abses paru
-
Upload
rusdan-djalil -
Category
Documents
-
view
236 -
download
1
description
Transcript of abses paru
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada tahun 1920, diperkirakan sepertiga penderita abses paru meninggal; Dr.
David Smith meneliti bahwa aspirasi bakteri merupakan patomekanisme
terjadinya infeksi. Dalam suatu otopsi, Smith mengamati bakteri yang ditemukan
pada dinding abses paru menyerupai bakteri yang dijumpai pada celah gusi.2
Pada masa sebelum antibiotik ditemukan, abses paru merupakan penyakit
yang sangat mematikan, dimana sepertiga dari pasien meninggal, sepertiga
lainnya sembuh, dan sisanya menyebabkan morbiditas berupa abses berulang,
empiema kronik, bronkiektasis, dan konsekuensi lainnya dari infeksi piogenik
kronik. Pada masa awal antibiotik ditemukan, sulfonamide tidak menyebabkan
banyak perbaikan pada pasien dengan abses paru hingga saat ditemukannya
penisilin dan tetrasiklin. Walaupun di masa lampau bedah reseksi sering dianggap
sebagai penanganan abses paru, peran bedah telah banyak berkurang karena
kebanyakan pasien dengan abses paru tanpa komplikasi dapat memberi respon
yang baik dengan terapi antibiotik jangka panjang.2
Berdasarkan penyebabnya, abses paru dapat dibagi menjadi dua, yakni abses
primer dan abses sekunder. Abses primer muncul karena nekrosis parenkim paru
(akibat pneumonitis, infeksi, dan neoplasma) ataupun pneumonia pada orang
normal. Sedangkan abses sekunder dapat disebabkan karena kondisi sebelumnya
seperti septik emboli (misalnya endokarditis sisi kanan), obstruksi bronkus
(misalnya aspirasi benda asing), bronkiektasis, ataupun pada kasus
immunocompromised.1,2,6
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Abses paru ialah peradangan di jaringan paru yang menimbulkan nekrosis
dengan pengumpulan nanah. Abses paru adalah infeksi destruktif berupa lesi
nekrotik pada jarngann paru yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang
berisi nanah (pus) dalam parenkim paru pada satu lobus atau lebih. Abses paru
harus dibedakan dengan kavitas pada pasien tuberculosis paru.1,4
2.2. Anatomi dan Fisiologi Paru
Gambar 1 Sistem Pernapasan
Paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, dan terletak dalam
rongga dada atau thoraks. Mediastinum sentral yang berisi jantung dan beberapa
pembuluh darah besar memisahkan paru tersebut. Setiap paru mempunyai apeks
dan dasar. Pembuluh darah paru dan bronkial, bronkus, saraf dan pembuluh limfe
memasuki tiap paru pada bagian hilus dan membentuk akar paru. Paru kanan lebih
besar daripada paru kiri dan dibagi menjadi tiga lobus oleh fissure interlobaris.
Paru kiri dibagi menjadi dua lobus.
Lobus-lobus tersebut dibagi menjadi beberapa segmen sesuai dengan
segmen bronkusnya. Suatunlapisan tipis kontinu yang mengandung kolagen dan
jaringan elastis, dikenal sebagai pleura, melapisi rongga dada (pleura parietalis)
dan menyelubungi setiap paru (pleura visceralis).(patofis)
Paru-paru berfungsi sebagai alat pernapasan atau respirasi. Respirasi
adalah keseluruhan proses yang melaksaakan pemindahan pasif O2 dari atmosfer
ke jaringan untuk menunjang metabolism sel, serta pemindahan pasif terus-
menerus CO2 yang dihasillkan oleh metabolism dari jaringan ke atmosfir. Sistem
pernapasan berpera dalam homeostasis dengan mempertukaran O2 dan CO2 antara
system pernapasan dan jaringan.5
Ada tiga factor yang mempertahankan tekanan negative yang normal ini.
Pertama, jaringan elastis paru memberikan kekuatan kontinu yang cenderung
menarik menjauh dari rangka thoraks. Factor kedua dalam mempertahankan
tekanan negative intrapleura adalah kekuatan osmotic yang terdapat diseluruh
membrane pleura. Factor ketiga yang mendukung tekanan negative intrapleura
adalah kekuatan pompa limfatik.
2.3. Epidemiologi
Berdasarkan jenis kelamin, abses paru lebih sering terjadi pada laki-laki
dibanding perempuan. Abses paru lebih sering terjadi pada pasien usia lanjut
karena peningkatan kejadian penyakit periodontal dan peningkatan prevalensi
disfagia dan aspirasi. Namun, serangkaian kasus abses paru di pusat perkotaan
dengan prevalensi tinggi alkoholisme melaporkan rata-rata penderita abses baru
berusia 41 tahun.1,2
2.4. Etiologi
Berbagai infeksi dapat menyebabkan terjadinya abses paru. Bakteri anaerob
merupakan penyebab terbanyak yang ditemukan. Studi yang dilakukan Barlett et
al. (1974) mendapatkan 46% abses paru disebabkan hanya oleh bakteri anaerob,
sedangkan 43% campuran bakteri anaerob dan aerob. Bakteri anaerob ini
ditemukan terutama pada saluran napas atas dan paling banyak terdapat pada
penyakit oral dan ginggiva.1,6
Pada pasien immunocompromised spektrum kuman patogen penyebab abses
paru sedikit berbeda. Pada pasien AIDS kebanyakan kumannya adalah bakteri
aerob, P. Carinii, jamur, Cryptococcus neoformans, dan Mycobacterium
tuberculosis.1,9
Berikut merupakan infeksi yang dapat menyebabkan lesi kavitas pada paru.8
Penyebab Contoh (Kelainan)
Organisme Aerob Burkholderia pseudomallei*
Klebsiella pneumonia*
Nocardia sp†
Pseudomonas aeruginosa*
Staphylococcus aureus‡
Streptococcus milleri‡
Other streptococci‡
Organisme Anaerob Actinomyces sp†
Bacteroides sp*
Clostridium sp†
Fusobacterium sp*
Peptostreptococcus sp‡
Prevotella sp*
Fungi Aspergillus sp (aspergillosis)
Blastomyces dermatitidis (blastomycosis)
Coccidioides immitis (coccidioidomycosis)
Cryptococcus neoformans (cryptococcosis)
Histoplasma capsulatum (histoplasmosis)
Pneumocystis jiroveci
Rhizomucor (mucormycosis)
Rhizopus sp (mucormycosis)
Sporothrix schenckii (sporotrichosis)
Mycobacteria Mycobacterium avium-cellulare
Mycobacterium kansasii
Mycobacterium tuberculosis
Parasit Entamoeba histolytica (amebiasis)
Echinococcus granulosus (echinococcosis)
Echinococcus multilocularis (echinococcosis)
Paragonimus westermani (paragonimiasis)
*Basil Gram negative
†Basil Gram positif
‡Kokkus Gram positif
Faktor predisposisi terjadinya abses paru:1,6,9
1. Kondisi-kondisi yang memudahkan terjadinya aspirasi:
- Gangguan kesadaran: alkoholisme, epilepsi/kejang sebab lain, gangguan
serebrovaskuler, anestesi umum, penyalahgunaan obat intravena, koma,
trauma, sepsis.
- Gangguan esofagus dan saluran cerna lainnya: gangguan motilitas
- Fistula trakeoesofageal
2. Sebab-sebab iatrogenik
3. Penyakit-penyakit periodontal
4. Kebersihan mulut yang buruk
5. Pencabutan gigi
6. Pneumonia akut
7. Immunosupresi
8. Bronkiektasis
9. Kanker paru
10. Infeksi saluran napas atas dan bawah yang belum teratasi. Pasien HIV yang
terkena abses paru pada umumnya mempunyai status immunocompromised
yang sangat jelek (kadar CD4 <50/mm3), dan kebanyakan didahului oleh
infeksi terutama infeksi paru.1
2.5. Patofisiologi
Bermacam-macam faktor yang berinteraksi dalam terjadinya abses paru
seperti daya tahan tubuh dan jenis dari mikroorganisme patogen yang menjadi
penyebab. Terjadinya abses paru biasanya melalui dua cara yaitu aspirasi dan
hematogen. Yang paling sering dijumpai adalah kelompok abses paru
bronkogenik yang termasuk akibat aspirasi, stasis sekresi, benda asing, tumor dan
striktur bronkial.1
Kebanyakan abses paru muncul sebagai komplikasi dari pneumonia
aspirasi akibat bakteri anaerob di mulut. Penderita abses paru biasanya memiliki
masalah periodontal (jaringan di sekitar gigi). Sejumlah bakteri yang berasal dari
celah gusi sampai di saluran pernafasan bawah dan menimbulkan infeksi. Tubuh
memiliki sistem pertahanan terhadap infeksi semacam ini, sehingga infeksi hanya
terjadi jika sistem pertahanan tubuh sedang menurun, seperti yang ditemukan pada
seseorang yang berada dalam keadaan tidak sadar atau sangat mengantuk karena
pengaruh obat penenang, obat bius atau penyalahgunaan alkohol. Selain itu dapat
pula terjadi pada penderita penyakit sistem saraf.1,2,8
Jika bakteri tersebut tidak dapat dimusnahkan oleh mekanisme pertahanan
tubuh, maka akan terjadi pneumonia aspirasi dan dalam waktu 7-14 hari kemudian
berkembang menjadi nekrosis yang berakhir dengan pembentukan abses.2,8
Pada striktur bronkial terjadi obstruksi bronkus dan terbawanya organisme
virulen dapat menyebabkan terjadinya infeksi pada daerah distal obstruksi
tersebut. Abses jenis ini banyak terjadi pada pasien bronkitis kronik karena
banyaknya mukus pada saluran napas bawahnya yang merupakan kultur media
yang sangat baik bagi organisme yang teraspirasi. Pada perokok usia lanjut
keganasan bronkogenik bisa merupakan dasar untuk terjadinya abses paru.1
Secara hematogen, yang paling sering terjadi adalah akibat septikemi atau
sebagai fenomena septik emboli, sekunder dari fokus infeksi dari bagian lain
tubuhnya seperti tricuspid valve endocarditis. Penyebaran hematogen ini
umumnya akan berbentuk abses multipel dan biasanya disebabkan oleh
stafilokokus. Penanganan abses multipel dan kecil lebih sulit dari abses singel
walaupun ukurannya besar. Secara umum diameter abses paru bervariasi dari
beberapa milimeter sampai dengan 5 cm atau lebih.1
Disebut abses primer bila infeksi diakibatkan aspirasi atau pneumonia yang
terjadi pada orang normal, sedangkan abses sekunder bila infeksi terjadi pada
orang yang sebelumnya sudah mempunyai kondisi seperti obstruksi,
bronkiektasis, dan gangguan imunitas.1
Selain itu abses paru dapat terjadi akibat necrotizing pneumonia yang
menyebabkan terjadinya nekrosis dan pencairan pada daerah yang mengalami
konsolidasi, dengan organisme yang penyebabnya paling sering ialah
Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumonia dan grup Pseudomonas. Abses
yang terjadi biasanya multipel dan berukuran kecil (<2cm).1
Bulla atau kista yang sudah ada bisa berkembang menjadi abses paru. Kista
bronkogenik yang berisi cairan dan elemen sekresi epitel merupakan media kultur
untuk tumbuhnya mikroorganisme. Bila kista tersebut mengalami infeksi oleh
mikroorganisme yang virulens maka akan terjadilah abses paru.1
Abses hepar bakterial atau amebik bisa mengalami ruptur dan menembus
diafragma yang akan menyebabkan abses paru pada lobus bawah paru kanan dan
rongga pleura.1
Abses paru biasanya satu (singel), tapi bisa multipel yang biasanya
unilateral pada satu paru, yang terjadi pada pasien dan keadaan umum yang jelek
atau pasien yang mengalami penyakit menahun seperti malnutrisi, sirosis hati,
gangguan imunologis yang menyebabkan daya tahan tubuh menurun, atau
penggunaan sitostatika. Abses akibat aspirasi paling sering terjadi pada segmen
posterior lobus atas dan segmen apikal lobus bawah dan sering terjadi pada paru
dekstra, karena bronkus utama kanan lebih lurus dibanding kiri. Abses bisa
mengalami ruptur ke dalam bronkus dengan isinya diekspektorasikan keluar
dengan meninggalkan kavitas yang berisi air dan udara. Kadang-kadang abses
ruptur ke rongga pleura sehingga terjadi empiema yang bisa diikuti dengan
terjadinya fistula bronkopleura.1
2.6. Diagnosis
1. Gambaran klinis.
Gambaran klinis pada pemeriksaan fisik pasien dengan abses paru
bervariasi. Temuan fisik mungkin menjadi sekunder dengan kondisi yang terkait
seperti radang paru yang mendasari atau efusi pleura. Temuan pemeriksaan fisik
juga dapat bervariasi tergantung pada organisme yang terlibat, tingkat keparahan
dan luasnya penyakit, dan status kesehatan pasien dan komorbiditas. Penderita
mengeluh demam, menggigil, nyeri pleura, kadang batuk disertai sputum yang
bernanah dan berbau busuk atau fekal. 2,3
Umumnya pasien mempunyai riwayat perjalanan penyakit 1-3 minggu
dengan gejala awal adalah badan terasa lemah, tidak nafsu makan, penurunan
berat badan, batuk kering, keringat malam, demam intermitten bisa disertai
menggigil dengan suhu tubuh mencapai 39,4oC atau lebih. Namun, tidak adanya
demam tidak menyingkirkan adanya abses paru.1,2
Pada pemeriksaan fisis yang ditemukan adalah suhu badan meningkat
sampai 40oC, pada paru ditemukan kelainan seperti nyeri tekan lokal, pada daerah
terbatas perkusi terdengar redup dengan suara napas bronchial. Dapat juga
ditemukan batuk dengan sputum yang purulen.Bila abses luas dan letaknya dekat
dengan dinding dada kadang-kadang terdengar suara amforik. Suara napas
bronchial atau amforik terjadi bila kavitasnya besar dan karena bronkus masih
tetap dalam keadaan terbuka disertai oleh adanya konsolidasi sekitar abses dan
drainase abses yang baik. Biasanya juga akan terdengar suara ronki. Bila abses
paru letaknya dekat pleura dan pecah akan terjadi piotoraks (empiema torakis)
sehingga pada pemeriksaan fisik ditemukan pergerakan dinding dada tertinggal
pada tempat lesi, fremitus vocal menghilang dan terdapat tanda-tanda
pendorongan mediastinum terutama pendorongan jantung kearah kontra lateral
tempat lesi. Pada abses paru bisa dijumpai jari tabuh yang proses teerjadinya
berlangsung cepat. Pemeriksaan fisik tidaklah terlalu khas karena disamarkan oleh
kelainan paru penyebab abses. Untuk menegakkan diagnosis abses paru dilakukan
pemeriksaan Roentgen dada yang menampakkan rongga berisi cairan dan udara.
Kadang hanya ada rongga saja seperti cavitas. Karsinoma paru, abses amuba,
tuberculosis, infeksi jamur, dan benda asing selalu harus dipertimbangkan sebagai
penyebab.1,3,9
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin ditemukan leukositosis
berkisar 10.000-30.000/mm3 dengan laju endap darah ditemukan
meningkat > 58 mm / 1 jam. Pada hitung jenis sel darah putih
didapatkan pergeseran ke kiri dan sel polimorfonuklear yang
banyak terutama neutrofil yang immatur. Bila abses berlangsung
lama sering ditemukan adanya anemia.1,2
Pemeriksaan sputum dapat membantu dalam menemukan
mikroorganisme penyebab abses. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan yaitu pewarnaan gram, kultur mikroorganisme aerob,
anaerob, jamur, Nocardia, basil Mycobacterium tuberculosis, dan
mikroorganisme lainnya.1
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Gambaran Histopatologik
Abses paru bermula sebagai nekrosis dari bagian kecil yang
terus berkembang di dalam segmen yang terkonsolidasi pada
pneumonia. Area ini dapat bergabung membentuk area supuratif
yang singel maupun multipel yang mewakili abses paru. Ketika
inflamasi berlanjut mencapai bronkus, isi dari abses dikeluarkan
sebagai sputum yang berbau, kemudian, terbentuklah fibrosis,
yang menyebabkan bekas luka yang padat dan memisahkan
abses. Abses dapat tetap terjadi, dan mengalirnya pus ke dalam
bronkus dapat menyebarkan infeksi.2
Gambar 2 histopatologis dari abses paru menunjukkan reaksi inflamasi.2
b. Gambaran Radiologi
Pada foto PA dan lateral abses paru biasanya ditemukan satu kavitas, tapi
dapat juga multi-kavitas berdinding tebal. Dapat pula ditemukan permukaan udara
dan cairan di dalamnya. Paling sering terjadi pada aspek apicoposterior dari lobus
atas atau segmen apikal lobus bawah 4,9
Gambar 3 dan 4 Abses paru - frontal dan lateral. Kavitasi bses paru di zona
atas kiri 9
Gambar 5 Abses paru - CT (pasien yang berbeda). CT jelas
mendefinisikan kavitasi yang abses di lobus kiri atas. 9
Gambaran khas CT-scan abses paru ialah berupa lesi dens bundar
dengan kavitas berdinding tebal, tidak teratur dan mungkin berisi gas yang
bebas terletak di daerah jaringan paru yang rusak. Tampak bronkus dan
pembuluh darah paru berakhir secara mendadak pada dinding abses, tidak
tertekan atau berpindah letak. Sisa-sisa pembuluh darah paru dan bronkus
yang berada dalam abses dapat dilihat dengan CT-scan. Juga sisa-sisa
jaringan paru dapat ditemukan didalam robgga abses. Lokalisasi abses paru
umumnya 75% berada dilobus bawah paru kanan bawah.4,9
2.7. Diagnosis banding
1. Tuberkulosis Paru dengan kavitas
Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru
(segmen apikal lobus atas atau segmen apikal lobus bawah),
tetapi dapat pula mengenai lobus bawah atau di daerah hilus
(misalnya pada tuberkulosis endobrakial). Pada awal penyakit,
lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia, dengan
gambaran radiologik berupa bercak berawan dengan batas yang
tidak tegas. Bila sudah diliputi jaringan ikat maka terlihat
bayangan berupa bulatan dengan batas tegas. Lesi ini lebih
dikenal dengan tuberkuloma. Pada proses lanjut dapat terlihat
bermacam-macam bayangan sekaligus seperti infiltrat, garis
fibrosis, kalsifikasi, kavitas, maupun atelektasis dan emfisema.
Adanya bayangan (lesi) pada foto dada, bukanlah menunjukan
adanya aktivitas penyakit, kecuali suatu infiltrate yang betul-
betul nyata. Lesi penyakit yang sudah nonaktif, sering menetap
selama hidup pasien. Lesi yang berupa fibrotic, kalsifikasi,
kavitas, schwarte, sering dijumpai pada orang-orang yang sudah
tua.1
Gambar 7 TB paru . Banyak kalsifikasi fokus di kedua ataszona dengan lobus kiri atas fibrosis.13
2. Karsinoma Bronkogen
Kanker paru-paru (atau sering, jika agak salah, yang dikenal
sebagai karsinoma bronkogenik) adalah penyebab paling umum
dari kanker pada pria, dan kanker yang paling sering terjadi pada
wanita Faktor risiko utama adalah merokok yang terlibat dalam
90% kasus. Faktor risiko lain termasuk abses, uranium, radon,
arsenik, krom.Pasien dengan kanker paru-paru dapat
asimtomatik pada hingga 50% kasus. Batuk dan dypneau agak
gejala non-spesifik yang umum di antara orang-orang dengan
kanker paru-paru.Tumor sentral dapat menyebabkan lesi
hemoptisis dan perifer dengan nyeri dada pleuritik.
Gambar 8 Karsinoma Bronkogen 14
2.8. Penatalaksanaan
Keadaan umum harus diperbaiki dengan rehidrasi dan perbaikan gizi. Infeksi
harus diatasi berdasarkan hasil pemeriksaan biakan kuman. Harus diingat, pungsi
dan atau penyaliran abses merupakan kunci penanganan. Jarang diperlukan
lobektomi, kecuali bila terjadi perdarahan oleh sebab kerusakan yang secara
konservatif tidak dapat diatasi.3
Tujuan utama pengobatan pasien abses paru adalah eradikasi secepatnya dari
patogen penyebab dengan pengobatan yang cukup, drainase yang adekuat dari
empiema dan pencegahan komplikasi yang terjadi.1
Penisilin selalu menjadi antibiotik pilihan, namun percobaan terbaru
menunjukkan klindamisin lebih unggul. Meskipun khasiat keseluruhan penisilin
tampaknya berkurang, saat ini tetap menjadi obat praktis untuk kebanyakan
pasien, terutama jika klindamisin merupakan kontraindikasi. Tetrasiklin dianggap
terapi tidak memadai karena sebagian besar anaerob tahan untuk itu. Demikian
pula, metronidazol tidak efektif pada sekitar 50% pasien, mungkin karena
kontribusi bakteri aerobik. Karena itu, jika agen ini harus digunakan, sebaiknya
dikombinasikan dengan turunan penisilin atau sefalosporin. Setelah terapi
antibiotik awal, dan radiografi respon klinis secara bertahap, demam biasanya
mereda dalam 4-7 hari, namun normalisasi foto thorax mungkin memerlukan 2
bulan.6
Drainase merupakan bagian penting dari penatalaksanaan abses paru. Air-fluid
level menyiratkan adanya hubungan dari rongga abses ke trakeobronkial. Drainase
postural dan fisioterapi dada 2-5 kali seminggu selama 15 menit diperlukan untuk
mempercepat proses resolusi abses paru. Namun pada penderita abses paru yang
tidak berhubungan dengan bronkus maka perlu dipertimbangkan drainase melalui
bronkoskopi.1,4,6
Bronkoskopi juga mempunyai peranan penting dalam penanganan abses paru
seperti pada kasus yang dicurigai karsinoma bronkus atau lesi obstruksi,
pengeluaran benda asing dan untuk melebarkan striktur. Disamping itu, dengan
bronkoskopi dapat dilakukan aspirasi dan pengosongan abses yang tidak
mengalami drainase yang adekuat, serta dapat memasukkan larutan antibiotik
melewati bronkus langsung ke lokasi abses.1
Tindakan operasi diperlukan pada kurang dari 10-20% kasus. Indikasi operasi
adalah:1
- Abses paru yang tidak mengalami perbaikan
- Komplikasi: empiema, hemoptisis masif, fistula bronkopleura
- Pengobatan penyakit yang mendasari: karsinoma obstruktif primer/metastasis,
pengeluaran benda asing, bronkiektasis, gangguan motilitas gastroesofageal,
malformasi atau kelainan kongenital.
2.9. Prognosis
Abses paru simple terutama tergantung dari keadaan umum paasien, letak
abses serta luasnya kerusakan paru yang terjadi. Angka mortalitas pasien abses
paru anaerob pada era antibiotic kurang dari 10% dan kira-kira 10-15%
memerlukan operasi. Di zaman era antibiotic sekarang angka penyembuhan
mencapai 90-95% (Bartley, 1992). Bila pengobatan diberikan dalam jangka waktu
cukup lama angka kekambuhannya rendah.1
Faktor-faktor yang membuat prognosis menjadi jelek adalah kavitas yang
besar (lebh dari 6 cm), penyakit dasar yang berat, status immunocompromised,
umum yang sangat tua, empiema, nekrosis paru yang progresif, lesi obstruktif,
abses yang disebabkan bakteri aerobic (termasuk Staphylococcus aerus dan basil
gram negative). Dan abses paru yang belum mendapat pengobatan dalam jangka
waktu yang lama. Angka mortalitas pada pasien-pasien ini mencapai 75% dan bila
sembuh maka angka kekambuhannya tinggi.1
Penyulit yang biasanya timbul adalah perluasan abses di jaringan paru
sekitarnya sehingga sebagian besar paru hilang. Penyulit lainnya ialah fistula
bronkopleura, emfisema pneumothoraks, dan perikarditis. Penyebaran akibat
sepsis dapat menyebabkan timbulnya abses di organ lain, terutama di otak.3
DAFTAR PUSTAKA
. 1. Rasyid A. Abses paru. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata
KM, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta:
Balai Penerbit FK UI; 2006. hal.1052-5.
2. Kamangar N, Sather CC, Sharma S. Lung abscess. [cited 2015 March 18].
Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/299425-overview
3. De Jong, Sjamsuhidajat. Buku Ajar Ilmu Bedah.2011. Edisi 3.Jakarta:
Penerbit ECG.
4. Rasad Sjahriar. Radiologi Diagnostik FK UI. 2011. Edisi 2.Jakarta:
Badan Penerbit FK UI.
5. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. 2012.Edisi
6. Jakarta: Penerbit ECG.
6. Bhimji S. Lung abscess, surgical perspective. [cited 2015 March 18].
Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/428135-overview
7. Koziel H. Lung abscess. [cited 2015 March 18]. Available from: URL:
http://www.scribd.com/doc/28978474/Lung-Abscess
8. Datir A. Lung abscess. [cited 2015 March 18]. Available from: URL:
http://radiopaedia.org/articles/lung_abscess
9. Misra, Rakesh Andrew Planner. A-Z of Chest Radiology.Cambridge
Medicine. www.cambrdge.org/9780521691482.
10. Gunderman, Richard B. Essetial Radiology.2006. Edisi 2.Thieme.
11. Ahuja, Anil T. Case Studies in Medical Imaging.Cambridge Medicine.
www.cambrdge.org/9780521682947 .
12. Slaby, Frank. Radiographic anatomi. Harwal Publishing.
13. Murfitt J, Robinson PJA, Jenkins JPR, Whitehouse RW, Wright
AR. The normal chest: Methods of infestigations and differential
diagnosis. In: Sutton D, editor. Textbook of radiology and
imaging. UK: Elsevier Sience; 2003.
14. http://radiopaedia.org/articles/lung-abscess [cited 2015 March 20]
15. Bartlett J.G. Lung abscess. [cited 2015 March 18]. Available from: URL:
http://www.merck.com/mmpe/sec05/ch053/ch053a.html
16. Price A, Sylvia. Patofisiologi Volume 2. Edisi 6.Jakarta: Penerbit ECG.