A. JUDUL PENELITIAN BIDANG ILMU C. PENDAHULUAN ....
Transcript of A. JUDUL PENELITIAN BIDANG ILMU C. PENDAHULUAN ....
1
A. JUDUL PENELITIAN
Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Hasil Belajar Fisika Dasar II Melalui Perancangan Problem Solving Berbasis Hyperphysics
B. BIDANG ILMU
Pendidikan Fisika C. PENDAHULUAN
Dalam struktur kurikulum Program Fisika dan Pendidikan Fisika, mata kuliah
Fisika Dasar II merupakan mata kuliah dasar yang memiliki kedudukan sangat
strategis. Isi mata kuliah Fisika Dasar II dimaksudkan untuk memberikan bekal
kepada mahasiswa TPB Fisika memasuki mata kuliah-mata kuliah pada siklus II
seperti Listrik Magnet, Fisika Modern, Gelombang Optik, Laboratorium Fisika I
dan II, Laboratorium Fisika Sekolah dan Seminar Fisika. Sehingga keberhasilan
mahasiswa dalam memahami materi Fisika Dasar II menentukan keberhasilannya pada
mata kuliah-mata kuliah siklus II di atasnya.
Berdasarkan pengalaman kami selama mengajar Fisika dasar II selama 7 tahun,
hampir sebagian besar mahasiswa TPB mengalami kesulitan dalam memahami materi
Fisika Dasar II. Pola pembelajaran lama yang lebih menitikberatkan pada mahasiswa,
secara psikologi justru lebih menekan mahasiswa. Tekanan ini makin berat dirasakan
oleh mahasiswa karena dosen hanya memberikan anjuran-anjuran terhadap buku-buku
referensi yang sulit dipahami oleh mahasiswa tanpa memfasilitasi mahasiswa sehingga
mereka tidak mendapatkan kemudahan dalam mengembangkan keterampilan
intelektualnya. Kondisi ini mengakibatkan perolehan nilai Fisika Dasar II baik secara
kualitatif maupun kuantitatif belum memuaskan (Tabel I)
2
Tabel I Data Kelulusan Mahasiswa TPB Fisika
Pada Mata Kuliah Fisika Dasar II Dalam Empat Tahun Terakhir
Tahun Kuliah
Jumlah Mahasiswa
Kuantisasi Lulusan Kualitas Lulusan Lulus Tidak
Lulus Nilai
A Nilai
B Nilai
C Nilai
D 99/00 116 66
(56%) 50
(44%) 6
(9%) 14
(21%) 33
(50%) 13
(20%) 00/01 119 74
(62%) 45
(38%) 8
(10%) 17
(22%) 32
(43%) 17
(25%) 01/02 122 72
(59%) 50
(41%) 8
(10%) 19
(26%) 32
(44%) 13
(41%) 02/03 129 78
(60%) 51
(40%) 9
(11%) 17
(21%) 36
(46%) 16
(22%) Sumber : Koordinator TPB Fisika Dasar
Data diatas memberikan isyarat bahwa dosen perlu segera melakukan
perbaikan dalam perkuliahan Fisika Dasar II. Banyak faktor yang mempengaruhi
kuantitas dan kualitas kelulusan mahasiswa pada mata kuliah Fisika Dasar II, terutama
untuk mahasiswa TPB jurusan Pendidikan Fisika, yaitu: Media pembelajaran,
Perencanaan perkuliahan, penyajian materi, pemberian motivasi, evaluasi, umpan balik,
tindak lanjut, dan lain sebagainya. Inovasi pada program ini memprioritaskan pada
faktor media pembelajaran, perencanaan perkuliahan dan penyajian materi perkuliahan.
Sehingga diharapkan melalui program ini kualitas maupun kuantitas kelulusan Fisika
Dasar II dapat ditingkatkan.
Beradasarkan pemikiran di atas, maka diperlukan pemapanan peranan struktur
ilmu dalam tugas mengembangkan kurikulum melalui peranan materi subyek sebagai
salah-satu komponen penting PBM. Sehingga dalam hal ini kami akan membuat inovasi
pembelajaran dengan urutan pekerjaan sebagai berikut : Langkah pertama adalah
merancang program pengembangan model analisis struktur pengetahuan materi Fisika
Dasar II untuk melihat keutuhan badan Fisika Dasar II itu sendiri. Langkah kedua adalah
membuat daftar kata kunci untuk setiap pokok bahasan. Langkah ketiga adalah
mengembangkan lembar problem solving berbasis hyperphysics (PSBH) untuk setiap
pokok bahasan . Langkah keempat adalah mengujicoba semua produk yang dihasilkan
pada langkah 1,2 dan 3, untuk selanjutnya baik kualitas produk yang dihasilkan maupun
3
kualitas dan kuantitas hasil belajar mahasiswa Fisika Dasar II yang menggunakan produk
tersebut dalam pembelajarannya dievaluasi secara cermat.
Pada akhir kegiatan penelitian ini dihasilkan sebuah set problem solving Fisika
Dasar II untuk setiap topik yang sudah teruji (melalui Penelitian Tindakan Kelas),
sebagai tambahan inovasi dalam proses pembelajarannya, untuk mempermudah
pembangunan peta konsep Fisika Dasar II pada setiap topik bahkan untuk keseluruhan
materi Fisika Dasar II. Problem solving yang dihasilkan dirancang dengan berlandaskan
pada konsep hyperphysics, sehingga memungkinkan pembelajar untuk dapat membuat
peta konsep secara efisien dan efektif. Disamping itu set problem solving ini juga
memberikan kemudahan belajar bagi pembelajar. Hal ini dikarenakan sifat problem
solving ini yang memungkinkan pembelajar terpandu untuk membangun konsep-konsep
Fisika Dasar II secara terorganisir dan bertahap.
Dalam journal-journal pendidikan baik Nasional maupun Internasional telah
terjadi perubahan kesadaran sehingga terjadi pergeseran paradigma dalam Proses Belajar
Mengajar (PBM), dimana fenomena PBM bukan sekedar fenomena psikologi, tetapi
fenomena materi subyek dan wacana membangun pengetahuan. Sehingga PBM,
pengajar, pembelajar dan materi subyek harus dilihat sebagai hubungan ketergantungan
dalam membangun pengetahuan.
Beradasarkan pemikiran di atas, dalam usulan penelitian ini kami mencoba
untuk memapankan peranan struktur ilmu dalam tugas mengembangkan kurikulum
melalui peranan materi subyek sebagai salah-satu komponen penting PBM. Sehingga
kami mengajukan program inovatif berupa Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Hasil
Belajar Fisika Dasar II Melalui Perancangan Problem Solving Berbasis Hyperphysics
Melalui proses pembelajaran problem solving berbasis hyperphysics (PSBH),
keterampilan intelektual pembelajar sebagai salah satu hasil proses belajar dapat
dikembangkan secara lebih efisien. Dalam kaitan ini, Gagne (dalam Ratna Wilis
Dahar,1991) mengintroduksikan sebuah metoda yang dapat menstimulasikan
perkembangan intelektualitas seseorang melalui belajar menggunakan metoda problem
solving.
4
Metoda pembelajaran problem solving, dikontraskan dengan metoda solved
problem, menghendaki tidak saja kejelasan strategi yang diterapkan oleh dosen maupun
mahasiswa, kurikulum (Satuan Acara perkuliahan atau SAP) sebagai bahan rujukan
dosen termasuk di dalamnya media dan metoda yang digunakan, serta masalah atau
topik-topik (problem) yang dihadapi, tetapi juga sejauh mana dosen dapat
mempersiapkan sebuah materi pembelajaran dengan konsep-konsep yang terstruktur
secara sistematis sehingga mahasiswa dapat mengembangkan keterampilan
intelektualnya secara maksimal.
Berdasarkan infomasi yang peneliti dapatkan dari media internet, metoda
pembelajaran problem solving untuk mata pelajaran fisika, sekarang ini tengah
dikembangkan oleh William Gerace, Robert Dufresne, Wiliam Leonard, dan Jose Mestre
di Department of Physics and Astronomy, University of Massachusetts melalui
Pendekatan MINDS.ON PHYSICS (MOP), yaitu Pengembangan Konsep
Berdasarkan Keterampilan Problem-Solving Dalam Fisika. Sukses yang diperoleh
kelompok ini dalam uji coba selama kurang lebih 10 tahun (sampai dengan tahun 1999)
menunjukkan salah satu keungggulan metoda problem solving. Mereka mencatat bahwa
sistem pembelajaran ini mampu mereduksi secara signifikan kelemahan dan kesalahan
yang pada umumnya dilakukan pembelajar di tingkat SMU dan College pada bidang
studi fisika. Namun dalam penelitian ini problem solving yang dikembangkan berbasis
hyperphysics. Konsep hyperphysics ini sekarang sedang dikembangkan di banyak negara
maju, terutama yang didasarkan pada hypertext . Dalam penelitian ini, konsep hypertext
tidak dijalankan secara utuh, karena konsep ini hanya digunakan untuk merancang
problem solving saja.
Perjuangan panjang yang memakan waktu hampir 10 tahun yang dilakukan
oleh staf Dosen di lingkungan FPMIPA UPI untuk bekerjasama dengan proyek JICA dari
Jepang kini telah membuahkan hasil. Setelah kami identifikasi, banyak sekali alat-alat
praktikum maupun untuk demonstrasi yang telah diterima, berhubungan langsung dengan
materi perkuliahan Fisika Dasar II. Karena hibah yang diberikan pemerintah Jepang itu
tiada lain adalah untuk meningkatkan hasil belajar MIPA, maka Oleh karena itu untuk
penyediaan media pada pembelajarannya akan memberdayakan semua fasilitas tersebut.
5
D. PERUMUSAN MASALAH
Dalam penelitian ini akan dikembangkan model Analisis Struktur Pengetahuan
Materi (ASPM) Fisika dasar II pada Struktur Kurikulum Pendidikan Fisika dan Fisika
Pendidikan Tinggi yang berpijak pada asumsi-asumsi constructivist. Kemudian Model
yang telah dikembangkan akan diterapkan pada perancangan Problem Solving Berbasis
Hyperphysics (PSBH), untuk selanjutnya diukur konstribusinya terhadap peningkatan
keterampilan intelektual mahasiswa.
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan pokok dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut :
♦ Model Analisis Struktur Pengetahuan Materi (SPM) Fisika Dasar II yang
bagaiamana untuk merancang Problem Solving Berbasis Hyperphysics
(PSBH) untuk mahasiswa program pendidikan fisika dan fisika di Perguruan
Tinggi.
♦ Bagaimanakah konstribusi PSBH terhadap keterampilan intelektual
pembelajar.
E. TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan sebelumnya, maka penelitian ini
bertujuan :
1) Mencari Model Analisis Struktur Pengetahuan Materi (ASPM) Fisika Dasar
II yang dapat menunjang Problem Solving Berbasis Hyperphysics
(PSBH), sehingga diperoleh komponen panduan belajar Fisika Dasar II
yang mudah ajar, yang selanjutnya dapat dikembangkan untuk materi fisika
yang lainnya, agar pembelajaran fisika menjadi menarik dan berguna.
2) Untuk memperoleh informasi empiris tentang kemampuan mahasiswa pada
tiap tahap keterampilan intelektual pada semua pokok bahasan Fisika Dasar
II yang ada pada Struktur Kurikulum Program Studi Fisika dan Program
Studi Pendidikan Fisika Pendidikan Tinggi.
3) Untuk memperoleh kemampuan keterampilan intelektual mahasiswa
berdasarkan tingkat kompleksitasnya pada tiap pokok bahasan Fisika dasar II
6
yang ada pada Struktur Kurikulum Program Studi Fisika dan Program Studi
Pendidikan Fisika Pendidikan Tinggi.
4) Mengetahui sejauh mana konstribusi PSBH untuk semua pokok bahasan
Fisika Dasar II yang ada pada Struktur Kurikulum Program Studi Fisika dan
Program Studi Pendidikan Fisika Pendidikan Tinggi terhadap keterampilan
intelektual mahasiswa .
F. KONSTRIBUSI HASIL PENELITIAN
Pada penelitian ini akan dikembangkan model analisis struktur pengetahuan
materi Fisika Dasar II untuk membangun Problem Solving Berbasis Hyperphysics
(PSBH) untuk mahasiswa program pendidikan fisika dan program fisika di Perguruan
Tinggi. Hal ini dimaksudkan untuk mengatasi kesulitan belajar Fisika Dasar II .
Pengembangan PSBH dimaksudkan agar diperoleh komponen panduan belajar
Fisika Dasar II yang memiliki kriteria mudah ajar dan meningkatkan keterampilan
intelektual mahasiswa. Kriteria mudah ajar untuk menanggulangi kesulitan mahasiswa
dalam mempelajari konsep-konsep dasar Fisika Dasar II untuk memudahkan mempelajari
fisika lebih lanjut. Peningkatan keterampilan intelektual mahasiswa berkonstribusi dalam
menyiapkan lulusan yang adaptif terhadap perkembangan.
Disamping itu Penelitian ini memberikan peluang kepada dosen pemegang
matakuliah Fisika Dasar II untuk meningkatkan kepakarannya baik dalam
pengembangan materi ajarnya maupun dalam pengembangan PBM-nya.
Sehingga Konstribusi yang paling dominan dari penelitian ini adalah terhadap pemecahan masalah pembangunan ( Kategori Penelitian II) . G. TINJAUAN PUSTAKA 1. Prinsip Fleksibilitas Kognisi, Konstruktivisme, dan Hypertext
Pengembangan penelitian pendidikan, terutama pendidikan IPA, perlu dilihat
secara menyeluruh mulai dari problematika yang melanda teori-teori yang mendasari
PBM, metodologi, hingga formatnya. Permasalahan yang muncul setelah pendewasaan
teori ini mencapai tingkat tertentu adalah bagaimana meningkatkannya menjadi upaya
yang produktif; tidak sekedar analisis, atau pengujian, atau pengukuhan.
7
Upaya meningkatkan teori ke arah yang lebih produktif, hanya mungkin jika
metodologi yang digunakan dapat menandingi kompleksitas permasalahan yang dihadapi.
Umpamanya, mampukah metodologi yang secara historis merupakan metodologi dari
disiplin tertentu menangani masalah PBM yang sebenarnya merupakan lahan yang
sifatnya antar-disiplin? Sudah dapat dipastikan bahwa jawabannya adalah “tidak
mungkin”, karena akan terjadi kekeliruan eksplanasi, dimana masalah yang ingin
dijelaskan (eksplanandum) lebih rendah kategorinya dari teori yang digunakan
(eksplanasi).
Kesalahan ini walaupun bukan merupakan hal yang baru, sering melanda teori
pembelajaran, seperti yang dikemukakan oleh Spiro dkk. Tidak dilibatkannya materi
subyek dalam banyak teori pembelajaran, menyebabkannya kurang menarik bagi pakar-
pakar disiplin keilmuan; karena ini mengingkari kondisi ill-structured dan case to case
irregularity dari keilmuan lanjutan. Kondisi ill-structured berkenaan dengan sifat
kompleksitas pengetahuan yang ditampilkan dalam berbagai representasi (multiple
representation) sesuai dengan kasus pendidikan, bukan tunggal sebagai asumsi teori
pembelajaran pada umumnya. Sedangkan Case to case irregularity berkenaan dengan
tidak mungkinnya suatu rumus atau aturan diterapkan secara uniform tanpa
memperlihatkan kondisi keunikan suatu kasus terhadap kasus lainnya.
Lahan PBM merupakan ‘unclaimed territory’ yang merupakan lahan disiplin
keilmuan tertentu untuk mengembangkan sayap. Jadi lahan ini adakalanya secara sepihak
menjadi lahan tertentu dari disiplin keilmuan, diantaranya, psikologi (dalam wujud teori
pembelajaran) dan IPA (dalam bentuk vak didaktisch). Upaya memadukan disiplin
keilmuan berbasis pada PBM, kiranya cukup sulit. Tetapi nampaknya kesulitan utama
adalah perlunya disiplin keilmuan ketiga yaitu analisis wacana yang dapat secara cermat
melihat materi subyek dari kedua disiplin tersebut. Lebih penting lagi adalah perlunya
upaya memetakan kedua disiplin keilmuan ini dengan menganggapnya terlebih dahulu
sebagai fenomena wacana, agar teori dan hukum-hukum dalam analisis wacana dapat
diberlakukan. Oleh karena itu aspek epistemologi dari teori tersebut perlu dikaji secara
mendalam dan kemudian mengupayakan penghalusan-penghalusan yang diperlukan.
Kelangsungan pengembangan suatu ilmu tidak akan terlepas dari dasar
disiplin seperti yang dirumuskan dalam epistemologinya. Contohnya ,disiplin psikologi
8
perlu membatasi pekerjaannya pada aspek perilaku dari komponen pelaku-pelaku PBM.
Hal ini memberikan konsekuensi bahwa komponen materi subyek tereduksi menjadi
tujuan pembelajaran. Kondisi ini oleh Spiro dkk dianggap sebagai penyebab dari tugas
mengkaji menjadi bias. Kondisi inilah yang menjadi sumber permasalahan yang telah
menyebabkan analisis tidak mampu sampai kepada akar permasalahan menurut
kesehariannya. Hal yang sama juga berlaku untuk vak didaktisch, karena tidak
melibatkan komponen pembelajar dan komponen pengajar menurut aspek psikologi dari
PBM. Dari pihak pedagogi, kondisi yang sama juga terjadi,dimana aspek psikologi dan
aspek materi subyek tidak dilibatkan.
Sekali lagi, yang berlaku sebagai eksplanandum adalah ketiga disiplin
keilmuan tersebut, yaitu : psikologi pembelajaran, disiplin keilmuan yang diwakili oleh
materi subyek, dan pedagogi umum. Pertanyaan berikutnya adalah ilmu mana yang dapat
difungsikan sebagai eksplanan? Jawabannya cukup pasti, yaitu bahwa fungsi tersebut
dimiliki oleh analisis wacana, karena PBM adalah fenomena wacana.
Secara implisit peranan analisis wacana bukan hanya dalam memperkaya
metodologi yang ada selama ini, melainkan membawa teori tersebut mampu mengatasi
kerumitan PBM. Lebih penting lagi adalah bahwa pekerjaan dari Spiro dkk ini
menampilkan benang merah yang menghubungkan kognisi, konstruktivisme, dan teks,
yang selama ini jarang dilakukan. Selama ini, pembicaraan konstruktivisme dilakukan
terlepas dari keutuhan dan keseharian PBM. Hal ini mengakibatkan bahwa klaim yang
dirumuskan tidak sejalan dengan kondisi yang ada. Mungkin sekali bahwa pelaksanaan
suatu PBM diklaim telah dirancang menurut konstruktivisme, tetapi peralatan kognitif
yang lama dari teori pembelajaran masih tetap secara patuh digunakan.
Hypertext adalah alternatif untuk mengatasi sifat ill-structured dan case to
case irregularity. Sifat ill-structured dan case to case irregularity dari pengetahuan
lanjutan menuntut bahwa pengembangan teori pembelajaran dan pengajaran perlu
memperhatikan sifat dasar ini. Kalau tidak, sifat ini menjadi penghambat tercapainya
tujuan pembelajaran yang lebih tinggi; yaitu penguasaan atas kerumitan konseptual dan
kemampuan untuk menggunakan pengetahuan secara mandiri dalam situasi yang
berbeda dengan situasi sewaktu pengetahuan tersebut diajarkan. Dalam konteks
pemrosesan, ini tidak sekedar memanggil paket pengetahuan yang ada, tetapi juga
9
perlunya mengorganisasikan bagian-bagian pengetahuan agar bersifat adaptif terhadap
tuntutan dan situasi yang baru. Inilah yang dimaksud fleksibilitas dari kognisi.
Pemrosesan ini dapat dikembangkan melalui penggunaan suatu sistem hypertext yang
berbasis teori tertentu.
Sifat dari hypertext adalah pengorganisasian informasi yang tidak seperti
sebagaimana lazimnya, yaitu sekuensial; melainkan sejalan dengan pemrosesan
komputer, yaitu, random acces. Sifat ini kiranya memberikan kesempatan kepada
pembelajar untuk terlebih dahulu mengorganisasikan paket-paket informasi menurut
kebutuhannya, baru kemudian digunakan atau diterapkan terhadap tugas yang dihadapi
menurut konteksnya. Dengan melaksanakan proses ini secara terus-menerus, maka akan
meningkatkan dan memapankan kemampuan cognitive flexibility dari pembelajar yang
merupakan kondisi yang dituntut oleh pengetahuan lanjutan.
Spiro tidak menyebutkan secara khusus teori yang dapat dijadikan dasar bagi
pengembangan hypertext. Untuk mengatasi ini, barangkali pertanyaan penting yang perlu
diajukan adalah : Apakah struktur makro mampu mengatasi ill-structured dan case to
case irregularity dari materi subyek ? Sebelum ini dijawab, perlu diketahui bahwa
struktur makro dibangun dengan mengintegrasikan struktur dari materi subyek dan
struktur wacana. Jika struktur makro dijadikan dasar bagi pengembangan hypertext,
pertanyaan lanjutannya adalah : Apakah sifat random acces dari komputer dapat
dipelihara? Jawabannya bukan hanya dapat, melainkan dapat dikelola sesuai dengan
kriteria dari eksplanasi pedagogi, yaitu agar pengetahuan lanjutan mudah diajarkan dan
mudah dijangkau. Sifat random acces dari komputer tersebut dapat dibuat lebih efektif
dengan membedakannya menurut dimensi progresi dan dimensi eleborasi, yaitu
berdasarkan kognitif (rasional) pembelajar dan keterampilan intelektual dari materi
subyek.
Sebagai tambahan pemikiran dalam membangun hypertext, akan diupayakan
pendekatan MINDS.ON PHYSICS (MOP), yaitu pengembangan konsep berdasarkan
keterampilan problem-solving dalam fisika.Pendekatan MOP adalah pendekatan yang
didasarkan pada asumsi constructivist dalam mengembangkan konsep fisika berdasarkan
keterampilan problem-solving. Pendekatan ini telah dan sedang dikembangkan selama 10
10
tahun oleh William Gerace, Robert Dufresne, William Leonard dan Jose Mestre di
University of Massachusetts.
Asumsi-asumsi constructivist pada pendekatan MINDS.ON PHYSICS (MOP)
adalah sebagai berikut (Wiliam Gerace et.al.,1999) :
(a) Knowledge is constructed, not transmitted (only information is transmitted).
Artinya bahwa pengetahuan itu harus dibangun, tidak sekedar ditransfer begitu
saja.
(b) Prior learning filters all experiences and therefore impacts subsequent
learning. Artinya bahwa proses belajar sebelumnya memfilter pengalaman-
pengalaman belajar yang dialami pembelajar dan hal ini berpengaruh pada
proses belajar selanjutnya.
(c) Initial understanding is local, not global. Artinya bahwa pengetahuan awal
itu bersifat lokal dan sementara serta tidak global dan permanen.
(d) Building useful knowledge structures requires effort. Artinya bahwa
membangun suatu pengetahuan yang terstruktur serta mudah digunakan dan
diakses itu memerlukan usaha dan kerja keras.
2. Struktur Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Materi Subyek
Struktur ilmu memegang peran yang sangat penting dalam pengembangan
Kurikulum melalui perananan materi subyek sebagai salah satu komponen penting Proses
Belajar Mengajar (PBM). Struktur ilmu memberikan kejelasan posisi materi subyek
sebagai pengetahuan dan pemahaman atas fakta, konsep, dan prinsip, bagaimana
pengetahuan ini diorganisasi, dan pengetahuan disiplin keilmuannya mengenai
mengukuhkan kebenaran (Epistemologi,Shulman,1986).
Materi subyek perlu mempertimbangkan keinginan pakar disiplin ilmu agar
pelajaran sekolah menjadi wakil setia dari disiplin keilmuannya, yaitu mata pelajaran
yang menyandang nama disiplin keilmuan tertentu merupakan pengantar yang absah.
Artinya fisika yang diajarkan di sekolah merupakan pengantar yang sesuai dengan fisika
yang diketahui ilmuwan. Dalam kaitan ini Gardner (dalam Nelson Siregar,2000)
11
mengatakan bahwa hal ini dapat diwujudkan jika konsep kunci dan operasi intelaktual
yang digunakan oleh peneliti dapat diidentifikasi dan diungkapkan lebih eksplisit.
Dalam mengajarkan Hukum Newton, umpamanya, tanpa memperhatikan
keterampilan intelektual yang mendasarinya, Hukum Newton dipandang sebagai suatu
prinsip yang lazim. Pandangan ini berlawanan dengan kenyataan bahwa setiap benda
yang bergerak selalu memerlukan gaya agar tetap bergerak seperti dikemukakan oleh
Aristoteles. Konsep gesekan dan hambatan udara dalam kehidupan sehari-hari
merupakan kenyataan yang selalu menyertai setiap benda yang bergerak.Apakah
mungkin membuktikan Hukum Newton tanpa asumsi-asumsi non-empirik ini ?
Kesulitan diatas hanya mungkin diatasi dengan menyertakan struktur ilmu dalam
pengembangan materi subyek (Nelson Siregar,2000).Pengembangan dapat berlaku adil
karena disamping siswa menguasai konsep-konsep fisika dan saling keterkaitannya
(GBPP,1994), pertimbangan juga perlu mencakup keterampilan intelektual yang
sebenarnya bertanggung jawab terhadap saling keterkaitan dimaksud.
3. Epistemologi Pengembangan Ilmu
Pandangan yang mendasari penelitian proses dan pruduk sebenarnya
mengaburkan isu penting dari kenyataan sehari-hari PBM bahwa PBM berlangsung
terutama melalui inteaksi verbal (Nelson Siregar,2000). Bahwa interaksi ini untuk
membangun pengetahuan berlangsung melalui wacana yang menuntut seseorang
menjadikan bahasa sebagai sumber daya untuk mewujudkan proses sosial yang
menyertai interaksi tersebut. Richmond dan Striley mengatakan bahwa proses sosial yang
dimaksud mencakup bagaimana pengetahuan diperkenalkan, diperdebatkan, dan
diterima sebagai hasil interaksi pembelajar dan pembelajar atau pembelajar dan
pengajar.
Implikasi dari pandangan di atas menegaskan bahwa proses mengkonstruksi
pengetahuan berlangsung melalui wacana. Pandangan Shulman (1987) kiranya
menolong mendeskripsikan materi subyek yang dirincinya kedalam aspek
konten,substansi dan sintaktikal. Dan aspek sintaktikal merupakan perwujudan dari
pandangan epistemologi dari keilmuan dalam wacana membangun pengetahuan.
12
4. Problematika dalam Pengembangan Materi Subyek
Posner dan Hewson (dalam Nelson Siregar,2000) mengatakan bahwa yang
banyak terjadi dalam pengembangan PBM adalah bahwa PBM dikembangkan menurut
fungsi dependen PBM terhadap pembelajar. Hal ini terlihat dari penggunaan istilah
pembelajaran yang secara luas digunakan untuk menekankan pandangan PBM dengan
Student-centered . Istilah pengajaran tampil kurang disenangi karena memberikan kesan
PBM yang kurang memberi peluang bagi pembelajar untuk mengembangkan diri. Yang
menjadi masalah adalah apakah PBM bergantung pada kriteria eksternal tertentu atau
tergantung pada fungsi intrinsik berupa proses membangun pengetahuan. Jawaban
terhadap pertanyaan tersebut adalah bahwa kedua-duanya penting. Kriteria eksternal
yang dianggap penting dalam PBM adalah taksonomi tujuan kognitif pendidikan dari
Bloom. Sedangkan yang dimaksud dengan fungsi intrinsik adalah kegaiatan berfikir dari
PBM itu sendiri.
Berkenaan dengan tugas PBM dalam membangun ilmu, lebih eksplisit lagi
menyangkut fungsi wacana dari pengembangan ilmu, yaitu : bahwa tidaklah mencukupi
jika teori hanya didukung oleh bukti empirik, tetapi juga teori tersebut harus menarik
komunitas ilmuwan agar layak untuk dipublikasi dan berkembang menjadi wacana
keilmuan agar menjadi penelitian yang berlanjut dan dinyatakan asli diterima sebagai
pengetahuan baru (Selly,1989).
Pandangan psikologi yang mengklaim dirinya sebagai studi ilmiah mengenai
perilaku, berasumsi bahwa sebagaimana fenomena alamiah lainnya, PBM dapat diteliti
menggunakan metoda ilmiah berdasarkan observasi, kuantifikasi dan pengukuran. Di lain
pihak pandangan pedagogi yang berasumsi bahwa PBM adalah fenomena wacana,
membatasi PBM sebagai fenomena alamiah yang mengabaikan aspek-aspek sikap dan
tidakan-tindakan mentalistik. Padahal, aspek-aspek ini justru sangat diperlukan untuk
menggambarkan upaya membangun pengetahuan bersama antara guru dan pembelajar
dengan mengacu pada materi subyek.
5. Pendekatan MINDS.ON PHYSICS (MOP) : Pengembangan Konsep
Berdasarkan Keterampilan Problem-Solving Dalam Fisika.
13
Pendekatan MOP adalah pendekatan yang didasarkan pada asumsi constructivist
dalam mengembangkan konsep fisika berdasarkan keterampilan problem-solving.
Pendekatan ini telah dikembangkan selama 10 tahun oleh William Gerace, Robert
Dufresne, William Leonard dan Jose Mestre di University of Massachusetts.
Asumsi-asumsi constructivist pada pendekatan MINDS.ON PHYSICS (MOP)
adalah sebagai berikut (Wiliam Gerace et.al.,1999) :
(e) Knowledge is constructed, not transmitted (only information is transmitted).
Artinya bahwa pengetahuan itu harus dibangun, tidak sekedar ditransfer begitu
saja.
(f) Prior learning filters all experiences and therefore impacts subsequent
learning. Artinya bahwa proses belajar sebelumnya memfilter pengalaman-
pengalaman belajar yang dialami pembelajar dan hal ini berpengaruh pada
proses belajar selanjutnya.
(g) Initial understanding is local, not global. Artinya bahwa pengetahuan awal
itu bersifat lokal dan sementara serta tidak global dan permanen.
(h) Building useful knowledge structures requires effort. Artinya bahwa
membangun suatu pengetahuan yang terstruktur serta mudah digunakan dan
diakses itu memerlukan usaha dan kerja keras.
Dalam MOP terdapat 6 buah komponen instruksional utama, yaitu :
(a) Aktivitas Pembelajar . Inti dari kurikulum adalah kumpulan aktivitas
pembelajar yang terintegrasi. Setiap aktivitas berisi hal-hal berikut ini :
� Purpose and expected outcome . Pada seksi ini pembelajar
diberitahu konsep-konsep, prinsip-prinsip, ide-ide lainnya
yang akan dikembangkan selama aktivitas berklangsung.
� Prior experience/ knowledge needed. Pada bagian ini akan
didata konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang sudah
dianggap familiar dengan pembelajar sebelum aktivitas
dimulai. Jika perlu pembelajar akan diberikan informasi
tambahan yang diperlukan berkenaan dengan konsep-konsep
14
dan prinsip-prinsip yang sudah harus mereka ketahui sebelum
memulai suatu aktivitas.
� Main Activity. Bagian ini berisi pertanyaan-pertanyaan dan
masalah-masalah khusus untuk meningkatkan pemahaman
pembelajar terhadap suatu topik dan mempersiapkan mereka
mengembangkan gagasan-gagasannya.
� Reflection. Setelah menyelesaikan Main Activity, pembelajar
harus menguji-ulang jawaban-jawaban mereka untuk mencari
pola. Mereka juga harus dapat mengeneralisasi,
mengabstraksi, dan mencari hubungan antar konsep.
(b) Bahan bacaan bagi pembelajar
(c) Bahan panduan dan solusi untuk pengajar
(d) Bahan asesmen untuk pembelajar
(e) Suplemen ( berupa bahan-bahan media pembelajaran)
(f) Lembar kerja bagi pembelajar.
Bahan ajar termodinamika yang dirancang dengan pendekatan MOP memiliki
tujuan sebagi berikut :
� Reveal and address studetns’ misconceptions.
� Emphasize the role of concepts in problem solving.
� Show students how to use concepts and principles to solve problem
� Discourage formulaic approaches to solving problems
� Promote knowledge structuring and integration.
6. Keterampilan Intelektual
Keterampilan intelaktual secara sederhana dapat dikatakan suatu kemampuan
yang dimiliki seseorang setelah mengalami proses belajar. Keterampilan intelaktual
dikatakan juga sebagai kemampuan memecahkan masalah, karena keterampilan itu
merupakan penampilan yang ditunjukkan oleh pembelajar tentang operasi-operasi
intelektual yang dapat dilakukannya. Kemampuan ini lebih menekankan pada
“bagaimana seseorang melakukan suatu pekerjaan”. Menurut Gilbert Ryle, seseorang
15
dapat melakukan pekerjaan setelah mengalami proses belajar. Kemampuan ini akan
bertambah seiring dengan pengalaman orang tersebut. Sedangkan J.R Anderson (1980),
mengemukakan bahwa pengetahuan “bagaimana seseorang melakukan pekerjaan “
disajikan dalam bentuk produksi (menghasilkan aksi-aksi tertentu pada kondisi-kondisi
tertentu).
Dalam bukunya Essentials of Learning for Instruction (1974), Gagne
mengemukakan bahwa keterampilan intelektual memiliki tahap-tahap kemampuan
sebagai berikut :
1) Kemampuan membedakan
2) Kemampuan konsep konkrit
3) Kemampuan konsep terdefinisi
4) Kemampuan aturan
5) Kemampuan aturan tingkat tinggi
Dimana tahap kemampuan yang paling mendasar merupakan prasyarat untuk tahap
kemampuan selanjutnya.
7. Fungsi Keterampilan Intelektual
Karena keterampilan intelektual merupakan kemampuan memecahkan masalah,
tentu saja memiliki fungsi yang sangat penting dalam proses pendidikan. Keterampilan
intelektual memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungannya melalui
penggunaan simbol-simbol atau gagasan-gagasan . Keterampilan intelaktual juga dapat
memberi kemampuan mengklasifikasi atau mengelompokkan peristiwa-peristiwa, objek-
objek dan kegiatan-kegiatan yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.
8. Tahap-Tahap kemampuan keterampilan Intelaktual
Belajar keterampilan intelaktual ini sudah dimulai sejak tingkat pertama sekolah
dasar dan dilanjutkan sesuai dengan perhatian dan kemampuan intelektual seseorang .
Keterampilan intelektual ini untuk bidang studi apapun dapat digolongkan berdasarkan
kompleksitasnya.
Untuk memecahkan masalah, pembelajar memerlukan aturan tingkat tinggi
yaitu aturan-aturan kompleks. Demikian pula diperlukan aturan-aturan konsep
16
terdefinisi. Untuk memperoleh aturan-aturan ini pembelajar harus belajar beberapa
konsep kongkrit dan belajar konsep kongkrit ini pembelajar harus menguasai
perbedaan atau diskriminasi.
Sebelum seseorang mampu mengadakan interaksi dengan lingkungannya,
orang itu harus dapat membedakan benda-benda atau simbol-simbol. Dalam kasus
yang sederhana, seseorang memberikan respon bahwa dua stimulus sama atau mirip.
Diskriminasi merupakan keterampilan intelektual yang paling dasar. Kemampuan
membedakan ini hanya mencakup kemampuan mengatakan perbedaan-perbedaan, dan
tidak mencakup kemampuan menyebutkan namanya. Banyak pola yang dipelajari dari
pengalaman tanpa instruksi langsung yang melibatkan diskriminasi (Carroll,1964).
Menurut Gagne salah satu keterampilan intelektual adalah konsep kongkrit.
Dan konsep kongkrit menunjukkan suatu sifat objek atau atribut (warna,bentuk dan
lain-lain). Konsep-konsep ini disebut kongkrit sebab penampilan manusia yang
dibutuhkan adalah mengenal suatu objek yang kongkrit. Belajar konsep kongkrit,
diharapkan pembelajar dapat memberikan respon yang sama pada stimulus-stimulus
dengan atribut-atribut yang mirip (Rosser,1984). Kita dapat mengatakan bahwa
seseorang itu telah mempelajari suatu konsep kongkrit dengan meminta orang tersebut
menunjukkan anggota kelas objek-objek yang sama. Operasi menunjuk dapat
dilakukan dengan berbagai cara ; bisa dengan memilih, melingkari, tau memegang.
Atau dengan kata lain, keberhasilan seseorang dalam mempelajari konsep kongkrit
jika orang tersebut dapat mengidentifikasi benda, sifat benda atau hubungan yang
dimaksud oleh konsep itu.
Kemampuan untuk mennetukan konsep-konsep kongkrit merupakan dasar
yang penting untuk mempelajari konsep yang lebih kompleks. Banyak peneliti
menekankan pentingnya “belajar kongkrit” sebagai prasyarat untuk mempelajari
gagasan abstrak. Dalam bukunya Principles of Instructional Design (1988), Gagne
menyerankan kondisi-kondisi berikut yang dibutuhkan untuk belajar konsep-konsep
kongkrit :
� Kondisi Internal : Dimana pembelajar harus dapat membedakan suatu
konsep dan contoh-contoh suatu konsep. Jika digunakan instruksi verbal,
17
pembelajar harus sebelumnya telah mempelajari nama verbal, pembelajar
harus mengingat kembali diskriminasi.
� Kondisi Eksternal : Perolehan sustu konsep bagi seorang pembelajar
membutuhkan pemberitahuan respon-respon yang benar. Untuk
memperlancar belajar konsep kongkrit, berbagai contoh yang menyangkut
diskriminasi yang sama harus disajikan secara berturut-turut.
Belajar konsep kongkrit ini sama dengan cara perolehan konsep secara formasi konsep
(Ausubel,1968).
Seseorang dikatakan telah mengerti suatu konsep terdefinisi bila ia dapat
mendemonstrasikan arti adari kelas tertentu tentang objek-objek, kejadian-kejadian
atau hubungan-hubungan. Seseorang dapat dikatakan telah berhasil mempeljari konsep
yang didefinisikan bila orang tersebut telah dapat menggunakan konsep itu secara
betul. Masih dalam buku Principles of Instructional Design (1988), Gagne
menyarankan kondisi-kondisi yang dibutuhkan untuk belajar konsep terdefinisi adalah
sebagai berikut :
� Kondisi Internal : Untuk memperoleh konsep terdefinisi, pembelajar
harus mengeluarkan atau memanggil semua komponen-komponen itu
yang terdapat dalam definisi, termasuk konsep-konsep yang menyatakan
hubungan antara konsep-konsep.
� Kondisi Eksternal : Suatu konsep terdefinisi dapat dipelajari dengan
menyuruh pada pembelajar mengamati suatu kejadian/penampilan dari
kejadian/penampilan itu siswa dapat menyatakan secara terdefinisi.
Menurut Rosser (1984), kemampuan konsep terdefinisi dapat dilihat dari
kemampuan pembelajar dalam menggunakan konsep-konsep yang telah
dipelajari sebelumnya untuk memperoleh suatu konsep baru.
Seseorang telah belajar suatu aturan bila penampilannya mempunyai
semacam keteraturan dalam berbagai situasi khusus. Prinsip-prinsip yang dipelajari
dalam sains ditampilkan pembelajar sebagai penggunaan aturan, misalnya kita
mengharapkan para pembelajar yang telah mempelajari Hukum Ohm V = I x R dapat
menerapkan aturan ini.
18
Seorang pembelajar yang mempunyai kemampuan suatu aturan tidak berarti
bahwa ia dapat menyatakan aturan secara verbal. Sebaliknya, ada pula pembelajar
yang dapat menyebutkan suatu aturan tatapi ia belum dapat menerapkan aturan
tersebut pada suatu masalah kongkrit khusus.
Seseorang dikatakan telah memepelajari suatu aturan bila orang tersebut
mengikuti aturan itu dalam penampilannya. Dengan kata lain, aturan adalah suatu
kemampuan yang memungkinkan seseorang untuk berbuat sesuatu dengan
menggunakan simbol. Kemampuan berbuat sesuatu harus dibedakan dengan
kemampuan menyebutkan sesuatu. Aturan sebagai kemampuan yang dipelajari,
memungkinkan seseorang untuk merespon terhadap sekumpulan benda atau
penampilan dan memberikan respon pada suatu kelas stimulus-stimulus dengan satu
kelas penampilan-penampilan (Rosser,1984).
Dalam suatu program pendidikan banyak aturan yang dipelajari. Pembelajar-
pembelajar pada tingkat yang lebih tinggi mempelajari, misalnya aturan untuk
menghubungkan massa dengan percepatan yang dialami suatu benda dengan gaya
yang bekerja pada benda itu. Setelah kita mengenal apakah aturan itu, kita dapat
menerima bahwa suatu konsep terdefinisi seperti yang dijelaskan, pada kenyataan
tidak berbeda dengan suatu aturan. Dengan kata lain, suatu konsep terdefinisi
merupakan sustu bentuk khusus dari suatu aturan yang bertujuan untuk
mengelompokkan objek-objek dan kejadian-kejadian. Konsep terdefinisi adalah suatu
aturan pengklasifikasian . Pembelajar yang belajar dihadapkan pada sejumlah contoh-
contoh dan non-contoh dari konsep tertentu melalui proses diskriminasi. Ia
menetapkan suatu aturan yang menentukan kriteria untuk konsep itu. Seorang ahli
fisika dengan cepat dapat memecahkan masalah fisika dengan mengenal rumus-rumus
khusus yang dapat diterapkan (Larkin,1980).
Adakalanya aturan-aturan yang telah dipelajari merupakan gabungan yang
kompleks tentang aturan-aturan yang sederhana. Lagi pula kerapkali aturan-aturan
yang kompleks atau aturan tingkat tinggi ini ditemukan untuk memcahkan masalah.
Kemampuan memcahkan masalah adalah kemampuan menggabungkan aturan-aturan
untuk mencapai suatu pemecahan yang menghasilkan suatu aturan dengan tingkat
19
yang lebih tinggi. Kemampuan memecahkan masalah pada dasarnya adalah tujuan
utama proses pendidikan.
Bila para pembelajar memecahkan masalah yang mewakili kejadian-kejadian
nyata, mereka terlibat dalam perilaku berfikir. Dengan mencapai pemecahan secara
nyata, para pembelajar juga mencapai suatu kemampuan yang baru. Mereka telah
belajar sesuatu yang dapat digeneralisasikan pada masalah-masalah lain yang
mempunyai ciri-ciri formal yang mirip. Ini berarti mereka telah memperoleh suatu
aturan yang baru atau mungkin juga suatu set baru tentang aturan-aturan.
Suatu kondisi yang essensial yang membuat belajar aturan tingkat tinggi
suatu kejadian pemecahan masalah ialah karena tidak adanya bimbingan belajar,
apakah dalam bentuk komunikasi verbal ataupun dalam bentuk yang lain. Bimbingan
belajar diberikan oleh si pemecah masalah itu sendiri, tidak oleh dosen atau sumber
eksternal yang lain. Sekali pembelajar telah berhasil memecahkan masalah,
pembelajar itu telah belajar aturan baru. Aturan baru yang dipelajari akan disimpan
dalam memori dan digunakan lagi untuk memecahkan masalah yang lain.
Aturan-aturan memegang peranan penting dalam memecahkan masalah .
Konsep-konsep dan aturan-aturan harus disintesis menjadi bentuk-bentuk kompleks
yang baru agar pembelajar dapat menghadapi situasi-situasi masalah yang baru.
Pemecahan masalah merupakan suatu kegiatan manusia yang menggabungkan
konsep-konsep dan aturan-aturan yang telah diperoleh sebelumnya. Dapat kita
bayangkan, bila seseorang tidak mampu mengklasifikasikan atau mengelompokkan
peristiwa-peristiwa, objek-objek dan kegiatan-kegiatan yang dijumpainya dalam
kehidupan sehari-hari.
Konsep-konsep merupakan kategori-kategori yang kita berikan pada
stimulus-stimulus yang ada di lingkungan kita. Konsep-konsep merupakan dasar bagi
proses-proses mental yang lebih tinggi untuk merumuskan prinsip-prinsip. Untuk
memecahkan masalah, seorang pembelajar harus mengetahui aturan-aturan yang
relevan dan aturan-aturan berdasrkan konsep-konsep yang telah diperolehnya.
Menurut Gagne, belajar konsep merupakan suatu bagian dari hierarki dari
delapan bentuk belajar. Dalam hierarki ini, setiap tingkat belajar tergantung pada
tingkat-tingkat sebelumnya. Tingkat belajar tersebut adalah :
20
1) Belajar tanda (signal)
2) Belajar stimulus –respon
3) Chaining
4) Asosiasi verbal
5) Belajar diskriminasi
6) Belajar konsep kongkrit
7) Belajar konsep terdefinisi dan belajar aturan
8) Pemecahan masalah
H. METODE PENELITIAN
1) Desain Penelitian
Dalam mengembangkan model analisis Struktur Pengetahuan Materi (SPM)
Fisika Dasar II yang ada pada Struktur Kurikulum Fisika Pendidikan Tinggi , Peneliti
berpijak pada asumsi-asumsi constructivist sebagai berikut (Wiliam Gerace et.al.,1999) :
(a) Pengetahuan itu harus dibangun, tidak sekedar ditransfer begitu saja.
(b) Proses belajar sebelumnya memfilter pengalaman-pengalaman belajar yang
dialami pembelajar dan hal ini berpengaruh pada proses belajar selanjutnya.
(c) Pengetahuan awal itu bersifat lokal dan sementara serta tidak global dan
permanen.
(d) Membangun suatu pengetahuan yang terstruktur serta mudah digunakan dan
diakses itu memerlukan usaha dan kerja keras.
(i) Proses belajar harus dimulai dari yang mudah dan sederhana serta secara
bertahap menuju kepada yang lebih sulit dan kompleks.
Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, peneliti akan mencoba mengembangkan
Problem Solving Berbasis Hyperphysics (PSBH). Dalam model analisis SPM, totalitas
materi Fisika dasar II yang ada pada Struktur Kurikulum Fisika Pendidikan Tinggi akan
dikembangkan dalam bentuk satuan-satuan pembelajaran yang mencakup unsur-unsur
sebagai berikut :
1. Tujuan instruksional secara umum. Bagian ini dimaksudkan untuk
mengarahkan pembelajar kepada sasaran-sasaran dan tujuan mempelajari
topik tertentu seperti yang ditetapkan dalam GBPP.
21
2. Introduksi atau pendahuluan. Pada bagian ini pengetahuan awal pembelajar
akan dicerahkan. Untuk kepentingan ini, jika diperlukan, akan digunakan
gambar-gambar illustrasi, kegiatan demonstrasi dan bahkan eksperimen-
eksperimen di laboratorium, untuk mengarahkan pembelajar pada pengertian
tentang konsep-konsep inti yang akan dibahas dan terus dipertajam pada
bagian-bagian selanjutnya.
3. Uraian tentang konsep-konsep inti dan keterkaitannya satu sama lain.
Dalam bagian ini pembelajar didorong untuk dapat mengembangkan
keterampilan intelektualnya berdasrkan hubungan-hubungan logis antar
konsep. Beberapa perumusan-perumusan konseptual dan matematis pada tiap-
tiap topik bahasan, sengaja diberikan kepada pembelajar untuk dapat
memperolehnya sendiri dibawah arahan guru. Dengan demikian pengetahuan
terstruktur dari pembelajar diharapkan dapat terbangun. Penggunaan media
pembelajaran seperti gambar-gambar illustrasi, kediatan demonstrasi serta
percobaan di laboratorium akan lebih dikedepankan dan dikoordinasikan
secara terpadu dengan kegiatan praktikum. Disini, aktivitas pembelajar lebih
dikedepankan untuk setiap usaha-usaha pengkonstruksian pengetahuan dan
perolehan konsep.
4. Kata-kata kunci. Pada sesi ini pembelajar akan mengetahui informasi tentang
konsep-konsep inti, kaidah-kaidah pokok yang bersifat prinsipil, keterkaitan
antar konsep yang harus diberi tekanan.
5. Referensi. Seksi ini ditujukan untuk memberikan informasi tentang bahan ajar
yang sifatnya memperkaya dan memperdalam konsep-konsep yang sedang
dibahas. Informasi tersebut sejauh mungkin diberikan selengkap dan seakurat
mungkin.
6. Evaluasi. Pada seksi terakhir ini, konsep-konsep yang ada pada setiap bahasan
akan kembali dikonstruksikan melalui pemberian pertanyaan-pertanyaan
evaluatif dan soal-soal latihan. Sejauh diperlukan, strategi penyelesaian untuk
pertanyaan-pertanyaan dan soal-soal tersebut akan diberikan. Keberhasilan
pembelajar dalam menyelesaikan setiap pertanyaan dan soal tersebut akan
22
digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan proses pembelajaran dan menjadi
bahan pertimbangan bagi proses pembelajaran berikutnya.
2) Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan
berbasis kelas. Secara singkat penelitian tindakan kelas didefinisikan sebagai bentuk
kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan, yang dilakukan untuk meninggikan
kemantapan rasional dari tindakan-tindakan mereka dalam melaksanakan tugas,
memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukannya itu, serta
memperbaiki kondisi dimana praktek-praktek pembelajaran tersebut dilakukan. Untuk
mewujudkan tujuan-tujuan tersebut, penelitian tindakan kelas dilaksanakan berupa
pengkajian berdaur (cyclical) yang terdiri atas 4 tahap yaitu :
Gambar 1 Kajian Berdaur 4 tahap penelitian tindakan kelas Setelah dilakukan perenungan atau refleksi yang mencakup analisis, sintesis, dan
penilaian terhadap hasil pengamatan proses serta hasil tindakan tadi, kemungkinan
muncul permasalahan atau pemikiran baru yang perlu mendapat perhatian, sehingga pada
gilirannya perlu dilakukan perencanaan ulang. Dalam penelitian ini hanya akan dilakukan
untuk 3 siklus saja.
MERENCANAKAN
MELAKUKAN TINDAKAN
MENGAMATI
MEREFLEKSI
23
Penelitian ini akan dilakukan di Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas
Pendidikan Indonesia kepada mahasiswa semester genap yang mengambil perkuliahan
Fisika Dasar II yang berjumlah 135 orang.
Pendekatan yang akan digunakan adalah campuran antara qualitatif dan quantitatif
yang akan dilaksanakan melalui perlakuan ( ceramah, demonstrasi,diskusi, eksperimen
dengan pendekatan teknik), observasi kelas, wawancara, dan tes.
Langkah-langkah penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengembangkan model Analisis Struktur Pengetahuan Materi (ASPM) Fisika
Dasar II yang berpijak pada asumsi-asumsi constructivist
2. Merancang paket program Problem Solving Berbasis Hyperphysics (PSBH)
Fisika Dasar II untuk setiap pokok bahasan.
3. Merancang instrumen untuk mengukur keterampilan intelektual mahasiswa.
4. Mengadakan studi eksplorasi untuk memahami kondisi kelas dan mahasiswa.
Hal ini dimaksudkan untuk menggali informasi tentang keadaan mahasiswa
secara akademik.
5. Melaksanakan pembelajaran untuk suatu topik tertentu dengan berdasarkan
model pembelajaran yang telah dirancang .
6. Mengadakan refleksi berdasarkan pada hasil studi eksplorasi dan diikuti dengan
perencanaan tindakan siklus kedua, sekaligus memperbaiki kelemahan model
analisa struktur materi termodinamika yang telah dirancang.
7. Melakukan tindakan atau perlakuan pada mahasiswa dalam kelas, dan pada
saat yang sama melakukan observasi kelas dan refleksi, dan seterusnya sampai
siklus ketiga, sehingga pada akhir penelitian ini dihasilkan suatu model analisa
pengetahuan materi termodinamika yang telah dikembangkan dan diujicoba
melalui siklus I,II dan III, yang mampu menunjang pembelajaran PSBH untuk
meningkatkan keterampilan intelektual mahasiswa.
8. Menulis draft laporan sementara.
9. Diseminasi hasil temuan sementara melalui diskusi dan semilok baik lokal,
regiaonal, maupun nasional.
10. Publikasi artikel.
24
Semua pokok bahasan Fisika Dasar II akan dikembangkan model analisis
struktur pengetahuan materinya dengan berpijak pada asumsi-asumsi constructivist.
Kemudian Model yang telah dikembangkan akan digunakan untuk merancang Problem
Solving Berbasis Hyperphysics (PSBH), untuk selanjutnya diukur konstribusinya
terhadap peningkatan keterampilan intelektual mahasiswa.
Untuk menunjang pelaksanaan penelitian ini, akan dirancang alat pengumpul
data sebagai berikut :
• Untuk mengukur kehandalan Model Analisis Struktur Pengetahuan Fisika
Dasar II pada masing-masing pokok bahasan, akan dibuat format
judgement yang akan menjaring pendapat para pakar dibidangnya masing-
masing terhadap Model tersebut.
• Untuk mengukur keadaan awal mahasiswa sebelum mendapatkan proses
pembelajaran PSBH untuk masing-masing pokok bahasan, akan dibuat
soal pre-test.
• Untuk mengukur peningkatan keterampilan intelektual siswa dalam
memecahkan masalah, akan dibuat soal post-test untuk masing-masing
pakok bahasan yang mengadopsi indikator-indikator keterampilan
intelaktual siswa.
• Untuk memudahkan menganalisis peningkatan keterampilan intelektual
siswa setelah mendapatkan Model Analisis Struktur Pengetahuan Fisika
dan PSBK akan dibuat format khusus.
• Sebagai tambahan data direncanakan akan dibuat angket untuk menjaring
data tambahan seperlunya.
• Untuk menentukan gambaran keterampilan intelektual mahasiswa pada
setiap pokok bahasan dan pada setiap item, dilakukan langkah-langkah
sebagai berikut :
1. Mengolah skor subyek penelitian pada setiap item. Pengolahan
dilakukan juga pada masing-masing tahap keterampilan intelektual.
2. Menentukan persentase subyek penelitian berdasarkan tahap
keterampilan intelektual yang telah ditampilkan oleh siswa.
3. Menentukan skor rata-rata yang dicapai oleh subyek penelitian.
25
4. Mengelompokkan dan menentukan skor rata-rata untuk masing-
masing kategori.
5. Menggambarkan skor rata-rata dan persentase subyek penelitian tiap
tahap keterampilan intelektual dalam bentuk grafik.
Sedangkan untuk menampilkan gambaran umum profil keterampilan intelektual
mahasiswa dalam setiap pokok bahasan sebagai berikut :
1. Menentukan persentase subyek penelitian berdasarkan tingkat
kompleksitasnya keterampilan intelektual.
2. Menentukan skor rata-rata tiap tingkat kompleksitas tersebut.
3. Menggambarkan skor rata-rata dan sebaran subyek penelitian berdasarkan
tingkat kompleksitas keterampilan intelektual dalam bentuk grafik.
4. Menggambarkan kelompok siswa yang menjawab tidak sesuai dengan
tahap-tahap keterampilan intelektual (kelompok rancu) pada setiap item
dalam bentuk grafik.
I. JADWAL PELAKSANAAN
No Jenis Kegiatan Waktu Pelaksanaan Bulan ke
1 2 3 4 5 6 7 8 1 Mengembangkan model Analisis
Struktur Pengetahuan Materi (ASPM) Fisika dasar II
3 Merancang paket program Problem Solving Berbasis Hyperphysics (PSBH) Fisika Dasar II
4 Merancang instrumen untuk mengukur keterampilan intelektual mahasiswa
5 studi eksplorasi untuk memahami kondisi kelas
6 Melakukan tindakan dalam kelas, dan pada saat yang sama melakukan observasi kelas dan refleksi untuk siklus I,II, dan III
7 Memperbaiki model ASPM dan PSBH
26
8 Menulis draft laporan sementara 9 Diseminasi hasil temuan
sementara
10 Publikasi artikel 11 Menulis laporan akhir
J. PERSONALIA PENELITIAN
1. Ketua Penelitian a. Nama : Drs. Unang Purwana b. Gol/Pangkat/NIP : c. Jabatan Fungsional : Lektor e. Fakultas/Prog. Studi : Pendidikan MIPA/Pendidikan Fisika f. Perguruan Tinggi : Universitas Pendidikan Indonesia g. Bidang Keahlian : Pendidikan Fisika dan Fisika h. Waktu Penelitian : 8 jam/minggu
2. Anggota Penelitian
a. Nama : Drs. Saeful Karim,M.Si b. Gol/Pangkat/NIP : III D/Penata I/131946758 c. Jabatan Fungsional : Lektor d. Jabatan Struktural : Ketua Program Studi Fisika FPMIPA UPI e. Fakultas/Prog. Studi : Pendidikan MIPA/Pendidikan Fisika f. Perguruan Tinggi : Universitas Pendidikan Indonesia g. Bidang Keahlian : Pendidikan Fisika dan Fisika h. Waktu Penelitian : 4jam/minggu
3. Tenaga Laboran/Teknisi :
a. Eri Supriadi (Laboran) b. Endang Supriatna (Laboran)
4. Tenaga Administrasi : Atit Sumiati (Peg.tata usaha)
27
K. PERKIRAAN BIAYA PENELITIAN
No. Jenis Pengeluaran Rincian Jumlah 1. Honorarium
1 Orang ketua penelitian 1 Orang anggota 2 Orang Laboran 1 Orang pegawai Administrasi
Jam/Rp/Orang 320/3.500/1 160/3.500/1 150/1.500/2 150/1.500/1
Rp 1.120.000,00 Rp 560.000,00 Rp 450.000,00 Rp 225.000,00
2. Bahan dan Peralatan Penelitian a. Kertas HVS 80 A4 b. Pensil c. Ball point d. Transparansi laser e. Spidol White Board f. Turner laser printer g. Naskah Bahan Ajar h. Naskah PSBK i. Instrumen penelitian j. komponen Alat Peraga
Banyak/harga 5 rim/40.000 1 lusin/30.000 2 lusin/40.000 3 box/5.000 3 box/30.000 2 tube/400.000 50 orang/30.000 50 orang/30.000 50 orang/5.000
Rp 200.000,00 Rp 30.000,00 Rp 80.000,00 Rp 150.000,00 Rp 90.000,00 Rp 800.000,00 Rp 1.500.000,00 Rp 1.500.000,00 Rp 250.000,00 Rp 1.500.000,00
3. Perjalanan a. Ketua Peneliti b. Anggota Peneliti c. Tenaga Laboran d. Tenaga Administrasi
Jam/Rp/Orang 30/10.000/1 30/10.000/1 30/10.000/2 30/10.000/1
Rp 300.000,00 Rp 300.000,00 Rp 600.000,00 Rp 300.000,00
28
4.
Biaya Lain-lain a. Biaya seminar b. Dokumentasi dan laporan c. Foto Copy d. Administrasi surat-menyurat
1 kali/200.000 8 kali/10.000 600 lb/100 10 kali/5.000
Rp 200.000,00 Rp 80.000,00 Rp 60.000,00 Rp 50.000,00
Total Biaya Rp 10.345.000,00 L. REFERENSI
� Jose P.Mestre, 1999, Cognitive Aspects of Learning and Teaching Science,
Department of Physics and Astronomy, University of massachussetts, Amherst, MA
01003-4525 USA.
� Jan Van Aalst, 1999, The Learning to Knowledge Building Model : A Framework
for Teaching in Collaborative Environments, Center for Applied Cognitive
Science,OISE/University of Toronto,252 Bloor Street W.,Toronto,ON,Canada,M5S
IV6.
� Michael L.Bentley, 1998, Constructivism as a referent for Reforming Science
Education, New York : Cambridge University Press,pp.233-249.
� Nelson Siregar, 2000, Peranan Struktur Ilmu Dalam Pengembangan Kurikulum,
Fakultas Pendidikan MIPA,UPI, Bandung.
� Nelson Siregar, 2000, Laporan Kegiatan Loka-Karya Penelitian Untuk Dosen IPA,
Fakultas Pendidikan MIPA,UPI, Bandung.
� Ratna Wilis Dahar, 1989, Teori-Teori Belajar,Penerbit Erlangga,Jakarta.
� Robert M.Gagne, 1988, Principles of Instructional Design, California.
� Robert M.Gagne, 1974, Essentials of Learning for Instruction, California.
29
� Theresia Tirta Seputro, 1998, The Influence of Teacher’s Subject Matter Knowledge
and Beliefs on Teaching Practices : A Case Study of an Indonesian teacher
teaching Graph Theory in Indonesia, National Key Center of School and
Mathematics, Curtin University of technologi, Proceeding Contens, WAIFER Home
Page.
� William Gerace, Robert Dufreshne, William Leonard and Jose Mestre, 1999,
MINDS.ON PHYSICS : Materials for Developing Concept-Based Problem-Solving
Skills in Physics, Department of Physics and Astronomy, University of
Massachussetts, Amherst,MA 01003-4525 USA.UMPERG,Technical Report .
� Rand J. Spiro, Paul J.Feltovich, Michael J.Jacobson, and Richard L.Coulson
Cognitive Flexibility, Constructivism, and Hypertext : Random Acces Instruction
for Advanced Knowledge Acquisition in Ill-Structured Domains, Center for the
Study of Reading, University of Illinois, Southern Illinois University, School of
Medicine, Center for the Study of Reading, University of Illinois, Southern Illinois
University, School Medicine, 2000 # February.
M. CURICULUM VITAE PENELITI
A. Ketua Penelitian
a. Nama : Drs.Saeful Karim, M.Si b. NIP/GOL/Pangkat : 131 946 758/III d/ Lektor
c. Tempat/tgl.lhr. : Garut, 7 Maret 1967 d. Unit Kerja : Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI e. Alamat Kantor : Jl.Dr. Setiabudi No.229 Bandung 40154
Tlp.(022)2004548, Fax (022)2004548
f. Alamat Rumah : Jl.Sentral –Sirnarasa No.191 Cibabat- Cimahi Tlp.(022)6654803/08122172077
a.Riwayat Pendidikan
Nama Sekolah Tahun lulus Jurusan Tempat SDN Neglasari 1977 Garut SMPN Cisompet 1983 Garut SMAN Garut 1986 Garut S1 Pendidikan (IKIP Bandung) 1990 Fisika Bandung Pra-S2 ITB 1993 Fisika Bandung
30
S2 ITB 1996 Fisika Bandung b.Riwayat Bekerja No. Institusi Jabatan Periode Bekerja
1. SMU Taruna Bakti Bandung Guru Fisika 1990-1998 2. SMU Taruna Bakti Bandung Wakil Kepala Sekolah 1996-1998 3. IKIP Bandung Dosen Fisika/Pendidikan
Fisika 1991-Sekarang
4. IKIP Bandung Ketua Program Studi Fisika
Januari 2002- Sekarang
c.Daftar Penelitian yang sudah dilakukan dalam 5 tahun terakhir
No. Judul Penelitian Tahun 1. Pemahaman Konsep-konsep Fisika Dikaitkan dengan
Penguasaan Persamaan Matematik 1996
2. Deskripsi Statistik Aliran Reaktif Turbulen 1997 3. Optimalisasi Suseptibilitas Sentrosimetrik Molekul Non-Linear 1998 4. Komputasi Dinamika Fluida 1998 5. Model Learning Cycle Dalam Pembelajaran Kinematika dan
Dinamika Pada Perkuliahan Fisika dasar 1998
6. Model Learning Cycle dalam Pembelajaran Hukum Archemedes di Sekolah Dasar
1998
7. Model Ubinan Acak Untuk Struktur Kuasikristal 1996 8. Mikrokuasikristal,Superlattice,dan Approksiman Kristal 1996 9. Computational Fluid Dynamics 1998 10. Konduktivitas Gas Terionisasi Sebagian 1999 11. Konduktivitas Gas Terionisasi Seluruh 1999 12. Pengukuran Viscositas dan Polaritas Cairan Dibawah Pengaruh
Medan Listrik 2000
13. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Rendahnya Tingkat kelulusan Matakuliah Fisika dasar Pada Mahasiswa Program Tahun persian Bersama FPMIPA UPI
2000
14. Inovasi Pembelajaran Matakuliah Termodinamika Melalui Pendekatan Teknik dan Paket Program Matematika Khusus Di Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI
2000
15. Pemahaman Konsep Fisika moderen Guru Sekolah Menengah Umum Berdasarkan Kurikulum SMU 1994 Pada Domain Kognitif Bloom
2000
16. Peningkatan Pemahaman Fisika Dasar Pokok Bahasan Kinematika dan Dinamika Partikel dengan Bantuan Alat Peraga Kinematika dan Dinamika Pada Mahasiswa TPB Fisika Angkatan 2000/2001 ( Hibah bersaing Dana Rutin UPI tahun 2000)
2000
17. Diagnosa Kesulitan Belajar Mahasiswa Pada Mata Kuliah Termodinamika Ditinjau Dari Kemampuan Menafsirkan
2000
31
Grafik, Penguasaan Diferensial Parsial, Pemahaman Konsep dan Penerapannya (RII Batch IV Proyek PGSM tahun 2000)
18. Inovasi Pembelajaran Fisika Dasar untuk Mahasiswa TPB Jurusan Biologi FPMIPA UPI
2000
20. Learning Model of Linear Movements Dynamics for The Students of Senior High Schools Class 1 By Using Critical and Creative Thinking Students With Constructive Insights Approach (Hibah bersaing Dana Rutin UPI tahun 2001/2002)
2001
21 Determining Thermal Electromotantion for some termocouples from graphic electromotive force with difference of temperature
2002
32