57214555-Proposal
-
Upload
yohanes-tjandra -
Category
Documents
-
view
3 -
download
0
description
Transcript of 57214555-Proposal
HUBUNGAN INTENSITAS MENONTON TELEVISI
DENGAN PROGRESIVITAS MIOPIA PADA ANAK
PROPOSAL
KARYA TULIS ILMIAH
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh
Derajad Sarjana Kedokteran Pada
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
Disusun oleh
YOHANES TJANDRANRI : 110 111 300
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehadiran televisi sesungguhnya bagai pisau bermata ganda,
memberikan pengetahuan namun sekaligus berdampak negatif dalam proses
perkembangan anak, baik fisik, psikis, maupun sosial (Mimpsy, 2009).
Menurut Adam Normies (1992), televisi adalah pesawat sistem penyiaran
gambar obyek yang bergerak yang disertai dengan bunyi (suara) melalui kabel
atau melalui angkasa dengan menggunakan alat yang mengubah cahaya
(gambar) dan bunyi (suara) menjadi gelombang listrik dan mengubahnya
kembali menjadi berkas cahaya yang dapat dilihat dan bunyi yang dapat
didengar, digunakan untuk penyiaran pertunjukan, berita, dsb.
Seringnya anak-anak menonton televisi tidak lepas dari peran orang
tua yang dalam hal ini bertanggung jawab untuk memberikan pengawasan.
Menurut Djaelani (2010), bahwa banyak orang tua yang dengan alasan
menyenangkan anak, justru menyediakan televisi di masing-masing kamarnya.
Sehingga anak-anak dapat dengan mudah menonton televisi tanpa mendapat
pengawasan dari orang tuanya. Dan hal tersebut didukung dengan waktu
penyiaran televisi yang dapat berlangsung 24 jam setiap hari.
Dengan semakin meningkatnya interaksi anak dengan televisi dapat
diperoleh sisi-sisi positif dari menonton televisi adalah bahwa di beberapa
tayangan tertentu dapat menjadi sumber pelajaran yang membantu kita,
terutama anak dan remaja untuk memahami dunia dan bahkan memperkaya
ilmu yang telah didapatkan di bangku sekolah, tetapi ada hal-hal negatif yang
dapat membahayakan dan merugikan bagi kesehatan. Gangguan kesehatan
yang timbul akibat intensitas pemakaian yang terjadi dalam waktu lama dan
terus menerus dalam menonton televisi. Selama berjalannya waktu, gangguan
kesehatan yang serius seperti gangguan saraf, gangguan penglihatan,
gangguan perkembangan otak, gangguan konsentrasi dan lain-lain dapat
terjadi. Gangguan tersebut rata-rata diakibatkan oleh kurangnya aliran darah
serta ketegangan di bagian tubuh tertentu secara terus menerus dan berulang.
Hal ini bisa berlangsung bertahun-tahun sebelum gangguan itu muncul
sebagai suatu cidera yang serius (Wasito, 2005).
Gangguan yang sering muncul adalah gangguan kesehatan mata.
Menurut American Academy of Ophthalmology (1992), dampak yang dapat
terjadi pada mata akibat intensitas melihat monitor atau televisi yang lama
antara lain astenopia, mata kering, sakit kepala, kabur melihat dekat secara
periodik, kabur melihat jauh, mata merah, rasa panas pada mata, silau,
perubahan persepsi warna, nyeri leher dan bahu. Menurut Yani (2008),
kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak terbentuk pada
retina (makula lutea atau bintik kuning). Pada kelainan refraksi terjadi
ketidakseimbangan sistem optik pada mata sehingga menghasilkan bayangan
kabur. Pada mata normal, kornea dan lensa akan membelokkan sinar pada titik
fokus yang tepat pada sentral retina. Keadaan ini memerlukan susunan kornea
dan lensa yang betul-betul sesuai dengan panjangnya bola mata. Pada kelainan
refraksi sinar tidak dibiaskan tepat pada bintik kuning, akan tetapi dapat di
depan atau di belakang bintik kuning atau malahan tidak terletak pada satu
titik yang tajam.
Gejala kelainan refraksi yang membuat penderita datang ke dokter
biasanya dengan keluhan sakit kepala terutama di daerah tengkuk atau dahi,
mata berair, cepat mengantuk, mata terasa pedas, pegal pada bola mata, dan
penglihatan kabur yang sering dialami setelah lama menonton televisi dengan
jarak yang dekat.
Salah satu kelainan refraksi adalah miopia. Miopia disebut rabun jauh
karena berkurangnya kemampuan melihat jauh tapi dapat melihat dekat
dengan lebih baik. Miopia terjadi jika kornea (terlalu cembung) dan lensa
(kecembungan kuat) berkekuatan lebih atau bola mata terlalu panjang
sehingga titik fokus sinar yang dibiaskan akan terletak di depan retina
(”Kelainan Refraksi”, 2008). Gejala yang muncul pada penderita miopia
antara lain penglihatan kabur melihat jauh dan hanya jelas pada jarak
tertentu/dekat, selalu ingin melihat dengan mendekatkan benda yang dilihat
pada mata, gangguan dalam pekerjaan, dan jarang sakit kepala. Faktor resiko
yang dapat menimbulkan atau memperburuk keadaan miopia adalah kebiasaan
melihat jarak dekat secara terus menerus. Demikian juga kebiasaan membaca
dengan penerangan yang kurang memadai.
Masyarakat pada umumnya belum mengetahui secara pasti pengaruh
lamanya intensitas menonton televisi terhadap progresivitas miopia pada
anak. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan tentang faktor yang dapat
menyebabkan progresivitas miopia pada anak, karena belum diketahui secara
pasti apakah lamanya intensitas menonton televisi berpengaruh terhadap
progresivitas miopia pada anak.
B. Perumusan Masalah
Anak-anak dapat setiap hari menonton televisi sehingga memiliki
risiko peningkatan progresivitas miopia. Progresivitas tersebut dipengaruhi
oleh lama dan jarak anak saat menonton televisi. Oleh karena itu timbul
permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah lama menonton televisi berpengaruh terhadap progresivitas
miopia pada anak?
2. Apakah jarak dalam menonton televisi memiliki korelasi terhadap
progresivitas miopia pada anak?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum :
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh intensitas lamanya
menonton televisi terhadap progresivitas miopia pada anak.
Tujuan Khusus :
1. Untuk mengetahui lama menonton televisi yang baik untuk anak.
2. Untuk mengetahui progresivitas miopia anak setelah 2 tahun dengan
intensitas menonton televisi.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini juga dapat menambah wawasan penulis tentang pengaruh
dari lamanya intensitas menonton televisi terhadap progresivitas miopia. Dan
penelitian ini juga bermanfaat bagi ilmu pengatahuan agar dapat menjadi
masukan bagi penelitian yang akan datang.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian yang telah dilakukan peneliti lain tentang progresivitas
miopia adalah
1. Pengaruh Interaksi Komputer Terhadap Progresivitas Miopi dan
Astigmatisme oleh Juliana Munir (Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta).
2. Pengaruh Antara Ketaatan Berkacamata Dengan Progresivitas Derajat
Miopia oleh Maya Syarief (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta).
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian tentang pengaruh
lamanya intensitas menonton televisi terhadap progresivitas anak belum
pernah dilakukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Anatomi Mata
Menurut Ilyas (2008), mata normal atau mata emetropia adalah suatu
keadaan dimana sinar yang sejajar atau jauh dibiaskan atau difokuskan oleh sistem
optik mata tepat pada daerah makula lutea tanpa mata melakukan akomodasi.
Sinar yang masuk ke dalam mata harus melalui beberapa medan refraksi yang
terdiri atas kornea, humor aqueus, lensa, badan kaca, hingga terbentuk bayangan
obyek pada retina. Berikut akan dijelaskan secara singkat anatomi mata yang
berfungsi sebagai media refraksi yang terdiri dari :
a. Bola Mata
Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola
mata di bagian depan (kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam
sehingga terdapat bentuk dengan dua kelengkungan yang berbeda. Menurut
Ilyas (2005), bola mata dibungkus oleh tiga lapisan, yaitu :
(1) Sklera merupakan jaringan ikat yang kenyal dan memberikan
bentuk pada mata, merupakan bagian terluar yang melindungi bola
mata.
(2) Jaringan uvea merupakan jaringan vaskuler. Jaringan uvea ini
terdiri atas iris, badan siliar, dan koroid. Otot siliar yang terletak di
badan siliar mengatur bentuk lensa untuk kebutuhan akomodasi.
Badan siliar yang terletak di belakang iris menghasilkan cairan
bilik mata (humor aqueus), yang dikeluarkan melalui trabekulum
yang terletak pada pangkal iris di batas kornea dan sklera. Humor
aqueus dibentuk dalam mata rata-rata 2 sampai 3 mikroliter tiap
menit (Guyton, 1997). Menurut Perhimpunan Dokter Mata
Indonesia (2002), koroid adalah suatu membran berwarna coklat
tua, yang terletak diantara sklera dan retina terbentang dari ora
serrata sampai ke papil saraf optik. Koroid kaya pembuluh darah
dan berfungsi terutama memberi nutrisi kepada retina bagian luar.
(3) Retina atau selaput jala adalah bagian mata yang mengandung
reseptor yang menerima rangsangan cahaya. Retina merupakan
lapisan bola mata yang terletak paling dalam dan mempunyai
susunan sebanyak sepuluh lapis yang merupakan lapisan membran
neurosensoris yang akan merubah sinar menjadi rangsangan pada
saraf optik dan diteruskan ke otak.
b. Kornea
Kornea adalah selaput bening mata, sebagian selaput mata yang
tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata
sebelah depan.
c. Pupil
Cahaya yang masuk melalui kornea diteruskan ke pupil. Pupil
merupakan lubang bundar anterior di bagian tengah iris yang mengatur
jumlah cahaya yang masuk ke mata. Pupil akan membesar bila
intensitas cahaya kecil (bila berada di tempat gelap), dan apabila
berada di tempat terang atau intensitas cahayanya besar, maka pupil
akan mengecil.
d. Iris
Pada iris didapatkan pupil yang oleh 3 susunan otot, yaitu otot
dilatator, sfingter iris dan otot siliar dapat mengatur jumlah sinar
masuk ke dalam bola mata.
e. Lensa
Lensa terletak tepat di belakang iris, di depan badan vitreous, dan
dilingkari oleh prosesus siliaris yang mana overlap pada bagian
tepinya. Kapsul lensa (capsula lentis) merupakan membran transparan
yang melingkupi lensa, dan lebih tebal pada bagian depan daripada di
belakang. Lensa merupakan struktur yang rapuh namun sangat elastis.
Di bagian belakang berhadapan dengan fossa hyaloid, bagian depan
badan vitreous; dan di bagian depan berhadapan dengan iris. Lensa
merupakan struktur transparan bikonveks. Kecembungannya di bagian
anterior lebih kecil daripada bagian posteriornya.
f. Badan Vitreous (Vitreous body)
Vitreous body membentuk sekitar empat perlima bola mata. Zat seperti
agar-agar ini mengisi ruangan yang dibentuk oleh retina. Transparan,
konsistensinya seperti jeli tipis, dan tersusun atas cairan albuminus
terselubungi oleh membrane transparan tipis, membran hyaloid.
Membran hyaloid membungkus badan vitreous. Porsi di bagian depan
ora serrata tebal karena adanya serat radial dan dinamakan zonula
siliaris (zonule of Zinn). Disini tampak beberapa jaringan yang
tersusun radial, yaitu prosesus siliaris, sebagai tempat menempelnya.
Zonula siliaris terbagi atas dua lapisan, salah satunya tipis dan
membatasi fossa hyaloid, lainnya dinamakan ligamen suspensori lensa,
lebih tebal, dan terdapat pada badan siliaris untuk menempel pada
kapsul lensa. Ligamen ini mempertahankan lensa pada posisinya, dan
akan relaksasi jika ada kontraksi serat sirkular otot siliaris, maka lensa
akan menjadi lebih konveks. Tidak ada pembuluh darah pada badan
vitreous, maka nutrisi harus dibawa oleh pembuluh darah retina dan
prosesus siliaris.
Gambar 1. Anatomi Mata(Sumber : www.riversideonline.com, 2008)
2. Fisiologi Penglihatan
Cahaya masuk ke mata dan di belokkan (refraksi) ketika melalui kornea
dan struktur-struktur lain dari mata (kornea, humor aqueous, lensa, badan
vitreous) yang mempunyai kepadatan berbeda-beda untuk difokuskan di retina,
hal ini disebut kesalahan refraksi.
Mata mengatur (akomodasi) sedemikian rupa ketika melihat obyek yang
jaraknya bervariasi dengan menipiskan dan menebalkan lensa. Penglihatan dekat
memerlukan kontraksi dari badan siliar, yang bisa memendekkan jarak antara
kedua sisi badan siliar yang diikuti dengan relaksasi ligamen pada lensa. Lensa
menjadi lebih cembung agar cahaya dapat terfokuskan pada retina. Penglihatan
yang terus menerus dapat menimbulkan ketegangan mata karena kontraksi yang
menetap (konstan) dari otot-otot siliar. Hal ini dapat dikurangi dengan seringnya
mengganti jarak antara obyek dengan mata. Akomodasi juga dibantu dengan
perubahan ukuran pupil. Ada beberapa teori mengenai mekanisme akomodasi
berdasarkan Ilyas (2008) antara lain :
a. Teori Hemholtz yaitu Zonula Siliaris kendor akibat kontraksi otot siliar
sirkuler lensa yang elastis menjadi cembung dan diameter menjadi
kecil.
b. Teori Tsernig yaitu bahwa nukleus lensa tidak dapat berubah bentuk
sedang yang dapat berubah bentuk adalah bagian lensa superfisial atau
korteks lensa pada waktu akomodasi terjadi tegangan pada Zonula
Siliaris sehingga nukleus lensa terjepit dan bagian lensa superfisial di
depan nukleus akan mencembung.
Kemudian cahaya diterima oleh fotoreseptor pada retina dan dirubah
menjadi aktivitas listrik dan diteruskan ke kortek. Serabut-serabut saraf optikus
terbagi di optik chiasma (persilangan saraf mata kanan dan kiri), bagian medial
dari masing-masing saraf bersilangan pada sisi yang berlawanan dan impuls
diteruskan ke korteks visual.
3. Refraksi
Pada orang normal (emetropia) susunan pembiasan oleh media penglihatan
dan panjang bola mata demikian seimbang sehinnga bayangan benda setelah
melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea (Ilyas, 2008).
Individu dengan mata emetropia dapat melihat jarak jauh dengan jelas tanpa
berakomodasi (Bruce, et al, 2003).
Gambar 2. Mata Normal (emetropia)(Sumber : www.fr.academic.ru, 2008)
Pada mata emetropia terdapat keseimbangan antara kekuatan pembiasan
sinar dengan panjang bola mata. Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar
ditentukan oleh dataran depan dan kelengkungan kornea dan panjangnya bola
mata. Kornea mempunyai daya pembiasan sinar terkuat dibanding media
penglihatan mata lainnya. Lensa memegang peranan terutama pada saat
melakukan akomodasi atau bila melihat benda yang dekat.
Panjang bola mata seseorang berbeda-beda. Bila terdapat kelainan
pembiasan sinar oleh kornea (mendatar, mencembung) atau adanya perubahan
panjang (lebih panjang, lebih pendek) bola mata maka sinar normal tidak dapat
terfokus pada makula. Keadaan ini disebut ametropia (Ilyas, 2008). Menurut
Wilson (2005), terdapat 3 keadaan yang menyebabkan ametropia, yaitu :
a. Miopia
b. Hipermetropia
c. Astigmat
Menurut Ilyas (2008), miopia terjadi bila titik fokus sistem optik media
penglihatan terletak di depan makula lutea. Hipermetropia terjadi bila sinar
sejajar difokuskan di belakang makula lutea. Sedangkan astigmat adalah suatu
keadaan dimana sinar yang sejajar tidak dibiaskan dengan kekuatan yang sama
pada seluruh bidang pembiasan sehingga fokus pada retina tidak pada satu titik.
4. Kelainan Refraksi Miopia
Rabun jauh atau myopia adalah sebuah kondisi penglihatan yang sering
terjadi dimana seseorang dapat melihat benda dekat secara jelas, tetapi benda yang
jauh terlihat tidak jelas (Mayo Clinic Staff, 2010). Pada pasien miopia tajam
penglihatan mereka selalu kurang dari 5/5 (Ilyas, dkk, 2002).
Gambar 3. Titik fokus pada miopia(Sumber : www.eyecare2020.com, 2008)
Hampir semua orang miopia terlahir dengan penglihatan normal dan
berkembang menjadi miopia karena cara mereka menggunakan matanya dalam
kehidupan. Miopia seperti ini disebut miopia dapatan karena terjadi setelah mata
normal (The Myopia Myth, 2007). Terdapat dua etiologi yang berkaitan dengan
miopia, yaitu karena faktor genetik dan lingkungan. Menurut American Academy
of Ophtalmology Staff. (2007), keduanya antara faktor genetik dan faktor
lingkungan memegang peranan penting dalam perkembangan miopia. Salah satu
contoh kasus faktor genetik dari penelitian Weiss (2003) didapatkan bahwa
miopia unilateral yang tinggi pada seorang anak dengan riwayat keluarga
memiliki miopia bilateral tinggi yang kuat menunjukkan bahwa hemifacial
microsomia mengimbangi kecenderungan genetik dari mata ipsilateral untuk
berkembang secara berlebihan.
Prevalensi miopia (-0,75 D atau lebih) terhitung sejumlah 9% pada anak-
anak di Amerika Serikat antara umur 5 sampai 17 tahun. Sebuah penelitian meta-
analysis berdasarkan populasi, ditemukan prevalensi miopia sebesar 25% pada
orang diatas usia 40 tahun (American Academy of Ophtalmology Staff, 2007).
Menurut Ilyas (2004), terdapat tiga perjalanan penyakit miopia :
a. Miopia stasioner, miopia yang menetap setelah dewasa.
b. Miopia progresif, miopia yang bertambah terus setelah dewasa akibat
bertambah panjangnya bola mata.
c. Miopia maligna, miopia yang berjalan progresif, yang dapat
mengkibatkan ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan miopia
pernisiosa.
Dan menurut derajat keparahannya, Ilyas (2008) membagi menjadi tiga :
a. Miopia dengan derajat ringan yaitu 1-3 dioptri.
b. Miopia dengan derajat sedang yaitu 3-6 dioptri.
c. Miopia dengan derajat berat yaitu lebih dari 10 dioptri.
Penegakan diagnosis dilakukan oleh dokter ahli mata atau spesialis mata
dengan memeriksa gejala yang timbul dan dengan alat uji yang dilakukan untuk
mengetahui penanganan yang tepat pada pasien miopia.
Menurut Mayo Clinic Staff. (2010), gejala miopia dapat berupa :
a. Penglihatan benda yang jauh menjadi kabur.
b. Harus mengerlingkan mata untuk melihat benda agar terlihat jelas.
c. Nyeri kepala yang disebabkan akomodasi kuat yang sering.
Miopia sering pertama kali terdeteksi pada masa anak-anak dan paling
sering selama masa awal sekolah hingga akhir remaja. Seorang anak dengan
miopia akan menunjukkan gejala :
a. Sering mengerlingkan mata.
b. Harus duduk sangat dekat pada televisi atau papan tulis agar dapat
melihat dengan jelas.
c. Membaca buku sangat dekat ketika membaca.
d. Kurang waspada pada obyek-obyek yang jauh.
e. Sering mengedipkan mata.
f. Sering mengusap mata.
Pasien miopia mempunyai pungtum remotum (titik terjauh yang masih
dilihat jelas) yang dekat sehingga mata selalu dalam atau berkedudukan
konvergensi yang akan menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila
kedudukan mata ini menetap, maka penderita akan terlihat juling ke dalam atau
esotropia (Ilyas, 2008).
Pengujian yang dilakukan pada pasien kelainan refraksi adalah :
a. Uji pinhole atau uji lubang kecil yang dilakukan untuk mengetahui
apakah berkurangnya tajam penglihatan diakibatkan oleh kelainan
refraksi atau kelainan pada media penglihatan, atau kelainan retina
lainnya.
b. Uji refraksi yang dilakukan dengan memeriksa tajam penglihatan mata
satu persatu dengan Tes Snellen yang dilakukan pada jarak jauh dan
Tes Jaeger yang dilakukan pada jarak dekat.
c. Uji fogging technique yaitu setelah pasien dikoreksi untuk
hipermetropi atau miopia yang ada, maka tajam penglihatannya
dikaburkan dengan lensa positif, sehingga tajam penglihatan berkurang
2 baris pada kartu snellen, misalnya dengan menambah lensa sferis
positif 3.
5. Radiasi Televisi
Data tahun 2002 mengenai jumlah jam menonton televisi pada anak di
Indonesia adalah sekitar 30-35 jam / minggu atau 1.560-1.820 jam / tahun .
Angka ini jauh lebih besar dibanding jam belajar di sekolah dasar yang tidak
sampai 1.000 jam / tahun (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009).
Salah satu penyebabnya adalah perkembangan teknologi yang lebih
menarik minat anak. Dan dengan seringnya membaca atau bermain dengan obyek
pada jarak yang dekat, misalnya bermain videogame atau play stasion, membaca
komik dengan huruf dan gambar yang kecil sehingga mau tidak mau harus
didekatkan supaya mendapatkan gambar yang jelas. Sekarang dengan adanya
ponsel yang dapat untuk bermain videogame dan untuk menonton film, juga
berpengaruh terhadap penglihatan anak-anak (Hnerviadi, 2008).
Seringnya menonton televisi dapat memberikan pengaruh yang buruk pada
mata anak. Televisi memancarkan sinar biru yang juga dihasilkan oleh matahari,
namun sinar biru ini berbeda dengan sinar ultra violet. Sinar biru tidak membuat
mata mengedip secara otomatis. Parahnya, sinar biru langsung masuk ke retina
tanpa filter. Panjang gelombang cahaya yang dihasilkan adalah 400-500nm
sehingga berpotensi memicu terbentuknya radikal bebas dan melukai fotokimia
pada retina mata anak (Mimpsy, 2009). Total sinar biru televisi yang diterima
anak tergantung pada dua faktor, yaitu total waktu menonton televisi per hari dan
jarak saat menonton televisi (Anonim, 2008).
B. Kerangka Konsep
Kemampuan Akomodasi Menurun
Relaksasi Otot SiliarBola Mata Memanjang
Faktor-faktor yang mempengaruhi :UmurGenetik
Progresivitas Miopia
LamaMenonton Televisi
C. Hipotesis
Terdapat pengaruh antara lamanya intensitas dan jarak menonton televisi
terhadap progresivitas miopia pada anak.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Pada penelitian ini digunakan desain penelitian deskriptif analitik secara cross
sectional (potong lintang). Desain penelitian ini diambil karena pengamatan
dilakukan satu kali untuk setiap obyek pada satu waktu.
B. Populasi dan Sampel
Subyek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh siswa –
siswi SMP Negeri 4 Manado yang berusia dibawah 15 tahun dan memiliki
kelainan refraksi miopia.
Kriteria inklusi adalah kriteria subyek penelitian yang masuk dalam sampel
dan dapat terjangkau.
Kriteria inklusi :
1. Siswa – siswi yang memiliki kelainan refraksi miopia
2. Berusia dibawah 15 tahun pada saat penelitian dilakukan
3. Bersedia menjadi subyek penelitian
Kriteria eksklusi adalah beberapa subyek penelitian yang masuk dalam kriteria
eksklusi harus dikeluarkan.
Kriteria eksklusi :
1. Subyek dengan pemakaian atropin (sikloplegi)
2. Subyek yang pernah dilakukan bedah refraksi
C. Identifikiasi Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : lama menonton televisi
2. Variabel tergantung : progresivitas derajat miopia
D. Definisi Operasional Penelitian
1. Intensitas menonton televisi
Intensitas menonton televisi adalah faktor lamanya menonton televisi
setiap harinya yang dihitung dalam jam, dengan ketentuan :
a. Intensitas rendah : menonton televisi < 2 jam
b. Intensitas sedang : menonton televisi 2 – 4 jam
c. Intensitas tinggi : menonton televisi > 4 jam
2. Progresivitas derajat miopia
Progresivitas miopia adalah peningkatan derajat miopia yang dihitung
sejak awal masuk SMP hingga pada saat penelitian dilakukan, dengan
ketentuan :
a. Meningkat : jika terjadi peningkatan derajat miopia
b. Menetap : jika derajat miopia tidak ada perubahan
c. Menurun: jika terjadi penurunan derajat miopia
E. Instrumen Penelitian
1. Kuesioner
F. Jalannya Penelitian
1. Sebelum melakukan penelitian, peneliti mengajukan permohonan izin
untuk melakukan penelitian di SMP Negeri 4 Manado.
2. Peneliti membagikan kuesioner untuk dijawab oleh responden terpilih.
3. Kuesioner yang telah dijawab, dikumpulkan dan dianalisis.
G. Uji Validitas dan Reliabilitas
Instrumen penelitian dengan penggunaan kuesioner telah dilakukan uji
validitas dan reliabilitas.
H. Teknik Analisis Data
Data tersebut diolah dan dianalisa secara statistik menggunakan uji chi-square,
yaitu metode yang digunakan untuk menganalisa pengaruh antara variabel bebas
dengan variabel tergantung. Analisa tersebut menggunakan program komputer
SPSS 20.0 for windows.
I. Etika Penelitian
Penelitian ini tetap memperhatikan etika dalam melakukan sebuah penelitian.
Untuk tetap melindungi hak-hak responden, maka responden diberi kebebasan
untuk bersedia menjadi subjek penelitian atau tidak dengan cara responden
mengisi lembar persetujuan yang merupakan sebuah bukti bahwa subyek bersedia
dan menyetujui untuk berpartisipasi dalam penelitian.