2014-1-00181-AR Bab2001.pdf
-
Upload
ibnu-yazid -
Category
Documents
-
view
229 -
download
0
description
Transcript of 2014-1-00181-AR Bab2001.pdf
9
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Transportasi Berkelanjutan
Sustainable transport mengacu pada subjek transportasi yang luas.
Subjek ini mencakup kendaraan, energi, infrastruktur, jalan, rel, jalur udara,
jalur air dan terminal. Operasional transportasi, logistik serta transit-oriented
development juga termasuk. Keberlanjutan transportasi secara umum diukur
dengan efektifitas dan efisiensi suatu sistem transportasi, serta pengaruhnya
terhadap lingkungan sekitar. Sistem transportasi yang berkelanjutan
memberikan kontribusi yang positif dari segi lingkungan, sosial dan ekonomi
kepada komunitas yang mereka layani.
Kata sustainable sendiri muncul dalam laporan tahun 1987 yang
dipublikasikan oleh UN World Commission on Environment and
Development yang dikenal sebagai Brundtland Report. Istilah sustainable
development diartikan sebagai pengembangan yang memenuhi kebutuhan
masa kini tanpa mengganggu kemampuan generasi mendatang dalam
memenuhi kebutuhan mereka.
2.2 Redevelopment
Kata redevelopment dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu re- yang
berarti ulang atau kembali dan development yang diterjemahkan menjadi
pembangunan, sehingga jika digabung dapat diartikan sebagai pembangunan
kembali. Kata redevelop menurut kamus Merriam-Webster.com (diakses
tanggal 2 Februari 2015, pukul 11:30) memiliki arti "to change the
appearance of an area especially by repairing and adding new buildings,
stores, roads, etc." yang jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia
adalah untuk mengubah penampilan sebuah area terutama dengan
memperbaiki dan menambahkan bangunan, toko, jalan dan semacamnya yang
baru.
2.3 Transit Oriented Development
Salah satu produk untuk mendukung sustainable transport adalah
dengan adanya transit oriented development. Transit-oriented development,
10
atau yang sering dikenal dengan sebutan TOD, adalah area perumahan atau
komersil mixed-use yang dirancang untuk memaksimalkan akses menuju
transportasi publik. Sebuah pengembangan yang tidak hanya terbatas pada
penataan perumahan, perkantoran dan pertokoan yang padat dan berlokasi
dekat dengan jaringan moda transportasi. TOD yang baik meningkatkan
penggunaan moda transportasi umum dan manfaat positif bagi komunitas
sekitarnya.
Menurut TOD Standard V2.0 dari ITDP (Institute for Transportation
& Development Policy), terdapat delapan prinsip dengan objektif-objektifnya
sendiri dalam pengembangan transportasi urban.
Gambar 2.1 Delapan Prinsip Transit Oriented Development
(Sumber: TOD Standard V2.0)
Beberapa prinsip yang berkenaan dengan proyek ini adalah:
• Walk – area pedestrian aman dan lengkap, aktif dan dinamis, serta nyaman
• Connect – rute berjalan langsung dan beragam, rute tersebut lebih pendek
dibandingkan dengan rute kendaraan bermotor
11
• Transit – transit yang berkualitas dapat diakses dengan berjalan kaki
• Mix – terdapat penggunaan lahan yang beragam namun saling melengkapi,
jarak pulang pergi yang lebih pendek untuk golongan ekonomi bawah
• Shift – meminimalisir lahan yang digunakan oleh kendaraan bermotor
Gambar 2.2 Diagram Sirkulasi Pejalan Kaki
(sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan)
Diagram di atas mirip dengan yang digambarkan oleh Peter Calthorpe,
bahwa sebuah kawasan TOD umumnya memiliki area komersil dan area
residensial. Berpusat pada sebuah titik transit dalam radius jarak berjalan kaki
300-400 meter atau yang dapat ditempuh dalam 5-10 menit, diikuti dengan
area komersil ataupun ruang terbuka hijau kemudian area residensial.
2.4 Walkability
Walkability adalah suatu konsep yang fokus pada kegiatan berjalan
kaki, di mana trotoar dan kelengkapannya menjadi hal yang sangat penting
bagi keselamatan dan kenyamanan para pejalan kaki.
Walkability suatu area dekat dengan titik transportasi umum dapat
meningkatkan transit ridership atau penggunaan transportasi umum tersebut.
Hal ini dikemukakan oleh berbagai sumber bahwa walkability atau pedestrian
environment berpengaruh terhadap penggunaan transportasi umum. Terdapat
suatu hubungan positif yang kecil namun siginifikan antara walkability dari
12
lingkungan buatan terhadap transit ridership (Ryan and Frank 2009),
sedangkan Chen (2009) mendapati bahwa semakin walkable suatu
lingkungan, maka semakin meningkat pula penggunaan transportasi umum.
Berdasarkan Walkability Audit Tool (2011) yang dikeluarkan oleh
Department of Transport dari Pemerintahan Australia Barat, terdapat 6 poin
penting yakni:
1. Pathways
a. Tipe Trotoar
Gambar 2.3 Contoh tipe trotoar
(sumber: Walkability Audit Tools 2011)
• Pedestrian path - jenis trotoar yang paling umum digunakan oleh
pejalan kaki dan pesepeda (sesuai dengan aturan lokal)
• Pedestrian path adjacent to property boundary - trotoar yang
berbatasan langsung dengan properti.
• Pedestrian path adjacent to curb - trotoar yang berbatasan langsung
dengan jalan.
• Shared use path - jalan yang dibuat memenuhi kebutuhan pejalan kaki
dan pesepeda sekaligus, karena intensitas penggunaannya tidak
terlalu banyak jika jalan tersebut dipisah. pejalan kaki dan pesepeda
digabung menjadi satu, namun pesepeda harus memprioritaskan
pejalan kaki.
13
• Separated path - trotoar untuk para pejalan kaki dan pesepeda terpisah,
trotoar ini dibuat jika volume pedestrian dan pesepeda cukup tinggi
dan penggunaan bersamaan dapat menyebabkan masalah keamanan
dan operasional.
b. Lebar Trotoar
• Lebar trotoar bergantung pada lokasi, tujuan dan antisipasi kebutuhan
dari lahan di sekitarnya. Lebar minimum untuk volume pejalan kaki
paling rendah adalah 1.2m dengan lebar minimum absolut 1m.
c. Kondisi Trotoar
• Kondisi trotoar secara keseluruhan mencakup rancangan aslinya dan
apakah dibutuhkan perawatan atau perbaikan. Trotoar hendaknya
tidak memililki permukaan yang dapat menyebabkan bahaya bagi
para pengguna. Sebuah trotoar yang baik dan terawat memiliki
permukaan rata dan tidak mudah tergelincir, memiliki ruang tinggi
yang memadai, serta bebas dari retak, lubang, tanaman liar ataupun
akar pohon.
Gambar 2.4 Kondisi trotoar yang tidak baik
(sumber: Walkability Audit Tools 2011)
d. Halangan di Trotoar
• Lebar efektif sebuah trotoar bergantung pada ada atau tidaknya
halangan permanen maupun sementara. Contoh halangan permanen
antara lain rambu lalu lintas, halte bus, pohon, tiang listrik atau
lampu. Sedangkan halangan sementara adalah halangan yang dapat
dipindahkan, misalnya kendaraan yang diparkir dan tempat duduk
dari kafe atau restoran.
14
Gambar 2.5 Halangan permanen dan sementara pada trotoar
(sumber: Walkability Audit Tools 2011)
e. Konektifitas Trotoar
• Keterhubungan antar trotoar yang satu dengan yang lain sangat
penting untuk membentuk suatu jaringan pedestrian. Jika sebuah
trotoar terputus, pengguna harus menemukan rute lain atau
menyeberang pada tempat yang tidak aman.
Gambar 2.6 Trotoar yang terputus atau bagian yang tidak diberi perkerasan
(sumber: Walkability Audit Tools 2011)
f. Aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas
• Hal-hal yang harus diperhatikan untuk melayani kebutuhan pengguna
trotoar dengan kebutuhan khusus antara lain kerataan permukaan
agar aman bagi para pengguna kursi roda dan tongkat berjalan, ramp
sebagai alternatif dari tangga, serta fasilitas lain seperti handrail
pada permukaan yang landai.
15
2. Crossings
a. Jenis Penyeberangan
Gambar 2.7 Contoh jenis penyeberangan (sumber: Walkability Audit Tools 2011)
• Jenis penyeberangan pejalan kaki yang disediakan hendaknya sesuai
dengan ukuran jalan dan volume kendaraan yang melalui jalan
tersebut pada jam sibuk.
• Jalan besar umumnya memiliki penyeberangan dengan lampu merah
bagi para pejalan kaki.
• Pada jalan yang lebih kecil, zebra cross dan ramp turun dari curb
trotoar mungkin sudah cukup.
• Pulau median berguna untuk membantu pedestrian menyeberang
hingga ke tengah jalan, lalu menunggu untuk waktu yang aman
untuk menyeberang setengah jalan yang lain. Pada jalan di mana
pejalan kaki menyeberang pada titik banyak, seperti pada daerah
retail, pulau median dapat ditempatkan sepanjang jalan tersebut.
b. Lokasi Penyeberangan
• Salah satu alasan utama yang menyebabkan manusia enggan untuk
berjalan kaki adalah karena tidak dapat menyeberang jalan dengan
aman, dan pejalan kaki umumnya akan berjalan pada rute yang
16
paling langsung. Sehingga, jika suatu blok memiliki panjang yang
berlebihan, atau jika tidak dapat menyeberang jalan dengan aman,
banyak pejalan kaki yang akan berjalan atau menyeberang di luar
jalur yang telah disediakan.
c. Kemampuan untuk Menyeberang
• Pedestrian yang diharuskan menunggu dalam waktu yang lama untuk
menyeberang suatu jalan, kemungkinan besar akan menyeberang
terlepas dari lampu sinyal atau akan menyeberang pada titik lain.
d. Kondisi Penyeberangan
• Sebuah penyeberangan hendaknya memiliki ruang yang cukup untuk
mengakomodasi volume pedestrian yang menunggu.
• Lokasi penyeberangan harus tertanda, memiliki lebar yang cukup,
terletak pada tempat yang logikal, memiliki ramp trotoar dan jelas
terlihat.
• Penyeberangan terawat memiliki permukaan yang rata dan tidak
mudah tergelincir, terbebas dari retak, lubang, tanaman liar, akar
pohon dan sampah.
e. Akses ke Penyeberangan oleh Penyandang Disabilitas
• Fasilitas khusus hendaknya disediakan pada titik penyeberangan
untuk mendukung dan membantu pedestrian yang memiliki
keterbatasan mobilitas atau penglihatan terbatas.
Gambar 2.8 Penyediaan permukaan khusus untuk pedestrian dengan
penglihatan terbatas (sumber: Walkability Audit Tools 2011)
3. Street furniture & signage
17
a. Perabot Jalan dan Peneduh
Gambar 2.9 Jenis perabot jalan dan penyediaan peneduh
(sumber: Walkability Audit Tools 2011)
• Menarik atau tidaknya suatu area untuk berjalan bergantung pada
ketersediaan dari perabot jalan atau street furniture, peneduh dan
fasilitas seperti tanda atau signage. Rute berjalan yang baik memiliki
jumlah yang cukup akan tempat duduk, shelter, dan tempat sampah.
Selain itu, street furniture juga mencakup drinking fountain dan
toilet umum. Peneduhan juga hendaknya disediakan pada rute jalan,
tempat menunggu dan tempat beristirahat. Pohon besar memberikan
peneduhan yang baik, sedangkan kanopi dalam bentuk lain berguna
di mana pohon tidak memungkinkan untuk ditanam.
b. Signage
• Tanda dan rambu yang baik sepanjang rute harus tersedia untuk
mengarahkan pedestrian ke tujuan-tujuan utama di area itu dan
memberitahu pengendara kendaraan akan adanya fasilitas pedestrian
sehingga dapat lebih berhati-hati dan mengutamakan pejalan kaki.
18
Gambar 2.10 Tanda dan rambu-rambu jalan
(sumber: Walkability Audit Tools 2011)
Direktorat Jenderal Bina Marga dan Direktorat Pembinaan Jalan Kota
pada tahun 1990 mengeluarkan suatu pedoman teknis yaitu Petunjuk
Perencanaan Trotoar. Yang dimaksud dengan trotoar adalah jalur pejalan kaki
yang terletak di daerah fungsi jalan, memiliki lapisan permukaan dan elevasi
yang lebih tinggi dari perkerasan jalan. Fungsi dari trotoar adalah untuk
meningkatkan kelancaran, keamanan dan kenyamanan pejalan kaki. Ruang di
bawah trotoar juga dapat digunakan sebagai tempat untuk utilitas maupun
pelengkap jalan yang lain. Dalam dokumen tersebut juga disebutkan bahwa
sebuah trotoar hendaknya memiliki tinggi ruang bebas setidaknya 2.5m dan
kebebasan samping tidak kurang dari 0.3m.
Gambar 2.11 Skema Ruang Bebas Trotoar
(sumber: Petunjuk Perencanaan Trotoar, 1990)
19
Lebar trotoar harus dapat melayani volume pejalan kaki yang ada dan
disarankan tidak kurang dari 2m. Berikut ini tabel lebar minimum trotoar
berdasarkan penggunaan lahan yang ada di sekitarnya.
Tabel 2.1 Tabel Lebar Trotoar Minimum
Penggunaan Lahan di Sekitarnya Lebar Minimum (m)
Perumahan 1,5
Perkantoran 2,0
Industri 2,0
Sekolah 2,0
Terminal atau halte bus 2,0
Pertokoan atau perbelanjaan 2,0
Jembatan atau terowongan 1,0
(sumber: Petunjuk Perencanaan Trotoar, 1990)
Untuk dapat melayani pejalan kaki semaksimal mungkin,
permukaannya harus diberi suatu perkerasan yang dapat berupa blok beton,
beton, aspal ataupun plesteran. Permukaan ini harus rata dan memiliki
kemiringan melintang 2-4% agar tidak terjadi genangan air. Kemiringan
memanjang disejajarkan dengan jalan utama, namun disarankan tidak
melebihi 10%. Selain itu trotoar diberi elevasi yang lebih tinggi dari
permukaan perkerasan jalan dan diberi pembatas berupa curb ataupun pagar.
Gambar 2.12 Contoh Penempatan Trotoar 1
(sumber: Petunjuk Perencanaan Trotoar, 1990)
20
Gambar 2.13 Contoh Penempatan Trotoar 2
(sumber: Petunjuk Perencanaan Trotoar, 1990)
Dari contoh penempatan trotoar di atas, dapat disimpulkan bahwa
alternatif 2 dengan penempatan penhijauan di antara trotoar dan badan jalan
utama adalah lebih aman bagi para pedestrian, dibandingkan dengan alternatif
pertama yang penempatan trotoarnya dekat dengan badan jalan utama.
Berikut ini adalah beberapa hal yang didapat dari Pedoman
Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di
Perkotaan yang diprakarsai oleh Direktorat Penataan Ruang Nasional,
Direktorat Jenderal Penataan Ruang dan Departemen Pekerjaan Umum.
Terdapat beberapa tipologi ruang pejalan kaki, di antaranya adalah:
1. Ruang Pejalan Kaki di Sisi Jalan (sidewalk)
Ruang pejalan kaki di sisi jalan merupakan bagian dari sistem jalur pejalan
kaki dari tepi jalan raya hingga tepi terluar lahan milik bangunan.
Gambar 2.14 Potongan tipe sidewalk
(sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan)
21
2. Ruang Pejalan Kaki di Kawasan Komersial/Perkantoran (arcade)
Ruang pejalan kaki yang berdampingan dengan bangunan pada salah satu
atau kedua sisinya dan terdiri dari zona bagian depan gedung, zona bagi
pejalan kaki, zona untuk perabot jalan serta zona untuk pinggiran jalan.
Gambar 2.15 Potongan tipe arcade
(sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan)
Gambar 2.16 Pembagian zona tipe arcade
(sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan)
3. Ruang Pejalan Kaki di Ruang Terbuka Hijau (green pathway)
Ruang pejalan kaki yang terletak di antara ruang terbuka hijau, di mana
mungkin dilengkapi dengan berbagai elemen ruang seperti kios umum dan
perabot jalan lainnya.
Gambar 2.17 Potongan tipe green pathway
(sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan)
22
Beberapa sarana yang termasuk dalam pedoman ini antara lain:
1. Drainase
Terletak berdampingan atau di bawah ruang pejalan kaki, drainase
berfungsi sebagai penampung dan jalur aliran air. Dimensi minimal adalah
lebar dan tinggi masing-masing 50cm.
Gambar 2.18 Potongan jalur pedestrian dengan drainase di bawahnya
(sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan)
2. Lampu penerangan
Terletak setiap 10m dengan tinggi maksimal 4m, terbuat dari bahan
dengan durabilitas tinggi seperti metal dan beton cetak.
Gambar 2.19 Lampu penerangan
(sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan)
3. Tempat duduk
Terletak setiap 10m dengan lebar 40-50cm dan panjang 150cm, terbuat
dari bahan dengan durabilitas tinggi seperti metal dan beton cetak.
23
Gambar 2.20 Contoh tempat duduk
(sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan)
4. Pagar pengaman
Terletak pada titik tertentu yang berbahaya dan memerlukan perlindungan
dengan tinggi 90cm serta terbuat dari bahan dengan durabilitas tinggi
seperti metal dan beton.
Gambar 2.21 Contoh pagar pengaman
(sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan)
5. Tempat sampah
Terletak setiap 20m dengan besaran sesuai kebutuhan dan terbuat dari
bahan dengan durabilitas tinggi seperti metal dan beton cetak.
24
Gambar 2.22 Contoh tempat sampah
(sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan)
Prinsip dari konsep walkability salah satunya dijabarkan oleh SPUR, sebuah
organisasi nirlaba di San Fransisco, menjadi 7 poin fundamental bagi kawasan urban
yang walkable di designforwalkability.com sebagai berikut:
1. Membuat sirkulasi pejalan kaki yang efisien
2. Mengorientasikan bangunan pada jalan dan ruang terbuka
3. Mengatur penggunaan gedung untuk mendukung aktifitas publik
4. Menempattkan tempat parkir di belakang atau bawah bangunan
5. Mendukung skala manusia dengan detil bangunan dan lansekap
6. Menyediakan akses pejalan kaki yang jelas dan berkesinambungan
7. Membangun jalan yang utuh dengan kelengkapannya
2.5 Hipotesis
Berdasarkan berbagai referensi yang sudah didapatkan, dapat diambil
hipotesis bahwa perancangan dan pengembangan tapak ini akan fokus kepada
konsep walkability, di mana kebutuhan pejalan kaki akan diutamakan dalam
perancangan agar dapat menghasilkan lingkungan yang ramah terhadap
pejalan kaki, aman, nyaman dan saling terhubung serta mendukung fasilitas
ataupun kegiatan yang ada di sekitar tapak.