2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · 4 2 TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Potensi Sumberdaya Ikan di...
Transcript of 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · 4 2 TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Potensi Sumberdaya Ikan di...
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Potensi Sumberdaya Ikan di Selat Bali
Kabupaten Banyuwangi berbatasan dengan dua perairan laut yakni Selat
Bali dan Samudera Hindia. Selat Bali terletak di sebelah timur Kabupaten
Banyuwangi dan Samudera Hindia yang terletak di sebelah selatan Kabupaten
Banyuwangi. Perairan Samudera Hindia mempunyai potensi sumberdaya ikan
yang cukup besar, baik berupa sumberdaya ikan permukaan (pelagis), ataupun
ikan-ikan dasar (demersal). Menurut Komite Nasional Pengkajian Stok Sumber
Daya Ikan Laut (KNPSSDI) perairan Banyuwangi termasuk dalam bagian wilayah
pengelolaan perikanan Samudera Hindia yang meliputi perairan selatan Jawa dan
Selat Bali (Wijayanti, 2000).
Berdasarkan pengkajian yang dilakukan oleh Forum Koordinasi
Pengelolaan Penangkapan Sumberdaya (FKPPS) Ditjen Perikanan, Perairan Selat
Bali dan Samudera Hindia termasuk ke dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan
(WPP 9). Ciri perairan di WPP ini memiliki paparan yang sempit, salinitas yang
relatif tinggi dan bersifat homogen (Azis et al, 1998). Jenis-jenis sumberdaya
ikan yang ada di WPP ini termasuk Selat Bali dan Samudera Hindia sangat
beragam mulai dari pelagis kecil sampai ikan hias.
Kelompok pelagis kecil antara lain didominasi oleh ikan layang
(Decapterus sp), selar (Caranx sp), teri (Stelophorus sp), kembung (Rastrelliger
sp), dan tembang (Sardinella fimbriata) termasuk di dalamnya ikan lemuru.
Kelompok ikan pelagis besar antara lain ikan cakalang (Katsuwonus pelamis),
tongkol (Euthynnus sp), tenggiri (Scomberomerus sp) dan cucut (Charcharinus
sp). Jenis ikan lain seperti ikan karang konsumsi, ikan hias dan biota utama yang
termasuk ke dalam kelompok udang dan crustacea lain, juga terdapat di daerah
penangkapan ikan Muncar namun masih diproduksi dalam jumlah yang tidak
terlalu besar (Azis et al, 1998).
Selat Bali memiliki luas sebesar selitar 2.500 km2
(Wijayanti, 2000). Azis
et al (1998), menyebutkan potensi ikan pelagis kecil di WPP Samudera Hindia
termasuk Perairan Selat Bali adalah sebesar 429.030 ton/tahun. Untuk jenis ikan
demersal, ikan hias dan benur belum dilakukan penelitian, namun demikian
5
sebenarnya memiliki potensi yang cukup besar. Tingkat pemanfaatan sumberdaya
perikanan khususnya ikan pelagis sudah dilaksanakan secara intensif semenjak
tahun 1974 dengan introduksi alat tangkap pukat cincin (purse seine) dan alat
tangkap lain dalam jumlah yang besar (Dewi, 2004).
2.2 Biologi dan Ekologi Ikan Lemuru
2.2.1 Sistematika ikan lemuru
Pada tahun-tahun terakhir ini sebutan Sardinella longiceps jarang
digunakan sebagai nama ilmiah ikan lemuru yang tertangkap di Perairan Selat
Bali. Hasil revisi klasifikasi ikan lemuru yang dilakukan FAO (2000)
mengidentifikasikan jenis lemuru di Perairan Selat Bali sebagai Sardinella lemuru
Bleeker, 1853. FAO (2000) mengidentifikasikan jenis Sardinella lemuru ini
dalam bahasa Inggris dinamakan Bali Sardinella. Sedangkan dalan bahasa dagang
ikan lemuru dikenal dengan istilah “Indian oil sardinella”. Selanjutnya dalam
tulisan ini ikan lemuru yang dimaksud adalah Sardinella lemuru Bleeker 1853.
Saanin (1984) mengklasifikasikan ikan lemuru sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Sub kelas : Teleostei
Ordo : Malacopterygii
Famili : Clupeidae
Sub famili : Clupeinae
Genus : Sardinella
Sub genus : Sardinella
Spesies : S. longiceps, S. lemuru, S. neglecta
Weber dan de Beafort (1965) yang diacu oleh Damarjati (2001),
menyebutkan lemuru mempunyai rumus sirip punggung D.16-18, sirip dubur
A.13-16, sirip dada P.15-16, dan sirip perut V.8-9. Tipe sisik lemuru adalah
sikloid, sisik garis rusuk L1.45 dan sisik melintang Ltr.12-13. Bentuk tubuh
memanjang, cembung dan memundar pada bagian perut. Panjang badan 4-41/2
diameter mata. Sub operkulum membentuk segi empat dengan bagian bawah
6
melengkung. Sirip punggung lebih dekat ke ekor daripada ke moncong,
permulaan sirip depan perut berada di belakang pertengahan sirip punggung.
Sumber: Randall, J.E. 1997
Gambar 1 Ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853).
Gigi tumbuh pada langit-langit mulut sambungan tulang rahang bawah dan
lidah. Tapis insang di bagian belakang mata berjumlah 120 lembar, lebarnya
kurang dari setengah tinggi operkulum. Sisik-sisiknya lembut dan bertumpuk
tidak teratur, jumlah sisik di depan sirip punggung 13-15. Scute atau sisik duri
terdapat di depan sirip perut 18 dan 14 lainnya di belakang sirip perut. Lemuru
berwarna biru kehijauan pada bagian punggung dan putih keperakan pada bagian
lambung, serta mempunyai sirip-sirip transparan. Panjang tubuh dapat mencapai
23 cm, tetapi pada umumnya hanya 10-15 cm (Chan, 1965 yang diacu oleh
Damarjati, 2001). Ikan–ikan lemuru oleh nelayan setempat diberi nama yang
berbeda sesuai dengan ukuran tubuhnya dan berkaitan dengan harga jualnya.
Adapun nama-nama tersebut adalah:
Tabel 1 Nama-nama ikan lemuru berdasarkan ukuran di Muncar, Banyuwangi
No. Panjang (cm) Nama Daerah
1. < 11 Sempenit Muncar
Penpen Kedongan, Bali
2. 11 – 15 Protolan Muncar dan Bali
3. 15 – 18 Lemuru Muncar dan Bali
4. > 18 Lemuru Kucing Muncar
Kucingan Bali Sumber: Merta, 1992
2.2.2 Makanan ikan lemuru
Burhanuddin dan Praseno (1982) yang diacu oleh Damarjati (2001)
mengatakan bahwa ikan lemuru adalah pemakan zooplankton dan fitoplankton.
7
Zooplankton merupakan makanan utama dengan persentase 90,52% - 90,54%,
sedangkan fitoplankton 4,46% - 9,48%. Dalam komposisi zooplankton, Copepoda
menduduki persentase tertinggi di dalam isi lambung lemuru antara 53,76% -
55,00% berikutnya adalah Decapoda 6,57% - 9,49%. Hasil penelitian di India
menunjukkan bahwa makanan S. longiceps yang predominan adalah fitoplankton,
terdiri dari Diatom, Fragillaria, Bidduldhia, Pleurosigma dan Coseinodiscus.
Terdapat korelasi antara Fragillaria oseanica dengan kelimpahan ikan lemuru di
India, adanya kelimpahan F.oseanica dalam jumlah besar di pantai akan
mengindikasikan kelimpahan lemuru juga. Ikan S. longiceps muda adalah ikan
yang bersifat herbivor, sedangkan yang dewasa bersifat karnivor dengan
memakan krustase yang planktonis seperti copepoda.
Noble (1969) yang diacu oleh Damarjati (2001) menyatakan bahwa
diatom merupakan makanan utama ikan lemuru (S. longiceps) di India selama
bulan Juli - September dan Desember – Januari sedangkan bulan lainnya adalah
copepoda. Rantai makanan ikan pelagis kecil sederhana, yaitu fitoplankton –
zooplankton – lemuru. Pada umumnya spesies ikan pelagis kecil yang
bergerombol adalah filter feeder atau particulateplankton feeder.
2.2.3 Penyebaran ikan lemuru
Lemuru tersebar di Lautan India bagian timur yaitu Phikat, Thailand, di
Pantai-pantai Selatan Jawa dan Bali, Australia di sebelah barat dan Lautan Pasifik
sebelah barat (Laut Jawa ke utara sampai dengan Filipina, Hongkong, Taiwan
sampai dengan Jepang bagian selatan) (Whitehead, 1985 yang diacu oleh
Hosniyanto, 2003). Penyebaran S. longiceps, adalah suatu spesies yang paling
dekat dengan ikan lemuru terdapat di Lautan India (hanya di bagian utara dan
barat saja, Teluk Aden, Teluk Oman, (tetapi tidak ada di Laut Merah), ke arah
timur di bagian selatan India, di pantai timur Andhra mungkin hingga ke
Andaman), sedangkan S. neglecta hanya terdapat di Lautan India sebelah barat
(pantai-pantai Kenya dan Tazmania).
Di Indonesia selain di Perairan Selat Bali dan sekitarnya, lemuru juga
terdapat di selatan Ternate, Selat Madura, Selat Sunda, dan Teluk Jakarta. Pada
waktu-waktu tertentu juga tertangkap di Laut Jawa di luar pantai Jawa Tengah
(Soerdjodinoto, 1960 yang diacu oleh Hosniyanto, 2003).
8
2.2.4 Tingkah laku ikan lemuru
Di Selat Bali ikan lemuru adalah ikan musiman karena muncul pada
musim-musim tertentu saja. Ikan lemuru beruaya secara musiman dimana pada
saat tertentu berada jauh dari jangkauan penangkapan. Keadaan ini terjadi pada
bulan Februari dan Maret. Ikan lemuru adalah ikan pelagis kecil yang hidup
secara bergerombol dalam jumlah yang begitu besar, ikan ini cenderung berada di
permukaan laut pada malam hari untuk mencari makan dan berada di kolom
perairan tertentu pada siang hari (Hosniyanto, 2003).
Soerjodinoto (1980) yang diacu oleh Hosniyanto (2003) menyatakan
bahwa ikan lemuru cenderung datang ke pantai untuk bertelur karena salinitasnya
yang rendah, ikan ini meletakkan telur-telurnya di atas perairan. Ikan-ikan lemuru
yang tertangkap di Perairan Selat Bali memijah pada bulan Juni-Juli dimana
tempatnya tidak jauh dari Pantai Selat Bali yaitu dengan adanya ikan sempenit
yang tertangkap di bagan-bagan tancap di Teluk Pangpang. Ikan lemuru di Selat
Bali ada kemungkinan memijah pada akhir musim hujan setiap tahunnya
(Whitehead, 1985 yang diacu oleh Hosniyanto, 2003).
Selama siang hari gerombolan ikan padat ditemukan dekat dengan dasar
perairan, sedang pada malam hari mereka bergerak ke lapisan dekat permukaan
membentuk gerombolan yang menyebar. Sekali–kali kadang gerombolan lemuru
ditemukan di atas permukaan selama siang hari ketika cuaca berawan dan gerimis.
Penangkapan dilakukan selama malam hari ketika ikan pindah/bergerak dekat
dengan permukaan air. Juvenil lemuru tinggal di perairan yang dangkal dan
menjadi target dari alat tangkap tradisional, seperti bagan dan gillnet (Hosniyanto,
2003).
2.3 Alat Tangkap Ikan Lemuru di PPP Muncar
2.3.1 Purse seine
Von Brandt (1984) mengelompokkan purse seine dalam kelompok
surrounding nets. Alat tangkap ini memiliki ciri tali ris atas yang lebih pendek
dari tali ris bawahnya. Berbeda dengan alat tangkap lain dalam kelompoknya
seperti ring net dan lampara yang memiliki tali ris atas lebih panjang dari tali ris
bawahnya. Purse seine atau lebih dikenal pukat cincin yang berbentuk persegi
panjang dengan dinding jaring yang sangat panjang. Alat tangkap pukat cincin
9
terdiri atas badan jaring, selvedge (jaring pada pinggir jaring), kantong (bunt), tali
ris atas (floatline), tali ris bawah (leadline), pemberat dan pelampung serta cincin-
cincin yang menggantung pada bagian bawah jaring yang tersusun pada tali kolor
(purse line).
Subani (1990) menyatakan bahwa dari hasil penelitian menunjukkan pukat
cincin termasuk yang paling produktif untuk menangkap ikan pelagis kecil. Dalam
operasi penangkapannya menggunakan alat bantu rumpon (pada siang hari)
maupun dengan lampu (pada malam hari). Pukat cincin pertama kali
diperkenalkan di Pantai Utara Jawa oleh BPPL pada tahun 1970 dalam rangka
kerja sama dengan pengusaha perikanan Batang dan berhasil baik. Kemudian
diaplikasikan di Muncar (1974) dan berkembang pesat sampai sekarang
(Sainbury, 1986 yang diacu oleh Perkasa, 2004).
Prinsip penangkapan ikan dengan pukat cincin adalah dengan melingkari
suatu gerombolan ikan dengan jaring. Setelah itu jaring pada bagian bawah
dikerucutkan, dengan demikian akan terkumpul di bagian kantong. Dengan
adanya jaring yang melingkari gerombolan ikan maka ruang lingkup gerak ikan
akan menjadi kecil, sehingga kemungkinan ikan untuk melarikan diri menjadi
lebih kecil pula dan ketika tidak memiliki ruang untuk melarikan diri, ikan
akhirnya tertangkap. Jaring yang digunakan pada pukat cincin tidak berfungsi
sebagai penjerat seperti halnya gillnet, tetapi jaring ini berfungsi untuk
menghadang ikan agar tidak melarikan diri (Ayodhyoa, 1981).
Sainsbury (1986) diacu oleh Perkasa (2004) mendeskripsikan pukat cincin
yang beroperasi di utara Jawa sebagai berikut:
1. Badan jaring terdiri tiga bagian yaitu: jaring utama dengan bahan nilon,
jaring sayap dengan bahan dari nilon dan jaring kantong;
2. Srampatan (selvedge) dipasang pada pinggir jaring yang fungsinya untuk
memperkuat jaring pada waktu dioperasikan terutama pada waktu
penarikan jaring. Bagian ini langsung dihubungkan dengan tali temali.
Srampatan (selvedge) dipasang pada bagian atas, bawah dan samping
dengan bahan dan ukuran yang sama, yakni PE 380 sebanyak 20 mata
untuk bagian atas, 25 mata untuk bagian bawah dan 20 mata untuk bagian
samping;
10
3. Tali temali, terdiri dari (a) tali pelampung, bahan PE dengan panjang 420
m; (b) tali ris atas, bahan PE dengan panjang 420 m; (c) tali ris bawah,
bahan PE dengan panjang 450 m; (d) tali kolor, bahan kuralon dengan
panjang 500 m; (e) tali pemberat, bahan PE dengan panjang 450 m; dan (f)
tali selambar, bahan PE dengan panjang bagian kanan 38 m dan kiri 15 m;
4. Pelampung, ada dua pelampung dengan bahan yang sama yakni sinthetic
rubber (SR). Pelampung bagian kanan dan kiri sebanyak 600 buah dan
pelampung bagian tengah sebanyak 400 buah. Pelampung yang dipasang
di bagian tengah lebih rapat dibanding dengan bagian pinggir;
5. Pemberat, terbuat dari timah hitam sebanyak 700 buah dipasang pada tali
pemberat;
6. Cincin, terbuat dari besi dengan diameter lubang 11,5 cm yang
digantungkan pada tali pemberat dengan seutas tali yang panjangnya 1 m
dengan jarak 3 m setiap cincin. Ke dalam cincin ini dilakukan tali kolor
(purse line).
Von Brandt (1984) mengemukakan bahwa ada dua jenis purse seine, yaitu
purse seine tipe Amerika dan tipe Jepang. Purse seine tipe Amerika berbentuk
empat persegi panjang dengan bagian pembentuk kantong terletak di bagian tepi
jaring. Purse seine tipe Jepang berbentuk empat persegi panjang dengan bagian
bawah jaring berbentuk busur lingkaran dan bagian pembentuk kantongnya
terletak di tengah jaring. Menurut Sadhori (1985) diacu oleh Perkasa (2004),
purse seine dibedakan berdasarkan empat bagian besar yaitu:
1. Berdasarkan bentuk jaring utama
a. Persegi atau segi empat
b. Trapesium atau potongan
c. Lekuk
2. Berdasarkan jumlah kapal yang digunakan pada waktu operasi
a. Tipe satu kapal (one boat system)
b. Tipe dua kapal (two boat system)
3. Berdasarkan spesies ikan yang menjadi tujuan penangkapan
a. Purse seine tuna
b. Purse seine layang
11
c. Purse seine kembung
4. Berdasarkan waktu operasi yang dilakukan
a. Purse seine siang hari
b. Purse seine malam hari
Ada beberapa tahap dalam kegiatan penangkapan ikan dengan purse seine,
yaitu (1) menemukan kawasan ikan terlebih dahulu; (2) menentukan/mendeteksi
kuantitas kawasan ikan; (3) menentukan faktor-faktor oseanografi seperti
kekuatan, kecepatan dan arah angin maupun arus, serta menentukan arah dan
kecepatan renang kawanan ikan; (4) melakukan penangkapan yaitu dengan
melingkarkan jaring dan menarik purse seine dengan cepat supaya kawanan ikan
tidak dapat melarikan diri dari arah vertikal maupun horizontal, dan (5) jaring
diangkat dan ikan dipindahkan dari bagian bunt ke palkah dengan scoop net atau
fish pump (Ayodhyoa, 1981).
Tingkah laku ikan pelagis kecil yang merupakan tujuan penangkapan
purse seine adalah suka bergerombol diantara jenis ikan itu sendiri maupun
bersama-sama dengan jenis ikan lainnya dan tertarik pada cahaya maupun benda
terapung. Jika ikan belum terkumpul pada suatu catchcable area atau jika ikan
berada di luar kemampuan tangkap jaring maka dapat diusahakan ikan datang dan
berkumpul menggunakan cahaya dan rumpon (Ayodhyoa, 1981).
Perikanan purse seine tersebar sepanjang utara Jawa (terutama Propinsi
Jawa Timur) dan Propinsi Kalimantan Selatan, dengan waktu penangkapan yang
relatif pendek. Pengoperasian purse seine dapat dilakukan pada siang hari dan
malam hari. Penangkapan yang dilakukan pada saat matahari terbit, matahari
terbenam, atau pada malam hari ternyata hasilnya akan lebih baik jika
dibandingkan pada waktu lainnya (Perkasa, 2004). Operasi penangkapan ikan
dengan purse seine di Muncar memiliki kesamaan tipe dengan operasi
penangkapan di Prigi Kabupaten Trenggalek, yaitu:
1. Tipe gerakan, operasi penangkapan yang dilaksanakan pada siang hari.
Tipe ini bersifat bergerak memburu gerombolan ikan tanpa bantuan alat
pengumpul ikan (rumpon);
2. Tipe gadangan, operasi penangkapan yang sifatnya sama dengan gerakan
yaitu memburu ikan, hanya saja operasi penangkapan dilaksanakan pada
12
waktu malam hari. Tipe gadangan dilaksanakan pada saat permukaan laut
tampak bening.
Pada tipe gerakan, nelayan biasanya berangkat dari fishing base sekitar
pukul 09.00 WIB dan kembali lagi ke fishing base sekitar pukul 17.00 WIB,
sedangkan tipe gadangan, nelayan biasanya berangkat ke fishing ground sekitar
pukul 16.00 WIB dan kembali dari fishing ground ke fishing base sekitar pukul
03.00 WIB (Perkasa, 2004).
2.3.2 Payang
Von Brandt (1984) menjelaskan bahwa payang termasuk dalam kelompok
seine net atau danish net, yaitu alat penangkap ikan yang mempunyai bagian
badan, sayap, dan tali penarik yang sangat panjang dengan atau tanpa kantong.
Alat ini dioperasikan dengan cara melingkari area seluas-luasnya dan kemudian
menarik alat ke kapal atau ke pantai. Payang merupakan salah satu dari seine net
yang dioperasikan dengan cara melingkari kawanan ikan lalu ditarik ke atas kapal
yang tidak bergerak.
Kapal payang didesain memiliki tinggi dek yang tidak terlalu tinggi untuk
mempermudah saat penarikan jaring dan pemindahan hasil tangkapan ke atas
kapal. Lambung kapal payang didesain cukup besar agar dapat menampung hasil
tangkapan dalam jumlah besar. Kapal paying tidak boleh memiliki badan yang
terlalu gemuk, hal ini akan berpengaruh terhadap kemampuan olah gerak kapal
dan kecepatannya. Diusahakan juga agar nilai panjang (L) kapal tidak terlalu
besar untuk mencegah melemahnya kekuatan memanjang kapal (Fyson, 1985
yang diacu oleh Novri, 2006).
Subani dan Barus (1989) mendeskripsikan payang sebagai berikut: besar
mata mulai dari ujung kantong sampai ujung kaki berbeda-beda, bervariasi mulai
dari 1 cm atau sampai sekitar 40 cm. Payang memiliki tali ris bawah yang lebih
pendek yang dimaksudkan agar dapat mencegah kemungkinan ikan dapat lolos ke
bawah, karena pada umumnya payang dioperasikan untuk menangkap jenis-jenis
ikan pelagis yang biasa hidup dibagian lapisan atas perairan dan mempunyai sifat
cenderung bergerak ke lapisan bawah bila terkurung jaring.
13
2.3.3 Gillnet
Martasuganda (2002) menyatakan bahwa jaring insang (gillnet) adalah
jenis alat penangkap ikan dari bahan jaring yang bentuknya persegi panjang
dimana mata jaring dari bagian jaring utamanya ukurannya sama. Jumlah mata
jaring kearah panjang atau kearah horizontal (mesh length) jauh lebih banyak
daripada jumlah mata jaring kearah vertikal atau kearah dalam (mesh depth).
Jaring insang (gillnet) pada bagian atasnya dilengkapi dengan beberapa
pelampung (floats) dan dibagian bawah dilengkapi dengan beberapa pemberat
(sinkers) sehingga dengan adanya dua gaya berlawanan memungkinkan jaring
insang dipasang di daerah penangkapan dalam keadaan tegak.
Menurut Subani dan Barus (1989) gillnet merupakan alat tangkap yang
berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan pelampung, pemberat,
tali ris atas, tali ris bawah (kadang tanpa tali ris bawah: seperti jaring udang
barong). Bahan jaring yang umum dipakai adalah nilon dan amilan, baik itu
monofilamen maupun multifilamen. Pemakaian ketebalan benang disesuaikan
dengan jenis jaring insang, target ikan, metode operasi, daerah penangkapan dan
lainnya. Warna jaring yang umum dipakai dalam perikanan jaring insang adalah
warna bening atau biru laut. Salah satu alasannya adalah supaya ikan susah
mendeteksi keberadaan dari jaring dalam perairan. Ada pula jaring yang memakai
warna merah bata untuk menangkap udang karang atau warna lain sesuai dengan
kepercayaan nelayan yang mengoperasikannya (Martasuganda, 2002).
Von Brandt (1984) mengemukakan bahwa gillnet berdasarkan cara
pengoperasiannya terbagi menjadi lima. Pertama bottom set gillnet, yaitu jaring
yang dipasang pada dasar atau dekat dasar untuk menangkap ikan demersal.
Kedua anchored floating gillnet yaitu untuk menangkap ikan pada kolom
perairan. Ketiga free drifting gillnet yaitu menangkap ikan pada permukaan.
Keempat encercling gillnet yaitu jaring insang yang berbentuk lingkaran dan yang
kelima dragged gillnet yaitu jaring insang yang ditarik yang biasa digunakan pada
perairan tawar.
Martasuganda (2002) mengatakan bahwa cara pengoperasian jaring insang
hanyut di perairan, yaitu jaring dibiarkan hanyut di perairan, baik itu dihanyutkan
di bagian permukaan, kolom perairan atau di dasar perairan. Jaring insang yang
14
dihanyutkan di bagian permukaan disebut dengan jaring insang hanyut permukaan
(surface drift gillnet), yang dihanyutkan di kolom perairan disebut jaring insang
hanyut kolom perairan (mid water/submerged drift gillnet) dan yang dihanyutkan
di dasar perairan disebut jaring insang hanyut dasar (bottom drift gillnet).
Pengoperasian dari jaring insang hanyut permukaan dan jaring insang hanyut
kolom perairan adalah dengan cara salah satu ujungnya dikaitkan pada kapal atau
semuanya dibiarkan hanyut terbawa arus atau terbawa angin tanpa dikaitkan pada
kapal. Jaring insang hanyut dasar hanya dioperasikan pada perairan pantai dengan
dasar perairan berlumpur, berpasir atau campuran dari keduanya.
Pemasangan (setting) jaring insang hanyut yang dioperasikan di laut lepas
umumnya dimulai pada sore hari menjelang matahari terbenam dan diangkat
(hauling) pada pagi hari menjelang matahari terbit. Jaring insang hanyut yang
dioperasikan di perairan pantai, waktu setting dan hauling berbeda untuk setiap
nelayan. Jumlah setting dan hauling dalam satu hari kadang berbeda menurut
nelayan dan jenis ikan yang dijadikan target tangkapan. Pemasangan jaring
insang hanyut yang baik adalah tegak lurus atau memotong miring terhadap arah
arus (Martasuganda, 2002).
Sparre and Venema (1999) membedakan ikan yang tertangkap oleh gillnet
dalam empat cara tertangkap, yaitu terhadang (snagged), terjerat pada tutup
insang (gilled), terjerat pada bagian badan terbesar atau bagian depan sirip
punggung (wedged) dan tertangkap secara terpuntal (entangled). Proses
tertangkapnya ikan pada jaring insang ada beberapa cara antara lain: terjerat pada
bagian tutup insang, terjepit oleh mata jaring dan terpuntal. Secara umum
tertangkapnya ikan pada jaring insang dipengaruhi oleh ukuran mata jaring.
Martasuganda (2002) menyatakan cara tertangkapnya ikan pada mata
jaring biasanya terjerat pada bagian belakang penutup insang (operculum) atau
terjerat diantara operculum dan bagian tinggi maksimum (maximum body) dari
ikan. Untuk jaring insang yang konstruksinya hanya terdiri dari satu lembar, ikan
yang memasuki mata jaring biasanya hanya ikan yang mempunyai ukuran keliling
bagian belakang penutup insang (operculum girth) lebih kecil dari keliling mata
jaring (mesh size) dan keliling tinggi maksimum (maximum body girth) ikan lebih
besar dari keliling mata jaring. Untuk jenis jaring insang yang konsturuksinya
15
terdiri dari dua lembar atau tiga lembar, ikan yang memasuki mata jaring biasanya
selain ikan yang mempunyai ukuran keliling bagian belakang penutup insang
lebih kecil dan keliling tinggi maksimum lebih besar dari mata jaring bagian
jaring dalam (inner net), juga ikan dan hewan air lainnya yang ukurannya jauh
lebih besar dari ukuran mata jaring bagian dalam, tetapi lebih kecil dari ukuran
mata jaring bagian luar (outer net).
Bentuk badan ikan dapat mempengaruhi cara tertangkapnya ikan. Bentuk
umum badan ikan yang terjerat (gilled dan wedged) adalah berbentuk gilik
(fusiform) seperti ikan selar, kembung, tembang, tongkol dan ikan cakalang,
sedangkan bentuk badan ikan berbentuk compressed dan depressed seperti ikan
layur pada umumnya tertangkap secara terpuntal. Hal lain yang juga berpengaruh
adalah tingkah laku ikan misalnya reaksi ikan pada saat menghadapi jaring
(Martasuganda, 2002).
2.3.4 Bagan
Bagan merupakan jenis alat tangkap tradisional yang banyak digunakan
oleh nelayan Indonesia. Berdasarkan cara pengoperasiannya, bagan
dikelompokkan dalam jaring angkat (lift net). Bagan juga menggunakan cahaya
lampu untuk mengumpulkan ikan, maka disebut juga light fishing (Subani dan
Barus, 1989). Bagan tergolong ke dalam alat tangkap pasif yang dioperasikan
dengan cara ditarik ke permukaan air pada posisi horizontal, selanjutnya
ditenggelamkan kembali untuk penangkapan ikan yang telah terkumpul di pusat
cahaya yang berada di atas jaring. Pengoperasian bagan menggunakan lampu
sebagai pemikat, sehingga ikan yang menjadi tujuan penangkapannya adalah ikan
yang bersifat fototaksis positif (von Brandt, 1984).
Bagan terbagi menjadi dua jenis, yaitu bagan tancap dan bagan apung.
Bagan tancap merupakan bagan yang ditancapkan ke dasar perairan sehingga
tidak dapat dipindah-pindahkan. Bagan apung dibangun di atas rakit atau perahu
agar mudah dipindahkan saat mencari lokasi penangkapan. Bahan utama bagan
umumnya berasal dari bambu. Jaring bagan berukuran 9x9 m dengan ukuran
mata 0,5-1 cm. Bahan jaring bagan terbuat dari polyethylene (PE). Jaring ini
diikatkan pada bingkai berbentuk bujur sangkar yang terbuat dari bambu atau
kayu. Pada bangunan rumah bagan dilengkapi dengan alat penggulung (roller)
16
yang berfungsi untuk menurunkan dan mengangkat jaring bagan saat
pengoperasian (Subani dan Barus, 1989).
Pengoperasian bagan hanya dilakukan pada malam hari saat bulan mati
dengan menggunakan lampu sebagai alat bantu penangkapan. Penyebabnya
adalah ikan menyebar di perairan pada saat bulan purnama, sehingga cahaya dari
bagan menjadi tidak efektif. Hasil tangkapan utama bagan adalah jenis-jenis ikan
pelagis kecil, seperti teri, cumi-cumi, lemuru, sotong, pepetek, dan kembung.
Adapun beberapa jenis ikan hasil tangkapan sampingan adalah layur dan tongkol
(Subani dan Barus, 1989).
2.4 Metode Surplus Produksi
Pemanfaatan sumberdaya ikan umumnya didasarkan pada konsep hasil
maksimum yang lestari atau Maximum Sustainable Yield (MSY), yaitu hasil
tangkapan terbesar yang dapat dihasilkan dari tahun ke tahun oleh suatu
perikanan. Konsep MSY didasarkan atas suatu model yang sangat sederhana dari
suatu populasi ikan yang dianggap sebagai unit tunggal. Konsep ini
dikembangkan dari kurva biologi yang menggambarkan yield sebagai fungsi dari
effort dengan suatu nilai maksimum yang jelas, terutama bentuk parabola dari
Schaefer yang paling sederhana (Widodo dan Suadi, 2006). Inti dari konsep ini
adalah menjaga keseimbangan biologi dari sumberdaya ikan agar dapat
dimanfaatkan secara maksimum dalam waktu yang panjang. Pendekatan konsep
ini berangkat dari dinamika suatu stok ikan yang dipengaruhi oleh empat faktor
utama yaitu recruitment, pertumbuhan, mortalitas dan hasil tangkapan.
Widodo dan Suadi (2006) menyatakan bahwa MSY memiliki beberapa
keuntungan antara lain bahwa konsep ini didasarkan pada gambaran yang
sederhana dan mudah dimengerti atas reaksi suatu stok ikan terhadap
penangkapan. Konsep MSY juga ditentukan dengan suatu ukuran fisik yang
sederhana, yakni berat atau jumlah ikan yang ditangkap, sehingga menghindarkan
perbedaan-perbedaan wilayah dalam suatu negara ataupun antar negara,
dibandingkan dengan kriteria lainnya (misalnya harga hasil tangkapan atau
penurunan biaya operasional).
Pengelolaan sumberdaya ikan dengan menggunakan pendekatan MSY
berorientasi pada sumberdaya (resources oriented) yang lebih ditunjukkan untuk
17
melestarikan sumberdaya dan memperoleh hasil tangkapan maksimum yang dapat
dihasilkan dari sumberdaya tersebut. Fauzi (2006) mengatakan pengelolaan
sumberdaya ikan dengan menggunakan pendekatan MSY mempunyai kelemahan
antara lain: (1) tidak bersifat stabil, karena perkiraan stok yang meleset sedikit
saja bisa mengarah ke pengurasan stok; (2) tidak memperhitungkan nilai
ekonomis apabila stok ikan tidak dipanen; dan (3) sulit diterapkan pada kondisi
dimana perikanan memiliki ciri ragam jenis. Suseno (2004) menyatakan bahwa
terlepas dari kelemahan yang dimiliki dari pendekatan MSY dalam pengelolaan
perikanan, tetapi kita harus percaya pendekatan itu merupakan konsep yang
bermanfaat. Ada dua alasan yang menyertainya yaitu MSY merupakan landasan
utama bagi beberapa negara dalam menetapkan tujuan pengelolaan perikanan dan
MSY merupakan batas ukuran dari hasil tangkapan.
Penentuan nilai MSY dan upaya pemanfaatan yang optimum diperlukan
sebagai informasi dasar untuk menetapkan tingkat pemanfaatan yang
diperbolehkan. Sebagai salah satu tolok ukur pengelolaan, telah ditetapkan bahwa
jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan (JTB) atau dikenal di dunia perikanan
dengan istilah Total Allowable Catch (TAC) untuk wilayah pengelolaan perikanan
adalah sebesar 80% dari potensi lestarinya atau Maximum Sustanable Yield
(MSY). Selain menentukan nilai MSY, ditentukan pula nilai catch per unit effort
dan upaya optimum yang dapat dilakukan di wilayah pengelolaan perikanan.
Dengan demikian maka dalam aspek pengelolaan sumberdaya perikanan prameter
MSY dan hubungan antara hasil tangkapan dan upaya penangkapan atau CPUE
sering digunakan dalam perhitungan untuk mempertimbangkan tindakan
pengelolaan atau peraturan yang akan diberlakukan (Murdiyanto, 2004).
2.5 Tingkat Pemanfaatan dan Pengupayaan Sumberdaya Ikan
Astuti (2005) menyatakan bahwa tingkat pemanfaatan atau pengusahaan
sumberdaya perikanan dibagi menjadi empat macam, yaitu:
1. Pengusahaan yang rendah, dimana hasil tangkapan hanya merupakan
sebagian kecil dari potensinya;
2. Pengusahaan yang modern (sedang), dimana hasil tangkapan sebagian
yang nyata dari potensi penambahan upaya penangkapan namun upaya
penangkapan masih memungkinkan;
18
3. Pengusahaan yang tinggi, dimana hasil tangkapan sudah mencapai sebesar
potensinya, penambahan upaya penangkapan tidak akan menambah hasil
tangkapan;
4. Pengusahaan yang berlebih (overfishing), dimana terjadi pengurangan dari
stok.
Pengusahaan sumberdaya perikanan agar dapat dimanfaatkan terus-
menerus secara maksimal dalam kurun waktu yang tidak terbatas, maka laju
kematian karena penangkapan (tingkat pemanfaatan) perlu dibatasi sampai pada
suatu tingkat tertentu. Sumberdaya ikan dalam jumlah tertentu harus disisakan
dan diberi kesempatan untuk berkembangbiak, sehingga mampu menghasilkan
anakan dalam jumlah yang cukup untuk kelestarian. Suatu tingkat pemanfaatan
yang optimal adalah tingkat pemanfaatan dimana jumlah yang tertangkap
sebanding dengan tambahan jumlah kepadatan karena perkembangbiakan dan
pertumbuhan serta penyusutan karena kematian alami (Astarini, 2002).
Tingkat penangkapan ikan yang menjadi tinggi hingga melampaui
kapasitas stok ikan yang tersedia di suatu wilayah penangkapan ikan maka akan
terjadi penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing) yang ditandai dengan
gejala pada suatu sumberdaya ikan antara lain: (1) hasil tangkapan nelayan
semakin menurun dari waktu ke waktu; (2) daerah penangkapan (fishing ground)
semakin jauh; dan (3) ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil (Widodo, 2002).
Tingkat penangkapan yang melebihi MSY dan menyebabkan peristiwa
lebih tangkap dapat mengakibatkan menurunnya hasil tangkapan per satuan upaya
(CPUE). Apabila tingkat pemanfaatan di suatu wilayah penangkapan berada di
bawah angka MSY maka akan terjadi apa yang disebut sebagai under utilization
atau tingkat pemanfaatan yang belum optimal, artinya walaupun tidak
membahayakan ketersediaan stok ikan akan tetapi stok ikan tersebut masih kurang
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan makanan dari laut, dan banyak ikan
mati secara alami tanpa dimanfaatkan (Murdiyanto, 2004).
2.6 Pola Musim Penangkapan Ikan
Musim penangkapan yang mempengaruhi operasi penangkapan ikan di
Indonesia ada dua jenis yaitu musim barat yang terjadi pada bulan November-
April dan musim timur yang terjadi pada bulan Mei-Oktober. Pada musim barat
19
sering terjadi hujan dengan angin kencang disertai ombak besar sehingga banyak
nelayan yang tidak melaut. Musim timur jarang terjadi hujan dan keadaan laut
biasanya tenang. Musim timur inilah biasanya merupakan musim puncak banyak
ikan (Nontji, 1987 yang diacu oleh Novri, 2006).
Berdasarkan arah utara angin yang bertiup pada suatu daerah, maka
dikenal istilah musim barat dan musim timur. Berhubungan dengan musim
penangkapan di Indonesia dikenal adanya 4 musim yang sangat memepengaruhi
kegiatan penangkapan, yaitu musim barat, musim timur, musim peralihan awal
tahun, dan musim peralihan akhir tahun. Kedua musim peralihan tersebut lebih
dikenal sebagai musim pancaroba. Keempat musim tersebut secara teratur
berputar silih berganti sepanjang tahun akibat adanya angin muson atau angin
yang bergerak dan bertiup secara periodik di wilayah Indonesia (Nontji, 1987
yang diacu oleh Novri, 2006).
Untuk dapat melakukan operasi penangkapan dengan efisien diperlukan
adanya informasi yang tepat seperti saat musim penangkapan yang baik.
Informasi mengenai pola musim penangkapan digunakan untuk menentukan
waktu yang tepat dalam pelaksanaan operasi penangkapan.
2.7 Daerah Penangkapan Ikan
Daerah penangkapan ikan adalah suatu daerah tempat berkumpulnya
berbagai jenis ikan termasuk ikan ekonomis penting, dimana pada daerah tersebut
dapat dilaksanakan operasi penangkapan ikan dengan suatu alat tangkap tertentu
secara terus-menerus dengan memperhatikan kelestarian dan daya pulihnya.
Simbolon (2002) menyatakan daerah penangkapan ikan merupakan wilayah
perairan tempat berkumpulnya ikan dimana operasi penangkapan ikan dapat
dilakukan dengan alat tertentu secara produktif dan menguntungkan. Untuk
meningkatkan keberhasilan operasi penangkapan, maka paling sedikit daerah
penangkapan harus memenuhi persyaratan: (1) alat tangkap dapat dioperasikan
dengan mudah dan sempurna, (2) dapat dijangkau oleh kapal ikan, (3) sumberdaya
ikan banyak dan bernilai ekonomis tinggi.
Dalam rangka menertibkan usaha penangkapan ikan dan menghindari
konflik pemanfaatan daerah penangkapan, pemerintah melalui Keputusan Menteri
20
Pertanian No. 392/Kpts/IK.120/4/99 membagi jalur penangkapan menjadi 3 jalur
yaitu:
1. Jalur Penangkapan Ikan I
Jalur I meliputi perairan pantai diukur dari permukaan air laut pada surut
yang terendah pada setiap pulau sampai dengan 6 mil laut ke arah laut. Jalur I ini
terdiri atas:
(1) Perairan pantai yang diukur dari permukaan air laut pada surut terendah
sampai pada 3 mil laut. Usaha penangkapan ikan yang diperbolehkan di
perairan pantai dengan 3 mil laut meliputi: alat penangkap ikan yang
menetap, dan kapal perikanan tanpa motor dengan ukuran panjang
keseluruhan tidak lebih dari 10 meter,
(2) Perairan pantai di luar 3 mil sampai dengan 6 mil laut. Usaha penangkapan
ikan yang diperbolehkan adalah:
(i) kapal perikanan tanpa motor dan atau bermotor tempel dengan
ukuran panjang keseluruhan tidak lebih dari 10 meter. Kapal
perikanan bermotor tempel dan bermotor dengan ukuran panjang
keseluruhan maksimal 12 meter atau berukuran maksimal 56 GT,
(ii) Pukat cincin (purse seine) berukuran panjang maksimal 150 meter,
(iii) Jaring insang hanyut ukuran panjang 1000 meter.
2. Jalur Penangkapan Ikan II
Jalur II ini meliputi perairan di luar Jalur Penangkapan Ikan I sampai
dengan 12 mil laut ke arah laut. Jalur ini dilakukan untuk:
(1) kapal perikanan bermotor dengan ukuran maksimal 60 GT,
(2) kapal perikanan dengan menggunakan alat penangkapan ikan pukat cincin
berukuran panjang maksimal 600 meter dengan cara pengoperasian
menggunakan satu kapal yang bukan grup atau maksimal 1000 meter
dengan cara pengoperasian menggunakan dua kapal yang bukan grup, tuna
long line (pancing tuna) maksimal 1000 buah mata pancing, atau jaring
insang hanyut berukuran panjang maksimal 2500 meter.
3. Jalur Penangkapan Ikan III
Jalur III ini meliputi perairan di luar Jalur Penangkapan Ikan II sampai
dengan batas terluar ZEEI. Pada jalur ini diatur sebagai berikut:
21
(1) Perairan Indonesia diperbolehkan bagi kapal perikanan berbendera
Indonesia berukuran maksimal 200 GT, kecuali yang menggunakan alat
penangkap ikan purse seine pelagis besar di Teluk Tomini, Laut Maluku,
Laut Seram, Laut Banda, Laut Flores, Laut Sawu dilarang untuk semua
ukuran;
(2) Perairan ZEEI Selat Malaka diperbolehkan bagi kapal perikanan
berbendera Indonesia berukuran maksimal 200 GT kecuali yang
menggunakan alat penangkap ikan pukat ikan (fish net) minimal berukuran
60 GT;
(3) Perairan ZEEI di luar ZEEI Selat Malaka diperbolehkan bagi kapal
perikanan berbendera Indonesia dan berbendera asing berukuran maksimal
350 GT bagi semua alat penangkap ikan. Kapal perikanan berukuran di
atas 350 GT - 800 GT yang menggunakan alat penangkap ikan purse seine
hanya boleh beroperasi di luar 100 mil laut dari garis pangkal Kepulauan
Indonesia; kapal perikanan dengan alat penangkap ikan purse seine dengan
sistem grup hanya boleh beroperasi di luar 100 mil laut dari garis pangkal
Kepulauan Indonesia. Kapal perikanan berbendera asing boleh
dioperasikan pada Jalur Penangkapan Ikan III sepanjang memungkinkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan ditetapkannya wilayah pengelolaan perikanan dan jalur
penangkapan ikan, pengelolaan sumberdaya ikan dilakukan melalui pendekatan
kewilayahan. Pada setiap wilayah pengelolaan perikanan akan ditentukan
kawasan prioritas yang dapat merupakan kawasan unggulan, kawasan kritis,
kawasan tertinggal maupun kawasan perbatasan.
Ayodhyoa (1981) menyatakan daerah penangkapan ikan (fishing ground)
yang baik untuk purse seine harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Perairan yang terdapat ikan hidup yang bergerombol (schooling);
2. Jenis ikan tersebut dapat dikumpulkan dengan alat pengumpul seperti
lampu atau rumpon;
3. Kedalaman perairan lebih tinggi daripada alat yang digunakan.
Dalam operasi penangkapan ikan, salah satu faktor yang menentukan
keberhasilannya adalah pengetahuan tentang daerah penangkapan ikan. Purse
22
seine merupakan alat tangkap khusus ditujukan untuk menangkap ikan-ikan yang
hidupnya membentuk schooling atau bergerombol. Sejauh ini telah diketahui
bahwa salah satu daerah penangkapan (fishing ground) yang baik terdapat pada
perbatasan atau pertemuan arus panas dan arus dingin, pada daerah terjadinya
pembalikan lapisan air (upwelling), terjadinya arus pengisian (divergensi) dan lain
sebagainya (Ayodhyoa, 1981).
Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa untuk operasi penangkapan yang
menggunakan rumpon, kapal penangkap dapat langsung menuju tempat rumpon
dipasang pada beberapa hari sebelumnya. Untuk operasi penangkapan yang tidak
menggunakan rumpon, biasanya alat pengumpul ikan menggunakan lampu,
pencarian fishing ground bebas dengan menuruti kebiasaan berkumpulnya ikan
dalam suatu saat tertentu. Hal ini tentu saja memerlukan pengalaman yang cukup
lama untuk mengenal daerah operasional tersebut. Cara mencari gerombolan ikan
dapat dibantu dengan memperhatikan perubahan warna air laut, lompatan ikan ke
permukaan laut, riak-riak kecil di atas permukaan laut, dan adanya buih-buih di
permukaan laut.
2.8 Pengaruh Kondisi Oseanografi terhadap Kondisi Ikan
Tingkat kesuburan perairan adalah deskripsi kualitatif yang menyatakan
konsentrasi unsur hara yang terdapat dalam suatu badan air. Selain itu tingkat
kesuburan suatu perairan adalah suatu gambaran yang mencerminkan kaya
miskinnya sistem tropik dari suatu ekosistem. Beberapa macam penggolongan
tingkat kesuburan perairan diantaranya eutrofik (kaya akan hara), mesotrofik
(moderat) dan oligotrofik (miskin akan hara). Kualitas air sering dipakai sebagai
acuan terhadap pendekatan tingkat kesuburan perairan, dan tingkat kesuburan
perairan sangat ditentukan oleh kandungan unsur hara didalamnya (Hosniyanto,
2003).
Eutrofikasi menunjukkan peningkatan rata-rata masuknya unsur hara
(nutrien) ke dalam suatu ekosistem dan masukan tersebut dapat meningkatkan
produksi primer dalam suatu sistem. Hasler (1974) yang diacu oleh Handayani
(2005) mendefinisikan eutrofikasi sebagai peningkatan unsur hara, khususnya
nitrogen dan fosfor. Eutrofikasi juga didefinisikan sebagai pengkayaan unsur hara
di perairan, baik sengaja maupun tidak disengaja. Masuknya unsur hara ke dalam
23
badan air mengakibatkan terjadinya proses eutrofikasi perairan, yang akhirnya
menurunkan kualitas air di perairan (Handayani, 2005). Ciri-ciri perairan yang
sedang mengalami proses eutrofikasi adalah: (1) konsentrasi oksigen terlarut di
zona hipolimnion menurun; (2) konsentrasi unsur hara meningkat; (3) padatan
tersuspensi terutama bahan organik meningkat; (4) dominasi diatom akan
digantikan oleh populasi ganggang biru dan atau ganggang hijau; dan (5) penetrasi
cahaya menurun (kekeruhan meningkat).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di berbagai daerah, ditemukan
bahwa unsur N dan P adalah dua unsur yang bertanggung jawab terhadap
terjadinya eutrofikasi di perairan (Handayani, 2005). Dari kedua unsur hara
tersebut yang dianggap sebagai penyebab eutrofikasi, unsur fosfor lebih sering
sebagai penyebab utamanya. Keadaan ini terjadi karena adanya fenomena
denitrifikasi pada senyawa nitrogen, menyebabkan nitrogen tidak mengalami
akumulasi di sedimen, sedangkan senyawa fosfor akan terakumulasi di sedimen.
Kadar fosfor dan nitrogen beserta beberapa parameter kualitas air lainnya dapat
dijadikan indikator untuk mengklasifikasikan kesuburan perairan (Tabel 2).
Tabel 2 Tingkat kesuburan perairan dan beberapa parameter kualitas air
Parameter Kualitas kesuburan
Oligotrofik Mesotrofik Eutrofik
Total fosfor (µg/l) < 10 10 – 20 > 20
Total nitrogen (µg/l) < 200 200 – 500 > 500
Klorofil-a (µg/l) < 4 4 – 10 > 10
Oksigen saturasi pada lapisan
hipolimnion (%) > 80 10 – 80 < 10
Kecerahan (m) > 4 2 – 4 < 2
Produksi fitoplankton (ind/l) 7 - 25 75 - 250 350 - 700 Sumber : Novotny dan Olem, 1994
Suhu merupakan salah faktor lingkungan yang paling mudah untuk diteliti
dan ditentukan. Fluktuasi air laut banyak dipengaruhi oleh iklim, suhu udara,
kekuatan arus, kecepatan angin, lintang maupun relief dasar laut. Fluktuasi harian
suhu permukaan air laut pada umumnya tidak lebih dari 0.2–0.40C. Fluktuasi
suhu dan perubahan geografis bertindak sebagai faktor penting yang merangsang
dan menentukan pengkonsentrasian serta pengelompokan ikan. Suhu juga
merupakan faktor penting untuk menentukan daerah penangkapan ikan. Setiap
perairan mempunyai suhu rata-rata untuk setiap musim tertentu. Jika suhu pada
24
suatu tempat tersebut lebih tinggi dari temperatur standar yang berlaku, atau
bahkan melebihi suhu optimum untuk melakukan penangkapan ikan, maka
kemungkinan kegagalan dalam operasi penangkapan ikan makin besar (Gunarso,
1958 yang diacu oleh Handayani, 2005).
Salinitas sangat erat hubungannya dengan adanya penyesuaian tekanan
osmotik antara sitoplasma dari sel-sel dalam tubuh ikan dengan keadaan
sekelilingnya. Salinitas juga menentukan daya apung telur-telur ikan yang bersifat
pelagis. Salinitas lingkungan juga berpengaruh terhadap distribusi telur, larva,
juvenil dan ikan dewasa, orientasi migrasi, dan keberhasilan produksi (Laevastu
dan Hayes, 1981 yang diacu oleh Damarjati, 2001).
Arus sangat mempengaruhi penyebaran ikan:
1. Arus mengalihkan telur-telur dan anak-anak ikan pelagis dari daerah
spawning ke nursery ground dan dari nursery ground ke feeding ground;
2. Migrasi ikan dewasa dapat disebabkan oleh arus, sebagai alat orientasi dan
sebagai bentuk rute alami;
3. Tingkah laku diurnal dapat disebabkan oleh arus, khususnya arus pasang
surut;
4. Arus, khususnya pada perbatasan secara langsung dapat mempengaruhi
distribusi ikan dewasa dan secara tidak langsung mempengaruhi
pengelompokan makanan, atau oleh faktor lain yaitu suhu yang
membatasinya;
5. Arus mempengaruhi alam ikan, secara tidak langsung mempengaruhi
kelimpahan ikan tertentu dan sebagai pembatas distribusi geografisnya
(Laevastu dan Hayes, 1981 yang diacu oleh Damarjati, 2001).
2.9 Kondisi Umum Daerah Penelitian
2.9.1 Kondisi umum Perairan Selat Bali
Perairan Selat Bali berbentuk seperti corong dengan lebar di bagian
sebelah utara kira-kira 2,5 km dan di bagian selatan kira-kira 5,5 km dan luas
perairan Selat Bali sekitar 2.500 km2. Selat Bali merupakan perairan yang
bentuknya seperti corong yang menghadap ke utara. Selat ini menghubungkan
Laut Bali dengan Selat Madura dan Samudera Hindia di sebelah selatan. Celah di
sebelah utara sangat sempit sekitar 1 mil yang melebar ke arah selatan dan celah
25
selat yang menghadap Samudera Hindia lebih besar sekitar 28 mil, oleh karena itu
perairan Selat Bali cenderung dipengaruhi oleh massa air Samudera Hindia
dibandingkan oleh massa air Laut Bali atau Selat Madura. Perairan ini dangkal di
sebelah utara (sekitar 50 m) dan menjadi sangat dalam di sebelah selatan
(Wijayanti, 2000).
Selat Bali mengalami dua musim laut, yaitu musim timur mulai pada bulan
April sampai Oktober, musim barat yang dimulai pada bulan November sampai
Maret. Produktivitas di Selat Bali pada musim timur lebih tinggi dari pada musim
barat karena terjadi proses kenaikan massa air (upwelling). Pada waktu terjadinya
upwelling suhu pada lapisan perairan 0-500C, sedangkan pada musim barat tidak
terjadi upwelling dan memiliki suhu di atas 270C bahkan mencapai 30,9
0C. Kadar
garam di lapisan permukaan perairan Selat Bali berkebalikan dari suhunya
(Wijayanti, 2000).
2.9.2 Kondisi umum PPP Muncar – Banyuwangi
2.9.2.1 Lokasi dan sejarah berdirinya
Kabupaten Banyuwangi terletak pada koordinat 7043’-8
046’LS dan
113053’-114
038’ BT dan dengan ketinggian antara 25-100 meter di atas
permukaan laut. Kabupaten Banyuwangi memiliki panjang garis pantai sekitar
175,8 km yang membujur sepanjang batas selatan timur Kabupaten Banyuwangi,
serta jumlah pulau ada 10 buah. Batas-batas administrasi Kabupaten Banyuwangi
sebagai berikut (BAPPEDA Kab. Banyuwangi 2007):
1. Sebelah utara : Kabupaten Bondowoso dan Situbondo
2. Sebelah timur : Selat Bali
3. Sebelah selatan : Samudera Hindia
4. Sebelah barat : Kabupaten Jember dan Bondowoso
Luas wilayah Kabupaten Banyuwangi adalah sebesar 5.782,50 km2 atau
578.250 ha yang tediri dari hutan (hutan lindung, hutan produksi, hutan
konservasi, hutan kritis) sebesar 180.937,78 ha, persawahan/sawah sebesar
66.487,00 ha, lahan kering (tegalan, kebun campuran, perkebunan rakyat,
perkebunan besar, pemukiman, tambak, tanah rusak/tandus) sebesar 230.094,78
ha, dan lain-lain sebesar 100.730,44 ha.
26
Kondisi geografis Kabupaten Banyuwangi berbatasan dengan dua perairan
luas yaitu Selat Bali dan Samudera Hindia yang sangat mendukung dalam upaya
pemanfaatan sumberdaya ikan. Kabupaten Banyuwangi didukung pula oleh luas
wilayah yang sebagian besar adalah perairan laut. Kabupaten Banyuwangi
terletak di selatan ekuator yang dikelilingi oleh Laut Jawa, Selat Bali dan
Samudera Indonesia dengan iklim tropis yang terbagi menjadi 2 musim yaitu:
a. Musim penghujan antara bulan Oktober – April;
b. Musim kemarau antara bulan April – Oktober;
Diantara kedua musim ini terdapat musim peralihan Pancaroba yaitu sekitar bulan
April/Mei dan Oktober/Nopember. Rata-rata curah hujan sebesar 7,644 mm
perbulan dengan bulan kering yaitu bulan April, September dan Oktober.
Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar terletak di desa Tambakrejo
Kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi pada posisi 08.10’ – 08.50 LS atau
114.15’ BT dengan luas kurang lebih 71,5 km2. Pelabuhan perikanan ini
mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut:
1. Sebelah selatan : Kawasan perumahan nelayan
2. Sebelah timur : Selat Bali
3. Sebelah selatan : Kawasan perumahan nelayan
4. Sebelah barat : Daerah perusahaan perikanan
Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar berlokasi sekitar 36 km di selatan
Kota Banyuwangi dan 332 km dari Surabaya. Kondisi jalan dari Surabaya cukup
baik (beraspal), sepanjang 2 km sebelum masuk kawasan PPP Muncar keadaan
jalan aspal agak rusak (UPT PPP Muncar, 2008).
Menurut sejarahnya, kata “Muncar” berasal dari nama seorang tokoh yaitu
Minak Kuncar Muncar. Para leluhur berupaya untuk mempopulerkan lokasi ini
dengan memberikan nama lokasi dengan nama tokoh tersebut. Minak Kuncar
Muncar merupakan seorang tokoh pada masa Kerajaan Blambangan –
Banyuwangi yang dipimpin oleh Raja Minak Jinggo dalam naskah lagendriyan.
Penulisan-penulisan sejarah menunjukkan bahwa Muncar pada jaman Majapahit
banyak dikenal dengan nama Candi Gading yang merupakan Pelabuhan untuk
mengadakan hubungan dengan daerah diluarnya, seperti dengan pelabuhan Cupol
27
Bali yang sekarang fungsinya diganti oleh Pelabuhan Ketapang Gilimanuk (UPT
PPP Muncar, 2008).
Seorang ahli pertambakan berkebangsaan Belanda bernama WH. Schooter
dalam bukunya menulis bahwa Muncar merupakan Pelabuhan Pangkalan Ikan
sejak jaman purbakala. Dasar hukum beroperasinya PPI Muncar adalah keputusan
Kepala Dinas Perikanan Jatim Nomor 24 Tahun 1993 tentang Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Badan Pengelola Pangkalan Pendaratan Ikan Muncar.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor:
12/MK/2004 Muncar ditingkatkan statusnya dari Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI)
menjadi Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) (UPT PPP Muncar, 2008).
2.9.2.2 Fasilitas dan kondisinya
Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar mempunyai fasilitas yang cukup.
Terdapat fasilitas pokok, fungsional, dan tambahan seperti terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Fasilitas di PPP Muncar Tahun 2008
No. Fasilitas Luas
(m2)
Jumlah
(unit) Keterangan
A. Fasilitas Pokok
1. Tanah PPI Muncar 55.000 1 Baik
2. Tanah TPI Kalimoro 1.525 1 Baik
3. Pier/Jetty 800 - Rusak
4 Turap/Plengsengan/Revetment
Kalimati
500 - Baik
5. Penahan
gelombang/breakwater
170 Baik, Kn = 100,
Kr = 70
6. Tembok penahan tanah 800 - Baik
7. Dermaga 6.193 - Baik
8. Kolam Pelabuhan 19.751 - Baik
9. Jalan komplek 3.000 - Baik
10. Slipway 360 3 Baik
11. Jembatan penghubung desa 82 1 Baik
B. Fasilitas Fungsional
1. - Gedung: TPI Pelabuhan,
- TPI Kalimoro,
- TPI Tratas
1.450
200
200
1 - Baik
- Baik
- Tidak beraktivitas
2. Kantor PPP, aula, gedung
serbaguna
1.450 1 Perbaikan dari
pelabuhan lama
3. Gudang peralatan 300 1 Baik
4. Rumah tangki BBM 50 1 Baik
5. Rumah Genset 36 1 Baik
28
Tabel 3 (lanjutan)
No. Fasilitas Luas
(m2)
Jumlah
(unit) Keterangan
6. Rumah pompa 30 2 Baik
7. Rumah air 11,5 1 Rusak
8. Tangki BBM 50.000
liter
1 Sedang
9. Bengkel 110 1 Sedang
10. MCK 110 2 Baik
11. Pos keamanan 28 1 Baik
C. Fasilitas Tambahan
1. Kantor KUD Mino 34,5 1 Baik
2. Kantor BRI 62 1 Baik
3. Rumah nelayan 42 1 POLAIRUD
4. Rumah dinas 122 2 Baik
5. Balai kesehatan 154 1 Baik
6. Aula 104.5 1 Baik
7. Pagar keliling 710 1 Rusak
8. Gedung saprokan 120 8 Baik
9. Gedung tempat keranjang 56 10 Saprokan
10. Pabrik es 104.5 1
11. Musholla 56 1 Baik Sumber: Data sekunder PPP Muncar (2008)
2.9.2.3 Unit penangkapan ikan
Armada penangkapan ikan di PPP Muncar terdiri atas kapal motor, perahu
tanpa motor dan perahu motor tempel. Armada penangkapan didominasi oleh
perahu motor tempel. Pada tahun 2008 jumlah armada perahu motor tempel
sebesar 1.401 unit. Untuk armada perahu tanpa motor mengalami penurunan
sebesar 20,6 % dari 121 unit (tahun 2006) menjadi 96 unit (tahun 2008). Hal ini
diduga karena adanya motorisasi di PPP Muncar sehingga banyak nelayan yang
beralih untuk memiliki perahu motor tempel (UPT PPP Muncar, 2008). Alat
tangkap yang terdapat di Muncar antara lain pancing, gillnet, purse seine, sero,
prawe, pancing tonda, bagan, payang, dll. Diantara alat-alat tangkap tersebut
yang paling produktif dan paling dominan khususnya dalam menangkap ikan
dengan jumlah besar di Muncar (tongkol, lemuru, layang) adalah alat tangkap
purse seine, payang, gillnet (UPT PPP Muncar, 2008).
Purse seine mampu menangkap hasil tangkapan terbesar dari total hasil
tangkapan seluruh alat tangkap. Alat tangkap purse seine diminati nelayan meski
29
tidak sebanyak pancing dan gillnet karena nelayan berpendapat bahwa purse seine
mampu menghasilkan produksi lebih besar dibandingkan dengan alat tangkap
lain. Jenis ikan yang tertangkap merupakan jenis ikan ekonomis penting seperti
ikan layang, lemuru, kembung, tongkol, tembang, layur, cumi-cumi (Dewi, 2004).
Nelayan di Muncar dibedakan atas nelayan buruh atau pandega dan
nelayan pemilik atau juragan. Juragan adalah pemilik modal yang berupa kapal
dan perlengkapannya, sedangkan pandega adalah buruh dengan status
pekerjaannya terikat dengan juragan atau bersifat sementara. Jumlah nelayan pada
tahun 2008 sebesar 12.257 jiwa atau 9 % dari jumlah penduduk Kec. Muncar
yaitu 132.052 jiwa yang terdiri dari nelayan asli 11.341 jiwa, nelayan sambilan
533 jiwa dan nelayan andon 383 jiwa, dan masyarakatnya terutama dari segi
struktur budaya nelayan terdiri dari Suku Jawa, Madura, Osing dan Bugis (UPT
PPP Muncar, 2008).
Dewi (2004) menyatakan bahwa tenaga kerja yang dimaksud pada pukat
cincin di Muncar adalah nelayan, termasuk nahkoda, juru batu, juru mesin dan
juru lampu. Jumlah tenaga kerja tiap unit armada pukat cincin yang beroperasi di
perairan Selat Bali berkisar antara 30-40 ABK.
2.9.2.4 Daerah penangkapan ikan (DPI)
Daerah operasi alat tangkap purse seine yang dilakukan nelayan Muncar
adalah Klosot (Wringinan), Senggrong, Tj. Angguk, Karang Ente sampai ke
wilayah Grajakan di bagian selatan (Paparan Jawa-Selat Bali). Untuk daerah
penangkapan pada Paparan Bali dimulai dari Perancak, Pulukan, Seseh sampai
Uluwatu (Djamali, 2007) seperti yang terlihat pada Gambar 2. Jarak terjauh
daerah penangkapan ikan dari PPP Muncar kurang lebih sejauh 18-116 km (11-72
mil) dan jarak terdekat daerah penangkapan ikan kurang lebih sejauh 18 km (11
mil) (Muntoha, 1998).
2.9.3 Potensi Perikanan dan Kelautan PPP Muncar
Kabupaten Bayuwangi terbagi dalam 28 kecamatan 189 desa dan 28
kelurahan. Jumlah kecamatan berpantai sebanyak 11 kecamatan (40 %).
Kabupaten Banyuwangi memiliki potensi perikanan dan kelautan yang cukup
besar yang memiliki dua wilayah fishing ground yakni Selat Bali dan Samudera
30
Indonesia. Selat Bali luasnya sekitar 2.500 km2
dengan potensi sumberdaya ikan
untuk ikan pelagis 66.000 ton/tahun, sedangkan Samudera Indonesia sekitar 2000
mil2 dengan sumberdaya ikan lestari 212.500 ton per tahun (Djamali 2007).
Selat Bali memiliki potensi produksi hasil tangkapan didominasi ikan
permukaan (pelagis) terutama ikan lemuru. Tabel 4 menunjukkan jumlah dan
nilai produksi ikan laut di PPP Muncar – Banyuwangi. Tingkat pengusahaan
sumberdaya perikanan di Selat Bali sudah dilakukan secara intensif sehingga
dinyatakan padat tangkap. Pengusahaan di perairan Samudera Indonesia yakni di
ZEEI perlu dilakukan usaha rintisan karena selama ini masih sangat rendah
pemanfaatannya. Pengembangan usaha perikanan lepas pantai perlu
dikembangkan terutama diarahkan pada pengembangan unit penangkapan gillnet,
long line (pancing rawai), pole and line dan purse seine dengan menggunakan
kapal motor berukuran lebih dari 30 GT. Sebaran hasil tangkapan paling besar
ada di wilayah Kecamatan Muncar, hal ini disebabkan karena wilayah tersebut
merupakan pusat usaha penangkapan ikan laut dengan didukung jumlah
sumberdaya manusia yang besar, armada dan alat tangkap yang cukup memadai.
Jenis ikan yang paling banyak ditangkap berturut – turut adalah ikan lemuru,
layang dan tongkol (Djamali, 2007).
Tabel 4 Produksi ikan laut menurut jenisnya di PPP Muncar tahun 2008
No Jenis Ikan Produksi
(kg) Nilai (Rp)
Produksi
(%)
1 Layang (Decapterus sp) 2.879.767 15.964.704.500 8,05
2 Bawal (Fornio riger)
3 Kembung (Rastrelilinger
neglectus) 92.291 325.054.000 0,26
4 Selar (Selaroides sp)
5 Tembang (Sardinella
finchiata)
6 Udang Barong (Panulirus sp)
7 Udang lainnya (Penaerus sp) 28.974 454.609.000 0,08
8 Rebon 39.221 133.904.000 0,11
9 Teri (Stolopharus sp) 63.326 189.978.000 0,18
10 Tongkol (Euthynnus sp) 2.629.699 11.573.024.000 7,35
11 Lemuru (Sardinella lemuru) 27.833.004 69.325.617.000 77,84
12 Tuna (Thunnus sp) 336.551 2.692.408.000 0,94
13 Cakalang (Katsowanus
pelamis) 199.397 1.595.176.000 0,56
31
Tabel 4 (lanjutan)
No Jenis Ikan Produksi
(kg) Nilai (Rp)
Produksi
(%)
14 Tengiri (Scomberomerus
guttnus) 13.907 208.605.000 0,04
15 Layur (Trichiurus sp) 247.128 1.957.752.000 0,69
16 Julung-Julung (Tylosurus sp)
17 Ekor Merah (Caesio sp)
18 Kuwe/Putihan (Caranx sp) 68.118 749.289.000 0,19
19 Petek/Tetengkek (Megalupis
cordyla) 50.971 101.942.000 0,14
20 Cucut (Carchacinidae) 284.791 1.139.164.000 0,80
21 Pari (Trigonoidae) 127.861 447.513.500 0,36
22 Kakap (Lates calcarifer) 15.013 165.143.000 0,04
23 Bambangan (Lutjanus sp) 18.964 208.604.000 0,05
24 Kerapu (Epinepheelus sp) 12.599 176.388.000 0,04
25 Belanak (Mugil sp) 31.213 109.245.500 0,09
26 Manyung (Tachisurus sp) 7.249 38.245.000 0,02
27 Cumi-Cumi (Loligo sp) 113.315 2.195.666.000 0,32
28 Rajungan (Portunus sp) 37.695 825.620.000 0,11
29 Kepiting (Scylla serrata) 7.852 157.040.000 0,02
30 Kerang (Aamusium sp)
31 kerang-kerangan 239.794 497.588.000 0,67
32 Ubur-Ubur
33 Rumput Laut
34 Lain-lain 377.935 1.511.740.000 1,06
Jumlah 35.756.635 112.744.019.500 100