Abstrak - STAI NU Pacitan
Transcript of Abstrak - STAI NU Pacitan
METODOLOGI DAN TREN TAFSIR MODERN
Oleh: Muh. Syuhada Subir
Abstrak
Memasuki abad modern, tepatnya akhir abad 19 dan awal abad 20 M,
studi terhadap al-Qur`ân mengalami perkembangan yang cukup signifikan,
seiring dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial budaya dan peradaban
manusia.
Perkembangan studi tersebut pada akhirnya melahirkan metode-metode
baru dalam penafsiran al-Qur`ân. Adapun metode-metode tersebut seperti metode
fungsional dengan paradigma petunjuk al-Qur`ân (hidâ`i) yang diprakarsai oleh
trio reformis Islam, Jamâluddin al-Afghâni, Muhammad Abduh, dan Rasyîd Ridho
yang dikembangkan dalam tafsir al-Manar, metode literasi yang dibangun atas
paradigma kesusastraan al-Qur`ân (al-Minhaj al-adabi al-ijtimâ`iy) yang
diprakarsai oleh Amîn al-Khûli dan diterapkan oleh Bint al-Syâti‟ dalam Al-
Tafsîr al-Bayâni li al-Qur`ân al-Karîm, dan Ahmad Muhammad Khalafullah
lewat Al-Fann al-Qashashi fî al-Qur`ân al-Karîm, teori kesatuan tema al-Qur`ân
(nazariyyât al-wahdat al-maudû`iyyah li al-Qur`ân al-Karîm) yang ditawarkan
oleh Sa‟id Hawwa melalui Al-Asâs fî Al-Tafsîr dan teori hermeneutika yang
diusung dan digunakan oleh Fazlurrahman dengan double movement-nya, dan
Izzat Darwaza dengan tartîb al-suwar hasba al-nuzûl-nya. Usaha-usaha tersebut
dilakukan untuk menggali dan mengkaji ulang ajaran Islam, membela agama
Islam dari penjajahan orang-orang barat,-baik dari sisi pemikiran maupun
pemerintahan-menghilangkan paham ortodoks dalam Islam, ta‟assub pada aliran
atau madzab, dan membangkitkan semangat jihad dikalangan umat Islam agar
giat melakukan pembaharuan serta membebaskan mereka dari penjajahan.
Key Word : Metode, Tren, Modern, Al- Qur`ân
Pendahuluan
Berbicara tentang penafsiran al-Qur`ân, pada dasarnya telah dimulai sejak
diturunkannya al-Qur`ân kepada Rasulullah, yaitu oleh Rasulullah sendiri,
kemudian dilanjutkan oleh para sahabat, tabi‟in dan generasi setelahnya secara
berkesinambungan dari generasi yang satu ke generasi selanjutnya hingga di
zaman modern dan kontemporer sekarang ini. Pada masa Sahabat, terdapat tiga
aliran penafsiran al-Qur`an yang diakui. Aliran pertama adalah aliran Makkah
yang dipimpin oleh Abdullah bin Abbas (w. 224 H), aliran madinah yang
132
dipimpin oleh Ubay bin Ka‟ab (w. 117 H), dan aliran Iraq yang dipimpin oleh
Abdullah bin Mas‟ud.1
Dari kegiatan penafsiran yang berkesinambungan dari generasi ke generasi
lainnya, sudah barang tentu akan menghasilkan penafsiran yang berbeda, karena
sebuah hasil penafsiran tidak dapat terlepas dari kecenderungan sang mufassir,
serta disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika masyarakat yang terjadi
pada zaman dimana tafsir itu lahir. Dalam hal ini Norman Calder menyatakan
bahwa metode yang digunakan seorang mufassir dianggap lebih penting dari pada
produk penafsiran yang dihasilkan, karena kualitas-kualitas yang membedakan
mufassir satu dengan lainnya bukanlah terletak pada kesimpulan mereka tentang
makna teks al-Qur`an, melainkan pada bagaimana mereka mengembangkan dan
menunjukkan teknik-teknik yang menandai keterlibatan serta penguasaan mereka
terhadap sebuah disiplin literer.”2 Hal ini berakibat pada munculnya berbagai
macam metode dan pendekatan yang di gunakan dalam penafsiran al-Qur`an.
Pada abad modern, tepatnya akhir abad 19 dan awal abad 20 M, studi
terhadap al-Qur`ân mengalami perkembangan yang cukup signifikan, seiring
dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial budaya dan peradaban manusia.3
Fenomena tersebut merupakan konsekuensi logis dari adanya keinginan umat
Islam untuk selalu mendialogkan antara al-Qur`ân sebagai teks (nas) yang terbatas
dengan perkembangan problem sosial kemanusiaan yang dihadapi oleh manusia
sebagai konteks (waqâ‟i‟) yang terbatas. Muhammad Syahrur dalam bukunya al-
Kitâb wa al-Qur`ân: Qirâ`ah Mu‟âsirah, mengatakan bahwa “al-Qur`ân harus
selalu ditafsirkan sesuai dengan tuntutan era kontemporer yang dihadapi umat
manusia”.4
Salah satu wujud respon kreatif terhadap tantangan modern yang dihadapi,
para perintis dan pembaharuan pemikiran Islam yang berinteraksi secara intens
dengan diskursus al-Qur`ân berusaha untuk mengembangkan metode tafsir
1 Mannâ‟ Khalîl al-Qattân, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur`ân, (Beirut: Muassasah al-
Risâlah, 1983), h. 344 2 Norman Calder, “Tafsir from Tabari to Ibn Kathir: Problems in the description of a
genre, illustrated with reference to the story of Abraham”, dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kader
A. Shareef [ed.], Approaches to the Qur‟an (London dan New York: Routledge, 1993), h. 106. 3 J.M.S Baljon, Modern Muslim Interpretation, (Leiden: E.J. Brill, 1968), h. 2
4 Muhammad Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur`ân: Qirâ`âh Mu‟âsirah, (Damaskus: Ahâli Li
al-Nasyr wa al-Tauzi‟, 1992), h. 33
133
dengan paradigma baru yang di pandang bisa kompatibel dengan tuntutan zaman.
Atas usaha kreatif dan sungguh-sungguh itu, maka lahirlah teori-teori atau
metode-metode baru dalam ladang penafsiran al-Qur`ân dengan mengelaborasi
dan mereaktualisasi ajaran-ajaran al-Qur`ân dengan tuntutan zaman, seperti: isu-
isu ekonomi, sosial, moral, politik dan sebagainya.
Metode-metode tersebut seperti metode fungsional dengan paradigma
petunjuk al-Qur`ân (hidâ`i) yang diprakarsai oleh trio reformis Islam, Jamâluddin
al-Afghâni, Muhammad Abduh, dan Rasyîd Ridho yang dikembangkan dalam
tafsir al-Manar, metode literasi yang dibangun atas paradigma kesusastraan al-
Qur`ân (al-Minhaj al-adabi al-ijtimâ`iy) yang diprakarsai oleh Amîn al-Khûli dan
diterapkan oleh Bint al-Syâti‟ dalam Al-Tafsîr al-Bayâni li al-Qur`ân al-Karîm,
dan Ahmad Muhammad Khalafullah lewat Al-Fann al-Qashashi fî al-Qur`ân al-
Karîm,5 teori kesatuan tema al-Qur`ân (nazariyyât al-wahdat al-maudû`iyyah li
al-Qur`ân al-Karîm) yang ditawarkan oleh Sa‟id Hawwa melalui Al-Asâs fî Al-
Tafsîr dan teori hermeneutika yang diusung dan digunakan oleh Fazlurrahman
dengan double movement-nya,6 dan Darwazah dengan tartîb al-suwar hasba al-
nuzûl-nya.7
Sehubungan dengan perkembangan kegiatan penafsiran, maka
pembahasan dalam artikel pendek ini lebih fokus pada metode dan tren penafsiran
pada masa modern, dilanjutkan dengan perspektif para sarjana tafsir modern
terhadap metode tafsir al-Qur`ân, akan tetapi sebelum membahas ketiga poin
tersebut, terlebih dahulu akan akan dijelaskan tentang pengertian dan sebab
munculnya metode tafsir modern.
Pengertian: Metodologi, Tafsir dan Modern
Istilah metodologi, merupakan terjemahan dari kata bahasa inggris
methodology yang berarti serangkaian praktek, prosedur, dan aturan yang
digunakan dalam serangkaian disiplin ilmu atau penyelidikan, dan kata
5 Lihat Hamim Ilyas dalam kata pengantar, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras,
2004), h. xii-xiii. 6 Lihat: A. Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur‟an Kontemporer Dalam Pandangan
Fazlur Rahman, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h. 83 7 Ismail K. Poonawala, “Muhammad „Izzah Darwazah‟s Principles of modern exegesis:
A contribution toward quranic hermeneutics”, in Approaches To The Qur`ân, ed. G.R. Hawting
and Abdul-Kader A. Shareef, (London-New York: Routledge, 1993), h. 225
134
methodology sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu methodus dan logia, yang
kemudian diserap kedalam bahasa Yunani menjadi methodos yang dirangkai dari
kata meta dan hodos. Methodos mengandung arti cara atau jalan dan logos yang
berarti kata atau pembicaraan.8 Jika ditarik kedalam pengertian luas, metodologi
merujuk pada arti proses, prinsip dan prosedur yang diikuti dalam mendekati
persoalan dan menemukan jawabannya.9
Adapun istilah tafsir merupakan serapan dari bentuk taf‟îl dari kata benda
al-fasr dari kata kerja fassara yufassiru yang berarti keterangan yang memberikan
penjelasan.10
Ada pula yang mengartikannya dengan pengertian menyingkap
bagian yang tertutup, sedangkan makna al-tafsîr membuka sesuatu yang dimaksud
oleh lafadz (teks) yang sukar dipahami, dalam arti memberi penjelasan dan
keterangan.11
Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa kata tafsîr merupakan
kata kerja terbalik dari kata kerja safara yang berarti menyinari, membuka dan
menyingkap.12
Sedangkan istilah modern merupakan kata serapan dari bahasa Inggris
modern yang bermakna terbaru, mutakhir, atau sikap dan cara berpikir serta
bertindak sesuai dengan tuntutan zaman.13
Dan era modern ini mencakup abad ke-
18 hingga memasuki abad ke-20. periode ini dimulai sejak ekspansi kolonial
Eropa.14
Istilah modern ini muncul dan dipakai dalam konteks peradaban Islam,
dikala terjadi kontak intelektual dunia muslim dengan Barat, sebagaimana yang
tampak dalam pemikiran Rifa‟ah Râfi‟ al-Tahtâwî (1801-1873) di Mesir dan Ali
Suavi (1839-1878) di Turki.15
8 Lihat David A. Jost (ed.), The American Heritage College dictionary, (Boston:
Houghton Mifflin Company, 1993), h. 858 & 798. 9 Robert Bogdan dan Steven J. Tailor, Introduction to Qualitative Research Method:
Phnomenological Approach to The Social Sciences, (New York: John Wiley & Sons, 1975), h. 1 10
Abu al-Fadl al-Dîn Muhammad bin Makram Ibn Manzhûr, Lisan al-„Arab, Jilid 5,
(Beirut: Dâr al-Shâdir, 1990), h. 15 11
Muhammad bin Abû Bakar bin „Abd al-Qâdir al-Râzî, Mukhtâr al-Shihhâh, (Beirut:
Dâr al-Jail, t.th), h. 503 12
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, Ed. J. Milton Cowan, (Ithaca,
New York: Spoken Language Services, Inc., 1976), h. 412 13
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Dep. Dik. Bud.,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 589. 14
Charles Kurzman, Modern Thought, in Ricard C. Martin (ed.), in Ensiclopedia of Islam
and The Muslim World, (New York: Macmillan Reference USA & Thomson, 2004), Vol. 2, h.
467. 15
Charles Kurzman, Modern Thought, in Ricard C. Martin (ed.), Ensiclopedia of Islam
and The Muslim World, h.467. Bandingkan David Commins, Modernism, in John L. Esposito
135
Pada dasarnya, maksud dan tujuan dari metodologi tafsir modern secara
sekilas tidak terdapat perbedaan dengan metodologi tafsir klasik, keduanya
ditujukan untuk menyelaraskan teks Kitab Suci agar dapat kompatibel dengan
kondisi dimana mufassir hidup. Andrew Rippin, menyatakan bahwa tujuan dari
penafsiran adalah untuk mengklarifikasi (maksud) sebuah teks. Dalam hal ini,
tafsir menjadikan teks al-Qur`ân sebagai obyek awal dengan memberikan
perhatian penuh terhadap teks tersebut sehingga jelas maknanya. Selain itu, tafsir
juga berfungsi secara simultan mengadaptasikan teks pada situasi (konteks) yang
sedang dihadapi oleh mufassir. Dengan kata lain bahwa kebanyakan hasil
penafsiran tidaklah murni teoretis, akan tetapi ia mempunyai aspek praktis untuk
menjadikan teks dapat diaplikasikan dalam rangka memantapkan keimanan dan
dijadikan sebagai pandangan hidup bagi orang mukmin.16
Kiranya faktor utama yang membedakan keduanya (metodologi tafsir
klasik dan metodologi tafsir modern) adalah dampak ilmu pengetahuan yang
menuntut terciptanya sebuah pemahaman baru terhadap teks Kitab Suci.
Mayoritas kalangan modernis berargumen bahwa sebagian besar umat Islam tidak
memahami pesan al-Qur`ân yang sesungguhnya, karena hilangnya sentuhan inti
pengetahuan dan semangat rasional dari teks.17
Disamping dampak ilmu
pengetahuan sebagai faktor pembedanya, terdapat pula dua karakteristik yang
menonjol yang membedakannya dari metodologi tafsir kalsik, yaitu: pertama,
metodologi tafsir modern menjadikan al-Qur`ân sebagai Kitab petunjuk, dengan
meminjam istilah dari Amin al-Khûli (w. 1966 M) yaitu al-ihtidâ bi al-Qur`ân.18
Dan kedua, adanya kecenderungan penafsiran yang melihat kepada pesan yang
ada di balik teks al-Qur`ân. Dengan kata lain, metodologi tafsir modern tidak
menerima begitu saja apa yang diungkapkan oleh al-Qur`ân secara literal, tetapi
mencoba menelaah lebih jauh apa yang ingin dicapai ungkapan-ungkapan literal
(ed.), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, (New York: Oxford University
Press, 1995), vol 3, h. 118-119 16
Andrew Rippin, “Tafsir”, in Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, (New
York: Simon & Schuster Macmillan, 1995), vol. 14, h. 237 17
Andrew Rippin, “Tafsir”, in Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, h. 242 18
Amin al-Khûlî, “al-Tafsîr”, dalam Dâ`irat al-Ma‟ârif al-Islamiyah, Jilid 5, h. 365
136
tersebut, yaitu ingin mencari ruh atau pesan moral yang terkandung dalam al-
Qur`ân.19
Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa metode tafsir bermakna suatu
prosedur sistematis yang diikuti dan digunakan dalam upaya memahami dan
menjelaskan maksud kandungan al-Qur`ân. Dalam hal ini Nashruddin Baidan
mengemukakan metode tafsir merupakan kerangka kerja yang digunakan dalam
menginterpretasikan pesan-pesan al-Qur`ân. Sedangkan yang dimaksud dengan
metodologi tafsir adalah analisis ilmiah mengenai metode-metode penafsiran al-
Qur`ân.20
Tren dan Perkembangan Metodologi Tafsir Al-Qur`ân
Keberhasilan dan kemajuan yang dicapai bangsa Barat pasca gerakan
renaissance ini, sedikit banyak memberikan pengaruh kepada gerakan
pembaharuan keagamaan yang terjadi di Timur (dunia Islam), dimana bentuk
gerakan pembaharuan yang dilakukan berangkat dari kesadaran akan pentingnya
merekontruksi pemahaman teks-teks keagamaan, sebagaimana yang dilakukan
oleh Muhammad Abduh dan muridnya Rasyid Ridha yang diaplikasikan dalam
tafsirnya dan sekaligus dianggap sebagai embrio pembaruan kajian al-Qur`ân.
Munculnya gerakan pembaharuan keagamaan ini akan berpengaruh pula
pada munculnya berbagai cara atau metode maupun tren atau kecenderungan yang
digunakan sebagai pisau bedah guna merekontruksi pemahaman keagamaan yang
berkembang selama empatbelas abad. Oleh karena itu, dalam sub bab ini akan
memotret kecenderugan atau tren dan metode penafsiran yang berkembang pada
era modern.
1. Tren Penafsiran
tren atau kecenderungan yang dimaksudkan disini adalah suatu warna,
arah, atau kumpulan pandangan dan pemikiran yang mewarnai sebuah karya
19
Fazlurrahman, Islam, (Chicago and London: University of Chicago Press, 1979), cet.
ke-2 h. 37 20
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`ân, (Jakarta: Pustaka Pelajar,
1998), h. 2
137
tafsir, sekaligus menggambarkan latar belakang intelektual penafsirnya, dengan
kata lain tren merupakan gambaran umum tentang arah pemikiran mufassir.21
Berbicara mengenai tren atau kecenderungan mufassir, maka akan
ditemukan pembagian yang dilakukan oleh sarjan Muslim maupun sarjana Barat.
Misalnya dari sarjan Barat dikenal Ignaz Goldziher dalam karyanya Madzahib al-
Tafsîr, Goldziher berasumsi bahwa terdapt lima kecenderungan dalam penafsiran
al-Qur`ân, yaitu: (1) Penafsiran yang menggunakan bantuan hadits Nabi dan Para
sahabat; (2) Penafsiran Dogmatis; (3) Penafsiran Mistik; (4) Penafsiran Sektarian;
dan (5) Penafsiran Modern.22
Akan tetapi Goldziher dalam karya ini, belum
membahas kecenderungan yang berkembang pasca Muhammad Abduh. Selain
Goldziher, J.J.G. Jansen mengkategorisasikan kecenderungan mufassir pada masa
modern kedalam tiga kecenderungan, yaitu (1) Penafsiran yang bernuansa sosial
kemasyarakatan; (2) Penafsiran Saintifik; dan (3) Penafsiran filologik.23
Sedangkan dari kalangan sarjan Muslim, yang dianggap sukses dalam
mengungkap kecenderungan tafsir modern adalah Muhammad Ibrâhîm Syarîf,
yang mengkategorisasikan kecenderungan ini kedalam tiga kategori, yaitu: (1) al-
Ittijâh al-Hidâ`î (tren kehidayaan al-Qur`ân); (2) al-Ittijâh al-Adabî (tren filologi
dan sastra); (3) al-Ittijâh al-„Ilmî (tren saintifik).24
Lain halnya dengan pembagian yang dilakukan oleh Muhammad Husein
al-Zahabî, yang mengemukakan tujuh macam kecenderungan yang berkembang
21
Muhammad Ibrâhîmm Syarîf, Ittijâhât al-Tajdîd fî Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm, (Kairo:
Dâr al-Salâm, 2008), cet. ke-1, h. 60, Liihat juga Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 388 22
Ignaz Goldziher, Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmî, terj. „Abd al-Halîm al-Najjâr, (Kairo:
Maktabah al-Khânijî, 1995), h. 6-11. Dalam pandangan Jansen, klasifikasi yang dilakukan oleh I.
Goldziher diatas terdapat sisi kelemahan, misalnya ia menggolongkan tafsir al-Kasysyâf karya
mufassir sekaliber al-Zamakhsyari sebagai tafsir dogmatis, karena keterlibatannya dalam
mendukung aliran Muktazilah. Akan tetapi jika dilihat pada sumbangsihnya terhadap penafsiran
filologis, tafsir ini mempunyai peranan sangat penting dalam analisis sintaksis ayat-ayat al-Qur`ân.
Karena menurut Jansen al-Zamakhsyari merupakan tokoh yang menyempurnakan analisis sintaksis
terhadap al-Qur`ân setelah Abu Ubaidah. Lebih lanjut lihat J.J.G. Jansen, The Interpretation of
The Koran in Modern Egypt, (Leiden: E.J.Brill, 1974), h. 5-6 23
J.J.G. Jansen, The Interpretation of The Koran in Modern Egypt, h. 96 Pembagian
yang dilakukan oleh Jansen ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Iffat Syarqawi, akan tetapi
Jansen menjelaskan dalam catatan kaki pada pengantar bukunya, mengatakan bahwa ia baru
menemukan buku Iffat Syarqawi ketika ia hampir selesai dalam merampungkan karya yang
merupakan hasil penelitiannya selama satu tahun sejak 1966-1967. Lihat J.J.G. Jansen, The
Interpretation of The Koran in Modern Egypt, h. ix 24
Adapun penjelasan lebih detail dari ketiga kecenderung yang dikategorisasikan oleh
Ibrâhim Syarîf, lihat Muhammad Ibrâhîmm Syarîf, Ittijâhât al-Tajdîd fî Tafsîr al-Qur`ân al-
Karîm, h. 229-441
138
dalam ranah ilmu tafsir, yaitu:25
tafsîr bi al-ma`tsûr, tafsîr bi al-ra`yi, tafsîr sûfî,
tafsîr fiqhî, tafsîr falsafî, tafsîr „ilmî, dan tafsîr adab ijtimâ‟i.
Kemunculan tren adabi ijtimâ‟i atau hidâ`i, disebabkan problem yang
dihadapi oleh umat Islam saat itu, yang mengalami kemunduran dan terpecah
belah, dan dominasi Barat atas pemerintahan Islam dalam berbagai sektor
kehidupan, seperti budaya, ekonomi dan militer. Oleh karena itu-permasalahan
ini-mendorong munculnya paradigma baru dalam memperbaiki dan
membangkitkan kembali kondisi umat Islam dari keterbelakangan tersbut.
Pada dasarnya apa yang dilakukan oleh para reformis Islam ini tidaklah
jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para ulama pendahulunya, ketika
umat yang dihadapinya menghadapi sebuah problem. Namun demikian tidak
menutup kemungkinan terdapat perbedaan diantara keduanya, sebagaimana yang
dikatakan oleh Iffat Syarqawi, bahwa mufassir klasik lebih cenderung
menggunakan pendekatan filosofis dalam banyak hal untuk menghadapi tantangan
zamannya, sedangkan para mufassir modern lebih menekankan pada gagasan
praktis yang langsung menyentuh persoalan umat, dengan mengelaborasi temuan-
temuan muafssir klasik kemudian mengemasnya dengan baik.26
Adapun penafsiran saintifik, kecenderungan model ini dalam penafsiran
al-Qur`ân sebenarnya telah lama dikenal. Jika ditelisik lebih jauh, cikal bakal
permulaan penafsiran ini telah ada pada masa khalifa al-Ma`mun (w. 853 M) yang
mana pada masa khalifah ini penerjemahan kitab-kitab ilmiah dari Eropa kedalam
bahasa Arab digalakkan.27
Pola penafsiran ini didasarkan pada asumsi bahwa
berbagai macam penemuan seperti sains dan teknologi modern telah tersadur
dalam al-Qur`ân, dan ditemukannya banyak referensi-referensi yang jelas terntang
25
Muhammad Husein al-Zahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid I, (Beirut: Ihyâ al-
Turâts al-„Arabi, 1976), h. 20. Sedangkan M. Quraish Shihab, menyebutkan terdapat enam corak
atau kecenderungan tafsir yang dikenal hingga saat ini, yaitu: corak sastra bahasa, corak filsafat
dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqhi atau hukum, corak tasawuf, corak sastra dan
budaya kemasyarakatan. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), h. 72 26
Iffat M. Syarqawî, Qadâyâ Insâniyah fi A‟mâl al-Mufassirîn, (t.tp.: Maktabah al-
Syabâb, 1980), h. 80 27
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, h. 101. Sedangkan menurut Jansen, munculnya tafsir ilmiah modern merupakan
pengaruh Barat terhadap dunia Arab dan kawasan Muslim. Terlebih-lebih dalam paruh abad
kesembilan belas dunia Islam di bawah pemerintahan Eropa. Kekuasaan Eropa atas kawasan Arab
ini dikarenakan superioritas teknologi Eropa. Lihat lebih lanjut J.J.G. Jansen, J.J.G. Jansen, The
Interpretation of The Koran in Modern Egypt, h. 67
139
temuan-temuan tersebut dalam al-Qur`ân, seperti kosmologi Copernicus hingga
kandungan-kandungan listrik, dari keteraturan reaksi-reaksi kimia hingga bakteri-
bakteri yang dapat menimbulkan penyakit.28
Tren penafsiran model ini menuai pro dan kontra tentang pengabsahannya
dikalangan mufassir baik klasik maupun modern. Para pendukung model
penafsiran ilmiah ini sering mengutip statemen al-Ghazali yang tertuang dalam
bukunya yang berjudul Jawâhir al-Qur`ân guna membela keabsahannya, dalam
bukunya ini al-Ghazali menjelaskan bahwa al-Qur`ân hanya akan menjadi jelas
bagi mereka yang mempelajari ilmu pengetahuan yang digali darinya.
Sebagaimana seseorang tidak akan dapat memahami al-Qur`ân tanpa memiliki
pengetahuan tentang tata bahasa Arab, demikian pula seseorang tidak dapat
memahami apa yang dimaksud oleh ayat yang bunyi artinya “dan apabila aku
sakit, Dialah yang menyembuhkan aku”,29
jika ia tidak mengerti ilmu
kedokteran.30
Diantara ulama ataupun mufassir yang digolongkan pendukung
tafsir ilmiah ini adalah al-Razi, al-Mursi, al-Suyuthi, al-Ghazali, serta Muhammad
Abduh dan Thanthawi Jauhari. Sedangkan yang menolak penafsiran ilmiah ini
diantaranya adalah Muhammad Rasyid Ridha, Amin al-Khûlî, Mahmud Syaltut,
Sayyid Quthub, Izzat Darwazah dan lainnya.31
Para ulama ataupun mufassir yang tidak mengakui keabsahan model
penafsiran ini, karena mereka memandang bahwa 1) Secara leksikografik,
penafsiran saintifik tidak dapaat diterima, karena ia secara salah mengaitkan
“makna-makna modern” pada kosa-kata al-Qur`ân; 2) Mengabaikan konteks kata-
kata dan frase-frase dalam teks al-Qur`ân dan asbâb al-nuzûl; 3) Turang
memperhatikan fakta bahwa al-Qur`ân dapat dipahami oleh audiens pertama; 4)
Tidak memperhatikan fakta bahwa pengetahuan dan teori-teori saintifik sesuai
dengan karakter dasarnya selalu tidak sempurna dan dan berkembang, karena itu
28
Rotraud Wielandt, Tafsir al-Qur`ân: Masa Awal Modern dan Kontemporer, terj.
Sahiron Syamsuddin, dalam Tashwirul Afkar, Jurnal Refleksi PemikiranKeagamaan &
Kebudayaan, No. 18, Tahun 2004, h. 68 29
Q.S. 26 : 80, adapun redaksi ayat tersebut adalah:
30 Abu Hamid al-Ghazali, Jawahir al-Qur`ân wa Duraruhu, (Beirut: Dâr al-Ihyâ` al-
„Ulûm, 1985), h. 45 31
Ahmad „Umar Abu Hajar, Al-Tafsîr al-„Ilmi Li al-Qur`ân fî al-Mîzan, (Beirut: Dâr al-
Kutaibah, 1991), h. 295-336.
140
mengadopsi pengetahuan dan teori-teori saintifik dari ayat-ayat al-Qur`ân akan
berimplikasi pada pembatasan validitas ayat-ayat tersebut untuk masa dimana
temuan-temuan saintifik itu diterima; 5) Kegagalan dalam memahami bahwa al-
Qur`ân bukan kitab ilmu pengetahuan, tetapi kitab Agama yang di desain untuk
membimbing manusia dengan memberikan kepada mereka sistem keyakinan dan
nilai-nilai moral.32
Dari polemik-polemik yang terjadi antara yang pro dan kontra terhadap
penafsiran saintifik ini pada akhirnya melahirkan sikap kompromistik,
sebagaimana yang dilakukan oleh Quraish Shihab dengan mengatakan bahwa al-
Qur`ân memang berisi kebenaran ilmu pengetahuan, namun demikian al-Qur`ân
tidak bisa diperlakukan sebagai sebuah kitab ilmu pengetahuan. al-Qur`ân lebih
merupakan kitab petunjuk daripada teori-teori ilmu. Oleh karena itu memahami
ayat-ayat al-Qur`ân sesuai dengan penemuan-penemuan baru merupakan ijtihad
yang baik, selama paham tersebut tidak dipercayai sebagai aqidah Qur`âniyah dan
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dan ketenteuan bahasa.33
Pada
dasarnya-terlepas dari pro-kontra yang terjadi-upaya yang dilakukan oleh para
mufassir ilmiah ini adalah keinginan untuk membangun kesatuan budaya melalui
pola hubungan harmonis antara al-Qur`ân dan ilmu pengetahuan modern yang
menjadi simbol peradaban modern.34
Sedangkan penafsiran filologik dan sastra ini sebenarnya telah dimulai
sejak awal abad modern oleh penganut tren sosial kemasyarakatan yang
diprakarsai oleh Muhammad Abduh dan muridnya Muhammad Rasyid Ridha dan
al-Marâghi. Akan tetapi belum dalam bentuk sebuah metode ilmiah yang
sistematis sebagaimana yang berkembang setelahnya, akan tetapi masih sebatas
pengungkapan retorika al-Qur`ân, karena menurut mereka tujuan dari tafsir al-
Qur`ân adalah mewujudkan hidayah al-Qur`ân. Dan tidak salah kiranya jika
dikatakan tren ini mencapai puncak kematangannya pada masa Amin al-Khûli,
32
Rotraud Wielandt, Tafsir al-Qur`ân: Masa Awal Modern dan Kontemporer, terj.
Sahiron Syamsuddin, dalam Tashwirul Afkar, h. 71-72. Untuk informasi tentang tanggapan dan
kritikan terhadap tafsir „ilmi serta argumentasinya, lebih lanjut lihat „Abd al-Majîd Abd al-Salam
al-Muhtasib, Ittijâhât al-Tafsîr fî al-„Asr al-Râhin, („Ammân-Yordan: Mansyûrât Maktabah al-
Nahdah al-Islâmiyah, 1982), cet. ke-2. 33
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, h. 60 34
Iffat M. Syarqawî, Qadâyâ Insâniyah fi A‟mâl al-Mufassirîn, h. 88
141
karena dialah yang mengembangkan tren ini secara sistematis. Hal ini dapat
dilihat dari pandangan al-Khûli yang menyatakan bahwa al-Qur`ân merupakan
kitab berbahasa Arab yang terhebat dan karya sastra yang terpenting (Kitâb al-
„Arabiyah al-Akbar wa Atsaruha al-Adabi al- A„zham), oleh karena itu dia
mengatakan dalam mengkaji al-Qur`ân ada dua hal yang fundamental harus
dilakukan, yaitu: 1) mengeksplorasi latarbelakang historis dan situasi-situasi awal
pewahyuan; 2) Menetapkan makna yang tepat untuk kata per kata teks (al-Qur`ân)
sebagaimana yang dipahami oleh audiens pertama, dengan memperhatikan
seluruh pengetahuan yang relevan dan dihimpun dalam metode ini.35
Meskipun al-Khûli hingga akhir hayatnya tidak meninggal karya tafsir
yang menjabarkan akan ide dan metodenya, tetapi para murid-muridnya dapat
mengaplikasikannya dengan baik dalam karya mereka, misalnya „Âisya „Abd al-
Rahman Bintu al-Syâti`î36
dan Muhammad Ahmad Khalafullah37
.
2. Perkembangan Metodologi Tafsir
Dalam menelaah kitab tafsir yang ada hingga saat ini, terdapat sebagian
mufassir yang merujuk kepada tradisi ulama salaf, dan sebagian lainnya merujuk
pada temuan ulama modern-kontemporer. Adapun metode tafsir yang kepada
tradisi ulama salaf, dapat diklasifikasikan kedalam tiga bentuk penafsiran, yaitu:
1) tafsir yang berdasarkan riwayat atau dengan istilah populernya disebut dengan
al-tafsîr bi al-ma`tsûr; 2) tafsir yang berdasarkan dirâyah atau yang dikenal
dengan al-tafsîr bi al-ra`yi; dan 3) tafsir yang berlandaskan pada isyarat atau
populer dengan nama al-tafsîr al-isyârî.38
Pada perkembangan selanjutnya, berdasarkan pada temuan ulama
kontemporer semisal al-Farmawi, terdapat empat buah metode yang berkembang
35
Lihat Rotraud Wielandt, Tafsir al-Qur`ân: Masa Awal Modern dan Kontemporer, terj.
Sahiron Syamsuddin, dalam Tashwirul Afkar, h. 73 36
Dalam pengantar tafsirnya, Bintu al-Syâti`î menyatakan bahwa dalam menulis tafsirnya
ini ia berharap akan pengukuhan metode yang dicanangkan oleh gurunya yang juga sekaligus
suaminya. Lebih lanjut lihat „Âisya „Abd al-Rahman Bintu al-Syâti`î, al-Tafsîr al-Bayânî Li al-
Qur`ân al-Karîm, Juz 1, (Kairo: Dâr al-Manâr, t.th.), cet. ke-7, h. 15 37
Aplikasi tren filologik dan sastra oleh Khalafullah dapat dilihat dalam karyanya al-
Fann al-Qasasî fî al-Qur`ân al-Karîm. Muhammad Ahmad Khalafullah, al-Fann al-Qasasî fî al-
Qur`ân al-Karîm, Syarh wa Ta‟lîq Khalîl „Abd al-Karîm, (Beirut: Mu`assasah al-Intisyâr al-
„Arabî, 1999), cet. ke-4. 38
Hasan Yûnus „Ubaid, Dirâsât wa Mabâhits fî Târîkh al-Tafsîr wa Manâhij al-
Mufassirîn, (Kairo: Markaz al-Kitâb Li al-Nasyr, 1991), h. 18
142
pada masa modern-kontemporer, yaitu global (ijmâlî), analitis (tahlîlî),
perbandingan (muqârin), dan tematik (maudû„î).39
Akan tetapi dari keempat
metode tersebut, hanya dua metode yang populer digunakan yaitu tahlîlî dan
maudû„î, sebagaimana hasil pengamatan yang dilakukan oleh Quraish Shihab.40
Jika berdasarkan hasil orientasi pengembangan ilmu tafsir dosen-dosen IAIN
seluruh Indonesia tahun 1989, terdapat dua rumusan tentang pengelompokkan
metode-metode tafsir yang berkembang dari generasi ke generasi. Kelompok
pertama rumusan metode yang mengacu kepada sumber rujukan al-Qur`ân yaitu
riwâyah, dirâyah dan isyârî, termasuk dalam kategori metode klasik. sedangkan
empat metode yang disebutkan terakhir (global, analitis, perbandingan, dan
tematik) yang kemudian ditambah dengan satu metode yang berkembang
belakangan yaitu metode kontekstual yang menafsirkan al-Qur`ân berdasarkan
pertimbangan latar belakang sejarah, sosiologi, budaya, adat istiadat dan pranata-
pranata yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat Arab sebelum dan
selama turunnya al-Qur`ân, termasuk dalam kategori tafsir kontemporer.41
Dari klasifikasi diatas, penulis hanya akan mengutarakan perkembangan
metode yang berkembang pada era modern-kontemporer berikut ini.
1. Metode Global
Metode global ini disinyalir oleh pakar tafsir sebagai metode yang pertama
kali hadir dalam sejarah perkembangan penafsiran al-Qur`ân, hal didasarkan atas
fakta bahwa pada masa Nabi Saw. dan para sahabatnya, bahasa khususnya bahasa
Arab bukanlah sebuah persoalan yang krusial yang dapat menghambat dalam
memahami al-Qur`ân. Faktor lain yang mendasari hadirnya metode ini adalah
selain para sahabat merupakan orang Arab, mereka juga mengetahui secara baik
latar belakang turunnya wahyu atau asbâb al-nuzûl ayat, bahkan mereka
menyaksikan dan terlibat langsung dalam situasi dan kondisi dimana ayat-ayat al-
39
„Abd al-Hayyî al-Farmawî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû„î: Dirâsah Manhajiyah
Maudû„iyah, (Kairo: Matba„ah al-Hadârah al-„Arabiyah, 1997), h. 23 40
M. Quraish Sihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, h. 86 41
Sebagaimana yang dikutip oleh oleh Zufran Rahman dalam buku Petunjuk Tentang
Hasil Orientasi Pengembangan Ilmu Tafsir, yang di terbitkan oleh Ditjen Binbaga Islam,
Ditbinpertais, Departemen Agama RI, 1989 yang dimuat dalam buku yang diterjemahkannya,
Ahmad al-Syirbasyi, Studi Tentang Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur`ân al-Karîm, ed. Terj.
(Jakarta: Kalam Mulia, 1999), h. 231
143
Qur`ân diturunkan. Sebagai contoh, ketika Nabi menafsirkan kata zhulm dengan
makna syirk.
Dari realitas sejarah diatas, dapatlah dikatakan bahwa metode global
merupakan satu-satunya metode yang relevan dalam memahami dan menafsirkan
al-Qur`ân pada masa-masa awal Islam. Agaknya prosedur metode global yang
praktis dan mudah ini, memotivasi ulama tafsir belakangan untuk menulis karya
tafsir dengan menerapkan metode ini, semisal Jalâl al-Dîn al-Mahallî (w.864 H)
dan Jalâl al-Dîn al-Suyûtî (w. 911 H) yang menulis kitab tafsir yang sangat
populer dan dikenal dengan nama Tafsîr al-Jalâlain.42
Pada era modern,
kecenderungan menerapkan metode global ini diikuti pula oleh Muhammad Farid
Wajdi (w. 1940 M) dalam karyanya Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm dan al-Tafsîr al-
Wasît.43
2. Metode Analitis
Selain ketidak puasan terhadap prosedur kerja metode global, terdapat
faktor yang sangat dominan yang menentukan hadirnya metode analitis ini. Faktor
tersebut adalah semakin meluasnya daerah umat Islam, dengan demikian umat
Islampun bertambah secara kuantitas, pemeluk Agama Islam tidak hanya dari
orang Arab akan tetapi juga dari orang non-Arab. Hal tersebut berdampak pada
terjadi perubahan besar dalam wacana pemikiran Islam, berbagai peradaban dan
tradisi non-Islam pun terinternalisasi kedalam khazanah intelektual Islam.
Kondisi demikian inilah yang mendorong para ulama tafsir untuk
menemukan sebuah metode yang relevan dengan perkembangan yang terjadi pada
saat itu. Maka para ulama tafsir saat itu menerapkan metode analitis dalam
menafsirkan al-Qur`ân yang dianggap relevan. Dalam prakteknya, metode analitis
ini dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu al-ma`tsûr dan al-ra`yu, yang dalam
penyajiannya meliputi bebagai corak sesuai dengan kecenderungan mufassir saat
itu, seperti corak kebahasaan, hukum atau fiqhi, „ilmi, sufistik, falsafi, dan sastra
sosial kemasyarakatan.44
42
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`ân, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1998), h. 3-5 43
„Abd al-Hayy al-Farmawî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû„î: Dirâsah Manhajiyah
Maudû„iyah, h. 44 44
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`ân, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1998), h. 6-7
144
3. Metode Perbandingan
Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, bahwa kehadiran metode
analitis dapat memberikan informasi lengkap tentang kondisi, kecenderungan dan
kepakaran mufassir. Akan tetapi jika dihadapkan pada ayat-ayat al-Qur`ân yang
beredaksi mirip tetapi pada dasarnya memiliki pengertian yang berbeda, maka
metode analitis ini akan dirasa kurang refresentatif untuk diterapkan dalam
memahaminya.
Fakta diatas tampaknya menjadi motif hadirnya sebuah metode yang
prosedur kerjanya membandingkan ayat-ayat al-Qur`ân yang pernah
diartikulasikan oleh ulama terdahulu dalam memahami pesan al-Qur`ân ataupun
hadits-hadits Nabi. Metode ini dikenal dengan metode perbandingan (muqârin).
Adapun sasaran kajiannya meliputi tiga aspek, yaitu: perbandingan ayat al-Qur`ân
dengan ayat lain, perbandingan ayat al-Qur`ân dengan hadits Nabi, dan
perbandingan penafsiran mufassir dengan mufassir lainnya.45
Keunggulan metode perbandingan ini terletak pada 1) Memberikan
penafsiran yang relatif luas terhadap pembaca; 2) mentolerir perbedaan pandangan
sehingga dapat mencegah sikap fanatisme pada suatu aliran tertentu; dan 3)
Memperkaya pendapat dan komentar tentang suatu ayat. Adapun sisi
kelemahannya, terletak pada 1) Tidak cocok untuk dikaji oleh para pemula karena
muatan materi pembahasannya terlalu luas dan terkadang agak ekstrim; 2) Kurang
dapat diandalkan dalam menjawab persoalan sosial yang berkembang di
masyarakat; dan 3) Terkesan dominant membahas penafsiran ulama terdahulu
daripada penafsiran baru.46
4. Metode Tamatik
Selaras dengan perkembangan masyarakat di era globalisasi ini, muncullah
berbagai problem dan pandangan yang mendesak untuk ditindak lanjuti secara
serius. Sehingga problem dan solusi yang diberikan oleh mufassir sebelumnya
seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha agaknya kurang relevan lagi dengan
kondisi masa kini, atau dengan kata lain tidak menjadi prioritas utama untuk
45
M. Quraish Shihab et.al., Sejarah dan Ulûm al-Qur`ân, h. 186-191 46
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`ân, 142-144
145
kehidupan masyarakat sekarang.47
Dari sinilah kiranya metode tematik hadir ke
permukaan.
Pemikiran dasar dari metode tematik ini diarahkan pada kajian pesan al-
Qur`ân secara menyeluruh, dan menjadikan bagian-bagian yang terpisah dari ayat
atau surat al-Qur`ân menjadi satu kesatuan yang utuh dan saling berhubungan.48
Sebenarnya penafsiran al-Qur`ân secara tematis ini telah dirintis dalam sejarah
penafsiran, meskipun berbeda sistematika penyajiannya. Hal ini dapat dilihat dari
hasil karya yang ditulis oleh Ibn Qayyîm al-Jauzyah (w. 751) yang menulis
tentang sumpah dalam al-Qur`ân dalam karyanya al-Tibyân fî Aqsâm al-Qur`ân,
Abû Ubaidah (w. 210 H) yang menulis Majâz al-Qur`ân, al-Farrâ‟ (w. 207 H)
menulis Ma‟ânî al-Qur`ân, dan yang lainnya.49
Dari keempat metode yang telah diutarakan diatas, masing-masing metode
memiliki keunggulan dan kelemahan. Oleh karena itu menurut penulis kelemahan
dan keunggulan yang dimiliki oleh metode-metode tersebut dapat dijadikan
sebagai energi positif, paling tidak keunggulannya dapat memperkaya prosedur
penafsiran al-Qur`ân, baik yang terdapat dalam karya klasik maupun kontemporer.
Sedangkan sisi kelemahannya dapat kita jadikan faktor pemicu dan pendorong
untuk menghadirkan sebuah metode yang lebih revresentatif. Dari kelemahan
keempat metode diatas, pada akhirnya menghadirkan sebuah metode baru yang
dikenal dengan metode tafsir kontekstual sebagaimana yang akan dibahas
dibawah ini.
5. Metode Kontekstual
Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan sekilas apa yang dimaksud
dengan metode kontekstual, metode ini merupakan metode yang berusaha
menafsirkan al-Qur`ân berdasarkan pertimbangan analisis bahasa, latar belakang
sejarah, sosiologi dan antropologi yang berlaku dan berkembang dalam kehidupan
masyarakat Arab pra-Islam dan selama proses wahyu al-Qur`ân berlangsung.
47
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, h. 112-113 48
Pada dasarnya ide ini telah disinggung oleh al-Syâtibî (w. 790 H) dalam karyanya al-
Muwâfaqât. Lebih lanjut lihat Abû Ishâq Ibrâhîm bin Mûsâ al-Syâtibî, al-Muwâfaqât fî Usûl al-
Syarî„ah, Jilid 3, (Beirut: Dâr al-Ma„ârif, t.th.), h. 414-415 49
„Abd al-Hayy al-Farmawî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû„î: Dirâsah Manhajiyah
Maudû„iyah, h. 52. Lihat juga Mannâ‟ Khalîl al-Qattân, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur`ân, (Beirut:
Mu`assasat al-Risâlah, 1994), cet. ke-25, h. 342
146
Kemudian dilakukan penggalian prinsip-prinsip moral yang terkandung dalam
berbagai pendekatan tersebut. Bila dilahat dari subtansi metode kontekstual ini,
maka berkaitan erat dengan hermeneutika, yang merupakan salah satu metode
penafsiran teks yang berangkat dari kajian bahasa, sejarah, sosiologis dan
filososfis.50
Dari sini kiranya dapat diasumsikan, bahwa jika metode ini
dipertemukan dengan kajian teks al-Qur`ân, maka persoalan dan tema pokok yang
dihadapi adalah bagaimana teks al-Qur`ân hadir ditengah masyarakat, lalu
dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan dalam rangka menghadapi
realitas sosial dewasa ini.
Sedangkan dalam pandangan Noeng Muhadjir, istilah kontekstual ini
memiliki tiga pengertian: (1) upaya pemaknaan dalam rangka mengantisipasi
persoalan dewasa ini yang umumnya mendesak, sehingga arti kontekstual identik
dengan situsional; (2) pemaknaan yang melihat keterkaitan masa lalu, masa kini,
dan masa mendatang, dimana sesuatu akan dilihat dari sudut makna historis masa
lalu, makna fungsional masa kini, dan memprediksikan makna (yang dianggap
relevan) di kemudian hari; dan (3) mendudukkan keterkaitan antara yang sentral
dan periferi, dalam artian bahwa yang sentral adalah teks al-Qur`ân dan yang
periferi adalah terapannya. Atau dengan kata lain mendudukkan al-Qur`ân sebagai
sentral moralitas.51
Syukri Saleh dalam hasil penelitiannya meyatakan bahwa metode
kontekstual ini merupakan sintesa dari metode analitis, tematik, dan
hermeneutika. Dimana metode analitis diperkaya dengan sumber tradisional yang
memuat subtansi yang diperlukan bagi proses penafsiran, seperti asbâb al-nuzûl
dan nâsikh mansukh, dan metode tematik meramu ayat-ayat dibawah satu tema,
yang dapat diandalkan dalam menjawab berbagai persoalan aktual dan bersifat
pemecahan problem (problem solving). Adapun metode hermeneutika selain
memandang ayat-ayat al-Qur`ân secara utuh, meneliti kata-kata al-Qur`ân sesuai
dengan konteksnya, dan menjadikan asbâb al-nuzûl sebagai data sejarah yang
penting dalam menemukan kontekstual ayat, juga memfungsikan pendekatan
50
Ricard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey,
Heidegger, and Gadamer, (Evanston: Northwestern University Press, 1969), h. 34-45 51
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000),
edisi ke-4, h. 263-264
147
pendekatan sastra-linguistik, sejarah, sosiologi, antropologi, dan sebagainya
sebagai alat Bantu yang penting dalam menafsirkan al-Qur`ân.52
Kemunculan metode kontekstual ini pada dasarnya dipicu oleh adanya
kekhawatiran akan pengabaian terhadap kondisi dan latar belakang turunnya suatu
ayat ketika penafsiran al-Qur`ân dilakukan dengan cara tekstual. Sehubungan
dengan hal tersebut, Munawir Sjadzali mengutip pernyataan Abduh yang
mengingatkan supaya berhati-hati dalam membaca karya-karya tafsir terdahulu,
karena proses penulisannya berlangsung dalam kondisi dan tingkat intelektual
masyarakat yang belum tentu sama dengan zaman sekarang. Oleh karenanya
Abduh menghimbau untuk mengkaji pesan al-Qur`ân secara langsung dan jika
memungkinkan menghadirkan karya tafsir sendiri. Akan tetapi jika ingin
mewujudkan poin kedua tersebut, seseorang harus memiliki pengetahuan dan
kemampuan bahasa yang memadai, memahami sejarah Nabi khususnya situasi
lingkungan masyarakat dimana al-Qur`ân diturunkan, dan menguasai sejarah
manusia pada umumnya.53
Melihat pernyataan yang diungkapkan Abduh tersebut, mencerminkan
perbedaan dalam memposisikan asbâb al-nuzûl dalam metode tematik dengan
metode kontekstual ini, dimana dalam metode tematik, asbâb al-nuzûl dipahami
sebagai alat Bantu untuk memahami pesan al-Qur`ân sebagai latar belakang mikro
turunnya ayat atau surat. Sedangkan dalam metode kontekstual, bukan hanya
sebatas mengkaji asbâb al-nuzûl akan tetapi juga mengkaji latar belakang
sosiologis-antropologis masyarakat dimana al-Qur`ân diturunkan, kemudian dicari
prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar dan moral yang terkandung dalam kedua data
sejarah tersebut.
Dalam kaitannya dengan hal ini, selain Amîn al-Khûlî (w.1966 M) dan
Fazlur Rahman (w. 1988 M) yang dicatat diantara tokoh yang menggagas metode
kontekstual dalam penafsiran, tidaklah keliru kiranya bila Darwaza juga termasuk
diantara tokoh yang menerapkan metode ini dalam menafsirkan al-Qur`ân. Karena
secara prinsipil, langkah-langkah yang ditawarkan oleh Amîn al-Khûlî dan Fazlur
52
A. Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur‟an Kontemporer Dalam Pandangan Fazlur
Rahman, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h. 63 53
Munawir Sjadzali, "Ijtihad dan Kemaslahatan Umat", dalam Haidar Bagir dan Syafiq
Basri (ed.), Ijtihad dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1988), h. 121
148
Rahman terdapat kesamaan dengan apa yang dirumuskan oleh Darwaza dalam
prinsipnya dan diterapkan dalam tafsirnya.
Secara spesifik metode kontekstual yang dirumuskan oleh Amîn al-Khûlî-
sebagaimana yang dikutip oleh Bint al-Syâti' dari karyanya Manâhij Tajdîd-
terangkum dalam empat aspek: (1) pada dasarnya metodologi adalah penanganan
al-Qur`ân secara obyektif dengan cara mengkoleksi semua surah dan ayat yang
berkaitan dengan tema yang dikaji; (2) Menata ayat-ayat berdasarkan sebab
turunnya demi melacak situasi, waktu dan tempat, seperti yang diisyaratkan dalam
asbâb al-nuzûl. Riwayat ini tidak lain adalah konteks yang menyertai turunnya
ayat dengan berpegang pada keumuman lafazh bukan sebabnya yang khusus.
Dalam hal ini, asbâb al-nuzûl dipandang sebagai sesuatu yang harus
dipertimbangkan sejauh fungsinya dalam melacak penjelasan kontekstual yang
berkaitan dengan pewahyuan suatu ayat dan sebab-sebabnya; (3) penulusuran arti
linguistik aslinya dalam bahasa Arab demi memahami arti kata-kata yang dimuat
dalam al-Qur`ân; dan (4) untuk memahami pernyataan-pernyataan yang sulit,
yang dipedomani adalah konteks nash dalam al-Qur`ân baik yang mengacu pada
makna maupun semangatnya. Selanjutnya dikomfirmasikan dengan pendapat para
mufassir, dan menghindari penggunaan riwayat isra`iliyat, faham sekretarian, dan
takwil yang bernuansa bid'ah.54
Sedangkan langkah yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman terdiri dari tiga
langkah, yaitu: pertama, Pendekatan historis demi menemukan makna tekstual al-
Qur`ân. Dalam artian al-Qur`ân terlebih dahulu harus dikaji secara kronologis.
Melakukan pengujian terhadap wahyu-wahyu awal guna mendapatkan sebuah
persepsi yang cukup akurat mengenai motivasi mendasar dari gerakan Islam awal.
Oleh karena itu seseorang harus mempelajari bentangan ajaran al-Qur`ân melalui
karir dan perjuangan Nabi saw. Hal ini dimaksudkan agar terhindar dari upaya
penafsiran al-Qur`ân secara berlebihan dan artifisial, selain itu metode ini juga
akan menghasilkan maksud keseluruhan dari pesan al-Qur`ân secara sistematik
dan logis.
Kedua, Pemisahan antara ketentuan hukum dan sarana atau tujuan al-
Qur`ân, dengan kata lain seorang mufassir harus membedakan antara ketentuan
54
A'isyah Abd al-Rahmân Bint al-Syâti', al-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur`ân al-Karîm, Jilid
I, (Kairo: Dâr al-Ma'ârif, 1968), cet. Ke-2, h. 10
149
hukum al-Qur`ân dengan tujuan dan sasaran akhir dimana hukum akan
dilaksanakan. Dan ketiga, Tujuan al-Qur`ân harus dipahami dengan selalu
memperhatikan setting sosiologisnya, yakni lingkungan dimana Nabi hidup dan
berkiprah. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari praktek penafsiran al-Qur`ân
secara subyektif. Karean dalam pandangan Rahman setiap tafsir yang dilahirkan
akan diuji dengan kebenaran konteks sosiologis historisnya.55
Demikian halnya dengan Darwazah, dimana ia sangat memperhatikan sisi
historisitas dan setting sosiologis dimana Nabi hidup dan melakukan dakwahnya.
Ini tercermin dari prinsip tafsirnya dimana ia mengatakan bahwa dalam
menafsirkan al-Qur`ân sangat penting kiranya memperhatikan relasi antara sîrah
dan lingkungan Nabi dengan al-Qur`ân dalam melakukan penafsiran yang baik.56
Dan bila merujuk pada cara penafsiran Darwazah yang berdasarkan kronologi
pewahyuan, hal ini mengindikasikan bahwa Darwazah bermaksud untuk
memetakan pemahaman historis terhadap pesan-pesan al-Qur`ân.57
Sedangkan
pandangannya terhadap asbâb al-nuzûl, ia memposisikannya sebagai sebuah
referensi dan faktor pendukung yang dapat dipertimbangkan guna memahami
makna ayat, atau dengan kata lain asbâb al-nuzûl merupakan kondisi eksternal
pewahyuan.58
Oleh karena itu ia menekankan akan universalitas makna bukan
kekhususan sebab. Ia juga tidak ingin terlibat jauh dalam membicarakan isrâ`îliyât
dan kisah bangsa-bangsa kuno, karena menurutnya kisah-kisah tersebut bertujuan
untuk melukiskan moral. Selain menghindari isrâ`îliyat, Darwaza juga
menghindari perdebatan madzhab dan filosofis yang spekulatif.59
55
Fazlur Rahman, "Islamic Modernism: Its Scope, Method and Alternatives", in
International Journal of Middle Eastern Studies, vol. 1, no. 4, tahun 1970, h. 329-330 56
Muhammad Izzat Darwaza, Al-Qur‟an al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts,
(Beirut: Dâr al-Garb al-Islâmî, 2000), cet. ke- 2, h. 34-35 & 142-143 57
Ismail K. Poonawala, “Muhammad „Izzat Darwaza‟s Principles of modern exegesis: A
contribution toward quranic hermeneutics”, in Approaches To The Qur‟an, ed. G.R. Hawting and
Abdul-Kader A. Shareef, (London-New York: Routledge, 1993), h. 238 58
Devy Aisyah Aziz, Metodologi Tafsîr al-Qur`ân Karya Darwazah; Kajian atas
Penafsiran Kisah al-Qur`ân dalam Kitab al-Tadsîr al-Hadits, dalam Jauhar; Jurnal Pemikiran
Islam Kontekstual, Jakarta: Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Vol. 3, No. 2,
Desember 2002, h. 48 59
Darwaza, Al-Qur‟an al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 205-206; lihat
juga K. Poonawala, “Muhammad „Izzat Darwaza‟s Principles of modern exegesis: A contribution
toward quranic hermeneutics”, in Approaches To The Qur‟an, h. 239;
150
Metodologi Penafsiran Dalam Perspektif Sarjana Tafsir Modern
Periode ini dimulai dari akhir abad Sembilan belas, ketika itu pemeluk
Islam mengalami penindasan dan penjajahan oleh bangsa Barat yang notabene
adalah kaum imperialis-kolonialis. Kondisi inilah kiranya yang mengilhami para
tokoh dan pejuang Muslim untuk berupaya melakukan perbaikan terhadap nilai-
nilai Islam yang telah rusak dan dinodai. Para tokoh dan pejuang Muslim ini
melakukan perbaikan melalui penafsiran ulang terhadap al-Qur`ân dengan metode
yang dipandang relevan dengan perkembangan zaman. Karena dalam pandangan
mereka kitab-kitab tafsir sebelumnya tidak dapat lagi menjawab kebutuhan
masyarakat Muslim era modern.
Muhammad Abduh (1849-1905 M) misalnya, memandang bahwa kitab-
kitab tafsir pada masa-masa sebelumnya hanya berisi pemaparan berbagai
pendapat ulama yang berbeda satu dengan yang lainnya, sehingga menjauh dari
tujuan diturunkannya al-Qur‟ân.60
Dimana sebagian besar dari kitab-kitab tafsir
tersebut terasa gersang dan kaku, karena perhatian penafsirnya di fokuskan pada
pengertian kosa kata atau kedudukan kalimatnya dari sis i‟rab dan penjelasan lain
yang berkaitan dengan sisi-sisi teknis kebahasaan yang terkandung dalam redaksi
ayat-ayat al-Qur`ân. Sehingga tafsir-tafsir tersebut terkesan seakan-akan menjadi
semacam latihan praktis dalam bidang kebahasaan, bukan kitab tafsir yang
sesungguhnya. Karena menurutnya yang dibutuhkan oleh masyarakat Muslim
adalah petunjuk-petunjuk yang dapat menghantarkan mereka kepada kebahagian
dunia dan akhirat. 61
Akan tetapi Abduh melakukan pengecualian terhadap beberapa kitab
tafsir, seperti tafsîr al-Zamakhsyari, tafsîr al-Tabari, tafsîr al-Asfahâni, dan tafsîr
al-Qurtubi. Terhadap tafsîr al-Zamakhsyari, ia mengatakan bahwa tafsir ini
merupakan kitab tafsir terbaik untuk kalangan pelajar dan mahsiswa, karena
ketelitian redaksi dan segi-segi bahasa yang diuraikannya62
. Adapun terhadap tiga
kitab tafsir lainnya, Abduh mengatakan bahwa ketiga tafsir ini merupakan kitab-
kitab terpercaya dikalangan penuntut ilmu, karena pengarang-pengarangnya telah
60
Syaikh Muhammad „Abduh, Fâtihah al-Kitâb, (Kairo: Kitâb al-Tahrîr, 1382 H), h. 13 61
Syaikh Muhammad „Abduh, Fâtihah al-Kitâb, h. 5 dan 12 62
Ibrahim Muhammad al-„Adwi, Rasyîd Ridha: al-Imâm al-Mujâhid, (Kairo: Maktabah
Misr, 1964), h. 91
151
melepaskan diri dari belenggu taqlîd dan berusah bersikap objektif dalam
menjelaskan ajaran-ajaran Islam, sehingga tidak memicu timbulnya perpecahan.63
Selanjutnya Abduh menekankan bahwa ayat-ayat al-Qur`ân tidak hanya
tertuju pada masyarakat Arab, akan tetapi berlaku umum untuk setiap masa dan
generasi. Oleh karena itu, menjadi suatu kewajiban bagi setiap orang pandai
maupun bodoh untuk memahami ayat-ayat al-Qur`ân sesuai dengan kemampuan
masing-masing.64
Dari pola pikir Abduh terhadap tafsir-tafsir klasik tersebut
melahirkan dua landasan pokok yang menyangkut pemahaman dan penafsirannya
terhadap ayat-ayat al-Qur`ân, yaitu peranan akal dan peranan kondisi sosial.
Dengan kedua landasan pokok tersebut, Abduh berusaha untuk menjadikan
hakikat ajaran Islam yang murni dalam perspektifnya menghubungkan ajaran-
ajaran tersebut dengan kondisi sosial masyarakat. Adapun metode yang
ditempuhnya dalam menafsirkan al-Qur`ân adalah metode fungsional dengan
paradigma petunjuk al-Qur`ân (hidâ`i).
Ahmad Khan yang merupakan salah satu tokoh modernis terkenal di
benuai Indo-Pakistan, berpandangan sama dengan Abduh. Ia berpandangan bahwa
masyarakat Muslim India harus meninggalkan sikap mereka yang pasif dan
lamban, jika tidak ingin hidup dalam bencana. Maka Ahmad Khan-pun mulai
melakukan perubahan sosial dan pola pendidikan seperti yang diterapkan oleh
orang Eropa, karena ia menyadari dengan diperkenalkannya tata cara, norma serta
pengetahuan Barat akan melahirkan sebuah versi baru Islam yang mampu
memberikan informasi yang sesuai dengan pemikiran masa kini.65
Ahmad Kahan
juga memberikan beberapa kritik terhadap mufassir klasik yang terlalu tergantung
pada tulisan-tulisan yang telah ada, tanpa melakukan sebuah telaah kritis. Karena
dalam pandangannya, semua itu memungkinkan adanya kata-kaata tertentu dalam
al-Qur`ân yang dapat dipergunakan sebagai cara yang maknanya belum ditemikan
dalam dalam karya-karya leksikal atau literatur (sastra).66
Selanjutnya Ahmad Khan memformulasikan prinsip-prinsipnya dalam
melakukan penafsiran terhadap al-Qur`ân kedalam lima belas prinsip. Prinsip
63
Abdul „Ati Muhammad Ahmad, al-Fikr al-Siyâsi Li al-Imâm Muhammad „Abduh,
(Kairo: al-Hai‟ah al-Misriyah Li al-Kitâb, 1978), h. 85 64
Syaikh Muhammad „Abduh, Fâtihah al-Kitâb, h. 8 65
J.M.S Baljon, Modern Muslim Interpretation, h. 5 66
J.M.S Baljon, Modern Muslim Interpretation, h. 30.
152
pertamanya berkenaan dengan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, al-samâd,
wâjib al-wujûd, dan kekal serta merupakan “Prima Kausa” segala sesuatu. Dalam
prinsipnya yang kedua, ketiga, dan keempat, mengetengahkan pengutusan para
rasul termasuk Nabi Muhammad dan pewahyuan al-Qir`ân. Adapun dalam prinsip
kelima, kesepuluh, kesebelas, keduabelas, dan ketigabelas, berkaitan dengan
karakteristik al-Qur`ân. Kemudian prinsip “conformity to nature” yang paling
mendasar dalam pemikiran Ahmad Khan dalam penafsiran, dikemukakan dalam
prinsipnya yang kedelapan dan keempatbelas. Sedangkan dalam prinsip
kesembilan Ahmad Khan mengemukakan bahwa tidak ada sesuatu pun dalam al-
Qur`ân yang bertentangan dengan hukum alam. Dan terakhir prinsip kelimabelas,
mengemukakan tentang pentingnya penelitian linguistik dalam rangka
menentukan makna kalam al-Qur`ân, dengan kata lain, al-Qur`ân harus dipahami
sesuai dengan pemahaman orang Arab yang terhadapnya al-Qur`ân diturunkan.
Serta penolakan terhadap penggunaan isr‟iliyyât dalam penafsiran al-Qur`ân.67
Sementara itu Sayyid Qutb melihat kondisi masyarakat Mesir saat berada
pada fase sosial yang sulit setelah Perang Dunia II. Disaat itu muncul fenomena-
fenomena sosial yang terdistorsi, mayoritas masyarakat Mesir hidup dalam
kemelaratan yang hina-dina tidak mampu mencukupi kebutuhan keseharian
mereka. Ini terjadi karena kelaliman yang dilakukan oleh para tokoh istana dan
kaum feodal dari kalangan para bangsawan (pasha) dan para tuan tanah terhadap
mereka. Kaum komunis pun memanfaatkan kondisi tersebut untuk
mempropagandakan paham mereka, dengan caara memberikan surga komunisme
ilusif kepada rakyat yang teraniaya.68
Dalam pembacaanya terhadap al-Qur`ân, ia menemukan sebuah teori yaitu
teori “ilustrasi artistik” (al-taswîr al-fanni)69
. Mengenai metode yang
ditempuhnya ini Sayyid Qutb beraksud untuk mengembalikan al-Qur`ân kepada
pemaparannya, mengembalikan kepada kebaruannya-sebagaimana bangsa Arab
67
Taufik Adnan Amal, Ahmad Khan Bapak Tafsir Modern, (Jakarta: Teraju, 2004), cet.
ke-1, h. 85-97 68
Salah Abdul Fattâh al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Dzilal al-Qur`ân, terj.
Salafuddin Abu Sayyid, (Solo: Era Intermedia, 2001), cet. ke-1, h. 52 69
Menurut Sayyid Qutb, dengan teori ini dapat diketahui karakteristik-karakteristik
umum mengenai keindahan artistik dalam al-Qur`ân, dan sekaligus al-taswîr al-fanni ini
merupakan sebuah kaidah mendasar dalam mengekspresikan sesuatu serta merupakan sebuah
instrument terpilih dalam gaya al-Qur`ân. Lihat Salah Abdul Fattâh al-Khalidi, Pengantar
Memahami Tafsir Fi Dzilal al-Qur`ân, h. 49
153
dahulu menerima al-Qur`ân untuk pertama kalinya-, serta menyelamatkannya dari
penafsiran yang bersifat bahasa, nahwu, fiqih, sejarah, dan legenda. Kemudian
memunculkan aspek seninya, menyimpulkan karakteristtik sastranya, dan
penyadaran perasaan-perasaan menuju pada tempat-tempat keindahan yang
tersembunyi.70
Dari pembacaan dan tadabbur yang dilakukannya terhadap al-Qur`ân dan
fenomena-fenomena sosial yang dialaminya, Sayyid Qutb menyusun sebuah tafsir
yang dinamainya dengan fî zhilâl al-Qur`ân. Dalam penulisan tafsirnya ini ia
tidak ingin menjadikan sebagai tujuan, akan tetapi menjadikannya sebagai sarana
untuk mencapai suatu tujuan yang mulia dan sebagai instrumen untuk menggapai
sasaran yang luhur yang ingin diwujudkannya di alam pemikiran dan konsepsi
serta di dunia pendidikan dan pergerakan. Oleh karena itu ia tidak ingin hanya
agar namanya dicantumkan dalam tingkatan para mufassir, dan tidak
menghendaki tafsir untuk tafsir.71
Dalam pandangannya, kita tidak boleh hanya sekedar membaca al-Qur`ân
sebagai saran ta‟abbudiyah saja atau sebagai tempat untuk mendapatkan pahala,
akan tetapi kita anggap al-Qur`ân sebagai “tempat tinggal” demi menghadapi
realitas tertentu dalam sejarah kehidupan umat tertentu diantara fase-fase sejarah
tertentu. Al-Qur`ân pun terus hidup serta mampu menghadapi kehidupan masa
sekarang. Seakan ia turun sesaat untuk menghadapi kelompok muslim dalam
persoalan-persoalan yang sedang terjadi, dalam komfliknya yang terus menerus
dengan jahiliah disekitarnya, dalam pertempurannya di dalam jiwa mereka sendiri,
dan di dalam alam nurani secara nyata yang terjadi disana saat itu.72
Pandangannya ini, berangkat dari kenyataan yang dihadapinya dimana
sebagian mufassir terdahulu dan sekarang menjadikan tafsir sebagai tujuan untuk
berkhidmat kepada Kitab Allah swt. dengan menambahkan sebuah tafsir kepada
tafsir-tafsir yang telah ada sebelumnya. Sehingga kita dapat melihat sebagian
mufassir hanya mengulang-ulang apa yang telah dikatakan oleh para
70
Sayyid Qutb, Masyâhid al-Qiyâmah fî al-Qur`ân, (Kairo: Dâr al-Syurûq, t.th.), h. 7 71
Lebih lanjut lihat Salah Abdul Fattâh al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Dzilal
al-Qur`ân, h. 121-123 72
Salah Abdul Fattâh al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Dzilal al-Qur`ân, h.
127. bandingkan pula dengan Adnan Zurzur, Ulûm al-Qur`ân; Madkhal ilâ Tafsîr al-Qur`ân wa
Bayân I‟jâzihi, (al-Maktab al-Islâmiy, 1981), cet. ke-1, h. 425-427
154
pendahulunya dengan bentuk pengulangan yang membosankan, atau
meringkasnya dalam bentuk yang tidak sesuai, atau mengutipnya secara kacau.
Adapun Darwazah, dengan latar belakang kehidupannya dimana Palestina
berada dalam penjajahan dan penguasaan Inggris, dan masyarakatnya sedang
mengalami stagnasi dan kebodohan dalam waktu yang panjang, memandang
bahwa metode-metode klasik yang telah ada tidak relevan lagi dalam menjawab
kebutuhan kaum muda diabad sekarang ini.
Daftar Pustaka
A. Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur‟an Kontemporer Dalam Pandangan
Fazlur Rahman, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007
Abu al-Fadl al-Dîn Muhammad bin Makram Ibn Manzhûr, Lisan al-„Arab, Jilid 5,
Beirut: Dâr al-Shâdir, 1990
Ahmad „Umar Abu Hajar, Al-Tafsîr al-„Ilmi Li al-Qur`ân fî al-Mîzan, Beirut: Dâr
al-Kutaibah, 1991
Fazlur Rahman, "Islamic Modernism: Its Scope, Method and Alternatives", in
International Journal of Middle Eastern Studies, vol. 1, no. 4, tahun 1970
Fazlurrahman, Islam, Chicago and London: University of Chicago Press, 1979,
cet. ke-2
Hamim Ilyas dalam kata pengantar, Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2004
Hasan Yûnus „Ubaid, Dirâsât wa Mabâhits fî Târîkh al-Tafsîr wa Manâhij al-
Mufassirîn, Kairo: Markaz al-Kitâb Li al-Nasyr, 1991
Ignaz Goldziher, Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmî, terj. „Abd al-Halîm al-Najjâr,
Kairo: Maktabah al-Khânijî, 1995
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung: Mizan, 1992
Mannâ‟ Khalîl al-Qattân, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur`ân, Beirut: Mu`assasat al-
Risâlah, 1994, cet. ke-25
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`ân, Jakarta: Pustaka Pelajar,
1998
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin,
2000
Sayyid Qutb, Masyâhid al-Qiyâmah fî al-Qur`ân, Kairo: Dâr al-Syurûq, t.th.
Syaikh Muhammad „Abduh, Fâtihah al-Kitâb, Kairo: Kitâb al-Tahrîr, 1382 H