Acara II Tempe Fajar
-
Upload
sidiq-arianto -
Category
Documents
-
view
42 -
download
5
description
Transcript of Acara II Tempe Fajar
LAPORAN PRAKTIKUM
MIKROBIOLOGI INDUSTRI
ACARA II
TEMPE
Disusun Oleh :
Kelompok 07
1. Afifah M. H3112003
2. Candra Windu H3112017
3. Devi Indra Q. H3112023
4. Dhoni Lesar H3112024
5. Fajar Nurus R. H3112035
6. Farhana Yusuf H3112037
7. Siska Susilowati H3112083
8. Yosiah Alexander H3112095
PROGRAM STUDI DIII TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014
ACARA II
TEMPE
A. Tujuan Praktikum
Tujuan praktikum Acara II Tempe adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui cara pembuatan tempe yang baik dan benar.
2. Dapat mendeskripsikan perubahan dan perbedaan pada tempe dari berbagai
ragi yang digunakan.
3. Mengetahui perbedaan ragi dan jenis kedelai yang digunakan terhadap
karakteristik tempe yang dihasilkan.
B. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Bahan
Kedelai (Glycine max (L.) Merr) merupakan sumber protein nabati
yang sangat penting dalam kehidupan. Protein yang terdapat pada kedelai
yaitu sebesar 35%, bahkan pada varietas unggul memiliki kadar protein
yang tinggi sekitar 40-43%. Di Indonesi kedelai banyak diolah menjadi
produk pangan, 50% kedelai sebagai bahan pangan diolah menjadi tempe
dan sisanya diolah menjadi tahu, oncom, susu kedelai, dan lain-lain. Kedelai
merupakan bahan baku utamadalam proses pembuatan tempe, untuk
membuat tempe dengan kualitas rasa yang enak dibutuhkan beberapa
persyaratan bahan bakukedelai, disamping itu juga diperlukan adanya
ketersedian kedelai yang cukup untuk menjamin kelangsungan usaha
(Mujianto, 2013).
Pemakaian kedelai sangat mempengaruhi kualitas tempe yang
dihasilkan, kedelai yang mempunyai pengaruh besar terhadap bahan baku,
antara lain ketersediaan kedelai, kualitas kedelai, dan kedelai yang dipakai.
Kedelai impor lebih bulat dan ukuran lebih besar, ini yang akan
membedakan hasil akhir tempe yang lebih padat dan butiran kedelai yang
telah jadi tempe akan lebih bagus dibandingkan kedelai lokal
(Hedger, 1982).
Kedelai lokal mempunyai peranan yang kecil bila dibandingkan
dengan kedelai impor. Selain ituMenurut Mujiyanto (20013) ragi tempe
merupakan sediaan fermentasi atau dikenal dengan stater yang mengandung
mikroorganisme yang mempunyai peran penting dalam fermentasi tempe,
mikroorganisme tersebut berasal dari jenis kapang Rhizopus diantaranya
Rhizopusoligosporus, Rhizopus oryzhae, dan Rhizopusstolonifer. Beberapa
sifat penting dari Rhizopus oligosporus antara lain meliputi: aktivitas
enzimatiknya, kemampuan menghasilkan antibiotika, biosintesa vitamin
vitamin B, kebutuhannya akan senyawa sumber karbon dan nitrogen,
perkecambahan spora, dan penertisi miselia jamur tempe ke dalam jaringan
biji kedelai (Deliani, 2008).
Untuk membuat tempe, selain diperlukan bahan dasar kedelai juga
diperlukan ragi. Ragi merupakan kumpulan spora mikroorganisme, dalam
hal ini kapang. Dalam proses pembuatan tempe, paling sedikit diperlukan
empat jenis kapang dari genus Rhizopus, yaitu Rhizopus oligosporus,
Rhizopus arrhizus, Rhizopus stolonifer dan Rhizopus oryzae. Miselium dari
kapang tersebut akan mengikat keping-keping biji kedelai dan
memfermentasikannya menjadi produk tempe. Proses fermentasi tersebut
menyebabkan terjadinya perubahan kimia pada protein, lemak, dan
karbohidrat. Perubahan tersebut menigkatkan kadar protein tempe sampai
sembilan kali lipat (Warisno dan Kres, 2010).
Kapang tempe bersifat aerob obligat membutuhkan oksigen untuk
pertumbuhannya sehingga apabila dalam proses fermentasi itu kurang
oksigen, maka pertumbuhan kapang akan terhambat dan proses
fermentasinya pun tidak berjalan lancar. Oleh karena itu, pada pembungkus
tempe biasanya dilakukan penusukan dengan lidi yang bertujuan agar
oksigen dapat masuk dalam bahan tempe. Sebaliknya, jika dalam proses
fermentasinya kelebihan oksigen, dapat menyebabkan proses
metabolismenya terlalu cepat, sehingga suhu naik dan pertumbuhan kapang
terhambat (Santoso, 2005).
Rhizopus sp untuk inokulum biasanya diambil dari daun bekas
pembungkus tempe, yang dikenal dengan sebutan usar. Usar dibuat dengan
membiarkan spora Rhizopus dari udara tumbuh pada tempematang yang
ditaruh diantara dua lapis daun, permukaan bagian bawah kedua daun
tersebut memiliki rambut-rambut halus (trikoma) di mana spora dan
miselium kapang dapat melekat. Setelah terjadi pertumbuhan maka
Rhizopus sp. pada tahap selanjutnya akan membentuk spora yang berfungsi
sebagai benih untuk berkembangbiak, setelah tahap ini usar siap dijadikan
sebagai pembungkus tempe (Darajat dkk, 2014). Potongan-potongan daun
tersebut kemudian diambil, dikeringkan dibawah sinar matahari kemudian
disimpan sampai saat digunakan. Daun yang biasanya digunakan untuk
keperluan tersebut ialah daun dadap (Erythrina spp), daun waru (Hibiscus
similis B1), daun jati (Tectona grandis Linn) atau daun pisang (Musa spp)
(Wipradnyadewi, 2012).
2. Tinjauan Teori
Menurut Hermana dalam Mujianto (2013) tempe merupakan produk
olahan kedelai yang nilai gizinya menjadi meningkat terutama protein,
lemak, karbohidrat, dan vitamin. Kandungan gizi tempe juga menjadi
mudah larut dalam air sehingga mudah dicerna bila dibanding dengan
kedelai, keuntungan yang lain terjadinya kerusakan zat-zat anti nutrisi pada
kedelai. Tempe adalah produk fermentasi yang terbuat dari kedelai yang
telah direndam dan dimasak untuk melunakkan mereka. Seperti roti adonan
asam, tempe membutuhkan zat pemula, yang ditambahkan kebiji dimasak.
Campuran ini dibiarkan selama 24 jam dan hasilnya adalah produk
bertekstur kuat dengan rasa agak gila dan tekstur yang mirip dengan jamur
kenyal (Babu et al., 2009).
Tempe adalah makanan hasil fermentasi yang populer di Indonesia
dibuat dari kacang-kacangan yang diinokulasi dengan jamur Rhizopus
oligosporus sehingga membentuk padatan kompak berwarna putih. Warna
putih disebabkan adanya miselia jamur yang tumbuh pada permukaan biji
kedelai. Jamur yang tumbuh pada kedelai tersebut menghasilkan enzim-
enzim yang mampu merombak senyawa organik kompleks menjadi
senyawa yang lebih sederhana, sehingga senyawa tersebut dengan cepat
dapat dipergunakan oleh tubuh (Deliani, 2008).
Fermentasi adalah perubahan kimia dalam bahan makanan yang
disebabkan oleh enzim dari kedelai yang mengandung enzim lipoksidase.
Bahan pangan umumnya merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan
berbagai jenis mikroorganisme. Selain meningkatkan mutu gizi, fermentasi
kedelai menjadi tempe juga mengubah aroma kedelai yang berbau langu
menjadi aroma khas tempe. Proses fermentasi pembuatan tempe memakan
waktu 36-48 jam. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan kapang yang hampir
tetap dan tekstur yang lebih kompak (Widodo, 2012).
Waktu fermentasi memberikan pengaruh dalam kualitas produk
suatu produk, produkfermentasi adalah produk yang dapat diterima baik
secara kenampakan, aroma serta nutrisi yang dihasilkan. Fermentasi dibantu
oleh mikroorganisme yang memiliki fase hidu logaritmik. Sehingga untuk
mendapatkan produk fermentasi yang terbaik harus mengetahui fase
pertumbuhan optimal dari mikroorganisme yang dimanfaatkan tersebut
(Darajat dkk, 2014).
Untuk membuat tempe dibutuhkan inokulum atau laru tempe atau
ragi tempe. Laru tempe dapat dijumpai dalam berbagai bentuk misalnya
bentuk tepung atau yang menempel pada daun waru dan dikenal dengan
nama Usar. Laru dalam bentuk tepung dibuat dengan cara menumbuhkan
spora kapang pada bahan, dikeringkan dan kemudian ditumbuk. Bahan yang
akan digunakan untuk sporulasi dapat bermacam-macam seperti tepung
terigu, beras, jagung, atau umbi-umbian. Selama proses fermentasi
karbohidrat dan protein akan dipecah oleh kapang menjadi bagian-bagian
yang lebih mudah larut, mudah dicerna dan ternyata bau langu dari kedelai
juga akan hilang. Kadar air kedelai pada saat sebelum fermentasi
mempengaruhi pertumbuhan kapang. Selama proses fermentasi akan terjadi
perubahan pada kadar air dimana setelah 24 jam fermentasi, kadar air
kedelai akan mengalami penurunan menjadi sekitar 61% dan setelah 40 jam
fermentasi akan meningkat lagi menjadi 64% (Santoso, 1993).
Jenis kapang yang terlibat dalam fermentasi tempe tidak
memproduksi toksin (racun) bahkan sebaliknya mampu melindungi tempe
terhadap aflatoksin dan kapang yang memproduksinya. Meskipun tempe
merupakan sumber gizi yang baik, tetapi tempe termasuk golongan bahan
pangan yang mudah rusak. Tempe segar yang baru jadi hanya dapat
disimpan selama 1-2 hari pada suhu ruang, setelah itu tempe akan rusak.
Kerusakan tempe yang terjadi terutama disebabkan oleh aktivitas enzim
proteolitik yang mendegradasi protein sehingga terbentuk amoniak yang
menyebabkan tempe tidak layak lagi dikonsumsi oleh manusia
(Fachruddin, 2000).
Proses pembuatan tempe melibatkan tiga faktor pendukung, yaitu
bahan baku yang dipakai (kedelai), mikroorganisme (kapang tempe), dan
keadaan lingkungan tumbuh (suhu, pH, dan kelembaban). Dalam proses
fermentasi tempe kedelai, substrat yang digunakan adalah biji kedelai yang
telah direbus dan mikroorganisme yang digunakan berupa kapang antara
lain Rhizopus olygosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer (dapat
terdiri atas kombinasi dua spesies atau ketiganya) dan lingkungan
pendukung yang terdiri dari suhu 30°C, pH awal 6.8, kelembaban nisbi
7080%. Selain menggunakan kapang murni, laru juga dapat digunakan
sebagai starter dalam pembuatan tempe (Dwinaningsih, 2010).
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan tempe
adalah oksigen, uap air, suhu dan keaktifan laru atau ragi tempe. Oksigen
dibutuhkan untuk pertumbuhan kapang. Aliran udara yang terlalu cepat
menyebabkan proses metabolisme akan berjalan cepat sehingga dihasilkan
panas yang dapat merusak pertumbuhan kapang. Oleh karena itu apabila
digunakan kantong plastik sebagai bahan pembungkusnya maka sebaiknya
pada kantong tersebut diberi lubang dengan jarak antara lubang yang satu
dengan lubang lainnya sekitar 2 cm. Uap air yang berlebihan akan
menghambat pertumbuhan kapang. Hal ini disebabkan karena setiap jenis
kapang mempunyai Aw optimum untuk pertumbuhannya. Pada suhu, kapang
tempe dapat digolongkan kedalam mikroba yang bersifat mesofilik, yaitu
dapat tumbuh baik pada suhu ruang (25-27ºC). Oleh karena itu, maka pada
waktu pemeraman, suhu ruangan tempat pemeraman perlu diperhatikan.
Dan keaktifan ragi tempe, laru yang disimpan pada suatu periode tertentu
akan berkurang keaktifannya. Karena itu pada pembuatan tape sebaiknya
digunakan laru yang belum terlalu lama disimpan agar dalam pembuatan
tempe tidak mengalami kegagalan (Boga, 2007).
C. Metodologi
1. Alat
a. Baskom
b. Nampan
c. Kompor
d. Solet
e. Saringan
f. Timbangan
g. Timbangan analitik
2. Bahan
a. Kedelai impor
b. Kedelai lokal
c. Air
d. Ragi tempe merk Raprima
e. Ragi tempe merk Cap Kodok
f. Ragi usar tradisional
g. Plastik bening
3. Cara Kerja
D. Hasil dan Pembahasan
Tabel 2.1 Hasil Pengamatan Pembuatan TempeKel Perlakuan Pengamatan
Kedelai Ragi Sebarank
apang
Warna Tekstur Aroma Gambar
1 Lokal Instan
raprima
+ + + + + + + + + + + + +
2 Impor Instan
raprima
+ + + + + + + + + + + +
3 Lokal Cap
kodok
+ + + + + + + + + + + +
4 Impor Cap
kodok
+ + + + + + + + + + + + +
5 Lokal Usar
tradisio
nal
+ + + + + + +
6 Impor Usar
tradisio
nal
+ + + + + + + +
7 Lokal Instan
raprima
+ + + + + + + + +
8 Lokal Instan
raprima
+ + + + + + + +
9 Impor Instan
raprima
+ + + + + + +
10 Lokal Cap
kodok
+ + + + + + + + + + + +
11 Impor Cap
kodok
+ ++ + + + ++ + + + + + +
12 Lokal Usar
tradisio
nal
+ + + + + + +
13 Impor Usar
tradisio
nal
+ + + + + + + + + + + + +
14 Lokal Usar
tradisio
nal
+ + + + + + +
Sumber : Laporan Sementara
Keterangan :Sebaran kapang Tekstur + + + + : sangat banyak dan merata + + + + : sangat padat+ + + : banyak, tidak merata + + + : padat+ + : sedikit + + : cukup padat+ : tidak tumbuh + : lunakWarna Aroma + + + + : putih cerah + + + + : sangat enak+ + + : putih kekuningan + + + : enak+ + : putih kecoklatan + + :tidak beraroma+ : putih kehitaman + :tidak enak, busuk
Bentuk dari tempe berupa padatan yang tersusun oleh kacang kedelai
yang dibungkus oleh miselia berwarna putih yang merupakan hifa dari jamur
spesies Rhizopus. Aktivitas fisiologis jamur pada proses fermentasi tempe
dimulai sejak diinokulasikannya inokulum pada kedelai yang telah siap
difermentasi. Spora jamur tersebut mulai tumbuh dengan membentuk benang-
benang hifa yang tumbuh makin memanjang, membalut dan menembus biji
kotiledon kedelai. Benang-benang tersebut semakin padat, membentuk tempe
yang kompak, putih dan dengan aroma khas tempe. Jamur berperan penting
dengan menghasilkan enzim-enzim yang menghidrolisis komponen kedelai dan
berkontribusi membentuk tektur, aroma dan flavor yang dikehendaki.
Pada Tabel 2.2 merupakan hasil pengamatan tempe pada kelompok 1
sampai kelompok 14 dengan penggunaan kedelai lokal dan impor, berbagai
jenis ragi seperti ragi bubuk merk Raprima, ragi bubuk merk Cap Kodok dan
ragi usar tradisional. Kelompok 1 memiliki sebaran kapang yang banyak
namun tidak merata dengan menggunakan kedelai lokal dan ragi instan
raprima. Selanjutnya tempe kelompok 2 memiliki sebaran kapang yang banyak
namun tidak merata dengan menggunakan kedelai impor dan ragi instan
raprima. Untuk tempe kelompok 3 memiliki sebaran kapang yang banyak
namun tidak merata dengan menggunakan kedelai lokal dengan ragi instan cap
kodok. Selanjutnya tempe kelompok 4 memiliki sebaran kapang yang banyak
namun tidak merata dengan menggunakan kedelai impor dengan ragi instan
cap kodok. Tempe selanjutnya memiliki sebaran kapang yang sedikit dengan
menggunakan kedelai lokal untuk kelompok 5 dan 7 dan kedelai impor untuk
kelompok 6 dengan ragi usar tradisional.
Dari parameter warna, menurut Widodo (2010) warna putih disebabkan
adanya miselia jamur yang tumbuh pada permukaan biji kedelai, tidak ada
warna lain yang ada pada tempe dan warna putih cerah adalah warna tempe
terbaiknya. Kelompok 1 dengan menggunakan kedelai lokal dan ragi instan
raprima memiliki warna putih kekuningan. Kelompok 2 dengan menggunakan
kedelai impor dan ragi instan raprima memiliki warna putih kekuningan.
Selanjutnya tempe kelompok 3 dengan menggunakan kedelai lokal dengan ragi
instan cap kodok memiliki warna putih kekuningan. Kelompok 4 dengan
menggunakan kedelai impor dengan ragi instan cap kodok memiliki warna
putih kekuningan. Tempe kelompok 5 menggunakan kedelai lokal dan ragi
usar tradisional memiliki warna putih kecoklatan. Selanjutnya tempe kelompok
6 menggunakan kedelai impor dengan ragi usar tradisional memiliki warna
putih kekuningan. Sedangkan tempe kelompok 7 menggunakan kedelai lokal
dengan ragi instan cap kodok memiliki warna putih kecoklatan. Pada shift 2,
urutan warna dari yang terbaik adalah kelompok 11 penggunaan kedelai
impor+ragi cap kodok dengan warna tempe putih cerah, lalu diikuti kelompok
10 dan kelompok 13 penggunaan kedelai lokal+ragi cap kodok dan kedelai
impor+usar tradisional dengan warna tempe putih kekuningan, lalupada
kelompok 8, 9, 12 dan 14 dengan masing-masing penggunaan kedelai
lokal+ragi raprima, kedelai impor+ragi raprima, kedelai loka+usar tradisional
dan kedelai lokal+usar tradisional memiliki warna putih kecoklatan.
Untuk parameter tekstur tempe kelompok 1 dengan menggunakan
kedelai lokal dan ragi instan raprima mempunyai tekstur yang sangat padat.
Untuk tempe kelompok 2 dengan menggunakan kedelai impor dan ragi instan
raprima mempunyai tekstur yang padat. Selanjutnya tempe kelompok 3 dengan
menggunakan kedelai lokal dengan ragi instan cap kodok mempunyai tekstur
yang padat. Untuk tempe kelompok 4 dengan menggunakan kedelai impor
dengan ragi instan cap kodok mempunyai tekstur yang sangat padat. Tempe
kelompok 5 menggunakan kedelai lokal dan ragi usar tradisional mempunyai
tekstur yang cukup padat. Selanjutnya tempe kelompok 6 menggunakan
kedelai impor dengan ragi usar tradisional mempunyai tekstur yang cukup
padat. Sedangkan tempe kelompok 7 menggunakan kedelai lokal dengan ragi
instan cap kodok mempunyai tekstur yang sangat padat. Kemudian pada shift
2, kelompok 10, 11 dan 13 dengan masing-masing penggunaan kedelai
lokal+cap kodok, kedelai impor+ragi cap kodok dan kedelai impor+usar
tradisional dengan tekstur tempe yang padat, kemudian pada kelompok 8, 9, 12
dan 14 dengan masing-masing penggunaan adalah kedelai lokal+ragi raprima,
kedelai impor+ragi raprima, kedelai loka+usar tradisional dan kedelai
lokal+usar tradisional dengan tekstur tempe yang hanya cukup padat. Menurut
Widodo (2010) tekstur yang baik adalah mempunyai bentuk dan kompak yang
terikat oleh miselium sehingga berwarna putih dengan kepadatan tempe yang
bagus dan bila diiris terlihat kepingan kedelainya. Ketidakrataan kapang
menyeragamkan kedelai dikarenakan karena proses fermentasi yang tidak
sempurna yang menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme yang terlibat tidak
dapat tumbuh secara optimal, selain itu pula penggunaan alat selama proses
pembuatan sampai fermentasi akan mempengaruhi kualitas tempe yang akan
dihasilkan.
Sedangkan parameter aroma untuk tempe kelompok 1 dengan
menggunakan kedelai lokal dan ragi instan raprima mempunyai aroma yang
enak. Untuk tempe kelompok 2 dengan menggunakan kedelai impor dan ragi
instan raprima mempunyai aroma yang enak. Selanjutnya tempe kelompok 3
dengan menggunakan kedelai lokal dengan ragi instan cap kodok mempunyai
aroma yang enak. Untuk tempe kelompok 4 dengan menggunakan kedelai
impor dengan ragi instan cap kodok mempunyai aroma yang enak. Tempe
kelompok 5 menggunakan kedelai lokal dan ragi usar tradisional mempunyai
aroma yang tidak enak dan busuk. Selanjutnya tempe kelompok 6
menggunakan kedelai impor dengan ragi usar tradisional mempunyai aroma
yang tidak enak dan busuk. Sedangkan tempe kelompok 7 menggunakan
kedelai lokal dengan ragi instan cap kodok mempunyai aroma yang tidak enak
dan busuk. Kemudian pada shift 2, kelompok 10, 11 dan 13 dengan masing-
masing penggunaan kedelai lokal+cap kodok, kedelai impor+ragi cap kodok
dan kedelai impor+usar tradisional dengan aroma tempe yang enak, sedangkan
padakelompok 8, 9, 12 dan 14 dengan masing-masing penggunaan adalah
kedelai lokal+ragi raprima, kedelai impor+ragi raprima, kedelai loka+usar
tradisional dan kedelai lokal+usar tradisional dengan aroma tempe yang tidak
enak karena busuk. Menurut Babu et al. (2009) tempe dengan kualitas baik
mempunyai ciri-ciri berwarna putih bersih yang merata pada permukaannya
memiliki struktur yang homogen dan kompak serta berasa berbau dan
beraroma khas tempe. Tempe dengan kualitas buruk ditandaidengan
permukaannya yang basah struktur tidak kompak adanya bercak bercak hitam,
adanya bau amoniak dan alkohol serta beracun.
Tahapan pembuatan tempe adalah penyortasian, perebusan,
perendaman, pencucian dan penghilangan kulit kedelai, pencucian kembali,
penirisan, pengukusan, penirisan kembali sampai kedelai dingin, inokulasi
tempe dan fermentasi. Pada penyortasian bahan bertujuan untuk memperoleh
produk daging kedelai yang bagus, padat dan berisi. Karena biasanya kedelai
akan tercampur bersama kotoran yang kemudian dilakukan pencucian untuk
menghilangkan kotoran tersebut yang melekat di kedelai. Kemudian pada
proses perendaman bertujuan untuk melunakkan biji kedelai dan memudahkan
dalam pengupasan kulit serta untuk menonaktifkan tripsin inhibitor yang ada
pada kedelai. Selama proses perendaman, biji mengalami proses hidrasi,
sehingga kadar air biji naik sebesar kira-kira dua kali kadar air semula yaitu
mencapai 62-65%. Dalam biji kedelai terdapat komponen yang stabil terhadap
pemanasan dan larut dalam air bersifat menghambat pertumbuhan Rhizopus
oligosporus dan juga dapat menghambat aktivitas enzim proteolitik dari jamur
tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa perendaman dan pencucian sangat
pentinguntuk menghilangkan komponen tersebut. Kemudian penghilangan
kulit, penghilangan ini menggunakan air mengalir agar memudahkan kulit
kedelai terkelupas dan dicuci kembali agar kulit kedelai yang mengapung dapat
terbuang dan di upayakan kulit kedelai sudah tidak ada pada calon tempe.
Kemudian perebusan terjadi proses hidrasi, makin tinggi suhu yang digunakan
makin cepat proses hidrasinya dan untuk mematikan mikroorganisme yang
tidak diinginkan tumbuh pada calon tempe.
Proses fermentasi yang terjadi pada tempe berfungsi untuk mengubah
senyawa makromolekul komplek yang terdapat pada kedelai (seperti protein,
lemak, dan karbohidrat) menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti peptida,
asam amino, asam lemak dan monosakarida. Spesies-spesies kapang yang
terlibat dalam fermentasi tempe tidak memproduksi racun, bahkan kapang itu
mampu melindungi tempe terhadap kapang penghasil aflatoksin, jamur yang
dipakai untuk membuat tempe dapat menurunkan kadar aflatoksin hingga 70%.
Selain itu tempe juga mengandung senyawa anti bakteri yang diproduksi
kapang selama fermentasi berlangsung (Ali 2008 dalam Dwinaningsih 2010).
Proses fermentasi pembuatan tempe memakan waktu 36 – 48 jam. Hal
ini ditandai dengan pertumbuhan kapang yang hampir tetap dan tekstur yang
lebih kompak. Jika proses fermentasi terlalu lama, menyebabkan terjadinya
kenaikan jumlah bakteri, jumlah asam lemak bebas, pertumbuhan jamur juga
menurun dan menyebabkan degradasi protein lanjut sehingga terbentuk
amoniak. Akibatnya, tempe yang dihasilkan mengalami proses pembusukan
dan aromanya menjadi tidak enak. Hal ini terjadi karena senyawa yang dipecah
dalam proses fermentasi adalah karbohidrat. Menurut Astawan (2004) dalam
Deliani (2008) tempe segar mempunyai aroma lembut seperti jamuryang
berasal dari aroma miselium kapang bercampur dengan aroma lezat dari
asamamino bebas dan aroma yang ditimbulkan karena penguraian lemak makin
lama fermentasi berlangsung, aroma yang lembut berubah menjadi tajam
karena terjadi pelepasan amonia.
Sifat organoleptik dari tempe berkaitan dengan bahan baku yang
digunakan, proses yang dilakukan, pertumbuhan jamur dan lama inkubasi.
Proses perendaman kedelai menyebabkan terjadinya fermentasi oleh bakteri
menimbulkan rasa dan aroma asam karena terbentuknya asam laktat. Pada
fermentasi oleh jamur terdegradasi senyawa organik seperti karbohidrat, lemak
dan protein, sehingga terbentuk citarasa khas tempe dan inkubasi semakin lama
menghasilkan aroma busuk. Di samping itu, fermentasi jamur terbentuk
benang-benang putih yang mengikat kedelai, sehingga terbentuk tekstur padat
dan menyatu. Semakin lama inkubasi warna putih pada hifa jamur berubah
menjadi hitam karena mulai terbentuk spora ngiospora (Nurrahman, 2012).
Mikroorganisme yang mempunyai peran penting dalam fermentasi
tempe berasal dari jenis kapang Rhizopus diantaranya Rhizopusoligosporus,
Rhizopus oryzhae, dan Rhizopusstolonifer. Beberapa sifat penting dari
Rhizopus oligosporus antara lain meliputi : aktivitas enzimatiknya, kemampuan
menghasilkan antibiotika, biosintesa vitamin vitamin B, kebutuhannya akan
senyawa sumber karbon dan nitrogen, perkecambahan spora, dan penertisi
miselia jamur tempe ke dalam jaringan biji kedelai. Faktor-faktor yang
mempengaruhi proses pembuatan tempe melibatkan tiga faktor pendukung,
yaitu bahan baku yang dipakai (kedelai), mikroorganisme (kapang tempe), dan
keadaan lingkungan tumbuh (suhu, pH, dan kelembaban).
Inokulum tempe digunakan sebagai agensia pengubah kedelai yang
telah mengalami proses perebusan dan perendaman menjadi tempe. Inokulum
tempe yang telah dikenal oleh masyarakat saat ini adalah usar dan inokulum
bubuk buatan LIPI. Usar merupakan inokulum tempe yang dibuat dari kedelai
yang telah diberi ragi dan diletakkan diantara dua lapis daun waru. Dalam
pembuatan usar, proses pengeringannya dilakukan di tempat terbuka sehingga
jumlah bakteri kontaminan pada usar lebih banyak dibandingkan inokulum
bubuk. Inokulum bubuk buatan LIPI merupakan biakan R. oligosporus.
Penentu kualitas ragi adalah konsentrasi spora yang aktif karena hal ini dapat
mempengaruhi kemampuan ragi dalam memfermentasi kedelai. Konsentrasi
mikroorganisme pada media fermentasi akan mempengaruhi jumlah sel yang
hidup dan aktif. Oleh karena itu perlu diketahui berapa konsentrasi kultur
murni yang terbaik untuk pembuatan inokulum tempe.
Ciri tempe yang “berhasil” adalah ada lapisan putih di sekitar kedelai
dan pada saat di potong, tempe tidak hancur. Perlu diperhatikan agar tempe
berhasil alat yang dipergunakan untuk membuat tempe sebaiknya dijaga
kebersihannya. Menjaga kebersihan pada saat membuat tempe ini sangat
diperlukan karena fermentasi tempe hanya terjadi pada lingkungan yang
higienis. Menurut Hidayat (2008) dalam Widodo (2012), gangguan pada
pembuatan tempe diantaranya adalah tempe tetap basah, jamur tumbuh kurang
baik, tempe berbau busuk, ada bercak hitam dipermukaan tempe, dan jamur
hanya tumbuh baik di salah satu tempat.
Menurut Hermana dalam Mujianto (2013) tempe merupakan produk
olahan kedelai yang nilai gizinya menjadi meningkat terutama protein,lemak,
karbohidrat dan vitamin. Kandungan gizi tempe juga menjadi mudah larut
dalam air sehingga mudah dicerna bila dibanding dengankedelai, keuntungan
yang lain terjadinya kerusakan zat-zat anti nutrisi pada kedelai. Inilah yang
menjadikan tempe lebih baik dari kadar nutrisi dan nilai gizinya dibandingkan
pada saat masih berbentuk kedelai.
E. Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai
berikut :
1. Pada parameter warna dari Shift 1 yang memiliki warna yang paling baik
adalah kelompok 1 kedelai lokal+ragi raprima dan kelompok 4 kedelai
impor+ragi cap kodok dengan warna putih kekuningan.
2. Pada parameter warna Shift 2 yang memiliki warna paling baik adalah
kelompok 11 penggunaan kedelai impor+ragi cap kodok dengan warna
tempe putih cerah.
3. Pada parameter tekstur Shift 1 yang paling baik adalah kelompok 1 kedelai
lokal+ragi raprima, kelompok 4 kedelai impor+ragi cap kodok dan
kelompok 7 kedelai lokal+ragi raprima dengan tekstur tempe sangat padat.
4. Pada parameter tekstur Shift 2 yang paling baik adalah kelompok 10 kedelai
lokal+cap kodok, kelompok 11 kedelai impor+ragi cap kodok dan kelompok
13 kedelai impor+usar tradisional dengan tekstur tempe yang padat.
5. Pada parameter aroma Shift 1 yang terbaik adalah pada kelompok 1 kedelai
lokal+ragi raprima, kelompok 2 kedelai impor+ragi raprima, kelompok 3
kedelai lokal+ragi cap kodok dan kelompok 4 kedelai impor+ragi cap kodok
dengan aroma yang enak.
6. Pada parameter aroma Shift 2 yang terbaik adalah kelompok 10 kedelai
lokal+cap kodok, kelompok 11 kedelai impor+ragi cap kodok dan kelompok
13 kedelai impor+usar tradisional dengan aroma tempe yang enak.
DAFTAR PUSTAKA
Babu, P. Dinesh, R. Bhakyaraj and R. Vidhyalakshmi. 2009. A Low Cost Nutritious Food “Tempeh”- A Review. Journal of Dairy and Food Sciences Vol. 4 No. 1. ISSN : 1817-308X.
Boga, Yasa. 2007. Tahu Tempe Plus Susu Kedelai. Gramedia. Jakarta.
Darajat, Duta Pakerti, Wahono Hadi Susanto dan Indria Purwantiningrum, 2014. Pengaruh Umur Fermentasi Tempe Dan Proporsi DekstrinTerhadap Kualitas Susu Tempe Bubuk.Jurnal Pangan dan Agroindustri Vo. 2. No. 1.
Deliani. 2008. Pengaruh Umur Fermentasi Tempe Dan Proporsi Dekstrin Terhadap Kualitas Susu Tempe Bubuk. Tesis. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Dwinaningsih, Erna Ayu. 2010. Karakteristik Kimia Dan Sensori Tempe DenganVariasi Bahan Baku Kedelai/Beras Dan Penambahan Angkak Serta Variasi LamaFermentasi. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Fachruddin, Lisdiana. 2000. Budi Daya Kacang-kacangan. Kanisius. Yogyakarta.
Hedger, J. N. 1982. Production of Tempe, an Indonesian Fermented Food. Departement of Botany and Microbiology University College of Wales. Wales.
Mujianto, 2013. Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Proses Produksi TempeProduk UMKM di Kabupaten Sidoarjo. Reka Agroindustri Vol 1. No. 1.
Nurrahman, Mary Astuti, Suparmo, Marsetyawan Hne Soesatyo. 2012.Pertumbuhan Jamur, Sifat Organoleptik Dan Aktivitas AntioksidanTempe Kedelai Hitam Yang Diproduksi Dengan Berbagai JenisInokulum. Agritech, Vol. 32, No. 1.
Santoso, Hieronymus Budi. 1993. Pembuatan Tahu dan Tempe Kedelai. Kanisius. Yogyakarta.
Santoso, S.P. 2005. Teknologi Pengolahan Kedelai. Fakultas Pertanian Universitas Widyagama. Malang.
Warisno dan Kres Dahana. 2010. Meraup Untung dari Olahan Kedelai. Agro Media Pustaka. Jakarta.
Widodo, Wahyu. 2012. Pemanfaatan Biji Nangka (Artocarpus heterophyllus) sebagai Sbstrat Pembuatan Tempe Biji Nangka dengan Variasi Kadar Ragi dan Lama fermentasi. Skripsi. Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Yogyakarta.
Wipradnyadewi, Putu Ari Sandhi, Endang S. Rahayu dan Sri Raharjo. 2012. Isolasi Dan Identifikasi Rhizopus Oligosporus Pada Beberapa Inokulum
Tempe. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana. Bali. Vol (3) Hal 1-2.
LAMPIRAN
Gambar 2.1 Kedelai sebelum pencucian Gambar 2.2 Kedelai setelah penghilangan kulit
Gambar 2.3 pencampuran dengan ragi Gambar 2.4 Kedelai dalam plastik sebelum fermentasi
Gambar 2.5 Tempe yang telah jadi