repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 27085... SKRINING SENYAWA...
Transcript of repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 27085... SKRINING SENYAWA...
i
SKRINING SENYAWA METABOLIT SEKUNDER SIRIP EKOR HIU Carcharhinus melanopterus DAN UJI AKTIVITAS
SEBAGAI ANTIBAKTERI TERHADAP Vibrio parahaemolyticus
SKRIPSI
ANDI ANNISAR DZATI IFFAH
L111 14 305
Diajukan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar sarjana Ilmu Kelautan
Dibimbing oleh:
Dr. Ir. Muhammad Farid Samawi, M.Si
Prof. Dr. Ir. Chair Rani, M.Si
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
ii
ABSTRAK
ANDI ANNISAR DZATI IFFAH. L111 14 305. “Skrining Senyawa Metabolit
Sekunder Sirip Ekor Hiu Carcharhinus melanopterus dan Uji Aktivitas Sebagai
Antibakteri Vibrio parahaemolyticus”. Dibimbing oleh Muhammad Farid Samawi
sebagai Pembimbing Utama dan Chair Rani sebagai Pembimbing Anggota.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui golongan senyawa metabolit
sekunder pada sirip ekor hiu Carcharhinus melanopterus dan menguji aktivitas
ekstrak sebagai antibakteri Vibrio parahaemolyticus. Pengambilan sampel
dilakukan di Pangkalan Pendaratan Ikan Paotere Kota Makassar. Sampel yang
diambil adalah bagian sirip ekor dari beberapa individu C. melanopterus
sebanyak 1kg. Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi dengan pelarut
metanol, kloroform dan n-heksan p.a. sehingga diperoleh rendemen ekstrak dari
proses maserasi (metanol:.1,03%, kloroform: 0,49%, dan n-heksan: 0,034%).
Identifikasi senyawa metabolit sekunder pada ekstrak sirip C. melanopterus
dilakukan dengan uji warna. Pengujian daya hambat bakteri Vibrio
parahaemolyticus terhadap ekstrak sirip ekor C. melanopterus dilakukan dengan
metode difusi agar. Ekstrak sirip dengan ketiga pelarut didapatkan zona bening
rata-rata metanol: 1,29 mm, kloroform: 1,06 mm, dan n-heksan: 0,00 mm. Hasil
skrining senyawa metabolit sekunder ekstrak C. melanopterus dengan pelarut
metanol teridentifikasi golongan senyawa metabolit sekunder jenis flavonoid dan
saponin, pada ekstrak dengan pelarut kloroform mengandung senyawa saponin,
sedangkan pada ekstrak dengan pelarut n-heksan positif mengandung senyawa
alkaloid; flavonoid; dan saponin.
Kata Kunci: Carcharhinus melanopterus, metabolit sekunder, antibakteri, Vibrio
parahaemolyticus
iii
ABSTRACT
ANDI ANNISAR DZATI IFFAH. L111 14 305. “Secondary Metabolite Screening
of Shark Tail Fin Carcharhinus melanopterus and Activity Test as antibacterial
against Vibrio parahaemolyticus. Supervised by Muhammad Farid Samawi as the
main adviser and Chair Rani as the member adviser.
The purpose of this research was to determinate the group of secondary
metabolite compounds on tail fin extract of Carcharhinus melanopterus and
activity test of the extract to inhibit the growth of Vibrio parahaemolyticus.
Sampling was conducted at Paotere Fish Auction in Makassar City. The Samples
of tail fin was taken from adult shark sized >1 meter, and weight up to 1kg. The
extraction using maceration method with methanol p.a., chloroform p.a, and n-
hexane solvent p.a. to obtain the rendement of extract (methanol: 1,03%,
chloroform: 0,49%, and n-hexan: 0,034%). Identification by using color test
showed the presence of a group of secondary metabolite compounds e.g.
alkaloids, flavonoids, saponins, steroids, and polyphenols. The ability of the
extract to inhibit Vibrio parahaemolyticus bacterial growht was using agar
diffusion method. The fin extract by the three solvents obtained the inhibition
zone of methanol: 1.29mm, chloroform: 1.06mm, and n-hexane: 0mm. Screening
of secondary metabolite compounds which obtained extract in methanol solvent
were flavonoid and saponin, in extract with chloroform solvent was saponin, and
alkaloid, flavonoid, and saponin were identified in extract by n-heksan solvent.
Keywords: Carcharhinus melanopterus, secondary metabolite, antibacterial,
Vibrio parahaemolyticus
iv
v
RIWAYAT HIDUP
Andi Annisar Dzati Iffah, dilahirkan di Kota Makassar
pada tanggal 2 Maret 1997, merupakan anak kedua dari
empat bersaudara dari pasangan Dr. Ir. Andi Suarda, M.Si
dan Andi Mulia, SE., M.Si. Penulis menyelesaikan
pendidikan formal Sekolah Dasar di SD Inpres Minasa Upa
Kecamatan Rappocini Kota Makassar tahun 2008. Pada tahun itu juga penulis
melanjutkan Pendidikan Menengah Pertama di Madrasah Tsanawiyah Negeri
Model Makassar dan tamat pada tahun 2011. Kemudian melanjutkan Sekolah
Menengah Atas di Madrasah Aliyah Negeri 2 Model Makassar pada tahun 2011
dan selesai pada tahun 2014. Pada tahun 2014 Penulis melanjutkan pendidikan
melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN),
tepatnya di Universitas Hasanuddin (UNHAS) Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan pada Program Studi Ilmu Kelautan.
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah
Dasar-dasar Komputasi, Iktiologi, Botani Laut, Mikrobiologi Laut, Oseanografi
Kimia, Teknik Rehabilitasi Ekosistem Pesisir Laut, dan Dasar-dasar
Bioprospekting Kelautan. Di bidang keorganisasian mahasiswa, penulis pernah
menjadi pengurus Keluarga Mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan periode
2016/2017, masuk dalam keanggotaan Marine English Club UNHAS (MEC-UH),
dan menjadi Crew Radio Kampus EBS FM UNHAS. Penulis menyelesaikan
rangkaian tugas akhir yaitu Kuliah Kerja Nyata Tematik Infrastruktur Permukiman
Gelombang 96 di Kelurahan Batua Kecamatan Manggala Kota Makassar tahun
2017, Praktek Kerja Lapang di BPSPL Makassar dan UPTD PPI Paotere
vi
Makassar pada tahun 2017. Terakhir, penulis melakukan penelitian dengan judul
“Skrining metabolit sekunder pada sirip ekor hiu Carcharhinus melanopterus dan
uji aktivitasnya sebagai antibakteri terhadap Vibrio parahaemolyticus” yang
dilaksanakan pada tahun 2017.
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillahirabbil Alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat
Allah Subhanahu Wa Ta‟ala, karena atas berkah dan limpahan rahmat serta
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul
“Skrining metabolit sekunder sirip ekor hiu Carcharhinus melanopterus dan uji
aktivitasnya sebagai antibakteri terhadap Vibrio parahaemolyticus”, sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di Departemen Ilmu Kelautan,
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.
Kegiatan penelitian selama kurang lebih 3 bulan yang penulis jalani ini tentu saja
tidak selalu berjalan mulus sesuai yang diinginkan, namun berkat bantuan dan
peranan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya diucapkan
kepada:
1. Orang tua penulis, Ayahanda Dr. Ir. Andi Suarda, M.Si dan Ibunda Andi
Mulia, SE., M.Si yang telah mencurahkan seluruh kasih dan sayangnya
dengan sepenuh hati, mendoakan dan dukungan yang tiada henti
sehingga penulis mampu menyelesaikan studi di Universitas
Hasanuddin.
2. Saudaraku terkasih Andi Muhammad Dzulkifli, S.KM, Andi Aisyah Dzati
Iffah, dan Andi Ainun Dzati Iffah atas segala doa, dorongan dan setia
menjadi penyemangat yang baik dalam menyelesaikan studi. Kelak satu
langkah yang baru akan ditempuh akan membuat kalian bangga.
3. Prof. Dr. Ir. Chair Rani, M.Si sebagai penasehat akademik juga sebagai
pembimbing dalam penelitian, atas segala bentuk pembelajaran,
viii
bimbingan dan nasihat selama masa studi hingga penyusunan tugas
akhir.
4. /Dr. Ir. Muhammad Farid Samawi, M.Si selaku pembimbing utama
penelitian yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, bantuan,
dan dengan ikhlas meluangkan waktu dan pikiran selama penelitian
hingga penyusunan tugas akhir ini.
5. .Para dosen penguji Dr. Ir. Arniati Massinai, M.Si., Dr. Ir. Aidah Ambo
Ala Husain, M.Sc., Dr. Ir. Abdul Haris, M.Si., dan Dr. Ir. Syafiuddin, M.Si
yang telah meluangkan waktunya dalam memberikan kritik dan saran
pada penelitian dan perbaikan skripsi penulis serta nasehat-nasehat
yang membangun kepribadian penulis lebih baik lagi.
6. ...Kepada seluruh Dosen Departemen Ilmu Kelautan dan staf pengajar dan
pegawai FIKP atas segala ilmu dan keakraban yang telah diberikan.
Semoga ilmu yang bapak/ibu berikan bermanfaat bagi penulis.
7. ..Kepada Herawaty Haruna, S.Pi sebagai pembimbing lapangan dan
pegawai di BPSPL Makassar serta Ridwan selaku pembimbing
lapangan di UPTD PPI Paotere Kota Makassar selama pelaksanaan
program PKL. Semoga ilmu yang diberikan dapat menjadi fokus penulis
dalam pendidikan lanjut.
8. .Rekan-rekan seperjuangan Ayu Novitasari, Nurul Asirah, Sitti Aisya,
Nurdina A. Rahman, Retnowati, Fatyah Nurjannah Mahu, Nirmawati,
dan Mirdayanti yang memberikan semangat dan membantu penulis
selama penelitian.
9. Kepada saudara-saudari seperjuangan Kelautan Angkatan 2014
(TRITON) dan para sahabat Fitriani, Gustina, Samara Lasena, Wiwi,
Fatimah, Hasriani Dg. Ali, Sumiati, Lisnawati serta teman-teman yang
lain yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas
ix
dukungan dan kerjasamanya selama menimba ilmu di program studi
Ilmu Kelautan.
10. .Kepada teman-teman KEMAJIK FIKP UH dan MEC-UH terima kasih
atas motivasi dan kerjasamanya selama berorganisasi. Pengalaman
yang diberikan sangat penting dalam menunjang mental penulis dalam
melakukan penelitian.
11. .Kakak-kakak Ilmu Kelautan Angkatan 2013 (KERITIS) yaitu kak Syeiqido
Sora Datu, S.Kel., Ratnasari S.Kel., Megawati, S.Kel., Sitti Anisah,
S.Kel, serta yang lain yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu,
terima kasih atas dukungan dan bantuannya kepada penulis selama
melaksanakan penelitian.
12...Kepada teman-teman KKN Tematik Infrastruktur Permukiman
Gelombang 96 Kelurahan Batua, Kecamatan Manggala, Kota Makassar,
terkhusus teman posko Kel. Batua (Sri Wahyuni, Dewi Putriyani
Rachmat, S.Si, Dirga Ragilia M., Rizki Amalia Said, Rury Ramadhan,
Andi Ika Sari Mutmainna, dan Falensia Dwita Lestari) atas semua
dukungan, doa dan kebersamaan selama ini.
Penulis menyadari bahwa kesempurnaan hanyalah milik Allah Subhanahu
Wa Ta‟ala. Semua hal yang terbaik telah penulis lakukan untuk kesempurnaan
skripsi ini. Namun, penulis hanyalah manusia biasa yang tak luput dari
kesalahan. Oleh karena itu, segala bentuk kritik dan saran yang sifatnya
membangun sangatlah diperlukan untuk memperbaiki kesalahan yang ada. Akhir
kata semoga skripsi ini dapat digunakan untuk kemajuan bidang kelautan dan
kesejahteraan masyarakat.
Makassar, 12 Desember 2017 ANDI ANNISAR DZATI IFFAH
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iv
RIWAYAT HIDUP .................................................................................... v
UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................................... vii
DAFTAR ISI ............................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xiv
I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 2
C. Tujuan dan Kegunaan ................................................................. 3
D. Ruang Lingkup ............................................................................ 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 4
A. Bioekologi Ikan Hiu Carcharhinus melanopterus .......................... 4
B. Potensi Bioaktif Hiu ...................................................................... 6
C. Metabolit Sekunder ...................................................................... 8
1. Alkaloid ..................................................................................... 10
2. Flavonoid ................................................................................. 11
3. Saponin ................................................................................... 12
4. Steroid ..................................................................................... 13
5. Polifenol .................................................................................. 14
D. Ekstraksi ...................................................................................... 15
1. Ekstraksi Senyawa Bioaktif ...................................................... 15
xi
2. Uji Warna ................................................................................ 17
3. Uji Aktvitas Antibakteri ............................................................ 21
E. Tinjauan Umum Bakteri Uji .......................................................... 23
1. Bakteri ..................................................................................... 23
2. Vibrio parahaemolyticus ........................................................... 24
III. METODE PENELITIAN ...................................................................... 27
A. Waktu dan Tempat ...................................................................... 27
B. Alat dan Bahan ............................................................................ 27
C. Prosedur Penelitian ..................................................................... 28
D. Analisis Data ............................................................................... 34
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 35
A. Ekstrak Sirip Ekor Ikan Hiu .......................................................... 35
B. Skrining Senyawa Metabolit Sekunder ........................................ 36
C. Uji Aktivitas sebagai Antibakteri Vibrio parahaemolyticus ............. 39
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 45
A. Kesimpulan .................................................................................. 45
B. Saran ........................................................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 46
LAMPIRAN ............................................................................................ 53
xii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Morfologi Carcharhinus melanopterus ................................................ 4
2. Reaksi uji Wagner dalam pengujian senyawa alkaloid ......................... 18
3. Reaksi flavonoid dengan Mg dan HCl pekat ....................................... 18
4. Reaksi hidrolisis saponin dalam air ...................................................... 19
5 Reaksi steroid terhadap reagen Lieberman–Buchard .......................... 20
6. Reaksi uji poliphenol ............................................................................ 21
7. Morfologi bakteri uji Vibrio parahaemolyticus ....................................... 26
8. Ilustrasi sampel ................................................................................... 29
9. Skema prosedur penelitian ................................................................. 33
10. Hasil ekstraksi sirip ekor ikan hiu Carcharhinus melanopterus ........... 35
11../Daya hambat ekstrak sirip ekor Carcharhinus melanopterus
menggunakan pelarut metanol dan kloroform .................................. 40
12. Uji daya hambat ekstrak kloroform terhadap Vibrio parahaemolyticus
......................................................................................................... 42
13. Uji daya hambat ekstrak metanol terhadap Vibrio parahaemolyticus 43
xiii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Kriteria kekuatan zona hambat ............................................................ 32
2. Hasil uji metabolit sekunder ekstrak sirip ekor ikan hiu dengan uji
warna ................................................................................................. 37
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. .Uji aktivitas ekstrak sirip ekor Carcharhinus melanopterus sebagai
antibakteri terhadap Vibrio parahaemolyticus ..................................... 54
2. Data pengukuran ikan hiu Carcharhinus melanopterus ........................ 55
3. Hasil pengujian senyawa metabolit sekunder dengan uji warna ........... 56
3.1 Uji Alkaloid .................................................................................... 56
3.2 Uji Saponin .................................................................................... 56
3.3 Uji Flavonoid ................................................................................. 57
3.4 Uji Steroid ..................................................................................... 57
3.5 Uji Polifenol .................................................................................. 58
4. Hasil pengujian aktivitas ekstrak sirip ekor C. melanopterus sebagai
antibakteri terhadap Vibrio parahaemolyticus ...................................... 59
5. Analisis data zona bening ................................................................... 60
6..Diameter hasil uji aktivitas ekstrak sirip ekor C. melanopterus
sebagai antibakteri terhadap Vibrio parahaemolyticus ........................ 61
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perairan Indonesia memiliki potensi kekayaan alam yang besar dengan
tingkat keragaman hayati yang tinggi, dimana di dalamnya terdapat berbagai
jenis organisme laut. Dari 200 jenis ikan hiu di dunia, ada 118 jenis hiu yang
sudah teridentifikasi di Indonesia (Sadili, 2013). Berdasarkan hasil pendataan
monitoring penangkapan hiu yang dilakukan selama periode Juni-Agustus 2016
ditemukan 31,8% hiu jenis Carcharhinus melanopterus yang menjadi target
sampingan oleh beberapa nelayan di PPI Paotere Kota Makassar (Iffah, 2016).
Hiu ini merupakan jenis yang paling banyak dimanfaatkan metabolit primernya
dengan mengonsumsi daging maupun sirip secara langsung sedangkan bagian
tubuh lain seperti insang, hati, hingga usus mulai diolah menjadi beberapa
produk di bidang farmasi.
Seiring dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi, beberapa
pakar mulai melakukan penelitian tentang hiu. Penelitian terbaru di bidang
farmasi menemukan adanya kandungan senyawa bioaktif dari beberapa bagian
tubuh hiu yang dapat digunakan untuk bahan obat-obatan seperti senyawa
acetylenic pada bagian insang (Zhang et al, 2017) maupun senyawa squalen
pada minyak hati sebagai bahan kosmetik (Undjung, 2005). Sedangkan bagian
tubuh seperti sirip hiu diinformasikan memiliki banyak manfaat sehingga mulai
diuji potensinya (BPSPL Padang, 2017).
Hiu dari jenis Carcharhinus melanopterus merupakan salah satu spesies
yang banyak diperdagangkan tidak hanya terbatas sebagai bahan makanan,
tetapi juga dianggap sebagai sumber bahan kimia alam yang diduga berpotensi
sebagai obat terutama pada bagian sirip. Salah satu jenis obat yang terus
dikembangkan adalah antibakteri karena beberapa makanan yang dikonsumsi
2
oleh manusia sebagian besar berasal dari laut yang telah tercemar, mengandung
mikroorganisme atau bakteri dan bahan kimia berbahaya. Menurut Oktavianus
(2013), salah satu bakteri yang mengontaminasi makanan (udang, kerang, dan
hasil laut lainnya) menyebabkan keracunan makanan dan gastroenteritis adalah
bakteri Vibrio parahaemolyticus.
Resistensi bakteri patogen Vibrio parahaemolyticus mengharuskan untuk
mencari sumber molekul bioaktif baru untuk dijadikan antibiotik baru. Namun
penggunaan salah satu zat antibakteri merupakan senyawa antibiotik semi
sintetik. Sebagian besar bahan antibiotik semi sintetik yang digunakan
merupakan zat kimia berbahaya dan sifatnya tidak aman bagi kesehatan (Nimah
dkk., 2012). Potensi antibiotik terhadap bakteri ini diharapkan dapat diperoleh
dari bahan alam seperti sirip hiu. Oleh karena itu, perlu dilakukan skrining ekstrak
sirip ekor hiu Carcharhinus melanopterus terhadap golongan senyawa metabolit
sekunder dan menguji aktivitas ekstrak sebagai antibakteri terhadap Vibrio
parahaemolyticus.
B. Rumusan Masalah
Pengetahuan masyarakat terhadap potensi sirip hiu terhadap metabolit
primernya yaitu memiliki berbagai khasiat apabila dikonsumsi secara langsung.
Namun, metabolit sekunder sirip ekor hiu belum dapat dikonsumsi secara
langsung seperti dalam bentuk food supplement maupun sebagai antibiotik,
karena pengetahuan akan keberadaan senyawa aktif dan pengolahannya yang
belum diketahui.
Di sisi lain, bakteri Vibrio.parahaemolyticus yang merupakan bakteri
patogen terhadap udang dan kerang-kerangan juga merupakan bakteri patogen
penyebab beberapa penyakit keracunan atau gastroenteristis pada manusia.
3
Bakteri ini masih memiliki sifat resisten terhadap antibiotik yang telah ada
sebelumnya sehingga perlu didapatkan sumber molekul aktif baru.
Skrining metabolit sekunder pada sirip ekor hiu C. melanopterus ini
diharapkan dapat mengetahui adanya golongan senyawa metabolit sekunder
yang dimiliki dan bagaimana pengaruh senyawa tersebut dalam aktivitas
antimikroba khususnya terhadap Vibrio parahaemolyticus sehingga nantinya
diharapkan dapat menjadi sumber alternatif dalam mengatasi penyakit baik pada
udang maupun pada manusia.
C. Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui golongan senyawa metabolit
sekunder pada ekstrak sirip ekor hiu C. melanopterus dan menguji aktivitas
ekstrak tersebut sebagai antibakteri Vibrio parahaemolyticus.
Kegunaan penelitian ini sebagai bahan informasi dasar tentang potensi
sirip ekor hiu C. melanopterus dalam memproduksi metabolit sekunder, sehingga
dapat menjadi acuan dalam melakukan penelitian lebih lanjut mengenai produksi
biosintesis dan pemanfaatan dari golongan senyawa metabolit sekunder
tersebut.
D. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini mencakup skrining kandungan senyawa
bioaktif (alkaloid, flavonoid, saponin, steroid dan poliphenol) dari sirip hiu
Carcharhinus melanopterus dan aktivitas ekstrak sebagai antibakteri terhadap
Vibrio parahaemolyticus.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Bioekologi Ikan Hiu Carcharhinus melanopterus
Hiu jenis Carcharhinus melanopterus atau blacktip reef sharks biasa
disebut sebagai hiu karang sirip ekor hitam, hiu mada, atau kluyu karang
(Lombok), atau mangiwang (Makassar). Hiu ini dapat ditandai dengan adanya ciri
khusus yakni (KKP, 2013) (Gambar 1):
1. Ujung sirip ekor punggung pertama berwarna hitam dengan putih di bagian
bawahnya.
2. Sirip ekor berujung hitam.
3..Moncong pendek, bulat melebar (tampak dari bawah) dan jarak dari ujung
moncong ke mulut hampir sama dengan jarak antara lubang ke hidung.
Gambar 1. Morfologi Carcharhinus melanopterus
Klasifikasi Carcharhinus melanopterus (Heupel, 2009):
Kingdom : Animalia
Divisi : Chordata
Class : Chondrichthyes
Order : Carcharhiniformes
Family : Carcharhinidae
Genus : Carcharhinus
Species : C. melanopterus
Hiu jenis Carcharhinus melanopterus hidup pada habitat air laut payau (29-
35 ppt), perairan dangkal dekat daratan di terumbu karang, zona intertidal (flat
Sirip punggung
pertama Sirip punggung
kedua
Sirip Ekor
Sirip Dubur Sirip perut
5
karang) dekat hamparan karang dan dekat lepas pantai, dan di daerah mangrove
akibat air pasang dan bahkan di air tawar. Hiu jenis ini bersifat amphidromous
dan hidup pada kedalaman 20-75 m (Heupel, 2009). Hiu ini memiliki sirip ekor
punggung yang lunak dan terdapat duri pada sirip ekor anal pada hiu kecil
dengan moncong pendek, mata oval, dan gigi taring. Warna kulit kuning-coklat di
bagian atas, putih di bagian bawah. Bagian tubuh lain yaitu sirip ekor punggung
kedua yang berukuran kecil. Pada sirip ekor, dada, lobus di atas sirip ekor, dan
ujung sirip ekor punggung terdapat tip atau corak hitam yang mengkilap.
Carcharhinus melanopterus umumnya hidup di perairan tropis Indo-Pasifik
dan Central Pacific dengan wilayah perairan Thailand, China, Jepang, Filiphina,
New Caledonia dan northern Australia (Compagno, 1984). Hiu jenis ini telah
terlihat di beberapa Pulau Pasifik seperti Kepulauan Marshall (Bonham, 1960),
Kepulauan Solomon (Blaber et al, 1990), Kepulauan Gilbert dan juga Kepulauan
Hawaii. Spesies ini juga pernah terlihat di perairan Afrika Selatan, Mauritius,
Seychelles, Madagascar, Pakistan, India, Sri Lanka, Andaman dan Kepulauan
Maldives (Compagno, 1984). Banyaknya lokasi yang menandai keberadaan jenis
hiu ini menunjukkan luasnya wilayah distribusi yang dimiliki. Adaptasi terhadap
lingkungan yang berbeda-beda menjadi salah satu kelebihan tersendiri jenis ini
untuk bertahan hidup.
Menurut IUCN Red List, saat ini hiu Carcharhinus melanopterus
dikategorikan dalam status Near Threated (NT) dan termasuk traumatogenik atau
golongan hewan yang dapat mengakibatkan merusakan fisik pada korban,
misalnya akibat gigitan, tusukan, dan sebagainya (Heupel, 2009). Status
penangkapan hiu ini masih belum mendapatkan perlindungan secara resmi dari
Pemerintah Indonesia terkait penangkapan maupun perdagangannya, sehingga
baik nelayan maupun pengumpul hiu masih bisa melakukan perdagangan
6
berskala internasional. Beberapa negara di Benua Asia menjadi peminat utama
hiu khususnya dari aspek pemanfaatan di bidang farmasi.
Parameter untuk menentukan kesegaran ikan yang akan digunakan
sebagai sampel penelitian mengikuti standar yang telah ditetapkan mencakup
faktor-faktor fisikawi (Hadiwiyoto, 1993):
a. Penampakan luar ikan yang masih segar mempunyai penampakan cerah.
Keadaan ini terjadi karena belum banyak perubahan biokimiawi yang terjadi
pada ikan dan metabolisme dalam tubuh ikan masih berjalan dengan baik.
b. Kelenturan daging ikan segar mempunyai daging yang cukup lentur. Apabila
daging ditekan atau dibengkokkan, ikan akan kembali ke bentuk semula
setelah dilepaskan. Kelenturan yang terjadi disebabkan oleh belum
terputusnya benang-benang daging. Pada ikan yang busuk benang-benang
daging ini sudah banyak yang putus dan dinding-dinding selnya banyak yang
rusak sehingga ikan kehilangan kelenturannya.
c. Keadaan daging ikan yang masih segar, jika ditekan dengan jari telunjuk
bekasnya akan segera kembali karena dagingnya kenyal. Selain itu, daging
ikan belum kehilangan cairan sehingga daging ikan masih terlihat basah
serta belum terdapat lendir pada permukaan tubuh ikan.
d. Keadaan insang ikan yang segar mempunyai insang yang berwarna merah
cerah. Sebaliknya, insang menjadi coklat gelap pada ikan yang tidak segar.
e. Keadaan mata perubahan kesegaran ikan akan menyebabkan perubahan
yang nyata pada kecerahan mata.
B. Potensi Bioaktif pada Hiu
Ikan laut dalam merupakan sumberdaya alam yang baru bagi perikanan
Indonesia. Selama ini ikan laut dalam diperoleh dari hasil samping para nelayan
tradisional. Salah satu ikan laut dalam jenis Satyrichtys welchii telah
7
dimanfaatkan sebagian masyarakat pesisir Banten sebagai obat kuat sebelum
pergi melaut. Pemanfaatan ikan laut dalam di luar negeri sudah dioptimalkan
dalam bidang obat-obatan. Salah satunya squalene dari hati ikan hiu
(Centrophorus atromarginatus gaman) yang hidup pada kedalaman 500-1000
meter sebagai obat dalam pencegahan terhadap infeksi dan penyakit. Ekstrak ini
dimanfaatkan sebagai pelumas atau krim kulit (Kuang, 1999), dan steroid yang
memiliki sifat sebagai antibiotik (Rao et al., 2000).
Selain itu, tulang rawan ikan hiu berfungsi sebagai antikanker (Jayanti,
2008). Industri farmasi menjadi pasar terbesar untuk tulang rawan hiu. Bubuk
kartilago kering digunakan untuk membuat pil dan kapsul. Meskipun pil kartilago
hiu telah dimanfaatkan sebagai obat untuk kanker, tetapi beberapa peneliti tidak
membenarkan adanya komponen senyawa yang dapat menghambat
pertumbuhan sel kanker pada kartilago hiu (Lane dan Comac, 1992). Meski
tulang rawan kering tidak efektif dalam mengobati kanker, senyawa biologis aktif
tertentu yang diambil dari tulang rawan telah menunjukkan dapat memperlambat
pertumbuhan tumor dan memungkinkan potensi ini menjadi alternatif bidang
farmasi lainnya. Kandungan senyawa lain seperti kondroitin dan glucosomine
sulfate yang tinggi pada tulang rawan hiu merupakan senyawa yang efektif
digunakan dalam mengobati arthritis (Musick et al, 2005).
Penelitian lain mengenai adanya senyawa metabolit sekunder pada hiu
jenis Isurus oxyrinchus telah dilakukan pada tahun 2016 oleh beberapa peneliti
dari Guangdong Ocean University China, Dalian University of Technology dan
University of Tübingen Jerman. Adanya senyawa acetylenic baru dan metabolit
bioaktif lainnya pada Strain Penicillium ditemukan pada bagian insang hiu.
Insang hiu menunjukkan fleksibilitas dalam memproduksi berbagai jenis senyawa
bioaktif seperti senyawa asetilen, polioksida, dan alkaloid. Senyawa yang
8
beragam ini bermanfaat bagi kelangsungan hidup di lingkungan mikro insang
ikan hiu, serta bermanfaat bagi organisme inangnya (Zhang et al, 2017).
Sirip hiu adalah produk hiu yang paling berharga dan digunakan untuk
membuat sup sirip ekor ikan hiu tradisional dalam budaya Cina (Clarke et al.,
2006). Sirip dorsal pertama, sirip pectoral dan cuping bawah sirip ekor adalah
bagian sirip terbesar dan paling berharga pada bagian tubuh hiu sehingga
biasanya dijual satu set dengan harga yang cukup tinggi. Sementara hanya
bagian ceratotrichia cartilaginous halus (berbentuk jarum) dari bagian atas sirip
ekor saja yang digunakan untuk membuat sup. Sirip ekor hiu dikeluarkan dari
tubuh dengan rapi untuk menghindari bagian bawah yang berdaging. kemudian
dikeringkan dan dikemas untuk masuk pemasaran (Musick et al, 2005).
Dokumentasi China kuno menjelaskan manfaat dari sirip ikan hiu antara lain
untuk peremajaan kulit, meningkatkan nafsu makan, memberikan gizi untuk
darah, dan dipercaya baik untuk kesehatan paru-paru, ginjal, tulang dan bagian
tubuh yang lain bagi manusia. Hasil analisis sirip hiu menunjukkan komposisi
protein yang rendah dibandingkan pada ikan kembung dan ikan salmon, seperti
essential amino acid Tryptophan yang bermanfaat untuk meningkatkan
kecerdasan (BPSPL Padang, 2017). Sejauh ini belum ada penelitian mengenai
jenis golongan senyawa metabolit sekunder yang terkandung pada sirip hiu.
C. Metabolit Sekunder
Metabolit sekunder memiliki aktifitas farmakologi dan biologi. Sintesis
senyawa dari tumbuhan, mikrobia atau hewan yang terbentuk melalui proses
biosintesis masuk dalam jenis senyawa metabolit sekunder. Senyawa ini
menunjang kehidupan organisme namun tidak masuk dalam senyawa yang vital
keberadaannya. Pada bidang farmasi, senyawa yang berpotensi aktif dengan
toksisitas minimal terhadap manusia terus dikembangkan dengan mempelajari
9
jenis metabolit sekunder sebagai kandidat obat atau senyawa penuntun (lead
compound). Ciri-ciri dari senyawa metabolit sekunder menurut Saifudin (2014)
adalah sebagai berikut:
1. Tidak terlibat langsung dalam metabolisme/kehidupan dasar: pertumbuhan,
perkembangan dan reproduksi.
2. Tidak esensial, ketiadaan jangka pendek tidak berakibat kematian.
Ketiadaan jangka panjang mengakibatkan kelemahan dalam pertahanan diri,
survival, estetika, menarik serangga.
3. Golongan metabolit sekunder distribusi hanya pada spesies pada
filogenetik/familia tertentu.
4. Seringkali berperan di dalam pertahanan terhadap musuh.
5. Senyawa organik dengan berat molekul 50-1500 Dalton, sehingga disebut
mikro molekul.
6. Penggolongan utama: terpenoid, fenil propanoid, poliketida, dan alkaloid
adalah metabolit sekunder.
7. Pemanfaatan oleh manusia: untuk obat, parfum, aroma, bumbu, bahan
rekreasi dan relaksasi.
Metabolit sekunder merupakan hasil metabolisme mahkluk hidup yang
tidak esensial bagi perkembangan dan pertumbuhan makhluk hidup yang
umumnya merupakan senyawa aromatic. Metabolit sekunder ini merupakan
bentuk pertahanan diri yang diproduksi hanya saat dibutuhkan dan umumnya
dihasilkan oleh tanaman. Metabolit sekunder memiliki struktur yang beragam
yang dipengaruhi oleh letak geografis, paparan sinar matahari, ataupun
keragaman secara genetis. Metabolit sekunder berperan sebagai antibiotik,
antioksidan, antibakteri, anti kanker, antikoagulan darah, dan dapat menghambat
efek karsinogenetik (Handayani, 2013).
10
Berbagai obat penting yang diresepkan di dalam terapi klinik seperti
antibiotik, statin, vinkristin, taksol didapatkan dengan pemurnian dari sumber
alami. Beberapa jenis senyawa yang berpotensi sebagai agen promosi
kesehatan seperti katekin, genistein, flavonoid, stilebenoid, dan lain-lain juga
diisolasi dari bahan alam, baik dari mikroba, tumbuhan, jamur maupun sarang
serangga seperti propolis (sarang lebah) atau pun sarang semut (Saifudin, 2014).
Adanya golongan senyawa yang diduga terdapat pada sirip hiu sebagai salah
satu bahan alami yang diuji yakni:
1. Alkaloid
Keragaman struktur alkaloid sangat tinggi. Alkaloid berpotensi sebagai
sumber obat yang berlimpah dan berefek farmakologis beragam. Sifat fisika-
kimia bersifat semipolar dan mampu berinteraksi dengan membran sel. Alkaloid
merupakan sumber nitrogen yang dipercaya terbentuk dari hasil metabolisme.
Kebanyakan alkaloid berupa padatan kristal dengan titik lebur tertentu atau
mempunyai kisaran dekomposisi. Alkaloid metabolit sekunder yang merupakan
turunan asam amino dan dalam kerangkanya memiliki atom N. Senyawa alkaloid
memiliki peran yang sangat besar di dalam bidang kedokteran. Senyawa yang
pertama kali diisolasi secara murni adalah morfin. Beberapa jenis alkaloid
merupakan bahan obat yang bereaksi dengan syaraf. Kopi yang dikonsumsi
sehari-hari oleh manusia juga mengandung alkaloid yakni kafein, sedangkan
pada coklat terdapat alkaloid teobromin (Lenny, 2006).
Alkaloid memiliki fungsi dalam bidang farmakologis antara lain sebagai
analgetik (menghilangkan rasa sakit), mengubah kerja jantung, mempengaruhi
peredaran darah dan pernafasan, antimalaria, stimulan uterus dan anaestetika
lokal (Sirait, 2007). Sumber senyawa alkaloid potensial adalah tumbuhan yang
tergolong dalam kelompok Angiospermae dan jarang atau bahkan tidak
ditemukan pada tumbuhan yang tergolong dalam kelompok Gimnospermae
11
misalnya paku-pakuan, lumut dan tumbuhan tingkat rendah lain (Harborne,
1987).
Adrenalin merupakan salah satu alkaloid yang diproduksi oleh makhluk
vertebrata dari asam amino tirosin. Adrenalin berfungsi sebagai mediator pada
sel saraf terkait rasa simpati dan kewaspadaan. Senyawa alkaloid diketahui
memiliki beberapa kegunaan dalam farmasi sebagai senyawa yang aktif
melawan sel tumor, sebagai antibakteri, dan memberikan efek sedatif. Beberapa
penelitian lain yang menujukkan nilai positif terhadap senyawa alkaloid juga
diketahui memungkinkan menghambat beberapa jenis bakteri khususnya bakteri
gram negatif dalam konsentrasi tertentu (Saifudin, 2014).
2. Flavonoid
Flavonoid sebagai salah satu kelompok senyawa fenolik memiliki
kemampuan sebagai antioksidan yang mampu mentransfer sebuah elektron atau
sebuah atom hidrogen ke senyawa radikal bebas dengan menghentikan tahap
awal reaksi. Oleh karena itu, flavonoid dapat menghambat peroksidasi lipid,
menekan kerusakan jaringan oleh radikal bebas dan menghambat beberapa
enzim (Carson et al., 2005).
Sebagian besar flavonoid alam ditemukan dalam bentuk glikosida dimana
unit flavonoid terikat pada satu gula. Glikosida adalah kombinasi antara suatu
gula dan suatu alkohol yang saling berikatan melalui ikatan glikosida (Lenny,
2006). Flavonoid dapat ditemukan sebagai mono, di atau triglikosida (Achmad,
1986). Flavonoid yang berupa glikosida merupakan senyawa polar sehingga
dapat diekstrak dengan etanol, metanol ataupun air. Setyaningsih et al, (2010)
menjelaskan bahwa jika ekstrak sampel terdapat senyawa flavonoid, maka
setelah penambahan logam Mg dan HCl akan terbentuk garam flavilium
berwarna merah atau jingga hingga kuning.
12
3. Saponin
Saponin adalah suatu glikosida yang mungkin ada pada banyak macam
tanaman. Saponin ada pada seluruh tanaman dengan konsentrasi tinggi pada
bagian-bagian tertentu dan dipengaruhi oleh varietas tanaman dan tahap
pertumbuhan. Pada tumbuhan, saponin berfungsi sebagai bentuk penyimpanan
karbohidrat atau merupakan waste product dari metabolisme tumbuh-tumbuhan.
Selain itu saponin bisa menjadi pelindung terhadap serangan serangga. Sifat-
sifat yang dimiliki saponin antara lain mempunyai rasa pahit, membentuk busa
yang stabil dalam larutan air, menghemolisis eritrosit, merupakan racun yang
kuat untuk ikan dan amfibi, membentuk persenyawaan dengan kolesterol dan
sisteroid lain, sulit untuk dimurnikan dan diidentifikasi dan memiliki berat molekul
yang tinggi (Nio, 1989).
Berdasarkan sifat kimianya saponin dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu
steroid dengan 27 atom C dan triterpenoid dengan 30 atom C. Aglikon
(sapogenin) dan karbohidrat macam-macam saponin berbeda, sehingga
tumbuhan tertentu dapat mempunyai macam-macam saponin yang berlainan.
Macam-macam saponin pada tumbuhan antara lain quillage saponin (campuran
dari 3 atau 4 saponin), alfalfa saponin (campuran dari paling sedikit 5 saponin)
dan soy bean saponin (terdiri dari 5 fraksi yang berbeda dalam sapogenin atau
karbohidratnya atau kedua-duanya) (Nio, 1989).
Saponin menyebabkan stimulasi pada jaringan tertentu misalnya pada
epitel hidung, bronkus dan ginjal. Stimulasi pada ginjal diperkirakan menimbulkan
efek diuretika. Sifat menurunkan tegangan permukaan yang ditimbulkan oleh
saponin dapat dihubungkan dengan daya ekspektoransia, dimana dengan sifat
ini lendir akan dilunakkan atau dicairkan. Saponin bisa juga sebagai prekursor
hormon steroid (Sirait, 2007).
13
Saponin dapat menimbulkan rasa pahit pada bahan pangan nabati. Banyak
saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima komponen dan komponen
yang umum ialah asam glukuronat (Harborne, 1987). Pembentukan busa yang
mantap sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau memekatkan ekstrak tumbuhan
merupakan bukti terpercaya akan adanya saponin. Saponin jauh lebih polar
daripada sapogenin karena ikatan glikosidanya (Harborne, 1987).
4. Polifenol
Polifenol (polyphenol) merupakan senyawa kimia yang bersifat antioksidan
kuat. Polifenol umumnya banyak terkandung dalam kulit buah. Katekin
merupakan subkelas dari polifenol. Senyawa bioaktif katekin yang terdapat pada
tanaman obat tradisional Cina Spatholobus suberectus Dunn (SSD) dilaporkan
dapat memperbaiki sistem hematopoesis. Senyawa ini berfungsi untuk regulasi
sistem kekebalan dan menghambat pertumbuhan tumor, tetapi juga dapat
memberikan efek stimulasi terhadap hematopoesis (Nurhidayah, 2009).
Polifenol ini berperan melindungi sel tubuh dari kerusakan akibat radikal
bebas dengan cara mengikat radikal bebas sehingga mencegah proses inflamasi
dan peradangan pada sel tubuh. Polifenol juga bermanfaat menurunkan risiko
penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, alzheimer, dan kanker (Sacks et al,
2006).
Senyawa polifenol terdiri dari beberapa subkelas yakni, flavonol, isoflavon
(dalam kedelai), flavanon, antosianidin, katekin, dan biflavan. Jenis polifenol lain
adalah tanin (terkandung dalam teh dan cokelat), yang sedang hangat
diperbincangkan di dunia kesehatan. Semua jenis teh mengandung polifenol
dalam bentuk epigallocatechin gallate (EGCG). Kandungan EGCG ini yang
melambungkan nama teh sebagai minuman anti kanker dan pencegah serangan
jantung (Sacks et al, 2006).
14
5. Steroid / Triterpenoid
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam
satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik,
yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit, kebanyakan berupa
alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Mereka berupa senyawa tanpa warna,
berbentuk kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan aktif optik yang umumnya
sukar dicirikan karena tak ada kereaktifan kimianya. Triterpenoid dapat dibagi
menjadi empat kelompok senyawa, yaitu triterpen sebenarnya, steroid, saponin,
dan glikosida jantung (Harborne, 1987).
Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid. Adapun contohnya
adalah sterol, sapogenin, glikosida jantung dan vitamin D. Steroid alami berasal
dari berbagai transformasi kimia dari triterpena yaitu lanosterol dan saikloartenol.
Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat
(Harborne, 1987).
Sejauh ini telah banyak dilakukan penelitian tentang senyawa metabolit
khususnya pada biota laut yang berpotensi sebagai obat atau untuk menunjang
berbagai kepentingan industri (Lenny 2006). Kegiatan mencari senyawa aktif dari
bahan alami dapat memberikan banyak kontribusi dalam meningkatkan taraf
ekonomi masyarakat dalam memproduksi hingga mengelola bahan tersebut.
Upaya penemuan senyawa yang mampu membunuh dan menghambat bakteri-
bakteri patogen telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya.
Senyawa seperti ini kemudian dikenal dengan istilah zat antibakteri.
Perkembangan obat antibakteri merupakan suatu kemajuan terpenting dalam
bidang pengobatan, karena pengobatan efektif terhadap infeksi serius telah
memperbaiki kualitas kesehatan dan memberi banyak kemajuan dalam bidang
kedokteran maupun di bidang industri obat (Kumala et al, 2006).
15
D. Analisis Senyawa Bioaktif Sirip Hiu Carcharhinus melanopterus
1. Ekstraksi senyawa bioaktif
Ekstraksi adalah penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehinggga
terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang
diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak
dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain. Senyawa aktif yang
terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak
atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang
terkandung dalam simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara
ekstraksi yang tepat (Depkes RI, 2000).
Bahan yang telah ditimbang kemudian direndam dalam pelarut, seperti
heksana (non polar), etil asetat (semi polar), dan metanol (polar). Proses
perendaman ini disebut dengan maserasi. Tahap selanjutnya, yaitu tahap
pemisahan yang terdiri dari penyaringan dan evaporasi. Penyaringan dilakukan
untuk memisahkan sampel dengan pelarut yang telah mengandung bahan aktif.
Untuk memisahkan pelarut dengan senyawa bioaktif yang terikat dilakukan
evaporasi, sehingga pelarutnya akan menguap dan diperoleh senyawa hasil
ekstraksi yang dihasilkan (Khopkar, 2003).
Sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari
simplisia nabati atau simplisia hewani dengan menggunakan pelarut yang
sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau
serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan (Depkes RI, 2000).
Maserasi merupakan metode ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara
dingin. Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
kamar (Ditjen POM, 2000). Keuntungan ekstraksi dengan cara maserasi adalah
16
pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana, sedangkan kerugiannya
yakni cara pengerjaannya lama, membutuhkan pelarut yang banyak dan
penyarian kurang sempurna. Dalam maserasi (untuk ekstrak cair), sampel daging
sirip yang telah digiling halus diberikan pelarut dan disimpan dalam wadah
tertutup untuk periode tertentu. Sampel diaduk hingga senyawa tertentu dapat
terlarut.
Pelarut yang digunakan dalam prosedur ekstraksi meliputi pelarut n-heksan
(non polar), kloroform (semi polar), dan polar (metanol).
1. N-heksan
N-heksan mempunyai karakteristik sangat tidak polar, volatil, mempunyai
bau khas yang dapat menyebabkan hilang kesadaran (pingsan). Berat molekul
heksan adalah 86,2 gram/mol dengan titik leleh -94,3 sampai - 95,3°C. Titik didih
n-heksan pada tekanan 760mmHg adalah 66 sampai 71°C (Daintith, 1994).
N-heksana biasanya digunakan sebagai pelarut untuk ekstraksi minyak nabati.
2. Kloroform
Senyawa terpenoid lakton diperoleh dengan ekstraksi berturut-turut
menggunakan n-heksan, kloroform, dan metanol dengan konsentrasi aktivitas
tertinggi terdapat dalam fraksi kloroform. Kadang-kadang tanin dan terpenoid
ditemukan dalam fase air, tetapi lebih sering diperoleh dengan pelarut semipolar
(Tiwari et al., 2011).
3. Metanol
Metanol merupakan pelarut yang bersifat universal sehingga dapat
melarutkan analit yang bersifat polar dan nonpolar. Metanol dapat menarik
alkaloid, steroid, saponin, dan flavonoid dari tanaman (Thompson, 1985).
Ekstrak yang didapatkan menjadi objek terhadap beberapa parameter uji
penelitian ini. Adanya golongan senyawa bioaktif maupun aktivitas sebagai
17
antibakteri diuji dengan metode tertentu. Senyawa-senyawa yang terkandung
pada ekstrak diidentifikasi menggunakan metode uji warna Harborne sedangkan
aktivitas sebagai antibakteri digunakan metode difusi agar.
2. Uji Warna
Identifikasi kandungan metabolit sekunder pada ekstrak yang memiliki
aktivitas antibakteri dilakukan dengan uji warna sebagai berikut:
a. Uji alkaloid
Uji alkaloid merupakan pengujian yang dilakukan dalam keadaan asam.
Menurut Marliana et al, (2005) penambahan HCl berfungsi untuk membuat
suasana menjadi asam karena golongan alkaloid bersifat basa, sedangkan
akuades panas berfungsi untuk mendekstruksi protein karena dapat
mengganggu kualitas hasil uji.
Uji alkaloid dilakukan dengan melarutkan sampel ekstrak ke dalam 2 mL
asam klorida, dipanaskan 5 menit dan disaring. Filtrat yang diperoleh ditambah 2-
3 tetes pereaksi Wagner. Adanya senyawa alkaloid ditunjukkan dengan endapan
jingga (Ningsih dkk., 2016).
Hasil positif alkaloid pada uji Wagner terhadap ekstrak ditandai dengan
terbentuknya endapan coklat pada dasar tabung. Diperkirakan endapan tersebut
adalah Kalium-Alkaloid (Gambar 2). Menurut Svehla (1990), pada pembuatan
pereaksi Wagner, iodine bereaksi dengan ion I- dari Kalium Iodide menghasilkan
ion I3- yang berwarna coklat. Pada uji Wagner, ion logam K+ akan membentuk
ikatan kovalen koordinat dengan nitrogen pada alkaloid membentuk kompleks
Kalium-Alkaloid yang mengendap.
18
Gambar 2. Reaksi uji Wagner dalam pengujian senyawa alkaloid
b. Uji flavonoid
Pengujian dilakukan dengan menggunakan larutan Mg dan HCl pekat.
Flavonoid berupa senyawa fenol, oleh karena itu warnanya berubah bila
ditambah basa atau ammonia. Uji senyawa flavonoid dilakukan dengan metode
Wilstater, dimana hasil positif terhadap flavonoid ditunjukkan dengan timbulnya
warna merah atau jingga yang disebabkan oleh reduksi flavonoid oleh Mg dan
HCl pekat (Halimah, 2010) (Gambar 3).
Gambar 3. Reaksi flavonoid dengan Mg dan HCl pekat (Halimah, 2010)
c. Uji saponin
Pengujian saponin dilakukan dengan menggunakan sebanyak 2 mL
sampel (±0,05% b/v) dilarutkan dalam aquades pada tabung reaksi, ditambah 10
19
tetes KOH dan dipanaskan dalam penangas air 50°C selama 5 menit, dikocok
selama 15 menit. Jika terbentuk busa mantap dan tetap stabil selama 15 menit
menunjukkan adanya senyawa saponin (Ningsih, 2016).
Menurut Marliana (2005), saponin terdiri dari sapogenin yang merupakan
molekul aglikon dan sebuah gula. Saponin merupakan senyawa yang
menimbulkan busa jika dikocok dalam air (Gambar 4). Uji saponin dilakukan
dengan metode Forth, yaitu hidrolisis saponin dalam air. Timbulnya busa pada uji
Forth menunjukkan adanya glikosida yang mempunyai kemampuan membentuk
buih dalam air yang terhidrolisis menjadi glukosa dan senyawa lainnya.
Gambar 4. Reaksi hidrolisis saponin dalam air (Marliana, 2005)
d. Uji steroid
Pengujian dilakukan dengan menggunakan sebanyak 2 mL sampel
(±0,05% b/v) ditambah dengan pereaksi Liberman Burchard 1 mL. Adanya
senyawa steroid ditujukan dengan terbentuknya warna biru tua atau hijau
kehitaman (Ningsih, 2016).
Menurut Harborne (1996), steroid adalah senyawa organik lemak sterol
tidak terhidrolisis yang didapat dari hasil reaksi penurunan terpena atau
skualena. Steroid merupakan kelompok senyawa yang penting dengan struktur
dasar sterana jenuh dengan 17 atom karbon dengan 4 cincin. Uji yang biasa
20
digunakan untuk mengidentifikasi senyawa triterpenoid dan steroid adalah reaksi
Lieberman-Buchard (anhidrida asetat-H2SO4 pekat) (Gambar 5).
Gambar 5. Reaksi steroid dengan reagen Lieberman-Buchard
e. Uji polifenol
Senyawa polifenol merupakan senyawa kimia yang mempunyai sifat
antioksidan (Jalil et al, 2008). Polifenol tergolong dalam antioksidan jenis
bioflavonold yang memiliki kekuatan 100 kali lebih efektif dari vitamin C dan 25
kali lebih efektif dari vitamin E. Zat ini memiliki tanda khas yakni memiliki banyak
gugus fenol dalam molekulnya. Polifenol berperan dalam memberi warna pada
suatu tumbuhan seperti warna daun saat musim gugur. Sedangkan Tanin
merupakan salah satu contoh senyawa polifenol. Tanin terdapat luas dalam
tumbuhan berpembuluh dan terdapat khusus dalam jaringan kayu pada
Angiospermae. Secara kimia terdapat dua jenis tanin, yaitu tanin-terkondensasi
atau flavolan dan tanin terhidrolisiskan (Nurullah, 2015).
21
Uji polifenol menggunakan sebanyak 2 mL sampel (±0,05% b/v) dilarutkan
dalam aquades 10 mL, dipanaskan 5 menit dan disaring. Filtrat yang terbentuk
ditambahkan ditambahkan 4-5 tetes FeCl3 5% (b/v). Adanya fenol ditujukan
dengan terbentuknya warna biru tua atau hijau kehitaman.
Gambar 6. Reaksi uji polifenol (Marliana, 2005).
3. Uji Aktivitas Antibakteri
Pengujian antibakteri merupakan metode yang bertujuan untuk
menentukan potensi suatu zat yang diduga atau telah memiliki aktivitas sebagai
antibakteri dalam larutan terhadap suatu bakteri (Datu, 2017). Uji aktivitas
antibakteri pada penelitian ini menggunakan metode uji antimikroba yaitu difusi
agar.
Metode difusi agar digunakan untuk menentukan aktivitas agen
antimikroba atau sering juga dinamakan uji daya hambat. Metode difusi agar
dilakukan dengan bahan uji yang telah dilarutkan dalam pelarut yang sesuai
dimasukkan ke dalam sumuran atau diteteskan pada paper disk. Selanjutnya
22
ditanam dalam medium padat yang telah berisi mikroba uji. Setelah inkubasi
diamati adanya zona bening di sekitar sumuran atau paper disk. Kemampuan
bahan uji menghambat bakteri uji ditandai dengan terbentuknya zona bening
disekitar paper disc uji dan dievaluasi (Rante, 2013) dimana ukuran zona bening
>20 mm tergolong sangat kuat (very strong inhibition), 11 - 19 mm tergolong kuat
(strong inhibition), 5 - 10 mm tergolong sedang (moderate inhibition) dan <5 mm
tergolong lemah (weak inhibition).
Daerah hambatan yang terbentuk merupakan daerah bening di sekitar
paper disc, yang menunjukkan bakteri patogen atau mikroorganisme yang diuji
telah dihambat oleh senyawa antimikrobial yang berdifusi ke dalam agar dari
paper disk (Amsterdam, 1992).
Difusi lempeng agar (Agar Disk-Diffusion Assay) digunakan terhadap
bakteri uji Vibrio parahaemolyticus dan sebagai kontrol positif digunakan
ciprofloxacin dengan pengulangan dilakukan sebanyak 5 (lima) kali. Ekstrak yang
didapatkan dari pelarut ditetesi pada masing-masing paper disc dengan diameter
berukuran 6 mm, sedangkan untuk kontrol negatifnya digunakan pelarut yang
sama pada proses maserasi. Menurut Oktavianus (2013), penggunaan pelarut
pada paper disc bertujuan untuk membuktikan bahwa pelarut yang digunakan
tidak memberikan pengaruh sebagai antibakteri dan digunakan sebagai nilai
koreksi jika terdapat zona bening di sekitar paper disc pelarut. Untuk kontrol
positifnya sendiri menggunakan ciprofloxacin yang pada dasarnya bersifat
sebagai antibakteri. Kontrol positif akan digunakan sebagai tolak ukur dalam
menentukan kemampuan ekstrak menghambat bakteri. Hal ini dapat dilihat dari
nilai dari zona bening yang dihasilkan ekstrak, dimana jika nilai yang dihasilkan
mendekati atau melebihi nilai kontrol positif maka ekstrak berpotensi sebagai
antibakteri.
23
E. Tinjauan Umum Bakteri Uji
1. Bakteri
Bakteri adalah sel prokariot yang bersifat uniseluler. Umumnya sel bakteri
berbentuk bulat, batang, atau spiral dengan ukuran diameter bakteri yaitu antara
0,5 sampai 1,0 µm, dan panjangnya 1,5 sampai 2,5 µm (Pelczar and Chan,
2005). Bahan sel bakteri (sitoplasma dan intinya) dikelilingi oleh membran
sitoplasma yang berfungsi mengendalikan keluar masuknya suatu bahan ke
dalam sel. Bagian luar yang menutupi membran sitoplasma ialah dinding sel
yang kaku yang mengandung peptidoglikan. Peptidoglikan ini yang memberikan
bentuk dan kakunya dinding sel (Lay dan Hastowo, 1992).
Berdasarkan perbedaan komposisi dan struktur dinding selnya, bakteri
dibedakan menjadi bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif (Pelczar and
Chan, 2005). Perbedaan susunan dinding sel dapat menyebabkan perbedaan
kesensitifan bakteri terhadap senyawa tertentu. Bakteri Gram positif memiliki
struktur dinding sel yang tebal (15-80 nm) dan mempunyai lapisan tunggal
(mono); peptidoglikan sebagai lapisan tunggal yang merupakan komponen
utama dimana lebih dari 50% berat kering pada beberapa bakteri (Pelczar and
Chan, 2005).
Bakteri Gram negatif memiliki struktur dinding sel yang tipis (10-15 nm) dan
berlapis tiga (multi). Peptidoglikan terdapat pada lapisan kaku sebelah dalam dan
jumlahnya sedikit, sekitar 10% berat kering. Bakteri Gram negatif mempunyai
lapisan membran luar yang menyebabkan dinding selnya mengandung lipid yang
tinggi (11-22%). Lapisan membran luar ini tidak hanya terdiri dari fosfolipida saja
tetapi juga mengandung lipida lainnya, polisakarida, dan protein. Bakteri Gram
negatif ini tidak memiliki asam terikat. Pertumbuhannya kurang dapat dihambat
oleh zat-zat warna dasar dan kurang rentan terhadap penisilin. Persyaratan
nutrisi relatif lebih sederhana serta kurang resisten terhadap gangguan fisik.
24
Contoh bakteri yang termasuk dalam bakteri gram negatif ini adalah Vibrio
parahaemolyticus (Pelczar, 1986).
2. Vibrio parahaemolyticus
Spesies Vibrio yang patogen terhadap manusia adalah V. parahaemolyiticus.
Bakteri ini merupakan bakteri Gram negatif yang umumnya terdeteksi pada air,
sedimen, plankton, dan produk perikanan (krustasea, ikan dan moluska). Bakteri
ini terkonsentrasi dalam saluran pencernaan moluska, seperti kerang, tiram dan
mussel. yang mendapatkan makanannya dengan cara mengambil dan
menyaring air laut (Hernández et al., 2006). Hal ini karena bahan-bahan tersebut
memiliki kondisi optimum bagi pertumbuhan bakteri ini seperti ketersediaan
nutrien, kandungan garam, pH, dan Activity water (Aw). Bakteri ini tumbuh pada
kadar NaCl optimum 3%, kisaran suhu 5-43°C, pH 4.8-11 dan Aw 0.94-0.99.
Pertumbuhan berlangsung cepat pada kondisi suhu optimum (37°C) dengan
waktu generasi hanya 9-10 menit (Syamsir, 2011).
Infeksi Vibrio parahaemolyticus pada udang terjadi pada fase juvenil sampai
dewasa. Penyakit pada udang ini disebut dengan red disease syndrome yaitu
berubahnya warna tubuh udang menjadi merah dan mengakibatkan kematian.
Kematian udang karena penyakit ini berkisar 1-20% (Alapide-Tendencia dan
Dureza, 1997). Di Indonesia, penelitian keberadaan Vibrio parahaemolyticus
pada produk perikanan termasuk udang mulai dilakukan oleh beberapa instansi.
Sekitar 36% dari isolat sampel kerang mentah dan olahan yang berasal dari
perairan dan pasar lokal di Padang-Sumatera Barat telah diidentifikasi adanya
bakteri Vibrio parahaemolyticus patogenik berdasarkan gen penyandi TDH
(thermostable direct hemolysin) (Marlina et al, 2007). Kemudian, di bidang
kesehatan masyarakat, sebesar 7,3% dari isolasi sampel klinis paseien diare di
beberapa rumah sakit di Indonesia merupakan kontaminasi dari bakteri Vibrio
parahaemolyticus (Tjaniadi et al, 2003). Persentase ini lebih kecil dibandingkan
25
dengan kejadian keracunan oleh Salmonella akan tetapi lebih tinggi dari
persentase kejadian yang disebabkan oleh Enterohemorrhagic E. coli (EHEC)
(Yennie, 2011). Oleh karena itu, penting bagi kita untuk dapat mencegah,
menanggulangi dan mengobati penyakit akibat bakteri ini.
Bakteri Vibrio parahaemolyticus merupakan bakteri gram negatif yang
bersifat halofilik dan motil atau bergerak. Bakteri ini memiliki ciri khusus saat
pengamatan dengan pewarnaan gram yakni menyerap safranin sehingga
nampak berwarna merah dan berbentuk bengkok atau koma (Gambar 7).
Menurut Austin (2010), Vibrio parahaemolyticus menghasilkan energi untuk
pertumbuhan dengan oksidasi, termasuk dalam jenis bakteri fakultatif anaerob
dan mempunyai flagelum kutub tunggal dan tidak dapat membentuk spora serta
bersifat zoonosis. Morfologi Vibrio parahaemolyticus dapat mengalami
perubahan bentuk terjadi apabila terjadi penurunan suhu dan beberapa
perubahan kondisi lingkungan lain yang tidak menunjang kehidupan bakteri ini
(Chen et al, 2009).
Berikut klasifikasi bakteri Vibrio parahaemolyticus menurut Kanagawa
(1985) dalam Marlina (2004):
Kingdom : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Class : Gammaproteobacteria
Order : Vibrionales
Family : Vibrionaceae
Genus :Vibrio
Species :Vibrio parahaemolyticus
26
Gambar 7. Morfologi bakteri uji Vibrio parahaemolyticus
27
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan September-Desember 2017. Lokasi
pengambilan sampel sirip ekor hiu jenis Carcharhinus melanopterus dilakukan di
Pangkalan Pendaratan Ikan Paotere Kota Makassar. Proses skrining metabolit
sekunder dilaksanakan di Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia Fakultas
Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Selanjutnya,
uji aktivitas antibakteri dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Laut,
Departemen Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas
Hasanuddin Kota Makassar.
B. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah autoklaf sebagai alat
sterilisasi alat dan bahan; cawan petri sebagai wadah medium tumbuh bakteri uji;
erlenmeyer sebagai wadah larutan; gelas ukur sebagai wadah untuk menimbang
sampel; hotplate with magnetic stirrer untuk pembuatan medium; inkubator
sebagai tempat menumbuhkan bakteri uji; jangka sorong untuk mengukur
diameter antibakteri; jarum ose untuk mengambil sampel bakteri; jarum pentul
untuk meletakkan paper disk; kantong sampel sebagai wadah sampel; kamera
untuk mengambil dokumentasi kegiatan selama pengujian; Laminary Air Flow
sebagai tempat steril untuk mengerjakan bahan uji; mikropipet untuk
memindahkan larutan dalam volume kecil; mixer/blender untuk menghaluskan
sampel; oven sebagai alat sterilisasi; pipet ukur untuk memindahkan larutan; rak
tabung untuk menyimpan rak tabung; rotary vacuum evaporator untuk
mendapatkan ekstrak kental sampel; spatula untuk mengambil sampel; spiritus
sebagai alat sterilisasi secara pijar; tabung ependorf sebagai wadah ekstrak uji,
28
timbangan analitik untuk menimbang sampel; tabung reaksi sebagai wadah
pereaksi larutan; tip sebagai wadah larutan pada mikropipet; vial sebagai wadah
larutan ekstraksi; dan vortex untuk menghomogenkan larutan.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini secara berurut adalah sirip ekor
hiu Carcharinhus melanopterus sebagai sampel uji, n-heksan sebagai pelarut
nonpolar; kloroform sebagai pelarut semipolar; metanol sebagai pelarut polar;
isolat bakteri Vibrio parahaemolyticus sebagai bakteri uji; TSA sebagai medium
tumbuh bakteri uji; Ciprofloxacin sebagai kontrol positif; kertas saring Whatman
No.41 sebagai penyaring simplisia; paper disk sebagai kertas bahan uji; kertas
label sebagai penanda sampel; wrapping untuk membungkus bahan yang mudah
menguap; kapas untuk menutup mulut tabung reaksi; kain kassa untuk
membersihkan alat dan meja pengerjaan; aluminium foil sebagai wadah sampel
dalam proses pengeringan di oven; aquades, pereaksi wagner, dan larutan
Kalium Iodida untuk mengidentifikasi senyawa alkaloid; serbuk Mg dan HCl untuk
mengidentifikasi senyawa flavonoid; KOH dan air untuk mengidentifikasi
senyawa saponin; pereaksi Libermann Burchard untuk mengidentifikasi senyawa
steroid; FeCl3 untuk mengidentifikasi senyawa polifenol; masker sebagai
pelindung terhirupnya bahan kimia berbahaya, dan gloves sebagai pelindung
aseptis tangan.
C. Prosedur Penelitian
1. Pengambilan Sampel
Sebelum pengambilan sampel sirip, tubuh ikan diukur panjang tubuh dan
bobot tubuh terlebih dahulu. Sampel yang diambil adalah sirip ekor hiu yang
masuk dalam kategori dewasa dengan panjang total tubuh ikan yang berkisar
>100 cm dan ditandai dengan hilangnya tanda pusar pada bagian ventral tubuh
dekat mulut (BPSPL, 2017). Sirip ekor hiu yang masih segar diambil dalam
kondisi terpisah dari bagian tubuh utama. Selanjutnya, beberapa sirip ekor
29
ditimbang hingga beratnya mencapai 1kg. Kemudian, sampel tersebut
dimasukkan dalam strerofoam.
2. Preparasi Sampel
Penyiapan awal bahan sirip ekor hiu Carcharinhus melanopterus
dibersihkan terlebih dahulu. Kemudian sirip ekor dipisahkan dari tulang rawan
dan kulitnya sehingga menyisakan bagian daging (Gambar 8). Selanjutnya
daging sirip ekor dipotong-potong, lalu dicuci sampai bersih hingga tidak ada
darah kemudian ditimbang. Daging sirip ekor ikan dicincang/dihancurkan untuk
kemudian dilakukan maserasi.
Gambar 8. a) Bagian sampel yang tidak diambil (tulang rawan),
b) Bagian sampel yang diambil
3. Metode Ekstraksi
Sampel yang telah dicincang halus diekstraksi dengan menggunakan 3
jenis pelarut pro analis, yaitu: pelarut polar (metanol), semipolar (kloroform) dan
non polar (n-heksan). Ekstraksi dilakukan dengan maserasi sampel sirip ekor hiu
Carcharhinus melanopterus yang sudah dicincang pada suhu kamar dengan
pelarut n-heksan sebanyak 900ml untuk 300gr sampel daging sirip (Nimah et al,
2012), lalu direndam pada labu erlenmeyer dan dilanjutkan pemberian perlakuan
yang sama dilakukan pula pada pelarut kloroform dan metanol. Proses maserasi
dilakukan selama 2x24 jam dengan pengulangan sebanyak 3 kali, lalu sampel
akan disaring menggunakan kertas saring Whatman. Selanjutnya, hasil
penyaringan diuapkan secara vakum menggunakan rotavapor pada suhu ±40OC
untuk mendapatkan ekstrak pekat. Hasil dari penyaringan (filtrat) kemudian
a
b
30
dimasukkan ke dalam botol vial yang sebelumnya telah ditimbang bobot untuk
mendapat nilai rendemennya. Rendemen hasil ektraksi dapat dihitung
menggunakan rumus (Sani et al, 2014):
Rendemen =
Hasil rotavapor dituang ke dalam cawan untuk diuapkan dengan
menggunakan kipas angin agar mempercepat proses penguapan. Ekstrak yang
diperoleh kemudian ditimbang untuk kemudian disimpan di freezer (±200C) yang
nantinya akan digunakan untuk uji selanjutnya.
4. Identifikasi golongan senyawa metabolit sekunder (Harborne, 1998):
a. Uji alkaloid sampel ekstrak 2 mL (±0,05% b/v) dilarutkan dalam asam klorida 2
N (v/v) sebanyak 5 ml, ditambahkan 3 tetes pereaksi Wagner yang dibuat
dengan cara 10 ml akuades dipipet kemudian ditambahkan 2,5 gram iodin dan
2 gram kalium iodida lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi
200 ml dalam labu takar. Pereaksi ini berwarna coklat dan hasil uji dinyatakan
positif bila dengan pereaksi Wagner terdapat endapan coklat.
b..Uji flavonoid dilakukan dengan menggunakan sebanyak 2 mL sampel (0,05%
b/v) ditambahkan serbuk Mg dan HCL pekat. Senyawa flavonoid ditunjukkan
dengan terbentuknya warna merah atau jingga hingga kuning.
c. Uji saponin dilakukan dengan menggunakan sebanyak 2 mL sampel (±0,05%
b/v) dilarutkan dalam aquades pada tabung reaksi, ditambah 10 tetes KOH
dan dipanaskan dalam penangas air 50°C selama 5 menit, dan dikocok
selama 15 menit. Jika terbentuk busa mantap dan tetap stabil selama 15
menit menunjukkan adanya senyawa saponin.
d. Uji steroid dilakukan dengan menggunakan sebanyak 2 mL sampel (±0,05%
b/v) ditambah dengan pereaksi Liberman Burchard 1 mL. Senyawa steroid
ditujukan dengan terbentuknya warna biru tua atau hijau kehitaman.
31
e. Uji polifenol dilakukan dengan menggunakan sebanyak 2 mL sampel (±0,05%
b/v) dilarutkan dalam aquades 10 mL, dipanaskan 5 menit dan disaring. Filtrat
yang terbentuk ditambahkan 4-5 tetes FeCl35% (b/v). Senyawa polifenol
ditujukan dengan terbentuknya warna hijau kehitaman.
5. Uji antibakteri ekstrak terhadap Vibrio parahaemolyticus (Lampiran 1)
a. Peremajaan bakteri uji
Bakteri Vibrio parahaemolyticus diambil dari stok bakteri yang diperoleh
dari Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Kabupaten Maros.
Bakteri diinokulasi dengan menggoreskan ose pada medium TSA dilakukan
dengan mengambil 1 ose kultur murni, kemudian diinokulasi dengan metode
gores. Setelah itu diinkubasi pada suhu 30oC selama 24 jam.
b. Pembuatan suspensi bakteri uji
Pembuatan suspensi bakteri dilakukan dengan mengambil 1 ose kultur
murni bakteri uji Vibrio parahaemolyticus. Kemudian diinokulasi ke dalam tabung
reaksi berisi 30 ml NaCL 0,9% lalu dihomogenkan dengan menggunakan vortex.
Selanjutnya, diinkubasi 1x24 jam pada suhu 30oC. Kekeruhan medium tersebut
dibandingkan dengan standar 0,5 suspensi McFarland yang memiliki tingkat
kekeruhan yang sebanding dengan 1,5 x 108 colony forming unit (CFU)/ml.
Suspensi McFarland dibuat dengan mencampur larutan 1,175% barium klorida
(BaCl2) sebanyak 0,05 ml dan larutan 1% asam sulfat (H2SO4) sebanyak 9,95 ml
dengan pemberian H2SO4 terlebih dahulu.
Sebanyak 200 μl suspensi bakteri yang sebanding dengan standar 0,5
suspensi McFarland diambil menggunakan mikropipet, kemudian ditambahkan
ke dalam botol kaca berisi 20 ml medium TSA lalu medium digoyangkan secara
perlahan. Selanjutnya, medium dalam botol kaca dituang ke dalam cawan petri.
Lalu, medium ditunggu hingga memadat.
32
c. Aktivitas dan potensi bakteri
Uji aktivitas bakteri dilakukan dengan metode difusi untuk mengetahui
aktivitas bahan bioaktif dari suatu organisme terhadap bakteri patogen dengan
mengukur diameter zona bening yang terbentuk. Metode yang digunakan dalam
pengujian ini adalah metode difusi agar dengan teknik Flying Paper Disk
(Huyyirnah dan Zainuddin, 2015).
Menurut Davis dan Stout (1971) dalam Datu (2017), kriteria kekuatan
ekstrak sebagai antibakteri dapat dikategorikan yakni (Tabel 1):
Tabel 1. Kriteria kekuatan zona hambat
Ekstrak yang didapatkan dari ketiga pelarut tersebut kemudian ditimbang
hingga memperoleh konsentrasi 2 mg/disk/50μl untuk lima kali ulangan tiap
pelarutnya. Kemudian ekstrak dimasukkan ke dalam tabung ependorf dan
dilarutkan dengan masing-masing pelarutnya. Selanjutnya dihomogenkan
dengan menggunakan vortex.
Tiap–tiap ekstrak dalam tabung ependorf yang telah dilarutkan dengan
masing-masing pelarut, kemudian diteteskan sebanyak 50 μl pada kertas disk
yang berbeda dan kemudian dibiarkan menguap sehingga betul-betul kering.
Setelah kering diletakkan secara hati-hati dan aseptis pada permukaan media
agar yang telah dihomogenkan dengan bakteri. Setelah itu diinkubasi pada suhu
30°C selama 24 jam.
Menurut Priyatmoko (2008), aktivitas antimikroba ditentukan dengan
adanya daerah bening/halo yang terbentuk di sekitar paper disc. Luasan zona
bening diukur dengan menggunakan jangka sorong dengan skala mm. Dalam
33
pengujian ini sebagai kontrol positif digunakan antibiotik ciprofloxacin 40 ppm dan
kontrol negatif mengunakan hasil ekstraksi masing-masing pelarut.
Gambar 9. Skema prosedur penelitian.
Preparasi Sampel
Skrining Golongan Metabolit Sekunder
Ekstraksii
Uji Aktivitas sebagai antibakteri
Vibrio parahaemolyticus
Ekstrak
n-heksan
kloroform
metanol
Alkaloid
Flavonoid
Saponin
Steroid
Polifenol
Pengolahan Data
Analisis Data
Hasil dan Pembahasan
Pengambilan
Sampel
34
D. Analisis Data
Hasil skrining kandungan metabolit sekunder dibuat dalam bentuk tabel
dan dianalisis secara deskriptif. Sedangkan perbandingan tingkat aktivitas
antibakteri berdasarkan jenis pelarut yang digunakan dari ekstrak sirip ekor hiu
Carcharhinus melanopterus antara setiap jenis pelarut dianalisis dengan
menggunakan analisis ragam One Way Anova. Kemudian, dilakukan analisis
lanjut Duncan karena adanya nilai yang berbeda nyata dalam analisis
sebelumnya. Data yang dianalisis terlebih dahulu di transformasi ke dalam
bentuk log (X+1). Analisis ini menggunakan program perangkat lunak SPSS versi
16.
35
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Ekstrak Sirip Ikan Hiu
Ekstraksi senyawa metabolit sekunder diambil dari beberapa potong sirip
ekor ikan hiu jenis Carcharhinus melanopterus. Sirip diperoleh dari 11 ekor hiu
dengan panjang tubuh berkisar antara 117,9 – 140,5cm dan bobot tubuh berkisar
antara 3,0 – 3,3kg (Lampiran 2). Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi
bertingkat menggunakan pelarut metanol, kloroform, dan n-heksan yang
disajikan pada Gambar 10. Hasil ekstrak yang diperoleh dari proses maserasi
berdasarkan masing-masing pelarut didapatkan nilai rendemen yakni ekstrak n-
heksan sebesar 0,034%, ekstrak kloroform sebesar 0,49%, dan ekstrak metanol
sebesar 1,03%.
Gambar 10. Hasil ekstraksi sirip ekor ikan hiu Carcharhinus melanopterus.
a. Ekstrak dengan pelarut metanol; b. Ekstrak dengan pelarut kloroform; c. Ekstrak dengan pelarut n-heksan.
Berdasarkan jenis pelarut yang digunakan, metanol menghasilkan ekstrak
yang lebih banyak dibanding dengan pelarut kloroform dan pelarut n-heksan. Hal
ini diduga dikarenakan senyawa yang terkandung pada sirip ekor hiu cenderung
bersifat polar sehingga larut dalam pelarut metanol. Kepolaran senyawa
golongan metabolit sekunder hampir dapat dilarutkan secara keseluruhan
menggunakan pelarut metanol. Metanol merupakan pelarut paling banyak
b
a c
36
digunakan dalam proses isolasi senyawa organik bahan alam karena pelarut ini
bersifat universal, selain mampu mengekstrak komponen polar juga dapat
mengekstrak komponen nonpolar. Sifat polaritas bahan yang diekstraksi harus
sama dengan polaritas pelarut agar bahan dapat larut. Oleh karena itu, tiga jenis
pelarut yang digunakan yaitu pelarut polar, semi-polar dan non polar. N-heksan
yang bersifat non-polar dan kloroform yang bersifat semipolar mempunyai
keterbatasan dalam mengisolasi senyawa yang bersifat polar, berbeda dengan
metanol yang sifatnya dapat melarutkan berbagai senyawa polar maupun non
polar.
B. Skrining Senyawa Metabolit Sekunder
Uji warna digunakan untuk mengetahui jenis golongan senyawa metabolit
sekunder pada ekstrak kasar sirip ekor hiu Carcharhinus melanopterus yang
ditandai dengan adanya perubahan warna dari ekstrak setelah penambahan
reagen tertentu. Hasil pengujian menunjukkan adanya perbedaan kandungan
jenis golongan senyawa seperti alkaloid, flavanoid, saponin, steroid, dan polifenol
pada ekstrak dengan masing-masing pelarut. Hasil uji warna ekstrak yang aktif
dapat dilihat pada Tabel 2.
Hasil uji metabolit sekunder dengan menggunakan pelarut n-heksan
menunjukkan adanya kandungan jenis senyawa alkaloid, flavonoid, dan saponin.
Senyawa alkaloid yang umumnya bersifat non polar dan semi polar hanya terikat
oleh pelarut yang bersifat non polar. Hal ini menunjukkan pelarut n-heksan yang
cukup selektif dalam mengisolasi senyawa. Adanya senyawa alkaloid ditandai
dengan terbentuknya warna jingga pada ekstrak yang apabila dibiarkan
beberapa saat akan menghasilkan endapan berwarna oranye kecoklatan pada
dasar tabung (Lampiran 3.1). Selain itu, senyawa flavonoid dan saponin
teridentifikasi pada ekstrak dengan pelarut yang bersifat non polar dan polar.
37
Pada penelitian Fukai et al (1996) ditemukan metode yang tepat dalam
melakukan pemisahan antar senyawa flavonoid menggunakan senyawa yang
bersifat nonpolar. Oleh karena itu, diduga senyawa flavonoid pada ekstrak
dengan pelarut n-heksan dan metanol merupakan senyawa flavonoid dengan
fungsi yang berbeda. Seperti halnya senyawa polifenol dan flavonoid yang
merupakan senyawa fenolik, ekstrak tidak menunjukkan nilai positif setelah
penambahan reagen FeCl3 5% terhadap senyawa polifenol.
Tabel 2. Hasil uji metabolit sekunder ekstrak sirip ekor ikan hiu dengan uji warna
No. Pelarut Pereaksi Golongan Senyawa
Hasil Kesimpulan
1.
N-heksan
Wagner Alkaloid Terbentuknya endapan Jingga
Positif
2. Mg+HCl Pekat
Flavonoid Terbentuk warna Kuning
Positif
3. Air +KOH Saponin Terbentuk Busa Positif
4. Liebermann-Burchard
Steroid Tidak terbentuk perubahan warna
Negatif
5. FeCl3 5% Poliphenol Terbentuk warna Kuning kecoklatan
Negatif
6.
Kloroform
Wagner Alkaloid Tidak terbentuknya endapan
Negatif
7. Mg+HCl Pekat
Flavonoid Tidak terbentuk perubahan warna
Negatif
8. Air +KOH Saponin Terbentuk Busa Positif
9. Liebermann-Burchard
Steroid Tidak terbentuk perubahan warna
Negatif
10. FeCl3 5% Poliphenol Terbentuk warna Kuning kecoklatan
Negatif
11.
Metanol
Wagner Alkaloid Tidak terbentuknya endapan
Negatif
12. Mg+HCl Pekat
Flavonoid Terbentuk warna Kuning
Positif
13. Air +KOH Saponin Terbentuk Busa Positif
14. Liebermann-Burchard
Steroid Tidak terbentuk perubahan warna
Negatif
15. FeCl3 5% Poliphenol Terbentuk warna Kuning kecoklatan
Negatif
Senyawa saponin juga bersifat non polar yang ditunjukkan melalui adanya
busa stabil yang terbentuk setelah penambahan reagen. Hal ini bisa terjadi
karena senyawa saponin juga memiliki gugus hidrofobik yaitu aglikon (Octaviani,
2009). Di sisi lain, meskipun senyawa steroid banyak terdapat di alam sebagai
38
fraksi lipid dari hewan yang berfungsi sebagai pengatur aktivitas biologis (Ningsih
et al, 2016), namun jumlah rendemen yang rendah didapatkan dari ekstrak sirip
dengan pelarut yang bersifat non polar. Kemungkinan menumpuknya senyawa
ini pada saat pengujian sangat besar terutama keberadaan steroid pada fraksi
lipid sedangkan ekstrak yang digunakan pada saat pengujian berupa ekstrak
kasar.
Hasil uji metabolit sekunder dengan menggunakan pelarut kloroforom
hanya menunjukkan adanya senyawa saponin (Tabel 2). Ekstrak yang
menggunakan pelarut kloroform sebagai ekstrak kental banyak mengandung
golongan-golongan senyawa yang kompleks. Jenis pelarut ini mampu menarik
senyawa dalam 2 fase yakni non polar maupun polar sehingga kemungkinan
besar menumpuknya senyawa alkaloid atau flavonoid pada ekstrak kasar sirip
Carcharhinus melanopterus saat dilakukan pengujian. Hal ini sejalan dengan
pendapat Ningsih (2016), kemungkinan senyawa yang diidentifikasi menumpuk
dengan senyawa lain dalam jumlah yang lebih besar. Ekstrak sirip ekor ikan hiu
diduga mengandung senyawa saponin yang tinggi karena mampu terikat pada
tiga jenis pelarut yang berbeda yang ditandai dengan terbentuknya busa stabil
(Lampiran 3.2). Menurut Marliana et al (2005), timbulnya busa menunjukkan
adanya glikosida yang mempunyai kemampuan membentuk buih dalam air yang
terhidrolisis menjadi glukosa dan senyawa lainnya. Proses sintesa senyawa
glikosida merupakan proses detoksifikasi. Pada proses detoksifikasi ini,
memungkinkan senyawa yang bersifat racun terikat pada ekstrak kasar sirip
Carcharhinus melanopterus akan membentuk senyawa yang berpotensi merusak
sel sebagai antibakteri melalui reaksi hemolisis.
Hasil uji metabolit sekunder dengan menggunakan pelarut metanol
menunjukkan kandungan senyawa flavonoid, dan saponin (Tabel 2). Identifikasi
senyawa flavonoid yang menggunakan reagen serbuk Mg dan HCl pekat
39
menunjukkan nilai positif terhadap ekstrak dengan pelarut n-heksan
menunjukkan perubahan warna kuning pucat sedangkan ekstrak dengan pelarut
metanol menghasilkan warna kuning terang (Lampiran 3.3). Tidak
teridentifikasinya senyawa alkaloid yang dikatakan cenderung bersifat semipolar
(Harborne, 1984), kemungkinan telah terikat langsung oleh pelarut yang bersifat
non polar ketika proses maserasi awal. Uji steroid menunjukkan hasil negatif
terhadap ketiga ekstrak yang ditandai dengan tidak adanya perubahan warna
setelah pemberian pereaksi Lieberman Burchard (Lampiran 3.4). Sedangkan
hasil pengujian senyawa polifenol menggunakan pereaksi FeCl3 5% dikatakan
positif apabila terbentuk larutan warna Hijau kehitaman. Namun hasil reaksi
membentuk warna kuning kecoklatan yang menandakan hasil negatif pada ketiga
ekstrak sirip ekor Carcharhinus melanopterus (Lampiran 3.5). Senyawa steroid
dan polifenol yang tidak teridentifikasi pada pelarut n-heksan, kloroform hingga
metanol (pelarut universal) menunjukkan bahwa kedua senyawa tersebut
memang tidak dimiliki oleh sirip ekor Carcharhinus melanopterus.
Untuk tujuan praktis dalam ekstraksi sirip ekor ikan hiu, golongan senyawa
saponin dapat diekstrak dengan menggunakan salah satu dari ketiga pelarut
yang dicobakan (n-heksan, kloroform, dan metanol). Sedangkan golongan
senyawa flavonoid dapat diekstrak dengan menggunakan pelarut n-heksan atau
metanol. Adapun senyawa alkaloid dapat diperoleh dengan menggunakan
pelarut n-heksan.
C. Aktivitas sebagai antibakteri Vibrio parahaemolyticus
Berdasarkan hasil pengujian aktivitas daya hambat pertumbuhan bakteri
Vibrio parahaemolyticus terhadap ekstrak sirip ekor Carcharhinus melanopterus
dari pelarut jenis metanol, kloroform, dan n-heksan menggunakan metode difusi
40
agar, didapatkan nilai diameter zona bening yang terbentuk dari hasil uji aktivitas
sebagai antibakteri (Lampiran 4).
Ekstrak kloroform sirip ekor C. melanopterus memiliki zona bening dengan
rata-rata 1,06 mm. Pada ekstrak metanol terbentuk zona bening pada kelima
ulangan dengan dengan rata-rata 1,29 mm. Sedangkan pada ekstrak n-heksan
tidak terbentuk zona hambat terhadap bakteri uji. Hasil pengujian menunjukkan
nilai rata-rata daya hambat kontrol positif sebesar 4,68 mm, sedangkan nilai rata-
rata setiap ulangan pada ekstrak metanol dan kloroform sirip ekor Carcharhinus
melanopterus menunjukkan nilai zona bening yang mendekati nilai kontrol positif
(Ciprofloxacin) (Gambar 11). Menurut Oktavianus (2013), ekstrak yang
menghasilkan daya hambat berupa zona bening belum dapat dikatakan
berpotensi sebagai antibakteri. Untuk menentukan potensi ekstrak positif sebagai
antibakteri dilihat berdasarkan tolak ukur kontrol positifnya pada uji difusi.
Gambar 11. Daya hambat ekstrak sirip ekor Carcharhinus melanopterus menggunakan
pelarut metanol dan kloroform. (Huruf yang tertulis ganjil di atas menunjukkan perbedaan nyata pada α=5% dengan menggunakan analisis ragam One Way Anova)
Hasil analisis One-way Anova menunjukkan perbedaan nyata daya hambat
bakteri Vibrio parahaemolyticus yang dihasilkan oleh ekstrak sirip ekor
Carcharhinus melanopterus dengan nilai P<0,05 (Lampiran 5). Nilai ini
0 1.06 1.29 4.68 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
N-heksan Kloroform Metanol Ciprofloxacin
Zon
a B
en
iing
b
b a
41
menjelaskan bahwa terdapat pengaruh pemberian perlakuan yang berbeda
antara ekstrak dengan pelarut kloroform dan metanol terhadap bakteri uji.
Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa zona bening
yang terbentuk dari ekstrak dengan pelarut kloroform terhadap ekstrak dengan
metanol menunjukkan perbedaan nyata dalam aktivitasnya menghambat bakteri
Vibrio parahaemolyticus. Ekstrak dengan pelarut kloroform menunjukkan
perbedaan nyata dengan ciprofloxacin (kontrol positif), sedangkan ekstrak yang
menggunakan pelarut jenis metanol tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
terhadap kontrol positif dalam aktivitas menghambat bakteri uji (Gambar 11).
Rata-rata zona bening yang dihasilkan oleh ekstrak metanol lebih tinggi
dibandingkan dengan ekstrak kloroform. Besarnya nilai rendemen yang
terkandung dalam ekstrak metanol menyebabkan menumpuknya senyawa aktif
yang berpotensi menghambat bakteri. Keaktifan senyawa pada ekstrak metanol
pada 5 kali ulangan terhadap nilai kontrol positif yang tidak berbeda nyata
(p>0,05) menunjukkan adanya aktivitas daya hambat terhadap pertumbuhan
bakteri Vibrio parahaemolyticus. Berbeda dengan ekstrak kloroform yang
menunjukkan adanya aktivitas sebagai penghambat pertumbuhan bakteri Vibrio
parahaemolyticus yang juga masuk dalam kategori „”lemah” pada ulangan
tertentu.
Aktivitas daya hambat yang dihasilkan diindikasikan dengan nampaknya
zona bening pada sekitar paper disc ekstrak dengan pelarut kloroform pada
konsentrasi 2mg/50μl. Setelah 24 jam pengamatan, dilakukan pengamatan zona
bening yang terbentuk (Gambar 12). Berdasarkan kriteria kekuatan zona hambat
bakteri, nilai zona bening yang didapatkan ekstrak dengan pelarut kloroform
masuk dalam kategori lemah yakni rata-rata 1,06 mm (Lampiran 6).
42
Gambar 12. Uji daya hambat ekstrak kloroform terhadap Vibrio
parahaemolyticus. a) Kontrol negatif ektsrak kloroform, b) Kontrol positif ekstrak kloroform sirip ekor ikan hiu
Berdasarkan hasil identifikasi senyawa metabolit sekunder ekstrak
Carcharhinus melanopterus yang diperoleh, jenis pelarut kloroform hanya
teridentifikasi senyawa saponin. Aktivitas antibakterinya diduga diakibatkan oleh
kandungan senyawa tersebut. Saponin dapat menjadi antibakteri karena zat aktif
permukaannya mirip detergen, akibatnya saponin akan menurunkan tegangan
permukaan dan merusak permeabilitas dinding sel bakteri. Menurut Madduluri et
al. (2013), mekanisme kerja saponin sebagai antibakteri yaitu kerusakan
membran sel yang menyebabkan keluarnya protein dan enzim dari dalam sel.
Membran sel yang rusak dapat mengganggu kelangsungan hidup bakteri karena
saponin bekerja secara difusi melalui membran luar dan dinding sel tersebut
bahkan mengikat membran sitoplasma. Pengikatan sitoplasma yang keluar dari
sel tersebut menyebabkan kematian sel. Agen antimikroba yang mengganggu
membran sitoplasma bersifat bakterisida. Senyawa-senyawa bioaktif yang
menghambat proses sintesis protein, lisis pada dinding sel, pengubahan
permeabilitas membran sitoplasma, denaturasi protein sel, dan penghambatan
kerja enzim intraseluler menyebabkan terhambatnya pertumbuhan bakteri hingga
kematian.
a
b
43
Ekstrak sirip ekor Carcharinhus melanopterus dengan pelarut metanol
menunjukkan adanya daya hambat pertumbuhan bakteri Vibrio parahaemolyticus
(Gambar 13). Ekstrak dengan pelarut metanol menghasilkan nilai rata-rata zona
bening yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak kloroform yakni 1,29 mm
(Lampiran 6).
Gambar 13. Uji daya hambat ekstrak metanol terhadap Vibrio parahaemolyticus.
a) Kontrol negatif ektsrak metanol, b) Kontrol positif ekstrak metanol
sirip ekor ikan hiu
Perbedaan komposisi dan konsentrasi senyawa metabolit sekunder diduga
menjadi penyebab rendahnya zona bening yang terbentuk sebagai parameter
pengujian sebagai antibakteri. Nilai rendemen ekstrak yang diperoleh dari jenis
pelarut metanol menghasilkan ekstrak dalam jumlah yang lebih besar sehingga
konsentrasi senyawa-senyawa metabolit sekunder yang diisolasi diduga memiliki
kandungan senyawa lebih besar dibandingkan dengan kloroform maupun n-
heksan. Kemungkinan dalam proses merusak dinding sel bakteri uji Vibrio
parahaemolyticus senyawa-senyawa pada ekstrak dengan pelarut metanol lebih
efektif sehingga menghasilkan daya hambat yang lebih stabil.
Di beberapa penelitian dijelaskan bahwa adanya sinergitas antara flavonoid
alami dan senyawa antibakteri lain dalam melawan bakteri yang cukup resisten.
Hamilton-Miller dan Shah (2000) telah menguji aktivitas epicatechin gallate
(flavonoid) dan methicilin pada daun teh hijau terhadap bakteri Staphylococcus
a
b
44
aureus. Selain itu, Wang et al (1992) telah melakukan modifikasi struktur
senyawa flavonoid alami seperti dimethoxyflavone dengan beberapa logam
transisi dalam meningkatkan proses aktivitas sebagai antibakteri. Kandungan
senyawa flavonoid pada ekstrak dengan pelarut metanol diduga mampu
bersinergi dengan senyawa lain seperti saponin dalam menghambat
pertumbuhan bakteri uji Vibrio parahaemolyticus. Menurut Bobbarala (2012)
dalam Mercy et al (2013), mekanisme senyawa flavonoid sebagai antibakteri
adalah membentuk senyawa kompleks dengan protein ekstraseluler dan terlarut
sehingga dapat merusak membran sel bakteri dan diikuti dengan keluarnya
senyawa intraseluler. Selain berperan dalam inhibisi pada sintesis DNA – RNA
dengan interkalasi atau ikatan hidrogen dengan penumpukan basa asam nukleat,
flavonoid juga berperan dalam menghambat metabolisme energi. Senyawa ini
akan mengganggu metabolisme energi dengan cara yang mirip dengan
menghambat sistem respirasi, karena dibutuhkan energi yang cukup untuk
penyerapan aktif berbagai metabolit dan untuk biosintesis makromolekul
(Cushnie and Lamb, 2005).
45
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Golongan senyawa metabolit sekunder dari sirip ekor hiu Carcharhinus
melanopterus dengan pelarut n-heksan mengandung senyawa alkaloid,
flavonoid, dan saponin. Golongan senyawa pada ekstrak dengan pelarut
kloroform hanya positif mengandung senyawa saponin. Golongan senyawa yang
terkandung pada ekstrak yang menggunakan pelarut metanol adalah senyawa
flavonoid dan saponin.
Ekstrak sirip ekor Carcharhinus melanopterus dengan jenis pelarut metanol
dan kloroform menunjukkan adanya aktivitas dalam menghambat pertumbuhan
bakteri Vibrio parahaemolyticus dibandingkan ekstrak menggunakan pelarut n-
heksan. Zona hambat yang terbentuk membuktikan ekstrak dengan pelarut
metanol lebih tinggi dan berbeda nyata terhadap ekstrak dengan pelarut
kloroform. Nilai rata-rata zona hambat yang didapatkan termasuk dalam kategori
lemah dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji.
B. Saran
Ekstrak yang menggunakan pelarut jenis metanol dan kloroform memiliki
aktivitas antibakteri terhadap Vibrio parahaemolyticus, sehingga disarankan pada
penelitian lanjut dengan analisis sebagai antibakteri dapat menggunakan pelarut
polar dan semi polar terhadap uji aktivitas antibakteri terhadap bakteri patogen
lain. Untuk dapat mengetahui jenis senyawa yang terkandung dalam ekstrak
secara spesifik sebaiknya dapat dilakukan uji lanjut dengan menggunakan
perangkat HPLC, LC-MS, atau GC-MS.
46
DAFTAR PUSTAKA
Austin, B. 1989. Methods for The Microbilogical Examination Of
Fish and Shellfish. Department of Biological Sciences. Chishester
Publisher. New York.
Achmad, S.A. 1986. Kimia Organik Bahan Alam. Karnunika, Jakarta.
Alapide-Tendencia EV, and L.A., Dureza. 1997. Isolation of Vibrio spp. from
Penaeus monodon (Fabricius) with red disease syndrome. Aquaculture
(154):07-l 14.
Amsterdam, D. 1992. Susceptibility Encyclopedia of Microbiology. Academic Press Inc., San Diego.
Barbieri, E., L. Falzano, C. Fiorentini, A.A. Pianetti, W. Baffone, A. Fabbri, P.
Matarrese, A. Casiere, M. Katouli, I. Kühn, R. Möllby, F. Bruscolini, and G. Donell. 1999. Occurrence, diversity, and pathogenicity of halofilic Vibrio Spp. and Non-O1 Vibrio Cholerae from estuarine waters along The Italian Adriatic Coast. Applied and Environmental Microbiology. (65): 2748– 2753.
Blaber, S.J.M. D.T., Brewer,D.A. Milton,G.S., Merta,D., Efizon, G., Fry, and
V.D.T., Velde. 1990. The Book Biogeography of Mugilidaein India South East. Apple Academic Press Inc. USA.
Bobbarala, V. 2012. Antimicrobial Agents. Intech, Croatia. Bonang, G., M., Lintong, dan Santoso, U.S. 1974.The isolation and susceptibility
to various antimicrobial agents of Vibrio parahaemolyticus from acute gastroenteritis cases and from sea food in Jakarta. In T. Fugino, R. Sakaguchi, and V. Takeda (ed.), Simposium Internasional Vibrio parahaemolyticus. Publikasi Saikon Co. Tokyo.
Bonham, K. 1960. Carapus homei (Richardson) In a sea cucumber from The
Marshall Islands. Copeia. (3) : 255 - 257. Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Padang. 2017. Sirip hiu dan
manfaatnya.…http://bpsplpadang.kkp.go.id/sirip-hiu--manfaat-dan-bahayanya. Diakses pada tanggal 30 Januari 2018.
Carson, J.W., F.J. Keefe, T.R. Lynch, K.M. Carson, and V. Goli. 2005. Loving-
kindness meditation for chronic low back pain: Result from a pilot trial. Journal of Holistic Nursing. (3):287-304
Chen, S.Y., W.N., Jane, Y.S. Chen, and H.C. Wong. 2009. Morphological
changes of Vibrio parahaemolyticus under cold and starvation stresses. International Journal of Food Microbiology. (129): 157-165.
47
Clarke, S.C., U.K. McAllister, E.J. Milner-Gulland, G.P. Kirkwood, C.G.J.
Michielsens, D.J. Agnew, E.K. Pikitch, H. Nakano, S. Mahmood, dan
Shivji. 2006. Global estimates of shark catches using trade records from
commercial markets. Ecology Letters. (9): 1115–1126.
Compagno, L.J.V.1984. Sharks of the world. An annotated and illustrated catalogue of shark species known to Date. Part 2 - Carcharhiniformes. FAO Fish. Synop. FAO Species Catalogue. Vol.4.125(4/2):251-655.
Cushnie, T.P., and A.J., Lamb. 2005. Antimicrobial Activity of Flavonoids.
International Journal of Antimicrobial Agents. (2):181 Daintith, J. 1994. Kamus Lengkap Kimia. Terjemahan Suminar Achmadi.
Erlangga. Jakarta.
Darwis, D. 2000. Teknik Dasar Laboratorium dalam Penelitian Senyawa Bahan
Alam. Workshop Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Bidang
Kimia Organik Bahan Alam Hayati. FMIPA. Universitas Andalas,
Padang.
Datu, S.S. 2017. Skrining Antibakteri Ekstrak Sargassum Sp. terhadap Bakteri
Vibrio parahaemolyticus dan Vibrio harveyi. Skripsi. Departemen Ilmu
Kelautan, FIKP. Universitas Hasanuddin, Makassar.
Davis and Stout. 1971. Disc plate method of microbiological antibiotic assay. Journal of Microbiology. Vol 22(4): 659–665.
Dewanti-Hariyadi, R., Suliantari, L. Nuraida,S. Fardiaz. 2002. Determination
of Contamination Profiles of Human Bacterial Pathogens in Shrimp
Obtained from Java, Indonesia. Determination of Human Pathogen
Profiles in Food by Quality Assured Microbial Assays. Proceedings of a
Final Research Coordination Meeting held in Mexico City. Mexico. IAEA-
Tecdoc: 14-31.
Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter standar umum ekstrak tumbuhan
obat. Direktorat jendral pengawasan obat dan makanan. Direktorat
Pengawasan Obat Tradisional (17): 31-32.
Ditjen POM. 2000. Parameter standar umum ekstrak tumbuhan obat. Cetakan Pertama Depkes RI. Jakarta.
Doughari, J. 2007.Antimicrobial activity of Tamarindus indica Linn. Tropical
Journal of Pharmaceutical Research. 5(2): 597-603. Goarant C, F. Merien,F. Berthe, I. Mermoud, P. Perolat. 1999. Arbitrarily primed
PCR to type Vibrio spp. pathogenic for Shrimp. Applied Environmental Microbiologi (65):1145–1151.
Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Penerbit Liberty,
Yogyakarta.
48
Halimah, N. 2010. Fitokimia dan Uji Toksisitas Ekstrak Tanaman Antinganting (acalypha indica linn) terhadap Larva Udang Artemia salina leach. Laporan tidak diterbitkan. Kimia UIN Malang. Malang.
Hamilton-Miller J.M.T., Shah S. 2000. Activity of the tea component epicatechin
gallate and analogues against methicillin-resistant Staphylococcus aureus. Journal of Antimicrob Chemother. (46): 852–853.
Handayani, S. 2013. Kandungan Flavonoid Kulit Batang dan Daun Pohon Api-Api
(Avicennia marina (ForksVierh.) sebagai Senyawa Aktif Antioksidan. Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Handayani, J.P., M.S. Coyne, C. Barton and S. Workman. 2008. Soil carbon
pools and aggregation following land restoration: Bernheim Forest, Kentucky. Journal of Environmental Monitoring and Restoration (4): 11-28.
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Diterjemahkan oleh Padmawinata, K. ITB. Bandung. Harborne, J.B. 1996. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Terjemahan Kosasih Padmawinata dan Imam Sudiro, Edisi II. ITB. Bandung.
Harborne, A. 1998. Phytochemical Methods A Guide To Modern Techniques of
Plant Analysis. Springer Science & Business Media. UK. Hernández, C.G.L., E. Cifuentes, and S.J. Rothenberg. 2006. Environmental
factors associated with the presence of Vibrio parahaemolyticus in sea products and the risk of food poisoning in communities bordering the Gulf of Mexico. Journal of Environmental Health Research (5,2): 1-6
Heupel, M. 2009. Carcharhinus melanopterus.The IUCN Red List of threatened
species.www.iucnredlist.org. Diakses pada tanggal 22 September 2017. Houghton,P.J., dan A.Raman. 1998.Laboratory Handbook for the Fractionation of
Natural Extract. Chapman & Hall. London. Huyyirnah dan E.N. Zainuddin. 2015. Pengembangan kinerja metode uji difusi
agar dengan teknik Flying Paper Disc (FPD). Integrated Lab Journal 3 (02): 223–228.
Iffah, A.A.D. 2016. Monitoring Pemanfaatan Sirip Hiu Serta Pemantauan
Produksi dan Retribusi Di PPI Paotere Kota Makassar. Laporan Praktek Kerja Lapang. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar
Jalil, A.M.M., and A. Ismail. 2008. Polyphenols in cocoa and cocoa product: Is
there a link between antioxidant properties and health? Molecules 13.
(13): 2190-2219.
49
Jayanti. 2008. Kandungan Steroid dan Taurin dari Beberapa Spesies Ikan Laut dalam di Perairan Barat Sumatera dan Selatan Jawa. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Jawetz, E., Melnick, J., & Adelberg, E. (2005). Mikrobiologi Kedokteran,
diterjemahkan oleh Mudihardi.E., Kuntaman, Wasito, EB, Mertaniasih, NM, Harsono, S., Alimsardjono, L. Edisi XXII. Penerbit Salemba Medika. Jakarta.
Kementrian Kelautan dan Perikanan.2013. Pedoman Pengenalan Sirip Hiu
Appendiks II CITES. Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan.
Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Jakarta.
Khopkar, S.M. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Terjemahan dari Basic Concept of Analytical Chemistry. Saptorahardjo. UI Press. Jakarta.
Kumala, S., R.M. Tambunan, dan D. Mochtar. 2006. Uji aktivitas anti-bakteri
ekstrak etil asetat kembang pukul empat (Mirabilis jalapa l.) dengan metode Bioautografi (2): 97-102.
Kuang, H.K. 1999. Non-food Use of Sharks. Appendix III in Shark Utilization and
Trade. FAO Fisheries Technical Paper (389): 285–294
Lay, W. Bibiana W, dan S. Hastowo. 1992. Mikrobiologi. Rajawali Press. Jakarta.
Lane, W.I., and L. Comac. 1992. Sharks don‟t get cancer. Avery Publication
(186).
Lenny, S.2006. Isolasi dan Uji Bioaktifitas Kandungan Kimia Utama Puding
Merah (Gruptophyllum pictum.L. Griff). USU Respitory. Medan.
Madduluri, S., Rao, K. Babu, and B. Sitaram. 2013. In vitro evaluation of antibacterial activity of five indegenous plants extract against five bacterial pathogens of human. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. (4): 679-684
Maria, F.S. 2008. Vibrio parahaemolitycus penyebab gastroenteritis.
http://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/maria-fransiska_silaonang 0781141342.pdf. diakses pada tanggal 16 Januari 2017.
Marliana, S., Suryanti, dan Suyono. 2005. Skrining Fitokimia dan Analisis
Kromatografi Lapis Tipis Komponen Kimia Buah Labu Siam (Sechium edule Jacq. Swartz.) dalam Ekstrak Etanol. Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Marlina, 2004. Karakteristik Molekuler Bakteri Vibrio parahaemolitycus dari Sampel Air Laut dan Uji Resistensi Antibiotiknya. Fakultas MIPA, Universitas Andalas, Padang.
Marlina, S. Radu, C.Y. Kqueen, S. Napis, Z. Zakaria, S.A. Mutalib, dan M. Nishibuchi. 2007. Detection of TDH and TRH genes in vibrio parahaemolyticus isolated from corbicula moltkiana prime in west
50
Sumatera, Indonesia. Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health 38 (2): 349-355.
Mercy, N. J. Abidjulua, dan S.V. Kamua . 2013. Pengaruh Antibakteri Ekstrak Kulit Batang Matoa (Pometia pinnata) terhadap Bakteri Staphylococcus aureus secara In vitro. Jurnal Unsrat. Manado.
Musick, J.A. and R. Bonfil. 2005. Management techniques for elasmobranch
fisheries. FAO Fisheries Technical (474). Nimah, S., Ma'ruf, W. F., & Trianto, A. (2012). Uji Bioaktivitas Ekstrak Teripang
Pasir (Holothuria scabra) terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa dan Bacillus cereus. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan (1): 9-17.
Ningsih, D.R., Zusfahair, dan D. Kartika. 2016. Identifikasi Senyawa Metabolit
Sekunder serta Uji Aktivitas Ekstrak Daun Sirsak sebagai Antibakteri. Jurnal Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto. Indonesia
Nio, O.K. 1989. Zat-zat toksik yang secara alamiah ada pada bahan makanan
nabati. http:/www.kable.co.id/files/cdk/files/58 10 zat zat toksikalamiah .pdf/58_10_zat-zattoksikalamiah.html. Diakses tanggal 13 september 2012.
Nurhidayah, S. (2009). Perbandingan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Pisang Raja
(Musa AAB 'Pisang Raja') dengan Vitamin A, Vitamin C dan Katekin melalui Perhitungan Bilangan Peroksida. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Nurullah, Y.M. 2015. Identifikasi Golongan Polifenol dan Tanin (Ekstrak
Psidiumguajava). Laporan Praktikum Fitokimia. Program Studi Farmasi. Universitas Malang Muhammadiyah, Malang.
Oktavianus S., 2013. Uji Daya Hambat Ekstrak Daun Mangrove Jenis
Avicennia marina terhadap bakteri Vibrio parahaemolyticus. Skripsi. Departeme Ilmu Kelautan, FIKP. Universitas Hasanuddin, Makassar.
Pelczar, M. J., dan E.C.S. Chan. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi 1. UI Press.
Jakarta. Priyatmoko, W. 2008. Aktivitas Antibakteri Karang Lunak Hasil Transplantasi
(Sinularia Sp.) Pada Dua Kedalaman Berbeda Di Perairan Pulau Pramuka Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rante, H., B. Taebe, dan S. Intan. 2013. Isolasi Fungi Endofit Penghasil
Senyawa Antimikroba dari Daun Cabai Katokkon (Capsicum Annuum L Var. Chinensis). Jurnal Majalah Farmasi dan Farmakologi Vol.17(2).
Rao, M.N., A.E. Shinnar, A. Lincoln, Noecker, L. Tessa, Chao, B. Feibush, B.
Snyder, I. Sharkansky, A. Sarkahian, X. Zhang, S.R. Jones, W.A.
51
Kinney, dan M. Zasloff. 2000. Aminosterols from the dogfish shark,
Squalus acanthias. Journal of Natural Product Vol.63 (5): 631–635.
Sani, R.N., F.C. Nisa, R.D. Andriani, dan J.M. Maligan. 2014. Analisis rendemen dan skrining fitokimia ekstrak etanol mikroalga laut Tetraselmis Chuii. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol.2(2):121-126.
Sadili, D. 2013. Upaya meningkatkan konservasi ikan hiu perlu aturannya yang
memadai...http://www.didisadili.com/2013/12/upaya-meningkatkan-konservasi-ikan-hiu.html.Diakses pada tanggal 5 Juni 2017.
Saifudin, A., 2014. Senyawa Alam Metabolit Sekunder: Teori, Konsep, Dan
Teknik Pemurnian. Deepublish. Yogyakarta. Sacks F.M., A. Lichtenstein, L. VanHorn, W. Harris, P. Kris-Etherton, and M.
Winston. 2006. Soy protein, isoflavones, and cardiovascular health: an american heart association science advisory for professionals from the nutrition committee. Circulation 113(7):1034-1044.
Setyaningsih, D., Apriyantono A., Sari M.P. 2010. Analisis Sensori untuk industri
Pangan dan Agro. IPB Press. Bogor. Sirait, 2007. Penuntun Fitokimia dalam Farmasi. Penerbit ITB. Bandung. Svehla, G. 1990. Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro, Edisi ke-5.
PT Kalman Media Pustaka. Jakarta. Syamsir, A. 2011. Kasus Vibrio parahaemolyticus di dalam sea food. Penerbit
IPB. Bogor. Thompson, E. B. 1985. Drug Bioscreening. Graceway Publishing Company.New
York, America. Tjaniadi, P. Lesmana, M. Subekti, D. Machpud, N. Komalarini, S. Santoso, W.
Simanjuntak, C.H. Punjabi, N. Campbell, J.R. Alexander, W.K. Beecham, H.J. Corwin,and B.A. Oyofo. 2003. Antimicrobial resistance of bacterial pathogens associated with diarrheal patient in Indonesia. America Journal of Tropical Medicine and Hygiene 68 (6): 666–670.
Tiwari, P., B. Kumar, M. Kaur, G. Kaur, dan H. Kaur. 2011. Phytochemical
screening and extraction: a review. Internationale Pharmaceutica Sciencia Vol 1 Issue 1.
Undjung, D. 2005. Produksi skualen murni secara sinambung menggunakan
kromatografi kolom. Journal of Chemistry 5 (3): 251 – 254. Visweswari.G, R. Christopher, W. Rajendra. 2013. Phytochemical screening of
active secondary metabolites present in withania somnifera root: role in traditional medicine. Ijpsr Publish (7).2770-76.
Wang S.X., F.J. Zhang, Q.P. Feng, Y.L. Li. 1992. Synthesis, characterization,
and antibacterial activity of transition metal complexes with 5- hydroxy-7,4 -dimethoxyflavone. Journal of Inorganic Biochemistry 46: 251-257.
52
Yennie,Y. 2011. Isolasi dan Identifikasi Vibrio parahaemolyticus Patogenik pada Udang Tambak. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Zhang, Y., J. Mu, Y. Feng, K. Markus, F. Essmann, B. Hai-yan, and S. Grond.
2017. A New Acetylenic compound and other bioactive metabolites from a shark gill-derived Penicillium Strain. ACG Publication.
53
LAMPIRAN
54
Lampiran 1. Uji aktivitas ekstrak sebagai antibakteri Vibrio parahaemolyticus
Pembuatan Suspensi Bakteri Uji Standar McFarland
Menimbang ekstrak
Membuat konsentrasi ekstrak 2mg/50μl
Penambahan ekstrak pada papper disk
Pembuatan medium dan penambahan
suspensi bakteri uji
Persiapan ekstrak sebelum pengujian
Pengujian ekstrak sebagai antibakteri
55
Lampiran 2. Data Pengukuran Ikan
No. PT PB BT
1 123.9 108.2 3
2 118.1 104 3
3 140.5 124.3 3.3
4 138 123.5 3.3
5 118.7 105.8 3
6 136.6 122.2 3.2
7 122.9 108.4 3
8 124.5 109.5 3
9 117.9 105.8 3
10 136.1 122.4 3.2
11 124.8 110.5 3
Rata-rata 127.45 113.14 3.09
Standar Deviasi
8.62767 8.11226 0.13003
Ket.:
PT : Panjang Total PB : Panjang Baku BT : Berat Tubuh
56
Lampiran 3. Hasil pengujian senyawa metabolit sekunder dengan uji warna 1. Uji alkaloid pada ekstrak sirip ekor ikan Carcharhinus melanopterus.
Ket.: a) ekstrak n-heksan, b) ekstrak kloroform, dan c) ekstrak metanol.
2.Uji saponin pada ekstrak sirip ekor ikan Carcharhinus melanopterus
Ket.: a) ekstrak n-heksan, b) ekstrak kloroform, dan c) ekstrak metanol.
a b c
a b c
57
3.Uji flavonoid pada ekstrak sirip ekor ikan Carcharhinus melanopterus
Ket.: a) ekstrak n-heksan, b) ekstrak kloroform, dan c) ekstrak metanol.
4. Uji steroid pada ekstrak sirip ekor ikan Carcharhinus melanopterus
Ket.: a) ekstrak n-heksan, b) ekstrak kloroform, dan c) ekstrak metanol.
a b c
a b c
58
5. Uji poliphenol pada ekstrak sirip ekor ikan Carcharhinus melanopterus
Ket.: a) ekstrak n-heksan, b) ekstrak kloroform, dan c) ekstrak metanol.
a b c
59
Lampiran 4. Diameter hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak sirip ekor ikan hiu jenis Carcharhinus melanopterus terhadap Vibrio parahaemolyticus
Ulangan Zona Hambat (mm)
Metanol Kloroform N-heksan Ciprofloxacin
1 1,28 0,00 0,00 5,00
2 1,68 2,50 0,00 4,80
3 1,02 0,00 0,00 4,60
4 1,26 2,80 0,00 4,60
5 1,24 0,00 0,00 4,40
Rata-rata 1,29 1,06 0,00 4,68
Ket. Ukuran paper disk = 6,00mm
60
Lampiran 5. Analisis Data Zona Bening 1. Uji Analisis varian One Way Anova
ANOVA
log_x_1
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between
Groups 1.249 2 .625 6.432 .013
Within Groups 1.165 12 .097
Total 2.415 14
2. Hasil analisis uji lanjut Duncan daya hambat ekstrak metanol, kloroform, dan
n-heksan sirip ekor Carcharhinus melanopterus.
log_x_1
Ekstrak N
Subset for alpha = 0.05
1 2
Duncana "Kloroform" 5 .3940
"Metanol" 5 .9200
Ciprofoxacin 5 1.0660
Sig. 1.000 .473
61
Lampiran 6..Hasil pengujian aktivitas ekstrak sirip ekor Carcharhinus melanopterus sebagai antibakteri
Ulangan 1 Ulangan 2
Ulangan 3 Ulangan 4
Ulangan 5 Medium kontrol