2. KERANGKA TEORI 2.1 Konsep Pertanian...
-
Upload
truongnguyet -
Category
Documents
-
view
219 -
download
2
Transcript of 2. KERANGKA TEORI 2.1 Konsep Pertanian...
7
2. KERANGKA TEORI
2.1 Konsep Pertanian Anorganik
Menurut kamus biologi umum, pertanian diartikan sebagai segala kegiatan dan
upaya manusia untuk meningkatkan hasil bumi, sehingga selain bercocok tanam
termasuk di dalamnya kegiatan dalam bidang kehutanan, kehewanan, perikanan,
dan perkebunan (Rifai, 2003).
Dalam meningkatkan produktivitas hasil bumi, terutama pada bidang pertanian
diperlukan beberapa perlakuan seperti penambahan unsur hara yang berasal dari
luar ekosistem, pemuliaan tanaman, hingga modifikasi karakteristik dari lahan
yang disesuaikan dengan syarat tumbuh dari jenis tanaman yang dibudidayakan.
Pada budidaya pertanian modern atau yang dikenal dengan istilah pertanian
anorganik, budidayanya memerlukan pengolahan lahan yang disesuaikan dengan
kebutuhan komoditas dibudidayakan, juga memerlukan penambahan bahan kimia
sintesis sebagai unsur hara. Beberapa pupuk kimia sintesis tersebut seperti UREA,
TSP, KCL, SP-36 dan lain sebagainya. Penambahan unsur hara ini memiliki tujuan
untuk mendukung pertumbuhan tanaman yang dirancang sedemikian rupa melalui
pemuliaan tanaman. Maka dari itu, tanaman menjadi responsif terhadap unsur hara
sehingga tanaman dapat memberikan hasil yang sesuai keinginan, seperti memiliki
masa panen cepat dan memberikan kuantitas hasil tinggi. Pada budidaya pertanian
anorganik, yang biasanya ditanam di satu area lahan secara monokultur, akan
didapati serangan hama ataupun penyakit, oleh sebab itu dalam pertanian
anorganik diperlukan penggunaan bahan-bahan kimia sintesis untuk memberantas
hama dan penyakit.
2.2 Konsep Pertanian Organik
Terdapat banyak definisi mengenai pertanian organik yang dikemukakan oleh
ahli-ahli, dalam penelitian ini disinggung empat definisi yang diantaranya adalah
menurut kamus biologi umum. Pertanian organik adalah cara-cara atau sistem
8
budidaya pertanian yang menghindarkan penggunaan pupuk ataupun pestisida
buatan pabrik (Rifai, 2003).
Definisi pertanian organik menurut Departemen Pertanian Amerika Serikat
tahun 1980 adalah suatu sistem produksi yang menghindarkan atau sebagian besar
tidak menggunakan pupuk sintesis, pestisida, hormon tumbuh, pakan ternak tanpa
zat additif. Kelayakan yang maksimum dapat dicapai dengan menerapkan suatu
sistem pertanian organik berdasar pada rotasi tanaman, residu tanaman, pupuk
kandang, kacang-kacangan penutup tanah, pupuk hijauan, limbah organik dari luar
sistem, budidaya secara mekanis, batuan alam, serta aspek pengendalian hayati.
Konsep tersebut juga meliputi serangkaian observasi dimana tanah sebagai bagian
dari sistem kehidupan harus diberi asupan dengan cara membiarkan
berkembangnya mikro organisme penting dalam daur ulang hara bagi tanaman dan
menghasilkan humus (FAO, 1998 dalam Diny, 2005: 3).
Pakar pertanian barat menyebutkan bahwa pertanian organik merupakan
penerapan hukum pengembalian “low of return” yang berarti suatu sistem yang
berusaha untuk mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah, baik
kedalam bentuk residu dan limbah pertanaman maupun ternak yang selanjutnya
bertujuan untuk memberi makan pada tanaman. Filosofi yang melandasi pertanian
organik adalah prinsip memberikan makan pada tanah yang selanjutnya tanah akan
menyediakan makanan bagi tanaman secara langsung. Strategi yang digunakan
oleh pertanian organik adalah memindahkan hara secepatnya dari sisa tanaman,
kompos dan pupuk kandang menjadi biomasa yang selanjutnya mengalami proses
mineralisasi akan menjadi hara dalam larutan tanah (Sutanto, 2002).
Sedangkan menurut IFOAM (International Federation of Organic Agricultural
Movement), pertanian organik didefinisikan sebagai suatu pendekatan sistem yang
utuh berdasarkan satu perangkat proses yang menghasilkan ekosistem yang
berkelanjutan, pangan yang aman, gizi yang baik, kesejahteraan hewan dan
keadilan sosial, sehingga dengan demikian pertanian organik lebih dari sekedar
sistem produksi yang memasukkan atau mengeluarkan input tertentu namun juga
merupakan suatu filosofi yang mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas dari
9
komunitas yang saling berhubungan dari kehidupan tanah, tanaman, hewan,
dan manusia (Apriantono, 2008 dalam Siahaan, 2009: 9-10).
Berdasarkan definisi yang telah diungkapkan oleh beberapa ahli, maka
pertanian organik yang dimaksud adalah cara-cara ataupun budidaya pertanian
yang mengurangi atau menghindarkan penggunaan bahan-bahan masukan dari luar
seperti pupuk, pestisida, fungisida maupun herbisida kimia sintesis sehingga
terciptalah ekosistem yang seimbang dan berkelanjutan serta dapat menghasilkan
produk-produk yang aman dan sehat.
Bidang pertanian merupakan salah satu kegiatan paling mendasar bagi
manusia, terdapat banyak prinsip yang menyangkut pada bagaimana manusia
berhubungan dengan lingkungan hidup, berhubungan satu dengan lingkungannya,
berhubungan dengan satu sama lain, dan menentukan warisan bagi generasi yang
mendatang. Di pertanian organik terdapat beberapa prinsip yang antara lain adalah:
- Prinsip Kesehatan
Dalam pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan kesehatan
tanah, tanaman, hewan, manusia, dan bumi sebagai suatu kesatuan. Kesehatan
merupakan suatu kesatuan, sebab individu yang sehat berasal dari ekosistem
yang sehat, sedangkan ekosistem tersebut berasal dari tanaman yang sehat,
sedangkan tanaman yang sehat diperoleh dari tanah yang sehat.
Peran dari pertanian organik baik dalam proses produksi, pengolahan,
distribusi dan konsumsi bertujuan untuk melestarikan dan meningkatkan
kesehatan ekosistem dan organisme yang ada. Secara khusus, pertanian organik
juga untuk menghasilkan makanan yang bermutu tinggi dengan kandungan gizi
yang mendukung pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan. Oleh sebab itu
penggunaan pupuk, pestisida, obat-obatan bagi hewan dan bahan-bahan aditif
makanan yang berefek merugikan kesehatan dihindarkan.
- Prinsip Ekologi
Pertanian organik harus didasarkan kepada sistem dan siklus ekologi
kehidupan. Dalam prinsip ini, pertanian organik diletakkan pada sistem
ekologis kehidupan, sehingga produksi berdasarkan pada proses dan daur ulang
ekologis.
10
Pertanian organik dapat mencapai keseimbangan ekologis melalui
pembangunan habitat, pemeliharaan keragaman genetika dan pertanian.
Berdasarkan pada prinsip ini, pemakaian dari bahan-bahan asupan dikurangi
dengan cara dipakai kembali dengan didaur ulang dan mengefisienkan energi
yang ada, sehingga mampu melindungi sumberdaya.
- Prinsip Keadilan
Pada prinsip keadilan pertanian organik harus mambangun hubungan yang
mampu menjamin keadilan terkait dengan lingkungan dan kesempatan hidup
bersama. Terdapat penekanan dalam pemeliharaan yang baik dimana ada
kesesuaian dengan sifat fisik, alamiah dan jaminan kesejahteraannya.
Oleh sebab itu sumber daya alam dan lingkungan yang digunakan untuk
produksi dan konsumsi harus dikelola untuk generasi yang akan datang.
- Prinsip Perlindungan
Pertanian organik harus dikelola secara hati-hati dan bertanggung jawab
untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan dari generasi yang ada dan
lingkungan secera berkesinambungan.
Dalam pertanian organik, para pelaku pertanian organik mendapatkan
dorongan untuk efisiensi dan produktivitas, meskipun demikian tidak
diperkenankan untuk membahayakan kesehatan dan kesejahteraannya.
Dalam prinsip ini pencegahan dan tanggung jawab merupakan hal mendasar
dalam pengelolaan, pengembangan, dan pemilihan teknologi pada pertanian
organik (Anonim, 2011a).
2.3 Labelisasi Produk Pertanian Organik
Kesadaran konsumen akan pentingnya kesehatan mendorong untuk
mengkonsumsi produk pangan organik, hal ini ditunjukkan dengan lebih besarnya
permintaan dari pada penawaran yang tersedia, sehingga harga pangan yang
dihasilkan melalui pertanian organik rata-rata lebih tinggi dari yang dihasilkan
secara anorganik.
11
Pada saat ini pengertian pelaku agribisnis mengenai pangan organik kurang
tepat, karena dengan tidak diproduksi dengan bahan kimia sintesis maka produk
dapat dijual dengan label “organik”. Hal ini kurang tepat, sebab jika lahan tersebut
pernah digunakan sebagai pertanian anorganik maka perlu dilakukan konversi agar
terjadi degradasi bahan-bahan kimia yang masih terdapat di lahan. Pada masa ini
disebut dengan “transisi organik”. Di pertanian organik tidak digunakan benih
GMO (Genetically Modified Organism) sehingga benih yang digunakan benih
lokal atau benih yang tidak diradiasi.
Melalui konsesus tanggal 8 Juli 2002 yang diselenggarakan oleh Pusat
Standarisasi dan Akreditasi-Deptan, dihasilkan SNI No. 01-6729-2002 tentang
Sistem Pangan Organik. SNI ini merupakan adopsi dan modifikasi dari CODEX
GL /32. 1999, Rev. I 2001 yang memiliki tujuan untuk memfasilitasi produsen
produk pangan yang ada di Indonesia. Untuk mendorong pengembangan pertanian
organik di Indonesia maka disusun draft sistem sertifikasi bertahap menuju
pertanian organik, yaitu:
- Sertifikasi dan Label BIRU untuk produk Non Pestisida.
- Sertifikasi dan Label KUNING untuk produk Transisi Organik.
- Sertifikasi dan Label HIJAU untuk produk setara dengan SNI Organik.
- Sertifikasi dan Label HIJAU untuk produk pertanian yang tumbuh secara
organik dengan sendirinya.
Gambar 2.1. Contoh Labelisasi
Sumber: Buletin Info Mutu, Edisi September 2002-ISPI-DKI Jakarta
12
Mekanisme pemberian sertifikat dilakukan oleh lembaga verifikasi, baik oleh
pemerintah atau swasta yang ditunjuk, dan melalui kegiatan tim verifikasi di
lapangan atau produsen. Hasil dari verifikasi ini menentukan produsen/ perusahaan
pangan organik berhak atau tidak untuk memberikan label produknya sesuai
dengan permohonannya. Kemudian dilakukan pemantauan untuk menjaga
konsistensi pemegang sertifikat dalam melabel produknya. Berikut adalah skema
pengawasan produk organik (Anonim, 2002b).
Gambar 2.2. Skema Pengawasan Produk Organik
Sejalan dengan meningkatnya perdagangan global produk pertanian organik
serta meningkatnya tuntutan jaminan mutu produk maka dibutuhkan standar sistem
produksi, sistem penanganan pasca panen, pelabelan dan pemasaran.
Standarisasi Beras organik di Kabupaten Sragen sudah mendapat sertifikasi dari
Lembaga Sertifikasi Organik INOFICE dengan Nomor verifikasi: OKPO-LS-003
dan Nomor Registrasi: 013/INOFICE/2008 (Anonim, 2011d).
Sumber: Buletin Info Mutu, Edisi September 2002-ISPI-DKI Jakarta
13
2.4 Konsep Usahatani
Menurut Tohir (1983) dalam Suratiyah (2008), berdasarkan tujuan dan prinsip
sosial ekonomi, perkembangan usahatani terbagi menjadi 3 golongan, yang
pertama adalah golongan usahatani yang bercirikan ekonomi kapitalis yang
pengelolaannya terpisah antara perusahaan dengan rumah tangga serta berorientasi
memperoleh profit sebesar-besarnya. Kedua adalah usahatani yang memiliki dasar
ekonomis-sosialistis-komunitas yang mengganggap tenaga kerja manusia sebagai
faktor terpenting sehingga mendapatkan penghargaan yang istimewa sebab
bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat luas. Golongan yang ketiga adalah
usahatani yang berciri ekonomis seperti diungkapkan oleh A. Tschajanov yaitu
family farming yang berkembang dari subsistence farming kearah commercial
farming (Tohir, 1983 dalam Suratiyah, 2008: 10-11).
Berdasarkan pada uraian diatas, maka usahatani Padi organik adalah usaha
penerapan budidaya Padi secara organik dengan pengkoordinasian faktor-faktor
produksi dan sumber daya yang dimiliki petani Padi organik untuk mencapai hasil
produksi dan keuntungan maksimal. Usahatani Padi organik dan anorganik pada
saat ini memiliki sifat sama, yaitu mengarah kepada commercial farming,
dimana keuntungan menjadi orientasinya.
Menurut Soedarsono Hadisaputro pada umumnya usahatani Padi akan berhasil
apabila memiliki beberapa syarat seperti usahatani dapat menghasilkan pendapatan
yang cukup untuk membayar semua pengeluaran, suatu usahatani harus dapat
menghasilkan pendapatan yang dipergunakan membayar bunga modal usahatani
baik modal sendiri maupun modal pinjaman, dan suatu usahatani harus dapat
membayar upah tenaga petani dengan keluarganya yang dipergunakan untuk
usahatani yang layak (Soedarsono, 1975 dalam Santoso dkk, 2005).
Menurut Soekartawi penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi
dengan harga jual. Pendapatan petani terdiri atas sebagian pendapatan kotor yang
karena tenaga keluarganya dan kecakapan memimpin usahanya dan sebagai bunga
kekayaan sendiri yang dipergunakan didalam usahatani menjadi milik keluarganya
(Soekartawi, 2002 dalam Agus dkk, 2006: 136).
14
Produksi yang tinggi belum tentu diikuti dengan tingginya keuntungan, hal ini
disebabkan karena keuntungan yang dicapai tergantung dari total penerimaan dan
biaya menghasilkan. Secara garis besarnya dituliskan seperti π = TR – TC,
dimana π merupakan keuntungan, TR (Total Revenue) atau merupakan total
penerimaan, dan TC (Total Cost) atau merupakan total biaya. Biaya total usahatani
adalah jumlah biaya-biaya tetap (Fixed Cost) dan biaya-biaya tidak tetap
(Variable Cost). Sedangkan keuntungan usahatani adalah selisih antara penerimaan
dengan biaya produksi, yang di dalamnya termasuk biaya tetap maupun biaya tidak
tetap (Agus dkk, 2006: 138).
2.5 Perbandingan Usahatani Padi Organik Dengan Anorganik Dari Segi
Produksi
Hasil produksi usahatani Padi selain ditentukan oleh kualitas lahan budidaya
dan cuaca, juga ditentukan oleh beberapa faktor lain seperti varietas benih, pupuk,
dan kehilangan akibat OPT. Menurut Siahaan (2009: 6) berdasarkan budidaya di
lapangan, pertanian organik mampu mencapai produktivitas sebanyak 7-9 ton/ha,
sedangkan pertanian anorganik mampu memcapai 8-11 ton/ha (Siahaan, 2009: 6).
Akan tetapi menurut seorang filosof, petani dan pemerhati Pertanian Jepang
bernama Fukuoka Masanobu, dalam bukunya yang berjudul “The One Straw
Revolution”, pertanian organik akan mampu mengimbangi atau melampaui hasil
produksi pertanian anorganik, jika pertanian organik itu sudah berlangsung hingga
30 tahun lamanya. Hal ini mungkin berdasarkan pada keadaan iklim di Jepang
sebagai daerah subtropis, dimana perombakan bahan-bahan organik relatif lebih
lambat dibandingkan dengan negara-negara yang berada di daerah tropis seperti
Indonesia. Jika pertanian organik dilaksanakan di Indonesia, waktu yang
dibutuhkan untuk dapat mengimbangi jumlah produksi pertanian anorganik dapat
lebih cepat (Fukuoka, 1978).
Sesuai dengan hasil penelitian yang didapati oleh Hapsari (2006) dengan lokasi
penelitian di daerah Ngawi, produksi rata-rata dari pertanian organik lebih rendah
bila dibandingkan dengan pertanian anorganik, yaitu 5.472,91 kg/ha untuk
pertanian organik dan 6.399,57 kg/ha untuk pertanian anorganik (Hapsari, 2006).
15
Berdasarkan uraian tersebut, diduga hasil produksi Padi organik saat ini masih
lebih rendah dari pada hasil produksi Pertanian anorganik.
2.6 Perbandingan Usahatani Padi Organik Dengan Anorganik Dari Segi
Modal Lancar
Berdasarkan fungsinya, modal dibagi dua yaitu modal tetap atau Fixed Assets
dan modal tidak tetap atau modal lancar atau Current Assets (Suratiyah, 2008).
Dalam dunia pertanian, modal tetap merupakan modal yang dapat digunakan untuk
berkali-kali proses produksi atau musim tanam, contohnya berupa bangunan,
tanaman keras, cangkul, sabit, ternak, dan tanaman. Sedangkan modal tidak tetap
merupakan modal yang hanya dapat digunakan untuk satu kali proses produksi
atau satu musim tanam, contohnya berupa pupuk dan bibit.
Modal tetap yang dimiliki oleh seorang petani berupa peralatan, perlengkapan
dan bangunan pasti memiliki umur efisien sehingga perlu diketahui penyusutan
barang modal tersebut sesuai dengan jangka waktunya, sehingga diperlukan
perhitungan penyusutan menggunakan rumusan sum of the year degits atau yang
lainnya (Suratiyah, 2008: 35-38).
Tanah atau lahan tidak memiliki penyusutan sebab tanah dapat dipergunakan
dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Lahan juga tidak akan mengalami
kerusakan jika dipelihara dengan baik. Dapat saja lahan menjadi semakin subur
ditiap musim tanamnya, karena dirawat dengan baik (Suratiyah, 2008: 34).
Modal tetap antara pertanian organik dengan anorganik biasanya sama,
sedangkan pada modal tidak tetap terdapat perbedaan di penggunaan benih, pupuk
dan pestisida. Di pertanian organik benih yang digunakan sebagai modal pada
dasarnya berasal dari varietas lokal yang diperoleh dari hasil panen terdahulu.
Sedangkan pada pertanian anorganik, benih yang digunakan berasal dari varietas
unggul ataupun introduksi sehingga hanya dapat ditanam satu kali saja, sebab jika
ditanam kembali akan mengalami penurunan produktivitas. Selain modal benih,
pupuk juga menjadi modal dalam pertanian. Pada pertanian organik, modal saprodi
pupuk diperoleh dari kotoran ternak golongan ruminasia, serasah, hingga sampah
organik rumah tangga. Pupuk pertanian anorganik diperoleh dengan cara membeli.
16
Modal lain yang termasuk saprodi pertanian adalah pestisida, dimana pestisida
pertanian organik berasal dari alam yang mudah didapat, sedangkan pestisida
pertanian anorganik diperoleh dari membeli.
Berdasarkan pada uraian diatas, maka dapat diduga bahwa modal lancar di tiap
musim dari pertanian organik lebih kecil bila dibandingkan dengan pertanian
anorganik.
2.7 Perbandingan Usahatani Padi Organik Dengan Anorganik Dari Segi
Pendapatan
Pendapatan usahatani merupakan jumlah uang yang diterima seorang petani
setelah menjual hasil produksinya. Pendapatan dibagi dua, pendapatan kotor dan
pendapatan bersih. Pendapatan kotor adalah pendapatan yang diterima seorang
petani dari menjual hasil produksi sebelum dikurangi dengan biaya produksi
usahatani. Sedangkan pendapatan bersih merupakan pendapatan usahatani yang
diperoleh seorang petani setelah mengurangi pendapatan kotor dengan biaya
produksi. Pendapatan bersih merupakan keuntungan yang diperoleh petani Padi.
Berdasarkan pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Hapsari (2006) di
daerah Ngawi, didapati pendapatan kotor pertanian organik lebih rendah bila
dibandingkan dengan pertanian anorganik, yaitu Rp 9.851.238,10/ha untuk
pertanian organik dan Rp 10.389.650/ha untuk pertanian anorganik (Hapsari,
2006).
Sesuai dengan penelitian terdahulu, didapati hal yang menarik yaitu
pendapatan bersih pertanian organik lebih tinggi bila dibandingkan dengan
pertanian anorganik, yaitu Rp 5.496.178/ha untuk pertanian organik dan
Rp 3.699.938/ha untuk pertanian anorganik (Hapsari, 2006).
Berbeda dengan daerah Ngawi, penelitian yang dilakukan oleh Fx.Agus dkk.
(2005) mendapati rata-rata pendapatan bersih pertanian organik sebesar
Rp 5.251.603,00 dan Rp 5.155.000,00 untuk pertanian anorganik. Dari angka
tersebut terdapat selisih sebesar Rp 96.603,00 sehingga saat diuji menggunakan
uji t, hasilnya tidak berbeda nyata (Agus dkk, 2006: 139).
17
Pada tanggal 13 April 2011, Harian Suara Merdeka meliput harga jual Beras
anorganik di Kota Semarang pada tingkat konsumen. Harga Beras varietas
Rajalele sebesar Rp 9.000,00/kg, Menthik Wangi Rp 8.500,00/kg, dan C-4 Grade
Super Rp 5.800,00/kg (Anonim, 2011j). Kemudian berdasarkan pada data yang
diterbitkan oleh Departemen Perdagangan, harga jual Beras varietas IR-64
anorganik di tingkat petani Sragen, 28 April 2011 Rp 5.900,00/kg
(Anonim, 2011i).
Di daerah Bintaro-Jakarta, harga Beras organik dengan varietas Rajalele
sebesar Rp 18.000,00/kg dan Menthik Wangi sebesar Rp 12.000,00/kg.
Sedangkan harga Beras varietas IR-64 dari tangan petani Sragen adalah
Rp 10.000,00/kg.
Dari harga jual Beras anorganik antara varietas lokal dengan unggul didapati
perbedaan harga yang cukup besar, yaitu Rp 3.200,00 untuk Rajalele dengan C-4
Grade Super, sedangkan Rp 2.700,00 untuk Menthik Wangi dengan C-4 Grade
Super, kemudian Rp 3.100,00 untuk Rajalele dengan IR-64, dan Rp 2.600,00 untuk
Menthik Wangi dengan IR-64. Dari varietas lokal dengan unggul, yang sama-sama
diproduksi melalui sistem budidaya anorganik, telah didapati perbedaan harga
yang cukup mencolok, dan pada dasarnya harga beras varietas lokal tetap lebih
mahal dari pada varietas unggul. Hal ini dapat terjadi karena latar belakang
budidaya yang berbeda, serta jumlah produk yang ada di pasaran.
Jika harga Beras organik diperbandingkan, antara varietas lokal dengan
varietas unggul maka didapati selisih harga sebesar Rp 8.000,00 untuk Rajalele
dengan IR-64 dan Rp 2.000,00 untuk Menthik Wangi dengan IR-64.
Apabila seorang petani memproduksi Beras dengan varietas yang sama,
semisal IR-64 namun dibudidayakan secara organik, akan meningkatkan harga jual
sebesar Rp 4.100,00 dari harga Beras varietas IR-64 anorganik yang hanya
Rp 5.900,00/kg menjadi Rp 10.000,00/kg.
Berdasarkan uraian diatas, diduga pendapatan (bersih maupun kotor) dari
pertanian organik lebih tinggi dari pada pertanian anorganik.
18
2.8 Perbandingan Usahatani Padi Organik Dengan Anorganik Dari Segi
Biaya
Biaya merupakan pengeluaran yang dilakukan oleh seorang petani Padi untuk
memenuhi kebutuhan produksi Padi. Dalam Agus dkk (2006: 6), biaya (Cost)
dibagi menjadi dua, yaitu biaya tetap (Fixed Cost) dan biaya tidak tetap (Variable
Cost). Dalam usahatani Padi yang termasuk dalam biaya tetap adalah penyusutan
peralatan dan perlengkapan usahatani seperti cangkul, kuret, traktor, traser, sprayer
dan sabit. Selain itu yang termasuk dalam biaya variabel dalam usahatani Padi
adalah benih, tenaga kerja, pupuk, dan pestisida.
Berdasakan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Hapsari di Ngawi tahun
2006 mengenai biaya sarana produksi rata-rata pertanian organik dan anorganik
tidak berbeda nyata, hal ini ditunjukkan dengan biaya di pertanian organik sebesar
Rp1.540.568/ha dan pertanian anorganik sebesar Rp 2.108.854,43/ha. t hitung = -
1,055 < t tabel = 1,697 (Hapsari, 2006).
2.8.1 Biaya Benih
Varietas Padi sangat beragam, dari varietas lokal, hibrida hingga introduksi
dari negara lainnya. Varietas lokal adalah varietas yang sudah lama ada dan
dikembangkan di daerah tersebut sehingga adaptasinya baik, varietasnya antara
lain Raja Lele, Menthik Wangi, Anak Daro, Pandan Wangi, Intras Kaba (Asahan,
Sumatra), Wojolaka (Manggarai, NTT), dan Gundil Merah (Indramayu, Jawa
Barat) (Anonim, 2010a: 18-19). Sedangkan varietas hibrida merupakan persilangan
antara dua varietas yang memiliki keunggulan tertentu, sehingga varietas Padi
hibrida mempunyai keunggulan-keunggulan dari induknya, contoh varietasnya
adalah Bernas Prima, Bernas Super, Mapan-P.02, Sembada B8, dan SL 11 SHS.
Kemudian beberapa contoh varietas Padi unggul adalah Barito, IR-64, PB-8, Pelita
I-2, dan INPARA 2 (Anonim, 2011b: 1-2).
Harga benih sangat bervariasi, tergantung pada varietasnya. Varietas Padi
pertanian organik yang dianjurkan berasal dari varietas lokal, sebab varietas lokal
memiliki daya adaptasi pada saat terjadi kondisi ektrim atau serangan OPT. Selain
19
itu, perolehan varietas lokal mudah dan murah karena didapat dari proses seleksi
mandiri oleh petani tersebut saat masa panen tiba atau membeli dari sesama petani
yang berpengalaman dalam seleksi benih. Benih pertanian organik sebaiknya
berasal dari daerah tersebut. Dengan demikian biaya pembelian benih pada
pertanian organik sangat murah, yaitu Rp 5.000,00/kg untuk varietas unggul lokal
(Anonim, 2011h).
Benih pada pertanian anorganik diperoleh dengan membeli. Benih yang
digunakan biasanya hasil introduksi atau varietas unggulan nasional dan varietas
hibrida. Dari benih ini, jika ditanam untuk musim selanjutnya sudah tidak layak.
Dengan demikian, diperlukan pembelian benih secara berulang, padahal harga
benih Padi hibrida perkilogramnya berkisar dari Rp 40.000,00- Rp 50.000,00
(Anonim, 2011h).
Berdasarkan pada uraian diatas, dapat diduga bahwa biaya untuk pembelian
benih pada pertanian organik lebih murah bila dibandingkan dengan biaya
pembelian benih pada pertanian anorganik.
2.8.2 Biaya Pupuk
Di pertanian organik, biaya dapat ditekan serendah mungkin melalui
penggunaan bahan-bahan hayati sebagai pupuk dan pestisida. Pada pertanian
organik, pupuk yang digunakan berasal dari bahan hayati seperti dari serasah dan
daun kering, kotoran hewan, tanaman Leguminosa, dan bahkan dari limbah
organik rumah tangga.
Pada dasarnya, bahan baku dari pupuk hayati mudah diperoleh dan diolah
menjadi pupuk hayati yang siap pakai. Apabila pupuk hayati dibuat dari bahan-
bahan yang dikumpulkan sendiri oleh petani, maka harganya cukup murah,
bahkan tidak mengeluarkan biaya, jika bahan hayati yang digunakan didatangkan
dari luar ekosistem, seperti dari peternakan Sapi daerah lain yang membutuhkan
biaya transportasi, setidaknya petani mengeluarkan biaya dalam jumlah yang kecil.
Sebagai contoh, pupuk kandang Sapi setiap satu kali angkut mobil bak terbuka,
yang dalam istilah masyarakat setempat “kol” dijual seharga Rp. 200.000,00.
20
Jika dihitung dalam bentuk satuan kilogram, harga tiap kilogram pupuk kandang
Sapi adalah Rp 1.000,00 dalam hal ini satu “kol” di andaikan sama dengan 200 kg.
Berdasar penelitian Marhamah (2007) di Situgede, Kabupaten Bogor dalam
Siahaan (2009), diketahui biaya yang dikeluarkan oleh petani anorganik untuk
membeli pupuk kimiawi mencapai Rp 905.170,00/ha/musim tanam.
Berbeda dengan petani organik yang mengeluarkan biaya untuk pupuk sebesar
Rp 672.583,00/ha/musim tanam. Dari hasil ini terdapat selisih harga 34,58% yaitu
sebesar Rp 232.587,00. Menurut Marhamah selisih harga tersebut berasal dari
penggunaan teknologi alternatif yang bersifat hayati (Marhamah, 2007 dalam
Siahaan, 2009: 4).
Pertanian anorganik biasanya menggunakan masukan unsur hara berupa pupuk
hayati dan pupuk kimia sintesis, akan tetapi biasanya pupuk hayati hanya
digunakan sebagai pupuk dasar dengan jumlah yang sedikit, serta hanya dilakukan
pada awal tanam. Dewasa ini, harga pupuk cukup tinggi, seperti yang diberitakan
dalam Kompas.com dan OkeZone.com pada tanggal 7 April 2011 dan 5 April 2011,
harga pupuk UREA bersubsidi mencapai Rp 1.600,00/kg (Anonim, 2011e)
sedangkan harga pupuk SP-36 Rp 2.000,00/kg, ZA Rp 1.400,00/kg dan NPK
Rp 2.300,00/kg (Anonim, 2011f).
Perlu diketahui, pemerintah memberikan rekomendasi pemupukan untuk lahan
normal tanaman Padi sebagai berikut, UREA 200-250 kg, SP-36 100-150 kg,
KCL 75-100 kg, sedangkan bila menggunakan NPK maka dosisnya adalah 100 kg
UREA dan 300 kg NPK (Anonim, 2011g). Dengan dosis ini, maka dapat diketahui
proteksi biaya untuk pupuk UREA sebesar Rp 320.000,00-Rp 400.000,00.
Sedangkan untuk pupuk SP-36 sebesar Rp 200.000,00-Rp 300.000,00.
Kemudian biaya untuk pupuk NPK sebesar Rp. 690.000,00. Jika seorang petani
tersebut menggunakan UREA dan NPK, maka biaya untuk pupuk sebesar
Rp 850.000,00/ha.
Jika dilihat dari perbedaan biaya pada pertanian organik dengan anorganik,
dapat diduga biaya untuk pupuk pada pertanian organik lebih kecil dari pada
pertanian anorganik.
21
2.8.3 Biaya Pestisida
Pestisida merupakan bahan-bahan yang mampu mengurangi dan melindungi
tanaman budidaya dari serangan OPT. Dewasa ini, pestisida yang dijual dan yang
digunakan oleh petani ada dua jenis, pestisida hayati dan pestisida kimia sintesis.
Pertanian organik pada dasarnya tidak menghendaki bahan-bahan kimia
sintesis sebagai pengendali OPT, sehingga pengendalian OPT menggunakan bahan
alami dan agen pengendali hayati. Pemilihan bahan hayati sebagai pengendali OPT
karena kemampuannya mengurangi serangan OPT tanpa merusak keseimbangan
ekosistem.
Pembuatan pestisida hayati sangat mudah dan murah, sebab bahan bakunya
berasal dari bumbu dapur dan tanaman pekarangan, seperti Mimba (Azadirachta
indica), Kecubung (Daura metel), Mindi (Melia azedarach L.), Serai
(Cymbopogon nardus), Bawang Putih (Allium sativum), Jahe (Zingiber officinale),
Cabai Rawit (Capsicum frutescens), Cabai Merah (Capsicum annum), Brotowali
(Tinospora crispa), Sirsak (Annona muricata), Mahoni (Swietenia mahagoni,
Jacq.), Jarak (Ricinus communis), dan Klerak (Sapindus rarak), Buah Maja (Aegle
marmelos L. Correa), Temu Ireng (Curcuma aeruginosa Roxb.), dan Kunyit
(Curcuma longa Linn.) (Anonim, 2002c).
Berbeda halnya dengan biaya yang dibutuhkan oleh seorang petani anorganik,
karena mereka mengandalkan pestisida kimia sintesis yang saat ini memang mahal
dan banyak menimbukan dampak negatif bagi keseimbangan ekosistem. Saat ini
harga bahan baku dari pestisida kimia sintesis mengalami kenaikan harga,
sehingga harganya juga ikut naik.
Berdasarkan pada uraian diatas, maka dapat diduga bahwa biaya pengeluaran
untuk pestisida dari pertanian organik lebih kecil bila dibandingkan dengan
pertanian anorganik.
2.8.4 Biaya Tenaga Kerja
Dalam kegiatan usahatani Padi, jumlah tenaga kerja yang diperlukan beraneka
ragam, baik dibedakan dari kegiatan yang dilakukan, gender dan luasan lahan yang
22
diolah. Dalam usahatani keluarga, tenaga kerja merupakan faktor terpenting,
sebab jika pekerjaan usahatani dapat dikerjakan oleh keluarga, maka pengeluaran
akan lebih sedikit. Biasanya tenaga kerja usahatani keluarga terdiri dari petani dan
keluarganya serta tenaga luar.
Dalam kegiatan usahatani Padi organik, kegiatan persemaian hingga perawatan
menjelang panen tidak membutuhkan banyak tenaga kerja, sehingga biasanya
hanya menggunakan tenaga keluarga, apalagi jika luasan lahan yang dimiliki oleh
petani Padi organik relatif sempit. Pada masa perawatan ini, petani Padi organik
hanya melakukan kontrol terhadap serangan OPT saja, pemupukan tidak dilakukan
lagi, sehingga tenaga kerja cukup dari keluarga. Penggunaan tenaga kerja yang
cukup besar dapat terjadi pada saat masa panen, sebab dibutuhkan lebih banyak
tenaga kerja untuk pemanenan dan pengangkutan Padi. Tenaga tambahan dari luar
biasanya diperlukan untuk luasan lahan yang luas.
Berbeda halnya dengan seorang Petani anorganik, dimana sebagian besar
memiliki luasan lahan yang luas dengan perawatan yang cukup intensif.
Pada awalnya jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk persemaian, pembibitan,
dan pindah tanam, masih sedikit sehingga cukup menggunakan tenaga kerja dari
keluarga. Pada tahapan penanaman dan perawatan, kebutuhan tenaga kerja
meningkat sehingga diperlukan tenaga kerja luar. Pada masa panen diperlukan pula
tambahan tenaga kerja luar untuk proses pengangkutan hasil panen.
Dengan demikian tenaga kerja yang diperlukan di pertanian organik lebih sedikit
bila dibandingkan dengan pertanian anorganik.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat diduga bahwa tenaga kerja yang
digunakan dalam pertanian organik lebih sedikit bila dibandingkan dengan
pertanian anorganik, sehingga biaya tenaga kerja pertanian organik lebih sedikit
bila dibandingkan dengan pertanian anorganik.
23
2.9 Hipotesis
Berdasarkan pada tinjauan pustaka beserta kerangka teoritis yang telah
dikemukan di atas maka dapat diajukan beberapa hipotesis sebagai berikut:
a. Diduga hasil produksi pertanian organik lebih rendah dari pada pertanian
anorganik.
b. Diduga modal lancar tiap musim pertanian organik lebih kecil dari pada
pertanian anorganik.
c. Diduga pendapatan (kotor dan bersih) pertanian organik lebih tinggi dari
pertanian anorganik.
d. Diduga biaya benih pada pertanian organik lebih rendah dari pertanian
anorganik.
e. Diduga biaya pupuk pada pertanian organik lebih rendah dari pertanian
anorganik.
f. Diduga biaya pestisida pada pertanian organik lebih rendah dari pertanian
anorganik.
g. Diduga biaya tenaga kerja pada pertanian organik lebih rendah dari pertanian
anorganik.