4. Bab 1 Sampai Bab 5
-
Upload
ismail-andi-baso -
Category
Documents
-
view
242 -
download
0
Transcript of 4. Bab 1 Sampai Bab 5
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
1/101
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Tuberkulosis sudah ada sejak ribuan tahun sebelum
masehi. Menurut hasil penelitian, penyakit Tuberkulosis sudah ada
sejak zaman Mesir kuno yang dibuktikan dengan penemuan pada
mumi dan penyakit ini juga sudah ada pada kitab pengobatan Cina
pen tsao sekitar 5000 tahun yang lalu. Pada tahun 1882 ilmuan
Robert Koch berhasil menemukan kuman Tuberkulosis yang
merupakan penyebab penyakit ini (Widoyono, 2008).
Pada tahun 1995, WHO memperkirakan terdapat 9 juta
penduduk dunia terserang Tuberkulosis dengan kematian 3 juta orang
per tahun. Di Negara-negara berkembang kematian TBC merupakan
25% dari seluruh kematian yang sebenarnya dapat dicegah.
Diperkirakan 95% penderita TBC berada di Negara berkembang, 75 %
penderita TBC adalah kelompok usia produktif (15-50 tahun).
Munculnya endemik HIV/AIDS di dunia, diperkirakan penderita TBC
akan meningkat (Depkes RI, 2002).
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan
masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3
terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien
sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. Diperkirakan pada
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
2/101
2
tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian
101.000 orang. Insiden kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000
penduduk (Depkes RI, 2008).
Seseorang terinfeksi penyakit Tuberkulosis dipengaruhi oleh
berbagai faktor antara lain umur, jenis kelamin, pekerjaan, perilaku,
keadaan sosial ekonomi masyarakat yaitu kemiskinan, kekurangan
gizi, rendahnya latar belakang pendidikan (buta huruf), kepadatan
penduduk serta lingkungan rumah. (Misnadiarly, 2006). Akan tetapi
faktor-faktor yang berperan paling penting pada insidensi kejadian
Tuberkulosis adalah lingkungan rumah, karena lingkungan rumah
merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar
terhadap status kesehatan penghuninya (Notoatmodjo, 2003).
Penyakit TBC tergolong penyakit rakyat. Lebih banyak
masyarakat kurang mampu yang diserangi basil TBC dibandingkan
dengan masyarakat mampu. Biasanya masyarakat yang hidupnya
berdesak-desakan, rumah yang padat, tidak ada ventilasi udara, dan
kurang cahaya matahari, basil TBC gemar bersarang di lingkungan
yang seperti itu, basil TBC bertebaran dalam udara. Tua, muda,
besar, kecil dapat dimasuki basil ini (Sistem Informasi TBC, 2008).
Menurut J.A Salvato dalam buku Lubis menyatakan bahwa
akibat perumahan yang tidak sehat akan menyebabkan angka
kesakitan Tuberkulosis 8 kali lebih tinggi dan angka kematian 8,6 kali
lebih tinggi dibanding dengan perumahan sehat (Lubis, 1989).
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
3/101
3
Data penderita Tuberkulosis di wilayah Provinsi Kalimantan
Timur pada tahun 2007 berjumlah 1.889 orang, kemudian penderita
Tuberkulosis meningkat pada tahun 2008 menjadi 1.993 orang (P2M
Dinas Kesehatan Propinsi. Kaltim, 2007-2008).
Di Kota Samarinda pada tahun 2007 jumlah penderita
Tuberkulosis Paru BTA positif sebanyak 333 orang. Sedangkan pada
tahun 2008 terjadi peningkatan yang cukup tinggi, kasus penderita
Tuberkulosis BTA positif sebanyak 455 orang (P2M Dinas Kesehatan
Kota Samarinda, 2007-2008).
Kecamatan Sungai Kunjang merupakan salah satu dari 6
Kecamatan yang ada di Kota Samarinda dan menjadi urutan kedua
dalam jumlah kasus Tuberkulosis Paru BTA positif pada tahun 2008
yakni 68 penderita. Puskesmas Wonorejo adalah salah satu
Puskesmas yang ada di wilayah Kecamatan Sungai Kunjang dan
menjadi urutan terbanyak penderita Tuberkulosis BTA positif dari 3
Puskesmas di wilayah Kecamatan Sungai Kunjang. Selama 2 tahun
terakhir mempunyai kecendrung peningkatan kasus Tuberkulosis Paru
BTA positif. Pada tahun 2007 ada 9 penderita Tuberkulosis Paru BTA
positif dan pada tahun 2008 terjadi peningkatan kasus sebesar 30
penderita(Register TBC Puskesmas Wonorejo, 2007-2008).
Peneliti melakukan penelitian pada penderita TB Paru BTA
positif di Puskesmas Wonorejo karena peneliti melihat bahwa
Puskesmas Wonorejo berada pada letak yang sangat strategis
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
4/101
4
membuat masyarakat mudah mengakses Pelayanan Kesehatan
Masyarakat tersebut, sehingga banyak dari masyarakat diluar wilayah
kerja Puskesmas Wonorejo berobat di Puskesmas Wonorejo.
Setelah melakukan observasi pada daerah Puskesmas
Wonorejo Kecamatan Sungai Kunjang saya melihat lingkungan
pemukiman masyarakat sangat padat didaerah tersebut. Banyak gang-
gang kecil yang didalamnya terdapat rumah warga, sehingga rumah
warga tersebut menjadi gelap karena diapit oleh bangunan atau rumah
warga lain yang lebih besar. Kondisi rumah tempat tinggal penderita
Tuberkulosis paru BTA positif kebanyakan adalah rumah non
permanen dimana dinding dan lantai terbuat dari kayu serta memiliki
ruangan yang tidak mendapatkan pencahayaan yang cukup, ini
dikarenakan ventilasi yang tidak memenuhi syarat atau tidak
digunakan dengan baik. Pencahayaan dari sinar matahari yang tidak
memadai membuat tempat tinggal mereka menjadi lembab dan gelap.
Bakteri Mycobacterium Tuberculosis seperti halnya bakteri lain
pada umumnya, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan
kelembaban yang tinggi. Menurut Nooatmodjo (2003), kelembaban
udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-
bakteri patogen termasuk tuberkulosis.
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang hubungan kondisi rumah terhadap kejadian
Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah Kerja Puskesmas Wonorejo
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
5/101
5
Samarinda tahun 2009, sejauh mana kondisi rumah mempengaruhi
kejadian penyakit Tuberkulosis.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah apakah ada hubungan kondisi rumah tentang
kepadatan penghuni, ventilasi, pencahayaan, suhu dan kelembaban
rumah terhadap kejadian Tuberkulosis BTA positif di Wilayah Kerja
Puskesmas Wonorejo Samarinda tahun 2009?.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan kondisi rumah terhadap
kejadian Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah Kerja Puskesmas
Wonorejo Samarinda tahun 2009.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan kepadatan
penghuni terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif di
Wilayah Kerja Puskesmas Wonorejo Samarinda tahun 2009.
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
6/101
6
b. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan ventilasi terhadap
kejadian Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah Kerja
Puskesmas Wonorejo Samarinda tahun 2009.
c. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan pencahayaan
terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah
Kerja Puskesmas Wonorejo Samarinda tahun 2009.
d. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan suhu rumah
terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah
Kerja Puskesmas Wonorejo Samarinda tahun 2009.
e. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan kelembaban
rumah terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif di
Wilayah Kerja Puskesmas Wonorejo Samarinda tahun 2009.
D. Manfaat penelitian
1. Manfaat bagi Peneliti
Merupakan pengalaman berharga dan menambah wawasan
serta pengetahuan peneliti tentang hubungan kondisi rumah
dengan kejadian Tuberkulosis Paru BTA positif.
2. Manfaat bagi Institusi terkait
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan
dalam Program Penanggulangan penyakit Tuberkulosis Paru, serta
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
7/101
7
sebagai salah satu sumber informasi bagi penentu kebijakan dan
pelaksanaan program di Depkes dalam rangka perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi program TB paru.
3. Manfaat bagi masyarakat
Memberikan informasi dan menambah wawasan masyarakat
tentang penyakit menular agar masyarakat mendapat pemahaman
yang benar tentang penyakit TB Paru / TBC, sehingga masyarakat
dapat mencegah terjadinya penyakit TBC.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tuberkulosis Paru Bakteri Tahan Asam (BTA) Positif
1. Pengertian
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis).
Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya. Tuberkulosis Paru adalah
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
8/101
8
Tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru tidak
termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus (Depkes RI,
2008).
Kuman Mycobacterium Tuberculosis pada penderita TB paru
dapat terlihat langsung dengan mikroskop pada sedian dahaknya
(BTA positif) dan sangat infeksius. Sedangkan penderita yang
kumannya tidak dapat dilihat langsung dengan mikroskop pada
sedian dahaknya (BTA negatif) dan sangat kurang menular.
Penderita TB BTA positif mengeluarkan kuman-kuman di udara
dalam bentuk droplet yang sangat kecil pada saat bersin atau
batuk. Droplet yang mengandung kuman ini dapat terhisap orang
lain. Jika kuman tersebut sudah menetap dalam paru orang yang
menghirupnya, kuman mulai membelah diri (berkembang biak) dan
terjadi infeksi. Orang yang serumah dengan penderita TB BTA
positif adalah orang yang besar kemungkinannya terpapar kuman
Tuberkulosis (Notoatmodjo, 2007).
2. Kuman Tuberkulosis
Kuman penyebab Tuberkulosis ini berbentuk batang ramping
lurus atau sedikit bengkok dengan kedua ujungnya membulat.
Koloninya yang kering dengan permukaan berbentuk bunga kol dan
berwarna kuning tumbuh secara lambat walaupun dalam kondisi
normal. Diketahui bahwa pH optimal untuk pertumbuhannya adalah
antara 6,8 sampai dengan 8,0. Untuk memelihara virulensinya
harus dipertahankan kondisi pertumbuhannya pada pH 6,8.
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
9/101
9
Sedangkan untuk merangsang pertumbuhannya dibutuhkan
karbondioksida dengan kadar 5-10%. Umumnya koloni baru
Nampak setelah kultur berumur 14-28 hari, tetapi biasanya harus
ditunggu sampai berumur 8 minggu.
Mycobacterium Tuberculosis memproduksi katalase, tetapi
ia akan berhenti memproduksi bila dipanaskan pada suhu 65oC
selama 20 menit dalam kadar fosfat. Mycobacterium Tuberkulosis
yang resisten terhadap obat anti Tuberkulosis INH, tidak
memproduksi katalase. Kuman ini tahan asam pada pewarnaan
dan berukuran kira-kira 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron (Misnadiarly,
2006).
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
10/101
10
3. Gejala dan Tanda Penyakit Tuberkulosis
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan
yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan
lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,
berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih
dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula
pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis
kronis, asma, kanker paru dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di
Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke
UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang
tersangka (suspek) pasien TB dan perlu dilakukan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis langsung (Depkes RI, 2008).
4. Penularan penyakit Tuberkulosis
Kebanyakan penularan penyakit Tuberkulosis ini melalui
inhalasi kuman Tuberkulosis yang terdapat di udara. Pada
perjalanannya kuman ini banyak mengalami hambatan antara lain
di hidung (terhambat oleh bulu hidung) dan lapisan lendir yang
melapisi seluruh saluran pernafasan dari atas sampai ke kantong
alveoli.
Bila penderita baru pertama kali ketular kuman Tuberkulosis
ini, terjadilah suatu proses dalam tubuhnya (paru-paru) yang
disebut Primary Complex of Tuberkulosis (PCT). PCT ini terdiri dari
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
11/101
11
fokus di paru-paru dimana terjadi eksudasi dari sel karena proses
dimakannya kuman Tuberkulosis oleh sel macropag.
Lesi dapat terjadi pada kelenjar getah bening, yang
disebabkan karena lepasnya kuman pada saluran lymphe. Proses
pemusnahan kuman TB oleh macropag ini akhirnya akan
menimbulkan kekebalan spesifik terhadap kuman Tuberkulosis.
PCT dapat terjadi pada semua umur. Di negara dimana
prevalensi TB tinggi kebanyakan anak-anak sudah terinfeksi oleh
penyakit Tuberkulosis pada tahun-tahun pertama dari
kehidupannya. Namun yang kemudian menjadi penyakit TBC
sedikit saja.
Selanjutnya ada 2 kemungkinan yang terjadi menyusul
pembentukan PCT ini, yaitu:
a. Dapat sembuh dengan sendirinya karena adanya proses
penutupan fokus primer oleh kapsul membran yang akhirnya
akan terjadi perkapuran.
b. Beberapa kuman akan ikut terlepas ke dalam pembuluh
darah dan dapat berkembang menginfeksi organ-organ yang
terkena. Infeksi yang demikian disebut Post Primary
Tuberkulosis (PTT). PTT ini akan dapat berupa: Infeksi pada
paru-paru, larynx dan telinga tengah, kelenjar getah bening
dileher, saluran pencernaan dan lubang dubur, saluran kemih,
tulang dan sendi.
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
12/101
12
Kontak serumah dengan penderita TBC merupakan salah
satu faktor risiko terjadinya TBC. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa kontak erat dengan penderita TBC BTA positif mempunyai
risiko maksimum untuk infeksi.
Berdasarkan penelitian Salehuddin, 2002 di Kabupaten
Maros, responden pada penderita yang memiliki riwayat kontak
serumah dengan penderita TBC sebanyak 69,2% dan yang tidak
memiliki riwayat kontak serumah dengan penderita TBC sebanyak
30,8%.
5. Penemuan penderita penyakit Tuberkulosis
Tujuan penemuan kasus adalah untuk menentukan sumber
infeksi dalam masyarakat yang berarti mencari orang yang
mengeluarkan basis Tuberkulosis untuk diobati. Penemuan
penderita pada orang dewasa dilaksakan secara pasif, artinya
penyaringan penderita tersangka TB Paru yang dilaksakan pada
mereka yang datang ke unit pelayanan kesehatan, ini sangat
dipengaruhi oleh faktor individu penderita untuk berkunjung ke
pelayanan kesehatan. Kegiatan ini harus didukung oleh penyuluhan
secara aktif baik oleh petugas kesehatan maupun oleh masyarakat
untuk meningkatkan cakupan penemuan, cara ini disebut passive
promotive case finding. Semua tersangka penderita harus diperiksa
3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari berturut-turut. Penemuan
penderita pada anak sebagian besar didasarkan pada gambaran
klinis, foto rontgen dan uji tuberculin (Depkes, RI 2002)
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
13/101
13
6. Penegakan Diagnosa
Untuk menegakkan diagnosis penyakit Tuberkulosis
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menemukan BTA positif.
Pemeriksaan lain yang dilakukan yaitu dengan pemeriksaan kultur
bakteri, namun biayanya mahal dan hasilnya lama.
Metode pemeriksaan dahak (bukan liur) sewaktu, pagi,
sewaktu (SPS) dengan pemeriksaan mikroskopis membutuhkan 5
ml dahak dan biasanya menggunakan pewarnaan panas dengan
metode Ziehl neelsen (ZN) atau pewarnaan dingin Kinyoun-Gabbet
menurut Tan Thiam Hok. Bila dari dua kali pemeriksaan didapatkan
hasil BTA positif, maka pasien tersebut dinyatakan positif mengidap
Tuberkulosis paru (Widoyono, 2008).
Pembacaan hasil pemeriksaan sediaan dahak dilakukan
dengan menggunakan skala IUATLD sebagai berikut :
a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut
negatif.
b. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis
jumlah kuman yang ditemukan.
c. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang, disebut +
atau (1+).
d. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++
atau (2+), minimal dibaca 50 lapang pandang.
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
14/101
14
e. Di temukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut
+++ atau (3+), minimal dibaca 20 lapang pandang.
Bila ditemukan 1 3 BTA dalam 100 lapang pandang,
pemeriksaan harus diulangi dengan spesimen dahak yang baru.
Bila hasilnya tetap 1 3 BTA, hasilnya diloporkan negatif. Bila
ditemukan 4 9 BTA dilaporkan positif(Depkes RI, 2002).
B. Tinjauan Umum tentang Perumahan
Pengertian sehat menurut WHO adalah keadaan yang
sempurna baik fisik, mental dan sosial bukan hanya keadaan yang
bebas dari penyakit atau kelemahan (Irianto, 2004).
Pengertian perumahan merupakan kelompok rumah yang
berfungsi sebagai tempat tinggal atau lingkungan hunian dan
sarana pembinaan keluarga yang dilengkapi dengan prasarana dan
sarana lingkungan. Sedangkan pemukiman merupakan bagian dari
lingkungan hidup baik kawasan perkotaan maupun pedesaan yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan
hunian yang mendukung perikehidupan. Untuk menciptakan satuan
lingkungan pemukiman diperlukan kawasan perumahan dalam
berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang,
prasarana dan sarana lingkungan yang memenuhi kesehatan
(Mukono, 2000).
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
15/101
15
Didalam membangun dan menjaga kebersihan rumah harus
memperhatikan beberapa ketentuan sebagai berikut :
1. Memenuhi Kebutuhan Fisiologis
a. Suhu ruangan harus dijaga agar jangan banyak
berubah, suhu ruangan ini tergantung pada :
1) Suhu udara luar,
2) Pergerakan udara,
3) Kelembaban Udara, dan
4) Suhu benda di sekitarnya.
Pada rumah-rumah modern, suhu ruangan ini dapat diatur
dengan air conditioner.
b. Harus cukup mendapat penerangan
Harus cukup mendapat penerangan baik siang maupun
malam hari. Yang ideal adalah penerangan listrik.
Diusahakan agar ruangan mendapat sinar matahari
terutama pagi hari.
c. Harus cukup mendapat pertukaran hawa (ventilasi)
Pertukaran hawa yang cukup menyebabkan hawa ruangan
tetap segar (cukup mengandung oksigen). Untuk ini rumah
harus cukup mempunyai jendela. Susunan ruangan harus
sedemikian rupa sehingga udara dapat mengalir bebas bila
jendela dibuka.
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
16/101
16
d. Harus cukup mempunyai isolasi suara
Dinding ruangan harus kedap suara, baik terhadap suara
yang berasal dari luar maupun dari dalam. Sebaiknya rumah
jauh dari sumber suara yang gaduh misalnya : pabrik,
lapangan terbang dan sebagainya.
2. Memenuhi Kebutuhan Psikologi
a. Keadaan rumah dan sekitarnya, cara pengaturannya
harus memenuhi rasa keindahan (estetis) sehingga rumah
tersebut menjadi pusat kesenangan rumah tangga yang
sehat.
b. Adanya jaminan kebebasan yang cukup, bagi setiap
anggota keluarga yang tinggal dirumah tersebut.
c. Untuk tiap anggota keluarga, terutama yang
mendekati dewasa harus mempunyai ruangan sendiri
sehingga rahasia pribadinya tidak terganggu.
d. Harus ada ruangan untuk menjalankan kehidupan
keluarga dimana semua anggota keluarga dapat berkumpul.
e. Harus ada ruangan untuk hidup bermasyarakat, jadi
harus ada ruang untuk menerima tamu.
3. Menghindari Terjadinya Kecelakaan
a. Konstruksi rumah dan bahan bangunan harus kuat sehingga
tidak mudah ambruk.
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
17/101
17
b. Sarana pencegahan terjadinya kecelakaan di sumur, kolam
dan tempat lain terutama untuk anak-anak
c. Diusahakan agar tidak mudah terbakar
d. Adanya alat pemadam kebakaran terutama yang
mempergunakan gas.
4. Menghindari Terjadinya Penyakit
a. Adanya sumber air yang sehat, cukup kualitas maupun
kuantitasnya
b. Harus ada tempat pembuangan kotoran, sampah dan air
limbah yang baik.
c. Harus dapat mencegah perkembangbiakan vector penyakit
seperti : nyamuk, lalat, tikus dan sebagainya.
d. Harus cukup luas.
(Irianto, 2004).
Rumah sehat memiliki :
1. Persyaratan rumah : pondasi, dinding, atap, langit-langit,
jendela dan pintu serta lantai.
2. Penataan bangunan rumah : perencanaan ruang dan
konstruksi bangunan rumah.
3. Fasilitas kelengkapan bangunan rumah : air bersih, air kotor
dan kotoran, pencahayaan / penerangan, penghawaan /
ventilasi serta sampah.
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
18/101
18
4. Tertib membangun : merawat rumah dan pekarangan serta
mematuhi aturan dan peraturan .
Persyaratan rumah sehat dapat ditinjau dari :
1. Aspek teknis (konstruksi bangunan kokoh dan tahan lama)
2. Aspek fisiologis (penghawaan dan penerangan cukup, luas
bangunan memadai dan perencanaan ruang efisien)
3. Aspek psikologi (kondisi lingkungan aman dan nyaman,
lokasi tidak jauh dari tempat kerja dan fasilitas lainnya)
4. Aspek kesehatan (dilengkapi dengan fasilitas sanitasi dan air
bersih)
5. Aspek administrasi (memiliki surat-surat dan izin mendirikan
bangunan)
6. Aspek hukum (memiliki sertifikat)
Berdasarkan persyaratan tersebut diatas, maka setiap keluarga
yang menempati rumah sehat akan merasa aman, nyaman dan
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
19/101
19
sehat (Departemen Permukiman dan prasarana wilayah,
2004).
Jenis rumah berdasarkan konstruksinya, kriteria rumah
terbagi atas:
1. Rumah permanen : rumah yang sudah dikonstruksi dengan
pondasi, berdinding tembok batu bata atau batako, beratap
genteng dan lantainya diplester atau dikeramik.
2. Rumah semi permanan : rumah yang sudah dikonstruksi
dengan pondasi, berdinding setengah tembok, setengah bambu
atau kayu, dilengkapi atap genteng serta lantainya diplester
atau dikeramik.
3. Rumah non permanen : rumah tanpa pondasi, berdinding
bambu atau kayu dan atap genteng ataupun selain genteng.
C. Tinjauan Umum Tentang Kepadatan Penghuni
Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai
rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal
(Lubis, 1989). Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh
perumahan biasa dinyatakan dalam m per orang. Luas minimum per
orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas
yang tersedia. Untuk perumahan sederhana, minimum 10 m/orang.
Untuk kamar tidur diperlukan minimum 3 m/orang. Kamar tidur
sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak
dibawah dua tahun. Apabila ada anggota keluarga yang menjadi
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
20/101
20
penderita penyakit Tuberkulosis sebaiknya tidak tidur dengan anggota
keluarga lainnya. Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan
menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni
yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas
lantai dengan jumlah penghuni adalah 10 m/orang dan kepadatan
penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi
antara luas lantai dengan jumlah penghuni adalah < 10 m/orang
(Lubis, 1989).
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni
didalamnya, artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan
dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding
dengan luas penghuninya akan menyebabkan perjubelan
(Overcrowded). Hal ini tidak sehat, sebab di samping menyebabkan
kurangnya konsumsi O2 juga bila salah satu anggota keluarga terkena
penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang
lain. Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan
2,5-3 m2 untuk setiap orang (tiap anggota keluarga) (Notoatmodjo,
2007).
Kepadatan penghuni akan menyebabkan efek negatif terhadap
kesehatan baik fisik dan mental. Penyebaran penyakit menular pada
rumah dengan kepadatan tinggi akan cepat terjadi. Pengalaman
menunjukkan bahwa pada ruangan yang padat, penyebaran penyakit
menular terutama pada saluran pernafasan mempercepat terjadinya
penyakit tersebut.
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
21/101
21
Rumah tinggal dinyatakan padat, bila jumlah penghuni
menunjukkan hal-hal sebagai berikut :
1. Dua individu dari jenis yang berbeda
dan berumur diatas sepuluh tahun dan
tidak berstatus sebagai suami istri, tidur
dalam satu kamar.
2. Jumlah orang dalam rumah
dibandingkan dengan luas melebihi
ketentuan yang telah ditetapkan.
(Suharmadi, 1994)
Luas rumah ditentukan oleh jumlah penghuninya, jumlah
perabotan (barang-barang yang dimilikinya) dan jumlah pintu serta
jendela, sebagai contoh : untuk 1 kepala keluarga yang menghuni
rumah dengan luas rumah 50 m2, dapat dibagi dalam tiap-tiap ruangan
sebagai berikut :
1. 1 kamar makan dan kamar duduk seluas 9,00 m2 (3x3m2)
2. Kamar tidur terdiri dari 2 ruangan, tiap ruangan seluas 9,00 m2
(3x3m2). Jarak kamar tidur minimal 90 cm untuk menjamin
keleluasan bergerak, bernafas dan untuk memudahkan
membersihkan lantai. Ukuran ruang tidur anak yang berumur 5
tahun sebanyak 4 m3 dan yang berumur lebih dari 5 tahun
adalah 9 m3, artinya dalam 1 ruangan anak yang berumur 5 tahun
kebawah diberi kebebasan menggunakan volume ruangan 4 m3
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
22/101
22
(1 x 1 x 3 m3) dan diatas 5 tahun menggunakan volume ruangan
9 m3 (3 x 1 x 3 m3).
3. Dapur merupakan kegiatan pokok bagi
rumah tangga, terutama ibu-ibu. Maka
dapur hendaknya dibuat, sedemikian
rupa sehingga akan mendapat
penyegaran udara yang cukup serta
mudah mengadakan pembersihan. Agar
penerangan alam harus cukup, maka
letak dapur agar disebelah timur dari
rumah dan untuk mempercepat
pergantian udara maka diusahakan
ventilasi yang cukup dan mengarah
pada angin. Perlu diperhatikan juga
asap yang dikeluarkan dari tungku atau
kompor tidak dapat masuk kedalam
rumah, diatap dibuat lubang sehingga
akan langsung keluar, namun bila perlu
dibuatkan cerobong asap sampai diatas
atap/genteng minimum 30 cm. Rata-rata
luas dapur lebih kurang 8,00 m2.
4. Luas kamar mandi dan wc dalam suatu
kesatuan 4,00 m2 (2x2 m2).
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
23/101
23
5. Serambi muka atau dipergunakan juga
untuk kamar tamu seluas 3,00 m2
(2x1,50 m2
).
6. Selain luas ruangan perlu diperhatikan
pula luas jendela dan ventilasi sebagai
berikut :
1) Luas jendela 4% dari luas lantai tiap ruangan
secara keseluruhan
2) Luas ventilasi 20% dari luas jendela dari tiap
jendela. Jendela dan ventilasi tersebut untuk memenuhi
kebutuhan udara dalam ruangan (menentukan sirkulasi udara
dalam ruangan). Sebagai pedoman dasar kebutuhan udara
bersih.
a) Kebutuhan udara bersih dalam rumah lebih kurang
tiap penghuni 27 m3.
b) Kebutuhan pergantian udara 0,80 m3 per menit per
orang, (0,80 m3/menit/orang).
(Suharmadi, 1985)
D. Tinjauan Umum Tentang Ventilasi (Penghawaan)
Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang
menyenangkan dan menyehatkan manusia (Lubis, 1989).
Umumnya di daerah tropis lebih banyak angin, terutama
didaerah pantai. Biasanya udara di dalam rumah lebih sejuk dari pada
diluar rumah (bagi yang mengatur ventilasinya dengan baik) dan juga
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
24/101
24
tergantung dari bahan dinding atau atapnya (bahan dari seng akan
memanaskan pada siang hari dan dingin pada malam hari).
Keluar masuknya udara dalam ruangan dan lantai tergantung
dari derajat kelembaban dari bahan apa yang melapisi dinding dan
lantai.
a. Plester mengurangi masuknya udara sampai 25 %
b. Cat mengurangi masuknya udara sampai 30 %
c. Permadani mengurangi masuknya udara sampai 30 %
d. Cat minyak mengurangi masuknya udara sampai 100 %
(Suharmadi, 1989)
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama
adalah untuk menjaga agar aliran udara dalam rumah tersebut tetap
segar. Hal ini berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni
rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan
kurangnya O2 dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun
bagi penghuninya akan meningkat. Di samping itu, tidak cukupnya
ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara dalam ruangan naik
karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan.
Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri
patogen (bakteri-bakteri penyebab penyakit).
Fungsi kedua dari ventilasi adalah untuk membebaskan udara
ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena disitu
selalu terjadi aliran udara yang terus-menerus. Bakteri yang terbawa
oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
25/101
25
agar ruangan rumah selalu tetap dalam kelembaban (humudity) yang
optimum.
Ada dua macam ventilasi, yakni :
1. Ventilasi alamiah, dimana aliran udara dalam ruangan
tersebut terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu, lubang
angin, lubang-lubang pada dinding dan sebagainya. Di pihak
lain ventilasi alamiah ini tidak menguntungkan, karena juga
merupakan jalan masuknya nyamuk dan serangga lainnya
ke dalam rumah. Untuk itu harus ada usaha-usaha lain untuk
melindungi kita dari gigitan nyamuk tersebut.
2. Ventilasi buatan, yakni dengan mempergunakan alat-alat
khusus untuk mengalirkan udara tersebut, misalnya kipas
angin dan mesin pengisap udara. Tetapi jelas alat ini tidak
cocok dengan kondisi rumah di pedesaan.
(Notoatmodjo, 2007).
Buakaan untuk ventilasi disesuaikan dengan luas ruangan, luas
bukaan ventilasi 1 m2 atau minimal 5 % dari luas lantai. Bukaan
ventilasi dapat berupa pintu dan jendela yang dapat dibuka dan
ditutup, serta jalusi dan lubang angin. Untuk ventilasi silang dibuat dua
bukaan pada dinding yang berhadapan. Bukaan ventilasi yang paling
baik searah dengan arah tiupan angin.
Ventilasi yang baik dalam ruangan harus mempunyai syarat
lainnya, diantaranya :
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
26/101
26
1. Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5
% dari luas lantai ruangan, sedangkan
luas lubang ventilasi insidentil (dapat
dibuka dan ditutup) minimum 5 %.
Jumlah keduanya menjadi 10 % kali
luas lantai ruangan. Ukuran luas ini
diatur sedemikian rupa sehingga udara
yang masuk tidak terlalu deras dan tidak
terlalu sedikit.
2. Udara yang masuk harus udara bersih,
tidak dicemari oleh asap dari sampah
atau dari pabrik, dari knalpot kendaraan,
debu dan lain-lain.
3. Aliran udara jangan menyebabkan
seseorang menjadi masuk angin. Untuk
ini jangan menempatkan tempat
tidur/tempat duduk persis pada aliran
udara, misalnya didepan jendela pintu.
4. Aliran udara diusahakan CROSS
VENTILATION dengan menempatkan
lubang hawa berhadapan antara 2
dinding ruangan. Aliran udara ini jangan
sampai terhalang oleh barang-barang
besar misalnya almari, dinding sekat
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
27/101
27
dan lain-lain. Secara umum, penilaian
ventilasi rumah dengan cara
membandingkan antara
luas ventilasi dan luas lantai rumah,
dengan menggunakan Rolemeter.
Menurut indikator pengawaan rumah,
luas ventilasi yang memenuhi syarat
kesehatan adalah 10% luas lantai
rumah dan luas ventilasi yang tidak
memenuhi syarat kesehatan adalah 300 lux dan memenuhi syarat kesehatan bila pencahayaan rumah
antara 50-300 lux (Suharmadi, 1989).
Kuman Tuberkulosis hanya dapat mati oleh sinar matahari
langsung. Oleh sebab itu, rumah dengan standar pencahayaan yang
buruk sangat berpengaruh terhadap kejadian Tuberkulosis. Kuman
Tuberkulosis dapat bertahan hidup pada tempat yang lembab dan
gelap tanpa sinar matahari sampai bertahun-tahun lamanya dan mati
bila terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol dan panas api. Kuman
Mycobacterium Tuberculosis akan mati dalam waktu 2 jam oleh sinar
matahari, oleh tinctura iodii selama 5 menit dan juga oleh ethanol 80%
dalam waktu 2-10 menit serta mati oleh fenol 5% dalam waktu 24 jam.
Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai resiko menderita
tuberkulosis 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar
matahari (Depkes RI, 2002).
F. Tinjauan Umum Tentang Suhu
Rumah atau bangunan yang sehat haruslah mempunyai suhu
yang diatur sedemikian rupa sehingga suhu badan dapat
dipertahankan. Suhu didalam ruangan harus dapat diciptakan
sedemikian rupa sehingga tubuh tidak terlalu banyak kehilangan panas
atau sebaliknya tubuh tidak sampai kepanasan. Prinsip pengaturan
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
32/101
32
suhu dalam ruangan adalah mendinginkan udara jika udara
disekitarnya terlalu panas. Faktor suhu ini dilengkapi dengan keadaan
faktor kelembaban serta aliran udara yang terjadi dalam ruangan
tersebut agar terdapat suhu yang tepat dengan kelembaban dan aliran
udara dalam ruangan.
Menurut Azrul Azwar untuk membuat suhu ruangan sesuai
dengan yang dikehendaki, maka ada beberapa cara yang dapat
dilakukan yakni :
1. Mendinginkan atau memanaskan udara.
2. Melakukan penukaran udara.
3. Memasang penyekat suhu pada ruangan.
Tubuh manusia mengadakan penyesuaian terhadap temperatur
udara dalam ruangan. Pada suhu ruangan yang tinggi, pembuluh-
pembuluh kapiler akan melebar untuk melepaskan panas. Proses ini
dibantu oleh proses penguapan keringat dari kulit. Sedangkan pada
suhu yang rendah terjadi sebaliknya dimana pembuluh-pembuluh
dikulit menyempit. Bila suhu ruangan terlalu tinggi dan dalam ruangan
banyak mengandung uap air, maka proses mekanisme pendinginan
tubuh tidak dapat bekerja efisien karena proses penguapan keringat
terhalang sehingga timbul perasaan tidak enak.
Standar suhu nyaman yang dibutuhkan manusia, Mc. Null
menganjurkan bahwa temperatur yang optimal didalam rumah adalah
73 77oF (23 25oC), kelembaban antara 20 60%. Joseph Lubart
menganjurkan batas antara 68o
F dengan kelembaban relatif 50%
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
33/101
33
sampai pada temperatur 70 oF dengan kelembaban 10%. Sedangkan
menurut ASHREA (American Society Of Heating Refrigerating and Air
Conditioning Engineering) menetapkan temperatur 77,0o
F dengan
variasi lebih kurang 1,21oF dan kelembaban dibawah 70oF dan Sujono
menganjurkan temperatur kamar dari 22 30C dianggap segar
dengan kelembaban udara optimum 60% (Azwar, 1990).
Suhu adalah panas atau dinginnya udara yang dinyatakan
dengan satuan derajat tertentu. Suhu udara dibedakan menjadi: 1).
Suhu kering, yaitu suhu yang ditunjukkan oleh termometer suhu
ruangan setelah diadaptasikan selama kurang lebih sepuluh menit,
umumnya suhu kering antara 24 C 34 C; 2) Suhu basah, yaitu suhu
yang menunjukkan bahwa udara telah jenuh oleh uap air, umumnya
lebih rendah daripada suhu kering, yaitu antara 20 C 25 C. Secara
umum, penilaian suhu rumah dengan menggunakan termometer
ruangan. Berdasarkan indikator pengawasan perumahan, suhu rumah
yang memenuhi syarat kesehatan adalah antara 20 C 25 C, dan
suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 20 C
atau > 25 C. Suhu dalam rumah akan membawa pengaruh bagi
penguninya (Suharmadi, 1989).
Bakteri Mycobacterium Tuberculosis memiliki rentang suhu
yang disukai, tetapi di dalam rentang ini terdapat suatu suhu optimum
saat mereka tumbuh pesat. Mycobacterium Tuberculosis merupakan
bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang > dari 25 C 40
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
34/101
34
C, tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31 C 37 C
(Suharmadi, 1989).
G. Tinjauan Umum tentang Kelembaban
Kelembaban udara adalah prosentase jumlah kandungan air
dalam udara (Depkes RI, 1989). Kelembaban terdiri dari 2 jenis, yaitu
1) Kelembaban absolut, yaitu berat uap air per unit volume udara; 2)
Kelembaban nisbi (relatif), yaitu banyaknya uap air dalam udara pada
suatu temperatur terhadap banyaknya uap air pada saat udara jenuh
dengan uap air pada temperatur tersebut. Secara umum penilaian
kelembaban dalam rumah dengan menggunakan hygrometer. Menurut
indikator pengawasan perumahan, kelembaban udara yang memenuhi
syarat kesehatan dalam rumah adalah 40-60 % dan kelembaban udara
yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 40 % atau > 60 %.
Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat
kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Rumah yang
lembab merupakan media yang baik bagi pertumbuhan
mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket, ricketsia dan virus.
Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara.
Selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membrane
mukosa hidung menjadi kering sehingga kurang efektif dalam
menghadang mikroorganisme (Suharmadi, 1989).
Bakteri Mycobacterium Tuberculosis seperti halnya bakteri lain,
akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
35/101
35
tinggi karena air membentuk lebih dari 80 % volume sel bakteri dan
merupakan hal yang essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan
hidup sel bakteri. Selain itu menurut Notoatmodjo (2003), kelembaban
udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-
bakteri patogen termasuk bakteri Tuberkulosis
H. Prosedur Pengukuran Rumah
1. Mengukur kepadatan penghuni
a. Alat dan bahan
1) Rolemeter
2) Alat tulis
3) Kalkulator
b. Cara kerja
1) Menyiapkan rolemeter.
2) Mengukur luas lantai rumah
3) Catat hasil pengukuran.
4) Kemudian luas rumah dibagi dengan jumlah penghuni
dirumah tersebut.
2. Mengukur ventilasi dirumah (ruang tamu, kamar tidur dan dapur)
a. Alat dan bahan
1) Rolemeter
2) Alat tulis
3) Kalkulator
b. Cara kerja
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
36/101
36
1) Menyiapkan rolemeter.
2) Menentukan titik pengukuran.
3) Mengukur luas ventilasi
4) Catat hasil pengukuran.
5) Kemudian dihitung apabila 10% dari luas lantai
ruangan maka memenuhi syarat.
3. Mengukur pencahayaan dirumah (ruang tamu, kamar tidur dan
dapur)
a. Alat dan bahan
1) Luxmeter
2) Alat tulis
3) Kalkulator
4) Tempat/ruangan yang akan diukur pencahayaannya
b. Cara kerja
1) Pengukuran dilakukan pada siang hari
2) Kalibrasikan alat sehingga pada saat mengukur alat
sudah terkalibrasikan.
3) Menentukan titik pengukuran.
4) Tinggi alat dari bagian atas permukaan lantai 0,8
m/8,5 cm.
5) Jarak antara pengukur dengan alat 60-90 cm
6) Catat hasil pengukuran yang tertera pada alat..
4. Mengukur suhu dirumah (ruang tamu, kamar tidur dan dapur)
a. Alat dan bahan
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
37/101
37
1) Termometer ruangan
2) Alat tulis
b. Cara kerja
1) Pengukuran dilakukan pada siang hari
2) Kalibrasikan alat sehingga pada saat mengukur alat sudah
terkalibrasikan.
3) Menentukan titik pengukuran.
4) kemudian dipaparkan selama 15 menit di titik yang sudah
ditentukan.
5) Catat hasil pengukuran yang tertera pada alat.
5. Mengukur kelembaban dirumah (ruang tamu, kamar tidur dan
dapur)
a. Alat dan bahan
1) Hygrometer
2) Air
3) Tabel
b. Cara kerja
1) Pengukuran dilakukan pada siang hari
2) Basahi sumbu yang ada pada alat Hygrometer
3) Setelah dibasahi, kemudian dipaparkan selama 15 menit di
titik yang sudah ditentukan.
4) Lalu bacalah angka yang tertera dialat tersebut
5) Mencatat hasilnya
6) Kemudian hasil yang didapat, dibaca di dalam tabel
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
38/101
38
7) Cocokkan pada standar apakah sudah memenuhi standar
kelembaban rumah atau belum.
(Suharmadi, 1985).
I. Kerangka Teori
Adapun kerangka teori dalam penelitian ini adalah model
segitiga Epidemiologi (the epidemiologic triangle) sebagai berikut:
Gambar 2.1Kerangka Teori Penelitian
berdasarkan Segitiga Epidemiologi
Induk semang (Host)
Penyebab penyakit Lingkungan(Agent) (Environment)
Sumber : (Soekidjo, 2003)
Penyakit Tuberkulosis Paru BTA positif adalah penyakit menular
yang ditandai dengan adanya (hadirnya) agen atau penyebab penyakit
yang hidup dan dapat berpindah. Penyakit Tuberkulosis Paru BTA
positif dapat menular dari orang satu kepada orang yang lain,
ditentukan oleh 3 faktor tersebut dibawah, yakni :
a. Agent (penyebab penyakit)
Agent atau penyebab penyakit Tuberkulosis Paru BTA positif
adalah kuman TBC (Mycobacterium Tuberculosis) yaitu sejenis
kuman yang berbentuk batang, gram positif tahan asam dan pada
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
39/101
39
pemeriksaan mikroskospik akan tampak berwarna merah. Kuman
TBC ini dapat hidup pada daerah yang lembab namun tidak tahan
pada sinar matahari langsung.
b. Host (Induk semang)
Kuman TBC dapat menyerang kesemua jenis umur, mulai
dari anak-anak, remaja maupun dewasa tergantung bagaimana
daya tahan tubuh seseorang pada saat terpapar dengan kuman
TBC. Terinfeksinya penyakit Tuberkulosis Paru BTA positif pada
seseorang ditentukan pula oleh faktor-faktor yang ada pada induk
semang itu sendiri.
Semakin rentan daya tahan tubuh seseorang maka semakin
mudah kuman TBC tersebut masuk dan menyerang organ tubuh
terutama paru-paru dan menjadikan orang tersebut mengidap
penyakit TBC Paru. Dengan perkataan lain penyakit-penyakit dapat
terjadi pada seseorang tergantung atau ditentukan oleh kekebalan
atau resistensi orang yang bersangkutan.
Faktor yang mempengaruhi kekebalan atau resisten pada
penyakit Tuberkulosis adalah usia dimana menurut WHO pada
tahun 1995 sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia produktif
(15-49 tahun), TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki
dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar
mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan
terjangkitnya TB paru, Kekurangan gizi pada seseorang akan
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
40/101
40
berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon
immunologik terhadap penyakit.
Di benua Afrika banyak Tuberkulosis terutama menyerang
laki-laki. Pada tahun 1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki
hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita TB Paru pada
wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita. Antara
tahun 1985-1987 penderita TB paru laki-laki cenderung meningkat
sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada wanita
menurun 0,7%. TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki
dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar
mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan
terjangkitnya TB paru.
Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan
meningkatkan resiko untuk mendapatkan Kanker Paru-paru,
penyakit Jantung Koroner, Bronchitis Kronik dan Kanker Kandung
Kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB
paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di
Indonesia per orang per tahun adalah 230 batang, relatif lebih
rendah dengan 430 batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480
batang/orang/tahun di Ghana dan 760 batang/orang/tahun di
Pakistan. Prevalensi merokok pada hampir semua Negara
berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa,
sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
41/101
41
kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi
TB Paru.
Tingkat pendidikan seseorang juga mempengaruhi terhadap
pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang
memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB Paru,
sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan
mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin dan sehat. Selain
itu tingkat pedidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis
pekerjaannya.
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus
dihadapi setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang
berdebu paparan partikel debu di daerah terpapar akan
mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan.
Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan
morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan
dan umumnya TB Paru.
Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap
pendapatan keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola
hidup sehari-hari diantara konsumsi makanan, pemeliharaan
kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi terhadap
kepemilikan rumah (kontruksi rumah). Kepala keluarga yang
mempunyai pendapatan dibawah UMR akan mengkonsumsi
makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan
bagi setiap anggota keluarga sehingga mempunyai status gizi yang
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
42/101
42
kurang dan akan memudahkan untuk terkena penyakit infeksi
diantaranya TB Paru. Dalam hal jenis kontruksi rumah dengan
mempunyai pendapatan yang kurang maka kontruksi rumah yang
dimiliki tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga akan
mempermudah terjadinya penularan penyakit TB Paru.
Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan,
keadaan sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan
kesehatan. Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya
kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan
sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi
buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun
sehingga memudahkan terkena infeksi TB Paru.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status
gizi kurang mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru
berat dibandingkan dengan orang yang status gizinya cukup atau
lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap
kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik terhadap
penyakit.
Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan.
Pengetahuan penderita TB Paru yang kurang tentang cara
penularan, bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh
terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit dan akhinya
berakibat menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya.
c. Environment (lingkungan)
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
43/101
43
Penyakit TBC dapat menular pada semua daerah, terutama
pada daerah-daerah kumuh, kotor dan lembab, dimana kuman TBC
mudah berkembang biak. Penduduk dengan prilaku atau gaya
hidup yang kurang sehat akan memudahkan kuman TBC
berkembang biak, misalnya saja orang yang sering batuk dengan
tidak menutup mulut.
Kuman TBC (Mycobacterium Tuberculosis) pada umumnya
hidup di reservoir dan lingkungan. Kuman ini terdapat dalam butir-
butir percikan dahak yang disebut droplet nucleidan melayang di
udara untuk waktu yang lama sampai terhisap oleh orang atau mati
dengan sendirinya kena sinar matahari langsung.
Kuman Tuberkulosis dapat hidup selama 1 2 jam bahkan
sampai beberapa hari hingga berminggu-minggu tergantung pada
ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang baik, kelembaban,
suhu rumah dan kepadatan penghuni rumah.
(clubpenakita,2009).
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
44/101
44
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis metode penelitian yang digunakan adalah penelitian
Survei Analitik dengan pendekatan Case Controlyakni suatu penelitian
untuk membandingkan dua kelompok yaitu kelompok kasus dan
kontrol, kemudian ditelusuri secara retrospektif ada tidaknya faktor
risiko yang berperan. Kelompok kasus merupakan kelompok yang
menderita penyakit TB Paru BTA positif (efek positif), sedangkan yang
kontrol merupakan kelompok yang tidak menderita penyakit TBC (efek
negatif).
Studi kasus-kontrol sering disebut studi retrospektif, karena
faktor risiko diukur dengan melihat kejadian masa lampau untuk
mengetahui ada tidaknya faktor risiko yang dialami.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian yang akan dilakukan adalah di rumah
penderita Tuberkulosis Paru BTA positif, yang terdaftar pada buku
register TBC Paru di Puskesmas Wonorejo tahun 2008 dan rumah
tetangga penderita Tuberkulosis Paru BTA positif yang tidak menderita
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
45/101
45
TBC. Waktu penelitian dilakukan pada pertengahan bulan Desember
2009 sampai dengan bulan Januari 2010.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang
datang ke Puskesmas Wonorejo pada tahun 2008 untuk melakukan
pemeriksaan medis.
2. Sampel
a. Kasus : Semua penderita TB Paru BTA positif.
Dengan kriteria Inklusi sebagai berikut :
1) Berdomisili diwilayah kerja Puskesmas Wonorejo
2) Menurut diagnosis petugas medis dinyatakan
menderita TB paru BTA positif.
3) Telah menempati rumah tersebut selama lebih dari 1
tahun
4) Rumah yang ditempati adalah rumah sendiri/bukan
kos
b. Kontrol : Bukan penderita TBC
Dengan kriteria Inklusi sebagai berikut :
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
46/101
46
1) Berdomisili diwilayah kerja Puskesmas Wonorejo
2) Telah menempati rumah tersebut selama lebih dari 1
tahun
3) Rumah yang ditempati adalah rumah sendiri/bukan
kos
4) Merupakan tetangga yang berdekatan rumah dengan
penderita TB Paru BTA positif.
5) Jenis rumah berdasarkan konstruksinya (rumah
permanen, semi permanen, non permanen) sama dengan
penderita TB Paru BTA positif (kelompok kasus).
Berdasarkan kriteria inklusi diatas maka besarnya sampel
kasus dalam penelitian ini adalah sebanyak 24 penderita TB Paru
BTA positif.
Besarnya sampel kontrol dalam penelitian adalah 1:2
dengan kelompok kasus, yakni sebanyak 48 orang, maka total
sampel dalam penelitian ini adalah 72 responden.
D. Kerangka Konsep
Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
Gambar 3.1Kerangka Konsep Penelitian Kasus-Kontrol
Faktor risiko +Tentang kepadatan
penghuni, ventilasi,pencahayaan, suhu dankelembaban. Kasus (Penderita
TB Paru BTA
positif)
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
47/101
47
E.
E. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas
Variabel penelitian bebas atau yang mempengaruhi adalah
kepadatan Penghuni, ventilasi, pencahayaan, suhu dan
kelembaban rumah.
2. Variabel Terikat
Adalah kejadian Tuberkulosis Paru BTA positif.
F. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan landasan teori maka dapat dibuat hipotesis
sebagai berikut :
Kontrol (Bukan
penderita TBC)
Faktor risiko Tentang kepadatanpenghuni, ventilasi,
pencahayaan, suhu dankelembaban.
Retrospekt i f
Retrospekt i f
Faktor risiko +Tentang kepadatanpenghuni, ventilasi,
pencahayaan, suhu dankelembaban.
Faktor risiko Tentang kepadatan
penghuni, ventilasi,pencahayaan, suhu dan
kelembaban.
Populasi
Dansampel
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
48/101
48
1. Ada hubungan kepadatan penghuni terhadap kejadian
Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah kerja
Puskesmas Wonorejo Kota Samarinda tahun 2009.
2. Ada hubungan ventilasi rumah terhadap kejadian
Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah kerja
Puskesmas Wonorejo Kota Samarinda tahun 2009.
3. Ada hubungan pencahayaan rumah terhadap kejadian
Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah kerja
Puskesmas Wonorejo Kota Samarinda tahun 2009.
4. Ada hubungan suhu rumah terhadap kejadian
Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah kerja
Puskesmas Wonorejo Kota Samarinda tahun 2009.
5. Ada hubungan kelembaban rumah terhadap kejadian
Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah kerja
Puskesmas Wonorejo Kota Samarinda tahun 2009.
G. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
No VariabelDefinisi
OperasionalKriteria Alat Ukur Cara Ukur Skala
1 Kepadatan
Penghuni
Perbandingan
antara luas lantairumah dengan
jumlah anggota
keluarga yang
tinggal dalam satu
rumah.
Memenuhi syarat
bila dari 10m2
per orang. Tidak
memenuhi syarat
bila < dari 10m2
per orang
Rolemeter
dankuesioner
Mengukur luas
lantai rumahmenggunakan
Rolemeter, lalu luas
lantai rumah dibagi
dengan jumlah
penghuni
Ordinal
2 Ventilasi Tempat keluar
masuknya udara
dari luar rumah,
berupa jendela
dan pintu.
Memenuhi syarat
bila 10% dari
luas lantai
ruangan.
Tidak memenuhi
syarat bila < 10%
dari luas lantai
ruangan
Rolemeter
dan
kuesioner
Mengukur luas
ventilasi
menggunakan
Rolemeter pada
ruang tamu, kamar
dan dapur.
Kemudian dihitung
apabila 10% dari
Ordinal
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
49/101
49
luas lantai ruangan
maka memenuhi
syarat.
3 Pencahayaan Penerangan
didalam rumah
yang bersumberdari sinar
matahari pada
siang hari.
Memenuhi syarat
bila 50-300 lux.
Tidak memenuhisyarat bila < 50
atau > 300 lux.
Luxmeter
dan
kuesioner
Pengukuran
dilakukan pada
siang hari pada titikpengukuran yaitu
ruang tamu, kamar
tidur dan dapur,
dengan meletakkan
luxmeter pada
ketinggian
0,8m/8,5cm dari
permukaan
ruangan&ditengah
ruangan. Lalu baca
hasilnya
Interval
4 Suhu Panas atau
dinginnya udara di
dalam rumah
yang diukur dalam
satuan derajat.
Memenuhi syarat
bila 20oC-25oC.
Tidak memenuhi
syarat bila 25oC
Termometer
ruangan dan
kuesioner
Pengukuran
dilakukan pada
siang hari pada titik
pengukuran yaitu
ruang tamu, kamar
tidur dan dapur,
dengan meletakkan
alat pada ditengah
ruangan. Lalu baca
hasilnya
Interval
5 Kelembaban Banyak nya
kandungan uap
air di udara dalam
ruangan.
Memenuhi syarat
bila 40%-60%.
Tidak memenuhi
syarat bila 60%
Hygrometer
dan
kuesioner
Pengukuran
dilakukan pada
siang hari pada titik
pengukuran yaituruang tamu, kamar
tidur dan dapur,
letakkan
Hygrometer, lalu
paparkan 15 menit
pada ruangan yang
ditentukan. Hasilnya
tertera pada
Hygrometer dibaca
ditabel.
Interval
H. Pengujian Instrumen penelitian
Setelah kuesioner sebagai alat pengumpul data selesai, belum
berarti kuesioner tersebut dapat langsung digunakan untuk
mengumpulkan data. Kuesioner penelitian perlu diuji validitas dan
reliabilitas, untuk itu kuesioner harus diuji coba atau trial dilapangan.
Responden yang dipilih untuk diuji coba sebaiknya responden yang
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
50/101
50
memiliki ciri-ciri responden dimana penelitian tersebut harus
dilaksanakan.
Agar diperoleh distribusi nilai hasil pengukuran mendekati
sedikit normal maka sebaiknya jumlah responden untuk uji coba ini
paling sedikit 20 orang, hasil uji coba ini kemudian digunakan untuk
mengetahui sejauh mana alat ukur (kuesioner) yang telah disusun
memiliki validitas dan reliabilitas. Suatu alat ukur harus mempunyai
kriteria validitas dan reliabilitas. Adapun pengujian instrument meliputi :
1. Uji Validitas
Validitas adalah tingkat-tingkat kehasihan suatu instrument.
Uji validitas dalam penelitian menggunakan rumus Korelasi Product
Moment Pearson sebagai berikut :
Keterangan :
rix = Koefisien item-total (bivariate pearson)
I = Skor item
x = Skor total
n = Banyaknya subjek
Pengujian menggunakan uji dua sisi dengan taraf signifikansi 0,05.
Kriteria pengujian adalah sebagai berikut :
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
51/101
51
a. Jika r hitung r tabel maka instrument atau item-item
pertanyaan berkolerasi signifikan terhadap skor total
(dinyatakan valid).
b. Jika r hitung < r tabel maka instrument atau item-item
pertanyaan tidak berkolerasi signifikan terhadap skor total
(dinyatakan tidak valid).
2. Uji Reliabilitas
Uji Reliabilitas digunakan untuk mengetahui konsistensi alat
ukur, apakah alat pengukur yang digunakan dapat diandalkan dan
tetap konsisten jika pengukuran tersebut diulang. Dalam peneitian
ini digunakan teknik pengukuran reliabilitas internal dengan rumus
Alpha (Cronbachs).
Rumus reliabilitas dengan metode Alpha adalah :
= [1 - ]
Keterangan :
r11 = reliabilitas Instrumen
k = banyaknya butir pertanyaan
b2 = jumlah varian butir
12 = varian total
Pengujian menggunakan uji dua sisi dengan taraf signifikansi 0,05.
a. Jika r tabel maka instrument atau item-item pertanyaan
reliabel.
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
52/101
52
b. Jika < r tabel maka instrument atau item-item pertanyaan tidak
reliabel.
3. Hasil pengujian Instrumen
Sebelum kuesioner digunakan, maka sebelumnya dilakukan
pengujian instrumen melalui uji validitas dan reliabilitas terhadap 20
orang responden.
Hasil uji validitas untuk variabel kepadatan penghuni dari 6
pertanyaan, 4 pertanyaan valid karena memiliki nilai r hitung > r
tabel, sedangkan 2 pertanyaan tidak valid karena memiliki nilai r
hitung < r tabel yaitu nomor 1 dan 5. Uji reliabilitas instrumen
dinyatakan reliable dengan nilai = 0,8824.
Hasil uji validitas untuk variabel ventilasi dari 5 pertanyaan, 3
pertanyaan valid karena memiliki nilai r hitung > r tabel, sedangkan
2 pertanyaan tidak valid karena memiliki nilai r hitung < r tabel yaitu
nomor 3 dan 4. Uji reliabilitas instrumen dinyatakan reliabel
dengan nilai = 0,7183.
Hasil uji validitas untuk variabel pencahayaan dari 5
pertanyaan, 2 pertanyaan valid karena memiliki nilai r hitung > r
tabel, sedangkan 3 pertanyaan tidak valid karena memiliki nilai r
hitung < r tabel yaitu nomor 2, 4 dan 5. Uji reliabilitas instrumen
dinyatakan reliabel dengan nilai = 0,6073.
Hasil uji validitas untuk variabel suhu dan kelembaban dari
4 pertanyaan, 2 pertanyaan valid karena memiliki nilai r hitung > r
tabel, sedangkan 2 pertanyaan tidak valid karena memiliki nilai r
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
53/101
53
hitung < r tabel yaitu nomor 1 dan 2 . Uji reliabilitas instrumen
dinyatakan reliable dengan nilai = 0,8479.
I. Teknik pengumpulan data
Data dikumpulkan melalui kuesioner dengan responden
menggunakan daftar pertanyaan yang telah disusun serta pengamatan
dan pengukuran langsung di lokasi penelitian dengan menggunakan
lembar observasi.
Jenis data yang diambil pada penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil kuesioner
yang diajukan langsung kepada responden yang terpilih (kasus dan
kontrol) mengenai kepadatan penghuni, ventilasi, pencahayaan,
suhu dan kelembaban. Serta menggunakan lembar observasi
sebagai validasi jawaban.
2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh melalui laporan yang telah ada,
yaitu dari register TB-01, register TBC dan TB-06 Unit Pelayanan
Kesehatan (UPK) dari bulan Januari 2008 sampai bulan Desember
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
54/101
54
2008 di Puskesmas Wonorejo. Data umum mengenai penderita
TBC tahun 2008 diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Kal-tim
dan Dinas Kesehatan Kota Samarinda.
J. Teknik Analisis Data
Analisis data hasil penelitian dilakukan 2 tahapan yaitu analisis
univariat dan analisis bivariat.
a. Analisis Univariat
Analisa univariat dilakukan terhadap variabel dari hasil
penelitian. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mendeskripsikan
karakteristik masing-masing variabel yang diteliti yaitu kepadatan
penghuni, ventilasi, pencahayaan, suhu dan kelembaban. Data
yang telah didapat kemudian diolah dan dianalisis dengan
menggunakan perangkat lunak pengolah data statistik lalu
ditampilkan dalam bentuk tabel data yang menjabarkan distribusi
frekuensi dan presentasi dari masing-masing variabel.
b. Analisis bivariat
Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan
antara dua variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat.
Analisis bivariat menggunakan uji statistik yang sesuai dengan
tujuan penelitian dan skala data yang ada. Uji statistik yang
digunakan dalam analisa ini adalah Chi Square dengan uji alternatif
Fisher Exact Test.
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
55/101
55
K. Jadwal Penelitian
NO KegiatanBulan, Tahun 2009-2010
10 11 12 1 2 3 4 61 Persiapan Proposal X
2 Penyusunan Proposal X X
3 Seminar Proposal X
4 Pelaksanaan Penelitian X X
5 Pengolahan Data X X
6 Seminar Hasil X
7 Pendadaran X
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
J. Hasil Penelitian
7. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Puskesmas Wonorejo terletak di Jalan Cendana No. 58
Kelurahan Teluk Lerong Ulu, letaknya yang sangat strategis
membuat masyarakat mudah mengakses Pelayanan Kesehatan
Masyarakat tersebut. Puskesmas Wonorejo adalah Puskesmas
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
56/101
56
Induk dan merupakan salah satu dari 3 Puskesmas yang ada di
wilayah Kecamatan Sungai Kunjang.
Luas wilayah kerja Puskesmas Wonorejo sekitar 241315 km2
dengan jumlah penduduk diwilayah kerja Puskesmas Wonorejo
28.569 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 14.958 jiwa dan
perempuan sebanyak 13.611 jiwa serta terdapat 7103 kepala
keluarga.
Wilayah kerja Puskesmas Wonorejo terdiri dari 2 Kelurahan
yaitu Kelurahan Teluk Lerong Ulu dan Kelurahan Karang Anyar. Di
sebelah utara Puskesmas Wonorejo berbatasan dengan Kelurahan
Lok Bahu dan Kelurahan Air Putih, di sebelah selatan berbatasan
dengan sungai Mahakam, sebelah barat berbatasan dengan
Kelurahan Karang Asam Ilir dan di sebelah timur berbatasan
dengan Kelurahan Teluk Lerong Ilir. (Profil Puskesmas Wonorejo,
2009).
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 24
kasus atau yang menderita Tuberkulosis Paru BTA positif dan 48
kontrol atau yang bukan penderita Tuberkulosis di wilayah Kerja
Puskesmas Wonorejo yang terdapat di 2 Kelurahan, yaitu
Kelurahan Teluk Lerong Ulu dan Kelurahan Karang anyar, maka
diperoleh hasil sebagai berikut :
8. Karakteristik Responden
a. Umur
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
57/101
57
Umur adalah lama hidup responden sejak dilahirkan
sampai wawancara di lakukan. Untuk menentukan interval umur
di gunakan anjuran dari WHO dengan pembagian umur menurut
tingkat kedewasaan. Adapun karakteristik responden menurut
umur dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.1 : Distribusi Responden Menurut Kelompok Umurdi Wilayah Kerja Puskesmas WonorejoSamarinda Tahun 2009
Umur(tahun)
Kejadian TB Paru TotalKasus Kontrol
N % N % N %
16 49 17 70,8 38 79,2 55 76,4
50 7 29,2 10 20,8 17 23,6
Total 24 100 48 100 72 100
Dari tabel 4.1 menunjukkan bahwa pada penderita
Tuberkulosis paru BTA positif lebih banyak diderita pada
kelompok umur produktif atau umur 15 49 yaitu sebesar
70,8%, dibandingkan dengan umur 50 tahun keatas hanya
sebesar 29,2%.
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin adalah perbedaan anatomi responden
yang ditinjau dari alat reproduksi. Adapun karakteristik
responden menurut jenis kelamin dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 4.2 : Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin diWilayah Kerja Puskesmas Wonorejo SamarindaTahun 2009
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
58/101
58
JenisKelamin
Kejadian TB ParuTotal
Kasus Kontrol
N % N % N %
Laki-laki 14 58,3 29 60,4 43 59,7
Perempuan 10 41,7 19 39,6 29 40,3Total 24 100 48 100 72 100
Dari tabel 4.2 menunjukkan bahwa pada penderita
Tuberkulosis paru BTA positif lebih banyak diderita oleh Laki-
laki yaitu sebesar 58,3%. dibandingkan dengan perempuan
sebesar 41,7%.
c. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan responden
dalam mendapatkan ilmu pengetahuan secara formal
berdasarkan ijazah terakhir. Adapun karakteristik responden
menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.3 : Distribusi Responden menurut TingkatPendidikan di wilayah kerja PuskesmasWonorejo Samarinda Tahun 2009
Pendidikan
Kejadian TB ParuTotal
Kasus Kontrol
N % N % N %
SD 7 29,2 4 8,3 11 15,3
SMP 10 41,7 11 22,9 21 29,2
SMA 6 25,0 28 58,3 34 47,2
PT 1 4,2 5 10,4 6 8,3
Total 24 100 48 100 72 100
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
59/101
59
Dari tabel 4.3 menunjukkan bahwa pada penderita
Tuberkulosis paru BTA positif sebagian besar pendidikannya
adalah SMP yaitu sebesar 41,7%. Sedangkan pada responden
yang tidak menderita Tuberkulosis dengan persentase terbesar
pendidikannya adalah SMA yaitu 58,3%.
d. Pekerjaan
Pekerjaan adalah usaha yang dimiliki seorang
responden. Adapun karakteristik responden menurut jenis
pekerjaan dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.4 : Distribusi Responden menurut Pekerjaan diwilayah kerja Puskesmas Wonorejo SamarindaTahun 2009
Pekerjaan
Kejadian TB ParuTotal
Kasus Kontrol
N % N % N %Tidak Bekerja 5 20,8 1 2,1 6 8,3
Buruhbangunan
6 25,0 10 20,8 16 22,2
Petani/tukangojek
1 4,2 2 4,2 3 4,2
Wiraswasta/Pedagang
8 33,3 13 27,1 21 29,2
KaryawanSwasta
4 16,7 15 31,3 19 26,4
PNS/honorer 0 0 7 14,6 7 9,7
Total 24 100 48 100 72 100Dari tabel 4.4 menunjukkan bahwa pada penderita
Tuberkulosis paru BTA positif sebagian besar pekerjaannya
adalah wiraswasta/pedagang yaitu sebesar 33,3%. Sedangkan
pada responden yang tidak menderita Tuberkulosis dengan
persentase terbesar pekerjaannya adalah karyawan swasta
yaitu 31,3%.
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
60/101
60
e. Jenis Rumah
Jenis Rumah adalah rumah yang dimiliki responden
berdasarkan konstruksinya yaitu rumah permanen, semi
permanen dan non permanen. Adapun karakteristik responden
menurut jenis rumah dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.5 : Distribusi Responden menurut Jenis Rumah diwilayah kerja Puskesmas Wonorejo SamarindaTahun 2009
JenisRumah
Kejadian TB Paru TotalKasus Kontrol
N % N % N %
NonPermanen
16 66,7 32 66,7 48 66,7
SemiPermanen
5 20,8 10 20,8 15 20,8
Permanen 3 12,5 6 12,5 9 12,5
Total 24 100 48 100 72 100
Dari tabel 4.5 menunjukkan bahwa pada penderita
Tuberkulosis paru BTA positif lebih banyak terdapat jenis rumah
non permanen yaitu sebesar 66,7%.
9. Analisis Univariat
a. Kepadatan Penghuni
Kepadatan Penghuni disini adalah perbandingan antara
luas lantai rumah responden dengan jumlah anggota keluarga
yang tinggal dalam satu rumah. Adapun hasil penelitian
mengenai kepadatan penghuni adalah sebagai berikut :
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
61/101
61
Tabel 4.6 : Distribusi Responden berdasarkan KepadatanPenghuni diwilayah kerja Puskesmas WonorejoSamarinda Tahun 2009
KepadatanPenghuni
Kejadian TB ParuTotal
Kasus Kontrol
N % N % N %
TMS 17 70,8 10 20,8 27 37,5
MS 7 29,2 38 79,2 45 62,5
Total 24 100 48 100 72 100
Dari tabel 4.6 menunjukkan bahwa pada penderita
Tuberkulosis paru BTA positif lebih banyak terdapat kondisi
kepadatan penghuni yang tidak memenuhi syarat kesehatan
yaitu sebesar 70,8%. Sedangkan pada responden yang tidak
menderita Tuberkulosis dengan persentase terbesar yaitu
79,2% terdapat kondisi kepadatan penghuni yang memenuhi
syarat kesehatan.
b. Ventilasi
Ventilasi disini adalah adalah tempat keluar masuknya
udara dari luar rumah, berupa jendela dan pintu yang terdapat
dirumah responden. Adapun hasil penelitian mengenai ventilasi
adalah sebagai berikut :
Tabel 4.7 : Distribusi Responden berdasarkan Ventilasirumah diwilayah kerja Puskesmas WonorejoSamarinda Tahun 2009
Ventilasi
Kejadian TB ParuTotal
Kasus Kontrol
N % N % N %
TMS 20 83,3 12 25,0 32 44,4
MS 4 16,7 36 75,0 40 55,6
Total 24 100 48 100 72 100
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
62/101
62
Dari tabel 4.7 menunjukkan bahwa pada penderita
Tuberkulosis paru BTA positif lebih banyak terdapat kondisi
ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu sebesar
83,3%. Sedangkan pada responden yang tidak menderita
Tuberkulosis dengan persentase terbesar yaitu 75% terdapat
kondisi ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan.
c. Pencahayaan
Pencahayaan disini adalah penerangan didalam rumah
responden yang bersumber dari sinar matahari pada siang hari.
Adapun hasil penelitian mengenai pencahayaan adalah sebagai
berikut :
Tabel 4.8 : Distribusi Responden berdasarkan Pencahayaanrumah diwilayah kerja Puskesmas WonorejoSamarinda Tahun 2009
Pencahayaan
Kejadian TB ParuTotal
Kasus Kontrol
N % N % N %
TMS 22 91,7 10 20,8 32 44,4
MS 2 8,3 38 79,2 40 55,6
Total 24 100 48 100 72 100
Dari tabel 4.8 menunjukkan bahwa pada penderita
Tuberkulosis paru BTA positif lebih banyak terdapat kondisi
pencahayaan yang tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu
sebesar 91,7%. Sedangkan pada responden yang tidak
menderita Tuberkulosis dengan persentase terbesar yaitu
79,2% terdapat kondisi pencahayaan yang memenuhi syarat
kesehatan.
d. Suhu
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
63/101
63
Suhu disini adalah Panas atau dinginnya udara di dalam
rumah responden yang diukur dalam satuan derajat. Adapun
hasil penelitian mengenai suhu adalah sebagai berikut :
Tabel 4.9 : Distribusi Responden berdasarkan suhu rumahdiwilayah kerja Puskesmas Wonorejo SamarindaTahun 2009
Suhu
Kejadian TB ParuTotal
Kasus Kontrol
N % N % N %
TMS 23 95,8 11 22,9 34 47,2
MS 1 4,2 37 77,1 38 52,8
Total 24 100 48 100 72 100
Dari tabel 4.9 menunjukkan bahwa pada penderita
Tuberkulosis BTA positif lebih banyak terdapat kondisi suhu
dalam rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu
sebesar 95,8%. Sedangkan pada responden yang tidak
menderita Tuberkulosis dengan persentase terbesar yaitu
77,1% terdapat kondisi suhu dalam rumah yang memenuhi
syarat kesehatan.
e. Kelembaban
Kelembababan disini adalah Banyaknya kandungan uap
air di udara dalam ruangan dirumah responden. Adapun hasil
penelitian mengenai kelembaban adalah sebagai berikut :
Tabel 4.10 : Distribusi Responden berdasarkan kelembabanrumah diwilayah kerja Puskesmas Wonorejo
Samarinda Tahun 2009
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
64/101
64
Kelembaban
Kejadian TB ParuTotal
Kasus Kontrol
N % N % N %
TMS 21 87,5 8 16,7 29 40,3MS 3 12,5 40 83,3 43 59,7
Total 24 100 48 100 72 100
Dari tabel 4.10 menunjukkan bahwa pada penderita
Tuberkulosis paru BTA positif lebih banyak terdapat kondisi
kelembaban rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan
yaitu sebesar 87,5%. Sedangkan pada responden yang tidak
menderita Tuberkulosis dengan persentase terbesar yaitu
83,3% terdapat kondisi kelembaban rumah yang memenuhi
syarat kesehatan.
10.Analisis Bivariat
a. Faktor Risiko Kepadatan Penghuni terhadap Kejadian TB
Paru BTA positif
Risiko kepadatan penghuni terhadap kejadian
Tuberkulosis paru BTA positif diwilayah kerja Puskesmas
Wonorejo pada 24 orang kelompok kasus dan 48 orang pada
kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel 4.11 berikut :
Tabel 4.11 : Faktor Risiko Kepadatan Penghuni terhadapKejadian TB Paru BTA positif diwilayah kerjaPuskesmas Wonorejo Samarinda Tahun 2009
KepadatanPenghuni
Kejadian TB ParuTotal
Chi-square
Test
PValue
OR95% CI
PhiValueKasus Kontrol
N % N % N %
17.067 .000 9.229 .487
TMS 17 70,8 10 20,8 27 37,5MS 7 29,2 38 79,2 45 62,5
Total 24 100 48 100 72 100
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
65/101
65
Tabel 4.11 diatas menunjukkan bahwa pada penderita
Tuberkulosis paru BTA positif, lebih tinggi persentase pada
faktor risiko positif atau pada kondisi kepadatan penghuni yang
tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu 70,8% (17 responden)
sedangkan pada kondisi kepadatan penghuni yang memenuhi
syarat kesehatan hanya 29,2% (7 responden).
Pada responden yang tidak menderita Tuberkulosis, lebih
tinggi persentase pada kondisi kepadatan penghuni yang
memenuhi syarat kesehatan yaitu 79,2% (38 responden)
sedangkan pada kondisi kepadatan penghuni yang tidak
memenuhi syarat kesehatan hanya 20,8% (10 responden).
Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi-square
diperoleh hasil p value = 0,000 artinya p < 0,05 sehingga Ho
ditolak dengan interpretasi bahwa ada hubungan kepadatan
penghuni terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif.
Dilihat dari analisa faktor risiko (Odds Ratio) sebesar
9,229 maka dapat di interpretasikan bahwa rumah dengan
kepadatan penghuni yang tidak memenuhi syarat kesehatan
mempunyai faktor risiko 9,2 kali terkena Tuberkulosis paru BTA
positif dibandingkan dengan kepadatan penghuni yang
memenuhi syarat kesehatan.
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
66/101
66
Nilai Phi menunjukkan nilai 0,487, artinya hubungan
antara kepadatan penghuni terhadap kejadian Tuberkulosis
paru BTA positif memiliki keeratan hubungan sedang.
b. Faktor Risiko Ventilasi Rumah terhadap Kejadian TB Paru
BTA positif.
Risiko ventilasi rumah terhadap kejadian Tuberkulosis
paru BTA positif diwilayah kerja Puskesmas Wonorejo pada 24
orang kelompok kasus dan 48 orang pada kelompok kontrol
dapat dilihat pada tabel 4.12 berikut :
Tabel 4.12 : Faktor Risiko Ventilasi Rumah terhadapKejadian TB Paru BTA positif diwilayah kerjaPuskesmas Wonorejo Samarinda Tahun 2009
Ventilasi
Kejadian TB ParuTotal
Chi-square
Test
PValue
OR95% CI
PhiValue
Kasus KontrolN % N % N %
22.050 .000 15.000 .553
TMS 20 83,3 12 25,0 32 44,4
MS 4 16,7 36 75,0 40 55,6
Total 24 100 48 100 72 100
Tabel 4.12 diatas menunjukkan bahwa pada penderita
Tuberkulosis paru BTA positif, lebih tinggi persentase faktor
risiko positif atau pada kondisi ventilasi yang tidak memenuhi
syarat kesehatan yaitu 83,3% (20 responden) sedangkan pada
kondisi ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan hanya 16,7%
(4 responden).
Pada responden yang tidak menderita Tuberkulosis, lebih
tinggi persentase pada kondisi ventilasi yang memenuhi syarat
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
67/101
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
68/101
68
Tabel 4.13 : Faktor Risiko Pencahayaan Rumah terhadap
Kejadian TB Paru BTA positif diwilayah kerjaPuskesmas Wonorejo Samarinda Tahun 2009
Pencahayaan
Kejadian TB ParuTotal
Chi-square
Test
PValue
OR95% CI
PhiValueKasus Kontrol
N % N % N %
32.512 .000 41.800 .672
TMS 22 91,7 10 20,8 32 44,4
MS 2 8,3 38 79,2 40 55,6
Total 24 100 48 100 72 100
Tabel 4.13 diatas menunjukkan bahwa pada penderita
Tuberkulosis paru BTA positif, lebih tinggi persentase faktor
risiko positif atau pada kondisi pencahayaan rumah yang tidak
memenuhi syarat kesehatan yaitu 91,7% (22 responden)
sedangkan pada kondisi pencahayaan rumah yang memenuhi
syarat kesehatan hanya 8,3% (2 responden).
Pada responden yang tidak menderita Tuberkulosis, lebih
tinggi persentase pada kondisi pencahayaan rumah yang
memenuhi syarat kesehatan yaitu 79,2% (38 responden)
sedangkan pada kondisi pencahayaan rumah yang tidak
memenuhi syarat kesehatan hanya 20,8% (10 responden).
Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi-square
diperoleh hasil p value = 0,000 artinya p < 0,05 sehingga Ho
ditolak dengan interpretasi bahwa ada hubungan pencahayaan
rumah terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif.
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
69/101
69
Dilihat dari analisa faktor risiko (Odds Ratio) sebesar
41,800 maka dapat di interpretasikan bahwa rumah dengan
pencahayaan yang tidak memenuhi syarat kesehatan
mempunyai faktor risiko 41,8 kali terkena Tuberkulosis paru
BTA positif dibandingkan dengan pencahayaan yang memenuhi
syarat kesehatan.
Nilai Phi menunjukkan nilai 0,672, hal ini menunjukkan
bahwa terjadi hubungan yang kuat antara pencahayaan rumah
terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif.
d. Faktor Risiko Suhu Rumah terhadap Kejadian TB Paru BTA
positif.
Risiko suhu rumah terhadap kejadian Tuberkulosis paru
BTA positif diwilayah kerja Puskesmas Wonorejo pada 24 orang
kelompok kasus dan 48 orang pada kelompok kontrol dapat
dilihat pada tabel 4.14berikut :
Tabel 4.14 : Faktor Risiko Suhu Rumah terhadap KejadianTB Paru BTA positif diwilayah kerja PuskesmasWonorejo Samarinda Tahun 2009
Suhu
Kejadian TB ParuTotal
Chi-square
Test
PValue
OR95% CI
PhiValueKasus Kontrol
N % N % N %
34.133 .000 77.364 .689
TMS 23 95,8 11 22,9 34 47,2
MS 1 4,2 37 77,1 38 52,8
Total 24 100 48 100 72 100
Tabel 4.14 diatas menunjukkan bahwa pada penderita
Tuberkulosis paru BTA positif, lebih tinggi persentase faktor
risiko positif atau pada kondisi suhu rumah yang tidak
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
70/101
70
memenuhi syarat kesehatan yaitu 95,5% (23 responden)
sedangkan pada kondisi suhu rumah yang memenuhi syarat
kesehatan hanya 4,2% (1 responden).
Pada responden yang tidak menderita Tuberkulosis, lebih
tinggi persentase pada kondisi suhu rumah yang memenuhi
syarat kesehatan yaitu 37 responden (77,1 %) sedangkan pada
kondisi suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan
hanya 11 responden (22,9 %).
Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi-square
diperoleh hasil p value = 0,000 artinya p < 0,05 sehingga Ho
ditolak dengan interpretasi bahwa ada hubungan suhu rumah
terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif.
Dilihat dari analisa faktor risiko (Odds Ratio) sebesar
77,364 maka dapat di interpretasikan bahwa rumah dengan
suhu yang tidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai faktor
risiko 77,4 kali terkena Tuberkulosis paru BTA positif
dibandingkan dengan suhu rumah yang memenuhi syarat
kesehatan.
Dilihat dari nilai Phi menunjukkan nilai 0,689, hal ini
menunjukkan bahwa terjadi hubungan yang kuat antara suhu
rumah terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif.
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
71/101
71
e. Faktor Risiko Kelembaban Rumah terhadap Kejadian TB
Paru BTA positif.
Risiko kelembaban rumah terhadap kejadian
Tuberkulosis paru BTA positif diwilayah kerja Puskesmas
Wonorejo pada 24 orang kelompok kasus dan 48 orang pada
kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel 4.15 berikut :
Tabel 4.15 : Faktor Risiko Kelembaban Rumah terhadapKejadian TB Paru BTA positif diwilayah kerjaPuskesmas Wonorejo Tahun 2009
Kelembaban
Kejadian TB ParuTotal
Chi-square
Test
PValue
OR95% CI
PhiValueKasus Kontrol
N % N % N %
33.373 .000 35.000 .681
TMS 21 87,5 8 16,7 29 40,3
MS 3 12,5 40 83,3 43 59,7
Total 24 100 48 100 72 100
Tabel 4.15 diatas menunjukkan bahwa pada penderita
Tuberkulosis paru BTA positif, lebih tinggi persentase faktor
risiko positif atau pada kondisi kelembaban rumah yang tidak
memenuhi syarat kesehatan yaitu 87,5% (21 responden)
sedangkan pada kondisi kelembaban rumah yang memenuhi
syarat kesehatan hanya 12,5% (3 responden).
Pada responden yang tidak menderita Tuberkulosis, lebih
tinggi persentase pada kondisi kelembaban rumah yang
memenuhi syarat kesehatan yaitu 83,3% (40 responden)
sedangkan pada kondisi kelembaban rumah yang tidak
memenuhi syarat kesehatan hanya 16,7% (8 responden).
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
72/101
72
Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi-square
diperoleh hasil p value = 0,000 artinya p < 0,05 sehingga Ho
ditolak dengan interpretasi bahwa ada hubungan kelembaban
rumah terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif.
Dilihat dari analisa faktor risiko (Odds Ratio) sebesar
35,000 maka dapat di interpretasikan bahwa rumah dengan
kelembaban yang tidak memenuhi syarat kesehatan
mempunyai faktor risiko 35 kali terkena Tuberkulosis paru BTA
positif dibandingkan dengan kelembaban rumah yang
memenuhi syarat kesehatan.
Dilihat dari nilai Phi menunjukkan nilai 0,681, hal ini
menunjukkan bahwa terjadi hubungan yang kuat antara
kelembaban rumah terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA
positif.
K. Pembahasan
1. Kepadatan Penghuni
Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai
rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal
(Lubis, 1989). Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh
perumahan biasa dinyatakan dalam m per orang.
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
73/101
73
Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan
menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan
penghuni yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil
bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni adalah 10 m/orang
dan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila
diperoleh hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni
adalah < 10 m/orang (Lubis, 1989).
Hasil penelitian pada penderita Tuberkulosis paru BTA
positif diketahui bahwa 70,8% (17 kasus) pada kondisi kepadatan
penghuni yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Keadaan ini
disebabkan oleh faktor pengetahuan yang rendah karena dari 17
orang responden dapat dilihat bahwa ada 82,3% (14 kasus)
dengan tingkat pendidikan rendah yaitu SMP dan SD. Tingkat
pendidikan seseorang mempengaruhi terhadap pengetahuan
seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat
kesehatan dan pengetahuan tentang penyakit TB Paru
(clubpenakita,2009). sehingga dengan pengetahuan yang kurang
maka seseorang tidak mengetahui cara perilaku hidup bersih dan
sehat. Dengan pendidikan rendah pula seseorang tidak
mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang cukup. Sehingga
mempengaruhi usaha dalam membangun rumah yang cukup untuk
penghuni dirumah responden.
Terdapat 29,4% (9 kasus) responden yang lebih banyak
melakukan aktifitas dirumah yaitu responden yang tidak bekerja
-
8/6/2019 4. Bab 1 Sampai Bab 5
74/101
74
dan bekerja sebagai wiraswasta atau pedagang yang melakukan
usahanya dirumah responden sendiri. 35,3% (6 kasus) dengan
pekerjaan sebagai buruh bangunan. Jenis pekerjaan menentukan
faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu. Bila pekerja
bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di
daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada
saluran pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat
meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit
saluran pernafasan dan umumnya TB Paru (clubpenakita,2009).
Pada kondisi kepadatan penghuni yang memenuhi syarat
kesehatan namun mereka menderita Tuberkulosis paru BTA positif
diketahui terdapat 29,2% (7 kasus). Ada 42,8% (3 kasus) dari 7
responden tersebut yang menderita Tuberkulosis meskipun
kepadatan penghuni memenuhi syarat kesehatan. Ini disebabkan
faktor kontak serumah dengan orang yang mempunyai riwayat
menderita Tuberkulosi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
kontak erat dengan penderita TBC BTA positif mempunyai risiko
maksimum untuk terinfeksi. Berdasarkan penelitian Salehuddin,
2002 di Kabupaten Maros, responden pada penderita yang memiliki
riwayat kontak serumah dengan penderita TBC sebanyak 69,2%
dan yang tidak memiliki riwayat kontak serumah dengan penderita
TBC seb