146020300111009 sri apriyanti husain proposal uts_mata kuliah metode penelitian non positif
-
Upload
sri-apriyanti-husain -
Category
Economy & Finance
-
view
161 -
download
3
Transcript of 146020300111009 sri apriyanti husain proposal uts_mata kuliah metode penelitian non positif
1
KONSEP PENILAIAN KINERJA PEGADAIAN SYARIAH
BERLANDASKAN NILAI-NILAI ISLAM
Proposal
Disusun untuk memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester pada Mata
Kuliah Metode Penelitian Non Positif
Oleh:
SRI APRIYANTI HUSAIN
146020300111009
PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI
PASCASARJANA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
2
BAB I
PENDAHULUAN
Bismillahirrahmaanirrahiim Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan (1).
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2). Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Mulia (3).
Yang mengajar manusia dengan pena (4). Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya (5).
(QS. Al-‘Alaq: 1-5)
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Perkembangan produk-produk berbasis syariah kian marak di Indonesia,
tidak terkecuali pegadaian. Pegadaian mengeluarkan produk berbasis syariah
yang disebut dengan pegadaian syariah. PT Pegadaian (Persero) yang
sebelumnya dikenal sebagai Perum Pegadaian sebagai lembaga perkreditan
yang memiliki tujuan khusus yaitu penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum
gadai yang ditujukan untuk mencegah praktek ijon, pegadaian gelap, riba, serta
pinjaman tidak wajar lainnya.
Herfika (2013) Pegadaian dimaksudkan sebagai suatu lembaga yang
memberikan fasilitas bagi warga masyarakat untuk dapat memperoleh pinjaman
uang secara praktis. Pinjaman uang dimaksud, lebih mudah diperoleh calon
nasabah karena menjaminkan barang-barang yang mudah didapat pula. Dengan
jaminan barang seperti emas, motor dan sebagainya bisa membantu masyarakat
yang membutuhkan dana cepat. Hanya dengan memberikan jaminan yang
dimiliki oleh nasabah, maka masyarakat selaku nasabah yang akan meminjam
sejumlah dana bisa langsung mendapat sebagian dana yang dibutuhkan. Hal ini,
membuat lembaga pegadaian secara relatif mempunyai kelebihan bila
dibandingkan lembaga keuangan lainnya. Kelebihan dimaksud, diantaranya :
3
a) Hanya memerlukan waktu yang relatif singkat untuk mencairkan uang
pinjaman tepat pada hari yang dibutuhkan, hak ini disebabkan prosedur
pencairannya tidak berbelit-belit.
b) Persyaratan yang ditentukan bagi konsumen untuk mencairkan pinjamannya
sangat sederhana.
c) Tidak adanya ketentuan dari pihak pegadaian mengenai peruntukan uang
yang dipinjam sehingga nasabah bebas saja mau menggunakan uangnya itu
untuk tujuan apapun.
Dalam proses pengembangan pegadaian syariah, perencanaan
merupakan suatu tahap yang dilakukan manajemen untuk menentukan peran
setiap manajer dalam melaksanakan program guna untuk mencapai tujuan
bersama. Keberhasilan dari suatu perencanaan membutuhkan fungsi
manajemen, yang merupakan pengendalian atau control yang meliputi kegiatan
penerapan (action) dan evaluasi kinerja (performance evaluation). Fungsi
manajemen ini harus dilaksanakan dan dikuasai oleh setiap tingkat manajeman
yang ada pada perusahaan. Salah satu bagian dari akuntansi manajemen
adalah akuntansi pertanggungjawaban (responbility accounting), yang fungsinya
mengukur dan mengevaluasi suatu rencana atau anggaran dengan tindakan
atau realisasi aktivitas manajemen dari setiap tingkat manajemen pada suatu
perusahaan dengan menetapkan penghasilan dan biaya tertentu bagi
departemen atau divisi yang memiliki tanggung jawab pada pakerjaan tersebut.
Kinerja manajer yang baik merupakan tuntutan perusahaan dalam meningkatkan
efektifitas kinerja yang maksimal (Mengko, 2013). Pencapaian kinerja yang
maksimal dapat dilakukan dengan cara menyusun anggaran maupun menyusun
rencana kerja yang bersifat jangka panjang, setelah itu dilakukan evaluasi dari
tiap manajer terhadap pusat-pusat tanggungjawab yang telah ditugaskan
sebelumnya. Hasil dari penerapan akuntansi pertanggungjawaban yaitu berupa
4
laporan pertanggungjawaban. Laporan pertanggungjawaban digunakan untuk
menganalisis kinerja manajer dan sekaligus memotivasi manajer tersebut untuk
melakukan tindakan koreksi atas penyimpangan atau prestasi yang tidak
memuaskan. Dari laporan pertanggungjawaban tersebut, maka dapat dilakukan
evaluasi atas seberapa besar penilaian prestasi kerja yang dilakukan oleh
manajer dengan cara membandingkan anggaran yang telah direncanakan
dengan realisasinya.
Sistem penilaian kinerja pegadaian syariah saat ini masih menggunakan
dan berfokus kepada peran pegadaian syariah sebagai organisasi bisnis. Sistem
penilaian kinerja tersebut diantaranya: penilaian kinerja keuangan tradisional,
dan Balanced Scorecard (BSC).
Penilaian keuangan tradisional diukur dengan menggunakan rasio-rasio
keuangan. Berdasarkan teknik penilaian kinerja yang digunakan, pegadaian
syariah hanya dipandang sebagai organisasi bisnis yang bertujuan untuk
pencapaian kinerja keuangan semata. Sistem penilaian kinerja berbasis rasio-
rasio keuangan memiliki keterbatasan diantaranya: hanya berdasarkan pada
informasi keuangan khususnya laba sebagai indikator kinerja, lebih
mengedepankan kepentingan shareholders¸ dan hanya berorientasi pada tujuan
jangka pendek perusahaan (Triyuwono, 2006)
Keterbatasan dari sistem penilaian kinerja tradisional memotivasi
penggunaan BSC sebagai sistem penilaian kinerja. BSC dipandang lebih
rasional jika dibandingkan dengan penilaian kinerja tradisional karena
memperhatikan indikator kinerja keuangan juga mempertimbangkan indikator
non keuangan. Indikator BSC terdiri dari perspektif keuangan, pelanggan, proses
bisnis internal, pembelajaran dan pertumbuhan. Perspektif tersebut ditujukan
untuk menciptakan keseimbangan antara tujuan jangka pendek dan tujuan
5
jangka panjang serta menyelaraskan antara kinerja internal dan eksternal
(Kaplan dan Norton, 1996).
Walaupun BSC dianggap lebih rasional dibandingkan penilaian kinerja
tradisional, ia masih memiliki keterbatasan diantaranya: pertama, BSC sebagai
strategi yang digunakan manajemen dalam mengelola organisasi masih
berorientasi pada kepentingan shareholders. Kedua, BSC sebagai alat ukur
kinerja belum mampu menilai dampak positif atau negatif dari aktivitas sosial
yang dilakukan organisasi (Adib dan Khalid, 2010). Keterbatasan penilaian
kinerja pegadaian syariah saat ini menciptakan ketidakseimbangan hidup
organisasi. Manajemen berorientasi pada profit mengakibatkan diabaikannya
prinsip-prinsip syariah dalam praktisi bisnisnya dan melupakan perannya sebagai
organisasi sosial dan dakwah (Choundury dan Hussain, 2005)
Berdasarkan keterbatasan sistem penilaian kinerja pegadaian syariah
yang telah dijelaskan di atas (sistem penilaian kinerja tradisional, dan BSC),
penelitian ini berfokus untuk merumuskan sebuah konsep penilaian kinerja
pegadaian syariah berlandaskan nilai-nilai islam. Nilai-nilai islam yang dimaksud
adalah sekumpulan prinsip-prinsip atau ajaran hidup yang digunakan sebagai
tuntunan dalam menjalankan kehidupan manusia baik sebagai individu atau
kolektif.
Eksplorasi nilai-nilai islam dilakukan dengan menggali kesadaran manusia
berkaitan dengan objek penelitian sebagai data penelitian.alasan kesadaran
menjadi sumber pengetahuan adalah karena manusia merupakan subjek yang
mengetahui dengan kata lain karena manusia memiliki berbagai tingkat
kesadaran (Bakar, 1994: 29)
Penelitian ini memberikan perubahan cara pandang tentang konsep
penilaian kinerja pegadaian syariah berlandaskan nilai-nilai islam. Nilai-nilai islam
yang diintegrasikan dalam konsep penilaian kinerja akan menempatkan manusia
6
baik individu maupun organisasi sebagai makhluk yang memiliki sifat
adil/seimbang, hidup sebagai makhluk ekonomi dan makhluk spiritual yang
nantinya akan menuju pada lintasan spiritual menyatu dengan Tuhan (Nasr,
2003)
Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa keterbaruan penelitian
ini dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu metodologi dan rumusan konsep yang
dihasilkan. Dari aspek metodologi, penelitian ini menggunakan metode dan
pendekatan penelitian yang islami, yaitu fenomenologi islam yang dikembangkan
dari fenomenologi sekuler. Berdasarkan metode dan pendekatan tersebut,
konsep penilaian kinerja pegadaian syariah yang dirumuskan bersifat normatif,
empiris, religi dan lebih holistis dibandingkan dengan sistem penilaian pegadaian
syariah yang digunakan saat ini.
1.2 MOTIVASI PENELITIAN
Motivasi peneliti melakukan penelitian ini adalah keterbatasan penilaian
kinerja pegadaian syariah saat ini menciptakan ketidakseimbangan hidup
organisasi. Manajemen berorientasi pada profit mengakibatkan diabaikannya
prinsip-prinsip syariah dalam praktisi bisnisnya dan melupakan perannya sebagai
organisasi sosial dan dakwah (Choundury dan Husain, 2005). Oleh karena itu
melalui penelitian ini diharapkan dapat membawa perubahan bukan hanya pada
tataran persepsi tetapi juga pada para pengemban amanah (manajemen) dan
pengambil kebijakan agar dapat melakukan perbaikan pada sistem penilaian
kinerja pegadaian syariah berlandaskan nilai-nilai islam.
1.3 FOKUS DAN RUMUSAN MASALAH PENELITIAN
Dengan dasar kesadaran Tauhid, fokus penelitian ini adalah penemuan
nilai-nilai islam berdasarkan kesadaran subjek dalam realitas pegadaian syariah.
7
Akhirnya temuan-nilai-nilai islam ini akan menjadi landasan dalam perumusan
konsep penilaian kinerja pegadaian syariah. Dari fokus ini, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana konsep penilaian kinerja
pegadaian syariah berlandaskan nilai-nilai islam?
1.4 TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang, motivasi penelitian, fokus dan rumusan
masalah penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk merumuskan
konsep penilaian kinerja pegadaian syariah berlandaskan nilai-nilai islam.
1.5 MANFAAT PENELITIAN
Setiap penelitian yang dilakukan, diharapkan bisa memberikan manfaat.
Dalam penelitian ini, temuan konsep penilaian kinerja pegadaian syariah yang
berlandaskan nilai-nilai islam dapat memberikan manfaat:
1.5.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, manfaat penelitian ini adalah untuk pengembangan konsep
akuntansi manajemen syariah, khususnya dalam memperkaya konsep penilaian
kinerja pegadaian syariah.
1.5.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktisnya adalah sebagai bahan pertimbangan bagi para
regulator dalam pembuatan regulasi terkait penilaian kinerja pegadaian syariah.
1.5.3 Manfaat Akademisi
Manfaat untuk akademisi yaitu sebagai bahan referensi terkait metodologi
penelitian yang islami dan konsep penilaian kinerja pegadaian syariah
berlandaskan nilai-nilai islam.
8
BAB II
PARADIGMA ISLAM DAN FENOMENOLOGI ISLAM
Dia menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Diantaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada
kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya
kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata: “Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat
mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal. (QS. Ali-Imran: 7)
2.1 PENGANTAR
Metodologi yang digunakan dalam penelitian akan sangat menentukan
lahirnya sebuah konsep. Metodologi sekuler yang selama ini digunakan oleh
banyak peneliti muslim belumlah tepat untuk mengeksplorasi nilai-nilai islam
sebagai landasan perumusan sebuah konsep. Bab ini menguraikan bentuk
pengembangan metodologi yang dibangun dengan menggunakan paradigma
Islam, yaitu fenomenologi Islam yang dikembangkan dari fenomenologi sekuler.
2.2 ISLAM SEBAGAI PARADIGMA ILMU PENGETAHUAN
Menurut Triyuwono (2006: 214) paradigma pada dasarnya adalah
pandangan dunia atau cara pandang yang digunakan oleh seseorang untuk
melihat atau memahami sesuatu.
Paradigma dapat dipahami sebagai alat untuk melihat (realitas ilmu dan
praktisi akuntansi, misalnya), dan sekaligus juga merupakan alat untuk tidak
melihat. Namun demikian, kita juga harus menyadari bahwa paradigma tetap
berkembang melalui proses dialektika. Paradigma akan terus bergerak dan
berproses menuju pada kesempurnaan melalui proses dialetika (Triyuwono,
2006: 215).
9
Islam adalah agama yang menempatkan pengetahuan dalam posisi yang
sangat vital. Bukanlah sesuatu yang kebetulan, jika lima ayat pertama yang
diwahyukan Allah kepada nabi Muhammad Saw dalam surat al-‘Alaq, dimulai
dengan membaca (iqra’) yang secara tidak langsung mengandung makna dan
implikasi pengetahuan. Di samping itu, pesan-pesan Al-Qur’an dalam
hubungannya dengan pengetahuan pun dapat dijumpai dalam berbagai ayat
dengan aneka ungkapan pernyataan, pertanyaanm, dan kisah. Lebih khusus
lagi, kata ‘ilm dan derivasinya paling dominan dalam Al-Qur’an menunjukkan
perhatian Islam yang luar biasa terhadap pengetahuan.
Pengetahuan secara cultural pada umumnya berada dalam lingkup peran,
fungsi, dan tujuan yang tidak berbeda. Semuanya hidup dalam upaya yang
bermaksud mengangkat dan menegakkan martabat manusia melalui transmisi
yang dimilikinya, terutama dalam bentuk transfer of knowledge dan transfer of
values.
Sebagai pengetahuan yang berlabel “agama” maka pengetahuan Islam
memiliki transmisi spiritual yang sangat nyata dalam proses pengajarannya
dibaanding dengan pengetahuan “umum”, sekalipun pada keinginan ini juga
memiliki muatan serupa, kejelasannya terletak pada keinginan pengetahuan
Islam untuk mengembangkan keseluruhan aspek dalam diri anak didik secara
berimbang, baik aspek intelektual, spiritual, moralitas, keilmiahan, skill
(keterampilan), dan cultural.
Oleh karena itulah pengetahuan Islam memiliki beban yang multi
paradigma, yang visinya sangat luas yaitu multi dimensi meliputi : (1) intelektual;
(2) kultural; (3) nilai-nilai transendental; (4) keterampilan fisik dan pembinaan
kepribadian manusia itu sendiri. Di samping itu paradigma pengetahuan Islam
berusaha memadukan unsur profane dan imanen, di mana dengan pemaduan
ini, akan membuka kemungkinan tujuan inti pengetahuan Islam yaitu melahirkan
10
manusia-manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan, yang satu sama
lainnya saling menunjang.
Pada aspek yang lain, ilmu pengetahuan yang dikembangkan dalam
pengetahuan Islam adalah berorientasi pada nilai-nilai Islami, yaitu ilmu
pengetahuan yang bertolak dari metode ilmiah dan metode profetik. Ilmu
pengetahuan tersebut bertujuan menemukan dan mengukur paradigma dan
premis intelektual yang berorientasi pada nilai kebaktian dirinya pada
pembaharuan yang merupakan sumber dari segala sumber yang tia terjebak
pada paradigma keilmuan yang “dikotomik”.
Konsepsi dasar terhadap konteks pengetahuan Islam tersebut di atas,
adalah tidak terlepas dari pijakan epistemologi dan upaya redefinisi dan
pencairan paradigma baru pengetahuan Islam berdasarkan referensi wahyu dan
visi profetik yang terakumulasi dalam ajaran Islam. Dengan konteks ini, Islam
sebagai agama wahyu yang merupakan pedoman hidup untuk mencapai
kesejahteraan dunia dan akhirat amat kaya sumber prinsip dan konsep
kepengetahuan. Di samping itu Nabi Muhammad Saw sendiri diutus sebagai
pendidik umat manusia. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa ajaran Islam
sarat dengan konsep pengetahuan, sehingga bukan satu hal yang mengada-
ngada bila Islam diangkat sebagai alternatif paradigma ilmu pengetahuan.
Lebih jauh Achmadi berpandangan, sebagai alternatif paradigma
pengetahuan, disamping pengetahuan sebagai ilmu humaniora yang termasuk
ilmu normatif, juga masakah pengetahuan sekarang para ahli lebih cenderung
menerapkan teori-teori atau filsafat pengetahuan Barat yang pada umumnya
sekuler, yang belum tentu sesuai dengan kebanyakan masyarakat Indonesia
yang bersifat religius. Apalagi disadari bahwa Islam yang sarat dengan nilai-nilai
ternyata sangat memungkinkan dijadikan sudut pandang dalam menganalisis
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gejala-gejala pengetahuan. Dalam
11
kerangka inilah kedudukan Islam dapat menjadi paradigma ilmu pengetahuan.
Pernyataan Islam berbagai paradigma pengetahuan merupakan kenisscayaan
dan obsesi sekaligus persoalan. Pengetahuan senantiasa menghendaki adanya
paradigm dan implementasi baru dalam menjawab krisis intelektual, moralitas
dan cultural kehidupan manusia.
Pengetahuan sekarang tampak kehilangan nafas dan esensinya dalam
membentuk manusia ideal kea rah intelektualitas, moralitas, dan cultural yang
diharapkan. Islam dengan konsep ke-Tuhanan, kemanusiaan dan kealaman
ternyata amat strategis menjadikan manusia dan masyarakat berkualitas bahkan
menjadikannya sebagai makhlkuk sempurna dalam kerangka kehidupan ideal
ssecara keseluruhan.
Dengan paradigma filosofis-epistemologis pengetahuan Islam merupakan
pendidika ideal yang berwawasan nilai, semesta, integratif dan fungsional, yang
dibangun secara utuh, dan menyeluruh berdasarkan nilai-nilai ketuhanan
(ilahiyah), nilai-nilai kemanusiaan (insaniyah), dan nilai-nilai kealaman (alamiyah)
secara interaktif, dinamis, integrative, dan harmonis ke dalam kehidupan yang
ideal bagi peradaban umat manusia, yang bersumber dari segala sumber, yaitu
Allah.
Dalam konteks ini semakin jelas bahwa dengan pijakan “Islam” sebagai
pola dasar paradigm ilmu pengetahuan, akan menjadikan pengetahuan Islam
sangat ideal dijadikan pijakan pembangunan semua aspek kehidupan yang tidak
terlepas dari Konsep Ketuhanan (ilahiyah), Kemanusiaan (insaniyah), dan alam
semesta (alamiyah) secara utuh dan integrative mewujudkan pengetahuan
berkualitas bagi masa depan umat manusia yang berperadaban, danberkeadilan;
humanis dan ummatik (https://deybiagustin.wordpress.com/2012/12/17/islam-
sebagai-paradigma-ilmu-pendidikan/).
12
2.3 FENOMENOLOGI DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
2.3.1 Fenomenologi Husserl
Kata “phenomenon” sendiri berasal dari bahasa Yunani phaenesthai, yang
berarti menyala, menunjukkan dirinya, muncul. Dibangun dari kata phaino,
“phenomenon” berarti menerangi, menempatkan sesuatu dalam terang
(brightness), menunjukkan dirinya dalam dirinya, keseluruhan apa yang ada di
hadapan kita di hari yang terang. Dari sinilah muncul pandangan pokok
fenomenologi, yakni “menuju sesuatu itu sendiri” (to the things themselves).
Dengan kata lain menuju apa yang muncul dan memberikan dorongan (impetus)
untuk adanya pengalaman dan membangkitkan pengetahuan baru. Fenomena,
gejala, adalah batu-batu bangunan utama pengetahuan manusia dan merupakan
dasar bagi semua pengetahuan (Moustakas,1994: 26)
Setiap fenomena, gejala, sudah dapat menjadi titik awal untuk sebuah
penelitian. Apa yang ada dalam persepsi kita mengenai sesuatu adalah ke-
hadirannya atau merupakan penampilannya. Namun ini bukan khayalan kosong.
Apa yang ada dalam persepsi tersebut merupakan awal yang sangat penting dari
suatu ilmu pengetahuan yang mencari “valid determinations” dan terbuka bagi
setiap orang untuk membuktikannya (to verify) (Husserl, 1931: 129).
Ide yang sangat penting dari Husserl, yang kemudian akan sangat relevan
dengan ilmu sosial budaya, adalah tentang deskripsi fenomenologis sebagai
deskripsi, penggambaran dari segala sesuatu sebagaimana “adanya”;
sebagaimana segala sesuatu tersebut tampil, hadir di hadapan manusia dalam
cara tampilnya. Hal ini berarti bahwa fenomenologi bebas untuk menggeluti,
menelaah, semua wilayah pengalaman manusia. Apakah ini tidak sama atau
mirip dengan psikologi naturalistik? Tidak, menurut Husserl.
Dalam pandangan Husserl, psikologi naturalistik (naturalistic psychology),
yang mengikuti cara-cara dalam ilmu-ilmu alam, seperti halnya sosiologi, telah
13
gagal mengetahui keterbatasan-keterbatasannya, karena psikologi seperti itu
telah kehilangan “sense” atau “rasa” dari gejala yang dipelajarinya. Metode-
metode psikologi dipandangnya tidak tepat karena metode dan konsep yang
berkembang di dalamnya telah mengabaikan fenomena “pengalaman”
sebagaimana dialami oleh manusia. Oleh karena itu, menurut Husserl, metode
yang benar dari sebuah disiplin ilmu pengetahuan seharusnya “follows the nature
of the things to be investigated and not our prejudices and preconceptions”, atau
mengikuti hakikat, sifat, dari apa yang diteliti, dan tidak berdasarkan atas
prasangka-prasangka atau prakonsepsi-prakonsepsi kita mengenainya (1965:
102).
Lebih dari itu, Husserl mengatakan bahwa fenomenologi tidak hanya harus
menjadi “psikologi deskriptif”, tetapi juga harus menjadi filsafat transendental.
Artinya, dalam hal ini filsafat harus bersaing dengan ilmu pengetahuan positif,
dan tidak hanya puas dengan spekulasi filosofis saja. Fenomenologi harus
mencari yang transendental. Filsafat fenomenologi transendental berupaya
menemukan struktur yang paling elementer, yang “we, here and now, are always
departing from, and which lead and make possible our perceiving and knowing,
speaking and thinking, remembering and expecting...”( Ijsseling,1979: 8-9). Di
sinilah terletak perbedaan penting antara fenomenologi dan psikologi naturalistik,
dan mengapa fenomenologi kemudian lebih dikenal sebagai aliran filsafat.
Fenomenologi sebagai logos (discourse) atau wacana tentang fenomena
harus memberikan suatu deskripsi setepat mungkin tentang apa yang hadir dan
ada di hadapan kesadaran. Deskripsi ini harus lengkap dan dilakukan oleh
kesadaran atau oleh subjek yang sepenuhnya sadar, subjek yang menulis, yang
menjelaskan tentang apa yang telah dikatakan atau ditulis. Namun deskripsi
yang tepat tidak akan pernah dapat dilakukan dengan tuntas.
14
Sumbangan pemikiran Husserl yang lain bagi ilmu sosial adalah
pandangannya tentang natural attitude. Konsep inilah yang di kemudian hari
menghubungkan filsafat fenomenologi dengan sosiologi. Lewat konsep ini
Husserl mengemukakan bahwa seorang Ego yang berada dalam situasi tertentu
biasanya menggunakan penalaran yang praktis, seperti dalam kehidupan
sehari-hari. Ego tersebut tidak mempertanyakan lagi secara rinci apa yang ada di
sekitarnya. Dia menganggap apa yang dihadapinya tidak berbeda dengan hal
yang sama yang telah ditemuinya kemarin atau dulu (Phillipson, 1972: 127).
Natural attitude ini disebut juga commonsense reality. Oleh Husserl natural
attitude ini dibedakan dengan theoretical attitude dan mythical religious attitude.
Dengan perbedaan ini Husserl meletakkan salah satu ide pokok yang kemudian
dikembangkan oleh Alfred Schutz, dan diteruskan oleh Harold Garfinkel dalam
etnometodologi. Di situ mereka menghubungkan attitude tersebut dengan bisa
tidaknya proses interaksi sosial terjadi (Leiter, 1980: 40-44).
Kini di Barat filsafat fenomenologi tidak lagi terlihat sebagai sebuah aliran
pemikiran filosofis yang tunggal. Murid-murid Husserl telah mengembangkan ide-
ide Husserl lebih lanjut, sehingga kita mengenal tokoh-tokoh filsafat seperti
Marleau-Ponty, Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, yang mengembangkan
filsafat Fenomenologi yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh Husserl.
2.3.2 Perkembangan Fenomenologi
Secara etimologis, fenomenologi berasal dari kata Yunani, phainomenon
yang merujuk pada arti “yang menampak”. Fenomena adalah fakta yang disadari
dan masuk ke dalam pemahaman manusia. Sehingga, suatu objek ada dalam
relasi kesadaran.
Dewasa ini, fenomenologi dikenal sebagai aliran filsafat sekaligus metode
berpikir yang mempelajari fenomena manusiawi (human phenomena) tanpa
15
mempertanyakan penyebab dari fenomena tersebut serta realitas objektif dan
penampakannya.
Fenomenologi sebagai salah satu cabang filsafat pertama kali
dikembangkan di universitas-universitas Jerman sebelum Perang Dunia I,
khususnya oleh Edmund Husserl, yang kemudian dilanjutkan oleh Martin
Heidegger dan yang lainnya, seperti Jean Paul Sartre. Selanjutnya Sartre
memasukkan ide-ide dasar fenomenologi dalam pandangan eksistensialisme.
Adapun yang menjadi fokus eksistensialisme adalah eksplorasi kehidupan dunia
mahluk sadar atau jalan kehidupan subjek-subjek sadar (Engkus Kuswarno,
2009:3).
Fenomenologi tidak dikenal setidaknya sampai menjelang abad ke-20.
Abad ke-18 menjadi awal digunakannya istilah fenomenologi sebagai nama teori
tentang penampakan yang menjadi dasar pengetahuan empiris atau
penampakan yang diterima secara inderawi. Istilah tersebut diperkenalkan oleh
Johann Heinrich Lambert. Sesudah itu, filosof Immanuel Kant mulai sesekali
menggunakan istilah fenomenologi dalam tulisannya. Pada tahun 1889, Franz
Brentano menggunakan fenomenologi untuk psikologi deskriptif, dimana menjadi
awalnya Edmund Husserl mengambil istilah fenomenologi untuk pemikirannya
mengenai “kesengajaan”.
Sebelum abad ke-18, pemikiran filsafat terbagi menjadi dua aliran yang
saling bertentangan. Adalah aliran empiris yang percaya bahwa pengetahuan
muncul dari penginderaan. Dengan demikian kita mengalami dunia dan melihat
apa yang sedang terjadi. Bagi penganut empiris, sumber pengetahuan yang
memadai itu adalah pengalaman. Akal yang dimiliki manusia bertugas untuk
mengatur dan mengolah bahan-bahan yang diterima oleh panca indera.
Sedangkan di sisi lain terdapat aliran rasionalisme yang percaya bahwa
pengetahuan timbul dari kekuatan pikiran manusia atau rasio. Hanya
16
pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat untuk diakui
sebagai pengetahuan ilmiah. Aliran ini juga mempercayai pengalaman hanya
dapat dipakai untuk mengukuhkan kebenaran yang telah diperoleh oleh rasio.
Akal tidak memerlukan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan yang
benar sebab akal dapat menurunkan kebenaran tersebut dari dirinya sendiri.
Dari dua pemikiran yang berbeda tersebut, Immanuel Kant muncul untuk
menjembatani keduanya. Menurutnya, pengetahuan adalah apa yang tampak
kepada kita atau fenomena. Sedangkan fenomena sendiri didefenisikan sebagai
sesuatu yang tampak dengan sendirinya dan merupakan hasil sintesis antara
penginderaan dan bentuk konsep dari objek. Sejak pemikiran tersebut menyebar
luas, fenomena menjadi titik awal pembahasan para filsafat pada abad ke-18 dan
19 terutama tentang bagaimana sebuah pengetahuan dibangun.
Fenomenologi bagi Husserl adalah gabungan antara psikologi dan logika.
Fenomenologi membangun penjelasan dan analisis psikologi tentang tipe-tipe
aktivitas mental subjektif, pengalaman, dan tindakan sadar. Namun, pemikiran
Husserl tersebut masih membutuhkan penjelasan yang lebih lanjut khususnya
mengenai “model kesengajaan”. Pada awalnya, Husserl mencoba untuk
mengembangkan filsafat radikal atau aliran filsafat yang menggali akar-akar
pengetahuan dan pengalaman. Hal ini didorong oleh ketidakpercayaan terhadap
aliran positivistik yang dinilai gagal memanfaatkan peluang membuat hidup lebih
bermakna karena tidak mampu mempertimbangkan masalah nilai dan makna.
Fenomenologi berangkat dari pola pikir subjektivisme yang tidak hanya
memandang dari suatu objek yang tampak namun berusaha menggali makna di
balik setiap gejala tersebut.
Pada tahun-tahun berikutnya, pembahasan fenomenologi berkembang
tidak hanya pada tataran “kesengajaan”, namun juga meluas kepada kesadaran
17
sementara, intersubjektivitas, kesengajaan praktis, dan konteks sosial dari
tindakan manusia.
Tulisan-tulisan Husserl memainkan peran yang amat besar dalam hal ini.
Saat ini fenomenologi dikenal sebagai suatu disiplin ilmu yang kompleks, karena
memiliki metode dan dasar filsafat yang komrehensif dan mandiri. Fenomenologi
juga dikenal sebagai pelopor pemisah antara ilmu sosial dari ilmu alam, yang
mempelajari struktur tipe-tipe kesadaran yang dinamakan dengan “kesengajaan”
oleh Husserl. Struktur kesadaran dalam pengelaman pada akhirnya membuat
makna dan menentukan isi dari penampakkannya.
2.3.3 Dimensi Islam dalam Fenomenologi sebagai Ilmu Pengetahuan
Fenomenologi Husserl dijadikan sebagai landasan dalam fenomenologi
agama. Fenomenologi agama menjadikan agama sebagai objek studi menurut
apa adanya. Atau dengan kata lain, ia menjelaskan fenomena keagamaan
sebagai yang ditunjukkan oleh agama itu sendiri. Dalam hal ini kaum
fenomenolog agama mencegah sikap memandang fenomena keagamaan itu
menurut visi mereka sendiri.
Tujuan fenomenologi agama adalah mengkaji dan kemudian mengerti pola
atau struktur agama atau menemukan esensi agama di balik manifestasinya
yang beragam atau memahami sifat-sifat yang unik pada fenomena keagamaan
serta untuk memahami peranan agama dalam sejarah dan budaya manusia.
Pendekatan fenomenologi dalam studi agama muncul sebagai reaksi
terhadap beberapa pendekatan sebelumnya, yaitu:
1) Pendekatan teologi yang normatif (atau sebut saja: teologis-normatif). Dalam
mengkaji tradisi agama, pendekatan ini digunakan untuk menghasilkan dan
menyumbangkan pemahaman yang lebih baik mengenai dunia agama.
18
Sehingga menjadikan agama tertentu (terutama agamanya sendiri) sebagai
agama yang benar, sementara agama lain salah.
2) Pendekatan reduksionis. Pendekatan ini melihat agama lebih sebagai fakta-
fakta intelektual, emosional, psikologis dan sosiologis. Di sini agama
diselidiki melalui beberapa disiplin di luar ilmu agama (teologi). Ilmu-ilmu ini
dalam melihat agama (termasuk persoalan ketuhanan) menghasilkan
beberapa kesimpulan, misalnya ia sebagai pemerasan ekonomis (Marx),
frustasi jiwa manusia (Feuerbach), suatu fase manusia dalam keadaan
keterbelakangan (Comte), dan lain-lain. Ketika mencari asal-usul agama, ahli
sosiologi agama memulai kerjanya dalam masyarakat yang paling “primitif”.
Melalui penelitian terhadap masyarakat yang paling “awal/primitif” itu
diharapkan diperoleh pemahaman mengenai proses perkembangan agama
sepanjang sejarah.
Fokus utama fenomenologi agama adalah aspek pengalaman keagamaan,
dengan mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena keagamaan secara
konsisten dalam orientasi keimanan atau kepercayaan objek yang diteliti.
Pendekatan ini melihat agama sebagai komponen yang berbeda dan dikaji
secara hati-hati berdasarkan sebuah tradisi keagamaan untuk mendapatkan
pemahaman di dalamnya. Fenomenologi agama muncul dalam upaya untuk
menghindari pendekatan-pendekatan yang sempit, etnosentris dan normatif
dengan berupaya mendeskripsikan pengalaman-pengalaman agama dengan
akurat.
19
BAB III
METODE PERUMUSAN KONSEP PENILAIAN KINERJA PEGADAIAN
SYARIAH BERLANDASKAN NILAI-NILAI ISLAM
“Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda bagi mereka yang mau berpikir.” (QS. Ar-Ra’d: 3)
“sesungguhnya kami jelaskan beberapa ayat kepada mereka yang mengetahui”
(QS. Al-An’am:97)
3.1 PENGANTAR
Bab ini menguraikan metode dan pendekatan yang digunakan dalam
penelitian. Penggunaan metode yang digunakan dapat membantu peneliti untuk
mencapai tujuan penelitian. Dalam penelitian juga, pendekatan yang lebih
spesifik sangat dibutuhkan sabagai arah dala pengumpulan dan penganalisisan
data.
3.2 METODE DAN PENDEKATAN PENELITIAN
Untuk mencapai tujuan penelitian, maka peneliti menggunakan metode
penelitian. Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa tujuan penelitian ini adalah
untuk merumuskan konsep penilaian kinerja pegadaian syariah berlandaskan
nilai-nilai islam.
Berdasarkan tujuan penelitian tersebut maka metode penelitian yang
digunakan adalah metode kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan
dalam melakukan penelitian yang beroriantasi pada gejala-gejala yang bersifat
alamiah karena orientasinya demikian, maka sifatnya naturalistik dan mendasar
atau bersifat kealamiahan serta tidak bisa dilakukan di laboratorium melainkan
harus terjun di lapangan. Oleh sebab itu, penelitian semacam ini disebut dengan
field study (Nazir, 1986: 159).
20
Menurut Bogdan dan Taylor (Moleong, 2012: 4) mendefinisikan metode
kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Lebih lanjut Denzin dan Lincoln (Moleong, 2012: 5) menyatakan bahwa
penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan
maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan
melibatkan berbagai metode yang ada.
Penelitian Kualitatif sering disebut metode penelitian naturalistik karena
penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (Sugiyono, 2011: 8).
Cresswell dalam bukunya Herdiansyah (2010: 8):
“Qualitative research is an inquiry process of understandingbased on distinct methodological traditions of inquiry that explore a social or human problem. The researcher builds a complex, holistic picture, analizes words, report detailed, views of information, and conducts the study ina natural setting.”
Lebih lanjut Moleong dalam bukunya Herdiansyah (2010: 9) mendefinisikan
bahwa penelitian kualitatif adalah suatu penelitian ilmiah yang bertujuan untuk
memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah dengan
mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti dan
fenomena yang diteliti.
Lincoln dan Guba dalam Naturalistic Inquiry (1985: 70-91) menjelaskan
lebih mendetail tentang pendekatan penelitian kualitatif. Pertama, secara
ontologis penelitian kualitatif ditandai oleh fakta bahwa peneliti
mengkonstruk/membangun realitas yang dia lihat. Dalam gagasan penelitian
kualitatif masing-masing orang dilibatkan dalam penelitian, sebagai partisipan
atau subyek bersama-sama mengkonstruk realitas. Kedua, secara
epitemologis, penelitian kualitatif didasarkan pada nilai dan judgment nilai, bukan
fakta. Dalam pandangan umum di lapangan mereka mengklaim bahwa nilai
peneliti memandu dan membentuk simpulan penelitian sebab peneliti
membangun realitas dari penelitian. Dalam waktu yang sama peneliti memiliki
21
sensitifitas pada realitas yang diciptakan oleh orang lain yang terlibat, dan
konsekuensi perubahannya dan perbedaan-perbedaan nilai. Semua temuan
dalam penelitian kualitatif yang dinegosiasikan secara sosial diakui benar.
Ketiga, penelitian kualitatif bersifat empiris dan ilmiah sebagaimana penelitian
kuantitatif, meskipun dasar-dasar filosofis penelitian kualitatif baik secara
ontologis maupun epistemologis dipandu oleh judgment nilai yang subyektif.
Lincoln dan Guba memecahkan masalah empiris dengan sebuah quasi-
"Grounded-Theory" yakni pendekatan pada pola-pola. Lincoln dan Guba (1985:
187-220). Mengangkat peneliti sebagai instrumen penelitian “research
instrument” dari sebuah penelitian, dan menugaskan peneliti untuk meloloskan
data dengan secara intens mengidentikasi “tema-tema” yang “muncul” dari data.
Menentukan tema-tema yang valid dari data dengan triangulasi tema-tema
dengan tema-tema yang sudah dimunculkan oleh instrumen peneliti (researcher-
instruments) yang lain dan triangulasi dengan interpretatif data dengan format-
format data yang relevan dengan penelitian.
Dalam penelitian kualitatif, diperlukan penjelasan tentang pendekatan yang
secara spesifik digunakan untuk menjangkau dan menganalisis data penelitian.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah “fenomenologi islam”.
Fenomenologi islam digunakan untuk mengeksplorasi makna nilai-nilai islam
yang bersumber dari kesadaran informan sekaligus sebagai alat analisis dalam
merumuskan konsep penilaian kinerja pegadaian syariah berlandaskan nilai-nilai
islam.
Alasan peneliti memilih fenomenologi islam sebagai pendekatan penelitian
adalah mengacu pada tujuan dan konteks penelitian. Tujuan penelitian ini adalah
merumuskan konsep penilaian kinerja pegadaian syariah berlandaskan nilai-nilai
islam. Temuan makna nilai-nilai islam yang dieksplorasi dari kesadaran subjek
yang berpengalaman dan berpengetahuan terkait dengan objek penelitian.
22
Konteks penelitian ini adalah pegadaian syariah yang beroperasi berdasarkan
hukum islam yang merefleksikan nilai-nilai islam dalam setiap aktivitas bisnisnya.
3.3 OBJEK DAN SUBJEK PENELITIAN
Objek dalam penelitian ini adalah konsep penilaian kinerja pegadaian
syariah berlandaskan nilai-nilai islam. Dalam fenomenologi, individu memiliki
kesadaran terkait realitas objek penelitian merupakan subjek penelitian yang
dapat berpartiipasi sebagai informan. Subjek dalam penelitian ini adalah individu
yang memiliki pengalaman dalam pengelolaan pegadaian syariah dan individu
yang memiliki pengetahuan khusus tentang nilai-nilai islam dalam konteks
pegadaian syariah. Subjek berdasarkan pengalaman di pegadaian syariah
adalah diantaranya adalah manajer pegadaian syariah, karyawan pegadaian
syariah, nasabah, DPS, MUI, dan orang yang paham dengan pegadaian syariah.
3.4 UNIT ANALISIS DAN INSTRUMEN PENELITIAN
Unit analisis dalam penelitian ini didasarkan pada komponen konseptual
fenomenologi transendental yang telah dikembangkan menjadi fenomenologi
islam. Adapun unit-unit yang dianalisis adalah kesadaran, noema dan noesis,
refleksi, dan intersubjektivitas.
Menurut Muhadjir (2000), fenomenologi melibatkan nilai (value Bond)
manusia sebagai penangkap realitas dalam mengamati, mengumpulkan data,
menganalisis dan membuat simpulan.berdasarkan hal tersebut maka instrumen
penelitian ini adalah peneliti sendiri.
3.5 TEKNIK DAN MEDIA PENGUMPULAN DATA
Menurut Lofland (Moleong, 2012: 157), sumber data utama dalam
penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data
23
tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Data kualitatif yaitu data yang
berhubungan dengan kategorisasi, karakteristik berwujud pertanyaan atau
berupa kata-kata. Data biasanya didapat dari wawancara yang bersifat subjektif
sebab data tersebut ditafsirkan lain oleh orang yang berbeda (Riduan, 2003: 5-
7).
Data yang akan dikumpulkan adalah data yang sesuai dengan fokus
penelitian yaitu konsep penilaian kinerja pegadaian syariah berlandaskan nilai-
nilai islam. Data utama penelitian ini adalah berupa wawancara, hasil
pengamatan/observasi, dokumentasi, dan hasil telaah kajian tafsir-tafsir Al-
Qur’an dan hadis, sedangkan data pelengkap berupa data yang diperoleh dari
penelusuran dokumen yang relevan dengan objek penelitian. Intruksi pokok
dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri dengan alat bantu ballpoint, pedoman
wawancara, alat perekam dan handphone. Berikut ini uraian prosedur
pengumpulan data:
1) Wawancara/ Interview
Wawancara adalah percakapan percakapan dengan maksud tertentu.
Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang
mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan
jawaban atas pernyataan itu (Moleong, 2012: 186).
Dalam melaksanakan wawancara, peneliti mendatangi informan antara lain
manajer pegadaian syariah, karyawan pegadaian syariah, dan nasabah
pegadaian syariah. Metode wawancara yang digunakan peneliti adalah
wawancara tidak terstruktur. Data hasil wawancara direkam menggunakan alat
perekam ataupun handphone dan disimpan dalam file komputer sebagai arsip
data.
24
2) Observasi
Tehnik ini utamanya digunakan pada studi pendahuluan seperti
mengobservasi suasana pegadaian syariah, sarana dan prasarana yang
digunakan, pelayanan nasabah dan lain sebagainya. Proses observasi yang
dilakukan di pegadaian syariah dan kegiatan sosial yang sering dilakukan oleh
pegadaian syariah.
3) Dokumentasi
Dokumen sebagai sumber data, akan berfungsi sebagai indikator dari
produk tingkat komitmen subjek yang diteliti. Dengan demikian demikian
dokumen ini akan terkait dengan seluruh subjek penelitian, baik pegawai maupun
nasabah. Telaah dokumentasi juga dilakukan dengan mengintegrasikan
dokumen yang relevan dengan topik penelitian, diantaranya tafsir Al-Qur’an dan
hadis Nabi, jurnal-jurnal, dan bahan tulisan berupa buku-buku, artikel di internet,
majalah, koran, dan referensi lainnya yang relevan dengan permasalahan
penelitian.
3.6 INFORMAN PENELITIAN
Dalam hal pemilihan informan, peneliti menggunakan teknik purposive
sampling dengan terlebih dahulu menentukan informan kunci. Informan kunci
ditentukan berdasarkan atas keterlibatan yang bersangkutan terhadap situasi
dan kondisi sosial yang akan dikaji sesuai dengan fokus penelitian. Hal ini
didasarkan pada Fatchan (20013: 129) bahwa penelitian yang menggunakan
pendekatan fenomenologi, informan dan subjek penelitiannya adalah orang per
orang atau individu-individu yang telah dipilih secara sengaja oleh peneliti.
25
3.7 TAHAPAN PENELITIAN
Adapun tahap-dahap dalam penelitian ini secara umum terdiri atas
empat tahap yaitu:
1) Tahap pra lapangan
Menurut moleong (2012: 127) ada enam tahap kegiatan yang harus
dilakukan peneliti dalam tahapan ini ditambah satu pertimbangan yang perlu
dipahami yaitu etika penelitian di lapangan. Adapun kegiatan dalam tahap ini
yakni:
(a) Menyusun rancangan penelitian
(b) Memilih lapangan penelitian
(c) Mengurus perizinan
(d) Menjajaki dan menilai lapangan
(e) Memilih dan memanfaatkan informan
(f) Menyiapkan perlengkapan penelitian
(g) Persoalan etika penelitian
2) Tahap pekerjaan lapangan
(a) Memahami latar penelitian dan persiapan diri
(b) Memasuki lapangan
(c) Berperanserta dalam mengumpulkan data
3) Tahap analisis data
4) Simpulan hasil temuan
26
DAFTAR PUSTAKA
Choudhury, Masudul Alam Choudhury and Md. Mostaque Hussain. 2005. “A Paradigm of Islamic Money and Banking.” International Journal of Social Economics. Vol. 32, No. 3.
Cresswell, John W. 1998.Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions. Sage Publications: London
Fatchan. 2013. Metode Penelitian Kualitatif. 10 Langkah Penelitian Kualitatif. Pendekatan Konstruksi dan Fenomenologi. Universitas Negeri Malang (UM): Malang
Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika
Herfika, Cahyusha Desmutya. 2013. Analisis komparasi mekanisme produk kredit Pada pegadaian konvensional dan pembiayaan Pada pegadaian syariah (Studi pada PT Pegadaian di Nganjuk dan Kediri). Universitas Brawijaya
https://deybiagustin.wordpress.com/2012/12/17/islam-sebagai-paradigma-ilmu-pendidikan/
Ijsseling, S., 1979 .“Hermeneutics and Textuality: Questions Concerning Phenomenology” dalam Studies in Phenomenology and the Human Sciences, J. Sallis (ed.). Atlantic Highlands, N.J.: Humanities Press.
Kaplan Robert, S. D.P Norton. 1996. The Balanced Scorecard: Translating Strategy Into Action. Boston: Harvard Business School Press
Leiter, K. 1980. A Primer on Ethnomethodology. Oxford: Oxford University Press. Lincoln. Yvonna S. and Guba, Egon G. 1985. Naturalistic Inquiri. Sage
Publications, Inc. Mengko, Natalia Caroline. 2013. penerapan akuntansi pertanggungjawaban
untuk penilaian kinerja nonfinansial kantor wilayah vi pt. pegadaian (persero) manado
Moleong, Lexy J. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Muhadjir, Noeng. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV. Rake Sarasin: Yogyakarta
Moustakas, C. 1994. Phenomenological Research Methods. London: Sage Publications.
Nasr, Sayyed Hossein. 2003. Antara Tuhan, Manusia dan Alam: Jembatan Fikosofis dan Religius Menuju Puncak Spiritual. Yogyakarta: IRCiSoD
Phillipson, M. 1972. “Phenomenological Philosophy and Sociology” in New Directions in Sociological Theory, P. Filmer et.al (eds.). London: Collier MacMillan.
Triyuwono, Iwan. 2006. Akuntansi Syariah. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Triyuwono, Iwan. 2006 Persefektif, Metodologi, dan Teori Akuntansi Syariah.
Universitas Brawijaya Malang