2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Tanaman kakao berasal dari daerah hutan hujan tropis...
Transcript of 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Tanaman kakao berasal dari daerah hutan hujan tropis...
8
2 TINJAUAN PUSTAKA
Usahatani Kakao
Kakao (Theobroma cacao, L) merupakan salah satu komoditas perkebunan
yang sesuai untuk perkebunan rakyat, karena tanaman ini dapat berbunga dan
berbuah sepanjang tahun, sehingga dapat menjadi sumber pendapatan bagi petani.
Tanaman kakao berasal dari daerah hutan hujan tropis di Amerika Selatan. Di
daerah asalnya, kakao merupakan tanaman kecil di bagian bawah hutan hujan
tropis dan tumbuh terlindung pohon-pohon yang besar. Oleh karena itu dalam
budidayanya tanaman kakao memerlukan naungan.
Di Indonesia tanaman kakao mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Tahun 1969-1970 produksi kakao Indonesia hanya sekitar 1.0 Ton (peringkat ke
29 dunia), kemudian Tahun 1980-1981 meningkat menjadi sekitar 16 Ton
(peringkat 16 dunia) (AAK 2004).
Tanaman kakao yang ditanam di perkebunan pada umumnya adalah kakao
jenis Forastero (bulk cocoa atau kakao lindak), Criolo (fine cocoa atau kakao
mulia), dan hibrida (hasil persilangan antara jenis Forastero dan Criolo). Pada
perkebunan - perkebunan besar biasanya kakao yang dibudidayakan adalah jenis
mulia (Siregar et al. 2007).
Tahun 2000 luas kepemilikan perkebunan kakao lebih didominasi oleh
perkebunan rakyat yaitu 86% dari total area perkebunan kakao di Indonesia,
kemudian diikuti oleh perkebunan besar negara 7% dan perkebunan besar swasta
7% (AAK 2004).
Perkembangan kakao di propinsi Aceh tidak terlepas dari berbagai masalah
yang dijumpai dari sektor hulu hingga sektor hilir. Beberapa masalah di sektor
hulu antara lain produktivitas tanaman yang masih rendah. Permasalahan di sektor
hilir mengenai rendahnya kualitas mutu biji terutama biji yang tidak difermentasi.
Meskipun areal dan produksi kakao di NAD selama lima tahun terakhir
mengalami peningkatan, namun dari segi aspek produktivitas menurun 4,25 % per
tahun (Disbunhut Aceh 2008).
Di propinsi Aceh luas areal tanaman kakao dari tahun ke tahun terus
meningkat, tahun 2004 jumlah areal tanam seluas 24 491.00 ha sedangkan tahun
2008 luas areal tanaman kakao meningkat menjadi 70 873.00 ha dan ini umumnya
dilakukan oleh petani sehingga perkebunan rakyat telah mendominasi perkebunan
kakao di propinsi Aceh (Disbunhut 2008). Luas areal tanaman kakao di propinsi
Aceh dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel di atas terlihat bahwa perkembangan luas areal TBM terus mengalami
peningkatan, ini menunjukkan bahwa minat petani terhadap pengembangan kakao
di propinsi Aceh cukup besar yang juga didukung oleh kondisi dan prospek harga
kakao di pasaran internasional yang cukup bagus.
Saat ini di propinsi Aceh juga telah terbentuk Forum Pengembangan Kakao
Aceh (FKA) yang berkelanjutan yang disepakati oleh Pemda Aceh dan beberapa
NGO (APED, UNDP, GTZ) dengan upaya untuk promosi dan implementasi
pengembangan kluster di Propinsi Aceh yang terfokus dan terarah (APED 2007)
9
Tabel 1 Luas tanaman kakao di propinsi Aceh
Tahun Luas Areal (Ha) Jumlah
TBM TM TR (Ha)
2004 9 309 13 689 1 493 24 491
2005 12 213 17 216 2 866 32 295
2006 15 836 17 677 4 921 38 434
2007 19 639 21 533 5 256 46 427
2008 32 283 32 612 5 978 70 873
Keterangan : TBM = Tanaman belum menghasil
TM = Tanaman menghasilkan,
TR = Tanaman rusak
Sumber : Disbunhut Aceh (2008)
Dilihat dari luas areal tanam yang terus meningkat, namun dari segi
produktivitas masih sangat rendah yaitu 300 - 450 kg ha-1 dan ini merupakan
hasil panen terendah di pulau sumatera (500 - 700 kg ha-1) (FKA 2010).
Rendahnya produktivitas kakao di propinsi Aceh diakibatkan karena minimnya
pengetahuan petani setempat akan budidaya tanaman kakao disamping akibat
konflik yang berkepanjangan (lahan kakao yang diterlantarkan).
Menurut FKA (2010), produksi kakao yang dicapai menunjukkan bahwa
petani kakao di Aceh masih miskin, ini disebabkan karena produktivitas lahan
yang rendah. Penyebabnya adalah rusaknya kebun, tidak terawat, hama penyakit
lokal seperti monyet dan tupai serta hama penggerek buah kakao (PBK). Faktor
lain yang mengakibatkan rendahnya produksi kakao di Aceh adalah bibit kakao
yang digunakan tidak semuanya menggunakan bibit unggul. Akibatnya adalah
harga jual yang rendah, karena kualitas yang kurang baik. Umumnya tanaman
kakao di Aceh memiliki buah dan biji yang kecil, bahkan ada juga sebagian petani
yang memanen muda buah kakao, karena kuatir dengan serangan hama. Secara
umum petani kakao di Aceh hanya mampu menghasilkan biji kakao sebanyak 50-
400 kg ha-1 tahun-1 bila dibandingkan dengan sebuah kebun kakao yang baik
dapat menghasilkan panen minimal 1.00 ton hektar-1 tahun-1 nya (FKA 2010),
sedangkan produksi optimum adalah 1.00 -1.2 ton hektar-1 tahun-1 (AAK 2004)
Untuk itu FKA mengemukakan, strategi yang akan didorong oleh pihaknya
adalah mengefektifkan penggunaan bibit kakao bersertifikasi internasional, dan
selain itu juga melakukan sertifikasi terhadap produksi kakao Aceh, hal ini sangat
penting sehingga nantinya akan semakin meningkatkan kepercayaan internasional
terhadap produksi kakao Aceh.
Faktor lain yang harus di perhatikan dalam budidaya kakao adalah teknik
pemangkasan, perlakuan ini sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan
dan produksi kakao. Teknik pemangkasan terdiri atas :
- Pemangkasan bentuk dilakukan pada tanaman yang belum menghasilkan.
- Pemangkasan pemeliharaan dan produksi, cabang yang dipangkas adalah
cabang sakit, cabang balik, cabang terlindung atau cabang yang melindungi,
frekuensi 6-8 kali pertahun, tunas air dibuang 2-4 minggu sekali.
- Pemangkasan pemendek tajuk, tujuannya membatasi tinggi tajuk tanaman
maksimum 3.5 - 4.0 m. dilakukan setahun sekali pada awal musim hujan.
10
- Pemangkasan tidak dibenarkan pada saat tanaman berbunga lebat atau ketika
sebagian besar buah masih penti (Prawoto 1996).
Kendala lain yang dihadapi oleh petani kakao di propinsi Aceh selama ini
adalah : 1) penerapan teknologi budidaya secara benar masih sangat kurang. 2)
produktivitas kakao di propinsi Aceh masih rendah, 3) kualitas kakao yang
dihasilkan petani masih di bawah standar ekspor, 4) penanganan pascapanen
kakao masih minim dan 5) pemasaran hasil kakao hanya di pasarkan keluar
provinsi (propinsi Sumatera Utara) sehingga terjadi fluktuasi harga.
Sebagai daerah tropis, Indonesia yang terletak antara 6o LU – 11o LS
merupakan daerah yang sesuai untuk tanaman kakao. Tanaman Kakao merupakan
tanaman perkebunaan berprospek menjanjikan. Tetapi jika faktor tanah yang
semakin keras dan miskin unsur hara terutama unsur hara mikro dan hormon
alami, faktor iklim dan cuaca, faktor hama dan penyakit tanaman, serta faktor
pemeliharaan lainnya tidak diperhatikan maka tingkat produksi dan kualitasnya
akan rendah.
Tanaman kakao akan tumbuh lebih baik bila mengikuti acuan kriteria
kesesuaian lahannya (Djaenudin et al. 2003). Kakao dalam pertumbuhannya
memerlukan curah hujan yang cukup dan terdistribusi merata, dengan jumah
curah hujan 1500 - 2500 mm tahun-1, bulan kering tidak lebih dari 3 bulan dan
memerlukan suhu rata-rata antara 15 - 30oC dengan suhu optimum 25.5oC.
Keadaan tanah yang diinginkan oleh tanaman kakao adalah tanah yang
bersolum > 150 cm, tekstur lempung liat berpasir dengan komposisi 30 ‐ 40% liat,
50% pasir, dan 10 ‐ 20% debu, struktur tanah yang remah dengan agregat yang
mantap sehingga tanah mempunyai daya menahan air, aerasi dan drainase yang
baik, reaksi tanah (pH) 6 - 7, dan kandungan bahan organik tidak kurang dari 3%
(Siregar et al. 2007).
Dilihat dari habitat aslinya tanaman kakao hidup pada hutan tropika basah,
yaitu tumbuh di bawah naungan pohon-pohon tinggi. Habitat seperti ini masih
dipertahankan dengan cara memberi tanaman penaung. Untuk itu walaupun telah
diperoleh lahan yang sesuai, sebelum penanaman kakao tetap diperlukan
persiapan naungan yang bertujuan untuk mengurangi pencahayaan penuh.
Cahaya matahari yang terlalu banyak menyoroti tanaman kakao akan
mengakibatkan lilit batang kecil, daun sempit, dan tanaman relatif pendek. Tanpa
persiapan naungan yang baik, pengembangan tanaman kakao akan sulit
diharapkan keberhasilannya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan juga bagi
tanaman penaung adalah tumbuhnya menyemak tetapi tegak, perakarannya tidak
dalam dan melebar agar tidak terjadi persaingan dengan tanaman kakao dan
pembongkarannya mudah (PPKKI 2004).
Tanaman pisang ( Musa sp) dapat ditanam sebagai tanaman penaung bagi
tanaman kakao muda dengan jarak tanam 3x6 m untuk kakao yang jarak
tanamnya 3x3 m. Dilihat dari aspek populasi, tanaman pisang tidak menampakkan
pengaruh yang jelas terhadap pertumbuhan kakao muda, akan tetapi semakin
tinggi populasi semakin besar pendapatannya. Manfaat lain dari tanaman pisang
adalah limbah dari tanaman pisang dapat dipakai sebagai mulsa bagi tanaman
kakao sebagai upaya efisiensi dalam siklus unsur hara dan bahan organik
(Prawoto 1995).
Tanaman pinang (Areca catechu) digunakan sebagai tanaman pelindung
karena tanaman ini memiliki tajuk yang tinggi dan sistem perakarannya tidak
11
tumpang tindih dengan sistem perakaran kakao dan ini sering dilakukan di negara
India (Lim 1978).
Evaluasi Lahan
Kebutuhan akan lahan yang semakin meningkat dan langkanya lahan
pertanian yang subur dan potensial, serta adanya persaingan dalam penggunaan
lahan, maka sangat diperlukan penilaian lahan dalam upaya mengoptimalkan
penggunaan lahan secara berkelanjutan.
Beberapa indikator yang memprihatinkan hasil evaluasi kegiatan pertanian
hingga saat ini, yaitu : (1) tingkat produktivitas lahan menurun, (2) konversi lahan
pertanian semakin meningkat, (3) luas lahan kritis semakin meluas, (4) tingkat
pencemaran dan kerusakan lingkungan pertanian meningkat, (5) daya dukung
lingkungan merosot, (6) tingkat pengangguran di pedesaan meningkat, (7) daya
tukar petani berkurang, (8) penghasilan dan kesejahteraan keluarga petani
menurun, (9) kesenjangan antar kelompok masyarakat meningkat. Untuk itu perlu
dilakukan upaya-upaya mengatasi masalah tersebut. Langkah pertama dalam
upaya tersebut adalah evaluasi lahan.
Evaluasi lahan adalah suatu proses penilaian sumberdaya lahan untuk tujuan
tertentu dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah teruji. Hasil
evaluasi lahan akan memberikan informasi dan/atau arahan penggunaan lahan
sesuai dengan keperluan.
Evaluasi lahan memerlukan sifat-sifat fisik lingkungan suatu wilayah yang
dirinci ke dalam kualitas lahan (land qualities) dan setiap kualitas lahan biasanya
terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan (land characteristics). Beberapa
karakteristik lahan umumnya mempunyai hubungan satu sama lainnya di dalam
pengertian kualitas lahan dan akan berpengaruh terhadap jenis penggunaan atau
pertumbuhan tanaman.
Berdasarkan tujuannya, evaluasi lahan dapat berupa klasifikasi
kemampuan lahan (land capability classification) atau klasifikasi kesesuaian
lahan (land suitability classification). Klasifikasi kemampuan lahan digunakan
untuk penggunaan pertanian secara umum, sedangkan klasifikasi kesesuaian lahan
digunakan untuk penggunaan pertanian yang lebih khusus untuk jenis tanaman
tertentu (crop specific) (Arsyad 2010).
Klasifikasi Kemampuan Lahan
Klasifikasi kemampuan lahan (Land capability clasification) adalah
penilaian lahan (komponen-komponen lahan) secara sistematik dan
pengelompokannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang
merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari (Arsyad
2010). Sitorus (2004) juga mengemukakan klasifikasi kemampuan lahan adalah
penilaian potensi lahan bagi penggunaan berbagai sistem pertanian secara luas dan
tidak membicarakan peruntukan jenis tanaman tertentu atau tindakan-tindakan
pengelolaannya. Lahan dengan kemampuan yang tinggi diharapkan nantinya
berpotensi yang tinggi dalam berbagai penggunaan.
Sistem evaluasi kemampuan lahan mengelompokkan lahan ke dalam
sejumlah kategori yang diurut menurut faktor penghambat permanen. Sistem ini
dilakukan dengan cara menguji nilai-nilai dari sifat tanah dan lokasi melalui
12
proses penyaringan. Nilai yang pertama diuji terhadap kriteria untuk kelas lahan
yang terbaik, dan jika tidak semua kriteria dapat dipenuhi, lahan tersebut secara
otomatis jatuh ke dalam kelas yang lebih rendah hingga kelasnya ditemukan dan
semua kriteria dipenuhi.
Klasifikasi kemampuan lahan dimaksudkan untuk mengetahui kesesuaian
antara penggunaan lahan dengan kemampun tanah, karena bila suatu penggunaan
lahan tidak sesuai dengan kemampuannya maka akan terjadi degradasi lahan.
Demikian pula bila penggunaan lahan untuk pertanian tidak disertai dengan
tindakan pengelolaan lahan yang baik, maka akan menimbulkan permasalahan
erosi pada lahan pertanian tersebut (Kahirun 2000).
Sistem klasifikasi kemampuan lahan (land capability) yang dikembangkan
oleh Hockensmith dan Steele (1943) ; Klingebiel dan Montgomery (1973) dalam
Arsyad (2010) membagi lahan ke dalam sejumlah kategori menurut faktor
penghambat terhadap pertumbuhan tanaman. Selanjutnya Dent dan Young (1981)
mengemukakan bahwa klasifikasi kemampuan lahan merupakan proses
pengelompokkan lahan ke dalam kelas-kelas tertentu, terutama didasarkan atas
faktor-faktor pembatas permanen. Ada tiga kategori yang digunakan, yaitu kelas,
sub kelas dan satuan kemampuan. Penggolongan ke dalam tiga katagori tersebut
berdasarkan atas kemampuan lahannya untuk produksi pertanian secara umum
tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka panjang (Arsyad 2010).
Pengelompokan lahan ke dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor
penghambat dari kekas I sampai dengan kelas VIII, dimana resiko kerusakan dan
besarnya faktor penghambat bertambah semakin tinggi kelasnya (Hardjowigeno
2010). Tanah kelas I – IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan
dan sesuai untuk berbagai penggunaan seperti untuk penanaman tanaman
pertanian (tanaman semusim dan tanaman tahunan), rumput untuk makanan
ternak, padang rumput dan hutan. Tanah pada kelas V, VI dan VII sesuai untuk
padang rumput, tanaman pohon-pohonan atau vegetasi alami. Dalam beberapa
hal tanah kelas V dan VI dapat menghasilkan dan menguntungkan untuk beberapa
jenis tanaman tertentu seperti buah-buah-buahan, tanaman hias atau bunga-
bungaan dan bahkan jenis sayuran bernilai tinggi dengan pengelolaan dan
tindakan konservasi tanah dan air yang baik. Tanah dalam kelas VIII sebaiknya
dibiarkan dalam keadaan alami (Arsyad 2010).
Kelas
Kelas merupakan tingkat yang tertinggi dan bersifat luas dalam struktur
klasifikasi. Pengelompokan di dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor
penghambat, dimana tanah dikelompokkan ke dalam kelas I sampai kelas VIII.
Semakin tinggi kelasnya, kualitas lahannya semakin jelek, resiko kerusakan dan
besarnya faktor penghambat semakin besar sehingga pilihan penggunaan lahan
yang dapat diterapkan semakin terbatas. Tanah kelas I sampai IV merupakan
lahan yang sesuai untuk usaha pertanian, sedangkan tanah kelas V sampai VIII
tidak sesuai untuk usaha pertanian dan bila diperuntukkan untuk usaha pertanian
diperlukan biaya yang sangat tinggi dalam pengelolaannya.
Hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam
penggunaan tanah disajikan pada Gambar 2.
13
Kelas
Kemampuan Lahan
Intensitas dan Pilihan Penggunaan Meningkat
Hambatan
meningkat, kesesuaian
dan pilihan
penggunaan lahan
berkurang
Cagar
Alam Hutan
Penggembalaan Garapan
Terbatas Sedang Intensif Terbatas Sedang Intensif Sangat
Intensif
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
Gambar 2 Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan
intensitas dan macam penggunaan lahan (Klingebiel dan
Montgomery 1973 dalam Arsyad 2010).
Sub Kelas
Pengelompokkan di dalam sub kelas didasarkan atas jenis faktor
penghambat atau ancaman kerusakan. Terdapat beberapa jenis faktor
penghambat, yaitu ancaman erosi (e), keadaan drainase (w), (3) hambatan daerah
perakaran (s) dan hambatan iklim (c).
Satuan Kemampuan (Capability Unit)
Pengelompokkan di dalam satuan kemampuan lahan memberi keterangan
yang lebih spesifik dan terinci untuk setiap bidang lahan dari pada sub kelas
(Arsyad 2010). Satuan kemampuan merupakan pengelompokan lahan yang sama
atau hampir sama kesesuaiannya bagi tanaman dan memerlukan pengelolaan yang
sama. Lahan ini mempunyai sifat yang sama dalam hal (a) kemampuan
memproduksi tanaman pertanian atau tanaman rumput untuk makanan ternak, (b)
memerlukan tindakan konservasi dan pengelolaan yang sama di bawah vegetasi
penutup yang sama, dan (c) untuk jenis tanaman yang sama akan memberi hasil
kurang lebih sama (produksi rata-rata dengan sistem pengelolaan yang sama tidak
akan berbeda lebih dari 25 %) (Suripin 2001).
Secara ringkas kriteria klasifikasi kemampuan lahan berdasarkan faktor
penghambat dapat disusun dalam suatu matriks (Tabel 2) dan kriteria masing-
masing faktor penghambat disajikan pada Lampiran 1.
14
Tabel 2 Kriteria klasifikasi kemampuan lahan
Faktor penghambat/
Pembatas 1)
Kelas Kemampuan Lahan
I II III IV V VI VII VIII
1. Lereng Permukaan A (l0) B (l1) C (l2) D (l3) A(l0) E (l4) F (l5) G (l6)
2. Kepekaan erosi KE1,KE2 KE3 KE4,KE5 KE6 (*) (*) (*) (*)
3. Tingkat erosi e0 e1 e2 e3 (**) e4 e5 (*)
4. Kedalaman tanah k0 k1 k2 k2 (*) k3 (*) (*)
5. Tekstur lapisan Atas t1,t2, t1,t2, t1,t2, t1,t2, (*) t1,t2, t1,t2, t5
t3 t3 t3,t4 t3,t4 t3,t4 t3,t4
6. Tekstur lap. bawah sda sda sda sda (*) sda sda t5
7. Permeabilitas P2,P3 P2,P3 P2,P3 P2,P3 P1 (*) (*) P5
P4 P4
8. Drainase d1 d2 d3 d4 d5 (**) (**) d0
9. Kerikil/batuan b0 b0 b1 b2 b3 (*) (*) b4
10. Ancaman banjir O0 O1 O2 O3 O4 (**) (**) (*)
11.Garam/salinitas (***) g0 g1 g2 (**) g3 g3 (*) (*)
Catatan: (1) = kriteria masing-masing faktor penghambat disajikan pada Lampiran 1
(*) = dapat mempunyai sembarang sifat
(**) = tidak berlaku
(***) = umumnya terdapat di daerah beriklim kering
Sumber : Arsyad ( 2010)
Secara skematis klasifikasi kemampuan lahan dapat dilihat pada Gambar 3
berikut :
Gambar 3 Skematis klasifikasi kemampuan lahan
Klasifikasi Kesesuaian Lahan
Menurut FAO (1976) kerangka dari sistem Klasifikasi kesesuaian lahan
dibagi atas 4 (empat) kategori, yaitu :
Ordo : menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai
untuk penggunaan tertentu.
Kelas : menunjukkan tingkat kesesuaian suatu lahan.
I II III IV V VI VII VIII
Vs1 Vs2 Vs3 Vs4
e w s c
Kelas
Sub Kelas
Unit
15
Sub kelas : menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang
harus dijalankan dalam masing-masing kelas.
Unit : menunjukkan perbedaan-perbedaan kecil yang ber
pengaruh dalam pengelolaan suatu sub kelas.
Ordo dan kelas biasanya digunakan dalam pemetaan tanah tinjau, sub-kelas
untuk pemetaan tanah semi detail, dan unit untuk pemetaan tanah detail. Ordo
juga digunakan dalam pemetaan tanah pada skala yang lebih besar.
Kesesuaian Lahan pada Tingkat Ordo (Order)
Pada tingkat ordo ditunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai
untuk suatu jenis penggunaan lahan tertentu. Dikenal ada 2 (dua) ordo, yaitu :
1. Ordo S (sesuai). Lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang dapat
digunakan dalam jangka waktu yang tidak terbatas untuk suatu tujuan yang
telah dipertimbangkan. Keuntungan dari hasil pengelolaan lahan itu akan
memuaskan setelah dihitung dengan masukan yang diberikan. Tanpa atau
sedikit resiko kerusakan terhadap sumberdaya lahannya.
2. Ordo N (tidak sesuai). Lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang
mempunyai kesulitan sedemikian rupa, sehingga mencegah penggunaannya
untuk suatu tujuan yang telah direncanakan. Lahan dapat digolongkan
sebagai tidak sesuai untuk digunakan bagi usaha pertanian karena berbagai
penghambat, baik secara fisik (lereng sangat curam berbatu-batu dan
sebagainya) atau secara ekonomi (keuntungan yang didapat lebih kecil dari
biaya yang dikeluarkan).
Kesesuaian Lahan pada Tingkat Kelas
Kelas kesesuaian lahan adalah pembagian lebih lanjut dari ordo dan
menunjukkan tingkat kesesuaian dari ordo tersebut. Kelas diberi nomor urut yang
ditulis dibelakang symbol ordo, dimana nomor itu menunjukkan tingkat kelas
yang makin jelek jika makin tinggi nomornya (Hardjowigeno 2010).
Banyaknya kelas dalam setiap ordo sebetulnya tidak terbatas, akan tetapi
dianjurkan hanya memakai tiga sampai lima kelas dalam ordo S dan dua kelas
dalam ordo N. Jumlah kelas tersebut harus didasarkan kepada keperluan minimum
untuk mencapai tujuan-tujuan penafsiran.
Jika tiga kelas yang dipakai dalam ordo S (sesuai) dan dua kelas yang
dipakai dalam ordo N (tidak sesuai), maka pembagian serta definisinya secara
kualitatif adalah sebagai berikut (FAO 1976) :
1. Kelas S1: sangat sesuai (highly suitable). Lahan tidak mempunyai pembatas
yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai
pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak
akan menaikkan masukan yang telah biasa diberikan.
2. Kelas S2: cukup sesuai (moderately) lahan mempunyai pembatas-pembatas
yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus
diterapkan. Pembatas akan mengurangi produk atau keuntungan dan
meningkatkan masukan yang diperlukan.
3. Kelas S3: sesuai marginal (marginally suitable). Lahan mempunyai
pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan
16
yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan
atau lebih meningkat masukan yang diperlukan.
4. Kelas N1: tidak sesuai pada saat itu (currently not suitable). Lahan
mempunyai pembatas yang lebih besar, tetapi masih memungkinkan diatasi,
tetapi tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengelolaan dengan modal
normal. Keadaan pembatas sedemikian besarnya, sehingga mencegah
penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang.
5. Kelas N2: tidak sesuai untuk selamanya (permanently not suitable). Lahan
mempunyai pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan
penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang.
Kesesuaian Lahan pada Tingkat Sub Kelas
Sub kelas kesesuaian lahan mencerminkan jenis pembatas atau macam
perbaikan yang diperlukan dalam kelas tersebut.
Tiap kelas dapat terdiri dari satu atau lebih sub- kelas, tergantung dari jenis
pembatas yang ada. Jenis pembatas itu ditunjukkan dengan symbol huruf kecil
yang ditempatkan setelah simbol kelas. Misalnya kelas S2 yang mempunyai
pembatas kedalaman efektif (s) dapat menjadi sub-kelas S2s. Dalam satu sub kelas
dapat mempunyai satu, dua, atau paling banyak tiga symbol pembatas, dimana
pembatas yang paling dominan ditulis paling depan. Misalnya, dalam sub-kelas
S2ts maka pembatas keadaan topografi (t) adalah pembatas yang paling dominan
dan pembatas kedalaman efektif (s) adalah pembatas kedua atau tambahan
(Hardjowigeno 2010)
Kesesuaian Lahan pada Tingkat Unit
Kesesuaian lahan pada tingkat unit merupakan pembagian lebih lanjut dari
sub-kelas berdasarkan atas besarnya faktor pembatas. Semua unit yang berada
dalam satu sub-kelas mempunyai tingkat kesesuaian yang sama dalam kelas dan
mempunyai jenis pembatas yang sama pada tingkat sub kelas.
Unit yang satu berbeda dengan unit lainnya karena kemampuan produksi
atau dalam aspek tambahan dari pengelolaan yang diperlukan dan sering
merupakan pembedaan detail dari pembatas-batasnya. Diketahuinya pembatas
secara detail, akan memudahkan penafsiran dalam mengelola rencana suatu usaha
tani.
Erosi dan Faktor yang Mempengaruhinya
Erosi adalah peristiwa hilang atau terkikisnya tanah atau bagian tanah dari
suatu tempat yang terangkut ke tempat yang lain oleh media alami. Pada peristiwa
erosi, tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat terkikis dan terangkut
kemudian diendapkan di tempat lain.
Dalam konteks suatu DAS, erosi tanah merupakan masalah yang serius.
Dampak dari erosi telah dikenal luas yakni : menurunnya produktivitas tanah, dan
meningkatnya sedimentasi yang berakibat pendangkalan sungai dan saluran
irigasi, berkurangnya secara tajam umur pemanfaatan waduk.
Terjadinya erosi disebabkan oleh kekuatan jatuh butir-butir hujan dan aliran
permukaan atau karena kekuatan angin. Sebagian besar daerah tropika basah
17
seperti Indonesia, erosi disebabkan oleh kekuatan jatuh butir hujan dan aliran
permukaan.
Proses terjadinya erosi melalui beberapa tahap, yaitu pelepasan
(detachment), pemindahan (transportation) dan pengendapan (deposition). Hujan
yang jatuh di permukaan tanah akan menghancurkan partikel tanah dan
memercikkan partikel tersebut ke atas kemudian berpindah ke tempat lain.
Dampak yang ditimbulkan akibat berpindahnya partikel-partikel tanah tersebut
yaitu akan terjadi penyumbatan pori-pori tanah sehingga akan mengurangi
infiltrasi tanah karena telah terjadinya pemadatan tanah (surface crusting).
Apabila hujan melebihi kapasitas infiltrasi tanah, maka akan terjadi run off yang
akan menghancurkan partikel tanah dan mengangkutnya dengan tenaga aliran run
off. Jika kecepatan aliran menjadi lambat atau terhenti, partikel akan mengalami
deposisi atau sedimentasi. Banyaknya air mengalir di permukaan tanah
bergantung pada hubungan antara jumlah dan intensitas hujan dengan kapasitas
infiltrasi tanah.
Erosi yang disebabkan oleh air hujan mengakibatkan hilangnya tanah
lapisan atas (top soil), dimana tanah lapisan atas adalah tanah yang lebih subur
dibandingkan dengan lapisan tanah dibawahnya (sub soil), dan pada tanah lapisan
atas kandungan bahan organik dan unsur-unsur hara lebih tinggi. Kehilangan
tanah lapisan atas akan mengakibatkan kehilangan bahan organik dan unsur-unsur
hara tanah cukup besar bersama-sama dengan tanah yang tererosi, seperti terlihat
pada Tabel 3.
Tabel 3 Jumlah erosi, C-organik dan hara terangkut aliran permukaan pada lahan
pertanian tanaman pangan di beberapa lokasi di Jawa Barat (dalam
Kurnia et al. 2005)
Lokasi Erosi
(ton ha-1)
C-organik N P2O5 K2O
-------------------kg ha-1-------------------
Darmaga1) 96.1 9.9 432.5 - 107.6
Citayam2) 93.5 6.0 1065.8 108.5 197.0
Jasinga3) 90.5 4.7 651.6 119.2 140.8
Pacet4) 65.1 - 241.0 80.0 18.0
Pangalengan5) 66.5 3.1 333.0 - -
Keterangan : 1) Sinukaban (1990), 2)Suwardjo 1981, 3)Kurnia et al. (1997), 4) et al. (1997) dan 5)Banuwa (1994)
Faktor-faktor yang mempengaruhi erosi
Proses terjadinya erosi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor iklim,
topografi, vegetasi, tanah, dan tindakan manusia. Selanjutnya Baver (1980)
mengklasifikasi faktor-faktor tersebut dalam suatu persamaan sebagai berikut :
E = f ( I, R, V, T, M ) ........................................ (1)
dimana :
I = iklim V = vegetasi M = manusia
R = topografi T = tanah
18
Iklim
Didaerah tropika faktor iklim yang terpenting yang menentukan besarnya
tanah tererosi adalah hujan. Karakteristik hujan yang mempengaruhi erosi adalah
intensitas hujan, lama hujan, total curah hujan energi kinetik hujan, ukuran butir,
kecepatan dan bentuk jatuhnya hujan serta distribusi hujan (Kohnke, 1968 dalam
Hardjoamidjojo dan Sukartaatmadja 1993).
Tanah
Sifat –sifat tanah yang berpengaruh terhadap erosi adalah faktor kepekaan
tanah (erodibilitas tanah). Semakin besar nilai erodibilitas tanah suatu tanah
makin peka tanah tersebut terhadap erosi. Erodibilitas tanah sangat tergantung
pada dua karakteristik tanah yaitu stabilitas agregat tanah dan kapasitas infiltrasi.
Stabilitas agregat tanah dipengaruhi oleh struktur tanah yang biasanya
ditentukan oleh bahan organik tanah, persentase fraksi pasir, debu dan liat
(Wiersum, 1979 dalam Hardjoamidjojo dan Sukartaatmadja 1993). Selanjutnya
Greenland (1965 dalam Hardjoamidjojo dan Sukartaatmadja 1993)
mengemukakan bahwa tanah dengan kandungan liat dan bahan organik yang
tinggi mempunyai agregat yang stabil karena mempunyai ikatan yang kuat
diantara koloid-koloidnya. Kriteria yang penting dalam menduga kepekaan tanah
terhadap erosi adalah clay ratio yaitu perbandingan antara persentase pasir dan
debu dengan persentase liat (Bouyoucos, 1935 dalam Hardjoamidjojo dan
Sukartaatmadja 1993)
Topografi
Kemiringan dan panjang lereng adalah dua faktor yang berpengaruh
terhadap erosi. Kenaikan kecepatan aliran permukaan akibat kemiringan lereng
menjadikan air tersebut sebagai pengangkut yang lebih baik, karena tetesan hujan
akan mengakibatkan terlepasnya butir-butir tanah yang selanjutnya akan di
hanyutkan oleh aliran permukaan.
Pengaruh panjang lereng terhadap erosi sangat tergantung pada jenis tanah
dan intensitas hujan. Umumnya kehilangan tanah meningkat dengan
meningkatnya panjang lereng bila intensitas hujannya besar.
Vegetasi
Faktor vegetasi merupakan lapisan pelindung antara atmosfer dan tanah.
Vegetasi akan mempengaruhi siklus hidrologi diantaranya volume air yang masuk
ke sungai, kedalam tanah dan cadangan air bawah tanah. Vegetasi penutup tanah
yang baik seperti rumput yang tebal atau hutan yang lebat (Arsyad, 2010).
Selanjutnya Arsyad (2010) mengemukakan pengaruh vegetasi terhadap
aliran permukaan dan erosi dapat dikelompokkan sebagai berikut :
- Intersepsi hujan
Intersepsi hujan oleh vegetasi akan mempengaruhi erosi, yaitu mengurangi
jumlah air yang sampai ke tanah sehingga akan mengurangi aliran permukaan
dan mengurangi kekuatan perusak butir-butir hujan yang jatuh ke tanah.
- Mengurangi kecepatan dan kekuatan perusakan aliran permukaan
Tumbuhan yang merambat di atas permukaan tanah merupakan penghambat
aliran permukaan. Pengaruh vegetasi terhadap pengurangan laju aliran
19
permukaan lebih besar dari pada pengaruhnya terhadap pengurangan jumlah
aliran permukaan.
- Pengaruh perakaran
Perakaran tumbuhan akan membentuk agregat-agregat tanah yang dimulai
dengan penghancuran bongkah-bongkah tanah oleh akar. Akar tumbuhan
masuk ke dalam bongkah dan menimbulkan tempat-tempat lemah yang
menyebabkan bongkah-bongkah terpisah menjadi butir-butir sekunder.
Rumput, leguminosa dan tumbuhan semak memiliki pengaruh yang nyata
dalam memperkuat ketahanan tanah terhadap erosi dan longsor sampai
kedalaman 0.75-1.5 m, sedangkan pepohonan memiliki pengaruh lebih dalam
dan dapat meningkatkan kekuatan tanah sampai kedalaman 3 m atau lebih
tergantung pada morfologi akar jenis pepohonan tersebut (Arsyad 2010).
- Transpirasi
Tanah dalam kapasitas lapang mengakibatkan hilangnya air dari tanah
terutama melalui transpirasi. Transpirasi memperbesar kapasitas tanah untuk
menyerap air hujan, sehingga nantinya akan mengurangi jumlah aliran
permukaan
- Kegiatan biologi tanah
Kegiatan biologi tanah (bakteri, jamur, cendawan, insekta dan cacing tanah)
akan memperbaiki porositas dan kemantapan agregat tanah. Pengaruh dari
berbagai organisme tanah ini akan meningkatkan infiltrasi tanah, mengurangi
aliran permukaan dan mengurangi erosi.
Manusia
Manusia merupakan faktor yang paling berpengaruh menyebabkan
terjadinya erosi. Beberapa kegiatan manusia yang mengakibatkan terjadinya erosi
adalah adanya aktivitas manusia dalam memanfaatkan tanah untuk berbagai
kegunaan, diantaranya cara bercocok tanam yang salah atau pembuatan jalan yang
ceroboh dapat mempercepat terjadinya erosi. Selanjutnya pemusnahan tanaman
akibat penebangan dan kebakaran akan menyebabkan erosi semakin besar.
Menurut Arsyad ( 2010) faktor erosi akan sangat menentukan berhasil
tidaknya suatu pengelolaan lahan, untuk itu didalam perencanaan penggunaan
lahan dan pengelolaannya faktor erosi harus dipertimbangkan. Salah satu alat
bantu yang dapat digunakan dalam perencanaan penggunaan lahan adalah model
prediksi erosi.
Persamaan untuk menghitung kehilangan tanah di lapangan telah dimulai
sejak tahun 1936, dimana saat itu Cook yang mengembangkan tiga faktor yang
tidak saling berkaitan, tetapi mempengaruhi erosi yaitu erodibilitas, erosivitas dan
tanaman penutup tanah.
Sementara itu Wischmeier dan Smith (1978) telah merangkum data dari
ribuan plot dan DAS dengan mempertimbangkan persamaan kehilangan tanah
karena hujan. Untuk itu mereka sepakat mengemukakan bentuk akhir persamaan
kehilangan tanah dengan menggunakan persamaan USLE (universal soil loss
equation) yang mengkombinasikan faktor-faktor utama penyebab erosi dan
hubungan kuantitatifnya untuk memprediksi besarnya erosi lembar dan alur akibat
air hujan dan aliran permukaan pada suatu daerah tertentu.
20
Model persamaan yang digunakan adalah :
A = R x K x L x S x C x P .................................... (2)
dimana :
A = besarnya erosi (ton ha-1tahun-1)
R = indeks erosivitas hujan
K = faktor erodibilitas tanah
L = faktor panjang lereng
S = faktor kemiringan lereng
C = faktor pengelolaan tanaman
P = faktor tindakan konservasi
Menurut Vadari et al. (2004) model erosi tanah dapat diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu (1) model empiris, (2) model fisik dan (3) model konseptual.
Model empiris didasarkan pada variabel-variabel penting yang didapat dari
penelitian dan pengamatan selama terjadi proses erosi. Salah satu contoh model
empiris adalah USLE (universal soil loss equation). Selanjutnya model fisik
merupakan suatu model yang berhubungan dengan hukum kekekalan massa dan
energi, dimana model ini juga dikenal sebagai model input-output dalam kondisi
yang homogen, dan tidak berlaku bila kondisinya tidak homogen (Rose et al. 1986
dalam Vadari et al. 2004). Sedangkan model konseptual merupakan suatu model
yang dirancang untuk mengetahui proses internal dalam sistem dan mekanisme
fisik yang selalu berkaitan dengan hukum fisika dalam bentuk sederhana.
Umumnya model ini tidak linier, bervariasi dalam waktu dan parameternya
mutlak diukur. Menurut Vadari et al. (2004), meskipun model ini mengabaikan
aspek spasial dalam proses hujan dan aliran permukaan, tetapi kaitannya dengan
proses yang tidak linier menyebabkan model ini layak untuk dipertimbangkan.
Beberapa model erosi yang telah dikembangkan dimulai dengan USLE dan
beberapa model empiris lainnya, diantaranya RUSLE (revised universal soil loss
equation), MUSLE (modified universal soil loss equation) yang dikembangkan
tetap berpatokan pada USLE (Vadari et al. 2004). Model fisik lain yang
dikembangkan setelah generasi USLE adalah model GUEST (griffith university
erosion system template) (Rose et al. 1997). Selanjutnya Sinukaban (1997)
mengemukakan bahwa beberapa model erosi untuk DAS yang berkaitan dengan
hidrologi dan juga berdasarkan pada konsep USLE adalah ANSWERS (areal non-
point sources watershed environment response simulation) yang diperbaiki
dengan model AGNPS (agricultural non-point source pollution model).
Hasil prediksi erosi di atas akan dibandingkan dengan erosi yang dapat
ditoleransikan (Tolerable Soil Loss) berdasarkan pendekatan (Hammer 1981
dalam Arsyad 2010) dalam jangka waktu yang lama untuk menentukan apakah
tanah yang digunakan tersebut lestari atau tidak.
Adapun persamaan yang digunakan Wood dan Dent (1983) untuk penentuan
erosi yang dapat ditoleransikan (Tolerable Soil Loss) adalah :
DE - Dmin
ETol = + LPT ............................... (3)
UGT
21
dimana :
ETol = erosi yang dapat ditoleransikan (mm thn-1)
DE = kedalaman ekivalen (equivalent depth) = De x fd
De = kedalaman efektif tanah (mm)
fd = faktor kedalaman tanah menurut Sub Ordo Tanah
Dmin = kedalaman tanah minimum yang sesuai untuk tanaman (mm)
UGT = umur guna tanah (tahun)
LPT = laju pembentukan tanah (disesuaikan dengan kondisi dilapangan)
Persamaan di atas turut memperhitungkan ketebalan tanah minimum dan
jangka waktu penggunaan tanah yang diinginkan (resource life), disamping
menggunakan kedalaman tanah ekivalen dan umur guna tanah.
Tanah sebagai salah satu sumberdaya alam mempunyai dua fungsi utama,
yaitu (1) sebagai sumber unsur hara bagi tanaman dan (2) sebagai matrik tempat
akar tanaman berjangkar dan air tanah tersimpan serta tempat unsur hara dan air
diberikan. Hilangnya fungsi pertama masih dapat diperbaiki dengan penambahan
pupuk, sedangkan fungsi kedua tidak dengan mudah diperbaharui karena
memerlukan waktu yang sangat lama untuk pembentukan tanah.
Di Indonesia beberapa cara penetapan batas laju erosi yang dapat
ditoleransikan yang umum digunakan adalah Thompson (1957 dalam Arsyad
2010), Wood dan Dent (1983) dan Hammer (1981).
Metode Hammer (1981) dalam menetapkan ETol sangat praktis dan mudah,
akan tetapi terdapat juga beberapa kelemahan, diantaranya : (1) metoda ini
menggunakan pendekatan eksploitatif yaitu pengurasan lahan sampai batas LPT,
hal ini akan mengakibatkan kerusakan lahan yang cepat dengan berbagai akibat
ikutannya, (2) bila kedalaman ekivalen (DE) telah habis terkuras, maka ketebalan
tanah akan mencapai Dmin yang mengakibatkan peubah penggunaan tanah untuk
tanaman lain akan sulit dilakukan. Sebagai contoh bila Dmin tanaman yang
diusahakan kecil (20 cm), dan apabila menggunakan tanaman yang memerlukan
Dmin yang lebih tebal, maka memerlukan waktu yang lama agar Dmin nya kembali
meningkat. Untuk itu pendekatan Hammer (1981) jelas tidak akan dapat
mempertahankan pertanian yang berkelanjutan.
Metoda Thompson (1957 dalam Arsyad 2010) menyarankan agar laju erosi
yang dapat ditoleransikan didasarkan pada kedalaman solum tanah, permeabilitas
tanah lapisan bawah dan kondisi substratum. Pendekatan ini akan mampu
memelihara ketebalan tanah yang cukup mudah bagi suatu tanaman.
Erosi yang dapat ditoleransikan bukan saja ditujukan untuk mempertahankan
produktivitas tanah, tetapi juga bertujuan untuk mengendalikan laju pendangkalan
waduk, ataupun untuk mengantisipasi pencemaran kualitas air sungai yang sering
digunakan sebagai bahan baku air minum. Besaran erosi yang dapat ditoleransikan
untuk keperluan kedua hal di atas lebih ketat dibandingkan untuk memperbaiki
produktivitas tanah pertanian (Vadari et al. 2004).
Selanjutnya Notohadiprawiro (1985) mengemukakan bahwa laju erosi yang
terbolehkan merupakan laju erosi yang tidak melebihi laju pembentukan tanah dan
tidak memboroskan cadangan kesuburan tanah.
Laju pembentukan tanah tergantung pada faktor-faktor pembentuk tanah dan
persepsi kita tentang tanah. Apabila kita menggunakan persepsi morfogenesis,
22
pembentukan tanah diukur berdasarkan kelengkapan ciri-ciri morfologi yang
menjadi kriteria diagnostik suatu jenis tanah tertentu. Sedangkan menurut
persepsi habitat laju pembentukan tanah dapat ditaksir atas (1) pembentukan
horizon A berlangsung cepat (0.2 - 2 mm tahun-1) dan (2) cacing tanah dapat
mencernakan tanah setara dengan 1.6 - 10 mm tahun-1.
Dampak Usahatani Kakao Terhadap Erosi dan Aliran Permukaan
Alih-guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan
banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan
fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini
bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal
hutan yang dialih gunakan menjadi lahan usaha lain. Lal (1986 dalam Banuwa
2008) melaporkan hubungan antara erosi dengan penebangan hutan, yaitu erosi
dari suatu small catchment area di Guyana Perancis meningkat secara drastis
setelah dilakukan penebangan hutan (deforestation). Hasil observasi yang
dilakukan pada skala petak kecil juga menunjukkan bahwa penebangan vegetasi
alami telah menyebabkan terjadinya peningkatan koefisien run off 25-100 kali,
sementara itu erosi meningkat pula sampai lebih dari 10 kali lipat (Rose 1986).
Permukaan tanah yang dibiarkan terbuka juga menyebabkan terjadinya
fluktuasi suhu dan regim kelembaban tanah menjadi lebih besar. Hal ini
menyebabkan terjadinya percepatan penurunan kadar bahan organik tanah (Lal
1994).
Konservasi merupakan faktor yang penting dalam pertanian berwawasan
lingkungan. Konservasi sumberdaya terbarukan berarti sumberdaya tersebut harus
dapat difungsikan secara berkelanjutan (sustainable). Sekarang kita sudah mulai
sadar tentang potensi teknologi, kerapuhan lingkungan dan kemampuan budi daya
manusia untuk merusak lingkungan tersebut. Suatu hal yang perlu dicatat bahwa
ketersediaan sumberdaya adalah terbatas.
Konservasi lahan pada dasarnya diarahkan untuk memulihkan,
mempertahankan dan meningkatkan fungsi hidrologis, menjaga kelestarian
sumber air, meningkatkan sumber daya alam serta memperbaiki kualitas
lingkungan hidup yang pada gilirannya meningkatkan produksi dan pendapatan
petani melalui usaha tani yang berkelanjutan.
Pola tanam berbasis kakao adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang
mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat adanya
alih-guna lahan tersebut di atas dan sekaligus juga untuk mengatasi masalah
pangan. Sedangkan pola tanam lain yang dapat digunakan adalah sistem
agroforestri yang mengkombinasikan komponen kehutanan (atau tanaman
berkayu/woody plants) dengan komponen pertanian (tanaman non-kayu) yang
disebut dengan Agrisilvikultur (Agrisilvicultural systems).
Hasil penelitian Sutono et al. (2004) menyebutkan bahwa besarnya erosi
disebabkan oleh pola tanam yang tidak menguntungkan, dimana pada kebun
campuran dengan penutupan lahan oleh pepohonan yang jarang dan permukaan
tanah dibiarkan terbuka merupakan penyebab erosi yang cukup besar setiap
tahunnya (30 - 36 ton ha-1 tahun-1), selanjutnya pada lahan tegalan tingkat erosi
yang terjadi adalah (22-61 ton ha-1 tahun-1) hal ini juga disebabkan karena
23
pengelolaan lahan tegalan yang selalu digunakan untuk tanaman semusim menjadi
penyebab tingginya erosi.
Nurmi (2009) mendapatkan bahwa penanaman kakao yang disertai dengan
peningkatan penutupan permukaan tanah oleh tajuk tanaman dan penanaman strip
tanaman searah kountur dapat menghambat laju aliran permukaan dan erosi.
Selanjutnya Monde (2008) juga menjelaskan bahwa erosi yang terjadi pada
tanaman kakao monokultur yang berumur < 3 tahun nyata lebih tinggi
dibandingkan dengan kakao yang berumur di atas 6 tahun, hal ini dikarenakan
permukaan tanahnya yang relatif masih terbuka.
Penerapan teknik konservasi tanah sangat diharapkan untuk dapat
menekan laju erosi. Pilihan teknik konservasi tanah harus disesuaikan dengan
keadaan setempat (bersifat spesifik lokasi), karena sesuai tidaknya pilihan teknik
konservasi sangat ditentukan oleh faktor curah hujan, kepekaan tanah terhadap
erosi, lereng, dan vegetasi, diantaranya dengan penanaman tanaman penutup
tanah, pembuatan rorak atau guludan searah kountur.
Konsep Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Pembangunan pertanian berkelanjutan merupakan strategi pembangunan
pertanian jangka panjang yang dapat ditafsirkan sebagai upaya untuk
memanfaatkan potensi sumber daya alam yang menjadi daya dukung proses
produksi pertanian sekaligus mempertahankan kapasitas produksi/daya dukung
dari sumberdaya itu sendiri (Pakpahan et al. 1992). Selanjutnya US Society of
Agronomy (1989), mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai pertanian
jangka panjang yang meningkatkan kualitas lingkungan dan sumberdaya yang
diperlukan untuk kegiatan pertanian. Pertanian menyediakan makanan pokok
manusia dan kebutuhan serat dan secara ekonomi dapat meningkatkan
kualitas hidup petani dan masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan Reijntjes et
al. (1999), menyatakan bahwa pertanian berkelanjutan merupakan pengelolaan
sumberdaya pertanian untuk memenuhi perubahan kebutuhan manusia sambil
mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan
sumberdaya alam.
Konsep pertanian berkelanjutan merupakan konsep pertanian yang berlanjut
baik untuk saat ini, saat yang akan datang dan selamanya yang mampu
berproduksi dengan tetap mempertahankan basis sumberdaya.
Di Indonesia, pembangunan berwawasan lingkungan merupakan
implementasi dari konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development) yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat tani secara luas, melalui peningkatan produksi pertanian, baik dalam
hal kuantitas maupun kualitas, dengan tetap memperhatikan kelestarian sumber
daya alam dan lingkungan (Salikin 2003).
Pengertian yang lebih terbuka dikemukakan oleh Gips (1986 dalam
Reijntjes et al. 1999) pertanian dapat dikatakan berkelanjutan jika mencakup hal-
hal berikut:
- Mampertahankan fungsi ekologis, artinya tidak merusak ekologi pertanian itu
sendiri.
24
- Berlanjut secara ekonomis, artinya mampu memberikan nilai yang layak bagi
pelaksana pertanian itu dan tidak ada pihak yang diekploitasi. Masing-masing
pihak mendapatkan hak sesuai dengan partisipasinya.
- Adil, berarti setiap pelaku pelaksanan pertanian mendapatkan hak-haknya
tanpa dibatasi dan dibelunggu dan tidak melanggar hak yang lain.
- Manusiawi artinya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dimana harkat
dan martabat manusia dijunjung tinggi termasuk budaya yang telah ada.
- Luwes yang berarti mampu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi saat ini,
dengan demikian pertanian berkelanjutan tidak statis tetapi dinamis bisa
mengakomodir keinginan konsumen maupun produsen.
Agar produksi pertanian yang tinggi dapat dipertahankan secara terus
menerus dan berkesinambungan maka nilai erosi harus lebih kecil dari Etol dan
bila sebaliknya akan mengakibatkan produktivitas lahan menjadi menurun,
sehingga produksi yang tinggi itu tidak dapat dipertahankan (pertanian tidak
lestari). Secara operasional hal ini dapat diwujudkan dengan penerapan sistem
pertanian konservasi (Conservation Farming System).
Sistem pertanian konservasi (SPK) adalah sistem pertanian yang
mengintegrasikan tindakan/teknik konservasi tanah dan air kedalam system
pertanian yang telah ada. Tujuan utama SPK adalah untuk mewujudkan kondisi
sebagai berikut (Sinukaban 2001) :
- Produksi pertanian cukup tinggi sehingga petani tetap bergairah melanjutkan
usahanya.
- Pendapatan petani yang cukup tinggi, sehingga petani dapat merancang masa
depan keluarganya dari pendapatan usahataninya.
- Teknologi yang diterapkan sesuai dengan kemampuan petani dan dapat
diterima oleh petani, sehingga sistem pertanian tersebut dapat dan akan
diteruskan oleh petani dengan kemampuannya sendiri secara terus menerus
tanpa bantuan dari luar.
- Komoditi pertanian yang diusahakan beragam dan sesuai dengan kondisi bio-
fisik daerah, dapat diterima oleh petani dan laku dipasar.
- Laju erosi kecil (minimal), lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan
sehingga produktivitas yang cukup tinggi dapat dipertahankan/ditingkatkan
secara lestari dan fungsi hidrologis daerah terpelihara dengan baik sehingga
tidak terjadi banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau.
- Sistem penguasaan/pemilikan lahan dapat menjamin keamanan investasi
jangka panjang (longterm investment security) dan menggairahkan petani
umuk terus berusahatani.
Sinukaban (2001) juga menambahkan untuk membangun suatu SPK harus
dengan langkah-langkah sebagai berikut :
- Inventarisasi keadaan biofisik daerah, seperti tanah (sifat fisik dan kimia),
drainase, penggunaan lahan, topografi, iklim dan degradasi lahan. Data-data
tersebut diperlukan untuk menentukan kelas kemampuan lahan/kesesuaian
lahan untuk tanaman tertentu, agroteknologi yang diperlukan, teknik
konservasi yang sesuai dan memadai serta tingkat kerusakan tanah yang sudah
terjadi.
25
- Inventarisasi keadaan sosial ekonomi petani seperti jumlah keluarga,
pendidikan, keadaan ekonomi, tujuan keluarga, kepemilikan lahan,
pengetahuan tentang teknologi pertanian dan persepsi tentang erosi.
- Inventarisasi pengaruh dari luar, seperti pasar/pemasaran hasil, harga-harga
hasil pertanian, keadaan/jarak ketempat pemasaran, perangkat penyuluhan/
latihan dan organisasi kemasyarakatan yang berkaitan dengan petani.
Pengelolaan DAS
Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah yang dikelilingi dan
dibatasi oleh topografi alami berupa punggung bukit atau pegunungan dimana air
yang jatuh diatasnya mengalir melalui titik keluar tertentu (outlet) yang pada
akhirnya akan bermuara ke danau atau laut. Pengertian tersebut menggambarkan
bahwa DAS merupakan satu sistem sehingga ada keterkaitan antara bagian hulu
dan hilir. DAS sebagai suatu kesatuan ekosistem penanganannya perlu terpadu
dan secara utuh dari hulu sampai hilir antar sektor dan antar daerah administrasi
dengan melibatkan para pihak yang berkepentingan, sehingga untuk mendukung
terselenggaranya kegiatan pengelolaan DAS perlu dilakukan pengembangan
kelembagaan pengelolaan DAS yang bertujuan untuk memfasilitasi
terselenggaranya pengelolaan DAS terpadu.
Permasalahan dalam pengelolaan DAS saat ini menjadi perhatian semua
pihak, dikarenakan pemanfaatan sumberdaya dalam DAS melebihi kamampuan
daya dukungnya yang antara lain diakibatkan oleh pertambahan jumlah penduduk,
perubahan taraf hidup (kesejahteraan), tatanan sosial, politik, hukum, dan lain-
lain. Permasalah ini semakin kompleks akibat bergulirnya isu lingkungan global
serta otonomi daerah, permasalahan ego sektor dan kedaerahan yang dikarenakan
banyak DAS yang mempunyai wilayah administratif lintas kabupaten/kota
bahkan lintas provinsi. Kompleksnya permasalahan dalam pengelolaan DAS
mulai dari hulu hingga ke hilir, maka didalam pengelolaannya diharapkan kepada
stakeholders untuk melakukan langkah-langkah strategis yang diharuskan
mengacu pada kaidah satu DAS, satu rencana, dan satu pengelolaan (Hutabarat,
2008).
Pengelolaan DAS pada prinsipnya merupakan suatu proses formulasi dan
implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam
dan manusia yang terdapat di daerah aliran sungai untuk memperoleh manfaat
produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan
tanah (Asdak 2002). Selanjutnya Sinukaban (1999) mengemukakan pengelolaan
DAS merupakan upaya penggunaan sumberdaya alam di dalam DAS secara
rasional agar didapat produksi maksimum dalam waktu yang tidak terbatas dan
menekan bahaya kerusakan (degradasi) seminimal mungkin, serta diperoleh water
yield yang merata sepanjang tahun. Terdapat tiga aspek yang selalu menjadi
perhatian dalam pengelolaan DAS, yaitu jumlah air (water yield), waktu
penyediaan air (water regime) dan sedimen. Ketiga aspek tersebut dapat
memberikan gambaran tentang kualitas sistem DAS.
Beberapa hal yang mengharuskan pengelolaan DAS diselenggarakan secara
terpadu antara lain : 1) terdapat keterkaitan antar berbagai kegiatan (multi sektor)
dalam pengelolaan sumberdaya dan pembinaan aktifitasnya, 2) melibatkan
berbagai disiplin ilmu yang mendasari dan mencakup berbagai bidang kegiatan, 3)
26
batas DAS tidak selalu bertepatan (co-incided) dengan batas wilayah administrasi
pemerintahan dan 4) interaksi daerah hulu sampai hilir yang dapat berdampak
negatif maupun positif sehingga memerlukan koordinasi antar pihak.
DAS dapat dikatakan baik apabila mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
- Produktivitas yang tinggi secara lestari/terus menerus yang meliputi
pertanian, perdagangan, kehutanan, rekreasi, serta. semua pengelolaan
sumberdaya yang ada di dalamnya yang bisa menjamin kehidupan yang
layak.
- Hasil air yang baik, meliputi kuantitas, kualitas dan distribusinya.
- Pendapatan masyarakat merata (equity), dimana semua orang mendapatkan
kesempatan yang sama untuk memperoleh pendapatan yang layak.
- Kelenturan (resilient) yang tinggi, dalam artian apabila dalam satu titik dalam
DAS tersebut terjadi guncangan dapat ditopang oleh tempat yang lain.
Sedangkan dari segi fisik suatu DAS dikatagorikan dalam kondisi baik bila
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
- Koefisien air larian (C), yang menunjukkan perbandingan antara besamya air
larian terhadap besarnya curah hujan berfluktuasi secara normal, dalam artian
nilai C dari sungai utama di DAS yang bersangkutan cenderung kurang lebih
sama dari tahun ke tahun.
- Nisbah debit maksimum (Qmax)/debit minimum (Qmin) relatif stabil dari tahun
ke tahun.
- Tidak banyak terjadi perubahan koefisien arah pada kurva kadar lumpur
(Cs).
Salah satu sistem pengelolaan lahan dalam rangka mewujudkan terciptanya
kondisi DAS yang baik adalah penerapan sistem pertanian konservasi. Sistem
Pertanian Konservasi (SPK) adalah sistem pertanian yang mengintegrasikan
tindakan/teknik konservasi tanah dan air ke dalam sistem pertanian yang telah ada
dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan kese-
jahteraan petani dan dapat menekan erosi, sehingga sistem pertanian tersebut
dapat berlanjut secara terus menerus tanpa batas waktu (sustainable). Prinsip
keberlanjutan (sustainability) menjadi acuan dalam mengelola DAS, dimana
fungsi ekologis, ekonomi dan sosial-budaya dari sumberdaya-sumberdaya
(resources) dalam DAS dapat terjamin secara berimbang (balance).
Program Tujuan Ganda
Program tujuan ganda (multiple goal programming) pertama kali
diperkenalkan oleh Charnes dan Cooper pada awal tahun 60-an. Program ini
merupakan pengembangan dari linear programming. Perbedaan utama dari ke dua
program tersebut terletak pada struktur dan penggunaan fungsi tujuan. Analisis
program tujuan ganda bertujuan untuk meminimumkan jarak antara atau deviasi
terhadap tujuan, target atau sasaran yang telah ditetapkan dengan usaha yang
dapat ditempuh untuk mencapai sasaran, target atau tujuan yang memuaskan
(Nasendi dan Anwar 1985 ; Mulyono 1991), sedangkan dalam linear
programming tujuannya bisa maksimisasi atau minimisasi.
Selanjutnya dalam memecahkan suatu persoalan dengan beberapa tujuan,
maka program tujuan ganda dapat dengan mudah menganalisis beberapa skala
27
prioritas untuk kemudian memberikan pertimbangan yang rasional (Nasendi dan
Anwar, 1985).
Charles dan Simpson (2002), dalam papernya “Goal Programming
Applications in Multidisciplinary Design Optimization”, mendapatkan bahwa
goal programming sangat cocok digunakan untuk masalah-masalah multi tujuan
karena melalui variabel deviasinya, goal programming secara otomatis
menangkap informasi tentang pencapaian relatif dari tujuan-tujuan yang ada. Oleh
karena itu, solusi optimal yang diberikan dapat dibatasi pada solusi feasibel yang
mengabungkan ukuran-ukuran performansi yang diinginkan.
Model program tujuan ganda terdiri atas model tanpa prioritas tujuan dan
model dengan prioritas tujuan.
Perumusan model program tujuan ganda tanpa prioritas dalam strukturnya
adalah :
Fungsi tujuan :
m
i
ii dWdWz1
……………….………………. (4)
dengan syarat ikatan : iii
n
i
jij bddXa
1
………………………..…….. (5)
untuk i = 1, 2,...,n (kendala tujuan)
kjkj CatauXg ………………………………. (6)
untuk k = 1, 2,...,p (kendala fungsional)
dan j = 1, 2,...,n
dan 0,,
ii ddXj ………………………………………… (7)
0.
ii dd …………………………………………… (8)
dimana :
Xj = peubah keputusan (jenis penggunaan lahan) ke-j
aij = koefisien teknologi Xj pada kendala sasaran ke-i
gkj = koefisien teknologi Xj pada kendala real ke-k
bi = sasaran/tujuan target ke-i
Ck = jumlah sumberdaya k yang tersedia
ii dd , = deviasi yang kekurangan (-) dan kelebihan (+) terhadap tujuan ke-i
W = timbangan relatif dari d+ W = timbangan relatif dari d-
Selanjutnya model PTG dengan prioritas tujuan dapat pula dirumuskan dengan
menambahkan faktor prioritas tujuan (Ps dan Py) dalam struktur model
(persamaan) fungsi tujuan sebagai berikut :
q
i
iyiiisis dWPdWPz1
,, …………………..……… (9)
Beberapa penelitian yang menggunakan program tujuan ganda (PTG) telah
banyak dilakukan, diantaranya Manik (1992) menggunakan PTG untuk
melakukan optimalisasi penggunaan lahan di DAS Way Seputih, Lampung
Tengah. Model yang disusun menggunakan luas lahan di hulu sebagai fungsi
kendala ril, sedangkan kendala tujuan terdiri dari tingkat erosi, aliran permukaan,
28
ketersediaan tenaga kerja petani, serta pendapatan minimal per kapita petani.
Selanjutnya Rauf (2004) yang mengkaji sistem agroforestri yang optimal di
kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser, dimana faktor kendala ril
yang digunakan adalah luas lahan yang dimiliki petani, dengan tujuan untuk
mengurangi laju erosi, meningkatkan produksi dan pendapatan petani,
memanfaatkan modal serta tenaga kerja yang dimiliki petani. Output yang didapat
melalui analisis program tujuan ganda adalah alokasi luas lahan optimal untuk
setiap jenis tanaman yang dijadikan komponen dalam sistem agroforestri.
Penelitian yang sama dengan menggunakan program tujuan ganda (PTG)
juga dilakukan oleh Ruslan (1989) di DAS Peusangan Propinsi Aceh yaitu
penggunaan lahan berdasarkan kondisi fisik dan sosial ekonomi. Tujuan dari
penelitian tersebut adalah untuk memperoleh komposisi penggunaan lahan yang
optimal, yang dapat menjamin kelestarian dan keseimbangan lingkungan,
mengetahui dampak yang terjadi dari beberapa skenario kebijakan yang
menghasilkan kemungkinan komposisi penggunaan lahan, baik bersifat fisik
maupun sosial ekonomi. Untuk itu ditetapkan kendala sasaran berupa debit air
sungai Peusangan, erosi tanah, dan pendapatan usahatani.