absorpsi obat secara in vitro

9
Rina Nur Azizah (260110100104) TEORI DASAR Absorbsi adalah peroses yang terjadi dari waktu obat masuk kedalam tubuh hingga obat masuk kedalam aliran darah untuk disirkulasikan. Kekuatan aksi obat ditentukan oleh kecepatan absorbsi. Banyak faktor mempengaruhi kecepatan dan besarnya absorbsi, termasuk bentuk dosis, jalur/rute masuk obat, aliran darah ke tempat pemberian, fungsi saluran pencernaan (gastrointestinal), adanya makanan atau obat lain, dan variable lainnya. Bentuk obat merupakan penentu utama ketersediaan hayatinya (bagian dosis obat yang mencapai sirkulasi sistemik dan mampu bekerja pada tubuh sel). Dalam bentuk obat intravena ketersediaan hayatinya hampir mencapai 100%; obat oral hampir selalu kurang dari 100% ketersediaan hayatinya karena beberapa tidak diserap dari saluran cerna dan beberapa menuju hati dan sebagian di metabolism sebelum mencapai sistem sirkulasi (Abrams, 2005). Proses absorpsi merupakan dasar penting dalam menentukan aktivitas farmakologis obat. Kegagalan atau

description

biofarmasetika

Transcript of absorpsi obat secara in vitro

Page 1: absorpsi obat secara in vitro

Rina Nur Azizah (260110100104)

TEORI DASAR

Absorbsi adalah peroses yang terjadi dari waktu obat masuk kedalam tubuh

hingga obat masuk kedalam aliran darah untuk disirkulasikan. Kekuatan aksi obat 

ditentukan oleh kecepatan absorbsi. Banyak faktor mempengaruhi kecepatan dan

besarnya absorbsi, termasuk bentuk dosis, jalur/rute masuk obat, aliran darah ke

tempat pemberian, fungsi saluran pencernaan (gastrointestinal),  adanya makanan

atau obat lain, dan variable lainnya. Bentuk obat merupakan penentu utama

ketersediaan hayatinya (bagian dosis obat yang mencapai sirkulasi sistemik dan

mampu bekerja pada tubuh sel). Dalam bentuk obat intravena ketersediaan hayatinya

hampir mencapai 100%; obat oral hampir selalu kurang dari 100% ketersediaan

hayatinya karena beberapa tidak diserap dari saluran cerna dan beberapa menuju hati

dan sebagian di metabolism sebelum mencapai sistem sirkulasi (Abrams, 2005).

Proses absorpsi merupakan dasar penting dalam menentukan aktivitas

farmakologis obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses absorpsi akan

mempengaruhi efek obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan. Obat pada

umumnya diabsorpsi dari saluran pencernaan secara pasif. Pada pemberian secara

oral, sebelum obat masuk ke peredaran darah dan didistribusikan ke seluruh tubuh,

terlebih dulu harus mengalami proses absorpsi pada saluran cerna. Obat pada

umumnya diabsorpsi dari saluran pencernaan secara difusi pasif melalui membran

selular. Obat-obat yang ditranspor secara difusi pasif hanyalah yang larut dalam lipid.

Makin baik kelarutannya dalam lipid, maka baik absorpsinya sampai suatu absorpsi

optimum tercapai. Obat-obat yang digunakan sebagian besar bersifat asam atau basa

organik lemah. Absorpsi obat dipengaruhi derajat ionisasinya pada waktu zat tersebut

berhadapan dengan membran. Membran sel lebih permeabel terhadap bentuk obat

yang tidak terionkan daripada bentuk obat yang terionkan (Shargel, 2005).

Page 2: absorpsi obat secara in vitro

Derajat ionisasi tergantung pada pH larutan dan pKa obat seperti terlihat pada

persamaan Henderson-Hasselbach sebagai berikut :

Untuk asam lemah :

pH = pKa + log fraksi obat yang terionkan fraksi obat yang tak terionkan

Untuk basa lemah :

pH = pKa - log fraksi obat yang terionkan fraksi obat yang tak terionkan

(Shargel, 2005).

Untuk dapat memberikan aktifitas farmakologi, suatu obat harus bekerja

spesifik pada targetnya (target kerja obat). Target kerja obat bisa berbentuk reseptor,

protein, dan dan enzim intraseluler. Oleh karena itu, agar obat tersebut dapat

berinteraksi dengan target kerja obat, maka obat tersebut harus dapat menembus

membran sel tubuh yang kaya akan lemak. Artinya, suatu obat dapat memberikan

aktifitas farmakologi apabila obat tersebut tidak berubah menjadi bentuk terionkan.

Hal ini dikarenakan apabila obat berubah menjadi terionkan, maka obat tersebut

bersifat polar sehingga tidak dapat menembus membran sel tubuh yang kaya akan

lemak (bersifat non-polar) sehingga pada akhirnya obat tidak dapat berinteraksi

dengan target kerja obat dan tidak memberikan efek farmakologis (Shargel, 2005).

Page 3: absorpsi obat secara in vitro

Gambar Fosfolipid Bilayer (Shargel, 2005).

Absorpsi di lambung

Pada lambung, derajat keasaman (pH) bernilai 1-2. Hal ini menyebabkan

dalam lambung diabsorpsi terutama asam lemah dan zat netral yg lipofil. Obat yang

bersifat asam lemah, hanya sedikit sekali terurai menjadi ion dalam lingkungan asam

kuat di lambung, sehingga absorpsinya baik sekali di dalam organ ini. Contoh obat:

asetosal dan barbital (Shargel, 2005).

Sebaliknya, basa lemah terionisasi baik pada pH lambung dan hanya sedikit

diabsorpsi, seperti; alkaloida dan amfetamin. Lama perlewatan dalam lambung,

tergatung pada kondisi pengisian dan bahan kandungan lain yang terhadap dalam

lambung, pengosongan yang cepat pada pemberian obat pada saat lambung kosong.

Bahan yang peka terhadap asam harus dilindungi dari asam lambung dengan zat

penyalut yang tahan terhadap asam (Shargel, 2005).

Absorpsi di Usus Halus

Usus halus merupakan organ absorpsi terpenting baik untuk makanan maupun

untuk obat. Peningkatan luas permukaan diperlukan untuk absorpsi yang cepat dapat

dicapai melalui lipatan mukosa, jonjot mukosa dan mikrovili (Shargel, 2005).

Page 4: absorpsi obat secara in vitro

Dalam usus halus berlaku kebalikannya, yaitu basa lemah yang diserap paling

mudah, misalnya alkaloida. Beberapa obat yang bersifat asam atau basa kuat dengan

derajat ionisasi tinggi dengan sendirinya diabsorpsi dengan sangat lambat. Zat lipofil

yang mudah larut dalam cairan usus lebih cepat diabsorpsi (Shargel, 2005).

Absorpsi dari usus ke dalam sirkulasi berlangsung cepat bila obat diberikan

dalam bentuk terlarut (obat cairan, sirup atau obat tetes). Obat padat (tablet, kapsul

atau serbuk), lebih lambat karena harus dipecah dulu dan zat aktifnya perlu dilarutkan

dalam cairan lambung-usus. Disini, kecepatan larut partikel (dissolution rate)

berperan penting. Semakin kecil, maka semakin cepat larut dan makin cpt diabsorpsi.

Sehingga, senyawa yang bersifat basa lemah, sangat baik diabsorpsi di usus halus,

karena hanya sedikit yang terionisasi (Shargel, 2005).

ASETOSAL

MEKANISME KERJA

Mengasetilasi enzim siklooksigenase dan menghambat pembentukan

enzimcyclic endoperoxides.

Menghambat sintesa tromboksan A-2 (TXA-2) di dalarn trombosit, sehingga

akhirnya menghambat agregasi trombosit.

Menginaktivasi enzim-enzim pada trombosit tersebut  secara permanen.

Penghambatan inilah yang mempakan cara kerja aspirin dalam pencegahan

stroke dan TIA (Transient Ischemic Attack).

Pada endotel pembuluh darah, menghambat pembentukan prostasiklin. Hal ini

membantu mengurangi agregasi trombosit pada pembuluh darah yang rusak.

FARMAKOKINETIKA

Mula kerja : 20 menit -2 jam.

Kadar puncak dalam plasma: kadar salisilat dalam plasma tidak berbanding lurus

dengan besamya dosis.

Page 5: absorpsi obat secara in vitro

Waktu paruh : asam asetil salisilat 15-20 rnenit ; asarn salisilat 2-20 jam tergantung

besar dosis yang diberikan.

Bioavailabilitas : tergantung pada dosis, bentuk, waktu pengosongan lambung, pH

lambung, obat antasida dan ukuran partikelnya.

Metabolisme : sebagian dihidrolisa rnenjadi asarn salisilat selarna absorbsi dan

didistribusikan ke seluruh jaringan dan cairan tubuh dengan kadar tertinggi pada

plasma, hati, korteks ginjal , jantung dan paru-paru.

Ekskresi : dieliminasi oleh ginjal dalam bentuk asam salisilat dan oksidasi serta

konyugasi metabolitnya.

FARMAKODINAMIK

Adanya makanan dalam lambung memperlambat absorbsinya ; pemberian bersama

antasida dapat mengurangi iritasi lambung tetapi meningkatkan kelarutan dan

absorbsinya. Sekitar 70-90 % asam salisilat bentuk aktif terikat pada protein plasma.

EFEK TERAPEUTIK

Menurunkan resiko stroke berulang pada penderita yang pernah menderita iskemi

otak yang diakibatkan embolus. Menurunkan resiko menderita stroke pada penderita

resiko tinggi seperti pada penderita tibrilasi atrium non valvular yang tidak bisa

diberikan anti koagulan.

KONTRAINDIKASI

Hipersensitif terhadap salisilat, asma bronkial, hay fever, polip hidung, anemi berat,

riwayat gangguan pembekuan darah.

INTERAKSI OBAT

Obat anti koagulan, heparin, insulin, natrium bikarbonat, alkohol clan,angiotensin

converting enzymes.

Page 6: absorpsi obat secara in vitro

EFEK SAMPING

Nyeri epigastrium, mual, muntah , perdarahan lambung.

EFEK TOKSIK

Tidak dianjurkan dipakai untuk pengobatan stroke pada anak di bawah usia 12 tahun

karena resiko terjadinya sindrom Reye. Pada orang tua harus hati- hati karena lebih

sering menimbulkan efek samping kardiovaskular. Obat ini tidak dianjurkan pada

trimester terakhir kehamilan karena dapat menyebabkan gangguan pada janin atau

menimbulkan komplikasi pada saat partus. Tidak dianjurkan pula pada wanita

menyusui karena disekresi melalui air susu.

DOSIS

FDA merekomendasikan dosis: oral 1300 mg/hari dibagi 2 atau 4 kali pemberian.

Sebagai anti trombosit dosis 325 mg/hari cukup efektif dan efek sampingnya lebih

sedikit.

(Raharja, 2007).

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, Anne Collins, RN, MSN. 2005. Clinical Drug Therapy: Rationales for

Nursing Practice. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia.

Raharja, Kirana, Drs. 1997. Obat-Obat Penting, ed 5, 35, 39. Penerbit Elex Media

Computindo. Jakarta.

Shargel, Leon dkk, 2005, Applied Biopharmaceutics and Pharmacokinetics fifth

edition. The McGraw-Hill Companies. America.