2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi...
Transcript of 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi...
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Lamun Syringodium isoetifolium
Lamun (seagrass) adalah satu-satunya kelompok tumbuh-tumbuhan
berbunga yang terdapat di wilayah perairan. Tumbuh-tumbuhan ini hidup di
habitat perairan pantai yang dangkal. Seperti halnya rumput di darat, mereka
mempunyai tunas berdaun yang tegak dan tangkai-tangkai yang merayap yang
efektif untuk berkembang biak. Berbeda dengan tumbuh-tumbuhan laut lainnya
(alga atau rumput laut), lamun berbunga, berbuah dan menghasilkan biji. Mereka
juga mempunyai akar dan sistem internal untuk mengangkut gas dan zat-zat hara
(Romimohtarto dan Juwana 2007).
Lamun merupakan tumbuhan laut yang istimewa, dimana jenis tumbuhan
ini mampu beradaptasi dengan lingkungan dekat pantai di sebagian besar benua di
dunia. Akan tetapi, ditemukan beberapa spesies yang tidak dapat bereproduksi
kecuali muncul pada saat air surut atau pada saat pemasukan air tawar. Beberapa
jenis lamun mampu bertahan dalam berbagai kondisi seperti air tawar, muara, laut
atau daerah bersalinitas tinggi. Di seluruh dunia diperkirakan terdapat 52 jenis
lamun, dimana di Indonesia ditemukan sekitar 15 jenis yang termasuk ke dalam 2
famili, yaitu Hydrocharitaceae, dan Potamogetonaceae (Short dan Coles 2006).
Syringodium isoetifolium merupakan jenis lamun yang tergolong dalam
famili Potamogetonaceae. Adapun klasifikasi dari Syringodium isoetifolium
menurut den Hartog (1970) diacu dalam Short dan Coles (2006) adalah sebagai
berikut:
Divisi : Anthophyta
Kelas : Angiospermae
Famili : Potamogetonacea
Subfamili : Cymodoceoideae
Genus : Syringodium
Spesies : Syringodium isoetifolium
Syringodium isoetifolium adalah jenis lamun yang memiliki rimpang
dengan jenis rimpang/akar bercabang, terdiri dari 1-3 cabang kecil. Pada setiap
cabang terdiri dari 2-3 daun. Bentuk daun dari lamun ini seperti pipa atau
5
menyerupai sedotan, dengan panjang daun mencapai 30 cm dan diameter daun 1-2
mm. Daun lamun ini memiliki 7-10 vena tepi dengan diameter jauh lebih kecil
daripada urat pusat (Short and Coles 2006). Morfologi lamun Syringodium
isoetifolium dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Syringodium isoetifolium
(Sumber: Anonim 2010)
Syringodium isoetifolium merupakan jenis spesies yang membentuk
komunitas padang lamun tunggal. Komunitas tunggal ini umum dijumpai di
dataran lumpur dekat ekosistem hutan mangrove. Secara ekologis lamun
mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir, yaitu sebagai produsen
detritus dan zat hara, mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak,
dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang, sebagai tempat
berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota
laut terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini dan sebagai
pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari.
Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap distribusi dan kestabilan
ekosistem lamun adalah kecerahan, temperatur, salinitas, substrat dan kecepatan
arus (Hidayatullah 2010).
2.2 Ekstraksi Senyawa Aktif
Ekstraksi adalah penyarian zat-zat berkhasiat atau zat-zat aktif dari bagian
tanaman obat, hewan dan beberapa jenis ikan termasuk biota laut. Zat-zat aktif
terdapat di dalam sel, namun sel tanaman dan hewan berbeda demikian pula
6
ketebalannya, sehingga diperlukan metode ekstraksi dengan pelarut tertentu dalam
mengekstraksinya. Tujuan ekstraksi bahan alam adalah untuk menarik komponen
kimia yang terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip
perpindahan massa komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai
terjadi pada lapisan antar muka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut
(Harborne 1987).
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses ekstraksi adalah tipe persiapan
sampel, waktu ekstraksi, kuantitas pelarut, suhu pelarut dan tipe pelarut. Cara-cara
ekstraksi menurut Harborne (1987) adalah sebagai berikut:
a) Maserasi, yaitu metode ekstraksi dengan cara merendam sampel dalam pelarut
dengan atau tanpa pengadukan;
b) Perkolasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan.
c) Reperkolasi, yaitu perkolasi dimana hasil perkolasi digunakan untuk
melarutkan sampel di dalam perkulator sampai senyawa kimianya terlarut.
d) Diakolasi, yaitu perkolasi dengan penambahan tekanan udara.
e) Sokletasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan untuk melarutkan
sampel kering dengan menggunakan pelarut bervariasi
f) Arus balik, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana sampel
dan pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang berlawanan;
g) Ultrasonik, yaitu metode ekstraksi dengan menggunakan alat yang
menghasilkan frekuensi bunyi atau getaran antara 25-100 KHz.
Metode ekstraksi yang digunakan tergantung dari beberapa faktor, antara
lain tujuan ekstraksi, skala ekstraksi, sifat-sifat komponen yang akan diekstrak
dan sifat-sifat pelarut yang digunakan. Metode umum ekstraksi yang dapat
dilakukan terdiri dari ekstraksi dengan pelarut, destilasi, supercritical fluid
extraction (SFE), pengepresan mekanik dan sublimasi. Diantara metode-metode
yang telah dilakukan, metode yang banyak digunakan adalah destilasi dan
ekstraksi menggunakan pelarut (Houghton dan Raman 1998). Ekstraksi
menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu aqueous phase dan
organic phase. Ekstraksi aqueous phase dilakukan dengan menggunakan pelarut
air, sedangkan organic phase menggunakan pelarut organik (Mulyono dan
Indarsih 2006).
7
Prinsip metode ekstraksi menggunakan pelarut organik adalah bahan yang
akan diekstrak kontak langsung dengan pelarut pada waktu tertentu kemudian
diikuti dengan pemisahan dari bahan yang telah diekstrak (Houghton dan Raman
1998). Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut
yang berbeda. Bahan dan senyawa kimia akan mudah larut pada pelarut yang
relatif sama kepolarannya. Derajat polaritas tergantung pada tahapan dielektrik,
makin besar tahapan dielektrik semakin polar pelarut tersebut (Harborne 1987).
Pelarut yang bersifat polar, mampu mengekstrak senyawa alkaloid
kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tannin, gula, asam amino, dan glikosida
(Harborne 1987). Hasil ekstrak yang diperoleh akan tergantung pada beberapa
faktor antara lain kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang
digunakan, ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu
ekstraksi, dan perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel (Darusman et
al. 1995). Jenis dan mutu pelarut yang digunakan menentukan keberhasilan proses
ekstraksi. Pelarut yang digunakan harus dapat melarutkan zat yang diinginkannya,
mempunyai titik didih yang rendah, murah, tidak toksik, dan mudah terbakar
(Ketaren 1986).
2.3 Radikal Bebas
Radikal bebas adalah atom atau molekul yang tidak stabil dan sangat
reaktif karena mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital
terluarnya. Untuk mencapai kestabilan atom atau molekul, radikal bebas akan
bereaksi dengan molekul disekitarnya untuk memperoleh pasangan elektron.
Reaksi ini akan berlangsung terus menerus dalam tubuh dan bila tidak dihentikan
akan menimbulkan berbagai penyakit seperti kanker, jantung, katarak, penuaan
dini, serta penyakit degeneratif lainnya. Secara umum, radikal bebas dapat
terbentuk melalui beberapa cara, yaitu melalui absorpsi radiasi (ionisasi, UV,
radiasi sinar tampak, radiasi panas) dan melalui reaksi redoks, dengan mekanisme
reaksi fisi ikatan homolitik atau pemindahan elektron (Andayani et al. 2008).
Pengaruh radiasi ionisasi terhadap materi biologik akan menghasilkan
bermacam-macam radikal bebas yang kompleks, terutama radikal hidrogen (H•),
hidroksil (OH•) dan elektron, yang siap berinteraksi dengan biomolekul-
biomolekul lain yang berdekatan. Energi panas juga dapat menghasilkan radikal
8
bebas. Secara umum, suhu tinggi dibutuhkan untuk memecahkan ikatan kovalen,
tetapi beberapa ikatan yang relatif tidak stabil dapat dipecahkan secara homolitik
pada suhu 30-50 °C. Senyawa-senyawa ini sebagian besar merupakan pencetus
(initiator) reaksi pembentukan radikal bebas. Zat-zat organik ataupun xenobiotik
yang terpapar suhu tinggi, misalnya polutan, sampah organik yang dibakar, rokok
yang terbakar, menghasilkan campuran berbagai radikal bebas yang kompleks.
Beberapa reaksi redoks penghasil radikal bebas membutuhkan katalisator,
biasanya logam transisi atau suatu enzim (metaloenzim atau flavoprotein)
(Winarsi 2007).
Berbagai proses metabolisme normal dalam tubuh dapat menghasilkan
radikal bebas dalam jumlah kecil sebagai produk antara. Di dalam sel hidup
radikal bebas terbentuk pada membran plasma dan organel-organel seperti
mitokondria, peroksisom, retikulum endoplasmik dan sitosol; melalui reaksi-
reaksi enzimatik fisiologik yang berlangsung dalam proses metabolisme. Proses
fagositosis oleh sel-sel fagositik termasuk netrofil, monosit, makrofag dan
eosinofil, juga menghasilkan radikal bebas, yaitu superoksida (O2)
(Sargowo 1993).
Radikal bebas bersifat sangat reaktif, dapat menimbulkan perubahan
kimiawi dan merusak berbagai komponen sel hidup seperti protein, gugus tiol
nonprotein, lipida, karbohidrat, nukleutida. Terhadap protein, radikal bebas dapat
menyebabkan fragmentasi dan cross linking, sehingga mempercepat terjadinya
proteolisis. Pengaruh radikal bebas pada gugus tiol enzim akan menyebabkan
antara lain perubahan dalam aktivitas enzim tersebut. Terhadap lipida
menyebabkan reaksi peroksidasi yang akan mencetuskan proses otokatalitik yang
akan menjalar sampai jauh dari tempat asal reaksi semula. Terhadap nukleotida
radikal bebas akan menyebabkan terjadinya perubahan struktur (DNA atau RNA)
yang menyebabkan terjadinya mutasi atau sitotoksisitas (Sargowo 1993).
2.4 Antioksidan
Antioksidan adalah substansi yang diperlukan tubuh untuk menetralisir
radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas
terhadap sel normal, protein, dan lemak. Antioksidan menstabilkan radikal bebas
dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas, dan
9
menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang
dapat menimbulkan stres oksidatif. Antioksidan yang dikenal ada yang berupa
enzim dan ada yang berupa mikronutrien. Enzim antioksidan dibentuk dalam
tubuh, yaitu super oksida Dismutase (SOD), glutation peroksidase, katalase, dan
glutation reduktase, sedangkan antioksidan yang berupa mikronutrien dikenal tiga
yang utama, yaitu : β-karoten, vitamin C dan vitamin E. β-karoten merupakan
scavengers (pemulung) oksigen tunggal, vitamin C pemulung superoksida dan
radikal bebas yang lain, sedangkan vitamin E merupakan pemutus rantai
peroksida lemak pada membran dan Low Density Lipoprotein. Vitamin E yang
larut dalam lemak merupakan antioksidan yang melindungi Poly Unsaturated
Faty Acids (PUFAs) dan komponen sel serta membran sel dari oksidasi oleh
radikal bebas (Winarsi 2007).
2.4.1 Fungsi dan sumber antioksidan
Keseimbangan oksidan dan antioksidan sangat penting, hal ini berkaitan
dengan berfungsinya sistem imunitas tubuh. Kondisi seperti ini bertujuan untuk
menjaga integritas dan berfungsinya membran lipida, protein sel, dan asam
nukleat, serta mengontrol tranduksi signal dan ekspresi gen dalam sel imun.
Komponen terbesar yang menyusun membran sel adalah senyawa asam lemak tak
jenuh, yang diketahui sangat sensitif terhadap perubahan keseimbangan oksidan-
antioksidan. Membran merupakan barrier penting demi berfungsinya sel,
demikian juga membran sel imun terhadap serangan berbagai benda asing
(antigen). Oleh sebab itu, sel imun memerlukan antioksidan dalam kadar lebih
tinggi dibandingkan dengan sel-sel lain (Winarsi 2007).
Penyebab utama kerusakan oksidatif di dalam tubuh adalah senyawa
oksidan, baik yang berbentuk radikal bebas ataupun bentuk senyawa oksigen
reaktif lain yang bersifat sebagai oksidator. Kerusakan oksidatif terjadi sebagai
oksidator. Kerusakan oksidatif terjadi sebagai akibat rendahnya antioksidan dalam
tubuh sehingga tidak dapat mengimbangi reaktivitas senyawa oksidan. Secara
umum, antioksidan dikelompokkan menjadi 2, yaitu antioksidan enzimatis dan
nonenzimatis. Antioksidan enzimatis misalnya enzim superoksida dismutase
(SOD), katalase dan glutation peroksidase. Antioksidan nonenzimatis terdiri dari
2 kelompok, yaitu antioksidan larut lemak dan antioksidan larut air. Antioksidan
10
enzimatis dan nonenzimatis tersebut bekerja sama memerangi aktivitas senyawa
oksidan dalam tubuh. Terjadinya stress oksidatif dapat dihambat oleh kerja enzim-
enzim antioksidan dalam tubuh dan antioksidan nonenzimatik (Winarsi 2007).
2.4.2 Mekanisme kerja antioksidan
Pada mulanya terjadi oksidasi lemak di dalam bahan makanan atau sistem
biologis pada umumnya. Oksidasi lemak terdiri dari tiga tahap utama, yaitu
inisiasi, propagasi, dan terminasi. Pada tahap inisiasi terjadi pembentukan radikal
asam lemak, yaitu suatu senyawa turunan asam lemak yang bersifat tidak stabil
dan sangat reaktif akibat dari hilangnya satu atom hidrogen (reaksi 1). Pada tahap
selanjutnya, yaitu propagasi, radikal asam lemak akan bereaksi dengan oksigen
membentuk radikal peroksi (reaksi 2). Radikal peroksi lebih lanjut akan
menyerang asam lemak menghasilkan hidroperoksida dan radikal asam lemak
baru (reaksi 3) (Rohman dan Riyanto 2005).
Inisiasi : RH R• + H• ……………………... (1)
Propagasi : R• + O2 ROO• …..……………….. (2)
: ROO• + RH ROOH + R• ...….…... (3)
Hidroperoksida yang terbentuk bersifat tidak stabil dan akan terdegradasi
lebih lanjut menghasilkan senyawa-senyawa karbonil rantai pendek seperti
aldehida dan keton yang bertanggung jawab atas flavor makanan berlemak. Tanpa
adanya antioksidan, reaksi oksidasi lemak akan mengalami terminasi melalui
reaksi antar radikal bebas membentuk kompleks radikal bebas (reaksi 4)
(Rohman dan Riyanto 2005).
Terminasi : ROO• + ROO• non radikal ………. (4)
R• + ROO• non radikal …………... (4)
R• + R• non radikal ……….….…….. (4)
Antioksidan yang baik akan bereaksi dengan radikal asam lemak segera
setelah senyawa tersebut terbentuk. Dari berbagai jenis antioksidan yang ada,
mekanisme kerja serta kemampuannya sebagai antioksidan sangat bervariasi.
Seringkali, kombinasi beberap jenis antioksidan memberikan perlindungan yang
lebih baik (sinergisme) terhadap oksidasi dibandingkan dengan satu jenis
antioksidan saja. Sebagai contoh, asam askorbat seringkali dicampur dengan
antioksidan yang merupakan senyawa fenolik untuk mencegah oksidasi lemak.
11
Asam askorbat dapat meregenerasi senyawa fenolik dengan jalan
menyumbangkan satu atom hidrogennya kepada radikal fenoksil yang terbentuk
ketika fenolik menyumbangkan satu atom hidrogennya kepada radikal asam
lemak. Agar asam askorbat dapat berperan lebih efektif pada media lemak, asam
askorbat diubah menjadi bentuk yang lebih tidak polar, yaitu bentuk ester asam
lemaknya (misalnya askorbil palmitat). Senyawa-senyawa yang memberikan efek
sinergisme antioksidan tersebut sering disebut sebagai antioksidan sekunder,
sedangkan antioksidan utamanya dikenal sebgai antioksidan primer
(Siagian 2002).
Adanya ion logam, terutama besi (Fe) dan tembaga (Cu), dapat mendorong
terjadinya oksidasi lemak (bertindak sebagai prooksidan). Ion-ion logam ini
seringkali diinaktivasi dengan penambahan senyawa pengkelat seperti asam sitrat
dan EDTA. Dalam kapasitasnya tersebut, senyawa pengkelat dapat juga disebut
bersifat sinergistik dengan antioksidan karena menaikkan efektivitas antioksidan
utamanya. Suatu senyawa untuk dapat digunakan sebagai antioksidan harus
mempunyai sifat-sifat tidak toksik, efektif pada konsentrasi yang rendah (0,01 –
0,02%), dan dapat terkonsentrasi pada permukaan/lapisan lemak (bersifat
lipofilik). Selain itu, antioksidan harus dapat tahan pada kondisi pengolahan
pangan pada umumnya. Antioksidan yang sering ditambahkan ke dalam makanan
dapat bersifat alami, seperti tokoferol dan β-karoten atau merupakan antioksidan
sintetis seperti butylated hydorxyanisole (BHA), butylated hydroytoluene (BHT),
propil galat (PG), dan tertbutyl hydroquinone (TBHQ). Tokoferol dan β-karoten
dapat pula disintesis sehingga bersifat identik dengan senyawa alaminya .
Senyawa lain, nordihidro asam guaiaretat, NDGA (turunan asam guaiat),
sebenarnya merupakan antioksidan yang efektif. Meskipun demikian,
penggunaannya untuk makanan tidak biasa karena harganya relatif mahal dan
bahkan di beberapa negara dilarang karena bersifat toksik (Siagian 2002).
2.5 Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode Diphenylpicrylhydrazyl (DPPH)
Metode yang umum digunakan untuk menguji aktivitas antioksidan suatu
bahan adalah menggunakan radikal bebas diphenylpicrylhydrazyl (DPPH). DPPH
adalah radikal bebas yang bersifat stabil dan beraktivitas dengan cara mendelokasi
elektron bebas pada suatu molekul, sehingga molekul tersebut tidak reaktif
12
sebagaimana radikal bebas yang lain. Proses delokasi ini ditunjukkan dengan
adanya warna ungu (violet) pekat yang dapat dikarakterisasi pada pita absorbansi
dalam pelarut etanol pada panjang gelombang 520 nm (Molyneux 2004).
Metode uji aktivitas antioksidan dengan menggunakan radikal bebas
DPPH banyak dipilih karena metode ini sederhana, mudah, cepat, peka dan hanya
memerlukan sedikit sampel (Hanani et al. 2005). Kapasitas antioksidan pada uji
ini bergantung pada struktur kimia dan antioksidan. Pengurangan radikal DPPH
bergantung pada jumlah grup hidroksil yang ada pada antioksidan, sehingga
metode ini memberikan sebuah indikasi dari ketergantungan struktural
kemampuan antioksidan dari antioksidan biologis (Vattem dan Shetty 2006).
Pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode DPPH menggunakan
prinsip spektrofotometri. Senyawa DPPH (dalam metanol) berwarna ungu tua
terdeteksi pada panjang gelombang sinar tampak sekitar 517 nm. Suatu senyawa
dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut mampu
mendonorkan atom hidrogennya untuk berikatan dengan DPPH membentuk
DPPH tereduksi, ditandai dengan semakin hilangnya warna ungu (menjadi kuning
pucat) (Molyneux 2004). Antoksidan akan mendonorkan proton atau hidrogen
kepada DPPH dan selanjutnya akan terbentuk radikal baru yang bersifat stabil
atau tidak reaktif (1,1-difenil-2- pikrilhidrazin) (Wikanta et al. 2005). Hal ini
dapat dilukiskan dalam persamaan berikut:
DPPH
(Radikal
bebas)
+ AH
(Antioksidan)
DPPH-H
(Netral) +
A•
(Radikal bebas
baru, stabil, tidak
reaktif)
Warna ungu Warna kuning
Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan dapat
dilihat pada Gambar 2.
13
Diphenylpicrylhydrazyl (radikal bebas) Diphenylpicrylhydrazine (non radikal)
Gambar 2. Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan
antioksidan (Sumber: Wikanta et al. 2005)
Parameter untuk menginterpretasikan hasil pengujian dengan metode
DPPH adalah IC50 (inhibition concentration), yaitu konsentrasi larutan sampel
yang dibutuhkan untuk menghambat 50% radikal bebas DPPH (Andayani et al.
2008). Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin tinggi aktivitas antioksidan.
Secara spesifik suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat jika nilai
IC50 kurang dari 0,05 mg/ml, kuat untuk IC50 antara 0,05-0,10 mg/ml, sedang jika
IC50 bernilai 0,10-0,15 mg/mldan lemah jika IC50 bernilai 0,15-0,20 mg/ml
(Molyneux 2004).
2.6 Senyawa Fitokimia
Senyawa fitokimia yang dianalisis dari lamun Syringodium isoetifolium
adalah senyawa metabolit sekunder yang merupakan senyawa bioaktif yang
terdapat dalam tumbuhan dan dapat memberikan kesehatan pada tubuh manusia.
Senyawa metabolit sekunder mempunyai peranan penting dalam penelitian obat
yang dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan (Sirait 2007). Senyawa metabollit
sekunder dianalisis melalui uji fitokimia. Alasan melakukan analisis fitokimia
adalah untuk menentukan ciri senyawa aktif penyebab racun atau efek yang
bermanfaat, yang ditunjukkan oleh ekstrak kasar bila diuji dengan sistem biologi
(Harborne 1987).
2.6.1 Alkaloid
Senyawa alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu
atau lebih atom nitrogen sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid yang
mengandung cincin heterosiklik biasanya disebut alkaloid sejati, sedangkan yang
tidak mengandung cincin heterosiklik disebut protoalkaloid. Keduanya merupakan
turunan dari asam amino (Harborne 1987).
14
Alkaloid umumnya tanpa warna, bersifat optis aktif, dan sebagian besar
berbentuk kristal hanya sedikit yang berupa cairan. Alkaloid banyak ditemukan
pada bagian tumbuhan yaitu biji, daun, ranting, serat kayu. Alkaloid terakumulasi
pada jaringan yang tumbuh aktif yakni epidermis, hipodermis, dan kelenjar lateks.
Fungsi alkaloid pada tumbuhan belum dapat dinyatakan dengan pasti akan tetapi
beberapa senyawa berperan sebagai pengatur pertumbuhan dan pemikat serangga
(Suradikusumah 1989).
2.6.2 Steroid dan triterpenoid
Triterpenoid merupakan senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari
enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30
asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang umumnya berupa
alkohol, aldehida, atau asam karboksilat. Senyawa tersebut tidak berwarna,
kristalin, memiliki titik lebur yang tinggi, dan umumya sulit untuk dikarakterisasi
karena secara kimia tidak reaktif (Harborne 1987). Triterpenoid terbagi menjadi
empat golongan senyawa berupa triterpena sebenarnya, steroid, saponin, dan
glikosida jantung. Kedua golongan terakhir disebut triterpenoid esensial atau
steroid yang umumnya terdapat dalam tanaman sebagai glikosida (Sirait 2007).
Steroid merupakan golongan senyawa triterpenoid. Senyawa ini dapat
diklasifikasikan menjadi steroid dengan atom karbon tidak lebih dari 21, seperti
sterol, sapogenin, glikosida jantung, dan vitamin D. Steroid alami berasal dari
berbagai transformasi kimia dua triterpena, yaitu lanosterol dan sikloartenol.
Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat
(Harborne 1987).
2.6.3 Flavonoid
Semua flavonoid menurut strukturnya merupakan turunan senyawa induk
flavon yang terdapat berupa tepung putih pada tumbuhan primula. Flavonoid
terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Senyawa ini dapat diekstraksi
dengan etanol 70% dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini dikocok
dengan eter minyak bumi. Flavonoid ini berupa senyawa fenol, oleh karena itu
warnanya berubah bila ditambah basa atau amoniak (Harborne 1987).
Flavonoid banyak ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi tetapi tidak
dalam mikroorganisme. Senyawa ini menjadi zat warna merah, ungu, biru, dan
15
kuning dalam tumbuhan. Flavonoid memiliki kerangka dasar yang terdiri dari 15
atom karbon, dimana dua cincin benzena terikat pada suatu rantai propana
membentuk susunan C6-C3-C6. Flavonoid diklasifikasikan menjadi sebelas
golongan yaitu flavon, flavonol, flavanon, flavanonol, calkon, dihidrokalkon,
auron, antosianidin, katekin, dan flavan-3,4-diol (Sirait 2007). Flavonoid dapat
larut dalam air, dan dapat terekstraksi dengan etanol 70% (Suradikusumah 1989).
Flavonoid memiliki banyak kegunaan baik bagi tumbuhan maupun
manusia. Flavonoid digunakan tumbuhan sebagai penarik serangga dan binatang
lain untuk membantu proses penyerbukan dan penyebaran biji, sedangkan bagi
manusia, dalam dosis kecil flavon bekerja sebagai stimulan pada jantung, dan
flavon yang terhidroksilasi bekerja sebagai diuretik dan sebagai antioksidan pada
lemak (Sirait 2007).
2.6.4 Saponin
Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah dideteksi dalam
lebih dari 90 suku tumbuhan. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan
bersifat seperti sabun dan dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya
membentuk busa. Pencarian saponin dalam tumbuhan telah dirangsang oleh
kebutuhan akan sapogenin yang mudah diperoleh dan dapat dirubah di
laboratoriun menjadi sterol hewan yang berkhasiat penting (misalnya kortison,
dan estrogen kontraseptif). Banyak saponin yang mempunyai satuan gula sampai
lima dan komponen yang umum ialah asam glukuronat. Pembentukan busa yang
mantap sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau sewaktu memekatkan ekstrak
tumbuhan merupakan bukti terpercaya akan adanya saponin. Saponin jauh lebih
polar dari pada sapogenin karena ikatan glikosidanya (Harborne 1987).
Sebagian besar saponin bereaksi netral (larut dalam air), beberapa ada
yang bereaksi asam (sukar larut dalam air) dan sebagian kecil ada yang bereaksi
basa. Saponin dapat membentuk senyawa kompleks dengan kolesterol. Saponin
bersifat toksik terhadap ikan dan binatang berdarah dingin lainnya. Hal inilah
yang menyebabkan saponin banyak dimanfaatkan sebagai racun ikan. Saponin
yang beracun disebut sapotoksin (Sirait 2007).
16
2.6.5 Fenol hidrokuinon
Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar, seperti
kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang
berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon (Harborne 1987). Kuinon
dapat diidentifikasikan berdasarkan tujuannya menjadi empat kelompok yaitu,
benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok
pertama umumnya terhidroksilasi dan sering terdapat dalam sel sebagai glikosida
atau dalam bentuk kuinon tanpa warna, dan juga bentuk dimer. Isoprenoid kuinon
terlihat dalam respirasi sel (ubikuinon) dan fotosintesis (plastokuinon) yang secara
umum terdapat dalam tumbuhan (Suradikusumah 1989).
Senyawa kuinon yang terdapat sebagai glikosida sedikit larut dalam air,
senyawa ini lebih mudah larut dalam lemak dan akan terekstraksi dalam
tumbuhan bersama-sama dengan karotenoid dan klorofil. Reaksi yang khas adalah
reduksi bolak-balik yang mengubah kuinon menjadi senyawa tanpa warna,
kemudian warna kembali lagi bila terjadi oksidasi oleh udara. Reduksi dapat
dilakukan dengan menggunakan natrium borohidrida (Harbone 1987).
2.6.6 Tanin
Tanin dapat dijumpai pada hampir semua jenis tumbuhan hijau di seluruh
dunia baik tumbuhan tingkat tinggi maupun tingkat rendah dengan kadar dan
kualitas yang berbeda-beda. Di Indonesia sumber tanin antara lain diperoleh dari
jenis bakau-bakauan atau jenis-jenis tanaman dari hutan tanaman industri seperti
akasia (Acacia sp), ekaliptus (Eucalyptus sp) dan pinus (Pinus sp). Tanin adalah
polifenol alami yang selama ini banyak digunakan sebagai bahan perekat tipe
eksterior, yang terutama terdapat pada bagian kulit kayu. Tanin memiliki sifat
antara lain dapat larut dalam air atau alkohol karena tanin banyak mengandung
fenol yang memiliki gugus OH, dapat mengikat logam berat, serta adanya zat
yang bersifat antirayap dan jamur (Carter et al. 1978 dalam Shut 2002).
2.7 Serat Pangan (Dietary Fiber)
Serat pangan merupakan campuran bahan organik kompleks, termasuk
senyawa hidrofilik, seperti polisakarida larut dan tidak larut dan oligosakarida
yang tidak dapat dicerna serta berbagai senyawa yang tidak dapat mengembang,
kurang lebih senyawa hidrofobik, seperti cutins, suberins dan lignins
17
(Megazyme 2005). Serat pangan berarti polimer karbohidrat dengan tingkat
polimerisasi tidak lebih rendah dari 3 yang tidak dicerna atau diserap di usus
kecil. Sebuah derajat polimerisasi tidak lebih rendah dari 3 dimaksudkan untuk
mengecualikan mono dan disakarida (McCleary 2010).
Serat pangan dapat dikatakan sebagai komponen bahan makanan nongizi,
tetapi akan sangat menyehatkan jika dikonsumsi secara teratur dan seimbang
setiap hari. Serat pangan (dietary fiber) berbeda dengan serat kasar (crude fiber).
Serat kasar adalah bagian dari tanaman pangan yang tersisa atau tidak dapat
dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia. Jika dibandingkan dengan serat pangan, serat
kasar memilki nilai lebih kecil sekitar 1/3-1/2 dari nilai serat pangan, sedangkan
serat pangan adalah bagian dari makanan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim
pencernaan (Muchtadi 1989). Menurut karakteristik fisik dan pengaruhnya
terhadap tubuh, serat pangan dibagi atas dua golongan dasar, yaitu serat pangan
larut air (soluble dietary fiber) dan serat pangan tidak larut air (insoluble dietary
fiber):
1) Serat pangan larut air (soluble dietary fiber) (SDF)
Serat pangan larut air merupakan komponen serat yang dapat larut di dalam
air dan di dalam saluran pencernaan. Komponen serat ini dapat membentuk
gel dengan cara menyerap air. Kelompok serat pangan larut air adalah pektin,
psyllium, gum, musilase, karagenan, asam alginat dan agar-agar. Manfaatnya
adalah menurunkan kolesterol darah dan mengontrol gula darah.
2) Serat pangan tidak larut air (insoluble dietary fiber) (IDF)
Serat pangan tidak larut air adalah serat yang tidak dapat larut, baik di dalam
air maupun di dalam saluran percernaan. Kelompok serat pangan tidak larut
air adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin. Manfaatnya adalah mencegah
kanker kolon dan konstipasi (McCleary 2010).