2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Batasan dan Definisi Pulau-Pulau ... · area) relatif kecil sehingga...
Transcript of 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Batasan dan Definisi Pulau-Pulau ... · area) relatif kecil sehingga...
11
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Batasan dan Definisi Pulau-Pulau Kecil (PPK)
Secara umum pulau-pulau kecil atau gugusan pulau-pulau kecil adalah
kumpulan pulau-pulau yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi
ekologis, ekonomi, sosial dan budaya, baik secara individual maupun secara
sinergis dapat meningkatkan skala ekonomi dari pengelolaan sumberdayanya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyatakan bahwa pulau kecil adalah
pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2 000 km2 beserta kesatuan
ekosistemnya.
Secara ekologis pulau kecil terpisah dari pulau induk (mainland island),
memiliki batas fisik yang jelas dan terpencil sehingga bersifat insular, memiliki
sejumlah biota endemik, keanekaragaman biota yang tipikal dan bernilai
ekonomis tinggi. Pulau kecil memiliki daerah tangkapan air (water catchment
area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran permukaan dan sedimen akan
langsung masuk ke laut. Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat bersifat
khas dibandingkan dengan pulau induknya (DKP 2001).
Ada tiga kriteria tentang batasan PPK yaitu : 1) batasan fisik pulau (luas
pulau), 2) batasan ekologis, proporsi spesies endemik dan terisolasi, dan 3)
keunikan budaya. Selain kriteria tersebut, indikasi besar-kecilnya pulau terlihat
dari kemandirian penduduknya dalam memenuhi kebutuhan pokok (Dahuri 1998).
Bengen dan Retraubun (2006) menggolongkan pulau berdasarkan proses
geologinya :
1. Pulau Benua (Continental Island), terbentuk sebagai bagian dari benua dan
setelah itu terpisah dari daratan utama, tipe batuan kaya akan silika. Biota
yang terdapat dalam tipe ini sama dengan yang terdapat di daratan utama;
2. Pulau Vulkanik (Volcanic Island), terbentuk dari kegiatan gunung berapi
yang timbul perlahan-lahan dari dasar laut ke permukaan. Tipe batuan
dari ini adalah basalt, silika (kadar rendah);
3. Pulau Karang Timbul (Raised Coral Island) terbentuk oleh terumbu
karang yang terangkat ke atas permukaan laut karena proses geologi. Jika
12
proses ini berlangsung terus, maka karang yang timbul ke permukaan laut
berbentuk teras-teras seperti sawah di pegunungan;
4. Pulau Daratan Rendah (Low Island), adalah pulau dengan ketinggian
daratannya dari muka laut rendah. Pulau-pulau dari tipe ini paling rawan
terhadap bencana alam, seperti angin taufan dan tsunami;
5. Pulau Atol (Atolls) adalah pulau karang yang berbentuk cincin, umumnya
adalah pulau vulkanik yang ditumbuhi oleh terumbu karang yang
berbentuk fringing reef kemudian menjadi barrier reef dan akhirnya
menjadi pulau atol.
Hehanusa (1993) membuat klasifikasi PPK di Indonesia berdasarkan
morfologi dan genesis pulau yaitu : (1) Pulau Berbukit dan, (2) Pulau Datar.
Pulau Berbukit terdiri atas : Pulau Vulkanik, Pulau Tektonik, Pulau Teras
Terangkat, Pulau Petabah (monadnock) dan Pulau Gabungan. Pulau Datar terdiri
atas : Pulau Aluvium, Pulau Koral dan Pulau Atol yang memiliki luas daratan
lebih kecil dari 50 km2. Ongkosongo (1998) lebih menekankan pada proses
pembentukan pulau tersebut, yaitu:
1 Penurunan muka laut, contohnya, P. Akat, P. Sekikir, P. Abang Besar di
Kepulauan Riau;
2 Kenaikan muka laut, contohnya Kepulauan Lingga, P. Batam, P. Karimun
Kecil, juga di Kepulauan Riau;
3 Tektonik, zona penunjaman (subduction), contohnya P. Christmas, P. Nias
4 Tektonik, zona pemekaran (spreading), contohnya Kepulauan Hawai;
5 Amblesan daratan, contohnya P. Digul;
6 Erosi, contohnya P. Popole di Jawa Barat;
7 Sedimentasi contohnya : pulau-pulau di Segara Anakan, P. Bengkalis;
8 Volkanisme, contohnya P. Krakatau, P. Ternate, P. Manado Tua;
9 Biologi, biota terumbu karang dan asosiasinya, contoh di Kep. Seribu;
10 Biologi, Biota lain (mangrove, lamun dan lain-lain), contohnya P. Karang
Anyar, P. Klaces, dan P. Mutean di Segara Anakan;
11 Pengangkatan Daratan, contohnya P. Manui di Sulawesi Tengah;
12 Buatan Manusia, contohnya Lapangan Udara Kansai Osaka Jepang;
13 Kombinasi berbagai proses, contohnya P. Rupat.
13
Karakteristik PPK yang dibandingkan dengan pulau besar dan benua
berdasarkan karakteristik geografis, geologi, biologi, dan ekonomi (Tabel 2).
Tabel 2 Karakteristik geografi, geologi, biologi dan ekonomi pulau kecil, pulau besar, dan benua
Pulau Kecil Pulau Besar Benua Karakteristik Geografis
Jauh dari benua Dekat dari benua Area sangat besar Dikelilingi oleh laut luas Dikelilingi sebagian oleh
laut yang sempit
Suhu udara bervariasi
Area kecil Area besar Iklim musiman Suhu udara stabil Suhu udara agak bervariasi Iklim sering berbeda dengan
pulau besar terdekat Iklim mirip benua terdekat
Karakteristik Geologi Umumnya karang atau
vulkanik Sedimen atau
metamorphosis Sedimen atau metamorfosis
Sedikit mineral penting beberapa mineral penting beberapa mineral penting Tanahnya porous/ permeabel Beragam tanahnya Beragam tanahnya
Karakteristik Biologi Keanekaragaman hayati
teresterial rendah, namun memiliki sejumlah spesies endemik yang bernilai ekologis tinggi
Keanekaragaman hayati sedang
Keanekaragaman hayati tinggi
Keanekaragaman hayati laut tinggi, dengan laju pergantian jumlah jenis tinggi akibat perubahan lingkungan
Pergantian spesies agak rendah
Pergantian spesies biasanya rendah
Tinggi pemijahan massal hewan laut bertulang belakang
Sering pemijahan massal hewan laut bertulang belakang
Sedikit pemijahan massal hewan laut bertulang belakang
Karakteristik Ekonomi Sedikit sumberdaya daratan Sumberdaya daratan agak
luas Sumberdaya daratan luas
Sumberdaya laut lebih penting
Sumberdaya laut lebih penting
Sumberdaya laut sering tidak penting
Jauh dari pasar Lebih dekat pasar Pasar relatif mudah Sumber : Modifikasi Salm et al. (2000) dalam Bengen dan Retraubun (2006)
2.2 Sistem Ekologi dan Ekonomi Pulau-Pulau Kecil
Menurut Briguglio (1995) karakteristik PPK yang unik yaitu berukuran
kecil, terisolasi, ketergantungan, rentan dan secara ekonomi hal ini tidak
menguntungkan karena akan menimbulkan keterbatasan sokongan sumberdaya,
ketergantungan kisaran diversifikasi produk, keterbatasan mempengaruhi
perubahan harga produk, keterbatasan kompetensi lokal dan pengembangan skala
14
ekonomi. Faktor isolasi akan mengakibatkan tingginya biaya transpor per unit
serta ketidakpastian suplai, namun beberapa pulau yang telah dikembangkan
untuk pariwisata seperti di Kepulauan Maldive, Fiji, Karibia, keterbatasan tersebut
dapat diatasi secara ekonomi (Ghina 2003). Maldive yang telah berkembang
sebagai negara pariwisata bahari dikunjungi sekitar 500 000 turis setiap tahunnya.
Kepulauan Karibia mampu mengembangkan pariwisata bahari berbasis pulau-
pulau kecil dengan kontribusi 12% bagi PDB dari kunjungan 100 juta turis setiap
tahunnya. Pulau kecil Newfoundland (Kanada), dan Texel (Belanda),
dikembangkan sebagai sumber energi berbasis tenaga matahari dan angin,
budidaya perikanan dan pertanian, serta pariwisata.
PPK cenderung rentan terhadap bencana alam. Sifat rentan dimaksudkan
karena memiliki kerapuhan ekologis (ecological fragility). Ghina (2003)
merangkum dari berbagai sumber mengenai karakteristik pengelolaan PPK
berdasarkan sifat kerentanannya yaitu karena keterpencilan, ukuran fisik kecil,
kerapuhan dan keunikan ekologis, pertumbuhan populasi manusia yang cepat dan
kepadatan tinggi, sumber alam yang terbatas terutama daratannya, ketergantungan
tinggi pada sumberdaya laut, peka dan mudah terekspose akibat bencana alam,
peka terhadap naiknya permukaan air laut dan perubahan iklim. Karakteristik
lainnya yakni pasar domestik kecil, ketergantungan barang ekspor dan impor yang
tinggi, ketidak-mampuan untuk mempengaruhi harga internasional, tingginya
biaya/unit pengangkutan, marginal, ketidakpastian persediaan barang, harus
menyimpan sejumlah besar barang, kerentanan perdagangan : ketergantungan
tinggi pada pajak perdagangan, industri domestik yang rentan, ketergantungan
pada pilihan/preferensi perdagangan, pembatasan pada kompetisi domestik,
berbagai kesulitan dalam menarik investasi langsung dari luar, peluang investasi
dan jasa komunikasi terbatas, permasalahan administrasi pemerintahan,
ketergantungan pada keuangan eksternal. Kaly et al. (2004) menambahkan bahwa
faktor-faktor yang menyebabkan kerentanan tersebut karena bencana alam,
masalah perbatasan, migrasi, kerusuhan, pemisahan secara geografis, pemanfaatan
ekonomi, pasar internal yang kecil dan kerusakan sumberdaya.
Prinsip utama pembangunan PPK secara terpadu dan berkelanjutan, harus
mempertimbangkan kriteria ekologi, ekonomi, dan sosial (Kay dan Alder 2005).
15
Hal ini didasarkan pada karakteristik dan dinamika PPK yang merupakan suatu
sistem dinamis saling terkait antara sistem komunitas manusia dengan sistem alam
sehingga kedua sistem inilah yang bergerak dinamik dalam kesamaan besaran,
untuk itu diperlukan integrasi pengetahuan dalam implementasi pengelolaan PPK.
Integrasi inilah yang dikenal dengan paradigma Social Ecological System (SES)
(Adrianto dan Aziz 2006). Pemikiran alternatif yang memberikan penjelasan
bagaimana sistem ekonomi bekerja dalam sebuah delineasi ekosistem sangat
diperlukan. Arus pemikiran utama ecological economics (EE) yang berkaitan
dengan nilai lebih (surplus value) dalam konteks keterbatasan ekosistem yakni
memfokuskan diri pada hubungan yang kompleks, non-linier dengan waktu yang
lebih panjang antara sistem alam dan sistem ekonomi. Komitmen normatif dari
arus pemikikan utama EE adalah berusaha mewujudkan terciptanya “masyarakat
yang bukan tanpa batas” (frugal society), dalam arti bahwa kehidupan masyarakat
berada dalam keterbatasan sistem alam baik sebagai penyedia sumberdaya
maupun penyerap limbah (Adrianto 2004). Paradigma SES membicarakan unit
ekosistem seperti wilayah pesisir PPK, ekosistem mangroves, terumbu karang dan
lainnya berasosiasi dengan struktur dan proses sosial yang ada di mana aspek
sistem alam (ekosistem) dan sistem manusia tidak dapat dipisahkan.
Pengelolaan pendekatan ekosistem di pesisir dan PPK dapat dinyatakan
sebagai suatu simbiosis pandangan yang respek kepada sistem alam, yang
mengintegrasikan pandangan ekonom, enjinir, dan ekolog, untuk bersama-sama
untuk melindungi fungsi sistem alam untuk secara terus menerus menghasilkan
jasa-jasa ekosistemnya. Begitu pula sebaliknya para ekonom/enjinir senantiasa
membutuhkan ekolog, dengan maksud jika terjadi penurunan jasa sumberdaya
alam maka akan menghasilkan pula penurunan nilai ekonomi ekosistem tersebut
dan berimplikasi pada penurunan kesejahteraan sosial. Kedua pandangan ini dapat
dianalogikan sebagai suatu potret perpaduan pandangan Charles Darwin (ekolog)–
Adam Smith (ekonom). kolaboratif, dalam suatu area geografik dengan
multifaktor eksternal/internal yang terkait indikator kunci pengelolaan pendekatan
ekosistem adalah membangun keberlanjutan keseimbangan ekologis dan sosio-
ekonomi. Pendekatan ini menjadi prinsip dasar pemandu dalam strategi
perencanaan untuk wilayah Pesisir PPK. Pemangku kepentingan terlibat secara
16
kolaboratif dalam perencanaan, sehingga bagi mereka akan bermanfaat dan dapat
mengerti dan memprediksi adaptasi pengelolaan ke depan (Nganro dan Suantika
2009). Pemilihan pendekatan ekosistem ini berdasarkan kompleksitas sebagai
proses interaksi, interkoneksi, jejaring, dinamik dan adaptif. Perubahan
paradigma tersebut tertera pada Gambar 2.
Gambar 2 Perbandingan antara paradigma pengelolaan saat ini dengan
pengelolaan berdasarkan pendekatan ekosistem (Nganro dan Suantika 2009)
Pengelolaan pesisir pulau-pulau kecil dengan ’Konsep Ekosistem’ adalah
lebih tepat dewasa ini digunakan sebagai falsafah dasar untuk pengelolaan
sumberdaya alam di Indonesia, karena merupakan konsep induk dengan perspektif
lebih luas, integratif, mencakup proses interaksi dinamika lingkungan hidup,
ruang, wilayah, kawasan dan lain-lain, secara saintifik terukur dan terprediksi, dan
telah diadopsi luas oleh negara-negara maju di dunia dan negara-negara lain
anggota PBB, khususnya yang tergabung dalam Small Islands Development
States/SIDS (Bass and Dalal-Clayton 1995). Informasi ekologis dalam Tabel 3
menunjukkan bahwa di wilayah pesisir perairan laut dangkal (perairan teritorial)
dari pantai sampai kedalaman 200 m, merupakan wilayah yang paling produktif
karena pengaruh kontribusi interaksi dari darat, tetapi perairan ini sangat rentan dari
dampak degradasi akibat aktivitas manusia. Adapun produktivitas di perairan laut
Zona Ekonomi Eksklusif (kedalaman >200 m) sangat dipengaruhi oleh produktivitas
perairan dangkal.
17
Tabel 3 Potensi kemampuan, pemanfaatan jasa, dan ancaman pada ekosistem di sub-wilayah pesisir pulau-pulau kecil
Sub-wilayah
Penjelasan Potensi Kemampuan Jasa Ekosistem
Pemanfaatan Jasa Ekosistem
Ancaman
1) Pantai berpasir
di pantai terbuka, jauh dari muara sungai (estuari)
tempat bersarang penyu
rekreasi konservasi perusakan habitat, tambang pasir, tumpahan minyak
2) Pantai berbatu
terbuka kena ombak Kaya biodiversitas Rekreasi Erosi pantai
3) Terumbu karang
di perairan jernih, perairan dangkal, kedalaman 200 m; sangat peka kekeruhan, kenaikan suhu, pencemaran, sedimentasi; Jika terumbu karang hidup sehat meluas, pertanda banyak ikan tuna.
sangat produktif, tempat berbiak, berlindung ikan kerapu, tuna, kakap, udang, penyu, biota laut lain, rumput laut
Konservasi, pariwisata, perikanan perlindungan pantai, pulau- pulau kecil dari gelombang besar dan kenaikan muka laut
tangkapan ikan berlebih, racun ikan, pemboman, penambangan karang, erosi dari penggundulan vegetasi di darat
4) Padang lamun rumput laut
terdapat di antara terumbu karang dan mangrove (bakau)
sangat produktif, tempat berbiak, tumbuh, berlindung ikan, udang, kepiting dan biota laut lain, kaya nutrisi alami
sumber makanan, farmasi, kosmetik, industri biotek, dan sumber energi biofuel.
Tangkapan ikan berlebih, perusakan karang dan mangrove, pencemaran minyak, sedimentasi
5) Pantai berlumpur
terdapat di sekitar muara sungai (estuari), atau delta
produktivitas biologis tinggi, kaya siklus nutrisi.
Konservasi perusakan habitat, pencemaran minyak.
6) Estuari/ Delta
pertemuan air tawar dan laut (perairan payau)
sangat produktif, kaya nutrisi, berbiak ikan, udang, kepiting,
jalur pelayaran, akuakultur, perikanan tradisionil
sampah, pencemaran banjir, sedimentasi
7)Mangrove (hutan bakau)
terdapat di sekitar muara sungai, tempat berlumpur, bau sulfur, perangkap debris sampah, kaya nutrisi, pencegah erosi, pelindung pantai
kaya udang, kepiting, udang; tempat beberapa mamalia, reptil, burung; produksi primer sangat tinggi
sumber kayu untuk konstruksi, reklamasi lahan, akuakultur, pariwisata, industri biotek dan perlindungan bentuk pantai
tumpahan minyak, pestisida-pupuk dari pertanian, pembabatan kayu mangrove, pembukaan tambak berlebihan
8) Hutan rawa pasang surut
sepenuhnya mangrove atau didominasi tumbuhan nipah
siklus nutrisi tinggi, tempat makan ikan, udang, kepiting saat pasang naik, perangkap sedimen
sumber kayu, rumah tradisional, reklamasi lahan basah, tempat akuakultur dan sumber gula atau bioethanol
tumpahan minyak pestisida-pupuk berlebih dari pertanian, pembabatan nipah/bakau
9) Laguna agak tertutup, sedikit terbuka, jalan masuk dari laut dapat berubah-ubah
produktivitas ikan, udang, kepiting, tempat berbiak secara alami biota laut lain
pariwisata, navigasi, tangkap ikan, budidaya.
pencemaran
10) Pulau- Pulau Kecil
Terdiri dari gosong karang, pulau karang muncul, atol, vulkanik; pulau benua; ukuran luas kurang dari 2 000 km2. Jumlah seluruh Indonesia > 17 000 ragam pulau-pulau.
masing-masing pulau dianggap mempunyai ekosistem unik.
pariwisata, pemukiman, stasiun pengamat, pertanian subsisten, marikultur sumber bioindustri masa depan, termasuk biofood & biofuel.
air tanah minim, intrusi air laut; limbah; penduduk padat; Penebangan vegetasi, pemanasan global, lenyapnya pulau- pulau kecil akibat kenaikan muka laut 15-19 mm/tahun.
Sumber : Bass dan Dalal-Clayton (1995)
18
Keberadaan ekosistem yang sehat pasti akan menghasilkan jasa-jasa
ekosistem. Indikasi ini sesungguhnya mengandung komponen-komponen jasa
yang diperlukan untuk kehidupan manusia dan mahluk lainnya di wilayah pesisir.
Jasa-jasa ekosistem tersebut dapat menjadi motor penggerak keberlanjutan
kegiatan ekonomi masyarakat. Jasa-jasa ekosistem sehat yang dapat diperoleh
masyarakat (Millennium Ecosystem Assessment 2005), meliputi: (1) Keamanan
dalam hal kenyamanan individu masyarakat karena makanan tercukupi; akses
terpenuhi untuk memperoleh sumberdaya hayati laut; aman dari bencana karena
lingkungan disekitarnya tidak rusak; (2) Kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi
untuk berkehidupan, misalnya mata pencaharian mudah karena ikan melimpah;
makanan bergizi terpenuhi; pemukiman sehat; akses mudah untuk mendapatkan
barang-barang yang diperlukan; (3) Kondisi kesehatan masyarakat baik, kuat,
sehat, mudah mendapatkan air dan udara bersih; (4) Hubungan sosial baik, saling
menghormati dan mempunyai kemampuan saling membantu satu dengan lainnya.
Holling (1986) menyatakan bahwa tantangan pengelolaan sumberdaya
alam saat ini adalah semakin besarnya perubahan ekologis dan sosial yang
menyebabkan munculnya kejutan-kejutan dan ketidakpastian yang semakin tinggi.
Pesisir dan pulau kecil merupakan sebuah sistem dimana aspek ekologi dan aspek
sosial terkait sangat erat dan merupakan sebuah sistem yang terintegrasi. Kedua
aspek ini memiliki kompleksitas dan terus berubah dimana keduanya bersifat non-
linier dan menempati batas tertentu dalam dinamikanya (Folke et al. 2002).
Pengelolaan pesisir dan PPK sebagaimana dengan pengelolaan
sumberdaya lain umumnya masih didasarkan pada asumsi adanya daya dukung
ekosistem untuk menghasilkan produksi dan jasa lingkungan secara terus
menerus, dan kegiatan produksi dapat dikontrol sepenuhnya. Gunderson et al.
(1995) menyatakan bahwa simplifikasi lansekap darat dan laut untuk produksi
sumberdaya tertentu dalam jangka pendek memang dapat menyuplai kebutuhan
pasar, tetapi dengan pengorbanan penurunan diversitas umumnya pengelola
sumberdaya berupaya untuk mengontrol proses perubahan pada lansekap tersebut
untuk menstabilisasi output dari ekosistem dan mempertahankan pola konsumsi
manusia (Holling dan Meffe 1996).
19
Pentingnya keberadaan ekosistem terumbu karang bagi manusia dapat
dilihat dalam fungsi ekologisnya bagi biota laut dan lingkungan sekitarnya.
Adapun produk barang dan jasa yang menghasilkan manfaat/ nilai ekonomi
(Tabel 4).
Tabel 4 Fungsi ekologis barang dan jasa dari ekosistem terumbu karang
Barang dan Jasa Fungsi EkologisSumberdaya terbarui Produk makanan laut, material dasar dan obat-obatan, material
dasar lainnya (seperti rumput laut), bahan souvenir dan perhiasan, koleksi karang dan ikan hidup untuk perdagangan akuarium
Penambangan terumbu karang Pasir untuk bangunan dan jalan Jasa struktur fisik Perlindungan garis pantai, membentuk daratan, mendukung
pertumbuhan mangrove dan lamun, pembangkitan pasir karang
Jasa biotik (di dalam ekosistem) Merawat habitat, pustaka genetik dan biodiversitas, regulasi fungsi dan proses ekosistem, merawat daya lentur kehidupan
Jasa biotik (antar ekosistem) Mendukung kehidupan ”mobile link’, ekspor produksi organik seperti jaring makanan (food web) pelagis
Jasa bio-geo-kimia Fiksasi Nitrogen, Kontrol neraca CO2/Ca, asimilasi limbah Jasa informasi Memantau dan rekaman polusi, pengawasan iklim Jasa sosial dan budaya Dukungan rekreasi, turisme, nilai estetika dan inspirasi
artistik, kelangsungan mata pencaharian masyarakat, dukungan budaya, nilai spiritual dan reliji
Sumber : diadopsi dari Moberg dan Folke (1999)
Potensi Ekonomi Sumberdaya Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
seperti yang diinformasikan oleh Costanza et al. (1997) tentang perkiraan kasar
“Global Economic Values of Annual Ecosystem Services” tertera pada Tabel 5.
Tabel 5 Perbandingan nilai ekonomi yang dihasilkan oleh beberapa tipe ekosistem dan jasa utama yang diperankan
Tipe Ekosistem Nilai per Ha
(US$/tahun) Nilai Global (milyar $/tahun)
Jasa Utama
Estuari 22 832 4 100 Siklus nutrient Rawa 19 580 3 231 Suplai air dan gangguannya Padang lamun 19 004 3 801 Siklus nutrien, makanan Mangrove/intertidal 9 990 1 649 Penanganan lembah dan gangguannya Danau, Sungai 8 498 1 700 Regulasi air Terumbu Karang 6 075 375 Wisata Hutan Tropis 2 007 3 813 Regulasi iklim, Siklus nutrien, material
kasar Pesisir 1 610 4 283 Siklus nutrient Hutan subtropics 302 894 Regulasi iklim, siklus nutrient Laut terbuka 252 8 381 Siklus nutrient Padang rumput 232 906 Penanganan limbahLahan tanaman 92 128 Makanan Padang pasir - - 1 925 Juta Ha Tundra - - 74.3 Juta Ha Kutub - - 1 640 Juta Ha Urban - - 332 Juta Ha Sumber : Costanza et al. (1997)
20
Tabel 6 Perkiraan nilai ekonomi sumberdaya perikanan Komoditi Potensi
(Ribu Ton/tahun) Perkiraan Nilai
(US$ Juta/tahun) Perikanan Tangkap Laut 5 006 15 101 Tangkap Perairan Umum 356 1 068 Budidaya Laut (Mariculture) 46 700 46 700 Budidaya Tambak 1 000 10 000 Budidaya Air Tawar 1 039 5 195 Industri Biotek Laut - 4 000 Total Nilai 82 064 Sumber : Adrianto dan Wahyudin (2007)
Berdasarkan data LIPI, terdapat luas ekosistem terumbu karang di
Indonesia sekitar 85 700 ha. Perhitungan kasar dapat ditaksir potensi wisata laut
pada ekosistem ini mencapai US$ 520.6 Juta per-tahun. Terumbu karang di
Perairan Nusantara ini mencakup fringing reef seluas 14 542 km2; barrier reefs
(50 223 km2); oceanic platform reefs (1 402 km2) dan atolls (19 540 km2). Pada
World Ocean Conference (WOC) di Manado 2009, menyebutnya Perairan
Nusantara (terutama di Wilayah Indonesia Timur) sebagai Coral Triangle of the
World, karena terdapat biodiversitas karang 500-600 spesies yang terbesar di
dunia sehingga di wilayah perairan ini menjadi pusat produktivitas ikan tuna
dunia. Selanjutnya, luas perairan dangkal nasional yang cocok untuk budidaya
laut (rumput laut, ikan kerapu, kakap, baronang, kerang) sekitar 24.5 juta ha (DKP
2002). Jika ditaksir kasar berdasarkan nilai yang dihitung oleh Costanza et al.
(1997), maka dapat diperkirakan potensi nilai ekonomi ekosistem perairan
tersebut (as coastal shelf) adalah sekitar US$ 39.4 Milyar per tahun (Nganro dan
Suantika 2009).
2.3 Konservasi Sumberdaya Pulau-pulau Kecil
Dalam Agenda 21 disebutkan bahwa untuk pengembangan pulau kecil
diperlukan pengelolaan yang terintegrasi untuk mencapai pembangunan yang
berkelanjutan serta perlindungan atas habitat dan sumberdaya alam. Dalam arti,
skema pengelolaan membutuhkan penyatuan dalam hal dimensi ekologi, sosial-
ekonomi dan budaya, sosial politik dan kelembagaan. Prasyarat dalam dimensi
ekologi :
21
1 Aktivitas harus didasari perimbangan ekologi dan perencanaan spatial serta
perencanaan penggunaan lahan merupakan puncak aktivitas yang sangat
penting;
2 Kegiatan yang ada saat ini dan di masa mendatang harus terencana dan
dikelola agar limbah yang dihasilkan di bawah kapasitas asimilasi lokal;
3 Sumberdaya alam yang dapat diperbaharui tidak dieksploitasi di atas kapasitas
regenerasi.
Dimensi sosial ekonomi dan budaya, pembangunan harus menyediakan
kebutuhan dasar manusia dan pelayanannya dalam kerangka kapasitas regenerasi
ekosistem asli. Dimensi sosial politik, aktivitas masa depan harus menjamin
pengikutsertaan luas dari masyararakat dan bentuk partisipasi aktif pada setiap
pengambilan keputusan. Dimensi kelembagaan, instansi pemerintah bertanggung
jawab dalam integrasi dan koordinasi pembangunan kepulauan kecil dengan
undang-undang maupun peraturan yang menjamin pelaksanaan yang bijaksana
setiap aktivitas pembangunan yang dijalankannya. Instansi ini perlu menjabarkan
tingkatan kompensasi masalah lingkungan dan pengelolaan sumberdaya alam,
serta mempunyai kemampuan untuk berkerjasama dengan pihak luar (Cincin-Sain
et al. 2002).
Departemen Kelautan dan Perikanan (2001) telah menetapkan kebijakan
mencakup 3 (tiga) aspek penting sebagai implementasi pengelolaan pulau kecil
dan wilayah pesisir secara terpadu, yaitu :
1 Kebijakan tentang hak-hak atas tanah dan wilayah perairan pulau kecil. Aspek
yang paling penting dalam kebijakan ini adalah bahwa untuk PPK dan wilayah
perairannya yang dikuasai/dimiliki/ diusahakan oleh masyarakat hukum adat,
maka kegiatan pengelolaan sepenuhnya berada di tangan masyarakat hukum
adat itu sendiri. Oleh sebab itu, setiap kerjasama pengelolaan pulau-pulau
kecil antara masyarakat hukum adat dengan pihak ketiga harus didasarkan pada
kesepakatan yang saling menguntungkan dengan memperhatikan daya dukung
lingkungan dan kelestarian sumberdaya.
2 Kebijakan pemanfaatan ruang pulau kecil. Dalam pemanfaatan ruang pulau
faktor penting yang perlu diperhatikan di antaranya adalah :
22
a Tingkat kerentanan terhadap bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan
ekologi,
b Ketersediaan sarana prasarana, kawasan konservasi, endemisme flora dan
fauna termasuk didalamnya yang terancam punah,
c Karakter sosial, budaya, dan kelembagaan masyarakat lokal,
d Tata guna lahan dan pemintakatan (zonasi) laut,
e Tingkat pengelolaan suatu pulau kecil harus sebanding dengan skala
ekonominya agar dapat diperoleh tingkat efisiensi yang optimal.
3 Kebijakan pengelolaan pulau kecil dan wilayah pesisir. Beberapa aspek penting
dalam pengelolaan PPK yang perlu dipertimbangkan di antaranya adalah :
keseimbangan/stabilitas lingkungan, keterpaduan kegiatan antar wilayah darat
dan laut sebagai satu kesatuan ekosistem dan efisiensi pemanfaatan
sumberdaya. Selain itu, pemerintah harus menjamin bahwa pantai dan perairan
pulau-pulau kecil merupakan akses yang terbuka bagi masyarakat. Pengelolaan
PPK yang dilakukan oleh pihak ketiga harus memberdayakan masyarakat
lokal, baik dalam bentuk penyertaan saham maupun kamitraan lainnya secara
aktif dan memberikan keleluasaan aksesibilitas terhadap PPK tersebut.
Secara umum, pengelolaan pembangunan harus mengacu pada kaídah
pembangunan yang berkelanjutan. Beller (1990) menyatakan bahwa
pembangunan berkelanjutan di pulau kecil bergantung kepada seberapa besar
jumlah penduduknya dapat mempertahankan kondisi sumberdaya alam, termasuk
energi dan air, serta lingkungan ekosistem baik biofisik maupun tata nilai budaya.
Salah satu upaya awal untuk mendorong dan mempertahankan dinamika
pembangunan yang berkelanjutan di wilayah pesisir dan laut adalah melalui
pengelolaan kawasan yang mempertimbangkan kondisi sumberdaya alam dan
pemanfaatan yang tidak melebihi kapasitas daya dukung lingkungan yang
dimilikinya. Konsep daya dukung lingkungan yang paling mendasar adalah
menjelaskan hubungan antara ukuran populasi dan perubahan dalam sumberdaya
dimana populasi tersebut berada. Hal tersebut diasumsikan bahwa terdapat suatu
ukuran populasi yang optimal yang dapat didukung oleh sumberdaya tersebut.
Daya dukung merupakan satu sistem manajemen diarahkan pada pemeliharaan
atau restorasi dari ekologis dan kondisi sosial yang bisa diterima, disesuaikan
23
dengan sasaran manajemen area dimana tak satu pun sistem diarahkan pada
manipulasi dari taraf penggunaannya (Hall dan Lew 1998), serta berkaitan dengan
wisata maka daya dukung wisata adalah jumlah maksimum orang yang
berkunjung pada satu tujuan wisata dalam waktu yang sama tanpa merusak
lingkungan fisik, ekonomi, dan sosial (WTO 1992).
Pembangunan merupakan suatu proses terjadinya perubahan dalam
meningkatkan taraf kehidupan manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan
sumberdaya alam tersebut. Perubahan–perubahan yang terjadi dalam suatu
sumberdaya suatu kawasan, baik yang diakibatkan oleh aktivitas manusia,
maupun yang terjadi secara alami (natural process) merupakan wujud dinamika
adanya proses kehidupan di kawasan tersebut yang berdampak kepada kestabilan
pada semua ekosistem kehidupan. Perencanaan pembangunan pada suatu kawasan
pesisir harus didasari dengan konsep–konsep model kajian yang strategis dan
efektif untuk menjamin keberlanjutan melalui pendekatan sistem ekologi,
ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat pesisir. Pembangunan berkelanjutan
menjadi paradigma utama dalam khasanah dunia pengelolaan wilayah pesisir pada
akhir abad 20 yang mendasari konsep berkelanjutan yaitu integritas lingkungan,
efisiensi ekonomi, dan keadilan sosial (Kay dan Alder 2005). Konsep
pengelolaan wilayah pesisir di dalam filosofinya mengenal prinsip keseimbangan
antara pembangunan dan konservasi.
Menurut The Encyclopedia Americana, konservasi diartikan sebagai
manajemen lingkungan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga menjamin
pemenuhan kebutuhan sumberdaya alam bagi generasi yang akan datang.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya menyatakan bahwa konservasi didefinisikan sebagai
manajemen biosfer secara berkelanjutan untuk memperoleh manfaat bagi generasi
sekarang dan generasi yang akan datang.
Kawasan pelestarian alam untuk kawasan laut dengan ciri khas tertentu yang
mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan ini memiliki 2 (dua) bentuk
kawasan perlindungan, yaitu Kawasan Taman Nasional dan Kawasan Taman
24
Wisata Alam. Kawasan Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam laut
yang memiliki ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan
untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang
budidaya, pariwisata dan rekreasi. Taman Wisata Alam adalah kawasan
pelestarian alam laut dengan tujuan utama pemanfaatannya bagi kepentingan
parawisata dan rekreasi alam.
IUCN (1994) menyatakan kawasan dilindungi (protected area) adalah
suatu areal, baik darat maupun laut yang secara khusus diperuntukkan bagi
perlindungan, pemeliharaan keanekaragaman hayati, budaya yang terkait dengan
sumberdaya alam tersebut, dan dikelola melalui upaya-upaya yang legal atau
upaya-upaya efektif lainnya. Marine protected area (MPA) pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1935 ketika didirikannya The Fort Jefferson National
Monument di Florida seluas 18 850 ha wilayah laut dan 35 ha wilayah pesisir,
menjadi pendorong bagi pembentukan MPA berikutnya. The Fort Jefferson
National Monument telah mendapat perhatian khusus pada The World Congress
on National Park tahun 1962. Selanjutnya, pada tahun 1982 kesatuan kerja dari
MPA meliputi perpaduan antara wilayah laut, pesisir dan perairan tawar di
daratan. MPA memiliki perbedaan bentuk, ukuran, karakteristik pengelolaan dan
dibentuk berdasarkan perbedaan tujuan. Secara umum terdapat empat jenis MPA,
yaitu: konservasi kawasan, konservasi jenis, konservasi jenis peruaya dan Marine
Management Area (MMA) atau Area Terkelola Laut (IUCN 1991).
Pengelolaan MPA mendapat perhatian khusus pada The World Congress on
National Park and Protected Area yang ke-4 tahun 1992 di Caracas, yang
tertuang dalam Action 3.5 meliputi: (1) Menggolongkan daerah pesisir-laut
sebagai perlindungan alam di berbagai wilayah yang telah memberi sumbangan
pada sistem global; (2) Melaksanakan program pengelolaan wilayah pesisir dan
memastikan keberhasilan pengelolaan perlindungan alam daratan dan laut; (3)
Mengembangkan dan menerapkan program pengelolaan MPA secara terpadu
(IUCN 1994). Pada prinsipnya MPA berperan untuk memenuhi tujuan dari World
Conservation Strategy, yaitu memadukan aktivitas konvervasi dengan non-
konservasi secara simultan, sehingga dapat meningkatkan manfaat dari pengguna.
Aktivitas konservasi bertujuan untuk : (1) memelihara proses ekologis dan
25
melindungi sistem penyangga kehidupan, (2) mempertahankan/pengawetan
keanekaragaman jenis beserta ekosistemnya, dan (3) pemanfaatan secara lestari
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, sedangkan aktivitas non-konservasi
digunakan sebagai obyek penelitian, sarana pendidikan tentang flora-fauna dan
ekosistemnya, sarana dan parasarana wisata alam. Tujuan pengembangan MPA
adalah melakukan konservasi dan pemanfaatan sumberdaya hayati laut secara
berkelanjutan, terutama yang terkait dengan keberlanjutan sumberdaya perikanan
dan mengurangi dampak perubahan global climate (iklim dunia).
Konservasi wilayah pesisir dan PPK menurut UU Nomor 27 Tahun 2007
Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, adalah upaya perlindungan,
pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan PPK serta ekosistemnya
untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumberdaya
pesisir dan PPK dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragamanya. Kawasan konservasi di wilayah pesisir dan PPK adalah
kawasan pesisir dan PPK dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk
mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan PPK secara berkelanjutan.
Pengelolaan sumberdaya hayati pesisir dan laut secara berkelanjutan
dilakukan dengan menyeimbangkan prinsip-prinsip perlindungan, pelestarian dan
kepentingan pemanfaatan secara tepat dalam konteks sesuai dengan kondisi sosial,
budaya dan ekonomi masyarakat setempat, terutama masyarakat setempat yang
telah memiliki akses turun-temurun terhadap kawasan konservasi tersebut.
Bentuk-bentuk pengembangan konservasi di Indonesia dilakukan dengan
pendekatan wilayah berupa konsep pengembangan Kawasan Konservasi Laut
(KKL) skala besar, KKL skala kecil, KKL daerah dan konsep MMA. Pengelolaan
kawasan konservasi laut skala besar, seyogyanya dikelola dengan melibatkan
seluruh pihak yang berkepentingan, atau pengelolaan bersama/pendekatan co-
management. Menurut CIT (2004), manajemen adaptif adalah suatu proses
formal “pembelajaran dari yang dikerjakan”, dimana aktivitas manajemen yang
dirancang sebagai percobaan untuk menguji perbedaan asumsi manajemen dan
hipotesis. Adaptive Co-Management (ACM) adalah suatu pendekatan kolaboratif
ke manajemen adaptif yang melibatkan pemerintah, penasehat dan perencana
yang dengan tegas dalam penetapan isu, pengembangan rencana dan luaran
26
manajemen. ACM bermakna sebagai hak tanggung-jawab, penetapan pihak yang
terkait untuk belajar dalam suatu masa melalui tindakan sedemikian sehingga
mereka dapat memodifikasi keputusan masa depan (“bagian yang adaptif”).
Menurut Kay dan Alder (2005) zonasi didasarkan pada konsep pemisahan
dan pengontrolan pemanfaatan yang tidak sesuai secara spasial, merupakan suatu
sarana yang dapat diterapkan dalam berbagai situasi dan dapat dimodifikasi untuk
disesuaikan dengan berbagai lingkungan ekologi, sosial ekonomi dan politik.
Sebagian ahli berpendapat bahwa zonasi adalah sebagai pembagian kawasan
(lindung dan budidaya) berdasarkan potensi dan karakteristik sumberdaya alam
untuk kepentingan perlindungan dan pelestarian serta pemanfaatan guna
memenuhi kebutuhan manusia secara berkelanjutan (Dahuri et al. 2003).
Pekerjaan penataan ruang merupakan kegiatan yang cukup kompleks karena
bersifat multi sektor, multi proses, dan multi disiplin. Beberapa aspek yang harus
dikaji dalam penyusunan tata ruang pesisir PPK, yaitu aspek ekologi (biofisik),
sosial ekonomi, budaya dan kebijakan. Dalam kaitan dengan sistem
pengelolaannya, kawasan taman nasional ditata dalam sistem zonasi, yaitu
pembagian ruang berdasarkan peruntukan dan kepentingan pengelolaan, seperti
zona inti, zona pemanfaatan dan zona lainnya sesuai peruntukannya. Pada
prinsipnya, sistem zonasi adalah pengaturan ruang untuk mengatur/mengelola
jenis-jenis kegiatan manusia di dalam taman nasional laut, sehingga dapat saling
mendukung dan diharapkan dapat mengakomodasikan semua kegiatan masyarakat
di sekitar taman nasional tersebut. Pengelolaan kawasan konservasi laut skala
kecil melalui pendekatan partisipatif (community-based), dalam hal ini masyarakat
harus dilibatkan mulai dari identifikasi isu dan masalah sampai pada evaluasi dan
monitoring.
Persoalan sumberdaya dan lingkungan pada dasarnya terletak pada
kenyataan manusia dapat melalui sebuah proses pembelajaran (learning process)
secara evolusioner antar waktu sehingga manusia melakukan kegiatan ekonomi
pada level terbaik pada suatu waktu sesuai dengan daya dukung lingkungan.
Sistem manusia dan sistem alam pada dasarnya adalah proses berubahnya postulat
dunia kosong (empty world) ke Postulat dunia penuh (full world). Postulat dunia
kosong yakni dunia relatif kosong dari manusia dan infrastruktur, sedangkan
27
sumberdaya alam dan aset sosial berlimpah, atau dengan kata lain dunia dengan
jumlah penduduk dan artefak yang sedikit namun penuh dengan sumberdaya alam
sehingga fokus pembangunan pada pertumbuhan dan ekspansi, kompetisi bebas,
siklus limbah terbuka (open waste cycles). Postulat dunia penuh berkaitan dengan
kebutuhan manusia untuk perbaikan kualitas hubungan antara unsur
pembangunan, aliansi kerjasama dan aliran tertutup daur limbah (recycled “closed
loop” waste flows) (Costanza 2001; Adrianto 2005)
Perubahan dari postulat dunia kosong ke dunia penuh menggambarkan
bahwa pertumbuhan eonomi memiliki keterbatasan hingga suatu titik ekonomi
menuju kondisi stabil (steady state ekonomi) (Costanza 2009). Arus pemikiran
utama pembangunan ekonomi saat ini seringkali dipisahkan dari kenyataan lain
yang muncul dari sistem alam. Pentingnya perhatian pada sistem alam menjadi
alasan yang kuat bagi kebutuhan analisis dan pengelolaan lingkungan yang
inovatif (Adrianto 2005).
2.4 Model Keberlanjutan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
2.4.1 Pendekatan DPSIR (Drivers-Pressures-States-Impacts-Responses)
Elliot et al. (2002) menyatakan penunjukan kawasan konservasi
menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat dalam hal pemanfaatannya.
Berkaitan dengan pemantauan dan pengaturan keberlanjutan pengelolaan,
diperlukan tools untuk menilai tingkat tekanan terhadap ekosistem yang
diakibatkan oleh aktivitas manusia pada lingkungan dengan menggunakan model
DPSIR/Drivers – Pressures – States – Impacts – Responses. Model ini
diperkenalkan oleh European Environment Agency (EEA) yaitu konsep hubungan
sebab akibat berdasarkan indikator lingkungan dengan menggunakan kategori
berbeda (RIVM 1995). Model DPSIR bertujuan mengidentifikasi aspek-aspek
atau parameter-parameter kunci pada suatu sistem dan memantau tingkat
keberlanjutan dari pengelolaan (Bowen dan Riley 2003). Selanjutnya dinyatakan
bahwa DPSIR merupakan suatu kerangka kerja untuk menentukan indikator-
indikator tekanan pembangunan oleh manusia yaitu mengamati perubahan-
perubahan pada faktor sosial, ekonomi dan lingkungan pada suatu periode waktu
tertentu. Isu-isu utama yang dipadukan dengan indikator pembangunan wilayah
pesisir diukur dalam ukuran skala yakni skala spasial dan temporal. Isu-isu spasial
28
berkaitan dengan kondisi geografis atau luasan area yang di dalamnya termasuk
perkembangan individu, rumah tangga, desa, kecamatan, kabupaten, nasional,
regional maupun secara global. Isu-isu temporal adalah berkaitan dengan
perubahan berdasarkan waktu pada saat indikator-indikator yang ada dipantau
berdasarkan suatu interval waktu.
Model DPSIR ini dapat digunakan untuk permasalahan pengelolaan
biodiversity yang kompleks akibat dari kerusakan habitat/menurunnya spesies
yang berhubungan dengan aktivitas sosial ekonomi masyarakat dalam skala ruang
dan waktu. Penekanan ini juga memberikan gambaran penting hubungan antara
perubahan ekosistem dan dampak perubahannya terhadap kondisi kesejahteraan
masyarakat (Turner et al. 2000). Perubahan indikator lingkungan yang relevan
terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Model DPSIR yang diperluas : turunan indikator lingkungan untuk mengevaluasi keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam (Turner et
al. 2000)
Model DPSIR ini dikembangkan untuk mengevaluasi masalah kerentanan
di pulau kecil berdasarkan dengan tujuan, dimulai dengan definisi dan identifikasi
tujuan sebagai indikator yang dibutuhkan. Berhubungan kerentanan penilaian,
tujuan yang ada dapat mengurangi kerentanan alami yang ada. Langkah-langkah
berikut merupakan pengembangan dari indikator kerentanan :
29
1 Ruang lingkup, berupa analisis yang menyangkut target sistem indikator,
kebutuhan, persepsi, dan kapasitas untuk memahami dan menginterpretasikan
hasil tersebut dibutukan ruang dan wilayah serta batasan waktu.
2 Pemilihan kerangka indikator yang sesuai, yang meliputi daerah (lingkungan,
ekonomi, masyarakat); tujuan (kebutuhan dasar manusia, kemakmuran
ekonomi); sektor publik (perumahan, kesehatan, pendidikan); isu (polusi
industri, tingkat pengangguran); sebab akibat (kondisi-kondisi, tekanan,
reaksi), dan kombinasi faktor-faktor yang ada;
3 Kriteria pemilihan berkaitan dengan kebenaran, perhitungan yang mudah,
ketelitian, dan keefektifan biaya untuk mengumpulkan dan memproses data;
4 Identifikasi indikator potensial berkaitan dengan kerangka dan kriteria
pemilihan;
5 Pemilihan indikator akhir berkaitan dengan tingkatan sebelumnya
6 Evaluasi pelaksanaan indikator berkaitan dengan langkah-langkah sebelumnya
(Bowen dan Riley 2003).
Melalui penggunaan model DPSIR dimungkinkan untuk pemahaman
mengenai suatu dampak yang ditimbulkan terhadap ekosistem dalam pengelolaan
wilayah pesisir, yakni : 1) alasan mengapa dampak itu terjadi; 2) alternatif
kemungkinan terjadinya tekanan oleh faktor-faktor pengarah (drivers) pada suatu
lingkungan pesisir seperti hal-hal yang dikaitkan dengan berbagai parameter
penilaian; 3) kebijakan-kebijakan politis apa yang harus dilakukan oleh
pemerintah daerah berkaitan dengan kondisi dan tingkat kerentanan lingkungan
yang dipengaruhinya. Setiap parameter yang telah dikelompokkan sebagai
drivers oleh peneliti ditentukan oleh kesesuaian dan kapasitas lingkungan yang
ada. Pengembangan resiliensi/daya lenting sistem sosial ekologi merupakan kunci
bagi pembangunan yang keberlanjutan (Berkes dan Seixas 2005). Resiliensi
berhubungan dengan gabungan dinamika sistem manusia dan lingkungan yang
menghindari penekanan atau pemisahan dari faktor lingkungan dan sosial, serta
mempertimbangkan sepenuhnya kompleksitas dinamika yang ada di dalamnya
(Berkes 2007) sehingga sangat sesuai dengan konsep ICM (Integrated Coastal
Management) yang merupakan paradigma pengelolaan yang digunakan saat ini.
30
2.4.2 Pendekatan Ruang Ekologis (Ecological footprint Analysis)
Kegiatan pemanfaatan sumberdaya harus selalu memperhatikan daya
dukung lingkungan untuk keberlanjutannya. Banyak pendekatan yang dapat
digunakan untuk menilai keberlanjutan dari kegiatan pemanfaatan sumberdaya
alam. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah Analisis Ruang
Ekologis (Ecological Footprint Analysis) yang menunjukkan pemanfaatan
sumberdaya alam oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari, untuk
menghitung penggunaan lahan bioproduktif yang digunakan untuk menyokong
populasi dunia yang dinyatakan dalam satuan hektar. Konsep ecological footprint
pertama kali diperkenalkan oleh Wackernagel dan Rees pada tahun 1996 dalam
bukunya yang berjudul Our Ecological Footprint: reducing Human Impact on the
Earth, dijelaskan bahwa setiap manusia memerlukan lahan untuk konsumsi
pangan dan papan (footprint pangan dan papan), untuk bangunan, jalan, dan
infrastruktur lainnya, dan untuk kebutuhan energi (energy footprint), maka harus
ada lahan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Jumlah footprint tersebut yang
disebut ecological footprint diri kita (Lyndhurst 2003). Indikator Ecological
footprint disebut juga indikator ecospace didefinisikan untuk menjawab seberapa
besar area produktif dari daratan dan perairan (sebagai sumberdaya) bagi
keberlajutan hidup manusia secara langsung untuk standar kehidupan dan dengan
teknologi (Wackernegel dan Rees 1996).
Analisis footprint di suatu wilayah penangkapan ikan dapat dihitung
berdasarkan hasil tangkapan maksimum berbagai jenis ikan (Gulland 1991). Hasil
tangkapan tersebut dikonversi dengan produktivitas primer berdasarkan trophic
level berbagai jenis ikan yang tertangkap (Ewing et al. 2008; WWF 2008).
Kebutuhan ruang ekologis adalah perbandingan Primary Productivity
Requirements/PPR dengan produktivitas primer sistem perairan (Pauly dan
Christensen 1995).
Menurut Moffat (2000) salah satu model ekologi-ekonomi yang dapat
digunakan untuk menganalisis sebuah sektor dalam kerangka pembangunan
kawasan pesisir secara berkelanjutan ini adalah pendekatan dinamika sistem
(system dynamics) yang diiniasi oleh Forrester Tahun 1961 (Forrester 1994)
Pendekatan tersebut menitikberatkan pada pemodelan perilaku antar variabel
31
(variable behavior) dalam sebuah sistem yang dalam studi ini adalah sistem
pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan pesisir dan pulau kecil. Salah satu
pendekatan dinamika sistem dalam kerangka pembangunan kawasan pesisir dan
pulau kecil berkelanjutan adalah pendekatan model ECCO/Enhanced Carrying
Capacity Option (Moffat dan Hanley 2001). Model ini memfokuskan diri pada
identifikasi beberapa ukuran keberlanjutan yang kemudian digabungkan dengan
kerangka model ekonomi makro.
Dalam konteks pembangunan sumberdaya pesisir dan PPK, model ECCO
lebih cocok karena konsep daya dukung tidak dapat dilepaskan sebagai input
balance bagi pembangunan sektor ini. Pengembangan kawasan pesisir dan PPK
harus mempertimbangkan faktor ketersediaan sumberdaya dan kelayakan
ekologis. Kerangka pemodelan dinamika sistem untuk pengembangan sektor
perikanan dan kelautan dalam konteks model ECCO tertera pada Gambar 4.
Gambar 4 Pendekatan ECCO untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya di
kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil (dimodifikasi dari Moffat dan Hanley 2001)
Gambar diatas memperlihatkan bahwa optimasi pemanfaatan sumberdaya
ke-n di kawasan pesisir dan PPK harus mempertimbangkan 4 (empat) variabel
utama yaitu :
32
(1) populasi;
(2) sumberdaya alam (dapat pulih dan yang tidak dapat pulih);
(3) kegiatan ekonomi (investasi dan perdagangan), dan
(4) kondisi lingkungan (indeks polusi).
Sementara itu, terkait dengan pembangunan pesisir dan PPK melalui UU No. 27
Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pemerintah telah
mengatur bahwa pemanfaatan PPK dan perairan di sekitarnya dilakukan
berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomi secara menyeluruh dan terpadu
dengan pulau besar di dekatnya serta diprioritaskan untuk salah satu atau lebih
kepentingan berikut :
(1) konservasi;
(2) pendidikan dan pelatihan;
(3) penelitian dan pengembangan;
(4) budidaya laut;
(5) pariwisata;
(6) usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari;
(7) pertanian organik, dan/atau;
(8) peternakan.
Dalam konteks ini, pengembangan kawasan pesisir dan pulau kecil sebagai
kawasan pariwisata dan perikanan merupakan salah satu pilihan utama bagi
pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau kecil. 2.4.3 Pendekatan HANPP (Human Appropriation of Net Primary Production)
Perkembangan ilmiah yang terintegrasi berkaitan dengan interaksi sistem
ekologi dan sosial yang kompleks antara manusia dan lingkungan melalui
kombinasi lingkungan dan ilmu-ilmu sosial (Haberl et al. 2001; Berkes dan Folke
2002). Masyarakat sebagai penggabungan struktur alami dan sistem berbudaya,
merupakan suatu unit sosial berfungsi untuk reproduksi suatu populasi manusia,
baik secara fisik maupun budaya, di dalam suatu wilayah sehingga terkait
dengan kedua sistem tersebut untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui
pemanfaatan sumberdaya alam (Fischer-Kowalski 2001).
Aplikasi dari konsep metabolisme biologi ke sistem sosial tergantung pada
keberlanjutan material dan energi dalam rangka pemeliharaaan struktur
33
internalnya (Fischer-Kowalski dan Haberl 1993; Ayres dan Ayres 2002). Haberl
et al. (2001); Fischer-Kowalski et al. (2001); memandang metabolisme sosial
sebagai sistem ekonomi berkaitan dengan aliran material dan energi yang diubah
dalam bentuk nilai barang dan jasa yang dikonsumsi manusia, menghasilkan
limbah, panas dan emisi lain yang dibuang ke lingkungan. Proses aliran material
dan energi dimetabolisme dalam sistem alam. Dampaknya terhadap lingkungan
dapat diukur besarannya melalui kebutuhan sejumlah material dari dan kembali ke
lingkungannya (EUROSTAT 2000).
“Profil Metabolik” suatu daerah atau negara-negara dewasa ini disajikan
dalam bentuk statistik berupa MEFA (Material and Energy Flow Accounting) dan
HANPP (Human Appropriation of Net Primary Production), perubahan tata guna
lahan, waktu tenaga kerja dan ketersediaan air, kondisi geografi, tingkat
pembangunan, pertambahan penduduk, ketersedian teknologi, kebijakan dan
regulasi lingkungan merupakan bentuk profil metabolik masyarakat (Martinez-
Alier 2008). Profil metabolik suatu daerah dapat digambarkan secara statistik
melalui pendekatan HANPP berupa perkembangan ekonomi, geografi, kepadatan
penduduk, hubungan eksternal komersil, perubahan teknologi dan peraturan
lingkungan yang menjelaskan profil metabolik spesifik, hal ini berhubungan
antara masing-masing profil metabolik dan konflik ekologi pada skala yang
berbeda (lokal, regional, nasional dan internasional) (Martines-Alier 2005).
Pendekatan HANPP digunakan untuk menilai dampak manusia terhadap fungsi
ekosistem yaitu tekanan tata guna lahan dan jasa ekosistem (produksi dan jasa
pendukung). Masyarakat sebagai kombinasi dari struktur alam dan budaya,
merupakan unit sosial yang berfungsi reproduksi manusia baik secara fisik
maupun budaya. Metabolisme sosial merupakan proses yang kompleks yang
secara fungsional dari berbagai macam aktivitas manusia (Fischer-Kowalski et al.
2001).
Secara rasional, tata guna lahan sejauh ini memberikan pengaruh secara
global terhadap perubahan siklus biogeokimia sehingga diperlukan identifikasi
aktivitas manusia dan jumlah dampak yang ditimbulkan pada ekosistem dan
menganalisisnya sebagai faktor penggerak/ drivers sosial ekonomi (Erb et al.
2009). Sistem sosial ekologi untuk pulau-pulau kecil tertera pada Gambar 5.
34
Gambar 5 Keterkaitan antara sistem sosial ekologi pulau-pulau kecil (Modifikasi
Erb et al. 2007)
Karakterisitik sistem sosial ekologi PPK dapat dipelajari dengan
mengetahui investasi sistem sosial ke sistem ekologi dan sebaliknya seberapa
besar jasa sistem ekologi memberikan manfaat pada sistem sosial yang terkait
dengan pemanfaatan ruang. Pemanfaatan ruang pesisir PPK berdasarkan
karakteristik dan daya dukungnya sehingga pengembangan setiap kawasan PPK
disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan kawasan pengembangan.
2.4.4 Pendekatan Keberkelanjutan Mata Pencaharian(Coastal Livelihood
System Analysis-CLSA)
Konsep Coastal Livelihood Analysis/ CLA dikembangkan dalam rangka
pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, dimana aspek sistem alam (ekosistem)
dan sistem manusia tidak dapat dipisahkan, yaitu CLA merupakan sebuah
pendekatan untuk strategi identifikasi mata pencaharian alternatif bagi
masyarakat pesisir terkait dengan tujuan umum pengelolaan pesisir dan laut untuk
keberlanjutan sistem sumberdaya itu sendiri (Adrianto 2005). Secara etimologis,
makna ’livelihood’ meliputi aset atau modal (alam, manusia, finansial, sosial dan
fisik/buatan), aktivitas di mana akses atas aset dimaksud dimediasi oleh
35
kelembagaan dan relasi sosial) yang secara bersama mendikte hasil yang
diperoleh oleh individu maupun keluarga (Saragih et al. 2007). Pendekatan
CLSA tersebut tertera pada Gambar 6.
Gambar 6 Kerangka konseptual untuk analisis keberlanjutan mata pencaharian (DFID 1999 dalam Clark dan Carney 2008)
Gambar di atas menunjukkan bahwa identifikasi kerentanan merupakan
aspek penting dalam kerangka CLSA dimana masyarakat pesisir biasanya rentan
terhadap kerusakan sumberdaya. Hubungan antara manusia, sumberdaya alam,
keuangan dan kapital sosial merupakan hubungan timbal balik yang tidak dapat
terpisahkan. CLSA merupakan upaya mengurangi pemanfaatan sumberdaya
pesisir dan laut yang memberikan alternatif tambahan pendapatan sekaligus
mejaga kelestarian sumberdaya alam. Dalam konteks ini, menurut Ellison dan
Allis (2001) kerangka makro dari pengembangan masyarakat pesisir terkait
dengan identifikasi mata pencaharian alternatif disajikan pada Gambar 7.
36
G
L
sistem
Step
kondis
sosial
merup
bersam
diiden
Step 2
pesisir
langsu
dilaku
memp
maupu
Step 3
yang h
Gambar 7
Langkah-lan
m insentif (E
1 : Mengum
si sumberda
ekonomi m
pakan salah s
maan interak
ntifikasi.
2 : Mengana
r dan laut,
ung berkontr
ukan. Pada
pengaruhi (d
un ekonomi.
3 : Mengide
harus dilakuk
Kerangka m (Allison da
ngkah penen
Emerton 2001
mpulkan inf
aya alam.
masyarakat pe
satu faktor p
ksi antara m
alisis pengar
melalui ide
ribusi terha
saat yang b
driven factor
entifikasi ke
kan pada tah
makro pengen Allis 2001
ntuan mata
1), terdiri ata
formasi tent
Dalam taha
esisir dan ko
penting yang
masyarakat pe
ruh masyara
entifikasi ak
adap kerusak
bersamaan d
rs) aktivitas
ebutuhan ma
hap ini. Perta
embangan m1)
pencaharian
as 5 (lima tah
tang mata p
ap ini, infor
ondisi sumb
g harus diku
esisir dan su
akat pesisir t
ktivitas masy
kan sumber
dilakukan pu
s tersebut, b
asyarakat pe
ama adalah i
ata pencahar
n masyaraka
hap) yaitu:
pencaharian
rmasi tentan
berdaya alam
umpulkan da
umberdaya a
terhadap kon
yarakat pes
daya pesisir
ula identifik
baik dalam
esisir. Ada d
identifikasi k
rian alternati
at berbasis
masyarakat
ng kondisi k
m pesisir dan
n pada saat
alam (ekosis
ndisi sumber
isir yang se
r dan laut p
kasi faktor
perspektif s
dua aspek u
kebutuhan si
if
pada
t dan
kunci
n laut
yang
stem)
rdaya
ecara
perlu
yang
sosial
utama
istem
37
insentif yang diperlukan oleh masyarakat khususnya dalam kerangka konservasi
sumberdaya pesisir dan lautan. Kedua adalah peluang penerapan sistem insentif
dalam konservasi sumberdaya pesisr dan lautan.
Step 4 : Memilih sistem insentif yang tepat untuk pengelolaan sumberdaya
berbasis masyarakat. Dalam konteks tahap ini, identifikasi dan pemilihan sistem
insentif menjadi faktor penting. Sistem insentif harus disesuaikan dengan kondisi
dan kebutuhan masyarakat pesisir seperti yang telah dilakukan pada tahap
sebelumnya.
Step 5 : Implementasi sistem insentif mata pencaharian terpilih (Gambar 8).
Pemilihan faktor insentif menjadi faktor penting, dimana harus disesuaikan
dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat pesisir.
Gambar 8 Langkah-langkah mendisain CLSA (Emmerton 2001)
Mata pencaharian alternatif dapat dikembangkan dengan langkah berikut
(DKP 2006) yaitu : 1) Menganalisis kegiatan ekonomi seluruh masyarakat
(menurut jenis kelamin, umur, pendidikan, ketrampilan, pendapatan, besarnya
keluarga, preferensi, pilihan) untuk menilai kebutuhan mereka; 2)
Mengidentifikasi berbagai program pemulihan pendapatan (perseorangan dan per
Step 1. Mengumpulkan informasi tentang karakteristik mata pencaharian masyarakat dan kondisi SDA
Step 2. Menganalisis pengaruh masyarakat terhadap kondisi sumberdaya alam
Step 3. Identifikasi sistem insentif terkait dengan pengembangan mata pencaharian masyarakat
Step 4. Memilih sistem insentif ekonomi yang tepat untuk konservasi berbasis masyarakat
Step 5.Implementasi pengembangan mata pencaharian masyarakat berbasis insentif
38
kelompok) melalui konsultasi dengan pengusaha dan analisis kelayakan pasar dan
keruangan: 3) Menguji program pelatihan dan pengembangan pendapatan dengan
masyarakat terpilih atas dasar percobaan; 4) Merumuskan kerangka pengawasan
kelembagaan dan anggaran; 5). Memacu pemasaran produk di dalam dan di luar
tempat relokasi; 6) Mengevaluasi program dan memberi bantuan teknis tambahan.
2.4.5 Konsep Pemodelan Dinamik Integrasi Wisata Perikanan
Model secara terminologi penelitian operasional diartikan sebagai suatu
perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual (Eriyatno 1999).
Model memperlihatkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan
timbal balik (sebab akibat). Suatu model merupakan seperangkat anggapan
(asumsi) mengenai suatu sistem yang rumit, sebagai usaha untuk memahami
dunia nyata yang memiliki sifat beragam sehingga mempelajari sistem sangat
diperlukan pengembangan model guna menemukan peubah-peubah (variabel)
penting dan tepat, serta menemukan hubungan-hubungan antar peubah di dalam
sistem tersebut. Pengelompokkan model yakni berupa model ikonik seperti yang
berdimensi dua (foto, peta, cetak biru), atau tiga dimensi (prototip mesin, alat),
model analog (kurva permintaan, kurva distribusi frekuensi statistik, diagram alir),
dan model simbolik seperti persamaan (equation). Kenyataannya suatu model
dapat bersifat statik dan dinamik. Model statik memberikan informasi tentang
peubah-peubah model hanya pada titik tunggal dari waktu, sedangkan model
dinamik mampu menelusuri jalur waktu dari peubah-peubah model.
Permodelan sistem merupakan salah satu metode analisis dalam
pemecahan suatu masalah dengan mengabstraksikan dari suatu objek pada situasi
yang aktual ke dalam konsep dan stukturisasi model. Tahapan dalam membangun
model simulasi komputer menurut Djojomartono (1993) adalah 1) Identifikasi dan
defenisi sistem. Tahap ini mencakup pemikiran, definisi, karakteristik yang
bersifat dinamik atau stokastik dari masalah yang dihadapi dan memerlukan
pemecahan dan mengapa perlu dilakukan pendekatan sistem terhadap masalah
tersebut. Batasan dari permasalahannya juga harus dibuat untuk menentukan
ruang lingkup sistem; 2) Konseptualisasi sistem. Tahap ini mencakup pandangan
yang lebih dalam lagi terhadap struktur sistem dan mengetahui dengan jelas
pengaruh–pengaruh penting yang akan beroperasi di dalam sistem. Struktur dan
39
kuantitatif dari model digabungkan bersama, sehingga akhirnya kedua-duanya
akan mempengaruhi efektivitas model; 3) Formulasi model. Tahap ini biasanya
model dibuat dalam bentuk kode-kode yang dapat dimasukkan ke dalam
komputer. Penentuan akan bahasa komputer yang tepat merupakan bagian pokok
pada tahap formulasi model; 4) Simulasi model. Tahap simulasi komputer
digunakan untuk menyatakan dan menentukan bagaimana semua peubah dalam
sistem berperilaku terhadap waktu. Tahapan ini perlu menetapkan periode waktu
simulasi; 5) Evaluasi model. Berbagai uji dilakukan terhadap model yang telah
dibangun untuk mengevaluasi keabsahan dan mutunya. Uji berkisar memeriksa
konsistensi logis, membandingkan keluaran model dengan data pengamatan, atau
lebih jauh menguji secara statistik parameter–parameter yang digunakan dalam
simulasi. Analisis sensitivitas dapat dilakukan setelah model divalidasi; 6)
Penggunaan model dan analisis kebijakan. Tahap ini mencakup aplikasi model
dan mengevaluasi alternatif yang memungkinkan dapat dilaksanakan.
Konsep model awal merepresentasikan secara kualitatif seluruh aspek
relevan dari sistem yang dibangun (Forrester 1994; Grant et al. 1997) untuk model
integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka dengan tahapan berikut ini.
1 Penetapan tujuan, dimulai pertanyaan yang ingin dijawab dalam pemodelan.
Bagaimana skenario pemanfaatan ruang berdasarkan keterkaitan antara
kesesuaian pemanfaatan dan daya dukung kawasan melalui integrasi wisata dan
perikanan.
2 Batasan sistem yang dibangun
Sistem yang dibangun berdasarkan kesesuaian pemanfaatan ruang dan daya
dukung secara ekologis untuk wisata dan perikanan.
3 Pengelompokan komponen yang dibatasi
Komponen sistem dikelompokkan menjadi tujuh kategori komponen sistem
yaitu :
- Variabel Keadaan (State Variables)
Variabel ini mencerminkan titik akumulasi materi di dalam sistem seperti
populasi penduduk, populasi wisatawan, total footprint, biomassa ikan.
- Variabel Pendorong (Driving Variables)
40
Variabel pendorong mempengaruhi tetapi tidak dipengaruhi oleh bagian lainnya
dari sistem integrasi wisata-perikanan yakni laju pertumbuhan intrinsik
- Konstanta (Constants)
Konstanta adalah nilai numerik yang menerangkan ciri suatu sistem yang tidak
berubah atau yang dapat digambarkan tidak berubah dibawah semua kondisi
yang disimulasikan oleh model seperti yield factor (YF), laju (kelahiran,
kematian, emigrasi, imigrasi).
- Variabel Pembantu (Auxiliary Variables)
Variabel ini muncul sebagai bagian perhitungan yang menentukan tingkat alih
materi atau nilai variabel yang lain, dan mencerminkan konsep yang
menunjukkan secara eksplisit di dalam model. Variabel pembantu mungkin juga
menggambarkan suatu produk akhir dari perhitungan seperti biocapacity (BC),
komponen footprint (built-up, energy, food and fibre), fraksi tangkapan, rasio
biomassa ikan, produksi lokal/regional per area.
- Alih Materi dan Informasi (Material and Information Transfers)
Sebuah alih materi mencerminkan peralihan secara fisik materi selama periode
tertentu : (1) antara dua variabel keadaan, (2) antara sebuah sumber (source) dan
variabel keadaan, atau (3) antara variabel keadaan dengan sebuah muara (sink).
Misalnya menghitung ecological footprint pada sub-model wisata (alih materi
biocapacity dari jumlah wisatawan di Gugus Pulau Batudaka ke ecological
footprint) atau menghitung produksi lokal/regional pada sub-model perikanan
(alih materi individu dari biomassa ikan di daerah penangkapan lokal/regional
ke produksi lokal/regional).
- Sumber dan Muara (Sources and Sinks)
Sumber dan muara menggambarkan masing-masing adalah titik asal mula
(awal) dan titik akhir alih materi masuk dan keluar dari sistem.
4 Identifikasi hubungan antar komponen
Tahapan dari perumusan model konseptual mencakup identifikasi hubungan
antar komponen sistem yang sedang dipelajari sebagai dasar pemahaman
analisis sistem yang lebih luas.
41
5 Penggambaran model konseptual
Penggambaran model konseptual pada umumnya berupa bentuk diagram
kotak dan panah. Diagram model konseptual juga menyediakan sebuah kerangka
kerja yang membantu kuantifikasi berikutnya dari model tersebut karena
persamaan dapat dikaitkan secara langsung terhadap bagian tertentu dari model
konseptual. Model konseptual tersebut dapat digunakan sebagai landasan
kebijakan, perubahan struktur, dan strategi pengelolaan sistem tersebut. Analisis
sistem dinamik bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai elemen penyusun
sistem, memahami prosesnya serta memprediksi berbagai kemungkinan keluaran
sistem yang terjadi akibat adanya perubahan di dalam sistem itu sendiri, sehingga
didapatkan berbagai alternatif pilihan yang menguntungkan secara optimal.
2.5 Integrasi Wisata dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu
Wisata (tourism) merupakan kegiatan perpindahan/perjalanan orang secara
temporer dari tempat biasa mereka menetap/bekerja ke tempat luar guna
mendapatkan kenikmatan dalam perjalanan atau ditempat tujuan (Holloway dan
Plant 1989 dalam Yulianda 2007). Dalam perkembangannya sekitar tahun 1980-
an, konsep ekowisata dipopulerkan sebagai perjalanan wisata berbasis pada alam
yang mengandung dimensi learning dan pesan pembangunan berkelanjutan
(Weaver 2001), sedangkan menurut UU Nomor 10 tahun 2009 Tentang
Kepariwisataan, wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang
atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan
rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata
yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.
Kegiatan wisata yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut sebagai
obyek wisata disebut wisata bahari. Wisata bahari merupakan aktivitas berkenaan
dengan rekreasi yang melibatkan jalan/cara perjalanan seseorang dari suatu
tempat kediaman ke tempat lain dengan fokus lingkungan laut (Orams 1999).
Sesungguhnya wisata bahari merupakan kegiatan yang memadukan antara dua
sistem yang kompleks yaitu sistem pariwisata (didominasi oleh sistem kegiatan
manusia) dan ekosistem alam laut. Berbagai kegiatan wisata bahari yang
umumnya dilakukan wisatawan di antaranya adalah, berenang, berselancar,
snorkeling, diving, beachcombing, berdayung. Menurut Wong (1998) terdapat
42
delapan macam pola wisata bahari dan empat pola di antaranya, yaitu “Beach-
huts/bungalows”, “Beach hotels”, “Island-resort”, dan “Coastal-resort” adalah
lazim dijumpai di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Pemahaman tentang pengembangan wisata bahari berada di dalam lingkup
pengembangan usaha wisata tirta, seperti yang dijelaskan di dalam pasal 14 UU
No. 10 tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, yakni usaha wisata tirta merupakan
usaha yang menyelenggarakan wisata dan olahraga air, termasuk penyediaan
sarana dan prasarana serta jasa lainnya yang dikelola secara komersial di perairan
laut, pantai, sungai dan waduk. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun
2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman
Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, bahwa Wisata alam
adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan
secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan
keindahan alam di kawasan suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya,
dan taman wisata alam.
Pariwisata berbasis pulau-pulau kecil di Indonesia menjadi potensi yang
sangat prospektif untuk dikembangkan mengingat kekayaan sumberdaya dan
keanekaragaman hayati laut yang tertinggi di dunia, serta keindahan alam pulau-
pulau kecil tentu saja menjadi daya tarik tersendiri bagi pengembangan pariwisata,
khususnya pariwisata bahari. Ekowisata (eco-tourism) sebagai kegiatan wisata
yang bertanggung jawab yang berbasis utama pada kegiatan wisata alam, yang
dilakukan pada skala kecil untuk pengunjung wisata (Wood 2002). Ekowisata
PPK (Bengen dan Retraubun 2006) berpijak pada :
(1) Partisipasi masyarakat lokal dalam perencanaan dan pengelolaan;
(2) Pengelolaan berkelanjutan pada perlindungan sumberdaya alam, lingkungan;
(3) Kolaborasi antara pemangku kepentingan (stakeholders)
Gunn (1993) mengemukakan bahwa suatu kawasan wisata yang baik dan
berhasil bila secara optimal didasarkan kepada empat aspek yaitu: (1)
mempertahankan kelestarian lingkungannya, (2) meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di kawasan tersebut, (3) menjamin kepuasan pengunjung, dan (4)
meningkatkan keterpaduan dan kesatuan pembangunan masyarakat di sekitar
kawasan dan zona pengembangannya.
43
Atas dasar karakteristik PPK, maka arahan peruntukan dan pemanfaatan
pariwisata memiliki kriteria sebagai berikut (Bengen 2002):
(1) Berjarak aman dari kawasan perikanan, sehingga dampak negatif yang
ditimbulkan tidak menyebar dan mencapai kawasan perikanan.
(2) Berjarak aman dengan kawasan lindung, sehingga dampak negatif yang
ditimbulkan oleh kegiatan di kawasan pariwisata tidak menyebar dan
mencapai kawasan lindung.
(3) Sirkulasi massa air di kawasan pariwisata perlu lancar.
(4) Pembangunan sarana dan prasarana periwisata tidak mengubah kondisi
pantai, dan daya dukung PPK yang ada, sehingga proses erosi atau
sedimentasi dapat dihindari.
Davis dan Tisdell (1996) mengemukakan bahwa daya dukung (Carrying
Capacity) di dalam tourism didefinisikan sebagai maksimum jumlah turis yang
dapat ditoleransi tanpa menimbulkan dampak tidak dapat pulih dari ekosistem dan
pada saat yang sama dan tidak mengurangi kepuasan kunjungan. Penentuan daya
dukung pada tourism dapat dibedakan dua macam yaitu (1) melihat kemampuan
fisik wilayah tujuan wisata untuk menerima kunjungan sebelum dampak negatif
timbul (biophysical component) dan (2) menemukan level dimana arus turis
mengalami penurunan akibat keterbatasan kapasitas yang muncul dari tingkah
laku (behaviour) turis itu sendiri (behavioral component) (Savariades 2000).
Selain daya dukung sumberdaya, dituntut pula perubahan perilaku manusia untuk
mengeksploitasi sumberdaya yang ada dalam pemenuhan kebutuhannya karena
semua faktor tergantung pada perbedaan pola dan dinamika konsumsi
masyarakat, infrastruktur, teknologi (Seidl dan Tisdell 1999).
Casagrandi dan Rinaldi (2002) menggunakan model wisata minimal yang
sederhana karena tidak dapat mewakili sistem spesifik tertentu secara detil, namun
model ini berisi fitur-fitur utama dari beberapa sistem. Model ini menunjukkan
suatu lokasi generik dan hanya memiliki tiga variabel yaitu: wisatawan,T(t) yang
berada dalam suatu area pada waktu t, kualitas lingkungan alam E(t) dan modal
C(t) yang ditujukan sebagai struktur untuk aktivitas wisatawan. C(t) menunjukkan
asset nyata (berupa investasi) dan tidak digabung dengan jasa pelayanan yang
disediakan bagi wisatawan (Gambar 9).
44
Gambar 9 Interaksi Komponen Minimal Model keberlanjutan Pariwisata T = wisatawan, E = lingkungan, C = modal (Casagrandi dan
Rinaldi 2002)
Model pengembangan wisata yang optimal (Gambar 9) dengan
mempertimbangkan tiga aspek yaitu lingkungan (Environmental/E), sosial
(Tourist/T) dan ekonomi (Capital/C), dimana wisatawan (T) dan fasilitas wisata
(memberikan dampak negatif bagi kualitas lingkungan (E). Pengaruh positif
kualitas lingkungan dan fasilitas wisata dapat menarik wisatawan serta dapat
menumbuhkan investasi penyediaan fasilitas baru bagi pengunjung yang
berhubungan dengan keuntungan kegiatan wisata.
2.6 Integrasi Perikanan dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu
Sejak Food and Agricultural Organization (FAO) menerbitkan “Code of
Conduct for Responsible Fisheries” (CCRF)/ Kode Etik Perikanan yang
Bertanggung Jawab pada tahun 1995 maka telah terjadi pergeseran paradigma
tentang pendekatan pengelolaan perikanan, yang sebelumnya menggunakan
pendekatan konvensional dimana pendekatan yang dipakai lebih sektoral sehingga
sedikit mengabaikan kaidah-kaidah ekologis. FAO menyebutkan bahwa
meskipun pendekatan ekosistem bukan merupakan hal yang baru dalam
pengelolaan perikanan namun masih belum banyak pembelajaran dalam
pendekatan ini, sehingga diperlukan melakukan penelitian pendekatan ekosistem
dalam pengelolaan perikanan baik secara konsep maupun teknis. Pengelolaan
sumberdaya perikanan dapat didefinisikan sebuah proses yang terpadu antara
pengumpulan informasi, melakukan analisis, membuat perencanaan, melakukan
konsultasi, pengambilan keputusan, menentukan alokasi sumberdaya, serta
perumusan dan pelaksanaan, bila diperlukan menggunakan penegakan hukum dari
45
aturan dan peraturan yang mengendalikan kegiatan perikanan dengan tujuan untuk
menjamin keberlanjutan produksi dari sumberdaya dan tercapainya tujuan
perikanan yang lainnya (FAO 1995).
Dokumen CCRF tersebut terdiri dari satu bab umum dan enam bab khusus
yang terdiri dari pengelolaan perikanan, operasi penangkapan, budidaya, integrasi
perikanan dalam pengelolaan pesisir, pasca panen, dan penelitian perikanan.
Pasal 6 ayat (4), disebutkan bahwa "Keputusan - keputusan yang mengenai
konservasi dan pengelolaan perikanan haruslah didasarkan atas bukti - bukti dan
informasi ilmiah terbaik yang tersedia, disamping juga perlu mempertimbangkan
pengetahuan tradisional mengenai sumberdaya dan habitatnya, serta faktor -
faktor lingkungan, sosial, dan ekonomi yang relevan".
Integrasi perikanan kedalam pengelolaan pesisir untuk membantu
pencapaian pemanfaatan sumberdaya pesisir yang makin langka secara rasional
khususnya ditujukan pada masalah tentang bagaimana sektor perikanan dapat
diintegrasikan ke dalam perencanaan pengelolaan pesisir sehingga interaksi antara
perikanan dan sektor lain dapat diperhitungkan dalam membuat kebijakan dan
penerapan pengelolaan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir.
FAO (1996) telah membuat panduan (Article 10 in CCRF) untuk menjelaskan
pentingnya perikanan yang bertanggung jawab. Artikel 10 berhubungan dengan
Integrasi Fisheries ke dalam Coastal Management untuk membantu pencapaian
pemanfaatan sumberdaya yang makin langka. Secara khusus, dengan
mengarahkan pada permasalahan bagaimana sektor perikanan dapat terintegrasi
ke dalam perencanaan pengelolaan pesisir sehingga interaksi-interaksi antara
sektor perikanan dan sektor-sektor lain dapat dipertimbangkan di dalam penetapan
kebijakan dan prakteknya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir.
Potensi sumberdaya dan jasa lingkungan yang prospektif untuk
dikembangkan di kawasan PPK adalah pariwisata dan sumberdaya perikanan
(Bengen dan Retraubun 2006) yang paling banyak berhubungan dengan ekosistem
karang. Adanya jenis-jenis ikan yang hidup di ekosistem karang merupakan daya
tarik yang sangat kuat bagi manusia, baik untuk kegiatan penelitian (scientific
interest), untuk penyelaman (wisata bahari) ataupun untuk diambil untuk
dikonsumsi dan dijadikan ikan hias akuarium. Berdasarkan penelitian Pusat
46
Pengembangan Oseanologi (P2O) LIPI yang dilakukan pada tahun 2000 bahwa
kondisi terumbu karang Indonesia saat ini 41.8% dalam keadaan rusak; 28.3%
dalam keadaan sedang; 23.7% dalam kondisi baik, dan hanya 6.2% masih dalam
keadaan sangat baik (DKP 2004). Kondisi terumbu karang berhubungan erat
dengan keberadaan ikan karang di suatu perairan. Semakin rusak kondisi terumbu
karang di perairan Indonesia dapat berdampak kemerosotan terhadap produksi
ikan karang di Indonesia. Diperkirakan dari 12 000 jenis ikan laut sebanyak 7 000
spesies hidup di daerah terumbu karang atau di sekitarnya, di perairan dekat pantai
(Subani dan Barus 1989). Selanjutnya dinyatakan bahwa sumberdaya perikanan
demersal merupakan sumberdaya yang poorly behaved, karena makanan
utamanya adalah plankton, kelimpahan sumberdaya ini sangat berfluktuasi dan
tergantung kepada faktor-faktor lingkungan perairannya.
Sumberdaya ikan demersal termasuk jenis-jenis ikan sidentari yang
banyak terdapat di perairan pantai (inshore), baik perairan yang bersubstrat pasir,
berbatu dan berlumpur. Pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di Indonesia
sampai saat ini masih berkisar pada usaha perikanan rakyat berskala kecil (small
scale fisheries) dan penggunaan alat tangkap yang masih sangat sederhana.
Lazimnya perikanan model ini dikenal dengan istilah perikanan artisanal (Eidman
1991). Produksi perikanan demersal yang merupakan bagian dari usaha perikanan
skala kecil sebagian besar didistribusikan pada pasar lokal (local market) dan
pasar regional (regional market). Potensi perikanan demersal tersebut dapat
memberikan kontribusi bagi pendapatan masyarakat dan pendapatan daerah, maka
pemanfaatannya harus dikendalikan dengan tetap mempertahankan kelangsungan
sumberdaya ikan dalam jangka panjang melalui tindakan antisipasi terhadap
tekanan penangkapan.
Kondisi riil sumberdaya perikanan tangkap hubungannya dengan tingkat
pemanfaatan yang terjadi dapat dianalisis dalam bentuk CPUE yaitu hubungan
antara hasil tangkapan (kg) per upaya tangkap (trip) dari masing-masing jenis ikan
yang akan menghasilkan parameter biologi (konstanta laju pertumbuhan intrinsik
dari ikan = r), teknologi penangkapan (konstanta kemampuan tangkap dari alat =
q), lingkungan (kemampuan daya dukung dari perairan = K), estimasi upaya
tangkap optimum, sediaan ikan, pertumbuhan, dan produksi hasil tangkapan
47
sebagai pembanding. Hasil penelitian Laapo et al. (2007) menunnjukkan bahwa
penentuan besarnya potensi lestari sumberdaya ikan karang dan upaya
penangkapan optimum di perairan Tojo Una-Una untuk menentukan nilai
parameter biologi, teknologi, dan lingkungan menggunakan pedekatan Model
Equilibrium Schaefer sebagai model yang paling baik dibandingkan dengan yang
lain.
Perilaku variabel populasi dan produktivitas perikanan dapat dianalisis
dengan menggunakan pendekatan sistem dinamik, untuk mengestimasi tingkat
pemanfaatan optimal sumberdaya perikanan di kawasan pesisir PPK. Pendekatan
dinamik untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan tetera pada Gambar 10.
Gambar 10 Pendekatan dinamik EF perikanan untuk kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil (Adrianto dan Matsuda 2004)
Pendekatan sistem dinamik EF perikanan dibangun dari tiga sub ststem
yaitu populasi, sektor hasil perikanan dan konsumsi nyata. Submodel populasi
dihitung berdasarkan model verhulst, Submodel sektor hasil perikanan
berdasarkan model logistik Gompertz dan Submodel konsumsi nyata berdasarkan
Haberl (2001).
2.7 Konsep Model Integrasi Wisata-Perikanan dalam Pengelolaan Daerah
Konservasi
Konsep pengelolaan wilayah pesisir berbeda dengan konsep pengelolaan
sumberdaya di wilayah pesisir yang mengelola semua orang dan segala sesuatu
yang ada di wilayah pesisir. Contoh dari pengelolaan yang berbeda dengan
Sistem Dinamik Produktivitas Hasil
Sistem Dinamik Konsumsi
Sistem Dinamik Populasi
Sistem Dinamik Ecological Footprint Perikanan
48
pengelolaan wilayah pesisir : pengelolaan perikanan, pengelolaan hutan pantai,
pendidikan dan kesehatan, namun contoh-contoh tersebut tidak melihat wilayah
pesisir sebagai target. Fokus utama dari konsep pengelolaan wilayah pesisir
adalah pada karakteristik wilayah dari pesisir itu sendiri yakni inti dari konsep
pengelolaan wilayah pesisir adalah kombinasi dari pembangunan adaptif,
lingkungan, ekonomi, dan terintegrasi dengan sistem sosial. Selanjutnya konsep
pengelolaan wilayah pesisir didalam filosofinya mengenal prinsip keseimbangan
antara pembangunan dan konservasi. Pembangunan berkelanjutan berdasarkan
prinsip-prinsip lingkungan juga memasukkan konsep keseimbangan (Gambar 11)
ketergantungan waktu dan keadilan sosial (Kay and Alder, 2005).
Gambar 11 Konsep sederhana keseimbangan di dalam pengelolaan wilayah pesisir (Kay dan Alder 2005)
Pembangunan berkelanjutan menjadi paradigma utama dalam khasanah
dunia pengelolaan wilayah pesisir pada akhir abad 20. Young pada tahun 1992
memperkenalkan sejumlah tema yang mendasari konsep berkelanjutan, yakni
integritas lingkungan, efisiensi ekonomi, dan keadilan sosial (Kay dan Alder
2005). Prinsip pembangunan berkelanjutan untuk pengelolaan wilayah pesisir :
1. Instrumen ekonomi lingkungan telah menjadi instrumen pengambilan
keputusan, yang memasukkan parameter lingkungan untuk melihat ke
depan melalui analisis biaya manfaat;
2. Isu lingkungan di dalam pembangunan berkelanjutan seperti konservasi
keanekaragaman hayati menjadi perhatian utama dalam pengambilan
keputusan;
3. Kualitas hidup manusia pada saat sekarang dan masa yang akan datang
sangat diperhatikan dalam pembangunan berkelanjutan.
Kata integrasi menjadi begitu penting dalam pengelolaan wilayah pesisir.
Beberapa kelompok integrasi yang harus dilakukan di dalam pengelolaan wilayah
49
pesisir (Cicin-Sain 2002) adalah : integrasi antar sektor di wilayah pesisir,
integrasi antar kawasan perairan dan daratan di dalam zonasi pesisir, integrasi
antar pengelola tingkat pemerintahan, integrasi antar negara, dan integrasi antar
berbagai disiplin.
Keterpaduan merupakan aspek yang sangat esensial dalam sistem
pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, yang tidak hanya menjamin kecocokan
secara internal antara kebijakan dan program aksi, antara proyek dan program,
tetapi juga menjamin keterkaitan antara perencanaan dan pelaksanaan.
Berdasarkan jenis keterpaduan dapat dibedakan atas tiga jenis keterpaduan, yaitu
keterpaduan sistem, keterpaduan fungsi dan keterpaduan kebijakan (Chua 1993).
Keterpaduan sistem memasukkan pertimbangan dimensi spasial dan temporal
sistem sumberdaya pesisir dalam persyaratan fisik perubahan lingkungan, pola
pemanfaatan sumberdaya dan penataan sosial ekonomi. Keterpaduan ini
menjamin bahwa isu-isu relevan yang muncul dari hubungan secara fisik-biologi,
sosial dan ekonomi ditangani secara cukup, sertan membutuhkan berbagai
ketersediaan informasi yang dibutuhkan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir.
Keterpaduan fungsional berkaitan dengan hubungan antara berbagai kegiatan
pengelolaan seperti konfirmasi antara program dan proyek dengan tujuan dan
sasarannya, mengupayakan tidak terjadinya duplikasi antar lembaga yang terlibat,
tetapi saling melengkapi. Penyusunan zonasi pesisir yang mengalokasikan
pemanfaatan sumberdaya secara spesifik merupakan salah satu bentuk efektif dari
keterpaduan fungsional. Keterpaduan kebijakan sangat esensial untuk menjamin
konsistensi dari program pengelolaan pesisir terpadu dalam konteks kebijakan
pemerintah pusat dan daerah serta untuk memelihara koordinasi. Tujuan akhir
adalah mengintegrasikan program pengelolaan pesisir secara terpadu ke dalam
rencana pembangunan ekonomi nasional dan daerah. Kebijakan dan strategi
penyuluhan pesisir harus dapat mengadopsi perubahan yang terjadi di wilayah
pesisir dan konsisten dengan tujuan pembangunan ekonomi nasional.
2.7.1 Wisata
Pendekatan pembangunan wisata berkelanjutan dengan memelihara
sumberdaya alam, budaya dan sumberdaya lain untuk satu penggunaan
berkepanjangan di masa mendatang, namun masih bermanfaat bagi generasi
50
sekarang. Pendekatan ini adalah penting karena pembangunan wisata bergantung
kepada atraksi dan aktivitas terkait ke lingkungan alami, warisan bersejarah dan
pola budaya dari daerah tersebut. Apabila sumberdaya alam ini terdegradasi atau
punah, maka daerah wisata tersebut tidak menarik bagi wisatawan dan pariwisata
tidak akan berhasil. Satu hal yang penting dari manfaat wisata adalah bila
dikembangkan melalui konsep keberlanjutan ini dapat membantu dan membayar
biaya konservasi dari satu kawasan sumberdaya alam dan budaya tersebut (WTO
1994). Perencanaan wisata dan implementasi yang tidak konsisten dilakukan
dapat mengakibatkan perkembangan wisata akan ‘menghancurkan’ sumberdaya
dan menjadi tidak berkelanjutan. Oleh karena itu diperlukan membuat industri
wisata sadar akan pentingnya menyatukan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan pada perencanaan dan bertambahnya kunjungan yang terus menerus
seharusnya tidak lagi menjadi kriteria utama untuk pengembangan wisata. Hal
penting yang diperlukan adalah pendekatan pengembangan wisata yang integratif
yang bertujuan memproteksi lingkungan, menjamin bahwa wisata menguntungkan
penduduk lokal dan membantu pelestrian warisan budaya di negara tujuan wisata
(WTO 2000). Kode etik tersebut meliputi ketentuan yang mencakup aturan bagi
daerah tujuan wisata, pemerintah, penyelenggara tour, pengembang, biro
perjalanan, pekerja dan bagi para wisatawan. Industri wisata yang berkelanjutan
yaitu menggunakan sumberdaya alam yang berkelanjutan, penurunan konsumsi
berlebihan dan sampah, mempertahankan keberagaman, integrasi wisata ke dalam
perencanaan, ekonomi pendukung, pelibatan komunitas lokal, konsultasi
pemegang saham dan masyarakat, pelatihan staf, tanggung jawab pemasaran
wisata dan pelaksanaan penelitian (Farsari dan Prastacos 2001). 2.7.2 Perikanan
Pengelolaan sumberdaya dan partisipasi masyarakat di PPK memberikan
dampak yang baik dengan melibatkan masyarakat, seperti pengalaman
pengelolaan pada Pulau Pohnpei di Micronesia, dengan konsep integrasi
pengelolaan kawasan pesisir harus menyesuaikan dengan kondisi-kondisi geografi
dan sosial di PPK. Pengelolaan dan perencanaan PPK sebagai fokus strategi
dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam usaha perencanaan yang
mengacu pada tiga dimensi: spatial-ecological, structural-political dan
51
processural-temporal. Dimensi spatial-ecological berdasarkan pertimbangan
geografi mengingat PPK mempunyai ukuran kecil, konsep yang holistik suatu
kawasan pesisir semua pulau-pulau yang terfokus mengenai ruang (Dahl 1997).
Keterpaduan dalam pengelolaan daerah konservasi dapat didekati dengan
pemodelan sistem secara spasial, sehingga diperlukan penataan dan penempatan
setiap kegiatan pembangunan di wilayah pesisir dan laut secara tepat dan akurat
berdasarkan potensi dan kemampuan lahan pesisir (Kusumastanto 2004). Sebagai
contoh, pengembangan strategi yang dapat dilakukan untuk mendukung
penguatan progran mata pencaharian alternatif pada kegiatan perikanan
berkelanjutan (Smith et al 2005) tertera pada Tabel 7.
Tabel 7 Pengembangan strategi untuk peningkatan pendapatan pada kegiatan perikanan berkelanjutan No.
Strategi mata pencaharian
Fungsi mata pencaharan perikanan
1 Bertahan/survival Subsisten (produksi makanan dan pendapatan) Nutrisi (protein, mikronutrien, vitamin) 2 Diversifikasi semi subsisten Konsumsi sendiri-nutrisi dan keamanan pangan Tenaga kerja dalam pertanian Sumber keruangan Diversifikasi untuk :
- Tenaga kerja dan konsumsi rokok - pengurangan resiko - strategi perlawanan terhadap schok 3 Spesialisasi sebagai nelayan Pasar (produksi dan pendapatan)
Akumulasi 4 Akumulasi diversifikasi Akumulasi Retensi dari strategi akumulasi diversifikasi Rekreasi Sumber : Smith et al (2005)
2.8 Penelitian Terdahulu
Kajian pemanfaatan wisata-perikanan di kawasan pulau-pulau kecil
banyak dilakukan dengan mengacu pada konsep pendekatan ekosistem (Bass dan
Dalal-Clayton 1995). Pengelolaan dan pembangunan PPK dilakukan dengan
pendekatan yang bersifat spesifik lokasi (site spesifik) sesuai dengan karakteristik
masing-masing PPK tersebut. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu,
sustainability/ keberlanjutan pengelolaan PPK merupakan suatu konsep
pengelolaan yang memperhatikan keberlanjutan sumberdaya alam berdasarkan
sifat strong sustainability maupun weak sustainability. Keberlanjutan berdasarkan
52
weak sustainability merupakan konsep dasar aset/modal ekonomi (mesin, lahan,
tenaga kerja, dan pengetahuan) dan aset alam (sumberdaya alam dan lingkungan)
sebagai total aset, aset buatan sebagai bagian dari aset alam. Strong sustainability
memuat tiap jenis aset secara terpisah, menilai keberlanjutan terhadap daya
dukung sumberdaya alam, melindungi ekosistem kritis (Ayres et al. 2000; Bergh
2000). Beberapa kajian dengan konsep strong sustainability yang relevan dengan
penelitian ini tertera pada Tabel 8.
53
Tabel 8 State of the art dan tinjauan hasil penelitian terdahulu
No. Peneliti Pendekatan Penelitian
Isu dan Permasalahan
Kesesuaian Pemanfaatan
Daya Dukung Ekologi
Daya Dukung Sosial
Daya Dukung Ekonomi
Tinjauan
1 Manafi (2010)
Ekologi-Ekonomi
Deskriptif GIS, LIT (sekunder)
Air Tawar, Yulianda et al. (2009)
Deskriptif TEV Optimasi pemanfaatan ruang secara spasial untuk pariwisata dan perikanan (ecovalue space)
2 Kasnir (2010)
Ekologi-Sosial
Deskriptif GIS, LIT Yulianda et al. (2009)
Deskriptif Valuasi Ekonomi
Optimasi pemanfaatan ruang secara spasial untuk minawisata bahari menggunakan Linier Goal programming/ LGP dan Multi Dimension Scale/MDS)
3 Laapo (2010)
Ekologi-Ekonomi
Deskriptif GIS, LIT Yulianda et al. (2009), Indeks Pencemaran
Deskriptif Valuasi Ekonomi
Optimasi pengelolaan ekowisata menggunakan LGP, MDS, dan analisis dinamik dapat dicapai dengan menerapkan kebijakan terpadu antara program konservasi sumberdaya ekowisata (fee konservasi), kegiatan ekowisata berbasis terumbu karang, mangrove dan budaya (diversifikasi kegiatan ekowisata dan peningkatan harga produk ekowisata bahari), peningkatan kenyamanan, partisipasi masyarakat lokal, peningkatan penyediaan infrastruktur penunjang, pembatasan dan distribusi kunjungan wisman pada lokasi dan waktu tertentu.
4 Sulistiawati (2011)
SES DPSIR GIS, LIT Temporal
EFA (TEF, FEF)
HANPP, CLSA
Valuasi Ekonomi
Integrasi pemanfaatan ruang secara spasial dan temporal untuk wisata- perikanan