A. Kepuasan Pernikahan 1. Pengertian Kepuasan Pernikahaneprints.mercubuana-yogya.ac.id/4217/3/BAB...
-
Upload
truongkiet -
Category
Documents
-
view
218 -
download
0
Transcript of A. Kepuasan Pernikahan 1. Pengertian Kepuasan Pernikahaneprints.mercubuana-yogya.ac.id/4217/3/BAB...
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kepuasan Pernikahan
1. Pengertian Kepuasan Pernikahan
Pernikahan berasal dari kata nikah yang memiliki arti ikatan (akad)
perkawinan yang dilakuan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.
Pengertian dari pernikahan sama halnya dengan perkawinan (Departemen
Pendidikan Indonesia, 2008). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No 1
Tahun 1974 Pasal 1 tentang perkawinan disebutkan bahwa :
“Pernikahan adalah ikatan lahir dan batin yang terjadi antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.
Pernikahan didefinisikan sebagai hubungan yang diakui secara sosial antara
pria dan wanita yang didalamnya terdapat hubungan seksual, hak membesarkan
anak secara legal dan membangun suatu divisi pekerjaan dengan pasangan (Rini
dan Retnaningsih, 2008). Hal ini sejalan dengan pendapat dari Walgito (2004) yang
mengungkapkan pernikahan merupakan bersatunya seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri. Olson, DeFrain, dan Skogrand (2008) mengemukakan
bahwa pernikahan merupakan suatu komitmen emosional yang sah dari dua orang
untuk berbagi hubungan emosional dan fisik, tugas-tugas, serta sumber ekonomi.
Srisusanti & Zulkaida (2013) menyatakan bahwa pada setiap individu yang
melakukan pernikahan memiliki harapan untuk dapat memperoleh kepuasan
15
pernikahan, memperoleh keharmonisan serta dapat merasakan kenyamanan,
ketentraman, dan dapat mengaktualisasikan diri pada masing-masing pasangan
secara meksimal. Lestari (2012) menyatakan bahwa kepuasan perkawinan
mengarahkan pada suatu perasaan positif yang dimiliki pasangan, yaitu suami dan
istri memiliki perasaan yang lebih pada kenikmatan, kesenangan, dan juga perasaan
kesukaan terhadap pernikahannya.
Karney, dkk (dalam Alihosseini, 2014) mendefinisikan bahwasannya
kepuasan pernikahan merupakan status bagi seorang suami dengan seorang istri
yang merasakan dirinya sejahtera dan senang dengan hubungan pernikahan yang
dijalaninya. Selanjutnya Fowers dan Olson (dalam Anindya & Soetjiningsih, 2017)
berpendapat, bahwa kepuasan pernikahan adalah perasaan subyektif yang dirasakan
oleh pasangan suami istri berkaitan dengan aspek yang ada dalam suatu pernikahan,
seperti rasa bahagia, puas, serta pengalaman-pengalaman yang menyenangkan
bersama pasangannya. Menurut Hendrick (dalam Sukmawati, 2014) kepuasan
pernikahan dapat merujuk pada bagaimana pasangan suami istri mengevaluasi
hubungan pernikahan mereka, apakah baik, buruk, atau memuaskan.
Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan
pernikahan merupakan suatu perasaan positif yang bersifat subyektif bagi suami
ataupun istri, yang berkaitan dengan adanya rasa sejahtera, bahagia, dan perasaan
puas karena telah terpenuhinya harapan serta terpenuhinya kebutuhan masing-
masing dalam hubungan pernikahan yang dijalani.
16
2. Aspek-Aspek Kepuasan Pernikahan
Dalam menggali kepuasan pernikahan terdapat beberapa aspek kepuasan
pernikahan yang dapat menjelaskannya. Olson & Olson (2000) menyatakan
beberapa aspek dalam kepuasan pernikahan, yaitu :
a. Komunikasi
Lestari (2012) menyatakan bahwa komunikasi merupakan suatu aspek yang
penting dalam kepuasan pernikahan. Hal tersebut terjadi karena berkaitan
dengan hampir seluruh aspek dalam hubungan pasangan suami istri. Lebih
lanjut, Olson & Olson (2000) beranggapan jika hasil dari diskusi dan
pengambilan keputusan di dalam keluarga yang mencakup keuangan, anak,
karir, agama bahkan dalam setiap pengungkapan perasaan, hasrat, dan
kebutuhan akan tergantung pada gaya, pola serta keterampilan dalam
berkomunikasi.
Lestari (2012) keterampilan dalam berkomunikasi dapat terwujud dalam
kecermatan memilih kata yang digunakan dalam menyampaikan suatu informasi
pada pasangan. Pemilihan kata yang kurang tepat dapat menimbulkan kesalahan
persepsi pada pasangan yang diajak untuk berbicara. Selain itu, intonasi dalam
melakukan komunikasi juga perlu diperhatikan karena penekanan pada kata
yang berbeda, meskipun dalam kalimat yang sama juga dapat menimbulkan
respons perasaan yang berbeda pada pasangan. Olson & Olson (2000)
menyatakan bahwa komunikasi memiliki kemampuan untuk menyatukan dan
juga untuk memisahkan pasangan. Kemauan dan kemampuan dalam
17
berkomunikasi sangat berkonstribusi terhadap kebahagiaan atau kepuasan pada
pasangan.
b. Fleksibilitas
Lestari (2012) fleksibilitas merefleksikan kemampuan pada pasangan suami
istri untuk berubah dan beradaptasi sesuai kondisi yang diperlukan. Olson &
Olson (2000) menyatakan bahwa fleksibilitas berfokus pada bagaimana
terbukanya pasangan suami/istri dan keluarga dalam hubungan diantaranya
seperti kepemimpinan, hubungan peran suami-istri serta keluarga, dan aturan-
aturan dalam menjalin hubungan tersebut. Lestari (2012) juga menyatakan
bahwa adanya kejelasan dalam pembagian peran menjadi tanggungjawab suami
dan istri yang tidak bersifat kaku serta dapat disesuaikan melalui kesepakatan
bersama berdasarkan situasi yang sedang dihadapi.
c. Kedekatan
Lestari (2012) kedekatan pasangan melihat sejauh mana tingkat kedekatan
fisik dan emosional yang dialami oleh pasangan suami istri dan sejauh mana
pasangan suami istri dapat menyeimbangkan antara keterpisahan dengan
kebersamaan. Sejauh mana pasangan suami istri dapat saling membantu dan juga
dapat mengungkapkan perasaan dekat secara emosi. Pentingnya kedekatan dan
kebersamaan dalam hal ini tidak mengharuskan pasangan suami istri untuk
selalu bersama.
d. Kecocokan Kepribadian
Lestari (2012) kecocokan kepribadian memiliki makna bahwasannya sifat
ataupun perilaku yang ada pada pasangan tidak dianggap sebagai dampak yang
18
negatif menurut dirinya. Banyaknya kesamaan hobi dan sifat dalam diri
pasangan tidak dapat menentukan cocok atau tidaknya kepribadian seseorang
dengan pasangannya. Hal tersebut dirasa juga tidak akan menimbulkan masalah
selama masih terdapat penerimaan dan pengertian dalam diri masing-masing.
Selain itu, jika terdapat penerimaan pada diri istri terhadap kepribadian yang
sulit berubah, maka hal ini akan menimbulkan dampak positif pada kebahagiaan
pernikahan yang dirasakannya.
e. Resolusi Konflik
Olson & Olson (2000) konflik merupakan bagian alami dan tidak terelakkan
dari hubungan manusia. Hubungan pernikahan tidak selalu harmonis karena
adanya perbedaan yang dimiliki. Lestari (2012) resolusi konflik berkaitan
dengan sikap, perasaan, serta keyakinan seseorang terhadap penyelesaian
konflik dalam berhubungan untuk mengenali dan mencari pemecahan masalah
secara bersama sebagai strategi yang digunakan untuk mendapatkan solusi.
f. Relasi Seksual
Olson & Olson (2000) relasi seksual bertindak sebagai alat ukur emosional
dalam suatu hubungan yang dapat mencerminkan kepuasan pasangan.
Hubungan seksual yang baik, datang dari hubungan emosional yang baik dengan
pasangan suami istri. Pasangan suami istri dengan hubungan emosional yang
baik dipastikan memiliki hubungan fisik yang baik. Lestari (2012) menjelaskan
bahwasannya kualitas relasi seksual merupakan kekuatan penting bagi
kebahagiaan istri yang dalam hal ini lebih berfokus untuk dapat memahami
perspektif satu sama lain terhadap kebutuhan masalah seksual dan juga terhadap
19
ketertarikan seksual. Selain itu, kemampuan dalam bersikap serta menunjukkan
afeksi terhadap pasangan ketika berhubungan seksual juga dinilai dapat
berpengaruh terhadap kepuasan relasi seksual.
g. Kegiatan Mengisi Waktu Luang
Kegiatan mengisi waktu luang yang dimaksud adalah kegiatan yang
dilakukan untuk memanfaatkan aktivitas jeda (time out) dari rutinitas pekerjaan
yang dilakukan secara personal ataupun dengan orang lain di luar anggota
keluarga untuk di ganti dengan kegiatan yang dilakukan bersama suami atau istri
sebagai anggota keluarga (Lestari, 2012).
h. Keluarga dan Teman
Lestari (2012) keluarga dan teman merupakan konteks yang dinilai paling
penting bagi pasangan dalam membangun hubungan yang berkualitas. Keluarga
yang di pandang sebagai family of origin banyak mempengaruhi kepribadian.
Keterlibatan orang tua dapat memperkuat atau memperlemah kualitas relasi pada
pasangan suami istri. Selain itu, keterlibatan teman juga dapat dijadikan sebagai
tempat untuk meminta pertimbangan dan bantuan bagi istri yang sedang
menghadapi persoalan dalam pernikahannya.
i. Pengelolaan Keuangan
Menurut Lestari (2012) pengelolaan keuangan merupakan bagian yang
penting dari persoalan ekonomi di dalam pernikahan. Suami dan istri harus
memiliki tanggungjawab secara bersama dalam hal menghitung keseimbangan
pendapatan dan pengeluaran keuangan keluarga. Hal ini dilakukan dengan
tujuan agar dapat meminimalisir persoalan ekonomi seperti ketidaksamaan
20
dalam menentukan kebutuhan belanja, melakukan penghematan keuangan,
timbulnya perbedaan pandangan mengenai makna uang serta kurangnya
perencanaan dalam menyisihkan uang untuk ditabung.
j. Keyakinan Spiritual
Lestari (2012) menyatakan bahwa keyakinan spiritual dapat memberikan
pondasi atau landasan bagi nilai dan perilaku individu serta pasangan suami istri
dalam pernikahan. Spiritualitas merujuk pada kualitas batin yang dirasakan
suami ataupun istri dalam hubungannya dengan Tuhan, makhluk lain, dan nurani
mengenai ajaran agama yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Olson &
Olson (2000) berpendapat apabila keyakinan spiritual yang kuat, dinilai dapat
memperdalam rasa cinta dan membantu pasangan suami istri untuk mencapai
impian mereka.
Tokoh lain yang juga mengemukakan aspek kepuasan pernikahan adalah
Saxton (dalam Fatimah & Cahyono, 2013) mengatakan, bahwa aspek yang
menyusun kepuasan pernikahan terdiri dari :
a. Kebutuhan materil (biologis)
Kebutuhan materil merupakan terpenuhinya kebutuhan materi yang
dapat membawa kepuasan fisik atau biologis. Kepuasan fisik (biologis)
yang dimaksud meliputi terpenuhinya kebutuhan berupa makanan secara
mandiri, kehidupan rumah tangga yang teratur dan terawat, kondisi
keuangan yang stabil, serta perlindungan yang diberikan pasangan berupa
tempat tinggal.
21
b. Kebutuhan seksual
Kepuasan atas kebutuhan seksual berupa adanya diskusi dan
interaksi hubungan seksual yang memuaskan dapat menjadi kunci kepuasan
dalam pernikahan. Seks juga dpat menjadi kekuatan dalam mencapai
kebahagiaan dan kepuasan pernikahan.
c. Kebutuhan psikologis
Kebutuhan psikologis meliputi kebutuhan akan persahabatan,
keamanan emosional, saling memahami keadaan pasangan, penerimaan
kondisi pasangan, menghormati pasangan, kesamaan pendapat dalam
menemukan solusi, serta hubungan afeksi dan kehangatan di antara
pasangan.
Berdasarkan dari kedua tokoh yaitu Olson & Olson dan Saxton di atas, dapat
diambil kesimpulan bahwa aspek kepuasan pernikahan dapat dilihat apabila
individu mampu untuk memenuhi beberapa aspek yaitu; komunikasi mencakup
komunikasi yang terbuka dengan pasangan, fleksibilitas yang mencakup
kemampuan pasangan untuk berubah dan beradaptasi saat diperlukan, kedekatan
yang mencakup tingkat kedekatan emosional yang dialami pasangan, kecocokan
kepribadian yang mencakup persepsi individu terhadap perilaku dan kepribadian
pasangannya, resolusi konflik yang mencakup penyelesaian konflik, relasi seksual
yang mencakup hubungan seksual dalam pernikahan, kegiatan mengisi waktu
senggang yang mencakup pengisian waktu luang dengan pasangan, keluarga dan
teman yang mencakup hubungan dengan keluarga besar dan juga teman sekitar,
pengelolaan keuangan yang mencakup pengaturan keuangan, keyakinan spiritual
22
yang mencakup hubungan keagamaan, aspek kebutuhan materil, kebutuhan seksual
serta kebutuhan psikologis.
Berdasarkan dua teori tersebut, peneliti memilih menggunakan aspek kepuasan
pernikahan dari Olson & Olson (2000) yaitu; komunikasi, fleksibilitas, kedekatan,
kecocokan kepribadian, resolusi konflik, relasi seksual, kegiatan mengisi waktu
luang, keluarga dan teman, pengelolaan keuangan, serta keyakinan spiritual.
Peneliti memilih aspek-aspek menurut Olson & Olson (2000) karena aspek-aspek
kepuasan pernikahan menurut Olson & Olson (2000) lebih dapat mengungkap
kepuasan pernikahan dan lebih lengkap sehingga memudahkan peneliti dalam
menyusun skala psikologis.
3. Faktor Kepuasan Pernikahan
Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan
berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya :
a. Empati
Taufik (2012) empati merupakan suatu kemampuan untuk dapat memahami
apa yang sedang dipikirkan serta dirasakan oleh orang lain tanpa adanya
kehilangan kontrol dari dalam dirinya. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Sari & Fauziah (2016) menunjukkan bahwa terdapat korelasi
positif yang signifikan antara empati dengan kepuasan pernikahan pada suami
yang memiliki istri bekerja. Hal ini menyatakan bahwa apabila empati suami
yang memiliki istri bekerja tinggi, maka semakin tinggi pula kepuasan
pernikahan yang dialami.
23
b. Hubungan Interpersonal
Robbins (dalam Abadi, dkk , 2015) hubungan interpersonal merupakan
interaksi antara seseorang dengan orang lain dalam situasi kerja dan dalam
organisasi sebagai bentuk motivasi untuk bekerjasama secara produktif
sehingga dapat dicapainya kepuasan ekonomi, psikologis, dan sosial.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Srisusanti & Zulkaida (2013)
diketahui bahwa hasil dari nilai yang paling tinggi pada faktor yang
mempengaruhi kepuasan pernikahan pada istri adalah faktor hubungan
interpersonal. Srisusanti & Zulkaida (2013) hal ini terjadi karena hubungan
interpersonal merupakan pondasi awal bagi pasangan suami-istri untuk
mencapai sebuah pernikahan yang bahagia. Jika hubungan antara suami-istri
sudah terjalin dengan baik maka diasumsikan pernikahan itu akan bahagia dan
individu yang terlibat, khususnya istri dapat merasakan kepuasan karena istri
ditakdirkan menjadi ibu yang mempunyai naluri kasih sayang dan kelembutan.
c. Kehadiran Anak
Bee & Mitchell (dalam Marini & Julinda, 2011) menyatakan bahwasannya
kehadiran anak sangat berpengaruh terhadap menurunnya kepuasan
pernikahan terutama pada wanita. Hendrick & Hendrick (dalam Marini &
Julinda, 2011) penelitian menunjukkan bahwa bertambahnya anak bisa
menambah stress panjang dan mengurangi waktu bersama pasangan. Marini &
Julinda (2011) menyatakan bahwa kehadiran anak dapat mempengaruhi
kepuasan pernikahan suami dan istri yang berkaitan dengan harapan akan
keberadaan anak tersebut.
24
d. Jarak
Marini & Julinda (2011) jarak perpisahan yang semakin jauh menjadikan
kehidupan pasangan suami-istri menjadi semakin berat hingga dapat
menjadikan stress. Jarak yang semakin jauh sama dengan biaya (telepon dan
perjalanan) yang lebih tinggi dan juga membutuhkan energi serta waktu yang
lebih banyak. Gerstel & Gross (dalam Marini & Julinda, 2010) menambahkan,
bahwasannya ketika waktu berpisah semakin tinggi maka akan menyebabkan
ketidakpuasan dalam commuter marriage juga semakin tinggi.
e. Keterbukaan Diri (Self Disclosure)
Benokraitis (dalam Wardhani, 2012) self disclosure merupakan kesediaan
seseorang untuk dapat menceritakan tentang pikiran dan perasaan yang ada
dalam diri sendiri kepada orang lain, dengan harapan dapat menjadikan
komunikasi diantaranya benar-benar terbuka. Taylor (dalam Sadarjoen, 2005)
mengatakan bahwa luasnya keterbukaan serta ketulusan dalam relasi yang
intim dapat memberikan efek yang signifikan pada tingkat kepuasan kedua
pasangan dalam relasi mereka. Sadarjoen (2005) mengungkapkan
bahwasannya semakin tinggi keterbukaaan (self disclosure) kedua pasangan
satu sama lain, maka semakin besar pula kepuasan yang dimiliki.
Sadarjoen (2005) keterbukaan harus dilakukan dalam taraf yang sama.
Maksudnya adalah apabila hanya salah satu pasangan yang memberikan
informasi personal maupun privat secara sementara, maka interrelasi diantara
pasangan tidak akan berkembang. Keterbukaan dalam hal ini menyertakan
peran orang lain untuk mengetahui apa yang disukai, apa yang tidak disukai,
25
pikiran-pikiran, serta perasaan-perasaan yang bagaimana yang dirasakan. Di
dukung dengan hasil penelitian Wardhani (2012) yang menyatakan
bahwasannya istri yang memiliki self disclosure yang tinggi maka persepsi istri
terhadap self disclosure suami pun akan tinggi, sehingga istri memiliki
kepuasan perkawinan yang tinggi.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwasannya ada beberapa
faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan yaitu faktor empati, hubungan
interpersonal, kehadiran anak, jarak, dan keterbukaan diri (self disclosure). Pada
penelitian ini, peneliti memilih faktor empati untuk dijadikan sebagai variabel yang
dinilai turut mempengaruhi kepuasan pernikahan pada istri TNI AL yang
mengalami long distance marriage.
Peneliti memilih Empati sebagai variabel bebas, karena Gilbert (dalam
Howe, 2015) mengatakan, bahwa dengan adanya empati menjadikan istri dapat
memahami persoalan-persoalan yang dipandang dan dirasakan suami melalui sudut
pandang istri sehingga membuat istri menjadi lebih toleran dan pemaaf. Senada
dengan pendapat Johnson (dalam Howe, 2015) yang meyatakan bahwasannya para
istri yang memiliki empati yang baik cenderung dapat mengevaluasi hubungan-
hubungan yang dijalani yang mengakibatkan hubungan pernikahan dengan suami
terjalin secara positif dan dapat mengekspresikan kepuasan pada hubungan-
hubungan yang dimiliki dengan pasangan masing-masing. Hal ini didukung dengan
hasil penelitian yang dilakukan Sari & Fauziah (2016) menyatakan bahwa empati
berpengaruh terhadap kepuasan pernikahan. Empati yang rendah berdampak pada
kepuasan pernikahan yang rendah pada suami yang memiliki istri bekerja.
26
B. Empati
1. Pengertian Empati
Pengertian empati menurut pakar psikologi Titchener (dalam Howe, 2015)
menggunakan istilah empati yang secara etimologinya berasal dari kata Yunani
empatheia dengan arti memasuki perasaan, ikut merasakan keinginan ataupun
kesedihan yang dialami oleh orang lain. Allport (dalam Taufik, 2012)
mendefinisikan empati sebagai perubahan imajinasi seseorang ke dalam pikiran,
perasaan, dan perilaku orang lain.
Kohut (dalam Taufik, 2012) melihat empati sebagai suatu proses dimana
seseorang itu berpikir mengenai kondisi orang lain yang seakan-akan orang tersebut
sedang berada pada posisi orang lain. Selain itu, Kohut juga melakukan penguatan
mengenai definisi tersebut sehingga mengatakan bahwa empati juga merupakan
kemampuan berpikir objektif yang membahas tentang kehidupan terdalam dari
orang lain.
Hoffman (2000) mendefinisikan empati sebagai sebuah respon aktif yang
lebih tepat digunakan untuk keadaan orang lain daripada digunakan untuk keadaan
diri sendiri. Definisi tersebut di dukung dengan pendapat dari Cohen (dalam Howe,
2015) bahwa empati dapat juga didefinisikan sebagai kemampuan untuk dapat
mengidentifikasi apa yang sedang dipikirkan ataupun dirasakan oleh orang lain
dengan tujuan untuk merespon pikiran dan perasaan mereka dengan sikap yang
tepat.
Rogers (dalam Taufik, 2012) memiliki dua pendapat mengenai pengertian
dari empati. Pendapat pertama mengemukakan bahwasannya empati melihat
kerangka berpikir dalam diri orang lain secara lebih akurat, sedangkan pendapatnya
27
yang kedua mengemukakan bahwa empati merupakan proses pemahaman
mengenai orang lain dimana individu berperan seolah-olah masuk dalam diri orang
lain sehingga bisa merasakan dan mengalami sebagaimana yang dirasakan dan
dialami oleh orang lain tersebut tanpa kehilangan identitas dirinya sendiri.
Hurlock (1978) menyatakan empati adalah kemampuan untuk dapat
meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain. Definisi tersebut didukung oleh
pendapat Ahmadi (2009) yang menyatakan bahwa, empati adalah suatu
kecenderungan untuk dapat merasakan suatu hal yang dilakukan apabila ada pada
situasi orang lain. Dengan adanya empati, orang akan menggunakan perasaannya
secara efektif untuk berada pada situasi orang lain didorong oleh adanya emosi yang
seolah-olah dapat ikut serta mengambil tiap bagian dalam gerakan-gerakan yang
dilakukan oleh orang lain.
Taufik (2012) mendefinisikan makna empati sebagai suatu kemampuan
untuk dapat memahami apa yang sedang dipikirkan serta dirasakan oleh orang lain.
Dalam hal ini, yang bersangkutan mampu memikirkan dan merasakan kondisi yang
dialami orang lain tanpa adanya kehilangan kontrol dari dalam dirinya.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa empati adalah suatu
kemampuan yang dimiliki seseorang dalam memahami kondisi yang sedang
dialami, dipikirkan, serta dirasakan orang lain seperti seolah-olah masuk ke dalam
diri orang lain sehingga dapat memikirkan serta merasakan kondisi sebagaimana
yang dialami orang lain tersebut tanpa kehilangan identitas dirinya sendiri dan tanpa
kehilangan kontrol dari dalam dirinya.
28
2. Aspek-Aspek Empati
Eisenberg, dkk (dalam Taufik, 2012) menyatakan bahwasannya empati
memiliki dua komponen yaitu komponen kognitif dan komponen afektif.
a. Komponen Kognitif
Fesbach (dalam Taufik, 2012) mendefinisikan komponen kognitif sebagai
kemampuan seseorang dalam membedakan dan mengenali kondisi emosional
yang berbeda. Komponen ini menghasilkan pemahaman terhadap perasaan
orang lain. Selanjutya Schieman & Gundy (dalam Taufik, 2012) mencirikan
bahwa seseorang yang empatik memiliki keahlian-keahlian terkait dengan
persoalan komunikasi, perspektif dan kepekaan dalam pemahaman kondisi
sosio-emosi orang lain. Eisenberg, dkk (dalam Taufik, 2012) menyatakan
bahwa terdapat lima tingkatan proses mekanisme kognitif dalam empati, yaitu
(1) differentiation of the self from others yaitu kemampuan membedakan diri
dan orang lain dalam hal membagikan respon-respon emosional yang
merefleksikan perasaan-perasaan orang lain sebagaimana perasaannya sendiri,
(2) differentiation of emotional states yaitu kemampuan dalam membedakan
kondisi emosional orang lain untuk dapat mengenali dan mengingat bentuk-
bentuk emosi yang berbeda, (3) social referencing and emotional meaning
yaitu ekspresi emosional yang ditampakan orang lain dijadikan sebagai
penuntun atau contoh perilaku bagi diri sendiri dalam sejumlah situasi yang
berbeda, termasuk saat berinteraksi, (4) labelling different emotional states
yaitu kemampuan individu dalam menyimak perasaan orang lain di sekitarnya
dengan memberikan label pada emosi dasar yang muncul serta mengantisipasi
29
kebutuhan-kebutuhan emosionalnya, dan (5) cognitive role taking ability yaitu
kemampuan menempatkan diri sendiri ke dalam situasi orang lain dengan
tujuan untuk mengetahui secara lebih tepat mengenai pikiran ataupun perasaan
orang tersebut.
b. Komponen Afektif
Colley (dalam Taufik, 2012) mendefinisikan komponen afektif sebagai
kemampuan seseorang untuk menselaraskan pengalaman emosional pada
orang lain. Empati afektif merupakan suatu kondisi di mana pengalaman emosi
seseorang sama dengan pengalaman emosi yang sedang dirasakan oleh orang
lain, atau mengalami perasaan yang sama dengan orang lain. Oswald (dalam
Taufik, 2012) menggunakan konsep perspective taking yang terdiri atas
affective perspective taking sebagai kemampuan untuk dapat mengidentifikasi
mengenai apa dan bagaimana perasaan yang sedang dirasakan oleh orang lain.
Colley (dalam Taufik, 2012) menyatakan bahwa komponen afektif ini
terdiri atas simpati, sensivitas, dan sharing penderitaan yang sedang dialami
oleh orang lain seperti perasaan dekat terhadap kesulitan-kesulitan orang lain
yang dimajinasikan seakan-akan dialami oleh dirinya sendiri. Menurut
Fesbach, dkk (dalam Taufik, 2012) terdapat dua komponen afektif yang
diperlukan agar pengalaman empati terjadi, yaitu kemampuan untuk
mengalami secara emosi dan tingkat reaktivitas emosional yang memadai.
Kedua komponen ini merupakan kecenderungan individu untuk bereaksi
secara emosional terhadap situasi-situasi yang dihadapi, termasuk emosi yang
tampak pada orang lain.
30
Selain dua komponen di atas, Batson dan Coke (dalam Watson, 1984)
menyatakan bahwa di dalam empati terdapat beberapa aspek, diantaranya yaitu :
a. Kehangatan
Kehangatan merupakan suatu perasaan yang dimiliki seseorang untuk
bersikap hangat terhadap orang lain (Asih & Pratiwi, 2010).
b. Peduli
Peduli merupakan suatu sikap yang dimiliki seseorang untuk memberikan
perhatian terhadap sesama maupun lingkungan sekitarnya (Asih & Pratiwi,
2010).
c. Kelembutan
Kelembutan merupakan suatu perasaan yang dimiliki seseorang untuk
bersikap maupun bertutur kata lemah lembut terhadap orang lain (Asih &
Pratiwi, 2010).
d. Kasihan
Kasihan merupakan suatu perasaan yang dimiliki seseorang untuk bersikap
iba atau belas asih terhadap orang lain (Asih & Pratiwi, 2010).
Berdasarkan beberapa tokoh yaitu Eisenberg, dkk (dalam Taufik, 2012) serta
Batson & Coke (dalam Taufik, 2012) di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
aspek empati terdiri atas komponen kognitif, komponen afektif, kehangatan,
kelembutan, peduli, dan kasihan. Berdasarkan beberapa terori tersebut, peneliti
memilih untuk menggunakan aspek empati dari Eisenberg, dkk (dalam Taufik,
2012) yaitu; komponen kognitif dan komponen afektif. Peneliti memilih aspek
menurut Eisenberg, dkk (dalam Taufik, 2012), karena aspek-aspek tersebut lebih
31
dapat digunakan untuk mengukur empati yang dirasakan oleh istri TNI AL yang
mengalami long distance marriage.
C. Hubungan Antara Empati Dengan Kepuasan Pernikahan Pada Istri TNI AL
Fowers dan Olson (dalam Anindya & Soetjiningsih, 2017) berpendapat,
bahwa kepuasan pernikahan adalah perasaan subyektif yang dirasakan oleh
pasangan suami istri berkaitan dengan aspek yang ada dalam suatu pernikahan,
seperti rasa bahagia, puas, serta pengalaman-pengalaman yang menyenangkan
bersama pasangannya. Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan Sari &
Fauziah (2016) empati merupakah hal berpengaruh terhadap kepuasan pernikahan.
Hal ini menunjukkan bahwa empati yang rendah berdampak pada kepuasan
pernikahan yang rendah.
Menurut Taufik (2012), empati dapat dianggap sebagai suatu kemampuan
untuk dapat memahami apa yang sedang dipikirkan serta dirasakan oleh orang lain
seperti seorang istri yang memikirkan dan merasakan kondisi yang dialami suami
tanpa adanya kehilangan kontrol dari dalam diri istri. Adapun aspek empati menurut
Eisenberg, dkk (dalam Taufik, 2012) yaitu; komponen kognitif dan komponen
afektif.
Aspek kognitif didefinisikan sebagai kemampuan yang dimiliki seorang
istri dalam membedakan dan mengenali kondisi emosional yang sedang dialami
oleh suaminya (Fesbach dalam Taufik, 2012). Hasil dari adanya kemampuan ini
adalah timbulnya pemahaman istri terhadap perasaan suaminya (Taufik, 2012).
Yovetich & Drigotas (dalam Rini, 2009) mengatakan, bahwa makna
mengungkapkan informasi mengenai diri kepada orang lain dinilai mampu
32
mendapatkan pemahaman terhadap orang yang memberi informasi. Melalui
informasi tersebut istri akan mampu mendapatkan pemahaman mengenai informasi
pada diri suami yang merupakan makna dari adanya keterbukaan diri pada suami
terhadap istrinya. Adanya keterbukaan diri ini akan mengembangkan kedekatan
antara individu dengan individu lainnya (Karina & Suryanto dalam Rahmawati,
2015).
Lebih lanjut, Billeter (dalam Rini, 2009) mengatakan, bahwa adanya
keterbukaan pada istri membantu suami untuk mengetahui hal-hal apa saja yang
disukai atau tidak disukai melalui pikiran dan perasaan yang diungkapkan istrinya.
Hal ini di dukung oleh penelitian Bograd & Spilka (dalam Rini, 2009) yang
menunjukkan bahwa kepuasan pernikahan antara suami dan istri dilihat dari
bagaimana seorang istri mampu menjadikan dirinya lebih terbuka dengan suaminya
dalam hubungan pernikahan yang sedang di jalani. Berdasarkan hal tersebut, dapat
disimpulkan bahwa ketika suami dapat mengetahui informasi mengenai apa yang
dirasakan dan dipikirkan istri melalui keterbukaan diri istri akan menjadikan istri
merasakan kepuasan pernikahan yang tinggi yaitu pada aspek kedekatan.
Yuniariandini (2017) mengatakan, bahwa kebahagiaan yang dirasakan dalam
sebuah pernikahan di dasari oleh adanya kedekatan diri yang dimiliki individu.
Sehingga, dapat diambil kesimpulan bahwa dengan istri melakukan keterbukaan
informasi mengenai apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan kepada suaminya
dalam hubungan pernikahan dapat menjalin kedekatan antara suami dan istri
(Karina & Suryanto dalam Rahmawati, 2015).
33
Howe (2015) mengatakan, bahwa istri dapat dianggap memiliki empati
ketika istri cenderung dapat menghasilkan komunikasi yang baik, akurat, dan
bersifat konstruktif. Empati membuat istri dapat menjadi lebih perhatian, bijaksana,
memiliki emosi yang cenderung stabil, lebih penyayang, kooperatif, dan peduli.
Senada dengan pendapat Gilbert (dalam Howe, 2015) yang mengatakan bahwa
dengan adanya empati menjadikan istri dapat memahami persoalan-persoalan yang
dipandang dan dirasakan suami melalui sudut pandang istri sehingga membuat istri
menjadi lebih toleran dan pemaaf.
Senada dengan pendapat Collins dan Miller (dalam Papalia, dkk., 2009)
yang menyatakan bahwa keintiman membutuhkan keterbukaan antar pasangan
seperti mengungkapkan informasi yang penting tentang dirinya terhadap pasangan.
Mounsour dan Mazaheri (dalam Safarzadeh, dkk., 2011) mengungkapkan bahwa
meningkatnya keintiman dan interaksi pasangan yang menyenangkan pada
pasangan dapat menyebabkan hubungan pernikahan menjadi lebih puas.
Kemampuan dalam membedakan dan mengenali kondisi emosional juga
berkaitan erat dengan aspek fleksibilitas. Olson & Olson (2000) menyatakan,
bahwa terbukanya pasangan suami/istri dan keluarga dalam hubungan diantaranya
seperti kepemimpinan, hubungan peran suami-istri serta keluarga, dan aturan-
aturan dalam menjalin hubungan. Hubungan yang fleksibel membuat pasangan
suami istri dapat berubah dan beradaptasi sesuai kondisi yang diperlukan (Lestari,
2012). Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan kepekaan dan kemampuan
yang dimiliki seorang istri dalam membedakan dan mengenali kondisi emosional
yang sedang dialami oleh suaminya akan membuat pasangan lebih fleksibel dan
34
mengerti apa yang harus dilakukan dalam keadaan tertentu. Olson & Olson (2000)
menyatakan bahwa fleksibilitas itu sendiri berfokus pada bagaimana terbukanya
pasangan suami/istri dan keluarga dalam hubungan diantaranya seperti
kepemimpinan, hubungan peran suami-istri serta keluarga, dan aturan-aturan dalam
menjalin hubungan tersebut.
Schieman & Gundy (dalam Taufik, 2012) mencirikan bahwa seseorang
yang empatik memiliki keahlian-keahlian yang terkait dengan kepekaan. Kepekaan
disini juga terkait dengan kegiatan seksual yang dilakukan oleh suami istri. Lestari
(2012) mengungkapkan bahwa salah satu kekuatan terpenting kebahagiaan istri
dalam hubungan pernikahannya adalah adanya kualitas hubungan seksual yang
baik. Kemampuan istri untuk dapat memahami perspektif suami terhadap
kebutuhan dan ketertarikan seksual, dapat menjadikan kebahagiaan yang dirasakan
istri meningkat.
Menurut Glenn (dalam Lestari, 2012) kebahagiaan dalam pernikahan
memiliki istilah yang sama dengan kepuasan pernikahan. Berdasarkan hal tersebut
dapat disimpulkan bahwa ketika istri mampu memahami perspektif dalam
kebutuhan dan ketertarikan seksual suaminya, maka akan menyebabkan kepuasan
pernikahan yang lebih tinggi yaitu pada aspek relasi seksual. Hal ini menunjukkan
bahwa relasi seksual bertindak sebagai alat ukur emosional dalam hubungan
pernikahan yang dapat mencerminkan kepuasan pernikahan (Olson & Olson,
2000).
Aspek Afektif didefinisikan sebagai kemampuan yang dimiliki seorang istri
untuk menselaraskan pengalaman emosional pada suami dan mengalami perasaan
35
yang sama dengan apa yang dirasakan oleh suami. Mengalami perasaan dalam hal
ini yaitu, seorang istri memiliki pengalaman emosi yang sama dengan pengalaman
emosi yang sedang dirasakan oleh suami (Colley dalam Taufik, 2012).
Watiniyah & Ali (2015) berpendapat apabila istri dapat memposisikan diri
pada situasi perasaan dan pikiran yang sedang dialami oleh suaminya, maka hal
tersebut dapat menjadikan komunikasi antara suami dengan istri menjadi lebih
efektif, dimana masing-masing pasangan berusaha untuk mendengarkan agar dapat
memahami mengenai apa yang sedang di komunikasikan. Subiyanto (2011)
menambahkan, bentuk komunikasi paling ideal terjadi apabila dalam hubungan
suami-istri dapat saling merasakan apa yang sedang dirasakan pasangannya.
Zulkarnain & Marpaung (2014) komunikasi antara suami dan istri memegang
peranan yang penting dalam keberlangsungan hubungan pernikahan. Watiniyah &
Ali (2015) menambahkan penjelasan bahwa sebagian besar ketidakpuasan
pernikahan adalah bersumber dari adanya kegagalan dalam berkomunikasi.
Hasil penelitian Rachmawati & Mastuti (2013) menyatakan bahwa
pasangan suami istri yang menjalani long distance marriage seperti pada istri
BRIGIF 1 MARINIR TNI AL menghadapi masalah yang berbeda dengan pasangan
yang tinggal bersama, terlebih pada masalah komunikasi. Komunikasi yang baik
dapat terwujud dalam kecermatan ketika memilih kata yang digunakan untuk
menyampaikan suatu gagasan akan meningkatkan komunikasi pada pasangan
suami istri (Lestari, 2012). Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan, istri yang
mengalami long distance marriage serta mampu memposisikan diri mengenai
perasaan dan pikiran yang sedang dialami oleh suaminya menjadikan komunikasi
36
dalam hubungan pernikahan menjadi lebih efektif dan membuat istri merasakan
kepuasan pernikahan yang lebih tinggi yaitu pada aspek komunikasi.
Selanjutnya, Oswald (dalam Taufik, 2012) menggunakan konsep
perspective taking yang terdiri atas affective perspective taking sebagai kemampuan
istri untuk dapat mengidentifikasi mengenai apa yang dirasakan dan bagaimana
perasaan yang dirasakan suaminya. Baskerville (dalam Royani, 2015) mengatakan
bahwa mengumpulkan dan mengakomodasi pendapat-pendapat dan kepentingan
dalam hubungan suami istri yang terlibat konflik, kemudian mencari jalan
keluarnya dengan tetap mengutamakan kepentingan pihak lain atas dasar masukan-
masukan yang diperoleh adalah salah satu hal yang dapat menyelesaikan konflik.
Seorang istri yang memiliki perspektif taking dapat benar-benar mengerti apa yang
sedang terjadi pada posisi suaminya. Perspective-taking yang dimiliki seorang istri
dapat membantu dalam penyelesaian konflik rumah tangganya, yaitu dapat
menempatkan diri sendiri ke dalam posisi orang lain yang dalam hal ini adalah
suaminya (Galinsky & Ku dalam Taufik, 2012). Berdasarkan hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa ketika istri dapat membantu menyelesaikan konflik dalam
rumah tangganya dan dapat menempatkan diri ke dalam posisi suaminya akan
menjadikan istri merasakan kepuasan pernikahan yang tinggi yaitu pada aspek
resolusi konflik.
Peningkatan resolusi konflik dalam rumah tangganya dapat berupa
penyelesaian konflik atau pemecahan masalah dengan berfokus pada sikap,
perasaan serta keyakinan yang digunakan sebagai strategi untuk mendapatkan
solusi atas permasalahan yang dihadapi dalam hubungan pernikahannya (Lestari,
37
2012). Fesbach (dalam Taufik, 2012) menyatakan bahwa kemampuan seorang istri
dalam membedakan dan mengenali kondisi emosional suaminya dinilai dapat
menghasilkan pemahaman terhadap perasaan yang berbeda yang didapat oleh
istrinya. Penerimaan dan pengertian pada diri istri menyebabkan tidak timbulnya
masalah mengenai banyak atau sedikitnya kesamaan hobi serta sifat yang ada di
dalam diri suami. Berdasarkan hal ini, banyak atau sedikitnya kesamaan hobi dan
sifat juga tidak menentukan cocok atau tidaknya kepribadian diantara keduanya
(Lestari, 2012).
Menurut Walgito (2002) di dalam hubungan suami istri dituntut adanya
sikap saling pengertian antara istri dengan suami. Pengertian yang ada pada istri
membuat tindakan yang akan diambil oleh istri lebih tepat. Hal ini menyebabkan
langkah-langkah yang akan diambil menjadi lebih bijaksana. Selain itu jika terdapat
penerimaan atau pengertian pada diri istri terhadap kepribadian suami yang sulit
dirubah, maka hal tersebut tidak akan menimbulkan dampak negatif pada
kebahagiaan pernikahan yang dirasakan. Berdasarkan hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa ketika istri memiliki penerimaan dan pengertian terhadap
kepribadian suaminya akan menimbulkan dampak positif bagi kebahagiaan pada
pernikahannya. Ketika istri merasakan kebahagiaan pada pernikahannya, istri
cenderung lebih dapat merasakan kepuasan pernikahan yang tinggi yaitu pada
aspek kecocokan kepribadian. Istri yang dapat meningkatkan kecocokan
kepribadian antara dirinya dengan kepribadian yang dimiliki suaminya tidak
memandang negatif sifat dan perilaku yang dimiliki suaminya (Lestari, 2012).
38
Colley (dalam Taufik, 2012) menjelaskan suatu kondisi pengalaman emosi
yang dimiliki seorang istri sama dengan pengalaman emosi yang dirasakan oleh
suami atau dengan kata lain mengalami perasaan yang sama dengan pasangannya,
memiliki makna bahwa pasangan tersebut memiliki empati afektif yang terletak di
dalam dirinya. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rogers & White
(dalam Wisnubroto, 2009) menunjukkan bahwa pasangan suami istri yang turut
merasakan apa yang sedang dirasakan pasangannya merupakan pasangan yang
mampu menjalin kelekatan sehingga menjadikan pasangan cenderung lebih dapat
merasakan kabahagiaan di dalam pernikahannya.
Wisnubroto (2009) mengatakan, bahwa seorang istri yang memiliki
kelekatan dinilai memiliki keluwesan di dalam struktur pernikahannya serta
memiliki aturan yang tidak kaku sehingga menyebabkan hubungan yang terjalin
antara istri dengan suami dapat semakin intim. Tidak adanya batasan yang kaku
antara status seorang istri dengan status seorang suami bukan berarti bahwa seorang
istri dapat berbuat sekehendaknya, namun seorang istri yang sadar dengan hak dan
kewajibannya menjadikannya tahu mengenai batasan-batasan yang tidak boleh
dilanggar. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa ketika istri memiliki
keluwesan ketika berperan di dalam rumah tangganya, istri cenderung lebih dapat
merasakan kepuasan pernikahan yang tinggi yaitu pada aspek fleksibilitas.
Fleksibilitas ini berperan di dalam rumah tangga dalam memberikan kejelasan
mengenai pembagian peran dan tanggung jawab dengan suami yang tidak bersifat
kaku dan dapat disesuaikan melalui kesepakatan bersama berdasarkan situasi yang
sedang dihadapinya (Lestari, 2012).
39
Menurut Johnson (dalam Howe, 2015) para istri yang memiliki empati yang
baik cenderung dapat mengevaluasi hubungan-hubungan yang dijalani secara
positif dan dapat mengekspresikan kepuasan pada hubungan-hubungan yang
dimiliki dengan pasangan masing-masing secara lebih baik. Hal ini di perkuat
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari & Fauziah (2016) menunjukkan
bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara empati dengan kepuasan
pernikahan pada suami yang memiliki istri bekerja. Semakin tinggi empati suami
yang memiliki istri bekerja maka tingkat kepuasan pernikahan yang dialami
semakin tinggi. Sebaliknya, apabila suami memiliki empati yang rendah maka
tingkat kepuasan pernikahan juga akan menjadi semakin rendah.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa empati yang dimiliki
istri dapat diberikan dalam bentuk kognitif yaitu sebagai bentuk kemampuan dalam
membedakan dan mengenali kondisi emosional yang berbeda pada diri suami dan
dalam bentuk afektif yaitu sebagai bentuk kemampuan yang dimiliki istri untuk
dapat menyelaraskan pengalaman emosional pada suami. Adanya kemampuan
empati yang dimiliki seorang istri dapat meningkatkan kepuasan pernikahan pada
istri TNI AL yang mengalami long distance marriage.
40
D. Hipotesis
Ada hubungan positif antara empati dengan kepuasan pernikahan pada istri
TNI AL yang mengalami long distance marriage. Semakin tinggi empati yang
dimiliki, maka akan semakin tinggi kepuasan pernikahan pada istri TNI AL yang
mengalami long distance marriage. Sebaliknya, semakin rendah empati yang
dimiliki, maka akan semakin rendah kepuasan pernikahan pada istri TNI AL yang
mengalami long distance marriage.