2. LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Pemasaran · mengembangkan produk bernilai dengan harga yang dapat...
Transcript of 2. LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Pemasaran · mengembangkan produk bernilai dengan harga yang dapat...
Universitas Kristen Petra
7
2. LANDASAN TEORI
2.1. Konsep Pemasaran
Menurut Kotler dan Armstrong (2006), “pemasaran adalah proses dimana
perusahaan menciptakan nilai untuk pelanggannya dan membangun relasi yang
kuat untuk mendapatkan keuntungan dari pelanggannya sebagai timbal balik.”
Jadi Pemasaran bukan hanya sebagai kegiatan “telling” dan “selling” yang pada
umumnya dipersepsikan oleh kebanyakan orang namun ada hal baru dari konsep
pemasaran yaitu memuaskan kebutuhan pelanggannya. Dan jika pemasar telah
melakukan tugas dengan baik yaitu mengerti keinginan konsumen,
mengembangkan produk bernilai dengan harga yang dapat diterima, sistem
distribusi, dan promosi yang efektif maka produk akan dijual dengan mudah.
Secara sederhana Kotler dan Armstrong (2006), menggambarkan proses
pemasaran yaitu sebagai berikut:
Gambar 2.1 Skema Sederhana dari Proses Pemasaran
Sumber: Kotler dan Armstrong (2006)
Langkah pertama yaitu pemasar harus memahami pasar dan kebutuhan serta
keinginan pelanggan yang menjadi target. Kebutuhan dan keinginan pelanggan
dipenuhi melalu apa yang ditawarkan oleh pemasaran, yaitu kombinasi dari
produk, jasa, informasi, atau pengalaman yang diberikan ke pasar untuk
memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan. Langkah berikutnya yaitu
Memahami pasar dan kebutuhan serta keingan kostomer
Desain strategi pemasaran berdasar kostomer
Membangun program pemasaran yang memberikan nilai yang superior
Mendapatkan value dari kostomer yang memberikan profit dan kualitas untuk kostomer
Bangun Hubungan yang menguntungkan dan menyenangkan kostomer
Universitas Kristen Petra
8
mendesain strategi pemasaran berdasarkan pelanggan, disini maksudnya adalah
pihak pemasar terlebih dahulu menentukan pelanggan mana yang akan menjadi
target, pelanggan yang sesuai dengan produk yang akan dikembangkan dan yang
paling memberikan keuntungan. Manajemen pemasaran tentu akan mendesain
strategi yang akan membangun relasi yang menguntungan dengan target
pelanggan. Langkah ketiga yaitu menyiapkan program atau strategi pemasaran
untuk pelanggan mengenai bagaimana perusahaan akan melayani dan
memberikan nilai kepada target pelanggannya. Dalam membangun relasi dengan
pelanggan dengan mengimplementasikan strategi yang telah disusun, dimana
strategi ini berisikan pemasaran mix yang terdiri dari product, price, place dan
promotion. Ketiga langkah awal dari proses pemasaran yaitu memahami pasar
dengan memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan, mendesain strategi
pemasaran yang berdasarkan target pelanggan, dan pembuatan program
pemasaran, semua langkah ini membawa pemasar pada langkah terakhir yang
paling penting yaitu membangun relasi yang menguntungkan dengan pelanggan.
Customer relationship management (CRM) mungkin merupakan konsep yang
paling penting untuk modern pemasaran. Dalam arti yang lebih luas CRM adalah
proses keseluruhan dari membangun dan memelihara huungan yang
menguntungkan dengan pelanggan dengan memberikan nilai dan kepuasan yang
superior untuk pelanggan. Dengan penjelasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan
bahwa konsep pemasaran yaitu mencapai tujuan organisasi yang bergantung pada
pemahaman pada kebutuhan dan keinginan target pasar dan memberikan kepuasan
kepada target pasar tersebut lebih baik dari yang dilakukan oleh kompetitor.
2.2 Strategi Pemasaran
Pada langkah kedua dan selanjutnya dari proses pemasaran telah
memperlihatkan bagian dari membangun strategi pemasaran yang efektif. Strategi
didefinisikan sebagai keseluruhan dari misi dan tujuan perusahaan. Pelanggan
adalah pusat dari seluruh kegiatan di perusahaan. Perusahaan harus memenangkan
pelanggan dari kompetitornya kemudian memelihara dan mengembangkan
hubungan dengan memberikan nilai yang lebih kepada pelanggan. Tujuannya
adalah membangun hubungan yang kuat dan menguntungkan dengan pelanggan.
Universitas Kristen Petra
9
Untuk mencapai hal tersebut perusahaan perlu mengenal dengan baik siapa target
pelanggan, terlebih dahulu perusahaan melakukan segmentation, targeting dan
positioning, sampai akhirnya perusahaan mendapat target pelanggannya. Dengan
demikian perusahaan membutuhkan strategi pemasaran, yaitu pemasaran secara
logis di mana perusahaan berharap untuk mencapai tujuan pemasarannya, yaitu
relasi yang menguntungan. Strategi pemasaran pada dasarnya adalah jawaban dari
pertanyaan: Bagaimana perusahaan memberikan nilai yang superior kepada
konsumen yang menjadi target pasarnya. Maka dari itu untuk menjawab
pertanyaan tersebut membutuhkan formulasi yang konsisten dari Marketing Mix.
Berdasarkan dengan strategi pemasarannya, perusahan mendesain marketing mix
yang mengontrol beberapa hal yaitu product, price, place, dan promotion.
2.2.1 Marketing Mix
Ketika perusahaan telah memutuskan strategi pemasaran secara
keseluruhan, maka langkah berikutnya adalah menyiapkan pemasaran mix.
Pemasaran Mix menurut Kotler dan Armstrong (2006) adalah “alat taktikal
pemasaran yang terdiri dari hal yang dapat dikendalikan oleh perusahaan”, yaitu:
1. Price
Kotler dan Armstrong (2006) yaitu “sejumlah uang yang harus pelanggan
bayarkan untuk mendapatkan barang atau jasa atau sejumlah nilai yang konsumen
tukarkan dengan manfaat dari mempunyai atau menggunakan produk atau jasa.”
Harga adalah satu-satunya alat bauran pemasaran yang perusahaan gunakan untuk
mencapai tujuan pemasarannya. Keputusan harga harus dikoordinasikan dengan
desain produk, distribusi, dan keputusan promosi untuk membentuk program
pemasaran yang konsisten dan efektif. Keputusan dibuat untuk variabel-variabel
bauran pemasaran lainnya yang dapat mempengaruhi keputusan penetapan harga.
Sebuah kebijakan penetapan harga oleh peritel adalah faktor yang sangat penting
dan harus diputuskan dalam hubungannya dengan target pasar, produk dan
layanan, dan kondisi kompetisi.
Universitas Kristen Petra
10
2. Promotion
Pemasaran modern tidak hanya sekedar mengembangkan produk baru yang
bagus, memberikan penawaran harga yang menarik, dan membuat produk tersedia
untuk target konsumennya. Perusahaan juga harus berkomunikasi dengan
pelanggannya, aktifitas komunikasi ini yang kemudian disebut promosi. Menurut
Kotler dan Armstrong (2006), “promosi adalah aktifitas untuk memperkenalkan
produk dan membujuk target pelanggan untuk membelinya.” Program komunikasi
pemasaran keseluruhan dari perusahaan disebut dengan promotion mix, yang
terdiri dari advertising, personal selling, sales promotion, dan public relation,
yang perusahaan gunakan untuk mencapai tujuan advertising dan pemasarannya.
Peritel menggunakan alat promosi pada umumnya, advertising, personal
selling, sales promotion, dan public relation, untuk menjangkau konsumen.
Peritel akan mengiklankan di koran, majalah, radio, dan televisi. Personal selling
membutuhkan pelatihan untuk tenaga penjualan dalam cara untuk menyapa
pelanggan, memenuhi kebutuhan, dan menangani keluhan pelanggan. Promosi
penjualan mungkin termasuk demonstrasi didalam toko, displays, dan kontes.
Kegiatan public relations, seperti konferensi pers dan pidato, pembukaan toko,
acara khusus, newsletter, majalah, dan kegiatan pelayanan publik, selalu tersedia
untuk pengecer.
3. Place
Yaitu aktifitas dari perusahaan yang membuat produk tersedia ke tempat
yang dapat dijangkau pelanggan. Dalam hal ini place merupakan hal-hal yang
berhubungan dengan distribusi. Kesuksesan suatu produk bukan hanya bergantung
dengan performa dari produk itu saja, tetapi bagaimana produk tersebut mudah
didapatkan oleh target konsumen, dalam hal ini ada pihak lain yang terlibat dalam
distribusi produk dari produsen ke pengguna akhir, yaitu perantara distribusi.
Terdapat dua fungsi utama saluran perantara, yaitu wholesaling dan retailing.
Wholesaling adalah semua aktifitas termasuk menjual barang dan jasa yang
pembeliannya bertujuan untuk dijual kembali atau untuk proses bisnis lainnya.
Sedangkan retailing adalah semua aktifitas termasuk menjual barang dan jasa
langsung kepada pengguna akhir bukan untuk dijual kembali atau nonbusiness
Universitas Kristen Petra
11
use. Beberapa pihak yaitu produsen, wholesaler, dan retailer, melakukan
retailing. Namun yang dikatakan retailer adalah yang mempunyai bisnis dimana
penjualan utamanya berasal dari retailing.
Peritel sering mengutip tiga faktor penting dalam kesuksesan ritel yaitu
lokasi, lokasi, dan lokasi. Sebuah lokasi pengecer adalah kunci untuk menarik
pelanggan. Dan biaya sewa bangunan atau fasilitas memiliki dampak besar pada
keuntungan pengecer. Dengan demikian, keputusan lokasi adalah yang paling
penting yang harus dibuat oleh peritel.
4. Product
Yaitu barang dan atau jasa yang ditawarkan oleh perusahaan kepada target
pelanggannya. Produk merupakan elemen kunci dari penawaran oleh perusahaan.
Marketing mix dimulai dengan memperkenalkan sesuatu yang akan membawa
nilai kepada target pelanggan. Kesuksesan suatu produk tergantung dari
kemampuan untuk membedakan target market dari suatu produk dengan produk
lainnya. Tiga elemen penting dari suatu produk adalah manfaat produk, atribut
produk, dan jasa penunjang dari produk tersebut. Ketiganya secara komprehensif
mewujudkan tingkat kualitas produk yang akan memberikan tingkat kepuasan
tertentu kepada konsumen.
Kotler dan Armstrong (2006) mengklasifikasikan produk berdasarkan
konsumen yang menggunakan produk tersebut, yaitu menjadi dua macam
klasifikasi, antara lain:
a. Produk Konsumen, yaitu produk yang dibeli oleh konsumen akhir untuk
konsumsi pribadi. Produk konsumen juga terbagi lagi menjadi beberapa
klasifikasi, antara lain:
i. Convenience Product, yaitu barang dan jasa yang biasa dibeli oleh
konsumen berkali-kali, secara cepat dan dengan usaha pembelian serta
perbandingan produk yang minimum. Contohnya adalah produk
kebutuhan sehari-hari.
ii. Shopping Product, yaitu produk dan jasa konsumen yang tidak terlalu
sering dibeli dan dalam proses pembeliannya konsumen akan
mempertimbangkan secara berhati-hati dalam hal kecocokan, kualitas
Universitas Kristen Petra
12
harga, dan gaya. Contohnya adalah produk-produk pakaian, laptop,
televisi, telepon genggam, dan lain sebagainya.
iii. Specialty Product, yaitu produk dan jasa konsumen dengan
karakteristik yang unik dan memiliki merek tertentu yang mana
sejumlah pembeli akan membuat usaha pembelian khusus terhadap
produk tersebut. Contohnya adalah barang mewah seperti motor
Harley-Davidson.
iv. Unsought Product, produk-produk yang tidak terlalu dikenal ataupun
dikenal oleh konsumen yang mana konsumen tidak memiliki inisiatif
untuk membelinya. Contohnya adalah jasa asuransi.
b. Produk Industri, yaitu produk yang dibeli oleh individu atau badan
organisasi untuk diproses lebih jauh lagi atau untuk digunakan dalam bisnis
tertentu.
2.3 Strategi Produk
Strategi produk meliputi rencana pengembangan produk baru, pengelolaan
berbagai program demi keberhasilan produk, dan pemilihan keputusan untuk
mengatasi masalah-masalah produk seperti pengurangan biaya atau peningkatan
kualitas produk. Strategi produk juga terdiri atas pembentukan nilai produk dan
pengelolaan produk untuk permormansi secara menyeluruh (dalam Kamrussamad,
2006).
2.3.1 Merek
Penggunaan merek merupakan salah satu cara untuk membedakan produk
perusahaan dengan produk kompetitornya. Mungkin hal yang paling membedakan
dari seorang profesional marketer adalah kemampuan untuk membangun dan
mempertahankan suatu merek. “Merek adalah sebuah nama, istilah, desain,
simbol, ataupun gabungan dari semua itu yang mengidentifikasi produk dari
produsen tertentu dan membedakan produk-produk tersebut dari produk milik
kompetitor.” Nama merek merupakan bagian dari merek yang dapat diucapkan
termasuk huruf, kata-kata, dan angka. Sedangkan bagian dari merek yang tidak
dapat diucapkan disebut dengan logo merek (Lamb, Hair, McDaniel, 2004).
Universitas Kristen Petra
13
Ada tiga tujuan dengan menggunakan merek pada produk yaitu untuk
mengidentifikasi produk, menciptakan pengulangan pembelian, dan penjualan
produk baru. Dan yang terpenting dari ketiga tujuan diatas adalah identifikasi
produk. Merek dibedakan menjadi dua yaitu Manufacturer’s Brand dan Private
Brand (Lamb, Hair, McDaniel, 2004).
2.3.2 Private Label
Peritel selalu mencari strategi pemasaran baru untuk menarik dan
mempertahankan pelanggannya. Variasi produk yang terdapat dalam satu ritel
harus berbeda dengan kompetitornya sehingga dapat memberikan perbedaan
antara satu ritel dengan yang lain. Salah satu strategi adalah mempunyai produk
yang tidak dipunyai oleh kompetitor seperti private brands.
Private Label Brands merupakan salah satu strategi yang diterapkan oleh
peritel ditengah tingginya tingkat persaingan dibisnis ritel. Para peritel terus
berpikir untuk menemukan strategi agar penjualan tidak menurun seiring dengan
pertumbuhan jumlah kompetitor. Menurut Bridson dan Evans (2004) peritel
membutuhkan alasan yang bagus untuk pelanggannya untuk berbelanja di toko
miliknya bukan di toko milik kopetitor, juga peritel harus menciptakan
diferensiasi dan loyalitas atas toko (dalam Yang dan Wang, 2010).
Menurut Lamb, Hair, McDaniel (2004), Private label Brands yang dikenal
juga sebagai store brand, merupakan nama merek ini dimiliki oleh peritel yang
bersangkutan. Misalnya Hypermart menjual produk-produk private label dengan
merek Value Plus. Sedangkan Menurut Dick, Richard dan Koskinen (2000)
Private Label Brands adalah : “any product with a retailer-owned name on it”.
Dengan demikian Private Label Brands adalah produk yang dibuat oleh peritel
dengan nama perusahaan ritel yang memproduksinya.
Menurut Dick, Richard, dan Koskinen (2000), produk Private Label Brands
dapat diklasifikasikan sebagai berikut (dalam Sapto, 2010):
i. Store brands: produk menggunakan nama peritel pada kemasan
produk private label.
ii. Store Sub-brands: produk menggunakan merek yang berisikan dua
nama, nama peritel dan nama produk.
Universitas Kristen Petra
14
iii. Generic brands: produk private label yang diberi merek independen,
tidak ada kaitan dengan nama peritel.
iv. Individual brands: produk yang dimiliki peritel tetapi dianggap sebgai
merek individu, nama merek yang digunakan hanya untuk satu
kategori produk.
v. Exclusive brands: secara definisi bukan produk private label tetapi
mempunyai beberapa kesamaan karakteristik, produk ini bukan
murni produk peritel tetapi bekerja sama dengan supplier.
Private label merupakan satu strategi pengusaha ritel yang diunggulkan
untuk meraih konsumen. Private label merupakan diferensiasi merek dari peritel,
dimana merek tidak sama dan tidak tergantikan dengan merek di toko lain.
Adapun hal yang menjadi kelebihan untuk peritel yang menjual Private Label
Brands yaitu peritel dapat mendapakan keuntungan yang lebih besar dari produk
dengan mereknya sendiri. Karena Private Label Brand bersifat eksklusif, sehingga
tekanan untuk menurunkan tingkat harga akibat persaingan lebih rendah (Lamb,
Hair, McDaniel, 2004)
2.4 Perilaku Konsumen
Aktivitas Pemasaran bermula dengan memahami kebutuhan dan keinginan
konsumen. Dalam mengenal konsumen perlu mempelajari perilaku konsumen
sebagai perwujudan dari seluruh aktivitas jiwa manusia dalam kehidupan sehari-
hari, yaitu memahami apa yang konsumen pikirkan (kognisi), dan yang konsumen
rasakan (pengaruh), apa yang konsumen lakukan (perilaku) dan serta apa dan
dimana (kejadian disekitar) yang mempengaruhi serta dipengaruhi oleh apa yang
dipikirkan, dirasa, dan dilakukan serta dipengaruhi oleh apa yang dipikirkan,
dirasa, dan dilakukan konsumen.
Persepsi-persepsi pengaruh orang lain dan motivasi-motivasi internal akan
berinteraksi untuk menentukan keputusan terakhir yang dianggap paling sesuai.
Perilaku mengacu pada tindakan atau respon dari konsumen yang dapat
diobservasi dan dapat diukur secara langsung (Peter & Olson, 2008). Perilaku
merupakan hal yang kritikal untuk strategi pemasaran karena hanya melalui
perilaku ini, penjualan terjadi, dan keuntungan didapatkan. Menganalisis,
Universitas Kristen Petra
15
memahami, dan mempengaruhi perilaku konsumen ini merupakan hal yang
penting bagi para pemasar. Sedangkan menurut American Marketing Association
perilaku konsumen merupakan interaksi dinamis antara afeksi dan kognisi,
perilaku, dan lingkungannya dimana manusia melakukan kegiatan pertukaran
dalam hidup (dalam Setiadi, 2003). Dari definisi ini terdapat tiga hal penting,
yaitu, perilaku konsumen adalah dinamis, melibatkan interaksi antara afeksi dan
kognisi, perilaku dan kejadian disekitar, dan melibatkan pertukaran.
Perilaku konsumen bersifat dinamis, yaitu berarti bahwa perilaku seorang
konsumen, kelompok konsumen, ataupun masyarakat luas selalu berubah dan
bergerak sepanjang waktu. Hal ini berarti bahwa generalisasi perilaku konsumen
biasanya terbatas untuk jangka waktu tertentu, produk, dan individu atau
kelompok tertentu. Dalam hal pengembangan strategi pemasaran, sifat dinamis
perilaku konsumen menyiratkan bahwa seseorang tidak boleh berharap bahwa
suatu strategi pemasaran yang sama dapat memberikan hasil yang sama
disepanjang waktu, pasar dan industri.
Perilaku konsumen melibatkan pertukaran, membuat definisi perilaku
konsumen tetap konsisten dengan definisi pemasaran yang sejauh ini juga
menekankan pertukaran. Kenyataannya, peran pemasaran adalah untuk
menciptakan pertukaran dengan konsumen melalui formulasi dan penerapan
strategi (Setiadi, 2003).
Solomon (2002) membagi perilaku konsumen secara lebih detail melalu tiga
proses, yaitu perilaku sebelum pembelian, perilaku saat pembelian, dan perilaku
setelah pembelian. Perilaku sebelum pembelian meliputi bagaimana konsumen
memutuskan apakah memerlukan produk atau tidak dan sumber-sumber informasi
yang digunakan konsumen untuk mendapatkan produk tersebut. Perilaku saat
pembelian meliputi pengalaman menyenangkan atau sebaliknya yang konsumen
dapatkan ketika melakukan pembelian, terutama saat proses pemilihan sampai
pembayaran suatu barang. Perilaku setelah pembelian meliputi apakah produk
yang dibeli konsumen menimbulkan kesenangan dan berfungsi dengan baik sesuai
harapan konsumen. Hal ini didapat dilihat dalam penjelesan oleh gambar 2.2.
Universitas Kristen Petra
16
Gambar 2.2 Consumer’s Perspective
Sumber: Solomon (2002)
Menurut Engel, Blackwell, Miniard dalam Saladin terdapat tiga faktor yang
mempengaruhi perilaku konsumen, yaitu:
a. Pengaruh lingkungan, terdiri dari budaya, kelas social, keluarga dan situasi.
Sebagai dasar utama perilaku konsumen adalah memahami pengaruh
lingkungan yang membentuk atau menghambat individu dalam mengambil
keputusan mengkonsumsi. Konsumen hidup dalam lingkungan yang
kompleks, dimana perilaku keputusan konsumen dipengaruhi oleh keempat
faktor tersebut.
b. Perbedaan dan pengaruh individu, terdiri dari motivasi, keterlibatan,
pengetahuan, sikap, kepribadian, gaya hidup, dan demogrfi. Perbedaan
individu merupakan faktor internal (interpersonal) yang menggerakan serta
mempengaruhi perilaku. Kelima faktor tersebut akan memperluas pengaruh
perilaku konsumen dalam proses keputusannya.
c. Proses psikologis, terdiri dari pengolahan informasi, pembelajaran,
perubahan sikap dan perilaku. Ketiga faktor tersebut menambah minat utama
dari penelitian konsumen sebagai faktor yang turut mempengaruhi perilaku
konsumen dalam pengambilan keputusan pembelian (dalam “Mengenal
Perilaku Konsumen, n.d.).
Universitas Kristen Petra
17
2.4.1 Perilaku Pembelian Konsumen
Proses pengambilan keputusan setiap konsumen berbeda-beda tergantung
pada jenis keputusan pembelian. Pembelian yang rumit atau mahal akan
melibatkan lebih banyak pertimbangan. Assael (1998) membedakan 4 jenis
perilaku pembelian konsumen berdasarkan tingkat keterlibatan pembeli dan
tingkat diferensiasi merek (dalam Sapto, 2010):
i. Complex Buying Behavior
Konsumen terlibat dalam perilaku pembelian yang rumit saat konsumen
sangat terlibat dalam suatu pembelian dan menyadari adanya perbedaan signifikan
di antara berbagai merek.
ii. Dissonance Reducing Buying Behavior
Konsumen terkadang sangat terlibat dalam sebuah pembelian namun melihat
sedikit perbedaan dalam merek-merek. Keterlibatan yang tinggi didasari oleh
fakta bahwa pembelian tersebut mahal, jarang dilakukan, dan berisiko. Dalam
situasi ini, konsumen akan berkeliling untuk mempelajari apa yang tersedia
namun akan melakukan pembelian dengan cukup cepat.
iii. Habitual Buying Behavior
Perilaku pembelian yang merupakan kebiasaan (habitual) terjadi pada
kondisi keterlibatan yang rendah dan perbedaan merek yang dirasakan besar.
Konsumen tidak mencari informasi secara ekstensif dan tidak melakukan evaluasi
terhadap merek. Konsumen juga tidak kesulitan dalam menentukan merek mana
yang akan dibeli.
iv. Variety Seeking Buying Behavior
Konsumen jenis ini senang mencoba berbagai variasi sehingga sering sekali
berganti-ganti merek.
2.4.2 Perilaku Pembelian Konsumen di Toko Ritel Modern
Peter dan Olson (2008), menggambarkan urutan perilaku pembelian
consumer goods pada umumnya di toko ritel. Namun, pertama yang perlu
diketahui dari urutan tersebut yaitu kemungkinan konsumen dapat memberikan
beberapa perilaku berbeda, misalnya adanya pembelian tidak direncanakan
Universitas Kristen Petra
18
(impulsive) pada saat konsumen berada di toko. Kemudian, urutan ini bukan
merupakan urutan baku yang terdapat pada setiap keputusan pembelian dan
beberapa urutan ini mungkin tidak terdapat dalam beberapa keputusan pembelian.
Ketiga, waktu yang dibutuhkan konsumen untuk setiap tahap mungkin berbeda,
karena beberapa faktor, contohnya produk yang akan dibeli berbeda, konsumen
dan situasi yang berbeda, sehingga keseluruhan waktu yang diperlukan setiap
konsumen berbeda.
Consumption Stage Tipe Perilaku Contoh dari Perilaku
Pra-Pembelian
-Mendengar/Menonton Iklan di Radio &Televisi -Membaca Koran, iklan di Billboard, mendengar info dari teman -Penarikan uang dari bank atau ATM -Penulisan Cek -Mendapatkan Credit Card atau pinjaman
Pembelian
-Menetapkan toko tujuan -Perjalanan menuju toko -Memasuki Toko -Mencari produk yang akan dibeli -Mendapatkan produk -Membawa ke Kasir -Menukarkan uang dengan produk -Membawa produk ke tempat untuk menggunakannya
Kontak Informasi
Akses Keuangan
Kontak dengan Toko
Kontak dengan Produk
Transaksi
Universitas Kristen Petra
19
(Sambungan)
Gambar 2.3 Urutan Prilaku pada Umumnya untuk Pembelian Consumer Goods di
Toko Ritel
Sumber: Peter dan Olson (2008)
2.5 Keputusan Pembelian
Mempelajari perilaku konsumen akan memeberikan petunjuk bagi
pengembangan produk baru, keistimewaan produk, harga, saluran pemasaran,
pesan iklan dan elemen bauran pemasaran lainnya. Rangsangan pemasaran dan
lingkungan mulai memasuki kesadaran pembeli. Karakteristik pembeli dan proses
pengambilan keputusan menimbulkan keputusan pembelian tertentu. Tugas
pemasar adalah memahami apa yang terjadi dalam kesadaran pembeli mulai dari
adanya rangsangan dari luar hingga munculnya keputusan pembelian pembeli.
Keputusan pembelian dipengaruhi oleh persepsi nilai konsumen terhadap suatu
produk. Menurut Cronin et at. (2000) dan Zeithaml (1998), “persepsi nilai
konsumen adalah penilaian konsumen terhadap utilitas keseluruhan produk
berdasarkan persepsi konsumen terhadap apa yang diterima sesuai dengan yang
diberikan.” Dengan kata lain, menurut Stonewall (1992) “nilai dapat di artikan
dengan fungsi dari fitur produk, kualitas, delivery, jasa dan harga.” Dengan
demikian pemasar perlu mengetahui dengan baik apa yang menjadi kebutuhan dan
keinginan konsumennya, sehingga dapat menciptakan produk yang memenuhi apa
yang diharapkan target konsumen (dalam Yee & San, 2011).
Universitas Kristen Petra
20
Menurut Kotler dan Keller (2009) terdapat lima tahap proses keputusan
pembelian oleh konsumen, yaitu:
a. Pengenalan Kebutuhan
Proses pembelian dimulai dengan mengenali kebutuhan. Pada tahap ini
konsumen menyadari bahwa konsumen mempunyai suatu kebutuhan yang tidak
terpuaskan. Adanya kebutuhan atau keinginan yang belum terpenuhi biasanya
diketahui ketika konsumen sedang berjalan-jalan sedang berbelanja, atau saat
memperoleh informasi dari sebuah iklan, media lain, maupun kerabat, teman, atau
rekan-rekannya.
b. Pencarian Informasi
Setelah mengidentifikasi sebuah kebutuhan, konsumen akan mencari
informasi untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Konsumen dapat mencari
informasi dari berbagai sumber seperti keluarga, teman, tetangga, iklan,
kemasan, media massa, atau pengalaman dari orang lain.
c. Evaluasi Alternatif
Pada tahap ini konsumen menggunakan hasil dari pencarian informasi dan
melakukan evaluasi terhadap alternatif-alternatif yang ada. Terdiri dari dua tahap,
yaitu menetapkan tujuan pembelian dan mengadakan seleksi terhadap alternative
pembelian berdasarkan tujuannya dan bergantung pada sumber yang dimiliki.
d. Keputusan Pembelian
Dalam tahap ini, konsumen benar-benar melakukan pembelian. Terdapat
tujuh komponen yang termasuk dalam setiap keputusan pembelian, diantaranya:
Keputusan tentang jenis produk, bentuk produk, merek, penjualnya atau jenis toko
yang menjualnya, jumlah produk, waktu pembelian, cara pembayaran.
e. Perilaku Pasca Pembelian
Proses pembelian tidak berakhir sampai konsumen membeli suatu produk.
Setelah membeli suatu produk, konsumen akan mengalami tingkat kepuasan dan
ketidak-puasan. Pemasar harus memantau kepuasan pasca pembelian, tindakan
pasca pembelian, dan pemakaian atau pembuangan pasca pembelian.
Namun, menurut Kotler dan Keller (2009) tidak semua konsumen melalui
tahap proses keputusan pembelian ini. Konsumen mungkin melewatkan tahap-
tahap tertentu. Misalnya ketika konsumen akan membeli sebuah pasta gigi,
Universitas Kristen Petra
21
konsumen akan langsung menuju tahap pembelian dari tahap pengenalan
kebutuhan.
Adapun menurut Ma’ruf (2006) setiap konsumen mempunyai dua sifat
motivasi dalam melakukan pembelian yang saling tumpang tindih dalam dirinya,
emosional dan rasional.
i. Emosional
Motivasi yang dipengaruhi emosi yang berkaitan dengan perasaan, baik itu
keindahan, gengsi, atau perasaan lainnya termasuk bahkan rasa iba atau marah.
Faktor indah atau bagus dan faktor gengsi akan lebih banyak pengaruhnya
dibandingkan rasa iba atau marah karena saat berbelanja, umumnya para
konsumen bukan dalam keadaan iba atau marah.
ii. Rasional
Yaitu alasan rasional dalam pikiran seseorang konsumen. Cara berpikir
seorang konsumen bisa begitu kuat sehingga membuat perasaan seperti gengsi
menjadi amat kecil atau bahkan hilang.
Menurut Model dari Proses Pengambilan Keputusan Konsumen (Blackwell
et at, 2006), keputusan pembelian atau pelaksanaan pembelian sering dipengaruhi
oleh beberapa faktor (dalam Yee & San, 2010). Dengan berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Harcar, Kara dan Kucukemiroglu (2006), terdapat faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap keputusan pembelian produk private label
dalam 6 konsepsi yaitu, keterlibatan, loyalitas merek, persepsi harga, persepsi
kualitas, pengenalan, dan persepsi risiko.
2.5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Pembelian
Mengacu pada penelitian yang telah penelitian yang telah dilakukan oleh
Harcar, Kara dan Kucukemiroglu (2006), persepsi nilai konsumen yang
konseptulisasikan menjadi enam konsepsi yaitu keterlibatan, loyalitas merek,
persepsi harga, persepsi kualitas, pengenalan, dan persepsi resiko, memberikan
pengaruh terhadap perilaku pembelian private label yang terdiri dari keinginan
untuk membeli, intensi untuk membeli dan merekomendasikan private label.
Universitas Kristen Petra
22
a. Keterlibatan
Keterlibatan (involvement) adalah tingkat hubungan personal yang dimiliki
oleh konsumen terhadap produk, merek, atau objek (Peter & Olson, 2008).
Menurut Antil dalam Setiadi (2003), keterlibatan adalah tingkat kepentingan
pribadi yang dirasakan atau minat yang dibangkitkan oleh stimulus didalam
situasi spesifik hingga jangkauan kehadirannya, konsumen bertindak dengan
sengaja untuk meminimumkan resiko dan memaksimumkan manfaat yang
diperoleh dari pembelian dan pemakaian. Keterlibatan mengacu pada persepsi
konsumen tentang pentingnya atau relevansi personal suatu objek, kejadian, atau
aktivitas. Konsumen dikatakan involve bila konsumen tersebut merasa bahwa
suatu produk memiliki hubungan yang personal dengan dirinya. Keterlibatan
terhadap produk memiliki aspek kognitif dan afektif. Dari aspek kognitif,
konsumen memikirkan konsekuensi yang muncul dari penggunaan suatu produk.
Pada high involvement product, konsumen merasa bahwa produk tersebut
penting dalam memenuhi personal goals mereka, misalnya mobil atau peralatan
stereo yang sering dijadikan contoh sebagai high involvement product. Hubungan
yang lebih kuat dengan nilai pribadi dan komitmen yang lebih untuk satu merek.
Pada low involvement product, seorang konsumen tidak memiliki keterlibatan
yang besar terhadap suatu produk sehingga tidak mengeluarkan usaha lebih untuk
mencari tahu mengenai produk tersebut. Low involvement product adalah hal-hal
yang di beli karena kebiasaan, tanpa banyak pikir. Kategori ini mencakup
sebagian besar hal yang dimasukkan ke dalam keranjang ketika berbelanja di toko
obat atau pasar, yaitu misalnya pasta gigi, sabun batangan, makanan ringan, dan
lain sebagainya.
Menurut Laurent dan Kapferer terdapat beberapa dimensi untuk mengukur
keterlibatan yaitu:
i. Pentingnya Konsekuensi Negatif, butir skala mengevaluasi baik
kepentingan produk maupun resiko konsekuensi negative yang disadari.
ii. Probabilitas Subjektif dari kesalahan pembelian, resiko membuat pilihan
yang buruk.
iii. Nilai Kesenangan, yaitu nilai hedonic dari pembelian dan pemakaian.
Universitas Kristen Petra
23
iv. Nilai Tanda, yaitu jangkauan di mana pembelian dan pemakaian membuat
pernyataan psiko/social mengenai orang yang bersangkutan (dalam Setiadi,
2003).
Dengan demikian, keterlibatan merupakan refleksi dari motivasi yang kuat
di dalam bentuk relevansi pribadi yang sangat dirasakan dari suatu produk atau
jasa dalam konteks tertentu. Bergantung pada hubungan yang dirasakan antara
pengaruh yang memotivasi individu dengan manfaat yang ditawarkan oleh
objeknya, ini merupakan kontinum yang berjajar dari rendah ke tinggi.
Karakteristik pribadi intrinsik (kebutuhan, nilai, konsep diri) dihadapkan dengan
stimulus pemasaran yang sesuai dalam situasi yang diberikan pada saat itu
(Setiadi, 2003).
b. Loyalitas Merek
Menurut Mowen (1995) loyalitas merek merupakan tingkat dimana
pelanggan memiliki sikap yang positif terhadap merek, memiliki komitmen
terhadap merek tersebut dan berniat untuk melanjutkan pembelian terhadap merek
tersebut dimasa mendatang (dalam Sapto, 2010). Sedangkan loyalitas merek
menurut Howard (1994) yaitu bahwa semakin jarang seorang pelanggan
berpindah ke merek lain, maka tingkat loyalitas pelanggan pada merek tersebut
semakin tinggi.
Menurut Peter dan Olson (2008), brand loyalty berbeda dengan repeat
purchase behavior karena repeat purchase behavior fokus hanya pada perilaku
tanpa memperhatikan alasan terjadinya habitual response. Konsumen yang loyal
terhadap suatu merek tidak hanya membeli merek yang sama berulang-ulang
tetapi juga memiliki komitmen yang besar untuk melakukannya. Merek tersebut
harus bermakna bagi konsumen karena konsumen membeli merek tersebut bukan
berdasarkan pada kenyamanan atau apa yang ditawarkan tetapi karena
merepresentasikan nilai atau manfaat penting bagi konsumen. Pada repeat
purchase behavior, tingkat komitmen konsumen rendah.
Universitas Kristen Petra
24
Menurut Kotler (2003) pembentukan dan pengukuran loyalitas merek diukur
melalui beberapa faktor, yaitu:
i.Satisfaction
Dapat menciptakan loyalitas suatu merek bila pelanggan mendapatkan
kepuasan dari merek tersebut, karena pelanggan itu akan mencoba beberapa
merek tersebut kemudian mengevaluasi merek mana yang dapat memenuhi
kriteria kepuasan mereka berdasar pengalaman tersebut.
ii.Habitual Response
Dapat menciptakan loyalitas merek karena apabila pembelian yang dilakukan
sudah merupakan kebiasaan maka pembelian tersebut tidak lagi melalui proses
pengambilan keputusan yang panjang.
iii.Switching Cost
Perbedaan atau resiko kegagalan, biaya energi dan biaya fisik yang
dikeluarkan pelanggan karena memilih suatu merek.
iv.Liking of the brand
Tingkat kesukaan pelanggan akan suatu merek yang dapat membentuk
loyalitas terhadap merek tersebut.
v.Commitment
Salah satu pembentuk loyalitas merek yang timbul karena adanya kepercayaan
diri konsumen terhadap merek suatu produk, sehingga terjadi komunikasi dan
interaksi diantara konsumen tersebut.
Menurut Setiadi (2003), loyalitas merek tidak ada lagi merek yang
dipertimbangkan untuk dibeli selain merek produk yang sering dibelinya. Ketika
merek produk itu tidak tersedia di toko yang ditujunya, maka akan terus berusaha
mencari produk itu sampai ke tempat yang jauh sekalipun. Bahkan ketika merek
barang itu tidak tersedia, dan petugas penjualan mengatakan merek produk yang
dicari akan datang beberapa hari kemudian, dan bersedia menunggunya, maka
perilaku tersebut dapat dikatakan bahwa konsumen sangat loyal terhadap merek
pilihannya. Loyalitas merek bisa didefinisikan sebagai sikap menyenangi terhadap
suatu merek yang direpresentasikan dalam pembelian yang konsisten terhadap
merek itu sepanjang waktu.
Universitas Kristen Petra
25
Menurut Assael (1992), terdapat empat hal yang menunjukkan
kecenderungan konsumen yang loyal, yaitu (dalam Setiadi, 2003):
i. Konsumen yang loyal terhadap merek cenderung lebih percaya diri terhadap
pilihannya.
ii. Konsumen yang loyal lebih memungkinkan merasa tingkat resiko yang lebih
tinggi dalam pembeliannya.
iii. Konsumen yang loyal terhadap merek juga lebih mungkin loyal terhadap
toko.
iv. Kelompok konsumen yang minoritas cenderung untuk lebih loyal terhadap
merek.
Sedangkan menurut Gilbert (2003), loyalitas terhadap produk private
label dapat berarti:
a. Perasaan positif terhadap produk private label, hal ini berdasarkan brand
attitude;
b. Frekuensi mengunjungi suatu toko atau penggunaan produk private label
yang lebih sering, hal ini berdasarkan store or brand preference;
c. Melanjutkan dengan mengunjungi toko atau menggunakan merek terus
menerus, hal ini merupakan brand allegiance.
c. Persepsi Harga
Harga merupakan faktor yang selalu menjadi pertimbangan dari konsumen
dalam pengambilan keputusan pembelian. Menurut Schiffman dan Kanuk (2004)
persepsi konsumen terhadap harga, baik cenderung tinggi, rendah, atau normal
dipengaruhi oleh intensitas pembelian dan kepuasan dalam pembelian tersebut.
Ketika konsumen memiliki intensitas pembelian yang tinggi, konsumen dapat
menentukan apakah suatu produk memiliki harga yang wajar, terlalu tinggi, atau
bahkan terlalu rendah. Sedangkan ketika konsumen merasa puas dengan produk
yang dibelinya, konsumen tersebut akan dapat menilai kewajaran dari harga
produk tersebut, dan apabila harga produk tersebut terlalu rendah konsumen
malah akan meragukan kualitasnya. Namun, dalam kenyataan konsumen dalam
menilai harga suatu produk sangat tergantung bukan hanya dari nilai nominal
secara absolut tetapi melalui persepsi mereka pada harga. Secara umum persepsi
Universitas Kristen Petra
26
konsumen terhadap harga tergantung dari perception of price differences dan
reference price.
a. Perception of Price Differences
Adalah sikap pembeli yang cenderung untuk selalu melakukan evaluasi
terhadap perbedaan harga antara harga yang ditawarkan terhadap harga dasar
yang diketahui.
b. References prices
Faktor lain yang mempengaruhi persepsi terhadap kewajaran suatu harga
adalah referensi harga yang dimiliki oleh pelanggan yang didapat dari
pengalaman sendiri dan informasi luar yaitu iklan dan pengalaman orang lain.
Adapun informasi tersebut sangat dipengaruhi: (1) Harga kelompok produk
yang dipasarkan oleh perusahaan yang sama, (2) Perbandingan dengan
harga produk saingan, (3) Urutan produk yang ditawarkan, (4) Harga produk
yang pernah ditawarkan konsumen.
d. Persepsi Kualitas
Berdasarkan American Society for Quality Control yang dikutip oleh Kotler
(2003) menjelaskan bahwa kualitas adalah keistimewaan dan sifat khas dari
sebuah produk ataupun jasa yang secara mutlak menghasilkan kemampuan untuk
memuaskan kebutuhan konsumen. Menurut Jin dan Yong (2005), persepsi
kualitas adalah elemen yang kritikal dalam konsumen menentukan keputusan;
karenanya konsumen akan membandingkan kualitas dari beberapa alternatif
dengan mempertimbangkan harga dalam kategori yang sama. Dan menurut Davis
et al (2003), persepsi kualitas berhubungan langsung dengan reputasi dari
perusahaan yang memproduksi produk tersebut (dalam Yee & San, 2010).
Sedangkan menurut Aaker (1991) dan Zeithaml (1998) mengatakan bahwa
persepsi kualitas bukan kualitas yang sebenarnya dari sebuah produk, melainkan
penilaian dari konsumen mengenai keseluruhan keunggulan dari suatu produk
atau jasa (dalam Yee & San, 2010). Oleh sebab itu, persepsi kualitas didasarkan
pada evaluasi subjektif konsumen (bukan manajer atau pakar) terhadap kualitas
produk. Kualitas suatu barang dapat dikatakan baik atau buruk bisa dilihat dari
dimensi mutu produknya sebagaimana menurut Tjiptono (2005) bahwa secara
Universitas Kristen Petra
27
umum dimensi mutu produk meliputi:
i. Kinerja (Performance) yaitu seberapa baik dan konsisten sebuah produk
berfungsi.
ii. Kesesuaian (Quality of performance) yaitu seberapa sesuai produk
tersebut dengan spesifikasi.
iii. Keindahan (Aesthetics) yaitu seberapa baik tampilan fisik dari produk
tersebut.
iv. Daya Tahan (Durability) yaitu seberapa lama produk tersebut dapat
berfungsi.
v. Keandalan (Reliability) yaitu seberapa mampu produk tersebut sesuai
dengan yang diharapkan atau ditetapkan.
Private label pada umumnya dipersepsikan sebagai produk berkualitas lebih
rendah dibandingkan dengan merek nasional (Richardson et al., 1996). Hal ini
menyebabkan konsumen cenderung memilih merek nasional dibandingkan private
label.
e. Pengenalan
Pengenalan (familiarity) terhadap produk menunjukkan apakah konsumen
mengenal atau mengetahui suatu produk maupun merek. Pengetahuan mengenai
merek tidak hanya sebatas pada nama merek tetapi juga kategori produk yang
ditawarkan. Pengenalan konsumen terhadap suatu merek atau produk akan
memudahkan konsumen dalam melakukan pembelian karena konsumen tidak
perlu mencari tahu informasi lagi mengenai merek tersebut sehingga dapat
menghemat tenaga dan pikiran serta waktu yang diperlukan dalam berbelanja.
Pengenalan konsumen terhadap produk biasanya merupakan hasil dari
penyebaran informasi yang dilakukan oleh produsen melalui iklan, promosi, atau
media informasi lainnya. Selain itu, pengenalan juga dapat disebabkan adanya
interaksi langsung antara konsumen dengan produk tersebut pada saat konsumen
sedang berbelanja. Pengenalan dapat pula disebabkan adanya rekomendasi oleh
pihak lain yang telah menggunakan produk tersebut maupun pengalaman
konsumen dalam menggunakan produk tersebut sebelumnya.
Universitas Kristen Petra
28
f. Persepsi Risiko
Menurut Schiffman and Kanuk (2004), “persepsi risiko atau resiko yang
dirasakan merupakan ketidakpastian yang dihadapi oleh konsumen ketika tidak
dapat memperkirakan konsekuensi dari keputusan pembelian sebuah produk.”
Menurut Sullivan dan Adcock (2002), “persepsi resiko adalah komponen
kunci dari keterlibatan, dan kemungkinan digunakan untuk mempertimbangkan
beberapa jenis ritel termasuk dalam keterlibatan rendah atau tinggi.”
Ketika konsumen merasakan resiko dalam pembeliannya, konsumen
menjadi tidak yakin dengan keputusan pembelian tersebut. Menurut Schiffman
dan Kanuk (2004) terdapat 6 (enam) tipe resiko yang konsumen rasakan ketika
membuat keputusan pemilihan produk:
1. Resiko Fungsional
Merupakan resiko ketika produk tidak berfungsi seperti yang
diharapkan. Misalnya: “Apakah deterjen ini akan benar-benar
menghilangkan noda?”
2. Resiko Fisik
Merupakan ketidakpastian apakah suatu produk berbahaya secara fisik
atau tidak. Misalnya: “Apakah telepon selular aman, atau akan menimbulkan
radiasi yang berbahaya?”
3. Resiko Finansial
Adalah resiko apakah produk itu kualitasnya sebanding dengan harga
yang ditawarkan. Misalnya: “Apakah benar produk yang paling mahal ini
dapat bekerja dengan baik?”
4. Resiko Sosial
Resiko yang muncul karena pemilihan produk yang tidak tepat akan
mengakibatkan rasa malu dari orang-orang sekitar. Misalnya: “Akankah
deodorant yang baru ini benar-benar menghilangkan bau keringat?”
5. Resiko Psicological
Merupakan resiko yang lebih mengarah kepada emosional seseorang
dalam persepsinya terhadap suatu produk. Misalnya: “Apakah merupakan
suatu hal yang membanggakan dengan membeli produk ini?”
Universitas Kristen Petra
29
6. Resiko Waktu
Resiko yang dirasakan ketika kualitas produk tidak sebanding dengan
waktu yang dihabiskan dalam mencari dan menentukan pembelian produk
tersebut. Misalnya: “Apakah perlu menghabiskan banyak waktu untuk
pergi berbelanja barang-barang diskon?”
2.6 Hubungan Antar Konsep
Seperti yang telah dijelaskan di atas, ada enam konsepsi yang
mempengaruhi konsumen dalam proses pengambilan keputusan pada saat
membeli suatu produk, mengacu pada kerangka pemikiran dalam penelitian yang
telah dilakukan oleh Harcar, Kara dan Kucukemiroglu (2006), yaitu keterlibatan,
loyalitas merek, persepsi harga, persepsi kualitas, pengenalan, dan persepsi resiko.
Keputusan membeli ini adalah salah satu dari perilaku pembelian konsumen.
Sedangkan private label adalah suatu produk baru dengan merek yang tidak
terkenal secara luas dan mempunyai kelebihan maupun kekurangan bagi
konsumen.
Salah satu faktor yang paling langsung berhubungan dengan preferensi
merek adalah keterlibatan konsumen dalam kategori produk tertentu (Lachance et
al., 2003). Leclerc dan Little (1997) menegaskan bahwa loyalitas merek
berhubungan dengan keterlibatan produk. Keterlibatan konsumen dalam produk
diyakini cukup moderat terhadap rangsangan pemasaran dan periklanan (Kapferer
dan Laurent, 1986). Hawkins dan Stephen (1992) membuktikan bahwa pembelian
dengan keterlibatan rendah cenderung menjadi kebiasaan dan keterlibatan tinggi
membutuhkan perencanaan. Perilaku pembelian berulang untuk produk
keterlibatan tinggi adalah indikator loyalitas merek, sedangkan untuk pembelian
berulang produk keterlibatan rendah berarti perilaku pembelian karena kebiasaan.
Prus dan Randall (1995) menggambarkan loyalitas merek sebagai hal yang
didorong oleh kepuasan pelanggan, dan melibatkan komitmen dari pelanggan.
Loyalitas merek tercermin oleh kombinasi sikap (niat untuk membeli lagi dan /
atau membeli produk tambahan atau jasa dari perusahaan yang sama, kesediaan
untuk merekomendasikan perusahaan kepada orang lain, komitmen kepada
perusahaan yang ditunjukkan dengan tidak beralih ke pesaing) dan perilaku
Universitas Kristen Petra
30
(pembelian berulang, pembelian produk yang lebih banyak dan atau jasa yang
berbeda dari perusahaan yang sama, merekomendasikan perusahaan kepada orang
lain) (dalam Sadasivan, Rajakumar, Rajinikanth, 2011).
Persepsi kualitas merupakan persepsi konsumen maka dapat diramalkan
jika persepsi kualitas konsumen negatif, produk tidak akan disukai dan tidak akan
bertahan lama dipasar. Sebaliknya, jika persepsi kualitas pelanggan positif,
produk akan disukai, dengan beranggapan bahwa kualitas produk yang baik
merupakan jaminan kepuasan. Menurut Durovnik (2006) konsumen yang akan
mencoba untuk mengurangi risiko dengan menggunakan lebih banyak waktu
untuk survei dan membayar sesuatu. Misalnya, konsumen akan mencari tahu
tentang kualitas produk dari mereka yang memiliki pengalaman langsung.
2.7 Kerangka Pemikiran
Mengacu pada kerangka pemikiran dalam penelitian yang telah dilakukan
oleh Harcar, Kara dan Kucukemiroglu (2006), yaitu persepsi nilai konsumen yang
konseptulisasikan menjadi enam konsepsi yaitu keterlibatan, loyalitas merek,
persepsi harga, persepsi kualitas, pengenalan, dan persepsi resiko, memberikan
pengaruh terhadap perilaku pembelian private label yang terdiri dari keinginan
untuk membeli, intensi untuk membeli dan merekomendasikan private label. Hal
tersebut dapat dilihat pada gambar 2.4 berikut ini.
Universitas Kristen Petra
31
Gambar 2.4 Skema Konsepsi Pembentuk Persepsi Nilai
Sumber: Harcar, Kara, & Kucukemiroglu (2006)
Berdasarkan pemikiran di atas, penelitian ini hendak menggunakan enam
konsepsi persepsi nilai dalam dalam hubungannya terhadap keputusan pembelian
produk private label, yang dapat di lihat dalam gambar 2.5
Gambar 2.5 Kerangka Pemikiran Peneliti
Keterlibatan Loyalitas Merek
Persepsi Harga
Pengenalan Persepsi Kualitas
Persepsi Resiko
Persepsi Nilai Konsumen
Pembelian Produk Private Label
Perilaku Pembelian
Private Label
Keinginan Membeli Produk Private Label
Rekomendasi Produk Private Label
Keterlibatan Loyalitas Merek
Persepsi Harga
Persepsi Kualitas
Pengenalan Persepsi Resiko
Keputusan Pembelian Private Label
X3 X1 X2 X4 X5 X6
Universitas Kristen Petra
32
2.7 Hipotesa Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu:
H1 : Keterlibatan berpengaruh signifikan terhadap perilaku pembelian private
label.
H2 : Loyalitas merek berpengaruh signifikan terhadap perilaku pembelian private
label.
H3 : Persepsi harga berpengaruh signifikan terhadap perilaku pembelian private
label.
H4 : Persepsi kualitas berpengaruh signifikan terhadap perilaku pembelian private
label.
H5 : Pengenalan berpengaruh signifikan terhadap perilaku pembelian private
label.
H6 : Persepsi risiko berpengaruh signifikan terhadap perilaku pembelian private
label.