1.SN Dr. Partini Pudjiastuti

23
SINDROM NEFROTIK PADA ANAK Partini Pudjiastuti Trihono Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta Sindrom nefrotik merupakan manifestasi glomerulopati yang paling sering ditemukan pada anak, penyakit ini 15 kali lebih sering ditemukan pada anak dibandingkan pada dewasa. 1 Anak laki-laki lebih sering menderita kelainan ini dibandingkan dengan anak perempuan dengan perbandingan 2:1. Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak di bawah usia 18 tahun diperkirakan berkisar 2-7 kasus per 100.000 anak per tahun, dengan awitan tertinggi terjadi pada usia 2-3 tahun. Hampir 50% penderita mulai sakit saat berusia 1-4 tahun; 75% mempunyai awitan sebelum berusia 10 tahun. 2 Penyakit ini merupakan penyakit kronik yang cenderung kambuh berulang, dan merupakan alasan terbanyak untuk melakukan rujukan ke ahli ginjal anak. Perjalanan penyakit ini, yang pada awitannya bersifat insidious, seringkali menyebabkan keterlambatan diagnosis. Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari proteinuria masif (> 40 mg/m 2 /jam atau > 50 mg/kg/24 jam), hipoalbuminemia (< 2,5 g/dL), edema, dan dapat disertai hiperlipidemia. Sindrom nefrotik pada anak dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu sindrom nefrotik kongenital, sindrom nefrotik primer idiopatik (terbanyak),

Transcript of 1.SN Dr. Partini Pudjiastuti

Page 1: 1.SN Dr. Partini Pudjiastuti

SINDROM NEFROTIK PADA ANAK

Partini Pudjiastuti TrihonoDepartemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta

Sindrom nefrotik merupakan manifestasi glomerulopati yang paling sering

ditemukan pada anak, penyakit ini 15 kali lebih sering ditemukan pada anak

dibandingkan pada dewasa.1 Anak laki-laki lebih sering menderita kelainan ini

dibandingkan dengan anak perempuan dengan perbandingan 2:1. Angka kejadian

sindrom nefrotik pada anak di bawah usia 18 tahun diperkirakan berkisar 2-7 kasus per

100.000 anak per tahun, dengan awitan tertinggi terjadi pada usia 2-3 tahun. Hampir 50%

penderita mulai sakit saat berusia 1-4 tahun; 75% mempunyai awitan sebelum berusia 10

tahun.2 Penyakit ini merupakan penyakit kronik yang cenderung kambuh berulang, dan

merupakan alasan terbanyak untuk melakukan rujukan ke ahli ginjal anak. Perjalanan

penyakit ini, yang pada awitannya bersifat insidious, seringkali menyebabkan

keterlambatan diagnosis.

Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari proteinuria

masif (> 40 mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24 jam), hipoalbuminemia (< 2,5 g/dL), edema,

dan dapat disertai hiperlipidemia. Sindrom nefrotik pada anak dapat dibagi menjadi 3

kelompok, yaitu sindrom nefrotik kongenital, sindrom nefrotik primer idiopatik

(terbanyak), dan sindrom nefrotik sekunder terhadap penyakit sistemik lainnya.

Bayi-bayi yang menunjukkan gejala sindrom nefrotik dalam 3 bulan pertama

kehidupannya didiagnosis sebagai sindrom nefrotik kongenital. Penyebab utama kelainan

ini adalah sindrom nefrotik kongenital Finnish type, suatu penyakit yang diturunkan

secara autosomal resesif, terbanyak ditemukan pada populasi Skandinavia dengan angka

kejadian 1 di antara 8000 bayi. Pada sindrom nefrotik kongenital tipe ini telah ditemukan

adanya mutasi gen NPHS1 yang berlokasi pada kromososm 19q13.1. Gen ini mengkode

protein nephrin, yaitu komponen protein utama pada slit diaphragma di lapisan epitel

glomerulus yang berpartisipasi dalam pembentukan lapisan anion. Lapisan anion ini

berfungsi menolak protein plasma secara elektrokimiawi.1,2 Sindrom nefrotik kongenital

seringkali disertai gambaran klinis lain seperti lahir prematur dengan berat lahir kecil

dibandingkan masa gestasinya, plasenta besar, kelainan bentuk kepala dan wajah,

Page 2: 1.SN Dr. Partini Pudjiastuti

gangguan pernapasan. Perjalanan penyakit ini berupa edema persisten, disertai infeksi

berulang, dan penurunan fungsi ginjal progresif, kematian umumnya terjadi sebelum usia

5 tahun. Sindrom nefrotik kongenital dapat pula disebabkan oleh sifilis kongenital,

toksoplasmosis, infeksi sitomegalovirus.

Sindrom nefrotik sekunder dapat disebabkan oleh berbagai antigen ekstrinsik,

obat-obatan, maupun zat toksik, seperti penisilamin, probenesid, keracunan logam berat

(emas, air raksa), gigitan lebah, bisa ular, dan lain-lain. Sindrom nefrotik juga dapat

terjadi sekunder karena infeksi (hepatitis, lepra, malaria, sifilis, schistosomiasis, filariasis,

HIV), keganasan (karsinoma, leukemia, limfoma), dan penyakit sistemik seperti

sarkoidosis, amiloidosis, purpura Henoch-Schonlein, lupus eritematosus sistemik, dan

penyakit vaskulitis lain.

Sindrom nefrotik primer idiopatik merupakan sindrom nefrotik yang paling sering

ditemukan pada anak, yaitu meliputi 90% dari seluruh sindrom nefrotik pada anak.

Gambaran patologi anatomi sindrom nefrotik idiopatik bervariasi. Namun sebagian besar

(85%) adalah kelainan minimal,1 dan glomerulosklerosis fokal segmental.1,3 Dalam

prakteknya, sebagian besar anak tidak menjalani biopsi ginjal pada manifestasi klinis

sindrom nefrotik yang pertama kali, namun mereka langsung mendapat terapi empiris

dengan kortikosteroid. Penderita sindrom nefrotik yang responsif dengan pengobatan

kortikosteroid ini sangat jarang menjalani diagnosis patologi anatomis, oleh karena itu

pada saat ini klasifikasi lebih didasarkan pada respons klinik, yaitu sindrom nefrotik

sensitif steroid (SNSS) dan sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS).4

Patogenesis dan patofisiologi

Proteinuria merupakan gejala yang sine qua non pada sindrom nefrotik. Proteinuria pada

sindrom nefrotik terutama merupakan tipe glomerular. Pada kelainan minimal sensitif

steroid, proteinuria umumnya murni tipe glomerular sedangkan pada sindrom nefrotik

yang disertai dengan penurunan fungsi ginjal umumnya merupakan campuran proteinuria

tipe glomerular dan tipe tubular.4 Dalam keadaan normal, ketiga lapisan kapiler

glomerulus mempunyai muatan negatif, yang ditimbulkan oleh asam sialat yang meliputi

sel epitel dan sel endotel, dan glikosaminoglikan sulfat pada membran basalis. Pada pH

fisiologis, albumin plasma juga bermuatan negatif. Albumin plasma tidak dapat

Page 3: 1.SN Dr. Partini Pudjiastuti

menembus kapiler glomerulus karena ada barier ukuran (a size-specific barrier = a sieve)

dan barier muatan listrik (a charge-specific barrier = an electric fence).4 Pada sindrom

nefrotik terjadi peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus yang menyebabkan

proteinuria masif. Penyebab dari peningkatan permeabilitas kapiler ini tidak diketahui

dengan jelas. Sindrom nefrotik idiopatik merupakan penyakit imunologik. Pada kelainan

minimal terjadi disfungsi sel T yang menyebabkan perubahan sitokin, selanjutnya sitokin

tersebut menyebabkan dinding kapiler glomerulus kehilangan muatan negatifnya.1,5 Pada

glomerulosklerosis fokal segmental, suatu faktor dalam plasma, yang mungkin

merupakan produk limfosit, diduga merupakan penyebab peningkatan permeabilitas

kapiler glomerulus.1 Penelitian telah membuktikan peran nephrin dan podocin yang

terletak pada slit diaphragm dan podosit pada patogenesis terjadinya proteinuria pada

sindrom nefrotik.6

Hipoalbuminemia merupakan akibat dari proteinuria masif dan kapasitas produksi

albumin oleh hepar tidak dapat mengimbangi jumlah protein yang diekskresi di ginjal.

Hipoalbuminemia menurunkan tekanan onkotik plasma sehingga terjadi ekstravasasi

cairan intravaskular ke rongga interstisial. Pengurangan volume intravaskular yang terjadi

kemudian akan menurunkan perfusi ginjal dengan akibat penurunan laju filtrasi

glomerulus, dan menstimulasi sistim renin-angiotensin. Aldosteron, sebagai hasil dari

aktivasi sistem renin-angiotensin, bersama dengan peningkatan sintesis dan sekresi

hormon antidiuretik sebagai respons dari penurunan volume intravaskular, menyebabkan

peningkatan reabsorbsi natrium dan air di tubulus. Resultante dari proses-proses tersebut

adalah terjadinya edema yang menetap dan progresif. Patogenesis edema melalui cara

tersebut merupakan teori underfill. Teori underfill tidak selalu dapat diterapkan pada

pasien sindrom nefrotik. Pada beberapa pasien didapatkan peningkatan volume

intravaskular, dengan kadar renin dan aldosteron rendah. Pada pasien-pasien ini, edema

terjadi karena kelainan primer pada fungsi ginjal yang menyebabkan retensi air dan

natrium, peningkatan volume sirkulasi sehingga terjadi transudasi cairan ke rongga

interstisial.1,4,5

Page 4: 1.SN Dr. Partini Pudjiastuti

Manifestasi klinis

Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan adalah edema yang menyeluruh dan

terdistribusi mengikuti gaya tarik bumi. Edema sering ditemukan dimulai dari daerah

wajah dan kelopak mata pada pagi hari, yang kemudian menghilang, digantikan oleh

edema di daerah pretibial pada sore hari. Asites sering ditemukan tanpa edema anasarka,

terutama pada anak kecil dan bayi yang jaringannya lebih resisten terhadap pembentukan

edema interstisial dibandingkan anak yang lebih besar. Efusi transudat lain sering pula

ditemukan, seperti efusi pleura. Bila tidak diobati edema dapat menjadi anasarka, sampai

ke skrotum atau daerah vulva. Tekanan darah umumnya normal atau rendah, namun 21%

pasien mempunyai tekanan darah tinggi yang sifatnya sementara, terutama pada pasien

yang mengalami deplesi volume intravaskular berat. Keadaan ini disebabkan oleh sekresi

renin berlebihan, sekresi aldosteron, dan vasokonstriktor lain, sebagai respons tubuh

terhadap hipovolemia. Pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) dan

glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) jarang ditemukan hipertensi yang menetap.3,4

Pasien sindrom nefrotik mempunyai risiko tinggi untuk mengalami syok hipovolemik.

Nyeri abdomen pada sindrom nefrotik perlu diwaspadai sebagai gejala syok dikarenakan

kekurangan perfusi ke daerah splangnik, atau akibat peritonitis.

Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan urinalisis dapat ditemukan hematuria mikroskopik pada 20-23% kasus

sindrom nefrotik, sedangkan hematuria makroskopik sangat jarang ditemukan. Penemuan

hematuria makroskopik (pada urinalisis ditemukan silinder eritrosit atau granular) pada

sindrom nefrotik idiopatik perlu dipikirkan kemungkinan terjadinya trombosis vena

renalis.

Proteinuria masif pada sindrom nefrotik umumnya bersifat selektif, yaitu terutama terdiri

dari albuminuria dan protein dengan berat molekul rendah. Pada anak kecil sulit untuk

dilakukan pengumpulan urin 24 jam, sehingga proteinuria berat dapat ditentukan dari

pemeriksaan urin sewaktu yang menunjukkan rasio kadar protein (mg) : kadar kreatinin

(mg) > 2. Protenuria yang makin selektif menunjukkan makin besar kemungkinan

SNKM. Selektivitas proteinuria ini dihitung dengan laju fraksi eksresi protein dengan

Page 5: 1.SN Dr. Partini Pudjiastuti

berat molekul rendah (β2-mikroglobulin). Pada urinalisis dapat ditemukan lipiduria dan

oval fat bodies. Pada pasien yang tidak mendapatkan diuretik, kadar natrium yang rendah

di dalam urin (< 10 mmol/L) dapat menjadi petunjuk adanya hipovolemia.

Pemeriksaan darah tepi memberikan gambaran hemokonsentrasi, yang ditandai dengan

peningkatan kadar hemoglobin dan hematokrit. Trombositosis sering terjadi dan dapat

mencapai lebih dari 500.000 per mikroliter. Pemeriksaan plasma menunjukkan

hipoalbuminemia (< 2,5 g/dL), semakin rendah kadar albumin maka semakin berat gejala

klinisnya. Kadar IgG menurun, sedang IgM meningkat. Komplemen C3 dan C4

umumnya normal. Kadar komplemen C3 yang rendah merupakan petunjuk penting untuk

membedakan SNSS dengan glomerulopati lain, seperti glomerulonefritis

membranoproliferatif, nefritis lupus, dan nefritis akibat endokarditis bakterialis atau

ventriculo-atrial shunt. Kadar antitrombin III, heparin cofactor, faktor pembekuan XI

dan XII rendah akibat hilang melalui urin, sedang kadar protein lain yang berfungsi

koagulasi meningkat, seperti fibrinogen, faktor pembekuan V, VII, VIII, dan X. Kedua

hal ini menyebabkan risiko terjadinya hiperkoagulabilitas dan trombosis. Kadar

kolestserol total, LDL dan VLDL meningkat, sedang kadar HDL umumnya normal.

Kadar ureum, kreatinin, dan elektrolit pada SNKM dan GSFS umumnya dalam batas

normal.3,4,7

Tata laksana

Kortikosteroid merupakan pengobatan sindrom nefrotik idiopatik lini pertama, jenis yang

sering digunakan adalah prednison atau prednisolon. Pengobatan inisial standar menurut

ISKDC adalah pemberian prednison dengan dosis penuh 60 mg/m2/hari atau sama dengan

2 mg/kg/hari (maksimal 80 mg/hari), dalam dosis terbagi selama 4 minggu berturut-turut.

Kemudian dilanjutkan dengan 2/3 dosis tersebut (40 mg/m2/hari, maksimum 60 mg/hari)

dalam dosis terbagi, diberikan 3 hari berturut-turut dalam seminggu (intermittent).

Pemberian prednison selang sehari (alternating) terbukti lebih efektif dalam

mempertahankan remisi daripada cara intermittent, dan pemberian prednison dalam dosis 1

2

3.4

5

6

7

Page 6: 1.SN Dr. Partini Pudjiastuti

tunggal tidak meningkatkan risiko relaps dibandingkan dengan pemberian prednison

dalam dosis terbagi. Pemberian terapi inisial dengan prednison lebih lama sampai 3-7

bulan (prednison 60 mg/m2/hari diberikan tiap hari selama 4-8 minggu, kemudian

dilanjutkan dengan dosis alternating), dapat menurunkan jumlah relaps (RRR=relative

risk reduction) sampai 41 % (95% interval kepercayaan 24-54%) dan NNT (number

needed to treat) = 4 (95% CI 2-8) dalam 6 bulan, dan RRR 27% (95% interval

kepercayaan 11-40%) dan NNT=5 (95% CI 3-10) dalam 12-24 bulan pasca pengobatan

inisial, tanpa meningkatkan kejadian efek samping.8,9 Terdapat hubungan linier terbalik

antara risiko relaps dengan lama dan total steroid yang diberikan selama terapi insial;

risiko relaps turun 11% per bulan untuk setiap 1 bulan penambahan lama terapi di atas 2

bulan. Sebagai contoh; bila rata-rata relaps terjadi pada 70% penderita SSNS, maka bila

seorang anak mendapat terapi inisial selama 6 bulan, risiko relaps akan menurun

sebanyak 70% x 11% x (6-2)= 31%.9

Berkaitan dengan respons sindrom nefrotik terhadap pengobatan steroid, terdapat

beberapa istilah yang sering digunakan, seperti remisi, relaps, relaps jarang, relaps sering,

dependen steroid, dan resisten steroid. Disebut remisi bila didapatkan proteinuria kurang

dari 4 mg/m2/jam atau dengan dipstik negatif atau trace, 3 hari berturut-turut dalam 1

minggu; sedangkan relaps adalah proteinuria > 40mg/m2/hari atau dengan dipstik > 2+

selama 3 hari berturut-turut dalam seminggu. Sindrom nefrotik relaps jarang adalah anak

yang mengalami relaps kurang dari 2 kali dalam periode 6 bulan atau kurang dari 4 kali

dalam periode 12 bulan setelah terapi inisial. Sindrom nefrotik relaps sering bila seorang

anak mengalami relaps > 2 kali dalam periode 6 bulan pertama setelah respons awal atau

> 4 kali dalam periode 12 bulan. Sindrom nefrotik dependen steroid adalah bila dua

relaps terjadi berturut-turut pada saat dosis steroid diturunkan atau dalam waktu 14 hari

setelah pengobatan dihentikan. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh

tidak juga terjadi remisi, maka pasien tersebut dikatakan menderita sindrom nefrotik

resisten steroid.10,11 Sebagian besar penderita sindrom nefrotik berusia di bawah 10 tahun

(80-90%) akan mengalami remisi dengan pemberian steroid, dengan median waktu

mencapai remisi 11 hari.4 Kelompok ini disebut sebagai sindrom nefrotik sensitif steroid. 8

9

10

11

Page 7: 1.SN Dr. Partini Pudjiastuti

Pada sebagian besar kasus (> 75%) sindrom nefrotik akan relaps; hampir 50%

merupakan relaps sering atau dependen steroid. Relaps sering terjadi setelah infeksi virus,

namun relaps dapat pula terjadi spontan. Faktor-faktor yang merupakan prediktor

terjadinya relaps sering, antara lain usia awitan kurang dari 3 tahun, lambat remisi

(setelah 7-9 hari), relaps dini (relaps terjadi dalam 6 bulan setelah terapi inisial), dan

hematuria.12,13

Pengobatan sindrom nefrotik relaps menurut ISKDC adalah prednison 60 mg/m2/hari

sampai terjadi remisi, kemudian dilanjutkan dengan prednison 40 mg/m2/hari secara

alternating selama total 28 hari (14 dosis).4

Anak dengan sindrom nefrotik relaps sering dan dependen steroid merupakan

kasus sulit, karena anak dalam kelompok ini akan sering mendapatkan prednison dosis

tinggi sehingga mempunyai risiko besar untuk memperoleh efek samping steroid.

Beberapa terapi alternatif yang dapat diberikan bagi anak dalam kelompok ini antara lain

steroid dalam dosis yang diturunkan bertahap sampai dosis terkecil yang tidak

menimbulkan relaps, levamisol (2,5 mg/kg/hari), atau pemberian imunosupresif lain

seperti siklofosfamid (2-3 mg/kg/hari), klorambusil (0,2 mg/kg/hari), siklosporin (5-6

mg/kg), dan mikofenolat mofetil (0,5-1 g/m2).9,10,11,14,15,16

Pada sindrom nefrotik relaps sering dan dependen steroid, levamisol dan prednison dapat

menurunkan risiko relaps dibandingkan dengan prednison saja (RR 0,60;95%CI 0,45-

0,79)

Pemberian siklofosfamid oral atau klorambusil oral selama 8 minggu, sama efektifnya

dalam menurunkan risiko relaps pada sindrom nefrotik relaps sering; namun klorambusil

mempunyai potensi lebih tinggi untuk menimbulkan efek samping berupa risiko infeksi,

keganasan, dan kejang. Beberapa uji klinik memperlihatkan bahwa pemberian

siklofosfamid intravena (500 mg/m2/dosis setiap bulan selama 6 bulan) lebih efektif

menurunkan risiko relaps bila dibandingkan dengan siklofosfamid oral (2mg/kg/hari

selama 12 minggu) dengan RR 0,56 (95% interval kepercayaan 0,33-0,92).9 Efek toksik

12

13

14

15

16

Page 8: 1.SN Dr. Partini Pudjiastuti

siklofosfamid terhadap gonad berupa oligosperma pada anak laki-laki akan terjadi bila

dosis kumulatif siklofosfamid melebihi 200 mg/kg, berarti seorang anak hanya boleh

mendapatkan 1 episode pemberian siklofosfamid (2 mg/kg/hari selama 12 minggu

memberikan dosis kumulatif sebesar 168 mg/kg).9

Terapi siklosporin tidak lebih efektif bila dibandingkan dengan siklofosfamid (RR 1,07;

95%CI 0,48-2,35) maupun klorambusil (RR 0,82; 95%CI 0,44-1,53); namun

menimbulkan efek samping yang bermakna, seperti hipertensi (4%), gagal ginjal (9%),

hipertrofi gusi (28%), dan hirsutisme (34%). Sebagian besar anak dalam terapi

siklosporin akan mengalami relaps lagi setelah terapi dihentikan.9

Sebuah laporan serial kasus menunjukkan bahwa mikofenolat mofetil menurunkan risiko

relaps pada sindrom nefrotik dependen steroid yang telah gagal dalam terapi siklosporin

atau steroid.16

Penderita sindrom nefrotik resisten steroid mempunyai prognosis yang paling

buruk.4 Beberapa terapi yang pernah dilaporkan untuk sindrom nefrotik resisten steroid,

adalah puls metil prednisolon, puls siklofosfamid, siklosporin, tacrolimus, vinkristin, dan

sebagainya.10,11,17,18 Pada sindrom nefrotik resisten steroid dapat diberikan inhibitor enzim

angiotensin konvertase (ACE inhibitor =ACEI) dan penghambat reseptor angiotensin

(angiotensin receptor blocker) yang bekerja sebagai renoprotektor dan antiproteinuria.

Cara kerja obat ini dalam mengurangi proteinuria melalui penurunan tekanan hidrostatik

kapiler glomerulus dan mengubah permeabilitas glomerulus. Efek antiprotenuria obat ini

sejalan dengan dosis dan lama pemberian. Sebagai contoh, enalapril dosis 0,6 mg/kg/hari

lebih efektif menurunkan proteinuria dibandingkan dengan dosis 0,2 mg/kg/hari. ACEI

dapat mereduksi proteinuria sampai 40-50%.19

Pengobatan imunosupresif selalu menimbulkan risiko untuk mendapat efek samping obat,

oleh karenanya sebelum memulai pemberian obat-obat tersebut, perlu dijelaskan kepada

pasien dan keluarganya mengenai efek samping obat yang dapat timbul dalam jangka

pendek maupun jangka panjang.

Selain terapi imunosupresif, penderita sindrom nefrotik memerlukan terapi

suportif seperti dietetik, terapi untuk edema, dan terapi terhadap komplikasi seperti

17

18

19

Page 9: 1.SN Dr. Partini Pudjiastuti

infeksi, hipertensi, gagal ginjal, trombosis, dan sebagainya. Diet yang direkomendasikan

adalah diet seimbang dengan protein dan kalori adekuat. Kebutuhan protein anak normal

berkisar 1,5-2 g/kg, pada anak dengan proteinuria menetap dapat diberikan 130-140%

kebutuhan normal, yaitu sampai 2-2,5 g/kg per hari.5,7,11 Restriksi garam diperlukan

untuk mencegah dan mengobati edema. Restriksi cairan dianjurkan pada kasus dengan

hiponatremia sedang atau berat (kadar natrium plasma < 125 mmol/L).

Untuk mengatasi edema yang nyata pada sindrom nefrotik dapat diberikan diuretik

furosemid 1-3 mg/kg per hari, atau dikombinasikan dengan spironolakton 1-2 mg/kg per

hari.11 Infus albumin diberikan bila edema persisten dengan pemberian diuretik, atau pada

keadaan yang mengancam jiwa, seperti efusi pleura, edema paru, asites yang sangat

besar, gagal ginjal, syok hipovolemik, infeksi berat. Infus albumin dengan dosis 1 g /kg

diberikan selama 8-12 jam,2 diikuti dengan pemberian furosemid intravena. Bila larutan

albumin tidak tersedia dapat digantikan dengan plasma 15-20 ml/kg.20

Komplikasi

Penderita sindrom nefrotik dapat mengalami gagal ginjal akut akibat dari hipovolemia,

laju filtrasi glomerulus (LFG) dapat kembali normal setelah remisi tercapai. Penurunan

LFG dapat pula ditemukan pada keadaan normovolemia, hal ini disebabkan oleh

kerusakan pada foot processus yang mengakibatkan berkurangnya area filtrasi dan

penurunan permeabilitas air.7 Gagal ginjal akut pada sindrom nefrotik dapat terjadi

sekunder akibat trombosis vena renalis, atau terjadi nefritis interstisalis akibat pemakaian

furosemid dosis tinggi.

Penderita sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, yang paling sering adalah

peritonitis (2-6%), kemudian selulitis, pneumonia, dan infeksi saluran napas atas oleh

virus. Beberapa penyebab kerentanan penderita sindrom nefrotik terhadap infeksi antara

lain karena pengeluaran IgG, komplemen, protein faktor B dan D di dalam urin,2,4

disfungsi sel T, kondisi hipoproteinemia, dan pemberian imunosupresif. Aliran darah

mesenterikum yang melambat dan hiperkogulabilitas menimbulkan mikroinfark sehingga

memudahkan terjadinya peritonitis. Organisme penyebab pritonitis antara lain

Streptococcus pneumonia dan Escherichia coli. 2

20

Page 10: 1.SN Dr. Partini Pudjiastuti

Hipertensi ditemukan pada sekitar 10-20% kasus sindrom nefrotik pada saat diagnosis

awal ditegakkan.3,5 Hipertensi dapat juga sebagai komplikasi terapi steroid.

Komplikasi hipovolemia dapat terjadi sebagai akibat pemakaian diuretik yang tidak

terkontrol, terutama pada kasus yang disertai dengan sepsis, diare, dan muntah.

Tromboemboli vena dalam di ekstremitas, vena renalis, dan vena-vena di paru atau

serebral, ditemukan pada 2-8% kasus sindrom nefrotik pada anak.4 Tromboemboli pada

sindrom nefrotik disebabkan karena keadaan hiperkoagulabilitas akibat penurunan

volume intravaskular dan peningkatan faktor-faktor pembekuan. Penderita yang

menunjukkan gejala trombosis, baik secara klinis maupun radiologis, diberikan heparin

subkutan, dilanjutkan dengan warfarin oral selama 6 bulan.21

Komplikasi hiperlipidemia merupakan akibat dari penurunan tekanan onkotik plasma

merangsang hepar untuk mensitesis lipid dan lipoprotein, di samping itu katabolisme

lipid pada sindrom nefrotik juga menurun. Kolesterol total darah meningkat terutama bila

kadar albumin plasma 2 g/dL atau kurang. Pada sindrom nefrotik sensitif steroid, keadaan

hiperlipidemia hanya berlangsung sementara, namun peningkatan lemak pada sindrom

nefrotik resisten steroid mempunyai potensi untuk menimbulkan penyakit kardiovaskular,

dan glomerulosklerosis. Pada keadaan ini dianjurkan untuk mempertahankan rasio berat

badan dan tinggi badan, serta diet restriksi lemak jenuh.21 Penggunaan statin (HMG-CoA

reductase inhibitors) untuk mengatasi hiperlipidemia belum dianjurkan, walaupun

pemakaian jangka pendek obat ini pada anak terbukti aman dan efektif untuk

menurunkan kadar kolesterol total, LDL, dan trigliserida, serta meningkatkan HDL.21

Gangguan pertumbuhan sering ditemukan pada sindrom nefrotik, antara lain disebabkan

oleh hipoproteinemia, pengeluaran IGF binding protein melalui urin, dan efek

pengobatan steroid.2

Pengobatan steroid jangka lama dapat menimbulkan risiko osteoporosis. Dua puluh dua

persen penderita sindrom nefrotik menunjukkan massa tulang yang rendah. Penurunan

massa tulang ini berkaitan dengan usia awitan yang lebih tua, asupan kalsium yang

rendah, dan dosis kumulatif steroid.22 Selain itu pada sindrom nefrotik, terjadi defisiensi

vitamin D, sekalipun dalam keadaan remisi.23 Dalam keadaan ini diperlukan pemberian

21

22

23

Page 11: 1.SN Dr. Partini Pudjiastuti

kalsium dan vitamin D, terutama pada anak dengan sindrom nefrotik relaps sering,

dependen steroid, dan resisten steroid.

Di samping itu pasien sindrom nefrotik juga dapat memperoleh komplikasi dari

pengobatan yaitu akibat efek samping steroid, siklofosfamid, dan lain-lain.4

Pemantauan

Penderita sindrom nefrotik tidak selalu membutuhkan perawatan di rumah sakit, kecuali

bila disertai dengan syok, asites masif, efusi pleura, hipertensi berat, anuria atau oliguria,

peritonitis, infeksi saluran napas berat, dan azotemia berat.5 Pengawasan di poliklinik

merupakan aspek terpenting dalam tata laksana sindrom nefrotik, meliputi pemantauan

respons steroid, tekanan darah, derajat edema, infeksi. Edukasi pada orangtua pasien

merupakan hal yang tidak kalah pentingnya, sehingga orangtua dapat ikut memonitor

keadaan anaknya di rumah dan mengenal keadaan darurat untuk harus dibawa ke rumah

sakit segera.

Biopsi ginjal

Biopsi ginjal terindikasi pada sindrom nefrotik resisten steroid, atau sindrom nefrotik

yang disertai hematuria makroskopik, hipertensi berat, gagal ginjal menetap, dan

komplemen serum rendah. Anak dengan awitan sindrom nefrotik kurang dari 1 tahun

atau lebih dari 11 tahun terindikasi pula untuk dilakukan biopsi ginjal.2,7,11

Prognosis

Faktor terpenting yang menentukan prognosis sindrom nefrotik adalah responsivitas

terhadap terapi steroid. Meskipun lebih dari 70% anak dengan SNSS mengalami relaps

dan hampir 50% mengalami relaps sering atau dependen steroid, namun anak dalam

kelompok ini mempunyai risiko mengalami gagal ginjal kronik minimal. Penelitian-

penelitian telah membuktikan bahwa 15-25% anak akan masih mengalami relaps sampai

10-15 tahun setelah awitan. Suatu studi kohort pada anak dengan SNSS menunjukkan

bahwa 42,2% anak masih mengalami relaps setelah dewasa.24 Usia awitan yang muda dan

24

Page 12: 1.SN Dr. Partini Pudjiastuti

sindrom nefrotik relaps sering pada usia anak merupakan faktor yang berhubungan

dengan kejadian relaps pada usia dewasa.7,21

Sebagian besar anak dengan SNRS mempunyai risiko untuk mendapat komplikasi,

penyakit ginjal progresif, dan gagal ginjal terminal. Sekitar 20-25% kasus

glomerulosklerosis fokal segmental, akan mengalami kekambuhan bila dilakukan

transplantasi ginjal.21

Daftar Pustaka

1. Vogt BE, Avner ED. Nephrotic syndrome. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,

Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Pensylvania;

Saunders: 2004. h. 1753-7.

2. Roth KS, Amaker BH, Chan JCM. Nephrotic syndrome: Pathogenesis and

management. Pediatrics in Review 2002;23(7):237-48.

3. Kumar J, Gulati S, Sharma AP, Sharma RK, Gupta RK. Histopathological spectrum

of childhood nephrotic syndrome in Indian children. Peditr Nephrol 2003;18:657-60.

4. Haycock G. The child with idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Webb N,

Postlethwaite R, penyunting. Cinical Paediatric Nephrology. Edisi ke-3. Oxford;

University Press: 2003. h. 341-66.

5. Travis L. Nephrotic syndrome. Diunduh dari

http://www.emedicine.com/ped/topic1564.htm. Diakses tanggal 22 April 2006

6. Jalanko H. Pathogenesis of proteinuria: lessons learned from nephrin and podocin.

Pediatr Nephrol 2003;18:487-91

7. Niaudet P. Steroid-sensitive nephrotic syndrome in children. Dalam:Avner ED,

Harmon WE, Niaudet P, penyunting. Pediatric Nephrology. Edisi ke-

5.Philadelphia,Lippincott Williams &Wilkins,2004.h.543-56.

8. Hodson EM, Knight JF, Willis NS, Craig JC. Corticosteroid therapy for nephrotic

syndrome in children. Cochrane Database Syst Rev 2004;2:CD001533

9. Hodson EM, Craig JC, Willis NS. Evidence-based management of steroid-sensitive

nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol 2005;20:1523-30.

Page 13: 1.SN Dr. Partini Pudjiastuti

10. Consensus statement: Management of idiopathic nephrotic syndrome in childhood.

Malaysian Pediatric Association, 2000.

11. Consensus statement on management of steroid responsive nephrotic syndrome.

Indian Pediatric Nephrology Group, Indian Academy of Pediatrics. Indian Pediatrics

2001;38:975-86.

12. Yap HK, Han EJ, Heng CK, Gong WK. Risk factors for steroid dependency in

children with idiopathic nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol 2001;16:1049-52.

13. Constantinescue AR, Shah HB, Foote EF, Weiss LS. Predicting first-year relapses in

children with nephrotic syndrome. Pediatrics 2000;105:492-5.

14. Prasad N, Gulati S, Sharma RK, Singh U, Ahmed M. Pulse cyclophosphamide

therapy in steroid-dependent nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol 2004;19:494-8.

15. Bagga A, Hari P, Moudgil A, Jordan SC. Mycophenolate mofetil (MMF) and

prednisolone therapy in children with steroid-dependent nephrotic syndrome. Am J

Kidney Dis 2003;42:1114-20.

16. Barletta GM, Smoyer WE, Bunchman TE, Flyn JT, Kershaw DB. Use of

mycophenolate mofetil in steroid-dependent and –resistant nephrotic syndrome.

Pediatr Nephrol 2003;18:833-7.

17. Bajpai A Bagga A, Hari P, Dinda A, Srivastava RN. Intravenous cyclophosphamide

in steroid-resistant nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol 2003;18:351-6.

18. Loeffler K, Gowrishankar, Tiu V. Tacrolimus therapy in pediatric patients with

treatment resistant nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol 2004;19:281-7.

19. Bagga A, Mudigoudar BD, Hari P, Vasudev V. Enalapril dosage in steroid resistant

nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol 2004;19:45-50.

20. Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO. Konsensus tata laksana sindrom

nefrotik idiopatik pada anak. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi, Ikatan Dokter Anak

Indonesia. Jakarta:IDAI; 2005

21. Bagga A, Mantan M. Nephrotic syndrome in children. Indian J Med Res

2005;122:13-28

22. Gulati S, Godbole M, Singh U, Gulati K, Srivastava A. Are children with idiopathic

nephritic syndrome at risk for metabolic bone disease? Am J Kidney Dis

2003;41:1163-9.

Page 14: 1.SN Dr. Partini Pudjiastuti

23. Weng FL, Shults J, Herskovits RM, Zemel BS, Leonard MB. Vitamin D insufficiency

in steroid-sensitive nephrotic syndrome in remission. Pediatr Nephrol 2005;20:56-63.

24. Fakhouri F, Bocquet N, Taupin P, Presna C, Gagnadoux MF, Landais P, dkk. Steroid

sensitive nephrotic syndrome: from childhood to adulthood. Am J Kidney Dis

2003;41:550-7.