Laporantnkarimunjawa.id/assets/fileperpustakaan/laporan_REGTNKJ... · 2020. 2. 4. · rinci tentang...
Transcript of Laporantnkarimunjawa.id/assets/fileperpustakaan/laporan_REGTNKJ... · 2020. 2. 4. · rinci tentang...
LaporanPENELITIAN DASAR
JUDUL
Dinamika Blue Carbon dan Kaitannya dengan Pengelolaan EkosistemPesisir Terpadu dan Mitigasi Berbasis Perubahan Iklim di
Pantai Utara Jawa Tengah
PENELITI :
Dr.Sc. Anindya Wirasatriya, S.T, M.Si, M.Sc NIDN : 0019117701Dr. Denny Nugroho Sugianto, S.T, M.Si NIDN : 0010087407Lilik Maslukah, ST, MSi NIDN : 0009097502
DIPONEGORO UNIVERSITY
Desember 2019
RINGKASAN
Pentingnya memahami siklus karbon di laut Indonesia dan juga wilayah pesisir telah
menjadi perhatian dalam beberapa tahun terakhir di mana Indonesia kurang memiliki data dan
komponen yang cukup mengenai infromasi total akumulasi emisi dan sekuetrasi karbon, terutama
di Pantai Utara Jawa Tengah di mana faktor antropogenik sangat mempengaruhi dinamika karbon.
Penelitian karbon dan laut pesisir secara terpadu ini penting untuk mendukung mitigasi perubahan
iklim global dan sektor adaptasi terutama untuk mematuhi peraturan UNFCCC dan UNCBD
karena data dari ekosistem pesisir laut tropis sangat terbatas. Langkah pertama adalah dengan
mengidentifikasi variabilitas blue carbon. Kemudian, penelitian ini akan dipublikasikan di
Environmental Research Letter, Institute of Physics Publishing, (Q1). Langkah kedua adalah
menentukan dinamika blue carbon dan ekosistem pesisir yang mengalami perubahan karena
perubahan iklim dan faktor-faktor terkait antropogenik lainnya. Selanjutnya, penelitian akan
dipublikasikan di Frontiers in Ecology and the Environment, Wiley-Blackwell (Q1). Langkah
selanjutnya adalah menilai kapasitas pengkajian ekosistem blue carbon dan implementasinya
terhadap pengelolaan pesisir berbasis ekosistem yang terintegrasi. Hasilnya akan dipublikasikan
di Jurnal Ecosystem, Springer Verlag, (Q1).
Kata_kunci_1; Blue Carbon, dinamika, daya dukung, ekosistem pesisir, Pantai Utara Jawa
Tengah
LATAR BELAKANG
Sebagai negara dengan salah satu garis pantai terpanjang, Indonesia diberkati dengan
sejumlah besar ekosistem pesisir bervegetasi, terutama hutan bakau, padang lamun, dan rawa-
rawa garam, dan ekosistem ini disebut sebagai agen " blue carbon ". Jumlah ekosistem pesisir
yang luar biasa ini menjadikan lingkungan pesisir sebagai komponen penting siklus karbon
global karena perannya dalam mengikat CO2 di atmosfer yang berlebih. Namun, penyerapan
karbon tidak hanya dari ekosistem pantai di atas vegetasi, tetapi juga dari rumput laut yang
luas, fitoplankton dan terumbu karang. Mereka bersama dengan faktor-faktor proses fisik dan
kimia di laut berperan sangat penting bagi dinamika karbon laut.
Beberapa tahun terakhir ini, seperempat bakau dunia berada di Indonesia. Hutan bakau
selalu memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat semakin sadar
akan manfaat yang datang dari hutan bakau, misalnya, hutan bakau Sulawesi Utara dipulihkan
setelah bertahun-tahun mengalami degradasi. Di sisi lain, meskipun data masih dalam
pembaruan, Filipina menunjukkan tanda-tanda pemulihan bakau setelah kehilangan hampir
setengah juta hektar hutan bakau pada tahun 1900-an. Kedua negara dapat belajar dari
pengalaman masing-masing dalam konservasi mangrove (dan juga di lamun).
Ringkasan penelitian tidak lebih dari 500 kata yang berisi latar belakang penelitian, tujuan dan
tahapan metode penelitian, luaran yang ditargetkan, serta uraian TKT penelitian yang diusulkan.
Kata kunci maksimal 5 kata
Latar belakang penelitian tidak lebih dari 500 kata yang berisi latar belakang dan permasalahan
yang akan diteliti, tujuan khusus, dan urgensi penelitian. Pada bagian ini perlu dijelaskan uraian
tentang spesifikasi khusus terkait dengan skema.
Selain itu, studi ini secara langsung terkait dengan “Rencana Induk Riset Nasional
2015-2045 (RIRN)”, khususnya tema Teknologi Pelestarian Lingkungan di Laut. Secara
khusus, apa yang diusulkan adalah sejalan dan membantu meningkatkan strategi serta
kebijakan konservasi pesisir berdasarkan penilaian ilmiah melalui penemuan bukti ilmiah dari
penggerak fisik dan biologis pada distribusi karbon di perairan pesisir.
Pantai utara Jawa Tengah memiliki banyak masalah yang terkait dengan erosi, skor
tinggi pada indeks kerentanan pantai untuk kenaikan permukaan laut [1], perubahan pantai
[2] dan degradasi garis pantai [3] dengan rata-rata 100 m/tahun [4].
Penelitian terbaru mengenai blue carbon dilakukan oleh tim Kementerian Kelautan dan
Perikanan yang bekerja sama dengan Japan Science and Technology Agency dalam skema
SATREPS dengan tema “Comprehensive Assessment and Conservation of Blue Carbon
Ecosystems and their Services in the Coral Triangle (BlueCARES)” dimana Universitas
Diponegoro hanya menjadi pendamping dalam kegiatan tersebut. Namun, riset tersebut hanya
focus pada kandungan blue karbon di dalam ekosistem pesisir yaitu mangrove, lamun dan
terumbu karang dengan mengambil lokasi di Indonesia adalah di Karimun Jawa. Melalui
proposal ini diharpakan Universitas Diponegoro akan memiliki pendanaan sendiri untuk lebih
memfokuskan tujuan riset pada flux karbon di dalam kolom perairan dan juga ekosistem untuk
area yang lebih luas yaitu perairan pantai utara Jawa Tengah sehingga akan saling melengkapi
data dengan skema penelitian SATREPS tersebut.
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengidentifikasi variabilitas blue carbon (termasuk. stok, serapan) berdasarkan penilaian
yang komprehensif dari survei lapangan dan metode penginderaan jauh di lokasi penelitian dengan
berbagai cakupan spasial dan temporal dan skala di pantai utara Jawa Tengah.
Keterlibatan Universitas Diponegoro dalam joint survey SATREPS BLUE CARES di Karimun Jawa 24-29 Agustus 2018
2. Untuk mengembangkan skema pemantauan dan pemodelan terpadu dan canggih untuk
memperjelas dinamika blue carbon serta hubungan kuantitatifnya dengan perubahan ekosistem
pesisir di bawah dampak lingkungan lokal dan global serta umpan balik terhadap perubahan iklim.
3. Untuk meningkatkan kapasitas penilaian ekosistem blue carbon dengan menghubungkannya
dengan pengelolaan pesisir berbasis ekosistem terpadu di Pantai Utara Jawa Tengah.
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem iklim global melibatkan hubungan laut dan atmosfer yang ketat dan
dipengaruhi oleh pengaturan siklus biogeokimia global di mana unsur-unsur penting di bumi
mengalami interaksi atmosfer samudra. Aktivitas manusia telah mengganggu siklus alami ini
dengan meningkatnya emisi CO2 dan gas-gas lainnya ke atmosfer. Sekitar setengah dari CO2
yang dilepaskan akibat kegiatan antropogenik diserap oleh lautan, yang bertindak sebagai
reservoir CO2 besar yang menyimpan 50% lebih banyak CO2 daripada atmosfer. Sebuah studi
rinci tentang transformasi, transportasi dan daur ulang karbon di laut diperlukan untuk
memahami siklus karbon antara laut dan atmosfer dan pengaruhnya terhadap sistem iklim [5].
Ref. [6] memperkirakan fluks CO2 udara-laut global dari perbedaan tekanan parsial
CO2. Sekitar 250.000 pengamatan pada perbedaan pCO2 antara laut dan udara dilakukan di
seluruh dunia. Persamaan transport difusi-advokasi lateral digunakan untuk membangun
distribusi bulanan global perbedaan pCO2. Pengukuran tekanan parsial dan koefisien dari
transfer gas CO2 ini digunakan untuk menghitung fluks CO2 bersih di permukaan laut.
Kecepatan angin bergantung pada koefisien transfer gas diformulasikan dan penyerapan fluks
neto tahunan diperkirakan 0,6-1,34 GtC yr-1. Hasil analisis menunjukkan bahwa daerah
samudera yang beriklim sedang dan kutub bertindak sebagai penyerap CO2 sementara daerah
khatulistiwa adalah sumbernya. Penyerapan CO2 yang paling kuat ditemukan di Samudra
Atlantik yang menyumbang sekitar 60% dari serapan global CO2 sedangkan, sabuk
khatulistiwa Pasifik bertindak sebagai sumber penting. Wilayah Samudra Pasifik merupakan
sumber-sumber CO2 ekuator yang diseimbangkan oleh tempat beriklim sedang, sehingga
bertindak sebagai yang penetral. Penyerapan kedua Samudera Hindia dan Selatan sekitar 20%.
Emisi gas rumah kaca termasuk karbon dioksida (CO2) dari kegiatan manusia
mengubah iklim dunia dan upaya untuk menguranginya menjadi pusat perbincangan topik
perubahan iklim global saat ini. Kesepakatan Paris, yang disetujui oleh semua 196 pihak ke
UNFCC di Konferensi Para Pihak (COP) 21 pada Desember 2015, menandai titik balik
negara-negara yang sekarang berjuang untuk ekonomi karbon rendah dalam inovasi teknologi,
energi, keuangan, dan sekto konservasi. Kesepakatan memandatkan bahwa negara-negara
sekarang dapat secara mandiri memutuskan bagaimana menurunkan emisi mereka melalui
Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (NDCs). Rencana aksi dan pengurangan emisi
tingkat nasional ini dipersiapkan untuk mencerminkan perbedaan ekonomi dan lingkungan
antar negara.
Untuk memahami jumlah cadangan karbon di wilayah kepulauan Indonesia, tidak
seharusnya hanya mengukur jumlah penangkapan karbon di kawasan hutan hujan darat, tetapi
Tinjauan pustaka tidak lebih dari 1000 kata dengan mengemukakan state of the art dan peta jalan
(road map) dalam bidang yang diteliti. Bagan dan road map dibuat dalam bentuk JPG/PNG yang
kemudian disisipkan dalam isian ini. Sumber pustaka/referensi primer yang relevan dan dengan
mengutamakan hasil penelitian pada jurnal ilmiah dan/atau paten yang terkini. Disarankan
penggunaan sumber pustaka 10 tahun terakhir.
juga harus secara komprehensif mencakup pengikatan karbon dari sistem laut. Juni (2010)
menyebutkan bahwa seluruh kawasan konservasi dan lindung hutan hujan di Indonesia bisa
memakan sekitar 370 juta ton C/tahun. Studi dari [7] dengan jelas menyebutkan manfaat dari
hujan hutan yang masih asri membantu penyerapan karbon yang terkait fotosintesis oleh
tanaman. Hal ini berarti dari satu aspek (sistem terestrial), Indonesia bertindak sebagai
pengikat karbon, tempat tenggelamnya karbon. Salah satu ancaman besar terhadap kondisi ini
adalah dampak konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan karet pada stok karbon
organik (SOC).
Berseberangan dengan sistem lahan, air laut laut bertindak sebagai sumber karbon ke
atmosfer dengan nilai sekitar + 16 ppm [8]. Ini adalah referensi ilmiah tunggal untuk karbon
laut untuk lautan Indonesia. Tidak ada referensi lain untuk karbon air laut di wilayah
Indonesia. Jika manfaat hujan hutan secara terus-menerus menyerap karbon dari atmosfer,
distribusi karbon di laut Indonesia lebih dinamis dalam ruang dan waktu. Meskipun wilayah
lepas pantai Indonesia melepaskan karbon ke atmosfer; studi sebelumnya tidak menjelaskan
lebih rinci proses kontribusi dari proses alami dan antropogenik. Ref. [9] menulis bahwa
penyerap karbon alami secara global menyerap 55% (29% daratan dan 26% lautan) dari semua
emisi. Karbon alami ini terdiri dari proses fisik dan biologis, termasuk proses geologi dan
kimia yang kompleks. Oleh karena itu, langkah selanjutnya adalah untuk memahami lebih
jelas tentang aspek kontribusi alam diperlukan untuk membuat kondisi yang lebih baik untuk
sumber karbon manusia.
Kebanyakan tenggelamnya blue carbon akan hilang dalam dua dekade mendatang
yang menyebabkan hilangnya kapasitas pengikatan karbon tahunan, setara dengan 4-8% dari
total input antropogenik. Oleh karena itu, total emisi karenanya harus dikurangi dengan
tambahan 4-8% pada tahun 2030 untuk mempertahankan status quo, atau 10% pada 2050 [10].
Karena itu lingkungan pesisir mengalaami peningkatan dalam siklus karbon global.
Pandangan signifikan global blue carbon juga digaris bawahi dari beberapa penelitian; (1)
Ref. [9] dalam artikel terkenal Science menulis bahwa penyerap CO2 alami secara global
menyerap 55% (29% daratan dan 26% samudera) dari semua emisi, (2) Ref. [11] di Nature
menulis bahwa degradasi pandangan dunia dan penghancuran sistem “blue carbon”
menghasilkan emisi langsung dan berkelanjutan, (3) Perubahan iklim 2007: Laporan Sintesis
melaporkan bahwa salah satu ketidakpastian kunci (pada perubahan yang diamati dalam iklim
dan dampaknya, dan penyebabnya) adalah besarnya Emisi CO2 (dan pemindahan) dari
perubahan penggunaan lahan (ke laut). Maka penting untuk mengevaluasi peran lingkungan
pesisir dalam mengikat karbon yang tercemar tidak hanya dari atmosfer tetapi juga dari zona
terestrial dan juga untuk memprediksi dampaknya terhadap ekosistem laut pesisir sehingga
kita dapat memperkenalkan strategi yang baik untuk melawan perubahan iklim global melalui
tindakan lokal.
Di Indonesia, sedikit perhatian telah ditujukan pada pajak karbon dan peran apa yang
dimainkannya dalam siklus karbon global [mis., 12]. Sekarang, penelitian tentang CO 2
diminati di Indonesia dan secara ilmiah menarik dan penting secara politis. Dari sudut
pandang ilmiah, kurangnya data CO2 laut yang dapat diandalkan dan terdokumentasi dengan
baik untuk sebuah negara yang dikelilingi oleh air berarti bahwa perlu mencari bukti ilmiah
yang akan membantu untuk memahami pajak karbon di bidang ini. Jika studi ini tidak
dilakukan, maka dalam jangka pendek, dinamika proses CO2 tetap tidak jelas, dan dalam
jangka panjang, pertanyaan penting yang berkaitan dengan kesiapan negara untuk
memproyeksikan isu perubahan iklim tidak dijawab. Akibatnya, penelitian tentang tingkat
CO2 laut menjadi penting secara politis, terutama bagi pemerintah untuk secara cerdas
mengetahui peran lautan Indonesia di dalam atmosfer CO2 yang tercemar dan terkotori.
Oleh karena itu penelitian mengenai Blue Carbon di Indonesia sangat penting untuk
dilakukan. Roadmap riset yang kami tawarkan adalah sebagai berikut:
METODE
Oseanografi Sifat sporadis pengamatan yang tersedia menyulitkan untuk sepenuhnya merekonstruksi
parameter sistem karbon, yaitu TA, DIC dan pH, dan salinitas. Melalui kegiatan ini kami
mempersiapkan instrumen penelitian untuk pemantauan perubahan iklim di lingkungan
pesisir-laut. Kegiatan seperti menyebarkan CTD dan sampler rosette, akan dilakukan. Sistem
karbon anorganik samudera memiliki empat parameter terukur: pH, karbon anorganik terlarut
(DIC), alkalinitas total (TA), dan tekanan parsial CO2 (pCO2). Air laut yang dikumpulkan
dari kedalaman tertentu oleh rosette sampler akan digunakan untuk analisis berikut: (1) TA,
DIC pH, dan salinitas, (2) nutrien, (3) padatan tersuspensi (TSS) dan (4) Klorofil-a. Analisis
laboratorium lebih lanjut untuk sistem CO2, nutrien dan sampel SS akan dianalisis oleh
peneliti dari Universitas Diponegoro dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Geokimia 1. Estimasi produktivitas dalam ekosistem pesisir mencakup kuantifikasi produktivitas primer di
padang lamun serta komunitas karang, dan kuantifikasi fluks ekspor karbon dari ekosistem pesisir
ke laut terbuka.
Metode atau cara untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan ditulis tidak melebihi 600 kata.
Bagian ini dilengkapi dengan diagram alir penelitian yang menggambarkan apa yang sudah
dilaksanakan dan yang akan dikerjakan selama waktu yang diusulkan. Format diagram alir dapat
berupa file JPG/PNG. Bagan penelitian harus dibuat secara utuh dengan penahapan yang jelas,
mulai dari awal bagaimana proses dan luarannya, dan indikator capaian yang ditargetkan. Di
bagian ini harus juga mengisi tugas masing-masing anggota pengusul sesuai tahapan penelitian
yang diusulkan.
2. Perkiraan kuantitatif produksi dan fate karbon organik melalui observasi lapangan dan
pengambilan sampel (muncul dan tenggelamnya fluks karbon organik, profil vertikal karbon di
lautan luar yang terkait dengan ekosistem, pemetaan karbon di permukaan sedimen, pelestarian
karbon jangka panjang dalam sedimen); melalui percobaan (karakterisasi biokimia,
remineralisasi dan laju degradasi dari karbon yang berpindah, tingkat tenggelam, analisis kualitas
air, karakterisasi biokimia dan analisis partikel sedimen, fate radiokarbon dari karbon sedimen);
dan melalui pemodelan .
Ekosistem Pesisir-Laut dan Komponen Servis 1. Ground truth untuk mengetahui luasan lamun dan mangrove menggunakan pemetaan GNSS,
scuba diving, dan pengambilan sampel transek-kuadrat (bekerja sama dengan pemerintah dan
masyarakat setempat).
2. Stok karbon dan sekuestrasi mangrove dan lamun dilakukan mengikuti Howard et al., 2015 yang
mencakup pengukuran karbon di lima sumber karbon (biomassa di atas tanah, biomassa di bawah
tanah, serasah, kayu mati dan sedimen). Piston-coring untuk spesies lamun dominan di situs dan
morfometrik (pengukuran batang mangrove dengan diameter setinggi dada, DBH), diikuti dengan
pengeringan oven untuk penentuan blue carbon pada tanaman; algoritma dan nilai standar yang
direkomendasikan oleh International Blue Carbon Scientific Working Group [13]; Penentuan nilai
signifikan global penyimpanan karbon di ekosistem pesisir di Indonesia dari pengukuran yang
dipublikasikan dan tidak dipublikasikan dari kandungan karbon organik lamun laut dan biomassa
mangrove dan kolam tanah.
3. Servis ekosistem ekosistem pesisir dianalisis menggunakan InVEST (The Integrated Valuation of
Ecosystem Services and Tradeoffs), alat untuk menilai (yaitu, peta, model, dan nilai) berbagai
layanan yang disediakan oleh ekosistem laut. Hal ini memungkinkan seseorang untuk
memperkirakan perubahan dalam serangkaian layanan di bawah skenario manajemen yang
berbeda dan untuk menyelidiki trade-off di antara beberapa skenario, termasuk implikasi penyebab
seperti perubahan iklim atau skenario lainnya [14].
RS-GIS dan Pemodelan 1. Aplikasi analisis penginderaan jauh untuk pemetaan pemetaan flux karbon di perairan [15] dan
luas zona pesisir untuk memperkirakan stok dan perubahannya serta membedakan spesies /
ekosistem.
2. Pengembangan model ekohidrologi terintegrasi, hidrodinamik untuk menilai jumlah dan
transportasi beban lingkungan yang mempengaruhi biomassa dan cadangan karbon di padang
lamun dan ekosistem mangrove.
3. Pengembangan model dinamika blue carbon terpadu (hidrodinamika dan model kualitas air).
4. Pengembangan model geospasial, geosimulasi dan alat untuk memetakan habitat, memperkirakan
biomassa dan cadangan karbon, mengevaluasi risiko dan ketahanan, memfasilitasi analisis
ekonomi dan penilaian modal blue carbon, dan mengevaluasi intervensi dan desain kebijakan.
5. Carbon offsetting atau mengembangkan program yang mendorong pengguna ekosistem blue
carbon untuk mengurangi atau mengimbangi penggunaan karbon atau emisi melalui pendanaan
kegiatan yang memperbaiki kondisi lingkungan.
Tahapan penelitian dirangkum sbb:
Gambar 2. Tahap penelitian selama 3 tahun
Gambar 3. Tahap I penelitian
Gambar 4. Tahap 2 penelitian
Gambar 5. Tahap 3 penelitian
Hasil dari penelitian akan dipublikasikan di Environmental Research Letter (Q1), Frontiers in
Ecology and the Environment (Q1) dan Jurnal Ecosystem (Q1) untuk penelitian tahap 1, 2 dan 3.
JADWAL
Tahun ke-1
No Nama Kegiatan Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 Pengaturan administratif dan
logistik X X
2 Pengumpulan data (survei
lapangan dan data sekunder) X X X
3 Identifikasi variabilitas blue
carbon X X X X
4 Analisis penginderaan jauh data X X X X
5 Laporan dan persiapan publikasi X X
Tahun ke-2
Jadwal penelitian disusun dengan mengisi langsung tabel berikut dengan memperbolehkan
penambahan baris sesuai banyaknya kegiatan.
No Nama Kegiatan Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 Pemodelan dinamika blue
carbon X X X X
2 Karakteristik ekosistem pesisir X X X
3 Fenomena perubahan iklim X X X X
4 Laporan X X
5 Publikasi X X
Tahun ke-3
No Nama Kegiatan Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 Penilaian ekosistem blue carbon X X
2 Daya dukung lingkungan X X X
3
Perubahan iklim dan menemukan
strategi yang baik, skenario dan
mekanisme mengurangi emisi CO2 X X X
4 Pengelolaan ekosistem pesisir
terpadu X X X
5 Laporan X X
6 Publikasi X X
DAFTAR PUSTAKA
1. Winterwerp H., Wesenbeeck BV., Dalfsen JV., Tonneijck F., Astra A., Verschure S.and
Eijk PV. 2014. A Sustainable Solution for Massive Coastal Erosion in Central Java.
Discussion paper. Netherlands: Deltares and Wetlands International.
2. Vriend HJD., Koningsveld MV., Aarninkhof SGJ., Vries MBD. and Baptist MJ. 2015.
Sustainable Hydraulic Engineering through Building with Nature. Journal of Hydro-
Environment Research; 9 (1): 159 - 171.
3. Hawati P., Sugianto DN., Anggoro S., Wirasatriya A. and Widada S. 2017. Waves Induce
Sediment Transport at Coastal Region of Timbulsloko Demak. IOP Conf. Series: Earth and
Environmental Science; 55: 012048.
4. Ismanto A., Zainuri M., Hutabarat S., Sugianto DN., Widada S., Wirasatriya A. 2017.
Sediment Transport Model in Sayung District, Demak. IOP Conf. Series: Earth and
Environmental Science; 55: 012007.
5. Buesseler, M., Bowles, M and Joyce, K., 2013, U.S.JGOFS brochure, U.S. JGOFS
planning and data management office, Wooda Whole, Massachusetts,USA
6. Takahashi,T., Freely, R.A., Weiss, R.F., Wanninkhof, R.H., Chipman, D.W., Sutherland,
S.C and Takahashi, T.T., 1997, Global air-sea flux of CO2: An estimate based on
measurements of sae-air pCO2 difference, Colloquium Paper, Proc. Natl. Acad. Sci. USA,
Vol 94, pp 8292-8299.
Daftar pustaka disusun dan ditulis berdasarkan sistem nomor sesuai dengan urutan pengutipan.
Hanya pustaka yang disitasi pada usulan penelitian yang dicantumkan dalam Daftar Pustaka.
7. Lewis, S.L., 2006. Tropical forests and the changing earth system. Philos Trans R Soc
Lond B Biol Sci , 361 (1465) pp. 195-210. 10.1098/rstb.2005.1711.
8. Kartadikaria, A. R., Watanabe, A., Nadaoka, K., Adi, N. S., Prayitno, H. B., Suharsono,
S., Muchtar, M., Triyulianti, I., Setiawan, A., Suratno, S., Khasanah, E. N., 2015. CO2
sink/source characteristics in the tropical Indonesian seas, J. Geophys. Res. Oceans, 120,
7842–7856, doi:10.1002/2015JC010925.
9. Canadell, J. G., Raupach, M. R., 2008. Managing forests for climate change mitigation.
Science, 320, 1456-1457 coastal vegetation to the climate critical list. Nature.
19;473(7347):255. doi: 10.1038/473255a.
10. Nellemann, C., Corcoran, E., Duarte, C. M., Valdés, L., De Young, C., Fonseca, L.,
Grimsditch, G. (Eds). 2009. Blue Carbon: The Role of Healthy Oceans in Binding Carbon.
A Rapid Response Assessment. United Nations Environment Programme, GRID-Arendal.
Norway, 79 pp.
11. da Silva Copertino, M., 2011. Add coastal vegetation to the climate critical list. Nature.
19;473(7347):255. doi: 10.1038/473255a.
12. Borges, A. V., Delille, B., Frankignoulle, M., 2005. Budgeting sinks and sources of CO2
in the coastal ocean: Diversity of ecosystems counts, Geophys. Res. Lett., 32, L14601,
doi:10.1029/2005GL023053.
13. Howard, J. et al (Eds). 2015. Coastal Blue Carbon Methods for Assessing Carbon Stocks
and Emissions Factors in Mangroves, Tidal Salt Marshes, And Seagrass Meadows. The
Blue Carbon Initiative. 184p.
14. Guerry, A.D et al.. 2012. Modeling benefits from nature: using ecosystem services to
inform coastal and marine spatial planning. International Journal of Biodiversity Science,
Ecosystem Services & Management, 8 (1-2), 1–15.
15. Robbins, L.L., Hansen, M.E., Kleypas, J.A and Meylan, S.C., 2010, CO2calc: A
userfriendly seawater carbon calculator for windows, Mac OS X, and iOS(iPhone), Florida
Shelf Ecosystems Response to Climate Change Project, Open-File Report 2010-1280, U.S.
Department of the Interior, U.S. Geological Survey.
HASIL
1. Survey Geofisika
Survey geofisika bertujuan untuk mengetahui sebaran lapisan sedimen dan air
tanah dangkal di mangrove area di Taman Nasional Karimunjawa. Metode yang
digunakan adalah geolistrik/resistivity dan microiseismic. Survey microsesmic
dilakukan di 63 titik sampling (gambar 1).
Dari analisis awal, didapatkan nilai frekuensi microsesmik seperti yang terlihat di
gambar 2. Semakin besar frekuensi mengindikasikan semakin tipis sedimen,
sebaliknya semakin kecil frekuensi menunjukkan semakin tebalnya sedimen.
Sedangkan survey geolistrik dilakukan dengan metode 1 dimensi yang terdiri dari
15 titik sampling (gambar 3). Namun demikian, analisas data geolistrik masih dalam
proses pengerjaan sehingga belum dapat ditampilkan hasilnya.
Selain melakukan pengambilan sampel, kami juga melakukan pembuatan 7 buah
sumur untuk monitoring level air (gambar 4). Pembuatan sumur ini bertujuan untuk
mengetahui dinamika air tanah dangkal di Taman Nasional Karimunjawa. Logger
tekanan dipasang di setiap sumur dan diharapkan akan merekan naik turunnya air
tanah dangkal selama 6 bulan (Oktober 2019 - Maret 2020), sehingga diharapkan
dapat diketahui variasi musiman dari level air tanah di Taman Nasional Karimunjawa.
Ditambah dengan 1 buah sumur yang dibuat oleh tim Tokyo Institute of Technology
di bulan September 2018, maka total sumur pengamatan berjumlah 8 buah.
Dengan mengetahui sebaran sedimen, dan sebaran air tanah dangkal beserta
dinamikanya, maka diharapkan dapat diketahui hubungannya dengan sebaran tinggi
dan jenis mangrove yang ada di Taman Nasional Kafrimunjawa.
Gambar 1. Sebaran titik survay microseismometer.
Gambar 2. Predominant frequency dari microsesmic di Taman Nasional Karimun
Jawa.
Gambar 3. Titik sampling geilostrik di Taman Nasional Karimunjawa
Gambar 4. Sebaran posisi sumur pengamatan air tanah dangkal.
2. Survey drone
Survey drone dilakukan dengan menggunakan 2 sensor kamera yaitu kamera
inframerah dan kamera optic. Penggunaan kamera optik bertujuan untuk mengetahui
ketinggian kanopi mangrove dengan menggunakan teknik fotogrametri sedangkan
penggunaan kamera inframerah bertujuan untuk mengetahui sebaran jenis mangrove.
Untuk mendukung pengolahan data drone, survey topografi huga dilakukan dengan
menggunakan GPS geodetik dimana hasil survey topografi ini akan digunakan untuk
mengkoreksi tinggi kanopi pohon mangrove sehingga dapat diketahui volume dari
hutan mangrove yang ada di Taman Nasional Karimunjawa. Dengan megetahui
volume hutan mangrove dan sebaran jenisnya maka stok karbon yang terkandung
dalam hutan mangove akan dapat diketahui. Flightpath dari survey drone dapat dilihat
di gambar 5. Sedangkan hasil mozaik foto drone menghasilkan orthophoto (gambar 6)
dan digital surface model (DSM) (Gambar 7).
Gambar 5. Flight path dari drone survey.
Gambar 6. Orthophoto Taman Nasional Karimunjawa
Gambar 7. DSM Taman Nasional Karimunjawa
3. Hubungan antara DSM dan ketebalan sedimen
Hubungan antara DSM dan ketebalan sedimen ditunjukkan di gambar 8.
Gambar 8. Hubungan antara DSM (kiri) dan ketebalan sedimen (kanan). Lingkaran
merah dan biru menunjukkan mangrove dengan spsies berbeda,
Gambar 8 menunjukkan bahwa ecara spasial ada kterikatan antara tinggi kanopi
mangrove yang diwakili oleh DSM dan ketebalan sedimen yang diwakili oleh nilai
frequency dari HVSR. Baik pada lingkaran merah yang didominasi oleh genus
Rhizopora mupun lingkaran hijau yang didominasi oleh genus Lumnitzera
menunjukkan pola semakin tebal sedimen yang ditunjukkan oleh frekuensi rendah
semakin tinggi kanopi mangrove yang berdiri di atasnya. Hasil ini akan lebih
sempurna jika dihubungkan juga dengan sebaran air tanah, dimana analisa dinamika
air tanah baru dapat dilakukan setelah water level logger yang terpasang (gambar 4)
diambil datanya yaitu pada pertengahan bulan Maret 2020.
4. Survey bathymetri
Survey bathymetri dilakukan di teluk di sekitar Taman Nasional Karimunjawa
dengan menggunakan single beam echosounder. Sebaran titik sounder dapat dilihat di
gambar 9, sedangkan hasil pengukuran bathymetry dapat dilihat di gambar 10.
Gambar 9. Titik perum/sounder dalam pengukuran bathimetri
Gambar 10. Hasil kontur sementara bathymetri di teluk Taman Nasional
Karimunjawa
5. Survey Lamun
Survey lamun dilakukan di 4 lokasi. Tiga lokasi di sebelah utara Pulau Kemujan
(Gambar 11) dan satu lokasi di teluk di Taman Nasional Karimunjawa (Gambar 12).
Sampel yang diambil meliputi sedimen, penutupan dan identifikasi lamun. Tujuan
dari sutrvey lamun ini adalh untuk mengetahui kandungan karbon di lamun dan di
dalam sedimen. Namun demikian sampai saat ini proses analisa lab masih
berlangsung, sehingga belum bisa ditunjukkan hasilnya.
Gambar 11. Lokasi Survey Lamun di Utara Pulau Kemujan
Gambar 12. Lokasi survey lamun di Teluk Taman Nasional Karimunjawa