2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Jenis-jenis lamun tersebut dapat dilihat pada Gambar...
Transcript of 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Jenis-jenis lamun tersebut dapat dilihat pada Gambar...
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Padang Lamun
Menurut Romimohtarto dan Juwana (2001), lamun (seagrass) adalah satu-
satunya kelompok tumbuh-tumbuhan berbunga yang terdapat di lingkungan laut.
Tumbuh-tumbuhan ini hidup di perairan pantai yang dangkal. Seperti halnya
rumput di darat, lamun mempunyai tunas berdaun yang tegak dan tangkai-tangkai
yang merayap yang efektif untuk berkembang biak. Berbeda dengan tumbuh-
tumbuhan laut lainnya (alga dan rumput laut), lamun berbunga, berbuah dan
menghasilkan biji. Lamun juga mempunyai akar dan sistem internal untuk
mengangkut gas dan zat-zat hara.
Kuriandewa (2009) menyebutkan sekitar tiga belas jenis lamun telah
dilaporkan terdapat di perairan Indonesia. Terdapat dua jenis yakni Halophila
beccari dan Ruppia maritima yang dipercaya terdapat di Indonesia, meskipun
keberadaan keduanya hanya diketahui dari herbarium lama yang tersimpan di
Herbarium Bogor. Jenis-jenis lamun tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
Klasifikasi tumbuhan lamun yang terdapat di perairan pantai Indonesia adalah
sebagai berikut:
Divisi : Magnoliophyta (sebelumnya masuk divisi Spermatophyta)
Kelas : Liliopsida
Famili : Cymodoceaceae
Hydrocharitaceae
I CYMODOCEACEAE
1) Halodule pinifolia (Hp)
2) Halodule uninervis (Hu)
3) Cymodocea rotundata (Cr)
4) Cymodocea serrulata (Cs)
5) Syringodium isoetifolium (Si)
6) Thalassodendron ciliatum (Tc)
II HYDROCHARITACEAE
1) Enhalus acoroides (Ea)
2) Thalassia hemprichii (Th)
7
3) Halophila decipiens (Hd)
4) Halophila ovalis (Ho)
5) Halodule spinulosa (Hs)
6) Halodule minor (Hm)
7) Halodule Sulawesi (Hsu) (ditemukan oleh Kuo tahun 2007)
• Halophila beccarii *
• Ruppia maritima*
*) Hanya terdapat specimennya saja di Kebun Raya Bogor
Sumber: Kuriandewa 2009
Gambar 3 Jenis tumbuhan lamun di Indonesia
Hutomo dan Azkab (1987) menambahkan bahwa padang lamun mempunyai
beberapa fungsi yaitu sebagai berikut:
8
1) Produsen primer, lamun menjadi sumber makanan alami bagi ikan herbivora
seperti dugong. Proses dekomposisi daun lamun dapat dikonsumsi langsung
oleh hewan pemakan serasah;
2) Habitat biota, padang lamun memberikan perlindungan dan tempat menempel
berbagai hewan dan tumbuhan. Lamun dapat juga berfungsi sebagai daerah
perlindungan;
3) Tempat perkembangbiakan (spawning grounds), pengasuhan (nursery
grounds), serta tempat mencari makanan (feeding grounds) bagi biota-biota
perairan (Kiswara 2009);
4) Penangkap sedimen, komunitas lamun yang lebat dapat memperlambat gerakan
air yang disebabkan oleh arus dan ombak, yang menyebabkan perairan
mangrove tenang, maka dapat disimpulkan ekosistem lamun bertindak sebagai
pencegah erosi dan penangkap sedimen. Rimpang dan akar lamun menangkap
dan menggabungkan sedimen di padang lamun sehingga meningkatkan
stabilitas permukaan di bawahnya dan menjadikan air lebih jernih;
5) Pendaur zat hara, lamun memegang peranan yang penting dalam mendaur
ulang material organik dan elemen-elemen langka di lingkungan laut;
6) Makanan dan kebutuhan lain, lamun dapat dipergunakan sebagai makanan
yang dikonsumsi secara langsung. Buah Enhalus di Kepulauan Seribu sering
dicampur dengan kelapa atau di Australia sering dimakan setelah dimasak.
Beberapa jenis lamun dapat dipergunakan sebagai makanan tetap di Papua
Nugini. Zostera dalam beberapa percobaan dapat digunakan sebagai bahan
baku pembuatan kertas;
7) Penghasil oksigen dan mereduksi CO2 di dasar perairan (Nybakken 1988).
Faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan padang lamun menurut
Nybakken (1988) yaitu perairan laut dangkal berlumpur dan mengandung pasir,
kedalamannya tidak lebih dari 10 m agar cahaya dapat menembus, suhu antara 20-
30 o
C, kadar garam antara 25-35 ‰/mil serta kecepatan arus sekitar 0,5 m/detik.
Beberapa lamun dapat hidup pada kisaran salinitas 10-45 ‰ dan umumnya lamun
membutuhkan kisaran tingkat kecerahan 4-29 % untuk dapat tumbuh dengan rata-
rata 11 % (Hemminga dan Duarte 2000).
9
Mengingat bahwa padang lamun merupakan sumberdaya alam yang
mempunyai berbagai fungsi dan peningkatan aktivitas manusia dapat
menyebabkan kerusakan padang lamun, maka pada tahun 2004 Menteri Negara
Lingkungan Hidup menetapkan keputusan tentang kriteria baku kerusakan dan
pedoman penentuan status padang lamun. KEPMEN LH (2004) ini menyebutkan
bahwa status padang lamun adalah tingkatan kondisi padang lamun pada suatu
lokasi tertentu dalam waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria baku
kerusakan padang lamun dengan menggunakan persentase luas tutupan lamun dan
area kerusakan.
Metode pengukuran yang digunakan untuk mengetahui kondisi padang
lamun (KEPMEN LH 2004) adalah metode transek dan petak contoh (transect
plot). Metode transek dan petak contoh adalah metode pencuplikan contoh
populasi suatu komunitas dengan pendekatan petak contoh yang berada pada garis
yang ditarik melewati wilayah ekosistem tersebut. Status padang lamun dinilai
baik dengan kondisi kaya/sehat apabila persentase penutupan ≥ 60 %, namun
untuk kondisi kurang kaya/kurang sehat (30-59,9 %) dan pada kondisi miskin (≤
29,9 %) status padang lamunnya dinilai rusak. Luas area kerusakan ≥ 50 %
menunjukkan tingkat kerusakan tinggi, 30-49,9 % menunjukkan tingkat kerusakan
sedang dan ≤ 29,9 % menunjukkan tingkat kerusakan rendah.
2.2 Ekologi Plankton
Plankton adalah hewan dan tumbuhan yang memiliki daya renang yang
sangat lemah sehingga tidak kuat untuk melawan arus laut (Nybakken 1988).
Plankton yang terdiri dari organisme berklorofil dan mampu melakukan
fotosintesis dinamakan fitoplankton, sedangkan plankton yang tidak mampu
melakukan fotosintesis dinamakan zooplankton. Selanjutnya dinyatakan bahwa
secara vertikal, konsentrasi fitoplankton bukan berada di permukaan air tetapi
terletak beberapa meter di bawah permukaan air. Hal ini diperkirakan karena
adaptasi fitoplankton terhadap pengaruh cahaya yang terlalu kuat di permukaan
air, yang dapat menyebabkan kerusakan sel fitoplankton.
Nybakken (1988) jmengemukakan tentang penggolongan kelompok
plankton berdasarkan daur hidup dan ukuran tubuhnya. Holoplankton dan
10
meroplankton merupakan penggolongan plankton berdasarkan daur hidupnya.
Holoplankton adalah plankton yang seluruh daur hidupnya sebagai plankton,
sedangkan meroplankton adalah organisme plankton yang sebagian saja dari daur
hidupnya sebagai plankton. Contoh meroplankton yaitu larva udang, larva ikan
dan berbagai larva makhluk hidup di mana pada saat larva, organisme ini bersifat
sebagai plankton dan setelah dewasa berubah bentuk serta sifat hidup sehingga
tidak dapat lagi digolongkan sebagai plankton.
Penggolongan plankton berdasarkan ukuran tubuhnya tidak membedakan
fitoplankton dan zooplankton. Penggolongan plankton ini dijelaskan pula oleh
Nybakken (1988), yaitu sebagai berikut:
1) Megaplankton: plankton yang ukuran tubuhnya di atas 2,0 mm;
2) Makroplankton: plankton yang ukuran tubuhnya 0,2-2 mm;
3) Mikroplankton: plankton yang ukuran tubuhnya 20-0,2 µm;
4) Nanoplankton: plankton yang ukuran tubuhnya 2-20 µm;
5) Ultraplankton: plankton yang ukuran tubuhnya lebih kecil dari 2 µm.
2.3 Asosiasi Ikan dengan Padang Lamun
Lestari (2010) mengemukakan bahwa ikan merupakan salah satu organisme
yang berasosiasi dengan padang lamun. Peranan lamun dalam kehidupan ikan
yaitu sebagai daerah asuhan dan perlindungan (nursery grounds), sebagai
makanan ikan dan sebagai padang penggembalaan atau tempat mencari makan
(feeding grounds). Keanekaragaman dan kelimpahan kumpulan ikan berubah
sesuai dengan perubahan kondisi struktur lamun, sebab perubahan dalam indeks
luas daun akan mengubah laju pemangsaan yang memengaruhi kelimpahan
juvenil ikan dan distribusi ikan predator besar. Rantai makanan pada padang
lamun dapat dijelaskan oleh Gambar 4.
Berbagai penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa ada empat
kategori utama asosiasi ikan dengan padang lamun di perairan Indonesia
(Tomascik et al. 1997), yaitu sebagai berikut:
1) Penghuni tetap yang memijah dan menghabiskan kebanyakan hidupnya di
padang lamun (full-time residents), misalnya: Apogon margaritophorus.
11
2) Penghuni yang menghabiskan hidupnya, tetapi memijah di luar padang lamun,
misalnya: Halichoeres leparensis, Pranaesus duodecimatis, Paramia
quiquelineata, Gerres macrosoma, Monacanthus tomemtosus, Monachantus
hajam, Hemigliphidodon plagiumetopon dan Sygnathoides biacukeatus.
3) Penghuni yang ada di padang lamun hanya selama tahapan juvenilnya,
misalnya: Siganus canaliculatus, Siganus virgatus, Siganus chrysospilos,
Lethrinus sp., Scarus sp., Abudefduf sp., Monachantus mylii, Mulloides
samoenis, Pelates quadrilineatus dan Upeneus tragula.
4) Penghuni berkala atau transit yang mengunjungi padang lamun untuk
berlindung atau mencari makan (occasional residents).
Sumber: Fortes 1990
Gambar 4 Rantai makanan pada ekosistem lamun
Lebih lanjut Tomascik et al. (1997) mengemukakan bahwa habitat padang
lamun yang berdekatan dengan terumbu karang atau terkadang bersatu dengan
terumbu karang membentuk suatu komunitas lamun yang homogen dan beberapa
diantaranya membentuk komunitas yang terdiri dari dua sampai tiga spesies
lamun. Ikan yang banyak ditemukan di perairan ini adalah dari famili Siganidae,
Lethrinidae dan Labridae.
12
2.3.1 Famili Siganidae
Siganidae diklasifikasikan sebagai berikut (Linnaeus 1758):
Filum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Kelas : Actinopterygii
Sub kelas : Teleostei
Ordo : Percimorfes
Famili : Siganidae
Sumber: Metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012)
Gambar 5 Famili Siganidae
Ciri-ciri morfologis Siganidae yaitu: panjang maksimum 40 cm, sirip perut
memiliki 3 duri yang terletak di antara bagian dalam dan luar tulang belakang,
sirip punggung terdiri dari 13 duri keras dan 10 duri lunak, sirip ekor memiliki 7
duri keras dan 9 duri lunak. Duri-duri ini beracun. Siganidae hidup bergerombol
di Indo-Pasifik dan Mediterania Timur. Ciri-ciri ini dapat dilihat pada Gambar 5.
Siganidae di Indonesia kurang lebih dua belas jenis. Selain dimanfaatkan
sebagai ikan konsumsi, Siganidae juga banyak dipelihara sebagai ikan hias,
bahkan sudah dapat dibudidayakan. Siganidae dapat digunakan sebagai kontrol
alga dan disebut juga ikan kelinci karena memiliki gigi yang menonjol keluar.
Pola warna tubuh Siganidae beragam, ada yang berbintik-bintik misalnya pada
Siganus corallinus, Siganus canaliculatus dan Siganus guttatus. Ada pula yang
memiliki garis menyerupai selempang dari punggung ke arah kepala, misalnya
Siganus virgattus sementara, pola yang rumit penuh dengan garis kelok-kelok
terdapat pada Siganus vermiculatus dan Siganus puellus (Kuncoro 2008).
Kuncoro (2008) juga mengemukakan bahwa Siganidae atau sering disebut
golongan ikan baronang memiliki tubuh yang lebar dan pipih. Tubuhnya tertutup
13
sisik-sisik yang halus, dengan warna dan pola yang bervariasi. Mulutnya kecil
dan digunakan untuk memakan tumbuhan laut (bersifat herbivora). Hal ini
menyebabkan Siganidae sering terdapat di daerah padang lamun maupun tempat
yang banyak ditumbuhi rumput lautnya. Makanan pokok Siganidae berdasarkan
metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012) disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Daftar makanan Siganidae
Makanan 1 Makanan 2 Makanan 3 Tingkat Predator
tumbuhan tumbuhan lainnya alga, rumput laut juvenil/dewasa
zooplankton plankton,
avertebrata lainnya
plankton,
avertebrata lainnya
juvenil/dewasa
zoobentos cacing, crustacea,
serangga
polychaeta,
isopoda, serangga
juvenil/dewasa
Sumber: Metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012)
2.3.2 Famili Lethrinidae
Lethrinidae diklasifikasikan sebagai berikut (Valenciennes 1830):
Filum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Kelas : Actinopterygii
Sub kelas : Teleostei
Ordo : Percimorfes
Famili : Lethrinidae
Sumber: Metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012)
Gambar 6 Famili Lethrinidae
Ciri-ciri morfologis Lethrinidae yaitu: sirip punggung terdiri dari 10 duri keras
dan 9-10 duri lunak, sirip ekor memiliki 3 duri keras dan 8-10 duri lunak. Duri-
duri ini beracun. Lethrinidae memiliki keel dan gigi molariform untuk
menghancurkan makanan yang keras. Ciri-ciri ini dapat dilihat pada Gambar 6.
14
Lethrinidae hidup soliter atau bergerombol dan tidak tampak secara
teritorial. Mereka sering membentuk agregasi besar ketika melakukan pemijahan.
Ikan ini tersebar di perairan tropis Indo-Pasifik di wilayah pesisir mulai dari
daerah yang berdekatan dengan terumbu karang. Kebiasaan makannya bersifat
karnivora dan mencari makan pada malam hari di dasar perairan. Makanan pokok
Siganidae berdasarkan metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012) disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2 Daftar makanan Lethrinidae
Makanan 1 Makanan 2 Makanan 3 Tingkat Predator
zoobentos bentos, crustacea kepiting juvenil/dewasa
nekton finfish finfish lainnya dewasa
zoobentos bentos, avertebrata
lainnya
bentos, avertebrata
lainnya
dewasa
Sumber: Metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012)
2.3.3 Famili Labridae
Labridae diklasifikasikan sebagai berikut (Bloch 1791):
Filum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Kelas : Actinopterygii
Sub kelas : Teleostei
Ordo : Percimorfes
Famili : Labridae
Sumber: Metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012)
Gambar 7 Famili Labridae
Ciri-ciri morfologis Labridae yaitu: panjang maksimum 2-3 m, banyak yang
kurang dari 15 cm dan panjang minimum 4,5 cm, gigi biasanya menonjol ke luar
15
dan bentuknya jarang-jarang, sirip punggung terdiri dari 8-21 duri, sirip ekor
memiliki 4-6 duri keras dan 7-18 duri lunak. Sebagian besar spesies ini dapat
berubah warna dan jenis kelamin sesuai dengan pertumbuhan. Labridae tersebar
di Atlantik, Hindia dan Pasifik. Ciri-ciri tersebut dapat dilihat pada Gambar 7.
Labridae atau ikan Wrasses (orang Jawa menyebutnya sebagai ikan
Bayeman), merupakan famili ikan yang bertubuh kecil walau ada yang berukuran
raksasa, yaitu Coris formosa. Warna tubuhnya menarik dan memiliki gigi yang
kuat untuk memecah karang, lobster dan beberapa Moluska. Ikan ini masuk ke
dalam pasir pada malam hari dan akan keluar lagi pada pagi hari (Kuncoro 2008).
Jonna (2003) juga mengemukakan bahwa Labridae merupakan ikan yang
paling banyak dan mencolok di terumbu tropis seluruh dunia. Ikan ini adalah
keluarga kedua terbesar ikan laut dan keluarga terbesar ketiga di Perciformes,
dengan sekitar 60 genus dan sekitar 500 spesies. Umumnya, Labridae berperan
sebagai penggali pasir, karnivora terhadap avertebrata dasar, planktivor dan
sebagian kecil adalah ektoparasit pada ikan-ikan yang lebih besar. Makanan
pokok Labridae berdasarkan metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012)
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Daftar makanan Labridae
Makanan 1 Makanan 2 Makanan 3 Tingkat Predator
zoobentos moluska bivalvia juvenil/dewasa
zoobentos bentos, crustacea kepiting juvenil/dewasa
zoobentos cacing polychaeta juvenil
zoobentos bentos, crustacea amphipoda juvenil
zoobentos moluska gastropoda juvenil/dewasa
zoobentos bentos, crustacea bentos, crustacea juvenil
zoobentos bentos, crustacea bentos, crustacea juvenil/dewasa
zoobentos moluska bentos, moluska juvenil/dewasa
zoobentos echinodermata bulu babi juvenil/dewasa Sumber: Metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012)
2.4 Trofik Level
Trofik level adalah posisi suatu organisme dalam jaring makanan (Froese
dan Pauly 2000). Stergiou et al. (2007) menjelaskan bahwa trofik level
menunjukkan keberadaan ikan dan organisme lainnya yang masing-masing
berperan dalam jaring makanan. Struktur trofik adalah perpindahan energi
makanan melalui sederetan makhluk hidup. Suatu spesies tertentu dapat
16
menghuni lebih dari satu tingkatan trofik. Mengenai penentuan trofik level suatu
spesies, perlu dipertimbangkan kebiasaaan makan (feeding guilds) dari spesies
tersebut. Tabel 4 menjelaskan rincian feeding guilds menurut (Elliott dan
Hemingway 2002).
Tabel 4 Kebiasaan makan spesies estuarine
Kebiasaan Makan Deskripsi
Phytoplanktonic Memakan diatom dan dinoflagelata di kolom perairan,
tetapi juga memakan suspensi mikrofitobentos
Zooplanktonic (copepoda, mysids) Makan dengan menyeleksi zooplankton, khususnya
copepoda calanoid dan cyclopoid dan komponen yang
lebih besar seperti mysids: pada musim tertentu
memakan meroplankton (larva atau organisme bentik)
daripada holoplankton
Herbivorous (makro tumbuhan) Merumput alga atau daun
Detritivores dan scavengers Memakan hancuran organisme dan sisa hewan
Benthophagous (infauna) Memakan avertebrata bentik, yaitu infauna
Benthophagous (epifauna yang
menetap)
Memakan avertebrata di substrat yang kasar
Demersal feeders (epifauna yang
bergerak/demersal)
Memakan avertebrata yang bergerak atau tepat di atas
substrat, didominasi oleh crustacea kecil (udang/kepiting)
Piscivorous Predator terhadap ikan, baik dari spesies yang sama
(bersifat kanibal) maupun spesies yang berbeda
Parasites Ikan bersifat ektoparasit, memakan jaringan atau cairan
tubuh tanpa membunuh
Sumber: Elliott dan Hemingway 2002
Elliott dan Hemingway (2002) menambahkan faktor-faktor yang
memengaruhi trofik level suatu jenis ikan, yaitu sebagai berikut:
1) Faktor ekstrinsik, yaitu faktor lingkungan (non-biological)
Perubahan lingkungan dapat berdampak pada perpindahan makan-memakan
spesies yang berbeda. Faktor lingkungan yang memengaruhi, yaitu:
(1) Perubahan geografis pada faktor lingkungan seperti suhu dapat
memengaruhi tingkah laku makan-memakan ikan. Perubahan ini berkaitan
dengan posisi dan peristiwa termoklin pada sebagian stratifikasi estuari;
17
(2) Pedoman hidrografi pada faktor lingkungan seperti tingginya pasang surut
memengaruhi ukuran populasi ikan. Kadar salinitas dan oksigen terlarut
juga memengaruhi perilaku makan-memakan ikan;
(3) Lokasi yang dikhususkan atau substratum pada faktor lingkungan seperti
daerah pasang surut, dikenal sebagai feeding ground juvenile ikan.
2) Faktor biologi (intrinsik), yaitu:
(1) Tingkat hidup, termasuk umur dan ukuran yang berbeda. Ukuran tubuh
merupakan salah satu bagian penting organisme dari sudut pandang
ekologi dan evolusioner. Ukuran memiliki pengaruh yang sangat besar
pada tingkat kebutuhan energi hewan dan berpotensi sebagai sumber
eksploitasi, serta memberi pengaruh pada musuh alami;
(2) Jenis kelamin. Ikan gobies jantan dari jenis spesies terakhir menunjukkan
perubahan dalam diet makanannya selama musim bertelur karena setelah
mengkonsumsi sejumlah telur Pomatoschistus, diperkirakan seekor
pejantan secara agresif menguasai wilayah tersebut;
(3) Ecotrophomorphology yang menduga bahwa morfologi berkaitan erat
dengan hidup, sehingga dijadikan prediksi model hidup. Bahan makanan
dapat diduga dari morfologi ikan, khususnya dari sifat morfologis tentang
makan-memakan seperti ukuran mulut, bentuk rahang dan pertumbuhan
gigi;
(4) Tingkah laku ikan terkait dengan teori waktu mencari makan yang optimal
atau Optimal Foraging Theory (OFT). Teori ini menduga bahwa ikan
akan mencari makanan, memilih bahan-bahan makanan jika diberi pilihan
dan berhenti makan pada perkiraan waktu pengambilan energi yang
maksimal untuk memperkecil energi yang digunakan. Hasilnya, ikan akan
memaksimalkan kesehatannya sehingga reproduksi kehidupannya
berlangsung baik;
(5) Kompetisi intraspesies dan interspesies terjadi saat kebutuhan dari dua
atau lebih individu terhadap sumberdaya tertentu melebihi ketersediaan
sumberdaya tersebut di wilayah tempat mereka tinggal atau jika
permintaannya tidak dapat melebihi penawaran, mereka saling
memengaruhi satu sama lain dalam upaya memperoleh sumberdaya;
18
(6) Pembagian sumberdaya dapat terjadi pada tiga level, yaitu: waktu yang
bersifat temporal, wilayah dan bahan makanan. Oleh karena itu, dalam
penentuan ekosistem perlu dianalisis interaksi pola makan antar anggota
yang berbeda dalam satu perkumpulan;
(7) Mikroparasit meliputi virus, bakteri, jamur serta protozoa dicirikan oleh
ukuran yang kecil, masa hidup yang pendek dan kemampuan
menggandakan diri dalam inang yang terinfeksi. Organisme tersebut
sering berpindah secara langsung, sehingga ikan yang hidup di wilayah
padat dan dangkal sangat mudah dimasuki oleh patogen-patogen ini.
2.5 Pendekatan Ekosistem
Pendekatan ekosistem adalah suatu pendekatan yang mengacu pada aplikasi
dari berbagai metode ilmiah yang berfokus pada tingkat tatanan kehidupan yang
melibatkan struktur, proses, fungsi dan interaksi antar organisme dengan
lingkungannya (Aryani 2010). Yulianto (2010) menambahkan faktor-faktor yang
perlu dipertimbangkan dalam implementasi pendekatan ekosistem, yaitu
kelestarian ekosistem, kesejahteraan masyarakat dan kemampuan untuk mencapai
tujuan. Menurut FAO (2005) terdapat dua belas prinsip pelaksanaan pendekatan
ekosistem dalam pengelolaan perikanan, yaitu sebagai berikut:
1) Sasaran dari pengelolaan ini adalah pilihan dari masyarakat;
2) Pengelolaan harus terdesentralisasi pada tingkat yang rendah;
3) Pengelolaan harus mempertimbangkan dampak setiap aktivitas terhadap
ekosistem lainnya;
4) Dibutuhkan pemahaman dan pengelolaan perikanan dengan pendekatan
ekosistem dalam konteks ekonomi dengan mempertimbangkan dampak
positif dari pengelolaan tersebut. Pengelolaan tersebut antara lain:
(1) Mengurangi pengaruh pasar yang berdampak negatif terhadap
keanekaragaman hayati;
(2) Mempromosikan konservasi sumberdaya dan pemanfaatan yang lestari
dengan pemberian insentif;
(3) Mempertimbangkan komponen biaya dan manfaat bagi ekosistem;
19
5) Konservasi fungsi dan struktur ekosistem dalam rangka menjaga manfaat
ekosistem, dimana yang dikonservasi merupakan lokasi prioritas;
6) Pengelolaan ekosistem harus mempertimbangkan daya dukung;
7) Pendekatan ekosistem harus mempertimbangkan komponen spasial dan
temporal;
8) Pengelolaan ekosistem harus mengacu pada pengelolaan jangka panjang;
9) Pengelolaan harus adaptif terhadap perubahan;
10) Pendekatan ekosistem harus seimbang antara konservasi dan pemanfaatan;
11) Pendekatan ekosistem harus mempertimbangkan beberapa informasi ilmiah,
adat istiadat, inovasi dan pengalaman;
12) Pendekatan ekosistem harus melibatkan para pihak dan lintas ilmu.
FAO (2005) juga menyebutkan dalam dokumen tentang implementasi
pendekatan ekosistem pengelolaan perikanan mengenai beberapa opsi yang dapat
dilakukan dalam mengimplementasikan pendekatan ekosistem. Opsi-opsi yang
dapat dilakukan, yaitu sebagai berikut:
1) Pengaturan secara teknis
Pengaturan secara teknis dapat dilakukan pada pengaturan alat tangkap yang
digunakan oleh nelayan. Pengaturan secara teknis ini dapat dilakukan dengan:
(1) Pengaturan jumlah alat tangkap dan ukuran mata jaring;
(2) Pengurangan ikan hasil tangkapan sampingan (by-catch);
(3) Penyesuaian metode dan operasi penangkapan untuk mengurangi dampak
negatif terhadap ekosistem dan spesies yang dilindungi;
(4) Mengedepankan pendekatan pencegahan atau kehati-hatian (precautionary
approach).
2) Pengaturan secara spasial dan temporal
Pengaturan secara spasial merupakan pengaturan daerah penangkapan ikan.
Pengaturan secara spasial ini dapat diimplementasikan dalam bentuk
pengembangan kawasan konservasi laut. Pengaturan secara temporal
merupakan pengaturan pelarangan penangkapan pada waktu tertentu.
3) Pengaturan input dan output
Pengaturan input penangkapan dapat dilakukan dengan pengendalian kapasitas
penangkapan dan usaha penangkapan nelayan. Pengaturan output dapat
20
dilakukan dengan pengendalian hasil dan jenis tangkapan. Salah satu tujuan
pengaturan ini adalah untuk menurunkan kematian akibat penangkapan (fishing
mortality).
4) Manipulasi ekosistem
Manipulasi ekosistem dapat dilakukan dengan mencegah degradasi habitat,
merehabilitasi habitat, pengembangan habitat buatan dan penebaran benih
(restocking) ikan.
2.6 Daerah Penangkapan Ikan
Daerah penangkapan ikan merupakan wilayah perairan tempat
berkumpulnya ikan, dimana alat tangkap dapat dioperasikan sesuai teknis untuk
mengeksploitasi sumberdaya ikan yang terdapat didalamnya (Simbolon 2006).
Keberhasilan operasi penangkapan ikan dapat ditingkatkan dengan memenuhi
paling sedikit persyaratan berikut:
1) Alat tangkap dapat dioperasikan dengan mudah dan sempurna pada daerah
penangkapan ikan tersebut;
2) Daerah penangkapan ikan dapat dijangkau oleh kapal ikan;
3) Daerah penangkapan ikan mengandung sumberdaya ikan yang banyak dan
bernilai ekonomis penting.
Salah satu langkah dalam proses optimasi penentuan daerah penangkapan
ikan yang ekonomis dan menguntungkan, yaitu perlu mempertimbangkan tiga
aspek utama sebagai berikut:
1) Aspek sumberdaya ikan;
2) Lingkungan perairan sebagai habitat sumberdaya ikan;
3) Teknologi alat penangkapan ikan.
2.7 Alat Tangkap Jaring Insang Tetap (Set Gillnet)
Jaring insang tetap (set gillnet) yaitu alat penangkap ikan yang khusus
dikonstruksikan untuk menangkap ikan dengan menjerat insang, dioperasikan
secara pasif dan menetap di perairan. Jaring insang tetap dioperasikan di danau
dan perairan pesisir untuk menangkap ikan-ikan komersial. Jaring insang tetap
diklasifikasikan ke dalam kelompok jaring insang (gillnet) (von Brandt 2005).
21
Jaring insang biasanya dioperasikan dengan menghadang arah migrasi ikan,
sehingga ikan-ikan harus melewati mata jaring pada jaring insang. Jaring insang
tetap di dasar perairan dioperasikan untuk menangkap ikan demersal. Perairan
tempat jaring insang tetap digunakan merupakan perairan jernih, arusnya tidak
terlalu kuat dan tidak ada tumbuh-tumbuhan terapung.
2.8 Hubungan Panjang dan Berat Ikan
Panjang ikan dapat diukur dengan menggunakan sistem metrik (Effendie
1979). Ada tiga macam pengukuran, yaitu:
1) Panjang total atau panjang mutlak, ialah panjang ikan yang diukur mulai dari
ujung terdepan bagian kepala sampai ujung terakhir bagian ekornya;
2) Panjang cagak atau fork length, ialah panjang ikan yang diukur dari ujung
terdepan sampai ujung bagian luar lekukan ekor;
3) Panjang standar atau panjang baku, ialah panjang ikan yang diukur mulai dari
ujung terdepan dari kepala sampai ujung terakhir dari tulang punggungnya.
Ujung tersebut letaknya sebelum pangkal jari-jari sirip ekor.
Menurut Effendie (1979) alat pengukur panjang ikan yang baik digunakan
di lapangan adalah alat pengukur yang terbuat dari kayu. Bentuk yang perlu
diperhatikan dari alat ini adalah bagian depannya, yaitu tempat menempel dari
bagian depan ikan harus bertepatan dengan angka nol. Alat penimbangan
diusahakan yang praktis dan tidak mudah rusak tetapi ketelitiannya cukup tinggi.
Hasil studi hubungan panjang dan berat ikan memungkinkan nilai panjang
ikan berubah ke harga berat ikan atau sebaliknya. Berat ikan dapat dianggap
sebagai suatu fungsi dari panjangnya dan hubungan panjang-berat ini hampir
mengikuti hukum kubik yang dinyatakan dengan persamaan: W = aL3 (W adalah
berat ikan, L adalah panjang ikan dan a adalah konstanta). Hal tersebut disertai
dengan anggapan bahwa bentuk serta berat jenis ikan itu tetap selama hidupnya
tetapi karena ikan itu tumbuh, dimana bentuk tubuh, panjang dan beratnya selalu
berubah, maka menurut Hile (1936) vide Effendie (1979), persamaan umumnya
adalah W = aLb (a dan b adalah konstanta). Logaritma persamaan tersebut
menjadi: log W = log a + b log L yang menunjukkan hubungan linier (Effendie
1979).