4. BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN -...
Transcript of 4. BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN -...
31
4. BAB IV
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Proses Adopsi Teknologi
4.1.1 Teknologi yang Diadopsi
Pada tahun 2014 Grup PT. Pasti Sukses
membuka unit pabrik baru dengan mengadopsi
teknologi terbaru. Adapun teknologi yang digunakan
pada unit adalah sebagai berikut:
• Mesin Auto Spreading • Mesin Auto Cutter • Mesin Auto Sewing CNC • Mesin Bobok Kantong
Sebagai informasi, proses produksi pada
industri garment dimulai dari proses pembuatan pola.
Pola tersebut dibuat dengan software khusus dengan
memperhitungkan rasio dari panel dan jumlah order
yang turun untuk suatu ukuran. Panel sendiri adalah
bagian-bagian dari garment, yang nantinya akan
digabungkan untuk membentuk sebuah garment.
Panel tersebut bisa berupa panel body, panel lengan
dan lain sebagainya. Masing-masing panel memiliki
ukuran yang berbeda-beda dan kebutuhan kuantitas
yang berbeda-beda. Misal, ketika pada musim tersebut
order untuk jaket berukuran L lebih banyak daripada
ukuran S, maka panel yang perlu dibuat untuk ukuran
32
L harus lebih banyak dari pada panel berukuran S.
Oleh karena itu, proses pembuatan pola harus benar-
benar memperhatikan jumlah panel agar jumlah
potongan material yang dihasilkan sesuai dengan
kebutuhan produksi.
Setelah pola dibuat dengan panjang dan lebar
gelaran yang telah ditentukan sebelumnya, kain
digelar sesuai dengan panjang dan lebar tersebut. Pada
proses ini mesin auto spreading digunakan. Dengan
menggunakan mesin ini, gelaran kain dapat dilakukan
dengan akurat dan termonitor. Setelah gulungan kain
diletakkan pada mesin, mesin akan berjalan secara
otomatis menggelar kain sesuai ukuran yang sudah
ditentukan, dan memotong ujung kain untuk membuat
gelaran berikutnya. Pada proses tersebut, mesin auto
spreading dapat menggelar sampai habis kain yang
ada pada gulungan, atau menggelar dengan jumlah
lapisan yang sudah ditentukan. Jumlah lapisan dan
ukuran kain yang digelar perlu sekali dimonitor untuk
mendeteksi bila diperlukan perubahan pola terkait
perubahan order atau kesalahan dalam pembuatan
pola.
Kain yang telah digelar tersebut, selanjutnya
dipotong dengan menggunakan mesin auto cutter.
Gambar pola yang telah dibuat sebelumnya, diinput
kedalam mesin, selanjutnya mesin akan memotong
33
gelaran kain sesuai dengan pola yang telah dibuat
sebelumnya. Setelah melalui proses tersebut, potongan
kain yang saat ini disebut panel, didistribusikan ke
bagian sewing untuk disatukan menjadi pieces
garmen. Pada proses sewing, terdapat proses-proses
yang sederhana namun berulang, seperti membuat
quilting. Quilting adalah teknik menjahit dengan
membagi sebuah panel besar menjadi bagian-bagian
panel kecil untuk disatukan kembali menjadi panel
besar tersebut sehingga memberi kesan
menggembung. Model pakaian yang menggunakan
teknik quilting biasanya pakaian-pakaian outer yang
digunakan pada cuaca dingin. Dengan adanya mesin
auto sewing CNC, proses quilting dapat dilakukan
dengan cepat. Bila sebelumnya proses quilting
dilakukan oleh manusia, maka dengan mesin tersebut,
operator hanya perlu meletakkan panel di atas mesin,
lalu menekan satu tombol agar mesin menjahit panel
tersebut sesuai dengan pola yang telah dibuat
sebelumnya. Sehingga panel tersebut bisa dapat segera
disatukan melalui proses jahit manual. Proses lain
yang diotomatisasi dengan teknologi tinggi adalah
proses pembuatan kantong. Proses pembuatan kantong
yang sebelumnya dilakukan secara manual, yaitu
membuat potongan, dan menjahit kain interlining atau
34
bagian dalam kantong, dapat dilakukan secara
otomatis dalam satu proses.
Meski mesin-mesin tersebut dikatakan
sebagai mesin-mesin otomatis, dalam
pengoperasiannya mesin tersebut masih memerlukan
campur tangan manusia. Pemaknaan dari otomatis
tersebut tidak dapat disandingkan dengan mesin-mesin
berteknologi advance seperti pada industri otomotif di
mana campur tangan manusia sangat sedikit
dibutuhkan dalam pengoperasiannya.
Kalau di garment kan setau ibu belum ada mesin yang pakai robot kayak di industri otomotif misalnya, si operator cukup jalankan dan awasi mesin, semua sudah jalan sendiri. Kalau di garment secanggih-canggihnya mesin masih butuh dioperasikan oleh manusianya ... … dalam mengoperasikan mesin-mesin tersebut tetap butuh kedisiplinan, semakin kompleks mesin yang dijalankan justru harus semakin tinggi kedisiplinannya, …
(N2) Berangkat dari pernyataan tersebut, maka
dapat dikatakan teknologi yang diadopsi pada industri
ini tidak dapat berjalan optimal tanpa kedisiplinan
yang baik dari operatornya.
4.1.2 Pengambilan Keputusan Adopsi Teknologi
Dalam dinamika difusi inovasi Grup PT.
Pasti Sukses dapat dikelompokkan dalam kategori
early adopter yang artinya, mereka mengadopsi
35
teknologi lebih awal dari pada para kompetitor pada
bidang industri ini. Hal ini diperkuat oleh pernyataan
partisipan sebagai berikut.
… pengalaman Ibu di garment sudah 16 tahun, tempat kita ini termasuk paling cepat dalam mengadopsi teknologi. Ada yang baru apa, sekiranya masuk hitungan, langsung dibeli, jadi bukan kita ikut-ikutan pabrik lain, tapi pabrik lain yang belajar dari kita.
(N2) Kecepatan dalam mengadopsi teknologi
sendiri dipengaruhi oleh keluasan akses dari teknologi
itu sendiri.
… mesin-mesin baru tersebut bisa dapat dari supplyer yang kasih demo, atau dari pameran industri garment, …
(N2) Sementara itu pengambilan keputusan untuk
mengadopsi teknologi banyak dipengaruhi oleh
pengalaman-pengalaman organisasi di masa lalu.
Dalam kasus ini, proses pengambilan keputusan
adopsi teknologi didasarkan pada beberapa faktor
seperti dikutip dari pernyataan partisipan berikut ini.
Buyer ga pernah tuntut kita untuk pakai mesin apa, ya memang ada buyer yang semacam itu, tapi tidak dengan buyer kita, mereka bebaskan kita pakai mesin apa aja, asal hasil yang dicapai sesuai dengan standar mereka…. … Standar produktivitas kalau menurut buyer kan kualitas, kuantitas, sama ketepatan waktu… kualitas sama kuantitas kadang
36
berseberangan, teknologi tadi yang menjembatani.
(N2) Pertimbangannya ya beli mesin-mesin itu inves Mas, apalagi style nya udah kebaca di depan, unit kita bakal banyak ngerjain outer sama pants, beli mesin yang bisa fleksibel untuk ngerjain style-style itu.
(N5) Dari pernyataan tersebut, standar produk
yang ditetapkan oleh buyer menjadi faktor yang
mempengaruhi keputusan adopsi teknologi.
4.1.3 Ekspektasi Manfaat dari Adopsi Teknologi
Pengambilan keputusan investasi teknologi
pastilah didasarkan pada ekspektasi capaian manfaat
di masa mendatang. Untuk menghasilkan produk yang
sama dalam jumlah yang banyak, ketepatan kualitas
menjadi isu penting. Produk garmen yang dihasilkan
haruslah seragam hingga ke setiap detailnya, bahkan
sama dengan standar kualitas produk yang ditetapkan
buyer. Untuk itu teknologi diadopsi untuk mengurangi
kemungkinan kesalahan dalam menciptakan produk
yang tepat secara kualitas.
… kualitas sama kuantitas kadang berseberangan, teknologi tadi yang menjembatani.
(N2)
Di samping itu, efisiensi menjadi isu penting
dalam pencapaian produk yang berkualitas. Efisiensi
sendiri dapat berupa menghemat waktu atau
37
menghemat tenaga kerja untuk mendapatkan hasil
yang sama.
… Kapasitas naik, jumlah orang turun,
cycletime jadi singkat, …
(N1)
… dulu proses itu dikerjakan 4-5 orang, sekarang dikerjakan 1 orang saja sudah cukup, dari sisi efisiensi, kita berhemat waktu dan hemat orangnya. Kalau dikerjakan 5 orang kan jadi muncul transfer timenya juga ...
(N2) Selanjutnya, untuk menghadapi datangnya
order yang berbeda-beda pada setiap musimnya, maka
teknologi yang diadopsi harus tetap fleksibel.
Fleksibel di sini artinya, meski mesin tersebut mampu
menghasilkan produk yang berkualitas secara efisien,
mesin tersebut haruslah tetap dapat dioperasikan
dalam mengerjakan style apapun.
… style-style yang memiliki kemiripan tersebut dibelikan mesin- mesin spesial untuk menghemat waktu dan tenaga kerja …
(N2) Yang terakhir, capaian manfaat diharapkan
dengan pengadopsian teknologi tersebut, adalah
kemudahan dalam pengoperasian. Sehingga dapat
mengurangi learning time, atau memungkinkan
perusahaan untuk merekrut karyawan non-skill.
... Aku jadi ga butuh karyawan ber-skill. (N1)
38
… yang gampang diterapkan Mas, kalau sulit sama aja malah ga ada gunanya … … kalau sulit kan anak-anak malah pada ga mau pakai …
(N2)
Sebagai upaya untuk memenuhi standar
buyer seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
teknologi diadopsi dengan harapan memberikan
manfaat berupa ketepatan kualitas, efisiensi,
fleksibilitas, dan kemudahan dalam pengoperasiannya.
4.1.4 Proses Pelembagaan Teknologi
Seperti dijelaskan sebelumnya, dalam setiap
adopsi teknologi yang dilakukan, proses pelembagaan
mutlak perlu dilakukan. Menciptakan suatu kesamaan
tujuan dan ekspektasi antara manajemen dan operator
menjadi hal penting agar teknologi dapat diterima dan
dimanfaatkan sesuai dengan tujuannya. Proses
pelembagaan dilakukan dengan cara-cara mimetis dan
normatif melalui metode training dan penggunaan
aturan-aturan dalam menjalankan operasional.
Sebelum unit baru dibuka, karyawan sudah terlebih
dahulu dipekerjakan pada unit yang sudah ada
sebelumnya. Selama masa tersebut, karyawan tidak
hanya dilatih cara-cara menggunakan teknologi atau
pelaksanaan tata pengelolaannya. Perilaku dan pola
pikirnya juga dibentuk agar sesuai dengan etika kerja
yang berlaku di perusahaan selama mereka berada
39
pada unit yang telah ada sebelumnya. Dengan cara
tersebut diharapkan unit yang baru tersebut dapat lebih
matang dan lebih cepat memberikan hasil ketika mulai
beroperasi nantinya.
4.2 Hambatan yang Terjadi pada Proses Adopsi
Teknologi
Dalam usaha untuk mencapai hasil yang
diharapkan pada dua tahun pertamanya, terdapat
beberapa hambatan yang harus dihadapi oleh PT. Pasti
Sukses dalam proses adopsi teknologi. Meskipun
persiapan telah dilakukan sebaik mungkin, hambatan
muncul ketika implementasi dilakukan di lapangan.
Partisipan level operator menjelaskan, permasalahan
teknis, seperti kualitas kelistrikan yang buruk.
Kalau dulu karena listrik Mas, pernah juga karena kesalahan kita sih, namanya juga lagi belajar, tapi kebanyakan karena listrik. Sekarang udah ga pernah.
(N3)
Di samping itu, menurut partisipan level
operator, dukungan dari vendor mesin masih terbatas
bila teknologi benar-benar baru turut menyumbang
faktor penghambat adopsi teknologi.
Masalahnya kalau rusak ya lama perbaikannya Mas. Kan pada ga tau ya rusaknya apa. Teknisinya kadang juga bingung rusaknya apa.
(N4)
40
Sementara itu pada partisipan level
supervisor dan manajemen, rendahnya kedisiplinan
karyawan dianggap sebagai penghambat proses adopsi
yang dilakukan.
… sebenarnya udah pada bisa (disiplin), tapi ya itu Mas, harus diinget-ingetin terus biar pada stabil outputnya. … Auditor udah disebar ke mana-mana, tetep aja susah Mas.
(N5)
… mesin kita kan bukan full otomatis, masih ada pengaruh manusianya, jadi kadang hasil yang dicapai ga bisa stabil.
(N2)
Mereka susah diiket, kerja suka-suka … … Susah buat ikut aturan. Lha wong mereka terbiasa kerja suka-suka kok…
(N1) Terakhir, luasnya pekerjaan yang diberikan
pada level supervisor disebut menjadi penghambat
proses adopsi teknologi.
… Kita kadang overload Mas, anak-anak musti diawasi bener baru bisa output bagus, sementara kadang kita diundang meeting sama produksi, meeting sama buyer, meeting temuan-temuan reject, nanti ditinggal sebentar udah kacau lagi.
(N4) Dari pernyataan-pernyataan tersebut dapat
difaktorkan penghambat adopsi teknologi yang terjadi
pada objek penelitian yaitu, permasalahan kesiapan
infrastruktur, dukungan dari vendor yang masih
41
terbatas, rendahnya kedisiplinan, dan lemahnya
pengawasan akibat desain pekerjaan yang terlalu luas,
seperti digambarkan pada Tabel 3 sebagai berikut.
Tabel 3. Faktor Penghambat Adopsi Teknologi
Jenis Hambatan Permasalahan
Ditemukan pada N 1
N 2
N 3
N 4
N 5
M M O O S Eksternal Kualitas kelistikan ✓ ✓ Eksternal Dukungan vendor ✓ ✓ Internal Rendahnya
kedisiplinan ✓ ✓ ✓
Internal Lemahnya pengawasan ✓
4.3 Kegagalan pada Dua Tahun Pertama
Kegagalan pada dua tahun pertama adopsi
teknologi ditandai dengan buruknya capaian profit
seperti yang telah digambarkan pada Gambar 1.1.
Meski target capaian profit sudah dibuat senyata
mungkin dengan disesuaikan dengan kondisi di
lapangan, hasil yang didapat dari operasional unit baru
tersebut masih jauh dari target yang ditetapkan.
Sebanyak 12.000 karyawan menempati unit
baru sejak akhir tahun 2014, dan mengoperasikan
mesin-mesin terbaik pada waktu itu. Pengalaman
mengelola industri apparel selama lebih dari 30 tahun
membawa optimisme akan pencapaian profit sesuai
dengan target yang telah ditetapkan. Ketersediaan
42
karyawan baru yang masih muda dengan keterbukaan
terhadap teknologi, mentorship dari unit-unit lain yang
telah berpengalaman, mesin-mesin terbaru dengan
teknologi yang lebih maju, dan seperangkat sistem tata
kelola yang sudah mapan menciptakan asumsi bahwa
unit tersebut akan sukses, karena formula yang sama
telah diterapkan pada unit-unit pendahulunya.
Namun, apa yang terjadi di lapangan tidaklah
sama dengan asumsi manajemen. Seiring dengan
berjalannya waktu, berbagai penghambat seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya muncul dan menciptakan
hasil yang tidak pernah diduga sebelumnya. Di antara
faktor-faktor penghambat tersebut, masalah
kedisiplinan menjadi perhatian dalam penelitian ini.
Seperti dijelaskan oleh partisipan, penggunaan
teknologi pada industri garmen masih bergantung
pada kedisiplinan operatornya. Otomatisasi yang
dilakukan sebatas hanya penyederhanaan proses.
Sementara itu ketrampilan operator masih sangat
diperlukan untuk menghasilkan produk yang stabil
dari sisi kualitas.
Fenomena ketidakdisiplinan ini dipahami
sebagai suatu bentuk resistensi. Karyawan pada level
operator telah mendapatkan pembekalan yang
berlangsung selama masa trainingnya. Pelatihan yang
dilakukan di unit sebelumnya, seharusnya
43
memberikan hasil berupa karyawan siap kerja dengan
pola pikir dan perilaku yang serupa dengan unit
tempat di mana dia dilatih. Namun, pada
kenyataannya resistensi muncul ketika mereka
ditempatkan di unit yang baru, di mana unit yang baru
tersebut berdekatan dengan lokasi tempat tinggal
mereka. Salah satu partisipan berpendapat kondisi
alam di lokasi tersebut telah membentuk pola pikir
yang begitu kuat terlembaga.
Pola pikir mereka beda. Maaf ya sebelumnya, daerah sini daerah kering, tapi banyak sawah. Artinya apa? Di sini daerah tadah hujan. Kalau tadah hujan, berarti mereka bekerja cuma 3-4 bulan dalam setahun sebagai petani, sisanya kerja serabutan mereka. Akibatnya apa? Itu udah ketanem dipikiran mereka. Trus pas pabrik dibuka, dimodel cara kerja kayak pabrik ga bisa. Mereka susah diiket, kerja suka-suka. … Susah buat ikut aturan. Lha wong mereka terbiasa kerja suka-suka kok…
(N1)
Usaha manajemen untuk melembagakan
prinsip-prinsip yang berlaku pada karyawan secara
mimetis tidak berhasil dilakukan. Karyawan menjadi
resisten terhadap usaha-usaha perusahaan untuk
merubah kebiasaan mereka. Perilaku resisten ini
terlihat dari fenomena keberanian karyawan untuk
melanggar peraturan perusahaan demi menghindari
sanksi-sanksi sosial yang ditetapkan masyarakat.
44
Misal, ketika waktu panen tiba, acara keagamaan dan
adat setempat, serta ketika ada acara hajat kerabat
jauh, karyawan nekat tidak masuk meskipun izin tidak
diberikan karena tidak dilakukan secara prosedural.
Karyawan yang melanggar peraturan perusahaan
sendiri diberikan sanksi mulai dari teguran hingga
pemutusan hubungan kerja. Usaha manajemen untuk
menertibkan karyawan malah mengakibatkan turnover
karyawan menjadi tinggi. Jumlah karyawan terus
menerus menurun seperti digambarkan dalam Gambar
4.1.
Gambar 4 4.1 Grafik Turnover Profile Agustus 2014-Agustus 2017 PT. Pasti Sukses
Gambar 4.1 Grafik Turnover Profile Agustus 2014 – Agustus 2017
PT. Pasti Sukses
Keputusan yang diambil oleh manajemen
dengan memberlakukan sanksi tegas pada karyawan
yang tidak disiplin menimbulkan masalah baru.
Banyaknya karyawan yang keluar tidak dapat
diimbangi dengan pelamar yang berminat untuk
02000400060008000
100001200014000
1408
1411
1502
1505
1508
1511
1602
1605
1608
1611
1702
1705
1708
TurnoverProfile
45
bergabung dengan PT. Pasti Sukse. Akibatnya banyak
dari mesin-mesin produksi yang tidak dioperasikan.
Hal ini jelas memperparah kerugian yang harus
ditanggung oleh unit. Seperti digambarkan pada
Gambar 4.2, capaian pendapatan setiap mesin tidak
mampu mencapai targetnya.
Gambar 5 4.2 Grafik Daily Earning per Maching April 2016 - April 2017 PT. Pasti Sukses
Gambar 4.2 Grafik Daily Earning per Machine April 2016 – April
2017 PT. Pasti Sukses
Meski capaian pendapatan buruk, partisipan
pada level manajemen tetap optimis bahwa adopsi
teknologi yang dilakukan berhasil atau sedang dalam
proses menuju keberhasilan.
Kalau dibilang berhasil, bisa dikatakan sedang dalam proses. Ya kalau dinilai mungkin sudah 80%an lah.
(N1)
Sejauh yang Ibu lihat berhasil kok, cuman ya itu masalahnya, mesin kita kan bukan full
-
5.00
10.00
15.00
20.00
Apr'16
May'16
Jun'16
Jul'16
Aug'16
Sep'16
Oct'16
Nov'16
Dec'16
Jan'17
Feb'17
Mar'17
Apr'17
DailyEarning/Machine
Earning Target
46
otomatis, masih ada pengaruh manusianya, jadi kadang hasil yang dicapai ga bisa stabil.
(N2) Namun mereka tidak menampik adanya
unexpected result dari proses adopsi teknologi yang
dilakukan. Ketika peneliti mengajukan pertanyaan
apakah masalah kedisiplinan telah diduga akan pernah
memberikan dampak terhadap adopsi teknologi hingga
seperti ini, partisipan menjawab, sama sekali tidak
terduga seperti kutipan di bawah ini.
Ga sama sekali. Baru kejadian di sini. (N1)
Iya Mas, semakin ke sini baru sadar Mas. (N2)
Berdasarkan temuan-temuan yang didapatkan
dari lapangan, dapat disimpulkan bahwa unexpected
result terjadi pada proses adopsi teknologi yang
dilakukan di salah satu unit PT. Pasti Sukses.
4.4 Unexpected Result pada Awal Dua Tahun Pertama
Dalam konteks kelembagaan, diyakini setiap
keputusan yang diambil di hari ini adalah hasil
bentukan dari pengalaman-pengalaman yang terjadi di
masa lalu. Pengalaman PT. Pasti Sukses telah
membawanya kepada keputusan mengadopsi
teknologi, dimana telah terbentuk pola pikir, ketika
mereka mengadopsi suatu teknologi, maka akan
mendapatkan produk berkualitas dengan mudah,
47
efisien, dan fleksibel bila digunakan kembali, hingga
pada akhirnya didapatkan manfaat ekonomis dari
mesin tersebut. Namun, kenyataannya capaian
manfaat ekonomis tidak sesuai target yang diharapkan.
Narasumber dari level manajemen, tetap optimis
bahwa mereka mampu mencapai profit yang
diharapkan, hanya saja waktu yang mereka butuhkan
lebih dari target yang ditentukan. Masalah-masalah
yang dihadapi oleh manajemen dipandang sebagai
sesuatu yang tidak terduga, namun masih dihadapi
dengan optimisme. Sementara itu, cara-cara yang
mereka pakai belum membuahkan hasil yang sesuai
karena hambatan-hambatan seperti digambarkan Tabel
3.
Faktor-faktor eksternal dan internal yang
menjadi hambatan pada dua tahun pertama dapat
disebut sebagai bagian dalam proses learning time.
Namun tidak selalu hambatan tersebut dapat diatasi
dengan mudah. Hambatan yang bersifat teknis dapat
dengan mudah dihadapi, seperti masalah infrastruktur
yang dapat segera diatasi dengan pembenahan
infrastruktur. Sementara itu dukungan dari vendor
yang buruk juga dapat segera diatasi seiring dengan
berjalannya waktu. Pengalaman narasumber pada
level manajemen dan supervisor dalam menghadapi
masalah ini membuat mereka tidak
48
mempermasalahkan hambatan-hambatan yang bersifat
teknis. Berarti faktor historikal terbukti memberi
pengaruh seorang aktor dalam memandang sebuah
fenomena.
Sementara itu, hambatan di luar hal teknis
seperti masalah kedisiplinan dan sistem pengawasan
bagi manajemen dipandang sebagai sebuah masalah
besar. Kelembagaan yang tertanam, melihat tidak ada
masalah dengan cara mereka menanamkan 59-nilai
kedisiplinan, dan sistem pengawasan yang mereka
bangun. Masalah ini menjadi hal yang unexpected
terlebih ketika masalah-masalah ini memberi dampak
negatif pada capaian profit. Dari hasil wawancara
yang dilakukan, tersirat adanya ketidakterdugaan atas
perilaku resisten yang terjadi pada karyawan. Sanksi
sanksi yang diberikan untuk mendisiplinkan karyawan
malah membuat karyawan memilih untuk
meninggalkan perusahaan, yang artinya kegagalan
pelembagaan terjadi selepas masa training dilakukan.
Seharusnya pada masa training, para
karyawan mengalami proses unfreeze, dan move dari
kelembagaan yang telah mereka bawa ke kelembagaan
baru yang telah disesuaikan dengan kebutuhan
perusahaan. Kemudian, kelembagaan baru tersebut di-
refreeze sebelum mereka kembali bekerja, dan diawasi
dengan sistem pengendalian yang telah disusun
49
sebelumnya (Dent dan Goldberg, 1999). Namun, pada
kenyataannya dengan adanya kedekatan para
karyawan dengan lokasi pembentuk kelembagaan
yang telah ada sebelumnya, proses refreeze yang
dilakukan gagal. Kelembagaan bentukan perusahaan
menjadi kehilangan pengaruhnya dalam membentuk
perilaku dan pola pikir.
Setiap kelembagaan memiliki logika yang
berbeda-beda dalam memandang suatu tindakan yang
diwujudkan melalui prinsip-prinsip yang nampak pada
kelembagaan tersebut (Thornton, Ocasio dan
Lounsbury 2012). prinsip-prinsip kelembagaan yang
ada pada lembaga industri berbeda dengan prinsip-
prinsip kelembagaan ada pada lembaga pertanian.
Pada lembaga industri, kelembagaan didasarkan pada
capaian profit, dan menuntut perilaku dengan
kedisiplinan tinggi. Nilai-nilai kedisiplinan itu
mungkin berbeda dengan nilai-nilai kedisiplinan pada
lembaga pertanian. Gesekan-gesekan yang terjadi
antara kedua kelembagaan tersebut muncul ketika
karyawan dihadapkan pada dua pilihan, mengikuti
peraturan perusahaan namun mendapatkan sanksi
sosial dari lingkungannya, atau sebaliknya.
Pada penelitian ini, ditemukan sebagian besar
karyawan lebih memilih menghindari sanksi sosial
lingkungannya daripada mengikuti aturan-aturan
50
perusahaan. Sejalan dengan pernyataan Kraatz dan
Block (2008) mengenai pluralitas logika, masyarakat
modern dihadapkan pada sebuah pluralitas logika
yang mengharuskan dirinya untuk bertukar peran dan
logika ketika harus berada dalam lingkungan yang
berbeda seperti lingkungan kerja, lingkungan
masyarakat, dan lingkungan keagamaan. Tuntutan
kelembagaan industri dan kelembagaan lain yang telah
ada sebelumnya memicu pertentangan yang kuat bagi
para karyawan. Mekanisme normatif yang dilakukan
oleh perusahaan dalam hal ini dianggap memberikan
tekanan terlalu kuat bagi karyawan.
Kesuksesan pada waktu-waktu lampau juga
memberikan dampak pada keputusan manajemen.
Dalam permasalahan yang mereka hadapi, manajemen
tetap optimis bahwa mereka dalam kondisi baik-baik
saja. Desain pekerjaan pada level supervisor tidak
berubah, meski dikeluhkan pengawasan terhadap
kedisiplinan operator kurang. Desain yang mereka tiru
dari unit lain dianggap tetap sesuai dalam kondisi
mereka saat itu. Baik manajemen maupun karyawan
saling memaksakan tuntutan akan logika yang
dibangun oleh dua kelembagaan yang bertentangan.
Akibatnya, jurang kesenjangan antara kelembagaan
yang tertanam pada karyawan dan manajemen
menjadi semakin dalam (Thornton, Ocasio dan
51
Lounsbury 2012). Sementara itu harapan untuk
mencipta keseragaman dalam usaha meningkatkan
produktivitas menjadi semakin sulit diraih. Temuan ini
sendiri mendukung pernyataan DiMaggio dan Powell
(1983) yang menyebutkan, sebagai usaha untuk
meningkatkan efisiensi organisasi akan
mengesampingan keberagaman melalui proses
penyeragaman dalam berbagai cara, dan penelitian ini
menunjukkan kegagalan proses penyeragaman
memberi dampak negatif pada organisasi.
4.5 Akhir Dua Tahun Pertama
Masalah tersebut pada akhirnya mencapai
titik balik. Usaha untuk bangkit dilakukan oleh PT.
Pasti Sukses. Belajar dari pengalaman yang mereka
alami tersebut membawa mereka untuk melakukan
beberapa pembenahan antara lain dengan mengganti
jajaran manajemen, dan memberikan kesempatan bagi
karyawan yang telah keluar untuk kembali bergabung.
Sistem pengawasan juga dibenahi, sehingga pada
akhirnya turnover karyawan dapat ditekan, dan jumlah
karyawan tidak terus menerus mengalami penurunan,
namun dapat stabil pada angka 4000an. Profit yang
didapatkan berangsur-angsur meningkat bahkan
mampu menembus angka yang ditargetkan.
Pengalaman historikal yang dialami oleh PT.
Pasti Sukses memberikan sumbangsih baru dalam
52
kelembagaan yang ada pada diri PT. Pasti Sukses.
Sumbangsih tersebut berupa pengalaman bahwa cara-
cara yang biasa mereka gunakan dan berhasil kadang
harus disesuaikan dengan kondisi sosial sesuai dengan
konteks kelembagaan tempat di mana mereka berada.
Pengetahuan tersebut pada akhirnya mendorong
dirinya untuk melakukan perbaikan di masa
selanjutnya (Markvart, 2009) melalui sebuah
perubahan institusional. Perubahan institusional yang
dilakukan oleh manajemen PT. Pasti Sukses dipicu
oleh faktor eksternal yaitu kondisi situasi sosial
masyarakat. Dengan menambahkan aspek kondisi
situasi sosial masyarakat sebagai salah satu aspek
yang dipertimbangkan menempatkan unit usaha baru
juga dapat menjadi pelajaran yang dapat diambil
dalam kasus ini. Unit-unit yang ada sebelumnya
mungkin memiliki kecocokan karakteristik dengan
kelembagaan yang telah terbentuk, sehingga unit-unit
lain dapat menghadapi masa learning time dengan
lebih baik dengan segala keterdugaan manajemen.
Namun sebaliknya, pada kondisi situasi sosial dengan
karakteristik yang bertentangan dengan kelembagaan
perusahaan, masa learning time akan menjadi berat
dan penuh dengan unexpected result. Meyer (dalam
Smet, Greenwod dan Lounsbury, 2015) menyatakan,
guncangan eksternal dapat melemahkan kelembagaan,