repository.unmul.ac.id · 2019. 10. 4. · UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta Fungsi dan sifat...
Transcript of repository.unmul.ac.id · 2019. 10. 4. · UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta Fungsi dan sifat...
PENGANTAR ILMU FARMASI
(dalam Tinjauan Filsafat dan Historis)
UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta
Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4
Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi.
Pembatasan Pelindungan Pasal 26 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 tidak berlaku
terhadap: i. penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait untuk pelaporan
peristiwa aktual yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan informasi aktual; ii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk kepentingan
penelitian ilmu pengetahuan; iii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk keperluan
pengajaran, kecuali pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan Pengumuman sebagai bahan ajar; dan
iv. penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dapat digunakan
tanpa izin Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga Penyiaran. Sanksi Pelanggaran Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
PENGANTAR ILMU FARMASI
(dalam Tinjauan Filsafat dan Historis)
Islamudin Ahmad, S.Si., M.Si., Apt.
PENGANTAR ILMU FARMASI (DALAM TINJAUAN FILSAFAT DAN HISTORIS)
Islamudin Ahmad
Desain Cover : Dwi Novidiantoko Tata Letak Isi : Emy Rizka Fadilah
Sumber Gambar: www.Freepik.com, http://en.wikipedia.org
Cetakan Pertama: Juli 2017
Hak Cipta 2017, Pada Penulis
Isi diluar tanggung jawab percetakan
Copyright © 2017 by Deepublish Publisher
All Right Reserved
Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.
PENERBIT DEEPUBLISH (Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA)
Anggota IKAPI (076/DIY/2012)
Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581
Telp/Faks: (0274) 4533427 Website: www.deepublish.co.id www.penerbitdeepublish.com
E-mail: [email protected]
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
AHMAD, Islamudin Pengantar Ilmu Farmasi (dalam Tinjauan Filsafat dan Historis)/oleh
Islamudin Ahmad.--Ed.1, Cet. 1--Yogyakarta: Deepublish, Juli-2017.
xii, 385 hlm.; Uk:14x20 cm
ISBN 978-Nomor ISBN
1. Farmasi I. Judul
615.1
v
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah
Subhanahu waTa’ala, Rabb pemilik dan penguasa alam semesta
termasuk segala macam ilmu yang terus digali oleh umat
manusia yang telah melimpahkan rahmat dan taufikNYA
sehingga buku ini dapat dirampungkan dan hadir di tengah-
tengah kita walaupun dengan penuh keterbatasan. Salam dan
salawat kepada nabi besar Muhammad SAW sebagai pembuka
pintu kebenaran tentang kebesaran sang pencipta. Buku ini
merupakan salah satu bacaan untuk membuka wawasan
mahasiswa calon sarjana/diploma farmasi (terutama untuk
mahasiswa tingkat pertama), mahasiswa profesi Apoteker,
mahasiswa pascasarjana, pengiat farmasi, maupun masyarakat
umum tentang ilmu farmasi dengan segala kompleksisitasnya
dalam bentuk sebuah pengantar ilmu farmasi.
Penulis terinspirasi menulis buku ini karena setelah
mengikuti kuliah filsafat ilmu pada program S3 ilmu Farmasi di
Fakultas Farmasi Universitas Indonesia dan melihat fenomena
sekarang ini bahwa ada ketimpangan dalam memahami ilmu
farmasi, setiap penulis bertemu dengan beberapa lulusan
farmasi dari salah satu keahlian yang ditekuni selalu
menganggap bahwa hanya ilmu yang dikuasainya yang paling
penting dalam bidang ilmu farmasi. Sehingga terkesan bahwa
lulusan farmasi yang berkecimpung dalam bidang tertentu
hanya memperlihatkan keegoisan keilmuan bukan pemahaman
tentang kebijaksanaan dalam keragaman pengetahuan.
vi
Sementara itu, bidang keilmuan disusun untuk memperdalam
khasanah ilmu pengetahuan (terutama ilmu farmasi) bukan
untuk mengkotak-kotakkan ilmu farmasi, dan pembagian bidang
ilmu hanya lebih menfokuskan pada kajian ilmu farmasi yang
akan memperkokoh ilmu farmasi itu sendiri. Selain itu, pada
kondisi yang sama, dengan pengkotakan seperti itu banyak
masalah-masalah dalam bidang kefarmasian tidak terselesaikan
sehingga mendorong bidang yang lain (diluar bidang farmasi)
tertarik mengkaji dan menyebrang ke bidang farmasi, sehingga
paradigma orientasi ilmu farmasi tergeser oleh peranan bidang
yang lain.
Buku ini berjudul “Pengantar Ilmu Farmasi: dalam
tinjauan filsafat dan historis” yang membahas tentang
gambaran umum terkait perkembangan dan peranan ilmu
farmasi dalam meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup
manusia di seluruh dunia dalam tinjaun filsafat dan historis.
Diharapkan setelah membaca buku ini, pembaca khususnya
mahasiswa dapat memahami secara komprehensif tentang ilmu
farmasi dengan segala kompleksisitasnya yang dimulai dari
definisi dan falsafah ilmu farmasi, sejarah dan perkembangan
ilmu farmasi, sejarah dan perkembangan ilmu farmasi di
Indonesia, pendidikan farmasi, kajian ilmu farmasi, pekerjaan
kefarmasian, paradigma perubahan orientasi farmasi, peluang
dan tantangan masa depan farmasi di Indonesia, dan organisasi
kefarmasian. Semoga buku ini dapat memberikan gambaran
dalam memahami ilmu farmasi secara komprehensif dan
mampu memberikan wawasan kepada pembaca terkait ilmu
farmasi dan segala kompleksisitasnya.
vii
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu baik secara langsung
maupun tidak langsung sehingga buku ini dapat hadir ditengah-
tengah kita. Penulis menyadari bahwa dalam menyusun buku ini
masih banyak kekurangan dan masih perlu disempurnakan. Oleh
karena itu kritik dan saran untuk penyempurnaan buku ini
sangat penulis harapkan mohon dapat disampaikan ke e-mail;
[email protected] atau islamudinahmad
@yahoo.com dan atau [email protected].
Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi kita semua
Demi Jaya Farmasi.
Wassalam
Depok, Mei 2017
Penulis
Islamudin Ahmad
viii
KATA PENGANTAR ................................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................... 1
BAB 2 DEFINISI DAN FALSAFAH ILMU FARMASI ................... 7
2.1 Pengantar .................................................................. 7
2.2 Pengertian ................................................................. 8
2.3 Filsafat, Pengetahuan, dan Ilmu ............................... 11
2.4 Posisi Ilmu Pengetahuan dalam Bingkai
Filsafat ..................................................................... 13
2.5 Klasifikasi dan Hirarki Ilmu ....................................... 18
2.6 Farmasi sebagai Sains............................................... 29
2.7 Farmasi sebagai Profesi ............................................ 31
2.8 Mitologi dan Asal Mula Lambang Farmasi ................ 36
2.9 Referensi ................................................................. 39
BAB 3 SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ILMU
FARMASI ................................................................. 41
3.1 Pengantar ................................................................ 41
3.2 Sejarah dan Moment Besar Perkembangan
Farmasi .................................................................... 43
3.2.1 Zaman Pra-sejarah ....................................... 43
3.2.2 Zaman Kuno ................................................ 46
3.2.3 Zaman Awal Masehi..................................... 54
3.2.4 Zaman kegemilangan Farmasi di
peradaban Arab-Islam ................................. 58
ix
3.2.5 Menjelang Abad pertengahan dan
Abad ke 20................................................... 77
3.2.6 Era Baru Farmasi dan Dampak
Revolusi Industri .......................................... 89
3.3 Referensi ............................................................... 111
BAB 4 SEJARAH PERKEMBANGAN FARMASI DI
INDONESIA ............................................................ 115
4.1 Pengantar .............................................................. 115
4.2 Pada Zaman Penjajahan sampai Perang
Kemerdekaan ......................................................... 116
4.3 Periode Setelah Perang Kemerdekaan
sampai dengan Tahun 1958 ................................... 119
4.4 Periode Tahun 1958 sampai 1967 .......................... 121
4.5 Periode jaman Orde Baru ....................................... 124
4.6 Periode Jaman Reformasi sampai Saat Ini............... 125
4.7 Referensi ............................................................... 129
BAB 5 PENDIDIKAN FARMASI .......................................... 131
5.1 Pengantar .............................................................. 131
5.2 Pendidikan Farmasi di Dunia .................................. 133
5.2.1 Sejarah Perkembangan Pendidikan
Farmasi di Dunia ........................................ 133
5.2.2 Kurikulum Pendidikan Farmasi di
Dunia ......................................................... 138
5.2.3 Konsep Kurikulum berbagai negara
di Dunia ..................................................... 139
5.3 Pendidikan Farmasi di Indonesia ............................ 175
5.3.1 Sejarah Perkembangan Pendidikan
Farmasi di Indonesia. ................................. 175
x
5.3.2 Jenjang Pendidikan Farmasi di
Indonesia ................................................... 178
5.3.3 Kurikulum Perguruan Tinggi Farmasi
di Indonesia ............................................... 195
5.3.4 Standar Kurikulum Pendidikan
Farmasi ...................................................... 218
5.3.4.1 Model Kurikulum ........................... 218
5.3.4.2 Struktur dan Durasi
Kurikulum ...................................... 218
5.3.4.3 Muatan Kurikulum ......................... 219
5.3.4.4 Kerangka Kurikulum
Pendidikan Sarjana Farmasi ........... 220
5.3.4.5 Kerangka Kurikulum Profesi
Apoteker ....................................... 221
5.4 Referensi ............................................................... 222
BAB 6 KAJIAN ILMU FARMASI .......................................... 225
6.1 Pengantar .............................................................. 225
6.2 Sejarah Awal Kajian Ilmu Farmasi ........................... 230
6.3 Fokus Kajian Ilmu Farmasi ...................................... 236
6.4 Kelompok Bidang Ilmu Farmasi .............................. 242
6.4.1 Farmasi Sains dan Teknologi ...................... 246
6.4.1.1 Bidang Ilmu Biologi Farmasi ........... 247
6.4.1.2 Bidang Ilmu Kimia Farmasi ............. 254
6.4.1.3 Bidang Ilmu Farmakologi ............... 259
6.4.1.4 Bidang Ilmu Farmasetika
dan Teknologi Farmasi ................... 265
6.4.2 Farmasi Klinik & Komunitas........................ 271
6.4.3 Farmasi Sosial ............................................ 277
xi
6.5 Sinergisme dalam Pengembangan Kelompok
Bidang Ilmu Farmasi ............................................... 284
6.6 Referensi ............................................................... 287
BAB 7 PEKERJAAN KEFARMASIAN ................................... 291
7.1 Pengantar .............................................................. 291
7.2 Kondisi Kesehatan dan Sistem Pelayanan
Kesehatan di Indonesia .......................................... 293
7.3 Kondisi pada Sektor Kefarmasian dan
pekerjaan kefarmasian di Indonesia ....................... 295
7.4 Pokok-Pokok Pekerjaan Kefarmasian...................... 301
7.5 Pekerjaan Farmasi lainnya ...................................... 316
7.6 Referensi ............................................................... 323
BAB 8 PARADIGMA PERUBAHAN ORIENTASI
FARMASI ............................................................... 327
8.1 Pengantar .............................................................. 327
8.2 Peran Farmasis....................................................... 328
8.3 Paradigma Perubahan Praktek Kefarmasian ........... 331
8.4 Farmasi Klinik ......................................................... 335
8.5 Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical care)............ 339
8.6 Perbedaan dan Persamaan antara Farmasi
Klinik dan Asuhan Kefarmasian .............................. 339
8.7 Paradigma yang terjadi di Masyarakat .................... 341
8.8 Referensi ............................................................... 342
BAB 9 PELUANG DAN TANTANGAN FARMASI
MASA DEPAN DI INDONESIA ................................. 345
9.1 Pengantar .............................................................. 345
9.2 Kondisi dan Peran Apoteker dari Jaman
Kemerdekaan Hinga Saat Ini ................................... 346
xii
9.3 Arah Perkembangan Pelayanan Kefarmasian
Masa Depan ........................................................... 350
9.3.1 Perkembangan IPTEK, Sarana, dan
Pelayanan Kefarmasian .............................. 351
9.3.2 Penerapan SJSN ......................................... 359
9.3.3 Pengembangan & Saintifikasi Jamu,
Herbal, dan atau Pengobatan
Tradisional ................................................. 361
9.4 Peluang dan Tantangan Farmasi Kedepan .............. 364
9.5 Referensi ............................................................... 368
BAB 10 ORGANISASI KEFARMASIAN .................................. 371
10.1 Pengantar .............................................................. 371
10.2 Intenational Pharmaceutical Federation
(FIP) ....................................................................... 372
10.3 Federation of Asian Pharmaceutical
Association (FAPA) ................................................. 375
10.4 Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) .............................. 376
10.5 Persatuan Ahli Farmasi Indonesia (FAPI)................. 378
10.6 Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia
(APTFI) ................................................................... 381
10.7 Asosiasi Pendidikan Diploma Farmasi
Indonesia (APDFI) ................................................... 382
10.8 Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi Seluruh
Indonesia (ISMAFARSI) ........................................... 383
10.9 Referensi ............................................................... 385
1
BAB I PENDAHULUAN
Ilmu Farmasi merupakan suatu ilmu yang mempelajari
seluruh aspek obat, mulai dari pencarian sumber bahan baku,
pembuatan, penggunaan, analisis, distribusi, penyimpanan, dan
pengawasan obat yang bertujuan untuk menjamin terutama
khasiat dan keamanan obat bila digunakan oleh masyarakat.
Misi ilmu Farmasi adalah meningkatkan kesehatan global
dengan menemukan, mengembangkan, dan memproduksi obat-
obatan berkualitas yang aman, tepat, efektif, terjangkau, hemat
biaya, dan mendistribusikan secara luas sediaan farmasi ke
seluruh dunia untuk dapat digunakan dalam upaya mencegah,
mengobati, mendiagnosa, dan memulihkan kesehatan manusia.
Ilmu farmasi ditinjau dari objek materinya, memiliki
kerangka dasar dari ilmu-ilmu alam, meliputi; kimia, biologi,
fisika dan matematika. Sedangkan ilmu farmasi ditinjau dari
objek formalnya merupakan ruang lingkup dari ilmu-ilmu
kesehatan. Secara historis ilmu farmasi dikembangkan dari
medical sciences, berdasarkan kebutuhan yang mendesak
perlunya pemisahan ilmu farmasi (sebagai ilmu tentang obat-
obatan) dari ilmu kedokteran (sebagai ilmu tentang diagnosis).
Hipocrates (Tahun 460 – 357 SM) yang merupakan peletak dasar
ilmu kedokteran dan mencetuskan ide pemilahan farmasi dari
kedokteran dengan memprakarsai simbol farmasi dan
kedokteran secara terpisah. Namun yang sangat mengesankan,
dan telah dijadikan tonggak kelahiran farmasi adalah ketika
2
Kaisar Frederik II pada tahun 1240 mengeluarkan undang-
undang negara tentang pemisahan farmasi dari kedokteran yang
diajarkan dan dipraktekkan secara terpisah. Meskipun pada
abad sebelumnya farmasi telah dipraktekkan secara terpisah di
Timur Tengah terutama di Kota Baghdad, Irak, dimana Apotek
(Pharmacy atau drugs store) didirikan secara legal berdasarkan
hukum yang berlaku dalam melakukan praktek kefarmasian.
Ilmu farmasi pada perkembangan selanjutnya menga-
dopsi tidak hanya ilmu kimia, biologi, fisika, dan matematika,
melainkan termasuk pula dari ilmu-ilmu terapan seperti
pertanian, teknik, ilmu kesehatan, sosial, hukum, ekonomi,
bahkan dari behavior science. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa dari suatu pihak farmasi tergolong seni teknis (Technical
arts) apabila ditinjau dari segi pelayanan dalam penggunaan
obat (medicine); di lain pihak farmasi dapat pula digolongkan
dalam ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural science).
Berdasarkan cakupan farmasi sebagai ilmu diatas, secara
umum terbentuk cabang-cabang ilmu farmasi yang terdiri dari
bidang-bidang Ilmu Farmasi yang mengalami perkembangan
menjadi beberapa bidang yang meliputi, ilmu Farmasi Sains dan
Teknologi (meliputi bidang ilmu Kimia Farmasi, Biologi Farmasi,
Farmakologi, dan Farmasetika dan Teknologi Farmasi), ilmu
Farmasi Klinik & Komunitas, dan Farmasi Sosial.
Perkembangan ilmu pengetahuan berjalan sangat cepat
dan perkembangan ini juga terjadi dalam bidang ilmu farmasi.
Meskipun kenyataanya, dalam perjalanannya para lulusan
farmasi mengalami kesulitan untuk menguasai seluruh ilmu
farmasi itu sendiri sehingga sangat dibutuhkan spesialisasi. Tidak
bisa dipungkiri lagi bahwa perkembangan ilmu farmasi terutama
3
di perguruan tinggi sebagai lembaga/institusi formal pelaksana
pendidikan farmasi sangat pesat, dan sangat berpengaruh
dengan proses pembelajaran secara parsial dan tidak maksimal
karena sistem kurikulum yang begitu padat. Hal ini
menyebabkan para lulusan hanya mengetahui atau menguasai
kelompok bidang tertentu dalam ilmu farmasi, minimal untuk
level sarjana atau diploma menguasai dasar-dasar ilmu Farmasi.
Parahnya lagi dalam dunia kerja lulusan farmasi hanya
melakukan pekerjaan kefarmasian yang dominan pada bagian
tertentu dari pekerjaan kefarmasian. Kondisi tersebut
menyebabkan terjadinya perubahan paradigma orientasi ilmu
farmasi, yang menyebabkan kajian-kajian tentang ilmu farmasi
menjadi seksi di bidang ilmu yang lain.
Semua aspek tentang obat yang idealnya harus dikuasai
oleh seorang farmasis tanpa sadar tergeser oleh peranan
bidang/orang lain. Contoh dalam dunia kerja terutama apotek
dan distribusi obat, peranan farmasis disini hanya sebatas tanda
tangan faktur dan laporan sebagai penanggungjawab, akan
tetapi terkait dengan kebijakan pengadaan dan lain-lain ada
ditangan PSA (pemilik saranan apotek), meskipun sebagian kecil
telah ada yang bertindak sebagai PSA. Seharusnya telah diatur
secara hukum bahwa apoteker penanggungjawab sekaligus
harus menjadi PSA, selebihnya pemilik modal hanya bertindak
sebagai investor. Akan tetapi pada kenyataannya tidak/belum
seperti itu, hal ini salah satunya disebabkan karena kepentingan.
Kondisi serupa terjadi di instansi pemerintah atau lainnya.
Bahkan sampai hari ini, dimedia – media ramai dibahas terkait
dengan bidang pekerjaan kefarmasian, terutama yang terkait
dengan pekerjaan yang bersinggungan dengan profesi lain.
4
Itulah sebagian contoh kecil dalam bidang pekerjaan
kefarmasian dan masih banyak contoh nyata yang paling besar
dan banyak yang tidak disinggung disini dan bahkan telah
menjadi rahasia umum dalam pekerjaan kefarmasian. Bila
dianalogikan dalam sebuah permainan sepakbola, farmasis
memiliki lapangan dan bola, akan tetapi yang bermain orang
lain, kalaupun ada sebagai pemain, itupun hanya sebagai
cadangan. Hal ini sangat jelas terlihat dalam sistem regulasi
tentang kefarmasian.
Saat ini, di Indonesia baru ada sekitar 50.000-an
apoteker. Sedangkan rasio apoteker di Indonesia masih 1
berbanding 8.000, dimana jumlah dengan perbandingan
tersebut masih jauh dari kata ideal. Contoh nyata bisa kita
saksikan di rumah sakit yang kebanyakan hanya menyediakan
satu atau dua orang apoteker saja. Bahkan sarana pelayanan
kesehatan misalnya di Puskesmas, masih banyak puskesmas
belum memiliki tenaga Apoteker.
Dalam dunia akademik terutama dalam bidang
penelitian, sebagian besar bidang ilmu lain melakukan riset
terkait obat, misalnya Kehutanan, Pertanian, Teknik Kimia, dan
lain–lain, termasuk Kedokteran dan Kimia (meskipun kedua-
duanya paling dekat dan sangat terkait dengan ilmu Farmasi).
Namun, penulis menganggap hal ini masih wajar-wajar saja
karena semua orang berhak mengetahui apa saja selama masih
mampu, meskipun tidak bisa dipungkiri tujuan awal
pembentukan lembaga berdasarkan keilmuan secara hukum
yaitu bertujuan untuk memfokuskan pada bidang yang dikaji
secara filosofis.
5
Dalam pendidikan tinggi, farmasi merupakan salah satu
bidang ilmu yang memiliki kaitan erat dengan ilmu kedokteran
dan ilmu kimia (terutama kimia terapan yang mengarah ke
kesehatan). Dalam ilmu kimia akan lebih berfokus pada benda,
ciri-cirinya, strukturnya, komposisinya, dan perubahannya yang
disebabkan karena interaksi dengan benda lain atau reaksi
kimia. Dalam reaksi kimia, ikatan antara atom-atom akan
dipecah dan akan membentuk substansi baru dengan ciri-ciri
yang berbeda. Bila dalam ilmu kedokteran akan lebih
memfokuskan diri dalam upaya penanganan, diagnosis, atau
penyembuhan pasien secara langsung. Sedangkan dalam ilmu
farmasi fokusnya menggabungkan keduanya terutama lebih
kepada benda/bahan yang telah diketahui sifat-sifatnya,
komposisinya sampai pada mekanisme kerja atau lebih dikenal
bahan obat/obat-obatan yang dapat digunakan secara efektif
dan efisien dalam rangka pencegahan, penyembuhan, dan
peningkatan kesehatan masyarakat.
Dalam ilmu farmasi, kita mempelajari berbagai hal
tentang obat-obatan mulai dari pencarian sumber bahan baku,
pembuatan, penggunaan, analisis, distribusi, penyimpanan, dan
pengawasan obat yang bertujuan untuk menjamin terutama
khasiat dan keamanan obat bila digunakan oleh masyarakat.
Termasuk juga belajar tentang cara menjelaskan atau membe-
rikan informasi yang dapat diterima dengan mudah oleh pasien
mengenai tata cara pemakaian (aturan pakai) obat yang benar,
indikasi, kontra indikasi, dan efek samping dari obat tersebut.
Setelah menyelesaikan pendidikan pada
lembaga/institusi pengelola pendidikan farmasi (terkhusus di
Indonesia) baik dari program diploma sampai dengan program
6
doktor farmasi. Maka lulusan akan diberikan gelar ahli madya
farmasi (disingkat Amd. Far) untuk mereka yang lulus dari
jenjang diploma (D3) Farmasi. Bagi lulusan sarjana farmasi akan
diberikan gelar S.Farm (meskipun masih ada yang menggunakan
gelar S.Si) atau yang biasa disebut sarjana farmasi (sarjana sains
farmasi), dan juga biasanya akan diberikan gelar Apoteker
(disingkat; Apt) bagi mereka yang telah melanjutkan ke profesi
apoteker. Untuk gelar magister bagi lulusan yang melanjutkan
ke jenjang S2 diberikan gelar M.Farm (meskipun masih ada yang
menggunakan M.Si) atau disebut magister sains farmasi, atau
gelar M.Farm.Klin bagi mereka yang mengambil konsentrasi
farmasi klinik. Sedangkan untuk program S3 diberikan gelar
Doktor Ilmu Farmasi (disingkat Dr.). Nama gelar bagi lulusan
farmasi berbeda-beda dari masing-masing negara, dan gelar
ditetapkan berdasarkan hukum dan aturan perundang-
undangan yang berlaku di suatu negara.
Farmasi sebagai seni dan ilmu dalam penyediaan obat
baik dari bahan alam maupun bahan sintetis yang sesuai untuk
didistribusikan, digunakan dalam pengobatan, dan pencegahan
penyakit, hadir di tengah-tengah pluralitas ilmu pengetahuan.
Kehadiran ilmu farmasi sebagai disiplin ilmu pengetahuan baik
yang bersifat teoritis sampai pada yang bersifat praktis
teknologis diharapkan senantiasa mengalami pencerahan sesuai
tujuan awal dari keberadaannya.
Melihat adanya fenomena yang di dalam proses
perkembangannya, farmasi mengalami pergeseran nilai,
sehingga diperlukan sebuah rekonstruksi dalam perspektif
filsafat ilmu pengetahuan yang akan dijelaskan dalam buku ini
sebagai Pengantar Ilmu Farmasi.
7
BAB 2 DEFINISI DAN FALSAFAH
ILMU FARMASI
2.1 Pengantar
Ketika ditanya tentang farmasi, kebanyakan orang akan
mengatakan bahwa farmasi adalah sebuah toko obat atau
tempat dimana kita dapat membeli obat. Beberapa orang
mungkin berbicara tentang obat-obatan dan farmasis/apoteker
(kadang-kadang disebut penjual obat atau tukang obat atau
“druggist” terutama jika orang tersebut berusia diatas usia 50
tahun). Kebanyakan orang tidak berfikir tentang farmasi sebagai
profesi.
Apa tujuan farmasi itu? Beberapa orang, bahkan
beberapa apoteker, menjawab pertanyaan “Apa tujuan dari
farmasi (terutama secara awam tentang praktek profesi di
apotek)? dengan mengatakan “farmasi bertujuan untuk
memasok obat-obatan.” Namun, jika ini adalah tujuan utama,
mengapa apoteker melakukan hal ini?. Jika memasok obat
merupakan tujuan utama dari Farmasi adalah orang yang belajar
di perguruan tinggi selama 6-8 tahun yang dibutuhkan hanya
untuk fungsi ini?.
Tujuan dari praktek profesi farmasi adalah untuk
membantu pasien dalam menggunakan obat secara efektif dan
efisien dari pengobatannya. Jika ditinjau dari sudut pandang
kesehatan masyarakat, Apoteker dibutuhkan untuk dapat
memastikan penggunaan secara rasional dan aman dari obat-
8
obatan, minimal apoteker dibutuhkan sebagai kontrol dalam
proses penggunaan obat-obatan agar terapi dan khasiat obat
dapat memberikan efek atau khasiat secara maksimal.
2.2 Pengertian
Farmasi atau Apotek adalah tempat, profesi, dan
kadang-kadang merupakan bisnis. Farmasi merupakan tempat
dimana farmasis/apoteker (yang memiliki ijin atau lisensi)
mengawasi pengeluaran obat setelah menerima resep oleh
penulis resep/dokter (yang memiliki ijin atau lisensi). Farmasi
bukanlah toko obat (bahasa Inggris: drugstore). Dalam istilah
bahasa inggris, kata medicine (yang berarti obat) dalam
mendefinisikan farmasi (sebagai tempat/ a place) lebih baik
dibandingkan kata drug (juga berarti obat/bahan obat), seperti
kata apoteker (Bahasa Inggris: Pharmacist) lebih baik
dibandingkan dengan kata penjual obat atau tukang obat
(Bahasa Inggris: druggist). Di masyarakat saat ini, drug (yang
berarti obat/bahan obat) biasanya memberi kesan negatif atau
penyalahgunaan obat terlarang (narkoba). Kata medicine (yang
berarti obat) lebih berkesan positif; dimana obat dikonsumsi
dengan tujuan untuk meningkatkan kesehatan atau
menyembuhkan penyakit. Kata penjual obat atau tukang obat
(druggist) lebih bermakna negatif dengan demikian kata ini tidak
tepat/kurang diterima untuk mendefinisikan seorang farmasis.
Bagian terakhir dalam mendefinisikan farmasi (sebagai tempat)
meliputi kata penulis resep resmi (Bahasa Inggris: legal
prescriber), yaitu seseorang yang memiliki kemampuan dan
memperoleh persetujuan dari badan legislatif negara untuk
meresepkan obat (baik dokter, dokter gigi, ataupun dokter
9
hewan). Apoteker (pharmacist) harus selalu waspada untuk
selalu mengawasi terutama ada resep palsu atau
penyalahgunaan obat-obatan (terutama obat-obat golongan
narkotika, psikotropika, maupun prekursor), serta orang-orang
yang mencoba untuk mendapatkan narkotika dan obat terlarang
lainnya secara ilegal. Farmasi juga berarti praktek farmasi
sebagai profesi serta farmasi dapat juga menjadi bisnis.
Apoteker (Pharmacist) yang memiliki apotek sendiri atau
manajer dari apotek adalah orang-orang bisnis serta praktisi
terutama penyedia sarana apotek/klinik. Dengan demikian,
mereka memiliki dua tujuan: (a) untuk merawat pasien dan (b)
untuk membuat cukup keuntungan untuk bertahan dalam
bisnis.
Farmasi (bahasa Inggris: pharmacy, bahasa Yunani:
pharmacon, yang berarti: obat) merupakan salah satu bidang
profesional kesehatan yang merupakan kombinasi dari ilmu
kedokteran (termasuk ilmu kesehatan secara umum) dan ilmu
kimia, yang mempunyai tanggung jawab memastikan efektivitas
dan keamanan penggunaan obat. Farmasi didefinisikan sebagai
profesi yang menyangkut seni dan ilmu penyediaan bahan obat,
dari sumber alam atau sintetik yang sesuai, untuk disalurkan dan
digunakan pada pengobatan dan pencegahan penyakit. Farmasi
mencakup pengetahuan mengenai identifikasi, pemilahan
(selection), aksi farmakologis, pengawetan, penggabungan,
analisis, dan pembakuan bahan obat (drugs) dan sediaan obat
(medicine). Pengetahuan kefarmasian mencakup pula
penyaluran dan penggunaan obat yang sesuai dan aman, baik
melalui resep (prescription) dokter berizin, dokter gigi, dan
dokter hewan, maupun melalui cara lain yang sah, misalnya
10
dengan cara menyalurkan atau menjual langsung kepada
pemakai.
Apoteker/Pharmacist merupakan gelar profesional
dengan keahlian di bidang farmasi. Apoteker biasa bertugas di
institusi-institusi baik pemerintahan maupun swasta seperti
badan pengawas obat/makanan, rumah sakit, industri farmasi,
industri obat tradisional, apotek, dan di berbagai sarana
kesehatan.
Asisten Apoteker merupakan profesi pelayanan
kesehatan di bidang Farmasi bertugas sebagai pembantu tugas
Apoteker dalam pekerjaan kefarmasian menurut Peraturan
Menteri Kesehatan No.889/MENKES/PER/V/2011 yang disebut
juga sebagai Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK).
Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan
peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan.
Alat Kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin
dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang digunakan
untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringkan
penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada
manusia, dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki
fungsi tubuh.
Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat
tradisional, makanan fungsional, dan kosmetika.
Obat adalah semua bahan tunggal atau campuran yang
dipergunakan oleh semua mahluk untuk bagian dalam dan luar
tubuh guna mencegah, meringankan, dan menyembuhkan
penyakit. Menurut wikipedia (definisi secara umum), obat
adalah benda atau zat yang dapat digunakan untuk merawat
11
penyakit, membebaskan gejala, atau mengubah proses kimia
dalam tubuh. Definisi lain, Obat ialah suatu bahan atau paduan
bahan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam
menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangkan,
menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit,
luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau
hewan dan untuk memperelok atau memperindah badan atau
bagian badan manusia termasuk obat tradisional.
Obat tradisional adalah obat-obatan yang diolah secara
tradisional, turun-temurun, berdasarkan resep nenek moyang,
adat-istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan setempat, baik
bersifat magic maupun pengetahuan tradisional.
Ilmu Farmasi merupakan suatu ilmu yang mempelajari
seluruh aspek tentang obat, mulai dari proses pencarian bahan
(baik alami, semisintetik, dan sintetik), pembuatan, cara
penggunaan, distribusi, penyimpanan, penyerahan, sampai obat
tersebut digunakan dengan baik oleh pasien.
2.3 Filsafat, Pengetahuan, dan Ilmu
Sepanjang sejarahnya manusia dalam usahanya
memahami dunia sekelilingnya mengenal dua sarana, yaitu
pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) dan penjelasan gaib
(mystical exploitation). Kini di satu pihak manusia memiliki
sekelompok pengetahuan yang sistematis dengan berbagai
hipotesis yang telah dibuktikan kebenarannya secara sah, tetapi
dipihak lain sebagian mengenal pula aneka keterangan gaib
yang tidak mungkin diuji sahnya untuk menjelaskan rangkaian
peristiwa yang masih berada di luar jangkauan pemahamannya.
Di antara rentangan pengetahuan ilmiah dan penjelasan gaib itu
12
terdapatlah persoalan ilmiah yang merupakan kumpulan
hipotesis yang dapat diuji, tetapi belum secara sah dibuktikan
kebenarannya.
Ilmu sebagai aktivitas ilmiah dapat berwujud
penelaahan (study), penyelidikan (inquiry), usaha menemukan
(attempt to find), atau pencarian (search). Oleh karena itu,
pencarian biasanya dilakukan berulang kali, maka dalam dunia
ilmu pengetahuan, kini dipergunakan istilah research
(penelitian) untuk aktivitas ilmiah yang paling berbobot guna
menemukan pengetahuan baru. Dari aktivitas ilmiah dengan
metode ilmiah yang dilakukan para ilmuwan dapatlah dihimpun
sekumpulan pengetahuan yang baru atau disempurnakan
pengetahuan yang telah ada, sehingga di kalangan ilmuwan
maupun para filsuf pada umumnya terdapat kesepakatan bahwa
ilmu adalah sesuatu kumpulan pengetahuan yang sistematis.
Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan hadir kembali
di tengah-tengah perkembangan IPTEK yang telah begitu plural.
Adapun kepentingan yang begitu mendesak ini adalah
meluruskan arah proses perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, khususnya arah pemanfaatannya. Filsafat ilmu
pengetahuan merupakan suatu bidang studi mengenai ilmu
pengetahuan. Hal ini, karena filsafat itu adalah ilmu
pengetahuan yang selalu mencari hakekat, berarti filsafat ilmu
pengetahuan berusaha mencari “keseragaman” daripada
“keanekaragaman” ilmu pengetahuan. Secara sederhana,
pengertian filsafat atau filosofi adalah cinta pada pengetahuan
(ilmu pengetahuan) dan kebijksanaan. Dalam bahasa Arab,
pengertian filsafat dirujuk dari muhib ialah al-hikmah dan dari
bahasa belanda ialah wijsbegeerte. Dalam islam, tidak dikenal
13
adanya filsafat islam. Satu satunya yang sepadan dengan
pengertian filsafat dalam Islam adalah hikmah yang berarti
pengetahuan dan kebijaksanaan.
Gambar 1.1. Ilustrasi tentang pengertian filsafat
2.4 Posisi Ilmu Pengetahuan dalam Bingkai Filsafat
Pengertian-pengertian tentang filsafat ilmu, telah
banyak dijumpai dalam berbagai buku maupun karangan ilmiah
lainnya. Menurut The Liang Gie, filsafat ilmu adalah segenap
pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai
segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan
ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu
merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang
eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan
timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.
Sehubungan dengan pendapat tersebut bahwa filsafat
ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat
14
pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, setiap saat ilmu itu berubah mengikuti
perkembangan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan
pengetahuan lama dan pengetahuan lama tersebut akan
menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru.
Filsafat ilmu berkembang dari epistomologi (Filsafat
Pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakekat ilmu
(pengetahuan ilmiah). Semua ilmu adalah pengetahuan, tetapi
tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu. Manusia
mempunyai perasaan, pikiran, pengalaman, panca indera,
intuisi, dan mampu menangkap gejala alam lalu
mengabstrasikannya dalam bentuk ketahuan atau pengetahuan
misalnya kebiasaan, akal sehat, seni, sejarah dan filsafat. Apa
yang diperoleh dalam proses mengetahui itu dilakukan tanpa
memperhatikan objek, cara dan kegunaannya, maka ini
dikategorikan dalam ketahuan atau pengetahuan, dalam bahasa
Inggris disebut knowledge. Ilmu atau science ialah pengetahuan
yang diperoleh melalui metode ilmiah, yaitu suatu cara yang
menggunakan syarat-syarat tertentu, melalui serangkaian
langkah yang dilakukan dengan penuh disiplin.
Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan
ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat
mencolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani,
“philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi
dalam perkembangan ilmu pengetahuan dikemudian hari,
ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain. Filsafat
Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian
menjadi terpecah-pecah dengan munculnya ilmu pengetahuan
alam pada abad ke-17, maka mulailah terjadi perpisahan antara
15
filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapatlah
dikemukakan bahwa sebelum abad ke-17 tersebut ilmu
pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut
sejalan dengan pemikiran Van Peursen, yang mengemukakan
bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga
definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang
dianut.
Dalam perkembangan lebih lanjut, filsafat itu sendiri
telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan
menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah
tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang
melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri
dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan
semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru
yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu
pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih
khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Ilmu pengetahuan
dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat
asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-
tidaknya dapat ditentukan.
Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau
pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak Francis Bacon
(1561–1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge Is
Power”, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu
pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual
maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi
yang timbul bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya
dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis
16
batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan
atau praktis.
Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu
yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat
menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh
karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal
tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Immanuel Kant yang
menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang
mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup
pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu, dikatakan
bahwa filsafat adalah sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the
great mother of the sciences).
Karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a
higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai
penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu
sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya yaitu
Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama
diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang
penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu:
- Landasan ontologis, yaitu objek apa yang telah ditelaah
ilmu, wujudnya, hubungan dengan daya tangkap
manusia (berfikir, merasa, mengindera) yang
membuahkan pengetahuan.
- Landasan Epistemologis, yaitu bagaimana proses
ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu,
prosedurnya, hal apa yang perlu diperhatikan agar
memperoleh pengetahuan yang benar, apa yang disebut
kebenaran iu sendiri, kriterianya, cara/teknik/metode
17
yang dapat membantu dalam mendapatkan
pengetahuan berupa ilmu.
- Landasan Aksiologis, yaitu untuk apa pengetahuan yang
berupa ilmu itu digunakan, kaitannya dengan kaidah –
kaidah moral, kaitan antara teknik prosedural yang
merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan
norma – norma moral dan profesional.
Semua pengetahuan, ilmu atau seni pada dasarnya
mempunyai ketiga landasan itu. Letak perbedaanya hanya pada
materi perwujudannya, serta sejauh mana landasan dari ketiga
aspek itu dilaksanakan dan dikembangkan secara konsekuen
dengan penuh disiplin. Karena itu juga sering digunakan istilah
disiplin (atau disiplin ilmu). Ketiga landasan keilmuan tadi
digunakan untuk membedakan berbagai jenis ilmu dan
pengetahuan yang terdapat dalam khasanah kehidupan
manusia. Dengan mengetahui ciri – ciri setiap pengetahuan
secara benar, dapat memanfaatkan kegunaan secara maksimal,
dan tidak salah menggunakannya, misalnya ilmu dikacaukan
dengan seni, atau ilmu dikonfrontasikan dengan agama.
Dengan memahami hakekat ilmu itu, dapatlah dipahami
bahwa perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan
pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu, simplifikasi dan
artifisialitas ilmu dan lain sebagainya, yang vital bagi
penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dari itu, dikatakan bahwa
dengan filsafat ilmu, kita akan didorong untuk memahami
kekuatan serta keterbatasan metodenya, praposisi ilmunya,
logika validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam konteks
dengan realitas sedemikian rupa sehingga seorang ilmuwan
18
dapat terhindar dari kecongkakan serta kerabunan
intelektualnya.
Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti
bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik
jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik
tanpa kritik dari filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari
Michael Whiteman, bahwa ilmu kealaman persoalannya
dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dengan persoalan-
persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari yang lain
tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan filsafati sekarang
sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya
argumentasinya tidak salah.
2.5 Klasifikasi dan Hirarki Ilmu
Klasifikasi atau penggolongan ilmu pengetahuan
mengalami perkembangan atau perubahan sesuai dengan
semangat zaman. Pemunculan suatu cabang ilmu baru terjadi
karena beberapa syarat. Bert Hoselitz menyebut adanya
pembentukan suatu disiplin khusus yang baru dalam bidang
ilmu manapun berkaitan dengan tiga syarat. Pertama, yaitu
eksistensi dan pengenalan seperangkat problem-problem baru
yang menarik perhatian beberapa penyelidik. Kedua, yaitu
pengumpulan sejumlah cukup data yang akan memungkinkan
penggerapan generalisasi-generalisasi yang cukup luas
lingkupnya untuk menunjukkan ciri-ciri umum problem-problem
yang sedang diselidiki. Ketiga, yaitu pencapaian pengakuan
resmi atau institusional terhadap disiplin baru itu.
Dengan berkembangnya, demikian banyak cabang ilmu
khusus maka timbullah masalah pokok tentang penggolongan
19
ilmu-ilmu itu maupun pembagiannya. Klasifikasi merupakan
pengaturan yang sistematik untuk menegaskan definisi sesuatu
cabang ilmu, menentukan batas-batasnya dan menjelaskan
saling hubungannya dengan cabang-cabang yang lain. Ada
beberapa pandangan yang terkait dengan klasifikasi ilmu
pengetahuan yang telah dijelaskan oleh Surajio (2013) dan
Suriasumantri (2015) sebagai berikut:
1) Pada Zaman Purba dan Abad Pertengahan
Pembagian ilmu pengetahuan pada zaman ini
berdasarkan “artis liberalis” atau kesenian yang
merdeka, yang terdiri atas dua bagian yaitu:
a) Trivium atau tiga bagian yaitu: Gramatika,
bertujuan agar manusia dapat berbicara yang baik;
Dialektika, bertujuan agar manusia dapat berpikir
baik, formal dan logis; dan Retorika, bertujuan agar
manusia dapat menyampaikan gagasan atau ide-ide
dengan baik.
b) Quadrivium atau empat bagian yaitu: Aritmatika
yaitu ilmu hitung; Geometrika yaitu ilmu ukur;
Musika yaitu ilmu musik; dan Astronomia yaitu ilmu
perbintangan.
2) Francis Bacon
Francis Bacon mengklasifikasikan ilmu berdasarkan
pada subjeknya, yaitu daya manusia untuk mengetahui
sesuatu. Berdasarkan hal tersebut, ia membeda-
bedakannya sebagai berikut:
a. Ilmu pengetahuan ingatan yaitu membicarakan
masalah-masalah atau kejadian yang telah lalu,
meskipun dimanfaatkan untuk masa depan.
20
b. Ilmu pengetahuan khayal yaitu membicarakan
kejadian-kejadian dalam dunia khayal, meskipun
berdasar dan untuk keperluan dunia nyata.
c. Ilmu pengetahuan akal yaitu umumnya
pembahasannya mengandalkan diri pada logika dan
kemampuan berfikir.
Klasifikasi tersebut tidak dapat dibenarkan apabila
pemikiran kita berpangkal pada pandangan bahwa kita
tidak akan mungkin mengenal dengan akal, ingatan,
atau daya khayal semata, tetapi dengan seluruh pribadi
kita.
3) Aristoteles
Aristoteles memberikan suatu klasifikasi
berdasarkan objek formal yaitu ilmu teoritis (spekulatif),
praktis, dan poietis (produktif). Ilmu teoritis bertujuan
bagi pengetahuan itu sendiri, yaitu untuk keperluan
perkembangan ilmu. Ilmu praktis yaitu ilmu
pengetahuan yang bertujuan mencari norma atau
ukuran bagi perbuatan kita. Poietis yaitu ilmu
pengetahuan yang bertujuan menghasilkan suatu hasil
karya, alat, dan teknologi.
4) Wilhelm Windelband
Wilhelm Windelband membedakan ilmu
pengetahuan alam (naturwissenschaf) dan ilmu sejarah
(geschichtswissenschaft). Menurutnya, kedua jenis ilmu
pengetahuan itu tidak berbeda dalam hal objeknya
karena objeknya satu yaitu kenyataan. Adapun
perbedaannya terletak pada metode. Metode untuk
naturwissenschaf disebut nomotetis yaitu berhubungan
21
dengan nomos atau norma yang menunjuk pada adanya
usaha untuk membuat hal umum atau generalisasi.
Sedangkan geschichtswissenschaft menggunakan
metode ideografis yaitu tertuju pada hal yang sifatnya
individual atau tidak umum, tetapi menuju
individualisasi, serta hanya terjadi sekali atau bersifat
einmalig. Artinya, tidak dapat diulangi dan tidak pula
dapat diduga atau diramalkan. Metode ini semata-mata
suatu usaha untuk melukiskan gagasan atau ide dari
objek.
5) Auguste Comte
Pada dasarnya penggolongan ilmu pengetahuan
yang dikemukakan oleh Auguste Comte sejalan dengan
sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri, yang menunjukkan
bahwa gejala dalam ilmu pengetahuan yang paling
umum akan tampil terlebih dahulu. Urutan dalam
penggolongan ilmu pengetahuan Auguste Comte
sebagai berikut:
a. Ilmu Pasti (Matematika) merupakan dasar bagi
semua ilmu pengetahuan.
b. Ilmu Perbintangan (Astronomi) dapat menyusun
hukum yang bersangkutan dengan gejala benda
langit.
c. Ilmu Alam (Fisika) merupakan ilmu yang lebih tinggi
dari ilmu perbintangan.
d. Ilmu Kimia (Chemistry), gejala-gejala dalam ilmu
kimia lebih kompleks daripada ilmu alam.
22
e. Ilmu Hayat (Fisiologi atau Biologi) merupakan ilmu
yang kompleks dan berhadapan dengan gejala
kehidupan.
f. Ilmu Sosial (Sosiologi) merupakan urutan tertinggi
dalam penggolongan ilmu pengetahuan.
Atau secara garis besar dapat diskemakan sebagai
berikut:
1. Ilmu Pengetahuan meliputi Logika (matematika
murni) dan Ilmu pengetahuan empiris (astronomi,
fisika, kimia, biologi, sosiologi).
2. Filsafat meliputi Metafisika dan filsafat ilmu
pengetahuan.
6) The Liang Gie
The Liang Gie membagi pengetahuan ilmiah
berdasarkan dua hal, yaitu ragam pengetahuan dan jenis
pengetahuan. Pembagian ilmu menurut ragamnya
mengacu pada salah satu sifat atributif yang dipilih
sebagai ukuran. Pembagian ini hanya menunjukkan
sebuah ciri dari sekumpulan pengetahuan ilmiah. Sifat
atributif yang akan dipakai dasar untuk melakukan
pembagian dalam ragam ilmu adalah sifat dasar
manusia yang berhasrat mengetahui dan ingin berbuat.
Dengan demikian The Liang Gie membagi ilmu
dibedakan menjadi dua ragam, yaitu ilmu teoritis
(theoretical science) dan ilmu praktis (practical science).
Berdasarkan enam jenis material pengetahuan
ilmiah yang merupakan pokok soal di atas, the Liang Gie
membagi ilmu menjadi tujuh jenis, yaitu seperti yang
digambarkan pada Tabel 1.1.
23
Tabel 1.1 Pembagian Ilmu menurut The Liam Gie
No. Jenis Ilmu Ragam Ilmu
Ilmu Teoritis Ilmu Praktis
1. Ilmu-ilmu matematis
Aljabar Geometri
Accounting Statistik
2. Ilmu-ilmu fisis Kimia Fisika
Ilmu keinsinyuran Metalurgi
3. Ilmu-ilmu biologi Biologi molekuler Biologi sel
Ilmu pertanian Ilmu peternakan
4. Ilmu-ilmu psikologis
Psikologi eksperimental Psikologi perkembangan
Psikologi pendidikan Psikologi perindustrian
5. Ilmu-ilmu sosial Antropologi Ilmu ekonomi
Ilmu administrasi Ilmu marketing
6. Ilmu-ilmu linguistik Linguistik teoritis Linguistik perbandingan
Linguistik terapan Seni terjemahan
7. Ilmu-ilmu interdisipliner
Biokimia Ilmu lingkungan
Farmasi Ilmu perencanaan kota
Pembagian selanjutnya sebagai pelengkap
pembagian menurut ragam adalah pembagian ilmu
menurut jenisnya. Menurut The Liang Gie ada enam
jenis objek material pengetahuan ilmiah, yaitu ide
abstrak, benda fisik, jasad hidup, gejala rohani, peristiwa
sosial, dan proses tanda.
7) Al-Ghazali
Al-Ghazali secara filosofis membagi ilmu ke dalam
ilmu syar’iyyah dan ilmu aqliyyah yaitu sebagai berikut:
24
1. Ilmu Syar’iyyah
a) Ilmu tentang prinsip-prinsip dasar (al-ushul)
yaitu Ilmu tentang keesaan Tuhan (al-tauhid),
Ilmu tentang kenabian, Ilmu tentang akhirat
atau eskatoogis, dan Ilmu tentang sumber
pengetahuan religious, yaitu Al-Quran dan Al-
Sunnah (primer), ijma’ dan tradisi para sahabat
(sekunder). Ilmu ini terbagi menjadi dua
kategori: Ilmu-ilmu pengantar (ilmu alat) dan
Ilmu-ilmu pelengkap.
b) Ilmu tentang cabang-cabang (furu’) yaitu Ilmu
tentang kewajiban manusia kepada jiwanya
sendiri (ilmu akhlak), Ilmu tentang kewajiban
manusia terhadap Tuhan (ibadah) dan Ilmu
tentang kewajiban manusia kepada
masyarakat: Ilmu tentang transaksi dan Ilmu
tentang kewajiban kontraktual
2. Ilmu Aqliyyah
a) Matematika: aritmatika, geometri, astronomi
dan astrologi, music
b) Logika
c) Fisika/ilmu alam: kedokteran, meteorology,
mineralogy, kimia
d) Ilmu tentang wujud di luar alam, atau
metafisika:
Ontologi adalah pengetahuan tentang
esensi, sifat, dan aktivitas Ilahi,
Pengetahuan tentang substansi-substansi
sederhana, Pengetahuan tentang dunia
25
halus, dan Ilmu tentang kenabian dan
fenomena kewalian ilmu tentang mimpi.
Teurgi (nairanjiyyat) adalah Ilmu yang
mengemukakan kekuatan-kekuatan bumi
untuk menghasilkan efek tampak seperti
supernatural.
Pembagian ilmu-ilmu dewasa ini menimbulkan perincian
yang dinamakan disiplin ilmu dan cabang ilmu dalam
masyarakat ilmuwan. Saat ini, klasifikasi ilmu didukung banyak
ahli. Adapun ilmu tersebut dibagi menjadi:
1) Ilmu pengetahuan Aprori (rasional). Teori ilmu
pengetahuan menuntut penyadaran kita terhadap
pengertian pengetahuan. Penyadaran terhadap
pengetahuan yang berdasarkan pengalaman serta
pengetahuan yang tidak bergantung pada pengalaman.
Penyadaran pertama menimbulkan pengetahuan apriori
(sebelum pengalaman). Penyadaran kedua atau terakhir
menghasilkan ilmu pengetahuan aposteroiri (sesudah
pengalaman).
2) Ilmu pengetahuan alam dan rohani. Ilmu pengetahuan
alam dan rohani berbeda karena objeknya. Perbedaan
pertama, berobjekkan pada hal-hal yang cukup
dijangkau atas dasar kategori kausalitas. Dengan kata
lain, objek ilmu tersebut dapat diterangkan dengan
mempersoalkan sebabnya. Objek ilmu pengetahuan
rohani yaitu manusia dengan kehidupan rohaninya,
tidak mungkin hanya dipandang sebagai benda mati
atau benda hidup.
26
Selain itu terdapat pula pengklasifikasian ilmu yang
terdapat dalam Undang-Undang Pokok Pendidikan tentang
Perguruan Tinggi Nomor: 22 Tahun 1961 di Indonesia yang
terdiri atas empat kelompok sebagai berikut:
a. Ilmu Agama/Kerohanian, yang meliputi: Ilmu Agama dan
Ilmu Jiwa
b. Ilmu Kebudayaan, yang meliputi: Ilmu Sastra, Ilmu
Sejarah, Ilmu Pendidikan, Ilmu Filsafat.
c. Ilmu Sosial, yang meliputi: Ilmu Hukum, Ilmu Ekonomi,
Ilmu Sosial Politik, Ilmu Ketatanegaraan dan
Ketataniagaan
d. Ilmu Eksakta dan Teknik, yang meliputi: Ilmu Hayat, Ilmu
Kedokteran, Ilmu Farmasi, Ilmu Kedokteran Hewan, Ilmu
Pertanian, Ilmu Pasti Alam, Ilmu Teknik, Ilmu Geologi,
Ilmu Oceanografi, dan lain-lain
Hierarki Ilmu merupakan urutan atau tingkatan dari
ilmu. Secara umum ada tiga basis yang sangat mendasar dalam
menyusun secara hierarkis ilmu-ilmu metodologis, ontologism
dan etis. Sebagaimana telah dikemukakan suatu disiplin ilmu
terbagi dalam sejumlah specialty yang dalam bahasa Indonesia
sebaiknya disebut cabang ilmu. Cabang ilmu atau specialty pada
umumnya juga telah tumbuh cukup luas sehingga dapat dibagi
lebih terperinci menjadi beberapa ranting ilmu. Kadang-kadang
sesuatu ranting ilmu yang cukup pesat pertumbuhannya bisa
mempunyai perincian lebih lanjut yang sebut tangkai ilmu.
Semua bentuk pengetahuan dapat dibeda-bedakan atau
dikelompokkan dalam berbagai kategori atau bidang, sehingga
terjadi diversifikasi bidang ilmu pengetahuan atau disiplin ilmu
yang berakar dari kajian filsafat, yaitu seni (Arts), etika (Ethics),
27
dan Sains (Science). Farmasi ditinjau dari kelahirannya hingga
perkembangannya tidak dapat dilepaskan dari kelahiran dan
perkembangan ilmu pengetahuan secara universal yang
pondasinya dibangun oleh dua entitas, yakni filsafat moral dan
filsafat alam.
Filsafat Moral melahirkan Behavior Sciences atau ilmu-
ilmu tentang perilaku manusia. Oleh karena itu, manusia
merupakan objek istimewa baik kajian dan penyelidikannya
sendiri, maka mungkin juga diselidiki dari sudut tingkah lakunya.
Bukan dari tindakan/perilaku dengan tingkah lain-lain yang
bukan tingkah sebagai manusia, melainkan yang khusus bagi
manusia, yaitu tindakan-tindakan yang terdorong oleh
kehendaknya yang diterangi oleh budinya (moralnya).
Sedangkan dalam Filsafat Alam (cosmologia) yaitu ilmu yang
menyelidiki alam ini, yang oleh filsafat alam dicari inti alam itu.
Dalam kajian ini dasar pertanyaan filsafatnya yaitu apakah
sebenarnya alam itu, apakah sebenarnya isi alam pada
umumnya, dan apa hubungannya satu sama lain. Serta
hubungannya dengan arti ada yang mutlak dan ada yang tidak
mutlak. Segala isi alam dengan adanya sendiri itu mungkin
banyak tak ada. Tetapi alam itu adalah sesuatu yang mempunyai
kedudukan istimewa yang menyelidiki semua itu, yaitu manusia
(Human being).
Pengkajian dan penyelidikan terhadap alam melahirkan
berbagai cabang-cabang ilmu kedalam ilmu-ilmu sebagai pure
sciences yakni ilmu fisika, ilmu kimia, dan ilmu matematika.
keempat ilmu alam tersebut merupakan kerangka dasar yang
membangun ilmu-ilmu terapan yang berbasis kealaman seperti
28
ilmu kesehatan, ilmu teknik, ilmu pertanian, dan lain
sebagainya.
Ilmu farmasi ditinjau dari objek materinya, memiliki
kerangka dasar dari ilmu-ilmu alam meliputi ilmu kimia, ilmu
biologi, ilmu fisika, dan ilmu matematika. sedangkan ilmu
farmasi ditinjau dari objek formalnya merupakan ruang lingkup
dari ilmu-ilmu kesehatan. Secara historis ilmu farmasi
dikembangkan dari ilmu kesehatan (medical sciences) yang
dilahirkan berdasarkan kebutuhan mendesak perlunya
pemisahan ilmu farmasi sebagai ilmu pengobatan dari ilmu
kedokteran sebagai ilmu tentang diagnosis.
Adalah Hipocrates (460-357 SM) yang merupakan
peletak dasar ilmu kedokteran mecetuskan ide pemilahan
farmasi dari kedokteran dengan mencetuskan simbol farmasi
dan kedokteran secara terpisah. Namun, yang sangat
mengesankan dan telah dijadikan tonggak kelahiran farmasi
adalah ketika Kaisar Frederick II pada tahun 1240 mengeluarkan
undang-undang negara tentang pemisahan farmasi dari
kedokteran yang diajarkan dan dipraktekkan secara terpisah.
Ilmu farmasi pada perkembangan selanjutnya menga-
dopsi tidak hanya ilmu kimia, biologi, fisika, dan matematika,
melainkan termasuk pula dari ilmu-ilmu terapan seperti
pertanian, teknik, ilmu kesehatan, bahkan dari behavior science.
Berdasarkan ulasan diatas, dapat dikatakan bahwa
disatu pihak farmasi tergolong seni teknis (Technical arts)
apabila ditinjau dari segi pelayanan dalam penggunaan obat
(medicine); di lain pihak farmasi dapat pula digolongkan dalam
ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural science).
29
2.6 Farmasi sebagai Sains
Jika ilmu pengetahuan tertentu dikaji dari ketiga aspek
(ontologi, epistemologi dan aksiologi), maka kita perlu
mempelajari essensi atau hakikat yaitu inti atau hal yang pokok
atau intisari atau dasar atau kenyataan yang benar dari ilmu
tersebut. Contohnya membangun filsafat ilmu farmasi perlu
menelusuri dari aspek :
Ontologi yaitu eksistensi (keberadaan) dan essensi
(keberartian) ilmu-ilmu kefarmasian. Disini ditinjau
objek apa yang ditelaah sehingga menghasilkan
pengetahuan tersebut. Objek ontologis pada farmasi
ialah obat dari segi sumber bahan baku obat, segi kimia
dan fisis, segi terapeutik, pengolahan sampai pada
penyerahannya kepada yang memerlukan.
Epistemologi yaitu metode yang digunakan untuk
membuktikan kebenaran ilmu-ilmu kefarmasian.
Landasan epistemologis kebiasan sehari-hari ialah
pengalaman dan akal sehat; landasan epistemologis
farmasi ialah logika deduktif dan logika induktif dengan
pengajuan hipotesis, yang dinamakan pula metode
logiko-hipotetiko-verifikatif. Yaitu pembuktian khasiat-
khasiat obat berdasarkan bukti empiris atau pengujian
suatu materi potensi obat berdasarkan hipotesis atau
berbagai pendekatan-pendekatan sebagai suatu
alasan/jawaban sementara.
Aksiologi yaitu manfaat dari ilmu-ilmu kefarmasian.
Disini mempertanyakan apa nilai kegunaan penge-
tahuan tersebut. Kegunaan atau landasan aksiologis
farmasi adalah bertujuan untuk kesehatan manusia.
30
Semua bentuk pengetahuan dapat dibeda-bedakan atau
dikelompokkan dalam berbagai kategori atau bidang, sehingga
terjadi diversifikasi bidang ilmu pengetahuan atau disiplin ilmu
yang berakar dari kajian filsafat, yaitu Seni (Arts), Etika (Ethics),
dan Sains (Science). Disatu pihak, farmasi tergolong seni teknis
(Technical arts) apabila ditinjau dari segi pelayanan dalam
penggunaan obat (medicine); di lain pihak farmasi dapat pula
digolongkan dalam ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural
science).
Sebagai ilmu, farmasi menelaah obat sebagai materi,
baik yang berasal dari alam maupun sintesis dan menggunakan
metode logiko-hipotetiko-verifikatif sebagai metode telaah yang
sama seperti digunakan pada bidang ilmu pengetahuan alam.
Oleh karena itu farmasi merupakan ilmu yang dapat
dikelompokkan dalam bidang sains.
Farmasi pada dasarnya merupakan sistem pengetahuan
yang mengupayakan dan menyelenggarakan jasa kesehatan
dengan melibatkan dirinya dalam mendalami, memperluas,
menghasilkan dan mengembangkan pengetahuan tentang obat
dan dampak obat yang seluas-luasnya serta efek dan pengaruh
obat pada manusia dan hewan. Untuk menumbuhkan
kompetensi dalam sistem pengetahuan, farmasi menyaring dan
menyerap pengetahuan yang relevan dari ilmu biologi, kimia,
fisika, matematika, perilaku dan teknologi; pengetahuan ini
dikaji, diuji, diorganisir, ditransformasi dan diterapkan dalam
rangka pengembangan ilmu farmasi itu sendiri.
31
2.7 Farmasi sebagai Profesi
Farmasi sebagai ilmu juga meliputi pelayanan obat
secara professional. Istilah professional saat ini semakin
dikaburkan karena banyak digunakan secara salah kaprah.
Semua pekerjaan (job, vacation, occupation) dan keahliah (skill)
dikategorikan sebagai profesi, demikian pula istilah professional
sering digunakan sebagai lawan kata amatir.
Apa yang dimaksud dengan profesi?
Profesi adalah sekolompok disiplin dari individu yang
mematuhi standar etika dan menjunjung diri dan diterima oleh
masyarakat. Individu dalam kelompok memiliki pengetahuan
dan keterampilan khusus yang diakui secara luas dari hasil
pembelajaran melalui penelitian, pendidikan, dan pelatihan
pada tingkat tinggi. Ada tiga karakteristik umum yang umumnya
dimiliki dan diakui sebagai profesi:
1. Pendidikan dan Pelatihan
Pendidikan dan pelatihan khusus yang disediakan
oleh lembaga/institusi perguruan tinggi profesional
selama jangka waktu membekali mahasiswa secara
profesional dengan pengetahuan dan keterampilan
khusus untuk praktek profesinya. Selain itu, mahasiswa
profesional belajar sejarah, sikap, dan etika profesi. Para
lulusan nantinya juga harus menerima tugas dan
tanggung jawab menjadi seorang profesional. Sebelum
diizinkan melakukan praktek dalam profesinya, lulusan
farmasi harus tunduk peraturan negara dan dinyatakan
lulus ujian kompetensi. Hal ini untuk menyakinkan
masyarakat bahwa pemohon memenuhi persyaratan
minimum untuk melakukan praktek profesi.
32
2. Ukuran Keberhasilan (Measure of Success)
Keberhasilan dalam profesi didasarkan pada
layanan yang dibutuhkan oleh masyarakat, yang
profesional biasanya menerima bayaran. Namun, hadiah
utama bagi seseorang profesional sejati adalah dalam
memberikan pelayanan kepada klien, yang terpenting
dan perlu diingat bahwa dalam pelayanan kesehatan,
klien adalah pasien (dimana pasien dalam kondisi
tertentu kadang tidak berfikir logis lagi, yang terpenting
bisa sembuh). Fokus praktek apoteker dalam hal
melakukan pekerjaan kefarmasian harus berorientasi
pada pasien dan kebutuhan pasien. Konseling pasien
tanpa kompensasi keuangan telah menjadi bagian dari
praktik farmasi sejak awal.
3. Assosiasi
Sebagai profesi, setiap anggota bekerja sama
dengan anggota lain dan anggota profesi lainnya. Salah
satu mekanisme untuk hubungan dekat adalah
membentuk assosiasi mulai pada tingkat berdasarkan
wilayah misalnya tingkat cabang (kabupaten), tingkat
daerah (Provinsi), tingkat nasional (Pusat), tingkat
regional Asia, tingkat Benua, dan tingkat Dunia. Anggota
jaringan dengan satu sama lain, bekerja
mengembangkan atau meningkatkan standar profesi,
dan menghadiri sesi pendidikan atau pertemuan ilmiah
berkala untuk meningkatkan keterampilan atau
mempelajari metode baru.
Apoteker memiliki banyak tingkatan organisasi
profesional seperti yang disebutkan diatas (untuk lebih
33
jelasnya akan dibahas pada bagian bab 10 ) sebagai
wadah untuk dapat saling berbagi informasi dengan satu
sama lain tanpa ragu-ragu yang merupakan salah satu
kekuatan dari profesi farmasi terutama sebagai
apoteker.
Menurut Hughes, E.C.: “Profession pofess to know better
than other the nature of certain matters, and to know better
than their clients what ails them or their affairs”. Definisi ini
menggambarkan suatu hubungan pelayanan antar-manusia,
sehingga tidak semua pekerjaan atau keahlian dapat
dikategorikan sebagai profesi. Menurut Schein, F.H. “The
profession are a set of occupation that have developed a very
special set or norms deriving from their special role in society”.
Definisi ini menggambarkan bahwa suatu pekerjaan atau
keahlian dapat dikatakan sebagai profesi jika pekerjaan tersebut
membutuhkan keahlian khusus atau norma-norma dari peran
khusus dalam masyarakat yang tidak dimiliki oleh orang lain.
Kelompok profesi dapat dibedakan dari yang bukan profesional
menurut kriteria berikut:
1. Memilih pengetahuan khusus, yang berhubungan
dengan kepentingan sosial. Pengetahuan khusus ini
dipelajari dalam waktu yang cukup lama untuk
kepentingan masyarakat umum.
2. Sikap dan perilaku professional. Seorang professional
memiliki seperangkat sikap yang mempengaruhi
perilakunya. Komponen dasar sikap ini ialah
mendahulukan kepentingan orang lain (altruisme) di
atas kepentingan diri sendiri. Menurut Marshall,
34
seorang professional bukan bekerja untuk dibayar,
tetapi ia dibayar supaya ia dapat bekerja.
3. Sanksi sosial. Pengakuan atas suatu profesi tergantung
pada masyarakat untuk menerimanya. Bentuk
penerimaan masyarakat ini ialah dengan pemberian hak
atau lisensi oleh Negara untuk melaksanakan praktek
suatu profesi. Lisensi ini dimaksudkan untuk
menghindarkan masyarakat dari oknum yang tidak
berkompetensi untuk melakukan praktek professional.
Apabila kriteria di atas diperinci lebih lanjut maka
diperoleh sikap dan sifat sebagai berikut:
1. Profesi itu sendiri yang menentukan standar pendidikan
dan pelatihannya.
2. Mahasiswa yang mengikuti pendidikan profesi tertentu
harus memperoleh pengalaman sosialisasi menuju
kedewasaan yang lebih intensif dibanding mahasiswa
pada bidang pekerjaan lain.
3. Praktek profesional secara legal (menurut hukum) diakui
dengan pemberian lisensi.
4. Pemberian lisensi dan dewan penilai dikendalikan oleh
anggota profesi.
5. Umumnya peraturan yang berkaitan dengan profesi
dibentuk dan dirumuskan oleh profesi itu sendiri.
6. Okupasi ini akan berkembang dari segi pendapatannya,
kekuasaan, dan tingkat prestise, sehingga dapat
menetapkan persyaratan yang lebih tinggi bagi calon
mahasiswanya.
7. Praktisi profesi secara relatif tidak dievaluasi dan
dikontrol oleh orang awam.
35
8. Norma-norma praktek yang dikeluarkan profesi itu lebih
mengikat dibanding kontrol legal.
9. Anggota profesi sangat erat terikat dan terafiliasi
dengan profesinya dibanding dengan anggota okupasi
lain.
10. Profesi ini biasanya merupakan terminal, dalam arti
tidak ada yang akan beralih ke profesi lain.
Farmasi didefinisikan sebagai profesi yang menyangkut
seni dan ilmu penyediaan bahan obat, dari sumber alam atau
sintetik yang sesuai, untuk disalurkan dan digunakan pada
pengobatan dan pencegahan penyakit. Farmasi mencakup
pengetahuan mengenai identifikasi, pemilahan, aksi
farmakologis, pengawetan, penggabungan, analisis, dan
pembakuan bahan obat dan sediaan obat. Pengetahuan
kefarmasian mencakup pula penyaluran dan penggunaan obat
yang sesuai dan aman, baik melalui resep dokter berizin, dokter
gigi, dan dokter hewan, maupun melalui cara lain yang sah,
misalnya dengan cara menyalurkan atau menjual langsung
kepada pemakai.
Sebagian besar kompetensi farmasi ini diterjemahkan
menjadi produk yang dikelola dan didistribusikan secara
professional bagi yang membutuhkannya. Pengetahuan farmasi
disampaikan secara selektif kepada tenaga professional dalam
bidang kesehatan dan kepada orang awam dan masyarakat
umum agar pengetahuan mengenai obat dan produk obat dapat
memberikan sumbangan nyata bagi kesehatan perorangan dan
kesejahteraan umum masyarakat.
36
2.8 Mitologi dan Asal Mula Lambang Farmasi
Dalam mitologi Yunani, Mangkuk Hygeia adalah salah
satu atribut Hygeia, dewi kesehatan. Pada masa kini, mangkuk
Hygeia dijadikan sebagai lambang farmasi dan apotek. Logo
farmasi ini tidak bisa lepas dari sejarah yang menyertainya.
Beberapa sumebr menyebutkan bahwa logo ular dan cawan
(piala) ini dikaitkan dengan lambang Saint John pada abad I
sebelum masehi. Pada waktu Saint John diberi racun dengan
menggunakan piala. Dugaan lain mengungkapkan bahwa
sebenarnya bukan piala yang dililit oleh ular, melainkan
mangkuk Hygeia. Simbol ini digunakan di Italia pada tahun 1222
untuk merayakan ulang tahun ke-700 Universitas Padua,
kampus pioner untuk jurusan kedokteran dan hukum di Eropa.
Pada tahun 1796, mangkuk yang dililit ular tersebut
dipercaya berasal dari mitologi Yunani, yang disebut dengan
mangkuk Hygeia. Nama Hygeia merupakan putri kandung dari
Aesculapus dan dewi kesehatan. Pada waktu itu, ayah Hygeia,
Aesculapius merupakan dewa kesehatan dan dewa penyembuh.
Karena kemampuannya menyembuhkan orang sakit, Zeus takut
bahwa Aesculapius akan membuat manusia kekal, itulah
mengapa Apollo (anaknya Zeus) membunuh Aesculapius dengan
petir.
37
Gambar 1.2 Logo Farmasi
Setelah membunuhnya, Apollo membuatkan kuil untuk
Aesculapius. Pada saat membangun kuil, ternya Apollo
menemukan ular yang mati dalam keadaan kaku. Anehnya,
ketika dia mengambil ular tersebut dan dijatuhkan, ular tersebut
bisa merayap kembali. Kejadian tersebut diartikan sebagai
penyembuhan dan penghidupan kembali dari kematian
Aesculapius. Itulah mengapa putri dari Aesculapius, Hygeia
disebut sebagai simbol penyembuhan. Menurut kepercayaan
yunani kuno bahwa ular melambangkan makna kebijaksanaan
dan penyembuhan. Menurut kepercayaan kuno ular bisa
melakukan kontak dengan para arwah di dunia yang berbeda
dan membawa jiwa orang yang telah meninggal untuk
membantu manusia yang masih hidup. Oleh karena itu ular
dianggap membawa kebijaksanaan karena bisa membawa
arwah para leluhur yang bijak.
38
Gambar 1.3 Ilustrasi Hygeia – Dewi Kesembuhan
Menurut penjelasan Reeder (2013), Dewi Hygeia
digambarkan memegang sebuah patera (mangkuk obat) dan di
badannya ada seekor ular yang hendak meminum/memakan
obat pada mangkuk tersebut. Beberapa berpendapat bahwa
mangkuk dan ular Hygeia melambangkan keselarasan kehidupan
dengan bumi. Ular mungkin melambangkan pasien yang bisa
memilih apakah akan mengambil obat pada mangkuk tersebut
atau tidak. Hal tersebut menunjukkan bahwa seseorang
mengendalikan kesehatannya sendiri melalui pilihan yang
diambil.
Mangkuk atau gelas Hygeia dengan ular yang
membelitnya telah menjadi simbol dari banyak perkumpulan
apoteker di seluruh dunia. Mangkuk Hygeia merupakan lambang
Asosiasi Apoteker Amerika dan digambarkan sebagai mangkuk
obat, Asosiasi Apoteker Kanada, Asosiasi Apoteker Australia,
39
selain juga banyak asosiasi apoteker lainnya di seluruh dunia.
Asosiasi Apoteker Australia mempergunakan versi yang
menampilkan sebuah gelas yang diapit oleh dua ekor ular.
Sementara Federasi Apoteker Internasional (FIP)
mempergunakan mangkuk Hygeia yang disusun dari huruf FIP.
2.9 Referensi
1. Suriasumantri JS. 2015. Ilmu dalam Perspektif. Sebuah
Kumpulan Karangan tentang Hakikat Ilmu. Yayasan
Pustaka Obor Indonesia. Jakarta
2. Suriasumantri JS. 1986. Ilmu dalam Perspektif Moral,
Sosial, dan Politik. Penerbit PT Gramedia. Jakarta
3. Surajiyo. 2013. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di
Indonesia: Suatu Pengantar. Penerbit Bumi Aksara.
Jakarta
4. Kattsoff LO. 2004. Pengantar Filsafat. (Alih Bahasa:
Soejono Soemargono). Penerbit Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta
5. Homan PG, Hudson B, & Rowe RC. 2007. Popular
Medicines: An Illustrated History. Pharmaceutical Press.
London
6. Kelly WN. 2012. Pharmacy: What It Is and How It Works.
Third Edition. CRC Taylor & Francis Group Press. Boca
Raton, London, New York
7. Distelzweig P, Goldberg B, & Ragland ER. 2016. History,
Phylosophy, and Theory of Life Sciences: Early Modern
Medicine and Natural Philosophy. Springer. Dordrecht.
Heidelberg. New York. London.
40
8. Maier B, & Shibles WA. 2011. The Philosophy and
Practice of Medicine and Bioethics: A Naturalistic –
Humanistic Approach. Springer. Dordrecht. Heidelberg.
New York. London.
9. Daintith J. 2009. Biographical Encyclopedia of Scientists.
Tailor & Francis Group CRC Press. Boca Raton. London.
New York.
10. Assosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI).
AD/ART. http://aptfi.or.id/ Diakses pada tanggal 29
Desember 2016.
11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2014 tentang Tenaga Kesehatan.
12. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2009 tetang Kesehatan.
13. Departemen Kesahatan Republik Indonesia. 1995.
Farmakope Indonesia. Edisi keempat. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta
14. Reeder M. 2013. Who are Hygeia & Hypnos?. Hygeia
Counseling Services. http://www.hygeiacounseling.com/
articles/who-are-hygeia-hypnos/ diakses pada tanggal
29 Desember 2016.
41
BAB 3 SEJARAH DAN PERKEMBANGAN
ILMU FARMASI
3.1 Pengantar
Sejarah dan perkembangan ilmu farmasi tidak lepas dari
sejarah perkembangan ilmu Kedokteran, meskipun pada
kenyataannya (khususnya di Indonesia) ilmu Kedokteran jauh
lebih maju dibandingkan ilmu Farmasi. Karena pada awalnya
farmasi dan kedokteran adalah sebuah kesatuan dan satu hal
yang perlu direnungkan bahwa akar ilmu farmasi dan ilmu
kedokteran adalah sama.
Sejak masa dimana Hipocrates (460-370 SM) yang
dikenal sebagai “Bapak Ilmu Kedokteran”, dimana pada saat itu
belum dipisahkan dan belum dikenalkan profesi farmasi,
dokter/tabib menjadi dokter sekaligus apoteker artinya seorang
dokter yang mendiagnosis penyakit, juga sekaligus merupakan
seorang “Apoteker” yang menyiapkan obat. Semakin lama
masalah penyediaan obat semakin rumit, baik formula maupun
pembuatannya, sehingga dibutuhkan adanya suatu keahlian
tersendiri.
Berdasarkan sejarahnya farmasi telah lahir sejak
kemunculan sejarah manusia, dalam catatan sejarah farmasi
secara alami muncul seiring kemunculan fenomena aneh
dikalangan masyarakat yang dulu dianggap hal gaib dan
sekarang disebut wabah penyakit. Seiring dengan hal tersebut
42
farmasi/ilmu farmasi mengalami evolusi dengan lintasan
tahapan sejarah yang panjang antara lain:
- Traditional/Ancient Era: pada masa awal kehidupan
sampai tahun 1600 dimana manusia kuno menggunakan
material disekitarnya dengan meniru pada pengobatan
atau kebiasaan oleh hewan jika sakit atau terluka.
- Scientific/Empiric Era: tahun 1600–1940, dimana
masyarakat sudah mampu menemukan metode
pengobatan menurut kebiasaan nenek moyang mereka
atau pengalaman secara turun temurun, dan resep-
resep tersebut tercatat dalam berbagai teks-teks di
setiap wilayah di seluruh dunia.
- Clinical/Industrialization Era: tahun 1940–1970, setelah
ditemukan resep-resep yang digunakan secara rutin dan
dapat digunakan secara umum, menyebabkan produksi
terus mengalami peningkatan jumlah dan mulai
diformulasi dan diproduksi secara massal (dibuat
industri), sehingga mudah digunakan dan sudah dibuat
dalam bentuk sediaan obat.
- Pharmaceutical Care/Patient Care Era menuju ke Health
Care/Social Care Era. Sejak tahun 1970 hingga sekarang,
ketika obat – obat telah tersedia dan sangat mudah
digunakan, akan tetapi kembali lagi tergantung pada
masing-masing pasien (apakah digunakan dengan baik
dan benar sesuai aturan pakai atau tidak).
Lintasan sejarah ilmu farmasi dari Traditional/Ancient
Era hingga pada Pharmaceutical Care/Patient Care Era menuju
ke Health Care/Social Care Era mengalami banyak transformasi
baik yang terkait dengan pekerjaan kefarmasian maupun yang
43
terkait perkembangan keilmuan. Perkembangan keilmuan
dalam bidang farmasi terus mengalami perubahan dan
perkembangan seiring dengan perubahan paradigma orientasi
farmasi. Sampai saat ini keilmuan farmasi di kelompokkan
kedalam tiga bidang ilmu (akan dibahas pada bab 6). Hal yang
sama dengan pekerjaan kefarmasian terjadi perubahan orientasi
dari product oriented menuju ke patient oriented (akan dibahas
pada bab 7), hal ini akan terus mengalami perubahan dan
sebagai seorang farmasi harus siap menghadapi tantangan
dengan perubahan-perubahan tersebut seiring dengan
perkembangan jaman.
3.2 Sejarah dan Moment Besar Perkembangan Farmasi
Sejarah moment besar dan perkembangan farmasi/ilmu
farmasi dijelaskan secara ringkas berdasarkan sumber-sumber
pustaka dari berbagai literatur sebagai berikut:
3.2.1 Zaman Pra-sejarah
Zaman pra-sejarah merupakan suatu zaman yang sangat
awal, belasan maupun puluhan abad sebelum masehi. Alam
lebih dahulu tercipta dari manusia, alam menyediakan berbagai
sumber hayati, hewani serta mineral mineral serta zat kimiawi
lainnya yang pada akhirnya akan dimanfaatkan oleh manusia.
Pada masa zaman prasejarah (awal mula kehidupan) manusia
dan penyakit adalah 2 hal yg berkait, dulu untuk mengobati
penyakit mereka menggunakan insting dalam mengobati
penyakit misal luka manusia membubuhkan daun-daun segar
diatas luka, atau menutupinya dengan lumpur, mereka
44
melakukan pencarian obat secara acak, dan ini merupakan awal
mula pengetahuan dan ilmu farmasi.
Selanjutnya penemuan arkeologi mengenai tulisan-
tulisan mengenai farmasi yang terkenal adalah penemuan
catatan-catatan/prasasti yang disebut 'Papyrus Ebers'. Prasasti
ini merupakan suatu kertas yang berisi tulisan yang panjangnya
60 kaki (kurang lebih 20 meter) dan lebarnya 1 kaki (sekitar
sepertiga meter) berisi lebih dari 800 formula atau resep,
disamping itu disebutkan juga 700 obat-obatan yang berbeda
antara lain obat yang berasal dari tumbuh tumbuhan seperti
akasis, biji jarak (castrol), anisi, dan lain-lain, serta mineral
seperti besi oksida, natrium bikarbonat, natrium klorida, dan
sulfur. Dokumen ini ditemukan George Ebers, seorang ahli
sejarah mesir berkebangsaan jerman dan sekarang dokumen ini
disimpan di Universitas Leipzig, Jerman.
Pada zaman pra-sejarah, penyakit merupakan masalah
yang tidak dapat dihindari oleh manusia. Sakit/cacat adalah
tantangan setiap peradaban. Strategi untuk memberi kepada
hidup dan mati serta penderitaan, ribuan tahun yang lalu fungsi
penyembuhan menempati posisi paling utama. Pada
Masyarakat Paleolistic, pada saat itu penduduk sedikit, tempat
tinggal terisolasi, mobilitas rendah. Hal ini dianggap dapat
melindungi diri dari penyakit. Namun, pada kenyataannya
kekurangan nutrisi, kehidupan berpindah-pindah dan gangguan
dari hewan buras kemungkinan penyebab utama kematian.
Pada Zaman Neolitic, transisi dari kebiasaan mengumpulkan
makanan ditambah dengan memproduksi makanan, hal ini
mengakibatkan jumlah penyakit bertambah, sebab manusia dan
hewan peliharaan hidup berdekatan, kekurangan jenis makanan
45
serta suplai makanan yang tidak stabil, masalah kebersihan yang
berkaitan dengan limbah dan pembuangan. Pada saat itu
kecelakaan, luka perang, gigitan serangga, gangguan percernaan
kurang berarti. Sistem pengobatan pada masa itu berdasarkan
empiris, obat tradisional, pembalut luka, pembatasan makanan.
Praktek ini berdasarkan pada uji coba teknik dan resep yang
sangat bermanfaat disebarluaskan dari mulut ke mulut dan dari
generasi ke generasi sebagai bagian dari adat istiadat. Di lain
pihak penyakit yang datang tiba-tiba dan serius dianggap
sebagai kekuatan supranatural, sebagai hukuman, serta
menimbulkan rasa takut dan kecemasan. Pengobatan untuk
kekuatan supranatural, masyarakat memilih dukun/tabib untuk
melindungi masyarakat dari gangguan mahkluk halus,
menjelaskan penyebab dan mengidentifikasi unsur penyakit,
menghilangkan atau menetralisir efek penderita.
Dari awal mula kehidupan manusia, farmasi telah
muncul sebagai the proud profession yang berawal sebagai
pengetahuan sederhana dan terpencil. Perkembangannya
paralel dengan manusia. Manusia purba (di ilustrasikan pada
Gambar 1) belajar dari naluri, dari pengamatan burung dan
binatang lain, air dingin, daun, kotoran atau lumpur yang
merupakan penggunaan utamanya untuk berfungsi sebagai obat
menenangkan pertamanya. Melalui percobaan sederhana,
mereka belajar untuk dapat mengobati sesama mereka, yang
akhirnya pengetahuan itu diterapkan untuk kepentingan orang
lain. Meskipun metode manusia gua ini yang masih sangat
sederhana, banyak obat-obat saat ini muncul dari sumber yang
sederhana dan dasar sebagai orang yang berada dalam
jangkauan manusia purba.
46
Teori mengenai penyakit pada zaman pra-sejarah antara
lain Disease Object Intrusion, Soul Loss, Spirit Intrusion, Breach
of Taboo, masing-masing mempunyai cara pengobatan
tersendiri. Praktek tersebut merupakan Phenomena sosial, rasa
nyaman secara psikologis.
Gambar 2.1 The Pharmacy Before the Dawn of History
3.2.2 Zaman Kuno
a. Farmasi pada Zaman Mesir Kuno
Zaman Mesir Kuno telah melaksanakan praktek
kefarmasian terpisah dengan kedokteran, pada masa itu
tidak ada istilah farmasi atau dokter. Meskipun tanggal
kedokteran Mesir memperkirakan sekitar 2900 SM, yang
paling dikenal dan catatan farmasi yang paling penting
adalah “Papyrus Eber” yang tercatat sekitar tahun 1500
SM, dengan koleksi 800 resep yang menyebutkan sekitar
700 jenis obat.
47
Gambar 2.2 Days of the Papyrus Ebers
Farmasi pada zaman Mesir Kuno dilakukan oleh dua
atau lebih eselon atau orang yang berwenang yang
terdiri dari pengumpul, peracik obat, dan “Chief of
Fabrication” (kepala produksi) atau head pharmacists.
Mereka diduga telah bekerja di “House of Life”. Dalam
pengaturan seperti ini, “Papyrus Ebers” mungkin telah
dibebankan kepada seorang juru tulis oleh seorang
pharmacists atau apoteker kepala sambil diarahkan
kegiatan peracikan di ruang obat.
b. Farmasi pada Zaman Babylonia Kuno
Babylonia (jewel of ancient Mesopotamia), sering
disebut tempat lahirnya peradaban, memberikan
catatan awal dikenal praktek seni apotek. Praktisi
penyembuhan pada periode ini (sekitar 2600 SM) yaitu
berupa imam, apoteker, dan dokter, yang semuanya
dalam satu kesatuan pada individu tertentu. Catatan
pengobatan pada clay tablets record untuk penanganan
48
pertama pada suatu gejala penyakit, resep dan arah
untuk peracikan, dan doa kepada para dewa. Metode
Babylonia kuno menemukan kesamaan metode di
farmasi modern pada saat ini, medis, dan perawatan
spiritual dari pasien/orang sakit.
Gambar 2.3 Ilustrasi Farmasi pada Zaman Babylonia Kuno
c. Farmasi pada Zaman Cina Kuno
Perkembangan Farmasi Cina menurut legenda,
berasal dari Shen Nung (sekitar 2000 SM), kaisar yang
mencari dan menyelidiki manfaat sebagai obat dari
beberapa ratus herbal. Dia telah menguji khasiat dari
sekian banyak herbal pada dirinya sendiri, dan orang
pertama yang telah mencatat dalam “Pen T-Sao” atau
disebut herbal asli sekitar 365 obat herbal. Kaisar
tersebut juga masih disembah oleh para tabib (pengobat
cina asli) sebagai dewa pelindung mereka. Kaisar dari
49
Shen Nung diperkirakan telah memeriksa banyak
tumbuh-tumbuhan, kulit, dan akar yang diperoleh dari
kebun, rawa, dan hutan yang masih diakui khususnya
sebagai obat tradisional sampai saat ini. Diantara
tanaman obat tersebut termasuk podophyllum,
rhubarb, ginseng, starmoniun, kulit kayu manis, dan ma
huang atau ephedra.
Gambar 2.4 Ilustrasi Farmasi pada Zaman Cina Kuno
d. Zaman Yunani Kuno
- Hippocrates (450–370 SM) merupakan seorang
dokter yunani yang diberi penghargaan tinggi
karena memperkenalkan farmasi dan kedokteran
secara ilmiah, ia membuat sistematika dalam
pengobatan, serta menyusun uraian tentang
beratus-ratus jenis obat-obatan, ia juga dinobatkan
sebagai bapak dari ilmu kedokteran. Konsep
50
penggunaan logika dan alasan untuk melakukan
kajian medis menjadi awal dari obat observasional.
Dalam bidang kedokteran, Hippocrates
membuat gagasan mengenai empat cairan atau
humor. Teori ini disebut teori humoral yang
menyatakan bahwa, jika darah, empedu, empedu
hitam, dan lendir yang seimbang, maka orang akan
menjadi sehat. Jika darah merupakan humor
predominant, salah satu yang dikatakan memiliki
kepribadian yang optimis yang juga berarti berani
dan penuh gairah. Jika terlalu banyak empedu,
salah satunya akan menyebabkan cheloric yang
berarti marah. Kepribadian melankolis/melancholic
personality yang berarti murung dan tertekan
karena dihasilkan akibat produksi empedu hitam
secara berlebihan. Terlalu banyak lendir yang
dihasilkan memiliki kepribadian apatis yang berarti
lamban dan apatis. Meskipun sistem pengobatan
seperti ini telah dijelaskan sejak lama terkait
penjelasan mengenai kesehatan dan kepribadian,
namun, istilah ini masih digunakan.
- Theophrastus (300 SM), diantara filsuf Yunani awal
terbesar dan ilmuan alam yang biasa disebut
“Father of Botany” atau Bapak Botani. Observasi
dan tulisan-tulisan yang berhubungan dengan
kualitas medis dan kekhasan tumbuhan yang
digunakan luar biasa akurat, bahkan dalam
menjelaskan pengetahuan ini. Dia mengajarkan
kepada murid-muridnya tentang potensi yang ada
51
disekitar mereka, belajar dari alam dengan
mengamati apa yang ada disekitarnya. Seperti pada
Gambar 2.5 terlihat di tangannya ia memegan
sebuah cabang dari belladona, dibelakangnya
adalah bunga delima, senna, dan gulungan naskah.
Gambar 2.5 Ilustrasi Father of Botany sedang mengajar murid-muridnya
- The Royal Toxicologist – Mithridates VI, juga
dikenal sebagai “Mithradates of Great” (Megas)
dan Eupator Dionysius, menjadi raja Pontus dan
sebagian Armenia di daerah Anatolia timur
(sekarang Turki) sekitar tahun 120-63 SM.
Mithridates dikenang sebagai musuh yang tangguh
dan paling sukses dari Republik Romawi. Yang
melibatkan tiga jendral terkemuka dari pasukan
Romawi di akhir perang Mithridatic yaitu Lucius
Cornelius Sulla, Lucius Licinius Lucullus dan Gnaeus
52
Pompey Magnus. Dia sering dianggap sebagai
penguasa terbesar dari kerajaan Pontus. Selain itu,
dia juga tidak hanya belajar tentang seni membuat
racun (the art of poisoning), tetapi juga seni
mencegah dan penawar racun (the art of
preventing and counteracting poisoning). Tanpa
ragu, ia menjadikan dirinya dan para tahanan
sebagai “kelinci percobaan” untuk menguji racun
dan uji antidotum. Dibelakangnnya adalah rhizoto-
mists sebagai penawar segar, bunga aconite, jahe,
dan gentian. Formula yang dikenal “Mithridatum”
yang populer selama lebih seribu tahun.
Pengetahuan ini yang akan mejadi cikal bakal ilmu
farmakologi yang berfokus pada toksikologi.
Gambar 2.6 Ilustrasi Mithridates VI, Kings of Pontos
53
- Terra Sigillata – An Early “Trademarked” Drug,
merupakan orang pertama membuat merek dagang
sebagai sumber sarana identifikasi suatu obat
untuk memperoleh kepercayaan masyarakat. Terra
Sigillata merupakan ahli terapi pertama yang
membuat nama dagang yaitu tablet dari tanah liat
yang berasal dari pulau Mediterania Lemnos
sebelum 500 SM.
Suatu hari tanah liat digali dari lubang di sisi
bukit Lemnian dengan seizin pejabat pemerintah
dan tokoh agama. Tanah dicuci, dihaluskan, dicetak
dengan massa ketebalan tertentu sebagai
pembungkus, tanah liat dibentuk menjadi pastiles
dan kemudian dijemur. Tablet kemudian
didistribusikan secara luas dalam bentuk sediaan
komersial.
Gambar 2.7 Ilustrasi Terra Sigillata
54
3.2.3 Zaman Awal Masehi
a. Pedanius Dioscorides (abad ke-1 M)
Seorang sarjana yunani dari Anazarbos yang
merupakan seorang ahli botani, yang merupakan orang
pertama yang menggunakan ilmu tumbuh-tumbuhan
sebagai ilmu farmasi terapan, hasil karyanya berupa de
Materia Medica dan dianggap sebagai “bapak obat-
obatan.” Selanjutnya mengembangkan ilmu farma-
kognosi. Obat-obatan yang dibuat Dioscorides antara
lain napidium, opium, ergot, hyosciamus, dan cinnamon.
Karyanya merupakan suatu doktrin yang mengatur
praktek farmasi dan kedokteran selama lebih dari 1500
tahun dan yang berpengaruh besar terhadap farmasi di
Eropa. Beliau adalah seorang ahli farmakognosi ulung
dan mendeskripsikan lebih dari 600 tumbuhan obat.
Gambar 2.8 Dioscorides – A Scientist Looks at Drugs
55
b. Galen (120-130 M)
Seorang dokter dan ahli farmasi bangsa yunani
berkewarganegaraan romawi, yang menciptakan suatu
sistem pengobatan, fisiologi, patologi yang merumuskan
kaidah yang banyak diikuti selama 1500 tahun, dia
merupakan pengarang buku terbanyak di zamannya, ia
telah meraih penghargaan untuk 500 bukunya tentang
ilmu kedokteran-farmasi serta 250 buku lainnya tentang
filsafat, hukum, maupun tata bahasa. Hasil karyanya
dibidang farmasi terutama uraian mengenai banyak
obat, cara pencampuran dan lain-lain, sekarang lazim
disebut farmasi 'galenik'.
Galen merupakan orang yang paling dihormati
dikalangan profesi farmasi dan kedokteran serta
menjadi pencetus pertama formula untuk krim dingin,
yang pada dasarnya sama dengan produk yang dikenal
saat ini, dan masih banyak sediaan galenik yang masih
digunakan di apotek atau tempat peracikan meodern
saat ini.
Gambar 2.9 Galen – Experimenter in Drug Compounding
56
c. Damian and Cosmas – Pharmacy’s Patron Saints
Damian dan Cosmas merupakan dua profesi yang
saling bekerjasama dimana Damian bertugas
menyiapkan obat-obat atau sebagai Apoteker dan
Cosmas berfungsi untuk mendiagnosa penyakit pada
pasien atau sebagai dokter. Karir kembar ini merupakan
saudara dari keturunan arab dan kristen taat, yang
menawarkan pelipur lara dalam agama serta manfaat
pengetahuan mereka untuk orang sakit pada saat itu.
Gambar 2.10 Ilustrasi praktek kolaboratif oleh Damian dan Cosmas
Namun karir kembar mereka dihentikan pada tahun
303 masehi oleh kemartiran (martydron). Selama
berabad-abad makam mereka di jadikan tempat suci di
kota Suriah Siprus. Gereja dibangun untuk menghormati
mereka di Roma dan di kota-kota lain. Setelah
57
kanonisasi, mereka diangkat menjadi orang-orang kudus
sebagai pelindung untuk menjaga kesehatan (karena
mempraktekkan bidang kefarmasian dan kedokteran),
dan banyak mukjizat yang dikaitkan dengan mereka.
d. Monastic Pharmacy
Selama sisa-sisa abad pertengahan (dari abad
kelima sampai abad kedua belas), pengetahuan farmasi
dan kedokteran barat hanya disimpan di biara-biara
(Monastry) yang hanya dipelajari oleh para biarawan.
Para ilmuan/biarawan ini diketahui telah diajarkan di
biara pada awal abad ketujuh. Naskah dari banyak
daerah yang diterjemahkan atau disalin untuk
perpustakaan biara. Para biarawan mengumpulkan
herbal dan simplisia-simplisia sederhana yang ada di
sekitar mereka, atau yang tumbuh di kebun obat
mereka. Mereka menyiapkan sesuai dengan
kemampuan seni meracik di tempat peracikan atau
apotek untuk mengobati orang-orang yang sakit dan
terluka. Kebun-kebun seperti itu masih dapat ditemukan
di biara-biara di banyak negara.
58
Gambar 2.11 Ilustrasi Monastic Pharmacy
3.2.4 Zaman kegemilangan Farmasi di peradaban Arab-Islam
Setelah abad pertama masehi terlewati, perlahan-lahan
kemajuan dibidang pengetahuan termasuk farmasi di barat
mengalami kemunduran, dikenal dengan abad kegelapan (Dark
Age). Kebangkitan di dunia farmasi selanjutnya diilhami dengan
turunnya Al-Qur'an, seiring dengan kemajuan bangsa arab yang
merupakan pusat peradaban dunia termaju saat itu, ilmuwan-
ilmuwan Islam berpatokan pada Al-Qur'an dan metode
pengobatan Nabi, disamping penelitian dan pengembangan
lainnya.
Farmasi Arab ataupun lebih khusus lagi dikenali sebagai
saydanah merupakan satu bentuk profesi yang mulanya agak
asing dari dunia kedokteran. Pada abad ke-9, dunia Arab dan
peradaban Islam telah berhasil membangun jembatan ilmu yang
menghubungkan antara sumbangan Yunani dengan dunia
farmasi modern sekarang ini. Malah tahap ilmu yang diperoleh
59
daripada Yunani khususnya terus ditingkatkan dan usaha ini
diteruskan hingga ke abad ke-13 melalui berbagai karya,
terjemahan ataupun peningkatan ilmu pada zaman-zaman
berikutnya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, farmasi
dipraktekkan secara terpisah dari profesi medis yang lain.
Puncak sumbangan dunia Arab dan peradaban Islam dalam
farmasi dicapai dengan siapnya satu panduan praktek
kefarmasian pada tahun 1260 Masehi.
Tulisan berjudul Minhaj adalah hasil karya Abu’l-Muna
al-Kohen al-Attar dari Mesir. Al-Attar seorang ahli farmasi
berpengalaman. Dalam Minhaj tersebut, al-Attar menuliskan
pengalaman hidupnya serta ilmu dalam seni apotek, atau seni
meracik obat. Sebagian besar buku itu menguraikan tentang
etika farmasi yang merupakan salah satu topik penting dalam
sejarah profesi kesehatan.
Di antara para Ilmuan Farmasi yang terkenal pada
zaman ini sebagai berikut:
a. Yuhanna b. Masawayh (777 – 857)
Beliau adalah anak seorang ahli farmasi (dikenali
sebagai apoteker). Beliau terkenal melalui tulisannya
dalam bahasa Arab tentang materia medica dan
rawatan. Salah satu karyanya yang berjudul al-Mushajjar
al-Kabir yang menyusun daftar penyakit serta obat-
obatnya dan juga pola makanan yang berkaitan. Malah
beliau menyatakan bahwa para dokter yang boleh
menyembuhkan penyakit dengan hanya melalui
pengaturan pola makan tanpa penggunaan obat adalah
yang paling berjaya dan beruntung. Masawayh juga
mengusulkan penggunaan beberapa tumbuhan terkenal
60
untuk meningkatkan sistem pertahanan tubuh terhadap
penyakit. Beliau menyeru para dokter agar
menggunakan hanya satu obat untuk satu penyakit
berdasarkan prinsip empiris dan analogi.
Bahan yang banyak digunakan dalam terapi
perobatan Arab adalah kamfora. Menurut Masawayh
bahan ini berasal dari China dan dibawa ke Arab melalui
perdagangan dengan India dan Parsi. Menurutnya lagi,
sandalwood yaitu bahan yang digunakan untuk
menghasilkan minyak wangi, baik yang jenis kuning,
putih atau merah juga datang dari India. Bahan-bahan
seperti ini digunakan dalam sediaan farmasi Islam pada
abad ke-8 (atau lebih awal lagi) dan lewat ini istilah
farmasi terbentuk dalam Islam. Misalnya, kata-kata
seperti al-Saydanani ataupun al-Saydalani yang berarti
dia yang menjual atau yang berkaitan dengan
sandalwood, sedang perkataan saydanah diartikan
sebagai farmasi.
Pada masa itu, Masawayh dikenal sebagai dokter
dari beberapa khalifah, di ibukota Abbasiah selama
hampir empat dekade. Beliau juga merupakan dokter
Islam yang pertama mendirikan sekolah farmasi swasta
Arab.
61
Gambar 2.11 Ilustrasi catatan al-Saydanani karya Yuhanna b. Masawayh
b. Abu Hasan Ali bin Sahl Rabban al-Tabari
Ali bin Rabban at-Tabari berasal dari keluarga
Yahudi di kota Marv, Tabristan. Nama lengkapnya Abu
al-Hasan Ali bin Sahl Rabban at-Tabari, lahir pada tahun
838 M. Ayahnya seorang dokter dan penulis kaligrafi
yang ulung. Dari ayahnya pertama kali belajar ilmu
kesehatan dan kaligrafi.
Beliau dilahirkan pada 808, sahabat dari Masawayh.
Pada usia 30 tahun beliau diperintahkan untuk ke kota
Samarra oleh Khalifah Mu’tasim (833-842) untuk
mengabdi sebagai dokter. Tabari menulis banyak buku
kedokteran, yang terkenal adalah Syurga Hikmah yang
membicarakan tentang tingkah laku manusia,
kosmologi, embriologi, psikoterapi, kebersihan, pola
makan dan penyakit (akut dan kronik) serta cara
merawatnya. Buku ini juga memuat kisah-kisah
62
kedokteran abstrak serta petikan dari referensi yang
berbahasa India. Bukunya juga mengandung beberapa
bab tentang meteria medika, makanan biji-bijian,
kegunaan terapeutik hewan serta organ-organ burung
dan juga campuran obat-obatan termasuk cara
membuatnya.
Buku karyanya, Firdaus al-Hikmah dia tulis setelah
beliau memeluk agama Islam. Firdaus al-Hikmah dia
tulis dalam bahasa Arab, kemudian dia terjemahkan
sendiri ke dalam bahasa Syiria. Buku ini dibagi kedalam
tujuh bagian; bagian pertama memuat masalah doktrin
ilmu kesehatan kontemporer, berjudul Kulliyatu at-
Thibb, bagian kedua berisi uraian bagian-bagian organ
tubuh manusia, peraturan menjaga kesehatan dan
laporan tentang penyakit-penyakit yang pasti
menghinggapi otot, bagian ketiga berisi deskripsi
tentang diet, bagian keempat tentang seluruh penyakit
yang biasa menimpa badan, bagian kelima berisi
deskripsi tentang rasa dan warna, bagian keenam
tentang obat-obatan dan racun, dan bagian ketujuh
berisi diskusi tentang astronomi, juga ringkasan
pengobatan ala India.
Tabari juga menyarankan agar nilai terapeutik
setiap obat digunakan berdasarkan tujuan-tujuan
tertentu dan dokter harus pandai membuat pilihan yang
terbaik. Beliau pernah menguraikan dengan terperinci
penggunaan sesuatu bahan sebagai bahan terapeutik,
termasuk cara-cara menyimpannya sambil
memperingatkan tentang bahaya yang ada pada bahan
63
tersebut. Contohnya peringatan terhadap penggunaan
satu mithqal (lebih kurang 4 gram) candu bisa
menyebabkan tidur ataupun maut.
c. Abu Ja’far Al-Ghafiqi (wafat 1165 M)
Abu Ja’far Al-Ghafiqi merupakan ilmuwan muslim
yang juga turut memberi kontribusi dalam
pengembangan farmasi. Sumbangan Al-Ghafiqi untuk
memajukan ilmu tentang komposisi, dosis, meracik dan
meyimpan oat-obatan dituliskannya dalam kitab Al-
Jami’ Al-Adwiyyah Al-Mufradah. Kitab tersebut
memaparkan tentang pendekatan metodologi
eksperimen, serta observasi dalam bidang Farmakologi
dan Farmasi.
Deskripsi tentang tumbuh-tumbuhan yang dibuat
Al-Ghafiqi diakui sebagai karya yang paling
membanggakan yang pernah dibuat seorang Muslim.
”Dia memberi nama setiap tanaman dalam tiga bahasa,
yaitu Arab, Latin, dan Barbar,”. Karya fenomenal Al-
Ghafiqi yang berjudul Al-Adwiyah al-Mufradah
memberikan inspirasi kepada Ibnu Baytar untuk meneliti
tumbuh-tumbuhan dengan cara sederhana seperti yang
dilakukan Al-Ghafiqi.
d. Ibnu Al-Baitar
Dengan risalah yang diberi judul Al-Jami fi Al-Tibb
(Kumpulan Makanan dan Obat – obatan yang
sederhana). Dalam risalahnya yaitu Kitab Al-Jami’ li
Mufradat Al-Adweya wa Al-Aghtheya. Buku ini sangat
populer dan merupakan kitab paling terkemuka
mengenai tumbuhan dan kaitannya dengan ilmu
64
pengobatan Arab, beliau mengupas tentang berbagai
jenis tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat berasal
dari tumbuh-tumbuhan yang diperoleh di sepanjang
dataran pantai Mediterania. Lebih dari seribu tumbuhan
obat dijelaskan secaran rinci dalam buku tersebut yang
ditemukannya pada abad ketigabelas Masehi dan
berbeda dengan tumbuh-tumbuhan yang telah
ditemukan oleh ahli-ahli (ilmuan) sebelumnya. Lewat
buku tersebut, beliau turut memberi kontribusi dalam
dunia farmasi dan menjadi teks berbahasa Arab terbaik
yang berkaitan dengan tumbuh-tumbuhan yang
digunakan dalam pengobatan.
Gambar 2.12 Ilustrasi Ibnu Al-Baitar
Karya fenomenal kedua Al-Baitar adalah Kitab al-
Mughni fi al-Adwiya al-Mufrada (diterjemahkan di Eropa
65
menjadi The Ultimate in Materia Medica) yakni
ensiklopedia obat-obatan. Obat bius masuk dalam
daftar obat terapetik. Ditambah pula dengan 20 bab
tentang beragam khasiat tanaman yang bermanfaat bagi
tubuh manusia. Pada masalah pembedahan yang
dibahas dalam kitab ini, Al-Baitar banyak dikutip sebagai
ahli bedah Muslim ternama oleh Abul Qasim Zahrawi.
Selain bahasa Arab, Baitar pun kerap memberikan nama
Latin dan Yunani kepada tumbuhan, serta memberikan
transfer pengetahuan.
e. Abu Ar-Rayhan Al-Biruni (973 M – 1051 M)
Abu Ar-Rayhan Al-Biruni dengan nama lengkap Abū
Rayḥān Muḥammad ibn Aḥmad Al-Birunī mengenyam
pendidikan di Khwarizm. Beragam ilmu pengetahuan
dikuasainya, seperti astronomi, matematika, filsafat, dan
ilmu-ilmu alam. Melalui kitab AS-Sydanah fit-Tibb, Al-
Biruni mengupas secara lengkap dan detail tidak hanya
mengenai dasar-dasar ilmu farmasi, namun juga
meneguhkan peran farmasi serta tugas dan fungsi yang
diemban oleh seorang farmasis. Al-Biruni merupakan
ilmuwan muslin yang hidup di Zaman keemasan Dinasti
Samaniyaah dan Ghaznawiyah.
66
Gambar 2.12 Ilustrasi Abū Rayḥān Muḥammad ibn Aḥmad Al-Birunī
f. Sabur b. Sahl
Sabur merupakan seorang Nasrani yang dibesarkan
di lingkungan Nestorian dari Khuzistan. Dia telah dididik
di “Academia Hippocratica” di Gondeshapur, dimana
beliau kemudian memegang posisi di rumah sakit
setempat yang terkenal, dan naik menjadi salah satu
dokter terkemuka pada waktu itu. Ketika di
Gondeshapur beliau belajar ilmu kedokteran dan
Farmakologi sampai kemudian diangkat menjadi dokter
istana oleh Khalifah Abbasid al-Mutawakkil. Sabur
meninggal sebagai seorang Nasrani pada tahun 869
Masehi.
Beliau merupakan orang pertama menulis formula
pertama dalam sejarah Islam. Formula ini dikenali
sebagai Agradadhin. Dalam tulisannya, beliau
memberikan resep kedokteran tentang kaedah dan
teknik meracik obat, aksi farmakologinya, dosis-dosisnya
67
untuk setiap sekali pengunaan. Formula-formula obat ini
disusun berdasarkan jenis sediaan: tablet, serbuk, salap,
sirup dan sebagainya. Banyak dari resep-resep ini
menunjukkan persamaan dengan dokumen dari Asia
Barat dan Yunani-Roman.
Formula ini ditulis untuk ahli-ahli farmasi apakah di
apotek ataupun di rumah sakit. Oleh karena itu, hampir
selama 200 tahun formula ini digunakan sebagai
panduan ahli farmasi di seluruh dunia Islam. Tulisan
Sabur ini merupakan satu langkah penting dalam sejarah
farmakope dan banyak disalin serta ditiru dalam buku
kedokteran Arab selanjutnya.
g. Zayd Hunayn b. Ishaq al-Ibadi (809-873)
Sumbangan beliau tidak kurang pentingnya kepada
praktek farmasi dan kedokteran Arab. Beliau adalah
anak dari seorang apoteker. Hunayn diantar ke Baghdad,
yang pada masa itu merupakan pusat pendidikan Islam
terpenting dan termasyur untuk mengikuti pendidikan
dalam perawatan. Beliau kemudian ke Syria, Mesir dan
negara sekitarannya untuk lebih mendalami keilmuan
dan keterampilannya. Setelah beliau kembali ke
Baghdad, beliau sudah mahir tentang asal-usul
pengobatan Yunani khususnya yang diterjemahkan
dalam Bahasa Syria.
Hunayn memainkan peranan yang penting dalam
penerjemahan atau penentuan ketepatan terjemahan
yang dilakukan (termasuk penulis Hippocrates, Galen
dan penulis Yunani lain) di samping menulis buku-
bukunya sendiri. Sumbangannya menjadi lebih terasa
68
pada tahun 830 Masehi, Khalifah al-Ma’mun mendirikan
satu institusi sains (bait al-Hikmah) untuk tujuan
penyelidikan dan penterjemahan bahan-bahan Yunani
ke dalam bahasa Arab. Hunayn menjadi pembimbing
pusat kajian ini dan dalam masa 40 tahun, beliau
menterjemahkan dan mewujudkan istilah serta
rangkaian kata yang digunakan untuk tujuan praktek
kedokteran dan pengajaran.
Antara buku dan tulisan Hunayn adalah tentang
aspek kebersihan mulut, pencuci dan penggunaan
bahan-bahan pergigian. Beliau terkenal sebagai penulis
Arab pertama yang melakukan hal ini. Beliau juga yang
menemukan bahan-bahan makanan dan minuman yang
dianggap dapat merusak gigi. Hunayn juga mengusulkan
pembersihan gigi, khususnya setelah makan seperti
yang dianjurkan dalam kedokteran modern. Tulisannya
yang lain termasuk tentang nilai gizi dan makanan sehat,
tentang mandi, terapi gizi secara umum dan juga
tentang bunga mawar serta obat-obatan tertentu.
69
h. Abū Bakr Muhammad ibn Zakariyyā al-Rāzī (854 – 925
M)
Gambar 2.13 Ilustrasi Abū Bakr Muhammad ibn Zakariyyā al-Rāzī
Abū Bakr Muhammad ibn Zakariyyā al-Rāzī juga
dikenal dengan nama latin Rhazes adalah orang Persia
yang merupakan seorang pemikir komprehensif yang
banyak belajar tentang ilmu matematika, kedokteran,
kimia, filsuf, dan merupakan tokoh penting dalam
sejarah kedokteran. Beliau adalah seorang dokter yang
paling disegani dan memiliki banyak murid. Dia juga
menemukan banyak senyawa dan bahan kimia termasuk
alkohol dan minyak tanah. Rhazes berkontribusi dalam
banyak cara untuk praktek awal farmasi dengan
menyusun teks, dimana ia memperkenalkan
penggunaan sediaan salep dan pengembangan
penggunaan peralatan peracikan seperti mortir, termos,
70
spatula, dan vial yang digunakan di apotek sampai awal
abad kedua puluh.
i. Ibnu Sina (The Persian Galen)
Ibnu Sina (980-1037) dikenal juga sebagai Avicenna
di Dunia Barat, beliau merupakan seorang filsuf,
ilmuwan, Dokter sekaligus sebagai Apoteker kelahiran
Persia (Sekarang Iran). Ia juga seorang penulis yang
produktif di mana sebagian besar karyanya adalah
tentang filosofi dan pengobatan. Bagi banyak orang, dia
adalah “Bapak Pengobatan Modern” dan masih banyak
lagi sebutan baginya yang kebanyakan bersangkutan
dengan karya-karyanya di bidang kedokteran. Karyanya
yang sangat terkenal adalah Qanun fi Thib yang
merupakan referensi di Bidang Kedokteran selama
berabad-abad. Dia menulis dalam bahasa Arab, sering
berdiskusi dengan temannya yang fokus belajar ilmu
farmasi. Ajaran farmasinya diterima sebagai otoritas di
Barat sampai abad ke-17.
Pada hari-hari terakhirnya, Ibnu Sina bermunajat
mendekatkan diri pada Allah, menyumbangkan hartanya
untuk fakir-miskin, membela orang-orang tertindas,
menolong orang yang lemah, memerdekakan budak,
dan tekum membaca Al-Qur’an, saking tekunnya beliau
bisa menamatkannya tiap tiga hari sekali.
Semua itu terus ia lakukan hingga ajal menjemput.
Beliau wafat di Hamadzan pada hari jum’at di bulan
Ramadhan 428 H dalam usia 58 tahun. Jenazahnya
dimakamkan di kota tersebut dan hingga sekarang
71
masih ramai dikunjungi orang dari berbagai penjuru
dunia.
Gambar 2.14 Avicenna – “The Persian Galen”
j. Pendirian Apotek Pertama di Dunia
Peradaban Islam dikenal sebagai perintis dalam
bidang farmasi. Para ilmuwan Muslim di era kejayaan
Islam sudah berhasil menguasai riset ilmiah mengenai
komposisi, dosis, penggunaan, dan efek dari obat-
obatan sederhana dan campuran. Selain menguasai
bidang farmasi, masyarakat Muslim pun tercatat sebagai
peradaban pertama yang memiliki apotek atau toko
obat.
Namun yang pasti, Apoteker merupakan ilmu yang
sangat menarik untuk menjadi perhatian para ilmuwan
kaum muslimin. Mereka sebagai masa pertama dari
awal peradaban yang mengetahui dan mengaplikasikan
72
campuran obat-obatan dalam bentuk ilmiah dan efektif
dengan cara yang baru. Menurut catatan Gustavo Le
Bon mengatakan bahwa “kita sanggup menisbatkan
tanpa batas minimal yang memberatkan ilmu Apoteker
kepada mereka. Lalu kita katakan bahwa Apoteker
adalah ilmu hasil penemuan bangsa arab (Islam) sebagai
tempat muaranya. Mereka telah menambah
pengobatan yang telah dikenal sebelumnya dengan
menyusun berbagai macam penemuan, dan bangsa
pertama yang menulis buku tentang obat-obatan”.
Hal yang menjadi rahasia dasar dari ilmu ini dan
penisbatannya kepada kaum muslimin, dikarenakan
bangsa Arab bertempat tinggal di negara yang
mempunyai udara yang baik untuk menanam kurma. Di
daerah tersebut tumbuhlan pohon-pohon rasa asam
dengan kekuatan yang menakjubkan. Tanaman itu juga
menghasilkan rempah-rempah dan air tawar yang
mengandung balsem. Juga mengandung bahan yang
bermanfaat bagi manusia dan yang bisa merusak.
Sehingga sejak dini, muncullah pedoman kaum muslimin
dari yang tumbuh di tanah mereka dan apa yang
dihasilkan di Pantai Malabar dan Sailan, Afrika Timur,
yang merupakan tempat perjalanan kafilah dagang.
Dengan demikian mereka dapat membedakan hasil-hasil
yang bermanfaat bagi kedokteran dan untuk
perdagangan. Untuk menjawab tantangan tersebut,
sebagian mereka menjawab dan berusaha untuk
mengambil manfaat dari rerumputan atau ilalang
disekitar tempat mereka. Di antaranya membuat
73
catatan yang menyerupai kamus dalam bentuk jadwal,
yang memuat daftar nama tumbuh-tumbuhan yang
berbeda-beda dalam bahasa Arab, Yunani, Suryan,
Persia, Barbari lalu menjelaskan nama-nama obat-
obatan secara terpisah. Di antara percobaan di bidang
ini adalah apa yang dilakukan oleh Rasyiduddin Ash-
Shuri (nama dari Rasyiduddin Abu Fadl Ali, tahun 573-
639 H/1177-1241 M merupakan ilmuan nabati dan
kedokteran, sahabat Raja adil Al-Ayubi). Dengan adanya
nama-nama tumbuhan disertai gambarnya, ia bisa
melihat tumbuh-tumbuhan dan menyusunnya.
Sepertinya sesuatu yang paling penting dan
berpengaruh pada kaun Muslimin tentang permulaan
masa ilmu ini adalah bahwa mereka memasukkan
aturan citra rasa dan mengawasi obat-obatan. Mereka
memindahkan profesi dari berdagang bebas yang
bekerja didalamnya kapan saja ia kehendaki, menuju
profesi yang tunduk dalam pengawasan pemerintah. Hal
itu terjadi pada masa Al-Ma’mun yang menganjurkan
untuk diawasi. Sebab, sebagian besar yang menggeluti
profesi apoteker tidak bisa dipercaya dan penipu. Di
antara mereka ada yang mengaku mempunyai segala
obat, lalu memberikan kepada yang sakit padahal ia
tidak mengerti penyakit berikut cara pengobatannya.
Karena itu, Al-Ma’mun memerintahkan untuk mengikat
atau menguji amanah Apoteker. Lalu Al-Mu’tasim,
khalifah sesudahnya pada tahun 227 H memerintahkan
untuk memberi Apoteker yang ditetapkan amanahnya
serta kecerdasannya dengan syahadat (izin). Karena itu,
74
masuklah bidang Apoteker dibawah aturan pemerintah
secara sempurna sebagai bidang yang diawasi. Aturan-
aturan ini kemudian berpindah dan digunakan di seluruh
penjuru Eropa pada masa Kaisar Federick II (607-648
H/1210-1250 M). Kalimat ini terus-menerus dipakai dan
digunakan dalam bahasa Spanyol dengan lafazh bahasa
Arab sampai waktu tertentu.
Sharif Kaf al-Ghazal dalam tulisannya bertajuk The
valuable contributions of Al-Razi (Rhazes) in the history
of pharmacy during the Middle Ages, mengungkapkan
apotek pertama di dunia berdiri di kota Baghdad pada
tahun 754 M. Saat itu, Baghdad sudah menjadi ibukota
Kekhalifahan Abbasiyah. ''Apotek pertama di Baghdad
didirikan oleh para Apoteker Muslim.
Jauh sebelum peradaban Barat mengenal apotek,
masyarakat Islam lebih dulu menguasainya. Sejarah
mencatat, Apoteker pertama di Eropa baru muncul pada
akhir abad ke-14, bernama Geoffrey Chaucer (1342-
1400). Ia dikenal sebagai Apoteker asal Inggris. Apotek
mulai menyebar di Eropa setelah pada abad ke-15
hingga ke-19 M, praktisi apoteker mulai berkembang di
benua itu.
Selain itu, peradaban Islam juga merupakan pendiri
sekolah farmasi pertama, umat Muslim di era
kekhalifahan sebagai pencipta pharmacopoeia yang
pertama. Perkembangan ilmu farmasi yang begitu cepat,
membuat apotek atau toko-toko obat tumbuh
menjamur di kota-kota Islam. Hampir di setiap rumah
sakit besar di kota-kota Islam dilengkapi dengan apotek
75
atau instalasi farmasi. Apotek-apotek itu dikelola oleh
apoteker yang menguasai ilmu peracikan obat.
Pada zaman kejayaan Islam, toko-toko obat
bermunculan bak jamur di musim hujan. Toko obat yang
banyak jumlahnya tak cuma hadir di kota Baghdad
sebagai kota metropolis dunia di era kejayaan
Abbasiyah, namun juga di kota-kota Islam lainnya. Para
ahli farmasi ketika itu sudah mulai mendirikan apotek
sendiri. Mereka menggunakan keahlian yang dimilikinya
untuk meracik, menyimpan, serta menjaga aneka obat-
obatan.
Pemerintah Muslim pun turun mendukung
pembangunan di bidang farmasi. Rumah sakit milik
pemerintah yang ketika itu memberikan perawatan
kesehatan secara cuma-cuma bagi rakyatnya, juga
mendirikan laboratorium untuk meracik dan
memproduksi aneka obat-obatan dalam skala besar.
Keamanan obat-obatan yang dijual di apotek swasta dan
pemerintah diawasi secara ketat. Secara periodik,
pemerintah melalui pejabat dari Al-Muhtasib (semacam
badan pengawas obat-obatan) yang bertugas untuk
mengawasi dan memeriksa seluruh toko obat dan
apotek. Para pengawas dari Al-Muhtasib secara teliti
mengukur akurasi berat dan ukuran kemurnian dari obat
yang digunakan.
76
Gambar 2.15 Ilustrasi Apotek pertama di Dunia
Pengawasan yang amat ketat itu dilakukan untuk
mencegah penggunaan bahan-bahan yang berbahaya
dalam obat dan sirup. Semua itu dilakukan semata-mata
untuk melindungi masyarakat dari bahaya obat-obatan
yang tak sesuai dengan aturan. Pengawasan obat-
obatan yang dilakukan secara ketat dan teliti yang telah
diterapkan di era kekhalifahan Islam.
Sementara itu, di kota-kota seperti Baghdad,
profesi farmasi dipraktekkan dengan rapi sehingga ahli
farmasi mendapat perlindungan dan penghargaan dari
pemerintah serta pengguna ketika itu. Melalui
penyebaran perdagangan dunia Islam yang kian pesat,
dan daya tarik bahan rempah-rempah dan bahan obat-
obatan, menjadikan kedudukan profesi farmasi
khususnya, dan kesehatan pada umumnya di dunia Arab
semakin meningkat. Sebenarnya bidang farmasi Barat
77
adalah berasal dari farmasi Arab dan peradaban Islam.
Aspek dan pengaruh Arab ini tidak ditulis oleh penulis
barat pada sejarah pengobatan umumnya dan sejarah
farmasi khususnya. Sedangkan pada hakikatnya prestasi
sains dan budaya dunia Arab begitu banyak
mempengaruhi profesi serta sumbangan pustaka
farmasi di Barat yang ada hingga hari ini.
Sayangnya, kurang dari satu abad setelah masa al-
Attar, praktek farmasi mulai beku dan kaku, dan terus
merosot dengan jatuhnya peradaban Arab pada abad
ke-19. Sejak itu, farmasi mulai berkembang dengan
pesatnya di Eropa khususnya dan Barat umumnya.
3.2.5 Menjelang Abad pertengahan dan Abad ke 20
a. Pemisahan Farmasi dan Kedokteran
Di negara-negara Eropa yang terkena pengaruh
Arab, apotek ditengah masyarakat mulai muncul di abad
ke-17. Seiring meningkatnya jenis obat-obatan, rumitnya
ilmu mengenai obat dan penanganan serta
penggunaannya, yang dulunya pekerjaan ini masih
dipelajari dan dikerjakan dalam kedokteran. Pada tahun
1240 raja Jerman Frederick II secara resmi memisahkan
ilmu farmasi dari kedokteran, sehingga sekarang dikenal
ilmu Farmasi dan ilmu Kedokteran.
78
Gambar 2.16 Pemisahan Farmasi dan Kedokteran
b. The First Official Pharmacopeia
Ide penyusunan pharmacopeia yang memiliki status
resmi yang harus diikuti oleh semua apotek yang berasal
dari Florence. Nuovo Receptario, awalnya ditulis dalam
bahasa italia, diterbitkan dan menjadi standar hukum
untuk negara-kota pada tahun 1498 yang merupakan
hasil kolaborasi dari persekutuan apotek dan
masyarakat Kedokteran. Salah satu manisfestasi awal
dari hubungan interprofesional secara konstruktif.
Kelompok profesional menerima saran resmi dan
bimbingan biarawaan Dominika dan Savonarola yang
pada saat itu merupakan pemimpin politik di Florence.
79
Gambar 2.17 Ilustrasi Penyusunan Pharmacopeia pertama
c. The Society of Apothecaries of London
Perdagangan obat dan rempah-rempah merupakan
suatu usaha yang paling menguntungkan di Abad
Pertengahan. Di daratan Inggris pada waktu itu,
dimonopoli oleh “the Guild of Grocers” atau
persekutuan bedagang besar yang memiliki kekuatan
hukum atau yurisdiksi atas apotek. Setelah bertahun-
tahun berusaha, para apoteker menemukan
kesepakatan dengan persatuan dokter pada waktu itu.
80
Gambar 2.18 Ilusttrasi persetujuan pendirian The Society of Apothecaries of London
King James I, yang di dampingi oleh dua
“Beefeaters” setelah dilakukan pendekatan persuasif
oleh filsuf-politisi bernama Francis Bacon. Raja
memberikan Piagam pada tahun 1617 untuk
membentuk persatuan yang terpisah dan mandiri yang
dikenal sebagai "Master, Wardens and Society of the Art
and Mystery of the Apothecaries of the City of London"
atas protes yang kuat dari dominasi persekutuan
pedagan besar. Ini merupakan organisasi Apoteker
pertama di dunia.
d. Louis Hébert, Apothecary to New France (Canada)
Louis Hébert adalah seorang pemuda paris yang
berprofesi sebagai apoteker yang menjawab panggilan
dari Dunia Baru (New Perancis, Canada) di tahun 1605,
ketika ia membantu de Monts dan Champlain
81
membangun pemukiman pertama di New Perancis,
Habitation, di Port Royal (Nova Scotia, Kanada). Louis
Hébert tampil sebagai pelopor kesehatan,
membudidayakan tanaman obat asli dan mengawasi
kebun obat yang dikembangkannya. Di tepi pantai ia
memeriksa spesimen tumbuhan obat yang ditawarkan
oleh “Micmac Indians” atau suku indian, termasuk
Arum, Jack-in-the-Pulpit, Eupatorium (boneset),
Verbascum (Mullein), dan Hydrastis (Golden Seal).
Ketika pemukiman mereka dihancurkan oleh Inggris
pada tahun 1613, ia kembali ke paris dan membuka
apotek. Karena daya tarik di Kanada sanga kuat, maka
pada tahun 1617, ia dan keluarganya kembali ke sana
dan menjadi lebih terkenal sebagai petani (budidaya
tumbuhan obat) yang sukses di Kanada.
Gambar 2.19 Ilusttrasi Louis Hébert (Apoteker pertama di Kanada)
82
e. The Governor who Healed the Sick
Banyak orang-orang Eropa dengan kualitas dan
kekayaan, khususnya mereka yang non-konformis dalam
beragama, yang tertarik untuk kemungkinan menjadi
kelompok masyarakat ke Amerika. Dari Inggris yaitu
John Winthrop yaitu orang Inggris yang menjadi
gubernur pertama Massachusetts dan juga sebagai
pendiri Boston. Gubernur Winthrop dapat terdorong
untuk jadi profesional dengan koloninya, belajar dari
apoteker dan dokter di Inggris, dan membuat apotek
kecil yang berisi obat yang diimpor dari tanaman asli ke
New England. Di rumahnya (sekitar tahun 1640), dengan
kemampuan yang dimiliki dia menjalankan praktek
apoteker dan dokter untuk warganya yang sakit.
Gambar 2.20 Ilusttrasi Gubernur John Winthrop mengobati warganya yang sakit
83
f. The Marshall Apothecary – Christopher Marshall
Christoper Marshall merupakan seorang imigran
dari Irlandia yang mendirikan Apotek di Philadelpia pada
tahun 1729. Selama 69 tahun, pelopor usaha dan profesi
dalam bidang farmasi menjadi toko ritel terkemuka,
menjadi pusat manufaktur obat kimia berskala besar;
membuka sekolah pelatihan “praktis” untuk apoteker;
menjadi depot suplier penting selama perang Revolusi;
dan akhirnya dikelola oleh cucu Elisabeth, yang
merupakan apoteker pertama Amerika. Christoper
mendapatkan gelar “The fighting Quaker” selama
perang Revolusi.
Gambar 2.21 Ilusttrasi The Marshall Apothecary
g. First Hospital in Colonial America
Merupakan rumah sakit pertama kolonial Amerika
(Pennsylvania) yang didirikan di Philadelpia pada tahun
84
1751. Farmasi Rumah Sakit pertama mulai beroperasi di
sana pada tahun 1752, untuk sementara waktu di
operasikan di “Kinsey house” hingga gedung rumah sakit
pertama selesai. Hal ini dipengaruhi karena kecerdikan
Benjamin Franklin yang sangat membantu pendirian
keduanya. Jonathan Roberts adalah apoteker pertama
dirumah sakit tersebut, yang kemudian digantikan oleh
John Morgan yang berpraktek sebagai apoteker rumah
sakit (tahun 1755-1756), dan berdampak pada farmasi
dan kedokteran yang dipengaruhi oleh perubahan yang
menjadi dasar untuk pengembangan Profesi Farmasi
dan Kedokteran di Amerika Utara. Pertama sebagai
Apoteker dan kemudian kedua sebagai Dokter,
kemudian kedua profesi ini masing-masing berpraktek
secara independen yang saling melengkapi.
Gambar 2.22 Ilusttrasi Farmasi Rumah Sakit Pertama Kolonial Amerika
85
h. Scheele – Greatest of the Pharmacists-Chemists
Karl Wilhelm Scheele seorang ahli farmasi swiss
berhasil menemukan zat kimia seperti asam laktat, asam
sitrat, asam oksalat, asam tartrat dan asam arsenat.
Dia juga berhasil mengidentifikasi gliserin, menemukan
cara baru membuat calomel, dan asam benzoat serta
menemukan oksigen. Selama beberapa tahun yaitu
rentang tahun 1742-1786, Karl Wilhelm Scheele
memberikan sumbangsih kepada penemuan dunia yang
telah membawa rakyatnya mendapatkan keuntungan
yang tak terhitung. Namun, ia tidak pernah lupa bahwa
ia adalah seorang apoteker. Berbekal ilmu yang didapat
dari guru-gurunya (Preceptors), semua penemuan yang
ditemukannya di buat pada saat menjadi apoteker di
Swedia dimana ia bekerja, disaat ia masih magang,
kemudian menjadi staf/petugas, dan akhirnya menjadi
pemilik. Dengan langkah jeniusnya dia memulai
melakukan ribuan eksperimen.
Gambar 2.23 Ilustrasi Greatest of the Pharmacists-Chemists
86
i. Andrew Craigie: America’s First Apothecary General
Andrew Craigie adalah orang pertama yang
memegang pangkat seorang perwira farmasi ditugaskan
pada tentara Amerika adalah Apoteker Boston, Andrew
Craigie. Pertama ditunjuk menjadi Medical Stores oleh
Komite Keselamatan Massachusetts, 30 April 1775.
Andrew Craigie terlibat pada pertempuran “Bunker Hill”,
17 Juni 1775 dan bertugas membantu merawat orang
sakit dan terluka. Pada saat kongres reorganisasi pada
Departemen Kesehatan Angkatan Darat pada tahun
1777, Craigie ditunjuk menjadi apoteker umum
pertama. Craigie bertugas pada semua aspek dalam
bidang farmasi seperti pengadaan, penyimpanan,
pembuatan, dan distribusi kebutuhan obat Angkatan
Darat. Beliau juga mengembangkan proses bisnis
distribusi dan bisnis manufaktur.
Gambar 2.24 Ilustrasi Andrew Craigie: America’s First Apothecary General
87
j. Sertürner – First of the Alkaloid Chemists
Friedrich Wilhelm Adam Sertürner (tahun 1783-
1841) merupakan salah satu apoteker yang paling
menonjol dan signifikan mempengaruhi transformasi
cikal bakal kimia farmasi yang diakui pada abad ke-18.
Pada usia dua puluh satu tahun, Sertürner adalah orang
pertama yang melaporkan beberapa hasil mengenai
substansi yang dianggap bertanggung jawab sebagai
“agen sedatif” dan memberikan penjelasan prinsip
narkotika, morphin kepada dunia khususnya dunia
farmasi dan pentingnya kelas baru senyawa organik
yaitu alkaloid. Zat ini berhasil diisolasi dari tanaman.
Sertürner pada tahun 1816 melakukan serangkaian baru
dengan melakukan percobaan mengejutkan di apotek di
Einback, termasuk serangkaian tes fisiologis pada dirinya
sendiri dan tiga teman-teman mudanya. Dia terus
melakukan eksperimen kimia organik dan penemuan
sepenjang hidupnya. Sertürner juga mampu
mengkonfirmasi efek hipnotis dan sifat analgesik dari
morfin yang telah dilakukannya menggunakan hewan
coba. Karena ia bisa menunjukkan kualitas alkaloid
morfin, sesuatu yang benar-benar baru saat itu.
Sertürner menerbitkan sebuah makalah yang
komprehensif tentang isolasi, kristalisasi, struktur
kristal, dan sifat farmakologi yang pertama
menggunakan hewan coba pada anjing liar dan
kemudian menggunakan dirinya sendiri. Tidak hanya
alkaloid yang diekstraksi dari opium, tetapi juga alkaloid
lain yang diisolasi dari tanaman yang berbeda. Sertürner
88
juga menganjurkan suatu seri isolasi dari tumbuhan
lainnya. Dengan demikian dia menjadi orang pertama
yang mengisolasi bahan aktif yang terkait dengan
tanaman obat atau herbal.
Gambar 2.25 Ilustrasi Sertürner – First of the Alkaloid Chemists
k. Caventou, Pelletier, and Quinne
Berdasarkan inspirasi dari hasil percobaan alkaloid
oleh Sertürner, dua apoteker Perancis yaitu Pierre-
Joseph Pelletier dan Joseph-Bienaimé Caventou,
berhasil mengisolasi emetin dari Ipecacuanha pada
tahun 1817. Strychnine dan Brucine dari Nux vomica
pada tahun 1818. Kemudian, di laboratorium mereka di
belakang apotek Paris, mereka berhasil menangani
masalah yang telah membuat bingung para ilmuwan
selama periode satu dekade. Berusaha untuk
mengungkap rahasia khasiat serbuk kulit Peruvian yang
89
sangat berguna terhadap malaria. Pada tahun 1820
Caventou dan Pelletier mengumumkan metode untuk
pemisahan kina dan sinkonin dari Peruvian kina, dalam
bentuk garam alami, telah mereka uji secara klinis, dan
mendirikan pabrik manufaktur. Penghargaan yang tinggi
diberikan kepada mereka.
Gambar 2.26 Ilustrasi Caventou, Pelletier and Quinne
3.2.6 Era Baru Farmasi dan Dampak Revolusi Industri
Dampak revolusi industri merambah dunia farmasi
dengan timbulnya industri-industri obat, sehingga terpisahlah
kegiatan farmasi di bidang industri obat dan di bidang
“penyedia/peracik” obat (apotek). Dalam hal ini keahlian
kefarmasian jauh lebih dibutuhkan di sebuah industri farmasi
dari pada apotek. Dapat dikatakan bahwa farmasi identik
dengan teknologi pembuatan obat.
90
Perkembangan ilmu farmasi kemudian menyebar
hampir ke seluruh dunia. Mulai Inggris, Amerika Serikat, dan
Eropa Barat. Sekolah Tinggi Farmasi yang pertama didirikan di
Philadelphia, Amerika Serikat pada tahun 1821 (sekarang
sekolah tersebut bernama Philadelphia College of Pharmacy and
Science. Setelah itu, mulailah era baru ilmu farmasi dengan
bermunculannya sekolah-sekolah tinggi dan fakultas-fakultas di
universitas. Dalam sejarahnya beberapa momen-momen besar
proses perubahan dan perkembangan farmasi yang dijelaskan
sebagai berikut ini:
1. Pembentukan Yayasan Farmasi Amerika
Pada masa ini para apoteker dihadapkan dengan
dua ancaman besar yaitu: yang pertama para apoteker
merasa adanya kemerosotan praktek farmasi dan yang
kedua adanya diskriminasi dalam hal perkembangan
peran antara dokter dan apoteker oleh fakultas
kedokteran di Universitas Pennsylvania. Apoteker dari
Philadelphia mengadakan pertemuan akbar sebagai
protes di Carpenters Hall pada tanggal 23 Februari 1821.
Pada pertemuan kedua, pada tanggal 13 Maret 1821
para apoteker sepakat untuk membentuk yayasan yang
menjadi cikal bakal “The Philadelphia College of
Pharmacy” yang memiliki kebijakan sendiri. Sekitar
enam puluh delapan apoteker menandatangani
konstitusi yayasan/assosiasi farmasi pertama di Amerika
Serikat. Lembaga Farmasi pertama ini dibuka pada
tanggal 9 November 1821.
91
Gambar 2.27 Ilustrasi Pertemuan para Apoteker Amerika dalam rangka pembentukan yayasan Farmasi Amerika
2. The Shakers and Medicinal Herbs
Industri pertama di Amerika Serikat dalam obat
herbal atau “Medicinal Herbs” dilakukan oleh
masyarakat dari komunitas kristen Inggris yang muncul
dan umumnya dikenal sebagai “Shaker”. Dimulai sekitar
tahun 1820, dan untuk penjualan secara komersiil pada
tahun 1830. Indutri obat herbal terus tumbuh dan
mencapai puncaknya di tahun 1860-an, kemudian
berkurang pada akhir abad ini. Para Shaker
mengumpulkan dan membudidayakan sekitar 200
varietas tumbuhan obat/simplisia; baik dalam bentuk
kering, haksel/cincang, dalam bentuk kemasan padat
yang dibungkus, kemudian di beri label dan menjualnya
kepada apoteker dan dokter di seluruh dunia. Ekstrak
92
diproduksi secara besar-besar (dalam jumlah Ton) baik
dalam bentuk padat maupun dalam bentuk cairan.
Penandaan/Label oleh para Shaker diakui untuk
keandalan dan kualitas selama lebih dari satu abad.
Gambar 2.28 Ilustrasi “The Shakers and Medicinal Herbs”
3. Assosiasi Farmasi Amerika (The American
Pharmaceutical Association)
Pentingnya sarana/wadah untuk dapat saling
berkomunikasi yang lebih baik di antara sesama
apoteker, standar pendidikan dan praktek profesi
kefarmasian, dan kontrol kualitas obat-obat impor
terutama di Amerika Serikat pada waktu itu. Maka
diadakan pertemuan para apoteker dalam bentuk
konvensi perwakilan apoteker di Aula Philadelphia
College of Pharmacy pada tanggal 6 – 8 Oktober 1852.
93
Gambar 2.29 Ilustrasi pembentukan “The American Pharmaceutical Association”
Di bawah kepemimpinan ketua/presiden yang
pertama yaitu Daniel B. Smith dan Sekertaris Jenderal
yang pertama yaitu William Procter, Jr., dan sebanyak
dua puluh delegasi bersama-sama meluncurkan “The
American Pharmaceutical Association” yang tujuan
utamanya adalah membuka keanggotaan bagi semua
Apoteker terutama untuk penentuan penyusunan
konstitusi dan kode etik kefarmasian. Assosiasi ini terus
melayani para farmasi hingga kini. Sebelumnya telah
terbentuk asosiasi apoteker di Eropa khususnya di
Britania Raya.
4. Kongres Farmasi Eropa dan Amerika
Meskipun tidak ada perselisihan perbedaan
persepsi yang nyata dari perwakilan Farmasi Eropa dan
Farmasi Amerika tentang tujuan kode etik dan ilmiah
94
sebagai profesi. Tapi ketika kedua perwakilan tersebut
bertemu untuk pertama kalinya, di the Second
International Congress of Pharmacy di Paris, Perancis,
pada tanggal 21-24 Agustus 1867, ada perbedaan besar
tentang pendapat mengenai masalah keterbatasan
wajib apotek. William Procter, Jr., yang memimpin
delegasi dari The American Association Pharmacy atau
Asssosiasi Farmasi Amerika, dan berkata kepada badan
internasional tentang “Public opinion is in America a
forceful agent of reform,” dan mengatakan bahwa
dinegaranya, "there is not the slightest obstacle toward
a multiplication of drug stores save that a lack of
success.” Inilah langkah awal yang terdokumentasi
sebagai jalan perubahan Farmasi Amerika.
Gambar 2.30 Ilustrasi kongres Apoteker Eropa dan Amerika
95
5. William Procter, Jr., - The Father of American Pharmacy
William Procter, Jr., adalah seorang professor di
Philadelphia College of Pharmacy, lahir di Baltimore
pada tanggal 3 Mei 1817. Kakek buyutnya adalah
seorang perwira tentara di Cromwell yang bernama
Thomas Procter merupakan keturunan pengikut George
Fox (pendiri Society of Friends). Issac Procter, ayah dari
William datang ke Amerika pada tahun 1793 dan
menetap di Baltimore dang bekerja sebagai pedagang.
Pada tahun 1799 menikah dengan Rebecca Farquhar.
Pada tahun 1831 pada usia empat belas, ia
dipindahkan ke Pennsylvania, dimana ia bergabung di
apotek Henry M Zollickoffer, dan selama enam tahun
berikutnya selain rajin dan penuh perhatian oleh
petugas-petugas apotek, tetapi beliau banyak
meluangkan waktu belajar ilmu kimia dan farmasi.
Pada tahun 1837 William lulus dari Sekolah Tinggi
Farmasi, dan membuka apotek di jalan Ninth dan
Limbard pada tahun 1844, dimana ia menghabiskan
banyak waktu dan energi dalam perbaikan banyak
formula dari Farmakope Amerika. Dia melanjutkan
aktivitasnya dalam bisnis obat selama sisa hidupnya.
Pada tahun 1846 ia terpilih menjadi professor
farmasi di College of Pharmacy, departemen yang
didirikan pada tahun yang sama, William menjadi orang
pertama yang memegang posisi tersebut. Pada tahun
1849 ia menerbitkan sebuah edisi Amerika dengan judul
Mohr and Redwood’s “Practical Pharmacy” dengan
penambahan dengan tulisannya sendiri.
96
Pada tahun 1852 William merupakan salah satu
pendiri Asosiasi Farmasi Amerika atau the American
Pharmaceutical Association yang ditunjuk sebagai
anggota komite eksekutif yang pertama. Menjadi
sekertaris pertama, dan kemudian menjadi presiden.
Menjadi anggota komite revisi U.S.P atau Farmakope
Amerika selama 30 tahun, sebagai Editor pada American
Journal of Pharmacy selama 22 tahun.
Gambar 2.31 Ilustrasi Prof. William Procter, Jr., “The Father of American Pharmacy”
6. Revolusi dalam Pendidikan Farmasi (A Revolution in
Pharmaceutical Education)
Ketika Dr. Albert B. Prescott meluncurkan program
kursus farmasi atau the pharmacy courses di Universitas
Michigan pada tahun 1868, menjadi perhatian serius
97
bagi para farmasis/apoteker karena mengubah
persyaratan lama pada proses magang pra kelulusan
atau pregraduation apprenticeship. Pada konvensi
Assosiasi Farmasi Amerika tahun 1871 sistem yang
diterapkan oleh Dr Albert B. Prescott ditolak dan
ditentang oleh para delegasi pada waktu itu. Namun,
tentu saja Michigan mempelopori perubahan besar
lainnya seperti pengadaan laboratorium farmasi,
menyusun kurikulum farmasi termasuk ilmu-ilmu dasar
yang diperlukan. Serta program yang menuntut siswa
untuk fokus penuh waktu. Selama tiga puluh tahun ke
depan, Dr. Prescott memiliki kepuasan tersendiri saat
melihat hasil inovasi sangat revolusioner yang umumnya
diadopsi oleh fakultas Farmasi.
Gambar 2.32 Ilustrasi Dr. Albert B. Prescott melakukan Revolusi dalam pendidikan Farmasi
98
7. The Pharmacopeia Comes of Age
Farmakope Amerika atau U.S.P pertama (tahun
1820) adalah hasil karya oleh profesi dokter yang pada
waktu itu banyak bertindak sebagai apoteker. Ini
merupakan buku pertama berisi standar-standar obat
dari sumber profesional yang telah diterima oleh
bangsa-bangsa.
Pada tahun 1877, U.S.P. terancam dibubarkan
karena kurangnya minat dari profesi dokkter/medis. Dr.
Edward R. Squibb, merupakan Apoteker dalam bidang
produksi/manufaktur yang juga berperan sebagai
dokter, mengangkat masalah ini di acara Konvensi
Assosiasi Farmasi Amerika (The American
Pharmaceutical Association). Pada pertemuan tersebut
para apoterker membentuk Komite Revisi dan ditunjuk
pimpinan Charles Beras merupakan Apoteker Rumah
Sakit, dibantu oleh Josep P. Remington dan Dr. Edward
R. Squibb yang merupakan Apoteker Pendidik
(Pengajar), tim komite revisi ini merupakan kolaborator
yang tak kenal lelah yang membuat U.S.P. menjadi lebih
baik dan lebih dijadikan standar dalam bidang farmasi.
99
Gambar 2.33 Ilustrasi Komite Revisi Farmakope Amerika
8. The Standarization of Pharmaceuticals
Meskipum keterampilan profesional dan integritas
apoteker abad ke-19, yang kadang melakukan dua
persiapan obat herbal memiliki kekuatan yang sama,
meskipun disiapkan oleh proses yang sama. Tumbuhan
obat memiliki kandungan kimia (terutama alkaloid dan
glikosida aktif) yang sangat bervariasi. Jawaban pertama
untuk masalah ini datang ketika Parke, Davis & Company
memperkenalkan “Liquor Ergotae Purificatus”
terstandar pada tahun 1879.
100
Gambar 2.34 Ilustrasi Dr. Albert Brown Lyons mengembangkan metode pengujian yang akurat yang disaksikan dan diakui oleh Parke-Davis
Dr. Albert Brown Lyons sebagai “the firm’s Chief
Chemist” yang mengembangkan metode pengujian yang
akurat terutama metode uji alkaloid. Parke dan Davis
mengakui karyanya dan dijadikan rujukan untuk
standarisasi obat-obatan herbal. Pada tahun 1883,
Parke-Davis mengumumkan daftar dua puluh “normal
liquids” terstandarisasi dan juga mempelopori dalam
mengembangan standar farmakologi dan fisiologi untuk
farmasi (pharmaceuticals).
9. Wresting the Jungle’s Secrets
Ekspedisi pencarian tumbuhan obat baru telah
dilakukan sejak farmasi itu ada. Petualang ilmiah seperti
Henry Hurd Rusby (1855 – 1940), membuka cakrwala
101
baru yang sangat luas untuk kemajuan Farmasi dan
Kedokteran diakhir abad ke-19. Dia dibesarkan di
Franklin (sekarang Nutley) New Jersey, seorang dokter
yang sangat tertarik pada tanaman terutama tumbuhan
yang dapat berfungsi obat. Dia bergabung pada “the
Torrey Botanical Club” pada tahun 1879 yang pada saat
itu belajar ilmu kedokteran di Sekolah Kedokteran di
Universitas New York.
Pada tahun 1880, ketika masih menjadi seorang
mahasiswa kedokteran, ia menghabiskan 18 bulan untuk
mengumpulkan tanaman di Texas dan New Mexico
untuk Smithsonian Institution. Pada tahun 1883 ia
kembali ke barat daya untuk belajar dan mengumpulkan
tumbuhan obat Arizona untuk Parke-Davis & Co. Pada
tahun 1884, ia lulus dengan gelar di bidang kedokteran,
dan pada tahun berikutnya ia memulai ekspedisi selama
dua tahun untuk Parke, Davis & Co, melintasi Amerika
Selatan dan menjelajahi daerah terpencil Kolombia,
Ekuador, Peru, Chile, Bolivia, dan Brazil. Dan ia kembali
dengan sekitar 45.000 spesimen botani dan diantaranya
banyak tanaman obat baru.
102
Gambar 2.35 Ilustrasi ekspedisi Professor Henry Hurd Rusby (1855 – 1940)
Meskipun dilatih sebagai dokter, Henry Hurd Rusby
memilih untuk meninggalkan kedoteran karena minat-
nya pada tanaman. Pada tahun 1889 menjadi Professor
Botani dan Materia Medica di Sekolah Farmasi di
Universitas Columbia, menjadi Dekan Fakultas Farmasi
selama 26 tahun hingga pensiun pada tahun 1930 dan
dekan emeritus sampai kematiannya pada tahun 1940.
10. Stanislas Limousin – Pharmacal Inventor
Salah satu dari orang-orang yang luar biasa
memiliki bakat dalam menggabungkan pengetahuan
ilmiah dengan keterampilan teknis dan bakat daya cipta
yang jenius adalah seorang apoteker ritel Perancis yaitu
Stanislas Limousin (1831 – 1887). Di antara banyak
peralatan dan perangkat alat yang diperkenalkan ke
Farmasi dan Kedokteran seperti alat penetes obat,
103
sistem pewarnaan racun, cangkang kapsul (yang
diproduksi dari gelatin). Selain kontribusi terbesar
tersebut, juga melakukan pengembangan dan
penyempurnaan peralatan untuk inhalasi dan jalur
terapi oksigen, penemuan ampul kaca yang bisa disegel
dan disterilkan untuk menjaga larutan sediaan tetap
steril untuk digunakan secara injeksi.
Gambar 2.36 Ilustrasi Stanislas Limousin
11. Era Vaksin atau The Era of Biologicals
Vaksin menerobos dunia modern pertama kali pada
tahun 1796, ketika Edward Jenner, seorang dokter dari
Inggris, meneliti seorang pekerja harian yang terkena
penyakit cacar, dengan diimunisasi dengan cacar sapi
ringan. Dia mengambil beberapa cairan dari luka
penderita cacar sapi dan menggoreskan di permukaan
lengan anak berusia 8 tahun. Empat pulah delapan (48)
104
hari kemudian Jenner memberi nama “vaksin” (bahasa
latin dari Sapi).
Terobosan baru lainnya datang pada akhir abad 19,
ketika Louis Pasteur seorang ahli kimia dari Perancis,
mengembangkan tehnik kimia untuk mengisolasi virus
dan melemahkannya, yang efeknya dapat dipakai
sebagai vaksin. Sebelum vaksinasi memancing
kontroversi. Pasteur pertama kali mencatat,
memasukkan vaksin rabies ke tubuh manusia yang
mendapat protes keras oleh ahli jiwa dan masyarakat.
Upaya untuk menggalakkan imunisasi di Inggris
yang menurun pada abad tersebut merupakan
kenyataan pahit akibat dari penentangan/protes
terhadap imunisasi. Meskipun Inggris menghadapi
resiko serius terhadap penyakit Tipus yang mewabah di
medan perang Boer (Afrika Selatan).
Behring dan Roux mengumumkan efektivitas
antitoksin difteri pada tahun 1894, ilmuan farmasi baik
di Eropa dan di Amerika berlomba-lomba untuk
memproduksi penemuan baru tersebut. Parke, Davis &
Co merupakan salah satu pelopor. Serum menjadi
tersedia pada tahun 1895 dan kehidupan anak-anak
diselamatkan. Seperti pada Gambar 2.34 diatas dimana
vaksin diperoleh dengan melakukan inokulasi pada kuda
dengan toksin difteri yang merupakan tahap awal untuk
produksi antitoksin dalam jumlah besar.
Pada perubahan jaman ini, peneliti lainnya telah
mengembangkan vaksin yang tidak aktif untuk melawan
Tipus, wabah Rabies dan Kolera. Pada pertengahan
105
tahun 1920-an, vaksin telah dikembangkan untuk
melawan Dipteri (penyakit yang sering menyebabakan
kematian pada anak-anak) dan Pertusis.
Gambar 2.37 Ilustrasi The Era of Biologicals
12. Pengembangan Kemoterapi
Salah satu peneliti yang sukses dalam pengemba-
ngan senyawa kimia baru yang khusus diciptakan untuk
melawan organisme penyebab penyakit dalam tubuh
adalah seorang Apoteker Perancis yang bernama Ernest
Francois Auguste Fourneau (1872-1949), yang selama 30
tahun menuju laboratorium kimia yang paling terkenal
di dunia yaitu Pasteur Institute di Paris. Memulai bekerja
dengan mengkaji senyawa bismuth dan arsen untuk
pengobatan sifilis. Beliau memecahkan spesifik the
German Secrect untuk penyakit tidur. Selain itu, Ernest
Fourneau merupakan pendiri Kimia Medisinal Perancis,
106
Kepala laboratorium departemen Kimia Farmasi di
Institute Pasteur, menjadi direktur lembaga penelitian
ilmiah yang didirikan oleh Rhone-Poulenc (1946-1949),
dia bertanggung jawab dalam hal penemuan senyawa
Stovaine (namanya di Inggriskan oleh penemunya)
sebagai obat sintesis pertama untuk anestesi lokal,
pengembangan Stovarsol, antisyphilitique dari derivat
arsenik, dan penjelasan struktur 205 dari Bayer, yang
efektif melawan penyakit tidur.
Gambar 2.38 Ilustrasi aktivitas penelitian untuk pengembangan obat kemoterapi
13. Penelitian Kefarmasian
Penelitian yang dilakukan dalam beberapa bentuk
seiring dengan perkembangan Farmasi dari zaman ke
zaman. Namun, penelitian tentang kimia sintesis
antipyrine pada tahun 1883 yang memberi dorongan
107
dan inspirasi untuk pencarian secara intensif untuk
senyawa sintetik yang bermanfaat untuk terapi. Dimulai
di Jerman, yang mendominasi lahan ini sampai perang
Dunia Pertama, keunggulan di dalam melakukan
penelitian kefarmasian kemudian diikuti oleh penelitian
farmasi di Amerika Serikat.
Penelitian Kefarmasian telah berkembang dengan
sendirinya pada tahun 1930-an dan awal 1940-an sejak
didukung oleh industri farmasi, universitas, dan
pemerintah. Sekarang digunakan teknik dan personil
terlatih dari setiap cabang ilmu dalam pencarian obat
baru sebagai produk obat life-saving dan live-giving.
Gambar 2.39 Ilustrasi kegiatan Penelitian Kefarmasian
14. Era Industri Farmasi
Manufaktur farmasi sebagai sebuah industri selain
farmasi retail berawal sekitar 1600; benar-benar mulai
108
beroperasi secara besar-besaran pada pertengahan
1700-an. Industri Farmasi pertama dikembangkan di
Jerman, kemudian di Inggris dan di Perancis.
Di Amerika, industri farmasi merupakan hasil
lahirnya perang revolusi, dan perang semakin besar dan
merupakan perang saudara terbesar. Amerika menjadi
merdeka/independen dari Eropa selama Perang Dunia I
dan setelah perang Dunia II. Memanfaatkan kemajuan
teknis terbaru dari setiap cabang ilmu, manufaktur
farmasi sebagai sebuah industri secara ekonomi terus
mengembangkan dan memproduksi obat-obat terbaru
dan terbesar dalam jumlah besar, sehingga dimana-
mana dokter meresepkan obat-obat tersebut dan
apoteker yang melakukan dispensing untuk kepentingan
seluruh umat manusia.
Gambar 2.40 Ilustrasi Manufaktur Farmasi sebaga Industri
109
15. Era Antibiotik
Antibiotik bukanlah sesuatu yang baru. Kajian
tentang aktivitas antibiotik pertama kali terlihat oleh
Pasteur pada tahun 1877. Namun, pada kuartal kedua
abad ke-20 menandai kebangkitan era antibiotik, sebuah
gebrakan baru dan dramatis dalam memproduksi obat
untuk melawan penyakit. Penemuan penisilin oleh
Fleming pada tahun 1929 yang pada waktu itu belum
berkembang dan kemudian Florey dan Chain
mempelajarinya pada tahun 1940. Dibawah tekanan
perang dunia II, manufaktur farmasi sebagai sebuah
industri terus beradaptasi secara cepat untuk
menemukan metode produksi secara massal terhadap
antibiotik penisilin, dengan metode ini telah berhasil
mengurangi biaya produksi 1 berbanding 1000 dengan
metode aslinya. Penemuan antibiotik terus berkembang
pesat pada tahun 1940-an. Penelitian intensif terus
dilakukan untuk menemukan antibiotik yang akan
melawan mikroba-mikroba penyebab penyakit.
110
Gambar 2.41 Ilustrasi penelitian dan produksi obat antibiotik
16. Era Farmasi Masa Sekarang dan Hari Esok
(Pharmaceutical care/patient care era menuju ke
Health care/Social care Era)
Farmasi, dengan warisan dari 50 abad pelayanan
kepada umat manusia, telah lahir menjadi sebuah
profesi yang besar dan diakui. Seperti halnya dengan
Kedokteran, Farmasi telah lahir melalui banyak revolusi,
telah belajar tentang banyak hal, dan telah
menanggalkan banyak cara yang sudah tua atau tidak
relevan lagi dengan kondisi saat ini. Apoteker
merupakan orang-orang yang berpendidikan terbaik
diantara masyarakat.
Ketika apoteker ritel hari ini melayani resep yang
ditulis oleh dokter, apoteker menyediakan layanan yang
profesional yang dilengkapi dengan manfaat hasil karya
apoteker dari semua cabang profesi yang ditekuni mulai
111
dari pendidikan, penelitian dan pengembangan,
standarisasi, produksi, dan distribusi. Sosok profesi
apoteker akan terus tumbuh di masa akan datang dari
preceptor ke apprentice/volunter, dari guru ke siswa,
dari ayah ke anak.
Gambar 2.42 Ilustrasi Farmasi dari masa ke masa
3.3 Referensi
1. Distelzweig P, Goldberg B, & Ragland ER. 2016. History,
Phylosophy, and Theory of Life Sciences: Early Modern
Medicine and Natural Philosophy. Springer. Dordrecht.
Heidelberg. New York. London.
2. Fathelrahman AI, Ibrahim MIM, & Wertheimer AI. 2016.
Pharmacy Practice in Developing Country. Achievements
and Challenges. Penerbit: Academic Press Elsevier.
Amsterdam. Boston. Heilelberg. London. New York.
112
Oxford. Paris. San Diego. San Francisco. Singapore.
Sydney. Tokyo.
3. Heinrich M, Barnes J, Gibbons S, & Williamson EM. 2010.
Farmakognosi dan Fitoterapi. (Terjemahan dengan Judul
Asli Fundamental of Pharmacognosy and Phytotherapy.
Alih Bahasa: Winny R. Syarief, Cucu Aisyah, Ella Elviana,
dan Euis Rachmiyani Fidiasari). Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta
4. Bender GA. 2007. A History of Pharmacy in Pictures.
College of Pharmacy History, College of Pharmacy,
Washington State University: Copyright Parke, Davis &
Company
5. Rumate FA. 2004. Kajian Pustaka Farmasi. Jurusan
Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Hasanuddin, Makassar
6. Griffenhagen GB. 2002. Great Moments in Pharmacy:
Development of the Robert Thom Series Depicting
Pharmacy’s History. Journal of the American
Pharmaceutical Association. Vol. 52 (2). 170-182
7. Homan PG, Hudson B, & Rowe RC. 2007. Popular
Medicines: An Illustrated History. Pharmaceutical Press.
London
8. Flannery MA. 1984. Civil War Pharmacy: A History of
Drugs, Drug Supply and Provision, and Therapeutics for
the Union and Confederacy. Pharmaceutical Products
Press. New York. London. Oxford
9. Sparavigna AC. 2013. The Science of Al-Biruni.
Department of Applied Science ant Technology,
Politecnico di Torino, Italy.
113
10. Gustavo LB. The Arab Civilization. Diakses pada 27
Desember 2016
http://www.alhewar.org/ArabCivilization.htm
11. Anonim. 2000. Sejarah Penemuan Vaksin. PT Bio Farma.
Diakses pada tanggal 24 Desember 2016 di website:
http://www.bumn.go.id/biofarma/berita/3146/Sejarah.
Penemuan.Vaksin.CQ.Researcher
12. Williams DE, & Fraser SM. 1992. Henry Hurd Rusby: The
father of economic botany at the New York Botanical
Garden. Brittonia. Vol. 44 (3). hal. 273–279
13. Patra K. 1988. 60 Tahun Dr. Midian Sirait, Pilar-Pilar
Penopang Pembangunan di Bidang Obat. Penerbit P.T.
Priastu. Jakarta.
14. Razak DA. 2010. Perkembangan Farmasi di Eropa dan
Barat. Pusat Racun Negara. USM. Malaysia.
15. Razak DA. 2009. Perkembangan Sejarah Awal Farmasi
Pengaruh Arab dan Islam. Pusat Racun Negara. USM.
Malaysia.
16. As-Sirjani R. 2012. Sumbangan Peradaban Islam pada
Dunia. Penerbit Pustaka Al-Kautsar. Jakarta
114
115
BAB 4 SEJARAH PERKEMBANGAN FARMASI
DI INDONESIA
4.1 Pengantar
Sejarah kefarmasian di Indonesia tidak dapat dipisahkan
dari sejarah tradisi pengobatan di dunia. Tradisi ini telah
berjalan ribuan tahun bahkan diperkirakan telah bersamaan
dengan keberadaan manusia di alam semesta. Pengetahuan
tabib dan pengobatan berkembang di Yunani, Mesir, Cina, India,
dan berbagai wilayah di Asia termasuk di Indonesia. Dengan
sumberdaya alam yang melimpah membuat orang-orang
terdahulu banyak mewariskan tradisi-tradisi melalui
pemanfaatan sumber daya alam dalam hal ini pemanfaatan
tumbuh-tumbuhan sebagai obat yang lebih dikenal dengan
“JAMU”.
Namun, pengetahuan farmasi sebagai profesi di
Indonesia sebenarnya relatif masih “muda” dan baru
berkembang secara berarti setelah masa kemerdekaan. Pada
masa penjajahan, baik pada masa pemerintahan Hindia Belanda
maupun masa pendudukan Jepang, kefarmasian di Indonesia
pertumbuhannya sangat lambat dan profesi farmasi masih
belum dikenal secara luas oleh masyarakat.
Sampai proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia,
tenaga-tenaga farmasi Indonesia pada umumnya terdiri dari
asisten apoteker dengan jumlah relatif sangat sedikit. Tenaga-
116
tenaga apoteker pada masa penjajahan umumnya berasal dari
Denmark, Austria, Jerman, dan Belanda.
4.2 Pada Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaan
Tonggak sejarah kefarmasian di Indonesia pada
dasarnya diawali dengan pendidikan asisten apoteker pada
masa pemerintahan Hindia Belanda. Pendidikan asisten
apoteker mulai dilakukan di tempat kerjanya yaitu di apotek
oleh apoteker yang mengelola dan memimpin sebuah apotek.
Setelah calon asisten apoteker telah bekerja dalam jangka
waktu tertentu di apotek dan dinggap memenuhi syarat, maka
diadakan ujian pengakuan yang diselenggarakan oleh
pemerintah Hindia Belanda.
Menurut catatan yang ada, asisten apoteker warga
Negara Belanda lulusan Indonesia yang pertama adalah pada
tahun 1906 yang diuji di Surabaya. Warga negara Indonesia asli
tercatat sebagai lulusan pertama pada tahun 1908 yang diuji di
Surabaya dan lulusan kedua terjadi pada tahun 1919 yang diuji
di Semarang.
Dari buku Verzameling Voorschrifen tahun 1936 yang
dikeluarkan oleh DVG dapat diketahui bahwa Sekolah Asisten
Apoteker didirikan dengan Surat Keputusan Pemerintah Hindia
Belanda tanggal 7 Oktober 1918 nomor 38, yang kemudian
diubah dengan surat keputusan tanggal 28 Januari 1923 nomo
15 (stb. No.50) dan 28 Juni 1934 nomor 45 (stb 392) dengan
nama “Leergang voor de opleiding van apotheker-bedienden
onder den naam van apothekers-assistenschool”.
Peraturan ujian Asisten Apoteker dan persyaratan izin
kerja diatur dalam surat keputusan Kepala DVG tanggal 16
117
Maret 1933 nomor 8512/F yang kemudian diubah lagi dengan
surat keputusan tanggal 8 September 1936 nomor 27817/F dan
tanggal 6 April 1939 nomor 11161/F. Dalam peraturan tersebut
antara lain dinyatakan bahwa persyaratan untuk menempuh
ujian asisten apoteker ialah harus berijazah Mulo bagian B, surat
keterangan bahwa calon telah melakukan pekerjaan
kefarmasian secara terus menerus selama 20 tahun dibawah
pengawasan seorang apoteker di Nederland atau di Indonesia
yang memimpin sebuah apotek atau telah mengikuti pendidikan
asisten apoteker di Jakarta. Dengan adanya peraturan itu pula
maka ujian hanya diselenggarakan di Jakarta, tidak lagi di
Surabaya dan Semarang. Setelah didirikan Sekolah Asisten
Apoteker tersebut, lulusan asisten apoteker sedikit meningkat
rata-rata 15 orang setahun bahkan pada tahun 1941 tercatat
lulusan asisten apoteker sebanyak 23 orang. Sebelum dibentuk
sekolah tersebut setahun rata-rata hanya 5 orang yang
kesemuanya berasal dari pendidikan praktek di apotek.
Sekitar tahun 1930-an ditetapkan beberapa peraturan
perundang-undangan kefarmasian yang cukup penting antara
lain:
1. Undang Undang Obat Bius tanggal 12 Mei 1927 (ST 1927
No 278) diubah dengan St 1949 No. 335.
2. Ordonasi Loodwit tanggal 21 Desember 1931 nomor 28
(stb. 509)
3. Ordnasi Pemeriksaan Bahan-Bahan Farmasi tanggal 12
Desember 1936 No 19 (Stb No. 660).
Pada masa penjajahan Hindia Belanda sampai perang
kemerdekaan jumlah pabrik farmasi maupun apotek sangat
sedikit sekali. Pabrik farmasi yang tercatat pada periode itu
118
antara lain ialah Pabrik Kina dan Institut Pasteur yang
memproduksi sera dan vaksin, keduanya di Bandung serta
Pabrik Obat Manggarai di Jakarta. Sedangkan apotek pada
umumnya hanya terdapat di Jawa dan beberapa kota besar di
Sumatra. Pada tahn 1937 jumlah apotek di seluruh Indonesia
tercatat 76 apotek. Fungsi apotek pada periode itu disamping
melakukan peracikan dan penyerahan obat melakukan pula
produksi dan distribusi obat.
Pada sekitar Perang Dunia II terutama ketika invasi
Jepang sudah mendekati Indonesia, tenaga-tenaga apoteker
banyak melarikan diri ke Australia seingga mengakibatkan
banyak apotek kehilangan pimpinan.
Adanya kenyataan ini maka pada tahun 1944 Gubernur
Jenderal Hindia Belanda mengeluarkan suatu peraturan yang
memberikan hak kepada seorang dokter untuk memimpin
sebuah apotek yang ditinggalkan apotekernya, disamping
peraturan apotek-dokter yang telah ada yang memperbolehkan
seorang dokter untuk membuka apotek-dokter di daerah yang
belum mempunyai apotek.
Pada zaman pendudukan Jepang mulai dirintis
pendidikan tinggi farmasi di Indonesia dan dapat diresmikan
pada tanggal 1 April 1943 dengan nama Yakugaku sebagai
bagian dari Jakarta Ika Daigaku. Pada tahun 1944 Yakugaku
menjadi Yaku Daigaku. Setelah Jepang kalah perang dengn
sekutu dan diproklamasikannya kemerdekaan Negara Republik
Indonesia, pendidikan tinggi farmasi ini bubar dan segenap
mahasiswanya berjuang untuk menegakkan kemerdekaan dan
kedaulatan negara yang baru diproklamasikannya. Sementara
itu pada tahun 1944, pemerintah pendudukan Jepang
119
melakukan pendidikan asisten apoteker dengan masa
pendidikan selama 8 bulan dan siswa berasal dari lulusan SMP.
Sampai waktu pemerintahan Jepang jatuh telah dihasilkan dua
angkatan dengan jumlah yang sangat sedikit.
Di sekitar perang kemerdekaan yakni pada tanggal 27
September 1946 dibuka Perguruan Tinggi Ahli Obat di Klaten
yang kemudian menjadi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah
Mada yang ada dewasa ini. Satu tahun kemudian yakni pada
tanggal 1 Agustus 1947 di Bandung diresmikan Jurusan Farmasi
di Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam Universitas Indonesia yang
kemudian menjadi Departemen Farmasi ITB atau Sekolah
Farmasi ITB yang sekarang ini. Kedua Lembaga Pendidikan Tinggi
Farmasi yang didirikan pada masa perang kemerdekaan ini
dalam perkembangan kefarmasian di Indonesia selanjutnya
mempunyai peranan yang penting.
Pada masa perang kemerdekaan ini terutama menjelang
penyerahan kedaulatan ada beberapa peraturan perundang-
undangan kefarmasian yang penting antara lain ialah:
1. Reglement DVG Stb No. 228 (merupakan perubahan
Reglement DVG Stb no. 97)
2. Ordonasi Bahan Bahan Berbahaya tanggal 9 Desember
1949 No. 377.
3. Undang Undang Obat Keras tanggal 22 Desember 1949
(Stb.419).
4.3 Periode Setelah Perang Kemerdekaan sampai dengan
Tahun 1958
Pada periode ini jumlah tenaga farmasi terutama tenaga
asisten apoteker mulai bertambah dalam jumlah relatif lebih
120
besar. Pada tahun 1950 di Jakarta dibuka Sekolah Asisten
Apoteker (SAA) Negeri/Republik yang pertama, dengan jangka
waktu pendidikan selama 2 tahun. Lulusan angkatan pertama
dari SAA ini tercatat sekitar 30 orang. Sementara itu jumlah
apoteker juga mengalami peningkatan baik yang berasal dari
pendidikan di luar negeri maupun lulusan dari dalam negeri.
Pada tanggal 5 September 1953, Bagian Farmasi Fakultas
Kedokteran, Kedokteran Gigi, dan Farmasi UGM untuk pertama
kali menghasilkan 2 orang apoteker. Sekitar satu setangah tahun
kemudian bagian Farmasi Intitut Teknologi Bandung
menghasilkan apoteker pertama yakni pada tanggal 2 April
1955.
Pada tahun 1953 pemerintah mengeluarkan Undang-
Undang nomor 3 tentang Pembukaan Apotek karena
kekurangan tenaga Apoteker pada masa itu. Sebelum
dikeluarkannya Undang Undang nomor 3 tersebut, untuk
membuka apotek boleh dilakukan dimana saja dan tidak
diperlukan izin dari Pemerintah, dengan adanya peraturan
tersebut maka Pemerintah dapat menutup/moratorium pada
kota-kota tertentu untuk mendirikan apotek dan hanya
diberikan untuk daerah-daerah yang belum ada atau belum
memadai jumlah apoteknya. Undang-Undang nomor 3 tersebut
kemudian diikuti keluarnya Undang-Undang nomor 4 tahun
1954 tentang Apotek Darurat yang membenarkan seorang
asisten apoteker untuk memimpin sebuah apotek. Undang-
Undang tentang Apotek Darurat ini sebenarnya harus berakhir
pada tahun 1958 karena ada klausul yamg termaktub dalam
Undang-Undang tersebut yang menyebutkan bahwa Undang-
Undang tersebut tidak berlaku lagi 5 tahun setelah apoteker
121
pertama dihasilkan oleh Perguruan Tinggi Farmasi di Indonesia.
Tetapi karena lulusan apoteker ternyata sangat sedikit, Undang-
undang Apotek Darurat tersebut diperpanjang sampai tahun
1963 dan perpanjangan tersebut berdasarkan surat keputusan
Menteri Kesehatan tanggal 29 Oktober 1983 nomor
770/Ph/63/b.
Pada periode ini, terutama sekitar tahun 1955 tercatat
beberapa sejarah kefarmasian yang cukup penting yakni
lahirnya Ikatan Apoteker Indonesia sebagai hari Muktamar ke-1
yang diselenggarakan pada tanggal 17-18 Juni di Jakarta. Pada
tahun itu pula tepatnya pada tanggal 19-23 Desember 1955 di
Kaliurang Yogyakarta diselenggarakan Konferensi Antar
Mahasiswa Farmasi seluruh Indonesia yang pertama dan
melahirkan MAFARSI. Perkembangan lain dalam dunia
pendidikan farmasi ialah berdirinya Jurusan Farmasi UNPAD
pada tahun 1957.
Menurut data yang ada pada thun 1955 jumlah apoteker
tercatat 108 orang, asisten apoteker 1218 orang, apotek 131
dan Pabrik Obat sebanyak 7 pabrik, Pada tahun 1958 jumlah
tersebut bertambah menjadi: apoteker 132 orang, asisten
apoteker 1613 orang, apotek 146 dan pabrik obat sebanyak 18
pabrik.
4.4 Periode Tahun 1958 sampai 1967
Pada periode 1958 sampai 1967, meskipun upaya untuk
memproduksi obat telah banyak dirintis, pada kenyataanya
industri-industri farmasi menghadapi hambatan dan kesulitan
yang cukup berat antara lain kekurangan devisa dan terjadinya
sistem penjatahan bahan baku obat sehingga industri yang
122
dapat bertahan hanyalah industri yang memperoleh bagian
jatah atau mereka yang mempunyai relasi dengan luar negeri.
Pada periode ini, terutama antara tahun 1960-1965 hanya dapat
berproduksi sekitar 30% dari kapasitas produksinya. Oleh karena
itu, penyediaan obat menjadi sangat terbatas dan sebagian
besar berasal dari impor. Sementara itu, karena pengawasan
belum dapat dilakukan dengan baik maka banyak terjadi kasus-
kasus bahan baku maupun obat jadi yang tidak memenuhi
persyaratan standar.
Di sekitar tahun 1960-1965 beberapa peraturan
perundang-undangan yang penting dan berkaitan dengan
kefarmasian yang dikeluarkan oleh Pemerintah antara lain ialah:
Undang-Undang nomor 9 tahun 1960 tentang Pokok-
Pokok Kesehatan
Undang-Undang nomor 10 tahun 1961 tentang Barang.
Undang-Undang nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
Undang-Undang nomor 6 tahun 1963 tentang Tenaga
Kesehata.
Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 1965 tentang
Apotek
Pada periode ini, ada hal penting yang patut dicatat
dalam sejarah kefarmasian di Indonesia yakni berakhirnya
Apotek Dokter dan Apotek Darurat. Dengan Surat Keputusan
Menteri Kesehatan tanggal 8 Juni 1962 nomor 33148/Kab/176
antara lain ditetapkan:
Tidak dikeluarkan lagi izin baru untuk pembukaan
apotek dokter.
123
Semua izin apotek Dokter dinyatakan tidak berlaku lagi
sejak tanggal 1 Januari 1963.
Sedangkan berakhirnya Apotek Darurat ditetapkan
dengan Surat Keputusan Menteri tanggal 29 Oktober 1963 nmor
770/ph/63/b yang isinya antara lain:
Tidak dikeluarkan lagi izin baru untuk pembukaan
Apotek Darurat.
Semua izin Apotek Darurat di Ibukota Daerah Tingkat I
dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 1 Februari
1964.
Semua izin Apotek Darurat di Ibukota Daerah Tingkat II
dan kota-kota lainnya dinyatakan tidak berlaku lagi sejak
tanggal 1 Mei 1964.
Pada tahun 1963, sebagai realisasi Undang-Undang
Pokok Kesehatan telah dibentuk Lembaga Farmasi Nasional
(LFN) (SK Menkes tanggal 11 Juli 1963 nomor 39521/Kab/199).
Dengan demikian pada waktu itu, ada dua instansi Pemerintah
dibidang kefarmasian yakni Direktorat Urusan Farmasi dan LFN.
Direktorat Urusan Farmasi (semula Inspektorat Farmasi) pada
tahun 1967 mengalami pemekaran organisasi menjadi
Direktorat Jenderal Farmasi.
Pada periode 1958-1967 tenaga farmasi baik apoteker
maupun asisten apoteker semakin meningkat jumlahnya. Pada
periode ini telah didirikan lagi 5 jurusan/Fakultas Farmasi Negeri
dan beberapa Fakultas Farmasi Swasta. Pada tahun 1966 setelah
pecah pemberontakan G.30.SPKI jumlah apoteker diseluruh
Indonesia tercatat 1011 orang, AA sebanyak 5180 orang, apotek
585 dan Industri Farmasi 109 pabrik.
124
4.5 Periode jaman Orde Baru
Pada masa pemerintahan Orde Baru stabilitas politik,
ekonomi, dan keamanan yang telah semakin mantap sehingga
pembangunan di segala bidang telah dapat dilaksanakan dengan
lebih terarah dan terencana. Pembangunan kesehatan sebagai
bagian integral pembangunan Nasional, secara bertahap dapat
ditingkatkan sejak Repelita I hingga Repelita III dengan hasil
yang cukup menggembirakan.
Keberhasilan pembangunan ekonomi dan pembangunan
kesehatan pada sisi lain mempunyai dampak positif terhadap
perkembangan kefarmasian di Indonesia. Industri farmasi secara
bertahap sejak Repelita I sampai sekarang ini telah dapat
tumbuh dan berkembang secara mantap dengan jaringan
distribusi yang cukup luas. Pada periode Orde Baru pula,
pengaturan pengendalian dan pengawasan dibidang
kefarmasian telah ditata dan dilaksanakan dengan baik.
Sampai tahun pertama Repelita, sebagian bsear (80%)
kebutuhan obat nasional kita masih sangat tergantung pada
impor. Keadaan ini jelas tidak menguntungkan dan mempunyai
dampak negatif terhadap upaya peningkatan derajat kesehatan
rakyak. Oleh karena itu, kebijakan obat pada Repelita I
dititikberatkan pada produksi obat jadi dalam negeri dengan
membuka kesempatan investasi, baik modal dalam negeri
maupun modal asing. Dengan adanya kebijakan ini maka pada
akhir Repelita I industri farmasi dalam negeri dapat tumbuh
dengan peningkatan produksi yang cukup besar sehingga
ketergantungan akan impor dapat dikurangi.
125
4.6 Periode Jaman Reformasi sampai Saat Ini
Setelah runtuhnya pemerintahan jaman orde baru
digantikan oleh era Reformasi, kondisi dunia farmasi di Era
Reformasi banyak mengalami perkembangan seiring dengan
peningkatan dan perluasan bidang pekerjaan kefarmasian di
luar negeri. Sejak di gaungkan istilah Pharmaceutical Care di luar
negeri pada tahun 1980, namun baru mulai disuarakan pada
awal tahun 2000 di Indonesia. Maka, pembenahan dimulai pada
sistem pendidikan dimana kurikulum mulai di arahkan ke arah
patient-oriented dengan menambah mata kuliah
terapan/aplikasi terkait pelayanan kefarmasian.
Pengembangan kurikulum berbasis pharmacy practice
juga semakin berkembang dengan adanya beberapa lembaga
pendidikan yang membuka program studi farmasi klinik mulai
dari level sarjana farmasi maupu sampai level pascasarjana.
Selain itu, dengan dibentuknya asosiasi pendidikan tinggi
farmasi indonesia disingkat APTFI yang mulai dibentuk pada
tahun 2000 oleh wakil-wakil institusi pendidikan tinggi pada
Kongres Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia atau disingkat ISFI
(yang sekarang berubah menjadi ikatan apoteker indonesia atau
disingkat IAI). Dengan harapan bahwa melalui asosiasi ini dapat
terjalin komunikasi antara institusi pendidikan tinggi terutama
dalam hal keseragaman standar minimal lulusan yang dihasilkan
dan sekaligus sebagai wadah pembinaan bagi institusi yang
masih tertinggal atau berkembang.
Pada bidang pemerintahan, sejak tahun 2005, sistem
keuangan dan pasokan sistem publik untuk obat-obatan telah
mengalami perubahan besar dimana faktor utamanya adalah
desentralisasi sistem pemerintahan. Ini termasuk desentralisasi
126
pelayanan kesehatan masyarakat yang berada dibawah sistem
pemerintahan tingkat pemerintah kabupaten sejak tahun 2001,
pembentukan skema Askeskin/Jamkesmas untuk orang miskin,
pemisahan Badan Pengawas Obat dan Makanan dari
kementerian kesehatan sebagai lembaga independen.
Menyebabkan kebutuhan tenaga farmasi semakin meningkat
dari berbagai instansi (dinas kesehatan, puskesmas, rumah sakit,
laboratorium kesehatan daerah, dan instansi lain yang terkait).
Pada tahun 2013, sejak diberlakukan sistem Jaminan
Kesehatan Nasional melalui Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) masih menyisakan banyak masalah terkait peran
dan fungsi apoteker secara professional. Pada sektor swasta,
terutama apotek dan PBF juga mengalami banyak perubahan
signifikan terkait peran apoteker dimana mulai diterapkan no
pharmacist no services.
Telah mulai diberlakukan sistem uji kompetensi
apoteker sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah No.
51/2009 tentang pekerjaan kefarmasian yang bertujuan untuk
menjamin kompetensi minimal apoteker siap bekerja,
menyiapkan apoteker siap teregister, sebagai pegangan bagi
apoteker, dan perlindungan hukum bagi masyarakat dan
apoteker. Sertifikasi kompetensi profesi apoteker (disingkat
SKPA) yang merupakan proses pemberian keterangan sebagai
pengakuan oleh Ikatan Apoteker Indonesia sebagai organisasi
profesi apoteker bahwa seorang apoteker dinilai telah
memenuhi standar kompetensi yang telah ditetapkan dan
diterbitkan oleh Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), berdasarkan
Permenkes No. 889/2011 yang menyebutkan bahwa sertifikat
kompetensi dikeluarkan oleh organisasi profesi. Sertifikat
127
kompetensi berlaku selama 5 tahun, setelah itu dapat
diperpanjang apabila apoteker masih ingin melakukan praktek
sebagai apoteker. Selain itu, sertifikat kompetensi akan
digunakan sebagai syarat untuk menerbitkan surat tanda
registrasi apoteker (STRA) yang dikeluarkan oleh Komite Farmasi
Nasional (KFN) yang juga baru dibentuk oleh pemerintah
dibawah kementerian kesehatan pada era reformasi ini.
Setelah memperoleh sertifikat kompetensi dan surat
tanda registrasi apoteker (STRA), seorang apoteker sudah
dinyatakan layak dan legal secara hukum untuk melakukan
pekerjaan kefarmasian di Indonesia. Selain itu, juga bertujuan
untuk keseragaman kompetensi dasar yang wajib dimiliki oleh
lulusan apoteker dari berbagai perguruan tinggi sebelum
melakukan pekerjaan kefarmasian dan juga yang terpenting
adalah sebagai alat proteksi bagi serbuan tenaga-tenaga
kefarmasian dari luar negeri untuk masuk bekerja di Indonesia.
Pada institusi pendidikan farmasi, hingga tahun 2016
terdapat sejumlah 28 perguruan tinggi yang berhak
menyelenggarakan pendidikan apoteker. Pada tiap semester,
tiap institusi menerima sebanyak 100 orang mahasiswa calon
apoteker maka jumlah total apoteker baru setiap tahun adalah
5800. Dari total 127 prodi farmasi, terdapat total 46 program
studi farmasi yang telah berakreditasi A dan B.
DIKTI mempersyaratkan akreditasi minimal B pada
program S1 untuk penyelenggara pendidikan apoteker. Dengan
demikian pada akhir tahun 2017 jika ijin penyelenggaraan
selesai akan ada tambahan 17 institusi baru penghasil apoteker.
Maka sejumlah 9200 apoteker baru akan lahir tiap tahun mulai
tahun 2018. Sehingga rasio 1:2000 akan dipenuhi oleh 46
128
institusi pada 6-8 tahun ke depan termasuk dengan asumsi 10%
apoteker memasuki masa pensiun. Dengan demikian jumlah
apoteker setelah tahun 2025 mulai mengalami kejenuhan.
Sehingga jumlah progdi S1 farmasi saat ini akan menjadi
masalah pada dekade mendatang dan berpotensi melahirkan
pengangguran.
Dengan demikian kebutuhan apoteker sudah tidak
mendesak dari aspek kuantitas. Namun jaminan kualitas
pendidikan farmasi dan pemenuhan tuntutan kompetensi
terkini adalah isu besar saat ini. UU tenaga kesehatan, peraturan
standar pelayanan farmasi, peraturan pekerjaan kefarmasian
mengindikasikan apoteker adalah mitra tenaga medis.
Apoteker di klinik memiliki tuntutan kompetensi
pemilihan obat terbaik untuk pasien termasuk dimungkinkan
interaksi dengan pasien bersama klinisi. Adapun masalah-
masalah pada sebaran bisa ditanggulangi jika pemerintah betul-
betul memberlakukan masa bakti apoteker (PTT apoteker) di
seluruh Indonesia. Sedangkan kebutuhan apoteker di sektor
produksi juga tidak terlalu besar. Di Indonesia terdapat 241
industri farmasi, 465 industri obat tradisional (termasuk usaha
mikro dan makro), dan 605 industri kosmetik (berdasarkan data
dari Binfar Kemenkes, 2016) sehingga jumlah total apoteker
yang bekerja di level produksi maksimal 4640 orang saja.
Kondisi kefarmasian dan pekerjaan kefarmasian di
Indonesia akan dibahas lebih rinci pada bab selanjutnya terkait
dengan pekerjaan kefarmasian..
129
4.7 Referensi
1 Kimin A., 2016. Sejarah Moh. Kamal – Apoteker Pejuang
Kemerdekaan. Medisina. Edisi XXIV. Periode Januari –
April 2016. Halaman 18-19.
2 Fathelrahman AI, Ibrahim MIM, & Wertheimer AI. 2016.
Pharmacy Practice in Developing Country. Achievements
and Challenges. Penerbit: Academic Press Elsevier.
Amsterdam. Boston. Heilelberg. London. New York.
Oxford. Paris. San Diego. San Francisco. Singapore.
Sydney. Tokyo.
3 Rumate FA. 2004. Kajian Pustaka Farmasi. Jurusan
Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Hasanuddin, Makassar
4 Homan PG, Hudson B, & Rowe RC. 2007. Popular
Medicines: An Illustrated History. Pharmaceutical Press.
London
5 Anonim. 2000. Sejarah Penemuan Vaksin. PT Bio Farma.
Diakses pada tanggal 24 Desember 2016 di website:
http://www.bumn.go.id/biofarma/berita/3146/Sejarah.
Penemuan.Vaksin.CQ.Researcher
6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51
Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian.
7 Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Keputusan Kongres
Nasional XIII, N0.XIII/Kongres XIII/ISFI/1989 tentang
Standar Profesi Apoteker dalam Pengabdian Profesi di
Apotek.
8 Patra K. 1988. 60 Tahun Dr. Midian Sirait, Pilar-Pilar
Penopang Pembangunan di Bidang Obat. Penerbit PT.
Priastu. Jakarta.
130
9 Pane AH. 2000. Format Industri Farmasi Indonesia.
Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia. Jakarta
10 Sirait M. 1995. Pengantar Buku Gema Peraturan
Pemerintah Tahun 1980 tetang Apotek. Direktorat
Jenderal POM Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta
11 Razak DA. 2010. Perkembangan Farmasi di Eropa dan
Barat. Pusat Racun Negara. USM. Malaysia.
12 Razak, DA. 2009. Perkembangan Sejarah Awal Farmasi
Pengaruh Arab dan Islam. Pusat Racun Negara. USM.
Malaysia
131
BAB 5 PENDIDIKAN FARMASI
5.1 Pengantar
Inti dari farmasi adalah pengetahuan. Berbagai komisi
studi dalam farmasi telah menegaskan hal ini dan menyatakan
bahwa farmasi merupakan profesi yang berbasis pengetahuan.
Pengetahuan dimulai dengan studi, dan studi dimulai di Sekolah
Farmasi. Menjadi seorang apoteker/farmasis harus terus
mengikuti perkembangan terbaru dalam terapi obat, perubahan
dalam hukum/policy farmasi, dan perubahan profesi terutama
terkait perubahan orientasi farmasi.
Pendidikan Farmasi berkembang seiring dengan pola
perkembangan teknologi agar diharapkan mampu menghasilkan
produk obat yang memenuhi persyaratan dan sesuai dengan
kebutuhan. Kurikulum pendidikan bidang farmasi disusun lebih
ke arah teknologi pembuatan obat untuk menunjang
keberhasilan para anak didiknya dalam melaksanakan tugas
profesinya. Ilmu farmasi awalnya berkembang dari para tabib
dan pengobatan tradisional yang berkembang di Yunani, Timur-
Tengah, Asia kecil, Cina, dan Wilayah Asia lainnya. Mulanya
“ilmu pengobatan” dimiliki oleh orang tertentu secara turun-
temurun dari keluarganya. Bila anda sering menonton film Cina,
pasti banyak kita lihat para tabib yang mendapatkan ilmunya
dari keluarga secara turun-temurun. Itulah gambaran “ilmu
farmasi” kuno di Cina. Kalau di Yunani, yang biasanya dianggap
sebagai tabib adalah pendeta. Dalam legenda kuno Yunani,
132
Aesculapius merupakan Dewa Pengobatan dan menugaskan
Hygieia untuk meracik campuran obat yang beliau gunakan.
Kemudian, oleh masyarakat Yunani beliau disebut sebagai
apoteker (Inggris: apothecary). Sedangkan di Mesir, praktek
farmasi dibagi dalam dua pekerjaan, yaitu: yang mengunjungi
orang sakit dan yang bekerja di kuil menyiapkan racikan obat.
Buku tentang bahan obat-obatan pertama kali ditulis di Mesir
sekitar 2900 SM, kemudian sekitar tahun 400 SM berdirilah
sekolah kedokteran di Yunani. Salah seorang muridnya adalah
Hipocrates yang menempatkan profesi tabib pada tataran etik
yang tinggi. Ilmu farmasi secara perlahan berkembang. Di dunia
Arab pada abad VIII, ilmu farmasi yang dikembangkan oleh para
ilmuwan Arab menyebar luas sampai ke Eropa. Pada masa itu,
sudah mulai dibedakan peran antara seorang ahli farmasi
dengan ahli kedokteran yang terjadi pada tahun 1240 ketika
Kaisar Frederick II melakukan pemisahan tersebut. Maklumat
yang dikeluarkan tentang pemisahan tersebut menyebutkan
bahwa masing-masing ahli ilmu mempunyai keinsyafan, standar
etik, pengetahuan, dan keterampilan sendiri-sendiri yang
berbeda dengan ilmu lainnya. Dengan keluarnya maklumat
kaisar ini, maka mulailah sejarah baru perkembangan ilmu
farmasi sebagai ilmu yang berdiri sendiri.
Pendidikan Farmasi, khususnya pendidikan tinggi sering
berubah dengan perubahan tuntutan zaman. Pendidikan tinggi
secara umum dituntut untuk menghasilkan lulusan yang lebih
berkualitas dan lebih relevan terhadap kebutuhan masyarakat.
Khususnya bidang Farmasi di era sekarang ini semakin banyak
didirikan perguruan tinggi swasta yang menyelenggarakan
pendidikan Farmasi. Demikian pula terjadi pada pendidikan
133
program profesional di bidang kesehatan, yang semakin dituntut
mutu lulusan yang tinggi, sehingga Sekolah Perawat, Sekolah
Menengah Farmasi, dan lain-lain ditingkatkan menjadi setingkat
Akademi (Program D-3 atau D-4), yang dikelola baik oleh Dinas
Kesehatan Provinsi yang dikelompokkan dalam Politeknik
Kesehatan (POLTEKKES) maupun yang dikelola dalam bentuk
Yayasan (Swasta).
5.2 Pendidikan Farmasi di Dunia
5.2.1 Sejarah Perkembangan Pendidikan Farmasi di Dunia
Pendidikan formal farmasi di Dunia khususnya di
Amerika Serikat sudah mulai berjalan sebelum perang sipil
(1861-1864). Banyak pelatihan-pelatihan untuk menjadi
pharmacist atau apoteker dalam bentuk magang, yaitu berupa
pelatihan praktis langsung diberikan oleh apoteker untuk para
peserta pelatihan apoteker, dan tidak ada pelatihan pelatihan
farmasi formal.
Ada beberapa keraguan tentang mana perguruan tinggi
atau universitas yang pertama memberikan kursus farmasi resmi
untuk menjadi apoteker pada tingkat perguruan tinggi. Mungkin
ada beberapa kursus di tempat praktek apoteker dalam hal ini di
apotek selama perang saudara yang sekarang ini dikenal sebagai
Philadelphia College of Pharmacy. Pada tahun 1860 University of
Michigan (Ann Arbor) menawarkan kursus laboratorium di
apotek untuk mahasiswa kedokteran. Pada tahun 1865, Baldwin
University (Berea, OH) menjadi lembaga pertama yang
menawarkan instruksi untuk program farmasi sebagai bagian
dari program kuliah umum. Medical College of South Carolina
134
(Charleston) meluluskan beberapa orang dalam bidang farmasi
pada tahun 1867.
Pada tahun 1876 kursus singkat di apotek yang telah
diluncurkan di Universitas Michigan pada tahun 1868 menjadi
sekolah farmasi yang terpisah dengan lembaga kursus apoteker
di apotek. Sekolah ini dikenal karena telah menjadi pelopor dan
sekaligus sebagai perintis lahirnya pendidikan formal dalam
bidang farmasi, adalah Dr. Albert B. Prescott, seorang dokter
yang meninggalkan kursus singkat di apotek dalam bentuk
magang dan mengembangakan program laboratorium dalam
ilmu farmasi (ilustrasi dapat dilihat pada Gambar 5.1).
Gambar 5.1 Revolusi Pendidikan Farmasi. (diadopsi dari Bender, GA. And and Thom, RA. Great Moments in Pharmacy: The Stories and Painting in the Series, a History of Pharmacy in Pictures, by Parke Davis & Company.)
135
Beberapa literatur mengatakan bahwa farmasi
merupakan bidang yang menyangkut semua aspek obat,
meliputi: isolasi/sintesis, pembuatan, penggunaan, distribusi,
dan pengendalian. Berdasarkan hal tersebut seorang
farmasis/apoteker memegang peranan yang sangat penting
yang meliputi:
1. Farmasislah yang memegang perananan penting dalam
membantu dokter menuliskan resep rasional.
Membantu melihat bahwa obat yang tepat, pada waktu
yang tepat, dalam jumlah yang benar, membuat pasien
tahu mengenai “bagaimana, kapan, dan mengapa”
penggunaan obat baik dengan atau tanpa resep dokter.
2. Farmasislah yang sangat handal dan terlatih serta pakar
dalam hal produk/produksi obat yang memiliki
kesempatan yang paling besar untuk mengikuti
perkembangan terakhir dalam bidang obat, yang dapat
melayani baik dokter maupun pasien, sebagai
“penasehat” yang berpengalaman.
3. Farmasislah yang merupakan posisi kunci dalam
mencegah penggunaan obat yang salah,
penyalahgunaan obat dan penulisan resep yang
irrasional.
4. Farmasis memiliki kemampuan dan harus memberikan
“Therapeutic Judgement” dari pada hanya sebagai
sumber informasi obat.
Melihat hal-hal diatas, maka nampak adanya suatu
kesimpangsiuran tentang posisi farmasi, dimana sebenarnya
letak farmasi? Apakah berada di jajaran teknologi, ilmu sains
murni, ilmu kedokteran, atau merupakan ilmu yang berdiri
136
sendiri? Kebingungan dalam hal posisi farmasi akan
membingungkan para penyelenggara pendidikan farmasi,
kurikulum semacam apa yang harus disajikan; para mahasiswa
bingung menyerap materi yang semakin hari semakin banyak
atau berat; dan yang paling membingungkan adalah lulusannya
merasa tidak menguasai apapun.
Di Inggris Raya, sejak tahun 1962, dimulai suatu era baru
dalam pendidikan farmasi, karena pendidikan farmasi yang
semula menjadi bagian dari MIPA, berubah menjadi suatu
bidang yang berdiri sendiri secara utuh. Profesi farmasi
berkembang ke arah “patient oriented” memunculkan
berkembangnya Ward Pharmacy (farmasi bangsal) dan Clinical
Pharmacy (Farmasi Klinik).
Di Amerika Serikat telah disadari sejak tahun 1963
bahwa masyarakat dan profesional lain memerlukan informasi
obat yang seharusnya datang dari para apoteker. Temuan tahun
1975 mengungkapkan pernyataan para dokter bahwa apoteker
merupakan sumber informasi obat yang “parah”, dimana
mereka dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan para
dokter akan informasi obat. Apoteker yang berkualitas dinilai
amat jarang/langka, bahkan dikatakan bahwa dibandingkan
dengan apoteker, medical representatif dari industri farmasi
justru lebih merupakan sumber informasi obat bagi para dokter.
Perkembangan terakhir adalah timbulnya konsep
“Pharmaceutical Care” yang membawa para praktisi maupun
para “Profesor” ke arah “wilayah” pasien.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan World Bank
Group memperkirakan bahwa diperlukan sekitar 40 sampai 50
juta pekerja dalam bidang pelayanan kesehatan dan sosial baru
137
untuk seluruh cakupan kesehatan secara universal. Pada
pertemuan ilmiah dalam acara Global Conference of Parmacy
and Pharmaceutical Sciences Education yang dilaksanakan pada
bulan November 2016 di Nanjing, China. Untuk mencapai target
cakupan kesehatan universal dengan tujuan mendukung
sumberdaya manusia yang dicanangkan oleh WHO, dan untuk
strategi kesehatan dan tujuan pembangunan berkelanjutan,
sangat penting bahwa tenaga kerja yang memiliki keahlian
farmasi atau farmasis harus cukup jumlahnya dan memiliki
kualitas untuk mempromosikan dan meningkatkan
pembangunan, distribusi dan penggunaan obat-obatan yang
bertanggung jawab. Farmasis terutama sebagai apoteker harus
bertanggungjawab untuk meningkatkan pelayaan pasien dan
berkompeten untuk memberikan layanan kesehatan dan
mengatasi tantangan nasional untuk kesehatan global.
Perubahan dan peningkatan tenaga kerja farmasi
merupakan komponen penting untuk mencapai cakupan
kesehatan universal dan dapat melakukan promosi kesehatan.
Menurut data FIP (Intenational Pharmaceutical Federation)
mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan kebutuhan tenaga
kerja farmasi di seluruh negara. Di negara-negara
berpenghasilan rendah khususnya, tenaga kerja farmasi perlu
diperkuat dalam rangka meningkatkan kapasitas keseluruhan
untuk memberikan pelayanan yang tepat dan berbagai layanan
farmasi. Selain itu, ada kebutuhan untuk memastikan bahwa
praktek farmasis sesuai dengan standar dan kemampuan penuh
dari keterampilan dan kompetensi, dalam beragam lingkungan
dan dapat bekerjasama dengan berbagai pemangku
kepentingan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan.
138
Farmasis/apoteker, melalui peran yang ada dan peran
yang baru, perlu advokasi untuk mengetahui sistem kesehatan
secara komprehensif dan memastikan kebutuhan masyarakat
dapat terpenuhi melalui akses ke tim kesehatan secara multi-
profesional. Kita perlu membuat dan mengadopsi bersama visi
global bersama untuk profesi yang dapat menjadi acuan pada
masing-masing negara yang bertujuan untuk meningkatkan
akses menuju keahlian farmasi melalui penguatan dan
pengembangan tenaga kerja farmasi yang berfokus pada sistem
pendidikan farmasi.
5.2.2 Kurikulum Pendidikan Farmasi di Dunia
Kurikulum pendidikan tinggi Farmasi dapat memberikan
gambaran mengenai perkembangan kefarmasian (state of the
art) dalam suatu negara, karena perkembangan kebutuhan
masyarakat akan pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan
kefarmasian akan dikembangkan dalam kurikulum pendidikan
tingginya.
Sejak tahun 1996 di Amerika Serikat hanya ada 1 jalur
untuk mencapai profesi Pharmacist, yaitu Pharmaceutical
Doctor yang membutuhkan waktu 6 tahun (2 tahun pre-
professional + 4 tahun professional). Di Australia juga akan
diseragamkan lama waktu studi Pharmacist (Bachelor of
Pharmacy = B.P.) menjadi (4+1) tahun. Disamping program
pascasarjana di bidang penelitian (Master dan Doctor), sama
halnya di Indonesia, di Australia juga disediakan program
Graduate Diploma di bidang tertentu (Hospital Pharmacy;
Industrial Pharmacy) bagi Farmasis yang ingin meningkatkan
keahliannya, khususnya keterampilan.
139
Sekedar melakukan perbandingan, pada tabel di bawah
ini disajikan perbedaan pendidikan tinggi Farmasi di Indonesia
dengan beberapa pendidikan tinggi di luar negeri.
Tabel 5.1 Perbandingan Jenjang Pendidikan Farmasi mulai dari Sarjana, Master, dan Doktor
Farmasis Master Doktor
Indonesia 4 ½ th. + 1 th. Profesi
+ 2 th. + 3 th.
Australia 3 th. + 1 th. Profesi (akan diseragamkan 4 th + 1)
Master of Pharmacy + 2 th.
Doctor of Philosophy + 3 th. (Ph.D)
Amerika Serikat
2 th. (Pre- professional) 4 th. (Professional)
Master of Science + 2 th.
Doctor of Philosophy + 3 th. (Ph.D)
5.2.3 Konsep Kurikulum berbagai negara di Dunia
1. Pendidikan Farmasi di Belanda
Salah satu perbedaan utama antara pendidikan
farmasi di Belanda dan Inggris adalah bahwa di Belanda
dibutuhkan enam tahun untuk memenuhi syarat. Selain
itu, tidak ada tahun pre-registration seperti di Inggris
akan tetapi ada tahap Practical Experience selama enam
bulan, yang dilakukan sepanjang tahun terakhir
menempuh pendidikan di sekolah farmasi di Belanda.
Pendidikan dibagi menjadi dua bagian utama yaitu
empat tahun pertama, program kurikulum menekankan
pada ilmu-ilmu dasar dan farmasi, dan dua tahun
terakhir dimana keterampilan praktis diajarkan atau di
Indonesia disebut profesi Apoteker. Setelah empat
140
tahun pertama, mahasiswa dapat mengambil ujian
sementara, dan apabila berhasil menyelesaikan yang
mengarah ke gelar Master, meskipun gelar Master juga
dapat diperoleh setelah tahun keenam. Selain itu,
mahasiswa dapat memutuskan untuk tidak
menyelesaikan pelatihan keterampilan farmasi dan
mengambil penelitian sebagai gantinya. Kebanyakan,
menyelesaikan program enam tahun dan memenuhi
syarat sebagai apoteker, mendapatkan ijazah, yang
mirip dengan kualifikasi PharmD di Amerika Serikat.
Masuk ke program pendidikan farmasi tergantung
pada calon mahasiswa yang memiliki ijazah sekolah
menengah dan mereka perlu menguasai ilmu
pengetahuan alam seperti kimia, fisika, biologi,
matematika, dan Bahasa Inggris. Pada akhir SMA, murid
mengikuti ujian yang ditetapkan oleh sekolah dan
negara, dan mereka harus melewati keduanya untuk
mendapatkan ijazah yang akan memungkinkan mereka
masuk ke universitas. Untuk sekolah farmasi, ada nilai
tertentu yang diperlukan, meskipun hal ini tidak terjadi
untuk pendidikan pada bidang kesehatan lainnya
terutama seperti kedokteran dan kedokteran gigi.
Pendidikan farmasi dibagi menjadi blok dari
tahapan studi yang ada sekitar 15 blok dalam tahun
akademik. Tetapi tidak ada istilah atau tidak ada
semester. Tahun akademik terdiri dari studi 42 minggu
dengan istirahat beberapa minggu pada hari Natal.
Sebagian besar mahasiswa farmasi di Belanda,
memiliki sedikit apresiasi bagaimana rasanya menjadi
141
seorang apoteker. Meskipun tahun pertama ini
dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang
seluruh program enam tahun. Dua tahun terakhir,
dimana penekanannya berubah dari teori ke praktek.
Selain itu, beberapa mahasiswa magang di apotek
sampai tahun terakhir. Intinya, kurikulum farmasi
Belanda secara menyeluruh dengan penekanan kuat
pada ilmu pengetahuan. Namun, unsur praktek semakin
sering diperkenalkan, meskipun pada kecepatan yang
lebih lambat dari Inggris. Contoh kurikulum di
universitas/sekolah farmasi di Belanda dapat dilihat
pada Tabel 3.2.
142
Ta
be
l 5.2
Fo
rmat
Ku
riku
lum
Fa
rma
si d
i Be
lan
da
Year
1
Se
mes
ter
1a
In
tro
du
ctio
n
to
life
o
n E
arth
B
ioch
emis
try:
th
eo
ry
Cel
l Bio
logy
: Th
eo
ry
Gen
etic
s M
inim
al
Cel
l:
Pra
tica
l
Sem
este
r 1
b
Co
mp
lex
org
anis
m:
Pra
ctic
al
Div
ersi
ty,
Eco
logy
, an
d B
eh
avio
ur
Imm
un
olo
gy
an
d
On
colo
gy
Ph
ysio
logy
&
P
har
mac
olo
gy
Year
1
, Se
mes
ter
2a
M
ole
cule
s an
d
Rea
ctiv
ity
Bio
-mat
he
mat
ics
Bio
stat
isti
cs
Ph
arm
acy
in
Per
spec
tive
Sem
este
r 2
b
Hu
man
Ph
ysio
logy
P
ath
olo
gy
Ph
arm
aceu
tica
l A
nal
ysis
A
Year
2
, Se
mes
ter
1a
B
io-o
rgan
ic
Ch
emis
try
Res
ep
tor
Ph
arm
aco
logy
Sem
este
r 1
b
Org
anic
Ch
em
istr
y St
ruct
ure
o
f M
ole
cule
s P
har
mac
olo
gy:
Pra
ctic
al
Inte
grat
ive
Ne
uro
bio
logy
M
ed
ical
G
enet
ics
Ph
arm
ace
uti
cal
An
alys
is B
Year
2
, Se
mes
ter
2a
B
iom
ath
em
atic
s B
iost
atis
tics
En
dro
crin
olg
y M
ole
cula
r b
iolo
gy
and
M
ed
ical
b
iolo
gy
Cel
l B
iolo
gy II
Sem
este
r 2
b
Mat
hem
atic
s B
Sp
ectr
osc
op
y M
ed
ical
Ph
ysio
logy
143
Year
3
, Se
mes
ter
1a
D
rug
Gro
up
II
: C
ircu
lato
ry
&
vita
min
s
Dru
g G
rou
p
IV:
Infe
ctio
ns
& T
um
ou
rs
Ph
arm
aceu
tica
l In
org
anic
Ch
em
istr
y Th
erap
y Su
pp
ort
ing
to
ols
Sem
este
r 1
b
Dru
g G
rou
p
III:
En
do
crin
e s
yste
m
Dru
g p
rod
uct
ion
an
d
Res
earc
h
Pro
fess
ion
-Evi
de
nce
B
ased
m
eth
od
s fo
r p
ract
ice
Year
3
, Se
mes
ter
2a
In
tro
du
ctio
n
to
Ph
arm
aco
-th
erap
y P
har
ma-
ceu
tica
l C
om
po
un
din
g an
d
Dis
pe
nsi
ng
Pra
ctic
al
Ph
arm
aceu
tica
l C
om
po
un
din
g an
d
Dis
pe
nd
ing
th
eo
ry
Sem
este
r 2
b
Gen
eral
P
har
mac
o-
ther
apy
Co
mm
un
icat
ion
(P
har
mac
y)
Inte
rnsh
ip
–
Man
age
me
nt
Ph
arm
acy
Man
age
me
nt
Year
4
, Se
mes
ter
1a
C
ho
osi
ng
a p
har
mac
y ca
reer
G
ener
al
stu
die
s M
od
ule
(A
VV
) (F
ull
Ye
ar)
Ph
arm
acy
Res
earc
h
Pro
ject
(Fu
ll Ye
ar)
Year
5
, Se
mes
ter
1a
Et
hic
s a
nd
Leg
isla
tio
n
Inte
rnsh
ip
– P
ub
lic
Ph
arm
acy
Ph
arm
aceu
tica
l B
iolo
gy
and
h
yto
ther
apy
Sem
este
r 1
b
Co
mm
un
icat
ion
in
C
are
Ph
arm
acis
t an
d
Ph
arm
acy
Org
anis
atio
n
Ph
arm
acis
t an
d
Pat
ien
t C
are
O
rgan
isat
ion
Spec
ialis
t P
har
mac
o-
ther
apy
Year
5
, Se
mes
ter
2a
In
tern
ship
– P
ract
ical
p
har
mac
y P
har
mac
y G
am
e -
GIM
MIC
S
Sem
este
r 2
b
Inte
rnsh
ip –
Pra
ctic
al
Res
earc
h
144
Berdasarkan Tabel 5.2 terkait kurikulum pendidikan
farmasi di Austria diatas, kurikulum dapat
dikelompokkan menjadi beberapa kelompok sebagai
berikut:
- Enabling Sciences meliputi: Introduction to Life on
Earth; Biochemistry-Theory; Cell Biology-Theory;
Genetics; Minimal Cell-Pratical; Complex Organism-
Practical; Disversy, Ecology and Behaviour;
Immunology and Oncology; Physiology &
Pharmacology; Molecules and Reactivity;
Biomathematics, Biostatistic; Human Physiology;
Pathology; Bio-organic Chemistry; Receptor
Pharmacology; Organic Chemistry-Practical;
Structure of Molecules; Pharmacology-Practical;
Integrative Neurology; Medical Genetics;
Biomathematics; Biostatistics; Endocrinology;
Molecular Biology and Medical Biology; Cell Biology
II; Mathematics B; Spectroscopy; Medical
Physiology; Drug Group II, III, dan IV;
Pharmaceutical Inorganic Chemistry; Therapy
Supproting Tools; Pharmaceutical Biology and
Phtotherapy, dengan persentase sebesar 59%
- Pharmaceutical Sciences meliputi: Pharmaceutical
Analysis A dan B; Pharmacy in Perspective; Drug
Production and Reseach, dengan persentase
sebesar 7%.
- Professional Practice meliputi: Profession-Evidence
Based Methods for Practice; Pharmaceutical
Compounding and Dispensing (Practical and
145
Theory); Communication (Pharmacy); Intership-
Management; Pharmacy Management; Choosing a
pharmacy career; Ethics and Legislation; Intership-
Public Pharmacy; Communication in Care;
Pharmacist and Pharmacy organisation; Pharmacist
and Patient Care Organisation; Intership-Hospital
Pharmacy; Pharmacy Game-GIMMICS; Intership-
Practical Research, dengan persentase sebesar
27%.
- Therapeutics meliputi: Introduction to
Pharmacotherapy; General Pharmacotherapy; dan
Specialist Pharmacotherapy, dengan persentase
sebesar 5%.
- Lain-lain (Research/project/elective) meliputi:
General Studies Modul (AVV) (Full Year) dan
Pharmacy Research Project (Full Year) dengan
presentase sebesar 4%.
2. Pendidikan Tinggi Farmasi di Australia
Pendidikan tinggi Farmasi di Australia secara khusus
mendidik calon Farmasis untuk dapat bekerja sebagai
seorang profesional di masyarakat, berbeda dengan di
Indonesia yang mendidik mahasiswa juga sebagai calon
peneliti (ada jalur akademik dan jalur profesi). Yang
dapat menjadi peneliti hanya terbatas pada lulusan yang
mencapai Honours Degree (lulusan dengan pujian) agar
dapat melanjutkan ke jenjang Master of Pharmacy atau
Doctor of Philosophy. Hal ini tergambarkan pada tujuan
pendidikan yaitu (1) memahami ilmu dasar dan terapan
yang cukup, agar dengan bertambahnya pengalaman,
146
mampu mengintegrasikan dan menerapkan
pengetahuannya pada lingkungan profesi praktis; (2)
memiliki keterampilan ”dispensing” dan keterampilan
lain yang sesuai agar setelah menjalani magang (1
tahun.) dapat berpraktek sebagai Farmasis yang
kompeten; (3) memperoleh keterampilan
berkomunikasi yang cukup untuk berpraktek sebagai
Farmasis yang kompeten dengan bertambahnya
pengetahuan; (4) mengembangkan ciri, kualitas dan
pandangan pribadi terhadap etika dan standar profesi
yang diperlukan untuk berpraktek sebagai profesional di
bidang kesehatan secara bertanggung jawab; (5)
mempunyai komitmen untuk mempertahankan dan
mengembangkan pengetahuan dasarnya dengan cara
melanjutkan proses pendidikan selama karirnya.
Garis Besar Matakuliah
Matakuliah kefarmasian di Australia itu sifatnya
”berorientasi-obat” dan berorientasi-pasien”, meliputi 4
bidang utama yaitu:
1. Pharmaceutical Chemistry (segi kimia dari obat).
2. Pharmacology (aksi obat).
3. Pharmaceutics (bentuk dan pemberian obat)
4. Pharmacy Practice (aplikasi ketiga di atas pada
praktek kefarmasian)
Program masuk pascasarjana, sistem
pendidikannya dipercepat untuk menyelesaikan gelar
farmasi bagi mahasiswa yang sudah memegang
setidaknya gelar sarjana dalam disiplin terkait atau
147
lainnya, seperti gelar dapat diselesaikan dalam 2 tahun
yang biasanya dilalui selama 4 tahun. Tidak ada sekolah
farmasi di Australia saat ini menawarkan gelar PharmD
sebagai entry point untuk pendaftaran; Namun, banyak
menawarkan berbagai derajat pascasarjana seperti
master farmasi klinis, doktor farmasi klinis, lulusan
diploma, atau lulusan penghargaan sertifikat, selain
untuk penelitian gelar seperti master riset dan gelar
PhD.
Berdasarkan Tabel 5.3 terkait kurikulum pendidikan
farmasi di Austria, kurikulum dapat dikelompokkan
menjadi beberapa kelompok sebagai berikut:
- Enabling Sciences meliputi: Introduction to
physiology; Organic chemistry; System physiology;
Chemistry of biomolecules; Biochemistry and
molecular biology; Basis of drug action I; Cell
function, communication and phatology; Basis of
drug action II; and Microbiology & immunology,
dengan persentase sebesar 28%
- Pharmaceutical Sciences meliputi: Physicochemical
basis of pharmacy; Drug delivery 1; Drug derively
and disposition; Drug delivery, disposition and
dynamics; Drug delivery II; Drug delivery and
development; dengan persentase sebesar 19%.
- Professional Practice meliputi: Pharmacy, Health
and Society I dan II; Pharmacy in a public health
context; Contexts for practice I, II, dan III; dan
Professional experience placement program,
dengan persentase sebesar 25%.
148
- Therapeutics meliputi: Integrated therapeutics-
Introduction and cardiovascular; Integrated
therapeutics-infectious diseases; Integrated
therapeutics-endocrinology and renal disease;
Integrated therapeutics-dermatology and pain;
Advanced clinical practice; Integrated theraputics-
psychiatry; dan Integrated therapeutics-neurology
and oncology, dengan persentase sebesar 25%.
- Lain-lain (Research/project/elective) dengan
presentase sebesar 3%.
Tabel 5.3 Format Kurikulum Australia (contoh di ambil dari Universitas Monash)
Semester 1, Tahun pertama
Physicichemical basis of pharmcay
Introduction of physiology
Organic chemistry
Pharmacy, Health and Society I
Semester 2, tahun pertama
Drug delivery 1 Systems Physiology
Chemistry of biomolecules
Pharmacy, Health and Society II
Semester 1, tahun kedua
Biochemistry and Molecular Biology
Basis of Drug Action I
Cell function, communication, and phatology
Pharmacists as Communicators
Semester 2, tahun kedua
Drug Delivery and Disposition
Basis of Drug acton II
Integrated Therapeutics – Introduction and Cardiovascular
Pharmacy in a public Health context
Semester 1, tahun ketiga
Drug Delivery, Disposition and Dynamics
Microbiology and Immunology
Integrated Therapeutics – Respiratory and Gastrointestinal
Contexs for practice I
Semester 2, tahun ketiga
Drug Delivery II Integrated Terapeutics – Infectious Diseases
Integrated Therapeutics – Endocrinology and Renal disease
Contexs for practice II
Semester 1, tahun keempat
Drug Delivery and Development
Elective Integrated Therapeutics – Dermatology and
Professional Experience Placement
149
pain program
Semester 2, Tahun keempat
Advanced Clinical practice
Integrated Therapeutics – Psychiatry
Integrated Therapeutics – Neurology and Oncology
Context for practice III
Kurikulum Australia berdasarkan pada kualifikasi
sekolah menengah atas dengan persayaratan masuk
dengan parameter tes mata pelajaran kimia,
matematika, dan Bahasa Inggris. Dengan kurikulum yang
dilaksanakan selama 4 tahun (BPharm program) yang
berdasarkan pada core kompetensi untuk menghasilkan
lulusan: (1) menyediakan pelayanan terpusat pada
pasien (patient-centered care), mampu bekerja dalam
tim interdispliner, melaksanakan praktek berbasis bukti
(evidence-based practice), mampu menerapkan dan
melakukan peningkatan kualitas, dan mampu
memanfaatkan teknologi informatika; (2) menguasai
biokimia, farmasi, farmakologi, pharmacy practice
(hukum, etika, komunikasi, dispensing), dan clinical
therapeutics; telah melaksanakan IPPE dan APPE.
3. Pendidikan Tinggi Farmasi di Britania Raya (United
Kingdom)
Farmasi adalah “a regulated profession”, dan The
Royal Pharmaceutical Society of Great Britain (RPSGB)
merupakan badan profesional untuk apoteker dan
badan pengawas untuk apoteker dan teknisi farmasi di
Inggris, Skotlandia, dan Wales. Sebelum tahun 1997,
standar RPSGB untuk gelar farmasi di Britania Raya yang
dirancang sesuai dengan prinsip dari model “3 +1”
(program gelar 3 tahun dan 1 tahun pre-registration).
150
Akibatnya, sampai dengan tahun 1997, kurikulum
sarjana spesifik di sebagian besar universitas dirancang
sebagai kurikulum inti selama 3 tahun dengan
menerapkan science based learning (misalnya
pharmaceutical chemistry, pharmaceutics,
pharmacognosy pharmacology, dan pratice/dispensing).
Kemudian dilanjutkan selama satu tahun pelatihan pre-
registration (“the pre-reg year”) yang terdiri dari
pelatihan praktis tentang penempatan kerja. Sejak
tahun 1997, sesuai dengan European Directive,
persyaratan gelar diperpanjang menjadi empat tahun
dan satu tahun pre-registration. Semua program sarjana
farmasi di Inggris kemudian diwajibkan melakukan
restrukturisasi program sarjana mereka dan berubah
dari Bachelors ke Master Farmasi (M.Pharm). Lulusan
farmasi yang dihasilkan kemudian dilanjutkan ke
pelatihan pre-registration selama satu tahun yang
mengarah ke registration dengan RPSGB.
Pada tahun 2010, the General Pharmaceutical
Council (GPhC), menggantikan RPSGB sebagai regulator
untuk farmasi dengan kekuasan untuk mendaftar dan
mengatur apoteker, teknisi farmasi, dan tempat farmasi.
GPhC kemudian akan menetapkan standar untuk
pendidikan dan pelatihan yang akan mengatur
penyediaan kedua gelar farmasi dan training pre-
registration untuk memastikan apoteker baru yang
terdaftar merupakan praktisi yang kompeten.
Selama dua dekade terakhir, universitas secara
umum dan sekolah farmasi pada khususnya, telah
151
menjadi subjek untuk memulai perubahan kurikulum
untuk mengamankan efektivitas biaya yang lebih besar
dalam desain dan menghasilkan sarjana farmasi, serta
untuk memperluas kesempatan mahasiswa untuk
belajar ilmu farmasi. Kurikulum yang digunakan di UK
dapat dilihat pada Tabel 5.4.
Berdasarkan Tabel 5.4 terkait kurikulum pendidikan
farmasi di Austria diatas, kurikulum dapat
dikelompokkan menjadi beberapa kelimpok sebagai
berikut:
- Enabling Sciences meliputi: Pharmaceutical &
biological chemistry 1 dan 2; Physiology &
Pharmacology 1, 2, 3, dan 4; Laboratory studies in
pharmaceutical chemistry, physiology &
pharmacology; Cellular biochemistry & introductory
microbiology; Laboratory studies in pharmaceutical
sciences; Pharmaceutical Analysis & spectroscopy;
Molecular pharmacology; Laboratory studies in
pharmacology & pharmaceutical sciences III;
Medicinal chemistry and drug design 1; dan
Toxicology clinical, environmental & experimental
aspects, dengan persentase sebesar 38%
- Pharmaceutical Sciences meliputi: Pharmaceutics 2:
Pharmaceutical technology; Biopharmaceutics; dan
Advanced delivery I, dengan persentase sebesar
12%.
- Professional Practice meliputi: Practical dispensing
& the science of medicines manufacture;
Professional skills 1, 2, dan 3; Pharmaceutical
152
microbiology; Natural products & medicine; Social
sciences & pharmacy; Quality in medicines design
and usage; Sterile production; dan Preparation for
practice, dengan persentase sebesar 29%.
- Therapeutics meliputi: Nutrition in Health &
Disease; Disease and the Goals of Treatment;
Bimolecular Therapeutics; Immunopharmacology
and Treatment of Chronic Diseases; dan Microbial
Disease and Pathogenicity, dengan persentase
sebesar 12%.
- Lain-lain (Research/project/elective) dalam bentuk
elective dengan presentase sebesar 9%.
153
Tab
el 5
.4 F
orm
at k
uri
kulu
m d
i UK
Au
tuu
mn
–
Year
1
Ph
arm
acu
tica
l &
Bio
logi
cal
Ch
emis
try
1
Ph
ysio
logy
&
Ph
arm
aco
logy
1
Lab
ora
tory
St
ud
ies
in
Ph
arm
aceu
tica
l C
hem
istr
y,
Ph
ysio
logy
&
Ph
arm
aco
logy
Cel
lula
r B
ioch
emis
try
&
Intr
od
uct
ory
M
icro
bio
logy
Pra
ctic
al D
isp
en
sin
g &
th
e S
cie
nce
of
Me
dic
ines
Ma
nu
fact
ure
Pro
fesi
on
al
Skill
s 1
: In
tro
du
ctio
n t
o
Ph
arm
acy
Pra
ctic
e Sp
rin
g –
Yea
r 1
P
hys
iolo
gy &
P
har
mac
olo
gy
2
Au
tum
n –
Yea
r 2
P
har
mac
euti
cs 2
: P
har
mac
euti
cal
Tech
no
logy
Ph
ysio
logy
&
Ph
arm
aco
logy
3
Lab
ora
tory
St
ud
ies
in
Ph
arm
aceu
tica
l Sc
ien
ces
Ph
arm
aceu
tica
l A
nal
ysis
&
Spec
tro
sco
py
Ph
arm
aceu
tica
l &
Bio
logi
cal C
he
mis
try
2
Ph
arm
aceu
tica
l M
icro
bio
logy
Spri
ng
– Y
ear
2
Bio
ph
arm
ace
uti
cs
Ph
ysio
logy
&
Ph
arm
aco
logy
4
N
atu
ral P
rod
uct
s &
M
ed
icin
e
Pro
fess
ion
al
Skill
s 2
: P
har
mac
ist-
pat
ien
t p
artn
ersh
ips
in
hea
lth
an
d
illn
ess
Au
tum
n –
Yea
r 3
A
dva
nce
d D
rug
Del
iver
y I
Mo
lecu
lar
Ph
arm
aco
logy
La
bo
rato
ry
Stu
die
s in
P
har
mac
olo
gy &
P
har
mac
euti
cal
Scie
nce
s II
I
Me
dic
inal
C
hem
istr
y an
d
Dru
g D
esig
n 1
Nu
trit
ion
in
Hea
lth
&
Dis
ease
Soci
al
Scie
nce
s &
P
har
mac
y
Pro
fess
ion
al
Skill
s 3
: P
har
mac
y La
w
& D
isp
ensi
ng
154
Spri
ng
–
Year
3
To
xico
logy
–
Clin
ical
, En
viro
nm
en
tal &
Ex
per
ime
nta
l A
spe
cts
Dis
ease
an
d t
he
Go
als
of
Trea
tmen
t
Qu
alit
y in
M
ed
icin
es D
esig
n
and
Usa
ge
Ster
ile P
rod
uct
ion
Au
tum
n –
Ye
ar 4
B
imo
lecu
lar
Ther
ape
uti
cs
Imm
un
i-p
har
mac
olo
gy
and
Tre
atm
en
of
Ch
ron
ic D
isea
ses
Mic
rob
ial D
isea
se a
nd
P
ath
og
enic
ity
Pre
par
atio
n
for
Pra
ctic
e
Spri
ng
–
Year
4
Pro
ject
Stu
dy
Elec
tive
El
ecti
ve
155
4. Pendidikan Tinggi Farmasi di Amerika Serikat
Pendidikan Tinggi Farmasi di Amerika Serikat, sejak
tahun 1996 telah diseragamkan hanya melalui 1 jalur,
yaitu gelar PharmD (Pharmaceutical Doctor) yang
berlangsung selama 6 tahun. Perubahan kurikulum
pendidikan ini disebabkan oleh tuntutan kemampuan
profesional seorang Farmasis di masyarakat yang
semakin meningkat dan memerlukan tambahan
pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu dasar dan
pengetahuan lain di luar kefarmasian, misalnya
pengetahuan mengenai komputer. Pada saat itu, profesi
farmasis menempati ranking teratas paling mulia di
mata masyarakat. Hal ini disebabkan karena keahlian
dan kemampuan profesi farmasis senantiasa dikaji dan
dikembangkan agar lebih sesuai dengan kebutuhan (link
and match). Kajian tentang perubahan kurikulum
pendidikan farmasi ini dihasilkan oleh suatu Satuan
Tugas Pendidikan Farmasi (Task Force on Pharmacy
Education) yang dibentuk oleh Ikatan Sarjana Farmasi
Amerika Serikat (American Pharmaceutical Association,
The National Professional Society of Pharmacists), yang
telah bekerja dalam kurun waktu yang cukup lama.
Sejak 1996 pendidikan profesi Farmasis di Amerika
Serikat bergelar Pharm.D berlangsung selama 6 tahun;
terbagi atas 2 tahun prasyarat (Pre-pharmacy) dan 4
tahun magang (residence) untuk program profesional
dan pengalaman kerja. Di samping itu ditawarkan juga
program Master of Science (M.S) dan Philosophical
Doctor (Ph.D.) dalam bidang farmasi tertentu, misalnya
156
M.S. dalam bidang Pharmaceutical Policy and Evaluative
Sciences, yang dapat dilanjutkan ke Program Ph.D.
dalam bidang Pharmacoepidemiology, atau Ph.D. dalam
bidang Pharmacoeconomics and Policy. Contoh
Kurikulum Pendidikan dapat dilihat pada Tabel 3.4.
Kurikulum PharmD adalah kombinasi selama empat
tahun yang diperlukan dan pelatihan optional.
Mahasiswa harus mendaftarkan diri di 16-18 unit setiap
semester. Kurikulum contoh yang diuraikan dibawah
membrikan gambaran tentang kurikulum PharmD saat
ini. Apoteker merupakan anggota integral dari tenaga
kesehatan yang memberikan pelayanan farmasi baik
untuk pencegahan maupun terapi yang berfungsi
sebagai sumber daya yang memberikan pelayanan
kepada pasien dan penyedia layanan kesehatan lainnya.
Sekolah Komite Kurikulum Farmasi ini terus
mengembangkan dan meningkatkan kurikulum untuk
memastikan mahasiswa mengembangkan potensi
penting untuk memperluas peran apoteker sebagai
penyedia layanan kesehatan. Perubahan kurikulum juga
mencerminkan kemajuan ilmiah, perubahan profil
penduduk, meningkatkan harapan kesehatan, kemajuan
teknologi, meningkatkan peran pemerintah dalam
pelayanan kesehatan dan pengaruh lainnya.
157
Tab
el 5
.5 F
orm
at K
uri
kulu
m d
i Am
eri
ka S
eri
kat
Sem
este
r 1
–
Yea
r 1
P
rofe
ssio
n
of
Ph
arm
acy
1
Intr
od
uct
ory
P
har
mac
y P
ract
ice
Ex
per
ien
ces
1
An
ato
my
&
ph
ysio
logy
1
Bio
chem
istr
y 1
P
rin
cip
le
of
dru
g
acti
on
Sem
este
r 2
–
Yea
r 1
P
rofe
ssio
n
of
Ph
arm
acy
2
Intr
od
uct
ory
P
har
mac
y P
ract
ice
Ex
per
ien
ces
2
An
ato
my
&
ph
ysio
logy
2
Bio
chem
istr
y 2
D
rug
Dev
elo
pm
ent
1
Sem
este
r 1
–
Yea
r 2
P
rofe
ssio
n
of
ph
arm
acy
3
Intr
od
uct
ory
P
har
mac
y P
ract
ice
Ex
per
ien
ces
3
Ph
arm
aco
ther
apy
of
Infe
ctio
us
dis
ease
1
Ph
arm
aco
ther
apy
of
Car
div
ascu
lar
dis
ease
1
Dru
g D
evel
op
men
t 2
Sem
este
r 2
–
Yea
r 2
P
rofe
ssio
n
of
ph
arm
acy
4
Intr
od
uct
ory
P
har
mac
y P
ract
ice
Ex
per
ien
ces
4
Ph
arm
aco
ther
apy
of
Infe
ctio
us
dis
ease
2
Gas
tro
ente
rolg
y/
Nu
trit
ion
D
rug
Dev
elo
pm
ent
3
Ad
van
ced
P
har
mac
euti
cal
Car
e 1
Sem
este
r 1
–
Yea
r 3
P
rofe
ssio
n
of
ph
arm
acy
5
Intr
od
uct
ory
P
har
mac
y P
ract
ice
Ex
per
ien
ces
5
Imm
un
olo
gy
Pu
lmo
no
logy
/ R
he
um
ato
logy
En
do
crin
olo
gy
Pro
fess
ion
al
elec
tive
Sem
este
r 2
–
Yea
r 3
P
rofe
ssio
nal
o
f P
har
mac
y 6
In
tro
du
cto
ry
Ph
arm
acy
Pra
ctic
e
Exp
erie
nce
s 6
On
colo
gy/
Hem
ato
logy
N
eu
rolo
gy/
Psy
ciat
ry
Pro
fess
ion
al
elec
tive
A
dve
nce
d
Ph
arm
ace
uti
cal
Ca
re 2
Sem
este
r 1
–
Yea
r 4
A
dva
nce
d
Ph
arm
acy
Pra
ctic
e Ex
per
ien
ces
1
Ad
van
ced
P
har
mac
y
Pra
ctic
e Ex
per
ien
ces
2
Ad
van
ced
P
har
mac
y P
ract
ice
Ex
per
ien
ces
3
Ad
van
ced
P
har
mac
y P
ract
ice
Ex
per
ien
ces
4
Sem
este
r 2
–
Yea
r 4
A
dva
nce
d
Ph
arm
acy
Pra
ctic
e Ex
per
ien
ces
5
Ad
van
ced
P
har
mac
y
Pra
ctic
e Ex
per
ien
ces
6
Ad
van
ced
P
har
mac
y P
ract
ice
Ex
per
ien
ces
7
Ph
arm
D S
em
inar
158
Berdasarkan Tabel 5.5 terkait kurikulum pendidikan
farmasi di Austria diatas, kurikulum dapat
dikelompokkan menjadi beberapa kelompok sebagai
berikut:
- Enabling Sciences meliputi: Anatomy &Physiology 1
dan 2; Biochemistry 1 dan 2, dengan persentase
sebesar 10%
- Pharmaceutical Sciences meliputi: Principles of drug
action; Drug Developmnet 1,2 dan 3, dengan
persentase sebesar 10%.
- Professional Practice meliputi: Professional 1, 2, 3,
4, 5, dan 6; IPPE 1, 2, 3, 4, 5, dan 6, dengan
persentase sebesar 26%.
- Therapeutics meliputi: Pharmacotherapy of
Infectious Disease 1 dan 2; Pharmacotherapy of
Cardiovascular Disease 1; Gastroenterology/
Nutrition; Advanced Pharmaceutical Care 1 dan 2;
Immunology; Pulmonology/ Rheumatology;
Endocrinology; Oncology/ Hematology; Neurology/
Psychiatry; APPE 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7, dengan
persentase sebesar 48%.
- Lain-lain (Research/project/elective) dengan
presentase sebesar 0%.
Kurikulum di Amerika Serikat berdasarkan pada
sistem college level pre-requisites dengan ilmu-ilmu
dasar wajib meliputi kimia, anatomy, dan matematika.
selanjutnya, pendidikan dasar pada saat kuliah terutama
ilmu-ilmu biomedis, ilmu-ilmu sains farmasi, ilmu-ilmu
sosial-administratif dan klinis selama tiga tahun pertama
159
program berjalan. Mahasiswa menyelesaikan
Introductory Pharmacy Practice Experiences (IPPE)
bersama dengan program berbasis kelas. Program akhir
(tahun keempat) yaitu Advanced Pharmacy Practice
Experiences (APPE), yang diatur dalam peraturan
kesehatan di seluruh daerah Los Angeles, dan capstone
course menuju ujian akhir/tugas akhir.
Pengalaman belajar yaitu pelaksanaan 300 jam IPPE
selama tiga tahun pertama pembelajaran dengan
berbagai jenis program melibatkan pengalam
pendampingan oleh seorang apoteker selama kegiatan
kontak/berkomunikasi dengan pasien, pengalaman KKN,
dan pengalaman komunikasi yang berfokus pada pasien.
Selanjutnya, selama 36 minggu pelaksanaan APPE pada
tahun keempat, umumnya diperlukan waktu selama 6x6
minggu atau 7x5 minggu (+1) dan rotasi
pilihan/optional. Diperlukan 5 rotasi yang meliputi
community pharmacy, hospital pharmacy, ambulatory
care, specialty populations, dan acute care medicine.
Selain itu, penambahan rotasi pilihan dalam core area
yang diminati dengan kelompok besar seprti AACP,
ASHP, FDA dan Akademia.
5. Pendidikan Tinggi Farmasi di Kanada
Sistem pendidikan Farmasi di Kanada telah
mengalami perubahan yang sangat signifikan selama
dekade terakhir, dan akan terus berkembang untuk
memenuhi dan mengantisipasi perubahan peran sebagai
apoteker dalam sistem pelayanan kesehatan. Sistem
pendidikan di Kanada khususnya untuk pendidikan
160
profesional dalam bidang kesehatan memiliki
karakteristik khas dengan empat element utama yaitu:
1. Lebih utama, sistem penelitian intensif masing-
masing universitas negeri tanpa sekolah farmasi
swasta yang berdiri sendiri.
2. Sistem pelayanan kesehatan universal yang
sepenuhnya didanai oleh pemerintah dengan tidak
ada rumah sakit swasta (nirlaba), dan pelayanan
kesehatan swasta relatif dibatasi.
3. Sistem regulasi bagi para profesional pelayanan
kesehatan dibangun berdasarkan sistem
pendidikan, dimana sistem pendidikan mirip
dengan Inggris.
4. Independen tetapi memiliki sistem kolaboratif yang
sangat kuat antara pendidikan, peraturan, dan
kelompok advokasi.
Saat ini di Kanada (dengan penduduk sekitar 35
juta), ada 10 sekolah farmasi terakreditasi, 8 program
gelar yang ditawarkan di Inggris dan 2 sekolah di Quebec
menawarkan program-program di Perancis (Semua
program farmasi di Kanada diakreditasi oleh Dewan
Kanada untuk akreditasi Program Farmasi (the Canadian
Council for Accreditation of Pharmacy Programs atau
disingkat CCAPP), sebuah badan yang bertanggungjawab
untuk mengembangkan dan mengevaluasi standar
pendidikan. CCAPP melakukan ulasan akreditasi rutin
dari semua sekolah farmasi untuk memastikan
kepatuhan dengan standar.
161
CCAPP menerapkan standar akreditasi yang
mendokumentasikan sebagai dasar untuk menyetujui
universitas untuk menawarkan praktek sarjana di
apotek. Standar-standar ini pada gilirannya dibangun di
atas hasil untuk program pendidikan yang dirumuskan
oleh Asosiasi Fakultas Farmasi Kanada (the Associaion of
Faculty of Pharmacy of Canada disingkat AFPC).
Sementara itu, masing-masing sekolah farmasi
bebas untuk mengembangkan kurikulum sendiri,
mengajar filsafat, dan metode pedagogis, semua
program yang diperlukan untuk menunjukkan bahwa
lulusan mereka memenuhi semua hasil pada tingkat
tertentu dan rentang kompetensi.
Dengan hanya 10 universitas negeri yang memiliki
program pendidikan farmasi yang didanai di seluruh
negeri dan tidak memiliki kesempatan untuk swasta
untuk membuka program dan diakreditasi di kanada.
Sehingga persaingan untuk menjadi mahasiswa di
fakultas farmasi sangat ketat. Semua program
memerlukan minimal 5 tahun pendidikan post-
secondary sebelum menjadi sarjana sains dalam bidang
farmasi, BSc (Pharm) atau BscPham, yang saat ini masuk
dalam level sarjana untuk profesi.
Sekolah lain seperti Universitas Dalhausie di Halifax,
telah mengadopsi sistem pendidikan yang lebih berbasis
masalah desain kurikuler, memilih diskusi tutorial dalam
kelompok kecil dan kurikulum yang lebih
termodularisasi dan terintegrasi. Experiental education
162
merupakan fitur umum (dan diperlukan) dari semua
kurikulum, dan terjadi pada semua program profesional.
Sebagian besar karena perubahan besar dalam
undang-undang provinsi yang telah memperluas peran
dan ruang lingkup apoteker di provinsi tersebut. Dua
sekolah farmasi di Quebec telah mengindikasikan bahwa
mereka akang mengubah dan meningkatkan masuk ke
level PharmD dalam rangka meningkatkan kurikulum
mereka dan tepat mengenali meningkatkan pendidikan
dan keterampilan yang diperlukan di Quebec untuk
melaksanakan praktek farmasi.
Saat ini, hanya Universitas British Columbia (UBC)
dan Universitas Totonto (UT), yang menawarkan 2 tahun
post-baccalaureate PharmD; UT juga menawarkan
program post-baccalaureate PharmD secara paruh
waktu atau double degree. Format kurikulum di Kanada
dapat dilihat pada Tabel 5.6.
Berdasarkan Tabel 5.6 terkait kurikulum pendidikan
farmasi di Austria diatas, kurikulum dapat
dikelompokkan menjadi beberapa kelompok sebagai
berikut:
- Enabling Sciences meliputi: Introductory Organic
Chemistry I dan II; Human Anatomi and Histology;
Physical Chemistry for Pharmacy; Microbiology of
Infectious Diseases; Medicinal Chemistry; Basic
Human Physiology; Introduction to Biochemistry &
Molecular Biology; Pharmacology I & II;
Introductory Metabolic Biochemistry;
Pharmacology/Medicinal Chemistry Tutorial;
163
Introductory Toxicology, dengan persentase
sebesar 30%
- Pharmaceutical Sciences meliputi: Introduction to
Applied Pharmaceutical Sciences; Pharmaceutics;
Methods of Pharmaceutical Analysis;
Pharmacockinetics; Applications of Pharmaceutical
Analysis; Professional Practice III, dengan
persentase sebesar 15%.
- Professional Practice meliputi: Professional
Communication Skills in Pharmacy Practice;
Introduction to Statistics; Professional Practice I, II,
& IV Laboratory; Professional Practice I & II;
Introduction to the Profession of Pharmacy; Health
System in Society I & II; Pharmacy Practice
Management I; Pharmacy Practice Seminar; SPEP,
dengan persentase sebesar 33%.
164
Tab
el 5
.6
Form
at K
uri
kulu
m d
i K
anad
a (c
on
toh
me
ngg
un
akan
ku
riku
lum
Fak
ult
as
Farm
asi
di
Un
ive
rsit
as T
oro
nto
)
Sem
1
– Ye
ar
1
Intr
od
uct
ory
O
rgan
ic
Ch
em
istr
y 1
Hu
man
A
nat
om
y an
d
His
tolo
gy
Ph
ysic
al
Ch
em
istr
y fo
r P
har
mac
y
Mic
rob
iolo
gy
of
Infe
ctio
us
Dis
ease
s
Intr
od
uct
ion
to
A
pp
lied
P
har
mac
euti
cal
Scie
nce
s
Pro
fess
ion
al
Co
mm
un
icat
ion
sk
ills
in p
har
mac
y p
ract
ice
Intr
od
uct
ion
to
st
atis
tics
P
rofe
sio
nal
p
ract
ice
I In
tro
du
ctio
n t
o
the
pro
fess
ion
o
f p
har
mac
y
Sem
2
– Ye
ar
1
Intr
od
uct
ory
O
rgan
ic
Ch
em
istr
y II
P
rofe
ssio
nal
p
ract
ice
I La
bo
rato
ry
Sem
1
– Ye
ar
2
Med
icin
al
Ch
em
istr
y B
asic
Hu
man
P
hys
iolo
gy
Intr
od
uct
ion
B
ioch
emis
try
&
Mo
lecu
lar
Bio
lob
y
Ph
arm
aceu
tics
H
ealt
h S
yste
m in
So
ciet
y I
Pro
fesi
on
al p
ract
ice
II
Ph
arm
acet
uic
al
Car
e Ia
Sem
2
– Ye
ar
2
Ph
arm
aco
logy
In
tro
du
cto
ry M
etab
olic
B
ioch
emis
try
Met
ho
ds
of
Ph
arm
aceu
tica
l An
alys
is
Pro
fess
ion
al P
ract
ice
II
Lab
ora
tory
P
har
mac
etu
ical
C
are
Ia
Sem
1
– Ye
ar
3
Ph
arm
aco
logy
/ M
edic
inal
C
he
mis
try
Tuto
rial
Ph
arm
aco
log
y II
Ph
arm
aco
kin
etic
s A
pp
licat
ion
s o
f P
har
mac
etic
al
An
alys
is
Ph
arm
acy
Pra
ctic
e M
anag
eme
nt
I
Clin
ical
B
ioch
emis
ty/
Pat
ho
-p
hys
iolo
gy
/Pat
ho
logy
Ph
arm
aceu
tica
l C
are
II
Ph
arm
acet
ical
Car
e Ib
Sem
2
– Ye
ar
3
Intr
od
uct
ory
To
xico
logy
P
rofe
ssio
nal
P
ract
ice
III
Pro
fess
ion
al
Pra
ctic
e III
La
bo
rato
ry
Sem
1
– Ye
ar
4
Ph
arm
acy
Pra
ctic
e Se
min
ar
Pro
fess
ion
al P
ract
ice
IV
Hea
lth
Sys
tem
s in
So
ciet
y II
P
har
mac
y P
ract
ice
Res
earc
h
Ph
arm
acet
ical
Car
e II
I
Sem
2
– Ye
ar
4
Elec
tive
s Se
lect
ed T
op
ics
in t
he
Ph
arm
aceu
tica
l In
du
stry
or
Ph
arm
acy
Pra
ctic
e M
anag
emen
t in
Co
mm
un
ity
or
Inst
itu
tio
nal
Ph
arm
acy
Pra
ctic
e M
anag
emen
t
SPEP
– In
stit
uti
on
(3
5
jam
per
min
ggu
sel
ama
8 m
ingg
u)
SPEP
– In
stit
uti
on
(3
5 ja
m p
er
min
ggu
sel
ama
8 m
ingg
u)
165
- Therapeutics meliputi: Pharmaceutical Ia & Ib;
Pharmaceutical Care II & III; Clinical
Biochemistry/Pathophysilogy/Pathology, dengan
persentase sebesar 13%.
- Lain-lain (Research/project/elective) meliputi:
Pharmacy Practice Research; Elective; Selected
Topics in the Pharmaceutical Industry or Pharmacy
Pracctice Management in the Community or
Institutional Pharmacy Practice Management,
dengan presentase sebesar 5%.
Program post-baccalaureate PharmD, tahun
pertama (8 bulan untuk UBC dan 12 bulan untuk UT)
terdiri dari program advanced-level courses dan tahun
kedua (16 bulan dan setiap 4 minggu sekali terjadi rotasi
di UBC dan 11 bulan dari rotasi untuk UT) terdiri dari
experiential clerkships. Kedua program tersebut
dirancang untuk memberikan pendidikan lanjutan dalam
praktek farmasi klinis.
Program UBC berfokus pada pelatihan untuk
memenuhi peran denga praktek sebagai ahli farmasi
klinis di rumah sakit, rawat jalan, tempat berbasis
masyarakat, pelayanan primer, akademisi, pelayanan
mandiri, pemerintahan, konsultan, industri, dan
lembaga pelayanan kesehatan. Demikian pula, program
UT melatih individu untuk menyediakan dan
mempromosikan keunggulan dalam pelayanan pasien
berfokus dan didasarkan pada filosofi pelayanan
kefarmasian. Jumlah rata-rata mahasiswa yang diterima
166
sebanyak 6 sampai 9 orang pertahun, dan sangat
kompetitif.
6. Pendidikan Tinggi Farmasi di India
Di India, pendidikan farmasi resmi yang mengarah
ke gelar dimulai dengan Bachelor selama 3 tahun
(BPharm) di Banaras Hindu University di tahun 1937.
Pada saat itu, kurikulum disajikan sebagai kombinasi
kimia farmasi, kimia analitik, dan farmasi, yang
menghasilkan lulusan yang disiapkan untuk bekerja
sebagai spesialis dalam kontrol kualitas dan standarisasi
obat untuk perusahaan farmasi, tetapi tidak untuk
praktek pekerjaan kefarmasian. Sebelum India
memperoleh kemerdekaan pada tahun 1947, ada 3
lembaga yang menawarkan program sarjana farmasi.
Pada tahun 1944, Universitas Punjab mulai membuka
departemen farmasi; dan pada tahun 1947 L.M. College
didirikan di Ahmedabad.
Pada kemerdekaan pada tahun 1947, India
diwariskan sistem untuk profesi farmasi dari kolonial
Inggris yang terorganisir dan tidak ada pembatasan
hukum atas praktek farmasi. Konsep Pharmacy Practice
tidak terealisasi sampai setelah kemerdekaan diperoleh.
Pada tahun 1948, UU Farmasi diberlakukan sebagai
standar minimum kualfikasi pendidikan untuk Pharmacy
Practice untuk mengatur praktek, pendidikan, dan
profesi farmasi. Ketentuan UU diimplementasikan
melalui Farmasi Dewan India (PCI). UU mengharuskan
masing-masing wilayah untuk mendirikan dewan
farmasi negara yang bertanggungjawab untuk
167
mengendalikan dan mendaftarkan apoteker di wilayah
masing-masing.
Berbagai program gelar farmasi yang ditawarkan di
India: diploma di bidang farmasi (DPharm), Sarjana
Farmasi (BPham), Master Farmasi (MPharm), Master of
Science in Pharmacy [MS(Pharm)] dan Master of
Technology in Pharmacy [Mtech(Pharm)], Doktor
Farmasi (PharmD), Doctor of Philosophy in Pharmacy
(Ph.D). Entry point, untuk program Dpharm, BPharm,
dan PharmD adalah 12 tahun pendidikan formal dalam
ilmu sciences. Program Dpharm membutuhkan minimal
2 tahun didactic coursework diikuti oleh 500 jam praktek
magang yang diperlukan diperkirakan akan selesai
dalam waktu 3 bulan baik rumah sakit maupun
komunitas. BPharm melibatkan selama 4 tahun belajar
diperguruan tinggi yang berafiliasi dengan universitas
atau sebuah departemen di universitas. Mahasiswa
memperoleh gelar BPharm bisa mendapatkan gelar
MPharm dalam 2 tahun, yang tahun kedua dkhususkan
untuk penelitian yang mengarah ke disertasi dalam
setiap disiplin farmasi, misalnya farmasi, farmakologi,
kimia farmasi atau kualitas, dan bioteknologi. Untuk
menghasilkan lulusan apoteker dipersiapkan untuk
menyediakan layanan berorientasi klinis, program
MPharm dalam pharmacy practice diperkenalkan di
Jagadguru Sri Shiveratreeswara (JSS) College of Farmasi
di Mysore pada tahun 1996 dan di Ooty pada tahun
1997. Sebanyak 6 National Institutes of Pharmaceutical
Education and Research (NIPERs) di India menawarkan
168
MS(Pharm), Mtech(Pharm), dan gelar yang lebih tinggi.
NIPERs dibentuk dengan visi memberikan keunggulan
dalam farmasi dan pendidikan yang berkaitan dengan
pekerjaan kefarmasian. Mahasiswa dengan gelar
MPharm dalam setiap disiplin dapat melanjutkan ke
program PhD dengan tambahan minimal 3 tahun studi
dan penelitian. Program PharmD merupakan studi 6
tahun penuh waktu. Program PharmD (Post-
baccalaurete) diperkenalkan pada tahun 2008 dengan
tujuan menghasilkan apoteker yang telah menjalani
pelatihan yang ekstensif ditempat latihan dan dapat
memberikan pelayana farmasi kepada pasien.
Kurikulum Dpharm yang direvisi pada tahun 1991
dan sama di semua perguruan tinggi. Perubahan
kurikulum dapat dilakukan dengan pemberitahuan
pemerintah pusat melalui amandemen UU Farmasi.
Pembelajaran farmasi dasar dari program ini terdiri dari
konsep sebagian besar merupakan konsep lama dan
banyak topik yang tidak relevan lagi dengan dunia kerja
kefarmasian. Praktek farmasetika II membutuhkan 100
jam untuk belajar setidaknya 100 produk resep dan
metode compounding and dispensing yang mencakup
campuran, serbuk bagi, liniments, dan berbagai
incompabilitas dalam resep. Semua topik ini semakin
berkurang relevansinya ketika obat diproduksi secara
massal dan siap untuk digunakan.
Orientasi apoteker telah berubah dari product-
oriented menuju patient-oriented. Perluasan peran
apoteker telah didorong terutama pada tahun 1990.
169
Ketika Helper dan Strand menciptakan istilah
Pharmaceutical care.
Pharmaceutical care merupakan pelayanan terkait
terapi obat yang disediakan yang tujuan mencapai hasil
yang pasti untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Sekitar 30.000 mahasiswa menerima gelar Dpharm
setiap tahun dan melaksanakan profesiona farmasi
tanpa diajarkan konsep pelayanan farmasi dan banyak
wilayah yang masih menjalankan konsep farmasi
kontemporer.
Tidak ada kurikulum BPharm standar dan bervariasi
di seluruh universitas yang menjalankan program
sarjana farmasi. Dalam hal ini beorientasi industri dan
produk. Sebagian besar perguruan tinggi farmasi
menawarkan pendidikan yang jauh relevan dengan
tempat praktek pelayanan kefarmasian. Tidak seperti
negara-negra lain, revisi kurikulum dan inovasi di India
termasuk perpaduan ilmu dasar (seperti matematika,
kimia fisik, kimia organik, dan kimia anorganik), kimia
lanjutan dan analisis (seperti biokimia, kimia obat, dan
kimia analitik) dan farmasi dasar (seperti farmasi,
farmakologi, farmakognosi, dan hukum farmasi).
Sebagai penjelasan rinci tentang kurikulum tingkat
BPharm/sarjana farmasi disajikan pada Tabel 5.7.
Berdasarkan Tabel 5.7 terkait kurikulum pendidikan
farmasi di Austria diatas, kurikulum dapat
dikelompokkan menjadi beberapa kelimpok sebagai
berikut:
170
- Enabling Sciences meliputi: Pharmaceutical
Chemistry I - VIII (Inorganic, Elementary Oganic
Chemistry, Pharmaceutical Organic Chemistry,
Biochemistry, Heterocyclic & Stereochemistry,
Chemistry of Synthetic Drugs, Medicinal Chemistry,
Medicinal Chemistry and Drug Design); Human
Anatomy and Physiology I & II; Value-based
Education and Environment Science; Computer
Application and audio Visual Programmes;
Mathematics and Biostatistics; Basic Concepts of
Social Life and Psycology; General Pharmacology;
Systemic Pharmacologi I & II; General
Pathophysiology; Phytochemistry, dengan
persentase sebesar 43%
- Pharmaceutical Sciences meliputi: Pharmaceutical
Analysis I, II & III; Pharmaceutical Technology,
Pharmacognosy I & II; Physical Pharmacy I & II,
Pharmaceutical Microbiology; Biopharmaceutics
and Pharmackinetics; Pharmaceutical Biotehnology;
Formulation Technology; Industrial Pharmacy;
Biochemical Pharmacology (Biological Screening &
Drug Development, dengan persentase sebesar
30%.
- Professional Practice meliputi: Dispensing
Pharmacy I & II; Principles of Hospital Pharmacy;
Druge Store Management ( Hospital Pharmacy II)
Social and Community Pharmacy; Research in
Pharmacy & Clinical Research Trials; Pharmacy
Practice-Concepts and Management;
171
Pharmaceutical Jurisprudence, dengan persentase
sebesar 17%.
- Therapeutics meliputi: Pharmacotherapy I & II;
Clinical Pharmacy Practice, dengan persentase
sebesar 6%.
- Lain-lain (Research/project/elective) dengan
presentase sebesar 4%.
Dengan melihat beberapa contoh program pendidikan
dan kurikulum di luar negeri, mahasiswa dapat
membandingkannya dengan kurikulum pendidikan di Indonesia.
Tidak tertutup kemungkinan adanya mahasiswa yang akan
melanjutkan studinya di luar negeri, sehingga pengetahuan
dasar ini dapat membantu dalam menentukan pilihannya.
172
Tab
el 5
.6 F
orm
at K
uri
kulu
m d
i In
dia
Sem
1
P
har
mac
euti
cal
Ch
emis
try
I &
II
(i
no
rgan
ic)
Hu
man
an
ato
my
and
Ph
ysio
logy
V
alu
e-b
ased
Ed
uca
tio
n
and
en
viro
nm
ent
scie
nce
Co
mp
ute
r ap
plic
atio
n
and
au
dio
vi
sual
p
rogr
amm
es
Dis
pe
nsi
ng
Ph
arm
acy
I P
rin
cip
les
of
Ho
spit
al
Ph
arm
acy
Sem
2
P
har
mac
euti
cal
Ch
emis
try
II
(Ele
men
tary
O
rgan
ic C
he
mis
ty)
Hu
man
A
nat
om
y an
d P
hys
iolg
y II
M
ate
mat
ics
and
b
iost
atis
tic
Bas
ic
con
cep
ts
of
soci
al
life
and
p
sych
olo
gy
Dis
pe
nsi
ng
Ph
arm
acy
III
Dru
g St
ore
m
anag
em
ent
(Ho
spit
al P
har
mac
y II)
Sem
3
P
har
mac
euti
cal
Ch
emis
try
III
(Ph
arm
acet
ical
O
rgan
ic
Ch
emis
try)
Ph
arm
aceu
tica
l A
nal
ysis
I P
har
mac
euti
cal
Tech
no
logy
P
har
mac
ogn
osy
I P
hys
ical
P
har
mac
y I
Soci
al a
nd
Cp
mm
un
ity
Ph
arm
acy
Sem
4
P
har
mac
euti
cal
Ch
emis
try
IV
(Het
ero
cylic
&
St
ere
och
em
istr
y)
Ph
arm
aceu
tica
l C
hem
istr
y V
(B
ioch
emis
try)
Gen
eral
P
har
mac
olo
gy
Ph
arm
aco
gno
sy II
P
har
mac
etic
al M
icro
bio
logy
Ph
ysic
al P
har
mac
y II
Sem
5
P
har
mac
euti
cal
Ch
emis
try
VI
(Ch
em
istr
y o
f sy
nth
etic
dru
gs)
Syst
em
ic
Ph
arm
aco
logy
I G
ener
al
Pat
ho
ph
ysio
logy
P
hyt
och
emis
try
Bio
ph
arm
ace
uti
cs
and
P
har
mac
oki
net
ics
Ph
arm
acet
ical
b
iote
chn
olo
gy
173
Sem
6
P
har
mac
etu
cal
Ch
emis
try
VII
(M
ed
icin
al C
hem
istr
y)
Syst
em
atic
P
har
mac
olo
gy II
P
har
mac
euti
cal
anal
ysis
II
Res
earc
h
in
Ph
arm
acy
&
Clin
ical
R
esea
rch
tri
als
Ph
arm
acy
Pra
ctic
e-C
on
cep
ts
and
ma
nag
eme
nt
Ph
arm
aceu
tica
l Ju
risp
rud
en
ce
Sem
7
In
du
stri
al
Ph
arm
aco
gno
sy
Form
ula
tio
n
Tech
no
logy
P
har
mac
euti
cal
anal
ysis
III
Ph
arm
aco
ther
apy
P
reje
ct
Sem
8
P
har
mac
euti
cal
Ch
emis
try
VII
I (M
ed
icin
al
Ch
em
istr
y an
d D
rug
Des
ign
)
Ind
ust
rial
P
har
mac
y B
ioch
emic
al
Ph
arm
aco
logy
(B
iolo
gica
l Sc
reen
ing
&
Dru
g D
evel
op
men
t)
Ph
arm
aco
ther
apy
II P
roje
ct
Clin
ical
P
har
mac
y P
ract
ice
174
Gambar 5.2 Perbandingan konten Program kurikulum berbagai negara (Sumber: Pharmacy Education Symphosium Tahun 2011 dari Monash University)
Gambar 5.2 diatas menunjukkan bahwa adanya
perbedaan persentase antara farmasi sains dan farmasi praktis
itu tergantung dengan kebutuhan negaranya masing-masing.
Yang menjadi penyamaan untuk semuanya adalah ada standar
minimal yang harus diketahui oleh mahasiswa untuk menjadi
sebagai lulusan farmasi atau yang dikenal di Indonesia adalah
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia. Untuk negara Australia,
Canada, dan Inggris muatan antara farmasi sains dan farmasi
praktis seimbang. Amerika Serikat bersandar ke arah farmasi
praktis (Pharmacy practice), dengan sistem ilmu pengetahuan
pre-pharmacy. Eropa (Belanda) lebih menekankan pada
traditional sciences. Sedangkan Asia (India) lebih menekankan
pada memungkinkan traditional sciences dan ilmu farmasi.
175
5.3 Pendidikan Farmasi di Indonesia
Pendidikan Tinggi khususnya penyelenggara pendidikan
farmasi di Indonesia memiliki peran besar untuk mencetak
lulusan farmasi yang diharapkan memiliki daya saing dan
kompetensi terutama dalam menghadapi era persaingan global
atau yang dikenal dengan sebutan Maysarakat Ekonomi ASEAN
(MEA). Penyelenggara pendidikan farmasi sejak zaman
kemerdekaan terus mengalami pertumbuhan baik jumlah
penyelenggara maupun kualitas penyelenggara dalam
menghasilkan lulusan berdaya saing dan kompetitif. Dari masa
ke masa sistem dan kuantitas penyelenggara terus bertambah,
berbagai sejarah, jenjang pendidikan, pelaksana pendidikan, dan
lain-lain akan dibahas pada bab ini.
5.3.1 Sejarah Perkembangan Pendidikan Farmasi di
Indonesia.
Perkembangan pendidikan tinggi kefarmasian di
Indonesia dapat dibagi dalam era pra Perang Dunia II, Zaman
Pendudukan Jepang dan pasca Proklamasi Kemerdekaan R.I.
Sebelum Perang Dunia II, selama penjajahan Belanda hanya
terdapat beberapa Apoteker yang berasal dari Denmark,
Austria, Jerman dan Belanda. Tenaga kefarmasian yang dididik
di Indonesia hanya setingkat Asisten Apoteker (AA), yang mulai
dihasilkan tahun 1906. Pelaksanaan pendidikan A.A. ini
dilakukan secara magang, ada apotek yang ada Apotekernya dan
setelah periode tertentu seorang calon menjalani ujian negara.
Pada tahun 1918 dibuka sekolah Asisten Apoteker yang pertama
dengan penerimaan murid lulusan MULO Bagian B (Setingkat
SMP). Pada tahun 1937 jumlah Apotek di seluruh Indonesia
176
hanya 37. Pada awal Perang Dunia ke-2 (1941) banyak Apoteker
warga negara asing meninggalkan Indonesia sehingga terdapat
kekosongan Apotek. Untuk mengisi kekosongan itu diberi izin
kepada dokter untuk mengisi jabatan di Apotek, juga diberi izin
kepada dokter untuk membuka Apotek-Dokter (Dokters-
Apotheek) di daerah yang belum ada Apoteknya.
Pada zaman pendudukan Jepang mulai dirintis
pendidikan tinggi Farmasi dengan nama Yukugaku sebagai
bagian dari Jakarta Ika Daigaku. Pada tahun 1944 Yakugaku
diubah menjadi Yaku Daigaku. Pada tahun 1946 dibuka
Perguruan Tinggi Ahli Obat di Klaten yang kemudian pindah dan
berubah menjadi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada di
Yogyakarta. Tahun 1947 diresmikan Jurusan Farmasi di Fakultas
Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Alam (FIPIA), Bandung sebagai
bagian dari Universitas Indonesia, Jakarta, yang kemudian
berubah menjadi Jurusan Farmasi, Institut Teknologi Bandung
pada tanggal 2 Mei 1959.
Lulusan Apoteker pertama di UGM sebanyak 2 orang
dihasilkan pada tahun 1953. Pada periode ini di Indonesia
terdapat 8 perguruan tinggi farmasi negeri dan belasan
perguruan tinggi swasta. Pendidikan farmasi berkembang seiring
dengan pola perkembangan teknologi agar mampu
menghasilkan produk obat yang memenuhi persyaratan dan
sesuai dengan kebutuhan. Kurikulum pendidikan bidang farmasi
disusun lebih ke arah teknologi pembuatan obat untuk
menunjangn keberhasilan para anak didiknya dalam
melaksanakan tugas profesinya. Dilihat dari sisi pendidikan
Farmasi, di Indonesia mayoritas farmasi pada awalnya belum
merupakan bidang tersendiri melainkan termasuk dalam bidang
177
MIPA (Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) yang
merupakan kelompok ilmu murni (Basic Science) sehingga
lulusan S1-nya pun bukan disebut Sarjana Farmasi melainkan
Sarjana Sains. Namun, sejak akhir tahun 1990-an dan awal tahun
2000-an beberapa perguruan mulai berdiri sendiri dan terpisah
dengan fakultas MIPA menjadi Fakultas Farmasi, dan gelarnya
pun berubah menjadi Sarjana Farmasi, meskipun sampai saat ini
beberapa perguruan tinggi masih belum memisahkan fakultas
farmasi dengan fakultas MIPA maupun dari Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan (dibawah naungan perguruan tinggi
Departemen Agama).
Sejak tahun 2011, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah
Mada (UGM) membuat dan membagi program sarjana farmasi
kedalam empat minat yaitu minat ilmu farmasi, farmasi industri,
farmasi klinik dan komunitas, dan farmasi bahan alam.
Sedangkan Sekolah Farmasi, Institut Teknologi Bandung (ITB)
membagi dua program studi yaitu farmasi sains dan teknologi,
dan farmasi klinik dan komunitas. Selain itu, sebagian besar
institusi pendidikan tinggi diseluruh Indonesia membuka
prorgam studi sarjana farmasi dan diploma farmasi.
Sampai saat ini, jumlah lembaga pendidikan tinggi
termasuk akademi dimana institusi/lembaga pendidikan yang
membuka program diploma tiga farmasi dan analis farmasi baik
dari lembaga negeri maupun swasta sebanyak 79 institusi,
institusi pendidikan yang membuka program sarjana farmasi
baik negeri maupun swasta sebanyak 67 institusi, institusi
pendidikan yang membuka program profesi apoteker baik
negeri maupun swasta sebanyak 28 institusi, institusi
pendidikan yang membuka program magister farmasi baik
178
swasta maupun negeri sebanyak 12 institusi (khusus ITB
membuka 2 program magister), sedangkan untuk program
Doktor ilmu farmasi sebanyak 5 institusi yang semuanya
berstatus negeri. Jumlah tersebut diatas kemungkinan besar
akan terus bertambah melihat animo masyarakat tentang
ketertarikan untuk belajar ilmu farmasi terus meningkat dan
ditambah lagi kebutuhan tenaga kefarmasian di berbagai sektor
diseluruh wilayah Indonesia semakin meningkat. Belum lagi,
peluang lulusan farmasi untuk bekerja di negara tetangga di era
globalisasi sekarang ini.
5.3.2 Jenjang Pendidikan Farmasi di Indonesia
1. Sekolah Menengah Farmasi
Dari sejarah perkembangan kefarmasiaan di
Indonesia tampak besarnya peranan pendidikan
menengah farmasi (Sekolah Asisten Apoteker),
khususnya pada saat langkanya tenaga kefarmasian
berpendidikan tinggi. Pada saat peralihan sampai
dikeluarkannya PP 25 tahun 1980, masih dimungkinkan
adanya ”Apotek Darurat” yaitu Apotek yang dikelola
oleh Asisten Apoteker yang sudah berpengalaman kerja.
Tenaga menengah farmasi ini masih sangat diperlukan
dan sangat berperan dalam pengelolaan obat,
khususnya pada Farmasi Komunitas, baik di Apotek
maupun di Rumah Sakit. Dengan bertambahnya tenaga
farmasi berpendidikan tinggi, peranan ini akan semakin
kecil, sehingga perlu dipikirkan untuk meningkatkan
pendidikan AA ini setingkat akademi (lulusan SMA).
179
Mulai tahun 2000, pendidikan menengah ini mulai
“phasing out”, ditingkatkan menjadi Akademi Farmasi.
2. Program Diploma Farmasi
Sejak 1991 telah dirintis pembukaan pendidikan
tenaga farmasi ahli madya dalam bentuk Program
Diploma (D-III) oleh Departemen Kesehatan, yaitu
Program Studi Analis Farmasi. Kebutuhan ini merupakan
konsekuensi perkembangan di bidang kesehatan yang
semakin memerlukan tenaga ahli, baik dalam jumlah
maupun kualitas, dan semakin memerlukan diversifikasi
tenaga keahlian. Tujuan utama program studi ini ialah
menghasilkan tenaga ahli madya farmasi yang
berkompetensi untuk pelaksanaan pekerjaan di bidang
pengendalian kualitas (quality control). Adapun peranan
yang diharapkan dari lulusan program Studi Analis
Farmasi ialah: Melaksanakan analisis farmasi dalam
laboratorium: obat, obat tradisional, kosmetika,
makanan-minuman, bahan berbahaya dan alat
kesehatan; di industri farmasi, instalasi farmasi rumah
sakit, instansi pengawasan mutu obat dan makanan-
minuman atau laboratorium sejenisnya, di sektor
pemerintah maupun swasta, dengan fungsi:
Pelaksanaan analisis, pengujian mutu, pengembangan
metode analisis dan peserta aktif dalam pendidikan dan
penelitian di bidang analisis farmasi.
Program ini diharapkan dapat dikelola oleh
perguruan tinggi negeri yang mempunyai fakultas atau
Jurusan Farmasi dengan status Program Diploma (D-III).
Kemungkinan besar Sekolah Menengah Farmasi di masa
180
yang akan datang dapat ditingkatkan menjadi Program
Diploma seperti yang diuraikan di atas. Ramalan para
pakar lebih dari 10 tahun yang lalu, sekarang ini sudah
menjadi kenyataan melalui ketentuan yang
mengharuskan pendidikan menengah ditingkatkan
menjadi Akademi.
Daftar program studi D-III Farmasi di Indonesia
adalah sebagai berikut:
1. Akademi Analis Farmasi Al-Islam, Yogyakarta
2. Akademi Analisis Farmasi dan Makanan 17 Agustus
1945 Semarang, Semarang
3. Akademi Analisis Farmasi dan Makanan Banda
Aceh, Banda Aceh
4. Akademi Analisis Farmasi dan Makanan Sunan Giri,
Ponorogo
5. Akademi Farmasi Al-Islah, Cilegon
6. Akademi Farmasi Bhumi Husada, Jakarta
7. Akademi Farmasi Bina Farmasi, Palu
8. Akademi Farmasi Bumi Siliwangi, Bandung
9. Akademi Farmasi Dwi Frama, Bukit Tinggi
10. Akademi Farmasi Hang Tuah, Jakarta
11. Akademi Farmasi Imam Bonjol Bukittinggi,
Bukittinggi
12. Akademi Farmasi Indah Deli Serdang, Medan
13. Akademi Farmasi Indonesia Yogyakarta, Yogyakarta
14. Akademi Farmasi Jember, Jember
15. Akademi Farmasi Kebangsaan, Makassar
16. Akademi Farmasi Kusuma Husada Purwokerto,
Banyumas
181
17. Akademi Farmasi Medika Nusantara, Palu
18. Akademi Farmasi Mitra Sehat Mandiri Sidoarjo,
Sidoarjo
19. Akademi Farmasi Muhammadiyah Cirebon, Cirebon
20. Akademi Farmasi Pemerintah Aceh, Kuta Alam
21. Akademi Farmasi Muhammadiyah Kabupaten
Kuningan, Kuningan
22. Akademi Farmasi Nasional Surakarta, Surakarta
23. Akademi Farmasi Nusaputera, Semarang
24. Akademi Farmasi Pemprov. Jambi, Jambi
25. Akademi Farmasi Prayoga Padang, Padang
26. Akademi dan Analisis Farmasi dan Makanan Putera
Indonesia, Malang
27. Akademi Farmasi Putra Indonesia Malang, Malang
28. Akademi Farmasi Ranah Minang, Sumatera Barat
29. Akademi Farmasi Sandi Karsa, Makassar
30. Akademi Farmasi Saraswati Denpasar, Denpadar
31. Akademi Farmasi Surabaya, Surabaya
32. Akademi Farmasi Theresia, Semarang
33. Akademi Farmasi Yamasi Makassar, Makassar
34. Akademi Farmasi Yarsi Pontianak, Pahandut
35. Akademi Farmasi Yayasan Al-Fatah, Bengkulu
36. Akademi Farmasi Yayasan Tenaga Pembangunan
Arjuna Laguboti, Sumatera Utara
37. Akademi Farmasi YPF, Bandang
38. Akademi Kesehatan Arga Husada, Kediri
39. Politeknik Harapan Bersama, Tegal
40. Politeknik Kesehatan Bhakti Mulia, Sukhoharjo
182
41. Politeknik Kesehatan Bhakti Setya Indonesia,
Yogyakarta
42. Politeknik Kesehatan Kemenkes Aceh, Aceh Barat
43. Politeknik Kesehatan Kemenkes Jakarta II, Jakarta
44. Politeknik Kesehatan Jakarta II, Jakarta
45. Politeknik Kesehatan Kemenkes Makassar,
Makassar
46. Politeknik Kesehatan Kemenkes Palembang,
Palembang
47. Politeknik Kesehatan Permata Indonesia
Yogyakarta, Sleman
48. Politeknik Medica Farma Husada Mataram,
Mataram
49. Sekolah Tinggi Farmasi Bandung, Bandung
50. Sekolah Tinggi Farmasi Muhammadiyah Tangerang,
Tangerang
51. Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Bhakti Pertiwi,
Palembang
52. Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau, Pekanbaru
53. Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi (STIFAR) Yayasan
Pharmasi Semarang, Semarang
54. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Al-Irsyad Al
Islamiyah, Cilacap
55. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Andini Persada,
Mamuju
56. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bhakti Pertiwi Luwu
Raya, Palopo
57. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Halmahera,
Halmahera Utara
183
58. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Holistik, Purwakarta
59. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal, Kendal
60. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Madani, Yogyakarta
61. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Mohammad Husni
Thamrin, Jakarta
62. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah
Banjarmasin, Banjarmasin
63. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah
Ciamis, Ciamis
64. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah
Klaten, Klaten
65. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah
Manado, Manado
66. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Nani Hasanuddin,
Makassar
67. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Qamarul Huda,
Lombok Tengah
68. Universitas Abdurrab, Riau
69. Universitas Kader Bangsa, Palembang
70. Universitas Muhammadiyah Magelang, Magelang
71. Universitas Mulawarman, Samarinda
72. Universitas Nahdatul Wathan Mataram, Mataram
73. Universitas Negeri Gorontalo, Gorontalo
74. Universitas Pancasila, Jakarta
75. Universitas Pekalongan, Pekalongan
76. Universitas Sains dan Teknologi Jayapura, Jayapura
77. Universitas Setia Budi Surakarta, Surakarta
78. Universitas Sumatera Utara, Medan
184
3. Pendidikan Tinggi Farmasi
Perkembangan pendidikan tinggi Farmasi di
Indonesia sejak berdirinya perguruan tinggi farmasi yang
pertama di Klaten dan Bandung. Selama masa periode
pasca kemerdekaan Republik Indonesia lembaga
pendidikan tinggi yang melaksanakan program
pendidikan Sarjana Farmasi terus mengalami
peningkatan baik perguruan tinggi negeri maupun
perguruan tinggi swasta. Pendidikan tinggi merupakan
lembaga pendidikan yang berperan besar dalam
menghasilkan lulusan yang berdaya saing dan memiliki
kompetensi, terutama dalam menghadapi era
persaingan global atau yang dikenal dengan sebutan
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaan
pada tanggal 17 Agustus 1945. Peran lembaga
pendidikan terus digenjot untuk menghasilkan lulusan
yang diharapkan mampu mengisi kemerdekaan untuk
meningkatkan pembangunan bangsa. Pendidakan Tinggi
Farmasi juga terus mengalami pengembangan dan
perubahan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki
kemampuan sebagai sarjana farmasi. Semua lembaga
Pendidikan Tinggi Farmasi di Indonesia dinaungi oleh
beberapa kementerian yaitu Kementerian Riset
Teknologi, Pendidikan Tinggi Republik Indonesia dan
Kementerian Agama Republik Indonesia, dan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Sistem pengelolaan pendidikan Farmasi di
Indonesia berbeda-beda berdasarkan kualifikasi
185
Perguruan Tinggi yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia, baik yang berstatus swasta, maupun negeri
(meliputi status PTNBH, BLU, dan PTN). Namun,
program pendidikan sarjana harus memiliki standar
minimal yang telah disusun oleh Asosiasi Perguruan
Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI) bekerjasama dengan
organisasi profesi Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) dan
berkordinasi dengan Kementerian terkait yang mengacu
pada Peraturan Presiden RI No. 8 Tahun 2012 tentan
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).
Berbagai ketentuan perundang-undangan di atas
menjadi landasan bagi Asosiasi Pendidikan Tinggi
Farmasi Indonesia (APTFI) untuk menyusun dan
menetapkan standar kompetensi lulusan (learning
outcomes) dan standar kurikulum sebagai rambu-rambu
bagi semua institusi penyelenggara pendidikan tinggi
farmasi (PTF) dalam menjamin mutu dan kompentensi.
Standar kompetensi lulusan dan standar kurikulum ini
merupakan bagian dari standar pendidikan sarjana
farmasi dan standar pendidikan profesi apoteker.
Dengan adanya berbagai perkembangan terutama
dalam bidang kesehatan yang terjadi baik pada tingkat
nasional maupun tingkat global diantaranya
meningkatnya kebutuhan akan pelayanan kesehatan
yang bermutu, adanya persaingan global yang mau tidak
mau sangat mempengaruhi penyelenggaraan
pendidikan dan mutu lulusan, serta perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat menuntut
pengelola lembaga pendidikan tinggi farmasi untuk
186
melakukan perubahan yang sangat mendasar agar dapat
menghadapi berbagai tantangan yang sudah nyata di
depan mata. Dalam rangka menghadapi arus globalisasi
yang memungkinkan masuknya tenaga kerja asing antar
negara dapat menjadi suatu ancaman, namun sekaligus
merupakan peluang bagi lulusan sarjana farmasi untuk
menjadi tenaga kefarmasian di luar negeri. Kondisi
tersebut menjadi tantangan yang tidak mudah bagi
lembaga pengelola pendidikan tinggi farmasi dan
pemangku kepentingan untuk menghasilkan lulusan
sarjana farmasi yang memiliki kompetensi dan mutu
terstandar, dalam jumlah yang cukup dan tersebar
merata, serta relevan dengan kebutuhan baik ditingkat
regional, nasional, dan global untuk memberikan
pelayanan kebutuhan kesehatan masyarakat.
Namun, mengingat wilayah Indonesia sangat luas
yaitu dari Sabang sampai Merauke dan kecenderungan
lembaga pendidikan tinggi farmasi tidak tersebar merata
diseluruh wilayah Indonesia. Akan tetapi, tertumpuk di
satu wilayah misalnya di pulau jawa sangat banyak
sementara di daerah lain sangat minim terutama di
wilayah Indonesia bagian timur. Dengan kondisi
tersebut, pelaksanaan pendidikan memiliki beberapa
permasalahan yang dihadapi pendidikan tinggi farmasi
Indonesia saat ini antara lain:
a. Adanya kesenjangan mutu yang cukup lebar antar
lembaga/institusi pendidikan tinggi farmasi.
187
b. Orientasi kurikulum pendidikan tinggi farmasi
belum mampu menjawab perkembangan
kebutuhan masyarakat.
c. Minimnya dana pendidikan/investasi, biaya per-
unit, sarana dan prasarana pembelajaran yang
tersedia.
d. Belum tersedianya model uji kompetensi untuk
standarisasi lulusan pendidikan tinggi farmasi.
e. Minimnya perhatian dan/atau dukungan
pemerintah pada pengembangan pendidikan tinggi
farmasi.
Namun, upaya untuk menyelesaikan permasalahan
pada kondisi tersebut, telah dilakukan penataan sistem
pendidikan pada umumnya dan pendidikan farmasi
pada khususnya dalam bentuk Akreditasi program studi
dan Institusi. Selain itu, penataan sistem pendidikan
tenaga kefarmasian yang mendasar agar dapat
mengatasi kompleksitas permasalahan yang dialami saat
ini sekaligus mengantisipasi kebutuhan di masa depan.
Salah satu persyaratan satuan pendidikan untuk
dapat mengeluarkan sertifikat atau ijazah adalah
terakreditasinya satuan pendidikan baik ditingkat
institusi maupun di tingkat program. Untuk itu
pemerintah melakukan akreditasi pada setiap jenjang
dan satuan pendidikan untuk menentukan kelayakan
program dan/atau satuan pendidikan. Dalam
melaksanakan akreditasi pemerintah membentuk
badan/lembaga mandiri yang diberi kewenangan oleh
pemerintah untuk melakukan akreditasi. Akreditasi
188
merupakan bentuk akuntabilitas kepada publik yang
dilakukan secara objektif, adil, transparan, dan
komprehensif dengan menggunakan instrumen dan
kriteria yang mengacu pada Standar Nasional
Pendidikan. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah
dalam hal ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada
tahun 1994 membentuk Badan Akreditasi Nasional
Perguruan Tinggi (BAN-PT) yang bertugas melakukan
akreditasi perguruan tinggi. Pada awal pembentukannya
BAN-PT memutuskan untuk melakukan akreditasi
program studi terlebih dahulu dengan pertimbangan
bahwa program studi lebih menentukan mutu hasil
pendidikan. Pada kenyataannya menunjukkan bahwa
mutu program studi dipengaruhi oleh keterkaitan antara
program studi satu dengan yang lainnya dalam satu
institusi.
Perkembangan era globalisasi dan adanya
reformasi dari berbagai bidang dalam pemerintahan
untuk melakukan berbagai perubahan yang melahirkan
Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Pasal 61 ayat (2) yang
menyatakan bahwa ijazah diberikan kepada peserta
didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar
dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah
lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan
yang terakreditasi, Peraturan Pemerintah RI Nomor 19
Tahun 2005 Pasal 86 ayat (1) dinyatakan bahwa
Pemerintah melakukan akreditasi pada setiap jenjang
dan satuan pendidikan untuk menentukan kelayakan
189
program dan/atau satuan pendidikan dan dalam ayat (2)
dinyatakan bahwa kewenangan akreditasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Lembaga
Mandiri yang diberikan kewenangan oleh pemerintah
untuk melakukan akreditasi, pada Pasal 87 ayat (1)
dinyatakan akreditasi oleh pemerintah sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal 86 ayat (1) butir b
dilaksanakan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan
Tinggi terhadap program dan/atau satuan pendidikan
jenjang pendidikan tinggi dan Pasal 94 ayat (b)
ketentuan peralihan dari Peraturan Pemerintah No. 19
tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
dinyatakan bahwa Satuan Pendidikan wajib
menyesuaikan diri dengan ketentuan Peraturan
Pemerintah ini paling lambat 7 (tujuh) tahun sejak
ditetapkannya Peraturan ini (ditetapkan tanggal 16 Mei
2005) dan Peraturan perundang-undangan lainnya serta
kecenderungan kebijakan tentang pendidikan tinggi
yang menekankan pada mutu dan akuntabilitas publik,
institusi perguruan tinggi dan program studi membawa
konsekuensi terhadap kriteria maupun instrumen
akreditasi. Selanjutnya melalui Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 59 tahun 2012 tentang
BAN-PT dituntut untuk lebih memberikan layanan
akreditasi yang transparan dan akuntabel.
Proses akreditasi untuk pendidikan kesehatan
termasuk farmasi dilakukan oleh Lembaga Akreditasi
Mandiri Perguruan Tinggi Kesehatan (LAMPTKes) dan
akreditasi institusi dilakukan oleh Badan Akreditasi
190
Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). LAM PT Kes
didirikan berdasarkan kesepakatan sejumlah masyarakat
profesi kesehatan yang terdiri atas asosiasi serta
institusi pendidikan dan organisasi profesi, meliputi
Kedokteran, Kedokteran Gigi, Bidan, Perawat, Gizi,
Farmasi, dan Kesehatan Masyarakat. LAMPTKes
dihadirkan dalam upaya penjaminan mutu program
studi, sebagaimana diamanahkan di Undang-Undang
(UU) Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, serta diperkuat pada UU Nomor 12/2012
tentang Pendidikan Tinggi dan Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50/2014 tentang
Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi (SPM-DIKTI).
Daftar lembaga-lembaga pengelola Program Pendidikan
Farmasi sebagai berikut ini:
1. Program Studi Sarjana Farmasi
Daftar Program Studi Sarjana Farmasi di Indonesia
adalah sebagai berikut:
1. Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta,
Jakarta
2. Institut Teknologi Bandung, Bandung
3. Sekolah Tinggi Farmasi Bandung, Bandung
4. Sekolah Tinggi Farmasi dan Pengetahuan Alam
(STIFA) Palu, Palu
5. Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia Perintis Padang,
Padang
6. Sekolah Tinggi Frmasi Muhammadiyah Tangerang,
Tangerang
7. Sekolah Tinggi Farmasi YPIB Cirebon, Cirebon
191
8. Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Bhakti Pertiwi,
Palembang
9. Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi, Makassar
10. Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi (STIFARM), Padang
11. Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Padang, Padang
12. Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Pelita Mas, Palu
13. Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau, Pekanbaru
14. Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Yayasan Pharmasi,
Semarang
15. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Avicenna, Kendari
16. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bakti Tunas Husada,
Tasikmalaya
17. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Harapan Inu Jambi,
Jambi
18. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Mega Rezqy,
Makassar
19. Sekolah Tinggi Teknologi Industri Farmasi Bogor,
Bogor
20. Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, Jakarta
21. Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
22. Universitas Airlangga, Surabaya
23. Universitas Al-Ghifari, Bandung
24. Universitas Andalas, Padang
25. Universitas Brawijaya, Malang
26. Universitas Cendrawasih, Jayapura
27. Universitas Tjut Nyak Dhien, Medan
28. Universitas Efarina, Simalungun
29. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
30. Universitas Garut, Garut
192
31. Universitas Halu Oleo, Kendari
32. Universitas Hang Tuah, Surabaya
33. Universitas Hasanuddin, Makassar
34. Universitas Indonesia, Depok
35. Universitas Indonesia Timur, Makassar
36. Universitas Islam Makassar, Makassar
37. Universitas Islam Negeri Alauddin, Makassar
38. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang, Malang
39. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
Jakarta
40. Universitas Islam Negeri Sultan Agung, Semarang
41. Universitas Jenderal Achmad Yani (UNJANI), Cimahi
42. Universitas Jenderal Seodirman, Banyumas
43. Universitas Kader Bangsa, Palembang
44. Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya,
Surabaya
45. Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
46. Universitas Mathla’ul Anwar, Pandeglang
47. Universitas Muhammadiyah Malang, Malang
48. Universitas Muhammadiyah Prof, Dr. Hamka,
Jakarta
49. Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta
50. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Bantul
51. Universitas Mulawarman, Samarinda
52. Universitas Muslim Indonesia, Makassar
53. Universitas Muslim Nusantara Al-Wasliyah, Medan
54. Universitas Negeri Goronalo, Gorontalo
55. Universitas Padjadjaran, Bandung
193
56. Universitas Pakuan, Bogor
57. Universitas Pancasila, Jakarta
58. Universitas Sam Ratulangi, Manado
59. Universitas Setia Budi Surakarta, Surakarta
60. Universitas Sriwijaya, Palembang
61. Universitas Sumatra Utara, Medan
62. Universitas Surabaya, Surabaya
63. Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
64. Universitas Tadulako, Palu
65. Universitas Tanjungpura, Pontianak
66. Universitas Udayana, Badung
67. Universitas Wahid Hasyim, Semarang
2. Program Profesi Apoteker
Daftar program studi profesi Apoteker di Indonesia
1. Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta,
Jakarta
2. Institut Teknologi Bandung, Bandung
3. Sekolah Tinggi Farmasi Bandung, Bandung
4. Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Yayasan Pharmasi,
Semarang
5. Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, Jakarta
6. Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
7. Universitas Airlangga, Surabaya
8. Universitas Andalas, Padang
9. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
10. Universitas Hasanuddin, Makassar
11. Universitas Indonesia, Depok
12. Universitas Islam Indonesia, Sleman
13. Universitas Jember, Jember
194
14. Universitas Jenderal, Achmad Yani, Cimahi
15. Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya,
Surabaya
16. Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka,
Jakarta
17. Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Banyumas
18. Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta
19. Universitas Mulawarman, Samarinda
20. Universitas Muslim Indonesia, Makassar
21. Universitas Padjdjaran, Bandung
22. Universitas Pancasila, Jakarta
23. Universitas Sanata Dharma, Sleman
24. Universitas Setia Budi Surakarta, Surakarta
25. Universitas Sumatera Utara, Medan
26. Universitas Tanjung Pura, Pontianak
27. Universitas Udayana, Badung
28. Universitas Wahid Hasyin, Semarang
3. Program Magister Farmasi
Daftar Program S2 Farmasi di Indonesia sebagai berikut:
1. Institut Teknologi Bandung, Bandung (S2 Farmasi
dan S2 Farmasi Industri)
2. Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta (S2 Farmasi)
3. Universitas Airlangga, Surabaya (S2 Farmasi Klinik)
4. Universitas Andalas, Padang (S2 Farmasi)
5. Universitas GadjahMada, Yogyakarta (S2 Ilmu
Farmasi)
6. Universitas Hasanuddin, Makassar (S2 Farmasi)
7. Universitas Indonesia, Depok (S2 Ilmu Kefarmasian)
8. Universitas Padjadjaran, Bandung (S2 Farmasi)
195
9. Universitas Pancasila, Jakarta (S2 Farmasi)
10. Universitas Setia Budi Surakarta, Surakarta (S2
Farmasi)
11. Universitas Sumatera Utara, Medan (S2 Farmasi)
12. Universitas Surabaya, Surabaya (S2 Farmasi)
4. Program Doktor Ilmu Farmasi
Daftar Program Doktor Farmasi di Indonesia
sebagai berikut:
1. Institut Teknologi Bandung, Bandung
2. Universitas Airlangga, Surabaya
3. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
4. Universitas Indonesia, Depok
5. Universitas Sumatera Utara, Medan
Sejak tahun 2000-an, jumlah Pendidikan Tinggi Farmasi
di Indonesia akan terus bertambah baik yang dikelola oleh
pendidikan tinggi negeri maupun swasta. Namun,
penyebarannya tidak merata dan terbanyak di pulau Jawa
sedangkan di wilayah lain terutama bagian timur Indonesia
masih sangat sedikit itupun hanya di wilayah Sulawesi dan Bali.
Hal ini penting untuk menjadi perhatian khusus oleh Pemerintah
melalui kementerian Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi
(RISTEK DIKTI) untuk membatasi pembukaan program
pendidikan sarjana farmasi untuk wilayah tertentu (terutama
wilayah yang telah banyak membuka program pendidikan
Farmasi).
5.3.3 Kurikulum Perguruan Tinggi Farmasi di Indonesia
Sistem Pendidikan Tinggi Farmasi di Indonesia, memiliki
beberapa jenjang berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun
196
2012 terdiri dari pendidikan akademik, pendidikan vokasi, dan
pendidikan profesi. Pendidikan akademik merupakan
pendidikan tinggi program sarjana dan/atau program
pascasarjana yang diarahkan pada penguasaan dan
pengembangan cabang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi program
diploma yang menyiapkan mahasiswa untuk pekerjaan dengan
keahlian terapan tertentu sampai program sarjana terapan.
Sedangkan pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi
setelah program sarjana yang menyiapkan mahasiswa untuk
pekerjaan yang memerlukan persyaratan keahlian khusus. Pada
pasal 35 dinyatakan bahwa kurikulum pendidikan tinggi
merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan ajar, serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Sekolah menengah
atas (SMA, Madrasah Aliyah, dan SMK) dapat melanjutkan ke
pendidikan tinggi Farmasi pada jenjang sarjana atau
vokasi/diploma. Sedangkan jalur untuk mengambil profesi
Apoteker setelah menyelesaikan program sarjana farmasi.
Sedangkan vokasi/diploma boleh lanjut ke profesi Apoteker
setelah bekerja minimal dua tahun dan tentunya mengikuti
penyetaraan terlebih dahulu dengan program sarjana farmasi,
idealnya seperti itu. Akan tetapi kenyataanya tidak seperti itu,
kebanyakan lulusan diploma langsung melanjutkan ke program
sarjana farmasi untuk mengejar untuk menjadi Apoteker. Selain
itu, sarjana farmasi boleh langsung mengambil magister farmasi
tanpa mengikut program profesi Apoteker terlebih dahulu.
197
Ilmu dasar yang diperlukan untuk belajar dalam bidang
farmasi yaitu minimal pernah belajar dan memahami ilmu
pengetahuan alam dasar seperti kimia, fisika, biologi, dan
matematika, ditambah dengan bahasa Inggris. Namun, berbeda
dengan sistem diluar negeri, sistem seleksi masuk perguruan
tinggi baik pada perguruan tinggi negeri maupun swasta, selain
mata pelajaran diatas juga diujikan tes psikotest (Tes potensi
akademik).
Penyelenggaraan pendidikan farmasi di Indonesia saat
ini mengacu pada kurikulum nasional yang ditetapkan oleh
APTFI (Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia) pada tahun
2008 yaitu Kurikulum Inti Program Pendidikan Sarjana Farmasi
(dapat dilihat pada Tabel 3.7) dan Kurikulum Program
Pendidikan Apoteker (dapat dilihat pada Tabel 3.8). Namun, ciri
khas masing-masing perguruan tinggi berbeda-beda
berdasarkan kebutuhan dan potensi pengembangan Sumber
Daya Alam dan Sumber Daya Manusia yang dihasilkan.
Sedangkan untuku kurikulum diploma (DIII) Farmasi mengacu
pada kurikulum nasional yang ditetap oleh APDFI (Asosiasi
Pendidikan Diploma Farmasi Indonesia) dengan profil lulusan
dan capaian pembelajaran dapat dilihat pada Tabel 3.9.
Hasil evaluasi diri menunjukkan bahwa implementasi
kurikulum nasional tersebut masih bervariasi, mutu lulusan
antar PTF masih bervariasi, dan kompetensi lulusan belum
mampu sepenuhnya memenuhi kebutuhan pemangku
kepentingan (stakeholders). Standar kurikulum pendidikan
farmasi dalam naskah ini dirancang berbasis standar kompetensi
yang telah disusun sebelumnya. Pengembangan kurikulum
mengikuti prinsip – prinsip berikut:
198
(1) Tujuan utama pendidikan sarjana farmasi adalah
mempersiapkan lulusan sarjana yang dapat
mengembangkan dirinya pada jenjang pendidikan
profesi atau pada jenjang pendidikan akademik lanjut,
atau dapat bekerja di bidang kefarmasian.
(2) Tujuan utama pendidikan apoteker adalah
mempersiapkan lulusan apoteker yang dapat bekerja
secara profesional pada upaya peningkatan kesehatan
masyarakat melalui pelayanan kefarmasian berbasis
individu dan komunitas.
(3) Pendidikan sarjana farmasi dan pendidikan apoteker
harus memberikan dasar yang kuat untuk melanjutkan
ke pendidikan lanjut pada jalur pendidikan akademik
(magister, doktor) maupun pada jalur pendidikan profesi
(spesialis).
(4) Pengembangan kurikulum menerapkan pola integrasi
horisontal dan vertikal, muatan ilmu dirancang
seimbang dengan muatan praktik, dan diberikan
pengenalan dini (early exposure) pada profesi farmasi.
(5) Strategi pembelajaran berfokus pada mahasiswa
(student-centred learning).
(6) Standar kompetensi ini meliputi 80% dari total
kurikulum program studi.
Pola integrasi muatan kurikulum domain akademik dan
domain profesi menggunakan model integrasi seperti yang
digambarkan dalam gambar 2 berikut:
199
Gambar 5.3 Model Pendidikan Akademik dan Profesi Apoteker
Pasal 3 Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 045
Tahun 2002 menyatakan bahwa kurikulum inti merupakan
penciri dari kompetensi utama. Kurikulum inti suatu program
studi merupakan dasar untuk mencapai kompetensi lulusan;
menjadi acuan baku minimal mutu penyelenggaraan program
studi; berlaku secara nasional dan internasional; bersifat lentur
dan akomodatif terhadap perubahan yang sangat cepat di masa
datang; dan disepakati bersama antara kalangan perguruan
tinggi, masyarakat profesi, dan pengguna lulusan. Kompetensi
pendukung maupun kompetensi lain yang bersifat khusus dan
gayut dengan kompetensi utama suatu program studi
ditetapkan oleh institusi penyelenggara program studi.
Kurikulum inti suatu program studi berisi
keterangan/penjelasan mengenai: (a) nama program studi; (b)
ciri khas kompetensi utama sebagai pembeda antara program
studi satu dengan lainnya; (c) fasilitas utama yang diperlukan
untuk penyelenggaraan program studi; (d) persyaratan
akademis dosen; (e) substansi kajian yang dikelompokkan
200
menurut elemen kompetensi; (f) proses belajar mengajar dan
bahan kajian untuk mencapai elemen-elemen kompetensi; (g)
sistem evaluasi berdasarkan kompetensi; dan (h) kelompok
masyarakat pemrakarsa kurikulum inti. Perbandingan beban
ekivalen dalam bentuk SKS (satuan kredit semester) antara
kompetensi utama dengan kompetensi pendukung dan
kompetensi lain di dalam kurikulum berkisar antara 40-80% : 20-
40% : 0-30%.
Penyusunan kurikulum inti untuk setiap program studi
berpedoman pada Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No.
232 Tahun 2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum
Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa.
Kurikulum pendidikan tinggi yang menjadi dasar
penyelenggaraan program studi terdiri atas kurikulum inti dan
kurikulum institusional.
Kurikulum inti merupakan kelompok bahan kajian dan
pelajaran yang harus dicakup dalam suatu program studi yang
dirumuskan dalam kurikulum yang berlaku secara nasional.
Kurikulum inti terdiri atas kelompok matakuliah pengembangan
kepribadian, kelompok mata kuliah yang mencirikan tujuan
pendidikan dalam bentuk penciri ilmu pengetahuan dan
ketrampilan, keahlian berkarya, sikap berperilaku dalam
berkarya dan cara berkehidupan bermasyarakat. Kurikulum inti
merupakan persyaratan minimal yang harus dicapai peserta
didik dalam penyelesaian suatu program studi.
Kurikulum institusional merupakan sejumlah bahan
kajian dan pelajaran yang merupakan bagian dari kurikulum
pendidikan tinggi, terdiri atas tambahan dan kelompok ilmu
dalam kurikulum inti yang disusun dengan memperhatikan
201
keadaan dan kebutuhan lingkungan serta ciri khas perguruan
tinggi yang bersangkutan. Kurikulum inti program sarjana dan
program diploma terdiri atas:
(a) Kelompok rnatakuliah pengembangan kepribadian
(MPK);
(b) Kelompok matakuliah keilmuan dan keahlian (MKK);
(c) Kelompok matakuliah keahlian dalam berkarya (MKB);
(d) Kelompok matakuliah sikap dan perilaku dalam berkarya
(MPB); dan
(e) Kelompok matakuliah berkehidupan bermasyarakat
(MBB).
Kurikulum institusional program sarjana dan program
diploma terdiri atas keseluruhan atau sebagian dari:
(a) Kelompok MPK yang terdiri atas matakuliah yang
relevan dengan tujuan pengayaan wawasan,
pendalaman intensitas pemahaman dan penghayatan
MPK inti;
(b) Kelompok MKK yang terdiri atas matakuliah yang
relevan untuk memperkuat penguasaan dan
memperluas wawasan kompetensi keilmuan atas dasar
keunggulan kompetitif serta komparatif
penyelenggaraan program studi bersangkutan;
(c) Kelompok MKB yang terdiri atas matakuliah yang
relevan, bertujuan untuk memperkuat penguasaan dan
memperluas wawasan kompetensi keahlian dalam
berkarya di masvarakat sesuai dengan keunggulan
kompetitif serta komparatif penyelenggaraan program
studi bersangkutan;
202
(d) Kelompok MPB yang terdiri atas matakuliah yang
relevan, bertujuan untuk memperkuat penguasaan dan
memperluas wawasan perilaku berkarya sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di masyarakat untuk setiap
program studi; dan
(e) Kelompok MBB yang terdiri atas matakuliah yang
relevan dengan upaya pemahaman serta penguasaan
ketentuan yang berlaku dalam berkehidupan di
masyarakat, baik secara nasional maupun global, yang
membatasi tindak kekaryaan seseorang sesuai dengan
kompetensi keahliannva.
Kurikulum inti program sarjana berkisar antara 40%-80%
dari jumlah SKS kurikulum program sarjana. Beban studi
program sarjana sekurang-kurangnya 144 (seratus empat puluh
empat) SKS dan sebanyak-banyaknya 160 (seratus enam puluh)
SKS. Beban studi program profesi dapat disetarakan dengan
beban studi program magister yaitu sekurang-kurangnya 36
(tiga puluh enam) SKS dan sebanyak-banyaknya 50 (lima puluh)
SKS.
Kelompok MPK pada kurikulum inti yang wajib diberikan
dalam kurikulum setiap program studi adalah Pendidikan
Pancasila, Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan.
Dalam kelompok MPK yang dilaksanakan secara institusional
dapat termasuk Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Ilmu Budaya
Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Alamiah Dasar, Filsafat Ilmu, Olah
Raga dan sebagainya.
Kurikulum yang dikembangkan program studi
didasarkan pada rumusan kompetensi yang harus dicapai atau
dimiliki oleh lulusan perguruan tinggi yang sesuai atau
203
mendekati kompetensi yang dibutuhkan oleh masyarakat dan
pemangku kepentingan. Kurikulum pendidikan profesi
dirumuskan bersama kementerian, kementerian lain, LPNK,
dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu
layanan profesi dengan mengacu pada standar nasional
pendidikan tinggi.
Tabel 5.8 Muatan Kurikulum Inti Pendidikan Sarjana Farmasi
No. Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Sarjana Farmasi
Muatan Kurikulum Pendidikan Sarjana
Farmasi
1 Mampu mengidentifikasi masalah terkait obat dan alternatif solusinya: 1.1 Mampu menjelaskan pedoman
terapi pada penanganan penyakit-penyakit yang menjadi masalah utama di Indonesia
1.2 Mampu melakukan analisis kesesuaian rancangan terapi obat.
1.3 Mampu mengidentifikasi masalah terkait penggunaan obat dan solusinya.
Patofisiologi
Farmakologi
Biofarmasi-Farmakokinetik
Farmakoterapi
Konsep evidence-based medicine
Konsep farmasi klinis
Konsep & metode analisis masalah terkait obat (DRP/Drug
Related Problem)
Konsep farmakoekonomi
2 Mampu melakukan pelayanan sediaan farmasi sesuai prosedur: 2.1 Mampu melakukan review resep
dan analisis kesesuaian rancangan terapi obat dalam resep.
2.2 Mampu menjelaskan pilihan terapi obat dalam pelayanan
Farmasi komunitas/praktis
Prinsip-prinsip dan teknik dasar pelayanan sediaan farmasi
Pertimbangan kesesuaian dengan
204
No. Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Sarjana Farmasi
Muatan Kurikulum Pendidikan Sarjana
Farmasi
swamedikasi. 2.3 Mampu menyiapkan sediaan
farmasi pada pelayanan resep dan/atau pelayanan swamedikasi.
2.4 Mampu memberikan informasi tentang obat dan pengobatan kepada pasien pada pelayanan resep dan/atau pelayanan swamedikasi. .
2.5 Mampu mengidentifikasi sediaan farmasi yang kadaluwarsa/rusak/sub-standar.
pedoman terapi,
keamanan, & farmakoekonomi dalam pelayanan resep
dan/atau swamedikasi
Penyiapan dan pemberian informasi obat pada pelayanan
resep dan swamedikasi
3 Mampu menyiapkan atau meracik sediaan farmasi sesuai prosedur: 3.1 Mampu menjelaskan ketentuan/
persyaratan/pedoman terkait peracikan sediaan farmasi.
3.2 Mampu meracik sediaan farmasi non-steril sesuai prosedur.
3.3 Mampu melakukan pencampuran produk steril dengan teknik aseptis sesuai prosedur.
Teknik peracikan produk non-steril
Teknik pencampuran aseptis
Formulasi & teknologi sediaan farmasi
Penjaminan mutu hasil peracikan sediaan farmasi.
Penjaminan mutu hasil pencampuran aseptis
4 Mampu menerapkan ilmu dan teknologi kefarmasian dalam perancangan, pembuatan, dan penjaminan mutu sediaan farmasi: 4.1 Mampu merancang formulasi
sediaan farmasi. 4.2 Mampu memilih wadah,
kemasan, dan cara penyimpanan
Farmasi fisika
Formulasi & teknologi sediaan farmasi
Analisis sediaan farmasi (bahan obat & sediaan obat)
Pengukuran parameter fisika,
205
No. Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Sarjana Farmasi
Muatan Kurikulum Pendidikan Sarjana
Farmasi
sediaan farmasi. 4.3 Mampu menjelaskan prinsip-
prinsip penjaminan mutu sediaan farmasi.
4.4 Mampu membuat sediaan farmasi sesuai prinsip-prinsip penjaminan mutu.
4.5 Mampu mengevaluasi mutu sediaan farmasi.
kimia, fisiko-kimia
Uji farmakologi, uji mikrobiologi, uji BA/BE (bioavailabilitas &
bioekivalensi)
Konsep farmasi industri dan konsep penjaminan mutu (QA)
5 Mampu mencari, menyiapkan, dan memberikan informasi tentang obat dan pengobatan: 5.1 Mampu mencari, mengevaluasi
dan menyiapkan informasi. 5.2 Mampu memberikan informasi
tentang sediaan farmasi. 5.3 Mampu melakukan promosi
penggunaan obat yang rasional & hidup sehat.
Farmakoepidemiologi
Farmasi sosial
Teknik penelusuran informasi
Penyiapan dan penyampaian informasi (komunikasi tulis dan
komunikasi lisan)
6 Mampu berkomunikasi dan membangun hubungan interpersonal: 6.1 Mampu menjelaskan prinsip-
prinsip komunikasi efektif. 6.2 Mampu bekerja dalam tim. 6.3 Mampu menyesuaikan diri
dalam lingkungan/kultur budaya yang beragam.
Prinsip-prinsip komunikasi (lisan dan tulis)
Teamwork
7 Mampu menerapkan prinsip-prinsip kepemimpinan dan manajemen: 7.1 Mampu mengelola tugas-tugas
mandiri dan tugas-tugas
Kepemimpinan (Leadership)
Manajemen farmasi
Analisis informasi &
206
No. Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Sarjana Farmasi
Muatan Kurikulum Pendidikan Sarjana
Farmasi
kelompok/tim. 7.2 Mampu mengambil keputusan
yang tepat berdasarkan informasi dan data.
7.3 Mampu bertanggung-jawab atas tugas/kegiatan mandiri dan/atau tim.
data
Pengambilan keputusan
8 Mampu bertindak secara bertanggung-jawab sesuai ketentuan perundang-undangan dan etik kefarmasian: 8.1 Mampu menjelaskan ketentuan
perundang-undangan dan penerapannya dalam bidang farmasi.
8.2 Mampu menjelaskan prinsip-prinsip etik dan penerapannya dalam bidang farmasi
8.3 Mampu bersikap/berperilaku sesuai ketentuan perundangundangan, norma, dan etik dalam kehidupan bernasyarakat.
Undang-Undang kefarmasian
Kode etik profesi farmasi
9 Menunjukkan penguasaan IPTEK, kemampuan riset, dan kemampuan pengembangan diri: 9.1 Menunjukkan penguasaan
konsep teoritis tentang obat, tubuh manusia, dan mekanisme kerja obat.
9.2 Mampu menjelaskan hubungan antara struktur kimia, karakteristik fisiko-kimia, dan
Matematika
Fisika
Kimia umum
Kimia organik
Kimia fisika
Kimia analisis (kualitatif & kuantitatif)
Biologi sel/molekular
Anatomi & fisiologi
207
No. Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Sarjana Farmasi
Muatan Kurikulum Pendidikan Sarjana
Farmasi
mekanisme kerja obat. 9.3 Menunjukkan penguasaan
konsep teoritis perjalanan obat dalam tubuh serta hubungannya dengan sifat fisikokimia obat.
9.4 Mampu menerapkan konsep teoritis dan matematis dalam melakukan analisis parameter fisika, kimia, dan fisiko-kimia sediaan farmasi.
9.5 Mampu menerapkan konsep teoritis dan matematis dalam melakukan analisis parameter biologis sediaan farmasi.
9.6 Mampu menerapkan konsep kimia organik, kimia fisika, dan kimia analisis pada pengembangan bahan obat dari bahan alam dan/atau sintesis.
9.7 Mampu menerapkan konsep teoritis ilmu dan teknologi kefarmasian dalam riset bidang kefarmasian.
9.8 Mampu mengikuti perkembangan IPTEK dan meningkatkan penguasaan ilmu, pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan diri secara berkelanjutan.
manusia
Biokimia
Mikrobiologi, virulogi, parasitologi
Imunologi
Botani farmasi
Farmakognosi & obat-obat alternatif
Fitokimia
Bioteknologi farmasi
Farmakologi-Toksikologi
Kimia medisinal
Farmasi fisika
Formulasi & teknologi sediaan farmasi
Biofarmasi-Farmakokinetik
Uji klinik & Good Clinical Practice (GCP)
Metodologi penelitian & Statistik
208
Tabel 5.9 Muatan Kurikulum Inti Pendidikan Profesi Apoteker
No. Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Profesi Apoteker
Muatan Kurikulum Pendidikan Profesi Apoteker
1 Mampu mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah terkait obat: 1.1 Mampu berperan aktif
dalam pemilihan terapi obat.
1.2 Mampu memantau dan mengevaluasi terapi obat pasien.
1.3 Mampu mengidentifikasi kebutuhan intervensi terapi dan memberikan usulan solusinya.
Pemilihan terapi obat berdasarkan pedoman terapi dan/atau formularium denganan pendekatan berbasis bukti
Analisis kritis terhadap informasi/data pasien dalam perancangan, pemberian, dan monitoring pelaksanaan terapi obat
Evidence-based medicine
Farmacovigillance
2 Mampu melakukan pelayanan sediaan farmasi sesuai kebutuhan pasien: 2.1 Mampu melakukan
validasi resep. 2.2 Melakukan analisis
ketepatan pilihan terapi obat dalam pelayanan resep.
2.3 Mampu memberikan pertimbangan pemilihan sediaan farmasi dalam pelayanan swamedikasi.
2.4 Mampu memberikan pelayanan sediaan farmasi disertai pemberian informasi &/atau edukasi terkait penggunaan sediaan farmasi.
Medication error
Penerapan Good Pharmacy Practice (GPP) dalam pelayanan sediaan farmasi (dispensing medication)
Analisis kesesuaian dengan pedoman terapi, aspek keamanan, & aspek farmakoekonomi dalam pelayanan resep dan/atau swamedikasi
Penyiapan dan pemberian informasi obat, konseling & edukasi penggunaan sediaan farmasi.
Mekanisme pelaporan sediaan farmasi sub-standar
209
No. Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Profesi Apoteker
Muatan Kurikulum Pendidikan Profesi Apoteker
2.5 Mampu menangani sediaan farmasi yang kadaluwarsa/rusak/sub-standar.
3 Mampu menyiapkan/meracik sediaan farmasi sesuai standar mutu: 3.4 Mampu menetapkan
persyaratan mutu sediaan farmasi.
3.5 Mampu menyiapkan/ meracik sediaan farmasi non-steril.
3.6 Mampu menyiapkan/ mencampur sediaan farmasi steril.
3.7 Mampu menyiapkan sediaan sitotoksik.
3.8 Mampu mengevaluasi hasil peracikan atau pencampuran sediaan farmasi.
Ketentuan, persyaratan mutu dan penetapan kualifikasi sediaan farmasi non-steril, peracikan (compounding) sediaan farmasi non-steril, inkompatibilitas, dan evaluasi mutu sediaan
Ketentuan, persyaratan mutu dan penetapan kualifikasi sediaan farmasi steril, pencampuran produk steril (i.v admixture), inkompatibilitas, dan evaluasi mutu sediaan
4 Mampu menerapkan ilmu dan teknologi kefarmasian dalam produksi dan distribusi sediaan farmasi: 4.1 Mampu menetapkan
formulasi dan teknik pembuatan sediaan farmasi.
4.2 Mampu menetapkan wadah, kemasan, penyimpanan, dan label sediaan farmasi.
Perancangan dan penetapan formulasi & teknik pembuatan sediaan farmasi
Ketentuan/persyaratan dan penetapan wadah, kemasan, penyimpanan, dan label sediaan farmasi
Evaluasi mutu sediaan farmasi (bahan baku & sediaan obat)
Farmasi Industri, penjaminan mutu (QA), & Good
210
No. Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Profesi Apoteker
Muatan Kurikulum Pendidikan Profesi Apoteker
4.3 Mampu menetapkan standar mutu dan mengevaluasi mutu sediaan farmasi.
4.4 Mampu mengelola produksi sediaan farmasi dengan menerapkan sistem penjaminan mutu.
4.5 Mampu mengelola distribusi sediaan farmasi dengan menerapkan sistem penjaminan mutu.
Manufacturing Practice (GMP)
5 Mampu memberikan pelayanan informasi, konsutasi dan edukasi terkait penggunaan sediaan farmasi: 5.1 Mampu mencari,
menelusur kembali, mengevaluasi, menganalisis, mensintesis & menyiapkan informasi tentang sediaan farmasi dan penggunaannya dalam pengobatan.
5.2 Mampu memberikan informasi, konsultasi, dan edukasi tentang sediaan farmasi.
5.3 Mampu merancang dan melaksanakan promosi kesehatan masyarakat.
Sistem kesehatan masyarakat
Pertimbangan farmakoepidemiologi dan farmasi sosial dalam identifikasi kebutuhan informasi.
Penelusuran dan validasi informasi
Penyiapan dan penyampaian informasi, konsultasi, dan edukasi tentang sediaan farmasi (komunikasi tulis dan komunikasi lisan)
Promosi kesehatan masyarakat
6 Mampu berkomunikasi dan membangun hubungan interprofesional dalam tim
Ketrampilan komunikasi lisan
Teamwork
211
No. Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Profesi Apoteker
Muatan Kurikulum Pendidikan Profesi Apoteker
kesehatan: 6.1 Mampu membangun
komunikasi efektif dengan tenaga kesehatan dan pasien.
6.2 Mampu mengelola kegiatan, mengelola konflik, dan/atau menyelesaikan masalah dalam tim.
Prinsip-prinsip pengelolaan konflik
7 Mampu menerapkan sistem manajemen & prinsip-prinsip akuntabilitas: 7.1 Menunjukkan
kemampuan kepemimpinan dan organisasional.
7.2 Mampu mengelola kegiatan dan mengevaluasi pencapaian hasil kerja.
7.3 Mampu mengelola infrastruktur dan sumberdaya.
7.4 Mampu mengambil keputusan strategis berdasarkan analisis informasi dan data.
7.5 Mampu bertanggung-jawab atas pencapaian hasil kerja individu maupun tim.
Kepemimpinan (Leadership)
Penerapan sistem manajemen
Analisis kritis terhadap informasi &/atau data
Pengambilan keputusan
Prinsip-prinsip akuntabilitas
8 Mampu melakukan praktik kefarmasian secara
Penerapan undang-undang kefarmasian, etik kefarmasian,
212
No. Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Profesi Apoteker
Muatan Kurikulum Pendidikan Profesi Apoteker
profesional, legal, & etik: 8.1 Mampu melakukan
praktik kefarmasian sesuai ketentuan perundang-undangan, norma, etik, dan tanggung-jawab profesi.
8.2 Mampu menjamin dan bertanggung-jawab atas mutu pelayanan kefarmasian dan keamanan pasien.
8.3 Mampu bersikap, berperilaku, dan bertindak secara bertanggung-jawab dalam kehidupan bernasyarakat.
dan pedoman praktik profesi farmasi (GPP)
9 Mampu mengembangkan pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan praktik profesi secara berkelanjutan: 9.1 Mampu mengikuti
perkembangan IPTEK bidang farmasi dengan memanfaatkan teknologi informasi & komunikasi untuk memperoleh informasi dan/atau data yang relevan, akurat & terkini.
9.2 Mampu meningkatkan kemampuan dan/atau ketrampilan praktik profesi secara
Metodologi penelitian sosial
Biostatistik
Evidence-based medicine.
Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi
213
No. Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Profesi Apoteker
Muatan Kurikulum Pendidikan Profesi Apoteker
berkelanjutan. 9.3 Mampu berkontribusi
dalam pengembangan diri tenaga kefarmasian.
9.4 Mampu melakukan riset kefarmasian untuk meningkatkan keberhasilan terapi.
Tabel 5.10 Muatan Kurikulum Inti Diploma Tiga Farmasi (Profil dan Capaian Pembelajaran)
PROFIL DESKRIPSI KKNI CAPAIAN PEMBELAJARAN
Pelaksana Pelayanan Kefarmasian Mampu menyelesaikan pelayanan mengacu pada standar Pelayanan Kefarmasian yang telah ditetapkan sesuai dengan etik dan aspek legal yang berlaku
Mampu menyelesaikan pekerjaan berlingkup luas, memilih metode yang sesuai dari beragam pilihan yang sudah maupun belum baku dengan menganalisis data, serta mampu menunjukkan kinerja dengan mutu dan kuantitas yang terukur
Mampu menyelesaikan pelayanan resep; (penerimaan, skrining administrasi, penyiapan dan peracikan sediaan farmasi dan pemberian informasi), pelayanan swamedikasi ; pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan , bahan medis habis pakai; dan pekerjaan teknis farmasi klinik sesuai dengan etik dan aspek legal yang berlaku
Menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu secara umum, serta mampu
Mampu menguasai konsep dasar, prinsip, dan teoritis dalam bidang pelayanan kefarmasian dan mampu menyelesaikan masalah yang terkait dengan
214
PROFIL DESKRIPSI KKNI CAPAIAN PEMBELAJARAN
memformulasikan penyelesaian masalah prosedural.
pelayanan farmasi sesuai dengan standar pelayanan, etik dan aspek legal
Memiliki kemampuan mengelola kelompok kerja dan menyusun laporan tertulis secara komprehensif.
Mampu menyusun laporan tertulis terkait dengan pekerjaan pada pelayanan farmasi sesuai dengan standar operasional dan aspek legal yang berlaku
Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas pencapaian hasil kerja kelompok
Mampu bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri yang diberikan pada pelayanan farmasi sesuai dengan aspek legal yang berlaku
Pelaksana Produksi Sediaan Farmasi Mampu melakukan produksi sediaan farmasi mengacu pada Cara Pembuatan yang baik yang telah ditetapkan sesuai dengan etik dan aspek legal yang berlaku
Mampu menyelesaikan pekerjaan berlingkup luas, memilih metode yang sesuai dari beragam pilihan yang sudah maupun belum baku dengan menganalisis data, serta mampu menunjukkan kinerja dengan mutu dan kuantitas yang terukur
mampu melakukan pekerjaan produksi sediaan farmasi, mulai dari merencanakan, memilih bahan baku dan metode yang akan digunakan untuk pencampuran mengacu pada cara pembuatan yang baik (good manufacturing practice) sesuai dengan aspek legal yang berlaku. Mampu melakukan pekerjaan produksi sediaan farmasi yang meliputi menimbang; mencampur; mencetak; mengemas dan menyimpan mengacu pada cara pembuatan yang baik (
215
PROFIL DESKRIPSI KKNI CAPAIAN PEMBELAJARAN
good manufacturing practice) sesuai dengan aspek legal yang berlaku.
Menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu secara umum, serta mampu memformulasikan penyelesaian masalah prosedural.
Mampu menguasai konsep dasar, prinsip, dan teori yang berkaitan dengan Farmasetika,Farmakologi teknologi dan aspek keamanan produksi sediaan Farmasi. Mampu menguasai konsep dasar, prinsip, dan teori produksi farmasi dalam bentuk sediaan solid; liquid dan semi solid serta mampu menyelesaikan masalah yang terkait dengan produksi sediaan farmasi sesuai dengan standar operasional, etik dan aspek legal.
Memiliki kemampuan mengelola kelompok kerja dan menyusun laporan tertulis secara komprehensif.
Mampu mengelola kelompok dalam ruang lingkup yang terbatas pada produksi sediaan farmasi dan menyusun laporan tertulis terkait dengan pekerjaan pada produksi sediaan farmasi.
Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas pencapaian hasil
Mampu bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri yang diberikan pada proses produksi sesuai dengan aspek legal yang berlaku
216
PROFIL DESKRIPSI KKNI CAPAIAN PEMBELAJARAN
kerja kelompok
Pelaksana Distribusi Sediaan Farmasi Mampu melakukan pendistribusian sediaan Farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai mengacu pada standar yang telah ditetapkan sesuai dengan etik dan aspek legal yang berlaku
Mampu menyelesaikan pekerjaan berlingkup luas, memilih metode yang sesuai dari beragam pilihan yang sudah maupun belum baku dengan menganalisis data, serta mampu menunjukkan kinerja dengan mutu dan kuantitas yang terukur
mampu melakukan penanganan dan distribusi sediaan farmasi, mulai dari merencanakan, memilih cara pengadaan, penyimpanan dan metode distribusi yang akan digunakan mengacu pada standar operasional yang telah ditetapkan sesuai dengan etik dan aspek legal yang berlaku Mampu melaksanakan distribusi sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai mengacu pada cara distribusi yang baik yang telah ditetapkan sesuai dengan etik dan aspek legal yang berlaku
Menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu secara umum, serta mampu memformulasikan penyelesaian masalah prosedural.
Mampu menguasai konsep dasar, prinsip, dan teori perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan distribusi, serta mampu menyelesaikan masalah procedural sesuai dengan etik dan aspek legal.
Memiliki kemampuan mengelola kelompok kerja dan
Mampu mengelola kelompok dalam ruang lingkup yang terbatas pada distribusi sediaan farmasi
217
PROFIL DESKRIPSI KKNI CAPAIAN PEMBELAJARAN
menyusun laporan tertulis secara komprehensif.
dan mampu menyusun laporan tertulis terkait dengan pekerjaan pada distribusi sediaan farmasi.
Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas pencapaian hasil kerja kelompok
Mampu bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri yang diberikan pada proses distribusi sesuai dengan aspek legal yang berlaku
Pelaksana Penelitian Mampu melakukan pengumpulan data, pengolahan data dan menyusun laporan kasus dan atau laporan kerja yang menjadi tanggungjawab sendiri atau kelompok orang sesuai dengan etik dan aspek legal yang berlaku
Mampu menyelesaikan pekerjaan berlingkup luas, memilih metode yang sesuai dari beragam pilihan yang sudah maupun belum baku dengan menganalisis data, serta mampu menunjukkan kinerja dengan mutu dan kuantitas yang terukur
mampu melakukan pengumpulan data, pengolahan data dan menyusun laporan kasus dan atau laporan kerja sesuai dengan ruang lingkup penelitian kesehatan dan atau kefarmasian
Menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu secara umum, serta mampu memformulasikan penyelesaian
Menguasai konsep dasar metodologi penelitian, serta mampu melakukan pengambilan dan pengolahan data
218
PROFIL DESKRIPSI KKNI CAPAIAN PEMBELAJARAN
masalah prosedural.
Memiliki kemampuan mengelola kelompok kerja dan menyusun laporan tertulis secara komprehensif.
Mampu mengelola kelompok dalam ruang lingkup yang terbatas pada kegiatan penelitian dan menyusun laporan tertulis secara komprehensif
Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas pencapaian hasil kerja kelompok
Mampu bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri yang diberikan pada kegiatan penelitian sesuai dengan aspek legal yang berlaku
5.3.4 Standar Kurikulum Pendidikan Farmasi
5.3.4.1 Model Kurikulum
Kurikulum pendidikan sarjana farmasi dan pendidikan
profesi apoteker dikembangkan menggunakan model kurikulum
berbasis kompetensi (outcome-based), dengan pendekatan
terintegrasi horizontal maupun vertikal, berorientasi pada
penyelesaian masalah-masalah terkait keamanan dan
keberhasilan penggunaan obat dalam pelayanan kesehatan
primer pada tingkat individu dan masyarakat. Kurikulum
dilaksanakan dengan pendekatan/strategi pembelajaran
terpusat kepada peserta didik (student-centered learning).
5.3.4.2 Struktur dan Durasi Kurikulum
Struktur kurikulum terbagi menjadi 2 (dua) tahap, yaitu:
(1) tahap pendidikan sarjana farmasi, dan (2) tahap pendidikan
219
profesi apoteker. Tahap pendidikan sarjana farmasi dirancang
dengan beban minimal 144 sks dilaksanakan dalam waktu 8
(delapan) semester, sedangkan tahap pendidikan profesi
apoteker dirancang dengan beban minimal 36 sks dilaksanakan
dalam waktu 2 (dua) semester.
5.3.4.3 Muatan Kurikulum
Muatan kurikulum terdiri dari: (a) muatan wajib, (b)
muatan kurikulum inti, (c) muatan kurikulum lokal. Muatan
kurikulum inti disusun mengacu pada standar kompetensi
lulusan yang ditetapkan secara nasional (APTFI), sedangkan
muatan kurikulum lokal disesuaikan dengan visi, misi, dan
kondisi di masing-masing institusi (PTF).
Muatan kurikulum inti merupakan materi wajb bagi
semua mahasiswa, sedangkan muatan kurikulum lokal dapat
berupa materi wajb dan/atau materi pilihan/elektif. Muatan
materi pilihan memberi kesempatan bagi mahasiswa untuk
mengembangkan minat khusus secara individual.
Muatan materi wajib untuk jenjang pendidikan sarjana
adalah pendidikan Pancasila, pendidikan agama, pendidikan
kewarganegaraan, dan bahasa. Sedangkan muatan materi
kurikulum inti secara keseluruhan mencakup:
Prinsip-prinsip metode ilmiah: filsafat ilmu, metodologi
penelitian, statistik/biostatistik, berpikir kritis,
penelusuran informasi.
Muatan materi ilmu dasar: matematika, fisika, kimia
umum, kimia organik, kimia fisika, kimia analisis.
220
Muatan materi ilmu dasar biomedik (basic biomedical
sciences): anatomi dan fisiologi, patologi/patofisiologi,
mikrobiologi, imunologi, biokimia, biologi molekular.
Muatan materi ilmu kefarmasian (pharmaceutical
sciences): kimia medisinal, farmakologi, farmakognosi &
obat-obat alternatif, fitokimia, bioteknologi, analisis
sediaan farmasi, farmasi fisika, biofarmasi,
farmakokinetik, toksikologi,formulasi dan teknologi
sediaan farmasi.
Muatan materi farmasi klinik: farmakoterapi,
farmakologi klinik, farmakokinetik klinik, farmasi klinik,
evidence-base medicine, drug related problem (DRP),
farmacovigilance.
Muatan materi farmasi komunitas/sosial/administratif:
dispensing, compounding, farmasi komunitas (pharmacy
practice), farmakoekonomi, farmakoepidemiologi,
farmasi sosial, undang-undang dan etik kefarmasian,
teknik komunikasi, manajemen, akuntansi.
Muatan materi farmasi industri (industrial pharmacy).
5.3.4.4 Kerangka Kurikulum Pendidikan Sarjana Farmasi
Standar kurikulum terdiri dari muatan-muatan materi
kurikulum yang dibutuhkan untuk mencapai standar kompetensi
lulusan. Muatan kurikulum pendidikan sarjana farmasi berfokus
pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan (knows &
knows how) bidang kefarmasian, diberikan dalam bentuk
kegiatan perkuliahan dan/atau praktikum.
Muatan kurikulum lokal dapat terdiri dari muatan
pendukung yang gayut dengan kurikulum inti dan muatan lain-
221
lain yang menjadi ciri kekhasan individu. Muatan pendukung
antara lain radiofarmasi, wawasan farmasi industri, kosmetik,
analisis makanan-minuman, nutrasetikal, farmasi forensik,
analisis cemaran lingkungan. Sedangkan muatan lain-lain antara
lain kewirausahaan, komputasi, bahasa Inggris, akuntansi. Dapat
dilihat pada Tabel 5.11.
Tabel 5.11 Kerangka Kurikum Sarjana Farmasi
No. Muatan Kurikulum Bobot
1. Muatan wajib pendidikan sarjana (Agama, Pancasila, Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia)
5 – 10%
2. Muatan Kurikulum Inti: 65 – 75%
- Prinsip – prinsip Metode Ilmiah & Ilmu Dasar
10 – 15%
- Ilmu – Ilmu Dasar Biomedik 15 – 20%
- Ilmu – Ilmu Kefarmasian 20 – 25%
- Ilmu Farmasi Klinik, Sosial, dan Komunitas
15 – 20%
- Manajemen, Administrasi, dan Regulasi 10 – 15%
3. Muatan Kurikulum Lokal (Muatan Pendukung dan/atau Muatan Lain-Lain)
15 – 30%
Total SKS (minimum): 144 SKS
5.3.4.5 Kerangka Kurikulum Profesi Apoteker
Berbeda dengan muatan kurikulum pendidikan sarjana
farmasi, muatan kurikulum pendidikan profesi apoteker
berfokus pada penguasaan kemampuan untuk melakukan
praktik profesi (shows how). Sehingga penyampaian muatan
kurikulum pendidikan profesi apoteker diberikan dalam bentuk
studi kasus, penyelesaian masalah, tugas/proyek, dan
222
pembelajaran langsung di sarana praktik profesi dengan
bimbingan para praktisi sebagai preseptor (PKP). Proporsi
aktivitas pembelajaran di sarana praktik profesi (PKP) sekurang-
kurangnya 60% dari total muatan kurikulum. Secara rinci
muatan kurikulum inti pendidikan profesi apoteker dapat dilihat
pada Tabel 5.12.
Tabel 5.12 Kerangka kurikulum program Profesi Apoteker
No. Muatan Kurikulum Bobot
1 Muatan Kurikulum Inti: 70 – 80%
- Farmasi Klinis: Studi Kasus, Praktik, dan Praktik Kerja Profesi (PKP)
20 – 30%
- Farmasi Komunitas: Studi Kasus, Praktik, dan Praktik Kerja Profesi (PKP)
20 – 30%
- Farmasi Industri: Studi Kasus, Praktik, dan Praktik Kerja Profesi (PKP)
10 – 15%
- Manajemen, Administrasi, dan Regulasi 10 – 15%
Muatan Kurikulum Lokal (Muatan Pendukung dan/atau Muatan Lain-Lain)
20 – 30%
Total SKS (miminum) 30 SKS
5.4 Referensi
1. Mason P. 2000. Pharmacy education in the Netherlands.
The Pharmaceutical Journal. Vol 265 (7118),
2. Basak SC, & Satyanarayana D. 2010. Pharmacy Education
in India, American Journal of Pharmaceutical Education.
Vol 74 (4).
3. Austin Z, & Ensom MHH. 2008. Education of Pharmacist
in Canada. American Journal of Pharmaceutical
Education. Vol 72 (6).
223
4. Marriot JL, Nation RL, Roller L, Costelloe M, Galbraith K,
Stewart P, & Charman WN. 2008. Pharmacy Education in
the Context of Australian Practice. American Journal of
Pharmaceutical Education. Vol 72 (6).
5. Sosabowski, MH., 2008. Pharmacy Education in the
United Kingdom. American Journal of Pharmaceutical
Education. Vol. 72 (6).
6. Guile, D, & Ahamed, F. 2009. Modernising the Pharmacy
Curriculum. A report for the Modernising Pharmacy
Careers Pharmacist Undergraduate Education and Pre-
registration Training Review Team. Institute of
Education, Faculty of Policy & Society. University of
London. United Kingdom.
7. Bender GA. 2007. A History of Pharmacy in Pictures.
College of Pharmacy History, College of Pharmacy,
Washington State University: Copyright Parke, Davis &
Company
8. Rumate FA. 2004. Kajian Pustaka Farmasi. Jurusan
Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Hasanuddin, Makassar
9. Griffenhagen GB. 2002. Great Moments in Pharmacy:
Development of the Robert Thom Series Depicting
Pharmacy’s History. Journal of the American
Pharmaceutical Association. Vol. 52 (2). Hal. 170-182
10. Komisi Pengembangan Pendidikan Asosiasi Pendidikan
Tinggi Farmasi Indonesia. 2013. Naskah Akademik
Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Kurikulum
Pendidikan Farmasi. Program Studi Sarjana Farmasi dan
224
Profesi Apoteker. Assosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi
Indonesia. Jakarta.
11. Williams, DE., Fraser, SM. 1992. Henry Hurd Rusby: The
father of economic botany at the New York Botanical
Garden. Brittonia. Vol. 44 (3).
12. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51
Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian.
225
BAB 6 KAJIAN ILMU FARMASI
6.1 Pengantar
Sepanjang sejarah perjalanan hidup manusia, orang
selalu berurusan dengan penyakit, sakit dan kematian,
meskipun berbagai diagnosis dan penyembuhan telah dilakukan
bervariasi dari berbagai daerah. Dibanyak tempat, penyakit
dipandang baik sebagai invasi tubuh oleh beberapa racun atau
dikaitkan dengan kelakuan manusia yang membuat dewa marah
dan atau ilmu sihir. Oleh karena itu, seseorang ahli dalam
pengobatan atau dulu dikenal sebagai tabib untuk
menyembuhkan pasien menggunakan tiga peran sekaligus yaitu
sebagai dokter, apoteker, dan imam/pendeta/ulama. Untuk
sementara, mereka percaya bahwa pengobatan medis bisa
meringankan penyakit, sedangkan penyebab utama hanya bisa
dihilangkan dengan doa dan pengorbanan kepada para dewa.
Berbagai catatan pengobatan kuno yang terkenal adalah
Papyrus Eber di Mesir, dan Aryuveda di India, serta berbagai
prasasti-prasasti lainnya yang tidak tercatat dengan baik.
Secara keilmuan sebelum datangnya Islam,
perkembangan keilmuan sangat lambat bahkan tidak jalan sama
sekali. Hal ini disebabkan karena pada jaman itu, barangsiapa
yang mengemukakan gagasan baru yang belum ada dalam
tradisi kebudayaan yang diajarankannya pada waktu itu, maka
dilarang bahkan ditangkap dan dibunuh. Sebagaimana telah
terjadi pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan di
226
Eropa, yang melumpuhkan pergerakan ilmu pengetahuan kala
itu. Pada masa kurun pertengahan abad ke-16, terus menerus
sampai permulaan pergerakan ilmiah dan revolusi bangsa Eropa,
terjadi pemberontakan terhadap pihak gereja. Puncak dari
pemikiran pemberontakan ini adalah terbentuknya The France
National Assembly (Perhimpunan kebangsaan perancis) sebagai
akibat dari revolusi perancis dengan menetapkan kebebasan ini,
yang tujuannya adalah meniadakan campur tangan gereja yang
hidup dalam kependetaan dan kerahiban terhadap gagasan
tentang keilmuan.
Sejak Islam berjaya, kondisi diatas berbanding terbalik
dengan nasib gereja. Dimana pada masa itu, sama sekali tidak
bertentangan atau perselisihan jalan kaum Muslimin dalam hal
ilmu pengetahuan, baik dari segi teori maupun dari aplikasi
nyata. Bahkan Islam menganjurkan untuk menuntut ilmu, secara
mutlak memberikan akal kedudukan yang bebas merdeka,
mutlak dalam berpendapat, berfikir dan merenung, jauh dari
cerita-cerita dongeng nenek moyang, taqlid, memperturutkan
hawa nafsu dan ambisi. Jadi, terdapat perbedaan yang sangat
kental antara pemikiran Islam yang tegak atas dasar kebebasan
berfikir dan hubungan antara Allah dan hamba tanpa adanya
perantaraan dengan pemikiran di Eropa sebelum revolusi
peniadaan campur tangan pihak gereja terhadap gagasan
tentang keilmuan. Ini merupakan pemikiran yang
memperbaharui akal dan merupakan inti antara pemikiran
Masehi dalam abad pertengahan yang bersumber dari
kebebasan berfikir yang meletakkan penguasa gereja di antara
hamba dan Tuhan.
227
Para ilmuwan kaum Muslimin tidak hanya mencukupkan
diri dengan mengkritik teori-teori terdahulu dan menyelidikinya,
tetapi kebanyakan mengadakan penyelidikan tentang sesuatu
yang baru dan berlaku, kemudian menyelidikinya sampai pada
suatu kesimpulan yang benar terjadi pada teori tersebut. Jika
memang terbukti bahwa teori itu mendekati kebenaran, lalu
menyelidiki teori tersebut sampai ditetapkan akhir dari
penelitian mereka bahwa teori tersebut merupakan hakikat
kebenaran dan bukan hanya sebatas teori. Dari sudut aplikasi
ilmu, kaum Muslimin juga telah memulai kajian-kajian dengan
menggunakan metode baru yang terlihat pada masanya,
khususnya jika peradaban kaum Muslimin itu dibandingkan
dengan peradaban Romawi. Demikian kaum Muslimin
mengubah dari ruang lingkup dan metode pemikiran para
ilmuwan terdahulu. Pertama kali dalam catatan sejarah, kaum
Muslimin telah menciptakan spesifikasi ilmiah secara sempurna.
Banyak sekali para pakar ilmu yang menguasai bidang-bidang
tertentu, untuk mengeluarkan kita pada puncak realita
sempurna yang membawa manfaat, yang sebelumnya tidak
terlihat cahayanya kecuali berpegang lebih banyak pada
spesifikasi-spesifikasi ilmu.
Dalam Islam, ilmu dikenal dengan beberapa nama
seperti Ilmu Kauniyah (Alam), Ilmu Taqniyah (Teknik), Ilmu
Tathbiqiyah (Praktik), dan Ilmu Eksperimen. Semua ilmu ini
penyebutannya digolongkan dalam ilmu hayat lantaran berbeda
dengan ilmu syariat. Ilmu hayat berhubungan dengan
kemashalatan dunia. Yakni ilmu yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia dengan menggunakan akal, eksperimen dan
penemuan. Dengan demikian, manusia bisa memakmurkan
228
bumi dan membuat kemashalatan serta membuka peluang,
menyingkap rahasia alam dan lingkungan. Diantaranya adalah
Ilmu kedokteran (sudah termasuk ilmu farmasi didalamnya
terutama tentang bahan-bahan yang digunakan untuk
penyembuhan), arsitektur, ilmu astronomi, kimia, fisika,
matematika (sawail), geografi, ilmu bumi, tumbuh-tumbuhan
(nabati), hewan, dan sebagainya yang meliputi segala materi
yang tumbuh di alam semesta. Semua itu dibutuhkan manusia
untuk kemashalatan kehidupan mereka.
Ilmu farmasi (Apoteker) muncul setelah Jabir bin Hayyan
dan Khalid bin Yazid menciptakan rumus-rumus dan dasar-dasar
ilmu kimia yang memasukkan eksperimen ilmiah (uji coba
ilmiah), mereka melakukan eksperimen-eksperimen dalam
metode pembahasan ilmu yang digambarkan dalam rumusnya.
Ilmu kimia berpindah dan berkembang dari tahap permulaan
terjemah Yunani menuju tahap pencapaian rumus dan
penemuan yang jelas. Atas dasar inilah metode eksperimen ini
tegak, sebagaimana mereka katakan “Kesempurnaan
penguasaan penciptaan ilmu ini akibat dari eksperimen. Siapa
yang tidak berbuat, ia tidak akan mencoba. Siapa yang tidak
mencoba, ia tidak akan pernah mendapatkan sesuatu
selamanya”, yang dikutip dalam buku yang ditulis oleh As-Sirjani
(2012).
Menurut As-Sirjani (2012), dengan penemuan ilmu kimia
dan menjelaskannya sebagai ilmu pengetahuan, mereka mampu
menguraikan beberapa bahan atau materi yang tidak terbatas
pada penguraian secara kimia. Mereka juga melahirkan karya
dalam bidang pepohonan, membedakan antara alkali dan asin
masam, menghitung bahan-bahan (materi) yang condong
229
kearahnya, mereka juga mempelajari ratusan obat-obat untuk
pengobatan, menyusun dan membuat ratusan obat-obat.
Keduanya telah menulis banyak buku yang diterjemahkan
kedalam bahasa latin, yang menjadi rujukan paling hebat pada
bidang kimia hampir seribu tahun lamanya. Karyanya meliputi
banyak catatan ilmu kimia yang belum pernah dikenal
sebelumnya. Karyanya menjadi bahan penelitian terkenal di
kalangan para ilmuwan barat, antara lain gelas atau piala (alu:
alat penumbuk obat), Protolia, akar-akaran adalah sumber-
sumber yang diletakkan dalam zat-zat timbul tenggelam dalam
air. Ia juga memecah-mecah berat yang menorehkan pengaruh
sekitarnya bagi para ilmuwan dan menjadikannya sebagai bahan
penelitian.
Secara umum kaum Muslimin telah menemukan dasar-
dasar terpenting dalam ilmu kimia dan segala misterinya.
Diantara yang paling penting dalam penemuan mereka adalah
air perak (asam neutrik), minyak zat (asam kibritik), air emas
(asam neuro hidroklorik), hajar jahannam (neutro perak),
silmani (campuran klorida), rasib merah (campuran oksid), milhu
barut (potasium karbonat), zat besi. Mereka juga menemukan
alkohol, potas (kalium karbonat), amoniak, dan Al-Quluyad yang
dimasukkan dalam bahasa Eropa dengan nama Arab adalah
Alkali. Mereka juga telah menggunakan ilmu kimia sebagai
pengobatan kedokteran dan menciptakan obat-obatan.
Merekalah orang pertama yang menyebarluaskan campuran
obat, membuat tambang, cara penambangan, dan
membersihkan tambang. Banyak temuan yang dijadikan sebagai
acuan dari penciptaan-penciptaan baru sekarang, seperti:
sabun, kertas, sutera, celupan atau warna, bahan peledak,
230
menyamak kulit, mengeluarkan bau obat-obatan, menciptakan
baja, mengkilaukan hasil tambang, dan sebagainya.
Kemajuan kaum muslimin di bidang kimia
menghantarkan mereka untuk memperoleh capaian penting di
berbagai cabang ilmu pengetahuan khususnya ilmu Farmasi
(Apoteker) kedepannya. Demikian itu lantaran obat-obatan
membutuhkan kajian penelitian berdasarkan rumus-rumus dan
dasar-dasar ilmu kimia. Hingga muncul obat-obat kimia dalam
bentuk yang efektif, membuka pintu-pintu zaman batu dalam
bidang pengobatan di atas pergulatannya. Farmasi kedepannya
merupakan ilmu yang sangat menarik sebagaimana masa
pertama dari awal peradaban yang mengkaji dan diketahui
campuran obat-obatan dalam bentuk ilmiah dan efektif dengan
cara yang baru. Namun, pada masa itu istilah farmasi
sebenarnya belum spesifik dikenal sebagai ilmu karena masih
merupakan perpaduan ilmu antara kimia dan kedokteran
terutama dalam hal kajian secara ilmia obat-obatan.
6.2 Sejarah Awal Kajian Ilmu Farmasi
Sejarah farmasi sebagai ilmu yang berdiri sendiri dimulai
pada awal abad ke-19. Sebelum itu farmasi berkembang dari
zaman farmasi kuno sebagai bagian dari ilmu kedokteran,
namun, setelah Raja Ferederck II membuat undang-undang
pemisahan antara farmasi dan kedokteran, sehingga Farmasi
berdiri sendiri dalam menjalankan praktek kefarmasian dan
menjadi sebuah ilmu. Meskipun secara de facto profesi farmasi
telah dijalankan dan dapat ditelusuri kembali terutama pada
populasi masyarakat Sumeria yang tinggal di Irak modern. Dari
sekitar 4000 SM, mereka menggunakan tanaman obat seperti
231
akar manis, mustard, mur, dan opium. Para tabib dalam
menyembuhkan pasien, ada beberapa orang yang terpisah
bekerja dan fokus untuk mempersiapkan obat-obatan, sebagai
peran yang terpisah dari diagnosis dan pengobatan yang
dilakukan oleh tabib/petugas medis. Peran apoteker ini juga
dikombinasikan dengan peran mereka sebagai imam/pendeta.
Tabib Sumeria menulis resep dari sejak awal sekitar 2700 SM
atau sekitar 5000 tahun yang lalu. Bangsa Mesir Kuno memiliki
penyusun/penyedia khusus obat, dikenal sebagai Pastophor.
Farmasi dipandang sebagai cabang status yang tinggi dari bagian
kedokteran, dan seperti di Sumeria, apoteker ini juga menjadi
imam/pendeta dan berlatih di kuil-kuil. Untuk mempertahankan
pengobatan Papyrus, terutama dibuat catatan yang disebut
Papyrus Eber yang berasal sekitar 1500 SM. Orang mesir
membuat sediaan obat dalam bentuk infus, salep, pastiles
(lozenges), suppositoria, lotion, enema, dan pil. Papryrus Eber
berisi sebanyak 875 resep obat dan 700 daftar obat. Sementara
itu, di Cina pada sekitar era yang sama (2000 SM), seorang pria
bernama Shen Nung menulis Pen T’sao atau dikenal herbal asli
yang berisi deskripsi dari 365 obat nabati pada Dinasti Han. Di
Jepang, pada periode akhir Asuka (538-710) dan awal periode
Nara (710-794), orang-orang tertentu melakukan peran sebagai
apoteker modern yang sangat dihormati. Tempat apoteker
dalam masyarakat itu secara tegas ditetapkan dalam Taiho Code
(701) dan dinyatakan kembali dalam Yoro Code (718).
Sejak didirikannya Apotek (Pharmacy) atau toko obat
pertama di Baghdad pada tahun 754 M dibawah khalifah Abbasi
selama masa kejayaan Islam, dan diatur secara resmi oleh
negara melalui peraturan perundang-undangan. Sejak itu, Ilmu
232
Farmasi mulai dikenal dan terus berkembang seiring
perkembangan ilmu-ilmu lain terutama kedokteran dan kimia.
Bagdad menjadi ibukota kekhalifahan Timur. Pemerintahan ini
mengembangkan ilmu pengetahuan, pengobatan dan farmasi
serta mendorong koleksi, penyalinan, dan penerjemahan
manuskrip-manuskrip Yunani hingga karya-karya Hippocrates,
Galen, Dioscorides diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab.
Terjemahan ini ternyata dapat melestarikan karya-karya Yunani
klasik tersebut sehingga membebaskannya dari kepunahan.
Termasuk karya Dioscorides dan Galen kedalam bahasa Arab.
Gambar 6.1 Buku Panduan De Materia Medica of Dioscorides yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Arab
233
Kemajuan yang dibuat di Timur Tengah terutama dalam
ilmu botani dan ilmu kimia yang dipimpin seorang ahli dalam
bidang kedokteran pada abad pertengahan hingga secara
substansial mampu mengembangkan ilmu Farmakologi yaitu
Muhammad bin Zakariya Ar-Razi (Rhazes) (865-915), yang
bertindak untuk mempromosikan penggunaan medis dari
senyawa kimia. Rhazes (865-925) yang seangkatan dengan
Hippocrates, Aretaceus dan Sydenham. Deskripsinya tentang
cacar dan dan campak dianggap begitu hidup dan lengkap.
Continens, satu ensiklopedi pengobatan yang disusunnya, yang
telah diterjemahkan dalam bahasa Latin banyak berisi berbagai
eksperimen terapi. Sabur Ibnu Sahl (869) merupakan dokter
pertama yang memulai membuat pharmacopedia, yang
menggambarkan berbagai macam bahan obat dan obat untuk
penyakit. Ali Abbas (994) adalah pengarang dari ‘’Buku Diraja’’
suatu risalah pengobatan yang telah diterjemahkan dalam
bahasa Latin dan memuat antara lain tentang anatomi. Abu Al-
Qasim Al-Zahrawi (Abulcasis) (939-1013) mempelopori
pembuatan obat-obatan oleh sublimasi dan distilasi. Al-Biruni
(973-1050) menulis salah satu karya Islam yang paling berharga
dalam bidang Farmakologi berjudul kitab Al-Saydalah (Kitab
Obat), dimana ia memberikan pengetahuan rinci tentang sifat
obat dan dijelaskan peran apoteker serta fungi dan tugas
apoteker. Ibnu Sina (Avicenna) (980-1037) adalah orang yang
dijuluki Pangeran Tabib. Dia menulis lebih dari 100 karya dan
yang pertama-tama membuat deskripsi tentang sifat-sifat asam
sulfat dan alkohol. Dia pula yang memperkenalkan pil opium
untuk menyembuhkan batuk dan ekstrak colchici untuk
mengobati reumatik. Kedua jenis obat ini masih dipakai sampai
234
sekarang. Beliau mencatat keseluruhan obat terkait dengan sifat
obat, mekanisme aksi, dan indikasi yang disebut The Canon of
Medicine, dan Ibnu Al-Walid (1008-1074), menerjemahkan
karya-karya tersebut kedalam bahasa latin lebih dari lima puluh
kali sebagai De Medicinis universalibus et particularibus by
`Mesue' the younger, and the Medicamentis simplicibus by
`Abenguefit'. Selain itu, Orang-orang Arab melakukan perbaikan-
perbaikan terhadap produk – produk farmasi dan membuatnya
menjadi lebih elok dan lebih enak. Farmasi dan materia
medikanya tetap hidup sepanjang abad.
Pada awal abad ke-16 di Eropa, Paracelcus
memperkenalkan khasiat garam-garam stibium sebagai obat
serbaguna. Selama satu periode terapi logam mendominasi
resep-resep tradisional. Salah satu pengobatan rempah-rempah
yang terbesar diperkenalkan di Eropa pada abad ke-17 oleh
misionaris Jesuit yang menyertai Conquistador Spanyol dalam
eksplorasinya ke jantung Amerika Selatan. Rempah yang
diperkenalkan adalah klika kina yang diperoleh dari suku Indian
di Amerika Selatan yang telah lama menggunakannya sebagai
obat untuk melawan demam yang menggigil. Segera obat
tersebut menjadi terkenal di Eropa sebagai obat untuk demam,
menggigil dan malaria. Dua abad berikutnya yakni pada tahun
1820 zat aktifnya yakni kuinina, baru dapat diisolasi. Walaupun
sejumlah besar obat-obat organik yang berasal dari tumbuhan
ditemukan pada abad ke-16 dan 17 itu, namun karena kemajuan
ilmu kimia organik kalah cepat daripada kimia anorganik maka
obat-obat yang berasal dari mineral tetap lebih disukai.
Sejak akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 lebih dari
500 buku yang paling berpengaruh dan klasik di Eropa adalah
235
buku Dioscorides yang berjudul De materia medica. Sampai
penemuan kembali cetakan yang dibuat pada pertengahan abad
ke-15 oleh orang Eropa Gutenberg. Teks-teks berupa kodeks
tulisan tangan yang khususnya digunakan oleh kependetaan dan
pelajar-pelajar biara. Penyebaran informasi yang lebih luas
mengenai tumbuhan obat di Eropa dimulai dengan herbal-
herbal awal yang secara epat menjadi sangat populer sehingga
informasi mengenai tumbuhan obat tersedia dalam berbagai
bahasa awam. Pada akhir abad ke-17 dan awal abad 18,
pengetahuan tentang obat yang berasal dari tumbuhan semakin
meluas tetapi usaha-usaha untuk mendestilasi zat aktif dari
tumbuha tidak berhasil. Hasil utama selama periode ini
merupakan hasil observasi detail mengenai manfaat klinis
produk-produk medis yang telah dicatat pada abad sebelumnya
atau diambil dari negara selain Eropa.
Pada abad ke-18, seorang Inggris, Withering
memperkenalkan pemakaian ekstrak tumbuhan digitalis untuk
pengobatan penyakit gembur-gembur, yaitu sakit lemah jantung
yang gejalanya ditandai dengan akumulasi cairan secara
berlebihan pada bagian bawah dari tungkai penderita. Dia
memakai ekstrak ini atas nasihat orang-orang desa yang telah
bertahun-tahun memakai elixir ini. Ini merupakan satu contoh
penyelidikan bagi ahli obat dalam menjejaki dan
mengembangkan bahan obat penuntun dari budaya tradisional.
Zat aktifnya, glikosida digitalis, sampai sekarang masih dipakai
untuk pengobatan penyakit gagal jantung yang cukup
menakutkan itu. Walaupun diakui bahwa penemuan-penemuan
tersebut merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi manusia
tetapi satu kenyataan bahwa baru pada 150 tahun terakhir ini,
236
berkat pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, jumlah dan jenis
obat berkembang sedemikian melimpah.
Pada tahun 1828 Wohler, yang berhasil mensintesis
urea dari senyawa-senyawa anorganik, menyingkapkan bahwa
pada dasarnya tidak ada yang misterius tentang senyawa
organik dan meletakkan dasar-dasar kimia organik. Sejak saat
itu, para ahli telah mampu untuk mensintesis senyawa-senyawa
yang berstruktur kompleks, termasuk banyak di antaranya
senyawa yang terdapat dalam alam; dan banyak pula yang tidak,
yang ternyata aktif farmakologis. Jadi senyawa penuntun tidak
lagi menjadi monopoli senyawa alam.
6.3 Fokus Kajian Ilmu Farmasi
Pada awal abad ke-19, dimana sebelumnya ilmu farmasi
tercerai berai dan masih dalam posisi persimpangan antara
kedokteran dan kimia, pada abad ini ilmu farmasi sudah mulai
fokus terutama munculnya istilah Farmakognosi dalam bahasa
Inggris disebut Pharmacognosy yang dibuat oleh professor
Austria, John Adam Schmidt (1759-1809) dan dimasukkan dalam
buku Lehrbuch der Materia Medica (1811) yang dipublikasikan
setelah beliau wafat. Selain itu, jauh sebelumnya di Timur
tengah telah memperkenalkan istilah Farmakologi dalam bahasa
Inggris disebut Pharmacology. Dimana kedua istilah ini sangat
erat kaitannya dalam pengembangan ilmu Farmasi. Dilihat dari
sejarahnya istilah farmakologi terkait dengan efek dan
mekanisme kerja obat sedangkan farmakognosi terkait dengan
segala aspek dan informasi yang berkaitan dengan obat. Sejak
didirikannya Apotek (Pharmacy) pertama di Baghdad, pada
waktu itu tidak hanya menyediakan obat dalam bentuk sediaan
237
sederhana akan tetapi juga menyediakan sediaan-sediaan dalam
bentuk paling canggih pada masa itu, misalnya dalam bentuk
larutan, elixir, pil, salep, tingtur, kapsul dan lain-lain sebagainya.
Jauh sebelumnya telah diperkenalkan sediaan galenik oleh
Galen, maka para ilmuwan juga lebih banyak mengkaji tentang
pembuatan sediaan-sediaan obat terutama mempelajari
catatan-catatan dari resep-resep kuno, maka muncullah istilah
Ilmu Resep dan lebih dikenal dengan nama Farmasetika yaitu
ilmu mengenai ilmu resep dan peracikan obat. Selanjutnya,
diakhir abad ke-19 seiring dengan perkembangan ilmu kimia
terutama sintesis dimana para kimiawan mulai mensintesis
senyawa organik dengan struktur yang semakin kompleks,
sehingga dikenal lagi istilah Kimia Medisinal yaitu ilmu terkait
sintesis obat.
Keempat bidang ilmu meliputi, Farmakognosi,
Farmakologi, Kimia Medisinal, dan Farmasetika merupakan
fokus utama dalam melakukan kajian-kajian tentang ilmu
farmasi. Namun, kenyataannya keempat istilah-istilah tersebut
semuanya bermuara pada obat. Obat sesuai dengan definisinya
terus mengalami pengembangan dan tidak sedikit eksperimen-
ekperimen telah dilakukan. Semakin berjalannya waktu
kompleksisitas penyakit semakin rumit dan perkembangan
eksperimen-ekperimen dalam bidang ilmu lainnya terutama
yang berhubungan dengan ilmu Farmasi. Hal ini menyebabkan
eksperimen-eksperimen terus mengalami peningkatan yang
begitu cepat. Dari eksperimen-eksperimen ilmiah tentang obat
dari jaman kuno hingga jaman sekarang baik yang tercatat
dalam buku-buku maupun dalam jurnal-jurnal sangat banyak
dan sangat sulit untuk memilah-milah eksperimen-eksperimen
238
tersebut kedalam keempat kelompok diatas. Jika masih terus
dipaksakan, maka akan terjadi tumpang tindih antara masing-
masing eksperimen, dimana sebagian eksperimen masuk
kedalam semua kelompok istilah diatas. Oleh karena itu, untuk
fokus kajian ilmu farmasi tidaklah tepat jika hanya empat
kelompok diatas, karena semuanya akan terus mengalami
perkembangan dan kajian-kajian semakin mendalam.
Sampai saat ini, kajian-kajian farmasi tidak hanya
terbatas pada obat saja, akan tetapi juga sudah mencakup
nutraseutikal atau makanan fungsional, alat kesehatan, dan
kosemetika, serta kajian terkait dengan kesehatan secara
holistik.
Berdasarkan penjelasan diatas dan secara historis ilmu
farmasi berbeda dengan ilmu kedokteran dan ilmu kimia, ilmu
farmasi dikembangkan pada posisi diantara keduanya dan tidak
bisa dilepaskan diantara keduanya, maka fokus kajian ilmu
farmasi dibagi dalam beberapa kelompok besar yaitu sebagai
berikut:
1. Kajian ilmu Farmasi yang berfokus pada pencarian dan
pengembangan bahan farmasi. Dimana bahan farmasi
yang dimaksud adalah bahan untuk sediaan farmasi baik
yang diperoleh secara biologi maupun secara kimia
(termasuk secara fisika).
2. Kajian ilmu Farmasi yang berfokus pada pembuatan
sediaan farmasi. Dimana pembuatan yang dimaksud
adalah formulasi berbagai bentuk sediaan farmasi
berdasarkan sifat dan karakteristik fisikokimia dari zat
aktif dan eksipien atau bahan tambahan yang digunakan
berdasarkan ketersediaan teknologinya.
239
3. Kajian ilmu Farmasi yang berfokus pada penggunaan
sedian farmasi secara efektif dan efisien. Dimana
penggunaan yang dimaksud adalah nasib bahan/sediaan
farmasi terhadap tubuh dan nasib tubuh terhadap
bahan/sediaan farmasi, serta segala macam interaksi
dan perubahannya termasuk toksisitasnya.
4. Kajian ilmu Farmasi yang berfokus pada pelayanan
kefarmasian dalam bidang kesehatan. Dimana
pelayanan kefarmasian yang dimaksud adalah
pelayanan kepada pasien dan pelayanan umum terkait
bidang kefarmasian.
Keempat fokus kajian inilah yang secara keseluruhan
disebut ilmu Farmasi, sehingga menghasilkan dan melahirkan
definisi-definisi sendiri seperti yang telah dibahas pada bab
sebelumnya. Ilmu Farmasi ditinjau dari kelahirannya hingga
perkembangannya tidak dapat dilepaskan dari kelahiran dan
perkembangan ilmu pengetahuan secara universal yang
pondasinya dibangun oleh dua entitas, yakni filsafat moral dan
filsafat alam.
Keempat fokus kajian ilmu Farmasi tersebut terus
mengalami perkembangan dan secara umum diaplikasikan
dalam sistem pembelajaran pada program pendidikan dalam
berbagai level pendidikan yang disesuaikan dengan jenjang
pendidikan yang ditempuh meskipun dengan sistem yang
berbeda-beda dari masing-masing lembaga pendidikan. Untuk
level diploma farmasi minimal mengetahui dasar-dasar dari
keempat fokus kajian ilmu farmasi dan terutama difokuskan
pada keterampilan terkait dengan pekerjaan kefarmasian. Untuk
level sarjana farmasi minimal menguasai dasar-dasar dari
240
keempat fokus kajian tersebut, yang akan menjadi dasar setelah
melanjutkan baik pada profesi apoteker maupun lanjut ke
jenjang magister farmasi. Untuk level profesi apoteker
menguasai dasar-dasar dari keempat kajian ilmu farmasi dan
juga mampu melakukan praktek pekerjaan kefarmasian yang
tergantung dimana dan fokus yang mana dia bekerja, misalnya
terutama bila bekerja di industri harus mampu melakukan
praktek pekerjaan kefarmasian yang berfokus pada pembuatan
sediaan farmasi; bila bekerja di pelayanan misalnya sebagai
penanggungjawab apotek harus mampu melakukan pekerjaan
yang berfokus pada penggunaan produk farmasi dan pelayanan
kefarmasian dalam bidang kesehata. Sedangkan untuk level
Magister dan Doktor lebih berfokus pada kajian keilmuan yang
diminati.
Seseorang yang belajar dalam bidang ilmu farmasi harus
mengetahui dan menguasai minimal dasar-dasar dari keempat
fokus kajian tersebut, jika hanya sebagian maka akan lebih
condong ke bidang ilmu lain terutama ilmu kimia dan ilmu
kedokteran maupun bidang ilmu lainnya. Meskipun dalam
kenyataannya, pekerjaan kefarmasian tidak semua fokus kajian
digunakan. Akan tetapi dengan mengetahui dan menguasai
minimal dasar-dasar keempat fokus ilmu farmasi akan menjadi
pembeda antara seorang farmasis dengan non farmasis,
sekalipun bekerja diluar bidang kefarmasian. Sampai saat ini,
kajian-kajian ilmu farmasi terus dikembangkan hanya terbatas
pada lembaga-lembaga pendidikan tinggi maupun lembaga riset
yang bergerak dalam bidang farmasi.
Namun, tidak sedikit pula lembaga non farmasi tertarik
melakukan kajian-kajian terkait ilmu kefarmasian. Secara de
241
facto hal tersebut tidak masalah, karena secara filosofis
siapapun yang ingin mengetahui sesuai kemampuan dan
keingintahuannya tidak ada yang berhak melarang karena ilmu
pengetahun bersifat merdeka (freedom) dan tidak terikat aturan
hukum, selama individu yang bersangkutan mampu dan
mengaplikasikan ilmu untuk kebenaran dan kesejahteraan dunia
terutama untuk manusia. Secara de jure hal tersebut menjadi
ada masalah dan tidak terkait dengan kebebasan individu untuk
melakukan eksperimen. Namun, yang menjadi masalah adalah
legalitas institusi/lembaga baik pendidikan maupun riset untuk
bidang ilmu tertentu yang dibentuk secara hukum agar dapat
lebih berfokus mengembangkan bidang ilmunya, akan tetapi
tidak sedikit yang menyeberang kebidang yang lain sehingga
pengembangan keilmuan tidak terarah sesuai dengan
pembentukan lembaga baik pendidikan maupun riset. Hal ini
menyebabkan banyak riset-riset terutama terkait kefarmasian
tidak pada tempatnya. Contoh kongkrit adalah riset tentang
formulasi atau uji aktivitas terkait keilmuan farmasi dilakukan
dari lembaga non farmasi, menyebabkan tumpang tindih antara
masing-masing lembaga dan keluar dari jalur ke ilmuan sesuai
pengelompokan lembaga yang dibentuk secara hukum.
Adapun kajian terkait diluar kefarmasian yang
dikembangkan oleh individu dari lembaga baik pendidikan
maupun riset, seharusnya dilakukan untuk memperkuat atau
memperdalam atau mengembangkan fokus kajian keilmuan
tersebut diatas dan selama tidak lepas dari kerangka hirearki
dan filosofi keilmuan farmasi. Begitu juga sebaliknya bagi
individu dari lembaga baik pendidikan maupun riset dari
keilmuan non farmasi. Sehingga tidak melenceng dari tujuan
242
pengelompokan institusi/lembaga berdasarkan keilmuan yang
dibentuk secara hukum.
6.4 Kelompok Bidang Ilmu Farmasi
Sejak ilmu farmasi terpisah dari kedokteran dan berdiri
sendiri sebagai ilmu hingga kini, sumbangan ilmu farmasi
terhadap dunia terutama dalam bidang kesehatan sangatlah
besar dengan ditemukannya berbagai obat dan sistem
pengobatan yang rasional dengan mengutamakan unsur
keselamatan pasien. Sudah menjadi tanggungjawab dan
kewajiban bagi para ahli farmasi untuk terus melakukan kajian–
kajian dalam penemuan dan pengembangan obat–obat baru
untuk hasil penelitian oleh para peneliti–peneliti dalam bidang
tersebut. Selain itu, farmasis memiliki tanggungjawab dan
kewajiban terkait dengan penggunaan obat secara rasional dan
perlindungan masyarakat terhadap efek dari indikasi dan
kontraindikasi obat–obatan selama digunakan.
243
Gambar 6.2 Tingkatan hirearki dan disiplin ilmu yang terlibat dalam pengembangan pendidikan Ilmu Kefarmasian
Secara sederhana hirearki pengelompokan bidang ilmu
farmasi dengan pendekatan fundamental dalam berbagai level
disiplin dalam pendidikan kefarmasian telah dijelaskan secara
singkat oleh Sorensen dan kawan-kawan pada tahun 2003 (pada
skema pada Gambar 6.2). Objek utama kajian ilmu Farmasi
adalah sediaan farmasi dengan empat fokus utama yang
bertujuan untuk memperbaiki, memelihara, mencegah dan
mengobati manusia dari berbagai macam penyakit. Melahirkan
bidang–bidang ilmu farmasi yang terdiri dari Ilmu Farmasi Sains
dan Teknologi, Farmasi Klinik dan Komunitas, dan Farmasi
Sosial. Di Indonesia, perkembangan pendidikan farmasi pada
244
awal kemerdekaan hingga tahun 2000-an masih
menitikberatkan pada Farmasi Sains dan Teknologi, dan Farmasi
Klinik dan Komunitas baru mulai dikembangkan sejak tahun
2000-an hingga saat ini, sedangkan Farmasi Sosial belum banyak
dikaji dan sebagian besar memasukkan ke kelompok Farmasi
Klinik dan Komunitas. Ilmu Farmasi Sains dan Teknologi terbagi
menjadi empat bidang ilmu meliputi Biologi Farmasi, Kimia
Farmasi, Farmakologi, dan Farmasetika dan Teknologi Farmasi.
Sedangkan Ilmu Farmasi Klinik & Komunitas dan Farmasi Sosial
terus mengalami perkembangan. Sementara itu, perkembangan
Farmasi Sosial di Indonesia masih dalam wacana dan masih
terus didiskusikan, meskipun di UGM telah dimulai.
Sebagai seorang farmasis yang bergerak dalam bidang
kajian/penelitian terutama yang bertugas di lembaga pendidikan
tinggi dengan segala kompleksisitasnya terus menerus harus
melakukan pengembangan keilmuan. Sampai saat ini, pada
umumnya ilmu Farmasi Sains dan Teknologi, Ilmu Farmasi Klinik
& Komunitas, dan Farmasi Sosial. Namun, pengelompokan ini
sifatnya umum dan tidak mengikat yang bertujuan untuk
memudahkan untuk melakukan pengembangan keilmuan
dengan tetap berfokus pada keempat kajian ilmu farmasi
sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Istilah-istilah
pengelompokan bidang ilmu juga berbeda-beda dari masing-
masing lembaga/institusi pendidikan tinggi maupun riset.
Meskipun demikian, istilah apapun yang digunakan tetap
bermuara pada keempat fokus kajian ilmu farmasi dan hanya
berbeda dari porsi arah pengembangan dari masing-masing
lembaga/institusi.
245
Pembagian ilmu Farmasi menjadi beberapa bidang ilmu
bukan berarti memecah belah Ilmu Farmasi itu sendiri dan
kemudian masing-masing bidang ilmu berdiri sendiri, karena jika
hal ini terjadi maka akan menyebabkan ilmu Farmasi akan
mengalami blok-blok pada lintas bidang. Pembagian bidang ilmu
ini hanya untuk mempermudah kita untuk lebih fokus
menguasai bidang tertentu lebih dalam yang akan bersinergi
dengan bidang lain sehinga bisa menghasilkan sesuatu yang
dapat dimanfaatkan oleh manusia dalam hal peningkatan
kualitas kesehatan.
Farmasi ditinjau dari objek materinya, memiliki kerangka
dasar dari ilmu-ilmu alam; Kimia, Biologi, Fisika dan Matematika.
Sedangkan ilmu farmasi ditinjau dari objek formalnya
merupakan ruang lingkup dari ilmu-ilmu kesehatan. Secara
historis ilmu farmasi dikembangkan dari medical sciences, yang
berdasarkan kebutuhan yang mendesak perlunya pemisahan
ilmu farmasi sebagai ilmu pengobatan dari ilmu kedokteran
sebagai ilmu tentang diagnosis. Ilmu farmasi pada
perkembangan selanjutnya mengadopsi tidak hanya ilmu kimia,
biologi, fisika, dan matematika, melainkan termasuk pula dari
ilmu-ilmu terapan seperti pertanian, teknik, ilmu kesehatan,
bahkan dari behavior science. Berdasarkan ulasan tersebut,
dapat dikatakan bahwa disatu pihak farmasi tergolong seni
teknis (Technical arts) apabila ditinjau dari segi pelayanan dalam
penggunaan obat (medicine); di lain pihak farmasi dapat pula
digolongkan dalam ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural
science).
Berdasarkan cakupan Farmasi sebagai ilmu diatas,
secara umum terbentuk cabang-cabang ilmu farmasi yang terdiri
246
dari Ilmu Farmasi sains & teknologi, Ilmu Farmasi Klinik &
Komunitas, dan Farmasi Sosial. Kategori ilmu farmasi sains dan
teknologi terus mengalami perkembangan menjadi beberapa
bidang yang meliputi, Kimia Farmasi, Biologi Farmasi,
Farmakologi, dan farmasetika dan Teknologi Farmasi, dimana
masing-masing bidang terus mengalami spesialisasi. Demikian
juga untuk Ilmu Farmasi Klinik dan Komunitas dan Farmasi Sosial
terus mengalami perkembangan. Alasan-alasan pembentukan
bidang ilmu berdasarkan aspek filosofis yang terdiri dari aspek
ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
6.4.1 Farmasi Sains dan Teknologi
Farmasi Sains dan Teknologi mengkaji ilmu pengetahuan
dan teknologi di bidang farmasi, mencakup berbagai aspek yang
berhubungan dengan produk farmasi mulai dari
pencarian/penemuan, pengolahan dan pengembangan bahan
baku hingga menjadi sediaan farmasi yang siap digunakan.
Dalam arti lain, Farmasi Sains dan Teknologi berorientasi kepada
pengembangan pharmaceutical science & technology atau
pendekatannya bersifat product oriented untuk memenuhi
kebutuhan tenaga riset, pengembangan, produksi dan
pemeriksaan produk farmasi dan alat kesehatan. Kategori ilmu
farmasi sains dan teknologi terus mengalami perkembangan
menjadi beberapa bidang yang meliputi, Kimia Farmasi, Biologi
Farmasi, Farmakologi, dan farmasetika dan Teknologi Farmasi
yang dijelaskan dengan pendekatan filosofis sebagai berikut:
247
6.4.1.1 Bidang Ilmu Biologi Farmasi
Biologi Farmasi (dalam arti luas) ialah ilmu (terapan)
dalam bidang farmasi berlandaskan biologi yang penerapannya
mencakup penemuan, pengembangan dan produksi obat,
standardisasi, pengendalian pengolahan serta penggunaan.
Biologi farmasi mempunyai sub-disiplin dasar antara lain
sitologi, genetika, mikrobiologi, botani, zoology, biokimia,
biologi molekul, farmakologi, toksikologi, bioteknologi dan
farmakognosi-fitokimia. Kaitan dengan ini farmakognosi-
fitokimia ialah ilmu mengenai obat dan bahan pembantu yang
berasal dari organisme (mikroba, tumbuhan dan hewan) dan
organisme penghasilnya. Seringkali farmakognosi-fitokimia
diartikan sebagai biologi farmasi dalam arti sempit. Dengan
melihat definisi-definisi tersebut maka dapat dikatakan bahwa
bidang ilmu biologi farmasi diperlukan dalam praktek
kefarmasian, dan khususnya di Indonesia hal ini memiliki nilai
lebih karena berkaitan dengan banyaknya bahan alam
(khususnya tumbuhan) yang digunakan sebagai bahan obat dan
obat, yang tentunya hal itu memerlukan evaluasi, standardisasi
ataupun pengembangan yang konsekuensinya akan didasari
oleh ilmu biologi farmasi itu sendiri.
Ditinjau dari objek yang ditelaah, bidang ilmu Biologi
Farmasi memiliki kerangka dasar ilmu-ilmu alam, yaitu biologi,
kimia, fisika dan matematika. Dalam ilmu farmasi pembagian
bidang keilmuan terutama biologi farmasi tidak ada yang baku
dan pembagian tersebut masih tergantung kebijakan perguruan
tinggi atau kelompok praktisi peneliti masing-masing bahkan
beberapa perguruan tinggi tidak menggunakan istilah Biologi
Farmasi, dan tetap ada yang menyebut Kelompok
248
Farmakognosi-Fitokimia dan hal demikian juga terjadi di
universitas-universitas di luar negeri, tetapi objek kajian yang
dikaji dari kelompok ini sama, namun hanya menggunakan
istilah yang berbeda.
Secara umum Biologi Farmasi hanyalah sebuah istilah
untuk perluasan makna dari pengertian Farmakognosi-Fitokimia,
dimana istilah farmakognosi telah muncul sebelum Ilmu Farmasi
dipisahkan dengan Ilmu Kedokteran oleh Kaisar Frederick II.
Biologi Farmasi difokuskan pada kajian-kajian untuk penemuan
bahan baku farmasi dari alam.
Aspek Kajian Biologi Farmasi
1. Aspek Ontologi
Dari aspek Ontologi, yaitu eksistensi (keberadaan)
dan essensi (keberartian) dari bidang ilmu Biologi
Farmasi. Objek yang dibahas dalam bidang biologi
farmasi sangatlah luas dan harus melibatkan disiplin
ilmu lain seperti biologi (botani, mikrobiologi, Biologi sel
dan molekuler), kimia, fisika, matematika sebagai alat
komunikasi (bahasa) ilmu pengetahuan dan ilmu sosial
lainnya (seperti ekonomi, hukum, perundang-undangan,
sosiologi dan antropologi). Dalam kajian yang dilakukan
dalam lingkup bidang ilmu Biologi Farmasi meliputi:
Botani Farmasi, Farmakognosi-Fitokimia, dan
Mikrobiologi-Bioteknologi.
Dalam Ilmu Mikrobiologi-Bioteknologi Farmasi
merupakan kelompok ilmu farmasi yang merupakan
bagian bidang ilmu biologi farmasi tetapi juga
merupakan bagian ilmu bidang yang lain. Mengingat
mikrobiologi dan bioteknologi dapat dimanfaatkan
249
untuk mencarian bahan obat baru secara biologi baik
dari cara isolasi dari bakteri atau jamur (terutama jamur
endofit), kultur jaringan, sampai rekayasa genetika.
Bidang ilmu Botani Farmasi merupakan cabang dari
Biologi Farmasi yang dikembangkan lebih lanjut
mengenai sistematika dan morfologi tumbuhan,
anatomi dan fisiologi tumbuhan, serta eksplorasi
tumbuhan obat secara etnobotani. Bahasan tersebut
akan menunjang kepada penggalian kepada tumbuh-
tumbuhan sebagai obat baik dari identifikasi tanaman
obat, kandungan kimia dan metode pemisahannya.
Bidang Farmasi dalam ilmu botani ini dikembangkan
lebih lanjut dalam ilmu farmakognosi, bahan alam
farmasi dan fitokimia.
Bidang Ilmu Farmakognosi-Fitokimia merupakan
cabang tertua dalam ilmu farmasi masuk dalam bidang
Ilmu Biologi Farmasi yang dikembangkan lebih lanjut
mengenai kajian tentang bahan-bahan farmasetis yang
berasal dari mahluk hidup, meliputi: dimana terdapat
dialam, biosintesanya, penentuan kadar secara
kuantitatif di dalam bahan alam, dari mana bahan
tersebut berasal, cara isolasinya, struktur kimiawi, sifat-
sifat fisis dan kimiawi, penggunaan dan cara kerjanya.
Termasuk juga dalam hal ini; cara penanaman, seleksi,
pengumpulan, produksi, pengawetan, penyimpanan dan
perdagangan dalam bentuk simpleks/simplisia dan
galenik. Selain itu, yang paling penting dalam bidang
ilmu biologi farmasi yaitu penyediaan bahan alam
sebagai bahan baku obat atau obat yang terstandarisasi
250
agar dapat digunakan oleh masyarakat secara aman,
berkhasiat, dan bermutu. Bahkan lebih spesifik oleh The
American Society of Pharmacognosy, 2001 menyatakan
bahwa ruang lingkup Farmakognosi-Fitokimia meliputi:
studi mengenai sifat fisika, kimia, biokimia dan biologi
obat, bahan obat atau bahan lain yang berpotensi
sebagai obat yang berasal dari alam untuk mencari obat
baru yang berasal dari bahan alam.
Para pakar dalam bidang ini tidak hanya selalu
mencari senyawa baru dari alam baik secara etnobotani
maupun secara etnofarmakologi, akan tetapi terus
mengembangkan metode-metode untuk melakukan
pengayaan material aktif dari bahan alam yang telah
diketahui aktivitasnya. Mengingat metabolit sekunder
yang dihasilkan oleh suatu organisme terutama
tumbuhan sangat terbatas sehingga perlu melakukan
kajian-kajian yang lebih kompleks mulai dari budidaya,
pemanenan, sampai metode pemisahan, sehingga
organisme terutama tumbuhan tidak mengalami
kepunahan. Bahkan lebih menariknya lagi kajian
pengayaan metabolit sekunder secara rekayasa
genetika. Semua metode-metode yang digunakan masih
terus berkembang seiring perkembangan ilmu lain
terutama perkembangan bidang ilmu farmasi lainnya.
2. Aspek Epistemologi
Dari Aspek Epistemologi, yaitu metode yang
digunakan untuk membuktikan kebenaran bidang ilmu
botani farmasi. Landasan epistemologis farmasi ialah
logika deduktif dan logika induktif dengan pengajuan
251
hipotesis, yang dinamakan pula metode logiko-
hipotetiko-verifikatif. Logika deduktif membicarakan
cara-cara untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan bila
lebih dahulu telah diajukan pertanyaan-pertanyaan
mengenai semua atau sejumlah logika di antara suatu
kelompok masalah tertentu. Kesimpulan yang sah pada
suatu penalaran deduktif selalu merupakan akibat yang
bersifat keharusan dari pernyataan-pernyataan yang
lebih dulu diajukan. Pembahasan mengenai logika
deduktif itu sangat luas dan meliputi satu diantara
persoalan-persoalan yang menarik. Logika induktif
membicarakan tentang penarikan kesimpulan bukan
dari pernyataan-pernyataan yang umum, melainkan dari
pernyataan-pernyataan yang khusus. Kesimpulannya
hanya bersifat probabilitas berdasarkan atas
pertanyaan-pertanyaan yang telah diajukan.
Pembagian bidang ilmu biologi farmasi terutama
Farmakognosi telah dimulai sejak manusia itu ada.
Sejarah farmasi identik dengan sejarah farmakognosi,
semenjak pemisahan farmasi dan kedokteran oleh
Kaisar Frederik II pada Tahun 1240, banyak catatan dari
negara-negara Arab, Eropa, Cina dan Asia lainnya
tentang penggunaan bahan alam sebagai obat. Namun
secara eksplisit biologi farmasi khususnya farmakognosi
dan bahan alam di Eropa mulai diperkenalkan dan
dikembangkan pada abad ke-18 dan ke-19. Proses
terbentuk dan pengembangannya tentu saja sejalan
dengan perkembangan bidang ilmu farmasi lainnya dan
bidang ilmu selain farmasi.
252
Penyusunan Bidang Ilmu Biologi Farmasi didasarkan
atas penemuan-penemuan. Teori-teori biologi farmasi
(meliputi ilmu Botani Farmasi, ilmu Farmakognosi-
Fitokimia, dan Mikrobiologi-Bioteknologi), baik dalam
studi eksplorasi bahan alam (Hewan, Tumbuhan,
mikroorganisme), identifikasi, karakterisasi, skrining
aktivitas, rekayasa genetika, sampai penggalian
informasi pengunaan bahan alam secara etnobotani dan
etnofarmakologi. Disusun secara sistematik yang
diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan
dengan metode ilmiah yang mencirikan pada observasi,
pengukuran, penjelasan dan verifikasi, dengan
mempergunakan metode logiko-hipotetiko-verifikatif.
3. Aspek Aksiologi
Dari aspek Aksiologi, yaitu manfaat dari bidang
ilmu Biologi Farmasi. Disini mempertanyakan apa nilai
kegunaan pengetahuan tersebut. Kegunaan atau
landasan aksiologis biologi farmasi adalah bertujuan
untuk kesehatan manusia.
Alam telah menyediakan material yang diperlukan
untuk peningkatan derajat kesehatan manusia, akan
tetapi cara memperoleh dan mengolahnya menjadi
sesuatu yang berguna tidaklah mudah untuk
mengetahuinya, karena alam masih menyimpan misteri-
misteri yang sulit untuk dimengerti oleh manusia. Ilmu
Biologi Farmasi diperlukan untuk mengkaji semuanya,
bidang ilmu ini tertantang untuk mengungkap misteri-
misteri yang ada di alam ini, sehingga akan menjadi
253
kepuasan tersendiri oleh praktisinya jika telah berhasil
mengungkap sebagian kecil misteri tersebut.
Dengan menerapkan bidang ilmu ini,
memungkinkan praktisinya untuk menemukan sumber-
sumber obat baru dari alam yang dibutuhkan untuk
kesehatan manusia. Dengan demikian, penerapan
bidang ilmu biologi farmasi dapat memberikan
kontribusi dalam pengolahan dan penggunaan bahan
alam sebagai obat untuk kehidupan masyarakat yang
lebih sehat dan lebih baik.
Penggunaan bahan alam sebagai obat oleh
masyarakat untuk mengobati suatu penyakit maka
diperlukan keahlian biologi farmasi dari berbagai aspek
agar masyarakat dapat menggunakan bahan alam
sebagai obat yang tepat, efektif, aman, dan berkhasiat.
Dengan pesatnya perkembangan obat herbal di
Indonesia yang ditandai dengan semakin besarnya jumlah
industri obat tradisional dan produk herbal baik dalam kategori
jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka sangat dibutuhkan
penelitian-penelitian yang berkualitas dalam berbagai bidang
terkait. Kebijakan pemerintah tentang saintifikasi jamu
mempertegas perlunya pendekatan-pendekatan ilmiah dalam
penggunaan obat herbal sehingga dapat digunakan dengan
tepat di masyarakat. Di samping produk herbal tersebut, bahan
obat yang berasal dari bahan alam juga mengalami peningkatan.
Penemuan senyawa baru yang dapat dijadikan senyawa model
(lead compound) sangat dimungkinkan dengan berkembangnya
teknologi dan peralatan yang mendukung. Penggunaan bahan
alam tidak terbatas untuk pengobatan, tetapi juga dibutuhkan
254
dalam bidang kosmetik, pangan, pangan fungsional suplemen
dan lain-lain yang membutuhkan pengembangan setiap saat
sehingga penelitian di bidang tersebut perlu medapatkan
perhatian. Bidang ilmu Biologi Farmasi dengan sumberdaya dan
keahlian yang ada berpartisipasi aktif bersama-sama stakeholder
lainnya di dalam dan luar negeri untuk berkontribusi bagi
perkembangan bahan alam Indonesia untuk berbagai tujuan
terutama peningkatan kualitas kesehatan masyarakat.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa
bidang Ilmu Biologi Farmasi merupakan salah satu bidang ilmu
farmasi yang penerapannya mencakup penemuan,
pengembangan dan produksi obat, standardisasi, pengendalian
pengolahan serta penggunaan bahan obat alami. Bidang Ilmu
Biologi Farmasi dari segi aspek kajiannya bukanlah bagian yang
terpisahkan dari bidang ilmu lain dalam lingkup ilmu farmasi,
namun melainkan bidang yang berfokus pada pengkajian bahan
baku obat atau bahan obat secara biologi yang terus mengalami
perkembangan seiring perkembangan ilmu-ilmu lainnya
termasuk perkembangan ilmu filsafat. Bidang ilmu Biologi
Farmasi dengan sumberdaya dan keahlian yang ada
berpartisipasi aktif bersama-sama stakeholder lainnya di dalam
dan luar negeri untuk berkontribusi bagi perkembangan bahan
alam Indonesia untuk berbagai tujuan terutama dalam
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
6.4.1.2 Bidang Ilmu Kimia Farmasi
Kimia Farmasi atau Pharmaceutical Chemistry adalah
ilmu terapan dalam bidang Farmasi yang berlandaskan kimia
yang penerapannnya mencakup penemuan dan pengembangan
255
analisa (secara kualitatif, dan kuantitatif), isolasi, sintesis,
identifikasi, dan interpretasi cara kerja senyawa biologis aktif
(obat) pada tingkat molekul. Kimia Farmasi mempunyai sub-
disiplin dasar yaitu kimia dasar, kimia analisis, kimia fisika, kimia
organik, kimia anorganik, biologi sel dan molekuler, biokimia,
mikrobiologi, farmakologi, toksikologi. Kelompok bidang ilmu
kimia farmasi terdiri dari dua subkelompok keilmuan utama
yaitu Farmasi Analisis dan Kimia Medisinal. Kimia Farmasi
analisis melibatkan penggunaan sejumlah teknik dan metode
untuk memperoleh aspek kualitatif, kuantitatif, dan informasi
struktur dari suatu senyawa obat pada khususnya dan bahan
kimia pada umumnya. Sedangkan Kimia Medisinal terlibat dalam
identifikasi, isolasi, sintesis, dan pengembangan entitas kimia
baru (new chemical entity) yang dapat digunakan untuk terapi.
Kelompok bidang Ilmu Kimia Farmasi berfokus pada aspek
kualitas bahan obat atau obat dan bertujuan untuk memelihara
kesehatan sebagai tujuan dari produk obat.
Aspek Kajian Bidang Ilmu Kimia Farmasi
1. Aspek Ontologi
Dari aspek Ontologi, yaitu eksistensi (keberadaan)
dan essensi (keberartian) dari bidang ilmu Kimia
Farmasi. Secara umum, bidang Ilmu Kimia Farmasi
terdiri dari dua sub-kelompok keilmuan yaitu Farmasi
Analisis dan Kimia Medisinal yang mana kedua sub-
kelompok bidang ilmu ini sangatlah luas dan melibatkan
berbagai disiplin keilmuan seperti kimia (kimia organik,
biokimia, kimia anorganik, kimia analisis, kimia fisika,
dan instrument kimia modern), fisika, biologi,
matematika dan statistik, ilmu komputer, dan ilmu sosial
256
(termasuk, ekonomi, hukum, sosiologi, antropologi, dan
lain-lain).
Dalam ilmu Farmasi Analisis merupakan kelompok
ilmu farmasi yang termasuk kedalam kelompok kimia
farmasi yang berfokus pada pengembangan dan validasi
metode analisis untuk dapat diaplikasikan dan
mengontrol kualitas obat sebagai produk akhir, yang
meliputi analisis farmasi, analisis klinik, analisis
mikrobiologi, toksikologi analisis, dan analisis makanan
dan kosmetik (baik kandungan maupun keamanannya).
Farmasi Analisis fokus pada aspek kualitas bahan dan
produk farmasi yang bertujuan untuk menjamin
keamanan dan efektivitas penggunaan produk farmasi.
Dalam ilmu Kimia Medisinal merupakan cabang dari
ilmu kimia farmasi yang berfokus pada studi identifikasi,
perancangan, isolasi, sintesis, dan pengembangan
senyawa kimia baru yang sesuai untuk digunakan
dibidang pengobatan (obat); termasuk didalamnya studi
hakikat obat dan aktivitas biologisnya, serta hubungan
struktur aktivitas secara kuantitiatif (HKSA). Kimia
Medisinal merupakan sub-kelompok bidang ilmu yang
sangat melibatkan bidang-bidang ilmu lain dengan
menggabungkan kimia organik, biokimia, kimia
komputasi, farmakologi, biologi molekular, statistika,
dan kimia fisik.
Eksistensi dan essensi bidang ilmu kimia farmasi
sangat penting terutama untuk menjamin keamanan
dan efektifitas sediaan farmasi. Disisi lain, bidang ilmu
kimia farmasi terus melakukan pencarian dan
257
pengembangan bahan obat dan bahan sediaan farmasi
lainnya seiring dengan semakin kompleksnya penyakit
yang muncul hingga saat ini.
2. Aspek Epistomologi
Dari Aspek Epistemologi, yaitu metode yang
digunakan untuk membuktikan kebenaran bidang ilmu
Kimia Farmasi. Landasan epistemologis farmasi ialah
logika deduktif dan logika induktif dengan pengajuan
hipotesis, yang dinamakan pula metode logiko-
hipotetiko-verifikatif.
Pengelompokan bidang ilmu Kimia Farmasi telah
dilakukan secara de facto sebelum Kaisar Federick II
memisahkan Farmasi dengan Kedokteran, terutama
dimulai pada saat berkembangnya ilmu kimia pada masa
kejayaan Islam di Timur Tengah, dimana pada waktu itu
sudah banyak senyawa-senyawa kimia digunakan dalam
pengobatan. Selanjutnya, diakhir abad ke-19 seiring
dengan perkembangan ilmu kimia terutama sintesis
dimana para kimiawan mulai mensintesis senyawa
organik dengan struktur yang semakin kompleks,
sehingga dikenal lagi istilah Kimia Medisinal yaitu ilmu
terkait sintesis obat. Dalam melakukan sintesis obat
tidak sedikit metode analisis telah dikembangkan, pada
tahun 1920-an semua teknik analisis menggunakan
metode konvensional baik secara kualitatif maupun
secara kuantitatif .
Selain itu, aspek epistomologi bidang ilmu Kimia
Farmasi juga didasarkan atas penemuan-penemuan.
Teori-teori tentang Kimia Farmasi (Farmasi Analisis dan
258
Kimia Medisinal), baik dalam studi tentang Analisis
Farmasi, Analisis Klinik, Analisis mikrobiologi, toksikologi
analisis, dan analisis makanan dan kosmetik (baik
kandungan maupun keamanannya). Disusun secara
sistematik yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang
dilakukan dengan metode ilmiah yang mencirikan pada
observasi, pengukuran, penjelasan dan verifikasi.
Dengan mempergunakan metode logiko-hipotetiko-
verifikatif.
3. Aspek Aksiologi
Dari aspek aksiologi, yaitu manfaat dari bidang ilmu
Kimia Farmasi. Bidang ilmu Kimia Farmasi merupakan
ilmu yang sangat menantang yang dilahirkan untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang diajukan oleh
Alam. Dengan menerapkan ilmu ini, memungkinkan
seseorang untuk menemukan obat baru, yang
merupakan satu kebutuhan bagi kelangsungan hidup
manusia, mengetahui benar tentang obat yang
ditelitinya, efek biologis dan mekanisme efek biologis
yang ditimbulkannya, serta berbagai faktor yang dapat
mmpengaruhi efek biologis obat itu. Selain itu, bidang
ilmu Kimia Farmasi juga merupakan ilmu yang
digunakan untuk pemastian mutu sediaan farmasi.
Mulai dari identitas dan kemurnian obat, kandungan
obat, bahan-bahan pengotor, stabilitas, sampai
konsentrasi obat dalam jaringan atau dalam cairan
biologis.
Dengan demikian, dengan menerapkan bidang ilmu
Kimia Farmasi, seseorang mempunyai kesempatan
259
untuk berpartisipasi secara mendasar pada pencegahan,
pengobatan dan pemahaman penyakit, sehingga bidang
ilmu Kimia Farmasi mempunyai kontribusi kepada
kehidupan masyarakat yang lebih sehat dan lebih
bahagia, dan juga berkontribusi dalam mengontrol
kualitas obat yang beredar dari segi mutu, khasiat, dan
keamanan serta berpartisipasi dalam optimalisasi
penggunaan obat dalam terapi guna meningkatkan
kualitas hidup masyarakat/pasien.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa
Bidang Ilmu Kimia Farmasi merupakan salah satu bidang ilmu
farmasi yang penerapannya mencakup penemuan dan
pengembangan analisa (secara kualitatif, dan kuantitatif),
isolasi, sintesis, identifikasi, dan interpretasi cara kerja senyawa
biologis aktif (obat) pada tingkat molekul. Sama halnya dengan
bidang ilmu lainnya, Bidang ilmu Kimia Farmasi dari segi aspek
kajiannya bukanlah bagian yang terpisahkan dari bidang ilmu
lainnya dalam lingkup ilmu farmasi, namun melainkan bidang
yang berfokus pada pengkajian bahan baku obat atau bahan
obat secara kimia (terutama subbidang kimia medisinal dan
kimia analisis) yang terus mengalami perkembangan seiring
perkembangan ilmu-ilmu lainnya.
6.4.1.3 Bidang Ilmu Farmakologi
Ilmu Farmakologi merupakan bagian ilmu farmasi
(istilah farmakologi juga digunakan secara luas dalam bidang
Kedokteran) adalah disiplin yang sangat luas dimana
menggambarkan penggunaan bahan kimia untuk mencegah,
mengobati, dan menyembuhkan penyakit, serta dapat
260
mempertahankan seseorang tetap menjadi sehat dan bugar.
Bidang ilmu farmakologi berfokus pada khasiat obat di segala
segi termasuk sifat kimia, sifat fisika, kegiatan fisiologis/efeknya
terhadap fungsi biokimia dan faal, cara kerja, absorbsi, nasib
(distribusi, biotransformasi), eksresinya didalam tubuh, serta
efek toksiknya mulai dari tingkat organ hingga tingkat
molekular. Ilmu farmakologi harus didukung oleh ilmu-ilmu
dasar seperti pada bidang ilmu biologi farmasi dan kimia
farmasi, terutama ilmu biokimia, anatomi dan fisiologi.
Dalam bidang ilmu Farmakologi terdapat cabang-cabang
ilmu yang terdiri dari Farmakodinamika, Farmakokinetika,
Imunologi, Farmakoterapi, dan Toksikologi. Semua cabang-
cabang ilmu farmakologi tersebut berfokus pada bahan aktif
yang memberikan pengaruh pada tubuh, bukan mengarah
kepada diagnosis penyakit.
Aspek Kajian Bidang Ilmu Farmakologi
1. Aspek Ontologi, yaitu yaitu eksistensi (keberadaan) dan
essensi (keberartian) dari bidang ilmu Farmakologi.
Secara umum Farmakologi merupakan ilmu yang
mempelajari setiap zat kimia yang mempengaruhi
proses hidup yang dirumuskan sebagai kajian terhadap
bahan-bahan yang berinteraksi dengan sistem
kehidupan melalui proses kimia, khususnya melalui
pengikatan molekul-molekul regulator yang
mengaktifkan atau menghambat proses-proses tubuh
yang normal. Untuk lebih detail dan lebih rinci maka
terbentuk cabang-cabang ilmu yang lebih berfokus pada
pencapaian bidang ilmu farmakologi meliputi
Farmakodinamik, Farmakokinetik, Imunologi,
261
Farmakoterapi, dan Toksikologi. Farmakodinamik
merupakan cabang ilmu farmakologi yang berfokus
mempelajari dan mengkaji aktivitas obat (terutama
interaksi obat dan reseptor), cara kerja obat, efek obat
terhadap fungsi berbagai organ serta pengaruh obat
terhadap reaksi biokimia dan struktur organ atau
disingkat pengaruh obat terhadap tubuh;
Farmakokinetik yang merupakan cabang ilmu
farmakologi yang berfokus mempelajari absorbsi,
distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat (ADME) atau
dalam istilah sederhana pengaruh tubuh terhadap obat;
Imunologi merupakan cabang ilmu farmakologi yang
berfokus mempelajari antigen, antibodi, dan fungsi
pertahanan tubuh inang/host yang diperantarai oleh sel,
terutama yang berhubungan dengan imunitas terhadap
penyakit, reaksi biologis hipersensitifitas, alergi dan
penolakan benda asing; Farmakoterapi merupakan
cabang ilmu farmakologi yang berfokus mempelajari
tentang penggunaan obat dalam pengobatan penyakit;
dan Toksikologi merupakan cabang ilmu farmakologi
yang berfokus mempelajari tentang zat-zat racun
dengan khasiatnya serta cara-cara untuk
mengenal/mengidentifikasi dan melawan efeknya.
Eksistensi dan essensi bidang ilmu farmakologi
sangat penting terutama untuk memastikan dosis,
khasiat, dan keamanan bahan obat sebelum dibuat
dalam bentuk sediaan, hingga menjamin efek obat
setelah masuk kedalam tubuh, bahkan efek jangka
262
panjang penggunaan obat, dimana khasiat obat sangat
ditentukan oleh faktor seperti genetik, nutrisi, dan dosis.
2. Aspek Epistomologi, yaitu metode yang digunakan
untuk membuktikan kebenaran bidang ilmu
Farmakologi. Landasan epistemologis farmasi ialah
logika deduktif dan logika induktif dengan pengajuan
hipotesis, yang dinamakan pula metode logiko-
hipotetiko-verifikatif.
Ilmu Farmakologi mulai berkembang pada abad
kejayaan Islam di Timur tengah, ilmu Farmakologi
pertama kali dikembangkan oleh Muhammad bin
Zakariya Ar-Razi (Rhazes) (865-915), dengan
mempromosikan penggunaan bahan kimia untuk tujuan
pengobatan. Meskipun jauh sebelum itu telah dipelajari
ilmu toksikologi atau yang paling dikenal The Royal
Toxicologist oleh Mithridates VI, juga dikenal sebagai
“Mithradates of Great” (Megas) dan Eupator Dionysius,
menjadi raja Pontus dan sebagian Armenia di daerah
Anatolia timur (sekarang Turki) sekitar tahun 120-63 SM.
Kemudian pengetahuan ini menjadi cikal bakal ilmu
farmakologi yang berfokus pada toksikologi. Johann
Jakob Wepfer (Tahun 1620-1695), merupakan orang
pertama yang melakukan verifikasi dengan melakukan
eksperimen tentang aksi farmakologi atau toksikologi
menggunakan hewan coba.
Periode modern pada abad 18-19, mulai dilakukan
penelitian eksperimental tentang nasib obat, tempat
dan cara kerja obat, pada tingkat organ dan jaringan.
Rudol Buchhein (1820 – 1879) mendirikan institut
263
farmakologi pertama di Universitas Dorpat (Tartu,
Estonia). John J. Abel (1857-1938) dikenal sebagai “The
Father of American Pharmacology” merupakan orang
Amerika pertama yang melakukan pelatihan uji
farmakologi di laboratorium Schmiedeberg dan pendiri
Journal of Pharmacology and Experimental Therapeutics
(yang diterbitkan sejak tahun 1909 hingga saat ini)
bersama dengan Oswald Schmiedeberg (1838 – 1921)
dan Bernhard Naunyn (1857 – 1938). Sejarah penelitian
bidang farmakologi terus mengalami perkembangan
hingga saat ini.
Pengujian terhadap suatu bahan obat atau obat
terus berkembang mulai dari berdasarkan empirik
kemudian dilanjutkan dengan uji farmakologi secara
eksperimen terutama menggunakan hewan coba,
jaringan, dan eksplorasi fungsional pada tingkat organ
tertentu dan sel target) termasuk uji keamanan (uji
toksikologi dan uji teratogenik) kemudian uji
farmakologi lanjutan pada tingkat biokimia dan
molekuler, dan uji tahap farmakologi klinik sebelum
dipasarkan.
Jadi, dari aspek epistomologi ilmu Farmakologi
merukan cabang ilmu farmasi yang disusun berdasarkan
hasil penemuan-penemuan ilmiah yang terus
mengalami perkembanggan (dapat dilihat pada jurnal-
jurnal ilmiah Internasional dan Nasional yang bereputasi
tinggi). Riset-riset yang dipublikasikan terutama dalam
cabang ilmu farmakologi yang berfokus pada
Farmakodinamik, Farmakokinetika, Imunologi,
264
Farmakoterapi, dan Toksikologi yang terus mengalami
perkembangan seiring perkembangan ilmu lainnya yang
terkait dengan ilmu Farmakologi.
3. Aspek Aksiologi, yaitu kemanfaatan ilmu Farmakologi.
Ilmu Farmakologi merupakan ilmu yang sangat
menantang dan memiliki keahlian khusus terutama
penanganan objek eksperimen yang berupa mahluk
hidup yang memiliki kemanfaatan sama dengan bidang
ilmu Farmasi lainnya.
Farmakologi merupakan ilmu yang sangat
dibutuhkan terutama yang berhubungan dengan obat
dan secara umum sediaan farmasi lainnya, sebagai
contoh pembuktian secara ilmiah herbal yang digunakan
secara tradisional melalui serangkaian penelitian yang
dilakukan dari segi efektivitas dan keamanan sebelum
dipasarkan dan digunakan oleh konsumen. Dengan ilmu
ini, memungkinkan kita untuk mengembangkan obat,
bahan obat, dan obat tradisional yang meliputi
beberapa cara yaitu: (1) menentukan mekanisme kerja
obat, bahan obat, dan obat tradisional dalam
mempengaruhi fisiologi tubuh; (2) membuktikan
keamanan obat, bahan obat, dan obat tradsional; (3)
menentukan dosis yang tepat dalam penggunaan obat;
dan (4) menentukan aturan dan cara pakai obat yang
tepat. Dengan demikian, ilmu Farmakologi memiliki
peran dalam mengontrol kualitas, efikasi, keamanan,
dan pengembangan obat terutama pada tahap praklinik
dan klinik, serta berpartisipasi dalam optimalisasi
penggunaan obat melalui pengobatan rasional.
265
Berdasarkan uraian diatas, Bidang Ilmu Farmakologi
merupakan salah satu bidang dalam Ilmu Farmasi yang berfokus
pada khasiat obat di segala segi termasuk sifat kimia, sifat fisika,
kegiatan fisiologis/efeknya terhadap fungsi biokimia dan faal,
cara kerja, absorbsi, nasib (distribusi, biotransformasi),
eksresinya didalam tubuh, serta efek toksiknya mulai dari
tingkat organ hingga tingkat molekular. Ilmu Farmakologi sangat
penting terutama untuk mendukung penggunaan bahan obat
atau obat berdasarkan hasil penemuan baik secara biologi
maupun secara kimia, tidak sampai disitu farmakologi juga
berperan penting dalam pengembangan obat seiring dengan
perkembangan dan tingkat kompleksisitas penyakit yang muncul
sampai saat ini. Serta, ilmu ini juga berperan penting dalam hal
keamanan, khasiat seluruh sediaan farmasi sebelum dipasarkan
ke masyarakat. Kajian-kajian dalam bidang ilmu Farmakolologi
terus mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan
ilmu-ilmu lainnya.
6.4.1.4 Bidang Ilmu Farmasetika dan Teknologi Farmasi
Ilmu Farmasetika dan Teknologi Farmasi merupakan
bagian ilmu farmasi yang berfokus pada cara penyediaan obat,
seni peracikan obat, dan pembuatan sediaan farmasi menjadi
bentuk tertentu hingga siap digunakan sebagai obat, serta
perkembangan obat yang meliputi ilmu dan teknologi
pembuatan obat dan sediaan farmasi lainnya terutama
menyangkut teknik dan prosedur pembuatan sediaan farmasi
dalam skala industri farmasi termasuk prinsip kerja serta
pemeliharaan alat-alat teknologi produksi dan penunjang sesuai
ketentuan cara pembuatan obat yang baik (CPOB). Kelompok
266
bidang ilmu Farmasetika dan Teknologi Farmasi memiliki ilmu-
ilmu dasar sama seperti ilmu-ilmu dasar yang diperlukan pada
bidang ilmu Biologi Farmasi, Kimia Farmasi terutama pada
penekanan sifat fisikokimia bahan baku hingga sediaan jadi
untuk sediaan farmasi, meliputi kimia, biokimia, biologi,
matematika, statistik, fisika, ilmu kedokteran, dan ilmu teknik
(engineering).
Bidang ilmu Farmasetika dan Teknologi Farmasi memiliki
cabang-cabang ilmu yang terdiri dari, Biofarmasi, Farmasetika,
dan Teknologi Farmasi. Masing-masing cabang dari ilmu
Farmasetika dan Teknologi Farmasi berfokus pada pembuatan
dan pengembangan sediaan farmasi dari bahan-bahan farmasi
baik yang diperoleh secara biologi maupun secara kimia, bahkan
pengembangan sediaan farmasi yang dikembangkan dari bahan
yang diperoleh secara fisika (dalam bidang ilmu farmasi belum
ada dan masih dikelompokkan dalam bidang ilmu Kimia Farmasi)
terutama terkait dengan alat kesehatan.
Aspek Kajian Bidang Ilmu Farmasetika dan Teknologi Farmasi
1. Aspek Ontologi, yaitu eksistensi (keberadaan) dan
essensi (keberartian) dari bidang ilmu Farmasetika dan
Teknologi Farmasi. Tujuan utama dari bidang ilmu
Farmasetika dan Teknologi Farmasi adalah untuk
mengembangkan sediaan farmasi dan sistem
penghantaran obat, menggunakan dan melibatkan
berbagai disiplin ilmu seperti seperti kimia, teknik kimia,
biologi, statistik, ekonomi, dan pemasaran untuk
mengembangkan obat untuk mengobati,
menyembuhkan, dan mencegah penyakit.
267
Bidang ilmu Farmasetika dan Teknologi Farmasi
berfokus pada penemuan dan pengembangan sediaan
farmasi yang dalam eksperimen-ekperimennya
melibatkan tiga cabang-cabang ilmu meliputi Biofarmasi,
Farmasetika, dan Teknologi Farmasi. Biofarmasi
merupakan cabang ilmu Farmasetika dan Teknologi
Farmasi yang fokus mempelajari pengaruh-pengaruh
pembuatan sediaan farmasi terhadap efek terapeutik
sediaan farmasi (terutama fisikokimia, sistem
penghantaran, sistem pelepasan, drug-drug interaction,
incompabilitas, bioavailabilitas dan biaequivalent).
Farmasetika merupakan cabang ilmu yang fokus
mempelajari tentang cara penyediaan obat (meliputi
pengumpulan, pengenalan, pengawetan, dan
pembakuan bahan obat-obatan), seni meracik obat,
pembuatan (formulasi) sediaan farmasi menjadi bentuk
tertentu hingga siap digunakan (mulai dalam bentuk
sedian padat, semipadat/semicair, sediaan cair, dan
sediaan lain), dan perkembangan ilmu dan teknologi
pembuatan obat dalam bentuk sediaan yang dapat
digunakan dan diberikan kepada pasien. Teknologi
Farmasi merupakan cabang ilmu Farmasetika dan
Teknologi Farmasi yang berfokus mempelajari teknik
dan prosedur pembuatan sediaan farmasi baik dalam
skala pilot maupun skala industri termasuk prinsip kerja
serta perawatan/pemeliharaan alat-alat produksi dan
penunjangnya sesuai ketentuan yang telah ditetapkan
oleh pemerintah atau regulasi (dalam hal ini adalah
CPOB, CPOBT, GMP, dan lain-lain).
268
Produk-produk sediaan farmasi sangat tergantung
pada teknologi, yang membantu untuk mengatasi
kebutuhan medis yang belum terpenuhi dari
pasien/audiens/konsumen. Industri farmasi dan
kompleksisitas pasien yang beragam menyebabkan ilmu
Farmasetika dan Teknologi Farmasi terus mengelamii
perkembangan untuk mengatasi keterbatasan sediaan
farmasi yang telah diproduksi oleh industri farmasi
sebelumnya. Industri farmasi biasanya memiliki bagian
Research and Dopelovment (R & D) untuk mengkaji ini
dan kebanyakan adalah bidang ilmu Farmasetika dan
Teknologi Farmasi.
2. Aspek Epistomologi, yaitu metode yang digunakan
untuk membuktikan kebenaran bidang ilmu Farmasetika
dan Teknologi Farmasi menggunakan landasan
epistomologi dengan pendekatan logika deduktif dan
logika induktif dengan pengujian hipotesis.
Bidang Ilmu Farmasetika dan Teknologi Farmasi
(terutama Ilmu Resep atau ramuan-ramuan) telah ada
sejak jaman kuno dan tidak ada catatan sejarah kapan
manusia pertama mulai mencampur zat dan menyusun
formula untuk diproduksi terutama sediaan yang
memberikan efek terapi, tetapi diketahui bahwa
peracikan sediaan obat baik dari sumebr hewan,
tumbuhan, dan mineral atau yang lebih dikenal sumber
materia medica telah dipraktekkan dalam bentuk
canggih dengan berbagai peradaban (peradaban Mesir
Kuno, Cina dan India Kuno, Yunani dan Romawi Kuno,
dan lain-lain), akan tetapi Farmasetika telah
269
berkembang pesat dimasa kejayaan Islam di Timur
Tengah, hal ini dapat dilihat sejak didirikannya Apotek
(Pharmacy) atau toko obat pertama di Baghdad pada
tahun 754 M dibawah Khalifah Abbasi, dan diatur secara
resmi oleh negara melalui peraturan perundang-
undangan. Meskipun Dioscoirides pada Awal Abad 1
Masehi telah mencatat ramuan-ramuan untuk
pengobatan dan bukunya diterjemahkan kedalam
bahasa Arab adalah buku Dioscorides yang berjudul De
materia medica.
Banyak teks-teks penting yang berisi informasi
tentang obat-obatan dan peracikan yang disusun oleh
dokter-dokter Arab dari abad ketujuh sampai abad
ketigabelas, termasuk yang dilakukan oleh John Mesue
Senior (857 M), Abu Mansur (970 M), Ibnu Sina
(Avicenna, 980 – 1036 M) dan Ibnu Al-Baitar dari Malaga
(1197 – 1248 M). Catatan-catatan pada periode dan
daerah tertentu dari Corpus of Simples, yang disusun
oleh Ibnu Al-Baitar yang berisi informasi tentang obat-
obatan dan peracikan menunjukkan bahawa setidaknya
ada 300 bahan obat yang sebelumnya tidak pernah
terpakai dalam membuat sediaan farmasi dan mulai
diperkenalkan pertama oleh orang-orang Arab,
termasuk cengkeh, pinang, rhubarb, nux vomica, dan
penggunaan secara luas gula tebu sebagai kompenen
formulasi
Pada awal abad ke-16 di Eropa baru mulai
berkembang terutama Kejayaan Islam telah mulai
meredup, adalah Paracelcius telah memperkenalkan
270
ramuan-ramuan berbahan garam untuk pengobatan.
Pada tahun 1600 – 1940 telah banyak resep-resep hasil
pengkajian-pengkajian baik yang diperoleh dari alam
maupun sintesis telah digunakan secara resmi dan
dispensing dan compounding dilakukan secara resmi
oleh ahli farmasi di apotek-apotek (Apoteker), disisi lain
kajian-kajian tentang ilmu resep terus dilakukan. Pada
tahun 1940 – 1970, yang seiring dengan revolusi
industri, kajian-kajian dalam hal ilmu formulasi dan
teknologi untuk produksi obat terus dilakukan. Tidak
sedikit tokoh-tokoh ilmuan yang ahli dalam bidang ini
sejak rentang tahun 1600 sampai tahun 1970-an.
Publikasi-publikasi dan teks-teks tentang Farmasetika
dan Teknologi Farmasi sangat banyak dan terus
mengalami perkembangan hingga saat ini.
Jadi secara epistomologi telah membuktikan bahwa
Bidang Ilmu Farmasetika dan Teknologi Farmasi
terdefinisikan yang dibuktikan dalam berbagai eksprime-
eksperimen yang telah dilaporkan melalui publikasi dan
teks.
3. Aspek Aksiologi, yaitu manfaat dari bidang ilmu
Farmasetika dan Teknologi Farmasi. Disini
mempertanyakan apa nilai kegunaan pengetahuan
tersebut. Kegunaan atau landasan aksiologis biologi
farmasi adalah bertujuan untuk kesehatan manusia.
Bidang ilmu Farmasetika dan Teknologi Farmasi
merupakan ilmu yang penuh tantangan, mengingat
kebutuhan obat-obatan semakin kompleks, belum lagi
terkait bahan aktif untuk khasiat tertentu dengan
271
kestabilan yang rendah dan rasa yang tidak
menyenangkan. Oleh karena itu, bidang ilmu
Farmasetika dan Teknologi Farmasi berperan penting
untuk menyediakan sediaan-sediaan farmasi yang
memiliki khasiat dengan penggunaan yang tepat.
Bentuk-bentuk sediaan farmasi khususnya obat-obatan
yang yang sangat bermanfaat dalam pengobatan
meliputi bentuk sediaan dalam bentuk kapsul, tablet,
tablet salut, salep, krim, injeksi, aerosol, syrup, emulsi,
suppositoria hingga sediaan dalam bentuk nano
teknologi tentunya bentuk–bentuk tersebut bertujuan
demi kenyamanan pada saat digunakan dan kestabilan
bahan aktif.
Selain itu, bidang ilmu Farmasetika dan Teknologi
bermanfaat dalam menjamim mutu, khasiat, dan
keamanan sediaan yang diproduksi dalam skala besar
untuk digunakan dalam pengobatan termasuk prinsip
kerja serta perawatan/pemeliharaan alat-alat produksi
dan penunjangnya sesuai ketentuan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah atau regulasi (dalam hal ini
adalah CPOB, CPOBT, GMP, dan lain-lain), dan yang lebih
penting produk-produk yang dihasilkan dapat dijangkau
oleh seluruh lapisan masyarakat yang memerlukan.
6.4.2 Farmasi Klinik & Komunitas
Bidang ilmu Farmasi Klinik & Komunitas merupakan
cabang ilmu Farmasi yang mempelajari dan menekankan fungsi
farmasis untuk memberikan asuhan kefarmasian
(pharmaceutical care) kepada pasien, yang bertujuan untuk
272
meningkatkan outcome pengobatan yang meliputi: (1)
memaksimalkan efe terapeutik; (2) meminimalkan resiko; (3)
meminimalkan biaya; (4) menghormati pilihan pasien. Oleh
karena itu, Bidang Ilmu Farmasi Klinik & Komunitas lebih banyak
berorientasi pada pelayanan kefarmasian. Hal ini sejalan dengan
paradigma baru pelayanan kefarmasian yang tidak hanya
difokuskan pada produk, tetapi juga lebih berorientasi diarahkan
pada pasien.
Dalam bidang Ilmu Farmasi Klinik & Komunitas, selain
mempelajari Ilmu Farmasi Sains dan Teknologi juga akan
pempelajari aspek-aspek penunjang pelayanan terutama
Patologi, patofisiologi, Farmakokinetik klinik, Farmakoekonomi,
Farmakoepidemologi, Sosial Farmasi, Ilmu komunikasi, Farmasi
Rumah Sakit, Manajemen Kewirausahaan, dan lain-lain. Secara
umum, seorang farmasis yang ahli dalam bidang ini setidaknya
mampu menguasai ilmu Farmasetika, Farmakognosi,
Farmakologi, dan Fisiologi. Karena keempat ilmu ini menjadi
dasar dalam mempelajari dan menguasai ilmu Farmasi Klinik &
Komunitas.
Saat ini disiplin bidang Ilmu Farmasi Klinik & Komunitas
semakin dibutuhkan dengan adanya paradigma baru tentang
layanan kefarmasian yang berorientasi pada pasien. Dengan
mempelajari atau menguasai bidang ilmu ini, seorang lulusan
farmasi diharapkan dapat bekerja di rumah sakit dan komunitas
yang terdiri dari apotek, puskesmas, klinik, balai pengobatan
dan dimanapun terjadi peresepan atau penggunaan obat harus
memiliki kompetensi yang dapat mendukung pelayanan farmasi
klinik maupun komunitas yang berkualitas.
273
Aspek Kajian Bidang Ilmu Farmasi Klinik & Komunitas
1. Aspek Ontologi, yaitu eksistensi (keberadaan) dan
essensi (keberartian) dari bidang ilmu Farmasi Klinik &
Komunitas. Bidang Ilmu Farmasi Klinik & Komunitas
merupakan salah satu disiplin bidang ilmu yang berfokus
dengan penerapan keahlian farmasi untuk membantu
memaksimalkan khasiat obat dan meminimalkan
toksisitas obat pada pasien. Dalam Bidang Ilmu Farmasi
Klinik & Komunitas memerlukan pemahaman keilmuan
yang meliputi: (1) Konsep–konsep penyakit (anatomi
dan fisiologi manusia, patofisiologi penyakit,
patogenesis penyakit, dan Terminologi medis); (2)
Penatalaksanaan Penyakit (farmakologi, farmakoterapi,
dan product knowledge); (3) Teknik komunikasi dan
konseling pasien; (4) Pemahaman Evidence Based
Medicine dan kemampuan penelusuran; (5) Keilmuan
farmasi praktis lainnya (farmakokinetik klinik,
farmakologi, mekanisme kerja obat, farmasetika, dan
interaksi obat). Melalui penerapan pengetahuan dan
berbagai fungsi terspesialisasi dalam perawatan pasien
yang memerlukan pendidikan atau keahlian khusus dan
atau pelatihan terstruktur. Dapat dirumuskan eksistensi
dan essensi bidang ilmu Farmasi Klinik & Komunitas
yaitu memaksimalkan efek terapeutik obat,
meminimalkan resiko/toksisitas obat, dan
meminimalkan biaya obat.
2. Aspek Epistomologi, yaitu metode yang digunakan
untuk membuktikan kebenaran bidang ilmu Farmasi
274
Klinik & Komunitas menggunakan landasan
epistomologi.
Istilah farmasi klinik pertama kali muncul di
Amerika sekitar tahun 1960. Bidang Ilmu Farmasi Klinik
& Komunitas muncul berawal dari ketidakpuasan
masyarakat terhadap praktek pelayanan kesehatan.
Namun, jauh sebelumnya praktek Farmasi Klinik &
Farmasi Komunitas telah ada sejak Apotek pertama
didirikan (terutama praktek Farmasi Komunitas) di
Bagdad Irak pada tahun 754 M dan didirikannya Rumah
Sakit pertama di Dunia terutama dalam kejayaan Islam
di Damaskus. Pada Abad ke-14 didirikan Apotek pertama
Eropa, apoteker pertama di Eropa baru muncul pada
akhir abad ke-14, bernama Geoffrey Chaucer (1342-
1400). Ia dikenal sebagai apoteker asal Inggris. Apotek
mulai menyebar di Eropa setelah pada abad ke-15
hingga ke-19 M, praktisi apoteker mulai berkembang di
benua itu. Pada Tahun 1951 didirikan Rumah Sakit
pertama di Amerika tepatnya di Philadelphia. Adalah
Jonathan Roberts sebagai apoteker pertama yang
melakukan praktek sebagai farmasi klinik (Farmasi
Rumah sakit secara umum).
Seiring dengan semakin berkembang pesatnya
jumlah dan jenis obat, semakin meningkat pula
permasalahan yang timbul terkait penggunaan obat
yaitu munculnya masalah kesehatan akibat efek
samping obat, interaksi antar obat, interaksi obat dan
makanan, teratogenesis, dan lain-lain. Selain itu, biaya
kesehatan semakin meningkat akibat penggunaan
275
teknologi canggih di bidang kesehatan yang sangat
mahal, meningkatnya permintaan pelayanan kesehatan
secara kualitatif maupun kuantitatif, disertai dengan
semakin meningkatnya tuntutan masyarakat untuk
pelayanan medis dan farmasi yang bermutu tinggi.
Melihat perkembangan kondisi tersebut mengakibatkan
peningkatan kebutuhan terhadap tenaga profesional
yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai
pengobatan yang tidak lain adalah farmasis (Apoteker).
Hal inilah yang akhirnya memunculkan istilah pelayanan
farmasi klinik.
Sejak tahun 1970-an yang diiringi dengan
perkembangan teknologi dan revolusi industri maka
mulai terjadi pergeseran paradigma yang semula
pelayanan farmasi berorientasi pada produk beralih ke
pelayanan farmasi yang berorientasi pada pasien
terutama ditekankan pada kemampuan memberikan
pelayanan pengobatan rasional. Namun untuk
membuktikan kebenaran terutama dalam hal pemberian
pelayanan pengobatan secara rasional tidak sedikit
penelitian-penelitian yang telah dilakukan dan menjadi
sebuah keahlian bagi seorang farmasis dalam bidang ini,
terutama kajian Drug Related Problem (DRPs), kajian
tentang konseling & KIE (Komunikasi, Informasi, &
Edukasi), kajian monitoring efek samping obat, kajian
tentang outcome research dan Drug Use Evaluation
(DUE), kajian pencampuran obat suntik secara aseptis,
dan menganalisis efektivitas biaya.
276
Pengelompokan Bidang Ilmu Farmasi Klinik
didasarkan pada penemuan-penemuan yang dilakukan
untuk mengatasi masalah pelayanan kesehatan dalam
lingkup klinik & komunitas yang bertujuan untuk
memberikan pelayanan pengobatan yang rasional.
3. Aspek Aksiologi, yaitu kemanfaatan bidang Ilmu Farmasi
Klinik & Komunitas. Dalam sistem pelayanan kesehatan
pada konteks Farmasi Klinik & Komunitas, seorang
farmasis harus memiliki kemampuan dalam hal:
menjalin relasi yang baik antar tenaga kesehatan,
menjamin penerapan pengobatan berbasis bukti,
perbaikan perawatan pasien dengan pelayanan yang
standar dan konsisten, mempromosikan praktek dengan
biaya yang efektif, memperluas kualitas peresepan,
menjamin keamanan pemberian obat, memperbaiki
khasiat dan meminimalkan toksisitas terapi obat, dan
meningkatkan kepuasan kerja.
Dengan kemampuan diatas bidang ilmu Farmasi
Klinik sangat bermanfaat terutama menjamin dan
memberikan perlindungan kepada pasien. Dengan
mempelajari atau menguasai bidang ilmu ini, seorang
lulusan farmasi diharapkan dapat bekerja di rumah sakit
dan komunitas yang terdiri dari apotek, puskesmas,
klinik, balai pengobatan dan dimanapun terjadi
peresepan atau penggunaan obat harus memiliki
kompetensi yang dapat mendukung pelayanan farmasi
klinik maupun komunitas yang berkualitas
277
6.4.3 Farmasi Sosial
Konteks sosial dari pelayanan kesehatan kini diajarkan
lebih luas dalam berbagai bidang, seperti keperawatan,
kedokteran, kedokteran gigi, dan kebidanan. Sebagai apoteker
menjadi lebih terintegrasi ke dalam tim pelayanan kesehatan,
itu akan menjadi lebih penting bahwa mereka berbagi dengan
tenaga kesehatan lainnya terkait apresiasi aspek sosial dari
kesehatan dan penyakit. Hal ini telah menyebabkan evolusi
dalam bidang farmasi dengan subjek yang lebih luas dan dikenal
sebagai Farmasi Sosial.
Dalam dekade terkahir kita telah melihat peningkatan
perubahan Apoteker. Misalnya, dalam kegiatan pelayanan
primer, peracikan dan formulasi obat menjadi tidak penting lagi
karena ketersediaan produk obat yang diproduksi massal oleh
industri farmasi. Selanjutnya, penerapan peran farmasis dalam
hal patient-oriented seperti, konseling, informasi, dan edukasi
(KIE), pelayanan swamedikasi, dan lain-lain untuk menjamin
bahwa lebih banyak waktu harus didedikasikan untuk pasien
dan bukan lagi produk. Dalam konteks ini, pemahaman yang
baik tentang perilaku dan psikologi pasien menjadi sangat
penting.
Untuk mencapai tujuan palayanan kefarmasian. Seperti
yang ditunjukkan pda Gambar 5.3, pengetahuan yang diperoleh
dari farmasi sosial sangat penting untuk mengikat bersama dari
berbagai macam potongan pengetahuan yang diajarkan dalam
pendidikan Farmasi, yang meliputi (1) fundamental sciences
meliputi ilmu-ilmu dasar seperti kimia, farmakologi, fisiologi,
dan lain-lain, (2) Clinical Science seperti farmasi klinik dan
komunitas, dan (3) Social Sciences seperti Ilmu komunikasi, Ilmu
278
Sosial dan Politik, Ilmu Budaya, Ilmu Hukum, Ilmu Ekonomi, dan
lain-lain.
Gambar 5.3 Munculnya Ilmu Farmasi Sosial dalam lingkup Fundamental sciences, Clinical Sciences, dan Social Sciences.
Pelayanan farmasi dan farmasi sosial merupakan dua
wilayah kontemporer penting dalam bidang ilmu farmasi.
Seperti halnya dengan ilmu-ilmu farmasi lainnya, bidang ilmu
Farmasi Sosial telah semakin menjadi multidisiplin,
menggabungkan ilmu alam dengan ilmu sosial dan humaniora
untuk mempelajari peran obat-obatan, pasien, dan Apoteker
dalam sektor pelayanan kesehatan dan masyarakat pada
umumnya.
Farmasi Sosial secara umum merupakan suatu disiplin
ilmu kefarmasian yang berkembang dengan dukungan disiplin
ilmu lain yang terkait untuk menguji, meneliti, memahami, dan
mengatasi persoalan-persoalan yang senantiasa timbul dalam
pengabdian profesi farmasi. Tujuan ilmu tersebut adalah
279
pemahaman dan penjelasan menyeluruh tentang masalah-
masalah yang berkaitan dengan farmasi atau sedang dihadapi
oleh farmasi. Farmasi sosial juga merupakan cabang ilmu
kefarmasian yang bergerak/berkembang di atas landasan teori
serta metodologi ilmu sosial dan perilaku untuk mengungkap
masalah-masalah pelayanan farmasi (posisi farmasi sosial dalam
lingkup disiplin ilmu dapat dilihat pada Gambar 5.2). Dalam hal
ini, disiplin ilmu-ilmu yang terkait antara lain politik, komunikasi,
psikologi, sosiologi, pendidikan, pelayalanan farmasi, ekonomi,
manajeman, sejarah, dan antropologi. Berdasarkan pada
Gambar 5.2 menggambarkan bagaimana Farmasi Klinik dan
Komunitas berfungsi sebagai jembatan yang tumpang tindih
dengan menghubungkan ilmu fundamental sains (Farmasi Sains
& Teknologi) dan Farmasi Sosial. Farmasi Sosial memiliki
hubungan yang kuat denga Pharmacy practice.
Namun, sayangnya di Indonesia terutama dalam bidang
pendidikan belum terlalu tertarik untuk mengembangkan ilmu
ini, dan masih tetap berfokus dalam bidang ilmu farmasi sains
dan teknologi, sedangkan Farmasi Klinik dan Komunitas baru
mulai berkembang.
Aspek – aspek Kajian Bidang Ilmu Farmasi Sosial
1. Aspek Ontologi, yaitu eksistensi dan essensi Bidang Ilmu
Farmasi Sosial. Farmasi Sosial lahir karena adanya
perubahan konsep pola penyakit dan
penatalaksanaannya ke pola hidup sehat dan promosi
kesehatan. Dengan perubahan konsep tersebut, salah
satu bidang ilmu farmasi yaitu Farmasi Sosial mau tidak
mau harus bergeser terutama dari konsep bio-pathology
ke socio-psycology, dan konsep dispensing and
280
compounding menuju ke bentuk hubungan client-
counsellor yang berarti farmasis berfungsi sebagai
konsultan obat.
Dalam melakukan kajian-kajian dalam bidang Ilmu
Farmasi Sosial, selain melibatkan bidang ilmu farmasi
lainya, juga melibatkan berbagai disiplin ilmu seperti
politik, komunikasi, psikologi, sosiologi, pendidikan,
pelayalanan farmasi, ekonomi, manajeman, sejarah, dan
antropologi. Dengan mempelajari bidang Ilmu Farmasi
Sosial, dapat memberikan lebih banyak kesempatan
kepada apoteker untuk meningkatkan kompetensi
komunikasi, berfikir kritis, problem solving, dan
penalaran analitis dan etika dengan menguasai minimal
tentang obat, kemampuan komunikasi,
farmakoepidemiologi, farmako-budaya, farmako-politik,
farmako-perilaku, farmako-sosiologi, farmako-ekonomi,
dan farmako-informatik.
Topik yang relevan dengan Farmasi Sosial terdiri
dari semua faktor-faktor sosial yang mempengaruhi
penggunaan obat-obatan, seperti obat-obatan dan
kesehatan terkait keyakinan, sikap, aturan, hubungan,
dan proses. Salah satu bidang umum fokus penelitian
membahas aspek-aspek sosial dari obat itu sendiri
termasuk: penelitian dan pengembangan obat, produksi
obat, distribusi obat, obat resep, informasi obat dan
pengawasan obat.
2. Aspek Epistomologi, yaitu metode yang digunakan
untuk membuktikan kebenaran bidang ilmu Farmasi
Sosial menggunakan landasan epistomologi.
281
Dalam lintasan sejarah perkembangan ilmu dan
praktek farmasi dari zaman kuno hingga saat ini,
perkembangan Farmasi Sosial berbeda dengan bidang
Ilmu Farmasi terutama Ilmu Farmasi Sains dan
Teknologi. Namun, di Eropa dan Amerika kesadaran
untuk memperkaya asepek–aspek pengetahuan farmasi
sosial dalam pendidikan farmasi telah dimulai
dimasukkan dalam kurikulum pendidikan farmasi pada
tahun 1980-an. Pengayaan kurikulum pendidikan
farmasi tersebut didasarkan pada fakta bahwa
pengetahuan-pengetahuan dasar farmasi (Farmasi Sains
& Teknologi) dirasakan tidak lagi cukup mendukung
orientasi Apoteker yang telah mengarah pada pasien
(patient-oriented). Meskipun jauh sebelum revolusi
industri aplikasi farmasi sosial telah mulai dipraktekkan
sehubungan dengan pengakuan yang berkembang
terkait tanggung jawab pemerintah untuk kesehatan
masyarakat di dunia Arab sejak awal mula
perkembangan peradaban Islam, dan sejak itu, telah
dimulai dipupuk pembagian kerja antara farmasi dan
kedokteran dan akhirnya menciptakan kesehatan
masyarakat dimana profesi farmasi dan profesi dokter
diberi tempat tersendiri dalam melakukan pekerjaan
masing-masing terutama farmasi sosial. Sebelumnya,
pada awal abad keenam SM, manusia telah mulai
dengan proses yang panjang mempelajari kompilasi
farmakologi yang berkontribusi terhadap kesehatan
masyarakat dan sebelum abad ke-8 Masehi pelayanan
kesehatan telah sebagian besar mengacu dalam
282
pengobatan Nabi, aturan-aturan (pola hidup sehat)
terutama higienis dan pengobatan tradisional dari
masyarakat pra-Islam. Kemudian sekitar empat dekade
setelah ziarah dan ibadah haji Nabi Muhammad SAW ke
mekkah, penekanan perkembangan bidang kesehatan
dan profesi dokter dan farmasi telah mulai terlihat.
Pada masa kejayaan Islam di Timur Tengah,
terutama di Bagdad dan Damaskus. Perkembangan ilmu
pengetahuan berkembang sangat pesat. Penemuan
obat-obatan baik berasal dari alam (tumbuhan, hewan,
dan mineral) maupun sintesis juga terus mengalami
perkembangan yang pesat, dan beberapa abad
kemudian perkembangan pesat di Eropa, hingga Farmasi
dan Kedokteran secara resmi berdiri sendiri sebagai
sebuah ilmu. Farmasi Sosial tidak berkembang seperti
perkembangan ilmu Farmasi Sains & Teknologi. Bahkan
kajian-kajian tentang farmasi sosial tidak tercatat dan
terpublikasi dengan baik, dan profesi farmasi lebih
banyak berfokus pada penemuan-penemuan obat baru.
Namun, setelah revolusi industri, peran farmasi yang
berorientasi pada produk farmasi (drug-oriented)
semakin berkurang dan bergeser pada patient-oriented.
Peran baru ini menyebabkan apoteker akan berada pada
lingkungan praktek baru yang berfokus pada interaksi
dengan pasien dan tenaga kesehatan. Oleh karena itu,
apoteker harus dilengkapi dengan kompetensi yang
terkait yang dapat meningkatkan tugas dan fungsi
apoteker dalam lingkungan sosial. Dengan kondisi
seperti ini Farmasi Sosial dimunculkan, meskipun
283
sebenarnya Farmasi Sosial telah ada sebelum Farmasi
terpisah dengan Kedokteran.
Penelitian-penelitian Farmasi Sosial terkait dengan
bidang yang sangat luas terutama penelitian pelayanan
kesehatan. Keterkaitan ini menekankan bahwa Farmasi
Sosial merupakan bidang terapan penelitian yang
berkaitan dengan pemahaman dan meningkatkan
praktik farmasi dan penggunaan obat-obatan. Hal ini
menjadi lebih penting karena pelayanan farmasi harus
didasarkan bukti dan harus menggunakan pelayanan
terbaik. Farmasi Sosial, seperti dalam ilmu-ilmu sosial
dan humaniora, tidak ada satu metode tunggal dari
penelitian, akan tetapi beberapa. Untuk mencapai hasil
yang optimum dalam pelayanan farmasi terutama
penatalaksanaan asuhan kefarmasian, apoteker harus
memiliki pemahaman mengenai aspek psikologi dan
perilaku dari pasien dan tenaga profesional kesehatan
lainnya. Kedua aspek inilah yang menjadi konsep dasar
dari Ilmu Farmasi Sosial tanpa meninggalkan
pengetahuan Ilmu Farmasi Sains & Teknologi.
3. Aspek Aksiologi, yaitu kemanfaatan bidang ilmu Farmasi
Sosial. Farmasi Sosial merupakan cabang ilmu Farmasi
yang tentu bertujuan untuk peningkatan kualitas
kesehatan manusia yang tidak terbatas pada pelayanan
farmasi terkait dengan resep dan pelayanan farmasi
klinik melainkan aspek interaksi dan komunikasi yang
baik dengan pasien dan terutama tenaga kesehatan
lainnya. Ilmu Farmasi Sosial mempunyai tantangan
tersendiri, karena selain harus menguasai ilmu sains
284
farmasi (Farmasi Sains & Teknologi) juga harus mampu
menguasai ilmu-ilmu sosial terutama ilmu komunikasi
dan perilaku. Seorang farmasis harus mampu
menyampaikan dan menerjemahkan bahasa-bahasa
ilmiah dalam ilmu sains farmasi kedalam bahasa awam
agar mudah dimengerti oleh pasien/orang awam. Selain
itu, farmasis tidak hanya berkiprah pada bidang
pekerjaan farmasi seperti peneliti, klinik, komunitas,
distribusi, dan produksi. Akan tetapi farmasis
diharapkan dapat memberikan kontribusi seperti
pengambil kebijakan, pemerintahan, farmako-politik,
farmako-budaya, farmako-ekonomi, dan lain-lain
dengan tujuan untuk kesejahteraan kesehatan
masyarakat.
6.5 Sinergisme dalam pengembangan kelompok bidang
ilmu farmasi
Ketiga kelompok keilmuan yang ada dalam lingkup ilmu
Farmasi seperti yang telah dijelaskan diatas meliputi (1) Ilmu
Farmasi Sains & Teknologi yang telah berkembang menjadi
bebebrapa bidang ilmu antara lain: Biologi Farmasi, Kimia
Farmasi, Farmakologi, dan Farmasetika & Teknologi Farmasi; (2)
Farmasi Klinik & Komunitas; dan (3) Farmasi Sosial. Kesemuanya
terus mengalami perkembangan yang tidak terbatas sepanjang
masih tetap berfokus pada keempat fokus kajian ilmu farmasi.
Karena keempat fokus kajian tersebut merupakan inti dalam
bidang ilmu farmasi.
Ditinjau dari aspek kajian secara filosofis, Farmasi
merupakan ilmu terapan yang tersusun atas ilmu-ilmu
285
sains/pengetahuan alam (ilmu Farmasi Sains & Teknologi) yang
terangkai secara sistematis membentuk pondasi ilmu farmasi
atau basic pharmaceutical sciences dan tertancap secara kokoh
untuk menopang bangunan yang ada diatasnya, ilmu sains klinik
(farmasi klinik & komunitas) merupakan tiang-tiang yang
memperkokoh tembok-tembok yang menjadi karakter
kefarmasian, dan ilmu sosial dan humaiora (Farmasi Sosial)
merupakan ilmu-ilmu pendukung terkait yang berfungsi sebagai
atap untuk menyempurnakan dan melindungi karakter
kefarmasian sebagai sebuah ilmu dan profesi dengan misinya
adalah meningkatkan kesehatan global dengan menemukan,
mengembangkan, dan memproduksi obat-obatan berkualitas
yang aman, tepat, efektif, terjangkau, hemat biaya, dan
mendistribusikan secara luas sediaan farmasi ke seluruh dunia
untuk dapat digunakan dalam upaya mencegah, mengobati,
mendiagnosa, dan memulihkan kesehatan manusia..
Ditinjau dari aspek historis, Farmasi berada diantara
ilmu Kedokteran dan ilmu Kimia (ilmu sains), dan tidak condong
ke salah satu ilmu tersebut. Oleh karena itu, karakter ilmu
kefarmasian harus tetap kokoh dan diperjelas dengan cara
menjaga keseimbagan kerangka bangunan ilmu kefarmasian.
Sehingga pengembangan ketiga kelompok ilmu farmasi harus
senantiasa berkembang dalam keadaan yang sinergis. Karena
jika tidak, maka ilmu farmasi akan tergeser ke arah baik ke
kelompok ilmu kimia (ilmu sains) dan/atau bergeser ke arah
ilmu kedokteran maupun bergeser ke ilmu lainnya yang
menyebabkan karakter kefarmasian menjadi tidak sempurna
atau semakin pudar. Sebagai contoh, jika perkembangan ilmu
farmasi hanya berfokus pada pengembangan ilmu Farmasi sains
286
dan Teknologi maka ilmu farmasi seakan hanya menjadi ilmu
sains sehingga perannya dalam bidang kesehatan akan tergeser
oleh bidang lain, dan jika perkembangan ilmu farmasi hanya
berfokus pada ilmu klinik maka ilmu farmasi akan menjadi lebih
condong ke ilmu kedokteran. Dengan kondisi
ketidakseimbangan dalam pengembangan ilmu farmasi
tersebut, menyebabkan ilmu farmasi menjadi seksi terutama
oleh bidang lain, misalnya bidang riset beberapa individu dari
berbagai bidang ilmu melakukan riset tentang penemuan obat,
dalam hal pekerjaan juga demikian. Apalagi terkait dengan
regulasi, farmasis tidak mempunyai bargaining position yang
mumpuni jika dibandingkan dengan profesi lainnya (khusus di
Indonesia). Sehingga farmasi sebagai profesi yang ditopang oleh
keilmuan yang tidak seimbang akan berada diantara
persimpangan yang seakan-akan kehilangan jati diri dan jika hal
ini dibiarkan terus menerus maka lambat laun farmasi sebagai
ilmu dan profesi akan tenggelam ditengah-tengah pluralitas
keilmuan dan semakin kompleksnya perubahan-perubahan dan
perkembangan-perkembangan dalam bidang kesehatan.
Pendidikan Tinggi dalam hal ini lembaga/institusi
pendidikan Farmasi sebagai pusat pengembangan keilmuan dan
menghasilkan lulusan farmasi yang memiliki kompetensi yang
berbasis keempat fokus kajian ilmu farmasi. Riset-riset dan
pengembangan kurikulum harus menjaga keseimbangan ketiga
kelompok keilmuan tersebut diatas agar tetap terjaga dari
keseimbangan pengembangan kelompok keilmuan sehingga
farmasis dapat bangkit dan menemukan kembali jati diri farmasi
sebagai ilmu dan profesi. Pengembangan riset dan keilmuan
pada lembaga/institusi pendidikan farmasi, berdasarkan
287
keempat fokus kajian ilmu farmasi dan tidak berdasarkan
keegoisan individu didalamnya yang hanya menganggap bahwa
hanya bidang ilmu yang ditekuninya dianggap terbaik dan paling
penting untuk dikembangkan. Sehingga terjadi dikotomi antara
kelompok keilmuan yang menyebabkan riset-riset dan lulusan
farmasi yang dihasilkan terkotak-kotak dan tidak berfokus pada
keempat fokus kajian ilmu farmasi.
6.6 Referensi
1. Waller F. 1998. Phytotherapie der traditionellen
Chinesischen Medizin. Zeitschrift fur Phytotherapie. Vol
19. Hal 77-89
2. Khan IA, & Abourashed EA, 2010. Leung’s Encyclopedia
of Common Natural Ingredients; Used in Food, Drugs,
and Cosmetics. Third Edition. Penerbit: A John Wiley &
Sons. Hoboken, New Jersey, Canada.
3. Minter S. 2000. The Apothecaries Garden. Sutton
Publications. Stroud
4. Griggs B. 1981. Green Pharmacy. A History of Herbal
Medicine. Normann & Hobhouse. London
5. Griffenhagen GB. 2002. Great Moments in Pharmacy:
Development of the Robert Thom Series Depicting
Pharmacy’s History. Journal of the American
Pharmaceutical Association. Vol. 52 (2). 170-182
6. Williams DE, & Fraser SM. 1992. Henry Hurd Rusby: The
father of economic botany at the New York Botanical
Garden. Brittonia. Vol. 44 (3). hal. 273–279
7. Distelzweig P, Goldberg B, & Ragland ER. 2016. History,
Phylosophy, and Theory of Life Sciences: Early Modern
288
Medicine and Natural Philosophy. Springer. Dordrecht.
Heidelberg. New York. London.
8. Heinrich M, Barnes J, Gibbons S, & Williamson EM. 2010.
Farmakognosi dan Fitoterapi. (Terjemahan dengan Judul
Asli Fundamental of Pharmacognosy and Phytotherapy.
Alih Bahasa: Winny R. Syarief, Cucu Aisyah, Ella Elviana,
dan Euis Rachmiyani Fidiasari). Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta
9. Block JH, & Beale JM. 2012. Wilson & Gisvold. Buku Ajar:
Kimia Medisinal Organik dan Kimia Farmasi. Edisi
Sebelas. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
10. Homan PG. Hudson B, & Rowe RC. 2007. Popular
Medicines: An Illustrated History. Pharmaceutical Press.
London
11. Flannery MA. 1984. Civil War Pharmacy: A History of
Drugs, Drug Supply and Provision, and Therapeutics for
the Union and Confederacy. Pharmaceutical Products
Press. New York. London. Oxford
12. Pane AH. 2000. Format Industri Farmasi Indonesia.
Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia. Jakarta
13. Hayun. 2015. Materi Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Program Doktor Ilmu Farmasi. Fakultas Farmasi
Universitas Indonesia.
14. Razak DA. 2010. Perkembangan Farmasi di Eropa dan
Barat. Pusat Racun Negara. USM. Malaysia.
15. Evans WC. 2009. Trease and Evans Pharmacognosy.
Sixteenth Edition. Penerbit: Saunders Elsevier.
Edinburgh, London, New York, Philadelphia, St Louis,
Sydney, Toronto.
289
16. Razak DA. 2009. Perkembangan Sejarah Awal Farmasi
Pengaruh Arab dan Islam. Pusat Racun Negara. USM.
Malaysia
17. As-Sirjani R. 2012. Sumbangan Peradaban Islam pada
Dunia. Penerbit Pustaka Al-Kautsar. Jakarta
18. Anonim. 2009. Farmakologi dan Terapi. Edisi Kelima.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas
kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI
19. Vallisuta O, & Omilat SM. 2012. Drug Discovery Research
in Pharmacognosy. Penerbit: InTec. Rijeka. Kroasia.
20. Suriasumantri JS. 2015. Ilmu dalam Perspektif; Sebuah
Kumpulan Karangan tentang Hakikat Ilmu. Penerbit:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta
21. Suriasumantri JS. 1993. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar
Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
22. Sudjawadi R. 2001. Farmasi, Farmasis, dan Farmasi
Sosial. Majalah Farmasi Indonesia. Volume 12. Hal. 128–
Nomor 3. 134.
23. Sorensen EW, Mount JK, & Christensen ST. 2003. The
Concept of Social Pharmacy. The chronic*ill. Issue 7. Hal.
8–11.
24. Hepler CD. 2004. Clinical Pharmacy, Pharmaceutical
Care, and the Quality of Drug Therapy.
Pharmacotherapy. Volume 24. Issue 11. Hal. 1491–1498.
25. Ibrahim MIM, Awang R, & Razak DA. 1998. Introduction
Social Pharmacy Course to Pharmacy Students in
Malaysia. Medical Teacher. Volume 20. Nomor 2. Hal.
122–126.
290
26. Hassali MA, Safie AA, Al-Haddad MS, Abdulkarem AR,
Ibrahim MI, Palaian S, & Abrika OSS. 2011. Social
pharmacy as a field of study: The needs and challenges
in global pharmacy education. Research in Social and
Administrative Pharmacy. Volume 7. Hal 415–420.
27. Harding G, & Taylor KMG. 2006. Teaching Social
Pharmacy: The UK Experience. Pharmacy Education.
Volume 6. Issue 2. Hal. 125–131.
28. Almarsdottir AB, Kaae S, & Taurlsen JM. 2014.
Opportunities and Challenge in Social Pharmacy and
Pharmacy Practice Research. Research in Social and
Administrative Pharmacy. Volume 10. Hal. 252–255.
29. Miller RR, 1981. History of Clinical Pharmacy and Clinical
Pharmacology. J Clin Pharmacol. Volume 21. Hal: 195 –
197.
30. Bush J, Langley CA, & Wilson KA. 2009. The
corporatization of community pharmacy: Implications
for service provision, the public health function, and
pharmacy’s claims to professional status in the United
Kingdom. Research in Social & Administrative Pharmacy.
Vol. 5. Hal. 305-318.
291
BAB 7 PEKERJAAN KEFARMASIAN
7.1 Pengantar
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian yang
tertuang pada bab 1 pasal 1 menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat,
pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan
obat tradisional. Penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian
meliputi:
a. Pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan sediaan
Farmasi; pengadaan sediaan Farmasi dilakukan pada
fasilitas produksi, fasilitas distribusi atau penyaluran dan
fasilitas pelayanan sediaan farmasi yang harus dilakukan
oleh Tenaga Kefarmasian agar dapat menjamin
keamanan, mutu manfaat, dan khasiat sediaan Farmasi.
b. Pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan Farmasi;
Pekerjaan kefarmasian dalam Produksi sediaan Farmasi
harus memiliki Apoteker penanggungjawab yang dapat
dibantu oleh apoteker pendamping dan atau Tenaga
Teknis Kefarmasian (TTK). Fasilitas produksi sediaan
Farmasi dapat berupa Industri farmasi obat, industri
bahan baku obat, industri obat tradisional, dan
292
industri/pabrik kosmetika. Dalam melakukan pekerjaan
kefarmasian, Apoteker harus menetapkan Standar
Prosedur Operasional (SPO) yang memenuhi ketentuan
cara pembuatan obat yang baik (CPOB).
c. Pekerjaan kefarmasian dalam distrbusi atau penyaluran
sediaan Farmasi; setiap fasilitas distribusi atau
penyaluran sediaan Farmasi berupa obat harus memiliki
seorang Apoteker sebagai penanggungjawab yang dapat
dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau Tenaga
Teknis Kefarmasian (TTK). Dalam melakukan pekerjaan
kefarmasian dalam distribusi dan penyaluran, Apoteker
harus menetapkan Standar Prosedur Operasional (SPO)
yang memenuhi ketentuan cara distribusi obat yang baik
(CDOB).
d. Pekerjaan Kefarmasian dalam Pelayanan sediaan
Farmasi; dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian
pada Fasilitas pelayanan kefarmasian (meliputi Apotek,
Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik, Toko
Obat, dan Praktek bersama), Apoteker dapat dibantu
oleh Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis
Kefarmasian (TTK)
Dalam hal pekerjaan kefarmasian, yang dijelaskan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun
2009 tentang pekerjaan kefarmasian hanyalah terkait dengan
pekerjaan kefarmasian yang berfokus pada obat yang mulai dari
produksi, distribusi, pengelolaan, pelayanan obat baik
berdasarkan resep maupun tanpa resep dokter, pelayanan
informasi obat, pengembangan obat, bahan obat, dan obat
tradisional. Akan tetapi belum banyak yang berfokus pada
293
pekerjaan kefarmasian untuk sediaan farmasi lainnya, misalnya
bidang pengembangan nutraseutikal, kosmetik, alat kesehatan,
dan lain-lain terutama dari sisi produksi masih sangat terbatas,
masih kebanyakan dikembangkan oleh bidang lain. Hal ini,
menyebabkan dasar Peraturan Pemerintah RI ini seakan-akan
menjadi lebih sempit. Sebenarnya pekerjaan kefarmasian sangat
luas cakupannya mulai dari hulu ke hilir, tentu dibutuhkan
kerjasama yang baik dan sistem pengelolaan yang baik dan
benar, yang tidak kalah lebih penting adalah aspek pendanaan.
Pada bab ini akan kita bahas lebih detail pekerjaan-pekerjaan
kefarmasian baik terkait langsung dengan Peraturan Pemerintah
RI maupun yang belum termasuk yang tertuang dalam
peraturan tersebut.
7.2 Kondisi Kesehatan dan Sistem Pelayanan Kesehatan di
Indonesia
Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2014, jumah
penduduk Indonesia sebanyak 247 juta jiwa, dan sekitar 58 %
penduduk berada dipulau jawa. Populasi diperkirakan akan
tumbuh menjadi sekitar 264 juta jiwa pada tahun 2020 dan 308
juta jiwa pada tahun 2050, berada pada peringkat 6 dunia
dibawah Pakistan dan Brasil.
Berdasarkan laporan Bank Dunia yang diterbitkan pada
tahun 2012, angka kematian di Indonesia terakhir dilaporkan
pada 7.01 per 1000 orang pada tahun 2010. Berdasarkan data
Riset Kesehatan Dasar Kementerian RI yang dikumpulkan pada
tahun 2007 – 2008 menunjukkan bahwa penyebab utama
kematian anak adalah penyakit diare (25.2%), dan pneumonia
(15.5%). Demam berdarah merupakan penyebab utama
294
kematian di kalangan anak-anak antara usia 5 dan 15 tahun di
daerah perkotaan sebesar 30,4%, sementara diare sebesar
11,3% merupakan penyebab utama kematian di antara
kelompok usia yang sama di daerah pedesaan. Penyebab utama
kematian di segala usia dari populasi di atas 5 tahun adalah
stroke (15.4%), tuberkulosis (7.5%), dan luka-luka (6.5%).
Menurut WHO, penyakit jantung iskemik, infeksi saluran
pernafasan bahwa, malaria, HIV/AIDS, dan kekurangan gizi juga
berkontribusi terhadap angka kematian.
Bank Dunia memperkirakan bahwa angaran belanja
Indonesia untuk kesehatan kurang dari 3%. Jumlah ini berada
dibawah jumlah rata-rata untuk belanja negara-negara di Asia
Timur dan Tenggara sebesar 6.1%. Kendatipun demikian,
Pemerintah beberapa tahun terakhir telah menaikkan anggaran
belanjanya. Namun, masih cukup rendah dibandingkan rasio
jumlah penduduk. Akibatnya, Indonesia kekurangan bangsal
rumah sakit per 10.000 penduduk dibandingkan dengan negara
tetangga (terutama Malaysia, Singapura, dan Thailand). Banyak
fasilitas kesehatan masyarakat dengan infrastruktur yang buruk
dan kurangnya peralatan. Selain itu, Indonesia juga kekurangan
tenaga medis dan tenaga kesehatan terutama di daerah-daerah
terpencil.
Sumber daya manusia di bidang kesehatan di Indonesia
masih rendah baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas.
Salah satu faktor yang memperburuk adalah sistem
desentralisasi. Hal ini pada gilirannya mempengaruhi kualitas,
efisiensi, dan pemerataan penyediaan pelayanan kesehatan.
Jumlah tenaga kesehatan yang terbatas sangat mempengaruhi
pelayanan kesehatan di Indonesia. Pada tahun 2006, rasio
295
dokter umum adalah 19,9 per 100.000 penduduk, sedangkan
rasio bidang 35,4 per 100.000 penduduk. Kebanyakan dokter
umum dan bidan bekerja di daerah perkotaan, dan hanya
sejumlah kecil bertugas didaerah terpencil.
Sejak tahun 2005, sistem keuangaan dan pengadaan
publik untuk obat-obat telah mengalami perubahan besar,
termasuk desentralisasi pelayanan kesehatan yang dialihkan ke
pemerintah kabupaten pada tahun 2001, pembentukan
ASKESKIN/JAMKESMAS untuk orang tidak mampu/miskin,
pemisahan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
menjadi lembaga independen, dan tender untuk pengadaan
obat-obatan umum dilakukan secara terbuka dan kompetitif.
Ada perubahan peraturan yang meliputi harga obat generik
bermerek dan partisipasi produsen asing di pasar farmasi
nasional, sementara produsen farmasi milik negara (BUMN)
telah dikorporasikan dan sebagian menjadi swasta.
7.3 Kondisi pada Sektor Kefarmasian dan pekerjaan
kefarmasian di Indonesia
Produk farmasi merupakan produk yang sangat sensitif
dan rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan, dan
perubahan sekecil apapun dalam kualitas produk dapat memiliki
dampak negatif pada khasiat dan keamanan, dan bahkan
mungkin mengubahnya menjadi “racun”. Oleh karena itu, WHO
mengeluarkan dan menetapkan standar distribusi untuk good
distribution practice (GDP). Idealnya, sistem distribusi seluruh
perusahaan yang melayani obat farmasi diperlukan untuk
memenuhi standar tersebut. Di Indonesia, pelaksanaan standar
baru dimulai tahun 2008, dan banyak perusahaan kini mulai
296
menggunakan standar distribusi tersebut. Selain GDP, BPOM
mengeluarkan peraturan cara distribusi obat yang baik (CDOB)
dan menjadi referensi untuk distribusi farmasi diantara
perusahaan di Indonesia.
Saat ini BPOM telah memperbaiki dan menerapkan
sistem distribusi obat berdasarkan konsep tanggap, efisiensi,
dan kualitas. Namun, untuk meningkatkan keterjangkauan dan
efisiensi distribusi obat, ada dua jenis obat, yaitu obat generik
dan obat generik bermerek, sehingga praktisi dapat memilih
obat sesuai dengan penyakit pasien.
Di negara-negara maju, obat dibagi menjadi dua
klasifikasi, yaitu obat-obat akut dan kronik. Obat akut biasanya
merupakan obat yang bekerja untuk satu terapi pengobatan,
seperti pada pasien yang menderita demam berdarah, tifus, dan
sebagainya. Obat kronis biasanya merupakan obat yang bekerja
secara terus menerus, seperti pada pasien penderita penyakit
hipertensi, kolesterol, atau diabetes, yang akan mengambil obat
untuk jangka panjang biasanya untuk pemakaian selama satu
bulan. Untuk kategori kronis pembelian berdasarkan merek
produk cenderung minim, karena tergantung pada kecocokan
dan rekomendasi dokter. Dengan kata lain, kategori obat kronis
cenderung lebih mudah daripada permintaan yang diharapkan
untuk obat akut. Sepanjang rantai distribusi, fenomena menarik
juga terjadi di negara kita Indonesia, dimana obat-obat dengan
merek yang lebih populer (paten) ditemukan tidak hanya
melalui jalur resmi seperti apotek dan rumah sakit, tetapi juga
dapat diperoleh dari toko obat yang kebetulan tidak memiliki
Apoteker. Tapi pasar di negara kita Indonesia tampaknya jauh
dari kata “bersih”. Akibatnya istilah “pasar abu-abu” digunakan
297
untuk menggambarkan situasi (yaitu obat resep ditemukan di
toko obat, dijual langsung oleh dokter (dispensing), dan
sebagainya). Pasar abu-abu cenderung menawarkan harga yang
biasanya lebih murah, akan tetapi diperoleh dari sumber yang
tidak jelas.
Produsen obat biasanya menunjuk distributor nasional
untuk mencapai apotek dan rumah sakit. Sebelum tahun 2000,
produsen, yang sering disebut sebagai principal, cenderung
menetapkan distributor tunggal, tidak seperti untuk produk
konsumen, yang dapat di distribusikan oleh beberapa
distributor. Penunjukan distributor tunggal ditentukan oleh
Principal dan hanya membutuhkan bentuk sederhana dari
kerjasama dan dengan demikian Principal tidak harus mengurus
beberapa distributor. Selain itu, jumlah titik distribusi yang
harus dijangkau oleh distributor masih kecil. Distributor nasional
dapat menjual langsung ke pengecer atau melalui PBF
(Pedagang Besar Farmasi), dengan cakupan wilayah yang
terbatas. PBF lokal (PBF pada tingkat kabupaten) dengan
cakupan yang terbatas untuk menjangkau daerah-daerah
tertentu yang tidak memiliki cabang Distributor/kantor
perwakilan Nasional. Tapi PBF lokal (PBF pada tingkat
kabupaten) terkadang juga memiliki peran lain, terutama untuk
mendistribusikan produk ke “pasar abu-abu” yang disebutkan
sebelumnnya. Mereka jarang tersentuh oleh BPOM. Selain
“pasar abu-abu”, PBF lokal akhirnya juga mengambil titik
distribusi dari distributor nasional.
Di tingkat ritel atau pengecer, misalnya, di beberapa
apotek, obat yang sama dapat diperoleh dari lebih dari satu
distributor. Bahkan harga yang diperoleh dari PBF lokal
298
seringkali lebih rendah. Distributor nasional biasanya
memberikan diskon untuk PBF lokal, sehingga harga PBF lokal
menjadi lebih rendah, pada kondisi ini merupakan area yang
sulit di kontrol.
Saat ini, ada sekitar 12.000 apotek, 1300 rumah sakit,
dan 2300 PBF. Pada bisnis ritel atau pengecer, terutama pada
beberapa apotek telah melakukan modernisasi bisnis dengan
cara membentuk kelompok bisnis dan sistem waralaba,
menawarkan layanan 24 jam, dan sebagainya. Singkatnya pasar
Farmasi di Indonesia telah berkembang semakin kompetitif
setidaknya dari penyedia layanan. Dalam hal permintaan,
pemerintah terus mempromosikan program asuransi nasional,
dan permintaan terus tumbuh. Disadari atau tidak pasar obat
akan tumbuh dari sektor asuransi, hal ini masuk akal karena saat
ini biaya pengobatan yang relatif tinggi. Jadi selain infrastruktur
dan permintaan, industri juga terus-menerus dididik oleh
perusahaan asuransi swasta dan perusahaan asuransi nasional.
Permintaan terhadap obat-obatan di Indonesia telah
didesain dan diatur ulang oleh mekanisme pasar dan telah
berdampak pada promosi obat. Kondisi ini disebabkan oleh
industri farmasi dalam memasarkan produk-produknya dengan
target penjualan tertentu, sehingga pada akhir bulan tertentu
atau akhir tahun industri farmasi atau PBF memberikan diskon
besar-besaran untuk mencapai target penjualan produk mereka.
Industri farmasi nasional Indonesia terutama yang
terlibat dalam produksi dan pemasaran obat generik bermerek,
obat generik, dan obat lisensi luar dari perusahaan farmasi di
dalam negeri. Industri farmasi Indonesia hanya di dasarkan pada
formulasi, bukan didasarkan pada penelitian. Kegiatan
299
penelitian dan pengembangan (R & D) yang sangat terbatas,
dengan dukungan keuangan rata-rata di bawah 2% dari total
penjualan. Penelitian yang dilakukan hanya terbatas pada
fomulasi produk dan bukan pengembangan molekul obat baru.
Implikasi masa depan adalah bahwa perusahaan-perusahaan
farmasi nasional Indonesia tidak akan pernah bersaing di
segmen pasar obat paten/obat-obatan inovatif. Area kompetisi
dari perusahaan farmasi dalam negeri di Indonesia adalah di
pasar obat generik bermerek dan obat generik. Pengembangan
pasar obat-obat bebas atau over-the-counter (OTC) di Indonesia
juga cukup tinggi dari tahun ketahun. Pangsa pasar obat OTC di
dominasi oleh perusahaan farmasi domestik. Persaingan pasar
farmasi Indonesia sangat ketat. Perusahaan yang tidak konsisten
dalam mempertahankan dan meningkatkan daya saing mereka
akan kehilangan pangsa pasar dalam waktu yang relatif singkat.
Industri farmasi Indonesia harus memiliki persiapan dan
kesiapan untuk memanfaatkan potensi pasar farmasi ASEAN.
Obat-obat generik dipasarkan dengan harga eceran
tertinggi yang ditetapkan oleh Menteri kesehatan dalam
keputusan pemerintah pada tanggal 23 Februari 2012 yaitu
keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
092/Menkes/SK/II/2012 tentang obat. Dalam keputusan ini,
dinyatakan bahwa harga eceren tertinggi (HET) adalah harga jual
tertinggi obat generik di apotek, rumah sakit, dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya untuk seluruh wilayah Indonesia.
Keputusan menteri kesehatan RI ini ditetapkan untuk menjamin
ketersediaan dan distribusi obat-abatan untuk memenuhi
kebutuhan perawatan kesehatan, sehingga rasionalisasi HET
yang diperlukan untuk obat generik yang ditetapkan dalam
300
keputusan Menteri Kesehatan Nomor 632/Menkes/SK/III/2011.
HET berlaku di seluruh fasilitas pelayanan farmasi dan rumah
sakit di Indonesia. Oleh karena itu, harga maksimum untuk
setiap penjualan obat generik tidak lebih tinggi dari HET
berdasarkan Permenkes. Namun, kenyataannya, beberapa
pelayanan kefarmasian masih ada yang menjual diatas HET yang
terkadang sulit dikontrol oleh pemerintah.
Disisi lain negara kita kaya akan sumber daya alam,
terutama tumbuh-tumbuhan yang digunakan dalam pengobatan
tradisional. Pemerintah memberikan perhatian yang besar
terhadap pengobatan tradisional dalam bentuk regulasi. Dalam
hal ini, ditetapkan oleh BPOM dengan keputusan Nomor
HK.00.05.4.2411. Berdasarkan keputusan tersebut obat-obatan
yang berbahan aktif dari herbal (tumbuhan obat)
dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu Jamu, Obat Herbal
Terstandar, dan Fitofarmaka. Jamu merupakan obat asli
Indonesia yang berasal dari tumbuhan yang berkhasiat
berdasarkan data empiris (secara turun temurun), yang
diproduksi sesuai peraturan pemerintah. Obat Herbal
Terstandar merupakan obat herbal yang berasal dari tumbuhan
yang telah terbukti berkhasiat secara praklinis, telah
distandarisasi untuk bahan baku yang digunakan dalam produk
jadi yang dibuat sesuai dengan standar peraturan pemerintah.
Fitofarmaka adalah obat bahan alami dengan klaim khasiat telah
dibuktikan secara uji klinis dan standarisasi bahan baku yang
digunakan dalam produk jadi yang dibuat sesuai dengan standar
peraturan pemerintah.
Kementerian Kesehatan RI melalui Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor. 06 tahun 2012, mengatur industri dan
301
usaha obat tradisional untuk memberikan iklim usaha yang
kondusif bagi produsen obat tradisional dengan tetap
memperhatikan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu obat
tradisional. Berdasarkan peraturan tersebut, obat-obatan
tradisional yang dibuat oleh industri. Industri yang dimaksud
adalah Industri Obat Tradisioal (IOT) dan Industri Ekstrak Bahan
Alam (IEBA), sedangkan usaha yang dimaksud adakah Usaha
Kecil Obat Tradisional (UKOT), Usaha Mikro Obat Tradisional
(UMOT), Usaha Jamu Racikan, dan Usaha Jamu Gendong. IOT
dan IEBA wajib memiliki setidaknya satu Apoteker sementara
UKOT memiliki setidaknya satu Tenaga Teknis Kefarmasian
(TTK). Seorang Apoteker bertanggungjawab untuk memastikan
bahwa obat tradisional yang diproduksi sesuai Cara Pembuatan
Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) serta untuk menjamin
kualitas dan khasiat. Obat tradisional untuk didistribusikan harus
memenuhi persyaratan Peraturan Menteri Kesehatan 007 tahun
2012 tentang Registrasi Obat Tradisional. Indonesia juga
mengeluarkan buku Farmakope Herbal Indonesia. Buku ini
menetapkan standar dimaksudkan untuk tumbuh-tumbuhan
yang digunakan sebagai bahan baku, produk obat, dan
pengobatan tradisional untuk memastikan keamanan, kualitas,
manfaat, dan kegunaan.
7.4 Pokok-Pokok Pekerjaan Kefarmasian
Sebagai lulusan farmasi tidak perlu khawatir terkait
pekerjaan terutama pekerjaan kefarmasian, karena peran dan
fungsi profesi farmasis secara ideal tidak bisa tergantikan oleh
peran profesi maupun bidang lain. Pekerjaan kefarmasian
sangatlah luas, dan tidak mungkin bagi seorang lulusan farmasi
302
menguasai semuanya, akan tetapi lebih mendalami dan
menguasai sesuai minat dan tempat kerja dimana seorang
lulusan bekerja. Pokok-pokok pekerjaan kefarmasian diuraikan
secara lengkap berikut ini:
1. Farmasi Industri
Industri farmasi merupakan salah satu tempat
Apoteker melakukan pekerjaan kefarmasian terutama
menyangkut pembuatan, pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian dan
pengembangan obat. Untuk menghasilkan produk obat
yang bermutu, aman dan berkhasiat diperlukan suatu
tahap kegiatan yang sesuai CPOB yang meliputi
perencanaan, pengendalian dan pemantauan bahan
awal, proses pembuatan serta pengawasan terhadap
mutu, peralatan yang digunakan, bangunan, hygiene,
sanitasi serta personalia yang terlibat di setiap proses
produksi.
Usia industri farmasi di Indonesia masih relatif
muda dibandingkan dengan negara-negara maju. Pada
masa penjajahan Belanda sampai perang kemerdekaan
jumlah pabrik farmasi di Indonesia masih sangat kecil,
demikian pula fasilitas distribusi farmasi dan apotek
masih sangat terbatas. Pada waktu itu, perusahaan-
perusahaan farmasi selain memproduksi obat, juga
langsung mendistribusikannya hingga awal
kemerdekaan. Pada tahun 1983, telah ada kemajuan
yang signifikan karena 90% dari kebutuhan obat telah
dipenuhi oleh industri farmasi dalam negeri, meskipun
sebagian besar bahan baku masih harus impor dengan
303
jumlah produsen farmasi pada waktu itu sebanyak 286
yang terdiri dari 37 perusahaan investasi domestik, 40
perusahaan investasi langsung dari luar negeri, dan 209
perusahaan swasta nasional. Sedangkan pada saat ini
jumlah industri farmasi sebanyak 202 yang terdiri dari 4
BUMN, 30 perusahaan asing, dan 168 perusahaan
swasta nasional. Nilai penjualan obat telah meningkat.
Pada tahun 1980, peredaran obat-obatan di Indonesia
senilai USD 483.000.000 dan pada tahun 2004 sebesar
USD 2 Milyar. Pangsa pasar farmasi Indonesia (data
pada tahun 2004) dibandingkan dengan farmasi global
relatif lebih kecil, yaitu sebesar 0,25%. Pertumbuhan
pangsa pasar farmasi di masa mendatang di Indonesia
diprediksi masih cukup tinggi mengingat bahwa
konsumsi obat perkapita Indonesia adalah terendah
diantara negara-negara ASEAN. Dengan perbaikan lebih
lanjut dalam pendapatan per kapita dan sistem asuransi
kesehatan di Indonesia di masa depan, nilai obat di
Indonesia bisa meningkat. Situasi ini tentu akan memiliki
korelasi positif dengan pertumbuhan industri farmasi
dimasa depan. Ekspor obat oleh Indonesia telah
meningkat dari tahun ke tahun, yang terdiri dari sekitar
5% dari total penjualan industri farmasi di Indonesa.
Dengan penerapan harmonisasi ASEAN terkait
peraturan farmasi pada tahun 2008, perdagangan obat-
obatan bebas hambatan bagi sesama ASEAN. Ini berarti
peluang bagi indutri farmasi untuk mengembangkan
atau meningkatkan ekspor untu pasar ASEAN, tetapi
pada saat yang sama pasar domestik Indonesia akan
304
terancam oleh masuknya produk farmasi ASEAN ke
Indonesia secara bebas.
Industri Farmasi tidak hanya terkait industri obat-
obatan akan tetapi lebih luas pada industri yang
bergerak dalam bidang farmasi baik terkait dengan
produk-produk farmasi (meliputi Industri bahan baku,
obat-obatan, alat kesehatan, nutraseutikal, kosmetik,
dan obat tradisional atau herbal) yang kesemuanya
sangat memerlukan peran farmasis.
2. Distributor Farmasi (Pedagang Besar Farmasi disingkat
PBF)
Mata rantai sebagai perantara industri farmasi dan
masyarakat dalam hal penyaluran obat ialah Pedagang
Besar Farmasi (PBF). PBF adalah perusahaan berbentuk
badan hukum yang memiliki izin untuk pengadaan,
penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat
dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Setiap pendirian
PBF wajib memiliki izin dari Direktur Jenderal yang
berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang
selama memenuhi persyaratan. PBF diperbolehkan
mendirikan PBF Cabang yang perizinnya dikeluarkan
oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. Untuk
memperoleh izin PBF, pemohon harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1. Berbadan hukum berupa perseroan terbatas atau
koperasi.
2. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
305
3. Memiliki secara tetap apoteker Warga Negara
Indonesia sebagai penanggung jawab.
4. Komisaris/dewan pengawas dan direksi/pengurus
tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak
langsung dalam pelanggaran peraturan perundang-
undangan di bidang farmasi.
5. Memiliki bangunan dan sarana yang memadai
untuk dapat melaksanakan pengadaan,
penyimpanan dan penyaluran obat serta dapat
menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi
PBF.
6. Memiliki ruang penyimpanan obat yang terpisah
dari ruangan lain sesuai CDOB.
7. Memiliki gudang sebagai tempat penyimpanan
dengan perlengkapan yang dapat menjamin mutu
serta keamanan obat yang disimpan.
Dalam hal permohonan dilakukan dalam rangka
penanaman modal, pemohon harus memperoleh
persetujuan penanaman modal dari instansi yang
menyelenggarakan urusan penanaman modal sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk
memperoleh izin PBF, pemohon harus mengajukan
permohonan kepada Direktur Jenderal dengan
tembusan kepala badan-Kepala Dinkes Provinsi-kepala
balai POM.
PBF ada 2 macam yaitu PBF obat dan PBF bahan
baku obat. Menurut PP no. 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian, yang dimaksud Fasilitas
Distribusi adalah sarana yang digunakan untuk
306
menyalurkan atau mendistribusikan sediaan farmasi
dalam rangka perdagangan, bukan pemindahtanganan.
Untuk PBF bahan baku obat memiliki kewajiban
tambahan yaitu:
1. Laboratorium, yang mempunyai kemampuan untuk
melakukan pengujian bahan baku obat sesuai
ketentuan yang ditetapkan dirjen.
2. Gudang khusus tempat penyimpanan.
PBF cabang menyalurkan obat berdasarkan
pesanan yang di apoteker pengelola apotek atau
apoteker penanggung jawab. Dikecualikan untuk
pesanan untuk kepentingan lembaga ilmu pengetahuan,
surat pesanan ditandatangani oleh pimpinan lembaga.
Untuk penyaluran obat atau bahan obat berupa obat
keras, surat pesanan harus ditandatangai oleh apoteker
penanggung jawab atau apoteker pengelola apotek. PBF
atau PBF cabang yang melakukan pengadaan,
penyimpanan, dan penyaluran narkotik harus memiliki
izin khusus sesuai peraturan perundang undangan. PBF
atau PBF cabang yang melakukan perubahan kemasan
dari kemasan aslinya atau pengemasan kembali
terhadap kemasan aslinya dari bahan obat wajib
melakukan pengujian mutu dan wajib memiliki ruang
pengemasan kembali.
Di luar negeri PBF ini mempunyai tenaga Farmasis
terdaftar sebagai supervisor disebabkan oleh sifat khas
produk yang ditanganinya itu sehubungan dengan
peraturan perundang-undangan. Di Indonesia hanya
dipersyaratkan tenaga menengah farmasi (Asisten
307
Apoteker = AA) sebagai penanggungjawab, mengingat
belum cukup tersedianya tenaga ahli berpendidikan
tinggi. Namun, beberapa tahun terakhir dan
kedepannya penanggungjawab adalah seorang
apoteker.
PBF sangat berperan sebagai sumber penyalur obat
dari berbagai industri farmasi yang secara cepat dapat
melayani kebutuhan Farmasis Komunitas (Apoteker)
untuk secara cepat pula melayani kebutuhan pasien
penderita penyakit tertentu akan obat. PBF juga
mengurangi beban finansial apotek dalam hal
menyimpan stok obat dalam jumlah besar dan
menjembatani kerumitan negosiasi dengan ratusan
industri farmasi sebagai produsen obat.
3. Farmasi Rumah Sakit
Farmasi Rumah Sakit ialah pekerjaan kefarmasiaan
yang dilakukan di rumah sakit pemerintah maupun
swasta. Fungsi kefarmasian ini yang sudah sangat
berkembang di negara maju, juga sudah mulai dirintis di
Indonesia dengan pembukaan program spesialisasi
Farmasi Rumah Sakit. Jumlah kebutuhan Farmasis di
rumah sakit di masa depan akan semakin meningkat
karena 3 hal :
a. Faktor pertambahan penduduk.
b. Meningkatnya kebutuhan untuk perawatan yang
lebih baik di rumah sakit.
c. Fungsi dan peranan Farmasis Rumah Sakit akan
lebih meningkat dalam berbagai aspek mengenai
penggunaan dan pemantauan obat.
308
Secara manajerial, rumah sakit diklasifikasikan
sebagai rumah sakit umum dan rumah sakit swasta.
Rumah sakit umum dijalankan oleh pemerintah dan
pemerintah daerah. Rumah sakit swasta dijalankan oleh
badan hukum nirlaba atau yayasan. Berdasarkan tingkat
perawatan, rumah sakit diklasifikasikan menjadi rumah
sakit umum dan rumah sakit khusus (perawatan primer
ke satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu). Rumah
sakit umum dan rumah sakit khusus diklasifikasikan
berdasarkan menjadi empat kelas yaitu kelas A-D,
pembagian kelas rumah sakit disesuaikan dengan
fasilitas dan kemampuan pelayanan yang dimiliki.
Dengan era pasar bebas, Indonesia harus
menghadapi tantangan untuk meningkatkan kualitas
semua layanan kesehatan, termasuk meningkatkan
pelayanan kesehatan di rumah sakit untuk menjadi
layanan rumah sakit kelas dunia. Rumah sakit
mempunyai tiga peran utama, yaitu pelayanan
kesehatan, pendidikan, dan penelitian. Harmonisasi
ketiganya memiliki peran utama untuk menjadi rumah
sakit berkualitas. Pelayanan kesehatan yang
komprehensif adalah pelayanan kesehatan yang
meliputi promosi dan pencegahan di samping layanan
kuratif dan rehabilitatif.
Farmasis/Apoteker di rumah sakit, dalam
melaksanakan fungsinya tergabung dalam Instalasi
Farmasi Rumah Sakit (IFRS) yang merupakan unit rumah
sakit dan fasilitas administrasi apotek di bawah
pimpinan seorang apoteker yang berkompeten. IFRS
309
bertanggung jawab atas perilaku, penyediaan, dan
pengelolaan semua aspek pasokan medis di rumah sakit,
serta melakukan pelayanan farmasi baik secara
nonklinik maupun klinik. Tanggung jawab apoteker
dalam pelayaan kefarmasian dari aspek non klinik
meliputi, perencanaan, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan, dan distribusi obat yang dibutuhkan di
rumah sakit, dan pelayanan farmasi klinik yang
dilakukan secara langsung dan dalam pelaksanaannya
memerlukan interaksi dengan pasien, dokter, dan
perawat; distribusi obat-obatan dan produk farmasi
untuk pasien dan perawat; dan konseling dan informasi
obat. Seiring dengan perkembangan kesehatan,
orientasi pelayanan farmasi kini telah bergeser lebih ke
arah pharmaceutical care yang merupakan bentuk
layanan dan tanggung jawab langsung untuk profesi
apoteker dalam pekerjaan farmasi untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien dengan konsep patient safety,
pharmacovigillance, EPO (Evaluasi Penggunaan Obat),
dan lain sebagainya.
Selain IFRS, apoteker juga dapat berperan penting
dalam PFT (Panitia Farmasi dan Terapi) yang merupakan
suatu kelompok penasehat dari staf medik dan
bertindak sebagai garis komunikasi organisasi antara
staf medik dan IFRS yang mempunyai tugas utama
berupa perumus kebijakan prosedur berkaitan dengan
obat dan terapi, serta sebagai pemberi rekomendasi dan
merancang program edukasi bagi profesi kesehatan
yang terlibat dalam pelayanan pasien. Salah satu
310
kebijakan yang dibuat oleh PFT adalah pemilihan jenis
obat yang digunakan untuk pengobatan pasien, yang
disusun dalam suatu dokumen yang disebut dengan
formularium. Dalam proses penyusunan formularium,
seluruh staf medik dapat memberikan rekomendasi
mengenai obat yang akan dimasukkan dalam
formularium. Tugas PFT tidak hanya berhenti sampai
disitu, PFT juga mempunyai kewajiban untuk terus
mengevaluasi dan merevisi formularium yang ada sesuai
dengan kebutuhan pengobatan pasien serta
perkembangan obat yang tersedia di pasaran.
4. Farmasi Komunitas
Menurut The International Pharmaceutical
Federation, Farmasi Komunitas merupakan salah satu
area praktek farmasi dimana obat dan produk farmasi
lainnya disediakan dan dijual langsung kepada
masyarakat dengan cara retail, baik melalui resep dokter
maupun tanpa resep dokter, di Indonesia dikenal
dengan nama Apotek.
Farmasis atau Apoteker memberikan kesan umum
bahwa tempat kerja seorang farmasi hanyalah di
Apotek, yaitu salah satu tempat pengabdian profesi
seorang Apoteker. Seorang Farmasis di Apotek langsung
berhadapan dengan masyarakat sehingga fungsi
tersebut dikelompokkan dalam Farmasi Masyarakat
(Community Pharmacy). Fungsi Farmasis Masyarakat di
Apotek merupakan kombinasi seorang profesional dan
wiraswastawan. Dengan dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah No. 25/80 tentang Apotek, bahwa Apotek
311
adalah tempat pengabdian profesi seorang Apoteker,
maka makin besar harapan yang diberikan pemerintah
kepada para Farmasis, baik dari segi jumlah tenaga
farmasi maupun dari segi kemampuan profesionalnya.
Dirjen Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Departemen Kesehatan RI bekerjasama dengan Ikatan
Apoteker Indonesia (IAI) menetapkan standar untuk
meningkatkan kualitas pelayanan farmasi kepada
masyarakat, sehingga apoteker dapat melaksanakan
pelayanan farmasi di masyarakat (terutama Apotek dan
Klinik) dengan baik. Selain itu, ada juga Peraturan
Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang pekerjaan
kefarmasian untuk mengatur fasilitas pelayanan praktek
farmasi. Jasa apoteker di terutama layanan resep
(meliputi proses penyaringan, peracikan obat, label
kemasan, pengiriman, penyediaan informasi obat,
konseling, dan monitoring penggunaan obat), kegiatan
promosi dan edukasi masyarakat dalam pengobatan
sendiri dalam hal ini memilih obat yang sesuai
berdasarkan ciri khas penyakit tertentu, home care
service terutama orang tua, dan pasien yang
membutuhkan pengobatan untuk penyakit kronis.
Untuk kegiatan ini, apoteker harus menyimpan catatan
dalam bentuk catatan pengobatan. Dengan fungsi
promosi dan edukasi, Farmasi Komunitas dapat
dimasukkan ke dalam posisi utama dalam pekerjaan
kefarmasian untuk mempromosikan perilaku hidup
sehat. Farmasi Komunitas dapat berperan dalam
program berhenti merokok, konsumsi alkohol, gizi yang
312
sehat, dan peningkatan aktivitas fisik untuk pencegahan
terhadap penyakit dan kecacatan. Namun masih ada
hambatan untuk apoteker melakukan promosi
kesehatan, termasuk kurangnya kepercayaan apoteker
dan persepsi masyarakat bahwa apoteker hanya
menyediakan layanan obat.
5. Farmasi Edukasi
Saat ini kebutuhan jumlah dosen dari beberapa
perguruan tinggi yang baru membuka program
pendidikan farmasi maupun yang lama telah ada,
kebutuhannya semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Pendidikan farmasi di Indonesia saat ini bervariasi, mulai
dari sekolah menengah farmasi (SMF), Program Diploma
Farmasi (DIII), Program Sarjana, Program Profesi
Apoteker, Program Magister, Program Spesialis, dan
Program Doktor.
Sampai saat ini, jumlah lembaga pendidikan tinggi
termasuk akademi dimana institusi/lembaga pendidikan
yang membuka program diploma tiga farmasi dan analis
farmasi baik dari lembaga negeri maupun swasta
sebanyak 79 institusi, institusi pendidikan yang
membuka program sarjana farmasi baik negeri maupun
swasta sebanyak 67 institusi, institusi pendidikan yang
membuka program profesi apoteker baik negeri maupun
swasta sebanyak 28 institusi, institusi pendidikan yang
membuka program magister farmasi baik swasta
maupun negeri sebanyak 12 institusi (khusus ITB
membuka 2 program magister), sedangkan untuk
313
program Doktor ilmu farmasi sebanyak 5 institusi yang
semuanya berstatus negeri.
Perguruan Tinggi Negeri maupun Perguruan Tinggi
Swasta merekrut Farmasis untuk jabatan dosen di
perguruan tinggi. Sesuai Tri Dharma Perguruan Tinggi,
maka fungsi seorang Farmasis ialah dalam bidang
pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat. Persyaratan untuk diterima menjadi
dosen telah ditingkatkan menjadi lulusan Pascasarjana.
6. Riset
Lembaga riset merupakan salah satu tempat bagi
seorang apoteker untuk melakukan pekerjaan. Di
Indonesia, lembaga riset telah dimulai sejak abad ke-16
oleh Jacob Bontius, pada akhir abad ke-18 dibentuk
Bataviaasch Genotschap van Wetenschappen. Lalu pada
tahun 1817, C.G.L. Reinwardt mendirikan “Kebun Raya
Indonesia” di Bogor. Pada tahun 1928 pemerintah
Hindia Belanda membentuk Natuurwetenschappelijk
Raad voor Nederlandsch Indie. Kemudian tahun 1948
diubah menjadi Organisatie voor
Natuurwetenschappelijk onderzoek (Organisasi untuk
Penyelidikan dalam Ilmu Pengetahuan Alam”. Pada
tahun 1956, pemerintah Indonesia membentuk Majelis
Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI). Pada tahun 1962
pemerintah membentuk Departement Urusan Riset
Nasional (DURENAS) dan menempatkan MIPI
didalamnya. Pada tahun 1966 pemerintah mengubah
status DURENAS menjadi Lembaga Riset Nasional
(LEMRENAS).
314
Pada bulan Agustus 1967 pemerintah
membubarkan LEMRENAS dan MIPI dengan SK Presiden
RI No. tahun 1967, kemudian membentuk Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) berdasarkan Keputusan
MPRS No. 18/B/1967.
Sejalan dengan perkembangan kemampuan
nasional dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi,
organisasi lembaga-lembaga ilmiah di Indonesia telah
pula mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Oleh
sebab itu, pemerintah mengadakan peninjauan dan
penyesuaian tugas pokok dan fungsi serta sususan
organisasi LIPI sesuai dengan tahap dan arah
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan
berdasarkan perubahan terakhir dengan Keppres No.
103 tahun 2001. Sampai saat ini, sumber daya manusia
sebanyak 1528 peneliti dan 4712 staf pendukung lulusan
universitas dalam dan luar negeri (data per 2014).
Peran Apoteker sebagai peneliti sangat penting
terutama untuk pengembangan Ilmu Farmasi di
Indonesia yang dapat bersinergi dengan Lembaga
Pendidikan Farmasi sehingga selain penemuan dan
pengembangan produk-produk farmasi, juga berperan
dalam pengembangan dan penguatan fungsi dan peran
farmasi dalam bidang kesehatan. Sampai saat ini tidak
sedikit tenaga farmasi yang bekerja di lembaga riset ini.
Selain itu, lembaga riset pada bagian-bagian lembaga
atau institusi tertentu baik swasta maupun negeri masih
membutuhkan tenaga farmasis sebagai peneliti.
315
7. Instansi Pemerintah
Instansi pemerintah adalah sebutan kolektif
meliputi satuan kerja/satuan organisasi
kementerian/departemen, Lembaga Pemerintah Non
Departemen, kesekretariatan lembaga tinggi negara,
dan instansi pemerintah lainnya, baik pusat maupun
daerah, termasuk Badan Usaha Milik Negara, Badan
Hukum Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah.
Dalam pedoman Penyusunan Penetapan Kinerja
Daerah, Instansi pemerintah adalah sebuah kolektif dari
unit organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas
dan fungsinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
meliputi Kementrian Koordinator/Kementrian
Negara/Departemen/Lembaga Pemerintah Non
Departemen, Pemerintah Provinsi, Pemko, Pemkab
serta lembaga-lembaga pemerintahan yang
menjalankan fungsi pemerintahan dengan
menggunakan APBN dan/APBD.
Departemen Kesehatan adalah instansi pemerintah
yang paling banyak menyerap tenaga Farmasis baik
ditingkat pusat, tingkat I (Provinsi), maupun tingkat II
(Kabupaten/Kota). Badan Pengawasan Obat dan
Minuman (BPOM) baik tingkat pusat maupun tingkat
provinsi. Demikian pula Bidang Pengendalian Farmasi
dan Makanan pada setiap Kantor Wilayah Departemen
Kesehatan (sekarang dihapus, hanya ada Dinas
Kesehatan Propinsi) dan jajaran Dinas Kesehatan sampai
ke Daerah Tingkat II, termasuk Puskesmas dan Gudang
Farmasi. Laboratorium Kesehatan Daerah (LABKESDA)
316
tingkat Provinsi, Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan
Narkotika Provinsi (BNP), Lembaga/Departemen
HANKAM (TNI dan POLRI), juga memerlukan Farmasis
yang terutama berfungsi pada bagian logistik dan
penyaluran obat dan alat kesehatan. Fungsi utama
Farmasis pada instansi pemerintah ialah administrastif,
pemeriksaan, bimbingan dan pengendalian.
7.5 Pekerjaan Farmasi lainnya
Pekerjaan farmasi tidak hanya terbatas pada berbagai
pekerjaan farmasi yang telah disebutkan diatas, akan tetapi jauh
lebih luas lagi baik pekerjaan yang terkait langsung dengan
peran dan fungsi sebagai profesi maupun diluar profesi tapi
masih terkait dengan farmasi. Pekerjaan-pekerjaan farmasi
lainnya tidak cukup jika hanya menguasai ilmu farmasi akan
tetapi seorang farmasis harus memiliki soft skill yang mumpuni
untuk menguatkan dan mengembangkan pekerjaa-pekerjan
tersebut. Pekerjaan-pekerjaan farmasi lainnya dijelaskan
sebagai berikut:
1. Perusahaan Asuransi
Asuransi adalah istilah yang digunakan untuk
merujuk pada tindakan, sistem, atau bisnis di mana
perlindungan finansial (atau ganti rugi secara finansial)
untuk jiwa, properti, kesehatan dan lain sebagainya
mendapatkan penggantian dari kejadian-kejadian yang
tidak dapat diduga yang dapat terjadi seperti kematian,
kehilangan, kerusakan atau sakit, di mana melibatkan
pembayaran premi secara teratur dalam jangka waktu
tertentu sebagai ganti polis (perjanjian) yang menjamin
317
perlindungan tersebut. Istilah "diasuransikan" biasanya
merujuk pada segala sesuatu yang mendapatkan
perlindungan.
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang
dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sistem Jaminan
Sosial Nasional ini diselenggarakan melalui mekanisme
Asuransi Kesehatan Sosial yang bersifat wajib
(mandatory) berdasarkan Undang-Undang No.40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Tujuannya
adalah agar semua penduduk Indonesia terlindungi
dalam sistem asuransi, sehingga mereka dapat
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang
layak. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
merupakan lembaga/perusahaan yang berbadan hukum
persero yang berada dibawah Kementerian BUMN yang
bergerak dalam bidang asuransi baik dalam Asuransi
Kesehatan maupun Asuransi Ketenagakerjaan. Beberapa
asuransi lainnya, misalnya PT Prudential Life Assurance,
PT Asuransi Allianz Life Indonesia, PT Asuransi Jiwa
Sinarmas MSIG, PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia, PT
AXA Mandiri Finacial Services, dan PT AIA Financial
(formerly Asuransi Lippo Jiwa Sakti), dan perusahaan-
perusahaan asuransi lainnya.
Peranan apoteker pada asuransi sangat penting dan
juga tidak bisa digantikan dengan peran profesi dan
bidang lainnya, mengingat hanya apoteker yang
memiliki pengetahuan terkait obat, Cost-effectiveness,
dan lain-lain.
318
2. Politisi Farmasi (Pharmaceutical Politician)
Politik (dari bahasa Yunani: politikos, yang berarti
dari, untuk, atau yang berkaitan dengan warga negara),
adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan
dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses
pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Politik
adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara
konstitusional maupun non-konstitusional. Di samping
itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda,
yaitu antara lain:
a) Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara
untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik
Aristoteles)
b) Politik adalah hal yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemerintahan dan negara
c) Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk
mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di
masyarakat
d) Politik adalah segala sesuatu tentang proses
perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Dalam konteks memahami politik perlu dipahami
beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik,
legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi
politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya
untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik.
Perilaku politik atau (Inggris: Politic Behaviour)
adalah perilaku yang dilakukan oleh insan/individu atau
kelompok guna memenuhi hak dan kewajibannya
319
sebagai insan politik. Seorang individu/kelompok
diwajibkan oleh negara untuk melakukan hak dan
kewajibannya guna melakukan perilaku politik adapun
yang dimaksud dengan perilaku politik contohnya
adalah:
a) Melakukan pemilihan untuk memilih wakil
rakyat/pemimpin
b) Mengikuti dan berhak menjadi insan politik yang
mengikuti suatu partai politik atau parpol,
mengikuti ormas atau organisasi masyarakat atau
lsm lembaga swadaya masyarakat
c) Ikut serta dalam pesta politik
d) Ikut mengkritik atau menurunkan para pelaku
politik yang berotoritas
e) Berhak untuk menjadi pimpinan politik
f) Berkewajiban untuk melakukan hak dan
kewajibannya sebagai insan politik guna melakukan
perilaku politik yang telah disusun secara baik oleh
undang-undang dasar dan perundangan hukum
yang berlaku
Pekerjaan sebagai politisi merupakan pekerjaan
yang tidak pernah disinggung pada mata kuliah apapun
pada kurikulum pendidikan farmasi, kalaupun ada hanya
berkisar dibawah satu persen. Namun, istilah politik dan
politisi tidak asing di telinga para mahasiswa, karena
telah dipraktekkan dalam keseharian sebagai mahasiswa
minimal dalam kelompok-kelompok diskusi hingga
lembaga mahasiswa. Di Indonesia, ada beberapa
Apoteker yang terjun dalam pekerjaan ini (baik eksekutif
320
maupun legislatif). Untuk menjadi politisi tentu tidak
mudah, diperlukan modal yang tidak sedikit ataupun
minimal menjadi kader suatu partai tertentu dengan
mekanisme tersendiri.
Idealnya seorang Apoteker yang mampu berkiprah
dalam dunia politik atau sebagai politisi harus mampu
memberikan sumbangsih yang nyata dalam
pengembangan dan penguatan bidang Farmasi. Namun,
sampai saat ini belum terlihat terutama terkait regulasi
kefarmasian di Indonesia. Pada masa yang akan datang
diharapkan dapat melahirkan farmasis-farmasis yang
bisa berkiprah sebagai politisi yang mampu
memperjuangkan dan memberikan sumbangsih yang
nyata terutama dalam pengembangan dan penguatan
bidang Farmasi di Indonesia.
3. Wartawan Farmasi (Pharmaceutical Journalism)
Wartawan atau jurnalis atau pewarta adalah
seseorang yang melakukan kegiatan jurnalistik atau
orang yang secara teratur menuliskan berita (berupa
laporan) dan tulisannya dikirimkan/dimuat di media
massa secara teratur. Laporan ini lalu dapat dipublikasi
dalam media massa, seperti koran, televisi, radio,
majalah, film dokumentasi, dan internet. Wartawan
mencari sumber berita untuk ditulis dalam laporannya;
dan diharapkan mereka dapat menulis laporan yang
paling objektif dan tidak memiliki pandangan dari sudut
tertentu untuk melayani masyarakat.
Profesi ini mulai berkembang di luar negeri bagi
Farmasis yang memperoleh latihan khusus dalam
321
kewartawanan dan mempunyai bakat menulis dan
mengedit. Pekerjaan ini diperlukan oleh instansi
pemerintah atau industri farmasi untuk publikasi,
mengedit atau menulis tulisan yang berlatar belakang
kefarmasian.
4. Wirausahawan Farmasi (Pharmaceutical Enterpreneur)
Wirausahawan (bahasa Inggris: entrepreneur)
adalah orang yang melakukan aktivitas wirausaha yang
dicirikan dengan pandai atau berbakat mengenali
produk baru, menentukan cara produksi baru,
menyusun manajemen operasi untuk pengadaan produk
baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan
operasinya.
Bidang ini merupakan bidang yang penuh dengan
tantangan. Seorang farmasis sangat banyak yang sukses
dalam bidang ini. Namun, seorang apoteker yang
bergerak dibidang ini yang terkait dengan farmasi masih
terbatas pada usaha-usaha tertentu. Beberapa usaha
yang saat ini mulai dikembangkan yang terkait dengan
farmasi misalnya: Kafe Herbal atau Restoran Kesehatan,
Klinik herbal, Produksi Aromaterapi dan Parfum, dan
Usaha Pangan Fungsional maupun kosmetik sehat, serta
usaha lainnya.
5. Petani Farmasi (Pharmaceutical Cultivator)
Petani adalah seseorang yang bergerak di bidang
pertanian, utamanya dengan cara melakukan
pengelolaan tanah dengan tujuan untuk menumbuhkan
dan memelihara tanaman (seperti padi, bunga, buah
dan lain lain), dengan harapan untuk memperoleh hasil
322
dari tanaman tersebut untuk digunakan sendiri ataupun
menjualnya kepada orang lain. Mereka juga dapat
menyediakan bahan mentah bagi industri, seperti bahan
baku untuk produksi obat herbal, serealia untuk
minuman beralkohol, buah untuk jus, dan wol atau
kapas untuk penenunan dan pembuatan pakaian,.
Setiap orang bisa menjadi petani (asalkan punya
sebidang tanah atau lebih), walau ia sudah punya
pekerjaan bukan sebagai petani. Maksud dari kalimat
tersebut bukan berarti pemilik tanah harus mencangkul
atau mengolah sendiri tanah miliknya, tetapi bisa
bekerjasama dengan petani tulen untuk bercocok tanam
di tanah pertanian miliknya. Apabila ini diterapkan,
berarti pemilik tanah itu telah memberi pekerjaan
kepada orang lain walau hasilnya tidak banyak. Apabila
bermaksud mengolah sendiri, tentu harus benar-benar
bisa membagi waktu, tetapi kemungkinan akan kesulitan
kalau tanahnya lebih dari satu petak.
Indonesia memiliki tanah yang subur dan kaya akan
sumber daya alam, ada lebih dari 30.000 jenis tumbuhan
yang terdapat di bumi Nusantara ini, dan lebih dari 1000
jenis tumbuhan obat yang dimanfaatkan dalam industri
obat tradisional, dan beberapa simplisia yang telah
banyak dipakai oleh industri obat tradisional sebagai
bahan baku untuk memperoduksi obat tradisional/ obat
bahan alam.
Keanekaragaman hayati Indonesia cenderung
menyusut akibat perubahan penggunaan lahan dari
hutan ke penggunaan lain seperti: pertanian,
323
perindustrian, pemukiman, fasilitas perkotaan dan
sebagainya. Kekayaan sumber daya hayati tumbuhan
Negara kita merupakan tertinggi di dunia. Dari sekitar
25.000-30.000 jenis flora Malesia (Malaysia, Indonesia,
Filipina dan Papua), pulau Kalimantan memiliki sekitar
10.000-15.000 jenis tumbuhan. Dibandingkan dengan
semenanjung Malaysia yang hanya memiliki sekitar
8.500 jenis; Sumatra 8.000 jenis; Filipina 7000 jenis dan
Papua 9000 jenis.
Potensi tersebut juga sangat penting di geluti oleh
seorang farmasis, sumber daya alam (terutama
tumbuhan obat) yang melimpah belum dimanfaatkan
secara maksimal. Usaha pada bidang ini masih sangat
jarang. Petani Farmasi fokus dalam bidang pertanian
terutama sebagai penyuplai bahan-bahan/tumbuhan
untuk produksi obat herbal atau obat tradisional.
Sebagai contoh, budidaya tanaman kumis kucing,
budidaya tanaman penghasil minyak atsiri, budidaya
kunyit putih, budidaya bawang dayak, dan lain-lain.
6. Pekerjaan Lainnya
Selain pekerjaan-pekerjaan farmasi di atas, seorang
farmasi juga banyak yang bergelut dalam bidang lain
seperti bekerja di Bank, Pertambangan, Marketing,
depeloper (pengembang), dan masih banyak lagi
pekerjaan lainnya.
7.6 Referensi
1. Fathelrahman AI, Ibrahim MIM, & Wertheimer AI. 2016.
Pharmacy Practice in Developing Countries.
Achievements and Challenges. Penerbit Academic Press
324
Elsevier Inc. Amsterdam. Boston. Heidelberg. London.
New York. Oxford. Paris. San Diego. San Francisco.
Singapore. Sydney. Tokyo.
2. Departemen Kesehatan RI. 2004. Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Tentang Standar
Pelayanan Farmasi Di Rumah Sakit Dan Apotek. Jakarta.
3. Kementerian Kesehatan. 2012. Keputusan Menteri
Kesehatan No 092/2012 tentang Harga eceran tertinggi
obat generik di Indonesia tahun 2012. Jakarta
4. Departemen Kesehatan RI. Kebijakan Obat Nasional.
Jakarta; 2005.
5. Departemen Kesehatan RI. 2009. Undang Undang no 44
tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Jakarta.
6. Sampurno. 2005. Memperkuat Kapasitas dan
Kompetensi Industri Farmasi Indonesia. Jakarta: Badan
POM.
7. Departemen Kesehatan RI. 2002. Pedoman Supervisi
dan Evaluasi Obat Publik dan Perbekalan Farmasi.
Jakarta.
8. Hermansyah A, Sukorini AI, Setiawan CD, & Priyandani Y.
2012. The conflicts between professional and non
professional work of community pharmacists in
Indonesia. Pharm Pract. Volume 10 Nomor 1:33–9.
9. The World Bank. 2012. Indonesia health review.
10. World Health Organization. 2014. Statistics: countries—
Indonesia.
11. World Bank. 2009. Giving more weight to health:
assessing fiscal space for health in Indonesia.
325
12. Policy Note Series. Pharmaceuticals: Why Reform is
Needed. Indonesian Health Sector Review; 2009.
13. Anonim, 2017. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Wikipedia Online. Diakses pada Tanggal 9 Januari 2017
diweb:
https://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Ilmu_Pengetahu
an_Indonesia
14. Anonim. 2017. Instansi Pemerintah. Wikipedia Online.
Diakses pada Tanggal 9 Januari 2017 diweb:
https://id.wikipedia.org/wiki/Instansi_pemerintah
15. Anonim. 2017. Insurance defenition by the free
dictionary. Diakses pada 23 Januari 2017 pada web:
http://www.thefreedictionary.com/insurance
16. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 11 Tahun
2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah
Non Departemen.
17. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51
Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian.
18. Anonim. 2017. Jaminan Kesehatan Nasional untuk
Indonesia Lebih Sehat. Jaminan Kesehatan Nasional.
Diakses pada tanggal 2 Februari 2017 secara online pada
web: http://www.jkn.kemkes.go.id/detailfaq.php?id=1
19. Anonim. 2017. Politik. Wikipedia. Diakses pada tanggal 2
Februari 2017 secara online pada web:
https://id.wikipedia.org/wiki/Politik
20. Anonim. 2017. Wartawan. Wikipedia. Diakses pada
tanggal 2 Februari 2017 secara online pada web:
https://id.wikipedia.org/wiki/Wartawan
326
21. Anonim. 2017. Petani. Wikipedia. Diakses pada tanggal 3
Februari 2017 secara online pada web:
https://id.wikipedia.org/wiki/Petani
22. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Keputusan Kongres
Nasional XIII, N0.XIII/Kongres XIII/ISFI/1989 tentang
Standar Profesi Apoteker dalam Pengabdian Profesi di
Apotek.
327
BAB 8 PARADIGMA PERUBAHAN
ORIENTASI FARMASI
8.1 Pengantar
Sejak tahun 1975, telah terjadi pergeseran dan
perubahan orientasi praktek kefarmasian, yang awalnya
product-oriented menjadi patient-orinted. Perubahan dalam
pelayanan kesehatan dan praktek farmasi memberikan
kesempatan baik apoteker untuk menunjukkan fungsi dan
perananan penting mereka dalam sektor kesehatan. Misi dari
profesi farmasi harus memenuhi kebutuhan masyarakat dan
pasien. Pada suatu waktu, tindakan menentukan terapi obat dan
mengimplementasikannya dalam bentuk yang relatif sederhana,
aman, dan murah. Dokter yang meresepkan dan Apoteker yang
melakukan dispensing atau menyerahkan. Namun, ada bukti
substansial yang menunjukkan bahwa metode tradisional
meresepkan dan memberikan edukasi tidak lagi sesuai untuk
memastikan keamanan, efektivitas, dan kepatuhan terhadap
obat rasional, dan manajemen yang efektif dari obat-obatan
merupakan komponen kunci dari sistem pelayanan kesehatan
yang dapat diakses, berkelanjutan, terjangkau, dan adil untuk
memastikan kemanjuran, keamanan, dan kualitas pengobatan.
328
8.2 Peran Farmasis
Penghargaan WHO kepada farmasis setelah kongres
Vancouver, Canada tahun 1997. Untuk menggambarkan peran
seorang farmasis dalam pelayanan kesehatan antara lain:
1. Care Giver: Farmasis/Apoteker merupakan profesional
yang bergerak dalam bidang kesehatan yang peduli,
dalam wujud nyata memberi pelayanan kefarmasian
kepada pasien dan masyarakat luas, berinteraksi secara
langsung, meliputi pelayanan klinik, analitik, tehnik,
sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hal itu
menunjukkan bahwa farmasis harus berinteraksi dengan
baik pada individu maupun masyarakat.
2. Decision-Maker: Farmasi/Apoteker merupakan seorang
yang mampu menetapkan/ menentukan keputusan
terkait pekerjaan kefarmasian, misalnya memutuskan
dispensing, penggantian jenis sediaan, penyesuaian
dosis, pengantian obat jika ditemukan bahaya yang
signifikan, serta keputusan-keputusan lainnya yang
bertujuan agar pengobatan lebih aman, efektif dan
rasional. Sumber-sumber daya, misal: personil, obat,
reagen, peralatan, prosedur, dan praktek kerja, harus
digunakan secara tepat guna, efektif dan efisien
(manfaat dan biaya). Hal ini harus menjadi dasar
pemikiran dan pelaksanaan profesi kefarmasian. Untuk
mencapai tujuan tersebut dipersyaratkan kemampuan
untuk evaluasi, sintesis (Bloom theory) dan membuat
keputusan tentang jalur yang tepat untuk bertindak.
3. Communicator: Farmasis/Apoteker harus mampu
menjadi komunikator yang baik, sehingga pelayanan
329
kefarmasian dan interaksi kepada pasien, masyarakat,
dan tenaga kesehatan berjalan dengan baik, misalnya
menjadi komunikator yang baik dalam PIO (Pelayanan
Informasi Obat), Penyuluhan, konseling dan konsultasi
obat kepada pasien, melakukan visite ke bangsal/ruang
perawatan pasien, Pengajar, Narasumber, dan
sebagainya. Oleh karena itu, farmasis harus dikenal dan
percaya diri saat berinteraksi dengan profesi kesehatan
lain dan publik. Salah satu modalnya adalah kemampuan
berkomunikasi, baik verbal, non-verbal, pendengar yang
baik, maupun tata tulis.
4. Manager: Farmasi/Apoteker merupakan seorang
manajer dalam aspek kefarmasian non klinis,
kemampuan ini harus ditunjang kemampuan
manajemen yang baik, contoh sebagai Farmasis manajer
(APA) di apotek, Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit,
harus mampu mengelola perbekalan farmasi dan
mengelola karyawan agar dapat melayani dengan
optimal dan produktif dalam hal kinerja dan profit.
Contoh lainnya sebagai Pedagang Besar Farmasi/PBF),
manager Quality Control (QC), Quality Assurance (QA),
Manajer Produksi, dan lain lain. Pada intinya
Farmasis/Appoteker harus mengelola secara efektif
sumber-sumber daya (manusia, alam, keuangan) dan
informasi, baik sendirian maupun dalam kelompok
pelayanan kesehatan. Lebih jauh, informasi dan
teknologinya yang terkait akan menjadi tantangan buat
farmasis pada tanggung jawabnya yang besar atas
330
informasi bersama (sharing information) tentang obat-
obatan dan produk yang lain.
5. Leader: Farmasis/Apoteker harus mampu menjadi
seorang pemimpin, mempunyai visi dan misi yang jelas,
dan dapat mengambil kebijakan yang tepat untuk
memajukan institusi/perusahaan/lembaga yang
dipimpin, misalnya sebagai Rektor, Dekan, Direktur
Rumah Sakit, Direktur Utama di industri farmasi,
Direktur marketing, Direktur bagian produksi dan
sebagainya. Kepemimpinan termasuk bersimpati dan
ikut merasakan penderitaan pasien sebagaimana
kemampuan untuk memutuskan sesuatu, komunikasi
dan pengobatan yang efektif.
6. Life-Long Learner: Farmasis/Apoteker harus memiliki
semangat belajar sepanjang waktu, karena
informasi/ilmu kesehatan terutama farmasi (obat,
penyakit dan terapi) terus berkembang pesat dari waktu
ke waktu, sehingga kita perlu mengupdate pengetahuan
dan kemampuan agar tidak ketinggalan. tidak akan
mungkin seseorang dapat meniti karir dan sukses
sebagai farmasis hanya lewat belajar di perguruan
tinggi. Konsep, prinsip, dan komitmen belajar seumur
penghidupan perlu diperkenalkan sejak awal mengikuti
pendidikan tinggi farmasi dan terus ditanamkan
sepanjang pengabdian profesi. Farmasis harus belajar
(terus) bagaimana cara belajar yang baik.
7. Teacher: Farmasis/Apoteker dituntut dapat menjadi
pendidik/akademisi/edukator bagi pasien, masyarakat,
maupun tenaga kesehatan lainnya terkait ilmu farmasi
331
dan kesehatan, baik menjadi guru, dosen, ataupun
sebagai seorang farmasis/apoteker yang menyampaikan
informasi kepada pasien masyarakat dan tenaga
kesehatan lain yang membutuhkan informasi. Farmasis
bertanggung jawab atas pendidikan dan pelatihan
generasi farmasis selanjutnya. Partisipasi sebagai guru
tidak hanya penyampaian pengetahuan, tetapi juga
memberi kesempatan untuk menemukan hal baru dan
peningkatan keterampilan dan keahlian.
8. Researcher: Farmasis/Apoteker merupakan seorang
peneliti terutama dalam penemuan dan pengembangan
obat-obatan yang lebih baik. disamping itu farmasi juga
dapat meneliti aspek lainnya misalnya data konsumsi
obat, kerasionalan obat, pengembangan formula,
penemuan sediaan baru (obat, alat kesehatan, dan
kosmetik).
9. Entrepreneur: Farmasis/Apoteker diharapkan terjun
menjadi wirausaha dalam mengembangkan kemandirian
serta membantu mensejahterakan masyarakat.
Misalnya dengan mendirikan perusahaan obat,
kosmetik, makanan, minuman, alat kesehatan, baik
skala kecil maupun skala besar, mendirikan apotek,
serta bisnis tanaman obat dan lain-lain.
8.3 Paradigma Perubahan Praktek Kefarmasian
Paradigma perubahan praktek kefarmasian yang
berorientasi pada produk (product-oriented) menjadi
berorientasi pada pasien (patient-oriented) merupakan sebuah
proses yang panjang dan berliku. Berbagai tantangan bagi
332
farmasis terutama setelah revolusi industri dan kompleksisitas
penyakit yang muncul sekarang ini. Sampai saat ini, jumlah obat
di pasar meningkat secara dramatis, membawa inovasi-inovasi
yang nyata dan juga tantangan-tantangan yang serius dalam
mengontrol kualitas serta penggunaan obat yang rasional.
Ketika globalisasi membuat negara semakin dekat, bersama
melakukan perdagangan produk dan jasa pelayanan dan
pengenalan gelar akademik dan diploma sebagai contoh, telah
membawa perubahan yang cepat dalam lingkungan pelayanan
kesehatan dan terhadap kompleksitas yang baru akibat
peningkatan perjalanan dan migrasi. Baik di negara yang sedang
berkembang maupun negara industri, upaya-upaya untuk
menyediakan pelayanan kesehatan, termasuk asuhan
kefarmasian, menghadapi tantangan-tantangan baru.
Tantangan-tantangan ini seperti meningkatnya biaya pelayanan
kesehatan, sumber keuangan yang terbatas, keterbatasan
sumber daya manusia di sektor pelayanan kesehatan, sistem
kesehatan yang tidak efisien, beban penyakit yang besar, dan
perubahan sosial teknologi, ekonomi dan politik yang dihadapi
oleh hampir seluruh Negara. Akses terhadap obat dengan
kualitas terjamin masih menjadi perhatian seluruh dunia.
Sepertiga populasi penduduk dunia belum mendapatkan akses
yang reguler terhadap obat-obat esensial.
Sebuah kesepakatan terhadap penjaminan kualitas dan
keamanan produk obat untuk melindungi pasien telah
ditandatangani bersama oleh FIP dan Federasi asosiasi
perusahan farmasi internasional pada tahun 2000. Tujuan
umumnya adalah melindungi kehidupan pasien di seluruh
bagian dunia dengan menjamin bahwa seluruh produk obat
333
memiliki kualitas yang baik dan terbukti aman dan berkhasiat.
Industri farmasi dan profesi farmasi tersebut juga memahami
kebutuhan terhadap suatu regulator dan lingkungan pemasaran
yang mendorong investasi dalam obat-obat inovatif baru dan
memungkinkan pengenalannya yang tepat waktu dan
ketersediaannya bagi pasien di seluruh dunia.
Tantangan utama lainnya adalah memastikan bahwa
obat digunakan secara rasional. Ini memerlukan bahwa pasien
menerima pengobatan yang tepat sesuai dengan kebutuhan
klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan
individunya untuk jangka waktu yang tepat, dan dengan biaya
yang terendah untuk mereka dan komunitasnya.
Akan tetapi, penggunaan obat yang rasional masih
marupakan pengecualian daripada aturan. Bagi orang-orang
yang mendapatkan obat, lebih dari separuh dari peresepan tidak
tepat dan lebih dari setengah orang yang terlibat gagal
menggunakannya secara benar. Sebagai tambahan, ada
peningkatan perhatian terhadap peningkatan jumlah resistensi
terhadap antibiotik/antimikroba yang menglobal, suatu masalah
kesehatan yang utama. Sebuah laporan terakhir dari WHO
menemukan sampai 90% resistensi terhadap antibiotic generasi
pertama seperti ampisilin dan kotrimoksazol terhadap
shigellosis, sampai 70% resistensi terhadap penisilin untuk
pneumonia dan bacterial meningitis, sampai 98% resistensi
terhadap penicillin untuk gonorrhoea dan sampai 70% resistensi
terhadap panisilin dan cephalosporin terhadap infeksi
staphylococcus aureus yang didapat dari rumah sakit.
Pada tahun 2000 dewan FIP mengadopsi a statement of
policy of resistance to antimicrobial yang menyediakan suatu
334
daftar rekomendasi bagi pemerintah dan otoritas kesehatan
terhadap pengukuran yang tepat yang dibutuhkan untuk
melawan resistensi antimikroba. Statement juga
mendeklarasikan bahwa farmasis siap berkolaborasi secara aktif
dengan dokter, otoritas regulasi, dan professional kesehatan
lainnya dalam upaya melawan resistensi antimokroba dan
berpartisipasi dalam kampanye informasi masyarakat.
Tantangan-tantangan ini yakni akses terhadap obat
dengan kualitas terjamin dan penggunaan obat yang rasional,
menggarisbawahi pentingnya kebutuhan reformasi sektor
kesehatan global. Dengan latar belakang yang berkelanjutan
dan perubahan mendasar dalam sistem penyediaan layanan
kesehatan, pergeseran paradigma dalam praktek farmasi sedang
berlangsung. Intervensi kesehatan masyarakat, asuhan
kefarmasian, penggunaan obat yang rasional, dan manajemen
suplai obat yang efektif merupakan komponen kunci atas
keteraksesan, keberlanjutan, sistem perawatan kesehatan yang
terjangkau dan merata yang menjamin efektivitas,
keselamatan dan kualitas obat-obatan. Jelaslah bahwa apoteker
memegang peranan yang penting dalam proses reformasi sektor
kesehatan. Untuk melakukan hal itu, peran apoteker perlu
didefinisi dan ditata ulang. Apoteker memiliki potensi untuk
meningkatkan outcome terapi dan kualitas hidup pasien dalam
sumber daya yang tersedia dan harus memposisikan dirinya di
garis depan sistem pelayanan kesehatan. Gerakan kearah
asuhan kefarmasian merupakan faktor kritis dalam proses ini.
Sementara upaya-upaya untuk mengkomunikasikan informasi
yang benar kepada pasien sama pentingnya dengan
menyediakan obat itu sendiri, apoteker juga memiliki peranan
335
yang vital dalam perawatan pasien melalui manajemen terapi
obat dan penggunaan bersama obat-obat non resep atau terapi
alternatif.
Lebih dari 40 tahun yang lalu, peran apoteker telah
berubah dari peracik dan penyedia obat menjadi manajer terapi
obat (drug therapy manager). Ini mencakup tanggung jawab
untuk menjamin bahwa dimanapun obat disediakan dan
digunakan, produk berkualitas dipilih, diperoleh, disimpan,
didistribusikan, dibagikan dan diberikan sehingga obat tersebut
berkonstribusi terhadap kesehatan pasien, bukan
membahayakannya. Ruang lingkup praktek kefarmasian saat ini
termasuk pelayanan berorientasi pasien dengan segala fungsi
kognitif konseling, menyediakan informasi obat dan memantau
terapi obat, sebagaimana halnya aspek teknis pelayanan
kefarmasian yang termasuk manajemen pengadaan obat. Ini
merupakan peranan tambahan dalam mengatur terapi obat
bahwa apoteker sekarang dapat memberikan konstribusi yang
vital terhadap perawatan pasien.
8.4 Farmasi Klinik
Definisi Farmasi Klinik adalah disiplin ilmu kesehatan
(Ilmu farmasi) dimana apoteker memberikan perawatan pasien
yang mengoptimalkan terapi obat dan meningkatkan kesehatan,
penyembuhan, dan pencegahan penyakit. Praktek Farmasi Klinik
merangkul filosofi pelayanan farmasi yang berientasi pada
pelayanan dengan pengetahuan spesialisasi terapi, pengalaman,
dan pengambilan keputusan yang bertujuan untuk kesembuhan
pasien yang optimal. Sebagai suatu disiplin, farmasi klinik juga
memiliki kewajiban untuk memberikan kontribusi kepada
336
generasi berikutnya untuk peningkatan pelayanan kesehatan
dan peningkatan kualitas hidup. Sedangkan Farmasi Klinik
menurut Clinical Resources and Audit Group Tahun 1996 yaitu
sebuah disiplin ilmu yang berkaitan dengan penerapan keahlian
farmasi untuk membantu memaksimalkan khasiat obat dan
meminimalkan toksisitas obat pada pasien. Secara umum
Farmasi klinik didefinisikan sebagai suatu keahlian khas ilmu
kesehatan yang bertanggung jawab untuk memastikan
penggunaan obat yang aman dan sesuai dengan kebutuhan
pasien, melalui penerapan pengethuan dan berbagai fungsi
terspesialisasi dalam perawatan pasien yang memerlukan
pendidikan khusus dan atau pelatihan terstruktur. Oleh karena
itu, farmasi klinik terbentuk yang bertujuan untuk
memaksimalkan efek terapeutik, meminimalkan
resiko/toksisistas obat, meminimalkan biaya, dan menghormati
pilihan pasien.
Kegiatan farmasi klinik tidak hanya memberikan saran
professional pada saat peresepan saja namun kegiatan farmasi
klinik mencakup kegiatan sebelum peresepan, saat peresepan,
dan setelah peresepan. Kegiatan farmasi klinik sebelum
peresepan meliputi setiap kegiatan yang mempengaruhi
kebijakan peresepan, seperti penyusunan formularium rumah
sakit, mendukung informasi dalam menetapkan kebijakan
peresepan rumah sakit dan evaluasi obat. Kegiatan farmasi klinik
selama peresepan contohnya adalah memberikan saran
professional kepada dokter atau tenaga kesehatan lainnya
terkait dengan terapi pada saat peresepan sedang dilakukan.
Sedangkan kegiatan farmasi klinik sesudah peresepan yaitu
setiap kegiatan yang berfokus pada pengoreksian dan
337
penyempurnaan peresepan, seperti monitoring DRPs,
monitoring efek obat, outcome research dan Drug Use
Evaluation.
Farmasi klinik berperan dalam mengidentifikasi adanya
Drug Related Problems (DRPs). DRPs merupakan suatu kejadian
atau situasi yang menyangkut terapi obat, yang mempengaruhi
secara potensial atau aktual hasil akhir pasien. DRPs
diklasifikasikan menurut Koda-Kimble (2005), sebagai berikut:
1. Kebutuhan akan obat (drug needed) meliputi:
a. obat diindikasikan tetapi tidak diresepkan,
b. problem medis sudah jelas tetapi tidak diterapi,
c. obat yang diresepkan benar, tetapi tidak
digunakan. Hal ini bisa disebabkan karena; tidak
ada problem medis yang jelas untuk penggunaan
suatu obat; obat tidak sesuai dengan problem
medis yang ada; problem medis dapat sembuh
sendiri tanpa diberi obat duplikasi terapi; obat
mahal, tetapi ada alternatif yang lebih murah; obat
tidak ada diformularium,
d. dosis terlalu tinggi,
e. penggunaan yang berlebihan oleh pasien,
f. dosis terlalu rendah,
g. penggunaan yang kurang oleh pasien, dan
h. ketidaktepatan interval dosis
2. Ketidaktepatan obat (wrong/inappropriate drug)
3. Ketidaktepatan dosis (wrong/inappropriate dose)
4. Efek buruk obat (adverse drug reaction), meliputi: Efek
samping, alergi, obat memicu kerusakan tubuh, obat
memicu perubahan nilai pemeriksaan laboratorium,
338
interaksi antara obat dengan obat/herbal, interaksi obat
dengan makanan, dan interaksi dengan pengujian
laboratorium.
5. Interaksi obat (drug interaction)
Secara garis besar kegiatan farmasi klinik meliputi
pemantauan dan evaluasi penggunaan obat, pelayanan farmasi
di bangsal, pelayanan informasi obat, penelitian dan
pengembangan. Kegiatan farmasi klinik memiliki karakteristik,
antara lain : berorientsi kepada pasien; terlibat langsung dalam
perawatan pasien; bersifat pasif, dengan melakukan intervensi
setelah pengobatan dimulai atau memberikan informasi jika
diperlukan; bersifat aktif, dengan memberikan masukan kepada
dokter atau tenaga kesehatan lainnya terkait dengan
pengobatan pasien; bertanggung jawab terhadap setiap saran
yang diberikan; menjadi mitra sejajar dengan profesi kesehatan
lainnya (dokter, perawat dan tenga kesehatan lainnya).
Keterampilan dalam melakukan praktek farmasi klinik
memerlukan pemahaman keilmuan, seperti:
1. Konsep-konsep penyakit (anatomi dan fisiologi manusia,
patofisiologi, patogenesis)
2. Penatalaksanaan Penyakit (farmakologi, farmakoterapi
dan product knowledge)
3. Teknik komunikasi dan konseling
4. Pemahaman Evidence Based Medicine (EBM) dan
kemampuan melakukan penelusurannya
5. Keilmuan farmasi praktis lainnya.
339
8.5 Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical care)
Konsep Asuhan Kefarmasian (pharmaceutical care)
dalam arti modern diperkenalkan pada tahun 1980: Asuhan
Kefarmasian meliputi penentuan kebutuhan obat untuk pasien
atau individu tertentu dan penyediaan tidak hanya obat yang
diperlukan tetapi juga layanan yang diperlukan (sebelum,
selama atau setelah pengobatan) untuk menjamin terapi
optimal yang aman dan efektif. Ini termasuk mekanisme umpan
balik sebagai sarana memfasilitasi kontinuitas perawatan oleh
mereka yang menyediakannya.
Secara sederhananya, asuhan kefarmasian merupakan
sebuah bentuk optimalisasi peran apoteker dalam melakukan
terapi obat pada pasien guna meningkatkan derajat kesehatan
pasien itu sendiri. Hal ini berarti mengubah bentuk pekerjaan
apoteker yang semula hanya berada di belakang layar menjadi
sebuah profesi yang langsung bersentuhan dengan pasien.
Perubahan ini juga berarti bahwa pekerjaan apoteker
tidak lagi hanya meracik dan menyerahkan obat saja kepada
pasien, tetapi bertanggung jawab juga terhadap terapi yang
diberikan kepada pasien. Hal ini berarti pekerjaan kefarmasian
di era patient oriented ini jika terlaksana dalam sebuah sistem
kesehatan nasional maka dipastikan akan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat Indonesia. Karena kompetensi apoteker
menjamin keselamatan pasien dalam hal penggunaan obat.
8.6 Perbedaan dan Persamaan antara Farmasi Klinik dan
Asuhan Kefarmasian
Perbandingan menunjukkan bahwa Farmasi Klinik dan
Asuhan Kefarmasian yang kompatibel, merupakan ide-ide yang
340
saling melengkapi. Kedua ide tersebut memiliki tujuan yang
sama. Namun dinyatakan dalam kerangka bahasa yang berbeda
dan menekankan pada aspek praktek yang berbeda pula.
Farmasi Klinik menggambarkan praktek kefarmasian yang akan
memberikan kontribusi dalam sistem asuhan kefarmasian yang
lebih besar untuk mencapai farmakoterapi dan tujuan terapi
untuk kualitas hidup. Meskipun ide asuhan kefarmasian
dikembangkan terutama oleh apoteker, akan tetapi, asuhan
kefarmasian bukan tentang apoteker. Secara fundamental ide
tentang sistem untuk penyampaian pada pelayanan pasien. Hal
ini membutuhkan kerjasama dengan berbagai rumah sakit,
apoteker, dokter, perawat, dan profesional lainnya. Farmasi
klinik adalah komponen penting dalam pemberian asuhan
kefarmasian kepada pasien. Memahami farmasi klinik dapat
meningkatkan kualitas teknis asuhan kefarmasian. Memahami
asuhan kefarmasian dapat memperkaya dan memperluas
filosofi dan praktek farmasi klinik. Berdasarkan definisi tersebut,
farmasi klinik jelas merupakan proses yang dilakukan oleh
apoteker tanpa mengacu khusus pada hasil. Sebaliknya, asuhan
kefarmasian sangat berorientasi terhadap hasil (kesembuhan
pasien) dengan menyebutkan umpan balik, yang merupakan
kontrol informasi tentang hasil.
Tidak satupun definisi asuhan kefarmasian secara
eksplisit menyebutkan nama profesi tertentu untuk memberikan
pelayanan/perawatan pasien. Akan tetapi, dengan
menyebutkan pengertian asuhan kefarmasian yaitu layanan
sebelum, selama atau setelah pengobatan memerlukan
kolaborasi dari masing-masing profesi kesehatan. Apoteker tidak
dapat memberikan terapi obat tanpa kerjasama dari penulis
341
resep dan pasien. Asuhan kefarmasian sering dibahas sebagai
suatu sistem, dan tak satupun dari defenisi farmasi klinik
menyebutkan sistem.
Secara filosofis konsep antara farmasi klinik dan asuhan
kefarmasian juga berbeda. Farmasi klinik merupakan salah satu
kelompok bidang ilmu farmasi atau ilmu kesehatan dan
merupakan disiplin akademis. Tak satupun dari defenisi farmasi
klinik secara khusus menekankan nilai atau tanggungjawab.
Sedangkan definisi asuhan kefarmasian menekankan pada nilai
atau tanggungjawab, tetapi tidak disebutkan sebagai sebuah
disiplin akademis. Terbukti, dasar farmasi klinik lebih diperdalam
pada ilmu daripada etika, sedangkan dasar asuhan kefarmasian
lebih diperdalam pada etika daripada ilmu.
8.7 Paradigma yang terjadi di Masyarakat
Perubahan paradigma ini bukan berarti tidak
menimbulkan permasalahan. Ada hal-hal yang menjadi
penyebab sulitnya menerapkan konsep asuhan kefarmasian
(pharmaceutical care) dalam dunia kefarmasian Indonesia, di
antaranya adalah ketidaksiapan kompetensi apoteker untuk
langsung bersentuhan dengan masyarakat.
Hal ini disebabkan oleh kurikulum perguruan tinggi
farmasi yang belum mendukung ke arah ini. Selama ini,
kurikulum pendidikan tinggi farmasi kebanyakan mengarah
kepada kurikulum industri ataupun pengembangan bahan alam.
Namun di era asuhan kefarmasian saat ini, kurikulum perguruan
tinggi farmasi yang ingin mengabdi di ranah pelayanan dituntut
berubah ke arah klinis. Perubahan ini sudah dimulai secara
perlahan, namun memang masih jauh dari kesempurnaan.
342
Tetapi setidaknya titik terang menuju kejayaan kefarmasian
sudah terlihat dari hari ini.
Karena untuk menciptakan sebuah derajat kesehatan
masyarakat Indonesia, dibutuhkan sebuah sistem kesehatan
nasional yang melibatkan peran peran multi disiplin ilmu:
dokter, apoteker, perawat, asisten apoteker, ahli gizi dan
sebagainya. Kesemua disiplin ini bekerja secara interpersonal,
artinya saling ada koordinasi yang mesti terjalin dalam sebuah
pelayanan. Contohnya, komunikasi antara apoteker dengan
dokter, apoteker dengan perawat, dokter dengan ahli gizi dan
sebagainya.
8.8 Referensi
1. Hepler CD. 2004. Clinical Pharmacy, Pharmaceutical
Care, and the Quality of Drug Therapy.
Pharmacotherapy. Volume 24 (11). Hal. 1491-1498.
2. Miller RR. 1981. History of Clinical Pharmacy and Clinical
Pharmacology. J Clin Pharmacol. Volume 21. Hal: 195 –
197.
3. Sorensen EW, Mount JK, & Christensen ST. 2003. The
Concept of Social Pharmacy. The chronic*ill. Issue 7. Hal
8-11
4. Fathelrahman AI, Ibrahim MIM, & Wertheimer AI. 2016.
Pharmacy Practice in Developing Countries.
Achievements and Challenges. Penerbit Academic Press
Elsevier Inc. Amsterdam. Boston. Heidelberg. London.
New York. Oxford. Paris. San Diego. San Francisco.
Singapore. Sydney. Tokyo.
343
5. Departemen Kesehatan RI. 2004. Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Tentang Standar
Pelayanan Farmasi Di Rumah Sakit Dan Apotek. Jakarta.
6. Sudjawadi R. 2001. Farmasi, Farmasis, dan Farmasi
Sosial. Majalah Farmasi Indonesia. Volume 12. Hal. 128–
Nomor 3. 134.
7. Dhanutirto H. 2008. Praktek Farmasi yang baik (Good
Pharmacy Pratice). Majalah Medisina, Edisi 5. Periode
Agustus-Oktober. Halaman 4.
8. Bakar L. 2008. Kemitraan Apoteker dan Dokter dalam
Terapi Obat di Rumah Sakit. Majalah Medisina. Edisi 12.
Periode Agustus-Oktober. Halaman 14-18
9. Hermansyah A, Sukorini AI, Setiawan CD, & Priyandani Y.
2012. The conflicts between professional and non
professional work of community pharmacists in
Indonesia. Pharmacy Practice. Volume 10(1). Hal. 33-39.
10. Kelly WN. 2012. Pharmacy: What It Is and How It Works.
Third Edition. CRC Taylor & Francis Group Press. Boca
Raton, London, New York
11. Distelzweig P, Goldberg B, & Ragland ER. 2016. History,
Phylosophy, and Theory of Life Sciences: Early Modern
Medicine and Natural Philosophy. Springer. Dordrecht.
Heidelberg. New York. London.
12. Maier B, & Shibles WA. 2011. The Philosophy and
Practice of Medicine and Bioethics: A Naturalistic –
Humanistic Approach. Springer. Dordrecht. Heidelberg.
New York. London.
344
345
BAB 9 PELUANG DAN TANTANGAN
FARMASI MASA DEPAN DI INDONESIA
9.1 Pengantar
Keberadaan apoteker Indonesia saat ini masih berada
pada posisi persimpangan jalan antara drug-oriented menuju
patien oriented. Kondisi tersebut belakangan ini marak
dibicarakan di kalangan sejawat apoteker dan profesi serta
bidang lainnya. Dikalangan apoteker banyak yang
mendiskusikan kondisi apoteker saat ini baik dalam bentuk
diskusi maupun melalui media sosial seperti facebook, baik
dalam bentuk keluhan, umpatan, dan pendapat para sejawat
tentang praktek profesi apoteker di tanah air. Banyak sejawat
yang merasa profesinya kurang dihargai. Contoh kongkrit adalah
sejawat apoteker sebagai Apoteker Penanggunjawab Apotek
(APA), masih banyak sejawat apoteker digaji lebih kecil dari
UMR. Ada pula komentar yang mengaitkan tidak terteranya
kalimat mengenai peran apoteker dalam peraturan pemerintah
yang berkaitan dengan implementasi BPJS Kesehatan. Kondisi-
kondisi seperti ini diharapkan ada perubahan menuju
pengembangan dan penguatan profesi farmasi di Indonesia
yang menjadi peluang dan tantangan farmasi pada masa yang
akan datang.
346
9.2 Kondisi dan Peran Apoteker dari Jaman Kemerdekaan
Hinga Saat Ini
Berdasarkan sejarah perkembangan farmasi di Indonesia
dari jaman penjajahan hingga saat ini, tercabutnya sebagian
peran apoteker dari apotek komunitas terjadi sejak
diterbitkannya PP no. 26 tahun 1965 Tentang Apotek oleh
presiden Sukarno. Menurut Peraturan Pemerintah tersebut, izin
apotek hanya diberikan kepada lembaga pemerintah tertentu,
perusahaan negara, perusahaan swasta dan koperasi. Peraturan
pemerintah itu menghapuskan hak apoteker sebagai pemegang
izin (sebelumnya, dari zaman penjajahan Belanda hingga 1965
hanya dikenal apotek yang didirikan apoteker). Pada saat PP
tersebut diumumkan, tidak ada protes dari apoteker, karena
saat itu nuansa politik dan jargon Ekonomi Terpimpin tengah
menggiring pendapat umum yang “mengharamkan” suatu usaha
yang menonjolkan kepentingan perorangan dalam masyarakat.
Faktor lain, Ketua Ikatan Apoteker Indonesia (masih bernama
ISFI) saat itu, adalah Purnomo Singgih, yang merupakan anggota
HSI, Himpunan Sarjana Indonesia (onderbouw PKI), pendukung
berat presiden Sukarno.
Pada Kongres Ikatan Sarjana Farmasi (ISFI sekarang IAI)
di awal era orde baru tahun 1967, para apoteker mulai
mencetuskan perubahan PP 26 tahun 1965. Mengingat kendali
apotek-apotek komunitas telah terlalu banyak bergeser ke
tangan pengusaha dimana para apoteker hanya sebagai
penanggungjawab dan hal ini diatur dalam PP tersebut, dan
kondisi tersebut terlanjut berkembang dan menjamur
mengingat tingginya keuntungan usaha apotek pada saat itu. Di
samping itu, pertumbuhan apotek yang tinggi tidak diikuti
347
jumlah tenaga apoteker yang memadai. Untuk mengatasinya,
banyak apotek didirikan dengan menggunakan tenaga apoteker
pegawai negeri dan ABRI. Karena bukan pekerjaan utama,
tingkat kehadiran apoteker-apoteker tersebut di apotek tidak
bisa penuh waktu, sementara pengusaha tidak memusingkan
kehadiran apoteker karena pekerjaan di apotek dapat diambil
alih oleh tenaga non apoteker. Apoteker yang hanya datang
beberapa jam seminggu ke apotek mulai bermunculan. Malah
kalangan apoteker sendiri ada yang bangga karena menerima
gaji yang lumayan besar dari apotek walau datang hanya
beberapa kali dalam sebulan. Namun banyak juga apoteker yang
kecewa karena kewenangan mereka di apotek sudah dicaplok
oleh pemodal.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor
51 tahun 1980 yang bertujuan untuk mereposisi peran apoteker
yang pada dasarnya ingin mengembalikan apotek sebagai
tempat pengabdian profesi apoteker. Peraturan Pemerintah ini
dikeluarkan berkat upaya yang dilakukan oleh Pengurus Ikatan
Sarjana Farmasi Indonesia dibawah pimpinan Sukarjo. Namun,
tantangan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 25 oleh para
pengusaha apotek saat itu sangat luar biasa. Akhirnya terjadi
pelemahan Peraturan Pemerintah Nomor 25, dimana izin
apotek selain kepada apoteker juga dapat diberikan kepada
apoteker yang bekerjasama dengan penyedia sarana apotek
(PSA). Memang, pada saat-saat awal penerapan PP 25 tahun
1981, terjadi “dampak positif”: peningkatan honor untuk
sebagian apoteker komunitas. Sayangnya hal ini tak diikuti
kesadaran keterlibatan apoteker di apotek dalam memberikan
pelayanan. Sebagian apoteker di apotek komunitas swasta tetap
348
jarang datang ke apotek. Mereka masih jarang datang ke
apotek. Sangat disayangkan, momentum terwujudnya praktek
apoteker sesuai fungsi dan perannya dengan bantuan PP 51
gagal dimanfaatkan apoteker Indonesia. Tahun demi tahun
berlalu, peran apoteker di apotek komunitas semakin
berkurang, beriringan dengan merosotnya gaji apoteker
penanggung jawab. Pikiran-pikiran untuk mereposisi peran dan
fungsi apoteker merebak kembali.
Di tahun 2008 ISFI yang saat itu dipimpin Haryanto
Dhanutirto mencanangkan program TATAP (Tiada Apoteker
Tiada Pelayanan). Suara-suara untuk merevitalisasi apoteker
Indonesia mulai disemai kembali. Di penghujung 2009,
muncullah PP 51 tentang pekerjaan Kefarmasian yang pada
hakekatnya bertujuan mengembalikan fungsi pelayanan farmasi,
yang disusul Permenkes 889 tahun 2011. Dengan PP tersebut
tidak dimungkinkan lagi pekerjaan kefarmasian dilakukan oleh
pihak-pihak non farmasi yang tidak kompeten. Maklumlah, pada
PP No. 51 tersebut terdapat kalimat pamungkas: “Pekerjaan
Kefarmasian harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu”, di samping
kalimat fasal 21 ayat 2 yang berbunyi: “Penyerahan obat
berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh apoteker”. Dengan
demikian apabila PP ini mulai efektif diberlakukan, “terlarang”
bagi apotek yang apotekernya tidak ada di tempat melayani
resep dokter. Dengan kata lain, selama apotek buka atau
beroperasi, apoteker harus ada di tempat. Untuk mengatasi
kondisi apabila apoteker berhalangan, apoteker pemilik/
pengelola apotek dapat mempekerjakan apoteker pengganti
349
yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing
apotek.
PP 51 dan Permenkes 889 yang terbit sesungguhnya
merupakan alat berharga bagi apoteker Indonesia untuk
mereposisi peran dan fungsinya agar setara dengan profesi
apoteker di negara maju. Penataan kembali dunia apoteker
Indonesia telah dilakukan dengan registrasi kembali lewat STRA
yang disusul SIPA/ SIKA. Momentum ini juga dimanfaatkan oleh
Ikatan Apoteker Indonesia untuk menata organisasi lewat
konsolidasi yang lebih intensif dengan pengurus cabang dan
anggota. Para apoteker yang setelah sudah mati gaya dalam
menambah ilmu, dipaksa untuk belajar kembali lewat SKPA, dan
sarana pendidikan berkelanjutan lainnya.
Perilaku jarang ke apotek yang dianut sebagian apoteker
komunitas di Indonesia bukanlah hal yang perlu ditiru.
Sayangnya, datang ke apotek 1 jam sehari atau seminggu sekali
atau sebulan sekali adalah praktek yang masih banyak
diterapkan apoteker Indonesia. Walau sudah ada banyak
kemajuan dalam keberadaan apoteker di apotek di beberapa
daerah, namun di daerah lain masih gampang dijumpai apotek
yang beroperasi tanpa apoteker. Selama budaya apoteker jarang
ke apotek masih tinggi persentasenya, peran dan fungsi
apoteker yang ideal sulit diwujudkan. Sayangnya, apoteker
hemat waktu itu juga terjadi pada apotek yang dimiliki apoteker.
Karena memiliki kesibukan lain, apotek tersebut kerap
beroperasi tanpa diawasi apoteker. Selain soal kehadiran
apoteker di apotek, masih banyak faktor lain yang harus
dikoreksi dan diperbaiki. Kualitas apoteker, kesejahteraan
apoteker dan perubahan paradigma dalam melayani adalah hal-
350
hal yang mesti diatasi. Berbagai upaya masif agaknya perlu
dilakukan organisasi dan regulator terkait agar upaya
mengembalikan peran dan fungsi apoteker di Indonesia dapat
wujud secara paripurna. Beberapa upaya yang telah dilakukan
untuk melabuhkan profesi apoteker sehingga tak kalah dihargai
seperti apoteker di negara maju perlu diapresiasi.
9.3 Arah Perkembangan Pelayanan Kefarmasian Masa
Depan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan, yang dimaksud kesehatan adalah keadaan
sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan
setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Berbagai upaya untuk mewujudkan hal tersebut terutama
pembangunan kesehatan adalah pembangunan nasional yang
diarahkan tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan
untuk hidup sehat bagia setiap warga negara agar tercapainya
derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Tujuan akhir dari
arah pembangunan di bidang kesehatan adalah mudahnya akses
masyarakat terhadap layanan kesehatan yang berkualitas,
termasuk didalamnya pelayanan kefarmasian. Tujuan
pembangunan kesehatan dibidang obat dan perbekalan
kesehatan adalah tersedianya obat dan perbekalan kesehatan
yang aman, bermutu, dan bermanfaat/khasiat, serta terjangkau
oleh masyarakat untuk menjamin terselenggaranya
pembangunan kesehatan sehingga masyarakat mempunyai
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Arah pengembangan
pelayanan kefarmasian dipengaruhi oleh berbagai
perkembangan dalam berbagai bidang yang didukung oleh
351
kebijakan pemerintah yang berdasarkan perkembangan
dibawah ini:
9.3.1 Perkembangan IPTEK, Sarana, dan Pelayanan
Kefarmasian
1. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Seperti kita ketahui bahwa perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi sangat berpengaruh
terhadap perkembangan ilmu farmasi terutama dalam
bidang pendidikan farmasi. Substansi yang berkembang
pada ilmu farmasi antara lain: Bioteknologi Farmasi,
Farmakogenomik, Combinatorial Chemistry, Screening
Technologies, Bioinformatik, Farmakoepidemologi,
Farmakoekonomi, Social and administrative Pharmacy,
Pharmaceutical Health Policy & Management, dan lain-
lain. Selain itu, kedepannya perkembangan spesialisasi
profesi farmasi mengingat kompleksisitas penyakit yang
semakin meningkat sehingga diperlukan pengembangan
profesi kearah spesialisasi seperti spesialisasi Onkologi,
Psikiatrik, Geriatrik, Farmakoterapi khusus (misalnya
Diabetes mellitus, Hipertensi, Gagal Ginjal, HIV/AIDS,
dan lain-lain), Nutrisi, Nuklir, Fitoterapi (Herbal atau
Tradisional), serta spesialisasi lainnya yang terus
berkembang sesuai kebutuhan yang bertujuan untuk
peningkatan kualitas layanan.
2. Puskesmas
Jumlah Puskesmas di Indonesia sampai dengan
Desember 2015 sebanyak 9.754 unit, yang terdiri dari
3.396 unit Puskesmas rawat inap dan 6.358 unit
352
Puskesmas non rawat inap. Jumlah ini meningkat
dibandingkan tahun 2014 yaitu sebanyak 9.731 unit,
dengan jumlah Puskesmas rawat inap sebanyak 3.378
unit dan Puskesmas non rawat inap sebanyak 6.353 unit.
Sejak tahun 2011 jumlah Puskesmas semakin
meningkat, yaitu sebanyak 9.321 unit menjadi 9.754 unit
pada tahun 2015. Namun demikian, peningkatan jumlah
Puskesmas tidak secara langsung menggambarkan
pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan dasar di
suatu wilayah. Pemenuhan kebutuhan pelayanan
kesehatan dasar dapat dilihat secara umum oleh
indikator rasio Puskesmas terhadap 30.000 penduduk.
Rasio Puskesmas terhadap 30.000 penduduk cenderung
meningkat pada tahun 2011 sampai dengan tahun 2013,
namun menurun pada tahun 2014 sebesar 1,16 dan
tahun 2015 sebesar 1,15. Hal ini disebabkan laju
pertambahan jumlah Puskesmas lebih rendah
dibandingkan laju pertumbuhan jumlah penduduk.
3. Rumah Sakit
Pada tahun 2015, rumah sakit di Indonesia
sebanyak 2.488 RS yang terbagi menjadi Rumah Sakit
Publik dan Rumah Sakit Privat. Rumah sakit publik di
Indonesia dikelola oleh Kementerian Kesehatan,
Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota,
TNI/POLRI, kementerian lain serta swasta non profit
(organisasi keagamaan dan organisasi sosial). Jumlah
rumah sakit publik di Indonesia sampai dengan tahun
2015 sebanyak 1.593 RS, yang terdiri dari 1.341 Rumah
Sakit Umum (RSU) dan 252 Rumah Sakit Khusus (RSK).
353
Berbeda dengan rumah sakit publik, rumah sakit privat
dikelola oleh BUMN dan swasta (perorangan,
perusahaan dan swasta lainnya). Pada tahun 2015
terdapat 895 rumah sakit privat di Indonesia, yang
terdiri dari 608 RSU dan 287 RSK. Jumlah rumah sakit
publik maupun privat menunjukkan peningkatan pada
kurun waktu 2013 sampai dengan 2014, dan sedikit
mengalami penurunan pada tahun 2015 sesuai yang
ditampilkan pada Tabel 9.1.
Tabel 9.1 Perkembangan Jumlah Rumah Sakit Menurut Kepemilikian di Indonesia
No. Pengelola/Kepemilikan 2013 2014 2015
1 Publik
Kemkes dan Pemda 576 687 713 TNI / POLRI 159 169 167
Kementerian Lain 3 7 8
Swasta Non Profit 724 736 705
Jumlah RS Publik 1.562 1.599 1.593
2 Privat
BUMN 67 67 62
Swasta 599 740 833
Jumlah RS Privat 666 807 895
Total Rumah Sakit 2.228 2.406 2.488
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit mengelompokkan rumah sakit berdasarkan
jenis pelayanan yang diberikan menjadi rumah sakit
umum dan rumah sakit khusus. Rumah sakit umum
adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan
kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit.
354
Adapun rumah sakit khusus adalah rumah sakit yang
memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau
satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu,
golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan
lainnya.
4. Sarana Produksi dan Distribusi Bidang Kefarmasian dan
Alat Kesehatan
Sarana produksi dan distribusi di Indonesia masih
menunjukkan adanya ketimpangan dalam hal
persebaran jumlah. Sebagian besar sarana produksi
maupun distribusi berlokasi di Pulau Sumatera dan Jawa
sebesar 94,7% sarana produksi dan 77,0% sarana
distribusi. Ketersediaan ini terkait dengan sumber daya
yang dimiliki dan kebutuhan pada wilayah setempat.
Kondisi ini dapat dijadikan sebagai salah satu acuan
dalam kebijakan untuk mengembangkan jumlah sarana
produksi dan distribusi kefarmasian dan alat kesehatan
di wilayah Indonesia lainnya, sehingga terjadi
pemerataan jumlah sarana tersebut di seluruh
Indonesia. Selain itu, hal ini bertujuan untuk membuka
akses keterjangkauan masyarakat terhadap sarana
kesehatan di bidang kefarmasian dan alat kesehatan.
Jumlah sarana produksi pada tahun 2015 sebesar 2.166
sarana. Provinsi dengan jumlah sarana produksi
terbanyak adalah Jawa Barat, yaitu sebesar 504 sarana.
Hal ini dapat disebabkan karena Jawa Barat memiliki
populasi yang besar dan wilayah yang luas.
355
Gambar 9.1 Jumlah Sarana Produksi Kefarmasian dan Alat Kesehatan di Indonesia tahun 2015 berdasarkan data Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kemenkes RI)
Sarana distribusi kefarmasian dan alat kesehatan
yang dipantau jumlahnya oleh Direktorat Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan antara lain Pedagang
Besar Farmasi (PBF), Apotek, Toko Obat dan Penyalur
Alat Kesehatan (PAK). Jumlah sarana distribusi
kefarmasian dan alat kesehatan pada tahun 2015
sebesar 38.267 sarana. Jumlah tersebut meningkat
dibandingkan tahun 2014 yang sebesar 35.566 sarana.
Gambar berikut menyajikan jumlah sarana distribusi
kefarmasian pada tahun 2015.
0
500
1,000
1,500
Jum
lah
Sarana Produksi
356
Gambar 9.2 Jumlah Sarana Distribusi Kefarmasian dan Alat Kesehatan di Indonesia Tahun 2014 berdasarkan data Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kemenkes RI)
5. Pelayanan Kefarmasian
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51
tahun 2009, menyatakan bahwa pelayanan kefarmasian
adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan
farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu pasien. Dengan lingkup
pelayanan/pekerjaan kefarmasian secara kesuruhan
dimulai dari pencarian bahan obat, obat, dan formulasi,
produksi, distribusi, hingga digunakan oleh masyarakat
yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien atau masyarakat.
Menurut Bahfen (2006) pelayanan kefarmasian
dalam hal memberikan perlindungan terhadap pasien
berfungsi sebagai:
010,00020,00030,000
Jum
lah
Sarana Distribusi
357
1) Menyediakan informasi tentang obat-obatan
kepada tenaga kesehatan lainnya, tujuan yang ingin
dicapai mencakup mengidentifikasikan hasil
pengobatan dan tujuan akhir pengobatan, agar
pengobatan dapat diterima untuk terapi, agar
diterapkan penggunaan secara rasional, memantau
efek samping obat dan menentukan metode
penggunaan obat.
2) Mendapatkan rekam medis untuk digunakan
pemilihan obat yang tepat.
3) Memantau penggunaan obat apakah efektif, tidak
efektif, reaksi yang berlawanan, keracunan dan jika
perlu memberikan saran untuk memodifikasi
pengobatan.
4) Menyediakan bimbingan dan konseling dalam
rangka pendidikan kepada pasien.
5) Menyediakan dan memelihara serta memfasilitasi
pengujian pengobatan bagi pasien penyakit kronis.
6) Berpartisipasi dalam pengelolaan obat-obatan
untuk pelayanan gawat darurat.
7) Pembinaan pelayanan informasi dan pendidikan
bagi masyarakat.
8) Partisipasi dalam penilaian penggunaan obat dan
audit kesehatan.
9) Menyediakan pendidikan mengenai obat-obatan
untuk tenaga kesehatan.
358
Gambar 9.3 Akar dan Faktor manajemen penyediaan obat berdasarkan Management Sciences for Health tahun 2012
Dalam melaksanakan pelayanan/pekerjaan
kefarmasian tentu selalu berkaitan dengan komoditi
terutama obat-obatan, obat tradisional/erbal,
Alkes/PKRT, dan lain-lain yang dimulai dari pencarian
bahan baku, proses produksi, pengadaan, produksi,
distribusi, dan pelayanan kefarmasian (pharmaceutical
care/service). Secara ideal pelayanan/pekerjaan
359
kefarmasian untuk mencapai pelayanan kefarmasian
yang optimal harus melibatkan berbagai aspek, regulasi,
dan konsumen sendiri, keberhasilan pelayanan
kefarmasian tergantung pada keseimbangan dan
harmonisasi kerjasama dengan berbagai aspek dan
bidang sebagaimana digambarkan pada Gambar 9.3.
Pelayanan kefarmasian masa yang akan datang
diharapkan dapat: (1) berpusat pada pasien/klien
(terkordinasi dan terintegrasi); (2) dilayani oleh tim
(interperofesional); (3) pelayanan berbasis evidence-
based (Product & Care); (4) lebih aman, efisien, dan
efektif; (4) menerapkan peningkatan mutu
berkelanjutan; dan (5) pelayanan kefarmasian yang
didukung informasi dengan IT.
9.3.2 Penerapan SJSN
Sistem jaminan sosial nasional (SJSN) merupakan suatu
sistem pelayanan sosial yang diberikan oleh pemerintah kepada
masyarakat melalui perlindungan akibat dari kecelakaan kerja,
sakit, kehamilan, masa tua, dan lain-lain. SJSN merupakan
amanat UUD 1945 yang mewajibkan negara mengembangkan
sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu, sesuai dengan
martabat kemanusiaan. Program ini diselenggarakan oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang merupakan
penyatuan dari beberapa BUMN yang ditunjuk, yaitu, PT.
Jamsostek, PT. Askes, PT. Taspen, dan PT. Asabri. Dalam
penyelenggaraannya, BPJS terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan.
360
Apoteker memegang peranan penting dalam era Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN), karena Apoteker menjadi satu-
satunya tenaga kesehatan yang memiliki kewenangan mutlak
untuk melaksanakan praktik kefarmasian sesuai peraturan yang
berlaku. Pelayanan kefarmasian oleh Apoteker dalam era SJSN
tidak lagi berhubungan dengan harga obat sehingga tidak ada
lagi transaksi jual beli obat. Karena obat telah menjadi domain
antara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dengan
pabrik obat. Sebagaimana dengan dokter, apoteker harus
standby untuk memberikan layanan kefarmasian kepada pasien
baik di apotek maupun sarana kesehatan lainnya. Pada setiap
sarana pelayanan kefarmasian sudah harus diberlakukan filosofi
no Pharmacist no service.
Dalam sistem pelayanan kefarmasian terutama di
fasilitas pelayanan kesehatan (terutama terkait dengan
pelayanan kefarmasian) seperti apotek, instalasi farmasi rumah
sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama.
Apoteker pada fasilitas kesehatan tingkat pertama memiliki
peran penting yaitu memastikan ketersediaan, keterjangkauan,
dan penggunaan obat yang rasional, yang dapat ditempuh
melalui praktek pelayanan kefarmasian.
Arah pengembangan tenaga kesehatan (termasuk
Apoteker) harus sejalan dengan arah pengembangan upaya
kesehatan, dari tenaga kuratif bergerak menuju ke arah tenaga
preventif, promotif sesuai kebutuhan (dapat dilihat pada
Gambar 9.4).
361
Gambar 9.4 Arah pengembangan tenaga kesehatan yang sejalan dengan implementasi JK-SJSN. RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional)
9.3.3 Pengembangan & Saintifikasi Jamu, Herbal, dan atau
Pengobatan Tradisional
Sesuai dengan amanah Undang-Undang nomor 36
Tahun 2006, Pasal 48: “Pelayanan kesehatan tradisional
merupakan bagian dari penyelenggaraan upaya kesehatan. Pasal
101: “Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat
dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan,
perawatan, dan atau pemeliharaan kesehatann, tetap dijaga
kelestariannya”, dan amanat Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan, Pasal 47: “Upaya kesehatan
diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan
secara terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan”. Pasal 48
ayat 1 butir b: “Upaya kesehatan melalui pelayanan kesehatan
362
tradisional”. Integrasi pelayanan kesehatan tradisional dalam
pelayanan kesehatan formal merupakan program pemerintah
utamanya Kementerian Kesehatan. Serta Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 381 tahun 2007 tentang
Kebijakan Obat Tradisioal Nasional:
1. Mendorong pemanfaatan sumber daya alam Indonesia
secara berkelanjutan untuk digunakan sebagai obat
tradisional demi peningkatan pelayanan kesehatan dan
ekonomi.
2. Menjamin obat tradisional yang aman, bermutu, dan
bermanfaat serta melindungi masyarakat dari
penggunaan obat tradisional yang tidak tepat.
3. Tersedianya obat tradisional yamg memiliki khasiat
nyata yang teruji secara ilmiah, dan dimanfaatkan
secara luas baik untuk pengobatan sendiri maupun
dalam pelayanan kesehatan formal.
4. Mendorong perkembangan dunia usaha di bidang obat
tradisional yang bertanggung jawab agar mapu menjadi
tuan rumah di negeri sendiri dan diterima di negara lain.
Jamu merupakan obat asli indonesia (OAI) dengan
sumber utamanya adalah tumbuh-tumbuhan asli dan mudah
ditumbuh dan ditemukan diseluruh wilayah Indonesia. Secara
historis, pemanfaatan pelayanan kesehatan tradisional telah
berlangsung lama di Indonesia. Sejarah jamu memang tidak
diketahui secara pasti, namun resep-resep tradisional baik yang
tertulis maupun tidak tertulis memiliki hubungan dengan
kebiasaan-kebiasaan pada kerajaan-kerajan yang pernah berjaya
di nusantara, terutama untuk menjaga kesehatan dan
kecantikan para putri-putri keraton/kerajaan.
363
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2013, menunjukkan bahwa 30,4% rumah tangga di
Indonesia memanfaatkan pelayanan kesehatan tradisional,
diantaranya 77,8% rumah tangga memanfaatkan jenis
pelayanan kesehatan tradisional keterampilan tanpa alat, dan
49,0% rumah tangga memanfaatkan ramuan. Sementara itu,
hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan yaitu Riset
Tumbuhan Obat dan Jamu I (Ristoja) tahun 2012 yang berhasil
memperoleh data 1.889 spesies tumbuhan obat, 15.671 ramuan
untuk kesehatan, dan 1.183 penyembuh/pengobat tradisional
dari 20% etnis (209 dari total 1.128 etnis) Indonesia non Jawa
dan Bali.
Untuk menjamin tersedianya Jamu yang aman,
berkhasiat dan bermutu, Pemerintah Indonesia melakukan
langkah dan upaya untuk menjamin keamanan Jamu. Untuk
memperkuat data dan informasi ilmiah tentang Jamu (utamanya
formula Jamu). Pemerintah Indonesia melaksanakan Program
Saintifkasi Jamu atau Scientifc Based Jamu Development, yaitu
penelitian berbasis pelayanan yang mencakup Pengembangan
Tanaman Obat menjadi Jamu Saintifik, meliputi tahap-tahap:
1. Studi etnofarmakologi untuk mendapatkan base-line
data terkait penggunaan tanaman obat secara
tradisional.
2. Seleksi formula jamu yang potensial untuk terapi
alternatif/komplementer.
3. Studi klinik untuk mendapatkan bukti terkait manfaat
dan keamanan.
364
4. Jamu yang terbukti berkhasiat dan aman dapat
digunakan dalam sistem pelayanan kesehatan formal
Sementara itu, peran apoteker dalam kegiatan
saintifkasi jamu dapat dilakukan dengan:
1. Menerapkan pekerjaan kefarmasian dalam SJ.
2. Pengadaan Jamu berkualitas.
3. Penyimpanan dan distribusi Jamu.
4. Melakukan Pharmaceutical Care.
5. Melakukan Pharmaceutical Record.
6. Pengembangan produk Jamu Saintifk : bentuk sediaan
yang praktis.
Selain jamu saintifk maka dikenal juga istilah Obat
Herbal Terstandar (OHT) dan fitofarmaka. Obat Herbal
Terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah
dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji
pra klinik dan bahan bakunya telah distandarisasi. Fitofarmaka
adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan
keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji pra klinik
dan klinik, bahan baku dan produk jadinya telah distandarisasi.
Sampai Oktober 2014 ada 41 Obat Herbal Terstandar dan 6
Fitofarmaka yang ada dalam daftar BPOM.
9.4 Peluang dan Tantangan Farmasi Kedepan
Dalam beberapa dekade terakhir telah terjadi
pergeseran dalam praktek profesi farmasi, dari awalnya yang
berorientasi produk untuk perawatan pasien. Peran apoteker
telah bergeser dari manufaktur dan pasokan produk obat untuk
menyediakan layanan dan informasi dan terutama pelayanan
kepada pasien. Apoteker bertanggung jawab untuk memastikan
365
bahwa terapi obat yang diberikan kepada pasien yang sesuai
dengan indikasi yang tepat, yang paling efektif, aman, dan
nyaman bagi pasien. Tanggung jawab secara langsung untuk
kebutuhan terkait obat-pasien. Tantangan lain bagi apoteker
adalah untuk memastikan bahwa obat-obatan yang digunakan
secara rasional dan pasien menerima obat sesuai dengan
kebutuhan klinis, dengan dosis masing-masing diperlukan dalam
jangka waktu yang sesuai, dan biaya yang terjangkau.
Farmasi komunitas memiliki peran dalam memantau
pelayanan farmasi melalui intervensi langsung dengan pasien.
Hasil klinis dan ekonomi harus dipertimbangkan dalam
membuat keputusan yang tepat untuk masyarakat. Apoteker
bertanggung jawab untuk melakukan pelayanan klinis luas dan
berorientasi manajemen obat-obatan yang berkualitas.
Manajemen pelayanan pasien didasarkan pada interaksi antara
profesional perawatan kesehatan yang mencakup semua aspek
perawatan pada pasien.
Call-Center Apoteker perlu dikembangkan untuk
mendidik pasien dan komunikasi/kordinasi dengan dokter untuk
memberikan konseling pasien, informasi obat, customer service,
review pemanfaatan obat, manajemen medis, dan manajemen
formularium, apoteker di Call-Center dapat berinteraksi dengan
pasien untuk mendukung terapi obat yang efektif dan optimal.
Dengan sistem ini, Apoteker dapat memberikan informasi
tentang interaksi obat-obat, obat dan makanan, obat dan
penyakit, obat dan tes diagnostik, efek samping, penggunaan
obat-obatan pada pasien dengan penyakit spesifik, perhitungan
nutrisi parenteral, toksikologi dan keracunan, dan lain-lain.
366
Perkembangan teknologi yang semakin pesat dan
dampak teknologi dalam pelayanan kefarmasian sangat
berpengaruh. Apoteker harus cepat beradaptasi dan
memanfaatkan teknologi ini untuk melakukan praktek
kefarmasian atau lebih dikenal sebagai “Teknologi Informasi
Farmasi”. apoteker disini berperan dalam pengembangan
software dispensing dengan sistem menggunakan mesin untuk
keluar masuk obat, sistem pemeliharaan, pengetahuan klinik
dan tehnik yang dibutuhkan secara efektif dalam melaksanana
pelayanan dengan mengurangi kesalahan.
Apoteker yang bekerja baik dalam praktek maupun
akademisi bertanggungjawab untuk pengembangan model
untuk praktek, penelitian, dan pengajaran dalam perawatan
kesehatan. Kurikulum yang diperlukan adalah kurikulum yang
langsung terintegrasi dengan praktek farmasi sehingga mereka
dapat berkontribusi pada pengembangan praktek-praktek
berkelanjutan. Terkait dengan layanan farmasi klinis, apoteker
memiliki kesempatan untuk menjadi dosen untuk fakultas
farmasi atau sekolah tinggi untuk membantu dalam
mempersiapkan apoteker masa depan. Industri farmasi juga
menyediakan berbagai lahan untuk apoteker, dalam penelitian
pengembangan obat, pasca persetujuan pemasaran obat,
penjualan farmasi, informasi obat, kontrol kualitas, administrasi,
konsultasi, dan peran penasehat. Oleh karena itu, ada
kebutuhan untuk kurikulum yang harus didukung dengan
mencakup kemajuan dalam farmakoterapi klinik,
farmakoekonomi, dan farmasi sosial.
Tantangan pembangunan di bidang kesehatan,
khususnya dalam bidang kefarmasian yang merupakan
367
tantangan bagi Pendidikan Tinggi Farmasi di Indonesia ialah
menghasilkan produk pendidikan tinggi yang memenui Standar
Profesi Apoteker (Standard Operating Procedure = SOP) sebagai
berikut:
- Turut mengupayakan obat yang bekerja spesifik, relatif
aman yang dapat meringankan penderitaan akibat
penyakit.
- Memberikan sumbangan untuk mengungkapkan
mekanisme terinci dari fungsi normal dan fungsi
abnormal organisme.
- Mengupayakan obat yang bekerja spesifik, relatif aman
yang dapat memodifikasi penyakit; memulihkan
kesehatan; mencegah penyakit.
- Mengupayakan obat yang dapat membantu
keberhasilan intervensi dengan cara lain (bukan obat)
dalam upaya kesehatan.
- Menciptakan metode untuk mendeteksi sedini mungkin
kelainan fungsional pada manusia.
- Menggali dan mengembangkan sumber alam Indonesia
yang dapat diperbaharui atau pun tidak dapat
diperbaharui untuk tujuan kefarmasian.
- Menciptakan cara baru untuk penyampaian obat ke
sasaran yang harus dipengaruhinya dalam organisme.
- Mengembangkan metode untuk menguji, menciptakan
norma dan kriteria untuk meningkatkan secara
menyeluruh daya guna dan keamanan obat dan
komoditi farmasi, maupun keamanan lingkungan dan
bahan lain yang digunakan manusia untuk kepentingan
kehidupannya.
368
- Membangun sistem farmasi Indonesia dan sistem
pengejawantahan profesi farmasi yang efisien dan
efektif selaras dengan konstelasi budaya, geografi dan
lingkungan Indonesia.
9.5 Referensi
1. Aditama TY. 2014. Jamu & Kesehatan. Badan Penelitian
dan Pengembagan Kesehatan Republik Indonesia.
Penerbit: Lembaga Penerbit Balitbangkes (LPB). Jakarta.
2. World Health Organisation (WHO). 2012. National
Medicine Policy. Chapter 4. World Health Organisation.
Copyright © Management Sciences for Health. Halaman
1-20
3. Fathelrahman AI, Ibrahim MIM, & Wertheimer AI. 2016.
Pharmacy Practice in Developing Countries.
Achievements and Challenges. Penerbit Academic Press
Elsevier Inc. Amsterdam. Boston. Heidelberg. London.
New York. Oxford. Paris. San Diego. San Francisco.
Singapore. Sydney. Tokyo.
4. Sudjawadi R. 2001. Farmasi, Farmasis, dan Farmasi
Sosial. Majalah Farmasi Indonesia. Volume 12. Hal. 128–
Nomor 3. 134.
5. Bahfen F. 2006, Aspek Legal Layanan Farmasi Komunitas
Konsep “Pharmaceutical Care”, Majalah Medisina, 1(1),
18-20.
6. Departemen Kesehatan RI, 2009, Undang-undang RI
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Depkes RI,
Jakarta.
369
7. Departemen Kesehatan RI, 2009, Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian, Depkes RI, Jakarta.
8. Departemen Kesehatan RI. 2004. Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Tentang Standar
Pelayanan Farmasi Di Rumah Sakit Dan Apotek. Jakarta.
9. Almarsdottir AB, Kaae S, & Traulsen JM. 2014.
Opportunities and Challenges in Social Pharmacy and
Pharmacy Practice Research. Research in Social &
Administrative Pharmacy.Volume 10. Halaman 252-255.
10. Dhanutirto H. 2008. Praktek Farmasi yang baik (Good
Pharmacy Pratice). Majalah Medisina, Edisi 5. Periode
Agustus-Oktober. Halaman 4.
370
371
BAB 10 ORGANISASI KEFARMASIAN
10.1 Pengantar
Berbagai macam bentuk suatu organisasi mulai dari
yang berbentuk kecil hingga organisasi yang bentuknya besar
dan mempunyai suatu tujuan yang berbeda pula. Kata
Organisasi berasal dari bahasa Yunani (yaitu “organon” yang
berarti alat) merupakan suatu kelompok orang dalam suatu
wadah untuk tujuan bersama. Terdapat beberapa toeri dan
perspektif mengenai organisasi, ada yang cocok satu sama lain,
dan ada pula yang berbeda. Organisasi pada dasarnya digunakan
sebagai tempat atau wadah bagi orang-orang untuk berkumpul,
bekerja sama secara rasional dan sitematis, terencana,
terpimpin dan terkendali, dalam memanfaatkan sumber daya,
sarana-prasarana, data, dan lain-lain yang digunakan secara
efisien dan efektif untuk mencapai tujuan.
Dalam berorganisasi, setiap individu dapat berinteraksi
dengan semua struktur yang terkait baik itu secara langsung
maupun tidak langsung kepada organisasi yang mereka pilih.
Agar dapat berinteraksi secara efektif setiap individu bisa
berpartisipasi pada organisasi yang bersangkutan. Pada
dasarnya partisipasi didefinisikan sebagai keterlibatan mental
atau pikiran dan emosi atau perasaan seseorang di dalam situasi
kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan
kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan.
372
Farmasi selain sebagai ilmu juga merupakan profesi,
dalam menjalankan praktek profesi perlu dukungan dan
keseragaman kondisi dalam rangka penguatan peran profesi
farmasi. Terkait dengan hal tersebut, sangat diperlukan sebuah
organisasi-organisasi sebagai wadah berkumpul, bekerjasama,
untuk mencapai tujuan terutama penguatan profesi farmasi
untuk memberikan layanan kefarmasian kepada masyarakat di
seluruh dunia.
Peran organisasi keprofesian atau keilmuwan juga
ditentukan perkembangan ilmu farmasi. Sekarang ini banyak
sekali organisasi ahli farmasi baik lingkup nasional maupun
internasional. Di Inggris, organisasi profesi pertama kali didirikan
pada tahun 1841 dengan nama “The Pharmaceutical Society of
Great Britain”. Sedangkan, di Amerika Serikat menyusul 11
tahun kemudian dengan nama “American Pharmaceutical
Association”. Organisasi internasionalnya akhirnya didirikan
pada tahun 1910 dengan nama “Federation International
Pharmaceutical”. Sedangkan di Indonesia organisasi
kefarmasian dimulai dari organisasi kefarmasian non-apoteker
atau lebih dikenal Persatuan Ahli Farmasi Seluruh Indonesia
(PAFI) yang didirikan pada tahun 1946 dan organisasi apoteker
atau yang lebih dikenal Ikatan Apoteker Indonesia didirikan
pada tahun 1955. Serta beberapa organisasi atau assosiasi
terkait kefarmasian akan dibahas secara singkat pada bab ini.
10.2 Intenational Pharmaceutical Federation (FIP)
The International Pharmaceutical Federation (FIP)
adalah badan global yang mewakili farmasi dan ilmu farmasi
yang didirikan pada tahun 1912. Yang beranggotakan 139
373
organisasi nasional dari masing-masing negara, anggota institusi
akademik, dan anggota individu, organisasi ini mewakili lebih
dari tiga juta apoteker dan ilmuwan farmasi di seluruh dunia.
FIP organisasi non-pemerintah yang telah memiliki
hubungan secara resmi dengan Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) sejak tahun 1948. Melalui kemitraan dan jaringan apotek
global dan ilmu farmasi yang luas, organisasi/federasi ini bekerja
untuk mendukung pengembangan profesi farmasi, melalui
praktek dan menghasilkan inovasi ilmiah, dalam rangka
memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di dunia.
Sepanjang sejarah hampir 100 tahun, FIP telah diperluas
baik secara harfiah maupun kiasan. Perubahan farmasi dan
munculnya praktek farmasi sebagai landasan profesi,
organisasi/federasi ini berperan dan memimpin secara global
untuk melakukan advokasi atas nama peran apoteker dalam
menyediakan layanan kesehatan, sementara tetap
mempertahanan landasan dalam ilmu farmasi. Ketika keahlian
farmasi menambahkan dan atau mengubah molekul menjadi
obat. Pada gilirannya, apoteker dengan memastikan pengunaan
obat tersebut untuk menyembuhkan suatu penyakit yang
bertanggung jawab dan mengoptimalkan efek dari obat-obatan
ini. Organisasi/federasi ini diakui sebagai organisasi farmasi
pada tingkat global. Organisasi/federasi ini terus memperluas
kehadiran dan pengaruh kehadiran dan pengaruh melalui
kemitraan dengan beberapa institusi kesehatan, pembuatan
kebijakan, pendidikan dan ilmu pengetahuan terkemuka di
dunia.
Motivasi untuk mengembangkan dan menerapkan
rencana strategis untuk membangun beberapa prestasi yang
374
signifikan beberapa tahun terakhir. Yang paling signifikan di
antaranya adalah meningkatnya kesadaran dan reputasi baik
FIP, peran apoteker maupun Ilmu farmasi. hal ini telah
menghasilkan karya-karya untuk FIP yang telah dilakukan secara
internal dan melalui kemitraan yang saling menguntungkan
dengan WHO. Pembentukan forum FIP pada tingkat regional
yang telah memfasilitasi hubungan yang lebih kuat antara
organisasi anggota dan perwakilan WHO di negara masing-
masing dan regional (misalnya Asia, Eropa, Amerika, dan lain-
lain).
Sejak organisasi FIP didirikan, FIP berfokus pada
perkembangan ilmu kefarmasian. Namun, saat ini fokusnya
cenderung kearah pemenuhan kebutuhan dan harapan dari
profesi farmasi, dan memperluas pelayanan kesehatan dan
harmonisasi perkembangan ilmiah. Organisasi FIP terdiri dari
dua dewan yaitu Board of Pharmaceutical Practice dan Board of
Pharmaceutical Science. Board of Pharmaceutical Practice
merupakan dewan yang mewakili kepentingan dalam bidang
praktek apoteker yang terdiri dari Academic Pharmacy, Clinical
Biology, Community Pharmacy, Hospital Pharmacy, Industrial
Pharmacy, Military and Emergency Pharmacy, Pharmacy
Information, dan Social and Administrative Pharmacy. Yang
bertujuan untuk mengarahkan dan menyatukan praktek profesi
untuk menghasilkan peningkatan standar kesehatan bagi
kepentingan pasien. Sedangkan Board of Pharmaceutical
Science merupakan wadah dalam FIP sebagai tempat para
saintis farmasi untuk saling berkomunikasi, membangun
network, dan mengembangkan keahlian dan pengetahuan
sesuai dengan ahlian masing-masing.
375
10.3 Federation of Asian Pharmaceutical Association (FAPA)
Federation of Asian Pharmaceutical Association (FAPA)
didirikan pada tahun 1964 dan berkantor pusat di Manila,
Filipina. Pada awal organisasi ini didirikan, hanya terdiri dari lima
negara, dan sampai saat ini keanggotan FAPA terdiri dari 18
asosiasi farmasi di Asia, yang mewakili apoteker dari Australia,
Kamboja, Hong Kong, Indonesia, India, Jepang, Macau, Malaysia,
Monglia, Nepal, Pakistan, Filipina, Singapura, Korea Selatan, Sri
Langka, Taiwan, Thailand, dan Vietnam. Organisasi ini
merupakan organisasi farmasi yang cakupannya adalah negara-
negara di Asia Pasifik. Misi FAPA adalah untuk mendukung dan
berkolaborasi dengan Asosiasi anggota untuk memajukan
praktek dan pengembangan ilmu farmasi, membentuk kebijakan
kesehatan yang adil lebih baik dan untuk terus mewujudkan
wawasan ke dalam layanan kesehatan yang lebih baik untuk
kepentingan publik. FAPA bekerja sama dengan mitra dan
pemangku kebijakan di lembaga-lembaga kesehatan, lembaga
pemerintah, badan-badan profesional kesehatan lainnya, dan
lembaga swadaya masyarakat (LSM) termasuk organisasi
kesehatan dunia (WHO) untuk memaksimalkan kontribusi
Apoteker untuk sistem kesehatan terutama di wilayah Asia.
Seperti halnya dengan organisasi FIP, FAPA juga terdiri
dari beberapa bidang yang berhubungan dengan ilmu
kefarmasian dan praktek kefarmasian. Adapun bidang tersebut
adalah sains, farmasi komunitas, farmasi rumah sakit dan klinik,
farmasi sosial-ekonomi dan marketing produk, pendidikan
farmasi, farmasi industri, fitofarma dan farmakope, hukum
kefarmasian, dan peraturan dan etika kefarmasian.
376
10.4 Ikatan Apoteker Indonesia (IAI)
Ikatan Apoteker Indonesia (disingkat IAI) merupakan
organisasi profesi kefarmasian di Indonesia yang ditetapkan
dengan surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
41846/KMB/121 tertanggal 16 September 1965. Organisasi
profesi kefarmasian ini merupakan satu-satunya dan telah
mengalami perubahan nama menjadi Ikatan Sarjana Farmasi
Indonesia (disingkat ISFI) yang ditetapkan dalam Kongres VII di
Jakarta pada tanggal 26 Februari 1965.
Secara resmi Ikatan Apoteker Indonesia (pada waktu itu
disingkat IKA) mulai didirikan pada tahun 1955, dimana pada
waktu itu, beberapa apoteker di Jakarta mulai merasakan
perlunya suatu organisasi apoteker yang dapat memperhatikan
dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan farmasi pada
umumnya dan apoteker pada khususnya.
Pada tahun 1963 berlangsung Muktamar VII di Jawa
Barat. Pada Muktamar ini terjadi perubahan besar dari
organisasi kefarmasian Indonesia, dimana nama Muktamar IKA
diganti menjadi Kongres Nasional Sarjana Farmasi. selain itu,
telah diputuskan tentang (1) mengubah nama, bentuk dan sifat
organisasi para apoteker dari Ikatan Apoteker Indonesia (IKA)
menjadi Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI); (2) Keanggotaan
ISFI terdiri dari Sarjana Farmasi Apoteker dan Sarjana Farmasi
non-apoteker; (3) Membentuk Korps Sarjana Farmasi menurut
bidangnya masing-masing (misalnya Korps Sarjana Farmasi
Produksi, Korps Sarjana Farmasi Rumah Sakit, Korps Sarjana
Farmasi Distribusi, dan lain-lain).
Pada Kongres XVIII Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia di
Jakarta pada tanggal 07-09 Desember 2009, nama organisasi
377
Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) berubah menjadi Ikatan
Apoteker Indonesia (IAI). IAI mempunyai fungsi: (1) sebagai
wadah berhimpun para Apoteker Indonesia; (2) sebagai wadah
untuk menampung, memadukan, menyalurkan, dan
memperjuangkan aspirasi Apoteker Indonesia; dan (3) berfungsi
untuk membina para anggota dalam rangka meningkatkan dan
mengembangkan Profesi Farmasi dan IPTEK Kefarmasian. Visi IAI
yaitu Terwujudnya Profesi Apoteker yang paripurna, sehingga
mampu mewujudkan kualitas hidup sehat bagi setiap manusia.
Misi IAI yaitu (1) Menyiapkan Apoteker yang berbudi luhur,
profesional, memiliki kesejawatan yang tinggi dan inovatif serta
berorientasi ke masa depan; (2) Membina, menjaga, dan
meningkatkan profesionalisme Apoteker sehingga mampu
menjalanan praktek kefarmasian secara bertanggung jawab; dan
(3) Melindungai anggota dalam menjalankan profesinya.
Tabel 10.1 Nama-nama Ketua Umum IAI dan periode kepengurusannya
No Nama Jabatan Periode Keterangan
1. Drs. Ie Keng Heng Pendiri 1955 IKA
2. Drs. Yay Tjwan Bing Pendiri 1955 IKA
3. Drs. Wim Kalona Pendiri 1955 IKA 4. Drs. Zakaria Raib Pendiri 1955 Ketua IKA
1957-1965
5. Drs. H.M.Kamal Pendiri 1955 IKA
6. Drs. E. Looho Ketua 1955-1957
IKA
7. Drs. Zakaria Raib Ketua 1957-1965
IKA
8. Drs. Poernomo Singgih
Ketua Umum
1965-1966
IKAOISFI (Juni)
378
No Nama Jabatan Periode Keterangan
9. Drs. Herman Pj. Ketua Umum
1966 ISFI
10. Drs. Surastomo Hadisumarno
Ketua Umum
1966-1967
ISFI
11. Drs. H. Soekryo Ketua Umum
1967-1989
ISFI
12. Drs. Darojatun, MBA Ketua Umum
1989-1993
ISFI
13. Drs. Imam Hidayat Ketua Umum
1993-1997
ISFI
14. Drs. Marzuki Abdullah, MBA
Ketua Umum
1997-2000
ISFI
15. Drs. Ahaditomo, MS. Ketua Umum
2000-2005
ISFI
16. Prof. Dr. H. Haryanto Dhanutirto, Apt, DEA
Ketua Umum
2005-2009
ISFI
17. Drs. Mohammad Dani Pratomo, MM., Apt
Ketua Umum
2009-2013
IAI
18. Drs. Nurul Falah Edi Pariang, Apt
Ketua Umum
2013-sekarang
IAI
10.5 Persatuan Ahli Farmasi Indonesia (FAPI)
PAFI merupakan organisasi profesi ilmiah yang
dipelopori oleh para ahli farmasi saat itu. Organisasi ini dibentuk
tidak lain untuk menghimpun para ahli farmasi Indonesia yang
ketika itu masih sangat terbatas.
Pembentukan organisasi ini juga didasari oleh suatu
keinginan untuk membangun bangsa dengan memberikan
dharma baktinya lewat keahlian yang dimiliki oleh ahli farmasi
Indonesia dalam pembangunan kesehatan. Hal ini sejalan
dengan tujuan PAFI, yaitu:
379
1. Terwujudnya manajemen dan jaringan yang kuat serta
profesional dari PP (Pengurus Pusat), PD (Pengurus
Daerah) Provinsi, PC (Pengurus Cabang) Kab/ Kota, PCK
(Pengurus Cabang Khusus) Dinas Kesehatan
Provinsi/Kab/Kota dan Rumah Sakit Umum Pusat,
Provinsi, dan Kab/Kota diseluruh wilayah NKRI.
2. Terlaksananya pendidikan Asisten Apoteker/Tenaga
Teknis Kefarmasian sesuai perkembangan dan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
3. Tertatanya keberadaan Asisten Apoteker/Tenaga Teknis
Kefarmasian disemua sarana kefarmasian melalui
peraturan perundang-undangan.
Untuk meningkatkan ke profesionalisme anggota dalam
memberikan pelayanan kefarmasian yang optimal maka PAFI
menyelenggarakan pelatihan dan seminar secara kontinyu agar
di ikuti seluruh anggota.
Persatuan Ahli Farmasi Indonesia disingkat PAFI adalah
organisasi yang menghimpun tenaga ahli farmasi profesi Asisten
Apoteker (AA) seluruh Indonesia, yang sekarang disebut Tenaga
Teknis Kefarmasian. Enam bulan setelah Proklamasi Negara
Kemerdekaan Republik Indonesia, dibentuklah secara nasional
PAFI yaitu tepatnya pada tanggal 13 Februari 1946 di Hotel
Merdeka Yogyakarta dan sebagai anggota pendiri yang berjasa
diangkatlah ketua PAFI pertaman yaitu Zainal Abidin.
Pada awal kemerdekaan terjadi peperangan dengan
pasukan Belanda yag bertujuan ingin merebut kembali tanah
jajahan mereka. Sebagai ketua PAFI pertama, bapak Zainal
Abidin bersama bapak Kasio mendapat tugas untuk
memindahkan perbelakan farmasi dan mesin-mesin yang
380
berada di Manggarai (Jakarta) ke Yogyakarta, Tawangmangu dan
Ambarwinagun dengan menggunakan sarana transportasi
kereta api. Ketua PAFI (Zaial Abidin) dan teman-teman Asisten
Apoteker lainnyapun akhirnya berhasil memindahkan perbeka-
lan farmasi dan mesin-mesin tersebut, yang kemudian diberikan
kepada para pejuang Republik Indonesia yang
membutuhkannya.
PAFI merupakan organisasi farmasi tertua di Indonesia,
bahkan Profesi Asisten Apoteker lebih dahulu muncul
keberadaannya daripada Profesi Apoteker. Hal ini disebabkan
karena pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, hanya
pendidikan Asisten Apoteker yang mampu dijalankan, bahkan
rintisannya harus didik langsung di Negeri Belanda.
Ketua umum Pengurus Pusat (PP) PAFI dari tahun 1946,
1948, 1950, dijabat oleh Drs. Zainal Abidin sampai dengan tahun
1960. Sampai dengan MUNAS ke-9 tahun 1980 ketua umum
dijabat oleh Harsono Radjak Mangunsudarso. Pada MUNAS ke-9
tahun 1980 Harsono Radjak Mangunsudarso dikukuhkan lagi
sebagai ketua umum dengan sekretaris jenderal yang dijabat
oleh M. Rusdi. Pada MUNAS ke-10 tahun 1990 ketua umum PP
PAFI dijabat oleh M. Rusdi dengan sekretaris jenderal oleh
Hakimi Malik, S.H. Pada kegiatan MUNAS ke-11 tahun 2003 M.
Rusdi memenangkan pemilihan ketua umum PP PAFI yang untuk
pertama kalinya menggunakan sistem one man one vote, dan
sekretaris jenderal tetap dijabat oleh Hakimi Malik, S.H.
sedangkan DR. Faiq Bahfen ditunjuk sebagai Pembina dan
Dewan Pertimbangan PAFI. Kepengurusan PAFI Pusat periode
tahun 2009-2014 dipegang oleh, Drs. Sriyanto sebagai ketua
Umum dan Drs. Hendro Tri Pancoro sebagai Sekretaris jenderal.
381
Dengan diselenggarakannya Musyawarah Nasional XIII tahun
2014 di Jakarta yang bertepatan pada hari ulang tahun PAFI,
kepengurusan pusat 2014-2019 dipegang oleh Dr. Faiq Bahfen
S.H sebagai Ketua Umum dan Junaedi S.Si.,M.Farm.,Apt. sebagai
Sekretaris Jenderal.
10.6 Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI)
Dilandasi oleh pemikiran yang berkembang pada
Kongres Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) di Jakarta pada
tahun 2000, dan didukung oleh Forum Komunikasi Perguruan
Tinggi Farmasi Negeri se-Indonesia, maka disepakati
pembentukan Asosiasi yang mewadahi seluruh lembaga
pendidikan tinggi farmasi yang ada di Indonesia.
Dengan dihadiri oleh wakil-wakil dari institusi
pendidikan tinggi farmasi Universitas Airlangga, Universitas
Surabaya, Universitas Widya Mandala, Universitas Gajah Mada,
Universitas Sanata Dharma, Universitas Ahmad Dahlan,
Universitas Pancasila, Universitas Tujuh Belas Agustus 45,
Universitas Indonesia, Institut Sain dan Teknologi Nasional,
Institut Teknologi Bandung, Universitas Andalas, dan Universitas
Hasanuddin, dibentuklah Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi
Indonesia (APTFI) pada tanggal 29 Agustus 2000 pada saat rapat
forum komunikasi di Fakultas Farmasi Universitas Pancasila.
Badan hukum APTFI disahkan di Jakarta oleh Notaris Ny. Endang
S. Antariksa, SH No. 4, tanggal 5 Desember 2000, yang kemudian
disempurnakan dalam Akta Notaris No. 686, tanggal 22 Juli
2013. Pengesahan status hukum APTFI oleh Kementerian
Hukum dan HAM RI melalui Keputusan Menteri Hukum dan
382
HAM RI No. AHU-191.AH.01.07 Tahun 2013 pada tanggal 24
September 2013.
Saat ini, selain didukung oleh Komisi Pengembangan
Pendidikan, Komisi Organisasi dan Pendampingan, dan Komisi
Kerjasama dan Hukum, untuk mengefisienkan komunikasi
sesama anggota, APTFI memiliki 5 Forum Wilayah (ForWil), yaitu
(1) Sumatera, (2) Jawa Barat-Banten-DKI-Kalimantan Barat, (3)
Jawa tengah-DIY-Kalimantan Selatan, (4) Jawa Timur-Bali, Nusa
Tenggara Barat-Nusa Tenggara Timur, dan (5) Kalimantan Timur-
Kalimantan Utara-Sulawesi, Maluku-Maluku Utara-Papua-Papua
Barat.
APTFI adalah salah satu Asosiasi Institusi Pendidikan
(AIP) pendiri Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi
Kesehatan Indonesia (LAM-PTKes), dan anggota Lembaga
Pengembangan Uji Kompetensi Tenaga Kesehatan (LPUK Nakes).
10.7 Asosiasi Pendidikan Diploma Farmasi Indonesia (APDFI)
Asosiasi Pendidikan Diploma Farmasi Indonesia (APDFI)
didirikan hari Kamis tanggal empat April tahun dua ribu tiga
belas (04-04-2013) di Jakarta. Merupakan asosiasi yang
mewadahi sarana komunikasi, tempat berbagi pengalaman serta
kerjasama antar penyelenggara pendidikan Diploma bidang
Farmasi serta mempunyai tujuan untuk dapat meningkatkan
kualitas pendidikan diploma farmasi dan diploma analisa farmasi
dan makanan di Indonesia. Dengan Misi:
1. Melaksanakan standarisasi mutu, sumber daya dan
penyelenggaraan Pendidikan diploma bidang Farmasi
bekerjasama dengan institusi terkait.
383
2. Meningkatkan mutu Pendidikan diploma bidang Farmasi
menuju kesetaraan standar lulusan yang memiliki
kompetensi dalam ilmu, teknologi dan profesi tenaga
kefarmasian.
3. Meningkatkan kerjasama untuk pelaksanaan Tri Darma
Perguruan Tinggi.
4. Memajukan ilmu, teknologi dan profesi dalam bidang
teknis kefarmasian di Indonesia.
10.8 Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi Seluruh Indonesia
(ISMAFARSI)
ISMAFARSI (Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi Seluruh
Indonesia) adalah organisasi mahasiswa nasional yang terdiri
dari lembaga eksekutif mahasiswa farmasi di seluruh Indonesia
dan merupakan organisasi intra perguruan tinggi yang berbasis
keprofesian dan berorientasi pada keilmuan (SK DIKTI No.
974/D5.2/T/2007 dan SK ), bertujuan untuk menyatukan opini
dan ajang silaturahmi mahasiswa farmasi, sekaligus sebagai
satu-satunya organisasi kemahasiswaan yang
merepresentasikan mahasiswa farmasi di Indonesia (SK IAI No.
038/SKET/PP.IAI/XI/2013). Semenjak pertama kali dibentuk
pada tahun 1955, kini ISMAFARSI beranggotakan 58 Lembaga
Eksekutif Mahasiswa Farmasi di seluruh nusantara.
ISMAFARSI merupakan kelanjutan dari organisasi
Mahasiswa Farmasi Seluruh Indonesia (MAFARSI) yang didirikan
pada tanggal 22 Desember 1955, di Kaliurang, Yogyakarta.
Organisasi ini lahir dilandasi oleh kesadaran bahwa mahasiswa
farmasi Indonesia perlu menjalin komunikasi untuk
memecahkan masalah yang ada. MAFARSI merupakan
384
organisasi independen. Aktivitasnya terutama menyangkut
bidang kemahasiswaan dan kependidikan. Pada awal berdirinya
kegiatan MAFARSI berkisar pada perjuangan untuk
menyempurnakan kurikulum disamping kegiatan rutin
kemahasiswaan seperti diskusi, simposium, pengadaan diktat,
dan lain-lain. Tetapi pada tahap berikutnya, MAFARSI dipercaya
terlibat dalam penyusunan Undang-Undang Pokok Kesehatan
dan Undang-Undang Pokok Farmasi. Selain itu, Organisasi ini
juga berperan aktif dalam menyikapi kebijakan-kebijakan
pemerintah terkait dengan kefarmasian.
Sebagai lembaga kaderisasi ISMAFARSI merupakan
wadah berkumpulnya mahasiswa farmasi seluruh Indonesia
dalam rangka menyatukan persepsi dan sebagai wadah
aktualisasi diri serta membangun network dikalangan
mahasiswa yang sangat bermanfaat setelah terjun ke dunia
kerja.
Visi ISMAFARSI
“Terwujudnya Mahasiswa Farmasi yang Militan serta Adekuat
terhadap Norma Etika Profesi Farmasi dalam Masyarakat”
Misi ISMAFARSI
1. Meningkatkan kerjsama antar mahasiswa farmasi
melalui kegiatan kemahasiswaan.
2. Membangun kerjasama multilateral dengan organisasi
eksternal dan organisasi kemahasiswaan kesehatan
lainnya.
3. Berperan aktif dalam pengelolaan permasalahan
maupun kebijakan dunia kesehatan khususnya bidang
farmasi.
385
4. Mengabdi secara aktif kepada masyarakat dengan
langkah bersentuhan langsung.
10.9 Referensi
1. Anonim. Organisasi. https://id.wikipedia.org/wiki/
Organisasi diakses pada tanggal 24 Februari 2017.
2. Anonim. Asosiasi Pendidikan Diploma Farmasi Seluruh
Indonesia (APDFI). http://apdfi.org/ diakses pada
tanggal 26 Februari 2017
3. Anonim. Asisoasi Pendidikan Tinggi Farmasi Seluruh
Indonesia (APTFI). http://aptfi.or.id/ diakses pada
tanggal 26 Februari 2017
4. Anonim. Sejarah Ikatan Apoteker Indonesia.
https://www.ikatanapotekerindonesia.net/page/sejarah
-iai# diakses pada tanggal 26 Februari 2017
5. Anonim. Sejarah: Ketua IAI dari masa ke masa. Medisina.
Edisi XXIII. 2015
6. Anonim. FIP: Organisasi Global Para Apoteker. Medisina.
Edisi XXI. 2014.
7. Anonim. International Pharmaceutical Federation (FIP).
https://www.fip.org/ diakses pada tanggal 26 Februari
2017
8. Anonim. Federation of Asian Pharmaceutical Association
(FAPA). http://fapa.asia/?page_id=103 diakses pada
tanggal 28 Februari 2017
9. Anonim. PAFI (Persatuan Ahli Farmasi Indonesia).
http://pafi.or.id/ diakses pada tanggal 28 Februari 2017.
10. Anonim. Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi Seluruh
Indonesia (ISMAFARASI). http://ismafarsi.org/ diakses
pada tanggal 28 Februari 2017.