A a Aaaaaaaaaaaa

85
BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang sudah sangat lama dikenal oleh manusia. Kuman Mycobacterium tuberculosis penyebab TB telah ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882, lebih dari 100 tahun yang lalu. Di Indonesia, TB masih merupakan masalah yang menonjol. Bahkan secara global, Indonesia menduduki peringkat ketiga penyumbang kasus terbanyak di dunia 1, 2, 5 . Penyakit TB anak merupakan penyakit sistemik yang dapat bermanifestasi pada berbagai organ terutama paru. Sifat sistemik ini karena adanya penyebaran hematogen dan limfogen setelah terjadinya infeksi primer Mycobacterium tuberculosis 1, 2, 3 . Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB pada anak seringkali tidak khas. Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman TB. Pada anak, sulit didapatkan spesimen diagnostik yang dapat dipercaya. Sekalipun spesimen dapat diperoleh, pada pemeriksaan mikrobiologik, mikroorganisme penyebab jarang ditemukan pada sediaan langsung dan kultur. Di negara berkembang, dengan fasilitas tes mantoux dan foto rontgen paru yang masih kurang, diagnosis TB anak menjadi lebih sulit .Dengan pedoman ini diharapkan cakupan deteksi TB pada anak di lapangan dapat ditingkatkan. Untuk fasilitas kesehatan yang lebih lengkap, UKK Pulmonologi PP IDAI sedang menyusun diagnostik TB dengan sistem skoring 1 .

description

zzzzzzzzzzz

Transcript of A a Aaaaaaaaaaaa

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang sudah sangat lama dikenal oleh

manusia. Kuman Mycobacterium tuberculosis penyebab TB telah ditemukan oleh

Robert Koch pada tahun 1882, lebih dari 100 tahun yang lalu. Di Indonesia, TB masih

merupakan masalah yang menonjol. Bahkan secara global, Indonesia menduduki

peringkat ketiga penyumbang kasus terbanyak di dunia 1, 2, 5. Penyakit TB anak

merupakan penyakit sistemik yang dapat bermanifestasi pada berbagai organ terutama

paru. Sifat sistemik ini karena adanya penyebaran hematogen dan limfogen setelah

terjadinya infeksi primer Mycobacterium tuberculosis 1, 2, 3.

Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB pada anak seringkali tidak khas.

Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman TB. Pada anak, sulit didapatkan

spesimen diagnostik yang dapat dipercaya. Sekalipun spesimen dapat diperoleh, pada

pemeriksaan mikrobiologik, mikroorganisme penyebab jarang ditemukan pada sediaan

langsung dan kultur. Di negara berkembang, dengan fasilitas tes mantoux dan foto

rontgen paru yang masih kurang, diagnosis TB anak menjadi lebih sulit .Dengan

pedoman ini diharapkan cakupan deteksi TB pada anak di lapangan dapat ditingkatkan.

Untuk fasilitas kesehatan yang lebih lengkap, UKK Pulmonologi PP IDAI sedang

menyusun diagnostik TB dengan sistem skoring 1.

Selain itu masalah gizi merupakan kesehatan masyarakat yang

penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan

kesehatan saja. Masalah gizi disamping merupakan sindrom kemiskinan yang erat

kaitannya dengan masalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan juga

menyangkut aspek pengetahuan serta perilaku yang kurang mendukung pola hidup

sehat1. Keadaan gizi masyarakat akan mempengaruhi tingkat kesehatan dan umur

harapan hidup yang merupakan salah satu unsur utama dalam pennetuan keberhasilan

pembangunan negara2.

Secara umum di Indonesia terdapat dua masalah gizi utama yaitu kurang gizi

makro dan kurang gizi mikro5. Kurang gizi makro pada dasarnya merupakan gangguan

kesehatan yang disebabkan oleh kekurangan asupan gizi dan protein. Masalah gizi

mikro adalah masalah gizi yang utamanya disebabkan ketidakseimbangan antara

kebutuhan dan asupan energi dan protein. Kekurangan zat gizi makro umumnya disertai

dengan kekurangan zat gizi mikro 3,4,6.

Gizi buruk masih merupakan masalah di Indonesia, walaupun Pemerintah

Indonesia telah berupaya untuk menanggulanginya. Data Susenas menunjukkan bahwa

prevalensi gizi kurang menurun dari 37,5 % (1989) menjadi 24,6 % (2000). Namun

kondisi tesebut tidak diikuti dengan penurunan prevalensi gizi buruk, bahkan prevalensi

gizi buruk cenderung meningkat5.

I.2 TUJUAN PENULISAN

1. Penulisan persentasi kasus ini bertujuan agar penulis dan para pembaca

mengetahui dan memahami teori tetanus

2. Memenuhi sebagian syarat mengikuti ujian Program Pendidikan Profesi di Bagian

Ilmu Kesehatan Anak RSUD Arjawinangun

BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

Nama : An. D Nama ayah : Tn. Jayadi

Tempat dan

tanggal lahir/Umur

: palimana , 12-02-

2004 (10 th)

Umur : 56 tahun

Jenis kelamin : permpuan Pendidikan : SLTP

Alamat : ds palimanan kec

cirebon rt 22 rw no 1

Pekerjaan

Nama ibu

: Supir Angkot

: Ny. Ida Riani

Masuk RS : 31 Januari 2014 Umur : 25 tahun

No. CM : 833403/10077 Pendidikan : SD

Tgl. diperiksa : 3 Februari 2014 Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

II. ANAMNESIS

(alloanamnesis terhadap: ibu pasien tanggal 3 Februari 2014 pukul 07.00 WIB)

1. Keluhan Utama : Sesak Nafas

2. Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke IGD RSUD Arjawinangun dengan keluhan sesak nafas

sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, sesak dapat muncul kapan saja, dan

sesak akan memberat apabila pasien mengalami kelelahan, saat sesak ibu pasien

mengaku tidak terdengar suara mengi. Sesak tidak dipengaruhi oleh lingkungan.

Selain sesak pasien mengeluhkan batuk sejak 4 tahun yang lalu dan dirasakan

hingga sekarang. Batuk terkadang berdahak bewarna putih, kental dan terkadang

disertai darah. Semenjak 4 hari sebelum masuk rumah sakit pasien tidak mau

makan nasi, hanya minum susu dan makan biskuit 1-2x perhari.

Sejak usia 6 tahun ibu pasein mengaku berat badan anaknya tidak naik,

pasien sulit untuk makan, sehari makan 1x menu nasi, kecap dan garam, ibu

pasien membiarkan anaknya tidak mau makan, asupan makanan diganti dengan

jajanan yang lebih disukai anaknya.

Pada usia 8 tahun pasien pernah berobat ke puskesmas dengan keluhan

batuk lama, dipuskesmas pasien diberikan pengobatan selama 6 bulan namun

pada pengobatan bulan ke 2 pengobatan berhenti karena pasien terlihat sehat,

sehingga pengobatan tidak dilanjukan.

Ibu pasien mengaku anak kedua dan ketiganya juga terkena tb paru dan

tinggal satu rumah.

3. Riwayat Penyakit Dahulu:

Pada usia 2 tahun pasien pernah mengalami diare lama dan pengobatan

dilakukan di puskesma. Usia 6 tahun pasien melakukan pengobatan TB di

puskesmas namun berhenti pada pengobatan bulan ke 2.

4. Riwayat Penyakit Keluarga:

Kedua kakak pasien yang tinggal 1 rumah pernah mengeluhkan keluhan

batuk lama, penurunan berat badan dan sudah selesai melakukan pengobatan

TB paru selama 6 bulan dan dinyatakan sembuh

5. Silsilah/Ikhtisar keturunan:

6. Riwayat Pribadi:

¨ Riwayat kehamilan:

Saat kehamilan Ibu memeriksaan kehamilan ke bidan secara teratur

kurang lebih lima kali selama masa kehamilan, tetapi tidak pernah mendapat

suntikan toksoid tetanus; pasien tidak mendapat imunisasi lengkap.

¨ Riwayat persalinan:

Pada saat persalinan, pasien lahir cukup bulan dengan usia kehamilan 38

minggu, lahir spontan oleh bidan dengan berat bayi lahir 2500gr, panjang badan

saat lahir ibu pasien lupa,

¨ Riwayat pasca lahir

Menurut ibu pasien, setelah dilahirkan anak langsung menangis, gerakan

aktif, tidak mengalami sesak ataupun kebiruan setelah lahir.

7. Riwayat Makanan:

Menurut keterangan ibu pasien sejak usia nol sampai enam bulan pasien

diberikan ASI (air susu ibu) dengan diselingi oleh susu formula karena ibu pasien

sibuk dengan perkerjaannya. pada saat usia enam bulan sampai dua belas bulan

pasien tetap diberikan ASI dan susu formula dan diselingi dengan bubur susu dan

biskuit susu. Sejak usia 1 tahun sampai dua tahun pasien tetap minum susu formula

dan makanan biasa namun pasien hanya makan makanan yang pasien suka saja

seperti makan nasi dan kecap garam krupuk terkadang jika dipaksa mau makan

telur.usia dua tahun sampai sekarang makanan masih seperti sebelumnya nasi putih,

kecap, garam , tempe, tahu, telur, namun anak lebih suka makan biskuit dan ciki atau

jajanan di warung.

8. Perkembangan:

Ibu pasien tidak mengingat perkembangan pasien dengan jelas .Ibu pasien hanya

ingat, pasien merangkak saat usia 7 bulan dan berjalan saat usia hampir 1 tahun.

Pasien bersekolah SD di usia delapan tahun, menurut ibu pasien kurang bisa

mengikuti pelajaran disekolahnya.pasien masih menggunakan dot bayinya sampai

sekarang

9. Imunisasi:

Menurut ibu pasien, pasien hanya mendapatkan imunisasi berupa BCG satu

kali dan polio satu kali saat usia 1 bulan di puskesmas. Imunisasi tidak lengkap

dikarenakan ayah pasien mengaku tidak tahu jadwal imunisasi untuk anaknya.

Menurut keterangan ayah pasien, saat hamil, ibu pasien tidak mendapatkan suntikan

toksoid tetanus selama hamil

10. Sosial Ekonomi dan Lingkungan

¨ Sosial Ekonomi:

Pasien tinggal bersama ibu dan 2 saudara kandung yang sudah

berkeluarga memiliki 2 anak. Ayah sudah meninggal sejak pasien

berusia 5 tahun sekarang penghasilan keluarga tertumpu pada ibu yang

merupakan pembantu rumah tangga dan sebagai penjual makanan

dengan penghasilan yang tidak tentu, terbanyak Rp700.000,00 sebulan

untuk menghidupi anak-anak dan menantunya.

¨ Lingkungan:

Ukuran rumah 10×7 m2, 3 kamar, ventilasi dan cahaya hanya dua di

bagian depan dan belakang rumah, KM dan WC di dalam rumah,

sumber air sumur. Rumah berada di lingkungan padat penduduk.

III. PEMERIKSAAN FISIS:

A. Pemeriksaan Umum:

Pasien datang dengan keadaan umum tampak sakit sedang dan kompos

mentis, tanda vital pasien seperti tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 100

x/menit, nadi teratur dan isi cukup, pernapasan 30 x/menit dan suhu

36,40C.Berat badan 16 kg dan tinggi badan 126 centimeter.

Status gizi pada pasien ini dilihat dari berat badan dibandingkan dengan

umur. Badan terlihat kurus. Diketahui juga nilai antropometri anak lingkar

kepala 50 sentimeter. Lingkar lengan atas 13 sentimeter lingkar paha 22

sentimeter lingkar perut 60 sentimeter lingkar thoraks 61 sentimeter

Berdasarkan kurva CDC (2 to 20 years: girls “Weight for age percentiles”)

BB/U = 16 / 33 x 100% = 48.4% kurva CDC (2 to 20 years: girls “Weight

BT/U = 130 / 135 = 92.0 % dan BB/TB = 16 / 27 = 59,2 %. Kesimpulan status

gizi pasien ini adalah gizi buruk. (kurva CDC/NCHS dan standard WHO-

NCHS)

B. Pemeriksaan Khusus

Pada pemeriksaan khusus didapatkan kulit pasien berwarna sawo matang

agak gelap tidak ada sikatrik, tidak tampak nodul, petekiae dan hematom

bentuk kepala normal, rambut berwarna hitam kemerah - merahan panjang 35

centimeter mudah patah tidak tampak puffy. Pada mata bentuk normal,

kedudukan bola mata dan alis mata simetris, konjungtiva tidak anemis, sklera

tidak ikterik, kornea jernih, pupil bulat, isokor diameter dua milimeter reflek

cahaya langsung positif reflek cahaya tidak langsung positif tidak tampak bitot

spot pada kedua mata, tidak tampak xerosis konjungtiva pada kedua mata.

Telinga bentuk normal, lapang , tidak tampak serumen, tidak hiperemis, tidak

teraba pembesaran kelenjar getah bening, dan tidak ada nyeri tekan pada kedua

telinga. Hidung bentuk simetris, deviasi septum tidak ada, lapang, sekret tidak

ada, dan tidak terdapat pernapasan cuping hidung. Bentuk mulut tidak ada

kelainan, mukosa bibir tidak kering, lidah tidak kotor tidak tampak kering, dan

faring tampak hiperemis tonsil tidak membesar T1-T1. Leher tidak tampak

masa atau sikatrik, kelenjar getah bening teraba pada supra klavicula dextra

sebesar 0,5 x 0,3 dengan konsistensi kenyal batas tegas mobile, trakea ditengah

dan kaku kuduk tidak ada.

Pada pemeriksaan fisik thoraks pasien, dimulai dengan pemeriksaan

jantung, pada inspeksi ictus cordis tidak terlihat, palpasi ictus cordis teraba,

perkusi terdengar redup, dan pada auskultasi terdengar bunyi jantung I dan II

normal reguler, tidak ada murmur maupun gallop. Pemeriksaan dilanjutkan

dengan pemeriksaan paru, pada inspeksi terlihat bentuk datar, pergerakan

dinding dada kanan dan kiri simetris tampak iga gambang pada kedu paru.

Pada palpasi, fremitus taktil dan fremitus vokal sama kiri dan kanan. Pada

perkusi, terdengar suara sonor pada seluruh lapang paru. Pada auskultasi,

terdengar suara nafas vesikuler pada seluruh lapang paru, terdapat suara

tambahan berupa ronki pada seluruh bagian paru kiri dan kanan dan tidak

terdengar wheezing pada kiri dan kanan. pemeriksaan abdomen, pada inspeksi

terlihat permukaan dinding abdomen datar dan tegang, tidak ada sikatriks

maupun massa dan tidak terdapat nyeri tekan. Pada auskultasi, terdengar bising

usus normal. Pada perkusi, terdengar suara timfani pada seluruh kuadran

abdomen. Pada palpasi, perut supel datar halus , turgor kulit normal, tidak

terdapat hepatomegali serta tidak ada nyeri tekan. Pemeriksaan eksterimitas

superior maupun inferior, teraba akral hangat dan tidak ditemukan oedema,

terdapat muscles atropy pada ekstremitas superior dan inferior. Tidak terdapat

baggy pants.

IV. DATA LABORATORIUM

Darah Rutin (7 – 1 -2014)

Hemoglobin 11,9 gr/dL

Leukosit 10.100 /ul

Trombosit 248.000 /ul

Hematokrit 37,1 %

KGDS 100 mg/dl

V. RINGKASAN DATA DASAR

A . ANAMNESIS

Anak perempuan 10 tahun 16 kg

Sesak (+) batuk (+) dirasakan sejak terus menerus disertai dahak berwarna putih

terkadang disertai darah .

Batuk lama dirasakan sejak usia 6 tahun namun tidak selesai pengobatan karena

pasein merasa sudah sehat di bulan ke 2 pengobatan.

Di keluarga terdapat riwayat pengobatan tb selama 6 bulan

Riwayat kehamilan, persalinan dan pasca kelahiran kurang baik

Riwayat pemberian makanan kurang baik

Riwayat Pertumbuhan dan perkembangan psikomotor terlambat

Riwayat imunisasi tidak baik

Riwayat sosial ekonomi dan lingkungan tidak baik

B. PEMERIKSAAN FISIS

Keadaan umum : lemah, komposmentis

Tanda vital : tekanan darah normal, nadi normal, pernafasan normal,

suhu normal

Kepala : tampak rambut berwarna hitam kemerahan mudah patah

Leher : supra klavicula dextra sebesar 0,5 x 0,3 dengan

konsistensi kenyal batas tegas mobile, faring tampak

hiperemis

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Dari Pemeriksaan Laboratorium Hasil Leukosit 10.100, hematokrit 37,1%,

trombosit 248.000/mm3. KGDS 100 mg/dl

VI. DIAGNOSIS KERJA

1. Gizi buruk

2. TB paru dengan putus obat

VII. DIAGNOSIS BANDING

Asma episodik jarang di luar serangan

VIII. RENCANA PENGELOLAAN

A. Rencana Pemeriksaan

BTA

RŐ thorax

Cek elektrolit

B. Rencana Pengobatan dan diet

1. Medikamentosa

IVFD KAEN 1B 16 tpm makrodrip

Vit A 100.000 UI

OAT 1x1 pulv

Inodroxin 100 mg

Pirasinamid 250 mg

Rimfampisin 175 mg

Antrain 3x85 mg (k.p)

Ranitidin 2x8 mg

Ambroksol 3 x 21 mg

Cefotaxime 2 x 850 mg

2. Diet (Kebutuhan cairan, kalori, jenis makanan)

BB ideal = ((7x5) – 5)/2 = 33

Terapi diet = (40-65) kal x 16 kg = 640 - 1040 kal/hari,

Dinaikan bertahap sampai = (40-65) kall x 33 = 1320-2145 kal/hr

Makanan biasa

Jika penanganan menggunakan F-75 pemberia 2x siang dan malam

Energi 80-100 kall x 16 = 1280 – 1600 kall / hr

Cairan 130 ml x 16 = 2080 ml/ hr

C. Rencana Pemantauan

- Pemantauan tanda-tanda vital, Batuk, Nafsu makan,Berat badan

- Pemantauan timbulnya penyulit

- Pemantauan intake makanan dan kalori

D. Rencana Edukasi

1. Meyakinkan bahwa pasien dan keluarga agar meminum obat secara teratur dan

tidak putus agar prognosis baik

2. Memberitahukan kepada keluarga agar meberi asupan gizi yang cukup agar

anak bisa sehat dan mencapai berat badan ideal

3. Memberitahukan informasi mengenai efek samping obat yang diberikan

kepada pasien

IX. PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

Quo ad sanactionam : dubia adbonam

Follow Up tanggal 8 januari 2014

P : 110x/menit

R : 27x/menit

S : 36,3OC

Pasien dalam keadaan masih batuk tidak terasa sesak, tidak demam ,tidak

terdapat kejang. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran

komposmentis.

Pada pemeriksaan fisik, kepala normocephale, tidak terdapat konjungtiva

anemis, tidak terdapat sklera ikterik rambut masih tampak kemerahan mudah

patah . Mulut sedikit bisa dibuka dan Wajah kaku. . Leher tidak tampak masa

atau sikatrik, kelenjar getah bening teraba pada supra klavicula dextra sebesar

0,5 x 0,3 dengan konsistensi kenyal batas tegas mobile, trakea ditengah dan

kaku kuduk tidak ada. Thorakx cembung normal, simetris dalam keadaan statis

dan dinamis. Bunyi jantung I=bunyi jantung II tidak terdengar murmur dan

tidak ada gallop. Pulmonal terdengar bunyi ronki dan tidak terdengar

wheezing. Abdomen datar lembut, bising usus + normal, perut papan sudah

tidak teraba ,tidak terdapat nyeri tekan. Genitalia tidak ada kelainan.

Ekstremitas akral teraba hangat ,tidak ada edema, ekstremitas spatis tungkai

atas dan bawah. Berat badan 16 kg

Follow Up tanggal 9 januari 2014

P : 100x/menit

R : 26x/menit

S : 35,9OC

Pasien dalam keadaan masih batuk tidak terasa sesak, tidak demam ,tidak

terdapat kejang. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran

komposmentis.

Pada pemeriksaan fisik, kepala normocephale, tidak terdapat konjungtiva

anemis, tidak terdapat sklera ikterik rambut masih tampak kemerahan mudah

patah .. Leher tidak tampak masa atau sikatrik, kelenjar getah bening teraba

pada supra klavicula dextra sebesar 0,5 x 0,3 dengan konsistensi kenyal batas

tegas mobile, trakea ditengah dan kaku kuduk tidak ada faring masih tampak

hiperemis. Thorakx cembung normal, simetris dalam keadaan statis dan

dinamis. Bunyi jantung I=bunyi jantung II tidak terdengar murmur dan tidak

ada gallop. Pulmonal terdengar bunyi ronki dan tidak terdengar wheezing.

Abdomen datar lembut, bising usus + normal, perut papan sudah tidak

teraba ,tidak terdapat nyeri tekan. Genitalia tidak ada kelainan. Ekstremitas

akral teraba hangat ,tidak ada edema, ekstremitas spatis tungkai atas dan

bawah. Berat badan 16 kg

Follow Up tanggal 10 januari 2014

P : 100x/menit

R : 26x/menit

S : 35,9OC

Pasien dalam keadaan masih batuk tidak terasa sesak, tidak demam ,tidak

terdapat kejang. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran

komposmentis. Ibu pasien meminta pulang paksa.

Pada pemeriksaan fisik, kepala normocephale, tidak terdapat konjungtiva

anemis, tidak terdapat sklera ikterik rambut masih tampak kemerahan mudah

patah .. Leher tidak tampak masa atau sikatrik, kelenjar getah bening teraba

pada supra klavicula dextra sebesar 0,5 x 0,3 dengan konsistensi kenyal batas

tegas mobile, trakea ditengah dan kaku kuduk tidak ada faring masih tampak

hiperemis. Thorakx cembung normal, simetris dalam keadaan statis dan

dinamis. Bunyi jantung I=bunyi jantung II tidak terdengar murmur dan tidak

ada gallop. Pulmonal terdengar bunyi ronki dan tidak terdengar wheezing.

Abdomen datar lembut, bising usus + normal, perut papan sudah tidak

teraba ,tidak terdapat nyeri tekan. Genitalia tidak ada kelainan. Ekstremitas

akral teraba hangat ,tidak ada edema, ekstremitas spatis tungkai atas dan

bawah. Berat badan 16 kg

TINJAUAN PUSTAKA

1. TUBERKULOSIS ANAK

1.1 Pendahuluan

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang sudah sangat lama dikenal oleh

manusia. Kuman Mycobacterium tuberculosis penyebab TB telah ditemukan oleh

Robert Koch pada tahun 1882, lebih dari 100 tahun yang lalu. Di Indonesia, TB masih

merupakan masalah yang menonjol. Bahkan secara global, Indonesia menduduki

peringkat ketiga penyumbang kasus terbanyak di dunia 1, 2, 5.

Penyakit TB anak merupakan penyakit sistemik yang dapat bermanifestasi pada

berbagai organ terutama paru. Sifat sistemik ini karena adanya penyebaran hematogen

dan limfogen setelah terjadinya infeksi primer Mycobacterium tuberculosis 1, 2, 3.

Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB pada anak seringkali tidak khas.

Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman TB. Pada anak, sulit didapatkan

spesimen diagnostik yang dapat dipercaya. Sekalipun spesimen dapat diperoleh, pada

pemeriksaan mikrobiologik, mikroorganisme penyebab jarang ditemukan pada sediaan

langsung dan kultur. Di negara berkembang, dengan fasilitas tes mantoux dan foto

rontgen paru yang masih kurang, diagnosis TB anak menjadi lebih sulit 1.

Masalah yang dihadapi dalam penanggulangan TB anak adalah 1:

Diagnosis sulit

Pengobatan lama

Belum ada vaksin yang betul-betul baik

Sehubungan dengan kesulitan penanggulangan TB anak terutama dalam aspek

diagnosis, UKK Pulmonologi PP IDAI menyusun suatu pedoman nasional TB anak.

Pedoman ini dimaksudkan untuk digunakan di lapangan dan di pelosok yang fasilitas

diagnostiknya terbatas. Untuk sejawat dokter atau fasilitas kesehatan yang lebih

lengkap, perangkat diagnostik yang ada seyogyanya digunakan semaksimal mungkin.

Misalkan layanan kesehatan spesialistik dan rumah sakit tipe C, uji tuberkulin

seharusnya dilakukan. Rumah sakit yang mempunyai fasilitas biakan dan pemeriksaan

patologi anatomik juga harus melengkapi diagnostik sesuai kemampuannnya 1.

Dengan pedoman ini diharapkan cakupan deteksi TB pada anak di lapangan

dapat ditingkatkan. Untuk fasilitas kesehatan yang lebih lengkap, UKK Pulmonologi PP

IDAI sedang menyusun diagnostik TB dengan sistem skoring 1.

1.2 Etiologi 3

Mycobacterium tuberculosis nerupakan anggota ordo Actinomisetales dan famili

Mikobakteriaseae. Basili tuberkel adalah batang lengkung, gram positif lemah,

pleimorfik, tidak bergerak, tidak membentuk spora, panjang sekitar 2-4 µm.

Mikobakteria ini tumbuh paling baik pada suhu 37-41°C, menghasilkan niasin dan tidak

ada pigmentasi. Dinding sel kaya lipid menimbulkan resistensi terhadap daya bakterisid

antibodi dan komplemen. Tanda semua mikobakteria adalah ketahanan asamnya—

kapasitas membentuk kompleks mikolat stabil dengan pewarnaan arilmetan seperti

kristal violet, karbolfukhsin, auramin, dan rodamin. Bila diwarnai, mereka melawan

perubahan warna dengan etanol dan hidroklorida atau asam lain. Oleh karena itu, kuman

ini disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA).

1.3 Patogenesis 1, 3

Penularan M.tuberculosis adalah dari orang ke orang, droplet lendir berinti yang

dibawa udara. Penularan jarang terjadi dengan kontak langsung dengan kotoran cair

terinfeksi atau barang-barang yang terkontaminasi. Peluang penularan bertambah bila

penderita mempunyai ludah dengan BTA, infiltrat dan kaverna lobus atas yang luas,

produk sputum encer yang banyak sekali, dan batuk berat serta kuat.. Faktor lingkungan

terutama sirkulasi udara yang buruk memperbesar penularan.

Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena

ukurannya sangat kecil (< 5µm), kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang

terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh

mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB

dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Namun, bila

makrofag alveolus lemah, kuman TB akan bereplikasi dalam makrofag dan

menyebabkan makrofag lisis, dan kuman TB membentuk koloni. Lokasi pertama koloni

kuman TB di jaringan paru disebut fokus primer Ghon.

Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju ke

kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi

primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis)

dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Kompleks primer merupakan

gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis),

dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya

kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Biasanya berlangsung

dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu dengan

pertumbuhan mencapai jumlah 103-104 yang cukup untuk merangsang respons imun

seluler.

Selama minggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik

kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap

tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks

primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh

terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons

positiif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif.

Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi

penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke

kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran

hematogen, kuman TB masuk kedalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.

Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit

sistemik.

Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi biasanya sering terjadi komplikasi:

1. Penyebaran limfohematogen: akan menjadi TB milier atau meningitis TB

2. TB endobronkial: lesi segmental akibat pembesaran kelenjar regional

3. TB paru kronik: akibat reaktivasi kuman dalam lesi yang tidak mengalami resolusi

sempurna.

Bagan Patogenesis Tuberkulosis 1:

Infeksi Mycobacterium tuberculosis

Kuman mati ← Fagositosis oleh makrofag alveolus paru

Kuman hidup

berkembang biak

Uji tuberkulin (+) ←

Sakit TB Infeksi TB

↓ ↓ ↓

Meninggal Sembuh --------------------------------------------Sakit TB

1.4 Diagnosis 1, 2, 6, 8

Diagnosis paling tepat adalah dengan ditemukannya basil TB dari bahan yang

diambil dari pasien, misalnya sputum, bilasan lambung, biopsi, dll. Pada anak, spesimen

tersebut sulit dan jarang didapat, sehingga sebagian besar diagnosis TB anak didasarkan

atas gambaran klinis, uji tuberkulin, dan gambaran radiologis.

Gejala umum / nonspesifik TB anak:

Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan dengan

penanganan gizi.

Anoreksia dengan gagal tumbuh dan BB tidak naik secara adekuat (failure to thrive).

Komplikasi kompleks primerKomplikasi penyebaran hematogenKomplikasi penyebaran limfogen Imunitas optimal

Penyebaran fokus primer

Penyebaran limfogen

Penyebaran hematogen

Kompleks Primer

terbentuk imunitas spesifik seluler

Demam lama dan berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria atau infeksi

saluran nafas akut), dapat disertai keringat malam.

Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multiple, paling

sering di daerah leher, axilla dan inguinal.

Batuk lama lebih dari 30 hari.

Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare.

Gejala spesifik sesuai organ yang terkena:

TB kulit / skrofuloderma

TB tulang dan sendi (gibbus, pincang)

TB SSP: Meningitis TB dengan gejala iritabel, kaku kuduk, muntah, dan kesadaran

menurun.

TB mata (konjungtivitis fliktenularis, tuberkel koroid, dll)

1.5 Petunjuk WHO untuk diagnosis TB anak 4:

a. Dicurigai tuberculosis

1.Anak sakit dengan riwayat kontak penderita TB dengan diagnosis pasti (BTA

positif)

2. Anak dengan:

Keadaan klinis tidak membaik setelah menderita campak atau batuk rejan.

BB menurun, batuk dan mengi tidak membaik dengan terapi antibiotik untuk

penyakit pernapasan.

Pembesaran kelenjar superfisialis yang tidak sakit.

b. Mungkin tuberkulosis

Anak yang dicurigai tuberkulosis ditambah:

Uji tuberkulin positif (10 mm/lebih)

Foto Rontgen paru sugestif tuberkulosis.

Pemeriksaan histologis biopsi sugestif tuberkulosis.

Respons yang baik pada pengobatan dengan OAT.

c. Pasti tuberkulosis (confirmed TB)

Ditemukan basil tuberkulosis pada pemeriksaan langsung atau biakan.

Identifikasi Mycobacterium tuberculosis pada karakteristik biakan.

SISTEM SKORING DIAGNOSIS TUBERKULOSIS ANAK1

Parameter 0 1 2 3

Kontak Tb Tidak jelas Laporan keluarga,

BTA (-) atau tidak

tahu

Kavitas (+), BTA

tidak jelas

BTA (+)

Uji Tuberkulin Negatif     Positif ( ≥ 10

mm atau ≥ 5

mm pada

keadaan

imunosupresi)

Berat badan/

keadaan gizi

  BB/TB < 90% atau

BB/U < 80%

Klinis gizi buruk

atau BB/TB<

70%

atau BB/U < 60%

 

Demam tanpa sebab

jelas

  ≥ 2 minggu    

Batuk   ≥ 3 minggu    

Pembesaran kelenjar

limfe kolli, aksila,

inguinal

  ≥ 1cm, jumlah >1,

tidak nyeri

   

Pembengkakan

tulang/sendi panggul,

lutut, falang

  Ada pembengkakan    

Foto Rontgen toraks Normal/tidak

jelas

     Infiltrat

     Pembesaran

kelenjar

     Konsolidasi

segmental/

    lobar

     atelektasis

      kalsifikasi +

infiltrat

      pembesaran

kelenjar +

infiltrat

 

 Catatan :

        Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter

        Jika dijumpai skrofuloderma, langsung didiagnosis tuberkulosis

        Berat badan dinilai saat datang (moment opname)

        Demam dan batuk tidak ada respons terhadap terapi sesuai baku

        Foto rontgen toraks bukan alat diagnostik utama pada Tb anak

        Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem

skoring Tb anak

        Didiagnosis Tb jika skor ≥ 6 (skor maksimal 14). Cut off point ini masih

bersifat tentatif/sementara, nilai definitif menunggu hasil penelitian yang sedang

dilaksanakan.

1.6 Pemeriksaan Penunjang 1, 2, 5

1. Uji tuberculin (Mantoux)

Uji tuberkulin dilakukan dengan cara Mantoux (penyuntikan intrakutan)

menggunakan semprit tuberkulin 1cc jarum no.26. Tuberkulin yang dipakai adalah

tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2TU atau PPD-S kekuatan 5TU. Pembacaan

dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Diukur diameter tranversal dari indurasi

yang terjadi, bukan dari eritemanya. Ukuran dinyatakan dalam milimeter.

Uji tuberkulin positif menunjukkan adanya infeksi TB, dan kemungkinan ada TB

aktif (Sakit TB) pada anak.

Uji tuberkulin dapat negatif pada TB berat dan anergi (malnutrisi, penyakit sangat

berat, pemberian imunosupresif, keganasan (leukemia), morbili, varisela, dan

penyakti infeksi lain).

Uji tuberkulin dengan tuberkulin baku PPD RT23 2TU dikatakan positif bila

indurasi: ≥ 10 mm pada gizi baik

≥ 5 mm pada gizi buruk

Jika uji tuberkulin meragukan (hasil 5-9 mm bukan pada gizi buruk) dilakukan uji

ulang dalam waktu minimal 2 minggu

2. Foto Rontgen Paru : seringkali tidak khas

      Paling mungkin kalau ditemukan infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau

kelenjar paratrakeal.

      Gambaran rontgen paru sugestif Tb:

Pembesaran kelenjar hilus atau

paratrakeal dengan / tanpa infiltrat

Konsolidasi segmental / lober

Atelektasis

Milier

Kavitas

Kalsifikasi

     Catatan : Jika dijumpai ketidaksesuaian antara gambaran klinis dan gambaran

radiologis, harus dicurigai Tb. Foto Rontgen paru sebaiknya dilakukan PA dan

lateral serta dibaca oleh ahlinya.

3. Pemeriksaan mikrobiologi :pemeriksaan langsung BTA (mikroskopis) dan kultur

dari sputum (pada anak bilasan lambung karena sputum sulit didapat ).

4. Reaksi cepat BCG

Bila dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat berupa kemerahan dan indurasi ≥

5 mm (dalam 3-7 hari) maka dicurigai telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.

5.  Pemeriksaan serologi (ELISA, PAP, Mycodot, dll) masih memerlukan penelitian

lebih lanjut.

6.  Pemeriksaan patologi anatomi (hanya jika ada indikasi).

7.  Respon terhadap pengobatan OAT. Kalau dalam 2 bulan terdapat perbaikan klinis

nyata, akan menunjang atau memperkuat diagnosis TBC.

Hal-hal yang mencurigakan TB :Kontak erat dengan pasien TB sputum BTA (+).Reaksi cepat BCG, yaitu timbul kemerahan di lokasi suntikan dalam 3 – 7 hari setelah BCG.Berat badan turun tanpa sebab jelas, atau berat badan kurang yang tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penangan gizi (failure to thrive).Demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas.Batuk lama, lebih dari 3 minggu.Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang spesifik.Skrofuloderma.Konjungtivitis fliktenularis.Uji tuberkulin yang positif ( ≥ 10 mm ).Gambaran foto Rontgen sugestif TB.

Bila ≥ 3 positif

Dianggap TB

Beri OATObservasi 2 bulan

Membaik Memburuk / tetap

ALUR DETEKSI DINI DAN RUJUKAN TB ANAK 1

Untuk penggunaan di lapangan dan fasilitas kesehatan terbatas

PENGOBATAN

TB kebal obat (MDR)TB

OAT Teruskan

Bukan TB

Rujuk ke RS

Evaluasi ulang di Rumah Sakit Rujukan : Gejala klinis Uji tuberkulin Foto Rontgen dada Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi Pemeriksaan patologi anatomikProsedur diagnosis dan tatalaksana yang sesuai dengan prosedur RS yang bersangkutan.

PERHATIANBila terdapat tanda bahaya seperti : Kejang Kesadaran menurun Kaku kudukAtau tanda lain seperti : Benjolan di punggung Pincang Fenomena papan catur→ Segera rujuk ke Rumah Sakit !

1.7 Penatalaksanaan 1, 2, 4, 6

Prinsip dasar pengobatan TB anak tidak berbeda dengan TB dewasa, tetapi ada

beberapa hal yang perlu mendapat perhatian 1:

Susunan paduan obat TB anak adalah 2HRZ-4HR. Tahap intensif terdiri dari

isoniazid (H), rifampisin (R), dan pirazinamid (Z) selama 2 bulan. Tahap lanjutan

terdiri dari isoniazid (H), dan rifampisin ®, selama 4 bulan diberikan setiap hari.

Pemberian obat baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan diberikan setiap

hari, bukan 2 kali perminggu.

Dosis obat yang diberikan harus disesuaikan dengan berat badan anak. Diupayakan

menggunakan obat tablet dengan dosis yang telah ada di pasaran, perlu dibahas

kemungkinan bentuk lain.

Obat diberikan secara Cuma-Cuma bila tak mampu, untuk keluarga mampu

sebaiknya membayar.

Obat yang dipakai dan dosisnya 1, 2, 4:

INH : 5-15 mg/kg BB/hari (maks 300 mg/hari)

Rifampisin : 10-15 mg/kg BB/hari (maks 600 mg/hari)

Pirazinamid : 25-35 mg/kg BB/hari (maks 2 gram/hari) diberikan 1x /

2x

Streptomisin : 15-30 mg/kg BB/hari (maks 1 gram/hari)

Etambutol : 15-20 mg/kg BB/hari (maks 2,5 gram/hari)

Batasan / penggolongan berat badan 1:

Bila BB > 33 kg dimasukkan golongan dewasa

Bila BB < 5 kg sebaiknya dirujuk ke RS

Bila dikombinasi H & R, H tidak boleh lebih dari 10 mg/kg BB, R tidak boleh

lebih dari 15 mg/kg BB

Nama Obat Berat < 10 kg 10 – 20 kg 20 – 33 kg

INH (H) 50 mg 100 mg 200 mg

Rifampisin (R) 75 mg 150 mg 300 mg

PZA (Z) 150 mg 300 mg 600 mg

INH dan Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer, boleh dicampur saat

meminumnya

Catatan lain :

1. Dipakai 3 macam obat ( INH, Rifampisin, dan PZA atau EMB ) pada 2 bulan

pertama dan 2 macam obat ( INH dan Rifampisin ) pada 4 bulan berikutnya

(2RHZ-4RH).

2. Pada TB berat (meningitis TB, TB milier) diberikan kombinasi 4-5 OAT,

sedangkan INH dan Rifampisin diberikan sampai 12 bulan. Steroid diberikan

dengan lama pemberian sesuai dengan jenis TB beratnya, dan dihentikan secara

bertahap (tappering off).

3. Sulit menetapkan dosis yang tepat PZA untuk tiap golongan berat badan.

4. Pengalaman selama 30 tahun dengan etambutol dosis 15 – 20 mg/kg BB/hari

tidak dijumpai efek samping kebutaan.

5. Pemberian Streptomisin 30 mg/kg BB/hari tidak menyebabkan efek samping.

Waktu dahulu diberikan 50 mg/kg BB/hari memang terjadi banyak efek samping

ketulian. Streptomisin sebaiknya hanya diberikan di rumah sakit.

6. Kalau ada kegagalan karena resistensi obat maka diganti sesuai dengan hasil uji

resistensi, atau tambah dan ubah kombinasi OAT.

Obat profilaksis (pencegahan) dengan INH 5 – 10 mg/kg BB/hari 1:

1. Profilaksis primer : anak yang kontak erat dengan pasien TB menular (BTA +).

Diberikan selama ada kontak, minimal 3 bulan.

2. Profilaksis sekunder : diberikan selama 1 tahun atau sesuai indikasinya

Anak dengan infeksi TB yaitu uji tuberkulin positif dan klinis baik :

Umur di bawah 5 tahun

Menderita penyakit infeksi (morbili, varicella)

Mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik, steroid dll)

Umur akil balik, atau

Infeksi baru TB (kurang dari 12 bulan = konversi baru uji tuberkulin)

1.8 Evaluasi 1

2 bulan pengobatan klinis membaik obat diteruskan.

2 bulan pengobatan klinis memburuk atau tidak ada perbaikan, rujuk ke rumah

sakit atau dokter ahli (untuk evaluasi diagnosis).

Bagi yang makan obat tidak teratur (tidak makan obat setelah makan obat teratur

2 bulan) diberikan tambahan etambutol selama 4 bulan.

1.9 Penghentian Pengobatan 1

Bila telah menjalani 6 – 12 bulan pengobatan, evaluasi perbaikan klinis :

Berat badan meningkat.

Nafsu makan membaik.

Gejala hilang: demam, batuk.

Maka pengobatan dapat dihentikan.

1.10 Pendekatan DOTS1

Setiap penderita baru yang ditemukan harus selalu didampingi oleh seorang

yang telah dilatih singkat tentang cara pengawasan langsung menelan obat jangka

pendek setiap hari (PMO). Maksudnya untuk menjamin pengobatan lengkap, mencegah

resistensi. Termasuk PMO adalah petugas kesehatan, keluarga penderita, kader,

penderita yang sudah sembuh, tokoh masyarakat yang sudah dilatih strategi baru

penanggulangan TB.

1.11 Definisi gizi buruk

Gizi buruk adalah suatu keadaan kurang gizi yang ditandai dengan kehilangan

berat badan/ buruknya kenaikan berat badan, kehilangan lemak subkutan tubuh yang

biasanya berhubungan dengan konsumsi kalori yang inadekuat3. Diagnosis gizi buruk

dibuat berdasarkan riwayat diet yang teliti yang disertai evaluasi berat badan , tinggi

badan , serta usia yang dibandingkan satu sama lain1.

1.12. Etiologi

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kasus gizi buruk. Menurut

UNICEF ada dua penyebab langsung terjadinya gizi buruk, yaitu1,2 :

1. Kurangnya asupan gizi dari makanan. Hal ini disebabkan terbatasnya jumlah

makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak memenuhi unsur gizi yang

dibutuhkan karena alasan sosial dan ekonomi yaitu kemiskinan. Yang didalam

ini termasuk perilaku dan budaya dalam pengelolaan makanan serta mengasuh

anak.

2. Akibat terjadinya penyakit yang mengakibatkan infeksi. Hal ini disebabkan oleh

rusaknya beberapa fungsi organ tubuh sehingga tidak bisa menyerap zat-zat

makanan secara baik.

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ada 3 faktor penyebab gizi buruk

pada balita, yaitu4 :

1. Keluarga miskin.

2. Ketidaktahuan orang tua atas pemberian gizi yang baik bagi anak.

3. Faktor penyakit bawaan pada anak, seperti : jantung, TBC, HIV/AIDS, saluran

pernapasan dan diare.

1.13. Penentuan status gizi anak

Ada beberapa cara melakukan penilaian status gizi pada kelompok masyarakat.

Salah satunya adalah dengan pengukuran tubuh manusia yang dikenal dengan

Antropometri. Dalam pemakaian untuk penilaian status gizi, antropomteri disajikan

dalam bentuk indeks yang dikaitkan dengan variabel lain. Variabel tersebut adalah

sebagai berikut5 :

a. Umur.

Umur sangat memegang peranan dalam penentuan status gizi, kesalahan

penentuan akan menyebabkan interpretasi status gizi yang salah. Hasil penimbangan

berat badan maupun tinggi badan yang akurat, menjadi tidak berarti bila tidak

disertai dengan penentuan umur yang tepat. Kesalahan yang sering muncul adalah

adanya kecenderunagn untuk memilih angka yang mudah seperti 1 tahun; 1,5

tahun; 2 tahun. Oleh sebab itu penentuan umur anak perlu dihitung dengan cermat.

Ketentuannya adalah 1 tahun adalah 12 bulan, 1 bulan adalah 30 hari. Jadi

perhitungan umur adalah dalam bulan penuh, artinya sisa umur dalam hari tidak

diperhitungkan5.

b. Berat Badan

Berat badan merupakan salah satu ukuran yang memberikan gambaran

massa jaringan, termasuk cairan tubuh. Berat badan sangat peka terhadap perubahan

yang mendadak baik karena penyakit infeksi maupun konsumsi makanan yang

menurun. Berat badan ini dinyatakan dalam bentuk indeks BB/U (Berat Badan

menurut Umur) atau melakukan penilaian dengam melihat perubahan berat badan

pada saat pengukuran dilakukan, yang dalam penggunaannya memberikan

gambaran keadaan kini. Berat badan paling banyak digunakan karena hanya

memerlukan satu pengukuran, hanya saja tergantung pada ketetapan umur, tetapi

kurang dapat menggambarkan kecenderungan perubahan situasi gizi dari waktu ke

waktu5

c. Tinggi Badan

Tinggi badan memberikan gambaran fungsi pertumbuhan yang dilihat dari

keadaan kurus kering dan kecil pendek. Tinggi badan sangat baik untuk melihat

keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan dengan keadaan berat badan lahir

rendah dan kurang gizi pada masa balita. Tinggi badan dinyatakan dalam bentuk

Indeks TB/U ( tinggi badan menurut umur), atau juga indeks BB/TB ( Berat Badan

menurut Tinggi Badan) jarang dilakukan karena perubahan tinggi badan yang

lambat dan biasanya hanya dilakukan setahun sekali. Keadaan indeks ini pada

umumnya memberikan gambaran keadaan lingkungan yang tidak baik, kemiskinan

dan akibat tidak sehat yang menahun5.

Berat badan dan tinggi badan adalah salah satu parameter penting untuk

menentukan status kesehatan manusia, khususnya yang berhubungan dengan status

gizi. Penggunaan Indeks BB/U, TB/U dan BB/TB merupakan indikator status gizi

untuk melihat adanya gangguan fungsi pertumbuhan dan komposisi tubuh1,2.

Tabel 1 Penilaian Status Gizi berdasarkan Indeks BB/U,TB/U, BB/TB

Standart Baku Antropometeri WHO-NCHS5

NoIndeks yang

dipakai

Batas

PengelompokanSebutan Status Gizi

1 BB/U < -3 SD Gizi buruk

  - 3 s/d <-2 SD Gizi kurang

  - 2 s/d +2 SD Gizi baik

  > +2 SD Gizi lebih

2 TB/U < -3 SD Sangat Pendek

- 3 s/d <-2 SD Pendek

- 2 s/d +2 SD Normal

> +2 SD Tinggi

3 BB/TB < -3 SD Sangat Kurus

- 3 s/d <-2 SD Kurus

- 2 s/d +2 SD Normal

> +2 SD Gemuk

Sumber : Depkes RI 2004.

Setiap anak yang memiliki status gizi antropometri (BB/TB) < -3 SD yang secara klinis

tampak sangat kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh

disebut sebagai gizi buruk6.

Penampilan klinis seorang anak dengan gizi buruk dibagi menjadi 3 tipe

berdasarkan ada/tidaknya edema, yaitu8 :

1. Kwashiorkor

Kwashiorkor memiliki ciri-ciri1,2,3,8:

- Edema, umumnya seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki (dorsum pedis)

- Penampilan seperti anak gendut

- Wajah membulat dan sembab

- Pandangan mata sayu

- Rambut tipis karena mudah dicabut tanpa rasa sakit dan rontok. Pada kwashiorkor

yang lanjut terlihat rambut kusam, kering, halus, jarang. Warna hitam menjadi

merah, coklat, kelabu sampai putih.

- Perubahan status mental, rewel, banyak menangis, dan pada stadium lanjut sangat

apatis

- Pembesaran hati

- Otot mengecil (hipotropi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau duduk

- Kelainan kulit disebut crazy pavement dermatosis dimulai dengan titik merah

menyerupai petekie, berpadu menjadi bercak yang lambat laun menghitam, yang

kemudian akan mengelupas maka terdapat bagian yang merah dikelilingi oleh

batas-batas yang masih hitam. Bagian tubuh yang sering basah disebabkan

terjadinya keringat atau air kencing dan terus-menerus berupa bercak merah muda

yang meluas dan berubah warna mendapat tekanan merupakan predileksi

terjadinya crazy pavement dermatosis.

Gambar 1. Ciri anak Kwashiorkor (WHO,1999)

2. Marasmus

Marasmus memiliki ciri-ciri1,2,3,8 :

- Tampak sangat kurus, seperti hanya tulang terbungkus kulit

- Wajah seperti orang tua

- Perubahan mental (cengeng, rewel, apatis)

- Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (pada

daerah pantat tampak seperti memakai celana longgar/”baggy pants”) sehingga

turgor kulit berkurang. Kulit juga tampak kering dan dingin

- Perut cekung

- Iga gombang

- Sering disertai penyakit infeksi (umumnya kronis berulang) dan diare

- Otot-otot atrofi

- Tekanan darah rendah dan tidak jarang terdapat bradikardi

- Frekuensi nafas berkurang

- Anemia

Gambar 2. Ciri Anak Marasmus (WHO,1999)

3. Marasmus-kwashiorkor

Marasmus-kwashiorkor memiliki ciri gabungan dari beberapa gejala klinis kwashiorkor

dan marasmus disertai edema yang tidak mencolok1,2,3,8.

1.14 DIAGNOSIS

Anamnesis

Di dalam anamnesis perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut2 :

a. Intake makanan dan cairan saat ini

b. Diet sebelum sakit

c. Menyusui

d. Durasi dan frekuensi diare dan muntah

e. Tipe diare (berair/berdarah)

f. Hilangnya nafsu makan

g. Lingkungan keluarga untuk mengetahui latar belakang sosial anak

h. Batuk kronis

i. Kontak dengan penderita tuberkulosis

j. Kontak dengan penderita campak

k. Diketahui atau suspek menderita infeksi HIV

1.15 Pemeriksaan fisik

Setiap anak yang datang untuk berobat harus ditimbang dan diukur tingginya

agar dapat segera diketahui status gizinya. Tidak semua orang tua membawa anaknya

berobat karena ‘tampak kurus/hilang nafsu makan’ maka itu perlu dilakukan

pemeriksaan pada setiap anak5.

Pada pemeriksaan fisik anak dengan gizi buruk dapat dilihat adanya9:

a. Tanda dehidrasi atau syok

b. Tanda kepucatan pada palmar yang berat

c. Tanda defisiensi vitamin A pada mata : konjungtiva atau kornea kering (Bitot’s

spot), ulkus kornea, dan keratomalasia.

Gambar 3. Bercak Bitot (WHO,1999)

d. Tanda infeksi, seperti infeksi telinga dan tenggorokan, infeksi kulit, atau

pneumonia

e. Pitting Edema

Gambar 4. Pitting Edema (WHO,1999)

Pada anak dengan gizi buruk dapat kita temukan edema yang seringkali

mengelabui diagnosa, sehingga sebagai klinisi harus dapat mengetahui diagnosis

banding anak dengan edema yang dapat pula ditemukan pada penyakit –

penyakit sebagai berikut :

Gagal ginjal

Pada anak dengan gagal ginjal dapat kita temukan edema yang terlebih dahulu

muncul di palpebra karena jaringan mata merupakan jaringan ikat longgar

sehingga memudahkan cairan berakumulasi. Bila bengkak telah sedemikian

berat makan dapat ditemukan menyebar ke seluruh tubuh yang disebut

dengan edema anasarka yang dapat mengelabui penampilan anak gizi buruk

dengan edema1.

Selain edema, yang dapat kita perhatikan pada anak dengan gagal ginjal adalah

diuresis yang menurun, pucat,aritmia, perdarahan saluran cerna, terdapat

retensi air dan garam (sehingga dapat terjadi hipertensi), kejang dan koma

(yang sering ditemukan pada ensefalopati uremia)2.

Sindrom nefritik akut ( SNA)

Edema yang ditemukan pada kelainan ginjal seringkali dimulai di palpebra ,

namun pada SNA harus didapatkan infeksi saluran napas bagian atas 1 – 3

minggu sebelumnya ataupun infeksi pada kulit. Keluhan kencing berdarah

dan tekanan darah tinggi seringkali menjadi keluhan utama pada pasien ini3.

Sindrom Nefrotik

Pada kelainan ginjal ini juga dapat ditemukan edema namun penyait ini harus

disertai dengan proteinuria masif, hipoalbuminemia (yang seringkali juga

rendah pada gizi buruk) dengan atau tanpa

hiperlipidemia/hiperkolesterolemia3.

Gagal Jantung

Edema pada kelainan jantung lebih sering dimulai pada kedua tungkai karena

aliran balik vena berkurang serta tahanan perifer yang tinggi1. Pada pasien

dengan gagal jantung maka dapat didapatkan pula keluhan sesak nafas

terutama saat aktifitas,mudah lelah,dan gagal tumbuh. Pada pemeriksaan

dapat ditemukan takikardia, irama gallop, kulit dingin/lembab, takipneu

ataupun ortopneu, wheezing dan crackles. Pada foto rontgen dapat ditemukan

kardiomegali2,3.

f. Tanda infeksi HIV

g. Demam atau hipotermi

h. Ulkus pada mulut

i. Perubahan kulit pada kwashiorkor; hipo atau hiperpigmentasi, deskuamasi,

ulserasi, lesi eksudatif yang sering dengan infeksi sekunder (candida)

Namun, tanda – tanda diatas tidak selalu khas dan terlihat pada anak dengan gizi

buruk. Yang penting diketahui adalah kondisi klinis seorang anak gizi buruk saat

dibawa ke sarana kesehatan. Kondisi tersebut dibagi berdasarkan adanya 3 tanda bahaya

dan tanda penting pada anak gizi buruk yaitu syok letargis dan diare/muntah/dehidrasi6.

Kondisi klinis tersebut dipakai pula untuk menetukan rencana penatalaksanaan

selanjutnya. Lima kondisi klinis pada anak gizi buruk6 :

a. Kondisi 1

Jika ditemukan : Syok , letargis dan munta dan atau diare atau dehidrasi

Pada kondisi ini lakukan Rencana penatalaksanaan 1 (dibahasi dibagian

selanjutnya).

b. Kondisi 2

Jika ditemukan : Letargis dan muntah dan atau diare atau dehidrasi

Pada kondisi ini lakukan rencana penatalaksanaan 2

c. Kondisi 3

Jika ditemukan : Muntah dan atau diare atau dehidrasi

Pada kondisi ini lakukan rencana penatalaksanaan 3

d. Kondisi 4

Jika ditemukan : Letargis

Pada kondisi ini lakukan rencana penatalaksanaan 4

e. Kondisi 5

Jika tidak ditemukan 3 tanda bahaya diatas

Pada kondisi ini lakukan rencana penatalaksanaan 5

1.16 PENATALAKSANAAN

Perawatan anak dengan gizi buruk dibagi menjadi beberapa fase setelah ditentukan

ada tidaknya tanda bahaya / tanda penting yaitu6 :

1. Perawatan awal Fase Stabilisasi yaitu pada hari 1 dan 2

2. Perawatan lanjut fase stabilisasi yaitu pada hari 3 hingga 7

3. Perawatan pada fase transisi yaitu pada hari ke 8 hingga hari ke 14

4. Perawatan pada fase rehabilitasi pada minggu ke-3 hingga 6

5. Fase tindak lanjut yaitu pada minggu 7 – 26 dapat dilakukan di rumah, ditindak

sebagai outpatient.

Pada fase – fase tersebut diatas yang dilakukan di rumah sakit adalah berupa 10

langkah penting yaitu8 :

1. Mengatasi/mencegah hipoglikemia

2. Mengatasi/mencegah hipotermia

3. Mengatasi/mencegah dehidrasi

4. Mengkoreksi gangguan keseimbangan elektrolit

5. Mengobati/mencegah infeksi

6. Mulai pemberian makanan

7. Fasilitasi tumbuh-kejar (“catch up growth”)

8. Mengkoreksi defisiensi nutrien mikro

9. Melakukan stimulasi sensorik dan dukungan emosi/mental

10. Menyiapkan dan merencanakan tindak lanjut setelah sembuh

Sehingga dapat disimpulkan pengobatan gizi buruk adalah seperti tabel dibawah ini

Tabel 2. Jadwal Pengobatan Gizi Buruk (WHO,1999)

Tindakan pada anak gizi buruk pada setiap fase setelah penilaian tanda bahaya dan

tanda penting6 adalah sebagai berikut :

1. Perawatan awal pada fase stabilisasi6

Setiap hari diperiksa berat badan dan suhu tubuh, jika perlu status gizi.

Pada fase ini dilakukan tindakan :

- Pemberian oksigen hanya pada kondisi 1 yaitu kondisi yang disertai

syok.

- Menghangatkan tubuh dilakukan pada semua kondisi

- Pemberian cairan dan makanan sesuai dengan kondisi, Rencana

I/II/III/IV/V

- Antibiotik diberikan kepada setiap kondisi

Pemberian antibiotik untuk anak gizi buruk7 :

Tanpa komplikasi : berikan kotrikmoksazol per oral setiap 12 jam

selama 5 hari

Komplikasi (syok,hipoglikemi,dermatosis,ISPA,letargis) : berikan

gentamisin IV/IM (7,5ml/kgBB) setiap hari sekali selama 7 hari +

ampisilin IV/IM (50mg/kgBB) setiap 6 jam selama 2 hari atau

Amoxicillin oral (15mg/Kg) setiap 8 jam selama 5 hari

Bila tidak membaik dalam 48 jam tambahkan : kloramfenikol IV/IM

(25mg/KgBB setiap 8 jam selama 5 hari (jika curiga meningitis

berikan tiap 6 jam)

Infeksi khusus : antibiotik yang sesuai

2. Perawatan lanjutan pada fase stabilisasi6

Pada fase ini dilakukan anamnesis lanjutan untuk mengkonfirmasi

kejadian campak dan TB paru. Pemeriksaan fisik selalu dipantau khususnya

berat badan, panjang badan, dada,perut, otot jaringan lemak, pemeriksaan

khusus juga perlu untuk melihat penyakit yang menyertai seperti mata, THT,

dan kulit. Pemeriksaan laboratorium yang harus diberikan adalah kadar gula

darah dan Hemoglobin.

Tindakan yang dilakukan pada fase ini :

- Pemberian vitamin A

Jadwal dan dosis pemberian vitamin A pada tatalaksana gizi buruk adalah

sebagai berikut7 :

apabila tidak ada gejala mata atau tidak pernah sakit campak dalam 3

bulan terakhir maka diberikan kapsul vitamin A dosis sesuai umur

hanya pada hari pertama saja

apabila ada salah satu gejala buta senja, bercak bitot, radang, kornea

keruh, ulkus kornea atau pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir

maka berikan kapsul vitamin A dosis sesuai umur pada hari pertama,

kedua dan kelimabelas.

Tabel.4 Dosis vitamin A sesuai umur (Direktorat Bina Gizi,2007)

Usia Dosis

<6 Bulan 50.000 SI ( ½ kapsul biru)

6 – 11 Bulan 100.000 SI (1 kapsul biru)

1 – 5 tahun 200.000 SI ( 1 kapsul merah)

- Pemberian asam folat

- Pemberian multivitamin tanpa Fe

- Pengobatan penyakit penyulit

Terdapat beberapa penyakit penyulit pada anak gizi buruk, yang salah

satunya adalah gangguan pada mata. Apabila mata anak mengalami hanya

bercak bitot saja,maka tidak memerlukan obat tetes mata. Jika terdapat

nanah/radang maka berikan tetes mata kloramfenikol. Berikan obat tetes

mata kloramfenikol dan tetes mata atropin, jika terjadi kekeruhan dan ulkus

pada kornea. Pastikan segera rujuk ke dokter mata dan tidak diberikan salep

yang mengandung kortikosteroid7

Dermatosis juga merupakan salah satu penyakit penyulit pada anak gizi

buruk. Jika anak mengalami hipo/hiperpigmentasi kulit maka kompres pada

bagian yang terkena dengan KmnO4 1/10.000 selama 10 menit. Apabila klit

mengalami deskuamasi ataupun lesi ulserasi eksudatif (seperti luka bakar)

dapat diberikan salem/krim Zn dan usahakan agar daerah-daerah infeksi

tetap kering7.

Perlu dilakukan skoring dan screening Tuberculosis paru maupun ekstra

paru pada anak gizi buruk dan di tatalaksana dengan obat anti tuberkulosa

yang sesuai 6,7.

- Stimulasi sensorik dan dukungan emosional berupa kasih sayang, lingkungan

yang ceria, terapi bermain terstruktur 15 – 30 menit/hari, aktivitas fisik

segera setelah sembuh dan keterlibatan ibu.

3. Perawatan pada fase transisi6

Pemeriksaan berat badan setiap hari pada fase ini.

Tindakan yang dilakukan pada fase ini :

- pemberian makanan untuk tumbuh kejar

- multivitamin tanpa Fe

- Stimulasi sensorik dan dukungan emosional berupa kasih sayang, lingkungan

yang ceria, terapi bermain terstruktur 15 – 30 menit/har, aktivitas fisik segera

setelah sembuh dan keterlibatan ibu.

- pengobatan penyakit penyulit

Jika anak berumur 4 bulan atau lebih dan belum pernah mendapatkan obat

cacing pirantel pamoat dalam 6 bulan terakhir dengan hasil pemeriksaan tinja

positif, maka beri pirantel pamoat sebagai dosis tunggal7.

Tabel 5. Pemberian obat pirantel pamoat (direktorat bina gizi,2007)

Usia ( berat badan anak) Tablet Pirantel Pamoat 125mg/tab

(Dosis tunggal)

4 – 9 bulan (6 - <8kg) ½ tablet

9 – 12 bulan ( 8 - <10kg) ¾ tablet

1 – 3 tahun ( 10 - <14kg) 1 tablet

3 – 5 tahun (14 - <19kg) 1 ½ tablet

4. Perawatan pada fase rehabilitasi6

pemeriksaan pada saat ini adalah monitor tumbuh kembang

tindakan yang dilakukan :

- pemberian makanan untuk tumbuh kejar

- multivitamin dengan Fe

- pengobatan penyakit penyulit

- persiapan ibu dengan memberikan contoh kepada orangtua bagaimana

membuat makanan dengan kandungan energi dan zat gizi yang padat serta

bermain terstruktur (ci-luk-ba)

- stimulasi

Pemberian cairan dan makanan pada fase stabilisasi adalah berbeda pada setiap

kondisi, maka dibawah ini akan diuraikan rencana tatalaksana berdasarkan kondisi5,6 :

1. Rencana 1 (syok, letargis dan muntah/diare/dehidrasi)

Segera :

- pasang oksigen 1 – 2 L/menit

- pasang infus RL dan D10% dengan perbandingan 1 : 1 (RLG 5%)

- berikan glukosa IV bolus : 5ml/kgBB bersamaan dengan ReSoMal 5ml/kgBB

melalui NGT

Jam pertama :

- teruskan pemberian cairan RLG 5% sebanyak 15ml/kgBB selama 1 jam,

5gtt/menit/kgBB

- catat nadi dan frekuensi nafas setiap 30 menit selama 1 jam

jam kedua :

- Bila nadi menguat dan frekuensi nafas turun, infus diteruskan dengan cairan

dan tetesan yang sama selama 1 jam

- Jika nadi lemah dan nafas tinggi teruskan pemberian cairan iv dengan dosis

diturunkan 1gtt/menit/kgBB. Lakukan transfusi packed red cell 1 tetes

makro/kgBB/menit disertai pemberian furosemid 1mg/kgBB secara iv.

- Rehidrasi belum selesai dan anak minta minum berika ReSoMal sesuai

kemampuan anak

- Catat nadi dan frekuensi nafas setiap 30 menit selama 2 jam ke II

10 jam berikutnya :

- catat denyut naddi , frekuensi nafas setiap 1 jam

- bila pemberian cairan intravena selesai. Berikan ReSoMal dan F-75 selama

10 jam berikutnya berselang seling setiap 1 jam

- ReSoMal : 5 – 10ml/kgBB/pemberian ; F-75 berdasarkan BB

- Bila anak masih menetek, berikan ASI setelah F-75

Bila sudah rehidrasi :

- Diare hilang : Resomal berhenti, teruskan F-75 Setiap 2 jam.

- Transfusi selesai : teruskan F-75 setiap 2 jam

- Perhatikan over rehidrasi

Diare/muntah berkurang dan F-75 habis :

- berikan tiap 3 jam F-75

- masih menetek ASI diantara pemberian F-75

diare/muntah tidak ada dan F-75 habis :

- berikan tiap 4 jam F-75

- ASI diantara pemberian F- 75

Catatan :

- hentikan pemberian cairan iv apabila ditemukan tanda bahaya : denyut nadi

dan frekuensi nafas meningkat, vena jugularis terbendung atau edema

palpebra.

- Evaluasi setelah 1 jam bila membaik teruskan rencana 1 hingga selesai, dan

teruskan pemberian cairan dan makanan untuk tumbuh kejar.

2. Rencana II ( letargis dan muntah/diare/dehidrasi)

Segera :

- berikan bolus glukosa 10% intravena , 5ml/kgBB

- lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT sebanyak

50 ml

2 jam pertama :

- ReSoMal secara Oral/NGT setiap 30 menit, dosis : 5ml/kgBB setiap

pemberian

- Komposisi Resomal Komposisi cairan Resomal (WHO,1999)

- Catat nadi, frekuensi nafas dan pemberian Resomal setiap 30 menit.

10 jam berikutnya :

- jika keadaan memburuk yaitu timbul syok, lakukan rencana I

- jika keadaan membaik , teruskan pemberian resomal berselang seling dengan

F-75 setiap 1 jam.

- Resomal : 5 – 10 ml/kgBB/ setiap pemberian , F-75 setiap 2 jam dosis

menurut BB

- Jika diare hilang, hentikan resomal dan teruskan F-75 setiap 3 jam

- Jika diare , setiap diare berikan resomal anak <2th: 50 -100m/diare, anak

>2th : 100 – 200ml/diare.

Jika diare dan muntah berkurang dan F-75 habis :

- lanjutkan F-75 setiap 3 jam

- teruska ASI antara pemberian F-75

jika tidak ada diare dan F-75 habis :

- lanjutkan F-75 setiap 4 jam

- teruskan ASI antara pemberian F-75

Catatan :

- hentikan pemberian cairan oral/ngt apabila ditemukan tanda bahaya : denyut

nadi dan frekuensi nafas meningkat, vena jugularis terbendung atau edema

palpebra.

- Evaluasi setelah 1 jam bila membaik teruskan rencana II hingga selesai, dan

teruskan pemberian cairan dan makanan untuk tumbuh kejar.

3. Rencana III ( Muntah dan atau diare atau dehidrasi)

Segera :

- berikan 50 ml glukosa atau larutan gula pasir 10% (oral/ngt)

2 jam pertama :

- berikan resomal secara oral/ngt setiap 30 menit : dosis 5 ml/kgBB setiap

pemberian

- catat nadi,frekuensi nafas dan beri resomal setiap 30 menit

10 jam berikutnya :

- jika memburuk timbul syok makan masuk Rencana I tanpa pemberian bolus

glukosa

- jika membaik, teruskan pemberian ReSoMal berselang seling dengan F-75

setiap 1 jam.

Resomal 5 – 10ml/kgBB/setiap pemberian

F-75 setiap 2 jam menurut BB

- Jika diare hilang, hentikan resomal dan teruskan F-75 setiap 2 jam

- Jika diare , setiap diare berikan resomal anak <2th: 50 -100ml/diare, anak

>2th : 100 – 200ml/diare.

Jika diare/muntah berkurang dan F-75 habis :

- ubah pemberian F-75 menjadi setiap 3 jam

jika diare/muntah tidak ada dan F-75 habis :

- ubah pemberian F-75 menjadi setiap 4 jam

- ASI teruskan antara pemberian F-75

Catatan :

- hentikan pemberian cairan oral/ngt apabila ditemukan tanda bahaya : denyut

nadi dan frekuensi nafas meningkat, vena jugularis terbendung atau edema

palpebra.

- Evaluasi setelah 1 jam bila membaik teruskan rencana III hingga selesai, dan

teruskan pemberian cairan dan makanan untuk tumbuh kejar.

4. Rencana IV ( Letargis )

Segera :

- berikan bolus glukosa 10% intraven , 5 ml/kgBB

- lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT sebanyak

50ml

2 jam pertama :

- berikan F-75 setiap 20 menit, ¼ dari dosis untuk 2 jam sesuai dengan berat

badan (NGT)

- catat nadi, frekuensi nafas

2 jam kedua (apabila belum sadar- masih letargis) :

- ulangi pemberian F-75 setiap 30 menit, ¼ dari dosis untuk 2 jam sesuai berat

badan via NGT

- pikirkan underlying disease

- catat nadi, pernafasan, kesadaran dan masukan F-75 tiap 30 menit.

Bila sudah sadar – 10 jam berikutnya :

- lanjutkan F-75 setiap 2 jam (oral/NGT)

- catat nadi, pernafasan dan kesadaran tiap jam

- bila masih menetek asi antara pemberian f-75

selanjutnya, F-75 sebagian besar habis :

- ubah pemberian menjadi F-75 setiap 3 jam

selanjutnya, F-75 habis :

- ubah pemberian menjadi setiap 4 jam

- ASI diteruskan antara pemberian F-75

Catatan :

- Kurangi pemberian F-75 sesuai dengan kebutuhan kalori minimal apabila

ditemukan tanda bahaya : denyut nadi dan frekuensi nafas meningkat, vena

jugularis terbendung atau edema palpebra.

- Evaluasi setelah 1 jam bila membaik teruskan rencana IV hingga selesai, dan

teruskan pemberian cairan dan makanan untuk tumbuh kejar.

5. Rencana V (tanpa syok,letargis maupun diare/dehidrasi)

Segera :

- segera berikan 50ml glukosan/ larutan gula pasir 10% oral

- catat nadi, pernafasan dan kesadaran

2 jam pertama :

- berikan F-75 setiap 30 menit (1/4 dari dosis untuk 2 jam sesuai berat badan)

- catat nadi, frekuensi nafas,kesadaran dan asupan F-75 setiap 30 menit

10 jam berikutnya :

- terukan pemberian F-75 setiap 2 jam

- catat nadi , frekuensi nafas dan asupan

- bila anak masih menetek teruskan ASI antara pemberian F-75

selanjutnya, F-75 sebagian besar dapat dihabiskan :

- lanjutkan pemberian F-75 setiap 3 jam

- asi lanjutkan

selanjutnya, F-75 habis :

- lanjutkan pemberian F-75 setiap 4 jam

- asi lanjutkan

Catatan :

- hentikan pemberian F-75 apabila ditemukan tanda bahaya : denyut nadi dan

frekuensi nafas meningkat, vena jugularis terbendung atau edema palpebra.

- Evaluasi setelah 1 jam bila membaik teruskan rencana V hingga selesai, dan

teruskan pemberian cairan dan makanan untuk tumbuh kejar

Pemberian cairan dan makanan untuk tumbuh kejar akan dibahas dibawah ini

dan tidak dibedakan per kondisi6 :

1. Pada tahap akhir fase Stabilisasi,dapat menghabiskan F-75 setiap 4 jam

maka masuk fase transisi :

- F-75 diganti dengan F-100 diberikan setiap 4 jam dengan dosis sesuai BB,

dipertahankan selama 2 hari

- Hari ke 3 mulai berikan F-100 dengan dosis sesuai BB. Pada 4 jam

berikutnya, dosis dinaikkan 10 ml hingga anak tidak mampu

menghabiskan jumlah yang diberikan, dengan catatan tidak melebihi

dosis maksimal sesuai BB.

- Hari ke 4 berikan F-100 setiap 4 jam dengan dosis sesuai BB berkisar

antara dosis minimal dan dosis maksimal dengan ketentuan tidak boleh

melampaui dosis maksimal F-100. Pemberian F-100 dengan dosis seperti ini

dipertahankan sampai hari 7 – 14 (hari terkahir fase transisi) sesuai

kondisi anak. Selanjutnya memasuki fase rehabilitasi dengan menggunakan

F-135 dan makanan pada sesuai dengan BB anak.

2. kriteria pulang dari rumah sakit (fase rehabilitasi):

Kriteria pemindahan terapi nutrisi anak ke fase rehabilitasi7:

a. Nafsu makan baik

b. Status mental membaik: tersenyum, dapat menerima rangsangan, tertarik

terhadap lingkungan

c. Duduk, merangkak, berdiri atau berjalan (sesuai usia)

d. Suhu tubuh normal (36.5–37.5 °C)

e. Tidak ada muntah dan diare

f. Tidak ada edema

g. Peningkatan berat badan > 5gr/kgbb/hari

Jika BB< 7kg : berikan F-135 dengan makanan bayi/lumat dan sari buah

Jika BB >7kg : berikan F-135 ditambah dengan makanan bayi/lumat dan sari buah

Terus berikan makanan tahap rehabilitasi ini sampai tercapai 6:

BB/TB > - 2 SD WHO NCHS (kriteria sembuh)

Tindak lanjut di rumah bagi anak gizi buruk adalah yang paling penting agar anak

tidak kembali jatuh dibawah – 3 SD , sehingga perlu diberikan edukasi kepada orang tua

dan perlakukan pasien sebagai outpatient6,7. Bagi pasien yang dipulangkan sarankan

untuk6 :

- memberikan makanan dengan porsi kecil dan sering

- membawa anaknya untuk kontrol pada bulan pertama : 1x/minggu , bulan

kedua : 1x/2 minggu dan bulan ketiga- keempat : 1x/bulan,

- mengingatkan ibu untuk imunisasi dasar atau booster

- Pemberian vitamin A dosis tinggi setiap 6 bulan sekali.

HIPOGLIKEMIA

Merupakan salah satu penyebab kematian pada gizi buruk. Dapat disebabkan

infeksi sistemik atau tidak mendapat makanan 4-6 jam sebelumnya.

Definisi : Kadar glukosa darah <54 mg/dL atau <3 mmol/L

Tanda Klinis : Lemah, suhu tubuh <36,5˚C, kadang ada gangguan kesadaran.

Anak tidak berkeringat dan pucat seperti anak normal, lebih

sering didapatkan anak mengantuk.

Bila ada tanda klinis berikan glukosa tanpa menunggu pemeriksaan lab.

Anak mampu minum : 50 ml glukosa 10% atau F-75

Sukrosa 10% : 1 sendok teh gula pasir dalam 5 sendok teh air

Anak tidak sadar atau kejang : Glukosa 10% 5ml/kgBB iv diikuti

50ml glukosa 10% per NGT

Semua anak gizi buruk yang menderita hipoglikemia harus diberi antibiotika

spektrum luas karena kemungkinan besar menderita infeksi sistemik.

HIPOTERMIA

Definisi : Suhu dubur <36 ˚C

Faktor resiko : Bayi <12 bulan

Kerusakan kulit yang meluas

Infeksi serius

Penanganan : Kangaroo mother care/perawatan bayi lekat bungkus anak dengan

selimut dan letakkan lampu didekatnya (jangan terlalu dekat)

DEHIDRASI DAN SYOK SEPTIK

Dehidrasi dan syok septik sulit dibedakan pada anak dengan gizi buruk.

Pada syok septik sering dijumpai riwayat diare dengan dehidrasi sehingga gambaran

klinis menjadi kabur.

Diagnosis :

Tanda dehidrasi yang biasa digunakan untuk menilai anak normal sulit

diterapkan pada anak gizi buruk karena :

Pada anak gizi buruk terjadi atrofi kelenjar ludah dan air mata sehingga mukosa menjadi

kering dan air mata tidak ada tidak cukup baik untuk menilai dehidrasi.

Lemak subkutan tipis sehingga pada cubitan kembalinya kulit selalu lambat.

Sebaliknya, edema menutupi tanda ini.

Tatalaksana :

Dehidrasi diatasi dengan pemberian cairan peroral. Pemberian cairan intravena dapat

menyebabkan over hidrasi dan gagal jantung, karena itu hanya diberikan pada keadaan

syok. Penderita gizi buruk mengalami defisiensi kalium dan kadar natrium yang tinggi,

maka seharusnya cairan rehidrasi mengandung lebih banyak kalium dan lebih sedikit

natrium dibanding oralit standard (formula WHO).

Cairan rehidrasi untuk malnutrisi disebut ReSoMal.

Cara pemberian :

70-100ml/kgBB selama 12jam, dimulai dengan 5ml/kg setiap 30 menit untuk

2 jam pertama (oral/NGT), kemudian 5-10 ml/kg/jam.

Hentikan ReSoMal bila ada :

Kenaikan frekuensi jantung dan respirasi

Pelebaran (kenaikan tekanan) vena jugularis

Peningkatan edema (termasuk kelopak mata bengkak)

Rehidrasi diberikan sampai anak tidak merasa haus, air kemih telah diproduksi dengan

baik, tanda dehidrasi lain sudah hilang.

Rehidrasi intravena :

Diberikan pada syok hipovolemik atau syok septik.

Larutan Darrow (half-strength) dengan glukosa (dekstrosa) 5% atau RL dengan glukosa

5% atau D5 ½ saline.

Diberikan 15ml/kgBB selama 1 jam, pantau tanda overhidrasi. Dapat diulang dengan

dosis yang sama. Pasang NGT dan berikan ReSoMal 10ml/kgBB/jam.

Anak dievaluasi tiap jam.

Anak dengan tanda sebagai berikut dianggap menderita syok septik :

Tanda dehidrasi tanpa riwayat diare cair

Hipotermia atau Hipoglikemia

Edema dan tanda Dehidrasi

KOREKSI ELEKTROLIT

Kurangi garam pada makanan, berikan makanan yang banyak mengandung K dan Mg

Sumber K : jus tomat, merica, paprika, kacang-kacangan, apel, alpukat, bayam,

daging tanpa lemak.

Sumber Mg : coklat, kopi instan, kacang-kacangan, bayam, aprikot.

INFEKSI

Demam sebagai tanda infeksi tidak tampak pada penderita gizi buruk. Pada semua

penderita gizi buruk sebaiknya diberikan antibiotika spektrum luas.

a. Tanpa tanda infeksi dan komplikasi :

Kotrimoksasol (25mg sulfametoksasol + 5mg trimetoprim/kg/x)

Dua kali sehari peroral.

b. Dengan infeksi / komplikasi :

Ampisilin 50mg/kg/kali tiap 6 jam i.m atau i.v selama 2 hari diteruskan dengan

Amoksisilin 15mg/kg/kali tiap 8 jam peroral selama 5 hari.

Gentamisin 7,5mg/kg sekali sehari selama 7 hari.

Bila dalam 48 jam tidak ada perbaikan tambahkan Kloramfenikol 25mg/kg/kali i.m atau

i.v. tergantung respon anak.

Bila ada infeksi lain (amoebiasis, candidiasis, tuberculosis, dll) terapi sesuai

penyakitnya.

Berikan imunisasi campak sewaktu masauk rumahsakit dan dosis ulang pada waktu

keluar. Hal ini karena mortalitas karena campak sangat tinggi pada anak dengan gizi

buruk.

DEFISIENSI MIKRONUTRIEN

Berikan suplementasi vitamin A :

Bayi < 6 bulan 50.000 IU/kali

Bayi 6-12 bulan 100.000 IU/kali

Bayi > 12 bulan 200.000 IU/kali

Diberikan pada hari pertama, kedua, dan keempatbelas dihitung sejak perawatan

dimulai bila ada tanda defisiensi vitamin A (buta senja, xerosis konjungtiva, xerosis

kornea, bercak bitot, ulkus kornea, keratomalasia).

Hanya hari pertama jika tidak ada tanda defisiensi vitamin A.

Berikan suplementasi vitamin dan mikronutrien lainnyakecuali besi. Besi diberikan

pada minggu kedua setelah BB mulai naik, dosis 3mg/kgBB/kali

PEMBERIAN MAKANAN AWAL

Fungsi hati dan usus kurang sempurna, gangguan keseimbangan elektrolit :

Makanan dengan kandungan protein/lemak/natrium di jumlah kurang dari normal,

karbohidrat tinggi. Diberikan dalam porsi kecil dan sering. Dengan NGT bila anak tidak

dapat menelan.

Pantau asupan makanan harian

Bila nafsu makan timbul : Pemberian makan berhasil, anak masuk fase

rehabilitasi

Asupan kalori : 80-100 kcal/kgBB/hari

Pantau BB tiap hari.

TUMBUH KEJAR

a. Bantu anak makan sesuai kemampuannya

b. Menyusui setiap kali anak menginginkannya

c. Merangsang perkembangan emosi

d. Mempersiapkan ibu/pengasuh untuk perawatan di rumah

e. Rehabilitasi nutrisi :

- Kebutuhan energi 150-220 kcal/kgBB/hari

- Protein 4-6 g/kgBB/hari

- Berikan besi dan asam folat

- Pantau BB tiap hari

STIMULASI

Ruang rawat dengan warna cerah dan suara musik, aktivitas bermain dengan anak lain

dan aktivitas fisik.

TINDAK LANJUT

Melatih orang tua untuk mencegah berulangnya gizi buruk, dengan cara

menjelaskan:

a. Penyebab malnutrisi

b. Pemberian makan yang benar

c. Cara stimulasi mental dan emosi

d. Mampu menangani diare

e. Mengenali kemungkinan infeksi

f. Memahami perlunya pemberian obat cacing tiap 6 bulan.

KRITERIA PULANG DARI RUMAH SAKIT

1. Anak : - BB/TB atau BB/PB mencapai -1 SD atau 90 % standard WHO- NCHS

- Mampu makan dalam jumlah cukup

- Kenaikan BB sesuai

- Defisiensi vitamin dan mineral teratasi

- Infeksi terobati

- Vaksinasi telah dimulai

2. Ibu : - Mampu merawat

- Mampu mempersiapkan dan memberikan makanan

- Mampu membuat mainan/bermain dengan anak

- Memahami cara menangani diare, demam dan ISPA

BAB III

PEMBAHASAN

1. Mengapa pasien didiagnosis sebagai TB paru putus obat dengan gizi buruk ?

Anamnesis :

Pasien datang ke IGD RSUD Arjawinangun dengan keluhan sesak nafas

sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, sesak dapat muncul kapan saja, dan

sesak akan memberat apabila pasien mengalami kelelahan, saat sesak ibu pasien

mengaku tidak terdengar suara mengi. Sesak tidak dipengaruhi oleh lingkungan.

Selain sesak pasien mengeluhkan batuk sejak 4 tahun yang lalu dan dirasakan

hingga sekarang. Batuk terkadang berdahak bewarna putih, kental dan terkadang

disertai darah. Semenjak 4 hari sebelum masuk rumah sakit pasien tidak mau

makan nasi, hanya minum susu dan makan biskuit 1-2x perhari.

Sejak usia 6 tahun ibu pasein mengaku berat badan anaknya tidak naik,

pasien sulit untuk makan, sehari makan 1x menu nasi, kecap dan garam, ibu

pasien membiarkan anaknya tidak mau makan, asupan makanan diganti dengan

jajanan yang lebih disukai anaknya.

Pada usia 8 tahun pasien pernah berobat ke puskesmas dengan keluhan

batuk lama, dipuskesmas pasien diberikan pengobatan selama 6 bulan namun

pada pengobatan bulan ke 2 pengobatan berhenti karena pasien terlihat sehat,

sehingga pengobatan tidak dilanjukan.

Ibu pasien mengaku anak kedua dan ketiganya juga terkena tb paru dan

tinggal satu rumah

Hasil anamnesis mendukung ke arah diagnosis TB paru dengan riwayat putus obat

dengan gizi buruk karena pasien mengalami batuk lama yang tidak kunjung sembuh

disertai dahak berwarna putih kental dan pasien telah melakukan pengobatan selama 2

bulan namun tidak melanjutkan pengobatan karena pasien merasa sudah merasa lebih

baik. Diagnosis tb paru anak jika :

a. Dicurigai tuberculosis

1.Anak sakit dengan riwayat kontak penderita TB dengan diagnosis pasti (BTA

positif)

2. Anak dengan:

Keadaan klinis tidak membaik setelah menderita campak atau batuk rejan.

BB menurun, batuk dan mengi tidak membaik dengan terapi antibiotik untuk

penyakit pernapasan.

Pembesaran kelenjar superfisialis yang tidak sakit.

b. Mungkin tuberkulosis

Anak yang dicurigai tuberkulosis ditambah:

Uji tuberkulin positif (10 mm/lebih)

Foto Rontgen paru sugestif tuberkulosis.

Pemeriksaan histologis biopsi sugestif tuberkulosis.

Respons yang baik pada pengobatan dengan OAT.

c. Pasti tuberkulosis (confirmed TB)

Ditemukan basil tuberkulosis pada pemeriksaan langsung atau biakan.

Identifikasi Mycobacterium tuberculosis pada karakteristik biakan.

Selain itu curiga TB menggunakan sistem labelisasi dan scoring dengan.

+ score >6

Keluhan adanya sesak nafas sejak dirasakan sejak 2 miggu sebelum masuk

rumah sakit, sesak dapat muncul kapan saja, dan sesak akan memberat apabila pasien

mengalami kelelahan, saat sesak ibu pasien mengaku tidak terdengar suara mengi.

Sesak tidak dipengaruhi oleh lingkungan. Pasien belum pernah melakukan penguapan /

pengobatan untuk meringankan sesaknya tersebut. Sesak dirasakan hilang sendiri jika

pasien sudah beristirahat. Ini dapat menyingkirkan penyebab sesak karena asma pada

penyakit tb ini..

“Sejak usia 6 tahun ibu pasein mengaku berat badan anaknya tidak naik, pasien

sulit untuk makan, sehari makan 1x menu nasi, kecap dan garam, ibu pasien

membiarkan anaknya tidak mau makan, asupan makanan diganti dengan jajanan

yang lebih disukai anaknya.”

Selain itu diketahui juga bahwa anak sulit makan dan berat badannya tidak naik,

setiap hari biasanya anak hanya makan 1 kali dengan menu nasi kecap garam dan

asupan makan biasanya diganti dengan jajanan yang disukai anaknya dari anamnesis

tersebut anak kemungkinan mengalami gizi buruk.

Gizi buruk adalah suatu keadaan kurang gizi yang ditandai dengan kehilangan

berat badan/ buruknya kenaikan berat badan, kehilangan lemak subkutan tubuh yang

biasanya berhubungan dengan konsumsi kalori yang inadekuat

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ada 3 faktor penyebab gizi buruk

pada balita, yaitu4 :

1. Keluarga miskin.

2. Ketidaktahuan orang tua atas pemberian gizi yang baik bagi anak.

3. Faktor penyakit bawaan pada anak, seperti : jantung, TBC, HIV/AIDS, saluran

pernapasan dan diare.

Etiologi:

Pada kasus ini batuk yang disebabkan karena bakteri mycobacterium tuberculosis

sudah merangsang sistem rangsangan batuk (alveolus dan bronkus) dan kemungkinan

penyebaran sudah meluas. pada anak tb paru tidak menimbulkan batuk karena bakteri

berada pada parenkim paru.

“sesak nafas sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, sesak dapat muncul kapan

saja, dan sesak akan memberat apabila pasien mengalami kelelahan, saat sesak ibu

pasien mengaku tidak terdengar suara mengi. Sesak tidak dipengaruhi oleh

lingkungan. Selain sesak pasien mengeluhkan batuk sejak 4 tahun yang lalu dan

dirasakan hingga sekarang.”

Gejala dari tb pada anak dari kaitannya dengan hal-hal seperti kontak erat dengan

pasien TB sputum BTA (+), berat badan turun tanpa sebab jalas, atau berat badan

kurang yang tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi (failure

to thrive),demam lama atau berulang tanpa penyebab jelas, batuk lama lebih dari tiga

minggu, uji tuberkulin, foto rongen dada, pemeriksaan mikrobiologi dan serologi,

pemeriksaan patologi anatomi

Pemeriksaan fisik :

Kesadaran : kompos mentis

Tanda Vital :

Frekuensi nadi : 100x/menit, nadi teraba kuat, reguler

Frekuensi napas : 30x/menit

Suhu : 36,40 Celsiusper axilla

Tekanan darah : 100/60 mmHg

Pada pasien tidak didapatkan kelainan dalam pemeriksaan fisik.

Pada pemeriksaan neurologis yang dilakukan umumnya tidak dijumpai adanya kelainan

neurologis, termasuk tidak ada kelumpuhan saraf kranialis.

Pemeriksaan penunjang :

Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan laboratorium darah rutin, untuk menyingkirkan

penyebab penyakit lain saya merencanakan untuk cek elektrolit untuk mengetahui kadar

elektrolit darah agar dapat memberikan elektrolit tambahan untuk membatu dalam

perbaikan gizi pada anak tersebut. Selain itu perlunya cek BTA ulang dan Ro thorax

pada anak ini untuk mengetahui sejauh mana penyebaran penyakit tb saat ini selain itu

untuk membandingkan perjalanan penyakit sebelum dan setelah pengobatan.

Diagnosis Banding :

Asma dari gejalanya didapatkan riwayat mengi / wheezing pada pasien tidak ditemukan

memungkinkan merupakan kejadian asma baru, namun dan mengi pada pasien ada

hubungannya dengan batuk dan pilek memungkinkan penyebab asma karena terjadi

hiperinflamasi pada dinding dada, riwayat pemakaian bronkodilator pada anak tidak

ditemukan. Ekspirasi dan inspirasi tidak memanjang pada pasien dari anamnesis dan

pemeriksaan fisik memungkinkan sesak pada anak diakibatkan penyebab penyakit

tuberkulosis.

2. Bagaimana terapi pada pasien ini ?

Terapi :

1. Medikamentosa

IVFD KAEN 1B 16 tpm makrodrip

Vit A 100.000 UI

OAT 1x1 pulv

Inodroxin 100 mg

Pirasinamid 250 mg

Rimfampisin 175 mg

Antrain 3x85 mg (k.p)

Ranitidin 2x8 mg

Ambroksol 3 x 21 mg

Cefotaxime 2 x 850 mg

2. Diet (Kebutuhan cairan, kalori, jenis makanan)

BB ideal = ((7x5) – 5)/2 = 33

Terapi diet = (40-65) kal x 16 kg = 640 - 1040 kal/hari,

Dinaikan bertahap sampai = (40-65) kall x 33 = 1320-2145 kal/hr

Makanan biasa

Jika penanganan menggunakan F-75 pemberia 2x siang dan malam

Energi 80-100 kall x 16 = 1280 – 1600 kall / hr

Cairan 130 ml x 16 = 2080 ml/ hr

Antipiretik

Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4x sehari.

Pada pasien ini diberikan Antrain 3x85 mg. Indikasi pemberian antrain menurut

teori adalah untuk meringankan rasa sakit/ kolik dan rasa nyeri setelah operasi

yang mempunyai efek analgesic.

Mukolitik

Ambroksol 1,2-1,6 mg/kgBB/x. Diberikan 3 x sehari

Pada pasien ini diberikan Ambroksol 3 x 21 mg. Indikasi pemberian

mengencerkan sekret saluran napas dengan memecah mukoprotein dan

mukopolisakarida.

Antagonis Reseptor H2

Ranitidin 2-4 mg/kgbb/hr mg

Mekanisme kerja dapat menghambat sekresi asam lambung yg diinduksi oleh

histamin secara lengkap, penggunaan ranitidin untuk mengurangi efek samping

pemberian obat lainnya

Cefotaxime 12,5-25 mg / kgbb

3. Bagaimana prognosis pada pasien ini ?

Prognosis :

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

Prognosis pada pasien ini cukup buruk karen pasien sebelumnya telah mengalami gagal

pengobatan menyebabkan pasien harus menggunakan pengobatan line ke 2 yang

merupakan pengobatan lebih ketat selain itu pasien perlu melakukan diet karena paseien

mengalami gizi buruk diharapkan dengan pemberian kalori yang lebih setiap harinya

pasien dapan mencapai berat ideal.

Risiko berulangnya kejang demam :

Kejang demam akan terjadi kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya

kejang demam adalah :

- Riwayat kejang demam di keluarga. (pada pasien ini tidak ada)

- Usia saat kejang demam pertama kurang dari 14 bulan. (Pasien berumur

10 bulan saat kejang demam pertama)

- Tingginya suhu tubuh saat kejang. (Pada pasien ini suhu tubuh juga

meningkat saat kejang)

- Lamanya demam.

Pada pasien ini sudah mengalami berulangnya kejang demam pada episode yang

berbeda.

Risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari:

- Gangguan perkembangan saraf

- Kejang demam kompleks

- Riwayat epilepsi dalam keluarga

- Lamanya demam

DAFTAR PUSTAKA

1. UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman nasional tuberkulosis anak.. Dalam: Rahajoe

NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB, penyunting. Jakarta. IDAI. 2005. h.10 –

45, 81 – 94.

2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Ilmu kesehatan anak no 2. Jakarta. Balai

Penerbit FKUI. 1985. h. 573 – 584.

3. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson textbook of pediatrics 17th ed. China.

Saunders International. 2004.

4. Rahajoe NN. Diagnosis dan tatalaksana tuberkulosis pada anak. Jakarta. IDAI. 1999. h.

691 - 704.

5. Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia. Jurnal tuberkulosis indonesia.

Jakarta. 2004. Diambil dari

http://www.tbcindonesia.or.id/pdf/Jurnal_TB_Vol_3_No_2_PPTI.pdf. Diakses pada

tanggal 28januari 2014.

6. Sundari T. Jurnal nasional: pengobatan tb. Diambil dari http://jurnalnasional.com/?

med=Koran%20Harian&sec=Kesehatan&rbrk=&id=43328&postdate=2008-04-

08&detail=Kesehatan. Diakses pada tanggal 22 April 2008.

7. Herryanto, Musadad DA, Komalig FM. Riwayat pengobatan penderita tb paru. Diambil

dari http://www.ekologi.litbang.depkes.go.id/data/vol%203/Herryanto_1.pdf. Diakses

pada tanggal 30januari 2014.

8. Sriwidodo WS. Cermin dunia kedokteran: tuberkulosis. Diambil dari

http://www.kalbe.co.id. Diakses pada tanggal 24 januari 2014.

9. Behrman Richard E. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Volume 1. Edisi 15. EGC: Jakarta.

1999

10. Garna Herry. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 3. Bandung.

2005

11. Matondang Corry S. Diagnosis Fisis pada Anak. Edisi 2. Sagung Seto: Jakarta. 2003

12. Sastroasmoro Sudigdo. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilimu Kesehatan Anak.

Jakarta.2007

13. Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. EGC: Jakarta.1995

14. Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI : Pneumonia dalam buku kuliah jilid 3 Imu

Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan anak FKUI: Jakarta, 1985, 1228-1230.

15. Mansjoer Arif : Pneumonia dalam Kapita selekta Kedokteran jilid 2, edisi 3. Media

Aesculapius FKUI, Jakarta : 2000, 465-468.

16. Bagian Ilmu Kesehatan FKUP : Pneumonia dalam Pedoman Diagnosa dan Therapi Ilmu

Kesehatan Anak, edisi II, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUP, Bandung : 2000, 322 –

327.