200894661 case-yosua
-
Upload
homeworkping4 -
Category
Education
-
view
300 -
download
0
Transcript of 200894661 case-yosua
Get Homework/Assignment Done Homeworkping.comHomework Help https://www.homeworkping.com/
Research Paper helphttps://www.homeworkping.com/
Online Tutoringhttps://www.homeworkping.com/
click here for freelancing tutoring sitesRSUD ARIFIN ACHMADFakultas Kedokteran URSMF/ BAGIAN SARAF
Sekretariat : SMF Saraf – Irna Medikal Lantai 4Jl. Diponegoro No. 2 Telp. (0761) 7026225
P E K A N B A R U
STATUS PASIEN
Nama Koass Yosua Butar Butar
N I M / N U K 0508151221
Pembimbing dr. Amsar, Sp.S
I. IDENTITAS PASIEN
Nama Ny. M
Umur 53 tahun
Jenis kelamin Perempuan
Alamat Jl. Pemuda, Pekanbaru
Agama Islam
Status perkawinan Kawin
Pekerjaan Ibu Rumah Tangga
1
Tanggal Masuk RS 12 Juni 2013
Medical Record 835629
II. ANAMNESIS (Autoanamnesa)
Keluhan Utama
Lemah kedua tungkai bawah
Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 4 hari SMRS pasien mengeluhkan kedua kaki terasa lemah, lemah terjadi
secara pelahan-lahan, dan diawali dari kaki sebelah kanan. Awalnya pasien dapat
berjalan dengan dipapah , namun setelah beberapa hari pasien tidak mampu berdiri
tetapi masih dapat menggerakkan kaki , Pasien juga mengeluhkan kurangnya
sensasi rasa mulai dari perut sampai ke telapak kaki. Pasien juga susah untuk
mengontrol buang air kecil, BAB.lancar
2 Minggu SMRS pasien sering mengeluhkan nyeri pada pinggang sampai ke kedua
kaki, nyeri dirasa seperti ditusuk tusuk dan diperparah apabila sedang beraktifitas,
pasien juga sudah mengeluhkan rasa kebas pada kedua kaki, dan mulai merasa
lemah pada kaki kanan
Keluhan penurunan kesadaran (-), demam (-). Kemudian pasien dibawa ke RSUD
AA.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi (-), DM (-)
Riwayat Stroke (-)
Riwayat batuk lama tidak ada.
Riwayat konsumsi obat 6 bulan tidak ada.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan atau penyakit yang sama.
RESUME ANAMNESIS
2
Ny. D, 48 tahun, datang dengan keluhan kedua tungkai bawah lemah sejak 4 hari
sebelum dilakukan pemeriksaan. Diawali oleh kaki sebelah kanan, dan ditambah mati
rasa dari perut sampai ke telapak kaki, BAK sulit dikontrol.
III. PEMERIKSAAN
A. KEADAAN UMUM
Tekanan darah : Kanan : 140/90 mmHg, Kiri : 140/90 mmHg
Denyut nadi : Kanan : 86 x/mnt, teratur Kiri : 86 x/mnt, teratur
Jantung : HR : 86 x/mnt, irama teratur
Paru : Respirasi : 20x/mnt, tipe thorakoabdominal
Keadaan Gizi : Baik
B. STATUS NEUROLOGIK
1) KESADARAN : Komposmentis GCS : E4 M6 V5
2) FUNGSI LUHUR : Normal
3) KAKU KUDUK : Tidak Ada
4) SARAF KRANIAL
1. N. I (Olfactorius)Kanan Kiri Keterangan
Daya pembau N N Tidak ada kelainan2. N.II (Opticus)
Kanan Kiri KeteranganDaya penglihatanLapang pandangPengenalan warna
NNN
NNN
Tidak ada kelainan
3. N.III (Oculomotorius)Kanan Kiri Keterangan
PtosisPupil Bentuk UkuranGerak bola mataRefleks pupil Langsung Tidak langsung
(-)
Bulat2 mm
N
(+)(+)
(-)
Bulat2 mm
N
(+)(+)
Tidak ada kelainan
3
4. N. IV (Trokhlearis)Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata N N Tidak ada kelainan5. N. V (Trigeminus)
Kanan Kiri KeteranganMotorikSensibilitasRefleks kornea
NN
(+)
NN(+)
Tidak ada kelainan
6. N. VI (Abduscens)Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mataStrabismusDeviasi
N(-)(-)
N(-)(-)
Tidak ada kelainan
7. N. VII (Facialis)Kanan Kiri Keterangan
TicMotorik Daya perasaTanda chvostek
(-)NN(-)
(-)NN(-)
Tidak ada kelainan
8. N. VIII (Akustikus)Kanan Kiri Keterangan
Pendengaran N N Tidak ada kelainan9. N. IX (Glossofaringeus)
Kanan Kiri KeteranganArkus faringsDaya perasaRefleks muntah
NN
(+)
NN(+)
Tidak ada kelainan
10. N. X (Vagus)Kanan Kiri Keterangan
Arkus faringsDysfonia
N(-)
N(-)
Tidak ada kelainan
11. N. XI (Assesorius)Kanan Kiri Keterangan
MotorikTrofi
NEutrofi
NEutrofi
Tidak ada kelainan
12. N. XII (Hipoglossus)4
Kanan Kiri KeteranganMotorikTrofiTremorDisartri
NEutrofi
--
NEutrofi
--
Tidak ada kelainan
IV. SISTEM MOTORIKKanan Kiri Keterangan
Ekstremitas atas Kekuatan
DistalProksimal
Tonus Trofi Ger.involunter
55
NormalEutrofi
(-)
55
NormalEutrofi
(-)
Tidak ada kelainan
Ekstremitas bawah Kekuatan
DistalProksimal
Tonus Trofi Ger.involunter
22
NormalEutrofi
(-)
22
NormalEutrofi
(-)
Paraparese UMN
Badan Trofi Ger. Involunter Ref. Dinding perut
Eutrofi(-)(+)
Eutrofi(-)(+)
Tidak ada kelainan
V. SISTEM SENSORIKKanan Kiri Keterangan
RabaNyeriSuhuPropioseptif
---
DBN
---
DBN
Hipestesi setinggi T 11
VI. REFLEKSKanan Kiri Keterangan
Fisiologis Biseps (+) (+) Refleks fisiologis (+)
5
Triseps KPR APR
(+)(+)
Meningkat(+)
(+)(+)
Meningkat(+)
Meningkat
Patologis Babinski Chaddock Hoffman TromerReflek primitifPalmomental Snout
(-)(-)(-)
(-)(-)
(-)(-)(-)
(-)(-)
Refleks patologis (-)
Refleks primitif (-)
VII.FUNGSI KOORDINASIKanan Kiri Keterangan
Tes telunjuk hidungTes tumit lututGaitTandemRomberg
NSDNSDNSDNSDN
NSDNSDNSDNSDN
Pemeriksaan tumit lutut, gait, tandem dan romberg
tidak dapat dilakukan
VIII. SISTEM OTONOM
Miksi : Terpasang kateter
Defekasi : SDN
IX. PEMERIKSAAN KHUSUS/LAIN
a. Laseque : Tidak terbatas
b. Kernig : Tidak terbatas
c. Patrick : -/-
d. Kontrapatrick : -/-
e. Valsava test : SDN
f. Brudzinski : -/-
X. RESUME PEMERIKSAAN
Keadaan umum
Kesadaran : Komposmentis
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Pernafasan : 20 x/mnt, tipe thorakoabdominal
6
Fungsi luhur : Normal
Rangsang meningeal : (-)
Saraf kranial : Dalam batas normal
Motorik : Paraparese UMN
Sensorik : Hipestesi setinggi T 11
Koordinasi : Sulit dinilai
Otonom : Sulit dinilai
Refleks fisiologis : Meningkat pada ekstremitas bawah
Refleks patologis : (-)
Pemeriksaan lain : Laseque (-), Kernig (-), Patrick (-), Kontrapatrick (-)
C. DIAGNOSIS KERJA
DIAGNOSIS KLINIS : Mielopati Thorakal
DIAGNOSIS TOPIK : Medulla spinalis segmen T 11
DIAGNOSIS ETIOLOGIK : Susp. Tumor medula spinalis
DIAGNOSA BANDING : Infeksi medula spinalis
D. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium darah rutin: Hb, Ht, Leukosit, Trombosit
Pemeriksaan laboratorium kimia darah: AST, ALT, Ureum-kreatinin
Rontgen thorax PA
Rontgen vertebrae thorakolumbal AP-lateral
MRI thoracolumbal
E. USULAN TERAPI
a. Umum
- Immobilisasi
- Fisioterapi, bladder training
- Kontrol tanda vital
7
- Pemberian nutrisi peroral sesuai kebutuhan kalori
b. Khusus
- IVFD RL 20 gtt/i
- Inj. Metilprednisolon 3 x 125 mg. IV
- Inj. Ranitidin 1 gr 2x1
F. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan kimia darah (29 Juni 2013)
Glukosa : 92 mg/dl
BUN : 14,5 mg/dL
Ureum : 31,0 mg/dL
CR-S : 1,11 mg/dL
Uric : 31,0 mg/dL
AST : 27,8 IU/L
ALT : 27 IU/L
Leukosit : 10,8 x103 /Ul
HB : 11,3 gr/dl
HT : 34,9 L%
PLT : 370x103 /ul
Rontgen vertebrae thoraco-lumbal
Kesan : Segmen torakolumbal tak tampak kelainan
8
G. FOLLOW UP
Tanggal 12 Juli 2013
S : lemah pada kedua kaki, kesemutan (+)
O: Kesadaran komposmentis GCS : E4V5M6
TD : 130/80 mmHg
Nadi : 84x/menit, teratur
Nafas : 18x/menit
Suhu : 36,7°C
Fungsi luhur : Normal
Saraf kranial : Dalam Batas Normal
Sensorik : N N
9
Motorik : 5 5
3 3
Otonom : BAK : terpasang kateter
BAB : Belum ada
Refleks Fisiologis : Meningkat
Patologis : -
A: Mielopatit
P: IVFD RL 20 gtt/i
Inj. Metilprednisolon 3 x 125 mg. IV
Inj. Ranitidin 1gr 2x1 I.V
Folic Acid 2 x1
PEMBAHASAN
I. Paraparese 1,2
a. Definisi
Paraparese adalah kelemahan otot kedua ekstremitas bawah pada fungsi
motorik dan sensorik pada segmen torakal, lumbal, atau sacral medulla spinalis.
b. Klasifikasi
Paraparese spastik paraparese spastik terjadi karena kerusakan yang
mengenai upper motor neuron (UMN), sehingga menyebabkan peningkatan
tonus otot atau hipertonus.
10
Paraparese flaksid Paraparese flaksid terjadi karena kerusakan yang
mengenai lower motor neuron (LMN), sehingga menyebabkan penurunan
tonus otot atau hipotonus. 1,2
c. Patogenesis1,2
Lesi yang mendesak medulla spinalis sehingga merusak daerah jaras
kortikospinalis lateral dapat menimbulkan kelumpuhan UMN pada otot-otot bagian
tubuh yang terletak dibawah tingkat lesi. Lesi transversal medulla spinalis pada
tingkat servikal, misalnya C5 dapat mengakibatkan kelumpuhan UMN pada otot-otot,
kedua lengan yang berasal dari miotoma C6 sampai miotoma C8, lalu otot-otot toraks
dan abdomen serta seluruh otot-otot kedua ekstremitas.
Akibat terputusnya lintasan somatosensoris dan lintasan autonom
neurovegetatif asendens dan desendens, maka dari tingkat lesi kebawah, penderita
tidak dapat melakukan buang air besar dan kecil, serta tidak memperlihatkan reaksi
neurovegetatif.
Lesi transversal yang memotong medulla spinalis pada tingkat torakal atau
tingkat lumbal atas mengakibatkan kelumpuhan yang pada dasarnya serupa dengan
lesi yang terjadi pada daerah servikal yaitu pada tingkat lesi terjadi gangguan motorik
berupa kelumpuhan LMN pada otot-otot yang merupakan sebagian kecil dari otot-otot
toraks dan abdomen, namun kelumpuhan yang terjadi tidak begitu jelas terlihat
dikarenakan peranan dari otot-otot tersebut kurang menonjol. Hal ini dikarenakan lesi
dapat mengenai kornu anterior medula spinalis. Dan dibawah tingkat lesi dapat terjadi
gangguan motorik berupa kelumpuhan UMN karena jaras kortikospinal lateral
segmen thorakal terputus.
Gangguan fungsi sensorik dapat terjadi karena lesi yang mengenai kornu
posterior medula spinalis maka akan terjadi penurunan fungsi sensibilitas dibawah
lesi. Sehingga penderita berkurang merasakan adanya rangsang taktil, rangsang nyeri,
rangsang thermal, rangsang discrim dan rangsang lokalis.
Gangguan fungsi otonom dapat terjadi karena terputusnya jaras ascenden
spinothalamicus sehingga inkotinensia urin dan inkotinensia alvi. Tingkat lesi
transversal di medula spinalis mudah terungkap oleh batas defisit sensorik. Dibawah
batas tersebut, tanda-tanda UMN dapat ditemukan pada kedua tungkai secara lengkap.
11
Paraparese dapat disebabkan oleh suatu infeksi, satu hingga dua segmen dari
medula spinalis dapat rusak secara sekaligus. Infeksi langsung dapat terjadi melalui
emboli septik, luka terbuka dari tulang belakang, penjalaran osteomielitis, atau
perluasan dari proses meningitis piogenik. Istilah mielitis tidak saja digunakan untuk
proses peradangan pada medulla spinalis namun juga digunakan apabila lesinya
menyerupai proses peradangan dan disebabkan oleh proses patologi yang mempunyai
hubungan dengan infeksi, adanya tumor baik tumor ekstramedular maupun
intramedular serta trauma yang menyebabkan cedera medulla spinalis.
d. Manifestasi klinis1,2
Hipertonus
Hiperfleksi
Reflek patologis (+)
Klonus
Atrofi otot tidak ada
Refleks automatisme spinal
e. Diagnosis1,2
Ray-spine
Dilakukan X-Ray spine dengan permintaan lateral dan oblique. Tanda
degenerasi dari spine adalah :
Reduksi dari ruang intevertebralis
Penyempitan foramen intevertebralis
Formasi osteofit
Pelebaran jarak antar pedunkular ditemukan pada lesi intradural
Mielogram
CT Scan
Analisis CSF
12
Pemeriksaan penunjang lainnya :
X-Ray Toraks yang akan memperlihatkan suatu keganasan.
Tes serologi untuk mendeteksi adanya sifilis
IgA atau IgG albumin untuk mendiagnosa dari sklerosis multiple
Tes darah rutin
Pemeriksaan urin
f. Komplikasi1,2
Luka dekubitus
Kontraktur
Infeksi traktus urinarius
Emboli paru
Deep vein thrombosis
Paralisis otot-otot pernapasan
g. Penatalaksanaan 1,2
Terapi utama didasarkan dan disesuaikan dengan penyakit penyebab
paraparese spastik.
Penanganan spastisitas
Fisioterapi terdiri dari :
Prolonged passive stretching
Hydrotherapy
Refl ex inhibiting postures
Standing and walking
Ice therapy
Farmakologi
Antispasmodik
Inj intratechal baclofen / morphine
13
Blok saraf lokal sementara dgn toksin botulinum pada otot yang
spesifik.
II. Mielopati
Mielopati adalah gangguan fungsi pada medula spinalis yang biasanya sering
dihubungkan dengan trauma vertebra, tumor pada medula spinalis, gangguan vaskular
yang dapat menyebabkan infark dari medula spinalis, infeksi pada medula spinalis.
Gambaran atau ciri yang ditimbulkan oleh penyebab dari mielopati tergantung lokasi
dan anatomi dari medula spinalis.3
Klasifikasi Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi.4
Karakteristik Lesi Komplet Lesi InkompletMotorik Hilang di bawah lesi Sering (+)
Protopatik (nyeri, suhu) Hilang di bawah lesi Sering (+)Propioseptik (joint position,
vibrasi)Hilang di bawah lesi Sering (+)
Sacral sparing negatif positifRo. vertebra Sering fraktur,
luksasi, atau listesisSering normal
MRI (Ramon, 1997, data 55pasien cedera medula spinalis;
28 komplet, 27 inkomplet)
Hemoragi (54%),Kompresi (25%),
Kontusi (11%)
Edema (62%),Kontusi (26%),normal (15%)
Terdapat 5 sindrom utama cedera medula spinalis inkomplet menurut American Spinal Cord Injury Association yaitu: (1) Central Cord Syndrome, (2) Anterior Cord Syndrome, (3) Brown Sequard Syndrome, (4) Cauda Equina Syndrome, dan (5) Conus Medullaris Syndrome
Karakteristik klinik
Central CordSyndrome
Anterior Cord
Syndrome
Brown Sequard
Syndrome
Posterior Cord
Syndrome
Kejadian Sering Jarang Jarang Sangatjarang
Biomekanika Hiperekstensi Hiperfleksi Penetrasi Hiperekstensi
Motorik Gangguan bervariasi ;
jarang paralisis
Sering paralisis
komplet (ggn
Kelemahan anggotagerak
Gangguan bervariasi,ggn tractus
14
komplet tractusdesenden); biasanyabilateral
ipsilateral lesi;ggn traktus desenden
(+)
descendenringan
Protopatik Gangguanbervariasitidak khas
Sering hilang total
(ggn tractus ascenden);bilateral
Sering hilang total
(ggn tractus ascenden)
kontralateral
Gangguan bervariasi,biasanya ringan
Propioseptik Jarangsekali
terganggu
Biasanya utuh Hilang total ipsilateral;ggn tractus ascenden
Terganggu
Perbaikan Sering nyata dan
cepat; khas kelemahan
tangan dan jarimenetap
Paling buruk di antaralainnya
Fungsi buruk, namun
independensi palingbaik
NA
Penyebab Lesi Medula Spinalis
De Young (1979) menggolongkan penyebab lesi medula spinalis dalam5,6:
1. Lesi traumatik
2. Neoplasma
3. Lesi vaskuler
4. Lesi inflamasi
5. Proses degeneratif dan penyakit sistemik
6. Lain-lain
1. Lesi Traumatik
Guttmann membagi trauma medula spinalis dalam 3 macam sindrom, yaitu5,6:
a. Komosio medula spinalis
15
Keadaan ini disebabkan oleh suatu trauma tidak langsung pada medulla spinalis
yang tidak menyebabkan fraktur atau dislokasi. Pada keadaan ini terdapat
gangguan fungsi medula spinalis yang terjadi langsung tetapi hanya bersifat
sementara. Gejala gangguan medula spinalis ini dapat membaik dalam 24 jam-14
hari5,6.
b. Kontusio medula spinalis
Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma langsung maupun tidak langsung pada
kolumna vertebralis. Gejala gangguan fungsi umumnya berat dan perbaikan hanya
dapat diharapkan terjadi dalam waktu yang lama dan umumnya tidak sempurna5,6.
c. Kompresi medula spinalis
Pada keadaan ini selalu disertai kelainan pada kolumna vertebralis yang
menyebabkan terjadi gangguan fungsi medula spinalis. Oleh karena lesi di
parenkim medula spinalis umumnya ireversibel, gangguan fungsi di sini bersifat
menetap dan jarang terdapat perbaikan yang memadai5,6.
Green (1982) menyebutkan bahwa secara patofisiologi terdapat 2 faktor yang
berpengaruh pada trauma medula spinalis, yaitu5,6:
1. Faktor Ekstrinsik, faktor yang menyebabkan kemungkinan terjadi kompresi pada
medula spinalis seperti fraktur dan dislokasi, fraktur saja atau dislokasi saja.
Suatu fraktur yang disertai dislokasi sering menyebabkan terjadinya keadaan tidak
stabil yang dapat menyebabkan keadaan neurologik progresif memburuk.
Umumnya terdapat robekan ligament anterior maupun posterior.
2. Faktor Intrinsik, yaitu perubahan-perubahan yang terjadi pada medula spinalis
akibat trauma yang datang tiba-tiba, seperti perubahan morfologis, vaskuler dan
metabolism atau kimia.
Gejala klinis trauma medula spinalis adalah:
a. Shock spinal, yaitu defisit neurologi sementara yang timbul umumnya dalam 24-
48 jam pasca trauma medula spinalis. Selama periode ini ditemukan paralisis
flaksid dan kehilangan seluruh refleks dibawah lesi. Tanda pertama hilangnya
keadaan ini adalah timbulnya refleks di bawah lesi seperti refleks
bulbokavernosus dan “anal wink”. Keadaan ini timbul 6-12 minggu setelah
trauma8.
b. Kompresi medula spinalis
16
c. Transeksi komplit medula spinalis
d. Hemiseksi medula spinalis
e. Hematomielia
f. Lesi di atas servikal
g. Lesi di tengah dan bawah servikal
h. Lesi di torakal
i. Lesi pada konus medularis
j. Lesi pada kauda equine
Pemeriksaan neurologi
Pada kasus-kasus mielopati, pemeriksaan status neurologi lokal merupakan hal
yang sangat penting. Pemeriksaan status neurologis lokalis pada pasien cedera medula
spinalis mengacu pada panduan dari American Spinal Cord Injury Association/ ASIA.
Klasifikasi dibuat berdasarkan rekomendasi ASIA, A: untuk lesi komplet, sampai
dengan E: untuk keadaan normal.4
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang sebaiknya dikerjakan meliputi pemeriksaan
laboratorium darah dan pemeriksaan radiologis. Dianjurkan melakukan pemeriksaan 3
posisi standar (anteroposterior, lateral, odontoid) untuk vertebra servikal, dan posisi
AP dan lateral untuk vertebra thorakal dan lumbal. Pada kasus-kasus yang tidak
menunjukkan kelainan radiologis, pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan dan MRI
sangat dianjurkan. Magnetic Resonance Imaging merupakan alat diagnostik yang
paling baik untuk mendeteksi lesi di medula spinalis akibat cedera/trauma.7
Tatalaksana
Terapi pada cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan
dan mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Pasien dengan cedera medula
spinalis komplet hanya memiliki peluang 5% untuk kembali normal. Lesi medula
spinalis komplet yang tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam pertama,
17
cenderung menetap dan prognosisnya buruk. Cedera medula spinalis tidak komplet
cenderung memiliki prognosis yang lebih baik. Apabila fungsi sensoris di bawah lesi
masih ada, maka kemungkinan untuk kembali berjalan adalah lebih dari 50% .
Metilprednisolon merupakan terapi yang paling umum digunakan untuk cedera
medula spinalis traumatika dan direkomendasikan oleh National Institute of Health di
Amerika Serikat.8
Tindakan rehabilitasi medik merupakan kunci utama dalam penanganan pasien
cedera medula spinalis. Fisioterapi, terapi okupasi, dan bladder training pada pasien
ini dikerjakan seawal mungkin. Tujuan utama fisioterapi adalah untuk
mempertahankan ROM (Range of Movement) dan kemampuan mobilitas, dengan
memperkuat fungsi otot-otot yang ada. Pasien dengan Central Cord Syndrome / CSS
biasanya mengalami pemulihan kekuatan otot ekstremitas bawah yang baik sehingga
dapat berjalan dengan bantuan ataupun tidak. Terapi okupasional terutama ditujukan
untuk memperkuat dan memperbaiki fungsi ekstremitas atas, mempertahankan
kemampuan aktivitas hidup sehari-hari/ activities of daily living (ADL). Pembentukan
kontraktur harus dicegah seoptimal mungkin. Penggunaan alat bantu disesuaikan
dengan profesi dan harapan pasien. Penelitian prospektif selama 3 tahun menunjukkan
bahwa suatu program rehabilitasi yang terpadu (hidroterapi, elektroterapi, psikoterapi,
penatalaksanaan gangguan kandung kemih dan saluran cerna) meningkatkan secara
signifikan nilai status fungsional pada penderita cedera medula spinalis.4
Pemberian steroid berdasarkan National Acute Spinal Cord Injury Studies
(NASCIS)
National Acute Spinal Cord Injury Studies (NASCIS) dibagi 3, yaitu :
NASCIS I (USA, 1984)
o Tipe 1 = Pemberian 100mg matilprednisolon secara bolus, kemudian
25mg setiap 6 jam selama 10 hari
o Tipe 2 = Pemberian 1000mg metilprednisolon secara bolus, kemudian
25mg setiap 6 jam selama 10 hari
NASCIS II (USA, 1990)
o Pemberian steroid harus sesegera mungkin. Bila cedera terjadi sebelum
8 jam, diberikan metilprednisolon dosis tinggi 30 mg/kgBB intravena
18
perlahan selama 15 menit. Disusul 45 menit kemudian infus 5,4
mg/kgBB/jam selama 23 jam. Tetapi jika terapinya diberikan 3-8 jam
setelah cedera, infus dianjurkan berakhir sampai 48 jam. Trial klinik
menunjukkan hasil statistik yang bermakna terhadap perbaikan
neurologis jangka panjang. Metilprednisolon bekerja menghambat
peroksidase dan sekunder akan meningkatkan asam arakidonat.
NASCIS III (USA, 1997)
o Dosis metilprednisolon yang diberikan sama dengan protockol
NASCIS II namun diberikan selama 24 jam jika terapi diberikan < 3
jam setelah kejadian. Tetapi jika terapinya diberikan 3-8 jam setelah
cedera, infus dianjurkan berakhir sampai 48 jam.
Prognosis
Sebuah penelitian prospektif selama 27 tahun menunjukkan bahwa rata-rata
harapan hidup pasien cedera medula spinalis lebih rendah dibanding populasi normal.
Penurunan rata-rata lama harapan hidup sesuai dengan beratnya cedera. Penyebab
kematian utama adalah komplikasi disabilitas neurologik yaitu : pneumonia, emboli
paru, septikemia, dan gagal ginjal. medula spinalis; hasilnya menunjukkan bahwa
pemulihan fungsi kandung kemih terjadi pada 27% pasien pada 6 bulan pertama. Skor
awal ASIA berkorelasi dengan pemulihan fungsi kandung kemih.9
2. Neoplasma
Tumor medula spinalis merupakan 20% dari semua susunan saraf pusat.
Klasifikasi tumor medula spinalis yaitu5:
a) Tumor ekstradural, merupakan 50% dari semua tumor intraspinal dan hampir
semuanya merupakan tumor metastase.
b) Tumor intradural, terdiri dari ekstramedular yang merupakan 90% dari seluruh
tumor intradural. Biasanya berasal dari meningen, radiks neuralis, jaringan
penunjang dan pembuluh darah. Lainnya adalah tumor intramedular,
jumlahnya lebih sedikit dibandingkan tumor ekstrameduler, berasal dari sel
glia, sel ependim dan vaskuler.
19
Umumnya manifestasi dini dari kompresi medula spinalis adalah berupa
gangguan fungsi traktus motorik. Bila lesi progresif hal ini akan diikuti dengan
gangguan fungsi kolumna dorsalis dan kemudian gangguan fungsi traktus
anterolateral. Gejala dan tanda yang dapat muncul berupa5:
a) Nyeri, merupakan gejala tersering. Umumya muncul lebih dulu dari pada
tanda-tanda neurologis. Nyerinya konstan, tumpul, bertambah berat dan
bertambah jika bergerak atau jika ada kompresi dada.
b) Kelemahan, polanya upper motor neuron
c) Sensoris menurun, sampai atau tepat di bawah dermatom setinggi persarafan
yang mengalami kompresi
d) Ataksia
e) Retensio urin dan konstipasi merupakan gejala lanjut dari disfungsi otonom
3. Lesi Vaskuler
Suatu gangguan fungsi medula spinalis akibat lesi vaskuler juga disebut
penyakit spinovaskuler. Klasifikasi lesi vaskuler terdiri dari infark dan perdarahan5.
4. Lesi Inflamasi
Suatu penyakit dengan inflamasi pada medula spinalis disebut mielitis.
Klasifikasi mielitis menurut Adam yaitu6:
a) Mielitis yang disebabkan oleh virus
b) Mielitis yang disebabkan oleh bakteri, jamur, parasit dan penyakit granuloma
primer pada meningen dan medula spinalis
c) Mielitis yang disebabkan proses inflamasi non infeksius
5. Proses Degeneratif Dan Penyakit Sistemik
Menurut Adams (1981) penyakit degenerasi sistem saraf adalah penyakit yang
disebabkan karena kemunduran fungsi sel saraf yang terkena. Beberapa karakteristik
umum dari penyakit degeneratif adalah6:
20
a) Penyakit ini timbul berangsur-angsur pada bagian sistem saraf yang
sebelumnya berfungsi normal
b) Umumnya perjalanan penyakit adalah progresif lambat
c) Lesi yang terdapat pada penyakit ini adalah simetris bilateral sehingga
walaupun manifestasi klinisnya mungkin didahului oleh salah satu sisi, akan
tetapi cepat atau lambat akan mengenai sisi yang lain
d) Beberapa jenis penyakit yang tergolong disini menyebabkan secara selektif
sistem saraf tertentu yang secara anatomi dan fisiologi berhubungan, sehingga
penyakit ini sering juga disebut penyakit sistemik.
6. Lain-Lain
Kelainan di luar kanalis spinalis dapat menyebabkan gangguan fungsi medula
spinalis, seperti5:
a) Penyakit pada tulang vertebra seperti penyakit paget, penyakit pott,
osteoporosis yang hebat dan lain-lain
b) Kelainan pada diskus intervertebralis, dapat berupa rupture spondilosis dan
spondilitis
c) Iatrogenik, seperti akibat penyuntikan obat atau zat kontras intratekal atau
akibat terapi
d) Mielopati hepatik dan akibat keganasan pada jaringan ekstraneural
DASAR DIAGNOSIS
a. Dasar diagnosis klinis Mielopati thorakal
Mielopati thorakal ditegakkan karena dari anamnesis didapatkan keluhan
pasien berupa rasa lemah dan berat pada kedua tungkai yang secara progresif
cepat menyebabkan tungkai tidak dapat digerakkan. Dari pemeriksaan fisik
juga ditemukan adanya paraparese UMN. Juga didapakan adanya gangguan
sensorik setinggi T 5 medula spinalis, dan adanya gangguan otonom.
b. Dasar diagnosis topik Segmen T 5 medulla spinalis
21
Pada pasien ditemukan paraparese UMN yang dibuktikan dengan adanya
hipereflek pada patella dan Achilles, hipertonus dan tidak adanya atrofi otot.
Juga terdapat gangguan sensorik setinggi batas bawah lipatan mammae sampai
ketungkai T 5
c. Dasar diagnosa etiologik Trauma medulla spinalis
Pada anamnesis didapatkan adanya riwayat trauma jatuh terduduk. Pasien
masih bisa berjalan dengan dibantu, namun sudah mulai terasa lemas pada
kaki. Kemudian kedua tungkai mengalami kurang sensasi rasa dan pasien
tidak bisa berjalan lagi. BAK dan BAB terganggu.
d. Dasar diagnosis banding
Manifestasi klinis paraparese, mati rasa, inkontinensia uri pada pasien juga
dapat disebabkan oleh adanya infeksi medula spinalis.
e. Diagnosa akhir
Mielopai torakal e.c suspek trauma medulla spinalis
DASAR ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan laboratorium darah rutin : Untuk mengetahui keadaan umum
pasien dan kemungkinan lain penyebab kelainan, seperti infeksi dengan
melihat kenaikan jumlah leukosit
b. Pemeriksaan laboratorium kimia darah : Untuk menilai fungsi organ-organ
lain.
c. Rontgen thoraks PA : untuk mendukung kecurigaan etiologik
d. Rontgen thoracolumbal AP-lateral : Untuk mendukung kecurigaan etiologi
penyakit pada pasien dan menilai struktur tulang segmen thoracolumbal.
e. MRI thoracolumbal (bila perlu dengan kontras) : Untuk mendukung
kecurigaan etiologi penyakit pada pasien.
22
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Bromley, I. (2006). Tetraplegia and Paraplegia, A Guide for Physiotherapists.
China : Elsevier.
2. Chussid, J. G. (1990). Korelasi Neuroanatomi dan Neurologi Fungsional, Bagian
Kedua. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
3. Baehr M, Frostcher M. Duus’ Topical Diagnosis In Neurology. New York.
Thieme Stuttgart. 2005.
4. Young W. Spinal Cord Injury Levels and Classification, Care Cure Community,
Keek Centre for Collaborative Neurosciense, 2002.
5. Koesoemawati H, dkk editor. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta:
EGC, 2000. 1419.
6. Ahmad A. Pola Penyakit Medula Spinalis di Lab/UPF Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung Periode 1981-1984. Bandung, 1985. 31-
128.
7. Schreiber D. Spinal Cord Inuries, eMedicine Journal, April, 2002.
8. FSIP. Spinal Cord Injury Facts : Statistics. Foundation for Spinal Cord Injury
Prevention, Care and Cure. 2001.
9. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Disease of Spinal Cord in Principles of
Neurology, 7Th ed. McGraw-Hill, New York, 2001.
24