah wahai Nabi Allah.
Maka beliau 3 lantas mengeluarkan lidahnya dan mengatakan: Jagala ini.
Saya berkata : Wahai Nabi Allah, akankah kami disiksa karena apa yang
kami ucapkan?
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Celakalah engkau wahai
Mu’adz. Apakah kaum manusia akan ditelungkupkan wajah-wajah mereka
kedalam api neraka atau kerongkongan mereka kecuali karena hasil dari
lisan mereka ? “5
Bahkan perkara ini tidak hanya sebatas ini saja. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah memberikan jaminan surga bagi yang menjaga
3 Al-Musnad ( 8967 )4 HR. Al-Bukhari ( 6478 ) dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, Ahmad ( 8206 ), Malik ( 1849 ) dengan lafazh yang berbeda dengan lafzahAl-Bukhari dan Ahmad.5 HR. At-Tirmidzi ( 2616 ), dan beliau berkata : hadits hasan shahih, Ahmad ( 21511 ), Ibnu Majah ( 3973 )
lisannya dan juga kemaluannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
“ Barang siapa yang dapat memberi jaminan atas apa yang ada antara
jenggotnya dan yang berada diantara kedua kakinya, maka saya akan
menjaminnya surga “6
Jadi wajib bagi seorang muslim untuk menjaga lisan dan kemaluannya
dari hal-hal yang Allah haramkan, untuk mengharapkan keridhaan-Nya, dan
berharap meraih ganjaran pahala dari-Nya. Dan hal itu suatu yang mudah
bagi yang Allah mudahkan baginya.
Faedah : Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu [ Hammad bin Zaid
mengatakan ] Saya tidak mengetahui kecuali hadits ini beliau riwayatkan
secara marfu’ , beliau berkata : “ Apabila bani Adam bangun pada pagi hari,
maka seluruh anggota tubuhnya menegur lisan, dan mengatakan : Takwalah
engaku kepada Allah, karena apabila engkau lurus maka kamipun akan
lurus, dan apabila engkau menyimpang maka kamipun akan menyimpang “7
Dan sabda beliau: “ Anggota tubuhnya menegur lisannya”, maknanya bahwa
seluruh anggota tubuhnya tunduk dan merendah dihadapan lisan, taat
kepadanya. Apabila engkau wahai lisan, lurus maka kamipun kaan lurus, dan
apabila engkau menyelisihi dan menyimpang dari jalan yang lurus, maka
kami akan mengikutimu, maka bertakwlaah engkau kepada Allah bagi kami8.
Dan hadits ini tidaklah kontradiktif dengan saba beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam - dari hadits An-Nu’man bin Basyir - : “ Ketahuilah bahwa pada
jasad seseorang erdapat segumpal daging, apabila daging tersebut baik,
maka seluruh jasad akan menjadi baik, dan apabila segumpal daging
tersebut rusak maka akan rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah bahwa
segumpal daging itu adalah hati “9
6 HR. Al-Bukhari dari hadits Sahl bin Sa’ad ( 6474 ),Ahmad ( 22316 ) an At-Tirmidzi ( 2408 ) dengan perbedaan pada lafazh-lafazhnya. 7 HR. Ahmad ( 11498 ) dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, berkata pen-tahqiq Al-Musnad : Sanadnya hasan ( 18 / 402 ), ( 11908 ) dan At-tirmidzi ( 2407 )8 Lisan Al-‘Arab ( 5 / 150 ), bahasan: كفر9 Hr. Al-Bukhari ( 52 ) dan Muslim ( 1599 )
At-Thibi mengatakan10 : Lisan merupaka penerjemah hati dan
penggantinya pada bagian zhahir tubuh. Apabila suatu perkara disandarkan
kepadanya maka itu berupa majaz dalam hukum. Seperti perkataan anda :
Dokter menyembuhka seorang yang sakit. Al-Maidani mengatakan tentang
sabda beliau : Seseorang bergantung dengan dua hal yang kecil pada
dirinya, kedua hal tersebut adalah hati dan lisan. Maknanya seseorang akan
benar dan menjadi sempurna kepribadiannya dengan dua hal tersebut.
Zuhair menggubah sbeuah sya’ir:
Dan selamanya anda akan menyaksikan seorang yang diam akan kagum
Bertmabah dan berkurangnya dia pada ucapannya
Lisan seorang setengah dan setengah lagi hati sanubarinya
Maka tidak lagi tersisa selain bentuk daging dan darah.
2. Ucapkan perkataan yang baik atau diamlah
Adab Nabawi pada perkataan bagi orang-orang yang ingin berbicara
supaya berbicara dengan pelan dan memikirkan perkataannya yang ingin dia
katakan dengannya, jika perkataan itu baik maka bagus untuk dikatakan dan
hendaklah dia mengatakannya, jika perkataan itu buruk maka hendaklah dia
berhenti darinya maka hal itu baik bagi dirinya. Diriwayatkan dari Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu beliau berkata : “ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka
janganlah dia menyakiti tetangganya, Barang siapa beriman kepada Allah
dan Hari Akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya, Barang siapa
beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah dia berkata yang baik atau
diam”.11
Sabda beliau : “hendaklah dia berkata yang baik atau diam”. Berkata Ibnu
Hajar : “ Perkataan ini adalah Jawami’ul kalam dikarenakan semua perkataan
bisa dia berupa kebaikan, bisa berupa keburukan dan bisa juga bermuara
kepada salah satu dari keduanya. Termasuk dalam cakupan kebaikan semua
10 Tuhfah Al-Ahwadzi ( 7 / 75 ) dengan sedikit perubahan.11 HR. Al-Bukhari ( 6018 ), dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, Muslim ( 47 ), dan Ahmad ( 75751 ).
yang dituntut dari perkataan-perkataan yang wajib ataupun yang sunnah,
diperbolehkan padanya tentang perbedaan jenisnya, dan masuk padanya
segala perkataan yang bermuara kepadanya. Adapun selainnya maka hal
tersebut adalah keburukan atau yang bermuara kepada hal yang buruk,
maka disaat hendak memperdebatkannya diperintahkan untuk berdiam diri
”.12
3. Kalimat yang baik adalah shadaqah
Hadist Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang telah lalu pembahasannya
menunjukkan kepada kita bahwa seseorang diperintahkan untuk bicara yang
baik-baik atau diam, kemudian syariat menyukai dalam berbicara yang baik
dikarenakan padanya ada dzikir kepada Allah, kebaikan pada agama dan
dunia mereka, dan kebaikan diantara mereka… serta selainnya hal-hal
tersebut dari tinjauan yang bermanfaat. Ganjaran yang diberikan atas hal itu
adalah mendapatkan pahala. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu
‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Setiap ruas
dari manusia atasnya terdapat shadaqah, setiap hari yang terbit padanya
matahari : dengan dia berbuat adil diantara dua orang adalah shadaqah,
seorang lelaki pada peliharaannya dan membawakannya atau
mengangkatkan barangnya adalah shadaqah, kalimat yang baik adalah
shadaqah, dan setiap langkah yang dia langkahkan untuk shalat adalah
shadaqah, serta menyingkirkan gangguan dari jalan adalah shadaqah”.13
Terkadang suatu kalimat yang baik akan menjauhkan pembicaranya dari
api neraka. Dari ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu bahwasanya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut perihal api neraka neraka lalu beliau
memalingkan wajahnya dan berlindung darinya, kemudian beliau berkata : “
Takutlah bertakwalah kepada neraka walau dengan sebutir kurma, barang
siapa yang tidak mendapatinya maka dengan kalimat yang baik”.14
12 Kitab Fathul Baari ( 10 / 461 ).13 HR. Al-Bukhari ( 2989 ), dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, Muslim ( 1009 ), dan Ahmad ( 27400 ).14 HR. Al-Bukhari ( 6563 ), dan lafazh diatas adalah lafazh riwayat beliau, Muslim ( 1016 ), dan Ahmad ( 17782 ) tanpa menyebutkan penggalan hadits yang terakhir dan An-Nasa’I ( 2553 ).
4. Keutamaan sedikit berbicara dan makruhnya banyak
berbicara
Telah diterangkan lebih dari sebuah hadits tentang anjuran untuk sedikit
berbicara. Karena banyak berbicara dapat menjadi sebabtergelincirnya
seseorang dalam dosa. Jadi seseorang yang banyak berbicara tidaklah
berasa aman dari lisannya yang lepas dan kekeliruannya. Oleh karena itulah,
ada anjuran untuk sedikit berbicara dan larangan banyak berbicara.
Al-Mughirah bin Syubah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahwa beliau bersabda:
“ Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bagi kalian perbuatan durhaka
kepada ibu, sebagai larangan yang keras. Dan mengubur hidup-hidup anak
wanita, dan membenci jika kalian mengutip perkataan, banyak birtanya dan
menghambur-hamburkan harta “
Sabda beliau : “ Dan membenci jika kalian mengutip perkataan “, yaitu
menceburkan diri pada kabar dan cerita-cerita orang tentang keadaan dan
perbuatan mereka yang tidak mendatangkan manfaat. Demikian yang
dikatakan oleh An-Nawawi15.
Banyak berbicara adalah suatu yang tercela dalam syariat. Jabir bin
Abdullah radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “ Sesunggunya oang yang paling saya cintai
diantara kalian dan yang paling dekat majlisnya kepadaku pada hari kiamat
adalah yang paling terpuji akhlaknya. Dan sesungguhnya yang paling saya
benci dan paling jauh majlisnya dariku pada hari kiamat adalah orang-orang
yang banyak cakap, oang-orang yang memfasihkan bicaranya serta al-
mutafaihiquun. Para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah kami telah
mengetahui apa itu ats-tsatsaaruun16 – yang banyak cakap – dan juga al-
15 Muslim, Syarh An-Nawawi jilid 6 ( 12 / 10 )16 Didalam Al-LisanL ats-tsartsaar al-mutasyaddiq adalah yang banyak bicara ... ats-tsartsarah min al-kalam: adalah banyak bicara dan sering diulang-ulangi ... Dikatakan: Laki-laki tsartsaar, wanita tsartsaarah, dan suatu kaum tsatsaaruun.Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: Yang paling saya benci diantara kalian adalah ats-tsartsaaruun dan al-mutafaiqihuun. Yaitu mereka yang banyak berbicara dan berlebihan dalam berbicara
mutasyaddiquun, namun apakah itu al-mutaaihiquun ? Beliau menjawab:
Yakni orang-orang yang angkuh “17
Faedah: Abu Hurairah berkata : “ Tidak ada kebaikan pada perkataan
yang berlebihan ”. Umar bin Al-Khaththab mengatakan: “Barang siapa yang
banyak berbicara maka akan sering tergelincir “
Ibnu Al-Qasim mengatakan: “ Saya telah mendengar dari Malik, beliau
berkata: “ Tidak ada kebaikan pada banyak berbicara, dan hal itu meruapkan
tingkah kaum wanita dan anak-anak. Tingkah laku mereka selamanya adalah
berbicara dan tidak diam …
Lainnya mengatakan:
Seseorang meninggal karena kesalahan lisannya
Dan seseorang tidaklah meningal karena kesalahan kakinya
Tergelincirnya dia dari mulutnya yang akan menghempaskan kepalanya
Sementara tergelincirnya dia dengan kakinya akan bersih perlahan-lahan18
5. Peringatan akan ghibah dan an-namimah adu domba19
Sangat banyak kutipan dari Al-Qur`an ataupun As-Sunnah yang
menunjukkan larangan melakukan ghibah dan namimah. Dengan
konsukuensi ancaman yang sangat berat. Larangan terhadap kedua
perbuatan tersebut juga telah maklum adanya ditengah-tengah kaum
hingga menyimpang dari kebenaran. ( 4 / 102 ). Bahasan: ثرر17 HR. At-Tirmidzi dari hadits Jabir ( 2018 )dan lafazh diatas adalah lafazh beliau. At-Tirmidzi mengatakan: Hadist hasan gharib, Ahmad dari hadits Abu Tsa’labah al-Khusyani ( 17278 )18 Kutipan-kutipan terdahulu dari Al-Adab Asy-Syar’iyah karya Ibnu Muflih ( 1 / 66 – 67 ) dengan sedikit perubahan.19 Ghibah: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan didalam sabda beliau: “ Menyebutkan perihal saudaramu dengan suatu yang dibencinya. Disbeutkan dalam hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tahukah kalian apakah ghibah itu ? Para sahabat mengatakan: Allah dan Rasulunya yng lebih mengetahui. Beliau bersabda: Anda menyebutkan perihal saudara anda yang dibencinya.Ada yang berkata: Bagaimanakah jika yang dikatakan tersebut benar ada pada saudaraku seperti yang saya ucapkan? Beliau bersabda: apabila benar ada padanya seperti yang engkau katakan, maka sungguh anda telah mengghibahnya. Dan apabila tidak seperti yang anda katakan maka sungguh anda telah berdusta terhadapnya “ HR. Muslim ( 2589 ), Ahmad ( 7106 ), At-Tirmidzi ( 1934 ), Abu Daud ( 4874 ) dan Ad-Darimi ( 2714 ) dengan pebedaan sedikit pada lafazh-lafazhnya.Dan karakteristik ghibah adalah: Setiap yang anda sampaikan kepada orang lain perihal kekurangan seorang muslim maka termasuk perkara ghibah yang diharamkan. ( Al-Adzkar karya An-Nawawi hal. 486 ).Adapun an-namimah/mengadu domba : Para ulama mengatakan: an-namimah adalah mengutip perkataan sebagian orang lalu disampaikan kepada sebagian lainnya dengan tujuan mendatangkan kerusakan diantara mereeka ( An-Nawawi syarh Muslim jilid 1 ( 2 / 93 ) )
muslimin seluruhnya. Akan tetapi, kita masih akan menjumpai sangat
banyak orang yang tidak berhati-hati dalam mempergunakan lisaannya
berbicara menyangkut kehormatan dan daging orang-orang. Akan tetapi
inilah hiasan syaithan bagi mereka, untuk mencerai beraikan persatuan
mereka dan mengobarkan kemarahan didalam hati sebagian dari mereka
atas sebagian lainnya.
Sementara syariat didatangkan untuk menyatukan kalimat, menyatukan
hati, berbaik sangka kepada orang lain dan mengatakan perkataan yang
benar dan yang baik … Sedangkan syaithan selalu berusaha untuk mencerai
beraikan persatuan, memisahkan hati sebagian orang dengan sebagian
lainnya, bebruruk sangka kepada orang lain dan mengucapkan perkataann
yang batil dan yang buruk.
Dari Jabir radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata: Saya telah mendengar Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ Sesungguhnya syaithan telah putus
asa untuk disembah oleh orang-orang yang mendirikan shalat dijazirah Arab,
akan tetapi syaithan tidak berputus asa untuk menghasut diantara mereka
“20
Makna hadits diatas : bahwa sesungguhnya syaithan telah berputus asa
menggoda para penduduk jazirah Arab untuk menyembahnya, akan tetapi
syaithan senantiasa berusaha menghasut mereka untuk saling bermusuhan,
kebencian, peperangan, menyebar fitnah dan lain sebagainya. Demikian
yang dikatakan oleh An-Nawawi21.
Ghibah dan namiman adalah salah satu benih lebencian dan permusuhan
yang ditanamkan diengah-tengah menusia. Dan Allah telah mengabarkan
perihal syaithan bahwa dia adalah musuh kita. Dan seorang musuh tidak
akan emnghendaki kebaikan pada diri kita – dan hal itu tidak kita sangsikan
lagi – dan Allah telah memerintahkan kita untuk memusuhinya dan
memeranginya
20 HR. Muslim ( 2812 ), Ahmad ( 13957 ) dan At-Tirmidzi ( 1937 )21 Muslm,bi-syarh An-Nawawi jilid. 9 ( 17 / 131 )
“Sesunggunya syaithan adala musuh bagi kalian, maka jadikanlah dia
sebagai musuh, sesungguhnya syaithan akan mengajak kepada golongannya
agar mereka semuatermasuk penghuni neraka sa’iir “ (Fathir : 6)
Ghibah dan namimah, termasuk salah satu senjata Iblis dan kelompoknya,
untuk mencerai beraikan kaum manusia. Menanamkan kebencian dihati
sbeagian kaum manusia kepada sebagian lainnya. Dan kedua hal tersebut
termasuk diantara penyakit yang akan membinasakan individu serta
mencerai beraikan jama’ah.
Penyakit tersebut akan menyebabkan indibidu masyarakan berada dalam
bahaya dengan mendapatkan ancaman Allah akibat orang yan
dighibahinya atau namimah yang diucapkannya. Dan penyakit ini akan
menimbulkan pemutusan silaturrahim antara sesama keluarga dan kerabat
dan sesama kaum manusia.
Ada baiknya kita akan sebutkan sebagian yang berkaitan dengan kedua hal
tersebut. Dan seorang yang mendapatkan taufik adalah yng menundukkan
hatinya kepada kebenaran sertamenjaga lisannya terhadap makhluk Allah.
Allah ta’ala berfirman :
“Dan janganlah sebagian dari kalian menghibah sebagian lainnya. Apakah
salah seorang diantara kalian akan memakan daging bangkai saudaranya,
maka kalian tentunya merasa jijik. Maka bertakwalah kepada Allah
sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat dan Maha Pengasih “ (Al-
Hujurat : 12 )
Dan dari hadits Abu Barzah Al-Aslami, beliau berkata: Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ Wahai segenap orang yang
merasa amandenganlisannya namun belumlah iman masuk kedalam
hatinya. Janganlah kalian mengghibah kaum muslimin dan janganlah kalian
mencari-cari aurat mereka. Karena sesungguhnya seseorang yang mencari-
cari aurat mereka maka Allah akan mencari-cari auratnya. Dan barang siapa
yang Alah mencari-cari auratnya niscaya Allah akan mempermalukannya
dirumahnya “22
Dari Abu Wail dari Hudzaifah beliau menyampaikan bahwa seseorang
menyampaikan berita untuk tujuan namimah. Maka Hudzaifah mengatakan:
Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “
Tidak akan masuk surga seseorang yang melakukan namimah “, pada
riwayat lainnya : “ pengadu domba “23 Dan keduanya semakna.
Faedah : Ghibah diperbolehkan pada enam tempat :
Pertama : Ketidak adilan, maka diperbolehkan bagi yang didhalimi untuk
mengadukan ketidak adilan yang dia alami kepada penguasa atau halim dan
selain keduanya yang mana padanya punya pemerintahan, atau
berkehendak untuk berlaku adil pada orang yang mendhaliminya.
Kedua : Meminta pertolongan agar merubah kemungkaran, dan
mengembalikan kemaksiatan kepada kebenaran. Hendaklah dia berkata
kepada orang yang dia harapkan kekuasaannya uantuk menghilangkan
kemungkaran dengan : Si fulan berbuat demikian, maka diapun
mengasingkannya darinya dan sejenisnya, dengan maksud sebagai
perantara untuk menghilangkan kemungkaran, akan tetapi kalau maksudnya
tidak demikian maka hal itu adalah keharaman.
Ketiga : Meredakan masalah, maka dia berkata kepada mufti / yang
memberi fatwa : Ayahku telah mendhalimiku , atau saudaraku…dan semisal
hal tersebut, maka hal ini diperbolehkan sesuai keperluan, akan agar lebih
berhati-hati agar dia berkata : Apakah engkau mengatakan kepada laki-laki
atau seseorang siapa saja yang menyuruhnya berbuat demikian? Yang mana
dia akan tercapai dengannya tujuan tanpa adanya ketentuan yang pasti,
dengan demikian maka penentuan tersebut diperbolehkan.
Keempat : Peringatan kepada kaum muslimin dari kejelekan dan
menasehati mereka … termasuk pula men-jarh kaum yang cacat sifatnya
22 HR. Abu Daud ( 4880 ) dan lafazh diatas adalah lafazh riwayat beliau. Al-Albani mengatakan : hasan shahih. Ahmad ( 19277 )23 HR. Al-Bukhari ( 6056 ), Muslim ( 105 ) dan lafazh diatas adalah lafazh riwayat beliau, Ahmad ( 22814 ), At-Tirmidzi ( 2026 ) dan Abu Daud ( 4879 )
baik para perawi hadits atukah para saksi. Diantaranya pula musyawarah
untuk menjalin kekerabatan dengan seseorang … dengan syarat tujuan dari
itu smeua adalah untuk nasihat. Dan hal ini yang sering terjadi kesalah
pahaman. Seorang pembcara terkadang terbawa rasa dengki pada hal-hal
itu, dan syaithan mengaburkannya. Dan syaithan menampakkan seolah-olah
hal tersebut suatu nasihat, maka mestilah hal itu lebih dicermati.
Kelima : Apabila yang dibicarakan adalah seseorang yang menampakkan
perbuatan fasiknya atau bid’ahnya seperti seseorang yang terang-terangan
meminum khamar, menyakiti orang banyak, memungut rente, mengambil
pajak dari harta orang, melakukan perkara-perkara yang batil maka
diperbolehkan untuk menyebutkan karena perbuatan yang dilakukannya
terang-terangan. Namun haram menyebut aib-aibnya yang lain kecuali
karena lain sebab yang diperbolehkan sebagaimana yang telah kami
sebutkan.
Keenam : Untuk tujuan identifikasi. Apabila seseorang lebih terkenal dengan
suatu julukan, seperti Al-A’masy – yang penglihatannya kabur - , Al-A’raj –
yang pincang kakinya -, Al-Asham – yang tuli -, Al-A’maa – yang buta -, Al-
Ahwal – yang matanya juling – dan lain sebagainya. Diperbolehkan
mengidentifikasi mereka dengan julukan itu. Dan diharamkan penggunaan
julukan itu secara mutlak untuk tujuan penghinaan. Dan sekiranya
memungkinkan mengidentifikasinya selain dengan julukan itu, hal tersebut
lebih utama.
Inilah enam perkara yangdisebutkan oleh par aulama, dan sebagian
besarnya adalah perkara-perkara yang disepakati oleh mereka. Dan
argumentasinya berupa hadits-hadits yang shahih sangatlah populer,
demikian yang dikatakan oleh An-Nawawi24.
Faedah lainnya : Tindakan yang sepatutnya bagi seseorang yang
mengetahui namimah:
24 Riyadh Ash-Shalihin 450 -451
Pertama : Tidaklah membenarkannya karena seorang pembawa namimah
adalah seorang yang fasik.
Kedua : Melarangnya dari perbuatan itu dan menasihatinya dan mencela
perbuatan yang dilakukannya tersebut.
Ketiga : Membencinnya karena Allah, disebabkan pelaku perbuatan namimah
adalah perbuatan yang dibenci Allah ta’ala. Dan wajib membenci seseorang
yang Allah benci.
Keempat : Tidak berprasangka buruk terhadap saudaranya yang tidak
berada dihadapannya.
Kelima : Segala cerita yang sampai kepadanya tidak mendorongnya untuk
mencari-cari dan menilik informasi tentang kabar itu.
Keenam : Tidak meridhai bagi dirinya sendiri apa yang dilarangnya bagi
pelaku namimah. Tidaklah dia menceritakan suatu namimah darinya dengan
mengatakan : Fulan menceritakan demikian, hingga diapun menjadi pelaku
namimah. Dengan begitu dia melakukan suatu yang dia telah larang.
Inilah akhir perkataan Abu Hamid Al-Ghazali rahimahullah. Semua yang
berkaitan dengan namimah ini apabila tidak terdapat mashlaha syar’iyah.
Namun apabila suatu kebutuhan mengharuskan hal tersebut, maka tidaklah
mengapa untuk disampaikan. Demikian yang dikatakan oleh An-Nawawi25.
6. Larang menceritakan semua yang didengarkan
Hal itu disebabkan karena perkataan yang didengar dari orang-orang ada
yang benar dan ada juga yang dusta. Apabila seseorang menceritakan
segala yang didengarnya, maka pastilah akan mencritakan suatu yang
dusta. Dengan inilah seorang yang menceritakan segala yang didengarnya
diaktegorikan seorang yang menyampaikan kedustaan.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Cukuplah seorang berdosa, ketika
25 Syarh Shahih Muslim jilid 1 ( 2 / 92 – 94 )
menceritakan segala yang didengarnya “ Pada riwayat lainnya : “ Termasuk
kedustaan seseorang apabila dia menceritakan segala yang didengarnya “26
7. Peringatan terhadap Kedustaan
Kedustaan adalah penyampaian kabar yang menyalahi keadaan yang
sebenarnya. Dan perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang dialrang oleh
Allah didalam Kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Allah ta’ala befirman :
“ Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan jadilah
kalian orang-orang yang benar “27
Makna yang tersirat pada ayat diatas adalah : janganlah kalian menjadi
kelompok orang-orang yang berdusta.
Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: Bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “ Sesungguhnya kejujuran akan menuntun
kepada perbuatan baik dan perbuatan yang baik akan menuntun kepada
surga. Dan seseorang akan berkata jujur hingga dia tetulis disisi allah
sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya kedustaan akan menuntun
kepad perbuatan fajir. Dan perbuatan fajir akan menuntun kepada neraka.
Dan seseorang akan berdusta hingga akan tertulis disisi Allah bahwa dia
adalah seorang pendusta “28
Ibnu Hajar mengatakan : “ Ar-Raghib mengatakan asal kata al-fajru
berarti suatu yang pecah. Berarti al-fujur memecahkan/menyingkap penutup
keagamaan seseorang. Dan kalimat ini juga dipergunakan untuk
menunjukkan makan kecenderungan kepada perbuatan fasad dan terbawa
kepada perbuatan maksiat. Dan merupakan kalimat yang menyatukan
segala bentuk keburukan29.
26 HR. Muslim ( 5 ) didalam Al-Muqaddimah, dan lafazh diatas adalah lafazh beliau dan Abu Daud ( 4992 )27 QS. At-Taubah : 11928 HR. Al-Bukhari ( 6094 ) dan lafazh diatas adalah lafazh Al-Bukhari, Muslim ( 2607 ), Ahmad ( 3631 ), at-Tirmidzi ( 1971 ) Abu Daud ( 4989 ), Ibnu Majah ( 46 )dan Ad-Darimi ( 2715 )29 Fathul Bari ( 10 / 524 )
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu beliau berkata : Bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :Tnda seorang munafik ada tiga:
Apabila berbicar adia berdusta, apabila berjanji dia menyalahi, dan apabila
diberi kepercayaan dia berkhianat “30
Barang siapa yang memiliki sifat dusta maka pada dirinya ada ciri orang-
orang munafik.
Dari Samurah bin Jundub radhiallahu ‘anhu pada hadits Ru’ya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahwa beliau bersabda :
“ … Akan tetapi malam itu saya melihat dua orang yangmendatangiku lalu
keduanya menggandeng tanganku dan mengeluarkanku dari tanah Maqdis.
Dan seseorang sedang duduk dan seseorang sedang berdiri dan pada
tangannya penjepit-penjepit dari besi – sebagian pengikut Musa berkata dari
Musa - : Bahwa dia memasukkan penjepit itu didalam rahangnya hingga
sampai kedalam tengkuknya, lalu tengkuk yang satnya juga diperbuat hal
yang serupa dengan itu. Kemudian rahangnya dikembalikan seperti sedia
kalam, lalu diperbuat lagi yang semisalnya.
Saya berkata : Apakah ini ?
Keduanya mengatakan : Berlalulah dairnya … “
Dan pada akhir hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada
kedua orang tersebut : Kalian berdua telah mengajakku berkeliling pada
malam ini, maka beritahukanlah semua yang telah aku lihat.
Keduanya mengatakan : Adapun seseorang yang anda lihat, yang rahangnya
dijepit maka dia adalah seorang pendusta , menceritakan cerita yang dusta
hingga cerita itu dibawanya hingga menyebar keseluruh pelosok, maka pad
ahari kiamat dilakukan hal tersebut baginya … al-hadits “31
Faedah : Kedustaan yang paling besar adalah kedustaan kepada Allah dan
kedustaan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan bersumpah
kepada Allah dengan sumpah yang dusta untuk menguasai harta seorang
muslim.
30 HR. Al-Bukhari ( 6095 ), Muslim ( 59 ), Ahmad ( 8470 ), At-Tirmidzi ( 2631 ) dan An-Nasaa`I ( 5021 ) 31 HR. Al-Bukhari ( 1386 ) dan Ahmad ( 19652 )
Adapun kedustaan kepada Allah, dapat dengan mentakwilkan dan
menafsirkan kalam Allah tanpa dasar ilmu. Diantara hal itu adalah
mendudukkan beberapa nash-nash Al-Qur`an dengan sejumlah kejadian
yang bermunculan. Para ulama As-Salaf, telah merasa berat untuk
menafsirkan kalam Allah subhanahu wata’ala tanpa dasa rilmu, dan ada
banyak perkataan dari mereka tentang hal itu :
Abu Bakar Ash-Shiddiq mengatakan: “ Demi Tanah yang aku pijak dan langit
yang menaungiku , apabila aku mengatakan sesuatu didalam Kitabullah
yang tidak kau ketahui … “
Dari Ibnu Abbas, beliau ditanya tentang sebuah ayat , apabila ayat tersebut
ditanyakan kepada sebagian dari kalian, maka dia akan
mengatakan/menafsirkan ayat tersebut, lalu beliau enggan untuk
mengatakan/menafsirkan ayat tersebut …
Masruq mengatakan : Berhati-hatilah dalam menafsirkan karena tafsir
adalah meriwayatkan dari Allah.
Ibnu Taimiyah mengatakan : Inilah beberapa atsar dan atsar-atsar lain yang
semisalnya dari para Imam As-Salaf yang mengindikasikan keengganan
mereka berbicara dalam masalah tafsir tanpa dasar ilmu pada mereka.
Adapun perkataan yang diektahui baik dari tinjauan etimloginya maupun
secara syara’ maka hal tersebut tidak mengapa32.
Adapun kedustaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dapat
berupa pemalsuan hadits, danmenyangka bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah mengatakannya, melakukannya atai membenarkannya. Dan
berdusta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan ancaman
berupa api neraka.
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengatakan : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :” janganlah kalian berdusta kepadaku, karena barang
siapa yang berdusta kepadaku maka pastilah dia akan disengat dengan api
neraka “ pada riwayat lainnya : “ akan disengat dengan api neraka “33
32 Beberapa kutipan dari Al-Fatawa ( 13 / 371 – 374 )33 HR. Al-Bukhari ( 106 ), dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, ( Muslim ( 1 ), ahmad ( 630 ), At-Tirmidzi ( 2660 ) dan Ibnu Majah ( 31 )
Adapun bersumpah atas nama Allah untuk mengambil harta seorang
muslim, telah diriwayatkan oleh Abduyllah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu,
beliau berkata: Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“ Barang siapa yang bersumpah dengan sumpah yang dusta untuk
merampas harta seorang muslim atau mengatakannya kepada saudaranya,
maka dia akan menjumpai Allah , sementara Allah sangat murka kepadanya
… “34
Dari Abdullah bin Amru radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , beliau bersabda : Termasuk dosa-dosa besar : Berbuat syirik
kepada Allah , durhaka kepada kedua orang tua, membunuh seorang
muslim dan sumpah yang dusta35 “36
Dan Dari Ibnu Mas’ud beliau mengatakan : “ kami mengkategorikan
termasuk dosa yang tidak ada kaffarahnya diatnaranya adalah sumpah yang
dusta, yaitu seseorang yang bersumpah – pengakuan - terhadap harta
saudaranya dengan sumpah yang dusta untuk menguasai harta tersebut “37
Faedah lainnya : kedustaan diperbolehkan ada tiga hal :
Pertama : Untuk mengadakan perdamaian di antara kaum manusia.
Kedua : Didalam berperang.
Ketiga : Seorang suami yang berbincang kepada Istrinya dan istri kepada
suaminya.
Dalil hal itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Kultsum binti
Kultsum bin Abi Mu’ith radhiallahu ‘anha, beliau berkata : Saya telah
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Bukanlah
dikatakan seorang pendusta yang bertujuan mengadakan perbaikan
34 Hr. Al-Bukhari ( 6659 ) dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, Muslim ( 138 ),ahmad ( 3566 ),At-Tirmidzi ( 1269 ), Abu Daud ( 3243 ) dan Ibnu Majah ( 2323 ).35 Diaktakan sebagai al-ghamuuus, karena sumpah yang dusta akan menjerumuskan pelakunya kepada dosa dan api neraka. ( Al-Fath 11 / 564 )36 HR. Al-Bukhari ( 6675 ), dan lafazh diatas adalah lafazh beliau,Ahmad ( 6845 ), At-Tirmidzi ( 3021 ), An-Nasaa`I ( 4011 ) dan Ad-Darimi ( 2360 )37 Ibnu Hajar mengatakan : Hadist diatas diriwayatkan oleh Abi bin Iyas didalam Musnad Syu’bah dan Isma’il Al-Qadhi didalam Al-Ahkam dari hadits Ibnu Mas’ud ( Fathul Bari 11 / 566 )
ditangah-tengah kaum manusia, hingga memberi hasil kebaikan ataukah
mengatakan suatu kebaikan “38
Dan pada riwayat Abu Daud: Beliau mengatakan : “ Tidaklah saya
mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan
sedikitpun juga kedustaan kecuali pada tiga perkara yang pernah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan : “ Tidaklah saya mengkategorikan
seseorang sebagai pendusta apabila dia mendamaikan antara kaum mausia.
Dia mengatakan suatu perkataan yang tidak ingin dia ucapkan kecuali untuk
tujuan mendamaikan, dan seseorang yang berbicara disaat peperangan dan
seseorang yang berbicara kepada istrinya dan seorang wanita yang
berbicara kepada suaminya “39
Para ulama berbeda pendapat dalam menganalisa makna hadits ini.
Mayoritas ulama berpendapat bolehnya berdusta pada tiga hal yang
disebutkan diatas. Dan sebagian lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan hadits diatas bukanlah dusta yang sebenarnya, melainkan hanya
sebatas at-tauriyah40 dan al-ma’aaridh41 42.
Dan kemungkinan sebab dari perbedaan pendapat mereka karena
memandang lafazh tambahan yang ada pada hadits diatas, apakah lafazh
tersebut lafazh yang mudraj atau diriwayatkan secara marfu’ dan shahih.
38 HR. Al-Bukhari ( 2692 )39 HR. Abu Daud ( 4921 ), dan lafazh diatas adalah lafazh beliau. Al-Albani menshahihkannya. Dan asal hadits ini terdapat didalam Ash-Shahihain. Al-Bukhari meriwayatkannya ( 2692 ) dengan lafazh : “ Bukanlah dikatakan seorang pendusta yang bertujuan mendamaikan antara kaum manusia, maka dia akan menghasilkan kebaikan ataukah mengatakan suatu kebaikan “. Dan Muslim ( 2605 ) dengan kedua lafazh tersebut semuanya. Akan tetapi beliau menambahkan tambahan dari eprkataan Az-Zuhri : “ Ibnu Syihab mengatakan : Dan saya tidak mendengarkan sedikitpun juga dari beliau, bahwa beliau membolehkan sedikitpun dari perkataan manusia yang berupa kedustaan ... “.Dan Ibnu Hajar berpendapat seperti itu, dan mengatakan bahwa lafazh tambahan tersebut adalah lafazh yang mudraj ( lihat Al-Fath 5 / 353 )Al-Albani mengkritik hal itu didalam Ash-Shahihah ( 545 ) dan beliau menerangkan bahwa lafazh tmabahan tersebut diriwayatkan secara marfu’ dan shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Silahkan anda melihatnya kembali jika berkenan. Dan diantara yang juga meriwayatkan hadits ini adalah Ahmad ( 26731 ) dan At-Tirmidzi ( 1938 )40 Yakni menampakkan sesuatu yang menyalahi maksud yang sebenarnya, penj41 Yakni sindiran dengan perkataan, penj42 Lihat Muslim bi-syarh An-Nawawi jilid 8 ( 16 / 135 ), Fathul Bari ( 5 / 353 ) dan Syrh Riyadh Ash-Shalihih karya Ibnu ‘Utsiamin ( 1 / 272 )
Lafazh diatas lafazh yang shahih secara marfu’ – sebagaimana yang telah
kami terangkan – dengan begitu jelaslah pendapat bolehnya berdusta pada
tiga perkara yang telah disebutkan sebelumnya.
Dan hadits ini ada beberapa syahid penguat lainnya :
Adapun riwayat syahid untuk mendamaikan antara kaum manusia, adalah
hadits yang telah dikemukakan sebelumnya.
Syahid riwayat berdusta ketika berperang, adalah hadits Jabir bin
Abdullah radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata: bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda :
“ Siapakah yang akan menuntaskan Ka’ab bin Al-`Asyraf ? karena
sesungguhnya dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya.
Muhammad bin Maslamah mengatakan : Apakah anda menyukai jika saya
membunuhnya , wahai Rasulullah ?
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : Benar.
Maslamah mengatkaan : Izinkanlah aku akan berdua bersamanya.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Silahkan engkau berdua
bersamanya.
Maslamah lalu mendatanginya dan berkata kepadanya: “ Dan menyebutkan
perbincangan antara mereka berdua. Dan beliau berkata : Sesunguhnya
orang ini telah menekan kami dengan shadaqah dan sungguh dia telah
menyulitkan kami.
Dan ketika dia mendengarnya, dia mengatakan : Dan demi Allah dia juga
telah menjemukan kami dengannya … al-hadits “43
Yang dijadikan argumen pada hadits diatas adalah
Abda beliau : “ Izinkanlah saya akan berdua dengannya “, “ Sungguh dia
telah menekan kami dengan shadaqah “, yaitu : Meminta kami untuk
menempatkan shadaqah pada masing-masing tempatnya.
Dan : “ Dan sungguh dia telah menyulitkan kami “, yakni : Membebani kami
dengan segala macam perintah dan larangan44.
43 HR. Al-Bukhari ( 3031 ), dan beliau menjadikannya pada bab yang beliau beri judul: Bab. Al-Kadzib fi Al-Harb, dan Muslim ( 1801 ) dan lafazh diatas adalah lafaz beliau, dan Abu Daud ( 2768 )44 Fathul Bari ( 1 / 184 )
Adapun syahid pembolehan berdusta kepada istri untuk menyenangkan
hatinya : Hadist yang diriwayatkan oleh Atha’ bin Yasaar, bahwa beliau
berkata: Seseorang menjumpai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan
berkata : Wahai Rasulullah, bolehkan aku berdusta kepada istriku ?
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ Tidak, Allah tidaklah
menyukai kedustaan.
Orang tersebut berkata: “ Wahai Rasulullah, - perbuatan itu – untuk
mendamaikannya dan menyenangkan hatinya.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tidak mengapa bagimu “45
An-Nawawi mengatakan: “ Adapun dusta kepada istri dan dusta seorang
istri kepada suaminya. Yang dimaksud dengan dusta ini adalah dengan
manampakkan kasih sayang dan janji yang bukan suatu keharusan sertalain
sebagainya.
Adapun memperdayai hingga menghalangi haknya atau mengambil yang
bukan haknya baik suami atau istri,maka hal tersebut haram sesuai dengan
ijma’ kaum muslimin , wallahu a’lam46.
Al-Albani mengatakan : Tidak termasuk dusta yang diperbolehkan
dengan menjanjikan sesuatu kepada istri yang sebenarnya dia tidak
berkeinginan untuk menepatinya, atau memintanya memilih , bahwa dia
akan membeli suatu kebutuhannya – istri – tertentu dengan harga demikian,
melebihi harga yang sebenarnya hanya untuk menjadikannya ridha. Karena
hal itu akan dapat terungkap sehingga menjadi sebab istri berburuk sangka
kepada suaminya. Dan hal itu akan mendatangkan kerusakan bukan
perbaikan47.
8. Larangan berbuat keji dan mengatakan perkataan yang
keji48
45 Al-Albani mengatakan didalam Ash-Shahihah : Diriwayatkan oleh Al-Humaidi didalam Musnadnya ( no. 329 ). As-Silsilah ( 1 / 817 ) no. ( 498 ). Dan hadits seperti yang anda lihat adalah hadits yang mursal. Akan tetapi silahkan lihat didalam As-Silsilah pada tempat yang 46 Syarh Shahih Muslm jilid 8 ( 16 / 135 )47 As-Silsilah Ash-Shahihah ( 1 / 818 )
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan manusia yang paling
sempurna kahlaknya. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat jauh
dari sifat seorang yang berkata buruk dan rendahan. Dan beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah melarang dari perkataan yang keji, melaknat,
perkataan yang kotor dan perkataan-perkataan batil lainnya.
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, beliau berkata: Bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Bukan seorang mukmin apabila dia
senang menghujat49, senang melaknat, seorang yang berkata keji dan
berkata buruk “50
Perkataan yang keji, dapat berarti beberapa makna. Terkadang bermakna
makian dan celaan dan perkataan dusta, sebagaimana didalam hadits
Abdullah bin Amru radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata : Tidaklah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang yang berkata keji dan sering berkata
kotor. Dan beliau seringkali mengatakan: Sesungguhnya sebaik-baik kalian
adalah yang paling baik akhlaknya “51
Dan terkadang bermakna : Berlebihan dalam berkata dan menjawab
perkataan52. Sebagaimana didalam hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau
berkata: Sekelompok Yahudi datang dan mengatakan : As-saamu ‘alaika
wahai Abul Qasim.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : wa’alaika.
Aisyah berkata : Saya mengatakan : bahkan jawablah: As-saamu wa adz-
dzaamu – kematian dan celaan bagi kalian - 53.
48 Didalam Al-Lisan : Seseorang berlaku fahisy, apabila dia mengatakan perkatan yang fahisy / keji. Seperti dikatakan: Seseorang telah mengatakan perkataan yang keji, dia seorang yang berkata keji, ucapannya keji ... Dan al-faahisy adalah seroang yang berkata keji dan kotor demikian juga perbuatannya. Dan al-mutafahhisy adalah seseorang yang berlebihan dalam mencaci orang dan bersengaja melakukannya. ( 6 / 325 – 326 ) bahasan : فحش49 Didalam Al-Lisan: Dan pada sebuah hadits: Tidaklah seorang mukmin seorang yang senang menghujat. Yakni sering melanggar kehormatan orang lain dengan mencela, ghibah dan semisalnya. Dan kaliamt tersebut berasal dari kalimat : tha’ana ( menghujat ) dengan wazan/timbangan : Fa’aalun.. Dan dari sinilah perkataan yang menghujat, dapat dengan harakat al-fathah dan adh-dhammah, apabila orang tersebut mencelanya. Diantaranya juga mencela nasab. ( 12 / 266 ) bahasan: طعن50 HR. Ahmad ( 3938 ), al-Bukhari didalam Al-Adab Al-Mufrad ( 312 ) dan lafazh diatas adalah lafazh beliau. Al-Albani menshahihkannya, dan At-Tirmidzi ( 1977 )51 HR. Al-Bukhari ( 3559 ), Muslim ( 2321 ), Ahmad ( 6468 ) dan At-Tirmidzi ( 1975 )52 Lihat : Lisan Al-‘Arab ( 6 / 325 )53 Adz-Dzaamu : aib/celaan ( lihat Lisan Al-‘Arab ( 12 / 219 ) bahasan: ذام
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ Wahai Aisyah
janganlah engkau menjadi seorang yang berkata keji “
Aisyah berkata : Tidakkah anda mendengar apa yang mereka katakan ?
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tidakkah hal tersebut telah
terjadi pada mereka apa yang mereka katakan. Saya berkata : Dan bagi
kalian. “54
Peringatan : Seorang yang sering melaknat tidak menjadi seorang yang jujur.
Dia akan diharamkan dari syafa’at dan perskasian pada hari kiamat. Dan
barang siapa yang melaknat sesuatu namun sesuatu itu tidak pantas
dilaknat, maka laknatnya akan kembali kepadanya.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ Tidaklah pantas bagi seorang yang
jujur untuk sering melaknat “55
Dari Abu Ad-Darda`, beliau berkata : Saya telah mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya orang-orang yang
sering melaknat tidak akanmenjadi saksi dan pemberi syafa’at pada hari
kiamat “56
Dan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata: Bahwa
seseorang melaknat angin disisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“ Janganlah engkau melaknat angin , karena angin hanyalah suatu yang
mendapat perintah. Dan sesungguhnya siapa saja yang melaknat sesuatu
yang tidak sepantasnya dilaknat maka laknat tersebut akan kembali
kepadanya “57
An-Nawawi mengatakan: “ Pada hadits diatas terdpat larangan melaknat
dan siapa saja yang berakhlak demikian tidak akan tterdapat pada dirinya
sifat-sifat terpuji. Dikarenakan laknat adalah doa yang dimaksudkan untuk
54 HR. Al-Bukhari ( 6024 ), Muslim ( 2165 ) dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, Ahmad ( 242330 ), At-Tirmidzi ( 2701 ) dan Ibnu Majah ( 3690 )55 HR. Muslim ( 2597 ), Ahmad ( 8242 ) dan Al-Bukhri didalam Al-Adab Al-Mufrad ( 317 )56 HR. Muslim ( 2598 ), dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, Ahmad ( 26981 ), Al-Bukhari didalam Al-Adab Al-Mufrad ( 316 ) danAbu Daud ( 4907 )57 HR. At-Tirmidzi ( 1978 ), Abu Daud ( 4908 ) dan Al-Albani menshahihkannya.
menjauhkan seseorang dari rahmat Allah ta’ala. Dan doa seperti ini bukanlah
akhlak kaum mukminin yang Allah sifati mereka sebagai kaum yang saling
menebar rahmat, tolong menolong dalam kebaikan dan takwa, menjadikan
mereka layaknya suatu bangunan yang saling menguatkan sebagian dengan
sebagian lainnya, bagaikan sebuah tubuh yang satu, dan seorang mukmin
mencintai segala sesuatu untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai
sesuatu untuk dirinya. Maka siapa saja yang mendoakan laknat saudaranya
sesama muslim yakni menjauhkannya dari rahmat Allah ta’ala, berarti dia
telah berada pada puncak pemutusan silaturrahim dan saling berjauhan. Dan
ini tujuan yang seorang muslim disukai untuk menerapkannya kepada
seorang kafir dan mendoakan laknat baginya. Dari sinilah pada sebuah
hadits yang shahih disebutkan : “ Melaknat seorang mukmi bagaikan
membunuhnya “58
Dikarenakan seorang yang membunuh akan memutuskan saudaanya dari
segala manfaat dniawiyah, sementara ini – laknat – akan memutuskannya
dari nikmat akhirat dan rahmat Allah ta’ala59.
Peringatan lainnya : Termasuk dosa yang paling besa bahkan tergolong
dosa-dosa besar, jikalau seseorang melaknat kedua orang tuanya.
Dari Abdullah bin ‘Amru radhiallahu ‘anhu beliau berkata : Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Sesungguhnya tergolong dosa-dosa
besar seseorang melaknat kedua orang tuanya. Ada yang mengatakan :
Wahai Rasulullah, bagaimanakah seseorang akan melaknat kedua orang
tuanya ?
Beliau menjawab : Orang tersebut mencaci bapak orang lain, lalu orang
tersebut mencaci bapaknya dan mencaci ibunya.” Pada lafazh Muslim : “
Beliau bersabda : Temasuk dosa-dosa besar seseorang menghujat kedua
orang tuanya. Para sahabat mengatakan: Wahai Rasulullah : Apakah
mungkin seseorang menghujat kedua orang tuanya ?
58 Penggalan hadits diatas, diriwayatkan oleh Al-Bukhari ( 6047 ), Muslim ( 110 ) dan Ahmad ( 15950 )59 Shahih Muslim bi-syarh An-Nawawi jilid 8 ( 16 / 127 )
Beliau bersabda: “ Benar. Dia mencaci bapak orang lain lalu orang tersebut
mencaci bapaknya dan mencaci ibu orang lain lalu orang tersebut mencaci
ibunya “60
9. Keutamaan seseorang meninggalkan perdebatan walau
dia dalam keadaan benar
Al-Miraa`u dalam arti etimologinya bermakna : Bersengketa dan berdebat. …
Asalnya dari bahasa adalah al-jidaal, dan seseorang mengindikasikan dalam
perdebatannya suatu perkataan dan sikap-sikap mental yang
mengindikasikan permusuhan dan selainnya.
Berasal dari kalimat: mariyat asy-syaah, Apabila anda memeras dan
mengeluarkan susunya61.
Dari Abu Umamah radhiallahu ‘anhu beliau berkata : Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Saya adalah pemuka dihamparan62
surga bagi siapa saja yangmeninggalkan perdebatan walau dia dalam
keadaan beanr. Dan di pertengahan surga bagi seseorang yang
meninggalkan kedustaan walau dlam keadaan bercanda, dan dibagian surga
yang tertinggi bagi yang terpuji akhlaknya “63
Pada hadits tersebut diterangkan bahwa siapa saja yang meninggalkan
perdebatan walau dia dalam keadaan jujur dan benar maka dia akan diberi
janji melalui lisan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebuah rumah
dihalaman surga.
60 HR. Al-Bukhari ( 5973 ),Muslim ( 90 ), ahmad ( 6493 ), At-Tirmidzi ( 1902 ) dan Abu Daud ( 5141 )61 Lisan Al-‘Arab ( 15 / 278 ), bahasan: مرا62 Didalam Al-Lisan ( 7 / 152 ), bahasan ربض : Ibnu Khalwaih mengatakan : rubudh al-madinah, dengan harakat adh-dhammah pada huruf ar-raa` huruf al-baa, berarti pondasinya, dan dengan harakat al-fathah, berarti yang berada disekitarnya.Dan pada hadits disebutkan: Saya adalah pemuka di rabadh al-jannah, yakni degan harakat fathah pada al-baa, maknanya yang disekitarnya diluar darinya. Penyerupaan dengan bangunan yang berada di sekitar kota dan berada dibawah benteng.63 HR. Abu Daud ( 4800 ).Al-Albani menghasankannya, lihat Ash-Shahihah ( 273 ). Dan dari hadits Anas bin Malik, diriwayatkan At-Tirmidzi ( 1993 ), Ibnu Majah ( 51 ), dengan mengganti lafazh hamparan surga dengan pertengahan surga.
Didalam A-Tuhfah : “ Hal itu dikarenakan dia telah berpaling dari
perusakan hati orang yang diajaknya berdebat dan mengahalunya
merupakan keluhuran jiwa dan penampakan kemuliaan keutamaan dirinya64.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
, beliau bersabda: memperdebatkan Al-Qur`an adalah kekufuran “65
Yakni memperdebatkan segala yang ada di dalam Al-Qur`an.
Dari Jundub bin Abdillah radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , beliau bersabda : “ Kalian bacalah Al-Qur`an atas apa yang dapat
menyatukan hati-hati kalian, dan apabila kalian bersengketa maka berdirilah
“66
Perengketaan yang dimaksud didalam hadits diatas adalah perbedaan
dalam memahami maknanya. Dan mungkin juga yang dimaksud adalah
perbedaan dalam tata cara pelaksanaannya. Dan ketika terjadi perbedaan
pendapat yang akan menyebabkan keburukan terhadap Al-Qur`an, seorang
muslim diperintahkan untuk menghentikan hal itu hingga tidak terjadi
keburukan dan perdebatan tidak mencuat semakin membesar.
An-Nawawi mengatakan : Perintah untuk meninggalkan perbedaan
tentang Al-Qur`an oleh para ulama dipahami pada perbedaan yang tidak
diperbolehkan ataukah perbedaan yang akan menimbulkan sesuaut yang
tidak diperbolehkan. Seperti perbedaan tentang Al-Qur`an itu sendiri atau
pada salah satu kandungan maknanya yang tidak ditoleransi adanya ijtihad,
ataukah perbedaan yang akan menyebabkan keraguan dalam masalah-
masalah furu’ agama. Adapun diskusi para ulama berkaitan dengan hal itu
untuk mendapatkan faedah dan menampilkan kebenaran, dan perbedaan
mereka dalam hal itu bukan suatu yang terlarang, melainkan suatu yang
diperintahkan dan keutamaannya nampak jelas. Kaum muslimin telas
sepakat akan hal ini dizaman sahabat hingga sekarang wallahu a’lam67.
64 Tuhfah Al-Ahwadzi ( 6 / 109 )65 HR. Ahmad ( 7789 ), Abu Daud ( 4603 ). Ibnul Qayyim mengatakan : Hasan. Lihat ‘Aun Al-Ma’bud jilid 6 ( 12 / 230 ). Al-Albani mengatakan : Hasan shahih.66 HR. Al-BUkhari ( 5060 )Muslim ( 2667 ), Ahmad ( 18337 ), Ad-Darimi ( 3359 ) 67 Syarh Shahih Muslim jilid 8 ( 16 / 188 )
Pada hadits diatas juga berisikan sugesti untuk membentuk
jama’ah/persatuan dan kesatuan. Serta peringatan dari perpecahandan
perselishan, larangan memperdebatkan Al-Qur`n tanpa alasan yang benar.
Dan diantara hal buruk dari perkara itu , jikalah nampak suatu argumentasi
ayat kepada suatu permasalahan yang menyelisihi pendapat nalar, maka
dengan segala bantuan nalar , analisa yang mendalam untuk mentakwilkan
ayat itu agar sesuai dengan nalar tersebut dan terjadi kesimpang siuran
dalam pertentangan itu. Sebagaimana disebutkan didalam Al-Fath68.
Faedah: As-Sa’di rahimahullah didalam menafsirkan firman Allah ta’ala :
“ Dan janganlah engkau mendebat mereka kecuali dengan perdebatan yang
zhahir “ ( QS. Al-Kahfi : 22 )
Beliau berkata: “ Dan janganlah engkau mendebat “ yakni bersengketa dan
menyampaikan argumentasi bagi mereka.
“ Kecuali dengan perdebatan yang zhahir “ yakni yang didasari dengan ilmu
dan keyakinan, dan juga terkandung faedah.
Adapun perdebatan yang didasari dengan kejahilan dan mereka-reka suatu
yang tidak diketahui, ataukah perdebatan yang tidak mendatangkan faedah,
tidak terdapat faedah agama dengan mengetahuinya , seperti –
memperdebatkan – jumlah Ashhabul kahfi, dan lain sebagainya, maka hal itu
pada banyaknya perdebatan dan analisa yang berkelanjutan tiada henti
hanya melalaikan waktu dan memberi pengaruh pada kecenderungan hati
tanpa faedah “69
10. Larangan membuat suatu kaum tertawa dengan
perkataan dusta
Sebagian manusia terlihat cenderung untuk mengada-adakan dan membuat
suatu perkataan dusta lalu disandarkan kepada dirinya atau kepada orang
lain dengan tujuan menjadikannya sebagai anekdot lucu bagi yang ada
68 Fathul Bari ( 8 / 721 )69 Taisiir Al-Kariim Ar-Rahman ( 5 / 24 ), surah Al-Kahfi : 22
dimajlis. Dan orang yang memprihaitnkan itu tidaklah mengetahui bahwa dia
telah tergelincir pada suatu perkara yang amat berat.
Mu’awiyah bin Haidah radhiallahu ‘anhu berkata: Sya telah mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Celakalah bagi yang
menceritakan sesuatu kemudian dia berusta pada ceritanya dengan tujuan
membuat kaum yang mendengarnya tertawa. Celakalah dia celakalah dia “70
11. Apabila seseoang menceritakan sesuatu kepada
saudaranya lalu dia berpaling maka yang diceritakannya
adalah suatu amanah
Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Apabila seseorang menceritakan
suatu cerita kepada saudaranya lalu dia berpaling menengok maka cerita
tersebut adalah suatu amanah “71
Beliau –semoga Allah mengampuninya- menerangkan hadits di atas,
dengan mengatakan: “ Ini adalah adab nabawiyah yang sangat agung.
Dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkategorikan seseorang yang
menengok kekanan dan kekiri sewaktu menceritakan sesuatu sebagai suatu
penyampaian rahasia untuk dijaga dan tidak disebar luaskan. Ibnu Raslan
mengatakan: Dikarenakan menengoknya dia adalah pemberitahuan kepada
orang yang diajaknya berbicara bahwa dia khawatir orang lain akan
mendengar ucapakannya, dan dia telah mengkhususkan dirinya dengan
rahasianya tersebut. Jadi menengoknya dia sama dengan ucapan: Simpanlah
ini dariku baik-baik, yakni dengarlah dariku lalu simpanlah dan ini
merupakan amanah bagimu72.
12. Mendahulukan yang lebih tua dalam berbicara
70 HR. Abu Daud ( 4990 ), al-albani menghasankannya, Ahmad ( 19519 ), At-Tirmidzi ( 2315 ), Ad-Darimi ( 2702 ) dan Al-Baghawi didalam Syarh As-Sunnah ( 4131 )71 HR. Abu Daud ( 4868 ), Al-Albani menghasankannya, Ahmad ( 14644 ) dan At-Tirmidzi ( 1959 )72 ‘Aun Al-Ma’bud jilid 7 ( 13148 )
Dalil akan hal itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rafi’ bin Khudaij dan
Shal bin Abu Hatsmah, keduanya mengatakan: Bahwa Abdullah bin Sahl dan
Muhaishah bin Mas’ud keduanya mendatangi Khaibar maka keduanya
terpisah dalam peperangan, kemudian Abdullah bin Sahl terbunuh,
datanglah Abdurrahman bin Sahl, Huwaishah dan Muhaishah keduanya anak
Mas’ud kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian mereka
membicarakan perkara sahabat mereka, mulailah dengan Abdurrahman dan
dia adalah orang yang paling kecil pada kaum tersebut, maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya : “ Agungkanlah orang tua”.-
Berkata Yahya ( Ibnu Mas’ud ) yakni diharapkan pembicaraan dari yang lebih
tua …al-hadits.73
Dan pula dikecualikan berdasarkan dengan perbuatan Ibnu Umar radhiallahu
‘anhuma, dimana beliau tidaklah mengedepankan dirinya dihadapan yang
lebih tua dari beliau.
Beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “
Kabarkan kepadaku suatu pohon, dimana perumpamaan pohon tersebut
laksana seorang muslim yang selalu memberi makan kapan saja seizin Rabb-
Nya dan daun-daunnya tidak berguguran.
Maka terbersit didalam hatiku bahwa pohon tersebut juga adalah pohon
korma. Namun saya tidak menyukai berbicara sementara ada Abu Bakar dan
Umar. Namun tatkala keduanya tidak memberi tanggapan bicara, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Pohon tersebut adalah pohon
kurma.
Kemudian tatkala saya keluar bersama bapakku, saya berkata : Wahai ayah,
sesungguhnya telah terbersit didalam hatiku bahwa ohon tersebut adalah
pohon kurma.
Beliau – Umar – berkata: Lalu apakah yang menghalangi engkau sehingga
tidak mengatakannya, seandainya engkau mengatakannya, maka engkau
lebih saya sengangi dari pada ini dan ini.
73 HR Al-Bukhari ( 6142 ), dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, Muslim ( 1669 ), At-Tirmidzi ( 1422 ), An-Nasa’I ( 4713 ), Abu Daud ( 4521 ), Ibnu Majah ( 2677 ). Dan lafazh dari Ahmad ( 15664 ), Malik ( 1630 ), dan Ad-Darimi ( 2353 ).
Ibnu Umar mengatakan : Tiada yang menghalangiku, selain saya melihat
anda dan abu Bakar tidak berbicara.”
Pada riwayat Muslim : “ Saya lalu berniat untuk mengatakannya, akan tetapi
dikaum tersebut ada orang-orang yang dituakan, hingga saya segan untuk
berbicara “.
Pada riwayat Ahmad : “ Lalu saya memperhatikan, ternyata saya adalah
yang termuda dari kaum yang ada, maka sayapun terdiam “74
Saya katakan : Atsar-atsar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
mengedepankan yang lebih tua atsar-atsar yang populer, sebagaimana
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengedepankan yang lebih tua ketika
bersiwak, sebagaimana telah disebutkan didalam adab-adab bertamu.
13. Tidak memotong pembicaraan
Diantara adab berbicara, adalah tidak memotong pembicaraan orang lain.
Dikarenakan mereka terkadang senang dalam melanjutkan perkataannya,
apabila sebagian diantara mereka berbicara dan memotong perkataan
pembicara, hal itu akan menjadikan pendengar sulit memahami dan menjadi
marah kepada yang memotong pembicaraan mereka.
Hal tersebut juga dikuatkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : Ketika kami bersama Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam didalam suatu majlis, dan beliau lagi berbicara
kepada suatu kaum, seorang Arab badui datang dan bertanya : Kapankah
daangnya hari kiamat.
Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan
pembicaraannya. Sebagian kaumm tersebut mengatakan: beliau mendengar
ucpan orang itu namun tidak menyukainya. Sebagian lainnya mengatakan :
Bahkan beliau tidaklah mendengarnya. Hingga beliau menyelesaikan
pembicaraannya,beliau berkata : Dimanakan yang menanyakan waktu
terjadinya hari kiamat ?
74 HR. Al-Bukhari ( 6044 ) dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, Muslim ( 2811 ), Ahmad ( 4585 ), At-Tirmidzi ( 2867 ) dan Ad-Darimi ( 282 )
Orang tersebut mengatakan : Saya berada disini wahai Rasulullah .
Beliau bersabda : “ Apabila amanah telah diabaikan, maka nantikanlah
datangnya hari kiamat “
Orang itu bertanya : Bagaimanakah amanah diabaikan ?
Beliau bersabda: “ Apabila suatu perkara diserahkan kepada bukan ahlinya
maka nantikanlah datangnya hari kiamat “75
Yang menjadi acuan pada hadits diatas adalah sabda beliau: “ Namun
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan pembicaraannya “,
yakni beliau tidak memutuskan pembicaraan beliau. Hal itu dikarenakan
yang berhak adalah yang membuka majlis bukan sipenanya ini. Maka
sepantasnyalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memotong
pembicaraan beliau hingga menyelesiakannya.
Namun dikecualikan juga dengan perkataan penerjemah Al-Qur`an, Ibnu
Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau mengatakan kepada ‘Ikrimah : “
Berbicaralah kepada kaum muslimin pada setiap jum’at sekali. Apabila anda
mengabaikannya maka jadikanlah dua kali, dan apabila mesti diperbanyak
maka tiga kali. Dan janganlah engkau menjadikan kaum muslimin menjadi
bosa dengan Al-Qur`an ini. Dan janganlah engkau menjumpai suatu kaum
yang tengah memperbincangkan sesuatu kemudian engkau
menceritakannya kepada mereka hingga memotong percakapan mereka dan
menjadikan mereka bosan. Akan tetapi diamlah engkau, apabila mereka
memintamu untuk menceritakan kepaa mereka maka beritahukanlah kepada
mereka, disaat mereka berkemauan untuk mendengarnya …al-hadits76
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma telah menerangkan bahwa sebab dari
larangan memotong pembicaraan, karena hal tersebut akan menyebabkan
kejenuhan dan kebisanan pada diri mereka. Kemudian beliau
mengarahkannya untuk duduk mendengarkan dengan baik. Apabila mereka
meminta anda untuk menceritakan – yakni hadits dan selainnya, penj- maka
75 HR. Al-Bukhari ( 59 ) dan Ahmad ( 8512 )76 HR. Al-BUkhari ( 6327 )
beritahukanlah kepada mereka, karena hal tersebut akan lebih menjadikan
penyampaian anda diterima.
14. Tenang dalam berbicara dan tidak tergesa-gesa.
Tergesa-gesa dalam bebricara akan menjadi sebab utama tidak
terpahaminya suatu penyampaian dengan baik oleh pendengar. Olehnya itu
perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah tergesa-gesa yang
akan menjadikan setiap yang duduk menyimaknya akan memahami yang
beliau katakan.
Pada sebuah hadits, dari Aisyah – ummul mukminin radhiallahu ‘anha –
berkata : “ Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila
menyampaikan suatu hadits, jikalau ada yang berkehendak untuk
menghitungnya niscaya dia akan dapat menghitungnya “. Pada riwayat
Muslim : “ Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah
menyampaikan suatu hadits dengan cepat sebagaimana kalian
menyampaikannya dengan cepat “
Pada riwayat Ahmad : “ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah
berbicara dengan cepat sebgaimana kalian berbicara dengan cepat. Beliau
berbicara dengan tanda pemisah yan akan dapat dihafalkan oleh yang
mendengarnya “77
Perkataan Aisyah : “ Bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah
menyampaikan hadits dengan cepat sebagaimana kaliam menyampakannya
dengan cepat “. An-Nawawi mengatakan : “ Memperbanyak dan saling
menyambungnya “78
Ibnu Hajar mengatakan : “ Maksudnya bahwa menyembung penyampaian
suatu hadits dengan tergesa-gesa , sebagiannya disampaikan setelah
sebagian lainnya agar yang mendengarkannya tidak tersamar “79
15. Merendahkan suara di saat berbicara
77 HR. Al-Bukhari ( 3568 ), Muslim ( 2493 ), Ahmad ( 25677 ), At-Tirmidzi ( 3639 ) dan Abu Daud ( 3654 )78 Syarh Muslim ilid 8 ( 16 / 45 )79 Fathul Bari ( 6 / 669 )
Allah ta’ala berfirman:
“Dan pelankanlah suaramu, karena sesungguhnya seburuk-buruk suara
adalah suara keledai “ ( QS. Lukman : 19 )
Firman Allah ta’ala : “ Dan pelankanlah suaramu “, suatu adab bersama
kaum manusia dan juga kepada Allah.
“ Dan sesungguhnya seburuk-buruk suara “ yakni yang paling jelek dan
paling hina , “ adalah suara keledai “.
Seandainya mengeraskan suara mengandung suatu faedah dan
mashlahat, tidaklah menjadi ciri khusus keledai yang anda telah ketahui
kehinaan dan kebodohannya. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Sa’di80.
Tidak disangsikan lagi jikalau mengeraskan suara kepada dorang lain
merupakan adab yang buruk, dan menunjukkan ketidak hormatan kepada
orang lain.
Asy-Syaikh Taqiyuddin mengatakan : “ Barang siapa yangmengangkat
suaranya kepada orang lain, setiap yang berakal sehat akanmengetahui
bahwa dia memiliki sikap kurang hormat kepada orang lain … Ibnu Zaid
emngatakan : seandainya mengangkat suara suatu yang baik tidaklah Allah
menjadikannya bagi seekor keledai81.
16. Beberapa lafazh dan kalimat yang harus dihindari
Dari lisan-lisan sebagian pembicara, terlepas beberapa ungkapan dan
lafazh-lafazh yang dilarang oleh syara’. Sebagian besar diantara mereka
tidaklah mengetahui hukumnya. Dan sebagian mengetahui hukumnya akan
tetapi mengucapkannya karena lupa. Dan yang paling buruk adalah yang
mengucapkannya dengan sengaja sementara dia mengetahuinya.
Pada kesempatan ini tidaklah memungkinkan bagi kita untuk mencakup
semua lafazh-lafazh tersebut, akan tetapi cukuplah bagi kita untuk
menyebutkan sebagiannya secara ringkas, karena sesuatu yang tidak dapat
dijangkau seluruhnya tidaklah lantas ditinggalkan sebagian besarnya.
80 Taisiir Al-Kariim Ar-Rahman fii Tafsiir Kalaam Al-Mannan ( 6 / 160 ) 81 Al-Adab Asy-Syar’iyah ( 2 / 26 )
Masalah: Sebagian kaum muslimin mengatakan bahwa membenarkan
lafazh bukan suatu yang urgen jikalau hati yang mengucapkannya selamat.
Jawab : Apabila yang dimaksud adalh membenarkan lafazh-lafazh
tersebut disesuaikan dengan bahasa Arab, maka perkataan ini benar
adanya. Karena bukanlah suatu yang urgen – dari tinjauan aqidah yang
selamat – jikalau lafazh-lafazh tersebut tidak selaras dengan bahasa Arab,
selama maknanya dapat dipahami dan selamat.
Namun jikalau yang dimaksudkan disini dengan memperbaiki lafazh-
lafazh pembicaraan, adalah meninggalkan lafazh-lafazh yang menunjukkan
kekufuran dan kesyirkan, maka perkataan tersebut tidaklah benar, bahkan
membenarkan lafazh-lafazh tersebut suatu yang urgen. Dan tidak mungkin
diaktakan kepada seseorang : silahkan lisan anda bebas mengucapkan
apapun juga selama niat anda benar, melainkan kita katakan: dengan
perkataan-perkataan tertentu yang telah disampaikan oleh syariat Islam.
Demikian yang dikatakan oleh Ibnu ‘Utsaimin82.
a. Lafazh-ladazh pengkafiran, tabdi’ – tuduhan sebagai pelaku bid’ah –
dan tafsiq – tuduhan sebagai seorang fasik –
Telah diketahui sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Siapa saja yang
mengatakan kepada saudaranya wahai kafir, maka sungguh kalimat itu
tertuju kepada salahsatu dari keduanya “ Dan pada riwayat Abu Daud : “
Siapa saja seorang muslim yang mengkafirkan seorang muslim lainnya,
maka apabila dia memang seorang yang kafir, apabila tidak maka yang
menuding itulah yang kafir “83
Sekelompok manusia yang Allah butakan mata hati mereka dan
melanggar kehormatan orang lain dengan ucapan takfir, tabdi’ dan tafsiq.
Seolah-olah Allah mereka smebah dengan perkataan itu. Diantara mereka
ada yang menggunakan ungkapan takfir, tabdi’ atau tafsiq secara mutlak
dengan hati yang lapang, sementara para ulama as-salaf dari generasi
82 Fatawa Al-‘Aqidah ( Daar Al-Jiil, Maktabah As-Sunnah ) cet. 2 1414 H ( hal. 730 )83 HR. Al-BUkhari ( 6104 ) dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, Muslim ( 60 ), Ahmad ( 4673 ), At-Tirmidzi ( 2637 ), Abu Daud ( 4687 ) dan Malik ( 1844 )
sahabat dan para Imam Islam yang meniti jalanpetunjuk mereka – seperti
Abu Hanifah, Malik,Asy-Syafi’I dan Ahmad – mereka demikian berhati-hati
dengan ibarat itu. Terlebih dalam ungkapan takfir. Dimana mereka
tidaklah mengucapkan sedikitpun dari lafazh itu kecuali setelah ada pada
mereka dalil-dalil yang tidak ada keraguan lagi padanya. Dan juga telah
tertiadakan pada diri seseorang yang dituju segala penghalang, dan
argumen telah tersampaikan kepadanya.
Dari Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam khuthbah beliau pada hari ‘Iedul Adha
mengatakan: “ … Sesungguhnya darah kalian, harta benda kalian dan
kehormatan kalian haram atas diri sesama kalian.Sebagaimana haramnya
hari ini bagi kalian , pada bulan ini, dan dinegeri ini. Dan yang hadir
seharusnya menyampaikan kepada yang tidak hadir, dan karena yang
hadir bisa jadi menyampaikannya kepada yang lebih memahaminya “84
b. Perkataan seseorang: Bahwa celakalah kaum manusia.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu beliau berkata: bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ Apabila seseorang mengatakan
bahwa kaum manusia telah celaka, maka dialah yang paling celaka
diantara mereka “85
Sabda beliau : “ Maka dialah yang paling celaka diantara mereka “,
dengan hukum rafa’ – sebagai khabar mubtada`, penj - dan juga
diriwayatkan dengan fathah – yakni fi’il madhi wazan af’ala,penj – yakni
dialah yang menyebabkan mereka celaka, bukan mereka yang binasa
secara hakikatnya “86
An-Nawawi mengatakan: “ Para ulama sepakat atas celaan ini,
sesungguhnya dia bagi orang yang mengatakannya adalah untuk
meremehkan orang lain, menyombongkan diri dihadapan mereka,
84 HR. Al-Bukhari ( 67 ) dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, Muslim ( 1679 ), ahmad ( 19873 ), Ad-Darimi ( 1916 )85 HR. Muslim ( 2623), Ahmad ( 9678 ), Abu Daud ( 4983 ), Malik ( 1845 ), Al-Bukhari didalam Al-Adab Al-Mufrad ( 759 )86 Lihat Syarh Shahih Muslim jilid 8 ( 16 / 150 )
mengutamakan dirinya atas mereka dan menjelekkan keadaan- keadaan
mereka dikerenakan dia tidak mengetahui rahasia Allah pada ciptaan-
Nya, mereka berkata : Adapun yang mengatakan demikian dalam
keadaan sedih ketika dia melihat pada dirinya dan pada orang lain ada
kekurangan dalam perkara agama maka hal tersebut tidak mengapa.
Sebagaimana dia berkata : Saya tidak mengetahui ummat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali mereka semuanya mendirikan
shalat. Demikianlah penafsiran Imam Malik dan diikuti oleh kaum
muslimin.
Al-Khaththabi mengatakan : “ Maknanya bahwa seseorang akan selalu
mencela kaum muslimin dan menyebutkan keburukan mereka dan
mengatakan kaum manusia telah rusak dan semsial perkataan itu.
Apabila dia melakukan hal itu maka dialah orang yang paling binasa dan
paling buruk keadaannya diantara mereka. Karena dosa yang
menyertainya karena mencela dan melecehkan mereka. Dan terkadang
hal tersebut akan mengakibatkan sifat ‘ujub – kekaguman pada diri
sendiri – dan memandang bahwa dirinyalah yang paling baik diantara
mereka. Wallahu a’lam87.
c. Bersumpah kepada selain Allah
Hanya Allah subhanahu wata’ala semata yang boleh bersumpah
dengan nama makhluk-Nya yang dikehendaki-Nya. Karena Dialah Al-
Khalik yang dapat berbuat sekehendaknya pada kerajaan-Nya. Sementara
kaum manusia, jin, pepohonan, gunung, langit dan bumi adalah makhluk
ciptaan-Nya, maka Allah dapat bersumpah dengan segala yang Dia
kehendaki.
Adapun makhluk, tidaklah diperbolehkan bersumpah dengan selain
penguasa mereka dan yang menciptakan mereka. Al-Hafidz mengatakan:
“ para ulama berpendapat , hikmah dari larangan bersumpah kepada
selain Allah karena bersumpah kepada sesuatu menunjukkan
87 Syarh Muslim jilid 8 ( 16 / 150 )
pengagungan kepada sesuatu tersebut. Sedangkan keagungan yang
sebenarnya hanya teruntuk kepada Allah semata88.
Sumpah yang dilakukan oleh makhluk dapat dengan salah satud ari
tiga huruf sumpah , yaitu: al-wawu, al-baa`, at-taa`. Anda mengatakan:
Tallahi, Billahu dan Wallahi.
Ataukah bersumpah dengan ‘izzah Allah, sifat-sifat-Nya, kalimant-kalimat-
Nya.
Al-Bukhari mengatakan : Bab. Al-Halaf bi-‘izzatillahi wa shifatihi wa
kalimaatihi – Bab. Bersumpah dengan ‘izzah/kemuliaan Allah, sifat-sifat-
Nya dan kalimat-kalimat-Nya -, kemudian beliau mengatakan : … Abu
Hurairah mengatakan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Seseorang
akan berada diantara surga dan neraka, lalu dia berkata: Wahai Rabb-ku,
palingkanlah wjaahku dari api neraka , Demi kemuliaan-Mu saya tidaklah
memohon kepada selain Engkau.”89
Dan sumpah juga dapat dengan meniyandarkan salah satu makhluk
ciptaan Allah kepada-Nya, seperti menyandarkan ka’bah, langi dan bumi
kepada Allah subhanahu wata’ala. Sebagaiman perkataan anda:” Demi
Rabb ka’bah, demi Rabb langit dan lain sebagainya, dengan mensucikan
Allah jalla wa ‘ala dari penyandaran makhluk-makhluk Allah yang
dianggap buruk penyebutannya. Walaupun Allah yang menciptakannya,
akan tetapi adab berasama allah mengharuskan seperti itu.
Sebagaimana doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkenal : “
Dan segala keburukan tidaklah disandarkan kepada Engkau “90
Sedangkan Allah adalah oencipta segala kebaikan dan keburukan.
Dan ada beberapa lafazh yang telah didengarkan dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam , yang temasuk kedalam tiga lafazh sumpah
sebelumnya. Seperti sabda beliau :Ayyamillah, sabda beliau : Demi Zat
88 Fathul Baari ( 11 / 540 )89 Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Aiman wa An-Nudzur90 HR. Muslim ( 771 ), Ahmad ( 805 ), At-Tirmidzi ( 3422 ), An-Nasaa`I ( 897 ), Abu Daud ( 760 ) dan Ad-Darimi ( 1314 )
yang jiwaku berada ditangan-Nya. Dan sabda beliau : Tidaklah Demi Zat
yang membolak-balikkan hati “91
Dan barang siapa yang bersumpah kepada selain Allah, maka dia telah
kafir atau telah berbuat syirik, sebagaimana yang diterangkan didalam
hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma. At-Tirmidzi meriwayatkan : “
Bahwa Ibnu Umar telah mendengar seseoran mengatakan : Tidaklah demi
Ka’bah. Maka Ibnu Umar mengatakan : Janganlah bersumpah kepada
selain Allah karena saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “ Barang siapa yang bersumpah kepada selain Allah
maka dia telah kafir atau berbuat syirik “92
Hadist tersebut sebagaimana yang anda lihat berlaku umum pada
larangan bersumpah kepada segala sesuatu selain Allah. Dan beberapa
hadits lainnya dalam lafazh yang lebih spesifik. Seperti larangan
bersumpahdengannenek moyang. Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma,
beliau berkata : “ Bahwa beliau menjaumpai Umar bin Al-Khathtba diatas
kendaraan sementara Umar bersumpah dengan nama bapaknya. Maka
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru kepadanya : “
Ketahuilah sesungguhnya Allah telah melarang kalian bersumpah atas
naman nenek moyang kalian, barang siapa yang bersumpah hendaknya
dia bersumpah atas nama Allah dan jika tidak maka diamlah “93
Dan diantaranya bersumpah dengan amanah. Dari Buraidah
radhiallahu ‘anhu beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “ Barang siapa yang bersumpah dengan amanah maka dia
bukan bagian dari kami “94
Dan juga termasuk dari hal itu , adalah larangan bersumpah dengan Nabi,
bersumpah dengan kehidupan,denganmengatakan : Demi kehidupanku
91 HR. Al-Bukhari ( 6627 ), ( 6628 ) dan ( 6629 )92 HR. At-Tirmidzi ( 1535 ), dan beliau mengatakan : Hadist hasan, Ahmad ( 6036 ), Abu Daud ( 3251 ) dan Al-Albani menshahihkannya.93 HR. Al-Bukhari ( 6646 ), Muslim ( 1646 ), Ahmad ( 4534 ), At-Tirmidzi ( 1533 ), an-Nasaa`I ( 3766 ), Abu Daud ( 3249 ), Ibnu Majah ( 2094 ), Malik ( 1027 ) dan Ad-Darimi ( 2341 )94 HR. Abu Daud ( 3253 ), dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, al-albani menshahihkannya, Ahmad ( 22471 )
ataukah demi kehidupan si fulan dan lains ebagainya yang berupa
sumpah kepada selain Allah.
d. Bersumpah dengan kalimat talak.
Telah tersebar disebagian kaum manusia yang jahil sumpah dengan
talak. Dengan mengatakan : Bagiku talak, untuk melakukan hal ini ,
ataukah mengatakan: Bagiku – berlaku – talak tiga , saya tidak akan
melakukannya dan lain sebagainya.
Orang yang jahil ini bisa menyebabkan kehancuran rumah tnagganya,
kezhaliman kepada keluarganya yang sama sekali tidak berdosa. Namun
dosa adalah dosa yang diperbuatsi pandir ini yang mempergunakan
lisannya tanpa memperhatikan dan melihat akibat dari semua perkara
tersebut. Bisa jadi perkara yang dia hendak sumpahkan tersebut adalah
sesuatu yang tidak bernila, semisal seseorang bersumpah bagi seseorang
lainnya agr dia masuk kedalam rumahnya.
Bersumpah dengan talak ini, perkara yang diperselisihkan oleh para
ulama, ketika yang terjadi adalah melanggar sumpahnya. Mayoritas
ulama berpendapat bahwa seseorang yang melanggar sumpahnya wajib
jatuh talak. Dan sebagian ulama berpendapat disamakan dengan sumpah
al-yamiin, dan harus baginya untuk membayar kaffarah sumpah tersebut
ketika dia melanggarnya.
Ibnu ‘Utsaimin mengatakan dalam salah satu jawaban beliau : “ Adapun
mereka yang bersumpah dengan talak untuk melakukan hal demikian,
atau mengharuskan talak jika tidak melakukan hal demikian, ataukah jika
engkau melakukan hal demikian maka istriku tertalak, ataukah jika
engkau tidak melakukan hal meikian akan istrikau tertalak dan yang
serupa dengan sighat-sighat itu, maka perbuatan ini adalah perbuatan
yang menyalahi tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sebagian
besar ulama bahkan ini pendapat mayoritas ulama : Bahwa apabila dia
melanggar sumpahnya maka wajib jatuh talak darinya kepada istrinya.
Walau pendapat yang terpilih , apabila kalimat talak dipergunakan dalam
pemakaian sumpah al-yamiin, yaitu ketika diniatkan hanya untuk
mendorong dilakukannya sesuatu, menolak sesuatu, untuk membenarkan
atau mendustakan atau mempertegas pernyataan, maka hukumnya
adalah huku sumpah al-yamin. Berdasarkan firman Allah ta’ala :
“ Wahai Nabi mengapakah engkau mengharamkan apa yang Allah telah
halalkan bagimu, hanya untuk mendapatkan keridhaan istri-istrimu. Dan
Allah adalah Zat yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih.
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian semua untuk berlepas
dari sumpah kalian “ (QS. At-Tahrim : 1 – 2 )
Allah menjadikan pengharaman – istri – sebagai suatu sumpah yamiin.
Dan juga berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Sesunguhnya semua maal berdasarkan niatnya, dan masing-masing
orang disesuaikan dengan niatnya “
Dan orang ini tidaklah meniatkan talak, melainkan hanya meniatkan
sumpah biasa ataukah hanya meniatka suatu yang semakna dengan
sumpah yamiin. Apabila dia melanggar sumpahnya maka cukup baginya
untuk membayarkan kaffarah sumpahnya. Inilah pendapat yang terpilih95
e. Perkataan seseorang kepada seorang munafik : tuan atau wahai
tuanku
Diteangkan didalam hadits Buraidah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Janganlah kalian
mengatakan kepada seorang munafik tuan. Karena apabila dia seorang
tuan maka sesungguhnya kalian telah membuat Rabb kalian ‘azza wajalla
murka kepada kalian “96
Sabda beliau : “ Apabila dia seorang tuan “ yakni yang dipertuan suatu
kaum atau yang mempunyai hamba sahaya laki-laki dan wanita dan harta
yang melimpah ,” Maka sesungguhnya kalian telah membuat murka Rabb
kalian ‘azza wajalla “, maknanya kalian telah menjadikannya murka
95 Fatawa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al –‘Utsaimin ( 2 / 796 )96 HR. Abu Daud ( 4977 ),dan lafazh diatas adlah lafazh beliau. Al-Albani menshahihkannya, Ahmad ( 22430 )dan Al-Bukhari didalam Al-Adab Al-Mufrad ( 760 )
karena telah mengagungkan orang tersebut, sedangkan dia tidak
selayaknya berhak dengan pengagungan. Bagaimana pula jikalau dia
bukan seorang tuan dari salah satu dari makna tersebut, dan dia
bersamaandenganitu hal tersebut adalah suatu kedustaan dan
kemunafikan … Ibnu al-Atsir mengatakan : “ Janganlah kalian
mengatakan kepada seorang munafik tuan, karena jikalau dia seorang
tuan bagi kalian maka dia adalah seorang mnafik, dimana keberadaan
kalian lebih rendah dari keadaannya. Dan Allah tidaklah meridhai hal itu
bagi kalian. Demikian disebutkan didalam ‘Aun Al-Ma’bud97
Catatan penting : Sebagian besar kaum muslimin yang mempelajari
percakapan bahasa Inggris tersebar meluas penggunaan kalimat : Mister,
dalam percakapan mereka mengikuti kebiasaan orang-orang Inggris.
Yang semakna dengan kalimat tuan atau tuanku. Dan larangan berlaku
pada seorang munafik, maka lebih utama tentunya terlarang dalam
menyapa seorang kafir dan memanggilnyadenganlafazh ini. Dan ibrah
adalah mengikuti makna bukan dengan bentukan katanya. Wallahu a’lam.
Ibnul Qayyim mengatakan didalam Ahkam Ahlu Adz-Dzimmah : Pasal.
Menyapa ahlul kitab dengan tuanku dan maula-ku. Dan adapun menyapa
dengan kalimat tuan kami dan maula kami dan semisalnya adlah
perbuatan yang pasti haram98.
f. Mencela masa/zaman
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Allah ‘azza wajalla berfirman :
“ Adam Adam telah menyakitiku, dia menghina masa sedangkan Aku
adalah masa. Ditanganku segala perkara, Aku membolak-balikkan malam
dan siang “99
Pada riwayat Ahmad : “ Janganlah kalian mencela masa, karena
sesungguhnya Allah ‘azza wajalla berfirman : Akulah masa, hari demi hari
97 Syarh Sunan Abu Daud jilid 7 ( 13 / 221 )98 ( 3 / 1322 )99 HR. Al-Bukhari ( 4826 ), Muslim ( 2246 ), Ahmad ( 7204 ), Abu Daud ( 5274 ) dan Malik ( 1846 )
dan malam demi malam milik-Ku,Aku memperbaruinya dan
mensilihgantikannya dan Aku mendatangkan kekuasaan setelah
kekuasaan – yang pertama “100
Termasuk kebiasaan dizaman Jahiliyah bahwa mereka apabila
ditimpakan bencana atau musibah mereka mencela masa. Dan sebagian
ummat ini – walau mereka minoritas – yang memangdianggap sebagai
orang-orang jahil, anda akan menjumpainya menceritakan hal itu dari
mereka ketika ditimpa musibah.
Dan pada hadits diatas berisikan larangan mencela masa. Hal itu
disebabkan karena mencela masa tiada lain adalah mencela Sang
Pencipta masa, Yang mengaturnya dan Yang membolak-balikkannya.
Maka mereka dilarang untuk mencela masa agar mereka tidak terperosok
dalam mencela Sang Pencipta masa101.
Masalah : Apakah dikatakan ini “ zaman tandus/gersang “ atau zaman
pengkhianatan atau wahai zaman yang mengecewakan yang saya telah
melihatmu ditempat tersebut ?
Jawab : Ibnu ‘Utsaimin – hafidzahullah – mengatakan: Ungkapan-
ungkapan ini yang disebutkan pada soal ditinjau dari dua sisi :
Pertama : Jika ungkapan-ungkapan tersebut berupa celaan yang
hinaan pda zaman, maka ini suatu yang haram, tidak dipebolekan.
Dikarenakan apapun yang terjadi pada suatu zaman, maka datangnya
dari Allah ‘azza wajalla. Barang siapa yang mencelanya berarti mencela
Allah. Dari sinilah Allah ta’ala berfirman didalam hadits qudsi : “ Anak
Adam telah menyakiti-Ku dengan mencela masa, sedangkan Akulah
masa, Ditangan-Ku segala perkara, Aku membolak-balikkan siang dan
malam “
Tinjauan yang kedua : Mengatakannya sebagai pemberitahuan , dan
ini suatu yang diperbolehkan. Diantaranya firman Allah ta’ala berkenaan
100 HR. Ahmad ( 10061 ). Ibnu Hajar mengatakan : Sanadnya shahih. Lihat Fathul Bari ( 10 / 581 )101 Lihat Fathul Bari ( 8 / 438 ) dan Syarh Shahih Muslim jilid 8 ( 15 / 4 )
dengan Luth ‘alaihis salam : “ Dan beliau berkata inilah hari yang amat
sulit “
Yakni hari yang keras . Dan semua orang mengatakan : Ini adalah hari
yang sangat keras/sulit. Hari ini terdapat perkara ini dan ini, dan ini
perkataan yang tidak mengapa.
Adapun perkataan : “ Ini zaman pengkhianatan “, adalah ungkapan
celaan karena sifat khianat/menipu adalah sifat tercela dan tidak
diperbolehkan.
Sedangkan perkataan : “ Wahai zaman yang mengecewakan yang mana
saya melihatmu berada dizaman tersebut “ Apabila yang dimaksud yakni
wahai kekecewaanku/kegagalanku, maka ini tidaklah mengapa. Dan
bukan tergolong celaan kepada masa. Dan apabila yang dimaksud adalah
zaman atau hari maka ini termasuk celaan dan tidak diperbolehkan “102
g. Perkataan : Haram bagimu atau haram bagimu melakukan hal
demikian
Tidak diperbolehkan menyifati sesuatu dengan pegharaman kecuali
sesuatu tersebut telah diharamkan oleh Allah atau Rasul-Nya. Hal itu
adalah menyifati sesuatu yang bukan suatu yang haram dengan
pengharaman – walaupun niatnya selamat -. Pada hal tersebut
mengandung unsur melampaui batas pada sisi Rububiyah Allah. Dan
mempersangkakan seolah-olah hal tersebut sesuatu yang haram, padahal
tidak demikian. Dan yang lebih selamat bagi seseorang pada agamanya
supaya menjauhi lafazh ini.103
Dan dikhawatirkan atas orang yang mengatakannya termasuk kedalam
keumuman firman Allah Ta’ala :
“ Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh
lidahmu secara dusta “ Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah. Seseungguhnya orang-orang yang mengada-
102 Fatawa Al-‘Aqidah ( hal. 614 – 615 )103 Silahkan lihat Fatawa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Asyraf Abdul Makshud. Daar ‘Alimul Kutub, cet. Kedua 1412 H ( 1 / 200-201 )
adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung “. (An-Nahl : 116
)
Berkata Asy-Syaukani : “ Dan maknanya adalah janganlah kalian
mengharamkan dan mjanganlah kalian mengahalalkan, dikarenakan
perkataan yang engkau ucapkan dengannnya lisan-lisan kalian tanpa
adanya hujjah”.104
104 Fathul Qaadir ( 3 / 227 )