4. Referat Dm Selulitis Sepsis - Copy
Transcript of 4. Referat Dm Selulitis Sepsis - Copy
BAB 1
PENDAHULUAN
Penderita diabetes mellitus di Indonesia yang telah dilaporkan 12,5 juta
orang di tahun 2000 akan meningkat menjadi kurang lebih 19,4 juta pada tahun
2010. Penyakit diabetes mellitus jarang tertangani dengan benar karena kurangnya
pengetahuan masyarakat tentang penyakit tersebut. Penyakit ini dapat
menimbulkan komplikasi yang serius jika tidak tertangani dengan benar seperti
penyempitan pembuluh darah kapiler, koma diabetik, pembersihan luka yang
tidak tepat dapat memperparah luka pada penderita diabetes mellitus. Kurangnya
kesadaran masyarakat untuk memeriksa gula darah ke rumah sakit atau ke
puskesmas terutama bagi masyarakat ekonomi ke bawah yang merasa malas dan
kekurangan biaya. Diabetes militus bukanlah penyakit yang mudah ditangani,
penyakit yang bisa menyerang semua kalangan manusia ini memiliki efek yang
mendukung timbulnya penyakit lain yang menyertai. Penyakit atau keadaan
merugikan lain yang bisa terjadi akibat diabetes militus ini antara lain adalah
selulitis terutama bila diseratai higiene yang jelek.
Selulitis adalah peradangan akut terutama menyerang jaringan dermis dan
subkutis. Faktor risiko untuk terjadinya infeksi ini adalah trauma lokal (robekan
kulit), luka terbuka di kulit atau gangguan pembuluh vena maupun pembuluh
getah bening.2 Lebih dari 40% penderita selulitis memiliki penyakit sistemik.
Penyakit ini biasanya didahului trauma, karena itu tempat predileksinya di tungkai
bawah.1 Gejala prodormal selulitis adalah demam dan malaise, kemudian diikuti
1
tanda-tanda peradangan yaitu bengkak (tumor), nyeri (dolor), kemerahan (rubor),
dan teraba hangat (kalor) pada area tersebut.1
Prevalensi selulitis di seluruh dunia tidak diketahui secara pasti. Sebuah
studi tahun 2006 melaporkan insidensi selulitis di Utah, AS, sebesar 24,6 kasus
per 1000 penduduk per tahun dengan insidensi terbesar pada pasien laki-laki dan
usia 45-64 tahun. Secara garis besar, terjadi peningkatan kunjungan ke pusat
kesehatan di Amerika Serikat akibat penyakit infeksi kulit dan jaringan lunak kulit
yaitu dari 32,1 menjadi 48,1 kasus per 1000 populasi dari 1997-2005 dan pada
tahun 2005 mencapai 14,2 juta kasus. Data rumah sakit di Inggris melaporkan
kejadian selulitis sebanyak 69.576 kasus pada tahun 2004-2005, selulitis di
tungkai menduduki peringkat pertama dengan jumlah 58.824 kasus. Data rumah
sakit di Australia melaporkan insidensi selulitis sebanyak 11,5 per 10.000
populasi pada tahun 2001-2002. Di Spanyol dilaporkan 8,6% (122 pasien) dalam
periode 5 tahun menderita erysepelas dan selulitis. Banyak penelitian yang
melaporkan kasus terbanyak terjadi pada laki-laki, usia dekade keempat hingga
dekade kelima, dan lokasi tersering di ekstremitas bawah.
Sepsis merupakan respons sistemik terhadap infeksi dimana pathogen atau
toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivitas proses
inflamasi. (infeksi dan inflamasi). Sepsis dibagi dalam derajat Systemic
Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis, sepsis berat, sepsis dengan
hipotensi, dan syok septik.
Infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, fungi atau riketsia. Respon
sistemik dapat disebabkan oleh mikroorganisme penyebab yang beredar dalam
2
darah atau hanya disebabkan produk toksik dari mikroorganisme atau produk
reaksi radang yang berasal dari infeksi lokal.
Sepsis, syok sepsis, dan kegagalan multipel organ (MOF) mengenai
hampir 750. 0000 penduduk di Amerika Serikat dan menyebabkan kematian
sebanyak 215.000 orang.
Sepsis merupakan proses infeksi dan inflamasi yang kompleks dimulai
dengan rangsangan endotoksin atau eksotoksin terhadap sistem imunologi,
sehingga terjadi aktivasi makrofag, sekresi berbagai sitokin dan mediator, aktivasi
komplemen dan netrofil, sehingga terjadi disfungsi dan kerusakan endotel,
aktivasi sistem koagulasi dan trombosit yang menyebabkan gangguan perfusi ke
berbagai jaringan dan disfungsi/kegagalan organ multipel.
Sepsis dan komplikasinya (seperti: renjatan septik, sindrom gagal napas
dan lainnya) memerlukan penanganan yang intensif di ruang perawatan. Saat ini
meskipun berbagai kemajuan telah dicapai dalam diagnosis dan terapi tetapi
angka mortalitas sepsis masih cukup tinggi, diharapkan dengan berkembangnya
pemahaman mengenai patogenesis sepsis akan berakibat pada penanganan yang
lebih baik dari sepsis dan komplikasinya.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus
2.1.1 Definisi
Gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen
dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. (Price &
Wilson, 2005)
2.1.2 Etiologi
A. Tipe I
Autoimun.
Pemicu: mungkin infeksi virus (mungkin virus coxsackie B4/
gondongan/ virus lain) produksi autoantibody menyerang sel β
pancreas. Manifestasi klinis: sel β rusak 90%.
HLA spesifik : DW3 & DW4 berhubungan dengan interaksi
monosit-limfosit kerusakan pulau-pulau Langerhans.
B. Tipe II
Familial : kembar monozigote 100%, saudara kandung 40%, anak
cucu 33%.
OT diabetes anak diabetes : tidak = 1:1, 90% carier
Kelainan reseptor
80% pasien: obesitas.
(Price & Wilson, 2005)
4
2.1.3 Patogenesis
Patogenesis Diabetes Melitus tipe 1 terletak pada rusaknya sel β
pankreas. Proses perusakan ini hampir pasti melalui jalur proses autoimun
meski rincinnya masih samar. Pertama, harus ada kerentanan genetik
terhadap penyakit ini. Kedua, keadaan lingkungan biasanya memulai
penyakit ini pada individu dengan kerentanan genetik. Infeksi virus
diyakini merupakan suatu mekanisme pemicu, tetapi agen non infeksius
juga dapat terlibat. Tahap ketiga dalam rangkaian respon peradangan
pankreas disebut insulinitis. Sel yang menginfiltrasi sel pulau adalah
monosit/makrofag dan limfosit T teraktivasi. Tahap keempat adalah
perubahan atau transformasi sel beta sehingga tidak lagi dikenali sebagai
sel ”sendiri” tetapi dilihat oleh sistem imun sebagai ” sel asing”. Tahap
kelima adalah perkembangan respons antibodi sitotoksik dan bekerja
bersama-sama dengan mekanisme imun seluler. Hasil akhirnya adalah
perusakan sel beta dan penampakan diabetes (Foster, 2000).
Patogenesis Diabetes Melitus tipe 2 disebabkan oleh tiga faktor
penting, yaitu kerentanan genetik, menurunnya fungsi sel-β pankreas dan
terjadinya resistensi insulin akibat penurunan kerja insulin pada resptor
insulin yang meliputi otot skelet, hati dan jaringan lemak (Gambar 2.2).
Pada sebagian besar kasus, diabetes melitus disebabkan oleh berkurangnya
sekresi insulin sel-β pulau Langerhaens. Faktor herediter biasanya
memainkan peran besar pada siapa diabetes akan berkembang. Seringkali
faktor herediter menyebabkan timbulnya diabetes melalui peningkatan
5
Resistensi insulin atau malfungsi sel β yang disebabkan kerena genetik
ObesitasFaktor lingkungan
Hiperglikemia ringan
Malfungsi sel β Resistensi insulin
NIDDM
kerentanan sel-sel β terhadap penghancuran oleh virus atau mempermudah
perkembangan antibody autoimun melawan sel-sel beta, jadi juga
mengarah kepada penghancuran sel beta (Guyton&Hall, 1997). Faktor
genetik ini akan berinteraksi dengan faktor lingkungan seperti gaya hidup,
diet, rendahnya aktifitas fisik, obesitas dan tingginya kadar asam lemak
bebas (Wiyono, 2004).
Gambar 2.2 Skematik Patogenesis DM tipe 2 (Weir, 1994)
2.1.4 Klasifikasi
Klasifikasi diabetes melitus menurut American Diabetes Association
(ADA) tahun 1997:
a. Tipe 1: dulu dikenal sebagai DM tipe I, Insulin Dependent
Diabetes Mellitus, (IDDM). Sebagian sel beta rusak, bisa
disebabkan autoimun atau idiopatik.
Diabetes tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(IDDM) adalah diabetes melitus yang sehari-harinya membutuhkan
6
Resistensi insulin atau malfungsi sel β yang disebabkan kerena genetik
ObesitasFaktor lingkungan
Hiperglikemia ringan
Malfungsi sel β Resistensi insulin
NIDDM
terapi insulin untuk diet dan pengaturan aktivitas (Gustaviani,
2006). Diabetes tipe 1 adalah kondisi yang ditandai oleh tingginya
level glukosa darah yang disebabkan oleh ketiadaan total hormon
insulin. Pankreas kemudian hanya sedikit atau tidak menghasilkan
insulin, sehingga gula darah tidak dapat masuk ke dalam sel untuk
digunakan sebagai energi. Kondisi ini hanya bisa diobati dengan
pemberian insulin (Adam, 2000).
Kerusakan sel beta apabila telah mencapai 80-90% maka
gejala DM mulai muncul. Perusakan sel beta ini lebih cepat terjadi
pada anak-anak daripada dewasa. Penderita DM tipe 1 sebagian
besar mempunyai antibodi yang menunjukan adanya proses
autoimun dan sebagian kecil tidak terjadi proses autoimun (Sacks,
2001).
b. Tipe 2: dulu dikenal sebagai DM tipe II, Non Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (NIDDM). Sekresi insulin yang abnormal dan
resistensi reseptor insulin. DM tipe 2 dibagi menjadi dua kategori,
yaitu : Non obesitas dan obesitas.
DM tipe II merupakan 90% dari kasus DM yang dulu
dikenal sebagai Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM) (Sacks, 2001). Sebagian besar diabetes tipe-2 adalah
gemuk (di negara barat sekitar 85%, di Indonesia 60%), disertai
dengan resistensi insulin, dan tidak membutuhkan insulin untuk
pengobatan. Sekitar 50% penderita sering tidak terdiagnosis karena
7
hiperglikemi meningkat secara perlahan-lahan sehingga tidak
memberikan keluhan. Walaupun demikian pada kelompok diabetes
melitus tipe-2 sering ditemukan komplikasi mikrovaskuler dan
makrovaskuler, bahkan tidak jarang ditemukan beberapa
komplikasi vaskuler sekaligus (Adam, 2000).
Diabetes ini akan menyebabkan penurunann kemampuan
insulin bekerja di jaringan perifer (Insulin Resistance) dan
disfungsi sel beta, sehingga pankreas tidak mampu memproduksi
insulin yang cukup untuk mengkompensasi Insulin Resistance.
Kedua hal ini menyebabkan terjadinya defisiensi insulin relatif
(Sacks, 2001).
c. Diabetes Gestasi: diabet yang terjadi selama kehamilan dan hilang
setelah melahirkan
d. Dua kategori gangguan metabolisme glukosa (gangguan
homeostasis glukosa) yang dipertimbangkan sebagai faktor resiko
diabetes dan penyakit kardiovaskuler di kemudian hari yaitu
Impaired Fasting Glucose (IFG) atau gangguan glukosa puasa dan
Impaired Glucose tolerance (IGT) atau gangguan toleransi
glukosa.
e. Tipe spesifik lain : mencakup beberapa tipe yaitu defek genetik
sel-β (baik fungsi sel-β maupun aksi insulin), penyakit
eksokrin pankreas, endokrinopati, infeksi, bentuk diabet yang
diperantarai sistem imun dan sindroma genetik lain.
8
2.1.5 Kriteria Diagnostik
Kriteria diagnostik menurut ADA, 1997 pada manusia ialah:
a. Kadar glukosa plasma 200 mg/dl (11,1 mmol/l) dengan adanya gejala
klasik diabetes ialah poliuri (pengeluaran urin berlebihan), polidipsi
(minum secara berlebihan, polifagi (makan secara berlebihan) dan
penurunan berat badan.
b. Kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl (7,0 mmol/l). Puasa
didefinisikan tidak adanya asupan kalori paling tidak selama 8 jam.
c. Kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl (11,1 mmol/l) selama
OGTT. Tes ini dengan menggunakan penambahan glukosa 75 g.
Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis DM
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewakru ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L).
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.
Atau
2. Gejala klasik DM
+
Kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7,0mmol/L).
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.
Atau
3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥200mg/dL (11,1 mmol/L).
TTGO dilakukan dengan standard WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan
ke dalam air.
(PERKENI, 2006)
9
Tabel 2.2 Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dL)
Bukan DM Belum pasti DM
DM
Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dL)
Plasma vena <100 100-199 ≥200
Darah kapiler <90 90-199 ≥200
Kadar glukosa darah puasa (mg/dL)
Plasma vena <100 100-125 ≥126
Darah kapiler <90 90-99 ≥100
(PERKENI, 2006)
Bagan 2.1 Alur diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa (Perkeni, 2011)
10
2.1.6 Komplikasi
Komplikasi jangka panjang pada diabetes adalah vaskulopati. Tiga
mekanisme utama gangguan vaskuler adalah : gangguan membran
basement, gangguan blood flow dan abnormalitas platelet. Penembalan
membran basement dan hilangnya perisit merupakan penyebab dini pada
komplikasi diabetes mellitus. Pada mata, hilangnya perisit dan penebalan
membran basement, dapat dilihat pada stadium dini diabetik retinopati.
Pada pasien diabetes, terjadi peningkatan agregasi sel darah merah dan
perlambatan penghancuramn agregasi. Pada penghancuran agregasi, terjadi
kerusakan vaskuler. Kerusakan sel endothelial menyebabkan peningkatan
permeabilitas vaskuler. Akibatnya terjadi mikroangiopati dan
aterosklerosis.
a) Penyakit kardiovaskuler. Penyakit kardiovaskuler merupakan
penyebab kematian tersering pada pasien diabetes. Prevalensi
coronary artery disease (CAD) pada pasien diabetes dua kali besar
dibandingkan pasien on diabetes. Onset penyakit ini lebih cepat dan
manif estasinya lebih berat. Faktor resiko terjadinya CAD meliputi :
merokok, umur, hipertensi, kadar kolesterol dan trigliserid.
11
Gambar 1. Komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler pada penderita DM
b) Penyakit ginjal. Pasien diabetes mempunyai resiko 20 kali lebih besar
untuk menderita gagal ginjal dibanding dengan populasi orang
normal. Progresivitas terjadinya nefropati diabetik berhubungan
dengan tekanan darah dan terkontrolnya kadar gula merah. Evaluasi
oleh Diabetes Control and Complication Trial menunjukan bahwa ada
hubungan antara kadar gula darah pada pasien insulin dependent
dengan timbulnya nefropati.
c) Penyakit neurology. Neuropati diabetic merupakan penyebab tersering
terjadinya neuropati perifer. Neuropati diabetic umumnya dibagi
menjadi
Symmetric distal polyneuropathy
12
Asymmetric neuropathy (cranial mononeuropathy, peripheral
neuropathy, neuromuscular syndromes)
Autonomic neuropathy
Patofisiologi terjadinya neuropati diabetic berawal dari demyelinasi
dan remyelinasi, hilangnya “endothelial cell tight junctions”,
vasculopathy endoneural dengan penebalan membrane basement.
d) Penyakit mata. Manifestasi diabetes mellitus pada mata yang tersering
adalah retinopati diabetic macular edem yang menyebabkan terjadinya
penurunan tajam penglihatan (Soegondo, 1999).
2.1.7 Penatalaksanaan
Terdapat 4 pilar dalam penatalaksanaan Diabetes mellitus :
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat).
Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
1. Obat hipoglikemik oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan
glinid
13
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan
tiazolidindion
c. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
d. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
e. DPP-IV inhibitor
A. Pemicu Sekresi Insulin
1. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan
sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan
utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang.
Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat
badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan
pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal
dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak
dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.
2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi
insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat
yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.
Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
14
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin
Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu
reseptor inti di sel otot dan sel lemak.
Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa,
sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer.
Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi
cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang
menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal
hati secara berkala.
*golongan rosiglitazon sudah ditarik dari peredaran karena
efek sampingnya.
C. Penghambat glukoneogenesis
o Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa
hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan
glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes
gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati,
serta pasienpasien dengan kecenderungan hipoksemia
15
(misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal
jantung).
Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk
mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau
sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian
metformin secara titrasi pada awal penggunaan akan
memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat
tersebut.
D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus
halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa
darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping
hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah
kembung dan flatulens.
E. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon
peptida yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini
disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke
dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat
penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi
glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh
enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-
(9,36)-amide yang tidak aktif.
16
Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang
ditujukan untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal
rasional dalam pengobatan DM tipe 2.
Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian
obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-
4), atau memberikan hormon asli atau analognya (analog
incretin=GLP-1 agonis).
Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu
menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam
konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu
merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan
glukagon.
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
o OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara
bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan
sampai dosis optimal
o Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan
o Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
o Metformin : sebelum / pada saat / sesudah makan
o Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan
pertama
o Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
17
o DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau
sebelum makan.
2. Suntikan
1. Insulin
2. Agonis GLP-1/incretin mimetic
1. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
• Penurunan berat badan yang cepat
• Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
• Ketoasidosis diabetik
• Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
• Hiperglikemia dengan asidosis laktat
• Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
• Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
• Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang
tidak terkendali dengan perencanaan makan
• Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
• Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Jenis dan lama kerja insulin
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:
• Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
• Insulin kerja pendek (short acting insulin)
• Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
18
• Insulin kerja panjang (long acting insulin)
• Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah
(premixed insulin).
Efek samping terapi insulin
• Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya
hipoglikemia.
• Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap
insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi
insulin.
Dasar pemikiran terapi insulin:
• Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi
prandial. Terapi insulin diupayakan mampu meniru pola
sekresi insulin yang fisiologis.
• Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal,
insulin prandial atau keduanya. Defisiensi insulin basal
menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa,
sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan
hiperglikemia setelah makan.
• Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan
koreksi terhadap defisiensi yang terjadi.
• Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan
glukosa darah basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat
dicapai dengan terapi oral maupun insulin. Insulin yang
19
dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal
adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau panjang).
• Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan
dapat dilakukan dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari
bila sasaran terapi belum tercapai.
• Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai,
sedangkan A1C belum mencapai target, maka dilakukan
pengendalian glukosa darah prandial (meal-related). Insulin
yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah
prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin
kerja pendek (short acting). Kombinasi insulin basal dengan
insulin prandial dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1 kali
insulin basal + 1 kali insulin prandial (basal plus), atau 1 kali
basal + 2 kali prandial (basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3
kali prandial (basal bolus).
• Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk
menurunkan glukosa darah prandial seperti golongan obat
peningkat sekresi insulin kerja pendek (golongan glinid), atau
penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen usus
(acarbose).
• Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan
kebutuhan pasien dan respons individu, yang dinilai dari hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah harian.
20
Cara Penyuntikan Insulin
• Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit
(subkutan), dengan arah alat suntik tegak lurus terhadap
cubitan permukaan kulit.
• Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena
secara bolus atau drip.
• Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin) antara
insulin kerja pendek dan kerja menengah, dengan
perbandingan dosis yang tertentu. Apabila tidak terdapat
sediaan insulin campuran tersebut atau diperlukan
perbandingan dosis yang lain, dapat dilakukan pencampuran
sendiri antara kedua jenis insulin tersebut. Teknik
pencampuran dapat dilihat dalam buku panduan tentang
insulin.
• Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara insulin
harus dilakukan dengan benar, demikian pula mengenai rotasi
tempat suntik.
• Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin,
semprit insulin dan jarumnya dapat dipakai lebih dari satu
kali oleh penyandang diabetes yang sama.
• Harus diperhatikan kesesuaian konsentrasi insulin dalam
kemasan (jumlah unit/mL) dengan semprit yang dipakai
(jumlah unit/mL dari semprit). Dianjurkan memakai
21
konsentrasi yang tetap. Saat ini yang tersedia hanya U100
(artinya 100 unit/mL).
2. Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan
pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat
bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang tidak
menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang
biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun
sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat
badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat
penglepasan glukagon yang diketahui berperan pada proses
glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti
memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang
timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.
3. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis
rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan
respons kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila
diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau
kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi
(secara terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk tablet
tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang
22
mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa
darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO
dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin.
Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana insulin
tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga
OHO dapat menjadi pilihan.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan
adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah
atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari
menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada
umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan
dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah
adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian
dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa
darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas
kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka
OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin.
2.2 Selulitis
2.2.1 Definisi
Selulitis merupakan infeksi bakterial akut pada kulit. Infeksi yang terjadi
menyebar ke dalam hingga ke lapisan dermis dan sub kutis. Infeksi ini
biasanya didahului luka atau trauma dengan penyebab tersering
Streptococcus beta hemolitikus dan Staphylococcus aureus. Pada anak usia
23
di bawah 2 tahun dapat disebabkan oleh Haemophilus influenza, keadaan
anak akan tampak sakit berat, sering disertai gangguan pernapasan bagian
atas, dapat pula diikuti bakterimia dan septikemia. Terdapat tanda-tanda
peradangan lokal pada lokasi infeksi seperti eritema, teraba hangat, dan
nyeri serta terjadi limfangitis dan sering bergejala sistemik seperti demam
dan peningkatan hitungan sel darah putih. Selulitis yang mengalami
supurasi disebut flegmon, sedangkan bentuk selulitis superfisial yang
mengenai pembuluh limfe yang disebabkan oleh Streptokokus beta
hemolitikus grup A disebut erisepelas. Tidak ada perbedaan yang bersifat
absolut antara selulitis dan erisepelas yang disebabkan oleh Streptokokus.
Sebagian besar kasus selulitis dapat sembuh dengan pengobatan antibiotik.
Infeksi dapat menjadi berat dan menyebabkan infeksi seluruh tubuh jika
terlambat dalam memberikan pengobatan.
Gambar : Anatomy of Skin and Soft Tissues and Different Types of Skin and Soft-Tissue Infection (B)
24
2.2.2 Etiologi
Penyebab selulitis paling sering pada orang dewasa adalah Staphylococcus
aureus dan Streptokokus beta hemolitikus grup A sedangkan penyebab
selulitis pada anak adalah Haemophilus influenza tipe b (Hib),
Streptokokus beta hemolitikus grup A, dan Staphylococcus aureus.
Streptococcuss beta hemolitikus group B adalah penyebab yang jarang
pada selulitis.6 Selulitis pada orang dewasa imunokompeten banyak
disebabkan oleh Streptococcus pyogenes dan Staphylococcus aureus
sedangkan pada ulkus diabetikum dan ulkus dekubitus biasanya
disebabkan oleh organisme campuran antara kokus gram positif dan gram
negatif aerob maupun anaerob. Bakteri mencapai dermis melalui jalur
eksternal maupun hematogen. Pada imunokompeten perlu ada kerusakan
barrier kulit, sedangkan pada imunokopromais lebih sering melalui aliran
darah (buku kuning). Onset timbulnya penyakit ini pada semua usia.
25
Tabel : Etiologi Soft Tissue Infection (STIs)
26
Gambar : Specific Anatomical Variants of Cellulitis and Causes of Predisposition to the Condition.
2.2.3 Epidemiologi
Selulitis dapat terjadi di semua usia, tersering pada usia di bawah 3 tahun
dan usia dekade keempat dan kelima. Insidensi pada laki-laki lebih besar
daripada perempuan dalam beberapa studi epidemiologi. Insidensi selulitis
ekstremitas masih menduduki peringkat pertama. Terjadi peningkatan
resiko selulitis seiring meningkatnya usia, tetapi tidak ada hubungan
dengan jenis kelamin.
2.2.4 Faktor predisposisi
Faktor predisposisi erisepelas dan selulitis adalah: kaheksia, diabetes
melitus, malnutrisi, disgamaglobulinemia, alkoholisme, dan keadaan yang
dapat menurunkan daya tahan tubuh terutama bila diseratai higiene yang
jelek. Selulitis umumnya terjadi akibat komplikasi suatu luka atau ulkus
27
atau lesi kulit yang lain, namun dapat terjadi secara mendadak pada kulit
yang normal terutama pada pasien dengan kondisi edema limfatik,
penyakit ginjal kronik atau hipostatik.
2.2.5 Gejala klinis
Gambaran klinis tergantung akut atau tidaknya infeksi. Umumnya semua
bentuk ditandai dengan kemerahan dengan batas jelas, nyeri tekan dan
bengkak. Penyebaran perluasan kemerahan dapat timbul secara cepat di
sekitar luka atau ulkus disertai dengan demam dan lesu. Pada keadaan
akut, kadang-kadang timbul bula. Dapat dijumpai limfadenopati
limfangitis. Tanpa pengobatan yang efektif dapat terjadi supurasi lokal
(flegmon, nekrosis atau gangren).
Selulitis biasanya didahului oleh gejala sistemik seperti demam,
menggigil, dan malaise. Daerah yang terkena terdapat 4 kardinal
peradangan yaitu rubor (eritema), color (hangat), dolor (nyeri) dan tumor
(pembengkakan). Lesi tampak merah gelap, tidak berbatas tegas pada tepi
lesi tidak dapat diraba atau tidak meninggi. Pada infeksi yang berat dapat
ditemukan pula vesikel, bula, pustul, atau jaringan neurotik. Ditemukan
pembesaran kelenjar getah bening regional dan limfangitis ascenden. Pada
pemeriksaan darah tepi biasanya ditemukan leukositosis.
Periode inkubasi sekitar beberapa hari, tidak terlalu lama. Gejala
prodormal berupa: malaise anoreksia; demam, menggigil dan berkembang
dengan cepat, sebelum menimbulkan gejala-gejala khasnya. Pasien
imunokompromais rentan mengalami infeksi walau dengan patogen yang
28
patogenisitas rendah. Terdapat gejala berupa nyeri yang terlokalisasi dan
nyeri tekan. Jika tidak diobati, gejala akan menjalar ke sekitar lesi
terutama ke proksimal. Kalau sering residif di tempat yang sama dapat
terjadi elefantiasis.
Lokasi selulitis pada anak biasanya di kepala dan leher, sedangkan pada
orang dewasa paling sering di ekstremitas karena berhubungan dengan
riwayat seringnya trauma di ekstremitas. Pada penggunaan salah obat,
sering berlokasi di lengan atas. Komplikasi jarang ditemukan, tetapi
termasuk glomerulonefritis akut (jika disebabkan oleh strain nefritogenik
streptococcus, limfadenitis, endokarditis bakterial subakut). Kerusakan
pembuluh limfe dapat menyebabkan selulitis rekurens.
29
2.2.6 Patogenesis
Bakteri patogen yang menembus lapisan luar menimbulkan infeksi pada
permukaan kulit atau menimbulkan peradangan. Penyakit infeksi sering
berjangkit pada orang gemuk, rendah gizi, kejemuan atau orang tua pikun
dan pada orang yang menderita diabetes mellitus yang pengobatannya
tidak adekuat.
30
Setelah menembus lapisan luar kulit, infeksi akan menyebar ke jaringan-
jaringan dan menghancurkannya, hyaluronidase memecah substansi
polisakarida, fibrinolysin mencerna barrier fibrin, dan lecithinase
menghancurkan membran sel.
Bakteri patogen (streptokokus piogenes, streptokokus grup A, stapilokokus aureus)
Menyerang kulit dan jaringan subkutan
Meluas ke jaringan yang lebih dalam
Menyebar secara sistemik
Terjadi peradangan akut
Eritema lokal pada kulit
Edema kemerahan
Lesi
Nyeri tekan
Kerusakan integritas kulit
Gangguan rasa nyaman dan nyeri
Gambar .Skema patogenesis
2.2.7 Diagnosa banding
Deep thrombophlebitis, dermatitits statis, dermatitis kontak, giant
urticaria, insect bite (respons hipersensitifitas), erupsi obat, eritema
nodosum, eritema migran (Lyme borreliosis), perivascular herpes zooster,
acute Gout, Wells syndrome (selulitis eosinofilik), Familial Mediterranean
31
fever-associated cellulitis like erythema, cutaneous anthrax, pyoderma
gangrenosum, sweet syndrome (acute febrile neutrophilic dermatosis),
Kawasaki disease, carcinoma erysipeloides.
2.2.8 Diagnosis
Diagnosis selulitis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
klinis. Pada pemeriksaan klinis selulitis ditemukan makula eritematous,
tepi tidak meninggi, batas tidak jelas, edema, infiltrat dan teraba panas,
dapat disertai limfangitis dan limfadenitis. Penderita biasanya demam dan
dapat menjadi septikemia.
Selulitis yang disebabkan oleh H. Influenza tampak sakit berat, toksik dan
sering disertai gejala infeksi traktus respiratorius bagian atas bakteriemia
dan septikemia. Lesi kulit berwarna merah keabu-abuan, merah kebiru-
biruan atau merah keunguan. Lesi kebiru-biruan dapat juga ditemukan
pada selulitis yang disebabkan oleh Streptokokus pneumonia Pada
pemeriksaan darah tepi selulitis terdapat leukositosis (15.000-400.000)
dengan hitung jenis bergeser ke kiri.
Gejala dan tanda SelulitisGejala prodormal : Demam, malaise, nyeri sendi dan menggigilDaerah predileksi : Ekstremitas atas dan bawah, wajah, badan dan
genitaliaMakula eritematous : Eritema cerahTepi : Batas tidak tegasPenonjolan : Tidak terlalu menonjolVesikel atau bula : Biasanya disertai dengan vesikel atau bulaEdema : EdemaHangat : Tidak terlalu hangatFluktuasi : Fluktuasi
32
Tabel: Gejala dan tanda selulitis
Pemeriksaan laboratorium sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan pada
sebagian besar pasien dengan selulitis. Seperti halnya pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan pencitraan juga tidak terlalu dibutuhkan. Pada
pemeriksaan darah lengkap, ditemukan leukositosis pada selulitis penyerta
penyakit berat, leukopenia juga bisa ditemukan pada toxin-mediated
cellulitis. ESR dan C-reactive protein (CRP) juga sering meningkat
terutama penyakit yang membutuhkan perawatan rumah sakit dalam waktu
lama. Pada banyak kasus, pemeriksaan Gram dan kultur darah tidak terlalu
penting dan efektif.
2.2.9 Pengobatan
Selulitis karena streptokokus diberi penisilin prokain G 600.000-2.000.000
IU IM selama 6 hari atau dengan pengobatan secara oral dengan penisilin
V 500 mg setiap 6 jam, selama 10-14 hari. Pada selulitis karena H.
Influenza diberikan Ampicilin untuk anak (3 bulan sampai 12 tahun) 100-
200 mg/kg/d (150-300 mg), >12 tahun seperti dosis dewasa.
Pada selulitis yang ternyata penyebabnya bukan staphylococcus aureus
penghasil penisilinase (non SAPP) dapat diberi penisilin. Pada yang alergi
terhadap penisilin, sebagai alternatif digunakan eritromisin (dewasa: 250-
500 gram peroral; anak-anak: 30-50 mg/kgbb/hari) tiap 6 jam selama 10
hari. Dapat juga digunakan klindamisin (dewasa 300-450 mg/hari PO;
anak-anak 16-20 mg/kgbb/hari). Pada yang penyebabnya SAPP selain
33
eritromisin dan klindamisin, juga dapat diberikan dikloksasilin 500
mg/hari secara oral selama 7-10 hari.
2.2.10 Komplikasi
Pada anak dan orang dewasa yang immunocompromised, penyulit pada
selulitis dapat berupa gangren, metastasis, abses dan sepsis yang berat.
Selulitis pada wajah merupakan indikator dini terjadinya bakteriemia
stafilokokus beta hemollitikus grup A, dapat berakibat fatal karena
mengakibatkan trombosis sinus cavernpsum yang septik. Selulitis pada
wajah dapat menyebabkan penyulit intrakranial berupa meningitis.
2.3 Sepsis
2.3.1 Definisi
Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi oleh karena adanya
respon tubuh yang berlebihan terhadap rangsangan produk
mikroorganisme. Ditandai dengan panas, takikardia, takipnea, hipotensi
dan disfungsi organ berhubungan dengan gangguan sirkulasi darah.
Sepsis sindroma klinik yang ditandai dengan:
Hyperthermia/hypothermia (>38°C; <35,6°C)
Tachypneu (respiratory rate >20/menit)
Tachycardia (pulse >100/menit)
>10% cell immature
Suspected infection
Biomarker sepsis (CCM 2003) adalah prokalsitonin (PcT); Creactive
Protein (CrP).
34
Derajat Sepsis
1. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), ditandai dengan .2
gejala sebagai berikut:
a) Hyperthermia/hypothermia (>38,3°C; <35,6°C)
b) Takipnea (resp >20/menit)
c) Tachycardia (nadi >100/menit)
d) Leukositosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm
e) >10% cell imature
2. Sepsis : Infeksi disertai SIRS
3. Sepsis Berat : Sepsis yang disertai MODS/MOF, hipotensi, oliguria
bahkan anuria.
4. Sepsis dengan hipotensi : Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90
mmHg atau penurunan tekanan sistolik >40 mmHg).
5. Syok septik
Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai
hipotensi yang diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat
resusitasi cairan, dan disertai hipoperfusi jaringan (Guntur, 2008).
Perbedaan Sindroma Sepsis dan Syok Sepsis
Sindroma sepsis Syok Sepsis
Takipneu, respirasi 20x/m
Takikardi 90x/m
Hipertermi 38 C
Hipotermi 35,6 C
Hipoksemia
Sindroma sepsis ditambah dengan
gejala:
Hipotensi 90 mmHg
Tensi menurun sampai 40 mmHg dari
baseline dalam waktu 1 jam
35
Peningkatan laktat plasma
Oliguria, Urine 0,5 cc/kgBB dalam 1
jam
Membaik dengan pemberian cairan
danpenyakit shock hipovolemik, infark
miokard dan emboli pulmonal sudah
disingkirkan
(Dikutip dari Glauser, 1991)
2.3.2 Epidemiologi
Dalam kurun waktu 23 tahun yang lalu bakterimia karena infeksi bakteri
gram negatif di AS yaitu antara 100.000-300.000 kasus pertahun, tetapi
sekarang insiden ini meningkat antara 300.000-500.000 kasus pertahun
(Bone 1987, Root 1991). Shock akibat sepsis terjadi karena adanya respon
sistemik pada infeksi yang seirus. Walaupun insiden shock sepsis ini tak
diketahui namun dalam beberapa tahun terakhir ini cukup tinggi Hal ini
disebabkan cukup banyak faktor predisposisi untuk terjadinya sepsis
antara lain diabetes melitus, sirhosis hati, alkoholisme, leukemia, limfoma,
keganasan, obat sitotoksis dan imunosupresan, nutrisi parenteral dan
sonde, infeksi traktus urinarius dan gastrointestinal. Di AS syok sepsis
adalah penyebab kematian yang sering di ruang ICU.
2.3.3 Etiologi
Infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, fungi atau riketsia. Respon
sistemik dapat disebabkan oleh mikroorganisme penyebab yang beredar
dalam darah atau hanya disebabkan produk toksik dari mikroorganisme
atau produk reaksi radang yang berasal dari infeksi lokal.
36
Umumnya disebabkan kuman gram negatif. Insidensnya meningkat, antara
lain karena pemberian antibiotik yang berlebihan, meningkatnya
penggunaan obat sitotoksik dan imunosupresif, meningkatnya frekuensi
penggunaan alat-alat invasive seperti kateter intravaskuler, meningkatnya
jumlah penyakit rentan infeksi yang dapat hidup lama, serta meningkatnya
infeksi yang disebabkan organisme yang resisten terhadap antibiotik.
2.3.4 Patofisiologi
Baik bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis.
Pada bakteri gram negatif yang berperan adalah lipopolisakarida (LPS).
Suatu protein di dalam plasma, dikenal dengan LBP (Lipopolysacharide
binding protein) yang disintesis oleh hepatosit, diketahui berperan penting
dalam metabolisme LPS. LPS masuk ke dalam sirkulasi, sebagian akan
diikat oleh faktor inhibitor dalam serum seperti lipoprotein, kilomikron
sehingga LPS akan dimetabolisme. Sebagian LPS akan berikatan dengan
LBP sehingga mempercepat ikatan dengan CD14.1,2 Kompleks CD14-LPS
menyebabkan transduksi sinyal intraseluler melalui nuklear factor kappaB
(NFkB), tyrosin kinase(TK), protein kinase C (PKC), suatu faktor
transkripsi yang menyebabkan diproduksinya RNA sitokin oleh sel.
Kompleks LPS-CD14 terlarut juga akan menyebabkan aktivasi intrasel
melalui toll like receptor-2 (TLR2) (Widodo, 2004).
Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri berupa
Lipoteichoic acid (LTA) dan peptidoglikan (PG) merupakan induktor
sitokin. Bakteri gram positif menyebabkan sepsis melalui 2 mekanisme:
37
eksotoksin sebagai superantigen dan komponen dinding sel yang
menstimulasi imun. Superantigen berikatan dengan molekul MHC kelas II
dari antigen presenting cells dan Vβ-chains dari reseptor sel T, kemudian
akan mengaktivasi sel T dalam jumlah besar untuk memproduksi sitokin
proinflamasi yang berlebih (Calandra, 2003).
Peran S itokin pada S epsis
Mediator inflamasi merupakan mekanisme pertahanan pejamu terhadap
infeksi dan invasi mikroorganisme. Pada sepsis terjadi pelepasan dan
aktivasi mediator inflamasi yang berlebih, yang mencakup sitokin yang
bekerja lokal maupun sistemik, aktivasi netrofil, monosit, makrofag, sel
endotel, trombosit dan sel lainnya, aktivasi kaskade protein plasma seperti
komplemen, pelepasan proteinase dan mediator lipid, oksigen dan nitrogen
radikal. Selain mediator proinflamasi, dilepaskan juga mediator
antiinflamasi seperti sitokin antiinflamasi, reseptor sitokin terlarut, protein
fase akut, inhibitor proteinase dan berbagai hormon (Widodo, 2004).
Pada sepsis berbagai sitokin ikut berperan dalam proses inflamasi, yang
terpenting adalah TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8, IL-12 sebagai sitokin
proinflamasi dan IL-10 sebagai antiinflamasi. Pengaruh TNF-α dan IL-1
pada endotel menyebabkan permeabilitas endotel meningkat, ekspresi TF,
penurunan regulasi trombomodulin sehingga meningkatkan efek
prokoagulan, ekspresi molekul adhesi (ICAM-1, ELAM, V-CAM1,
PDGF, hematopoetic growth factor, uPA, PAI-1, PGE2 dan PGI2,
pembentukan NO, endothelin-1.1 TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8 yang merupakan
38
mediator primer akan merangsang pelepasan mediator sekunder seperti
prostaglandin E2 (PGE2), tromboxan A2 (TXA2), Platelet Activating Factor
(PAF), peptida vasoaktif seperti bradikinin dan angiotensin, intestinal
vasoaktif peptida seperti histamin dan serotonin di samping zat-zat lain
yang dilepaskan yang berasal dari sistem komplemen (Nelwan, 2004).
Awal sepsis dikarakteristikkan dengan peningkatan mediator inflamasi,
tetapi pada sepsis berat pergeseran ke keadaan immunosupresi
antiinflamasi (Hotckin, 2003).
Peran K omplemen pada S epsis
Fungsi sistem komplemen: melisiskan sel, bakteri dan virus, opsonisasi,
aktivasi respons imun dan inflamasi dan pembersihan kompleks imun dan
produk inflamasi dari sirkulasi. Pada sepsis, aktivasi komplemen terjadi
terutama melalui jalur alternatif, selain jalur klasik. Potongan fragmen
pendek dari komplemen yaitu C3a, C4a dan C5a (anafilatoksin) akan
berikatan pada reseptor di sel menimbulkan respons inflamasi berupa:
kemotaksis dan adhesi netrofil, stimulasi pembentukan radikal oksigen,
ekosanoid, PAF, sitokin, peningkatan permeabilitas kapiler dan ekspresi
faktor jaringan (Widodo, 2004).
Peran NO pada S epsis
NO diproduksi terutama oleh sel endotel berperan dalam mengatur tonus
vaskular. Pada sepsis, produksi NO oleh sel endotel meningkat,
menyebabkan gangguan hemodinamik berupa hipotensi. NO diketahui
juga berkaitan dengan reaksi inflamasi karena dapat meningkatkan
39
produksi sitokin proinflamasi, ekspresi molekul adhesi dan menghambat
agregasi trombosit. Peningkatan sintesis NO pada sepsis berkaitan dengan
renjatan septik yang tidak responsif dengan vasopresor (Widodo, 2004).
Peran N etrofil pada S epsis
Pada keadaan infeksi terjadi aktivasi, migrasi dan ekstravasasi netrofil
dengan pengaruh mediator kemotaktik. Pada keadaan sepsis, jumlah
netrofil dalam sirkulasi umumnya meningkat, walaupun pada sepsis berat
jumlahnya dapat menurun. (Widodo, 2004). Netrofil seperti pedang
bermata dua pada sepsis. Walaupun netrofil penting dalam mengeradikasi
kuman, namun pelepasan berlebihan oksidan dan protease oleh netrofil
dipercaya bertanggungjawab terhadap kerusakan organ. (Hotckin, 2003).
Terdapat 2 studi klinis yang menyatakan bahwa menghambat fungsi
netrofil untuk mencegah komplikasi sepsis tidak efektif, dan terapi untuk
meningkatkan jumlah dan fungsi netrofil pada pasien dengan sepsis juga
tidak efektif (Hotckin, 2003).
Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena kuman Gram negatif yang
menyebabkan kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil Gram negatif ini
menyebabkan vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan pintas
arteriovena perifer.
Selain itu, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan kapasitas
vaskuler karena vasodilatasi perifer meyebabkan terjadinya hipovolemia
relatif, sedangkan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan
kehilangan cairan intravaskular ke interstisial yang terlihat sebagai edema.
40
Pada syok sepsis hipoksia, sel yang terjadi tidak disebabkan oleh
penurunan perfusi jaringan melainkan karena ketidakmampuan sel untuk
menggunakan oksigen karena toksin kuman (anonim, 2008).
Berlanjutnya proses inflamasi yang maladaptive akan menhyebabkan
gangguan fungsi berbagai organ yang dikenal sebagai disfungsi/gagal
organ multiple (MODS/MOF). Proses MOF merupakan kerusakan (injury)
pada tingkat seluler (termasuk disfungsi endotel), gangguan perfusi ke
organ/jaringan sebagai akibat hipoperfusi, iskemia reperfusi, dan
mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang ikut berperan adalah terdapatnya
faktor humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant substance),
malnutrisi kalori-protein, translokasi toksin bakteri, gangguan pada
eritrosit, dan efek samping dari terapi yang diberikan (Khei Chen, 2006).
2.3.5 Gejala klinik
1. Fase dini: terjadi deplesi volume, selaput lendir kering, kulit
lembab dan kering.
2. Post resusitasi cairan: gambaran klinis syok hiperdinamik:
takikardia, nadi keras dengan tekanan nadi melebar, precordium
hiperdinamik pada palpasi, dan ekstremitas hangat.
3. Disertai tanda-tanda sepsis.
4. Tanda hipoperfusi: takipnea, oliguria, sianosis, mottling, iskemia
jari, perubahan status mental.
41
Bila ada pasien dengan gejala klinis berupa panas tinggi, menggigil,
tampak toksik, takikardia, takipneu, kesadaran menurun dan oliguria harus
dicurigai terjadinya sepsis (tersangka sepsis).
Pada keadaan sepsis gejala yang nampak adalah gambaran klinis keadaan
tersangka sepsis disertai hasil pemeriksaan penunjang berupa lekositosis
atau lekopenia, trombositopenis, granulosit toksik, hitung jenis bergeser ke
kiri, CRP (+), LED meningkat dan hasil biakan kuman penyebab dapat (+)
atau (-).
Keadaan syok sepsis ditandai dengan gambaran klinis sepsis disertai
tanda-tanda syok (nadi cepat dan lemah, ekstremitas pucat dan dingin,
penurunan produksi urin, dan penurunan tekanan darah).
Gejala syok sepsis yang mengalami hipovolemia sukar dibedakan dengan
syok hipovolemia (takikardia, vasokonstriksi perifer, produksi urin < 0,5
cc/kgBB/jam, tekanan darah sistolik turun dan menyempitnya tekanan
nadi). Pasien-pasien sepsis dengan volume intravaskuler normal atau
hampir normal, mempunyai gejala takikardia, kulit hangat, tekanan sistolik
hampir normal, dan tekanan nadi yang melebar.
Perubahan hemodinamik
Tanda karakteristik sepsis berat dan syok-septik pada awal adalah
hipovolemia, baik relatif (oleh karena venus pooling) maupun absolut
(oleh karena transudasi cairan). Kejadian ini mengakibatkan status
hipodinamik, yaitu curah jantung rendah, sehingga apabila volume
intravaskule adekuat, curah jantung akan meningkat. Pada sepsis berat
42
kemampuan kontraksi otot jantung melemah, mengakibatkan fungsi
jantung intrinsik (sistolik dan diastolik) terganggu.
Meskipun curah jantung meningkat (terlebih karena takikardia daripada
peningkatan volume sekuncup), tetapi aliran darah perifer tetap berkurang.
Status hemodinamika pada sepsis berat dan syok septik yang dulu dikira
hiperdinamik (vasodilatasi dan meningkatnya aliran darah), pada stadium
lanjut kenyataannya lebih mirip status hipodinamik (vasokonstriksi dan
aliran darah berkurang).
Tanda karakterisik lain pada sepsis berat dan syok septik adalah gangguan
ekstraksi oksigen perifer. Hal ini disebabkan karena menurunnya aliran
darah perifer, sehingga kemampuan untuk meningkatkan ekstraksi oksigen
perifer terganggu, akibatnya VO2 (pengambilan oksigen dari
mikrosirkulasi) berkurang. Kerusakan ini pada syok septic dipercaya
sebagai penyebab utama terjadinya gangguan oksigenasi jaringan.
Karakteristik lain sepsis berat dan syok septik adalah terjadinya
hiperlaktataemia, mungkin hal ini karena terganggunya metabolisme
piruvat, bukan karena dys-oxia jaringan (produksi energi dalam
keterbatasan oksigen) (Guntur, 2008).
2.3.6 Diagnosis
Diagnosis awal sepsis atau syok septik tergantung pada kepekaan dokter
untuk menilai pasien dengan dan tanda awal yang tidak spesifik seperti
takipnnea, dispnea, takikardia dengan keadaan hiperdinamik, vasodilatasi
perifer, instabilitas tempratur, dan perubahan keadaan mental. Keadaan
43
seperti ini penting di perhatikan pada seperti pada wanita – wanita dengan
resiko tinggi seperti pyelonefritis, korioamnionitis, endometritis, abortus
septik, atau telah menjalani prosudur operasi emergensi. Diagnosa dan
penanganan awal ini sangat menentukan keberhasilan hidup pasien.
Tanda yang tampak tergantung dari fase syok septik dan tipe kerusakan
organ yang terjadi, tetapi hipotensi selalu ditemukan. Kebanyakan pasien
mengalami peningkatan temperatur dan lekosit dengan pergeseran ke kiri,
tetapi pada beberapa pasien terjadi penurunan temperatur dan kadar
leukosit dibawah normal. Sebagai akibat dari keadaan hiperdinamik
jantung, terjadi gejala gejala pada jantung seperti iskemia, gagal jantung
kiri, atau aritmia. Konsekuansi klinik dari DIC adalah perdarahan,
trombosis dan hemolisis mikroangiopati. Karena pada syok sepsis potensi
terjadinya disfungsi ginjal dan hipovulemia, manifestasi klinik dapat
berupa oligouria, hematuria dan proteinuria.
Dalam hal membantu menegakkan diagnosa sepsis atau syok septik, selain
melalui pemeriksaan fisik, juga diperlukan pemeriksaan rongen dan kultur.
Dua kuman yang sangat virulen dengan angka mortalitas yang tinggi
adalah Streptokokus pyogens ( group A streptokokus ) dan Clostridium
Sordeli.
2.3.7 Penatalaksanaan
Dalam melakukan evaluasi pasien sepsis, diperlukan ketelitian dan
pengalaman dalam mencari dan menentukan sumber infeksi, menduga
patogen yang menjadi penyebab (berdasarkan pengalaman klinis dan pola
44
kuman di RS setempat), sebagai panduan dalam memberikan terapi
antimikroba empirik.
Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencakup eliminasi patogen
penyebab infeksi, mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase
atau bedah bila diperlukan, terapi antimikroba yang sesuai, resusitasi bila
terjadi kegagalan organ atau renjatan. Vasopresor dan inotropik, terapi
suportif terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi
imunologi bila terjadi respons imun maladaptif host terhadap infeksi.
1. Resusitasi
Mencakup tindakan airway (A), breathing (B), circulation (C) dengan
oksigenasi, terapi cairan (kristaloid dan/atau koloid),
vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan. Tujuan resusitasi
pasien dengan sepsis berat atau yang mengalami hipoperfusi dalam 6
jam pertama adalah CVP 8-12 mmHg, MAP >65 mmHg, urine >0.5
ml/kg/jam dan saturasi oksigen >70%. Bila dalam 6 jam resusitasi,
saturasi oksigen tidak mencapai 70% dengan resusitasi cairan dengan
CVP 8-12 mmHg, maka dilakukan transfusi PRC untuk mencapai
hematokrit >30% dan/atau pemberian dobutamin (sampai maksimal 20
μg/kg/menit).
Banyak pasien syok sepsis terjadi penurunan volume intravaskuler,
sebagai respon pertama harus diberikan cairan jika terjadi penurunan
tekanan darah. Untuk mencapai cairan yang adekuat pemberian
pertama 1 L-1,5 L dalam waktu 1-2 jam. Jika tekanan darah tidak
45
membaik dengan pemberian cairan maka perlu dipertimbangkan
pemberian vasopressor seperti dopamin dengan dosis 5-10
ug/kgBB/menit. Dopamin diberikan bila sudah tercapai target terapi
cairan, yaitu MAP 60mmHg atau tekanan sistolik 90-110 mmHg.
Dosis awal adalah 2-5 μmg/Kg BB/menit. Bila dosis ini gagal
meningkatkan MAP sesuai target, maka dosis dapat di tingkatkan
sampai 20 μg/ KgBB/menit. Bila masih gagal, dosis dopamine
dikembalikan pada 2-5 μmg/Kg BB/menit, tetapi di kombinasi dengan
levarterenol (noreepinefrin). Bila kombinasi kedua vasokonstriktor
masih gagal, berarti prognosisnya buruk sekali. Dapat juga diganti
dengan vasokonstriktor lain (fenilefrin atau epinefrin)
2. Eliminasi sumber infeksi
Tujuan: menghilangkan patogen penyebab, oleh karena antibiotik pada
umumnya tidak mencapai sumber infeksi seperti abses, viskus yang
mengalami obstruksi dan implan prostesis yang terinfeksi. Tindakan
ini dilakukan secepat mungkin mengikuti resusitasi yang adekuat.
3. Terapi antimikroba
Merupakan modalitas yang sangat penting dalam pengobatan sepsis.
Terapi antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak
diketahui sepsis berat, setelah kultur diambil. Terapi inisial berupa
satu atau lebih obat yang memiliki aktivitas melawan patogen bakteri
atau jamur dan dapat penetrasi ke tempat yang diduga sumber sepsis.
Oleh karena pada sepsis umumnya disebabkan oleh gram negatif,
46
penggunaan antibiotik yang dapat mencegah pelepasan endotoksin
seperti karbapenem memiliki keuntungan, terutama pada keadaan
dimana terjadi proses inflamasi yang hebat akibat pelepasan
endotoksin, misalnya pada sepsis berat dan gagal multi organ.
Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam
berdasarkan data mikrobiologi dan klinis. Sekali patogen penyebab
teridentifikasi, tidak ada bukti bahwa terapi kombinasi lebih baik
daripada monoterapi.
Indikasi terapi kombinasi yaitu:
Sebagai terapi pertama sebelum hasil kultur diketahui
Pasien yang dapat imunosupresan, khususnya dengan netropeni
Dibutuhkan efek sinergi obat untuk kuman yang sangat pathogen
(pseudomonas aureginosa, enterokokus)
4. Terapi suportif
a. Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai
dengan penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat,
ventilasi mekanik segera dilakukan.
b. Terapi cairan
Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid
(NaCl 0.9% atau ringer laktat) maupun koloid.
47
Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan
hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi
albumin perlu diberikan.
Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan aktif
atau bila kadar Hb rendah pada kondisi tertentu, seperti
pada iskemia miokard dan renjatan septik. Kadar Hb yang
akan dicapai pada sepsis masih kontroversi antara 8-10
g/dL.
c. Vasopresor dan inotropic
Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan
pemberian cairan adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi.
Vasopresor diberikan mulai dosis rendah dan dinaikkan (titrasi)
untuk mencapai MAP 60 mmHg atau tekanan darah sistolik
90mmHg. Dapat dipakai dopamin >8μg/kg.menit,norepinefrin
0.03-1.5μg/kg.menit, phenylepherine 0.5-8μg/kg/menit atau
epinefrin 0.1-0.5μg/kg/menit. Inotropik dapat digunakan:
dobutamine 2-28 μg/kg/menit, dopamine 3-8 μg/kg/menit,
epinefrin 0.1-0.5 μg/kg/menit atau fosfodiesterase inhibitor
(amrinone dan milrinone).
d. Bikarbonat
Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau serum
bikarbonat <9 mEq/L dengan disertai upaya untuk memperbaiki
keadaan hemodinamik.
48
e. Disfungsi renal
Akibat gangguan perfusi organ. Bila pasien hipovolemik/hipotensi,
segera diperbaiki dengan pemberian cairan adekuat, vasopresor
dan inotropik bila diperlukan. Dopamin dosis renal (1-3
μg/kg/menit) seringkali diberikan untuk mengatasi gangguan
fungsi ginjal pada sepsis, namun secara evidence based belum
terbukti. Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat
dilakukan hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu.
f. Nutrisi
Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan produksi (glikolisis,
glukoneogenesis), ambilan dan oksidasinya pada sel, peningkatan
produksi dan penumpukan laktat dan kecenderungan hiperglikemia
akibat resistensi insulin. Selain itu terjadi lipolisis,
hipertrigliseridemia dan proses katabolisme protein. Pada sepsis,
kecukupan nutrisi: kalori (asam amino), asam lemak, vitamin dan
mineral perlu diberikan sedini mungkin.
g. Kontrol gula darah
Terdapat penelitian pada pasien ICU, menunjukkan terdapat
penurunan mortalitas sebesar 10.6-20.2% pada kelompok pasien
yang diberikan insulin untuk mencapai kadar gula darah antara 80-
110 mg/dL dibandingkan pada kelompok dimana insulin baru
diberikan bila kadar gula darah >115 mg/dL. Namun apakah
pengontrolan gula darah tersebut dapat diaplikasikan dalam
49
praktek ICU, masih perlu dievaluasi, karena ada risiko
hipoglikemia.
h. Gangguan koagulasi
Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya gangguan
koagulasi dan DIC (konsumsi faktor pembekuan dan pembentukan
mikrotrombus di sirkulasi). Pada sepsis berat dan renjatan, terjadi
penurunan aktivitas antikoagulan dan supresi proses fibrinolisis
sehingga mikrotrombus menumpuk di sirkulasi mengakibatkan
kegagalan organ. Terapi antikoagulan, berupa heparin, antitrombin
dan substitusi faktor pembekuan bila diperlukan dapat diberikan,
tetapi tidak terbukti menurunkan mortalitas.
Untuk masa mendatang pengobatan dengan antibodi monoklonal
merupakan harapan dan diharapkan dapat menurunkan biaya
pengobatan dan dapat meningkatkan efektifitas. Pada binatang
percobaan pemberian TNF antibodi hanya efektif bila diberikan
sebagai profilak. Suatu studi preklinik dengan antibodi CB0006
dan TNF antibodi lainnya dapat digunakan sebagai profilak dan
mungkin juga dapat digunakan untuk pengobatan walaupun
terapeutic window-nya sempit. Pemberian HA-1A Human
monoclonal antibody sebaiknya dipertimbangkan pada pasien
sepsis yang penyebabnya dicurigai bakteri Gram negative,
terutama pada sumber infeksi saluran cerna dan saluran kemih
yang sering disebabkan kuman Gram negatif (Mansjoer, 2001).
50
i. Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal.
Hidrokortison dengan dosis 50 mg bolus IV 4x/hari selama 7 hari
pada pasien dengan renjatan septik menunjukkan penurunan
mortalitas dibandingkan kontrol. Keadaan tanpa syok,
kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan dalam terapi sepsis.
Pemberian kortikosteroid pada binatang percobaan yang dibuat
sepsis dapat menurunkan angka mortalitas. Pada suatu studi
prospektif pada manusia pemberian dosis tinggi 30 mg metil
prednisolon/kgBB dan diikuti 5 mg/kgBB/jam sampai 9 jam pada
ke dua studi ini tidak didapatkan peningkatan angka mortalitas
(Root, 1991). Pada penelitian yang lain juga didapatkan hasil yang
sama dan hanya dapat memperbaiki keadaan shock tetapi tidak
memperbaiki angka mortalitas (Sprung,1984; Bone, 1987;
Hinshaw 1987; Cohen, 1991).
5. Modifikasi respons inflamasi
Anti endotoksin (imunoglobulin poliklonal dan monoklonal, analog
lipopolisakarida); antimediator spesifik (anti-TNF, antikoagulan-
antitrombin, APC, TFPI; antagonis PAF; metabolit asam arakidonat
(PGE1), antagonis bradikinin, antioksidan (N-asetilsistein, selenium),
inhibitor sintesis NO (L-NMMA); imunostimulator (imunoglobulin,
IFN-γ, G-CSF, imunonutrisi); nonspesifik (kortikosteroid,
51
pentoksifilin, dan hemofiltrasi). Endogenous activated protein C
memainkan peranan penting dalam sepsis: inflamasi, koagulasi dan
fibrinolisis. Drotrecogin alfa (activated) adalah nama generik dari
bentuk rekombinan dari human activated protein C yang diindikasikan
untuk menurunkan mortalitas pada pasien dengan sepsis berat dengan
risiko kematian yang tinggi.
2.3.8 Komplikasi
Komplikasi dapat berupa:
Multiple Organ Failure
DIC
Respirotary Distr.Syndrome
Acute Renal Failure
Hepatobilier disfunction
Central Nervous System Disf..
FDP≥ 1:40 atau D-dimers ≥2,0 dengan
rendahnya
platelet
Memanjangnya waktu:
- protrombin
- partial thromboplastin
- Perdarahan
Hipoksemia
Kreatinin > 2,0 ug/dl
Na. Urin 40 mmol/L
Kelainan prerenal sudah disingkirkan
Bil.>34 umol/L (2,0 mg/dL)
Harga alk. Fosfatase, SGOT, SGPt dua kali
harga
normal
GCS < 15
52
2.3.9 Prognosis
Keseluruhan angka kematian pada pasien dengan syok septik menurun dan
sekarang rata-rata 40% (kisaran 10 to 90%, tergantung pada karakteristik
pasien). Hasil yang buruk sering mengikuti kegagalan dalam terapi agresif
awal (misalnya, dalam waktu 6 jam dari diagnosa dicurigai). Setelah laktat
asidosis berat dengan asidosis metabolik decompensated menjadi mapan,
terutama dalam hubungannya dengan kegagalan multiorgan, syok septik
cenderung ireversibel dan fatal.
53
BAB 3
KESIMPULAN
Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang dapat menimbulkan
berbagai komplikasi yang sangat memengaruhi kualitas hidup penyandangnya
sehingga perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak. Sampai saat ini
memang belum ditemukan cara atau pengobatan yang dapat menyembuhkannya
diabetes secara menyeluruh. Namun, diabetes dapat dikendalikan, dengan cara :
diet, olahraga dan dengan menggunakan obat antidiabetik. Harus selalu ditetapkan
target yang akan dicapai sebelum memulai pengobatan. Hal ini bertujuan untuk
mengetahui keberhasilan pengobatan dan penyesuaian regimen terapi sesuai
kebutuhan. Pengobatan Diabetes sangat spesifik dan individual untuk masing-
masing pasien. Modifikasi gaya hidup sangat penting, tidak hanya untuk
mengontrol kadar glukosa darah namun bila diterapkan secara umum diharapkan
dapat menurunkan prevalensi diabetes melitus baik di Indonesia maupun di dunia.
Selulitis merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri
Streptoccocus dan S. aureus, yang menyerang jaringan subkutis dan daerah
superfisial. Faktor resiko untuk terjadinya infeksi ini adalah trauma lokal (robekan
kulit), luka terbuka di kulit atau gangguan pada pembuluh balik (vena) maupun
pembuluh getah bening. Daerah predileksi yang sering terkena yaitu wajah, badan,
genitalia, dan ekstremitas atas dan ekstremitas bawah. Pada pemeriksaan klinis
selulitis: adanya makula erimatous, tepi tidak meninggi, batas tidak jelas, edema,
infiltrat dan teraba panas. Diagnosis penyakit ini dapat ditegakkan berdasarkan
54
anamnesis dan gambaran klinis. Penanganan perlu memperhatikan faktor
predisposisi dan komplikasi yang ada.
Pada sepsis angka kejadian, angka kematian dan komplikasinya masih
cukup tinggi walaupun telah didapatkan kemajuan teknologi kedokteran dalam
usaha penanganan sepsis. Patogenesis sepsis masih belum jelas benar dan masih
banyak kontroversi dalam pemahaman tentang terjadinya sepsis. Diagnosis sepsis
dibuat dengan ditemukannya dua atau lebih manifestasi respons inflamasi
sistemik dan ditemukannya kecurigaan terjadinya infeksi. Beberapa pemeriksaan
penunjang seperti tes prokalsitonin, tes Limulus dan glukan berguna untuk
menunjang diagnosis dan menilai prognosis. Penanganan sepsis meliputi
pengobatan baku (cairan, antibiotika, vasoaktif/inotropik, dll), kontroversial dan
masa depan (AT III, imunoglobulin, anti TNF, dll). Saat ini masih dilakukan
berbagai penelitian masa depan terutama dalam usaha menurunkan angka
mortalitas sepsis dan komplikasinya
55
DAFTAR PUSTAKA
Ardjo SM, Diabetes melitus. Dalam : UnderstandingOcular Diabetic – Basic Science, Clinical Aspects and Didactic Course. FKUI,Jakarta, 1999,h 53-9.
Askandar, tjokroprawiro. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Diabetes Melitus.
Bloch RS, Henkind L. Ocular manifestation of endocrine and metabolic diseases. Dalam : Tasman W, Jaeger EA. Duane’s clinical ophthalmology. Lippincot – raven, Philadelphia, 1997,h : 1-21.
Bone et al. Sepsis and multiple organ failure . The 12th Asia Pacific congress on diseases of the chest Seul,1992:8-18
Bone et.al. A controlled clinical trial of high dose methylprednisolone in the treatment of severe sepsisand septic shock. The NEJM 317: 653-658
Cohen, Glauser. Septic shock: treatment. Lancet, 1991 338:736-739
Concheiro J, Loureiro M, González-Vilas D, et al. 2009. Erysipelas and cellulitis: a retrospective study of 122 cases. 100(10): 888-94
Darmono, Status Glikemi dan Komplikasi Vaskuler Diabetes Mellitus dalam Naskah lengkap Kongres Nasional V Persatuan Diabetes Indonesia (Persadia) dan Pertemuan Ilmiah Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni), Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2002 ; 57 – 68
Diabetic Foot Care. Last Up Date : 2000. Available from file : A:Diabetic Foot Care-Diabetes.htm
Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2008
Dobb G. Multiple organ failure, words mean what I say they mean, in intensive care word, 1991 8(4):157-159
Eichenholtz SN. Charcot joints. Springfield, Ill.: Thomas, 1999
Exley, Cohen. Monoclonal antibody to TNF in severe septic shock. Lancet, 1990 335 :1275-1277
Fitzpatrick, Thomas B. Dermatology in General Medicine, seventh edition. New York: McGrawHill: 2008
56
Glauser et al. Septic Shock: pathogenesis. Lancet 1991, 338: 732-736
Herchline TE. 2011. Cellulitis. Wright State University, Ohio, United State of America.
Hinshaw et al. The Effect of high dose glucorticoid therapy on mortality in patients with clinical signs of systemic sepsis. The NEJM, 1987 317:659-665
McNamara DR, Tleyjeh IM, Berbari EF, et al. 2007. Incidence of lower extremity cellulitis: a population based stud in Olmsted county, Minnesota. 82(7):817-21
Morris, AD. 2008. Cellulitis and erysipelas. University Hospital of Wales,Cardiff, UK. 1708
Pemayun T G D, Gambaran Makro dan Mikroangiopati Diabetik di Poliklinik Endokrin, dalam Naskah lengkap Kongres Nasional V Persatuan Diabetes Indonesia (Persadia) dan Pertemuan Ilmiah Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni), Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2002 ; 87 – 97.
Pandaleke, HEJ. Erisipelas dan selulitis. Fakultas kedokteran Universitas Samratulangi; Manado. Cermin Dunia Kedokteran No. 117, 1997
Parillo et al. Septic shock in humans. Annals of internal medicine, 1991,113: 227242 Petersdorf RG. An Approach to infectious disease, in Principles of internal medicine. 12th ed. New York: McGraw Hill, 1991: 757-764
Perkeni. 2011. Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2.
Preventive Foot Care in People with Diabetes in American Diabetes Association. Clinical Practice Recommendation 2002. Diabetes Care, Volume 25, Suplemen 1, January 2003; page 78 - 79.
Root, Jacobs. Septicemia and septic shock, in principles o finternal medicine. 12th ed. New York: McGraw Hill, 1991:502-507
Schon LC, Easley ME, Weinfeld SB. Charcot neuroarthropathy of the foot and ankle. Clin Orthop. 1998;349:116–31
Scope Management of type 2 diabetes : prevention and management of Foot problems. Diabetes Care, Volume 25, June 2002;S 1085 - 1094. available at http://www.nice.org.uk/nicemedia/pdf/footcare_scope.pdf
57
Soegondo S, Diabetes Melitus. Klasifikasi dan diagnosis baru dan penatalaksanaan di Indonesia, sub bagian endokrin, bagian Ilmu Penyakit Dalam FK-UI/RSCM, Jakarta.
Sprung et al. The effect of high dose corticosteroid in pateint white septic shock. The NEJM, 1984 311:1137-1143
58