SKRIPSIdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 9. 3. · ini adalah...
Transcript of SKRIPSIdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 9. 3. · ini adalah...
TUTUPAN DAN KONDISI TERUMBU KARANG PADA BEBERAPA
LOKASI DAERAH PERLINDUNGAN LAUT COREMAP II KABUPATEN BIAK-NUMFOR
SKRIPSI
Oleh :
AIDIL SYAM
JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2012
TUTUPAN DAN KONDISI TERUMBU KARANG PADA BEBERAPA
LOKASI DAERAH PERLINDUNGAN LAUT COREMAP II KABUPATEN BIAK-NUMFOR
Oleh :
AIDIL SYAM
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2012
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Skripsi : Tutupan dan Kondisi Terumbu Karang Pada Beberapa Daerah Perlindungan Laut Coremap II Kabupaten Biak-Numfor.
Nama Mahasiswa : Aidil Syam NIM : L 111 05 042 Program Studi : Ilmu Kelautan
Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui oleh:
Komisi Pembimbing
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Prof. Dr. Ir. Chair Rani, M.Si NIP. 196804021992022001
Dr. Ir.Abdul Haris, M.Si NIP. 196512091992021001
Mengetahui
Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Ketua Program Studi Ilmu kelautan
Prof. Dr. Ir. Najamuddin, M.Sc NIP. 196007011986011001
Dr. Ir. Amir Hamzah. M, M.Si NIP. 196311201993031002
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Aidil Syam, lahir di Parepare, Sulawesi Selatan pada
tanggal 7 Juni 1986. Buah hati Drs. H. Syafruddin H dan Hj
Mariani ini merupakan anak kedua dari lima bersaudara.
Mulai masuk ke dunia pendidikan Taman kanak-kanak di
TK Aisyah II Parepare, pada tahun 1992 di Sekolah Dasar
Negeri 33 Parepare kemudian melanjutkan sekolahnya ke
SLTP 1 Parepare pada tahun 1998 dan SMU 1 Parepare pada tahun 2001. Pada
tahun 2005 penulis masuk keperguruan tinggi Universitas Hasanuddin Jurusan Ilmu
Kelautan melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).
Selama kuliah penulis sering aktif dalam beberapa organisasi kampus, tahun
2008 sebagai anggota Departemen Pengkaderan Senat Ilmu Kelautan dan pada
tahun 2009 sebagai koordinator peralatan Marine Science Diving Club Universitas
Hasanuddin (MSDC-UH) dan penulis juga aktif dalam beberapa organisasi ekstra
kampus sebagai Sekertaris di organisasi daerah pada tahun 2008. Penulis
melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) tahun 2011 pada Balai Kawasan
Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang, dan Kuliah Kerja Nyata Tematik
Pemberantas Buta Aksara (KKN- PBA) di Kec. Pajukukang Kabupaten Bantaeng
pada tahun 2010. Sebagai tugas akhir penulis melaksanakan penelitian tahun 2010
dengan judul penelitian Tutupan dan Kondisi Terumbu Karang Pada Beberapa
Lokasi Daerah Perlindungan Laut COREMAP II Kabupaten Biak-Numfor.
ABSTRAK
AIDIL SYAM, L 111 05 042 (Tutupan dan Kondisi Terumbu Karang Pada Beberapa Daerah Perlindungan Laut Coremap II Kabupaten Biak-Numfor) di bawah bimbingan Chair Rani sebagai Pembimbing Utama dan Abdul Haris, sebagai Pembimbing
Anggota.
Penelitian ini diaksanakan di daerah perlindungan laut (DPL) coremap II
kabupaten Biak-Numfor dari bulan Juni sampai Juli 2009. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui tutupan dan kondisi terumbu karang serta pengevaluasiannya. Di beberapa daerah perlindungan laut coremap II kabupaten Biak-Numfor. Pendataan terumbu karang menggunakan metode Point Intercept Transeck (PIT) dan Line Intercept Transeck (LIT). pada metode Point Intercept Transeck (PIT) tutupan karang hidup di pulau yaitu pulau Nusi (24%), pulau Auki (33,5%), dan pulau Wundi (30%) pesisir Mokmer (17%) dan pesisir Soryer (14,5%), untuk Line Intercept Transeck (LIT) pada kedalaman 3M tutupan karang hidup di pulau yaitu pulau Nusi (30,86%), pulau Auki (42,61%) dan pulau Wundi (26,82%) dan pesisir yaitu pesisir Mokmer (13,42%) dan pesisir Soryer (15,74%) dan pada kedalaman 10M tutupan kondisi karang hidup di pulau yaitu pulau Nusi (52,4%), pulau Auki (48,46%) dan pulau Wundi (47,1%) dan pesisir yaitu pesisir Mokmer (15,21%) dan pesisir Soryer (14,33%), tutupan kondisi karang baik, sedang dan rusak,baik itu kedalaman 3m dan 10m.
Kata Kunci : Terumbu Karang, Daerah Perlindungan Laut, Coremap II Biak-Numfor.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan
anugerah-Nya sehingga penelitian dan skripsi ini dapat terselesaikan. Salam dan
shalawat kepada Rasulullah Muhammad SAW yang membuka jalan kebenaran
kepada seluruh pengikutnya.
Banyak kendala yang ditemui oleh penulis dalam rangka penyusunan dan
penyelesaian skripsi ini. Namun berkat motivasi, bimbingan, arahan serta petunjuk
dari berbagai pihak akhirnya penulisan skripsi ini dapat terwujud. Penulis menyadari
sepenuhnya bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan baik cara
penulisan maupun substansinya, hal ini tidak terlepas dari fitrah manusia yang tak
luput dari kesalahan, oleh karena itu saran konstruktif senantiasa penulis harapkan
demi perbaikan di masa-masa mendatang.
Penulis tak lupa mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada
seluruh pihak yang telah membantu dalam setiap proses penyelesaian tahap demi
tahap dari awal sampai akhir penyusunan skripsi ini, semoga keikhlasan dan
ketulusan hati tetap selalu menjadi prioritas.
Penulis juga menyampaiakan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada :
1. Kedua orang tua penulis, Bapak Drs. H. Syafruddin. H dan Ibu Hj. Mariani.
yang telah membesarkan, memberikan dukungan moril maupun materil dan
senantiasa mendoakan penulis. Serta Saudariku Safriani, Sulfitri, Rapika dan
Hafsiani terimah kasih atas dukungan besar dan kecil.
2. Pembimbing Utama Prof. Dr. Ir. Chair Rani, M.Si dan pembimbing kedua Dr.
Ir.Abdul Haris, M.Si yang telah meluangkan banyak waktu dan pikiran untuk
membimbing, memotivasi, memberikan saran, ilmu dan perhatian selama
penulis menyelesaikan laporan akhir.
3. Para dosen penguji Bapak Dr. Mahatma, ST. M.Si., Ibu Dr. Inayah Yasir,
M.Sc., dan Bapak Syafyuddin Yusuf, ST. M.Si. yang telah meluangkan waktu
dalam memberikan perhatian, kritik dan saran terhadap skripsi penul is.
4. Ibu Dr. Ir. Rohani, A.R M.Si sebagai penasehat Akademik yang senantiasa
banyak membantu serta membimbing selama masa studi di Jurusan Ilmu
Kelautan
5. Seluruh dan segenap keluarga besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Universitas Hasanuddin, MSDC, Senat Ilmu dan Teknologi Kelautan atas
kebersamaannya selama ini..
6. Teman-teman angkatan 05 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang
telah menemani penulis selama kuliah di jurusan ilmu kelautan. Terimakasih
untuk semua bantuan, motivasi, kebersamaan, perhatian dan dukungannya.
7. Posko KKN PBA, terimakasih atas kebersamaannya selama 2 bulan.
8. Sahabatku Khaeruddin, Mahfud, Taufik, Taufik Arfah, Wahyu, dan Muh.
Ridwan, terima kasih yang sedalam-dalamnya.
9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun penulis
mengharapkan skripsi ini dapat berguna bagi setiap pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
No. Teks Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ iii
RINGKASAN ...................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv
DAFTAR ISI....................................................................................................... v
DAFTAR TABEL................................................................................................ vi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... vii
I. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1 1.2 Tujuan dan Kegunaan .............................................................................. 2 1.3 Ruang Lingkup ......................................................................................... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................... 4 2.1 Pengertian Terumbu Karang dan Karang ................................................ 4 2.2 Ekosistem Terumbu Karang .................................................................... 5 2.3 Bentuk Dan Zonasi Terumbu Karang ...................................................... 8 2.4 Biologi Karang .......................................................................................... 12 2.4.1 Pertumbuhan Karang ...................................................................... 14 2.4.2 Tipe Pertumbuhan Karang ............................................................. 15 2.4.3 Faktor – Faktor Pembatas Terumbu Karang ................................. 16
2.4.4 Penyebab Kerusakan Terumbu Karang .................................... 20
2.4.5 Manfaat Terumbu Karang ........................................................... 22
2.5 Daerah Perlindungan Laut ................................................................... 23 III. METODE PENELITIAN ................................................................................ 26 3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................... 26 3.2 Alat dan Bahan ......................................................................................... 27 3.3 Prosedur Penelitian .................................................................................. 27 3.3.1 Persiapan ......................................................................................... 27 3.3.2 Penentuan Stasiun dan Pemasangan Transek ............................. 28 3.3.3 Pengambilan Data .......................................................................... 28 3.4 Data Oseanografi ....................................................................................... 32
3.5 Analisis Data .......................................................................................... 33 3.5.1 Penentuan Tutupan Dasar Terumbu Karang ................................... 32 3.5.2 Penentuan Kondisi Terumbu Karang ............................................. 33 3.5.3 Evaluasi Kondisi Terumbu Karang .................................................. 33
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 35 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ........................................................ 35 4.2 Kondisi Oseanografi Pada Stasiun Pengamatan ..................................... 36 4.3 Persentase komponen tutupan dasar terumbu karang .......................... 37 4.3.1 Point Intercept Transek .................................................................. 37 4.3.2 Line Intercept Transek .................................................................... 40 4.4 Kondisi Terumbu Karang ......................................................................... 43 4.5 Evaluasi Tutupan dan Kondisi Terumbu Karang...................................... 44 V. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 49 5.1 Simpulan .................................................................................................. 49 5.2 Saran ........................................................................................................ 50 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 51 LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Nomor Teks Halaman
1. Posisi DPL di Kabupaten Biak Numfor ......................................................... 28
2. Kategori lifeform LIT ...................................................................................... 29
3. Kriteria penutupan kondisi terumbu karang ........................................... 33
4. Hasil pengukuran kondisi oseanografi .................................................... 36
5. Kondisi Terumbu Karang Di Padaido menggunakan metode LIT ...... 43
DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Halaman
1. Anatomi polyp karang dan kerangka kapur ................................................... 13 2. Peta lokasi Penelitian .................................................................................... 26 3. Bentuk Life Form Terumbu Karang .............................................................. 30 4. Grafik Point Intercept Transek untuk di Pulau dan kampung ....................... 38 5. Grafik Line Intercept Transek untuk di Pulau dan kampung
pada kedalaman 3 m .................................................................................... 40 6. Grafik Line Intercept Transek untuk di Pulau dan kampung
pada kedalaman 10 m .................................................................................. 42
7. Perbandingam persentase tutupan karang hidup pada Pulau dan pesisir pada kedalaman 3 m .................................................................................... 45
8. Perbandingam persentase tutupan karang hidup pada Pulau dan pesisir
pada kedalaman 10 m .................................................................................. 46
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kepulauan Padaido merupakan gugusan pulau kecil yang berada di
Samudera Pasifik pada sisi sebelah timur Pulau Biak. Kepulauan ini merupakan
gugusan pulau-pulau karang yang memiliki keindahan pantai dan beragam habitat
seperti atol, karang tepi, dan goa-goa bawah laut (Pemerintah Kabupaten Biak,
2005). Hamparan pulau-pulau kecil di Kepulauan Padaido memiliki potensi
sumberdaya kelautan yang melimpah, dan merupakan penopang kehidupan
masyarakat di kepulauan ini.
Kondisi terumbu karang dan jenis biota yang berasosiasi dengan terumbu
karang di Kepulauan ini secara umum masih relatif baik dengan keanekaragaman
hayati yang cukup tinggi, yaitu ditemukan keanekaragaman karang sekitar 90 jenis
yang tergolong dalam 41 genera dan 13 famili (Suharsono dan Leatemia, 1995)
Sebagai wilayah kepulauan dengan keanekaragaman hayati (biodiversity)
yang tinggi, Kepulauan Padaido tidak hanya berpotensi untuk pengembangan
perikanan tetapi juga sangat prospektif untuk pengembangan pariwisata bahari.
Oleh karena itu, terumbu karang merupakan ekosistem penting untuk menunjang
pengembangan sektor kelautan dan perikanan karena perannya sebagai habitat
untuk daerah asuhan (nursery ground), tempat mencari makan (feeding ground),
dan sebagai tempat pemijahan (spawning ground) (Tomascik et al., 1997).
Intervensi manusia berupa pemanfaatan sumberdaya tertentu seperti
penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (blast fishing) telah banyak
dilaporkan menjadi penyebab kerusakan terumbu karang, bukan saja di Indonesia
tetapi juga i Asia Tenggara (Briant et al., 1998). Selain itu, pengambilan karang
untuk bahan bangunan juga mengakibatkan degradasi terumbu karang di banyak
lokasi.
Terumbu karang memiliki daya dukung (carrying capacity) tertentu dan
merupakan ekosistem yang sangat rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan.
Jika terjadi perubahan lingkungan baik akibat peristiwa alamiah maupun karena
aktivitas manusia, maka potensi sumberdaya perikanan akan menjadi berkurang
atau bahkan punah (Supriharyono, 2007).
Upaya yang telah dilakukan untuk mengelola dan merehabilitasi ekosistem
terumbu karang di Kepulauan Padaido telah dilakukan oleh pemerintah melalui
program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (Coral Reef Rehabilitation
and Management Program, COREMAP). Salah satu kegiatan pada program
COREMAP II yaitu pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL) pada beberapa
desa atau kampung yang pengelolaannya berbasis masyarakat.
Untuk menilai keberhasilan pengelolaan DPL, maka perlu dievaluasi
perubahannya berdasarkan tutupan karang hidupnya dengan membandingkan
sebelum dibentuknya DPL dan setelah dibentuk dan dikelola.
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. mengetahui tutupan dan kondisi terumbu karang pada beberapa lokasi
daerah perlindungan laut (DPL) di kabupaten Biak-Numfor
2. mengevaluasi perubahan tutupan karang hidup dalam daerah perlindungan
laut selama beberapa tahun
Kegunaan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi dalam
upaya pengelolaan, konservasi dan pemanfaatan terumbu karang di Kabupaten
Biak-Numfor dan sebagai bahan acuan bagi penelitian sejenis maupun penelitian
yang dilakukan di daerah tersebut.
1.3 Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini meliputi Daerah Perlindungan Laut (DPL)
kepulauan Padaido kabupaten Biak-Numfor yang berada di daerah daratan utama
yang mencakup Kampung Mokmer dan Soryar, sedangkan daerah Pulau meliputi
Pulau Nusi, Auki, dan Pulau Wundi. Tutupan lifeform dan kondisi terumbu karang
dengan menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT) dan Point Intercept
Transect (PIT) serta parameter oseanografi fisika seperti suhu, salinitas dan arus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Terumbu Karang dan Karang
Terumbu karang adalah struktur di dasar laut berupa deposit kalsium
karbonat di laut yang dihasilkan terutama oleh hewan karang (Timotius, 2003).
Lerman (1986) dalam Mawardi (2002) menyebutkan bahwa terumbu karang terdiri
dari organisme yang hidup pada batuan kapur yang dihasilkan oleh beberapa
organisme anggota komunitas tersebut, hal ini dianggap sebagai suatu keunikan
terumbu karang, sedangkan menurut Nybakken (1992), bahwa terumbu karang
merupakan keunikan di antara asosiasi atau komunitas lautan yang seluruhnya
dibentuk oleh aktivitas biologis. Terumbu adalah endapan-endapan masif yang
penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh karang (Filum Cnidaria,
Kelas Anthozoa, Ordo Madreporaria) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur
dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat.
Karang adalah hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam Filum
Coelenterata (hewan berrongga) atau Cnidaria, yang disebut sebagai Karang (coral)
mencakup karang dari Ordo scleractinia dan Sub Kelas Octocorallia (Kelas
Anthozoa) maupun kelas Hydrozoa (Timotius, 2003). Karang adalah anggota Filum
Cnidaria, yang termasuk mempunyai bermacam-macam bentuk seperti ubur-ubur,
hidroid, hydra air tawar dan anemon laut. Karang dan anemon laut adalah anggota
taksonomi kelas yang sama yaitu Anthozoa. Perbedaan yang utama adalah
terumbu karang menghasilkan kerangka luar kalsium karbonat (Nybakken, 1992).
2.2 Ekosistem Terumbu Karang
Terumbu karang (coral reef) merupakan suatu ekosistem yang khas terdapat
di dasar perairan laut dangkal terutama di daerah tropis, di susun oleh karang-
karang jenis Anthozoa dari klas Scleratinia, ekosistem ini merupakan karang
hermatipik atau jenis karang yang mampu membuat bangunan atau kerangka kapur
dari kalsium karbonat (Vaughan dan Wells, 1943).
Terumbu karang (coral reef) sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni
utama karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh
ribuan hewan kecil yang disebut polyp. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri
dari satu polyp saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut
yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada kebanyakan
spesies, satu individu polyp karang akan berkembang menjadi banyak individu yang
disebut koloni (Sorokin, 1993).
Terumbu karang adalah suatu ekosistem di laut tropis yang mempunyai
produktivitas tinggi (Sukarno et al., 1986). Terumbu karang merupakan ekosistem
yang khas di daerah tropis dan sering digunakan untuk menentukan batas
lingkungan perairan laut tropis dengan laut sub tropis maupun kutub (Nontji, 1987
dan Nybakken, 1988). Ekosistem ini mempunyai sifat yang menonjol karena
produktivitas dan keaneka- ragaman jenis biotanya yang tinggi. Longhurst dan Pauly
(1987) menyatakan bahwa besarnya produktivitas yang dimiliki terumbu karang
disebabkan oleh adanya pendauran ulang zat-zat hara melalui proses hayati.
Berdasarkan kepada kemampuan memproduksi kapur maka karang
dibedakan menjadi dua kelompok yaitu karang hermatipik dan karang ahermatipik.
Karang hermatifik adalah karang yang dapat membentuk bangunan karang yang
dikenal menghasilkan terumbu dan penyebarannya hanya ditemukan di daerah
tropis. Karang ahermatipik tidak menghasilkan terumbu dan ini merupakan kelompok
yang tersebar luas diseluruh dunia. Perbedaan utama karang Hermatipik dan karang
ahermatipik adalah adanya simbiosis mutualisme antara karang hermatipik dengan
zooxanthellae, yaitu sejenis algae unisular (Dinoflagellata unisular), seperti
Gymnodinium microadriatum, yang terdapat di jaringan-jaringan polip binatang
karang dan melaksanakan fotosistesis. Hasil samping dari aktivitas ini adalah
endapan kalsium karbonat yang struktur dan bentuk bangunannya khas. Ciri ini
akhirnya digunakan untuk menentukan jenis atau spesies binatang karang. Karang
hermatipik mempunyai sifat yang unik yaitu perpaduan antara sifat hewan dan
tumbuhan sehingga arah pertumbuhannya selalu bersifat fototeopik positif.
Umumnya jenis karang ini hidup di perairan pantai /laut yang cukup dangkal dimana
penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan tersebut. Disamping itu
untuk hidup binatang karang membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara 25-
32 oC (Nybakken, 1982).
Hewan karang sebagai pembangun utama terumbu adalah organisme laut
yang efisien karena mampu tumbuh subur dalam lingkungan sedikit nutrien
(oligotrofik). Menurut Sumich (1992) dan Burke et al. (2002) sebagian besar spesies
karang melakukan simbiosis dengan alga simbiotik yaitu zooxanthellae yang hidup di
dalam jaringannya. Dalam simbiosis, zooxanthellae menghasilkan oksigen dan
senyawa organik melalui fotosintesis yang akan dimanfaatkan oleh karang,
sedangkan karang menghasilkan komponen inorganik berupa nitrat, fosfat dan
karbon dioksida untuk keperluan hidup zooxanthellae.
Berdasarkan kemampuan karang untuk membentuk terumbu dan
simbiosisnya dengan alga simbiotik, keseluruhan karang dapat dibagi oleh beberapa
kelompok (Sorokin, 1993), yaitu :
1 Hermatipik-simbiotik; kelompok ini termasuk sebagian besar karang-karang
Scleractinia pembentuk bangunan terumbu, Octocoral dan Hydrocoral.
2 Hermatipik-asimbiotik; kelompok ini memiliki pertumbuhan yang lambat dapat
membentuk kerangka kapur masif tanpa pertolongan algae simbiotik, yang
mana mereka mapu untuk hidup di lingkungan yang gelap di dalam gua,
terowongan dan bagian terdalam dalam kontinental slope. Diantara mereka
terdapat Scleractinia-Scleractinia asimbiotik Tubastrea dan Dendrophyllia,
dan Hydrocoral Stylaster rosacea.
3 Ahermatipik-asimbiotik; di antara Scleractinia didapatkan bagian yang
masuk ke dalam grup ini, sebagian kecil Fungiidae, seperti Heteropsammia
dan Diaseris, dan juga karang Leptoseris (Famili Agaricidea), yang tetap
sebagai satu polyp-polyp yang kecil atau koloni-koloni kecil, dan tidak dapat
dimasukkan sebagai pembentuk bangunan karang. Kelompok ini juga
termasuk sebagian besar Octocoral-Alcyonacea dan Gorgoniacea yang
memiliki alga simbion tetapi tidak membentuk bangunan kapur masif.
4 Ahermatipik-asimbiotik; untuk kelompok ini termasuk beberapa Scleractinia,
beberapa spesies dari genera Dendrophyllia dan Tubastrea, yang
mempunyai polyp yang kecil. Ahermatipik-asimbiotik juga termasuk
Hexacoral dari ordo Antiphataria dan Corallimorpharia, dan simbiotik
Octocoral.
Diantara tiga struktur tersebut, terumbu karang yang paling umum dijumpai di
perairan Indonesia adalah terumbu karang tepi (Nybakken, 1992). Penjelasan ketiga
tipe terumbu karang sebagai berikut :
1) Terumbu karang tepi (fringing reef) ini berkembang di sepanjang pantai dan
mencapai kedalaman tidak lebih dari 40m. Terumbu karang ini tumbuh
keatas atau kearah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat dibagian
yang cukup arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang
batu cenderung mempunyai pertumbuhaan yang kurang baik bahkan banyak
mati karena sering mengalami kekeringan dan banyak endapan yang datang
dari darat.
2) Terumbu karang tipe penghalang (Barrier reef ) terletak di berbagai jarak
kejauhan dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang
terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-70 m). Umumnya
memanjang menyusuri pantai dan biasanya berputar-putar seakan – akan
merupakan penghalang bagi pendatang yang datang dari luar. Contohnya
adalah The Greaat Barier reef yang berderet disebelah timur laut Australia
dengan panjang 1.350 mil.
3) Terumbu karang cincin (atol) yang melingkari suatu goba (lagoon).
Kedalaman goba di dalam atol sekitar 45 m jarang sampai 100 m seperti
terumbu karang penghalang. Contohnya adalah atol Taka Bone Rate di
Kabupaten Selayar Sulawesi Selatan.
2.3 Bentuk dan Zonasi Terumbu Karang
Ada tiga bentuk utama terumbu karang yaitu terumbu karang tepi,
penghalang dan atol. Terumbu karang tepi terdapat di sepanjang pantai dan
mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 m. Antara punggung terumbu dan pantai
biasanya terdapat rataan terumbu. Terumbu karang penghalang berada jauh dari
pantai, dipisahkan oleh laguna yang dalam sekitar 40-75 m. Atol merupakan terumbu
karang yang bentuknya melingkar seperti cincin atau sabit yang mengitari laguna
yang mempunyai dalam 40-100 m (Whitten,1987; Boaden dan Seed 1985).
Menurut (Sorokin,1993) Zona karang/terumbu karang meliputi:
a. Zona tebing (Slope), terdiri dari :
zona tebing terumbu dengan kedalaman 200 – 80 m, biasanya
terbentuk oleh tebing curam berbatu dari bagian dasar terumbu masa
lampau, umumnya ditumbuhi oleh karang ahermatipik dan sponge.
zona tebing terumbu dengan kedalaman 80-40 m, dibentuk oleh tebing
curam berbatu dari bagian dasar terumbu masa lampau, ditumbuhi
karang, sponge berkapur, polychaeta menetap dan alga berkapur.
zona tebing terumbu dengan kedalaman 40-20 m, dibentuk oleh tebing
curam berbatu dari bagian dasar terumbu masa lampau, ditumbuhi oleh
karang, sponge berkapur, bryozoa, gorgonacea dan hydroid yang
berlimpah.
zona penopang (=buttres) dengan kedalaman 20-8 m, disini pertumbuhan
karang sangat subur, dengan spesies karang yang keanekaragamannya
tinggi, serta gorgonacea.
zona campuran dengan kedalaman 8-6 m, ditumbuhi dengan subur oleh
karang yang tumbuh pada kondisi tekanan ombak yang cukup besar yang
mensuplai oksigen dan makanan serta membersihkan karang dari
endapan sedimen.
zona frontal moat dengan kedalaman 6-4 m, di zona ini pertumbuhan
karang dihambat oleh sedimen dari rataan terumbu, biasanya ditutupi oleh
pasir dan patahan karang yang ditumbuhi oleh perifiton.
zona pemecah ombak dengan kedalaman 0-2 m, pada terumbu Lautan
Atlantik, zona ini biasanya ditumbuhi oleh ganggang berkapur.
2. Zona rataan terumbu, terdiri dari :
zona algae ridge, berada pada ujung terumbu (yang menghadap arah
angin) dan dibangun oleh alga karang.
zona boulder ramparts dibentuk oleh koloni karang dan alga karang.
zona rataan terumbu bagian dalam, konstruksi yang menutupinya
tergantung pada permukaan laut dan pasang surut. Jika tersingkap pada
saat surut, sebagian besar ditutupi oleh alga karang dan koloni karang
dalam jumlah kecil. Jika tersingkap hanya sebagian pada saat surut,
biasanya ditutupi oleh makrofita, karang bercabang, zoantharia, dan alga
karang bercabang. Pada rataan terumbu yang selalu berada dibawah
permukaan air, komunitas karangnya berlimpah.
zona rataan terumbu bagian belakang dengan kedalaman 1-4 m, berada
pada sisi belakang rataan terumbu atau sepanjang tebing terumbu bagian
dalam yang menghadap laguna. Tersusun dari karang dan aalga karang.
zona tebing terumbu laguna bagian dalam, dengan kedalaman 2-20 m,
memperlihatkan tebing yang terdiri dari patahan karang dan pasir.
zona laguna dengan kedalaman 5-40 m, laguna dangkal ditutupi oleh
50% pasir dan biasanya ditutupi oleh spot-spot karang.
Zona terumbu teduh (=leeward) dengan kedalaman 0-2 m, ditunjukkan oleh
adanya bidang-bidang terumbu, mikroatol, bukit-bukit patahan karang dan karang
mati.
Moberg and Folke (1999) dalam Cesar (2000) menyatakan bahwa fungsi
ekosistem terumbu karang yang mengacu kepada habitat, biologis atau proses
ekosistem sebagai penyumbang barang maupun jasa. Untuk barang merupakan
yang terkait dengan sumberdaya pulih seperti bahan makanan yaitu ikan, rumput
laut dan tambang seperti pasir. Sedangkan untuk jasa dari ekosistem terumbu
karang dibedakan :
1. jasa struktur fisik sebagai pelindung pantai.
2. jasa biologi sebagai habitat dan dan suport mata rantai kehidupan.
3. jasa biokimia sebagai fiksasi nitrogen.
4. jasa informasi sebagai pencatatan iklim.
5. jasa sosial dan budaya sebagai nilai keindahan, rekrasi dan permainan
Terumbu karang menyediakan berbagai manfaat langsung maupun tidak
langsung. Cesar (2000) menjelaskan bahwa ekosistem terumbu karang banyak
meyumbangkan berbagai biota laut seperti ikan karang, mollusca, crustacean bagi
masyarakat yang hidup dikawasan pesisir. Selain itu bersama dengan ekosistem
pesisir lainnya menyediakan makanan dan merupakan tempat berpijah bagi
berbagai jenis biota laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.
Menurut Munro dan William dalam Dahuri (1996) dari perairan yang terdapat
ekosistem terumbu karang pada kedalaman 30 m setiap kilometer perseginya
terkandung ikan sebanyak 15 ton. Sementara itu Supriharyono (2000)
mengemukakan bahwa tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang,
memungkinkan ekosistem ini dijadikan tempat pemijahan, pengasuhan, dan mencari
makan bagi banyak biota laut. Menurut Salm (1984) dalam Supriharyono (2000),
bahwa 16% dari total hasil ekspor ikan Indonesia berasal dari daerah karang.
3.1 2.4 Biologi Karang
Karang termasuk ke dalam kelas Anthozoa, merupakan kelas organisme
terbesar dari Phylum Cnidaria. Karang keras merupakan istilah untuk kelompok
karang yang memiliki kerangka luar (eksoskeleton). Karang keras berdasarkan
skeleton (kerangka karang) menurut Veron (1986) diklasifikasikan sebagai berikut :
Filum : Cnidaria
Kelas : Anthozoa
Sub Kelas : Hexacorallia
Ordo : Scleractinia
Karang merupakan binatang yang sederhana berbentuk tabung dengan
mulut berada di atas yang juga berfungsi sebagai anus yang mampu mengeluarkan
cnidosit (sel penyengat) (Gambar 1) serta mampu melakukan pengendapan. Di
sekitar mulut dikelilingi oleh tentakel yang berfungsi sebagai penangkap makanan.
Mulut karang berhubungan dengan tenggorokan yang pendek dengan rongga perut
terletak di bawahnya. Rongga perut berisi usus yang disebut dengan mesenteri
filamen yang berfungsi sebagai alat pencerna, dan tempat perkembangan gonad.
Selanjutnya dijelaskan bahwa karakteristik dari hewan tersebut ialah: bentuk tubuh
simetris bilateral, bersifat sesil/sedentari, cara hidup berkoloni (kelompok),
bereproduksi secara seksual dan aseksual, skeleton kompak yang terbuat dari
bahan kapur, dengan jumlah tentakel enam atau kelipatannya (Suharsono,
1987,1996).
Karang tersusun dari jaringan yang lunak dan bagian yang keras yang
berbentuk kerangka kapur (Veron, 1986; Suharsono, 1996). Bagian lunak hewan
karang terdiri dari tiga bagian yaitu ektoderm, mesoglea dan gastroderm. Ektoderm
merupakan jaringan terluar yang banyak mengandung silia, kantung mukus dan
sejumlah nematosit. Mesoglea adalah jaringan homogen menyerupai jeli, terletak
antara ektoderm dan gastroderm. Gastroderm merupakan jaringan paling dalam,
sebagian besar terisi oleh zooxanthellae yang merupakan alga unuseluler yang
hidup bersimbiosis dengan hewan karang.
Rangka karang terdiri dari kristal kalsium karbonat dan disekresikan oleh
epidermis yang berada di pertengahan bawah polyp. Proses sekresi ini meghasilkan
rangka cawan (skeletal cup), Tempat polyp koral menetap. Cawan tersebut
dinamakan calyx, dinding yang mengelilingi cawan disebut theca dan lantai cawan
disebut lempeng basal (basal plate). Pada bagian lantai terdapat dinding septa yang
terbuat dari kapur tipis (radiating calcareous septa) (Gambar 1). Disamping
memberikan tempat hidup bagi polyp karang, cangkang (terutama
sklerosepta/septa) juga memberikan perlindungan. Bila berkontraksi, polyp menjadi
kecil dan berada dalam cangkang sehingga menyulitkan predator yang akan
memangsanya (Barnes, 1980).
Gambar 1. Anatomi polyp karang dan kerangka kapur (Barnes 1980; Nybakken
1993).
Karang memiliki dua cara untuk mendapatkan makan, yaitu 1) menangkap
zooplankton yang melayang dalam air; 2) menerima hasil fotosintesis zooxanthellae.
Ada pendapat para ahli yang mengatakan bahwa hasil fotosintesis zooxanthellae
yang dimanfaatkan oleh karang, jumlahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan
proses respirasi karang tersebut (Muller-Parker & D’Elia 2001 dalam Timotius,
2003). Sebagian ahli lagi mengatakan sumber makanan karang 75-99% berasal dari
zooxanthellae (Tucket & Tucket 2002 dalam Timotius, 2003). Ada dua mekanisme
bagaimana mangsa yang ditangkap karang dapat mencapai mulut: 1) mangsa
ditangkap lalu tentakel membawa mangsa ke mulut 2) mangsa ditangkap lalu
terbawa ke mulut oleh gerakan silia di sepanjang tentakel.
2.4.1 Pertumbuhan Karang
Suatu jenis karang dari genus yang sama dapat mempunyai bentuk
pertumbuhan yang berbeda-beda. Menurut English et al. (1994) bentuk
pertumbuhan karang keras terbagi atas karang Acropora dan karang non-Acropora.
Karang non-Acropora adalah karang yang tidak memiliki axial coralit terdiri atas:
a. Coral Branching (CB), memiliki cabang lebih panjang daripada diameter
yang dimiliki.
b. Coral massive (CM), berbentuk seperti bola dengan ukuran yang
bervariasi, permukaan karang halus dan padat. Dapat mencapai ukuran
tinggi dan lebar sampai beberapa meter.
c. Coral encrusting (CE), tumbuh menyerupai dasar terumbu dengan
permukaan yang kasar dan keras serta berlubang-lubang kecil.
d. Coral submassive (CS), cenderung untuk membentuk kolom kecil, wedge-
like.
e. Coral foliose (CF), tumbuh dalam bentuk lembaran-lembaran yang
menonjolyang pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk
lipatan atau melingkar .
f. Coral Mushroom (CMR), berbentuk oval dan tampak seperti jamur,
memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit beralur dari tepi hingga
pusat mulut.
g. Coral millepora, (CME), yaitu karang api.
h. Coral heliopora (CHL), yaitu karang biru.
Untuk karang jenis Acropora adalah karang yang adalah karang yang
memiliki axial coralit dan radial coralit. English et al. (1994) menggolongkannya
sebagai berikut:
a. Acropora branching (ACB), berbentuk bercabang seperti ranting pohon.
b. Acropora encrusting (ACE), bentuk mengerak, biasanya terjadi pada
Acropora yang belum sempurna.
c. Acropora tabulate (ACT), bentuk bercabang dengan arah mendatar dan
rata seperti meja.
d. Acropora submassive (ACS), percabangan bentuk gada/lempeng dan
kokoh.
e. Acropora digitate, (ACD), bentuk percabangan rapat dengan cabang
seperti jari-jari tangan.
2.4.2 Tipe Pertumbuhan Karang
Karang mempunyai variasi bentuk pertumbuhan individu ataupun koloninya
yang berkaitan erat dengan tata air dan pencahayaan dari sinar matahari pada
masing-masing lokasi. Menurut Dahl (1981) dalam Sadarun (1999), tipe
pertumbuhan karang dapat dibedakan menjadi:
1. tipe bercabang (branching). Karang seperti ini memiliki cabang dengan ukuran
cabang lebih panjang dibandingkan dengan ketebalan atau diameter yang
dimilikinya.
2. tipe padat (massive). Karang ini memiliki koloni yang keras dan umumnya
berbentuk bulat, permukaannya halus dan padat. Ukurannya bervariasi mulai
dari sebesar telur sampai dengan sebesar ukuran rumah.
3. tipe kerak (encrusting). Karang ini tumbuh merambat dan menutupi permukaan
dasar terumbu. Karang ini memiliki permukaan yang kasar dan keras serta
lubang-lubang kecil.
4. tipe meja (tabulate). Karang ini berbentuk menyerupai meja dengan permukaan
yang lebar dan datar serta ditopang oleh semacam tiang penyangga yang
merupakan bagian dari koloni.
5. tipe daun (foliose). Karang ini tumbuh dengan membentuk lembaran-lembaran
yang menonjol pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan
melingkar.
6. tipe jamur (mushroom). Karang ini terdiri dari satu buah polyp yang berbentuk
oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit
yang beralur dari tepi hingga pusat.
2.4.3 Faktor – Faktor Pembatas Terumbu Karang
Agar dapat memahami mengapa karang dapat hidup dengan kekayaan
keanekaragaman biotanya, perlu diingat beberapa konsep sederhana berikut ini.
Pertama, tumbuhan dan hewan harus memperoleh kebutuhan dasarnya agar dapat
hidup dan mempertahankan dirinya. Kedua, setiap jenis hewan yang terlihat di
terumbu mempunyai gaya hidup tersendiri untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar
hidupnya dengan caranya yang tersendiri pula. Ketiga, bentuk penampakan luar
tumbuhan dan hewan menunjukkan dengan jelas bagaimana mereka mampu hidup
beradaptasi dengan lingkungan habitatnya (Murdiyanto, 2003).
Kehidupan terumbu karang sangat dipengaruhi oleh faktor – faktor pembatas
yaitu: kedalaman, cahaya, suhu, salinitas, endapan dan sedimen, serta arus.
a. Cahaya
Pengaruh cahaya sangat penting bagi pertumbuhan terumbu karang
dikarenakan pada terumbu karang hidup zooxanthellae yang melakukan fotosintesis
dimana hewan karang memperoleh nutrisi dari hasil fotosintesis tersebut. Mengingat
hewan karang (hermatypic) hidupnya bersimbiosis dengan alga tersebut. Titik
kompensasi hewan karang terhadap cahaya antara 200-700 f.c (foot candela).
Sedangkan intensitas cahaya di permukaan laut secara umum antara 2500-5000 f.c
mengingat kebutuhan tersebut, maka hewan karang (reef coral) umumnya tersebar
di daerah tropis (Supriharyono, 2000a).
b. Kedalaman
Berkaitan dengan pengaruh cahaya ( illumination) terhadap pertumbuhan
karang maka faktor kedalaman juga sangat membatasi keberadaan terumbu karang.
Kebanyakan terumbu karang hidup di bawah 25 m. Hewan karang tidak dapat
berkembang di perairan yang lebih dalam dari 50-70 m. Semakin dalam suatu lautan
maka semakin berkurang cahaya yang dapat masuk ke dalam lautan tersebut,
sehingga akan mempengaruhi laju fotosintesis. Sehingga terumbu karang hidup
dengan baik pada kedalaman kurang dari 20 m (Nybakken, 1988).
Cahaya dan kedalaman berperan penting untuk kelangsungan proses
fotosintesis oleh zooxanthellae yang terdapat di jaringan karang. Terumbu yang
dibangun oleh karang hermatipik dapat hidup di perairan dengan kedalaman
maksimal 50-70 meter, dan umumnya berkembang di kedalaman 25 meter atau
kurang. Titik kompensasi untuk karang hermatipik berkembang menjadi terumbu
adalah pada kedalaman dengan intensitas cahaya 15-20% dari intensitas di
permukaan
c. Suhu
Suhu mempengaruhi kecepatan metabolisme, reproduksi dan perombakan
bentuk luar dari karang (Tomascik et al., 1997). Perkembangan terumbu karang
yang optimal terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunannya 25° C - 30° C
(Sukarno, 1995 dalam Warmadewa, 2001). Naiknya suhu permukaan laut
mempengaruhi kepekaan zooxanthellae, contohnya sinar yang diperlukan untuk
fotosintesis malah merusak sel-selnya (Hoegh-Guldberg, 1999 dalam West et al.,
2001).
Hampir semua jenis karang, perkembangan terumbu karang terdapat pada
daerah dengan suhu diatas 20° C, walau ada juga jenis karang yang terdapat pada
suhu agak rendah yaitu 16° C (Naamin, 2001).
Kebiasaan makan hewan karang dipengaruhi oleh fluktuasi suhu.
Kemampuan makannya menurun pada kondisi suhu ekstrim rendah dan tinggi
(Rachmawati, 2001). Menurut Nybakken (1988), terumbu karang dapat mentolerir
suhu sampai kira-kira 36° C - 40° C.
Pada suhu dibawah 18º C dapat menghambat pertumbuhan karang bahkan
dapat mengakibatkan kematian. Pada suhu diatas 33º C dapat menyebabkan gejala
pemutihan (bleaching), yaitu keluarnya zooxanthellae dari polyp karang dan akibat
selanjutnya dapat mematikan karang (Tomascik, 1991).
Diketahui bahwa sangat sedikit binatang karang yang dapat mentoleransi
suhu dibawah 11° C dalam kondisi alami. Oulastrea crispata di Semenanjung Noto,
Laut Jepang, dapat mentolerir suhu sampai dengan kira – kira 0° C (untuk jangka
waktu yang tidak diketahui) dan rupanya zooxanthellae pada karang tersebut juga
dapat melakukannya (Yajima et al., M. Nishihira pers comm) dalam Veron (1995).
Siderastrea radians (tempat tak diketahui) dicatat dapat mentoleransi suhu 4,5° C
(Vaughan dan Wells, 1943).
d. Salinitas
Salinitas berfungsi sebagai pengatur tekanan osmose dan elektrolit tubuh
organisme dan lingkungan sekitarnya. Kondisi salinitas yang baik bagi kehidupan
karang berkisar antara 32-35 ‰ (Naamin, 2001). Sedangkan menurut Wibisono
(2005), agar dapat mengalami pertumbuhan, karang memerlukan kondisi salinitas
yang cukup yaitu 30-32 ‰. (Supriharyono, 2000) menyatakan bahwa binatang
karang hidup subur pada kisaran salinitas sekitar 34-36 ‰.
Karang hermatipik adalah organisme lautan sejati dan hanya dapat hidup
pada salinitas air laut yang normal (32-35 ‰) (Nybakken, 1988). Itulah sebabnya
karang jarang ditemukan hidup pada daerah-daerah muara sungai besar, bercurah
hujan tinggi, atau perairan dengan kadar garam tinggi. Menurut Nontji (2005), hewan
karang batu mempunyai toleransi terhadap salinitas sekitar 27-40 ‰.
e. Arus
Bagian dari terumbu karang yang terekspose (berhadapan) dengan arus
adalah yang pertama masuknya air dan bersamanya terbawa zat-zat hara, makanan
yang bersifat planktonis, rekruitmen larva, endapan dan polutan (Naamin, 2001).
Menurut Nybakken (1988), arus memberi plankton yang baru untuk makanan
koloni karang. Walaupun demikian ombak yang terlalu besar akan mempengaruhi
pertumbuhan vertikal dari binatang karang, sehingga terumbu karang lebih banyak
didominasi oleh jenis karang masif.
Arus, pergerakan massa air, dan gelombang diperlukan untuk transportasi
zat hara, larva, bahan sedimen, dan oksigen serta mendatangkan makanan berupa
plankton. Disamping itu juga, arus dan gelombang dapat membersihkan polyp dari
kotoran yang menempel. Oleh karena itu pertumbuhan karang di tempat yang airnya
selalu teraduk oleh arus dan ombak, lebih baik daripada di perairan yang tenang dan
terlindung (Nontji, 2005).
2.4.4 Penyebab Kerusakan Terumbu Karang
Kegiatan-kegiatan yang merusak terumbu karang, menurut (Soedharma et
al., 1997) yaitu :
1. Pengembangan wilayah pesisir
Kegiatan pengerukan untuk mendapatkan lahan industri, perumahan,
rekreasi, dan lapangan udara ataupun pengerukan untuk memperdalam alur
pelayaran bagi pelabuhan ataupun marina memberikan dampak yang sangat besar
karena menyebabkan kekeruhan air dan juga dapat mengubah pola sirkulasi air.
Kekeruhan akibat sedimentasi dapat terbawa arus cukup jauh, tergantung dari besar
kecilnya partikel sedimen, sehingga dapat menggangu kehidupan terumbu karang
yang letaknya jauh dari lokasi aktivitas.
2. Penambangan karang batu
Sejumlah besar karang batu dan pasir diambil setiap tahunnya untuk
kebutuhan pembuatan kapur, bahan pembuatan jalan dan bangunan, dan juga untuk
pembangunan pondasi rumah. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya erosi dan juga
berpindahnya pasir ke lokasi lain sebagai akibat dari perubahan pola sirkulasi.
Penambangan karang batu di Indonesia merupakan kegiatan yang penting untuk
dikaji karena selain merupakan kegiatan yang dilarang juga menimbulkan dampak
berat terhadap kawasan pesisir dan peruntukkannya.
3. Cara penangkapan merusak
Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak ataupun bahan
kimia beracun dinyatakan terlarang namun kegiatan penangkapan dengan cara ini
masih terus berlangsung secara meluas di seluruh perairan Indonesia. Cara
penangkapan dengan bahan kimia beracun dan bahan peledak merupakan kegiatan
yang sangat merusak atau menghancurkan terumbu karang. Cara penangkapan
ikan lainnya yang dikategorikan dapat merusak terumbu karang adalah pukat dasar
(trawl) yang dioperasikan berdekatan dengan terumbu karang serta penangkapan
dengan bubu di terumbu karang. Penangkapan dengan menggunakan tombak atau
panah (spearfishing) juga banyak dilakukan dan dampaknya terhadap kelestarian
terumbu karang masih banyak diperdebatkan (Iskandar, 2001)
4. Pemanfaatan rekreasi intensif
Walaupun sekarang ini wisata bahari belum menyebar luas di Indonesia
namun gejala-gejala peningkatan rekreasi ini menunjukkan peningkatan yang cukup
tajam. Wisata bahari merupakan salah satu rekreasi yang dapat menimbulkan
kerusakan pada terumbu karang terutama berkenaan dengan aktivitas rekreasi
penyelaman. Dampak negatif lainnya yang dapat ditimbulkan oleh wisata bahari
antaranya kerusakan terumbu karang akibat membuang jangkar diatas terumbu,
perahu mendaratkan wisatawan diatas terumbu, wisatawan berjalan diatas terumbu,
limbah dari kemasan (plastik, kaleng minuman) dan pengambilan biota sebagai
cinderamata.
Kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan wisata bahari pada umumnya
bersifat lokal. Tampaknya dampak yang berat tidak berasal dari kegiatan di dalam
airnya tetapi lebih sebagai akibat dari pengembangan wilayah pesisir untuk wisata
dan pencemaran di wilayah-wilayah yang sempit berupa teluk-teluk kecil dengan
sistem sirkulasi agak tertutup. Pemecah ombak atau dermaga dibangun untuk
melindungi pantai namun hal ini menyebabkan berubahnya pola arus yang
menyebabkan timbulnya erosi pantai. (Suyarso dan Djuwariah, 2008)
2.4.5 Manfaat Terumbu Karang
Ekosistem terumbu karang mempunyai manfaat yang beraneka ragam.
Manfaatnya tidak hanya berhubungan dengan biota laut, sebagai tempat tinggalnya.
Terumbu karang merupakan penunjang produksi perikanan, sumber makanan
maupun industri, dan menjadi salah satu alternatif objek wisata bahari yang
ditawarkan pada wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Beberapa
manfaat lain terumbu karang adalah : sebagai penahan ombak, budidaya sumber
makanan, dan industri (Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, 2001).
Karang memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, seperti
makanan, perlindungan, obat-obatan, tempat rekreasi dan pariwisata. Habitat karang
menghasilkan berbagai jenis ikan yang dapat dikonsumsi sebagai makanan atau
dijadikan ikan hias. Dalam keadaan yang sehat terumbu karang dapat menghasilkan
15-36 ton ikan per km² per tahunnya. Sebagai daerah wisata bahari, terumbu karang
merupakan tempat yang sangat menawan untuk kegiatan selam dan sebagai
panorama dalam laut. Di tempat-tempat dengan kondisi terumbu karang yang sehat
dan bagus industri pariwisata dapat berkembang pesat dan menghidupi masyarakat
pesisir dengan berbagai lapangan pekerjaan (pemandu wisata, kursus renang-
selam, tamasya laut dan sebagainya) (Murdiyanto, 2003).
2.5 Daerah Perlindungan Laut
Daerah Perlindungan Laut (DPL) atau marine sanctuary adalah suatu
kawasan laut yang terdiri atas berbagai habitat, seperti terumbu karang, lamun, dan
hutan bakau, dan lainnya baik sebagian atau seluruhnya, yang dikelola dan
dilindungi secara hukum yang bertujuan untuk melindungi keunikan, keindahan, dan
produktivitas atau rehabilitasi suatu kawasan atau kedua-duanya. Kawasan ini
dilindungi secara tetap/permanen dari berbagai kegiatan pemanfaatan, kecuali
kegiatan penelitian, pendidikan, dan wisata terbatas (snorkeling dan diving).
(Suyarso dan Djuwariah, 2008)
Daerah Perlindungan Laut merupakan kawasan laut yang ditetapkan dan
diatur sebagai daerah “larang ambil”, secara permanen tertutup bagi berbagai
aktivitas pemanfaatan yang bersifat ekstraktif. Urgensi keberadaan Daerah
Perlindungan Laut (DPL) adalah untuk menjaga dan memperbaiki keanekaragaman
hayati pesisir dan laut, seperti keanekaragaman terumbu karang, ikan, tumbuhan
dan organisme laut lainnya, serta lebih lanjut dapat meningkatkan dan
mempertahankan produksi perikanan. (Suyarso dan Djuwariah, 2008)
Dengan demikian DPL diyakini sebagai salah satu upaya yang efektif dalam
mengurangi kerusakan ekosistem pesisir, yaitu dengan melindungi habitat penting di
wilayah pesisir, khususnya ekosistem terumbu karang. Selain itu DPL juga penting
bagi masyarakat setempat sebagai salah satu cara meningkatkan produksi
perikanan (terutama ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang), memperoleh
pendapatan tambahan melalui kegiatan penyelaman wisata bahari, dan
pemberdayaan pada masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya
mereka.
Selain itu berbagai masalah lingkungan yang terjadi di wilayah pesisir
Lampung seperti; pencemaran lingkungan, penangkapan ikan tidak ramah
lingkungan, pengambilan terumbu karang, atau berbagai bentuk degradasi habitat
pesisir lainnya memerlukan tindakan-tindakan yang pemulihan dan pencegahan
agar tidak berdampak pada menurunnya produksi perikanan secara langsung atau
tidak langsung serta menjaga kelangsungan sumber daya perikanan secara optimal
dan berkelanjutan. (Suyarso dan Djuwariah, 2008)
Sementara itu, program pengelolaan pesisir tingkat pusat maupun lokal
harus mencakup mekanisme yang menjamin adanya keikutsertaan masyarakat
secara tepat dan efektif dalam pengambilan keputusan pengelolaan pesisir,
sehingga kerjasama pengelolaan sumberdaya pesisir dapat tercapai secara efektif.
Dengan demikian, sebagai suatu bagian dari langkah-langkah pengelolaan dan
perlindungan sumber daya laut, pengembangan dan pengelolaan DPL sebaiknya
disesuaikan dengan potensi sumber daya lokal dan ramah lingkungan dengan
“konsep pemberdayaan masyarakat”. Keterlibatan aktif masyarakat secara luas
merupakan inti penting dalam sistem pengelolaan dalam sumber daya laut. Untuk
itu, masyarakat yang kehidupannya tergantung dengan sumber daya ini perlu
diberdayakan baik pada level perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasannya.
(Suyarso dan Djuwariah, 2008).
Untuk Metode Point Intercept Transect (PIT) dan Line Intercept Transeck
(LIT) sebagai berikut : Metode PIT, merupakan salah satu metode yang
dikembangkan untuk memantau karang dan biota pendukung lainnya di suatu lokasi
terumbu karang dengan cara yang mudah dan dalam waktu yang cepat (Hill &
Wilkinson, 2004). Metode ini dapat digunakan untuk tujuan pengelolaan.
Suatu daerah yang ingin mengelola terumbu karangnya tentu ingin
mengetahui terumbu karangnya yang rusak, dan terumbu karangnya yang masih
sehat untuk kepentingan pengelolaannya. Metode ini dapat memperkirakan kondisi
terumbu karang di daerah berdasarkan persen tutupan karang batu hidup dengan
mudah dan cepat. Secara teknis, metode Point Intercept Transect (PIT) adalah cara
menghitung persen tutupan (% cover) substrat dasar secara acak, dengan
menggunakan tali bertanda di setiap jarak 0,5 meter atau juga dengan pita berskala
(roll meter). Sedangkan untuk Line Intercept Transect (LIT) adalah metode
pengukuran kondisi terumbu karang yang menggunakan jarak atau panjang koloni
substrat yang di konversi menjadi persen tutupan.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan, yang meliputi tahap
persiapan, survei dan pengambilan data, analisis data, pembuatan peta loaksi, dan
penulisan hasil penelitian. Lokasi penelitian mencakup wilayah administrasi
Kepulauan Padaido, Kabupaten Biak-Numfor, Provinsi Papua Barat (Gambar 2).
Gambar 2. Peta lokasi Penelitian Kepulauan Padaido Kabupaten Biak-Numfor
Provinsi Papua Barat.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu: kapal digunakan untuk akses
lokasi, SCUBA set (SCUBA tank, BCD : buoyancy compensator device, dan
regulator) sebagai alat bantu pernafasan dalam air, alat selam dasar (fins, snorkle,
dan masker) untuk alat bantu bergerak dalam air, GPS (Global Positioning System)
untuk mencatat titik koordinat lokasi penelitian, sabak underwater sebagai alat tulis
menulis dalam air dan roll meter sepanjang 50 meter. Untuk mengukur kualitas air
digunakan salinometer untuk mengukur salinitas, thermometer untuk mengukur suhu
perairan, secchi disc untuk mengukur kecerahan, layang-layang arus dan stopwatch
untuk mengukur kecepatan arus. Untuk mendokumentasikan penelitian di gunakan
kamera digital
Bahan yang akan digunakan adalah beberapa literatur serta data sekunder
dari beberapa laporan dan dokumen yang berkaitan dengan penelitian dicantumkan
sebagai sumber informasi.
3.3 Prosedur Penelitian
Penelitian ini dibagi dalam beberapa tahapan, yaitu: tahap persiapan,
observasi awal, pengambilan data, analisis data, dan penulisan hasil penelitian.
3.3.1 Persiapan
Sebelum melakukan penelitian atau pengambilan data lapangan, dilakukan
beberapa persiapan meliputi survei awal lokasi untuk mengetahui kondisi atau
gambaran yang jelas mengenai kondisi umum lokasi yang dijadikan sebagai lokasi
penelitian dan studi literatur serta pengumpulan data penunjang yang berkaitan
dengan penelitian ini seperti peta dan data skunder.
3.3.2 Penentuan Stasiun dan Pemasangan Transek
Lokasi penelitian di fokuskan pada Daerah Perlindungan Laut tepatnya 2
lokasi di daratan utama, yaitu Kampung Mokmer dan Soryar, serta 3 lokasi yang
berada di pulau, yaitu Pulau Auki, Pulau Nusi, dan Wundi.
Transek dipasang secara horisontal (sejajar garis pantai) pada dua
kedalaman yaitu antara 3-5 meter dan antara 7-10 meter yang berada pada daerah
reef slope. Titik penempatan transek mengacu pada lokasi pengamatan terumbu
karang di DPL Coremap II Biak-Numfor (CRITC-Coremap II Kab. Biak Numfor,
2009).
Posisi stasiun penempatan transek di lokasi DPL Kabupaten Biak Numfor
disajkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Posisi lokasi DPL di Kabupaten Biak Numfor
No Lokasi Stasiun Posisi stasiun
Lon Lat
1 Kampung Soryer I 136,364,617 ‐1,096367
2 Kampung Mokmer II 136,363,350 ‐1,097383
3 Pulau Auki III 136,334,833 ‐1,239017
4 Pulau Nusi IV 136,432,750 ‐1,270570
5 Pulau WWundi V 136,360,630 ‐1,260340 3.3.3 Pengambilan Data
Data yang diambil yakni data tutupan dasar komponen terumbu karang.
Untuk mengetahui Tutupan dan Kondisi terumbu karang di gunakan
metode LIT (Line Intercept Transect). Transek (roll meter) sepanjang 50 meter yang
ditarik lurus mengikuti substrat terumbu karang dengan sejajar dengan garis pantai.
Semua komponen terumbu karang dicatat sesuai panjang penutupan setiap bentuk
pertumbuhannya (Tabel 2 dan Gambar 3).
Tabel 2. Kategori lifeform yang digunakan (English et al., 1994)
Kategori Kode
Karang Batu Acropora : Bercabang (branching) ACB Mengerak (encrusting) ACE Submassive ACS Digitate ACD Meja (Tabulate) ACT
Non-Acropora : Bercabang (branching) CB Lembaran (foliose) CF Jamur (mushroom) CMR Submassive CS Padat (massive) CM Mengerak (encrusting) CE Millepora CME Heliopora CHL
Abiotik Karang mati dan alga (dead coral alga) DCA karang mati (dead coral ) DC Patahan karang (ruble) RB Pasir (sand) S Air (water) WA Lumpur (silt) SI Batu (rock) RCK Algae Algae assemblage AA Coraline algae CA Macro algae MA Hallimeda HA Turf algae TA
Biotik Soft coral SC Sponge SP Zooanthids ZO Other OT
Gambar 3. Bentuk Lifeform Terumbu Karang
Gambar 3. (lanjutan)
3.4 Data Oseanografi
Pengukuran beberapa parameter oseanografi seperti suhu menggunakan
thermometer, salinitas dengan menggunakan salinometer, dilakukan pada masing-
masing stasiun secara insitu yaitu pada titik pengamatan transek di dua kedalaman
penempatan transek
Pengamatan arus bertujuan untuk mengetahui variasi arus di suatu daerah
survei. Pengukuran kecepatan arah arus dilakukan pada setiap stasiun pengamatan
dengan menggunakan layang-layang arus (drift float). Penentuan kecepatan arus
dilakukan cara menghitung selang waktu (t) yang dibutuhkan pelampung untuk
menempuh suatu jarak (Δx) tertentu. Sedangkan arah arus ditentukan dengan
menggunakan kompas. Kecepatan arus dihitung dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut:
V = S / t
Keterangan :
V : Kecepatan arus (meter/detik)
S : Jarak
t : waktu tempuh (detik)
3.5 Analisis Data
3.5.1 Penentuan Tutupan Dasar Terumbu Karang
Data dari pengamatan transek garis dianalisis dengan menentukan
persentase penutupan setiap life form dengan formula dari English et al. (1994),
sebagai berikut:
PC = persentase penutupan setiap bentuk lifeform (biotik dan abiotik )
Li = panjang tutupan setiap unsur biotik dan abiotik
L = panjang total transek
Penilaian kondisi terumbu karang dilakukan berdasarkan nilai presentase
penutupan karang, dan disajikan dalam grafik histogram serta dianalisis secara
deskriptif
3.5.2 Penentuan Kondisi Terumbu Karang
Kondisi terumbu karang dievaluasi berdasarkan nilai tutupan total karang
hidupnya dengan kriteria kondisi terumbu karang mengacu pada Gomez and Yap,
(1988), seperti disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 . Kriteria penutupan kondisi terumbu karang berdasarkan penutupan
Karang hidupnya
No Kategori Tutupan karang hidup (%)
1 Sangat baik 75 - 100
2 Baik 50 - 74,9
3 Sedang 25 - 49,9
4 Buruk 0 - 24,9
3.5.3 Evaluasi Pengelolaan DPL
Mengevaluasi pengelolaan DPL didasarkan atas perubahan tutupan dan
kondisi terumbu karang dalam beberapa tahun terakhir. Evaluasi dilakukan dengan
cara membandingkan perubahan tutupan karang hidup setiap DPL tahun 2006,
2007,2009 dan 2010. Data perubahan nilai tutupan karang hidup sdi setiap DPL
disajikan dalam bentuk grafik histogram untuk dianalisis deskriptif.
4.
5.
6. BAB IV
7. HASIL DAN PEMBAHASAN
7.1 4.1 Gambaran Umum Lokasi
Secara administratif, Kabupaten Biak Numfor termasuk ke dalam wilayah
Propinsi Papua yang terdiri dari 12 Kecamatan. Secara geografis terletak pada
posisi 134o 55’ - 136o BT dan 0° 55’ - 1o 27’ LS. Pada sebelah utara berbatasan
dengan Samudera Pasifik, sebelah Selatan berhadapan dengan Selat Yapen,
Sebelah Barat berhadapan dengan Kabupaten Manokwari dan Sebelah Timur
berhadapan dengan Samudera Pasifik.
Kawasan Padaido adalah merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten
Biak Numfor dengan luas 137 Km2 dan telah ditetapkan sebagai Taman Wisata
Perairan (TWP) dengan luas kawasan 183.000 Ha. Kawasan Padaido secara
geografis berada sebalah Timur Pulau Biak yaitu terletak pada 00 - 55’ LS dan 1340-
1360 BT terdiri atas 30 pulau-pulau kecil, 10 di antaranya berpenghuni. Kawasan
Kepulauan Padaido terdiri dari 19 Desa, yaitu : Desa Auki, Sandidori, Wundi, Sorina,
Nusi Inarusdi, Nusi Babaruk, Pai, Imbeyomi, Pasi, Samber Pasi, Mbromsi, Karabai,
Nyansoren, Saribra, Meosmangguandi, Supraima, Sasari, Yeri, dan Padaido dengan
jumlah penduduk 4.092 jiwa terbagi dalam perempuan 1.944 jiwa dan laki-laki 2.148
jiwa (BPS Kabupaten Biak Numfor, 2003).
Secara geografis, hampir seluruh pulau-pulau yang ada di kepulauan
Padaido dikelilingi oleh gugusan terumbu karang sehingga kawasan ini memiliki
potensi terumbu karang dan ikan yang cukup besar. Namun demikian potensi
tersebut akhir-akhir ini telah mengalami degradasi fungsi akibat maraknya kegiatan
penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, seperti penggunaan bahan
peledak/bom dan potassium.
Kabupaten Biak Numfor dengan Ibukota Biak memiliki luas wilayah
keseluruhan 2.602 km2 yang sebagian besar merupakan wilayah lautan yaitu
19.591,63 km2
dan daratan dengan luas 2.501,12 km2. Kabupaten Biak Numfor
terdiri dari 10 (sepuluh) distrik/kecamatan, meliputi Distrik Biak Kota, Samofa,
Yendidori, Biak Barat, Biak Timur, Biak Utara, Warsa, Padaido, Numfor Barat dan
Numfor Timur. Distrik dengan wilayah terluas adalah Distrik Biak Barat seluas
543 km2 (17,35%). Sedangkan distrik dengan luas wilayah terkecil adalah Distrik
Biak Kota dengan luas 106 km2 (39%). (BPS Kabupaten Biak-Numfor, 2007).
7.2 4.2 Kondisi Oseanografi
Hasil pengukuran beberapa parameter oseanografi pada setiap stasiun dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil pengukuran beberapa parameter oseanografi
No Lokasi (Stasiun) suhu salinitas kecerahan kecepatan Arus
(°C) (o/oo) (m) (cm/detik)
1 Pulau Nusi 31 31 9 12
2 Pulau Wundi 32 30 10 10
3 Pulau Auki 30 31 12 11
4 Kampung Soryar 29 30 12 16
5 Kampung Mokmer 30 31 12 25
Suhu permukaan air di sekitar perairan terumbu karang Kepulauan Padaido
berkisar 29-30 oC. Kondisi suhu ini relatif sama dengan hasil penelitian ini yaitu
suhu diperoleh suhu permukaan yang berkisar 29-32 oC.
Pengukuran penetrasi cahaya dilakukan dengan menggunakan keping
Secchi, dengan nilai kecerahan pada masing-masing lokasi yaitu berkisar 9-12
meter. Hasil pengukuran ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Soselisa
(2006) yang mendapatkan kecerahan berkisar pada nilai ±12 meter.
Hasil pengukuran kecepatan arus di lokasi pengamatan didapatkan nilai
kisaran 10-25 cm/det. Menurut PHPA (1998) dalam Soselisa (2006), kecepatan
arus permukaan di Kepulauan Padaido antara 18-38 cm/det yang bergerak ke
timur, pada bulan Agustus sampai Januari berkisar antara 24-75 cm/det dengan
arah ke barat pada bulan Februari sampai Juli.
Kondisi saat pengukuran berada pada musim pancaroba (dari I musim barat ke
musim timur) sehingga kecepatan arus yang terukur lebih lambat dari musim Timur
atau Barat. . Kepulauan Padaido dan pesisir Pulau Biak bagian timur dikelilingi
oleh laut yang relatif dalam, yaitu berkisar antara 100 sampai >1.200 meter,
namun demikian 90% kedalaman perairan berada di bawah kedalaman 500 meter.
(Soselisa , 2006).
4.3 Persentase Tutupan Komponen Dasar Terumbu Karang
4.3.1 Teknik Point Intercept Transect (PIT)
Berdasarkan hasil pengukuran tutupan komponen dasar terumbu karang
dengan menggunakan teknik PIT, didapatkan persentase tutupan komponen dasar
terumbu di setiap stasiun penelitian memperlihatkan nilai yang bervariasi menurut
stasiun, seperti yang di sajikan pada Gambar 4 dan Lampiran 1.
Gambar 4. Persentase tutupan dasar terumbu karang di setiap stasiun penelitian.
Persentase tutupan karang hidup, dead coral alga (DCA) dan unsur abiotik
merupakan 3 komponen yang mendominasi penutupan di lokasi penelitian.
Berdasarkan lokasi, terlihat bahwa untuk stasiun pulau, komponen karang hidup
mendominasi dasar terumbu karang dan selanjutnya oleh komponenn abiotik
(Gambar 4). Sedangkan untuk lokasi pesisir daratan utama, komponen dasar
didominasi oleh karang hidup dan karang mati yang sudah ditumbuhi alga (DCA),
dan unsur abiotik. Penutupan karang hidup yang tertinggi ditemukan di Pulau Auki
(33,5%) dan terendah di P. Nusi (24%), sedangkan di daratan utama, tertinggi di
Kampung Mokmer (16,…%) dan terendah di Kampung Soryar (13,…%).
Lebih tigginya persentase tutupan karang hidup di lokasi pulau
mengindikasikan bahwa perairannya masih alami. Lokasi di pulau memiliki perairan
yang jernih sehingga terumbu karang masih mendapatkan cahaya matahari yang
cukup. Kondisi ini sangat dibutuhkan untuk tumbuh dengan baik. Pantai yang curam
dengan jenis substrat berbatu yang lebih dominan juga memungkinkan koloni karang
dapat melekat lebih kokoh dan peluang berkembangnya karang baru akan lebih
besar. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Ardiwijaya et al. (2006) bahwa
perairan pulau Auki relatif memiliki kecerahan perairan yang tinggi, sehingga karang
mendapatkan cahaya matahari yang sangat dibutuhkan untuk tumbuh.
Dead coral algae (DCA) adalah komponen yang mendominasi di pulau Nusi
(6%). pulau Wundi (3%) dan pulau Auki (2%). Begitu pun dengan unsur abiotiknya
yang dominan di P. Nusi (14,5%), P. Wundi (11,8%) dan P. Auki (11,5%). Kondisi ini
disebabkan karena di beberapa titik terumbu karang terlihat mengalami kematian
yang diduga oleh dampak eksploitasi yang berlebihan oleh manusia seperti
penggunaan bom ikan. Adapun faktor lain yang mempengaruhinya yaitu sedimentasi
baik oleh peristiwa resusupensi maupun oleh peristiwa badai.
Sedimentasi merupakan salah satu faktor pembatas pertumbuhan karang,
daerah yang memiliki sedimentasi yang tinggi akan sulit untuk menjadi tempat yang
baik bagi pertumbuhan karang. Tingginya sedimentasi menyebabkan penetrasi
cahaya di air laut akan berkurang dan hewan karang (polip) akan bekerja keras
untuk membersihkan partikel yang menutupi tubuhnya. Faktor fisik lain yang turut
mempengaruhi penyebaran terumbu karang adalah gelombang, arus dan tingginya
kisaran antara pasang dan surut, gelombang dan arus erat kaitannya dengan
penempelan planula serta morfologi karang. Perbedaan pasang dengan surut,
mempengaruhi lamanya karang terpapar sinar matahari saat laut surut.
Tutupan lifeform yang ada di daratan utama didominasi oleh unsur abiotik di
Kampung Soryar dan komponen DCA di Kampung Mokmer. Tutupan karang hidup
di kedua lokasi tersebut masing-masing 17% (Mokmer) dan 14,5% (Soryar).
Jika dilihat dari nilai pengukuran parameter fisik perairan yang masih
alamiah, maka kemungkinan besar kerusakan karang di lokasi kajian karena faktor
aktivitas manusia, seperti penangkapan ikana karang dengan menggunakan bom
dan bius serta penggunaaan jangkar dan tongkat kayu oleh perahu nelayan. Faktor
alami yang juga menjadi penyebab kerusakan karang di lokais kajian yaitu seringnya
terjadi badai yang bisa menghancurkan terumbu karang, seperti peristiwa tsunami di
Desember 2008 dan peristiwa badai dii pertengahan tahun 2009 (Coremap II – Kab.
Biak Numfor, 2009).
4.3.2 Teknik Line Intercept Transect
Berdasarkan hasil pengumpulan data dengan menggunakan metode LIT,
didapatkan persentase tutupan komponen dasar terumbu di setiap stasiun penelitian
pada kedalaman 3 m dan 10 m. seperti yang disajikan pada Gambar 5. Sedangkan
hasil pengukuran persentase tutupan untuk setiap kategori pada setiap stasiun
disajikan pada Lampiran 2 dan Lampiran 3.
Gambar 5. Persentase tutupan dasar terumbu karang dengan teknik Line
Intercept Transect pada kedalaman 3 M.
Tutupan yang mendominasi di kedalaman 3 m yaitu karang hidup, dead
coral alga (DCA) dan unsur abiotik. Untuk lokasi pulau, karang hidup dan DCA
merupakan unsur yang mendominasi penutupan dasar terumbu karang. Unsur
other fauna (OT) juga cukup tinggi di lokasi pulau. Sedangkan untuk lokasi pesisir
daratan utama, didominasi oleh unsur DCA dan abiotik (Gambar 5).
Dapat dilihat bahwa pada pulau Auki memiliki persen tutupan karang hidup
tertinggi yaitu 42,61 %. Daerah ini memiliki habitat yang masih alami, perairan yang
jernih sehingga karang mendapatkan cahaya matahari yang cukup untuk tumbuh
dengan baik.
Tutupan dead coral alga (DCA) paling tinggi ditemukan di Pulau Wundi
(22,8%), Pulau Auki (21,18%) dan Pulau Nusi (14,66%), begitu pun dengan unsur
abiotiknya yang mendominasi ada di Pulau Wundi (36,94%), Pulau Auki (24,34%)
dan pulau Nusi (6,78%). Kegiatan manusia merupakan ancaman yang paling
dominan dan sangat berpotensi merusak ekosistem sekaligus menghilangkan
keanekaragaman terumbu karang maupun di luar terumbu karang. Kegiatan yang
berpotensi merusak terumbu karang antara lain eksploitasi karang dan batu,
sedimentasi,dan perikanan terumbu karang.
Pada Gambar 6, menunjukkan bahwa tutupan karang hidup, DCA dan
abiotik masih mendominasi tutupan dasar terumbu karang pada kedalaman 10 m di
lokasi penelitian. Gambar 6 juga memperlihatkan bahwa presentase karang hidup
yang terdapat pada kedalaman 10 m relatif jauh lebih tinggi dibandingkan pada
kedalmaan 3 m. Perbandingan antara daerah pulau dan daratan utama juga
memperlihatkan bahwa penutupan karang hidup di lokais pulau relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan lokasi di pesisir daratan utama (Gambar 6). Penutupan
karang hidup yang tinggi teramati di P. Nusi (52,4%) ,diikuti oleh P. Wundi (48,46%), dan
P. Auki (47,1%). Dapat dilihat bahwa pada pulau Nusi memiliki persen tutupan
terumbu karang hidup tertinggi yaitu 52,4 %, daerah ini memiliki habitat yang jarang
dijamah oleh masyarakat, perairan yang jernih dan rata-rata intensitas cahaya yang
tinggi sehingga terumbu karang mendapatkan cahaya matahari yang cukup untuk
kondisi ini sangat dibutuhkan untuk tumbuh dengan baik.
Untuk unsur Dead coral alga terlihat dominan di P. Wundi (15,12%),
kemudian P. Auki (15,10%), dan P. Nusi (8,3%). Demikian juga dengan penutupan
unsur abiotik, terukur dominan di P. Nusi (13,1%), diikuti oleh P. Auki (8,34%), dan
P. Wundi (8,36%). Masalah klasik yang sering didengar yaitu banyaknya nelayan
yang mengambil ikan dengan cara merusak berakibat rusaknya terumbu karang
masih menjadi faktor dominan di lokasi penelitian.
Gambar 6. Grafik Line Intercept Transect untuk di Pulau dan Daratan Utama di
kedalaman 10 M
Tutupan karang hidup di lokasi pesisir daratan utama, yaitu Soryar sebesar
14,33% dan Mokmer sebesar 15,21%. Komponen Dead coral alga (DCA) dan unsur
abiotik masing-masing sebesar 48,43% dan 8,3% pada Kampung Soryar,
sedangkan di Kampung Mokmer masing-masing sbesar 48,89% dan 8,72%..
Secara umum tingginya penutupan DCA di lokasi daratan utama disebabkan
gangguan fisiologi yang dialami oleh karang baik oleh nelayan yang mengambil
bunga karang dan pemakaian alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, mauoun
oleh peristiwa alamiah seperti badai.
Memang di beberapa tempat terumbu karang yang mengalami banyak
kematian disebabkan eksploitasi yang berlebihan oleh manusia seperti penggunaan
bom. Faktor fisik lain yang turut mempengaruhi penyebaran terumbu karang adalah
gelombang, arus dan tingginya kisaran antara pasang dan surut. Gelombang dan
arus erat kaitannya dengan penempelan planula serta morfologi karang. Perbedaan
pasang dengan surut, mempengaruhi lamanya karang terpapar sinar matahari saat
laut surut.
4.4 Kondisi Terumbu Karang
Penilaian kondisi terumbu karang di lokasi penelitian ditentukan berdasarkan
Teknik LIT dan mengacu pada nilai totoal tutupan karang hidupnya. Adapun
besaran nilai tutupan karang hidup dan kondisi terumbu karang di setiap kedalaman
dan stasiun disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Kondisi Terumbu Karang di lokasi penelitian berdasarkan nilai total
penutupan karang hidup.
No Stasiun
Presentase Tutupan Karang Hidup
Kondisi Terumbu Karang
3M 10M 3M 10M
Pulau
1 Nusi 30,86 % 52,4 % Sedang Baik
2 Wundi 26,82 % 48,46 % Sedang Sedang
3 Auki 42,61 % 47,1 % Sedang Sedang
Daratan utama
4 Mokmer 13,42 % 15,21 % Rusak Rusak
5 Soryer 15,74 % 14,33 % Rusak Rusak
Berdasarkan nilai tutupan karang hidupnya, maka dapat dinyatakan bahwa
kondisi terumbu karang di lokais kajian berkisar rusak sampai baik. Jika dilihat
menurut lokasi, kondisi terumbu karang di lokasi pulau relatif masih lebih bagus di
lokasi pulau dibandingkan dengan lokasi di pesisir daratan utama. Kondisi terumbu
karang di daratan utama sudah dalam kondisi yang rusak baik itu di kedalaman 3 m
maupun 10 m dengan penutupan < 25% (berkisar 13,42 – 15,74%). Sedangkan di
lokasi pulau tergolong kritis dengan penutupan karang hidupnya 26-42% di
kedalaman 3 m, bahkan di kedalaman 10 m di lokasi P. Nusi, masih dalam kategori
baik dengan penutupa 52,4% (Tabel 5).
Meskipun kondisi terumbu karang di DPL Pulau Nusi, Pulau Wundi, dan
Pulau Auki pada kedalaman 3 dan 10 meter masih dalam kondisi sedang dan baik,
tetapi tetap mengalami tekanan yang bersumber dari aktivitas manusia dalam
pengambilan biota laut yang tidak ramah lingkungan dan peristiwa alam seperti
terjadinya tsunami.
Kondisi karang di daratan utama yang sudah tergolong rusak baik di
kedalaman 3 meter maupun 10 diduga kuat akibat banyaknya pengrusakan dari
aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan seperti pemboman dan pembiusan
serta frekuensi kejadian badai di Kepulauan Padaido.
4.5 Evaluasi Tutupan Karang Hidup
Pulau Biak dan Kepulauan Padaido dibangun oleh rangkaian pegunungan
berporos Barat Laut – Tenggara. Batuan muda yang tersingkap berupa batu
gamping terumbu. Akibat erosi, batu gamping tersebut membentuk perbukitan
sehingga wilayah pesisirnya merupakan bagian dar i lereng bukit-bukit tersebut.
Kondisi alam dan proses geologis tersebut menyebabkan daerah pantai di Kab. Biak
Numfor sangat sempit (100 – 500 m) tertutup oleh pasir pecahan batu gamping atau
pecahan terumbu karang akibat ombak, rataan karang Pulau Biak bagian timur
umunya sempit (50-300 m). Luas rataan terumbu karang di pesisir biak bagian timur
diestimasi sekitar 797 Ha (7,97 km2) (LIPI, 2006).
Kondisi terumbu karang dalam hal ini nilaI penutupan karang hidup pada
Pulau pada DPL pada kedalaman 3 selama 4 tahun bervariasi menurut stasiun.
Untuk Pulau Nusi dan Wundi, relatif stabil dari tahun ke tahun atau perubahannya
relatif kecil (Gambar 7). Sedangkan di stasiun Pulau Auki, terjadi peningkatan yang
cukup tinggi (>10%) dari tahun 2007-2010. Untuk wilayah pesisir daratan utama,
terjadi sebaliknya yaitu mengalami penurunan yang nyata dalam kurun waktu 2007-
2010, terutama di Kampung Soryar (mendekati 20%).
Gambar 7. Perbandingan persentase tutupan karang hidup pada lokasi pulau dan
daratnutama di kedalaman 3 m.
Penurunan tutupan terumbu karang di daratan utama (perairannya relatif
terbuka dari arah utara) diduga kuat oleh pengaruh tsunami (Desember 2008) di
Biak Utara yang pengaruhnya sampai ke semua daerah pesisir daratan utama Biak
Timur dan menyebabkan kerusakan terumbu karang di kedalaman dangkal (3
meter). Demikian pula kejadian badai di pertengahan tahun 2009, semakin
memperparah kondisi terumbu karang. Adapun di lokasi pulau, meskipun pengaruh
tsunami 2008 juga sampai ke pulau, namun keberadaan DPL, terutama di P. Auki
yang terlindung tidak mempengaruhi tutupan karang hidup.
Gambar 8. Perbandingan persentase tutupan karang hidup pada lokasi pulau dan
daratan utama di kedalaman 10 m.
Perubahan tutupan karang hidup di kedalaman 10 m kurun waktu 2007-2010,
memperlihatkan bahwa di lokasi pulau tutupan karang hidup terus mengalami
peningkatan yang kondisiten dari tahun ke tahun. Sebaliknya, untuk lokasi di
daratan utama sejak tahun 2007 ke 2009-2010 terus mengalami penurunan.
Tampaknya pengaruh tsunami tahun 2008 juga terjadi di kedalaman 10 m, meskipun
di Kampung Mokmer pengaruhnya relatif kecil (Gambar 8).
Kerusakan terumbu karang di lokasi dekat daratan utama, mendapat tekanan
selain dari proses alamiah (tsunami dan badai) juga mendapat tekanan dari kegiatan
penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Informasi dari masyarakat bahwa
pengrusakan terumbu karang di lokasi Kampung Mokmer, termasuk Kampung Ibdi
yang berdekatan sering menjadi area penangkapan ikan karang dengan cara
pengeboman oleh masyarakat dari Kota Biak.
Kondisi terumbu karang yang rusak dan terus mengalami penurunan nilai
tutupan karang hidupnya di dua lokasi daratan utama (Kampung Mokmer dan
Soryar) perlu mendapat perhatian ekstra dalam pengelolaannya agar proses
pemulihannya bisa berlangsung meskipun butuh waktu yang lebih lama. Proses
pemulihan secara alamiah masih memungkinkan karena hasil pengamatan
memperlihatkan banyaknya anakan karang di lokasi tersebut, yang mengindikasikan
proses rekrutmen karang sementara berlangsung. Hal lain yang menunjang untuk
proses pemulihan ini yaitu beberapa lokasi DPL yang berdekatan memiliki kondisi
terumbu karang yang masih bagus dan masih alami, sehingga masih ada sumber
benih (seed bank) dari wilayah sekitar. Oleh karena itu sangat mendesak untuk
dilkukan proteksi yang ketat terutama dari segala macam aktivitas yang dapat
mempengaruhi pertumbuhan karang (pencemaran dan aktivitas eksploitasi di lokasi
DPL).
Sebagai perbandingan, dilakukan komparasi dengan Daerah Perlindungan
laut COREMAP phase II di kecamatan Liukang Tuppabiring dan Liukang
Tuppabiring Utara Kabupaten Pangkep (referensinya ????). Kondisi terumbu
karangnya pada kedalaman 3 meter umumnya tergolong sedang dan baik, dan
kedalaman 10 meter kondisi terumbu karang tergolong sedang dan rusak. Salah
satu Daerah Perlindungan Laut di kabupaten Pangkep yaitu Pulau Kapoposang
dimana hasil monitoring tahun 2009 terjadi peningkatan jika dibandingkan dengan
data tahun 2007 dan 2008. Secara keseluruhan terjadi peningkatan tutupan terumbu
karang hidup di pulau ini baik kedalaman 3 meter maupun di kedalaman 10 meter.
Peningkatan terbesar terlihat pada kategori AC (acropora) di kedalaman 3 meter
yaitu sebesar 27%. Tingginya perubahan yang terjadi pada kategori ini karena pada
kondisi perairan yang baik, pada kedalaman 10 meter juga terjadi peningkatan pada
kategori AC (acropora) dan NA (non-acropora), dimana pada tahun 2007 dan 2008
tidak di temukan AC tetapi pada tahun 2009 ditemukan 14%. Kategori NA
peningkatan terjadi dari tahun 2007 – 2009 dimana tahun 2007 didapatkan tutupan
NA sebesar 9%, tahun 2008 sebesar 30% dan tahun 2009sebesar 41% .
Secara umum tutupan karang hidup di kecamatan Liukang Tuppabiring dan
Liukang Tuppabiring Utara Kabupaten Pangkep mengalami peningkatan, pada
kedalaman 3 meter cenderung peningkatan tutupan karang hidupnya terjadi pada
pulau-pulau zona luar sedangkan pada pulau-pulau zona dalam cenderung
menurun. Pulau-pulau yang memiliki terumbu karang di kedalaman 10 meter
mengalami peningkatan tutupan karang hidup. Peningkatan tutupan karang hidup
bervariasi antara 10% – 45%
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan di daerah DPL dapat ditarik kesimpulan
sebagai baerikut :
1. Tutupan dasar terumbu karang di lokasi penelitian didominasi oleh karang hidup,
karang mati yang ditumbuhi oleh alga (DCA) dan abiotik. Untuk kedalaman 10 m,
unsur fauna bentik (other) juga memperlihatkan penutupan yang tinggi. Tutupan
karang hidup pada kedalaman 3 meter untuk lokasi pulau bervariasi dari 26-
43% dan kondisinya sudah tergolong kritis (sedang). Penutupan karang hidup
tertinggi ditemukan di Pulau Auki. Sedangkan di kedalaman 10 m sedikit lebih
baik, dengan nilai bervariasi dari 47% sampai52%. Adapun untuk stasiun yan
berada di dartan utama, yaitu Kampung Mokmer dan Soryar, nilai penutupan
karang hidupnya < 20% baik pada kedalaman 3 m maupun 10 m dengan kondisi
terumbu karangnya sudah tergolong rusak.
2. Nilai penutupan karang hidup dalam kurun waktu 2006-2010. di lokasi penelitian
memperlihatkan kondisi yang relatif stabil di kedalaman 3 m pada Pulau Nusi
dan P. Wundi. Peningkatan tutupan karang hidup hanya ditemukan meningkat di
Pulau Auki sekitar 10% dari tahun 2007 sampai 2010. Nilai peningkatan yang
nyata, terlihat di kedalaman 10 m di semua lokasi pulau. Sedangkan kondisi
yang memprihatinkan terukur di lokasi dekat daratan utama (Kampung Mokmer
dan Soryar) yang terus mengalami penurunan dalam kurun waktu 2007-2010
baik pada kedalaman 3 m maupun di kedalaman 10 m dengan penutupan
karang hidup di tahun 2010 berada di bawah 20%..
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk membandingkan daerah
perlindungan laut (DPL) dengan daerah yang bukan daerah perlindungan laut (DPL)
sebagai bahan evaluasi untuk melihat efektivitas dan kegunaan dari daerah
perlindungan laut itu sendiri dan dapat menjadikan Daerah Perlindungan Laut yang
lainnya yang dapat berguna untuk masyarakat pesisir dan pulau.
DAFTAR PUSTAKA
Barnes R.D., 1980. Invertebrate Zoology, 4th
ed. Saunder Colleage, Philadelphia,1089 p.
Boaden, P. J. S & Seed, 1985. An Introduction to Coastal Ecology. Blackie & Sons
Ltd., Glasgow. 218p BPS [Badan Pusat Statistik] Kabupaten Biak-Numfor, 2004. Kabupaten Biak-Numfor
Dalam Angka 2003. Kerjasama Dengan BAPPEDA Kabupaten Biak Badan Pusat Statistik Papua. 2007. Biak-Nufor Dalam Angka Bryan D, Burke L, McManus J, Spalding M. 1998. Reefs at risk. ICLARM and UNEP.
Pp56. Burke L. Selig E. Spalding M., 2002 Terumbu Karang Yang Terancam Di Asia
Tenggara (Ringkasan untuk Indonesia), World Resources Institute, Amerika Serikat.
Cesar, H. 2000 Cellocted Essay on the Economic of Coral Reefs. Cordio
Departemen Biology and Environmental Science, Kalmar University. Sweden
Coremap II-Kab. Pangkep, 2009. Laporan Akhir Monitoring Kondisi Terumbu Karang
Berbasis Masyarakat. Coremap II Kab. Pangkep Coremap II- Kab. Biak Numfor, 2009. Monitoring dan Evaluasi di DPL. Coremap II –
Kab. Biak Numfor. CRITC-COREMAP, 2008. Monitoring Terumbu Karang. Kabupaten. Biak
Numfor.CRITC Coremap II kab. Biak Numfor. Dahuri, R., Rais J.,Ginting S.P., Sitepu M.J., 1996 Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terapadu, PT. Pradnya Paramita Jakarta.
English S., C. Wilkinson & V. Baker. 1994. Survey manual for tropical marine
reseources. ASEAN-Australia Marine Science Project : Living Coastal Reseources
Hill, J. and C. Wilkinson, 2004, coral reef monitoring, marine protected area,
MPA, coral reef management method manual.
Longhurst, A.R, and Pauly. 1987. The ecology of tropical oceans. Accademic Press.
407 p.
Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, 2001 bekerjasama dengan
Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, 2000. Jakarta
Mawardi, Wasir. 2002. Ekosistem Terumbu Karang Peranan, Kondisi dan
Konservasinya. Makalah Falsafah Sains (Pps 702). Program Pasca Sarjana /
S3 Institut Pertanian Bogor Murdiyanto, B. 2003. Mengenal, Memelihara, Dan Melestarikan Ekosistem Terumbu
Karang. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Naamin, N. 2001. Oseanology (Parameter fisik, Kimia dan Biologi) Dari Terumbu
Karang. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta : 386 hal. Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Edisi Revisi. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis, Diterjemahkan
oleh H. M. Eidman, R. Widodo, D. G. Bengen. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT Gramedia.
Jakarta. Ohman, M. C. & H.S.J Caesar. 2000. Cost and benefit of coral mining. In:
H.S.J. CESAR (ed.) Collected essay on economic of coral reef. CORDIO. 85-93.
Pemerintah Kabupaten Biak Numfor, 2005. Profil Singkat Sumberdaya Pesisir
Kepulauan Padaido Kabupaten Biak Numfor, Papua. Pemerintah Kab. Biak Numfor Kerjasama dengan Mitra Pesisir.
Rachmawati, R. 2001. Terumbu Buatan (Artificial Reef). Pusat Riset Teknologi
Kelautan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta
Sadarun. 1999. Transplantasi Karang Batu (Stony Coral) Di Kepulauan Seribu Teluk
Jakarta. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor Soedharma, D., S. Soemodihardjo, K. Romimohtarto, O. S. R. Ongkosongo dan
Suhardjono. 1997. Prosidings Seminar Nasional Pengelolaan Terumbu Karang. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta
Soesilisa, A. 2006. Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Laut Gugusan Pulau-pulau Padaido, Distrik Padaido, Kabupaten Biak-Numfor, Papua. Disertasi Pogram Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Pps-IPB. Bogor. 258 hal.
Sorokin, Y. I., 1993. Coral Reef Ecology. Ecological Studies 102. Springer-Verlag. Berlin. Heidelberg. 465 pp Suharsono dan F.W. Leatemia., 1995. Kondisi Terumbu Karang Pulau Biak dan
Sekitarnya. Prosiding Seminar Pengembangan Pulau Biak.P2O LIPI.Ambon. Suharsono. 2004. Jenis – Jenis Karang Di Indonesia. Pusat Penelitian Oseanografi -
LIPI COREMAP Program. Jakarta. Suharsono. 1996. Jenis – Jenis Karang Yang Umum Dijumpai Di Perairan
Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI. Proyek Penelitian dan Pengembangan Daerah Pantai. Jakarta.
Sukarno, M., M. Hutomo, K. Moosa, dan P. Darsono,. 1986. Terumbu Karang di
Indonesia. : Sumberdaya, Permasalahan dan Pengelolaannya. Proyek Studi Potensi sumberdaya Alam Indonesia. Studi Potensi Sumberdaya Hayati Ikan. LON-LIPI. Jakarta
Sumich JL. 1992. An introduction to the biology of marine life. Ed ke-5. Dubuque:
WmC Brown Suyarso dan Djuwariah, 2008. Laporan Baseline terumbu karang di lokasi Daerah
Perlindungan Laut Kabupaten Biak Supriharyono, 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Djambatan, Jakarta Supriharyono, 2007. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Penerbit Djambatan.
Jakarta. Timotius, S. 2003. “Biologi Karang”. Makalah Training Course: Karakteristik Biologi
Karang. PSK – UI; Yayasan Terangi Tomascik, T. 1991. Coral Reef Ecosystem. Environmental management Guidelines .
KLH-EMDI, Jakarta 170 pp. Tomascik T, A.J. Mah, A. Nontji, dan M.K. Moosa, 1997. The Ecology of the
Indonesian Seas (Part 1 & 2), Volume VIII. Singapore: Periplus Edition (HK) Ltd.
Vaughan,T.W. and Wells, J.W. 1943. Revision of the Suborders, Families and Genera of the Scleractinia. Special Pap Geologi society American, 44 : 1-363
Veron, J.E.N., 1986. Coral of Australia and the Indo-Pacific. Angus Robertson Publish, Australia.
Veron, J.E.N., 1986. Corals in Space and Time: The Biogeography and Evolution of
the Scleractinia. Australian Institute of Marine Science. Townsville, Quensland
Veron, J.E.N. 1995. The Biogeography and Evolution of the Scleractinia. In Space
and Time. Warmadewa, I. D. G. 2001. Kondisi Komunitas Karang Lunak Serta Pengaruhnya
Terhadap Karang Keras di Nusa Penida, Bali. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
West, J., S. Wells, K. Teleki dan S. Westmacott. 2001. Pengelolaan Terumbu
Karang yang Telah Memutih dan Rusak Kritis. Diterjemahkan oleh Jan Henning Steffen. The World Conservation Union. IUCN.
Whitten A.T and A. Cruz-Tinidad, 1988 The Values of Philippine Coastal Resources:
Why Protection and Management Are Critical: Coastal Resources Management Project. Cebu City, Philippines.