A. Kondisi Geografi Kota Batavia Abad XIX - abstrak.uns.ac.id · abad XVII, populasi penduduk kota...
Transcript of A. Kondisi Geografi Kota Batavia Abad XIX - abstrak.uns.ac.id · abad XVII, populasi penduduk kota...
19
BAB II
BATAVIA ABAD XIX
A. Kondisi Geografi Kota Batavia Abad XIX
1. Kondisi Kota Sebelum Abad XIX
Kota Batavia pada abad XVII berbentuk bujur sangkar dengan panjang
kurang-lebih 2.250 m dan lebar 1.500 m. Kota ini dibelah oleh Sungai Ciliwung
atau yang biasa disebut oleh orang Belanda sebagai Grote Rivier (Kali Besar)
sehingga menjadi dua bagian kota yang hampir sama luasnya. Masing-masing
bagian dari kedua sisi sungai tersebut terpotong oleh dua parit yang terletak
sejajar pada sepanjang sisi-sisi terpanjang buju sangkar tersebut. Kemudian
terpotong lagi secara tegak lurus oleh beberapa parit simpang.1
Ketika pimpinan armada Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de
Houtman tiba di Batavia pada 13 November 1596, kota tersebut masih berupa
pelabuhan kecil yang disebut Sunda Kalapa, yakni pelabuhan yang terletak di
muara Sungai Ciliwung di bagian barat laut Pulau Jawa. Batavia kala itu masih
berada di bawah kekuasaan Kesultanan Banten. Keberhasilan armada Belanda
mendarat di Sunda Kalapa menjadi cikal bakal terbentuknya daerah jajahan baru.
Belanda menjadi armada pertama yang menginjakkan kakinya di Batavia, bahkan
pada masa tersebut Portugis belum sampai di Sunda Kalapa.2
1 Leonard Blusse, Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan,
dan Belanda di Batavia VOC (Jakarta: Pustazet Perkasa, 1988), hlm. 4. 2 Susan Blackburn, Susan Blackburn, Jakarta Sejarah 400 Tahun, (Depok:
Masup Jakarta, 2012)., hlm. 32-55.
20
Oud Batavia atau Batavia Lama merupakan kota yang pertama kali
dikembangkan oleh VOC. Oud Batavia merupakan sebuah kota bergaya abad
pertengahan dengan bentuk bangunan yang menyerupai kastil dikelilingi dengan
tembok yang kokoh.3 Orang-orang Belanda yang menetap di Batavia membangun
jalan-jalan dan kanal-kanal yang sama seperti di negerinya. Mereka pertama kali
mendirikan benteng yang mulanya dibangun menjorok ke laut di muara kali
Ciliwung. Benteng ini disebut Het Kasteel, merupakan sarana yang amat penting
bagi masyarakat Belanda yang pada waktu itu masih berjumlah sedikit. Di dalam
benteng terdapat bangunan-bangunan penting seperti kediaman gubernur-jenderal,
bengkel kapal, garnisun, perbendaharaan, gudang senjata, gudang administrasi
dan akuntansi, penjaara, gereja pertama, serta ruang pertemuan Dewan Hindia
(Raad van Indie).4 Pada masa ini, kota Batavia telah menjadi cikal bakal kota
impian Jan Pieterszoon Coen. Pembangunan kota dipusatkan di sebelah timur Kali
Besar yang diperkuat dengan dibangunnya Benteng Gelderland dan Hollandia
yang juga merupakan pintu masuk-keluar kota Batavia yang menghubungkan
Kota Batavia dengan luar kota. Benteng Zeeland ditempatkan di ujung Barat kota
untuk memantau kawasan sebelah barat Kali Besar.5
3 Yudi Prasetyo, “Dari Oud Batavia Sampai Nieuwe Batavia: Sejarah ota
Batavia 1596-1900”, Genta,Vol. 2, No.1, Maret 2014, hlm. 4. 4 Susan Blackburn, op.cit., hlm. 20. 5 Ira Sophia, “Peran Strategis Kali Besar Dalam Pembentukan dan
Perkembangan Kota Batavia Pada Masa Pemerintahan VOC”, Skripsi Program
Studi Arsitektur Fakultas Teknik UI, 2006, hlm. 36.
22
Pembangunan kota ini tergolong pesat karena dalam tempo delapan tahun
luas wilayahnya telah mencapai tiga kali lipat. Bentuk kotanya menyerupai kastil
berbentuk kotak yang dibangun di atas dataran rata. Bangunan di dalam kastil
disebut dengan Intramorus, sedangkan kediaman gubernur jenderal Belanda,
anggota dewan, serta para opsir Belanda disebut Citadel.6 Wilayah benteng ini
dibuat persis menyerupai kota-kota di Belanda khususnya Amsterdam.7 Benteng
ini dikelilingi oleh kanal-kanal yang sengaja dibuat di bagian depan, sedangkan di
bagian belakang dibangun gedung dan bangunan yang juga dikelilingi oleh kanal,
pagar besi, dan tiang yang kuat. Wilayah benteng ini kemudian menjadi
pemukiman masyarakat Belanda.8 Sejumlah aktivitas yang dilakukan di dalam
benteng berkembang pesat dan menyebar ke kota yang dikelilingi dinding dan
berkembang semakin jauh ke selatan. Daerah di luar benteng Batavia ini
kemudian disebut ommenlanden9. Pada sisi seberang kali, di benteng bagian barat
daya berdiri bangunan-bangunan dermaga utama sebagai tempat membongkar
muat barang dagangan.10
Kota Batavia Lama berbatasan dengan Pantai Utara (Pasar Ikan) di sebelah
utara dan Javasche Bank11 di sebelah selatan. Batavia Lama sendiri dibelah oleh
Kali Besar menjadi dua sisi yaitu barat dan timur. Terdapat pemukiman golongan
6 Yudi Prasetyo, loc.cit. 7 Willard A. Hanna, Hikayat Jakarta, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1988), hlm. 48. 8 Desca Dwi Savolta, “Arsitektur Indis Dalam Perkembangan Tata Kota
Batavia Awal Abad 20”, Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni
Rupa UNS, 2010, hlm. 24. 9 Ommenlanden adalah sebutan untuk daerah di luar benteng Batavia. 10 Susan Blackburn, op.cit., hlm. 22. 11 Saat ini menjadi Museum Bank Indonesia.
23
rendahan seperti orang-orang Portugis dan Tionghoa di bagian barat. Selain
pemukiman golongan rendahan, di wilayah tersebut juga terdapat pasar daging
dan pasar ikan serta gudang-gudang tempat penyimpanan bahan makanan. Di
bagian timur berdiri Stadhuis, di samping kiri Stadhuis berdiri gereja yang
terbakar habis ketika para prajurit Mataram ketika menyerang Batavia pada tahun
1628. Pada bagian timur ini, terutama di Tijgergracht12, banyak bermukim orang
kaya dalam rumah-rumah besar dan mewah dengan taman-taman yang luas.13
Salah satu jalan yang terkenal adalah Jacatraweg atau Jalan Jakarta. Jalan ini
dimulai dari Gereja Portugis dekat Jembatan Senti hingga Jembatan Merah.
Pribumi mengenal ketiga daerah tersebut sebagai Kampung Pecah Kulit, Mangga
Dua dan Jembatan Merah. Dari Gereja Portugis hingga Jembatan Merah tidak
ditemui rumah penduduk melainkan hutan dan kebun kelapa.14
Pembangunan benteng di Batavia ini menunjukkan adanya sebuah sikap
yang khas dalam perkembangan kota. Orang Eropa atau bangsa Eropa sejak abad
pertengahan cenderung membangun benteng untuk koloninya. Benteng-benteng
ini dibuat untuk mempertahankan daerah kekuasaan dan melindungi penduduk
yang tinggal di dalamnya. Benteng kemudian dianggap sebagai awal mula
terbentuknya kota dan memainkan peranan penting terhadap sejarah pertumbuhan
kota.15
12 Saat ini Jalan Pos Kota. 13 Abdul Hakim, Jakarta Tempo Doeloe, (Jakarta: Pustaka Antar Kota,
1989), hlm. 12. 14 Tio Tek Hong, Keadaan Jakarta Tempo Doeloe: Sebuah Kenangan
1882-1959, (Depok: Masup Jakarta, 2007), hlm. 41. 15 Kuntowijoyo, Peran Borjuasi Dalam Transformasi Eropa. (Yogyakarta:
Penerbit Ombak, 2013), hlm. 35.
24
Pada abad XVIII, Batavia menjadi kota yang terkenal dengan sebutan
Koningin van het Oosten16. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal
Camphuys, muncul suatu perkembangan baru dalam masyarakat kolonial. Suatu
kelompok elit memilih untuk menetap di Jawa daripada di negeri mereka sendiri.
Gaya hidup semacam ini berkembang sepenuhnya pada abad ke-18. Kondisi
Batavia yang memprihatinkan pada waktu itu menyebabkan orang-orang kaya
Batavia berbondong-bondong membangun vila-vila di luar daerah pemukiman
lama. Berpindahnya para penduduk kaya raya ini menyebabkan ukuran kota
Batavia meluas hingga ke selatan kota. Di satu sisi, vila-vila dengan perkebunan
luas ini dibangun untuk ajang saling pamer antar masyarakat Eropa pada zaman
tersebut.17
Selama bertahun-tahun Batavia Lama menjadi tempat tinggal untuk koloni
Belanda, para budak, serta etnis-etnis lain walau tidak tinggal di dalam tembok
benteng. Namun iklim di Batavia Lama ternyata sangatlah buruk. Kabut yang
mengandung udara beracun serta parit yang tercemar membuat kehidupan
penduduknya menjadi kurang nyaman. Ini semua dikarenakan Batavia Lama
dibangun di atas tanah bekas rawa-rawa, yang menjadikannya sangat tidak sehat.
Angin yang berbau busuk serta penyakit yang timbul kemudian, seperti kolera dan
malaria, menyebabkan tingginya angka kematian. Keburukan-keburukan Batavia
Lama tersebut membuat orang-orang Eropa menjulukinya sebagai ‘makam bagi
16 Julukan yang sama dengan The Queen of the East atau Ratu dari Timur. 17 Jean Gelman Taylor, Kehidupan Sosial di Batavia, (Depok: Masup
Jakarta, 2009), hlm. 86.
25
orang-orang Eropa’, yang berhasil mengusir predikat ‘Ratu Dari Timur’.18 Selama
abad XVII, populasi penduduk kota Batavia Lama membengkak pada tahun 1730.
Penduduk yang tinggal di dalam benteng kota mencapai 20.000 jiwa sedangkan
yang tinggal di luar benteng kota. Bertambahnya populasi di dalam benteng kota
mempengaruhi sistem aliran air.19
Faktor lainnya yang menyebabkan ketidaksehatan lingkungan Batavia
Lama adalah karena Batavia Lama dibangun di atas tanah bekas rawa-rawa.
Faktor tersebut menjadikan angka kematian di Batavia Lama menjadi tinggi.
Penyakit malaria dan kolera yang sempat mewabah juga ikut memakan korban.
Hal ini membuat Batavia Lama mendapat julukan baru, yakni Graf de Hollanders
atau kuburan orang Belanda.20
18 Leonard Blusse, op.cit., hlm. 24-26. 19 Susan Blackburn, op.cit., hlm. 56. 20 Leonard Blusse, op.cit., hlm. 27-29.
26
Gambar 2
Molenvliet sekitar tahun 1890
Sumber: media-kitlv.nl
2. Kondisi Kota Pada Abad XIX
Revolusi Perancis yang terjadi di Eropa berpengaruh besar terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi di Batavia pada abad selanjutnya. Belanda tak
luput dari revolusi besar ini. Yang terjadi kemudian ialah Belanda menjadi bagian
dari negara Perancis dan namanya berubah menjadi Bataafsche Republik atau
Republik Bataaf. Kondisi ini ditambah dengan VOC yang tidak akan bisa
dipertahankan lagi, membuat Batavia dan daerah kekuasaan Belanda di Nusantara
diambil alih oleh pemerintahan Perancis pada saat itu. Napoleon Bonaparte
menyerahkan Kerajaan Belanda kepada kerabatnya yang bernama Louis
Napoleon. Louis Napoleon kemudian mengutus salah satu bawahannya, Herman
Willem Daendels (1808-1811), untuk mengurus daerah jajahan Belanda di bumi
27
belahan timur. Sejak Januari 1808, Daendels menjadi Gubernur-Jenderal di
Hindia Belanda.21 Akibat kondisi yang tidak sehat di Batavia Lama, Daendels
mengambil beberapa tindakan penanggulangan. Tindakan-tindakan tersebut antara
lain memperbaiki saluran air, membersihkan jalan, menimbun genangan air kotor,
memindahkan kantor dan kompleks pemukiman, memperbaiki rumah sakit, serta
merelokasi kompleks makam.22
21 Dinas Kebudayaan Dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta, Lintasan:
Sejarah Jakarta (Jakarta: Dinas Kebudayaan Dan Permuseuman, 2004), hlm. 37. 22 Djoko Marihandono, “Sentralisme Kekuasaan Pemerintahan Herman
Willem Daendels di Jawa 1808-1811: Penerapan Instruksi Napoleon Bonaparte”,
Disertasi Program Studi Ilmu Sejarah Program Pascasarjana Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya UI., hlm. 320.
28
Gambar 3
Kota Batavia yang telah berkembang ke selatan pada tahun 1897,
Societeit Harmonie ditandai dengan bulatan warna kuning, Societeit
Concordia ditandai bulatan warna hitam
Sumber: KITLV
29
Secara administratif Karesidenan Batavia merupakan suatu residentie
(karesidenan) yang dipimpin oleh seorang residen. Daerah administratif
Residentie Batavia dibagi pula secara administratif dalam lingkungan-lingkungan
yang lebih kecil yang disebut afdeeling. Residentie Batavia terdiri atas Afdeeling
Stad en Voorsteden, Afdeeling Meester Cornelis, Afdeeling Tangerang, Afdeeling
Buitenzorg dan Afdeeling Krawang. Afdeeling Stad en Voorsteden van Batavia
dibagi lagi kedalam 4 districten (distrik), yaitu, Penjaringan, Pasar Senen, Mangga
Besar dan Tanah Abang.23
Dalam hal ini, Daendels memindahkan kantor dan kompleks pemukiman
ke pedalaman Batavia. Di daerah baru yang diberi nama Weltevreden24, Daendels
membangun berbagai fasilitas baru dengan cara menghancurkan beberapa gedung
di Batavia Lama. Kemudian di Batavia Baru tersebut muncul daerah pemukiman-
23 Adhitya Hatmawan, “Perkembangan Transportasi Kereta Api di Batavia
1870-1925”, Skripsi Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI, 2002, hlm. 17. 24 Wilayah Weltevreden sendiri pada mulanya ialah sebuah kompleks
tanah yang diberikan kepada Anthony Pavilyun Sr. pada tahun 1648 dengan hak
milik di dekat daerah Waterlooplein. Lahan ini berulang kali pindah tangan. Pada
tahun 1749 lahan tersebut dijual kepada Direktur Jenderal sebesar 28.000 Ringgit
dan di atas lahan tersebut kemudian dibangun sebuah rumah yang besar. Rumah
tersebut biasanya digunakan untuk bermain bilyar. Di belakang rumah terdapat
sejumlah kolam dan di seberang sungai terdapat kolam renang yang luas. Pada
saat Gubernur-Jenderal Jacob Mossel (1750-1761) berkuasa, dibangun sebuah
kapel dan sekolah di kompleks lahan tersebut. Tanah tersebut sempat ditawar oleh
Gubernur-Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten (1796-1801). Gubernur-
Jenderal van Overstraten ingin menjadikan tanah tersebut sebagai tempat
tinggalnya, namun karena harganya yang tinggi maka ia meminta Kepala Balai
Harta Batavia untuk meminjamkan uang kepadanya sebesar 137.803 ringgit
dengan ketentuan bahwa setiap Gubernur-Jenderal berikutnya harus mengambil
alih tanah ini dari pendahulunya dengan harga yang sama. Maka sejak saat itu
rumah di Weltevreden menjadi tempat tinggal Gubernur-Jenderal di Batavia.
Lihat Djoko Marihandono, op.cit., hlm. 323.
30
pemukiman baru seperti Tanah Abang, Gondangdia, Meester Cornelis25, dan
Menteng. Orang-orang membangun rumah-rumah luas dan sejuk di pinggir jalan
yang dinaungi pohon-pohon rindang. Pemandangan ini berbeda dengan
pemandangan yang disuguhkan di Batavia Lama, dengan rumah-rumah bertingkat
dua dan dekat dengan jalan.26 Weltevreden memiliki gereja-gereja baru, sekolah,
klub, dan teater. Dengan adanya fasilitas-fasilitas tersebut membuat Weltevreden
menjadi hunian mewah dan bergengsi. Batavia Baru kemudian kembali
mendapatkan julukan “Ratu dari Timur” yang sebelumnya menjadi julukan bagi
Batavia Lama.27
Akibat banyaknya kanal atau parit yang sudah tidak dapat menampung air
yang mengalir ke laut serta berbau busuk, maka Daendels memerintahkan
penimbunan parit kepada Letnan Buyskes. Untuk tujuan tersebut, banyak rumah-
rumah dan semua bangunan kastil kecuali gudang di Batavia Lama dibongkar.
Puing-puing hasil bongkaran bangunan tersebut digunakan untuk membangun
bangunan-bangunan lain di luar kota seperti Molenvliet, Rijswijk, Kampung Baru,
Weltevreden, dan Meester Cornelis. Daendels kemudian merencanakan
membangun sebuah kota baru di pedalaman Batavia yang letaknya lebih tinggi
dari kota Batavi, yaitu di Weltevreden. Pertama-tama Daendels membangun
tangsi militer dan rumah-rumah mewah untuk para perwira militer. Menyusul
rumah-rumah baru para orang kaya Belanda yang dibangun di sepanjang
25 Saat ini daerah Jatinegara. 26 Willard A. Hanna, op.cit., hlm. 191. 27 Retno Galih, loc.cit.
31
Molenvliet, Rijswijk dan Weltevreden, serta tak lama menyusul pula rumah-
rumah baru di Koningsplein dan di jalan menuju benteng Meester Cornelis.28
Selain memindahkan pemukiman, Daendels turut serta memindahkan
sarana-sarana lainnya dari Batavia Lama. Daendels membangun sebuah istana
yang rencananya akan digunakan sebagai kantor pemerintahan baru dan tempat
tinggal Gubernur-Jenderal di Waterlooplein, serta memindahkan gedung Societeit
dari Batavia Lama.29
Gedung dan sarana umum di Weltevreden, gedung teater, gedung klub
atau perkumpulan seperti Harmonie dan Concordia, Kastil Daendels, dan balai
kota, seluruhnya dirancang oleh arsitek militer yang menamakan hasil rancangan
mereka sebagai “colonial empire style” pada bangunan yang dibangun paruh awal
abad XIX. Kemudian untuk bangunan yang dibangun paruh kedua abad XIX
dinamakan gaya “late empire” atau “neo-classical empire style”.30
Pembangunan istana di Waterlooplein dilanjutkan oleh Gubernur-Jenderal
Du Bus de Gisignies (1825-1830). Selain itu Du Bus membangun taman kota
yang baru beserta vila-vila berhias pohon rindang di pinggir jalan besar.31
28 Loc.cit. 29 Ibid, hlm. 326. 30 Pauline Dubline Milone, Queen City of the East: The Metamorphosis of
a Colonial Capitol, (Michigan: University Microfilms USA & England, 1966),
hlm. 314. 31 H.C.C. Clockener Brousson, Batavia Awal Abad 20, (Depok: Masup
Jakarta, 2007), hlm. 46.
32
Gambar 4
Suasana Waterlooplein pada tahun 1842
Sumber: KITLV
Akibat perombakan besar-besaran yang terjadi di kota Batavia dan
pembangunan ibukota baru Hindia Belanda ini, Weltevreden selanjutnya
mendapat julukan sebagai Ratu dari Timur. Julukan ini tentu saja merupakan
julukan lama yang ‘dianugrahkan’ kepada kota Batavia Lama sebelum berubah
menjadi “Makam orang Belanda”. Julukan tersebut tentu saja berkaitan degnan
dibangunnya berbagai sarana pendukung kehiduapn sosial yang baru, seperti
jaringan komunikasi, sarana transportasi, dan kemunculan pabrik-pabrik sebagai
sarana pendukung kegiatan perekonomian. Selain itu sistem pemerintahan yang
dikembangkan serta masalah kebersihan kota yang sangat diperhatikan juga
menjadi pertimbangan. Para pendatang dari Inggris bahkan menganggap wilayah
33
ini cukup baik jika dibangingkan dengan koloninya, yaitu Singapura, dan
merupakan kota yang patut dipamerkan di daerah khatulistiwa.32
Gambar 5
Herman Willem Daendels (1764-1873) dilukis oleh Charles Howard
Hodges, yang berpangkat Maarchalk van Holland
Sumber: Handinoto, “Daendels dan Perkembangan Arsitektur di Hindia
Belanda Abad XIX”, Dimensi, Vol. 36, nomor 1, Juli 2008, hlm. 4.
32 Mega Destriyana, loc.cit.
34
B. Kondisi Demografi Batavia Abad XIX
1. Populasi Penduduk Batavia Abad XIX
Terdapat banyak etnis yang tinggal di Batavia. Sebelum abad XIX,
diketahui bahwa budak merupakan satu-satunya kelompok populasi terbesar di
Batavia hingga paruh terakhir abad XVIII. Mereka berasal dari berbagai tempat
dan bermacam-macam etnis. Sebagian besar budak dimiliki oleh orang Eropa
yang menjadikan mereka sebagai pengiring untuk memamerkan kekayaan. Rata-
rata budak yang dimiliki oleh seorang Eropa yang kaya bisa mencapai 5 orang
atau lebih.33 Populasi para imigran Cina menempati posisi kedua sebagai etnis
dengan jumlah terbanyak. Selain orang Cina dan budak sebagai kelompok utama
penduduk Batavia, penduduk non-Eropa lainnya merupakan orang-orang
campuran, yaitu orang Melayu dan orang Moor34. Kelompok lainnya yang dikenal
pada zaman VOC dan namanya hilang seiring runtuhnya VOC ialah kelompok
Mardijker35.36
Memasuki periode abad XIX, Batavia mengalami transformasi yang cukup
signifikan baik dari segi masyarakat maupun birokrasi pemerintahan. Dari segi
33 Susan Blackburn, op. cit, hlm. 30-31. 34 Orang Moor adalah pedagang Muslim India yang kebanyakan berasal
dari Gujarat, dimana Belanda memiliki sebuah pos dagang di sana. 35 Sebutan lain untuk kelompok ini adalah “Orang Portugis Hitam”.
Masyarakat kelompok Mardijker merupakan budak-budak yang dimerdekakan
oleh seorang Portugis karena menjadi penganut Kristen. Kata Mardijker berasal
dari bahasa Belanda lama yang merupakan kata Portugis dari Maharddhika.
Apabila diartikan ke dalam bahasa Melayu, artinya menjadi merdeka. Orang-
orang Mardijker sebagai pewaris budaya Mestizo milik orang Portugis
diperkenankan mengenakan pakaian. Pakaian mereka merupakan kombinasi dari
unsur Eropa dan Asia. Mereka biasanya memakai sutera Portugis dan topi lebar,
hanya saja tanpa sepatu. Mereka berbicara dalam bahasa Portugis yang sudah
tidak asli. Lihat Jean Gelman Taylor, op. cit, hlm. 83. 36 Ibid. hlm. 41.
35
masyarakat, terjadi pembauran antara anggota tentara kolonial Belanda dengan
anggota NHM (Nederland Handel Maatschappij) yang berlatar belakang sebagai
pedagang. Sementara dari segi birokrasi terjadi perubahan dari pemerintah
kompeni (VOC) ke pemerintah tanah jajahan Hindia Belanda. Dampak sosial dari
perubahan birokrasi tersebut adalah imigrasi besar-besar orang Belanda ke Hindia
Belanda. Mereka bukan kaum proletar dan petani yang dahulu dibawa J.P.Coen
untuk dipekerjakan di VOC, melainkan kaum borjuis kecil dan para pedagang,
sehingga mereka turut berperan dalam perkembangan sosial kehidupan kota
Batavia.37 Dalam gelombang baru imigran ini, ikut serta para perempuan sebagai
istri dan anak pegawai pemerintah serta pengusaha. Jumlah imigran perempuan
selalu lebih sedikit jika dibandingkan dengan imigran laki-laki.38
Daerah Penjaringan dan Mangga Besar merupakan daerah padat penduduk
sebelum abad XIX. Kemudian daerah pemukiman ini bergeser sekitar tiga mil ke
selatan Mangga Besar, yaitu daerah sepanjang Sungai Ciliwung hingga Meester
Cornelis. Pergeseran pemukiman ini disebabkan oleh keadaan sanitasi yang
kurang baik serta banjir yang sering menggenangi wilayah tersebut.
Perkembangan kota Batavia dipicu oleh pesatnya pertambahan jumlah penduduk.
Pada tahun 1815, sebagaimana dilaporkan oleh Raffles, penduduk yang bermukim
di kota lama dan kota baru berjumlah 47.217 jiwa. Pada tahun yang sama Raffles
melaporkan jumlah penduduk Afdeeling Stad en Voorsteden van Batavia
sebanyak 332.615 jiwa dan Residentie Batavia berjumlah 439.952 jiwa. Kenaikan
penduduk yang mencolok terjadi pada tahun 1848 hingga 1850. Selama dua tahun
37 Yudi Prasetyo, op.cit., hlm. 12. 38 Jean Gelman Taylor, op.cit., hlm. 228.
36
tersebut jumlah penduduk naik hingga 28%, sejumlah 64.798 jiwa. Kemudian
antara tahun 1865 dan 1868 berjumlah 405.149 jiwa atau naik sekitar 44% dalam
tiga tahun. Kenaikan jumlah penduduk dapat dikatakan akibat menurunnya angka
kematian orang Eropa yang mencapai 227,7 perseribu orang pada tahun-tahun
sebelumnya, menjadi 54,1 perseribu orang pada tahun 1844. Hal ini terkait dengan
semakin meningkatnya kesehatan penduduk terutama setelah ditemukannya kina
sebagai obat anti malaria, yang menjadi salah satu penyakit pemicu kematian pada
tahun-tahun sebelumnya.39
Faktor yang kuat dan sangat mempengaruhi pertumbuhan penduduk di
Batavia memasuki akhir abad XIX adalah adanya pembangunan pelabuhan
Tanjung Priok pada tahun 187740, menyebabkan kenaikan penduduk yang
signifikan pada tahun 1893. Mengenai populasi penduduk di wilayah Batavia dan
sekitarnya digambarkan melalui tabel 1.
39 Adhitya Hatmawan, op.cit., hlm. 19. 40 Susan Blackburn, op.cit., hlm. 124.
37
Tabel 1
Populasi Kota Batavia dan Pinggiran Kota41
Catatan:
Termasuk 5.000 penduduk Jawa di luar dinding benteng.
a. Termasuk sejumlah kecil penduduk Timor.
b. Seluruh penduduk asli.
c. Tidak termasuk 1.260 penduduk Belanda dan 359 penduduk asli di
garnisun.
Sumber: 1673 : Dagh-Register, 1674 (Batavia: 1902), hlm. 27-30.
1815 : T.S. Raffles, History of Java (2nd ed., London: 1830), Vol. II,
hlm. 270
1893 : Encyclopedie van Nederlandsch Indie (The Hague/Leiden, n.d.),
Vol. I, hlm. 140
41Lance Castle,Profil Etnik Jakarta, (Depok: Komunitas Bambu, 2007),
hlm. 153.
Keterangan Suku atau
Etnis
Tahun
1673 1815 1893
Eropa dan Indo 2.750 2.028 9.017
China (Termasuk
Peranakan)
2.747 11.854 26.569
Mardijker (Portugis) 5.362 - -
Arab - 318 2.842
“Moor” (India) 6.399a
119
Jawa (termasuk Sunda) 3.311
72.241c
Kelompok Sulawesi Selatan - 4.139b
Bali 981 7.720
Sumbawa - 232
Ambon dan Banda - 82
Melayu 611 3.155
Budak 13.278 14.249 -
Total 32.068d 47.217 110.669
38
Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa pada akhir abad XIX terjadi kenaikan
penduduk yang cukup tinggi. Komposisi etnis di Batavia dalam tiga zaman
terlihat jelas. Pada akhir abad XIX, beberapa kelompok etnis yang ditunjukkan
pada kolom kedua dalam Tabel 1 telah kehilangan jatidiri mereka dan mulai
digolongkan ke dalam etnis Betawi42. Pada tahun 1815, dapat dilihat bahwa
terdapat banyak etnis-etnis dari luar Pulau Jawa. Etnis Sulawesi, Bali, Sumbawa,
Ambon dan Banda. Etnis-etnis ini tinggal di Batavia sebagai budak. Hal ini
membuktikan bahwa populasi penduduk Batavia pada masa tersebut dipenuhi
oleh para budak, terutama yang berasal dari pulau timur Nusantara. Para budak-
budak dari berbagai suku tersebut kemudian membaur menjadi satu dan pada
tahun 1893 diidentifikasi berjumlah 72.241 sebagai satu kesatuan dalam arti tidak
dibedakan menurut etnisnya lagi seperti pada tahun 1815. Sama dengan para
budak, orang-orang Mardijkers atau yang disebut sebagai bangsa Portugis, lambat
laun berbaur dengan masyarakat lainnya. Pada akhir abad XVIII, sebagian dari
para Mardijker bergabung dengan masyarakat Indo-Eropa, lainnya menganut
agama muslim dan berbaur ke dalam kelompok etnis Betawi.43
2. Kondisi Sosial Masyarakat Batavia Abad XIX
Orang-orang Belanda pada awal abad XIX hampir tidak bisa digolongkan
sebagai orang Eropa, karena selain warna kulit, perawakan, dan bentuk wajah,
42 Dalam hal ini mencakup etnis Cina Peranakan, Mardijker, Moor, dan
Arab. 43 Lance Castle, op.cit., hlm. 158.
39
gaya hidup serta bahasa mereka telah melebur ke dalam karakter pribumi.44 Ini
membuktikan bahwa kebudayaan Indis telah meluas. Orang-orang Belanda yang
tinggal di Batavia maupun Jawa telah membentuk sebuah kebudayaan yang benar-
benar baru dan hanya bisa ditemukan di Hindia Belanda.45 Pada abad XIX, belum
ada pendidikan yang memadai di Batavia. Karena itu orang-orang kaya di Hindia
Belanda yang ingin menyekolahkan anaknya harus mengirim anaknya ke negeri
Belanda atau daratan Eropa manapun.46
Sesudah VOC dibubarkan, orang-orang Belanda lebih cenderung
berhubungan langsung dengan penduduk pribumi. Memasuki abad XIX, mereka
lebih memilih banyak tampil dengan cara berinteraksi dan lebih terbuka terhadap
lingkungan di sekitarnya serta para pribumi. Sejak diterapkannya sistem tanam
paksa pada tahun 1830 telah memunculkan perubahan dengan ditempatkannya
priyayi ke tingkat yang setara dengan orang-orang Belanda. Hal ini dimaksudkan
agar priyayi dapat ikut serta dalam pengawasan berjalannya sistem tanam paksa
yang diprakarsai oleh Van den Bosch tersebut.47
Orang-orang Eropa abad XIX, dimana mereka sudah menjadi bagian dari
kebudayaan Indies48, telah sepenuhnya mengadopsi budaya setempat dan benar-
44 Mayor William Thorn, Penaklukan Pulau Jawa (Jakarta: PT. Elex
Media Computindo, 2011), hlm. 230. 45 Djoko Soekiman, Kebudayaan Indies Dan Masyarakat Pendukungnya
di Jawa Abad XVII – Medio Abad XX, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya,
2000), hlm. 23. 46 Mayor William Thorn, op. cit., hlm. 231. 47 Fadly Rahman, Rijsttafel: Budaya Kuliner Di Indonesia Masa Kolonial
1870-1942 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama: 2011), hlm. 18. 48 Budaya Indies adalah budaya yang berbeda dengan budaya Belanda.
Orang-orang yang sudah terpengaruh dengan budaya Indies menggunakan bahasa
yang lebih beragam dalam keseharian mereka. Para kaum elite Indies tinggal di
40
benar hidup layaknya pribumi tropis kebanyakan. Kegiatan-kegiatan seperti tidur
siang, minum kopi di pagi hari, dan saling berkunjung satu sama lain. Selain itu,
praktek pergundikan atau menikahi perempuan pribumi di kalangan masyarakat
Belanda dan Eropa pada masa tersebut semakin merajalela. Meskipun begitu,
masyarakat Indies tidak bisa dikatakan bebas dari tekanan. Daendels serta Raffles
pada masa pemerintahan masing-masing telah mengupayakan berbagai cara agar
masyarakat Eropa dan Belanda kembali ke jalan yang benar. Kembali ke jalan
yang benar dalam hal ini berarti tetap berlaku seperti orang Eropa normal di
daratan mereka. Raffles mencoba mengubah gaya hidup masyarakat Indies
dengan mengembangkan tata cara Eropa dalam berbagai aspek kehidupan.49
Pemindahan pusat kota Batavia ke Weltevreden juga menghasilkan tata
kota yang baru untuk berbagai sarana prasarana kota yang dibutuhkan. Hal
tersebut juga berpengaruh terhadap timbulnya pemukiman sesuai kelompok
masyarakat yang ada dan tentu saja semakin memperlihatkan sekat dalam
kehidupan bermasyarakat di Weltevreden dan sekitarnya. Meskipun dasar utama
pembangunan Weltevreden adalah memberikan ruang yang sama kepada semua
kelompok untuk hidup bersama tanpa menganggap rendah atau bahkan
menghilangkan agama atau etnis tertentu, namun bangsa penguasa tetap berada
dalam kelompok yang paling tinggi. Hal ini terlihat dari kawasan tempat tinggal
vila-vila yang luas dan terbuka. Menyantap menu-menu Belanda seperti roti,
daging, dan keju, walau seringkali memakan masakan lokal yaitu menyantap nasi
dan makanan pedas. Mereka berbicara dengan bahasa Melayu dan Portugis, dan
membawahi para seniman. Lihat Djoko Soekiman, op.cit., hlm. 21, dan Jean
Gelman Taylor, op.cit., hlm. 141. 49 Ibid, hlm. 22.
41
di Rijswijk dan Noordwijk50 yang termasuk kawasan Eropa yang penuh dengan
kemewahan. Orang Cina, Arab, dan India sebagai pedagang kelas menengah ke
atas banyak bermukim di daerah Glodok. Sementara masyarakat pribumi tinggal
di perkampungan kumuh, di dalam bangunan yang tidak permanen, dan
tersembunyi dari keramaian. Keberadaan wilayah pemukiman turut
mempengaruhi kualitas hidup dari tiap kelompok masyarakat di Batavia.51
Dalam strata sosial di Batavia pada abad XIX, yang menempati posisi
paling atas adalah masyarakat Eropa murni atau totok, pejabat sipil pemerintahan,
pengusaha swasta, prajurit militer, pemilik perkebunan, beberapa Indo-Eropa
yang menempati posisi tinggi dalam pemerintahan dan militer, ‘petugas’ Timur
Asing (termasuk pengusaha Cina dan Arab) dan beberapa priyayi pribumi yang
diberi penghargaan oleh pemerintah atas kerjasama mereka demi menjaga
perdamaian.52
Perempuan, yang populasinya hingga abad XIX tidak lebih banyak dari
populasi laki-laki, memiliki peran penting. Kehadiran mereka yang masih sedikit,
menjadi penyeimbang dalam kehidupan sosial di Batavia. Sebagai akibat
pengaruh mereka, gaya hidup orang Eropa dan Cina menjadi semakin mirip
dengan pribumi. Orang-orang Belanda beradaptasi dengan gaya hidup pribumi,
seperti memakan rijstaffel, mengenakan sarong di rumah, menikmati tidur siang,
dan sebagainya. Orang Eurasia berbicara dengan bahasa Melayu atau bahasa
Belanda yang dalam pengucapannya memakai struktur pengucapan bahasa
50 Kini termasuk kawasan sekitar Jl. Ir. H. Juanda, DKI Jakarta. 51 Mega destriyana, op.cit., hlm. 5. 52 Pauline Dubline Milone, op.cit., hlm. 150.
42
Melayu. Orang Eurasia mempopulerkan dua bentuk kebudayaan yang banyak
digemari di Batavia yaitu keroncong, jenis musik yang berasal dari orang-orang
mardijker, serta komedi stambul. Komedi stambul adalah teater yang
mementaskan drama asal Eropa Timur Tengah, Indonesia, Cina, dan lain-lain
dalam bahasa Melayu diselingi nyanyian-nyanyian yang diiringi musik pada masa
tersebut. Sebagian besar perempuan yang disebut perempuan Eropa merupakan
orang Eurasia. Mereka membesarkan anak dalam suasana Indonesia. Para orang
kaya biasanya membiarkan anak mereka diasuh oleh budak-budak mereka.
Pendidikan hanya diberikan kepada anak lelaki, sedangkan anak perempuan dirasa
belum penting untuk menerima pendidikan. Para orang tua Belanda biasanya
menyekolahkan anak mereka ke Eropa. Hampir seluruh perempuan Belanda di
Batavia menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa utama, mengenakan kebaya
dan kain batik untuk pakaian sehari-hari. Terdapat spesifikasi pakaian yang
digunakan oleh para perempuan Belanda dan Nyai yaitu kebaya putih dengan
tepian berenda. Sebagian besar para perempuan ini juga melakukan kebiasaan
lokal seperti sering mandi, mengunyah sirih, berjudi kartu Cina, berkonsultasi
pada dukun, mengonsumsi jamu dan percaya guna-guna.53
Pengaruh kehidupan sehari-hari menurut tata cara budaya borjuasi Eropa
dalam kebiasaan masyarakat yang berada di Batavia semakin terlihat jelas. Dalam
kebiasaan makan dan jenis menu makanan terlihat adanya pengaruh budaya
Eropa. Makanan kemasan dalam kaleng yang diimpor dari Eropa mulai banyak
memasuki pasaran dan banyak dikonsumsi oleh orang-orang Eropa maupun elit
53 Ibid, hlm. 105-115.
43
pribumi, dan tradisi perdagangan produk makanan mulai muncul di Batavia. Pada
masa itu mulai dikenal berbagai macam jenis makanan modern Barat seperti ikan
atau daging kalengan, daging ham, bermacam-macam jenis kue/roti, dan menu
makanan Eropa, serta bahan-bahan makanan Eropa seperti mentega, coklat,
permen, dan sebagainya. Demikian pula dengan minuman. Berbagai minuman
yang biasa dikonsumsi masyarakat dari daratan Eropa, terutama minuman keras,
beredar di Hindia Belanda. Batavia, sebagai kawasan pemerintahan sentral, tidak
luput dari peredaran minuman keras. Para pejabat pemerintahan dan kaum elit
Batavia mengonsumsi minuman keras ini. Pada zaman tersebut telah banyak
minuman keras yang dikemas dalam botol seperti wishky, anggur, cognag, bir, bir
hitam, lemonade, air Belanda, sari buah, siroop, dan lainnya. Minuman keras yang
berjenis anggur, cognag, atau wishky diimpor dari Perancis dan tergolong
minuman mahal yang sangat bergengsi. Biasanya minuman tersebut hadir dalam
acara-acara pesta mewah kaum elit.54
C. Pusat-Pusat Hiburan di Weltevreden Abad XIX
Dibangunnya kota Batavia Baru membuat semangat masyarakat kolonial
kala itu naik. Hal ini membuat kehidupan di Weltevreden dan wilayah lain di
Batavia Baru tampak lebih hidup. Fasilitas yang menunjang turut membuat kota
Batavia Baru sibuk. Pada awal terbentuknya Batavia Baru, Thomas Standford
Raffles (1811-1816), yang menggantikan Gubernur-Jenderal Janssens pada tahun
54 Yusana Sasanti Dadtun, Minuman Keras di Batavia Akhir Abad XIX,
(Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016), hlm. 100.
44
1811, membangun Schouwburg55 atau gedung kesenian berkapasitas 250 orang
pada tahun 1814. Pembangunan gedung kesenian di dekat Pasar Baru dilakukan
secara mendadak menjelang pementasan perdana opera pada 2 Oktober 1814.
Gedung kesenian yang awalnya dibangun dari bambu kemudian dipugar dan
dibuat permanen pada tahun 1820. Gedung kesenian tersebut kemudian menjadi
sebuah bangunan yang amat dipuja masyarakat Batavia kala itu dan kerap
mempertunjukkan opera-opera dari daratan Eropa.56
Selain pertunjukan opera yang diadakan di gedung kesenian, Batavia
memiliki beberapa tempat lainnya yang sering dikunjungi oleh masyarakat untuk
menghibur diri. Sebut saja Waterlooplein, sebuah lapangan luas dengan patung
singa di atas tiang tinggi di tengahnya. Patung singa di atas tiang tinggi ini
dibangun untuk mengenang kemenangan dalam pertempuran Waterloo. Di sisi
selatan Waterlooplein terdapat sebuah klub militer bernama Concordia57. Di
depan Concordia sering diadakan parade musik militer yang dapat dinikmati oleh
siapapun, yang datang dengan mengenakan busana terbaik dan mengendarai
kereta kuda.58
Memasuki abad XIX, kaum elit Batavia memiliki sebuah kebiasaan baru.
Mereka biasa menghibur diri di sebuah societeit atau soos, yaitu sebuah klub. Ada
dua klub penting di Batavia yaitu De Harmonie dan Concordia. De Harmonie di
kemudian hari juga ditemukan di berbagai kota besar dimana banyak populasi
55 Kini beralih fungsi sebagai gedung Kesenian Jakarta. 56 Threes Susilastuti, Kisah Jakarta Tempo Doeloe, (Jakarta: Intisari,
1988), hlm. 120. 57 Kini lokasinya ditempati oleh Hotel Borobudur. 58 Susan Blackburn, op.cit., hlm. 75.
45
masyarakat Eropa, sedangkan Concordia merupakan societeit militer. Bangunan
tersebut dibangun pada tahun 1836. Anggotanya kebanyakan berasal dari
garnisun-garnisun militer di Batavia, sebelum dibuka untuk umum. Kedua
bangunan klub tersebut menyediakan fasilitas yang sering ditemukan di klub-klub
lainnya. Kebanyakan fasilitas seperti billiar, meja kartu, meja baca dengan banyak
buku dan jurnal, sebuah perpustakaan, serta ruang makan dan bar merupakan
fasilitas yang diperuntukkan untuk para laki-laki.59 Menurut peta di gambar 3,
jarak antara Societeit de Harmonie dengan Societeit Concordia tergolong cukup
dekat yaitu berjarak 0,8 km.
D. Societeit De Harmonie di Batavia Sebelum Abad XIX
Sebelum adanya sebuah wadah atau tempat yang dikhususkan untuk
tempat perkumpulan (klub), masyarakat VOC menggunakan hotel sebagai tempat
bertemu satu sama lain. Meskipun pembangunan hotel maupun klub malam telah
diatur dan dibatasi oleh peraturan yang dibuat pemerintah tertinggi, pada tahun
1777 pertumbuhan klub-klub malam di Batavia meningkat. Tercatat pada tahun
tersebut terdapat 102 pub dan klub malam baik di luar maupun di dalam kota
Batavia.60
Gagasan untuk membangun sebuah gedung perkumpulan atau yang
kemudian disebut societeit timbul sejak para pelaut VOC mendarat di Teluk
59 Pauline Dubline Milone, op.cit., hlm. 150. 60 F.R.J. Verhoeven, De Jonge Jaren van de Harmonie, (Batavia: De Unie,
1948), hlm. 1.
46
Jakarta. Mereka yang berbulan-bulan berada di lautan, sejak merapatkan haluan di
Bandar Jakarta, segera disambut bau arak yang menyengat nan harum. Kala itu
memang industri arak sudah berkembang di Batavia, yang sebelumnya disebut
Jacatra. Seiring berjalannya waktu banyak kedai-kedai yang menjual arak
bermunculan di sepanjang tepi kali Ciliwung. Kedai yang jumlahnya hanya
selusin pada tahun 1774, meroket jumlahnya hingga 102 buah kedai tiga tahun
kemudian. Meskipun orang-orang Belanda yang tinggal di daerah tersebut belum
terlampau banyak. Kemunculan kedai-kedai ini membuat penguasa Belanda
menjadi risau. Arak, bir Belanda dan Inggris, serta anggur Spanyol dan Afrika
Selatan yang memabukkan, menjadi pemicu banyaknya pertengkaran maupun
perkelahian di kalangan para kelasi. Sering kali malah terjadi pertumpahan
darah.61
Tentu kaum elit Eropa yang tinggal di Batavia tidak akan mendatangi
tempat minum seperti itu. Mereka lebih suka mengadakan pesta di rumah seraya
mengundang pemain musik, naik perahu berhias di Kali Ciliwung yang airnya
coklat, pergi ke pesta tembak atau pesta lain. Belum ada tempat seperti societeit
atau tempat terhormat untuk minum pada masa tersebut.62
Selanjutnya pada 1776, Reiner de Klerk, yang kemudian menjabat sebagai
Gubernur-Jenderal VOC, mengajukan saran supaya sebaiknya dibangun tempat
pertemuan umum di Batavia. Saran ini diajukan agar gaya hidup di Batavia tidak
terlalu liar dan urakan, serta sebuah sarana untuk mencari jodoh yang pantas. Saat
ide de Klerk disuarakan, banyak yang menentang. Namun begitu masa
61 Threes Susilastuti, op.cit., hlm. 103. 62 Ibid. hlm. 104.
47
pemerintahannya tiba, dibangunlah societeit Hindia Belanda di Buiten
Nieuwpoorstraat63.64
Menurut De Haan, di gedung Societeit Harmonie lama di Jalan Pintu
Besar Selatan tersebut terdapat lapangan golf, jalan setapak, serta taman besar.
Sebelum dibangunnya gedung societeit, pada 1776 pertemuan maupun pesta dan
kegiatan menghibur lainnya dilakukan di bar-bar yang tutup sekitar pukul
sembilan malam, serta di loji Freemason yang terbentuk sejak tahun 1736. Hingga
tahun 1818, pertemuan khusus para pria diadakan di kantor umun, namun juga di
Heerenlogement (hotel khusus pria). Hotel khusus pria ini pertama kali berdiri
tahun 1744 diprakarsai oleh Van Imhoff. Terletak di dekat Vierkantsplein (Pasar
Ikan di sebelah barat, di sebelah timur terdapat rawa, dan dekat dengan Menara
Pengintai) dimana daerah tersebut merupakan area paling kotor dan kumuh.
Heerenlogement tersebut kemudian pindah ke Jalan Jacatra (Jacatraweg) pada
1818 di sebelah kiri Toko Merah yang masih berdiri hingga saat ini.65
Sementara itu, satu-satunya data tentang pengumuman pertemuan di
societeit lama dikutip De Haan dalam bukunya. Pada tahun 1807, Sekretaris
Societeit Harmonie mengumumkan bahwa “Pertemuan umum seluruh anggota
klub Societeit Harmonie, pada Senin, 8 Juni 1807 pada pukul 06.30 malam
tentang pungutan suara antara Tuan P. Jansen dan J.M. Jaulen.”66
63 Pintu Besar Selatan, saat ini berada di daerah sekitar Kota Tua, DKI
Jakarta . 64 Threes Susilastuti, loc.cit. 65 F. De Haan, Oud Batavia, Gedenboek Volume II, (Batavia: G. Kolff &
co, 1922), hlm. 27, 32, & 174-176. 66 Ibid, Gambar H14.
48
Meskipun komunitas Eropa di Batavia adalah yang paling besar di Jawa,
namun sisi kehidupan mereka terlalu monoton dan menjemukan dibanding
komunitas lainnya di kota lain. Kehidupan mereka begitu sibuk, hanya berkutat
pada pekerjaan dari pagi hingga sore hari. Malam hari dipergunakan untuk
berjalan-jalan melepas penat dan sesudah makan malam mereka berada di teras
depan rumah, mengobrol, dan membaca surat kabar maupun majalah. Karena di
siang hari masyarakat Eropa ini sibuk, maka malam hari menjadi lebih hidup
daripada siang hari.67 Kaum elit Batavia biasanya menghabiskan malam mereka di
sebuah klub ternama Batavia, yaitu Societeit de Harmonie, dimana tidak
sembarang orang bisa masuk ke dalam klub tersebut. Di sana para pengunjungnya
menghabiskan waktu dengan bermain kartu maupun bermain bola sodok. Selain
itu sering pula diadakan perjamuan makan malam dan pesta dansa di Harmonie
maupun di lingkungan militer Concordia.68
Walaupun terdapat dua klub besar di Batavia, namun klub-klub ini tidak
bisa dimasuki oleh semua kalangan. Societeit Concordia diperuntukkan bagi
kalangan militer sementara Societeit Harmonie dikhususkan bagi kaum elit dan
bangsawan Eropa. Keanggotaan Societeit Harmonie pun bersifat resmi dan dinilai
bergengsi pada masanya. Juga tidak sembarang orang bisa menjadi anggota tetap
komunitas Harmonie karena seleksinya yang ketat. Banyaknya pejabat tinggi
Hindia Belanda yang berkunjung ke Harmonie juga membuat Harmonie semakin
67 Agung Wibowo,”Gaya Hidup Masyarakat Eropa di Batavia Pada Masa
Depresi Ekonomi (1930-1939)”, Skripsi Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya UI, 2012, hlm. 37. 68 Bernard Dorléans, Orang Indonesia & Orang Perancis: Dari Abad XVI
Sampai Dengan Abad XX, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2016), hlm.
481.