1.SN Dr. Partini Pudjiastuti
-
Upload
jawahir-putra -
Category
Documents
-
view
60 -
download
12
Transcript of 1.SN Dr. Partini Pudjiastuti
SINDROM NEFROTIK PADA ANAK
Partini Pudjiastuti TrihonoDepartemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta
Sindrom nefrotik merupakan manifestasi glomerulopati yang paling sering
ditemukan pada anak, penyakit ini 15 kali lebih sering ditemukan pada anak
dibandingkan pada dewasa.1 Anak laki-laki lebih sering menderita kelainan ini
dibandingkan dengan anak perempuan dengan perbandingan 2:1. Angka kejadian
sindrom nefrotik pada anak di bawah usia 18 tahun diperkirakan berkisar 2-7 kasus per
100.000 anak per tahun, dengan awitan tertinggi terjadi pada usia 2-3 tahun. Hampir 50%
penderita mulai sakit saat berusia 1-4 tahun; 75% mempunyai awitan sebelum berusia 10
tahun.2 Penyakit ini merupakan penyakit kronik yang cenderung kambuh berulang, dan
merupakan alasan terbanyak untuk melakukan rujukan ke ahli ginjal anak. Perjalanan
penyakit ini, yang pada awitannya bersifat insidious, seringkali menyebabkan
keterlambatan diagnosis.
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari proteinuria
masif (> 40 mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24 jam), hipoalbuminemia (< 2,5 g/dL), edema,
dan dapat disertai hiperlipidemia. Sindrom nefrotik pada anak dapat dibagi menjadi 3
kelompok, yaitu sindrom nefrotik kongenital, sindrom nefrotik primer idiopatik
(terbanyak), dan sindrom nefrotik sekunder terhadap penyakit sistemik lainnya.
Bayi-bayi yang menunjukkan gejala sindrom nefrotik dalam 3 bulan pertama
kehidupannya didiagnosis sebagai sindrom nefrotik kongenital. Penyebab utama kelainan
ini adalah sindrom nefrotik kongenital Finnish type, suatu penyakit yang diturunkan
secara autosomal resesif, terbanyak ditemukan pada populasi Skandinavia dengan angka
kejadian 1 di antara 8000 bayi. Pada sindrom nefrotik kongenital tipe ini telah ditemukan
adanya mutasi gen NPHS1 yang berlokasi pada kromososm 19q13.1. Gen ini mengkode
protein nephrin, yaitu komponen protein utama pada slit diaphragma di lapisan epitel
glomerulus yang berpartisipasi dalam pembentukan lapisan anion. Lapisan anion ini
berfungsi menolak protein plasma secara elektrokimiawi.1,2 Sindrom nefrotik kongenital
seringkali disertai gambaran klinis lain seperti lahir prematur dengan berat lahir kecil
dibandingkan masa gestasinya, plasenta besar, kelainan bentuk kepala dan wajah,
gangguan pernapasan. Perjalanan penyakit ini berupa edema persisten, disertai infeksi
berulang, dan penurunan fungsi ginjal progresif, kematian umumnya terjadi sebelum usia
5 tahun. Sindrom nefrotik kongenital dapat pula disebabkan oleh sifilis kongenital,
toksoplasmosis, infeksi sitomegalovirus.
Sindrom nefrotik sekunder dapat disebabkan oleh berbagai antigen ekstrinsik,
obat-obatan, maupun zat toksik, seperti penisilamin, probenesid, keracunan logam berat
(emas, air raksa), gigitan lebah, bisa ular, dan lain-lain. Sindrom nefrotik juga dapat
terjadi sekunder karena infeksi (hepatitis, lepra, malaria, sifilis, schistosomiasis, filariasis,
HIV), keganasan (karsinoma, leukemia, limfoma), dan penyakit sistemik seperti
sarkoidosis, amiloidosis, purpura Henoch-Schonlein, lupus eritematosus sistemik, dan
penyakit vaskulitis lain.
Sindrom nefrotik primer idiopatik merupakan sindrom nefrotik yang paling sering
ditemukan pada anak, yaitu meliputi 90% dari seluruh sindrom nefrotik pada anak.
Gambaran patologi anatomi sindrom nefrotik idiopatik bervariasi. Namun sebagian besar
(85%) adalah kelainan minimal,1 dan glomerulosklerosis fokal segmental.1,3 Dalam
prakteknya, sebagian besar anak tidak menjalani biopsi ginjal pada manifestasi klinis
sindrom nefrotik yang pertama kali, namun mereka langsung mendapat terapi empiris
dengan kortikosteroid. Penderita sindrom nefrotik yang responsif dengan pengobatan
kortikosteroid ini sangat jarang menjalani diagnosis patologi anatomis, oleh karena itu
pada saat ini klasifikasi lebih didasarkan pada respons klinik, yaitu sindrom nefrotik
sensitif steroid (SNSS) dan sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS).4
Patogenesis dan patofisiologi
Proteinuria merupakan gejala yang sine qua non pada sindrom nefrotik. Proteinuria pada
sindrom nefrotik terutama merupakan tipe glomerular. Pada kelainan minimal sensitif
steroid, proteinuria umumnya murni tipe glomerular sedangkan pada sindrom nefrotik
yang disertai dengan penurunan fungsi ginjal umumnya merupakan campuran proteinuria
tipe glomerular dan tipe tubular.4 Dalam keadaan normal, ketiga lapisan kapiler
glomerulus mempunyai muatan negatif, yang ditimbulkan oleh asam sialat yang meliputi
sel epitel dan sel endotel, dan glikosaminoglikan sulfat pada membran basalis. Pada pH
fisiologis, albumin plasma juga bermuatan negatif. Albumin plasma tidak dapat
menembus kapiler glomerulus karena ada barier ukuran (a size-specific barrier = a sieve)
dan barier muatan listrik (a charge-specific barrier = an electric fence).4 Pada sindrom
nefrotik terjadi peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus yang menyebabkan
proteinuria masif. Penyebab dari peningkatan permeabilitas kapiler ini tidak diketahui
dengan jelas. Sindrom nefrotik idiopatik merupakan penyakit imunologik. Pada kelainan
minimal terjadi disfungsi sel T yang menyebabkan perubahan sitokin, selanjutnya sitokin
tersebut menyebabkan dinding kapiler glomerulus kehilangan muatan negatifnya.1,5 Pada
glomerulosklerosis fokal segmental, suatu faktor dalam plasma, yang mungkin
merupakan produk limfosit, diduga merupakan penyebab peningkatan permeabilitas
kapiler glomerulus.1 Penelitian telah membuktikan peran nephrin dan podocin yang
terletak pada slit diaphragm dan podosit pada patogenesis terjadinya proteinuria pada
sindrom nefrotik.6
Hipoalbuminemia merupakan akibat dari proteinuria masif dan kapasitas produksi
albumin oleh hepar tidak dapat mengimbangi jumlah protein yang diekskresi di ginjal.
Hipoalbuminemia menurunkan tekanan onkotik plasma sehingga terjadi ekstravasasi
cairan intravaskular ke rongga interstisial. Pengurangan volume intravaskular yang terjadi
kemudian akan menurunkan perfusi ginjal dengan akibat penurunan laju filtrasi
glomerulus, dan menstimulasi sistim renin-angiotensin. Aldosteron, sebagai hasil dari
aktivasi sistem renin-angiotensin, bersama dengan peningkatan sintesis dan sekresi
hormon antidiuretik sebagai respons dari penurunan volume intravaskular, menyebabkan
peningkatan reabsorbsi natrium dan air di tubulus. Resultante dari proses-proses tersebut
adalah terjadinya edema yang menetap dan progresif. Patogenesis edema melalui cara
tersebut merupakan teori underfill. Teori underfill tidak selalu dapat diterapkan pada
pasien sindrom nefrotik. Pada beberapa pasien didapatkan peningkatan volume
intravaskular, dengan kadar renin dan aldosteron rendah. Pada pasien-pasien ini, edema
terjadi karena kelainan primer pada fungsi ginjal yang menyebabkan retensi air dan
natrium, peningkatan volume sirkulasi sehingga terjadi transudasi cairan ke rongga
interstisial.1,4,5
Manifestasi klinis
Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan adalah edema yang menyeluruh dan
terdistribusi mengikuti gaya tarik bumi. Edema sering ditemukan dimulai dari daerah
wajah dan kelopak mata pada pagi hari, yang kemudian menghilang, digantikan oleh
edema di daerah pretibial pada sore hari. Asites sering ditemukan tanpa edema anasarka,
terutama pada anak kecil dan bayi yang jaringannya lebih resisten terhadap pembentukan
edema interstisial dibandingkan anak yang lebih besar. Efusi transudat lain sering pula
ditemukan, seperti efusi pleura. Bila tidak diobati edema dapat menjadi anasarka, sampai
ke skrotum atau daerah vulva. Tekanan darah umumnya normal atau rendah, namun 21%
pasien mempunyai tekanan darah tinggi yang sifatnya sementara, terutama pada pasien
yang mengalami deplesi volume intravaskular berat. Keadaan ini disebabkan oleh sekresi
renin berlebihan, sekresi aldosteron, dan vasokonstriktor lain, sebagai respons tubuh
terhadap hipovolemia. Pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) dan
glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) jarang ditemukan hipertensi yang menetap.3,4
Pasien sindrom nefrotik mempunyai risiko tinggi untuk mengalami syok hipovolemik.
Nyeri abdomen pada sindrom nefrotik perlu diwaspadai sebagai gejala syok dikarenakan
kekurangan perfusi ke daerah splangnik, atau akibat peritonitis.
Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan urinalisis dapat ditemukan hematuria mikroskopik pada 20-23% kasus
sindrom nefrotik, sedangkan hematuria makroskopik sangat jarang ditemukan. Penemuan
hematuria makroskopik (pada urinalisis ditemukan silinder eritrosit atau granular) pada
sindrom nefrotik idiopatik perlu dipikirkan kemungkinan terjadinya trombosis vena
renalis.
Proteinuria masif pada sindrom nefrotik umumnya bersifat selektif, yaitu terutama terdiri
dari albuminuria dan protein dengan berat molekul rendah. Pada anak kecil sulit untuk
dilakukan pengumpulan urin 24 jam, sehingga proteinuria berat dapat ditentukan dari
pemeriksaan urin sewaktu yang menunjukkan rasio kadar protein (mg) : kadar kreatinin
(mg) > 2. Protenuria yang makin selektif menunjukkan makin besar kemungkinan
SNKM. Selektivitas proteinuria ini dihitung dengan laju fraksi eksresi protein dengan
berat molekul rendah (β2-mikroglobulin). Pada urinalisis dapat ditemukan lipiduria dan
oval fat bodies. Pada pasien yang tidak mendapatkan diuretik, kadar natrium yang rendah
di dalam urin (< 10 mmol/L) dapat menjadi petunjuk adanya hipovolemia.
Pemeriksaan darah tepi memberikan gambaran hemokonsentrasi, yang ditandai dengan
peningkatan kadar hemoglobin dan hematokrit. Trombositosis sering terjadi dan dapat
mencapai lebih dari 500.000 per mikroliter. Pemeriksaan plasma menunjukkan
hipoalbuminemia (< 2,5 g/dL), semakin rendah kadar albumin maka semakin berat gejala
klinisnya. Kadar IgG menurun, sedang IgM meningkat. Komplemen C3 dan C4
umumnya normal. Kadar komplemen C3 yang rendah merupakan petunjuk penting untuk
membedakan SNSS dengan glomerulopati lain, seperti glomerulonefritis
membranoproliferatif, nefritis lupus, dan nefritis akibat endokarditis bakterialis atau
ventriculo-atrial shunt. Kadar antitrombin III, heparin cofactor, faktor pembekuan XI
dan XII rendah akibat hilang melalui urin, sedang kadar protein lain yang berfungsi
koagulasi meningkat, seperti fibrinogen, faktor pembekuan V, VII, VIII, dan X. Kedua
hal ini menyebabkan risiko terjadinya hiperkoagulabilitas dan trombosis. Kadar
kolestserol total, LDL dan VLDL meningkat, sedang kadar HDL umumnya normal.
Kadar ureum, kreatinin, dan elektrolit pada SNKM dan GSFS umumnya dalam batas
normal.3,4,7
Tata laksana
Kortikosteroid merupakan pengobatan sindrom nefrotik idiopatik lini pertama, jenis yang
sering digunakan adalah prednison atau prednisolon. Pengobatan inisial standar menurut
ISKDC adalah pemberian prednison dengan dosis penuh 60 mg/m2/hari atau sama dengan
2 mg/kg/hari (maksimal 80 mg/hari), dalam dosis terbagi selama 4 minggu berturut-turut.
Kemudian dilanjutkan dengan 2/3 dosis tersebut (40 mg/m2/hari, maksimum 60 mg/hari)
dalam dosis terbagi, diberikan 3 hari berturut-turut dalam seminggu (intermittent).
Pemberian prednison selang sehari (alternating) terbukti lebih efektif dalam
mempertahankan remisi daripada cara intermittent, dan pemberian prednison dalam dosis 1
2
3.4
5
6
7
tunggal tidak meningkatkan risiko relaps dibandingkan dengan pemberian prednison
dalam dosis terbagi. Pemberian terapi inisial dengan prednison lebih lama sampai 3-7
bulan (prednison 60 mg/m2/hari diberikan tiap hari selama 4-8 minggu, kemudian
dilanjutkan dengan dosis alternating), dapat menurunkan jumlah relaps (RRR=relative
risk reduction) sampai 41 % (95% interval kepercayaan 24-54%) dan NNT (number
needed to treat) = 4 (95% CI 2-8) dalam 6 bulan, dan RRR 27% (95% interval
kepercayaan 11-40%) dan NNT=5 (95% CI 3-10) dalam 12-24 bulan pasca pengobatan
inisial, tanpa meningkatkan kejadian efek samping.8,9 Terdapat hubungan linier terbalik
antara risiko relaps dengan lama dan total steroid yang diberikan selama terapi insial;
risiko relaps turun 11% per bulan untuk setiap 1 bulan penambahan lama terapi di atas 2
bulan. Sebagai contoh; bila rata-rata relaps terjadi pada 70% penderita SSNS, maka bila
seorang anak mendapat terapi inisial selama 6 bulan, risiko relaps akan menurun
sebanyak 70% x 11% x (6-2)= 31%.9
Berkaitan dengan respons sindrom nefrotik terhadap pengobatan steroid, terdapat
beberapa istilah yang sering digunakan, seperti remisi, relaps, relaps jarang, relaps sering,
dependen steroid, dan resisten steroid. Disebut remisi bila didapatkan proteinuria kurang
dari 4 mg/m2/jam atau dengan dipstik negatif atau trace, 3 hari berturut-turut dalam 1
minggu; sedangkan relaps adalah proteinuria > 40mg/m2/hari atau dengan dipstik > 2+
selama 3 hari berturut-turut dalam seminggu. Sindrom nefrotik relaps jarang adalah anak
yang mengalami relaps kurang dari 2 kali dalam periode 6 bulan atau kurang dari 4 kali
dalam periode 12 bulan setelah terapi inisial. Sindrom nefrotik relaps sering bila seorang
anak mengalami relaps > 2 kali dalam periode 6 bulan pertama setelah respons awal atau
> 4 kali dalam periode 12 bulan. Sindrom nefrotik dependen steroid adalah bila dua
relaps terjadi berturut-turut pada saat dosis steroid diturunkan atau dalam waktu 14 hari
setelah pengobatan dihentikan. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh
tidak juga terjadi remisi, maka pasien tersebut dikatakan menderita sindrom nefrotik
resisten steroid.10,11 Sebagian besar penderita sindrom nefrotik berusia di bawah 10 tahun
(80-90%) akan mengalami remisi dengan pemberian steroid, dengan median waktu
mencapai remisi 11 hari.4 Kelompok ini disebut sebagai sindrom nefrotik sensitif steroid. 8
9
10
11
Pada sebagian besar kasus (> 75%) sindrom nefrotik akan relaps; hampir 50%
merupakan relaps sering atau dependen steroid. Relaps sering terjadi setelah infeksi virus,
namun relaps dapat pula terjadi spontan. Faktor-faktor yang merupakan prediktor
terjadinya relaps sering, antara lain usia awitan kurang dari 3 tahun, lambat remisi
(setelah 7-9 hari), relaps dini (relaps terjadi dalam 6 bulan setelah terapi inisial), dan
hematuria.12,13
Pengobatan sindrom nefrotik relaps menurut ISKDC adalah prednison 60 mg/m2/hari
sampai terjadi remisi, kemudian dilanjutkan dengan prednison 40 mg/m2/hari secara
alternating selama total 28 hari (14 dosis).4
Anak dengan sindrom nefrotik relaps sering dan dependen steroid merupakan
kasus sulit, karena anak dalam kelompok ini akan sering mendapatkan prednison dosis
tinggi sehingga mempunyai risiko besar untuk memperoleh efek samping steroid.
Beberapa terapi alternatif yang dapat diberikan bagi anak dalam kelompok ini antara lain
steroid dalam dosis yang diturunkan bertahap sampai dosis terkecil yang tidak
menimbulkan relaps, levamisol (2,5 mg/kg/hari), atau pemberian imunosupresif lain
seperti siklofosfamid (2-3 mg/kg/hari), klorambusil (0,2 mg/kg/hari), siklosporin (5-6
mg/kg), dan mikofenolat mofetil (0,5-1 g/m2).9,10,11,14,15,16
Pada sindrom nefrotik relaps sering dan dependen steroid, levamisol dan prednison dapat
menurunkan risiko relaps dibandingkan dengan prednison saja (RR 0,60;95%CI 0,45-
0,79)
Pemberian siklofosfamid oral atau klorambusil oral selama 8 minggu, sama efektifnya
dalam menurunkan risiko relaps pada sindrom nefrotik relaps sering; namun klorambusil
mempunyai potensi lebih tinggi untuk menimbulkan efek samping berupa risiko infeksi,
keganasan, dan kejang. Beberapa uji klinik memperlihatkan bahwa pemberian
siklofosfamid intravena (500 mg/m2/dosis setiap bulan selama 6 bulan) lebih efektif
menurunkan risiko relaps bila dibandingkan dengan siklofosfamid oral (2mg/kg/hari
selama 12 minggu) dengan RR 0,56 (95% interval kepercayaan 0,33-0,92).9 Efek toksik
12
13
14
15
16
siklofosfamid terhadap gonad berupa oligosperma pada anak laki-laki akan terjadi bila
dosis kumulatif siklofosfamid melebihi 200 mg/kg, berarti seorang anak hanya boleh
mendapatkan 1 episode pemberian siklofosfamid (2 mg/kg/hari selama 12 minggu
memberikan dosis kumulatif sebesar 168 mg/kg).9
Terapi siklosporin tidak lebih efektif bila dibandingkan dengan siklofosfamid (RR 1,07;
95%CI 0,48-2,35) maupun klorambusil (RR 0,82; 95%CI 0,44-1,53); namun
menimbulkan efek samping yang bermakna, seperti hipertensi (4%), gagal ginjal (9%),
hipertrofi gusi (28%), dan hirsutisme (34%). Sebagian besar anak dalam terapi
siklosporin akan mengalami relaps lagi setelah terapi dihentikan.9
Sebuah laporan serial kasus menunjukkan bahwa mikofenolat mofetil menurunkan risiko
relaps pada sindrom nefrotik dependen steroid yang telah gagal dalam terapi siklosporin
atau steroid.16
Penderita sindrom nefrotik resisten steroid mempunyai prognosis yang paling
buruk.4 Beberapa terapi yang pernah dilaporkan untuk sindrom nefrotik resisten steroid,
adalah puls metil prednisolon, puls siklofosfamid, siklosporin, tacrolimus, vinkristin, dan
sebagainya.10,11,17,18 Pada sindrom nefrotik resisten steroid dapat diberikan inhibitor enzim
angiotensin konvertase (ACE inhibitor =ACEI) dan penghambat reseptor angiotensin
(angiotensin receptor blocker) yang bekerja sebagai renoprotektor dan antiproteinuria.
Cara kerja obat ini dalam mengurangi proteinuria melalui penurunan tekanan hidrostatik
kapiler glomerulus dan mengubah permeabilitas glomerulus. Efek antiprotenuria obat ini
sejalan dengan dosis dan lama pemberian. Sebagai contoh, enalapril dosis 0,6 mg/kg/hari
lebih efektif menurunkan proteinuria dibandingkan dengan dosis 0,2 mg/kg/hari. ACEI
dapat mereduksi proteinuria sampai 40-50%.19
Pengobatan imunosupresif selalu menimbulkan risiko untuk mendapat efek samping obat,
oleh karenanya sebelum memulai pemberian obat-obat tersebut, perlu dijelaskan kepada
pasien dan keluarganya mengenai efek samping obat yang dapat timbul dalam jangka
pendek maupun jangka panjang.
Selain terapi imunosupresif, penderita sindrom nefrotik memerlukan terapi
suportif seperti dietetik, terapi untuk edema, dan terapi terhadap komplikasi seperti
17
18
19
infeksi, hipertensi, gagal ginjal, trombosis, dan sebagainya. Diet yang direkomendasikan
adalah diet seimbang dengan protein dan kalori adekuat. Kebutuhan protein anak normal
berkisar 1,5-2 g/kg, pada anak dengan proteinuria menetap dapat diberikan 130-140%
kebutuhan normal, yaitu sampai 2-2,5 g/kg per hari.5,7,11 Restriksi garam diperlukan
untuk mencegah dan mengobati edema. Restriksi cairan dianjurkan pada kasus dengan
hiponatremia sedang atau berat (kadar natrium plasma < 125 mmol/L).
Untuk mengatasi edema yang nyata pada sindrom nefrotik dapat diberikan diuretik
furosemid 1-3 mg/kg per hari, atau dikombinasikan dengan spironolakton 1-2 mg/kg per
hari.11 Infus albumin diberikan bila edema persisten dengan pemberian diuretik, atau pada
keadaan yang mengancam jiwa, seperti efusi pleura, edema paru, asites yang sangat
besar, gagal ginjal, syok hipovolemik, infeksi berat. Infus albumin dengan dosis 1 g /kg
diberikan selama 8-12 jam,2 diikuti dengan pemberian furosemid intravena. Bila larutan
albumin tidak tersedia dapat digantikan dengan plasma 15-20 ml/kg.20
Komplikasi
Penderita sindrom nefrotik dapat mengalami gagal ginjal akut akibat dari hipovolemia,
laju filtrasi glomerulus (LFG) dapat kembali normal setelah remisi tercapai. Penurunan
LFG dapat pula ditemukan pada keadaan normovolemia, hal ini disebabkan oleh
kerusakan pada foot processus yang mengakibatkan berkurangnya area filtrasi dan
penurunan permeabilitas air.7 Gagal ginjal akut pada sindrom nefrotik dapat terjadi
sekunder akibat trombosis vena renalis, atau terjadi nefritis interstisalis akibat pemakaian
furosemid dosis tinggi.
Penderita sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, yang paling sering adalah
peritonitis (2-6%), kemudian selulitis, pneumonia, dan infeksi saluran napas atas oleh
virus. Beberapa penyebab kerentanan penderita sindrom nefrotik terhadap infeksi antara
lain karena pengeluaran IgG, komplemen, protein faktor B dan D di dalam urin,2,4
disfungsi sel T, kondisi hipoproteinemia, dan pemberian imunosupresif. Aliran darah
mesenterikum yang melambat dan hiperkogulabilitas menimbulkan mikroinfark sehingga
memudahkan terjadinya peritonitis. Organisme penyebab pritonitis antara lain
Streptococcus pneumonia dan Escherichia coli. 2
20
Hipertensi ditemukan pada sekitar 10-20% kasus sindrom nefrotik pada saat diagnosis
awal ditegakkan.3,5 Hipertensi dapat juga sebagai komplikasi terapi steroid.
Komplikasi hipovolemia dapat terjadi sebagai akibat pemakaian diuretik yang tidak
terkontrol, terutama pada kasus yang disertai dengan sepsis, diare, dan muntah.
Tromboemboli vena dalam di ekstremitas, vena renalis, dan vena-vena di paru atau
serebral, ditemukan pada 2-8% kasus sindrom nefrotik pada anak.4 Tromboemboli pada
sindrom nefrotik disebabkan karena keadaan hiperkoagulabilitas akibat penurunan
volume intravaskular dan peningkatan faktor-faktor pembekuan. Penderita yang
menunjukkan gejala trombosis, baik secara klinis maupun radiologis, diberikan heparin
subkutan, dilanjutkan dengan warfarin oral selama 6 bulan.21
Komplikasi hiperlipidemia merupakan akibat dari penurunan tekanan onkotik plasma
merangsang hepar untuk mensitesis lipid dan lipoprotein, di samping itu katabolisme
lipid pada sindrom nefrotik juga menurun. Kolesterol total darah meningkat terutama bila
kadar albumin plasma 2 g/dL atau kurang. Pada sindrom nefrotik sensitif steroid, keadaan
hiperlipidemia hanya berlangsung sementara, namun peningkatan lemak pada sindrom
nefrotik resisten steroid mempunyai potensi untuk menimbulkan penyakit kardiovaskular,
dan glomerulosklerosis. Pada keadaan ini dianjurkan untuk mempertahankan rasio berat
badan dan tinggi badan, serta diet restriksi lemak jenuh.21 Penggunaan statin (HMG-CoA
reductase inhibitors) untuk mengatasi hiperlipidemia belum dianjurkan, walaupun
pemakaian jangka pendek obat ini pada anak terbukti aman dan efektif untuk
menurunkan kadar kolesterol total, LDL, dan trigliserida, serta meningkatkan HDL.21
Gangguan pertumbuhan sering ditemukan pada sindrom nefrotik, antara lain disebabkan
oleh hipoproteinemia, pengeluaran IGF binding protein melalui urin, dan efek
pengobatan steroid.2
Pengobatan steroid jangka lama dapat menimbulkan risiko osteoporosis. Dua puluh dua
persen penderita sindrom nefrotik menunjukkan massa tulang yang rendah. Penurunan
massa tulang ini berkaitan dengan usia awitan yang lebih tua, asupan kalsium yang
rendah, dan dosis kumulatif steroid.22 Selain itu pada sindrom nefrotik, terjadi defisiensi
vitamin D, sekalipun dalam keadaan remisi.23 Dalam keadaan ini diperlukan pemberian
21
22
23
kalsium dan vitamin D, terutama pada anak dengan sindrom nefrotik relaps sering,
dependen steroid, dan resisten steroid.
Di samping itu pasien sindrom nefrotik juga dapat memperoleh komplikasi dari
pengobatan yaitu akibat efek samping steroid, siklofosfamid, dan lain-lain.4
Pemantauan
Penderita sindrom nefrotik tidak selalu membutuhkan perawatan di rumah sakit, kecuali
bila disertai dengan syok, asites masif, efusi pleura, hipertensi berat, anuria atau oliguria,
peritonitis, infeksi saluran napas berat, dan azotemia berat.5 Pengawasan di poliklinik
merupakan aspek terpenting dalam tata laksana sindrom nefrotik, meliputi pemantauan
respons steroid, tekanan darah, derajat edema, infeksi. Edukasi pada orangtua pasien
merupakan hal yang tidak kalah pentingnya, sehingga orangtua dapat ikut memonitor
keadaan anaknya di rumah dan mengenal keadaan darurat untuk harus dibawa ke rumah
sakit segera.
Biopsi ginjal
Biopsi ginjal terindikasi pada sindrom nefrotik resisten steroid, atau sindrom nefrotik
yang disertai hematuria makroskopik, hipertensi berat, gagal ginjal menetap, dan
komplemen serum rendah. Anak dengan awitan sindrom nefrotik kurang dari 1 tahun
atau lebih dari 11 tahun terindikasi pula untuk dilakukan biopsi ginjal.2,7,11
Prognosis
Faktor terpenting yang menentukan prognosis sindrom nefrotik adalah responsivitas
terhadap terapi steroid. Meskipun lebih dari 70% anak dengan SNSS mengalami relaps
dan hampir 50% mengalami relaps sering atau dependen steroid, namun anak dalam
kelompok ini mempunyai risiko mengalami gagal ginjal kronik minimal. Penelitian-
penelitian telah membuktikan bahwa 15-25% anak akan masih mengalami relaps sampai
10-15 tahun setelah awitan. Suatu studi kohort pada anak dengan SNSS menunjukkan
bahwa 42,2% anak masih mengalami relaps setelah dewasa.24 Usia awitan yang muda dan
24
sindrom nefrotik relaps sering pada usia anak merupakan faktor yang berhubungan
dengan kejadian relaps pada usia dewasa.7,21
Sebagian besar anak dengan SNRS mempunyai risiko untuk mendapat komplikasi,
penyakit ginjal progresif, dan gagal ginjal terminal. Sekitar 20-25% kasus
glomerulosklerosis fokal segmental, akan mengalami kekambuhan bila dilakukan
transplantasi ginjal.21
Daftar Pustaka
1. Vogt BE, Avner ED. Nephrotic syndrome. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Pensylvania;
Saunders: 2004. h. 1753-7.
2. Roth KS, Amaker BH, Chan JCM. Nephrotic syndrome: Pathogenesis and
management. Pediatrics in Review 2002;23(7):237-48.
3. Kumar J, Gulati S, Sharma AP, Sharma RK, Gupta RK. Histopathological spectrum
of childhood nephrotic syndrome in Indian children. Peditr Nephrol 2003;18:657-60.
4. Haycock G. The child with idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Webb N,
Postlethwaite R, penyunting. Cinical Paediatric Nephrology. Edisi ke-3. Oxford;
University Press: 2003. h. 341-66.
5. Travis L. Nephrotic syndrome. Diunduh dari
http://www.emedicine.com/ped/topic1564.htm. Diakses tanggal 22 April 2006
6. Jalanko H. Pathogenesis of proteinuria: lessons learned from nephrin and podocin.
Pediatr Nephrol 2003;18:487-91
7. Niaudet P. Steroid-sensitive nephrotic syndrome in children. Dalam:Avner ED,
Harmon WE, Niaudet P, penyunting. Pediatric Nephrology. Edisi ke-
5.Philadelphia,Lippincott Williams &Wilkins,2004.h.543-56.
8. Hodson EM, Knight JF, Willis NS, Craig JC. Corticosteroid therapy for nephrotic
syndrome in children. Cochrane Database Syst Rev 2004;2:CD001533
9. Hodson EM, Craig JC, Willis NS. Evidence-based management of steroid-sensitive
nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol 2005;20:1523-30.
10. Consensus statement: Management of idiopathic nephrotic syndrome in childhood.
Malaysian Pediatric Association, 2000.
11. Consensus statement on management of steroid responsive nephrotic syndrome.
Indian Pediatric Nephrology Group, Indian Academy of Pediatrics. Indian Pediatrics
2001;38:975-86.
12. Yap HK, Han EJ, Heng CK, Gong WK. Risk factors for steroid dependency in
children with idiopathic nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol 2001;16:1049-52.
13. Constantinescue AR, Shah HB, Foote EF, Weiss LS. Predicting first-year relapses in
children with nephrotic syndrome. Pediatrics 2000;105:492-5.
14. Prasad N, Gulati S, Sharma RK, Singh U, Ahmed M. Pulse cyclophosphamide
therapy in steroid-dependent nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol 2004;19:494-8.
15. Bagga A, Hari P, Moudgil A, Jordan SC. Mycophenolate mofetil (MMF) and
prednisolone therapy in children with steroid-dependent nephrotic syndrome. Am J
Kidney Dis 2003;42:1114-20.
16. Barletta GM, Smoyer WE, Bunchman TE, Flyn JT, Kershaw DB. Use of
mycophenolate mofetil in steroid-dependent and –resistant nephrotic syndrome.
Pediatr Nephrol 2003;18:833-7.
17. Bajpai A Bagga A, Hari P, Dinda A, Srivastava RN. Intravenous cyclophosphamide
in steroid-resistant nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol 2003;18:351-6.
18. Loeffler K, Gowrishankar, Tiu V. Tacrolimus therapy in pediatric patients with
treatment resistant nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol 2004;19:281-7.
19. Bagga A, Mudigoudar BD, Hari P, Vasudev V. Enalapril dosage in steroid resistant
nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol 2004;19:45-50.
20. Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO. Konsensus tata laksana sindrom
nefrotik idiopatik pada anak. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi, Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta:IDAI; 2005
21. Bagga A, Mantan M. Nephrotic syndrome in children. Indian J Med Res
2005;122:13-28
22. Gulati S, Godbole M, Singh U, Gulati K, Srivastava A. Are children with idiopathic
nephritic syndrome at risk for metabolic bone disease? Am J Kidney Dis
2003;41:1163-9.
23. Weng FL, Shults J, Herskovits RM, Zemel BS, Leonard MB. Vitamin D insufficiency
in steroid-sensitive nephrotic syndrome in remission. Pediatr Nephrol 2005;20:56-63.
24. Fakhouri F, Bocquet N, Taupin P, Presna C, Gagnadoux MF, Landais P, dkk. Steroid
sensitive nephrotic syndrome: from childhood to adulthood. Am J Kidney Dis
2003;41:550-7.